Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Elektrolisis Elektrolisis adalah proses yang menggunakan energi listrik, agar reaksi kimia yang tidak berlansung secara remodinamika, dapat dibuat berlangsung. Sedangkan sel elektrolisis ialah alat untuk melaksanakan elektrolisis (Dogra, 1990), atau dapat juga dikatakan sel elektrolisis adalah sel dimana energi listrik digunakan untuk berlangsungnya suatu reaksi kimia (Ahmad, 1992). Agar elektrolisis dapat terjadi biasanya diperlukan potensial yang lebih besar dari harga potensial reduksi standarnya, yang biasanya disebut sebagai potensial lebih (overvoltage). Potensial lebih merupakan ukuran energi pengaktifan bagi reaksi elektroda (Ahmad, 1992). Ketika perbedaan antara potensial dekomposisi dan potensial dekomposisi reversibel menjadi cukup besar, satu atau kedua elektroda tidak bertindak reversibel, maka dikatakan bahwa elektroda tersebut terpolarisasi. Kondisi ini mungkin hasil dari perubahan konsentrasi di sekitar elektroda atau dari suatu tahap lambat dalam reaksi elektroda (Timm, 1947). Menurut Sukardjo (2002) polarisasi dibagi menjadi dua, yaitu polarisasi konsentrasi yang disebabkan oleh perubahan konsentrasi di sekitar elektroda dan polarisasi potensial lebih yang disebabkan oleh jenis elektroda dan proses yang terjadi di permukaannya. Perbedaan konsentrasi pada kedua elektroda akibat elektrolisis, menyebabkan timbulnya beda potensial. Beda potensial ini dapat melawan potensial dari luar. Namun perbedaan konsentrasi ini diperkecil oleh adanya aliran ion. Potensial lebih akan meningkat dengan meningkatnya rapat arus. Reaksi pada elektroda yang menghasilkan gas, memerlukan potensial lebih yang besar (Ahmad, 1992). Potensial lebih untuk gas klor pada anoda sangat kecil, sedangkan potensial lebih untuk oksigen lebih besar. Potensial lebih beberapa gas diberikan dalam Tabel II.1 di bawah ini: 6 Tabel II.1 Potensial lebih beberapa gas pada 25oC I (mA/cm2) Gas - Hidrogen 1 Oksigen 10 Oksigen Pt-Pt hitam Pt halus Grafit ~0,00a 0,40b 0,02a 0,60a 0,72b - 0,85 b - 1,16 b - 0,52 b b 50 Oksigen 0,61 100 Oksigen 0,64b 1,28b - 1000 Klor 0,07b 0,24b 0,50b a. Timm, 1992 b. Sukardjo, 2002 Pengaruh konsentrasi pada potensial elektroda ditunjukkan oleh persamaan Nernst di bawah ini (Ahmad, 1992): Dalam persamaan ini E adalah potensial elektroda dalam volt, Eo adalah potensial elektroda standar (reversibel) dalam volt, R adalah konstanta gas ( 8,314 JK-1 mol-1 ), T adalah temperatur mutlak (K), n adalah perubahan valensi (banyaknya elektron) yang terlibat dalam reaksi sel, dan F adalah tetapan Faraday (96500 coulomb). Sedangkan untuk menghitung besarnya potensial sel minimum yang dibutuhkan agar elektrolisis dapat terjadi, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.2 dibawah ini (Basset dkk., (1994): Dalam persamaan ini, Eterp = potensial yang harus diberikan (volt) Ekat = potensial pada katoda dalam kesetimbangan (volt) Ean = potensial pada anoda dalam kesetimbangan (volt) Epk = potensial lebih pada katoda (volt) Epa = potensial lebih pada anoda (volt) I = arus (A) R = hambatan larutan (ohm) 7 II.2. Elektroda Pada beberapa sel elektrolisis, elektroda adalah komponen utama pada sistem. Elektroda dimasukkan ke dalam elektrolit dan salah satunya sebagai sumber positif (anoda) dan yang lain sebagai sumber negatif (katoda). Fungsi elektroda adalah sebagai tempat terjadinya reaksi reduksi atau oksidasi. Elektroda dapat terbuat dari beberapa material seperti baja stainless, titanium, platina, nikel dan karbon (Kothari dkk., 2007). Dalam proses elektrolisis, elektroda dikategorikan dalam dua tipe yaitu elektroda inert dan elektroda aktif. Elektroda inert tidak berpartisipasi dalam reaksi kimia dan hanya menyediakan permukaan, dimana transfer elektron dapat terjadi. Elektroda inert tidak mengalami perubahan selama elektrolisis. Platina dan karbon adalah elektroda yang sering digunakan sebagai elektroda inert. Elektroda aktif secara kimia berpartisipasi dalam reaksi redoks. Elektroda baja dan tembaga dikategorikan sebagai elektroda aktif karena mereka berpartisipasi aktif dalam sel elektrolisis. Suatu saat mereka menunjukkan masalah korosi, ini terjadi ketika larutan elektrolit yang digunakan adalah larutan alkaline dan air asin dengan variasi konsentrasi (Kothari dkk., 2007). Elektroda yang digunakan pada elektrolisis air, harus mempunyai sifat-sifat di bawah ini (Hussein, 1992): a. Konduktor elektronik yang bagus. b. Permukaan katalitik yang sesuai untuk keluarnya hidrogen atau ion hidroksil. c. Mempunyai permukaan yang luas. d. Mempunyai kemampuan yang cukup untuk melepaskan gas hidrogen yang dihasilkan dan memisahkan dari elektrolit pada elektrolisis. 8 II.3. Elektrolit Terjadinya proses elektrolisis air atau suatu larutan adalah karena adanya ion-ion elektrolit dalam larutan. Elektrolit umumnya dibagi menjadi dua, yaitu elektrolit kuat dan lemah. II.3.1 Elektrolit kuat Elektrolit kuat adalah zat yang terionisasi sempurna dalam larutan, yang meliputi padatan ion, asam kuat dan basa kuat. Sebagai hasil pengionan sempurna, konsentrasi ion dalam larutan sebanding dengan konsentrasi elektrolit yang ditambahkan. Pada konsentrasi rendah, konduktivitas molar elektrolit kuat mentaati hukum Kohlrausch, yaitu bahwa konduktivitas molar sebanding dengan akar dari konsentrasi, dan dituliskan dalam bentuk persamaan II.3 di bawah ini (Atkins, 1999): Dalam persamaan di atas, Λom merupakan konduktivitas molar pembatas, yaitu konduktivitas molar dalam limit konsentrasi (jika ion tidak berantaraksi), sedangkan μ adalah koefisien yang bergantung pada stoikiometri elektrolit (apakah itu berbentuk MA, atau M2A dan seterusnya). Kohlrausch juga membuktikan bahwa Λom dapat dinyatakan sebagai jumlah kontribusi dari ion individualnya. Jika konduktivitas molar pembatas kation dinyatakan dengan λ + dan untuk anion dinyatakan dengan λ- , maka hukum migrasi bebas ion dapat diungkapkan dalam persamaan II.4 di bawah ini (Atkins, 1999): Dengan ν+ dan ν- merupakan jumlah kation dan anion persatuan rumus elektrolit (ν+ = ν- = 1 untuk HCl, NaCl dan CuSO4, tetapi ν+ = 1, ν- = 2 untuk MgCl2). 9 Konduktivitas molar pembatas untuk beberapa elektrolit kuat diberikan dalam Tabel II.2 di bawah ini (Atkins, 1999): Tabel II.2 Konduktivitas ion pembatas dalam air pada 25oC (Atkins, 1999) Li+ Konduktivitas (S cm2 mol-1) 38,7 Anion Konduktivitas (S cm2 mol-1) Na+ 50,10 73,50 Cl- 76,35 Mg2+ 106,0 SO42- 160,0 Ca2+ 119,0 OH- 199,1 2+ 127,2 + 349,6 Kation K + Ba H III.3.2 Elektrolit lemah Elektrolit lemah adalah zat yang tidak terionisasi sempurna dalam larutan. Penggandaan konsentrasi nominal elektrolit lemah, tidak menggandakan jumlah ion tersebut dalam larutan, karena dipengaruhi derajat ionisasinya. Zat ini meliputi asam Bronsted lemah seperti CH3COOH dan basa Bronsted lemah seperti NH3 (Atkins, 1999). II.4. Gerakan Ion Gerakan ion dalam larutan dapat dipelajari dengan mengukur konduktivitas listrik dari larutan elektrolit. Migrasi kation menuju elektroda bermuatan negatif dan anion menuju elektroda