Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1.
Elektrolisis
Elektrolisis adalah proses yang menggunakan energi listrik, agar reaksi kimia
yang tidak berlansung secara remodinamika, dapat dibuat berlangsung.
Sedangkan sel elektrolisis ialah alat untuk melaksanakan elektrolisis (Dogra,
1990), atau dapat juga dikatakan sel elektrolisis adalah sel dimana energi listrik
digunakan untuk berlangsungnya suatu reaksi kimia (Ahmad, 1992).
Agar elektrolisis dapat terjadi biasanya diperlukan potensial yang lebih besar dari
harga potensial reduksi standarnya, yang biasanya disebut sebagai potensial lebih
(overvoltage). Potensial lebih merupakan ukuran energi pengaktifan bagi reaksi
elektroda (Ahmad, 1992). Ketika perbedaan antara potensial dekomposisi dan
potensial dekomposisi reversibel menjadi cukup besar, satu atau kedua elektroda
tidak bertindak reversibel, maka dikatakan bahwa elektroda tersebut terpolarisasi.
Kondisi ini mungkin hasil dari perubahan konsentrasi di sekitar elektroda atau dari
suatu tahap lambat dalam reaksi elektroda (Timm, 1947).
Menurut Sukardjo (2002) polarisasi dibagi menjadi dua, yaitu polarisasi
konsentrasi yang disebabkan oleh perubahan konsentrasi di sekitar elektroda dan
polarisasi potensial lebih yang disebabkan oleh jenis elektroda dan proses yang
terjadi di permukaannya.
Perbedaan konsentrasi pada kedua elektroda akibat
elektrolisis, menyebabkan timbulnya beda potensial. Beda potensial ini dapat
melawan potensial dari luar. Namun perbedaan konsentrasi ini diperkecil oleh
adanya aliran ion.
Potensial lebih akan meningkat dengan meningkatnya rapat arus. Reaksi pada
elektroda yang menghasilkan gas, memerlukan potensial lebih yang besar
(Ahmad, 1992).
Potensial lebih untuk gas klor pada anoda sangat kecil,
sedangkan potensial lebih untuk oksigen lebih besar. Potensial lebih beberapa gas
diberikan dalam Tabel II.1 di bawah ini:
6
Tabel II.1 Potensial lebih beberapa gas pada 25oC
I (mA/cm2)
Gas
-
Hidrogen
1
Oksigen
10
Oksigen
Pt-Pt hitam
Pt halus
Grafit
~0,00a
0,40b
0,02a
0,60a
0,72b
-
0,85
b
-
1,16
b
-
0,52
b
b
50
Oksigen
0,61
100
Oksigen
0,64b
1,28b
-
1000
Klor
0,07b
0,24b
0,50b
a. Timm, 1992
b. Sukardjo, 2002
Pengaruh konsentrasi pada potensial elektroda ditunjukkan oleh persamaan Nernst
di bawah ini (Ahmad, 1992):
Dalam persamaan ini E adalah potensial elektroda dalam volt, Eo adalah potensial
elektroda standar (reversibel) dalam volt, R adalah konstanta gas ( 8,314 JK-1
mol-1 ), T adalah temperatur mutlak (K), n adalah perubahan valensi (banyaknya
elektron) yang terlibat dalam reaksi sel, dan F adalah tetapan Faraday (96500
coulomb). Sedangkan untuk menghitung besarnya potensial sel minimum yang
dibutuhkan agar elektrolisis dapat terjadi, dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan II.2 dibawah ini (Basset dkk., (1994):
Dalam persamaan ini, Eterp
= potensial yang harus diberikan (volt)
Ekat
= potensial pada katoda dalam kesetimbangan (volt)
Ean
= potensial pada anoda dalam kesetimbangan (volt)
Epk
= potensial lebih pada katoda (volt)
Epa
= potensial lebih pada anoda (volt)
I
= arus (A)
R
= hambatan larutan (ohm)
7
II.2.
Elektroda
Pada beberapa sel elektrolisis, elektroda adalah komponen utama pada sistem.
