presentasi kasus atresia ani dengan fistula rektovestibular

advertisement
PRESENTASI KASUS
ATRESIA ANI DENGAN
FISTULA REKTOVESTIBULAR
Disusun oleh:
Maria Christianingrum
0906 639 796
Venny Christinna Anggraeni
0906 508 522
Narasumber:
dr. Riana P Tamba, Sp.B, Sp.BA
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
NOVEMBER 2013
1
BAB 1
ILUSTRASI KASUS
1.1
Identitas Pasien
Nama
: An. PK
Usia
: 1 tahun 4 bulan
Jenis kelamin
: Perempuan
Tanggal lahir
: 8 Agustus 2012
Alamat
: Lenteng Agung, Jakarta Selatan
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
No Rekam Medis
: 371-44-90
Tanggal pemeriksaan
: 7 November 2013
Tanggal masuk RSCM : 6 November 2013
1.2
Anamnesis (Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 7 November 2013)
Keluhan Utama:
Tidak terdapat anus sejak lahir.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pada saat baru lahir, keluarga mengetahui bahwa tidak terdapat anus pada pasien. Saat
pasien berusia 12 jam, pasien mengalami muntah-muntah yang terjadi setelah pasien diberi
ASI. Muntah berwarna putih dan berlendir. Pasien muntah terus menerus terutama jika
setelah diberikan ASI. Muntah awalnya berwarna putih namun lama kelamaan menjadi
kuning dan setelah itu menjadi hijau. Perut pasien semakin membesar dan terasa keras,
namun membaik saat pasien muntah. BAB berwarna hijau kehitaman dengan jumlah sedikit
memanjang seperti cacing. BAB terlihat keluar dari sebuah lubang di belakang kemaluan.
BAK berwarna kuning dan dikatakan dalam jumlah yang normal.
Saat usia 2 hari pasien mengalami demam dengan suhu 38oc-39oc. Ibu pasien
mengatakan BAB semakin sedikit perut pasien juga semakin membesar dan mengeras. Pasien
lalu berobat ke bidan dan dirujuk ke rumah sakit. Pasien kemudian dibawa ke IGD RSCM
dan dikatakan menderita atresia ani dengan fistula. Pasien saat itu mendapat penanganan
berupa pemasangan infus, pemberian antibiotik dan penurun panas, dan pemasanangan NGT.
Pasien kemudian dilakukan pelebaran fistula pada hari kelima dan direncanakan pembuatan
2
stoma saat pasien berusia 3 bulan. Sebelum pemasangan stoma, pasien BAB dengan
dilakukan spooling setiap 6 jam sekali melalui fistula.
Saat usia 4 bulan (bulan November 2012) dilakukan pemasangan stoma pada pasien.
Pada bulan Oktober, stoma sempat tidak berproduksi dan berwarna kehijauan sehingga
dilakukan repair stoma. Pasien kemudian direncanakan untuk dilakukan PSARP pada waktu
2 bulan setelah pemasangan stoma namun karena pasien sempat sakit dan sulit mencari
kamar rawat inap sehingga pasien baru direncanakan untuk PSARP saat ini.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada riwayat penyakit dahulu
Riwayat Keluarga:
Kedua kakak pasien lahir dengan normal dan tidak ada kelainan serupa dengan pasien
atau kelainan bawaan lainnya. Di keluarga pasien juga tidak ada yang mrmiliki kelainan
serupa dengan pasien tetapi anak dari bibi pasien lahir dengan kaki yang panjang sebelah.
Riwayat Kehamilan:
Selama masa kehamilan, ibu pasien selalu memeriksakan kandungannya sesuai dengan
jadwal yang dianjurkan bidan puskesmas, total pemeriksaan kandungan pasien adalah
sebanyak 9 kali. Pasien mengatakan hasil pemeriksaan kandungan menurut bidan puskesmas
dalam keadaan sehat. Namun, ibu pasien diketahui mengalami penurunan Hb setiap kali
pemeriksaan kandungan, yaitu sekitar 10. Menurut ibu pasien, selama masa kehamilan dia
sering demam dan batuk-batuk. Pasien hanya mengkonsumsi obat batuk tablet dan antibiotik
dari dokter puskesmas selama hamil sedangkan riwayat mengkonsumsi obat-obatan lain atau
jamu-jamuan disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan cukup sering mengkonsumsi sayur
dan daging dan makanan lainnya yang telah dicuci bersih dan dimasak sampai benar-benar
matang. Pasien terutama sering mengkonsumsi sayur bayam. Pasien tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi alkohol. Ayah pasien adalah perokok tetapi selama ibu pasien sedang hamil,
ayah pasien tidak merokok di dekat ibu pasien. Selama masa kehamilan, ibu pasien tidak
pernah menjalani pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan radiologi lainnya kecuali usg
kandungan. Ibu pasien menggunakan KB pil trionordiol tetapi sempat tidak diminum
sehingga pasien hamil
3
Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan dengan bantuan bidan, cukup bulan, berat badan lahir 3700 gram,
panjang lahir 51 cm. Pasien tidak langsung menangis saat lahir. Riwayat sesak, biru dan
kuning setelah kelahiran disangkal.