bermuatan positif membawa muatan melalui larutan. Jika dua elektroda yang terpisah dengan jarak berada pada beda potensial ∆Φ, maka ion dalam larutan di antara kedua elektroda itu, mengalami medan listrik seragam yang besarnya dapat dihitung dengan persamaan II.5 di bawah ini (Atkins, 1999): 10 Adanya medan listrik tersebut, ion yang bermuatan ze, mengalami gaya (F) yang besarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.6 di bawah ini (Atkins, 1999): Gaya ini menyebabkan kation bergerak menuju elektroda negatif dan anion bergerak menuju elektroda positif. Akan tetapi, saat ion bergerak melalui pelarut, ion tersebut mengalami gaya gesekan ( ) yang besarnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.7 di bawah ini (Atkins, 1999): Dalam persamaan ini, η merupakan viskositas larutan (kg m -1 s-1), adalah jari- jari hidrat ion, s adalah kecepatan ion dan π = 3,14. Kedua gaya ini, bekerja dalam arah yang berlawanan dan ion akan mencapai kecepatan akhir (kecepatan hanyut), jika gaya mempercepat (F) diimbangi oleh gaya gesekan ( ). Besarnya kecepatan hanyut ion ( ) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan II.8 di bawah ini (Atkins, 1999): Menurut persamaan di atas, kecepatan hanyut ion sebanding dengan kuat medan listrik yang diberikan, sehingga persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi persamaan II.9 di bawah ini (Atkins, 1999): Dalam hal ini, adalah mobilitas ion. Berdasarkan eksperimen, konduktivitas molar ion logam alkali bertambah dari Li + ke Cs+ walaupun radius ionnya bertambah (Tabel II.3). Berdasarkan teori, konduktivitas akan berkurang dengan bertambahnya ukuran ion. Ukuran ion yang digunakan/mempengaruhi konduktivitas adalah ukuran ion dalam larutan (jari-jari hidrat ion), yaitu jari-jari efektifnya dalam larutan dengan memperhitungkan molekul H2O yang dibawa dalam bola hidrasinya. Ion kecil menimbulkan medan listrik lebih kuat daripada ion besar. Jadi dengan jari-jari ion kecil, dapat mempunyai jari-jari hidrat besar, karena ion tersebut menyeret banyak molekul pelarut melalui larutan saat bermigrasi (Tabel II.3) (Atkins, 1999). 11 Tabel II.3 Jari-jari ion golongan alkali dan alkali tanah (Worrall, 1986) Alkali Tanah Alkali Golongan Lambang Unsur jari-jari ion (pm) Jari-jari hidrat (pm) Li+ 78 730 Na+ 98 560 K+ 133 380 Rb+ 149 360 Cs+ 169 360 Mg2+ 78 1080 Ca2+ 106 960 Ba2+ 143 880 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wei dkk. (1991) bahwa pada konsentrasi yang sama, jumlah molekul air hidrasi (Nhyd) per molekul elektrolit meningkat dengan menurunnya jari-jari ionnya (kation), dimana Nhyd (LiCl) > Nhyd (RbCl) > Nhyd (CsCl). Namun jumlah molekul air hidrasi akan menurun dengan meningkatnya konsentrasi larutan. Proton, walaupun sangat kecil mempunyai konduktivitas molar yang sangat tinggi, ini karena proton bertingkahlaku dengan mekanisme, yang tidak bersangkutan dengan gerakan sebenarnya melalui larutan. Menurut mekanisme rantai migrasi proton, proton yang terlarut bergerak melalui larutan dengan gerakan efektif yang berhubungan dengan penataan ulang ikatan dalam gugus molekul air. Mekanisme rantai migrasi proton dapat dilihat pada Gambar II.1 di bawah ini (Barrow, 1996). 