Elektroda dimasukkan ke dalam elektrolit dan salah satunya sebagai sumber
positif (anoda) dan yang lain sebagai sumber negatif (katoda). Fungsi elektroda
adalah sebagai tempat terjadinya reaksi reduksi atau oksidasi. Elektroda dapat
terbuat dari beberapa material seperti baja stainless, titanium, platina, nikel dan
karbon (Kothari dkk., 2007).
Dalam proses elektrolisis, elektroda dikategorikan dalam dua tipe yaitu elektroda
inert dan elektroda aktif. Elektroda inert tidak berpartisipasi dalam reaksi kimia
dan hanya menyediakan permukaan, dimana transfer elektron dapat terjadi.
Elektroda inert tidak mengalami perubahan selama elektrolisis.
Platina dan
karbon adalah elektroda yang sering digunakan sebagai elektroda inert. Elektroda
aktif secara kimia berpartisipasi dalam reaksi redoks. Elektroda baja dan tembaga
dikategorikan sebagai elektroda aktif karena mereka berpartisipasi aktif dalam sel
elektrolisis. Suatu saat mereka menunjukkan masalah korosi, ini terjadi ketika
larutan elektrolit yang digunakan adalah larutan alkaline dan air asin dengan
variasi konsentrasi (Kothari dkk., 2007).
Elektroda yang digunakan pada elektrolisis air, harus mempunyai sifat-sifat di
bawah ini (Hussein, 1992):
a.
Konduktor elektronik yang bagus.
b.
Permukaan katalitik yang sesuai untuk keluarnya hidrogen atau ion hidroksil.
c.
Mempunyai permukaan yang luas.
d.
Mempunyai kemampuan yang cukup untuk melepaskan gas hidrogen yang
dihasilkan dan memisahkan dari elektrolit pada elektrolisis.
8
II.3.
Elektrolit
Terjadinya proses elektrolisis air atau suatu larutan adalah karena adanya ion-ion
elektrolit dalam larutan. Elektrolit umumnya dibagi menjadi dua, yaitu elektrolit
kuat dan lemah.
II.3.1 Elektrolit kuat
Elektrolit kuat adalah zat yang terionisasi sempurna dalam larutan, yang meliputi
padatan ion, asam kuat dan basa kuat.
Sebagai hasil pengionan sempurna,
konsentrasi ion dalam larutan sebanding dengan konsentrasi elektrolit yang
ditambahkan. Pada konsentrasi rendah, konduktivitas molar elektrolit kuat
mentaati hukum Kohlrausch, yaitu bahwa konduktivitas molar sebanding dengan
akar dari konsentrasi, dan dituliskan dalam bentuk persamaan II.3 di bawah ini
(Atkins, 1999):
Dalam persamaan di atas, Λom merupakan konduktivitas molar pembatas, yaitu
konduktivitas molar dalam limit konsentrasi (jika ion tidak berantaraksi),
sedangkan μ adalah koefisien yang bergantung pada stoikiometri elektrolit
(apakah itu berbentuk MA, atau M2A dan seterusnya).
Kohlrausch juga
membuktikan bahwa Λom dapat dinyatakan sebagai jumlah kontribusi dari ion
individualnya. Jika konduktivitas molar pembatas kation dinyatakan dengan λ +
dan untuk anion dinyatakan dengan λ- , maka hukum migrasi bebas ion dapat
diungkapkan dalam persamaan II.4 di bawah ini (Atkins, 1999):
Dengan ν+ dan ν- merupakan jumlah kation dan anion persatuan rumus elektrolit
(ν+ = ν- = 1 untuk HCl, NaCl dan CuSO4, tetapi ν+ = 1, ν- = 2 untuk MgCl2).
9
Konduktivitas molar pembatas untuk beberapa elektrolit kuat diberikan dalam
Tabel II.2 di bawah ini (Atkins, 1999):
Tabel II.2 Konduktivitas ion pembatas dalam air pada 25oC (Atkins, 1999)
Li+
Konduktivitas
(S cm2 mol-1)
38,7
Anion
Konduktivitas
(S cm2 mol-1)
Na+
50,10
73,50
Cl-
76,35
Mg2+
106,0
SO42-
160,0
Ca2+
119,0
OH-
199,1
2+
127,2
+
349,6
Kation
K
+
Ba
H
III.3.2 Elektrolit lemah
Elektrolit lemah adalah zat yang tidak terionisasi sempurna dalam larutan.
