PRESENTASI KASUS ATRESIA ANI DENGAN FISTULA REKTOVESTIBULAR Disusun oleh: Maria Christianingrum 0906 639 796 Venny Christinna Anggraeni 0906 508 522 Narasumber: dr. Riana P Tamba, Sp.B, Sp.BA MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA NOVEMBER 2013 1 BAB 1 ILUSTRASI KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama : An. PK Usia : 1 tahun 4 bulan Jenis kelamin : Perempuan Tanggal lahir : 8 Agustus 2012 Alamat : Lenteng Agung, Jakarta Selatan Agama : Islam Suku : Jawa No Rekam Medis : 371-44-90 Tanggal pemeriksaan : 7 November 2013 Tanggal masuk RSCM : 6 November 2013 1.2 Anamnesis (Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 7 November 2013) Keluhan Utama: Tidak terdapat anus sejak lahir. Riwayat Penyakit Sekarang: Pada saat baru lahir, keluarga mengetahui bahwa tidak terdapat anus pada pasien. Saat pasien berusia 12 jam, pasien mengalami muntah-muntah yang terjadi setelah pasien diberi ASI. Muntah berwarna putih dan berlendir. Pasien muntah terus menerus terutama jika setelah diberikan ASI. Muntah awalnya berwarna putih namun lama kelamaan menjadi kuning dan setelah itu menjadi hijau. Perut pasien semakin membesar dan terasa keras, namun membaik saat pasien muntah. BAB berwarna hijau kehitaman dengan jumlah sedikit memanjang seperti cacing. BAB terlihat keluar dari sebuah lubang di belakang kemaluan. BAK berwarna kuning dan dikatakan dalam jumlah yang normal. Saat usia 2 hari pasien mengalami demam dengan suhu 38oc-39oc. Ibu pasien mengatakan BAB semakin sedikit perut pasien juga semakin membesar dan mengeras. Pasien lalu berobat ke bidan dan dirujuk ke rumah sakit. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSCM dan dikatakan menderita atresia ani dengan fistula. Pasien saat itu mendapat penanganan berupa pemasangan infus, pemberian antibiotik dan penurun panas, dan pemasanangan NGT. Pasien kemudian dilakukan pelebaran fistula pada hari kelima dan direncanakan pembuatan 2 stoma saat pasien berusia 3 bulan. Sebelum pemasangan stoma, pasien BAB dengan dilakukan spooling setiap 6 jam sekali melalui fistula. Saat usia 4 bulan (bulan November 2012) dilakukan pemasangan stoma pada pasien. Pada bulan Oktober, stoma sempat tidak berproduksi dan berwarna kehijauan sehingga dilakukan repair stoma. Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan PSARP pada waktu 2 bulan setelah pemasangan stoma namun karena pasien sempat sakit dan sulit mencari kamar rawat inap sehingga pasien baru direncanakan untuk PSARP saat ini. Riwayat Penyakit Dahulu: Tidak ada riwayat penyakit dahulu Riwayat Keluarga: Kedua kakak pasien lahir dengan normal dan tidak ada kelainan serupa dengan pasien atau kelainan bawaan lainnya. Di keluarga pasien juga tidak ada yang mrmiliki kelainan serupa dengan pasien tetapi anak dari bibi pasien lahir dengan kaki yang panjang sebelah. Riwayat Kehamilan: Selama masa kehamilan, ibu pasien selalu memeriksakan kandungannya sesuai dengan jadwal yang dianjurkan bidan puskesmas, total pemeriksaan kandungan pasien adalah sebanyak 9 kali. Pasien mengatakan hasil pemeriksaan kandungan menurut bidan puskesmas dalam keadaan sehat. Namun, ibu pasien diketahui mengalami penurunan Hb setiap kali pemeriksaan kandungan, yaitu sekitar 10. Menurut ibu pasien, selama masa kehamilan dia sering demam dan batuk-batuk. Pasien hanya mengkonsumsi obat batuk tablet dan antibiotik dari dokter puskesmas selama hamil sedangkan riwayat mengkonsumsi obat-obatan lain atau jamu-jamuan disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan cukup sering mengkonsumsi sayur dan daging dan makanan lainnya yang telah dicuci bersih dan dimasak sampai benar-benar matang. Pasien terutama sering mengkonsumsi sayur bayam. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Ayah pasien adalah perokok tetapi selama ibu pasien sedang hamil, ayah pasien tidak merokok di dekat ibu pasien. Selama masa kehamilan, ibu pasien tidak pernah menjalani pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan radiologi lainnya kecuali usg kandungan. Ibu pasien menggunakan KB pil trionordiol tetapi sempat tidak diminum sehingga pasien hamil 3 Riwayat Kelahiran Pasien lahir spontan dengan bantuan bidan, cukup bulan, berat badan lahir 3700 gram, panjang lahir 51 cm. Pasien tidak langsung menangis saat lahir. Riwayat sesak, biru dan kuning setelah kelahiran disangkal. Riwayat Imunisasi : Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Riwayat Nutrisi : Pasien diberi ASI dari lahir hingga sekarang. Sejak usia 6 bulan pasien mulai diberikan makanan tambahan berupa bubur bayi tiga kali sehari. Saat usia 1 tahun pasien mulai mendapatkan makanan padat seperti nasi sebanyak tiga kali sehari. Riwayat Sosial: Pasien adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Jaminan pasien menggunakan kartu Jakarta sehat. 