12 H + О Н H H O H H H O + O H H H+ H H (-) O H H (-) H O OH- H O H O Gambar II.1 Pergerakan (a) H+ dan (b) OH- melalui mekanisme transfer proton II.5. Elektrolisis Air Menurut Chang (2005) air di dalam gelas kimia pada kondisi atmosfer (1 atm dan 25oC) tidak akan terurai secara spontan membentuk gas hidrogen dan oksigen, sebab perubahan energi bebas standar untuk reaksi ini positif dan besar, seperti yang ditunjukkan pada persamaan II.10 dibawah ini: 2H2O(l) 2H2(g) + O2(g) ΔG = 474,4 kj (II.10) Namun demikian, reaksi ini dapat dibuat berlangsung di dalam sel elektrolisis Hoffman. Sel ini terdiri atas sepasang elektroda yang terbuat dari logam nonreaktif (inert) seperti platina. Ketika elektroda-elektrodanya dihubungkan ke baterai, ternyata tidak terjadi sesuatu, karena tidak cukup ion dalam air murni untuk membawa arus listrik (pada air murni hanya memiliki ion H+ dan OHsebesar 1 x 10-7 M). Reaksi akan terjadi dengan mudah dalam larutan H2SO4 0,1 M, sebab terdapat cukup ion dalam air murni untuk membawa arus listrik (Chang, 2005). Proses pada anodanya adalah: O2(g) + 4H+(aq) + 4e- 2H2O(l) Sementara pada katoda terjadi H+(aq) + e- ½ H2(g) Sehingga reaksi keseluruhan yang terjadi adalah Anoda (oksidasi): 2H2O(l) Katoda (reduksi): 4H+(aq) + e2H2O(l) 2H2(g) + 4 H+(aq) + 4e2 H2(g) 2H2(g) + O2(g) 13 Elektrolisis air adalah demonstrasi yang praktis untuk menggambarkan rumus molekul air, bahwa air terdekomposisi menghasilkan dua gas hidrogen dan satu gas oksigen. Volume gas ini dapat terukur dengan menggunakan sel elektrolisis Hoffman (Gambar II.2), yang mana dua elektroda terbuat dari logam inert platina yang dihubungkan ke power supply DC (Zhou, 1996). Gambar II.2 Sel elektrolisis Hoffman Menurut Zhou (1996) untuk mempermudah gerakan arus dalam sel elektrolisis, beberapa tetes H2SO4 atau NaOH biasanya ditambahkan ke dalam air. Disamping itu juga menurut Russell yang dikutip olehnya, untuk mempermudah gerakan arus dalam sel elektrolisis dapat juga ditambahkan garam Na2SO4 ke dalam air. Berdasarkan persamaan reaksi dekomposisi air pada persamaan II.10, terlihat bahwa jumlah gas hidrogen yang diproduksi adalah dua kali lebih banyak dari pada gas oksigen. Tapi dalam prakteknya, hasil dari demonstrasi sering tidak sama dengan teori, dimana volume gas hidrogen lebih besar dari dua kali lipat gas oksigen. Zhou (1996) mengatakan bahwa ini terjadi karena gas oksigen lebih larut dalam air daripada gas hidrogen, contohnya, pada temperatur 20 oC dan tekanan 100 kPa kelarutan oksigen adalah 31 mL/L dimana gas hidrogen 18 mL/L. Berdasarkan hasil eksperimen yang telah dilakukannya, untuk reaksi yang optimum dalam elektrolisis air yang dapat menghasilkan gas hidrogen dan 14 oksigen dengan perbandingan 2:1 adalah pada konsentrasi 10 – 15%w elektrolit H2SO4 atau NaOH dan voltase antara 18 sampai 24 Volt. II.6. Elektrolisis Larutan Garam Klorida Menurut Achmad (1992) pada waktu mengelektrolisis larutan NaCl, reaksi yang terjadi pada anoda akan mempunyai dua kemungkinan yaitu: 1. Apabila konsentrasi NaCl sangat kecil (larutan NaCl sangat encer) reaksi yang terjadi adalah 2. Reaksi pada anoda (+) 2H2O(l) O2(g) + 4H+(aq) + 4e Reaksi pada katoda (-) 2H2O(l) + 2e H2(g) + 2OH-(aq) Reaksi sel 6 H2O(l) 2H2(g) + O2(g) + 4H+ + 4OH-(aq) Apabila konsentrasi NaCl tinggi (larutan NaCl pekat) reaksi yang terjadi adalah Reaksi pada anoda (+) 2Cl-(aq) Cl2(g) + 2e Reaksi pada katoda (-) 2H2O(l) + 2e H2(g) + 2OH-(aq) Reaksi sel 2Cl-(aq) + 2H2O(l) Cl2(g) + H2(g) + 2OH-(aq) Namun pada pernyataanya tidak disebutkan batasan antara larutan sangat encer dan pekat (Ahmad, 1992). Menurut Shakhashiri (2006) pada elektrolisis air asin (larutan NaCl), air direduksi pada katoda. Hal ini terjadi karena air lebih mudah direduksi daripada ion natrium. Ini digambarkan dalam potensial reduksi standar mereka (Tabel II.4). Pada