Riwayat Imunisasi :
Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
Riwayat Nutrisi :
Pasien diberi ASI dari lahir hingga sekarang. Sejak usia 6 bulan pasien mulai diberikan
makanan tambahan berupa bubur bayi tiga kali sehari. Saat usia 1 tahun pasien mulai
mendapatkan makanan padat seperti nasi sebanyak tiga kali sehari.
Riwayat Sosial:
Pasien adalah anak ketiga dari 3 bersaudara. Jaminan pasien menggunakan kartu
Jakarta sehat.
1.3. Pemeriksaan Fisik (7 November 2013)
Kesadaran
: Kompos mentis.
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang.
BB
: 8.5 kg.
TB
: 73 cm.
Status Gizi
: Kurang (BB ideal : 9 Kg).
Nadi
: 120 kali/ menit.
Frekuensi napas
: 28 kali/menit.
Suhu
: 36,50C.
Kulit
: Turgor normal.
Kepala
: Tidak ada deformitas, normosefal.
Mata
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik.
Gigi dan Mulut
: Oral higiene baik.
Leher
: Tidak ada pembesaran KGB.
Jantung
: BJ I-II normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop.
Paru
: Vesikuler, tidak ada rhonki, tidak ada wheezing.
4
Abdomen
- Inspeksi
: Datar, terdapat stoma dengan produksi (+).
- Palpasi
: Lemas, tidak ada tahanan, hepar dan lien tidak teraba.
- Perkusi
: Timpani.
- Auskultasi
: Bising usus normal.
Ekstremitas
: Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada edema.
Genitalia dan anus : Tidak
terdapat
anus,
terdapat
dimple
anal,
terdapat
fistula
rectovestibular.
1.4.
Pemeriksaan Penunjang
1.4.1 Laboratorium
7-11-2013
Hb
: 8.8 g/dL
Ht
: 27.6 %
Eritrosit
: 4.31x106/ul
MCV
: 64 fL
MCH
: 20.4 pg
MCHC
: 31.9 g/dl
Leukosit
: 12.500 / mm3
Trombosit
: 535.000/mm3
5
Hitung jenis
Basofil
: 0.8 %
Eosiofil
: 7.9 %
Neutrofil
: 46.4 %
Limfosit
: 36.8 %
Monosit
: 8.1 %
Laju endap darah
: 100
Elektrolit
Na
: 136 meq/L
K
: 3.92 meq/L
Cl
: 97.3 meq/L
Hemostasis
PT
: 11,9 detik, kontrol : 11,3 detik
APTT
: 37.4 detik, kontrol : 31.6 detik
Ureum
: 10 mg/dL
Kreatinin
: 0,2 mg/ dL
SGOT
: 29 u/L
SGPT
: 5 u/L
Albumin
: 4.16 g/dl
GDS
: 81 mg/dL
6
1.4.2 Radiologi
Abdomen (10/8/2012)
Deskripsi
Pemeriksaan Radiografi babygram
Tampak gambaran udara di kedua paru. Tidak tampak infiltrate. Jantung kesan tidak
membesar dengan CTI 51% (normal 50-60%). Tulang tulang intak, tidak terdapat deformitas
pada tulang-tulang ekstrimitas.
Pemeriksaan radiografi abdomen 2 posisi:
Preperitoneal fat line kanan kiri suram. Psoas line dan kontur kedua ginjal tertutup
bayangan udara usus yang prominen. Distribusi udara usus tidak mencapai distal. Tampak
dilatasi dan penebalan dinding usus dengan multiple air fluid level Tidak tampak bayangan
radioopak pada proyeksi traktus urinarius. Tulang-tulang baik.
Kesimpulan
Kesan : ileus obstruktif.
Echocardiography (13/82012)
Deskripsi
Atrial situs solitus. Normal pulmonary dan drainase system vena. Aorta dan ruang
jantung normal. 4 ruang jantung seimbang. PFO (+), L shunt. Katup AV dan semilunar
7
normal. VSD dan PDA tidak ada. Kontraksi ventrikel baik (FS 41.6%, EF 75.%). Efusi
pericardial tidak ada
Kesimpulan
Jantung dalam batas normal
Audiometri (3/9/2013)
Hasil pemeriksaan
Ambang dengar telinga kiri
(1/AS) : 30dB (normal)
Ambang dengar telinga kanan
(2/AD) : 30 dB (normal)
Radiografi Pelvis 28/12/2012
Deskripsi
Kedudukan
tulang-tulang
pelvis masih baik. Struktur tulang
intak,
tdak
tampak
fraktur/destruksi tulang pelvis.
Tidak tampak defek pada korpus
vertebra yang tervisualisasi. Sendi
dakroiliaka, sendi coxae, dan
simfisis pubis masih baik, tak
tampak
dislokasi/subluksasi.
Jaringan lunak tidak tampak
kelainan.
Kesimpulan
Tidak tampak kelainan radiologis
8
Radiografi vertebra lumbosacral AP&Lateral (28/12/2013)
Deskripsi
Kedudukan
dan
kelengkungan vertebra masih baik.
Tak tampak listhesis. Struktur
tulang intak, tak tampak defek
maupun fraktur/destruksi. Celah
diskus
intervertebralis
tidak
menyempit. Sendi facet tak tampak
kelainan.
Jaringan
lunak
paravertebra tidak menebal.