1.3. Pemeriksaan Fisik (7 November 2013) Kesadaran : Kompos mentis. Keadaan umum : Tampak sakit sedang. BB : 8.5 kg. TB : 73 cm. Status Gizi : Kurang (BB ideal : 9 Kg). Nadi : 120 kali/ menit. Frekuensi napas : 28 kali/menit. Suhu : 36,50C. Kulit : Turgor normal. Kepala : Tidak ada deformitas, normosefal. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Gigi dan Mulut : Oral higiene baik. Leher : Tidak ada pembesaran KGB. Jantung : BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop. Paru : Vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing. 4 Abdomen - Inspeksi : Datar, terdapat stoma dengan produksi (+). - Palpasi : Lemas, tidak ada tahanan, hepar dan lien tidak teraba. - Perkusi : Timpani. - Auskultasi : Bising usus normal. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema. Genitalia dan anus : Tidak terdapat anus, terdapat dimple anal, terdapat fistula rectovestibular. 1.4. Pemeriksaan Penunjang 1.4.1 Laboratorium 7-11-2013 Hb : 8.8 g/dL Ht : 27.6 % Eritrosit : 4.31x106/ul MCV : 64 fL MCH : 20.4 pg MCHC : 31.9 g/dl Leukosit : 12.500 / mm3 Trombosit : 535.000/mm3 5 Hitung jenis Basofil : 0.8 % Eosiofil : 7.9 % Neutrofil : 46.4 % Limfosit : 36.8 % Monosit : 8.1 % Laju endap darah : 100 Elektrolit Na : 136 meq/L K : 3.92 meq/L Cl : 97.3 meq/L Hemostasis PT : 11,9 detik, kontrol : 11,3 detik APTT : 37.4 detik, kontrol : 31.6 detik Ureum : 10 mg/dL Kreatinin : 0,2 mg/ dL SGOT : 29 u/L SGPT : 5 u/L Albumin : 4.16 g/dl GDS : 81 mg/dL 6 1.4.2 Radiologi Abdomen (10/8/2012) Deskripsi Pemeriksaan Radiografi babygram Tampak gambaran udara di kedua paru. Tidak tampak infiltrate. Jantung kesan tidak membesar dengan CTI 51% (normal 50-60%). Tulang tulang intak, tidak terdapat deformitas pada tulang-tulang ekstrimitas. Pemeriksaan radiografi abdomen 2 posisi: Preperitoneal fat line kanan kiri suram. Psoas line dan kontur kedua ginjal tertutup bayangan udara usus yang prominen. Distribusi udara usus tidak mencapai distal. Tampak dilatasi dan penebalan dinding usus dengan multiple air fluid level Tidak tampak bayangan radioopak pada proyeksi traktus urinarius. Tulang-tulang baik. Kesimpulan Kesan : ileus obstruktif. Echocardiography (13/82012) Deskripsi Atrial situs solitus. Normal pulmonary dan drainase system vena. Aorta dan ruang jantung normal. 4 ruang jantung seimbang. PFO (+), L shunt. Katup AV dan semilunar 7 normal. VSD dan PDA tidak ada. Kontraksi ventrikel baik (FS 41.6%, EF 75.%). Efusi pericardial tidak ada Kesimpulan Jantung dalam batas normal Audiometri (3/9/2013) Hasil pemeriksaan Ambang dengar telinga kiri (1/AS) : 30dB (normal) Ambang dengar telinga kanan (2/AD) : 30 dB (normal) Radiografi Pelvis 28/12/2012 Deskripsi Kedudukan tulang-tulang pelvis masih baik. Struktur tulang intak, tdak tampak fraktur/destruksi tulang pelvis. Tidak tampak defek pada korpus vertebra yang tervisualisasi. Sendi dakroiliaka, sendi coxae, dan simfisis pubis masih baik, tak tampak dislokasi/subluksasi. Jaringan lunak tidak tampak kelainan. Kesimpulan Tidak tampak kelainan radiologis 8 Radiografi vertebra lumbosacral AP&Lateral (28/12/2013) Deskripsi Kedudukan dan kelengkungan vertebra masih baik. Tak tampak listhesis. Struktur tulang intak, tak tampak defek maupun fraktur/destruksi. Celah diskus intervertebralis tidak menyempit. Sendi facet tak tampak kelainan. Jaringan lunak paravertebra tidak menebal. Kesimpulan Tak tampak kelainan radiologis pada vertebra lumbal USG abdomen (2/1/2013) Deskripsi Hepar bentuk dan ukuran normal. Permukaan regular, tepi lancip. Ekhogenitas parenkim terlihat homogen, tak tampak lesi fokal. Vena porta, vena hepatica dan system bilier tidak melebar. Tak tampak asites maupun efusi pleura. Kandung empedu bentuk dan ukuran normal. Tak tampak batu/sludge. Pankreas bentuk dan ukuran normal. Tak tampak lesi fokal. Duktus pankreatikus tidak melebar. Limpa bentuk dan ukuran normal. Ekhogenitas homogeny. Vena lienalis tidak melebar. Aorta caliber masih baik. Kelenjar limfe paraorta tidak membesar. Kedua ginjal bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan medulla jelas. Sistem pelviokalises tidak melebar. Tidak tampak batu/lesi fokal. Vesika urinaria tidak terisi penuh. Tak tampak batu/sludge. Kesimpulan Tak tampak kelainan pada organ-organ intraabdomen yang tervisualisasi. 