anoda, dimana oksidasi terjadi, situasinya tidak jelas. Potensial oksidasi standar untuk air adalah -1,23 volt dan untuk ion klorida -1,36 volt. Ini artinya bahwa air lebih mudah dioksidasi daripada ion klorida. Dalam kenyataannya ion klorida yang dioksidasi, bukan air. Hal senada juga diungkapkan oleh Chang (2005) yang mengatakan bahwa potensial reduksi standar (arus nol) untuk oksigen dan klor tidak berbeda jauh, tetapi nilainya mengisaratkan bahwa yang cenderung terjadi adalah H2O teroksidasi pada anoda. Namun dari percobaannya ternyata gas yang dibebaskan pada anoda ialah Cl2, bukan O2. 15 Reaksi yang terjadi pada elektroda, tidak dapat diprediksi hanya dengan melihat potensial reduksi standar, ini karena potensial reduksi standar dinyatakan pada kondisi kesetimbangan, ketika tidak ada arus yang mengalir. Ketika arus mulai bergerak, distribusi pada ion yang mengelilingi elektroda berubah dan kesetimbangan potensial elektroda tidak tepat lagi. Potensial sel bergantung pada besarnya arus yang bergerak terus padanya (Sakhashiri, 2006). Perbedaan antara kesetimbangan potensial pada arus nol dan potensial ketika arus mengalir dinamakan potensial lebih. Besarnya potensial lebih bergantung pada komposisi elektroda dan elektrolit, maupun arus. Umumnya, pada potensial lebih yang kecil, prediksi reaksi yang terjadi pada elektroda yang didasarkan pada potensial elektroda standar biasanya benar. Tetapi dalam elektrolisis natrium klorida encer, potensial lebih untuk oksidasi air (sebuah molekul netral) cukup besar, sehingga membuat air lebih sulit dioksidasi daripada ion klorida (Sakhashiri, 2006). Pada penelitian ini, difokuskan kepada laju produksi gas hidrogen pada elektrolisis larutan garam klorida. Garam klorida yang digunakan adalah garam klorida yang berasal dari golongan alkali dan alkali tanah, yang selanjutnya disebut dengan garam alkali klorida dan garam alkali tanah klorida. Garam alkali klorida yang digunakan yaitu litium klorida (LiCl), natrium klorida (NaCl), kalium klorida (KCl) dan garam alkali tanah klorida yang digunakan adalah magnesium klorida heksahidrat (MgCl2.6H2O), kalsium klorida dihidrat (CaCl2.2H2O), dan barium klorida dihidrat (BaCl2.2H2O). Elektrolisis pada penelitian ini menggunakan sel elektrolisis Hoffman yang dibuat di bengkel gelas Laboratorium Kimia FMIPA ITB, dengan bahan dari buret yang dirancang seperti Gambar II.3 di bawah ini: 16 50 50 40 40 30 30 20 20 10 10 0 0 Gambar II.3 Rancangan alat yang digunakan dalam penelitian Secara teori, jika larutan garam klorida di atas dielektrolisis pada keadaan standar, maka beberapa reaksi yang mungkin terjadi adalah: a. Pada katoda (reduksi) Li+(aq) + e Li(s) Na+(aq) + e Na(s) K+(aq) + e K(s) 2+ Mg b. + 2e Mg(s) Ca2+(aq) + 2e Ca(s) Ba2+(aq) + 2e Ba(s) 2H2O(l) + 2e H2(g) + 2OH-(aq) (aq) Pada anoda (oksidasi) 2Cl-(aq) Cl2(g) + 2e- 2H2O(l) O2(g) + 4H+ (aq) + 4e- Jika dilihat dari harga potensial reduksinya (Tabel II.4), maka secara umum reaksi yang paling mungkin terjadi pada katoda adalah reaksi reduksi hidrogen, ini karena suatu zat akan mudah direduksi jika memiliki harga potensial reduksi bernilai positif. Semakin positif harga potensial reduksinya maka semakin mudah zat tersebut direduksi (Chang, 2005). 