Penggandaan konsentrasi nominal elektrolit lemah, tidak menggandakan jumlah
ion tersebut dalam larutan, karena dipengaruhi derajat ionisasinya.
Zat ini
meliputi asam Bronsted lemah seperti CH3COOH dan basa Bronsted lemah
seperti NH3 (Atkins, 1999).
II.4.
Gerakan Ion
Gerakan ion dalam larutan dapat dipelajari dengan mengukur konduktivitas listrik
dari larutan elektrolit. Migrasi kation menuju elektroda bermuatan negatif dan
anion menuju elektroda bermuatan positif membawa muatan melalui larutan. Jika
dua elektroda yang terpisah dengan jarak berada pada beda potensial ∆Φ, maka
ion dalam larutan di antara kedua elektroda itu, mengalami medan listrik seragam
yang besarnya dapat dihitung dengan persamaan II.5 di bawah ini (Atkins, 1999):
10
Adanya medan listrik tersebut, ion yang bermuatan ze, mengalami gaya (F) yang
besarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.6 di bawah ini
(Atkins, 1999):
Gaya ini menyebabkan kation bergerak menuju elektroda negatif dan anion
bergerak menuju elektroda positif. Akan tetapi, saat ion bergerak melalui pelarut,
ion tersebut mengalami gaya gesekan ( ) yang besarnya dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan II.7 di bawah ini (Atkins, 1999):
Dalam persamaan ini, η merupakan viskositas larutan (kg m -1 s-1),
adalah jari-
jari hidrat ion, s adalah kecepatan ion dan π = 3,14. Kedua gaya ini, bekerja
dalam arah yang berlawanan dan ion akan mencapai kecepatan akhir (kecepatan
hanyut), jika gaya mempercepat (F) diimbangi oleh gaya gesekan ( ). Besarnya
kecepatan hanyut ion ( ) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.8 di
bawah ini (Atkins, 1999):
Menurut persamaan di atas, kecepatan hanyut ion sebanding dengan kuat medan
listrik yang diberikan, sehingga persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi
persamaan II.9 di bawah ini (Atkins, 1999):
Dalam hal ini,
adalah mobilitas ion.
Berdasarkan eksperimen, konduktivitas molar ion logam alkali bertambah dari Li +
ke Cs+ walaupun radius ionnya bertambah (Tabel II.3).
Berdasarkan teori,
konduktivitas akan berkurang dengan bertambahnya ukuran ion. Ukuran ion yang
digunakan/mempengaruhi konduktivitas adalah ukuran ion dalam larutan (jari-jari
hidrat ion), yaitu jari-jari efektifnya dalam larutan dengan memperhitungkan
molekul H2O yang dibawa dalam bola hidrasinya. Ion kecil menimbulkan medan
listrik lebih kuat daripada ion besar.
Jadi dengan jari-jari ion kecil, dapat
mempunyai jari-jari hidrat besar, karena ion tersebut menyeret banyak molekul
pelarut melalui larutan saat bermigrasi (Tabel II.3) (Atkins, 1999).
11
Tabel II.3 Jari-jari ion golongan alkali dan alkali tanah (Worrall, 1986)
Alkali Tanah
Alkali
Golongan
Lambang Unsur
jari-jari ion (pm)
Jari-jari hidrat (pm)
Li+
78
730
Na+
98
560
K+
133
380
Rb+
149
360
Cs+
169
360
Mg2+
78
1080
Ca2+
106
960
Ba2+
143
880
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wei dkk. (1991) bahwa pada
konsentrasi yang sama, jumlah molekul air hidrasi (Nhyd) per molekul elektrolit
meningkat dengan menurunnya jari-jari ionnya (kation), dimana Nhyd (LiCl) >
Nhyd (RbCl) > Nhyd (CsCl). Namun jumlah molekul air hidrasi akan menurun
dengan meningkatnya konsentrasi larutan.