Kesimpulan
Tak tampak kelainan radiologis
pada vertebra lumbal
USG abdomen (2/1/2013)
Deskripsi
Hepar bentuk dan ukuran normal. Permukaan regular, tepi lancip. Ekhogenitas
parenkim terlihat homogen, tak tampak lesi fokal. Vena porta, vena hepatica dan system
bilier tidak melebar. Tak tampak asites maupun efusi pleura. Kandung empedu bentuk dan
ukuran normal. Tak tampak batu/sludge. Pankreas bentuk dan ukuran normal. Tak tampak
lesi fokal. Duktus pankreatikus tidak melebar. Limpa bentuk dan ukuran normal. Ekhogenitas
homogeny. Vena lienalis tidak melebar. Aorta caliber masih baik. Kelenjar limfe paraorta
tidak membesar. Kedua ginjal bentuk dan ukuran normal. Diferensiasi korteks dan medulla
jelas. Sistem pelviokalises tidak melebar. Tidak tampak batu/lesi fokal. Vesika urinaria tidak
terisi penuh. Tak tampak batu/sludge.
Kesimpulan
Tak tampak kelainan pada organ-organ intraabdomen yang tervisualisasi.
9
Lopografi (16-4-2013)
Deskripsi
Dipasang marker 4 buah : marker segitiga pada stoma kolostomi kotor dan anal dimple,
marker segiempat pada stoma bersih, marker lingkaran pada vagina dan marker setengah
lingkaran pada OUE. Pada foto SNO, tidak tampak usus-usus yang distensi. Tak tampak
kalsifikasi patologis intra abdomen. dimasukan kontras sebanyak + 50 cc melalui kateter
folley dari stoma bersih. kotras mengalir lancar mengisi colon descenden distal , sigmoid,
sampai rektum. Tampak kontras mengisi saluran fistula yang berdinding regular dari rektum
ke vestibulum sepanjang + 2.51 cm. Tidak tampak leakage kontras ke rongga peritoneum.
Kesimpulan
Fistula rektovestibular sepanjang + 2.51 cm.
1.5. Masalah
- Atresia ani dengan fistula rektovestibular on colostomy.
10
1.6. Tatalaksana
- Rencana diagnosis : - Rencana terapi
: Pro PSARP (Posterior Sagital Anorektoplasti).
1.7. Prognosis
Ad vitam
: bonam.
Ad functionam
: dubia ad bonam.
Ad sanactionam
: bonam.
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anorektal
2.1.1 Embriologi
Usus belakang (hindgut) yang terbentuk dari usus primitif menghasilkan sepertiga
distal kolon transversum, kolon desendens, kolon sigmoideum, rektum, dan bagian tas kanalis
analis. Endoderm usus belakang juga membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.1
Bagian terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis
anorektalis primitif; alantosis masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitf.
Kloaka merupakan suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan pada batas ventralnya
dibungkus oleh ektoderm permukaan. Batas antara ektoderm dan endoderm ini membentuk
membran kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale, memisahkan regio antara
alantosis dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan mesoderm yang menutupi
yolk sac dan alantosis di sekitarnya. Seiring dengan pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya
lipatan di kaudal, ujung septum urorektale akhirnya berada dekat dengan membran kloakalis,
meskipun kedua struktur tidak pernah berkontak. Pada akhir minggu ketujuh, membrana
kloakalis pecah, menciptakan lubang anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk
sinus urogenitalis. Di antara keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal.1
Pada saat ini, proliferasi ektoderm menutupi bagian paling kaudal kanalis analis. Selama
minggu kesembilan, regio ini mengalami rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis
analis berasal dari ektoderm, dan diperdarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri
pudenda interna. Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan diperdarahi oleh
arteri rektalis superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior, yaitu arteri usus
belakang.1
Taut antara regio endoderm dan ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata,
tepat di bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel
gepeng berlapis.1
12
Gambar 2-1. Embriologi Anorektal.2
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi
Kanalis analis berukuran panjang sekitar 3 cm dengan sumbu yang mengarah ke
ventrokranial, yaitu ke arah umbilikus. Kanalis analis membentuk sudut ke arah dorsal
dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi, sudut anorektum tersebut menjadi
lebih besar. Di daerah batas atas kanalis anus (garis anorektum, garis mukokutan, linea
pektinata, atau linea dentata), terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna
rektum. Apabila terjadi infeksi di bagian tersebut, dapat menimbulkan abses anorektum yang
dapat membentuk fistel. Pada pemeriksaan colok dubur, lekukan antar-sfingter sirkuler dapat
diraba di dalam kanalis analis yang menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter
ekstern (garis Hilton).2
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan
sfingter ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin tersebut terbentuk karena penyatuan sfingter
intern, otot longitudinal, bagian tengah otot levator (puborektalis), dan komponen otot
sfingter eksternus. Otot sfingter internus terdiri atas serabut otot polos sedangkan otot sfingter
eksternus terdiri atas serabut otot lurik.2
a) Sistem Arteri
Rektum diperdarahi oleh arteri hemoirodalis superior, medialis, dan inferior. Arteri
hemoirodalis superior, yang terbagi menjadi dua cabang utama kiri dan kanan, merupakan
kelanjutan langsung aretri mesenterika inferior. Cabang kanan bercabang lagi sehingga
terapat tiga cabang akhir dari arteri hemoirodalis superior.2
Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan anterior arteri iliaka interna
sedangkan arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang arteri pudenda interna.