9 Lopografi (16-4-2013) Deskripsi Dipasang marker 4 buah : marker segitiga pada stoma kolostomi kotor dan anal dimple, marker segiempat pada stoma bersih, marker lingkaran pada vagina dan marker setengah lingkaran pada OUE. Pada foto SNO, tidak tampak usus-usus yang distensi. Tak tampak kalsifikasi patologis intra abdomen. dimasukan kontras sebanyak + 50 cc melalui kateter folley dari stoma bersih. kotras mengalir lancar mengisi colon descenden distal , sigmoid, sampai rektum. Tampak kontras mengisi saluran fistula yang berdinding regular dari rektum ke vestibulum sepanjang + 2.51 cm. Tidak tampak leakage kontras ke rongga peritoneum. Kesimpulan Fistula rektovestibular sepanjang + 2.51 cm. 1.5. Masalah - Atresia ani dengan fistula rektovestibular on colostomy. 10 1.6. Tatalaksana - Rencana diagnosis : - Rencana terapi : Pro PSARP (Posterior Sagital Anorektoplasti). 1.7. Prognosis Ad vitam : bonam. Ad functionam : dubia ad bonam. Ad sanactionam : bonam. 11 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anorektal 2.1.1 Embriologi Usus belakang (hindgut) yang terbentuk dari usus primitif menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian tas kanalis analis. Endoderm usus belakang juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.1 Bagian terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis anorektalis primitif; alantosis masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitf. Kloaka merupakan suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan pada batas ventralnya dibungkus oleh ektoderm permukaan. Batas antara ektoderm dan endoderm ini membentuk membran kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale, memisahkan regio antara alantosis dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantosis di sekitarnya. Seiring dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung septum urorektale akhirnya berada dekat dengan membran kloakalis, meskipun kedua struktur tidak pernah berkontak. Pada akhir minggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal.1 Pada saat ini, proliferasi ektoderm menutupi bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu kesembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis berasal dari ektoderm, dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior, yaitu arteri usus belakang.1 Taut antara regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel gepeng berlapis.1 12 Gambar 2-1. Embriologi Anorektal.2 2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Kanalis analis berukuran panjang sekitar 3 cm dengan sumbu yang mengarah ke ventrokranial, yaitu ke arah umbilikus. Kanalis analis membentuk sudut ke arah dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi, sudut anorektum tersebut menjadi lebih besar. Di daerah batas atas kanalis anus (garis anorektum, garis mukokutan, linea pektinata, atau linea dentata), terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Apabila terjadi infeksi di bagian tersebut, dapat menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistel. Pada pemeriksaan colok dubur, lekukan antar-sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis yang menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter ekstern (garis Hilton).2 Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin tersebut terbentuk karena penyatuan sfingter intern, otot longitudinal, bagian tengah otot levator (puborektalis), dan komponen otot sfingter eksternus. Otot sfingter internus terdiri atas serabut otot polos sedangkan otot sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik.2 a) Sistem Arteri Rektum diperdarahi oleh arteri hemoirodalis superior, medialis, dan inferior. Arteri hemoirodalis superior, yang terbagi menjadi dua cabang utama kiri dan kanan, merupakan kelanjutan langsung aretri mesenterika inferior. Cabang kanan bercabang lagi sehingga terapat tiga cabang akhir dari arteri hemoirodalis superior.2 Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior arteri iliaka interna sedangkan arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang arteri pudenda interna. Anastomosis antara arkade pembuluh inferior dan superior menjadi sirkulasi kolateral yang bermakna penting pada tindakan bedah atau sumbatan aterosklerotik di daerah percabangan 13 aorta dan arteri iliaka. Sedangkan anastomosis tersebut ke pembuluh kolateral hemoroid inferior dapat menjamin perdarahan di kedua ekstremetas bawah. Perdarahan di pleksus kolateral merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah sehingga perdarahan dari hemoroid intern menghasilkan darah segar yang berwarna merah dan bukan darah vena yang berwarna kebiruan.2 b) Sistem Vena Sistem vena pada rektum terdiri dari vena hemoroidalis superior dan inferior. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidlais internus dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam vena iliaka interna dan sistem kava.2 c) Sistem Limfa Pembuluh limfa dari kanalis analis membentuk pleksus halus yang menyalirkan isinya menuju ke kelenjar limfa inguinal dan terus mengalir sampai ke kelenjar limfa iliaka. Pembuluh limfa dari rektum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan vena hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta.2 d) Persarafan Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Unsur simpatis pleksus ini menuju ke arah struktur genital dan serabut otot polos yang mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi. Persarafan parasimpatik (nervi erigentes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat. Serabut saraf ini menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta mengendalikan ereksi dengan cara mengatur aliran darah ke dalam jaringan ini. Muskulus puborektal mempertahankan sudut anorektum; otot ini mempertajam sudut tersebut bila meregang dan meluruskan usus bila mengendur.2 e) Kontinensia Kontinensia anus bergantung pada konsistensi feses, tekanan di dalam anus, tekanan di dalam rektum, dan sudut anorektal. Makin encer feses, makin sukar untuk menahannya di dalam usus. Tekanan pada suasana istirahat di dalam anus berkisar antara 25-100 mmHg dan 14 di dalam rektum antara 5-20 mmHg. Jika sudut antara rektum dan anus lebih dari 80 derajat, feses sukar dipertahankan.2 f) Defekasi Pada suasana normal, rektum kosong. Pemindahan feses dari kolon sigmoid ke dalam rektum kadang-kadang dicetuskan oleh makan, terutama pada bayi. Isi sigmoid yang masuk ke dalam rektum akan dirasakan oleh rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Rektum mempunyai kemampuan khas untuk mengenal dan memisahkan bahan padat, cair, dan gas.2 Sikap badan sewaktu defekasi, yaitu sikap duduk atau jongkok, mempunyai pengaruh penting. Defekasi terjadi akibat refleks peristalsis rektum, dibantu oleh mengedan dan relaksasi sfingter anus eksterna.2 Syarat untuk defekasi normal adalah persarafan sensibel untuk sensasi isi rektum dan persarafan sfingter anus untuk kontraksi dan relaksasi yang utuh, peristalsis kolon dan rektum tidak terganggu, dan struktur anatomi organ panggul yang utuh.2 2.2. Malformasi Anorektal 2.2.1 Definisi Malformasi anorektal merupakan penyakit kelainan bawaan dimana bagian terminal usus belakang (hindgut) terletak sebagian atau seluruhnya di luar mekanisme sfingter, yang dapat mengenai anak laki-laki dan perempuan, dan melibatkan anus dan rektum distal serta saluran kemih dan kelamin. Kecacatan yang terjadi dapat sangat ringan dan mudah diobati dengan prognosis fungsional yang sangat baik. Namun dapat pula berupa kelainan yang kompleks dan sulit untuk ditangani, sering dikaitkan dengan kelainan lainnya, dan memiliki prognosis fungsional yang buruk.3,4 2.2.2 Epidemiologi Insidens malformasi anorektal berkisar antara 1:3300 hingga 1:5000 kelahiran hidup. Di negara barat, 55%-70% dari pasien malformasi anorektal adalah laki-laki dimana malformasi yang terjadi pada laki-laki cenderung lebih berat.4,5,6 15 2.2.3 Etiologi Etiologi malformasi anorektal masih belum jelas tetapi kemungkinan dipengaruhi oleh banyak faktor (multifaktorial). Kelainan genetik diperkirakan merupakan salah satu penyebab terjadinya malformasi anorektal. Pada awal tahun 1950-an, diketahui bahwa ada peningkatan risiko lahir dengan malformasi pada saudara dari pasien malformasi anorektal, yaitu 1:100, sedangakan pada populasi umum 1:5000. Setelah itu, terdapat laporan bahwa 2 atau lebih anggota keluarga mengalami malformasi anorektal. Mutasi dari berbagai gen tertentu juga diperkirakan berhubungan dengan malformasi anorektal, misalnya pada pasien-pasien yang mengalami sindrom Townes-Broks, sindrom Currarino, sindrom Pallister-Hall, dan sindrom Down. Diketahui hampir 95% pasien dengan sindrom Down dan malformasi anorektal mengalami anus imperforata tanpa fistula dibandingkan dengan hanya 5% dari semua pasien dengan malformasi anorektal.4 2.2.4 Patofisiologi Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, penyatuan, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun, pada