Proton, walaupun sangat kecil mempunyai konduktivitas molar yang sangat
tinggi, ini karena proton bertingkahlaku dengan mekanisme, yang tidak
bersangkutan dengan gerakan sebenarnya melalui larutan. Menurut mekanisme
rantai migrasi proton, proton yang terlarut bergerak melalui larutan dengan
gerakan efektif yang berhubungan dengan penataan ulang ikatan dalam gugus
molekul air. Mekanisme rantai migrasi proton dapat dilihat pada Gambar II.1 di
bawah ini (Barrow, 1996).
12
H
+
О
Н
H
H
O
H
H
H
O
+
O H
H
H+
H
H
(-)
O
H
H
(-)
H
O
OH-
H
O
H
O
Gambar II.1 Pergerakan (a) H+ dan (b) OH- melalui mekanisme transfer proton
II.5.
Elektrolisis Air
Menurut Chang (2005) air di dalam gelas kimia pada kondisi atmosfer (1 atm dan
25oC) tidak akan terurai secara spontan membentuk gas hidrogen dan oksigen,
sebab perubahan energi bebas standar untuk reaksi ini positif dan besar, seperti
yang ditunjukkan pada persamaan II.10 dibawah ini:
2H2O(l)
2H2(g) + O2(g)
ΔG = 474,4 kj
(II.10)
Namun demikian, reaksi ini dapat dibuat berlangsung di dalam sel elektrolisis
Hoffman.
Sel ini terdiri atas sepasang elektroda yang terbuat dari logam
nonreaktif (inert) seperti platina. Ketika elektroda-elektrodanya dihubungkan ke
baterai, ternyata tidak terjadi sesuatu, karena tidak cukup ion dalam air murni
untuk membawa arus listrik (pada air murni hanya memiliki ion H+ dan OHsebesar 1 x 10-7 M). Reaksi akan terjadi dengan mudah dalam larutan H2SO4
0,1 M, sebab terdapat cukup ion dalam air murni untuk membawa arus listrik
(Chang, 2005).
Proses pada anodanya adalah:
O2(g) + 4H+(aq) + 4e-
2H2O(l)
Sementara pada katoda terjadi
H+(aq) + e-
½ H2(g)
Sehingga reaksi keseluruhan yang terjadi adalah
Anoda (oksidasi):
2H2O(l)
Katoda (reduksi):
4H+(aq) + e2H2O(l)
2H2(g) + 4 H+(aq) + 4e2 H2(g)
2H2(g) + O2(g)
13
Elektrolisis air adalah demonstrasi yang praktis untuk menggambarkan rumus
molekul air, bahwa air terdekomposisi menghasilkan dua gas hidrogen dan satu
gas oksigen. Volume gas ini dapat terukur dengan menggunakan sel elektrolisis
Hoffman (Gambar II.2), yang mana dua elektroda terbuat dari logam inert platina
yang dihubungkan ke power supply DC (Zhou, 1996).
Gambar II.2 Sel elektrolisis Hoffman
Menurut Zhou (1996) untuk mempermudah gerakan arus dalam sel elektrolisis,
beberapa tetes H2SO4 atau NaOH biasanya ditambahkan ke dalam air. Disamping
itu juga menurut Russell yang dikutip olehnya, untuk mempermudah gerakan arus
dalam sel elektrolisis dapat juga ditambahkan garam Na2SO4 ke dalam air.
Berdasarkan persamaan reaksi dekomposisi air pada persamaan II.10, terlihat
bahwa jumlah gas hidrogen yang diproduksi adalah dua kali lebih banyak dari
pada gas oksigen. Tapi dalam prakteknya, hasil dari demonstrasi sering tidak
sama dengan teori, dimana volume gas hidrogen lebih besar dari dua kali lipat gas
oksigen. Zhou (1996) mengatakan bahwa ini terjadi karena gas oksigen lebih
larut dalam air daripada gas hidrogen, contohnya, pada temperatur 20 oC dan
tekanan 100 kPa kelarutan oksigen adalah 31 mL/L dimana gas hidrogen
18 mL/L. Berdasarkan hasil eksperimen yang telah dilakukannya, untuk reaksi
yang optimum dalam elektrolisis air yang dapat menghasilkan gas hidrogen dan
14
oksigen dengan perbandingan 2:1 adalah pada konsentrasi 10 – 15%w elektrolit
H2SO4 atau NaOH dan voltase antara 18 sampai 24 Volt.