Anastomosis antara arkade pembuluh inferior dan superior menjadi sirkulasi kolateral yang
bermakna penting pada tindakan bedah atau sumbatan aterosklerotik di daerah percabangan
13
aorta dan arteri iliaka. Sedangkan anastomosis tersebut ke pembuluh kolateral hemoroid
inferior dapat menjamin perdarahan di kedua ekstremetas bawah. Perdarahan di pleksus
kolateral merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah sehingga perdarahan dari hemoroid
intern menghasilkan darah segar yang berwarna merah dan bukan darah vena yang berwarna
kebiruan.2
b) Sistem Vena
Sistem vena pada rektum terdiri dari vena hemoroidalis superior dan inferior. Vena
hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidlais internus dan berjalan ke arah kranial
ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena
ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Vena
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam vena iliaka interna dan sistem kava.2
c) Sistem Limfa
Pembuluh limfa dari kanalis analis membentuk pleksus halus yang menyalirkan isinya
menuju ke kelenjar limfa inguinal dan terus mengalir sampai ke kelenjar limfa iliaka.
Pembuluh limfa dari rektum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan vena
hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior dan aorta.2
d) Persarafan
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari
ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Unsur simpatis pleksus ini menuju
ke arah struktur genital dan serabut otot polos yang mengendalikan emisi air mani dan
ejakulasi. Persarafan parasimpatik (nervi erigentes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga,
dan keempat. Serabut saraf ini menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta
mengendalikan ereksi dengan cara mengatur aliran darah ke dalam jaringan ini. Muskulus
puborektal mempertahankan sudut anorektum; otot ini mempertajam sudut tersebut bila
meregang dan meluruskan usus bila mengendur.2
e) Kontinensia
Kontinensia anus bergantung pada konsistensi feses, tekanan di dalam anus, tekanan di
dalam rektum, dan sudut anorektal. Makin encer feses, makin sukar untuk menahannya di
dalam usus. Tekanan pada suasana istirahat di dalam anus berkisar antara 25-100 mmHg dan
14
di dalam rektum antara 5-20 mmHg. Jika sudut antara rektum dan anus lebih dari 80 derajat,
feses sukar dipertahankan.2
f) Defekasi
Pada suasana normal, rektum kosong. Pemindahan feses dari kolon sigmoid ke dalam
rektum kadang-kadang dicetuskan oleh makan, terutama pada bayi. Isi sigmoid yang masuk
ke dalam rektum akan dirasakan oleh rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk
defekasi. Rektum mempunyai kemampuan khas untuk mengenal dan memisahkan bahan
padat, cair, dan gas.2
Sikap badan sewaktu defekasi, yaitu sikap duduk atau jongkok, mempunyai pengaruh
penting. Defekasi terjadi akibat refleks peristalsis rektum, dibantu oleh mengedan dan
relaksasi sfingter anus eksterna.2
Syarat untuk defekasi normal adalah persarafan sensibel untuk sensasi isi rektum dan
persarafan sfingter anus untuk kontraksi dan relaksasi yang utuh, peristalsis kolon dan rektum
tidak terganggu, dan struktur anatomi organ panggul yang utuh.2
2.2. Malformasi Anorektal
2.2.1 Definisi
Malformasi anorektal merupakan penyakit kelainan bawaan dimana bagian terminal
usus belakang (hindgut) terletak sebagian atau seluruhnya di luar mekanisme sfingter, yang
dapat mengenai anak laki-laki dan perempuan, dan melibatkan anus dan rektum distal serta
saluran kemih dan kelamin. Kecacatan yang terjadi dapat sangat ringan dan mudah diobati
dengan prognosis fungsional yang sangat baik. Namun dapat pula berupa kelainan yang
kompleks dan sulit untuk ditangani, sering dikaitkan dengan kelainan lainnya, dan memiliki
prognosis fungsional yang buruk.3,4
2.2.2 Epidemiologi
Insidens malformasi anorektal berkisar antara 1:3300 hingga 1:5000 kelahiran hidup.