agenesis anus, sfingter interna mungkin tidak memadai.1 Kelainan bawaan rektum terjadi karena adanya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya. Pada saluran kemih dan saluran genital dapat terjadi fistel. Pada kelainan rektum yang tinggi, sfingter interna tidak ada sedangkan sfingter eksterna mengalami hipoplasia.1 2.2.5 Klasifikasi Berdasarkan letak ujung atresia terhadap otot dasar panggul, anomali dibagi menjadi supralevator, intermedia dan rendah. Pada kelainan rendah (atau distal), rektum menembus otot levator anus sehingga jarak antara kulit dengan ujung rektum paling jauh 1 cm. Kelainan intermedia merupakan kelainan menengah; ujung rektum mencapai tingkat otot levator anus tetapi tidak menembusnya, sedangkan kelainan supralevator yang disebut kelainan tinggi (atau proksimal) tidak mencapai tingkat otot levator anus, dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.1 16 2.2.6 Diagnosis A. Pemeriksaan Klinis 1. Pemeriksaan Umum Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari 50% penderita mempunyai kelainan kongenital ditempat lain. Kelainan yang sering ditemukan adalah pada traktus genito urinarius 28%, kelainan jantung 74%, traktus gastrointestinal (misalnya atresia esofagus 9% dan atresia duodenum 7%), serta tulang (misalnya tulang radius tidak ada).1 2. Pemeriksaan khusus untuk kelainan anorektal a) Pemeriksaan pada perempuan Umumnya pada 80-90% wanita ditemukan fistula ke vestibulum atau vagina, hanya pada 10-20% tidak ditemukan fistula. Golongan I: 1) Kloaka Kelainan ini merupakan malformasi yang kompleks. Malformasi kloaka merupakan kelainan dimana rektum, vagina, dan traktus urinarius bertemu dan menyatu menjadi satu saluran. Kelainan ini perlu dicari pada perempuan yang lahir dengan anus imperforata dan genital yang terlihat kecil. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.1,3,5 Gambar 2-2. Kloaka persisten.3 2) Fistula Vagina Mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses bisa tidak lancar, sebaiknya cepat dilakukan kolostomi.1,5 17 3) Fistula Rektovestibular Fistula rektovestibular merupakan kelainan yang sering terjadi pada perempuan dan mempunyai prognosis fungsional yang baik. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis. Inspeksi pada genitalia neonatus dapat ditemukan meatus uretra dan vagina yang normal dengan adanya lubang ketiga di vestibular (fistula rektovestibular). Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat dilakukan bila penderita dalam keadaan optimal.1,3,5 Gambar 2-3. Fistula rektovestibular. 4) Atresia Rekti Kelainan di mana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu dilakukan kolostomi.1,5 5) Tanpa Fistula Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu dilakukan kolostomi.1,5 Golongan II 1) Fistula Rektoperineal Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana kloaka anus normal. Dapat berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka anus yang rapat terdapat di posteriornya. Rektum masih berada dalam mekanisme sfingter kecuali bagian paling bawah (distal) berada di anterior. Rektum dan vagina merupakan bagian yang terpisah.1,3,5 18 Gambar 2-4. Fistula Perineum pada perempuan.3 2) Stenosis Ani Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan terapi definitif.1,5 3) Tanpa Fistula Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.1,5 b) Pemeriksaan pada laki-laki Perlu diperhatikan hal-hal, sebagai berikut: Perineum (bentuk dan adanya fistel) dan urin (ada tidaknya butir-butir mekonium di urin). Dari kedua hal tersebut di atas, pada anak laki-laki, dapat dibuat golongan-golongan sebagai berikut: Golongan I 1) Fistula Rektouretra dan Vesika Urinaria Anus imperforata dengan fistula rektouretra merupakan kelainan tersering pada laki-laki. Fistula dapat terletak rendah (bulbar) dan tinggi (prostat) pada uretra. Bagian di atas uretra memiliki dinding yang bersamaan dengan rektum dan uretra. Semakin rendah letak fistula, semakin panjang dinidng tersebut. Rektum biasanya melebar dan dikelilingi otot levator pada lateral dan posterior. Antara rektum dan kulit perineum, terdapat kompleks otot yang apabila berkontraksi akan mengangkat lekukan anal. Pada bagian setinggi kulit, terdapat serat otot parasagital yang terletak di kedua sisi midline. Fistula uretra rendah dikaitkan dengan otot yang baik, sakrum yang berkembang baik, prominent midline groove, dan prominent anal dimple. Fistula uretra tinggi sering dikaitkan dengan