II.6.
Elektrolisis Larutan Garam Klorida
Menurut Achmad (1992) pada waktu mengelektrolisis larutan NaCl, reaksi yang
terjadi pada anoda akan mempunyai dua kemungkinan yaitu:
1.
Apabila konsentrasi NaCl sangat kecil (larutan NaCl sangat encer) reaksi
yang terjadi adalah
2.
Reaksi pada anoda (+)
2H2O(l)
O2(g) + 4H+(aq) + 4e
Reaksi pada katoda (-)
2H2O(l) + 2e
H2(g) + 2OH-(aq)
Reaksi sel
6 H2O(l)
2H2(g) + O2(g) + 4H+ + 4OH-(aq)
Apabila konsentrasi NaCl tinggi (larutan NaCl pekat) reaksi yang terjadi
adalah
Reaksi pada anoda (+)
2Cl-(aq)
Cl2(g) + 2e
Reaksi pada katoda (-)
2H2O(l) + 2e
H2(g) + 2OH-(aq)
Reaksi sel
2Cl-(aq) + 2H2O(l)
Cl2(g) + H2(g) + 2OH-(aq)
Namun pada pernyataanya tidak disebutkan batasan antara larutan sangat encer
dan pekat (Ahmad, 1992).
Menurut Shakhashiri (2006) pada elektrolisis air asin (larutan NaCl), air direduksi
pada katoda.
Hal ini terjadi karena air lebih mudah direduksi daripada ion
natrium. Ini digambarkan dalam potensial reduksi standar mereka (Tabel II.4).
Pada anoda, dimana oksidasi terjadi, situasinya tidak jelas. Potensial oksidasi
standar untuk air adalah -1,23 volt dan untuk ion klorida -1,36 volt. Ini artinya
bahwa air lebih mudah dioksidasi daripada ion klorida. Dalam kenyataannya ion
klorida yang dioksidasi, bukan air. Hal senada juga diungkapkan oleh Chang
(2005) yang mengatakan bahwa potensial reduksi standar (arus nol) untuk oksigen
dan klor tidak berbeda jauh, tetapi nilainya mengisaratkan bahwa yang cenderung
terjadi adalah H2O teroksidasi pada anoda. Namun dari percobaannya ternyata
gas yang dibebaskan pada anoda ialah Cl2, bukan O2.
15
Reaksi yang terjadi pada elektroda, tidak dapat diprediksi hanya dengan melihat
potensial reduksi standar, ini karena potensial reduksi standar dinyatakan pada
kondisi kesetimbangan, ketika tidak ada arus yang mengalir. Ketika arus mulai
bergerak, distribusi pada ion yang mengelilingi elektroda berubah dan
kesetimbangan potensial elektroda tidak tepat lagi. Potensial sel bergantung pada
besarnya arus yang bergerak terus padanya (Sakhashiri, 2006).
Perbedaan antara kesetimbangan potensial pada arus nol dan potensial ketika arus
mengalir dinamakan potensial lebih. Besarnya potensial lebih bergantung pada
komposisi elektroda dan elektrolit, maupun arus. Umumnya, pada potensial lebih
yang kecil, prediksi reaksi yang terjadi pada elektroda yang didasarkan pada
potensial elektroda standar biasanya benar. Tetapi dalam elektrolisis natrium
klorida encer, potensial lebih untuk oksidasi air (sebuah molekul netral) cukup
besar, sehingga membuat air lebih sulit dioksidasi daripada ion klorida
(Sakhashiri, 2006).