Di negara barat, 55%-70% dari pasien malformasi anorektal adalah laki-laki dimana
malformasi yang terjadi pada laki-laki cenderung lebih berat.4,5,6
15
2.2.3 Etiologi
Etiologi malformasi anorektal masih belum jelas tetapi kemungkinan dipengaruhi oleh
banyak faktor (multifaktorial). Kelainan genetik diperkirakan merupakan salah satu penyebab
terjadinya malformasi anorektal. Pada awal tahun 1950-an, diketahui bahwa ada peningkatan
risiko lahir dengan malformasi pada saudara dari pasien malformasi anorektal, yaitu 1:100,
sedangakan pada populasi umum 1:5000. Setelah itu, terdapat laporan bahwa 2 atau lebih
anggota keluarga mengalami malformasi anorektal. Mutasi dari berbagai gen tertentu juga
diperkirakan berhubungan dengan malformasi anorektal, misalnya pada pasien-pasien yang
mengalami sindrom Townes-Broks, sindrom Currarino, sindrom Pallister-Hall, dan sindrom
Down. Diketahui hampir 95% pasien dengan sindrom Down dan malformasi anorektal
mengalami anus imperforata tanpa fistula dibandingkan dengan hanya 5% dari semua pasien
dengan malformasi anorektal.4
2.2.4 Patofisiologi
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, penyatuan, dan
pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak
ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun, pada agenesis anus, sfingter
interna mungkin tidak memadai.1
Kelainan bawaan rektum terjadi karena adanya gangguan pemisahan kloaka menjadi
rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan
septum urorektal yang memisahkannya. Pada saluran kemih dan saluran genital dapat terjadi
fistel. Pada kelainan rektum yang tinggi, sfingter interna tidak ada sedangkan sfingter
eksterna mengalami hipoplasia.1
2.2.5 Klasifikasi
Berdasarkan letak ujung atresia terhadap otot dasar panggul, anomali dibagi menjadi
supralevator, intermedia dan rendah. Pada kelainan rendah (atau distal), rektum menembus
otot levator anus sehingga jarak antara kulit dengan ujung rektum paling jauh 1 cm. Kelainan
intermedia merupakan kelainan menengah; ujung rektum mencapai tingkat otot levator anus
tetapi tidak menembusnya, sedangkan kelainan supralevator yang disebut kelainan tinggi
(atau proksimal) tidak mencapai tingkat otot levator anus, dengan jarak antara ujung buntu
rektum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.1
16
2.2.6 Diagnosis
A. Pemeriksaan Klinis
1. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan rutin tetap harus dilakukan untuk mencari kelainan lain. Lebih dari
50% penderita mempunyai kelainan kongenital ditempat lain. Kelainan yang sering
ditemukan adalah pada traktus genito urinarius 28%, kelainan jantung 74%, traktus
gastrointestinal (misalnya atresia esofagus 9% dan atresia duodenum 7%), serta tulang
(misalnya tulang radius tidak ada).1
2. Pemeriksaan khusus untuk kelainan anorektal
a) Pemeriksaan pada perempuan
Umumnya pada 80-90% wanita ditemukan fistula ke vestibulum atau vagina, hanya
pada 10-20% tidak ditemukan fistula.
 Golongan I:
1) Kloaka
Kelainan ini merupakan malformasi yang kompleks. Malformasi kloaka
merupakan kelainan dimana rektum, vagina, dan traktus urinarius bertemu dan menyatu
menjadi satu saluran. Kelainan ini perlu dicari pada perempuan yang lahir dengan anus
imperforata dan genital yang terlihat kecil. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna
sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.1,3,5
Gambar 2-2. Kloaka persisten.3
2) Fistula Vagina
Mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses bisa tidak lancar, sebaiknya
cepat dilakukan kolostomi.1,5
17
3) Fistula Rektovestibular
Fistula rektovestibular merupakan kelainan yang sering terjadi pada perempuan
dan mempunyai prognosis fungsional yang baik. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan
klinis. Inspeksi pada genitalia neonatus dapat ditemukan meatus uretra dan vagina yang
normal dengan adanya lubang ketiga di vestibular (fistula rektovestibular). Umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat
saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat dilakukan bila penderita
dalam keadaan optimal.1,3,5
Gambar 2-3. Fistula rektovestibular.
4) Atresia Rekti
Kelainan di mana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur, jari
tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu dilakukan
kolostomi.1,5
5) Tanpa Fistula
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses sehingga
perlu dilakukan kolostomi.1,5
 Golongan II
1) Fistula Rektoperineal
Terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana kloaka anus normal. Dapat
berbentuk anus anterior, tulang anus tampak normal, tetapi marka anus yang rapat
terdapat di posteriornya. Rektum masih berada dalam mekanisme sfingter kecuali
bagian paling bawah (distal) berada di anterior. Rektum dan vagina merupakan bagian
yang terpisah.1,3,5
18
Gambar 2-4. Fistula Perineum pada perempuan.3
2) Stenosis Ani
Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak
lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan terapi definitif.1,5
3) Tanpa Fistula
Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Tidak ada evakuasi feses sehingga
perlu segera dilakukan kolostomi.1,5
b) Pemeriksaan pada laki-laki
Perlu diperhatikan hal-hal, sebagai berikut: Perineum (bentuk dan adanya fistel) dan
urin (ada tidaknya butir-butir mekonium di urin). Dari kedua hal tersebut di atas, pada
anak laki-laki, dapat dibuat golongan-golongan sebagai berikut:
 Golongan I
1) Fistula Rektouretra dan Vesika Urinaria
Anus imperforata dengan fistula rektouretra merupakan kelainan tersering pada
laki-laki. Fistula dapat terletak rendah (bulbar) dan tinggi (prostat) pada uretra. Bagian
di atas uretra memiliki dinding yang bersamaan dengan rektum dan uretra. Semakin
rendah letak fistula, semakin panjang dinidng tersebut. Rektum biasanya melebar dan
dikelilingi otot levator pada lateral dan posterior. Antara rektum dan kulit perineum,
terdapat kompleks otot yang apabila berkontraksi akan mengangkat lekukan anal. Pada
bagian setinggi kulit, terdapat serat otot parasagital yang terletak di kedua sisi midline.