kualitas otot kurang baik, sakrum dengan perkembangan yang abnormal, dan lekukan anal yang terlihat dengan mata telanjang. Tampak mekonium 19 keluar dari orifisium uretra eksternum. Fistula dapat terjadi bila terdapat fistula baik ke uretra ataupun ke vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan lokasi fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak di uretra yang terhalang kateter. Bila dengan kateter, urin berwarna hijau, berarti fistel ke vesika urinaria. Evakuasi feses tidak lancar sehingga penderita memerlukan kolostomi segera.1,3,5 2) Atresia Rekti Lumen rektum dapat tertutup secara total (atresia) atau parsial (stenosis). Pasien mempunyai sensasi normal pada anorektum dan mempunyai prognosis fungsional yang baik.1,5 3) Perineum Datar Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensia tidak terbentuk sempurna.1,5 4) Tanpa Fistula Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Karena tidak ada evakuasi feses maka perlu segera dilakukan kolostomi.1,5 Golongan II 1) Fistula Rektoperineal Fistula rektoperineal atau disebut juga kelainan rendah. Rektum terletak pada mekanisme sfingter. Hanya bagian terbawah rektum yang mengalami mislokasi di anterior. Diagnosis ditegakkan dengan inspeksi perineum.1,3,5 Gambar 2-5. Fistula perineum pada laki-laki.3 20 2) Membran Anal Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium di bawah kulit. Evakuasi feses tidak ada. Secepat mungkin sebaiknya dilakukan terapi definitif.1,5 3) Stenosis Ani Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan terapi definitif.1,5 4) Bucket Handle (Gagang Ember) Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.1,5 5) Tanpa Fistula Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Pada pasien ini, sakrum dan otot berkembang dengan baik serta prognosis yang baik pada fungsi usus. Meskipun rektum dan uretra tidak bertemu tetapi keduanya hanya dipisahkan oleh dinding yang tipis (common wall).Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.1,5 B. Pemeriksaan Penunjang Pada 10-20% penderita tanpa fistula harus dilakukan pemeriksaan radiologis invertogram. Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kuliit peritoneum. Sewaktu foto diambil, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah) atau tidur telungkup, dengan sinar horizontal diarahkan ke trokanter mayor. Selanjutnya diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distalrektum ke tanda logam di perineum. Invertogram dipakai untuk menentukan golongan malformasi. Biasanya dipakai klasifikasi Wingspread sebagai penggolongan anatomi.1,3,5 Gambar 2-6. Foto polos cross-table lateral.3 21 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah USG abdomen untuk mengevaluasi kelainan saluran kemih. Pada kasus kloaka yang persisten, dapat ditemukan vagina yang distended (hyddrocolpos). Foto polos spina dapat menunjukkan adanya kelainan spinal misalnya spina bifida dan spinal hemivertebra. Foto polos pada sakrum dengan proyeksi AP dan lateral dapat menunjukkan kelainan sakrum seperti hemisacrum dan sacral hemivertebra. Dari gambar foto polos sakrum, juga dapat menilai rasio sakral yang berhubungan dengan prognosis (Rasio normal 0,74 (0,7-0,8)).1,3,4 2.2.7 Tata Laksana Prinsip pengobatan pada malformasi anorektal adalah dengan operasi definitif berupa anoplasti dengan atau tanpa dilakukan kolostomi sebelumnya. Dalam pengambilan keputusan untuk melakukan anoplasti pada neonatus atau penundaan operasi dengan dilakukan kolostomi sebelumnya adalah bergantung pada pemeriksaan fisik pada perineum dan perubahan yang terjadi selama 24 jam kehidupan. Setelah bayi lahir, tatalaksana awal adalah dengan diberikan cairan intravena dan antibiotik serta pemasangan NGT untuk dekompresi guna mencegah muntah dan aspirasi. 4,7 Evaluasi pada neonatus laki-laki4,7 Inspeksi pada perineum merupakan hal penting untuk mengetahui letak kelainan. Pasase mekonium melalui fistula dan memberikan petunjuk dimana lokasi fistula. Namun dibutuhkan tekanan yang signifikan dari intraluminal untuk dapat mengeluarkan mekonium melalui fistula sehingga mekonium tidak langsung muncul pada beberapa jam kehidupan. Jika neonatus menunjukan adanya fistula perineal, maka dapat segera dilakukan posterior sagital rectoanoplasti (PSARP) tanpa kolostomi dalam waktu 48 jam kehidupan. Jika mekonium tidak terlihat dalam waktu 24 jam maka dapat dilakukan pemeriksaan crosstable radiograph dengan posisi prone. Jika udara di rektum berada dibawah coccyx maka dapat dilakukan operasi posterior sagital tanpa dilakukan kolostomi. Namun jika udara rektum tidak melewati coccyx atau terdapat mekonium pada urin, sacrum abnormal, atau bokong rata maka disarankan untuk dilakukan kolostomi. PSARP dapat dilakukan setelah bayi berusia 1-3 bulan supaya bayi sudah memiliki berat badan yang cukup. 