Pada penelitian ini, difokuskan kepada laju produksi gas hidrogen pada
elektrolisis larutan garam klorida. Garam klorida yang digunakan adalah garam
klorida yang berasal dari golongan alkali dan alkali tanah, yang selanjutnya
disebut dengan garam alkali klorida dan garam alkali tanah klorida. Garam alkali
klorida yang digunakan yaitu litium klorida (LiCl), natrium klorida (NaCl),
kalium klorida (KCl) dan garam alkali tanah klorida yang digunakan adalah
magnesium klorida heksahidrat (MgCl2.6H2O), kalsium klorida dihidrat
(CaCl2.2H2O), dan barium klorida dihidrat (BaCl2.2H2O).
Elektrolisis pada penelitian ini menggunakan sel elektrolisis Hoffman yang dibuat
di bengkel gelas Laboratorium Kimia FMIPA ITB, dengan bahan dari buret yang
dirancang seperti Gambar II.3 di bawah ini:
16
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
0
Gambar II.3 Rancangan alat yang digunakan dalam penelitian
Secara teori, jika larutan garam klorida di atas dielektrolisis pada keadaan standar,
maka beberapa reaksi yang mungkin terjadi adalah:
a.
Pada katoda (reduksi)
Li+(aq) + e
Li(s)
Na+(aq) + e
Na(s)
K+(aq) + e
K(s)
2+
Mg
b.
+ 2e
Mg(s)
Ca2+(aq) + 2e
Ca(s)
Ba2+(aq) + 2e
Ba(s)
2H2O(l) + 2e
H2(g) + 2OH-(aq)
(aq)
Pada anoda (oksidasi)
2Cl-(aq)
Cl2(g) + 2e-
2H2O(l)
O2(g) + 4H+ (aq) + 4e-
Jika dilihat dari harga potensial reduksinya (Tabel II.4), maka secara umum reaksi
yang paling mungkin terjadi pada katoda adalah reaksi reduksi hidrogen, ini
karena suatu zat akan mudah direduksi jika memiliki harga potensial reduksi
bernilai positif. Semakin positif harga potensial reduksinya maka semakin mudah
zat tersebut direduksi (Chang, 2005).
17
Tabel II.4 Daftar potensial reduksi standar (Chang, 2005)
Eo (V)
Setengah reaksi
Cl2(g) + 2 e−
2Cl- (aq)
O2(g) + 4 H+(aq) + 4 e−
2 H2O(l) + 2 e−
Mg2+(aq) + 2e
+1,36
H2O(l)
+1,23
H2(g) + 2OH-(aq)
Mg(s)
-0,83
-2,37
Na+(aq) + e-
Na(s)
-2,71
Ca2+(aq) + 2e
Ca(s)
-2,87
Ba2+(aq) + 2e
Ba(s)
-2,90
K+(aq) + e-
K(s)
-2,93
Li+(aq) + e-
Li(s)
-3,05
Jika dilihat dari ion-ion penyusun garam klorida yang digunakan, dari beberapa
ion tersebut banyak terkandung di dalam air laut (Tabel I.1), sehingga kajian
tentang elektrolisis air laut atau air asin, sedikit banyak akan memberikan
gambaran tentang reaksi yang mungkin terjadi pada penelitian ini. Salah satu
penelitian tentang elektrolisis air laut atau air asin adalah yang dilakukan oleh
Hussein (1992), yaitu melakukan penelitian dengan mengelektrolisis air laut
buatan dengan sumber ion elektrolitnya adalah garam klorida (NaCl dan
NaCl+MgCl2), yang diterapkan pada voltase 6 – 20 volt.
Menurut hasil penelitiannya, laju produksi gas hidrogen akan meningkat dengan
meningkatnya total zat terlarut (ion elektrolit), ini menunjukkan meningkatnya
konduktivitas larutan garam. Laju produksi gas hidrogenpun meningkat dengan
meningkatnya voltase yang digunakan. Selain gas hidrogen, pada katoda juga
diperoleh endapan magnesium (Mg(OH)2).
Menurut Williams yang dikutip
olehnya mengatakan bahwa pada elektrolisis air laut, endapan Mg(OH)2 dan
Ca(OH)2 ditemukan.