Fistula uretra rendah dikaitkan dengan otot yang baik, sakrum yang berkembang baik,
prominent midline groove, dan prominent anal dimple. Fistula uretra tinggi sering
dikaitkan dengan kualitas otot kurang baik, sakrum dengan perkembangan yang
abnormal, dan lekukan anal yang terlihat dengan mata telanjang. Tampak mekonium
19
keluar dari orifisium uretra eksternum. Fistula dapat terjadi bila terdapat fistula baik ke
uretra ataupun ke vesika urinaria. Cara praktis untuk membedakan lokasi fistel adalah
dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak di uretra yang terhalang kateter. Bila dengan kateter, urin berwarna hijau,
berarti fistel ke vesika urinaria. Evakuasi feses tidak lancar sehingga penderita
memerlukan kolostomi segera.1,3,5
2) Atresia Rekti
Lumen rektum dapat tertutup secara total (atresia) atau parsial (stenosis). Pasien
mempunyai sensasi normal pada anorektum dan mempunyai prognosis fungsional yang
baik.1,5
3) Perineum Datar
Menunjukkan bahwa otot yang berfungsi untuk kontinensia tidak terbentuk
sempurna.1,5
4) Tanpa Fistula
Udara > 1 cm dari kulit pada invertogram. Karena tidak ada evakuasi feses maka
perlu segera dilakukan kolostomi.1,5
 Golongan II
1) Fistula Rektoperineal
Fistula rektoperineal atau disebut juga kelainan rendah. Rektum terletak pada
mekanisme sfingter. Hanya bagian terbawah rektum yang mengalami mislokasi di
anterior. Diagnosis ditegakkan dengan inspeksi perineum.1,3,5
Gambar 2-5. Fistula perineum pada laki-laki.3
20
2) Membran Anal
Anus tertutup selaput tipis dan sering tampak bayangan jalan mekonium di bawah
kulit. Evakuasi feses tidak ada. Secepat mungkin sebaiknya dilakukan terapi definitif.1,5
3) Stenosis Ani
Lubang anus terletak di lokasi normal, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak
lancar. Sebaiknya secepat mungkin lakukan terapi definitif.1,5
4) Bucket Handle (Gagang Ember)
Daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi
feses tidak ada. Perlu secepatnya dilakukan terapi definitif.1,5
5) Tanpa Fistula
Udara < 1 cm dari kulit pada invertogram. Pada pasien ini, sakrum dan otot
berkembang dengan baik serta prognosis yang baik pada fungsi usus. Meskipun rektum
dan uretra tidak bertemu tetapi keduanya hanya dipisahkan oleh dinding yang tipis
(common wall).Tidak ada evakuasi feses sehingga perlu segera dilakukan kolostomi.1,5
B. Pemeriksaan Penunjang
Pada 10-20% penderita tanpa fistula harus dilakukan pemeriksaan radiologis
invertogram. Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak puntung distal
rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kuliit peritoneum.
Sewaktu foto diambil, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah) atau tidur telungkup,
dengan sinar horizontal diarahkan ke trokanter mayor. Selanjutnya diukur jarak dari ujung
udara yang ada di ujung distalrektum ke tanda logam di perineum. Invertogram dipakai untuk
menentukan golongan malformasi. Biasanya dipakai klasifikasi Wingspread sebagai
penggolongan anatomi.1,3,5
Gambar 2-6. Foto polos cross-table lateral.3
21
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah USG abdomen untuk mengevaluasi
kelainan saluran kemih. Pada kasus kloaka yang persisten, dapat ditemukan vagina yang
distended (hyddrocolpos). Foto polos spina dapat menunjukkan adanya kelainan spinal
misalnya spina bifida dan spinal hemivertebra. Foto polos pada sakrum dengan proyeksi AP
dan lateral dapat menunjukkan kelainan sakrum seperti hemisacrum dan sacral hemivertebra.
Dari gambar foto polos sakrum, juga dapat menilai rasio sakral yang berhubungan dengan
prognosis (Rasio normal 0,74 (0,7-0,8)).1,3,4
2.2.7 Tata Laksana
Prinsip pengobatan pada malformasi anorektal adalah dengan operasi definitif berupa
anoplasti dengan atau tanpa dilakukan kolostomi sebelumnya. Dalam pengambilan keputusan
untuk melakukan anoplasti pada neonatus atau penundaan operasi dengan dilakukan
kolostomi sebelumnya adalah bergantung pada pemeriksaan fisik pada perineum dan
perubahan yang terjadi selama 24 jam kehidupan. Setelah bayi lahir, tatalaksana awal adalah
dengan diberikan cairan intravena dan antibiotik serta pemasangan NGT untuk dekompresi
guna mencegah muntah dan aspirasi. 4,7
Evaluasi pada neonatus laki-laki4,7
Inspeksi pada perineum merupakan hal penting untuk mengetahui letak kelainan.
Pasase mekonium melalui fistula dan memberikan petunjuk dimana lokasi fistula. Namun
dibutuhkan tekanan yang signifikan dari intraluminal untuk dapat mengeluarkan mekonium
melalui fistula sehingga mekonium tidak langsung muncul pada beberapa jam kehidupan.
Jika neonatus menunjukan adanya fistula perineal, maka dapat segera dilakukan
posterior sagital rectoanoplasti (PSARP) tanpa kolostomi dalam waktu 48 jam kehidupan.