22 Gambar 2-7. Algoritma tatalaksana neonatus laki-laki dengan malformasi anorektal7 Evaluasi pada neonatus perempuan4,7 Jika pada inspeksi perineal ditemukan satu orifisium maka dapat disimpulkan pada neonatus terdapat kloaka. Kloaka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mendapat kelainan urologi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urologi lengkap serta lengkap dengan USG abdomen untuk melihat adanya hydronephrosis dan hydrocolpos. Pasien dengan kloaka perlu dilakukan kolostomi. Saat dilakukan kolostomi perlu juga dilakukan drainase hydrocolpos jika ada. Pada neonatus dengan rectovestibular fistula,. tatalaksana yang paling aman bagi pasien adalah dengan dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Kolostomi perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi infeksi dan pecah. Jika operasi definitive dilakukan tanpa kolostomi terlebih dahulu maka diperlukan preoperative berupa irigasi saluran cerna selama 24 jam untuk memastikan saluran cerna bersih. Jika ditemukan perineal fistula dapat perlu dilakukan anoplasti primer tanpa kolostomi. Jika fistula tidak terlihat dan mekonium tidak muncul dalam waktu 24 jam, maka perlu dilakukan cross table prone radiografi. Jika pada hasl radiografi didapatkan udara hingga mendekati kulit maka pada pasien terdapat fistula perineal yang sangat dangkal. Namun jika udara berada 1 hingga 2 cm diatas kulit maka pada pasien terdapat stresia ani tanpa fistula. Jika pada neoatus terdapat rectovestibular atau rectoperineal fistula dengan adanya kelainan lain yang berhubungan dan sedang sakit maka dapat dilakukan dilatasi pada fistula 23 terlebih dahulu untuk mengosongkan kolon. Terapi deinitif dapat dilakukan beberapa bulan kemudian. Gambar 2-8. Algoritma tatalaksana neonatus perempuan dengan malformasi anorektal7 Kolostomi Kolostomi yang paling tepat untuk malforasi anorektal adalah dengan descenden atau upper sigmoid kolostomi dibanding dengan ascenden atau trasverse kolostomi. Bagian stoma proksimal terhubung dengan traktus gastrointestinal atas untuk mengalirkan tinja.. Kolostomi dibuat untuk dekompresi serta perlindungan bagi rekontruksi akhir untuk kelainan ini. Selain itu kolostomi juga digunakan untuk kolostogram distal sebagai diagnostik yang paling akurat. Keuntungan pembuatan kolostomi pada bagian distal adalah dibutuhkan sedikit bagian usus yang tidak berfungsi dan penyerapan akan lebih baik jika kolostomi berada di bagian distal kolon.7 Anoplasti Terdapat beberapa teknik untuk memperbaiki malformasi congenital seperti diseksi endorektal, anterior perineal approaches dan tipe lain dari anoplasti. Namun sekarang yang paling sering digunakan adalah melalui pendekatan posterior sagital yang disebut dengan posterior sagital anorektoplasti (PSARP).7 Prinsip operasinya adalah bayi diletakan dalam posisi tengkurap dengan elevasi pelvis. Sayatan dilakukan di perineum pada garis tengah yang dimulai dari ujung koksigeus hingga anterior anus. Dalam operasi tetap dilakukan pada garis tengah untuk menghindari kerusakan saraf.. Ahli bedah juga harus mengenal serta melalukan preservasi pada seluruh otot.5 24 BAB 3 DISKUSI Pada usia 2 hari, pasien dibawa ke IGD RSCM atas rujukan bidan dekat rumahnya, dengan keluhan BAB semakin sedikit, perut pasien yang semakin membesar dan mengeras, dan mengalami muntah beberapa saat setelah diberikan ASI yang awalnya berwarna putih kemudian lama kelamaan menjadi kehijauan. Sejak lahir, pasien diketahui tidak memiliki anus tetapi masih bisa BAB melalui lubang yang berada di antara lubang kemaluan dan lekukan anus. BAK tidak ada keluhan dan tidak disertai adanya kotoran tinja yang keluar dari saluran kencing ketika BAK atau tidak. Berdasarkan keterangan tersebut, dipikirkan pasien mengalami obstruksi mekanik akibat atresia ani dengan adanya fistula perianal. Fistula perianal dapat terjadi karena kelainan kongenital malformasi anorektal atau perforasi/penyaliran abses akibat infeksi anorektal. Fistula perianal pada pasien ini dikirkan merupakan suatu kelainan kongenital karena sudah ada sejak lahir dan tidak terdapat riwayat keluar nanah dari fistula tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan anamnesis, dipikirkan dua daftar masalah yang masih mungkin terjadi terkait dengan kelainan kongenital malformasi anorektal, yaitu atresia ani dengan fistula perineal dan atresia ani dengan fistula rektovestibular. Pada pemeriksaan fisik daerah genital dan anus, didapatkan tidak ada lubang anus pada pasien tetapi masih terdapat lekukan anus. Selain itu, didapatkan adanya fistula yang berlokasi di bagian vestibular di antara vagina dan anus. Sehingga setelah dilakukan pemeriksaan fisik, dipikirkan masalah yang dialami pasien adalah atresia ani dengan fistula vestibular. Berdasarkan masalah yang dipikirkan tersebut, yaitu atresia ani dengan fistula vestibular, rencana pemeriksaan penunjang yang dipikirkan adalah pemeriksaan-pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan kongenital lain yang biasa terjadi bersamaan dengan malformasi anorektal, seperti pemeriksaan sakrum, esofagus, ekokardiografi, USG ginjal dan abdomen, USG spinal, dan lumbal. Pada pasien ini, pemeriksaan yang telah dilakukan adalah radiografi babygram (10/8/12) dengan kesan ileus obstruktif; ekokardiografi (13/8/12), radiografi pelvis (28/12/12), radiografi lumbosakral (28/12/12), USG abdomen (2/1/13) dan audiometri (3/9/13) tidak ada kelainan; dan lopografi (16/4/13) dengan kesan fistula rektovestibular sepanjang ± 2,51 cm. Dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien, diketahui tidak terdapat kelainan kongenital lain yang terjadi pada pasien. 25 Penanganan awal pada saat pasien mengalami obstruksi mekanik adalah mengatasi kemungkinan dehidrasi, mencegah infeksi, dan dekompresi. Tindakan dekompresi yang dapat dilakukan apabila terdapat fistula adalah dengan dilatasi fistula apabila fistula masih adekuat. Oleh karena itu, pada pasien ini diberikan resusitasi cairan, antibiotik gentamisin dan amoksiklav, dan pemasangan NGT serta spooling setiap 6 jam sekali. Namun, karena pada hari kelima perawatan, evakuasi feses dengan cara spooling tidak lagi berhasil kemudian direncanakan dibantu dengan dilatasi fistula. Pada fistula kemudian dipasang rectal tube dan dilanjutkan spooling setiap 6 jam. Selanjutnya pasien direncanakan untuk kolostomi pada usia 3 bulan. Namun, saat usia tersebut pasien mengalami batuk pilek sehingga kolostomi baru dilaksanakan pada saat usia pasien 4 bulan. Menurut Wingspread, pada pasien dengan fistula retrovestibular, kolostomi sebaiknya dilakukan pada saat neonatus sehingga pada pasien ini terdapat keterlambatan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada pasien dilakukan dilatasi fistula terlebih dahulu. Pemasangan kolostomi dilakukan sebagai kolostomi perlindungan / sementara sebelum dilakukan terapi definitif. Pelaksanaan terapi definitif dapat langsung dilakukan tanpa kolostomi namun dapat mengakibatkan risiko seperti infeksi perineum karena penyatuan pada anus dan rekurensi fistula yang dapat mengakibatkan fibrosis sehingga mengganggu fungsi sfingter. Jika hal ini terjadi maka tidak akan terbentuk fungsi yang optimal dan jika dilakukan operasi kedua maka prognosisnya akan lebih buruk. Sehingga kolostomi merupakan pilihan yang tepat untuk mencegah komplikasi tersebut. Untuk selanjutnya pasien direncanakan dilakukan terapi definitif berupa PSARP (posterior sagital anorektoplasti). Menurut wingspread, terapi definitif sebaiknya dilakukan pada saat pasien berusia 4-6 minggu. Namun pada pasien dilakukan setelah 9 bulan kolostomi yaitu saat pasien berusia 15 bulan. Hal ini disebabkan karena pasien sulit mendapat ruangan. Padahal sebelumnya operasi direncanakan 2 bulan setelah pasien memasang kolostomi yaitu sekitar usia 6 bulan. 26 DAFTAR PUSTAKA 1. Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman: Sistem pencernaan. Edisi ke-10. Jakarta: EGC. 2009. hlm. 265-267. 2. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, penyunting. Dalam Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC. 2007. hlm. 781-786. 3. Peña A, Levitt MA. Anorectal anomalies. Puri P, Höllwarth M, penyunting. Dalam: Pediatric surgery. Berlin: Springer. 2006. hlm. 289-312. 4. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33. 5. Thayeb A. Malformasi anorektal. Reksoprodjo S, penyunting. Dalam Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. hlm. 137-141. 6. Rintala RJ. Congenital anorectal malformations: anything new?. J Pediatr Gastroenterol Nutr, Vol. 48, Suppl. 2, April 2009. 7. Holcomb GW, Murphy JP. Ashcrafts’s pediatric surgery. 5th edition. United States of America: Elsevier ; 2010. p.474-8. 27