Endapan magnesium hidroksida meningkat sebanding
dengan meningkatnya total zat terlarut dalam larutan (Hussein, 1992).
18
Pada anoda, reaksi yang mungkin terjadi adalah reaksi oksidasi air menjadi gas
oksigen, karena suatu zat akan mudah dioksidasi jika harga potesial reduksinya
bernilai negatif.
Semakin negatif harga potensial reduksinya maka semakin
mudah zat tersebut dioksidasi. Namun, menurut hasil penelitian yang dilakukan
oleh Hussein (1992), gas klor adalah produk utama pada anoda dalam elektrolisis
air garam yang mengandung klorida. Menurut Williams yang dikutip olehnya
menyatakan bahwa gas klor akan meningkat dengan meningkatnya voltase, tetapi
dalam pernyataannya tidak disebutkan tentang lamanya waktu elektrolisis.
Untuk menganalisis gas klor yang dihasilkan dari elektrolisis dapat ditentukan
dengan menggunakan alat GC (gas chromatografi). Hasil yang tidak akurat dari
penggunaan alat GC pada analisis gas klor adalah dari fakta dimana gas klor lebih
berat dari oksigen dan cenderung berada di bawah (larut), sehingga analisis
menjadi lemah (Hussein, 1992). Gas klor mempunyai kelarutan yang cukup besar
dalam air. Kelarutan gas klor akan menurun terus menerus dengan meningkatnya
konsentrasi MClx (M = Na, K, Ca, Ba, Mg, Ni, Co, Zn, Fe(III)) dalam larutan.
(Alkan dkk., 2005).
Untuk mengetahui gas yang dihasilkan pada elektrolisis, baik di katoda maupun di
anoda, pada penelitian ini digunakan larutan indikator bromtimol biru sebagai uji
kualitatif. Pemilihan indikator ini didasarkan pada rentang pH dari bromtimol
biru antara 6.0 – 7.6, dimana pada rentang pH tersebut merupakan keadaan pH air
murni. Penggunaan indikator ini juga didasarkan pada teori, bahwa kompetisi
reaksi oksidasi terjadi pada anoda, dimana oksidasi oksigen akan meningkatkan
konsentrasi H+ sehingga akan menurunkan pH di sekitar anoda dan akan
memberikan perubahan warna jika di dalam larutan terdapat indikator. Sedangkan
jika ion klorida yang dioksidasi tidak akan memberikan perubahan warna
indikator. Pada katoda, jika oksidasi dari H2O menjadi gas hidrogen maka akan
meningkatkan konsentrasi OH-, sehingga akan meningkatkan pH di sekitar katoda
dan akan memberikan perubahan warna indikator yang berbeda.
19
Penggunaan indikator pada elektrolisis sudah banyak digunakan, karena
perubahan warna yang ditunjukan oleh suatu indikator dapat menggambarkan
reaksi yang terjadi. Menurut Eggen dan Kvittingen (2004) jika ditambahkan
indikator bromtimol biru dalam suatu larutan, maka akan terjadi perubahan warna
pada indikator yaitu perubahan warna dari hijau ke biru pada elektroda negatif dan
kuning pada elektroda positif. Sedangkan jika ion klorida yang dioksidasi, maka
tidak akan terjadi perubahan warna disekitar anoda. Hal senada juga dikatakan
oleh Stauffer dan Fox (2008), penambahan indikator 1,10 phenanthrolin dan
thimolpthalin pada elektrolisis air yang menggunakan paku besi sebagai elektroda,
akan memberikan perubahan warna yang berbeda yaitu orange pada anoda
(kompleks Fe2+ dengan 1,10 phenanthroline) dan biru pada katoda indikasi adanya
ion OH-.
Selain dengan indikator, adanya gas klor dapat diketahui dengan cara melewatkan
gas klor ke dalam larutan KI. Gas klor atau air klor di dalam larutan KI akan
mengoksidasi ion iodida menjadi iodin dan menyebabkan perubahan warna dari
bening (tidak berwarna) menjadi coklat (Vogel, 1985).
Download