Jika mekonium tidak terlihat dalam waktu 24 jam maka dapat dilakukan pemeriksaan crosstable radiograph dengan posisi prone. Jika udara di rektum berada dibawah coccyx maka
dapat dilakukan operasi posterior sagital tanpa dilakukan kolostomi. Namun jika udara
rektum tidak melewati coccyx atau terdapat mekonium pada urin, sacrum abnormal, atau
bokong rata maka disarankan untuk dilakukan kolostomi. PSARP dapat dilakukan setelah
bayi berusia 1-3 bulan supaya bayi sudah memiliki berat badan yang cukup.
22
Gambar 2-7. Algoritma tatalaksana neonatus laki-laki dengan malformasi anorektal7
Evaluasi pada neonatus perempuan4,7
Jika pada inspeksi perineal ditemukan satu orifisium maka dapat disimpulkan pada
neonatus terdapat kloaka. Kloaka memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mendapat kelainan
urologi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urologi lengkap serta lengkap dengan USG
abdomen untuk melihat adanya hydronephrosis dan hydrocolpos. Pasien dengan kloaka perlu
dilakukan kolostomi. Saat dilakukan kolostomi perlu juga dilakukan drainase hydrocolpos
jika ada.
Pada neonatus dengan rectovestibular fistula,. tatalaksana yang paling aman bagi pasien
adalah dengan dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Kolostomi perlu dilakukan untuk
mencegah komplikasi infeksi dan pecah. Jika operasi definitive dilakukan tanpa kolostomi
terlebih dahulu maka diperlukan preoperative berupa irigasi saluran cerna selama 24 jam
untuk memastikan saluran cerna bersih.
Jika ditemukan perineal fistula dapat perlu dilakukan anoplasti primer tanpa kolostomi.
Jika fistula tidak terlihat dan mekonium tidak muncul dalam waktu 24 jam, maka perlu
dilakukan cross table prone radiografi. Jika pada hasl radiografi didapatkan udara hingga
mendekati kulit maka pada pasien terdapat fistula perineal yang sangat dangkal. Namun jika
udara berada 1 hingga 2 cm diatas kulit maka pada pasien terdapat stresia ani tanpa fistula.
Jika pada neoatus terdapat rectovestibular atau rectoperineal fistula dengan adanya
kelainan lain yang berhubungan dan sedang sakit maka dapat dilakukan dilatasi pada fistula
23
terlebih dahulu untuk mengosongkan kolon. Terapi deinitif dapat dilakukan beberapa bulan
kemudian.
Gambar 2-8. Algoritma tatalaksana neonatus perempuan dengan malformasi anorektal7
Kolostomi
Kolostomi yang paling tepat untuk malforasi anorektal adalah dengan descenden atau
upper sigmoid kolostomi dibanding dengan ascenden atau trasverse kolostomi. Bagian stoma
proksimal terhubung dengan traktus gastrointestinal atas untuk mengalirkan tinja.. Kolostomi
dibuat untuk dekompresi serta perlindungan bagi rekontruksi akhir untuk kelainan ini. Selain
itu kolostomi juga digunakan untuk kolostogram distal sebagai diagnostik yang paling akurat.
Keuntungan pembuatan kolostomi pada bagian distal adalah dibutuhkan sedikit bagian usus
yang tidak berfungsi dan penyerapan akan lebih baik jika kolostomi berada di bagian distal
kolon.7
Anoplasti
Terdapat beberapa teknik untuk memperbaiki malformasi congenital seperti diseksi
endorektal, anterior perineal approaches dan tipe lain dari anoplasti. Namun sekarang yang
paling sering digunakan adalah melalui pendekatan posterior sagital yang disebut dengan
posterior sagital anorektoplasti (PSARP).7 Prinsip operasinya adalah bayi diletakan dalam
posisi tengkurap dengan elevasi pelvis. Sayatan dilakukan di perineum pada garis tengah
yang dimulai dari ujung koksigeus hingga anterior anus. Dalam operasi tetap dilakukan pada
garis tengah untuk menghindari kerusakan saraf.. Ahli bedah juga harus mengenal serta
melalukan preservasi pada seluruh otot.5
24
BAB 3
DISKUSI
Pada usia 2 hari, pasien dibawa ke IGD RSCM atas rujukan bidan dekat rumahnya,
dengan keluhan BAB semakin sedikit, perut pasien yang semakin membesar dan mengeras,
dan mengalami muntah beberapa saat setelah diberikan ASI yang awalnya berwarna putih
kemudian lama kelamaan menjadi kehijauan. Sejak lahir, pasien diketahui tidak memiliki
anus tetapi masih bisa BAB melalui lubang yang berada di antara lubang kemaluan dan
lekukan anus. BAK tidak ada keluhan dan tidak disertai adanya kotoran tinja yang keluar dari
saluran kencing ketika BAK atau tidak.
Berdasarkan keterangan tersebut, dipikirkan pasien mengalami obstruksi mekanik
akibat atresia ani dengan adanya fistula perianal. Fistula perianal dapat terjadi karena
kelainan kongenital malformasi anorektal atau perforasi/penyaliran abses akibat infeksi
anorektal. Fistula perianal pada pasien ini dikirkan merupakan suatu kelainan kongenital
karena sudah ada sejak lahir dan tidak terdapat riwayat keluar nanah dari fistula tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan anamnesis, dipikirkan dua daftar masalah yang masih mungkin
terjadi terkait dengan kelainan kongenital malformasi anorektal, yaitu atresia ani dengan
fistula perineal dan atresia ani dengan fistula rektovestibular.
Pada pemeriksaan fisik daerah genital dan anus, didapatkan tidak ada lubang anus pada
pasien tetapi masih terdapat lekukan anus. Selain itu, didapatkan adanya fistula yang
berlokasi di bagian vestibular di antara vagina dan anus. Sehingga setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, dipikirkan masalah yang dialami pasien adalah atresia ani dengan fistula
vestibular.
Berdasarkan masalah yang dipikirkan tersebut, yaitu atresia ani dengan fistula
vestibular, rencana pemeriksaan penunjang yang dipikirkan adalah pemeriksaan-pemeriksaan
untuk menyingkirkan kelainan kongenital lain yang biasa terjadi bersamaan dengan
malformasi anorektal, seperti pemeriksaan sakrum, esofagus, ekokardiografi, USG ginjal dan
abdomen, USG spinal, dan lumbal. Pada pasien ini, pemeriksaan yang telah dilakukan adalah
radiografi babygram (10/8/12) dengan kesan ileus obstruktif; ekokardiografi (13/8/12),
radiografi pelvis (28/12/12), radiografi lumbosakral (28/12/12), USG abdomen (2/1/13) dan
audiometri (3/9/13) tidak ada kelainan; dan lopografi (16/4/13) dengan kesan fistula
rektovestibular sepanjang ± 2,51 cm. Dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada
pasien, diketahui tidak terdapat kelainan kongenital lain yang terjadi pada pasien.
25
Penanganan awal pada saat pasien mengalami obstruksi mekanik adalah mengatasi
kemungkinan dehidrasi, mencegah infeksi, dan dekompresi. Tindakan dekompresi yang dapat
dilakukan apabila terdapat fistula adalah dengan dilatasi fistula apabila fistula masih adekuat.
Oleh karena itu, pada pasien ini diberikan resusitasi cairan, antibiotik gentamisin dan
amoksiklav, dan pemasangan NGT serta spooling setiap 6 jam sekali. Namun, karena pada
hari kelima perawatan, evakuasi feses dengan cara spooling tidak lagi berhasil kemudian
direncanakan dibantu dengan dilatasi fistula. Pada fistula kemudian dipasang rectal tube dan
dilanjutkan spooling setiap 6 jam.
Selanjutnya pasien direncanakan untuk kolostomi pada usia 3 bulan. Namun, saat usia
tersebut pasien mengalami batuk pilek sehingga kolostomi baru dilaksanakan pada saat usia
pasien 4 bulan. Menurut Wingspread, pada pasien dengan fistula retrovestibular, kolostomi
sebaiknya dilakukan pada saat neonatus sehingga pada pasien ini terdapat keterlambatan. Hal
ini kemungkinan disebabkan karena pada pasien dilakukan dilatasi fistula terlebih dahulu.
Pemasangan kolostomi dilakukan sebagai kolostomi perlindungan / sementara sebelum
dilakukan terapi definitif. Pelaksanaan terapi definitif dapat langsung dilakukan tanpa
kolostomi namun dapat mengakibatkan risiko seperti infeksi perineum karena penyatuan pada
anus dan rekurensi fistula yang dapat mengakibatkan fibrosis sehingga mengganggu fungsi
sfingter. Jika hal ini terjadi maka tidak akan terbentuk fungsi yang optimal dan jika dilakukan
operasi kedua maka prognosisnya akan lebih buruk. Sehingga kolostomi merupakan pilihan
yang tepat untuk mencegah komplikasi tersebut.
Untuk selanjutnya pasien direncanakan dilakukan terapi definitif berupa PSARP
(posterior sagital anorektoplasti). Menurut wingspread, terapi definitif sebaiknya dilakukan
pada saat pasien berusia 4-6 minggu. Namun pada pasien dilakukan setelah 9 bulan kolostomi
yaitu saat pasien berusia 15 bulan. Hal ini disebabkan karena pasien sulit mendapat ruangan.
Padahal sebelumnya operasi direncanakan 2 bulan setelah pasien memasang kolostomi yaitu
sekitar usia 6 bulan.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman: Sistem pencernaan. Edisi ke-10. Jakarta: EGC.
2009. hlm. 265-267.
2. Riwanto I, Hamami AH, Pieter J, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Usus halus, apendiks, kolon,
dan anorektum. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R,
penyunting. Dalam Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC. 2007. hlm. 781-786.
3. Peña A, Levitt MA. Anorectal anomalies. Puri P, Höllwarth M, penyunting. Dalam: Pediatric
surgery. Berlin: Springer. 2006. hlm. 289-312.
4. Levitt MA, Peña A. Anorectal malformations. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33.
5. Thayeb A. Malformasi anorektal. Reksoprodjo S, penyunting. Dalam Kumpulan kuliah ilmu
bedah. Jakarta: Binarupa Aksara. hlm. 137-141.
6. Rintala RJ. Congenital anorectal malformations: anything new?. J Pediatr Gastroenterol Nutr,
Vol. 48, Suppl. 2, April 2009.
7. Holcomb GW, Murphy JP. Ashcrafts’s pediatric surgery. 5th edition. United States of
America: Elsevier ; 2010. p.474-8.
27
Download
Study collections