17 Tabel II.4 Daftar potensial reduksi standar (Chang, 2005) Eo (V) Setengah reaksi Cl2(g) + 2 e− 2Cl- (aq) O2(g) + 4 H+(aq) + 4 e− 2 H2O(l) + 2 e− Mg2+(aq) + 2e +1,36 H2O(l) +1,23 H2(g) + 2OH-(aq) Mg(s) -0,83 -2,37 Na+(aq) + e- Na(s) -2,71 Ca2+(aq) + 2e Ca(s) -2,87 Ba2+(aq) + 2e Ba(s) -2,90 K+(aq) + e- K(s) -2,93 Li+(aq) + e- Li(s) -3,05 Jika dilihat dari ion-ion penyusun garam klorida yang digunakan, dari beberapa ion tersebut banyak terkandung di dalam air laut (Tabel I.1), sehingga kajian tentang elektrolisis air laut atau air asin, sedikit banyak akan memberikan gambaran tentang reaksi yang mungkin terjadi pada penelitian ini. Salah satu penelitian tentang elektrolisis air laut atau air asin adalah yang dilakukan oleh Hussein (1992), yaitu melakukan penelitian dengan mengelektrolisis air laut buatan dengan sumber ion elektrolitnya adalah garam klorida (NaCl dan NaCl+MgCl2), yang diterapkan pada voltase 6 – 20 volt. Menurut hasil penelitiannya, laju produksi gas hidrogen akan meningkat dengan meningkatnya total zat terlarut (ion elektrolit), ini menunjukkan meningkatnya konduktivitas larutan garam. Laju produksi gas hidrogenpun meningkat dengan meningkatnya voltase yang digunakan. Selain gas hidrogen, pada katoda juga diperoleh endapan magnesium (Mg(OH)2). Menurut Williams yang dikutip olehnya mengatakan bahwa pada elektrolisis air laut, endapan Mg(OH)2 dan Ca(OH)2 ditemukan. Endapan magnesium hidroksida meningkat sebanding dengan meningkatnya total zat terlarut dalam larutan (Hussein, 1992). 18 Pada anoda, reaksi yang mungkin terjadi adalah reaksi oksidasi air menjadi gas oksigen, karena suatu zat akan mudah dioksidasi jika harga potesial reduksinya bernilai negatif. Semakin negatif harga potensial reduksinya maka semakin mudah zat tersebut dioksidasi. Namun, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Hussein (1992), gas klor adalah produk utama pada anoda dalam elektrolisis air garam yang mengandung klorida. Menurut Williams yang dikutip olehnya menyatakan bahwa gas klor akan meningkat dengan meningkatnya voltase, tetapi dalam pernyataannya tidak disebutkan tentang lamanya waktu elektrolisis. Untuk menganalisis gas klor yang dihasilkan dari elektrolisis dapat ditentukan dengan menggunakan alat GC (gas chromatografi). Hasil yang tidak akurat dari penggunaan alat GC pada analisis gas klor adalah dari fakta dimana gas klor lebih berat dari oksigen dan cenderung berada di bawah (larut), sehingga analisis menjadi lemah (Hussein, 1992). Gas klor mempunyai kelarutan yang cukup besar dalam air. Kelarutan gas klor akan menurun terus menerus dengan meningkatnya konsentrasi MClx (M = Na, K, Ca, Ba, Mg, Ni, Co, Zn, Fe(III)) dalam larutan. (Alkan dkk., 2005). Untuk mengetahui gas yang dihasilkan pada elektrolisis, baik di katoda maupun di anoda, pada penelitian ini digunakan larutan indikator bromtimol biru sebagai uji kualitatif. Pemilihan indikator ini didasarkan pada rentang pH dari bromtimol biru antara 6.0 – 7.6, dimana pada rentang pH tersebut merupakan keadaan pH air murni. Penggunaan indikator ini juga didasarkan pada teori, bahwa kompetisi reaksi oksidasi terjadi pada anoda, dimana oksidasi oksigen akan meningkatkan konsentrasi H+ sehingga akan menurunkan pH di sekitar anoda dan akan memberikan perubahan warna jika di dalam larutan terdapat indikator. Sedangkan jika ion klorida yang dioksidasi tidak akan memberikan perubahan warna indikator. Pada katoda, jika oksidasi dari H2O menjadi gas hidrogen maka akan meningkatkan konsentrasi OH-, sehingga akan meningkatkan pH di sekitar katoda dan akan memberikan perubahan warna indikator yang berbeda. 19 Penggunaan indikator pada elektrolisis sudah banyak digunakan, karena perubahan warna yang ditunjukan oleh suatu indikator dapat menggambarkan reaksi yang terjadi. Menurut Eggen dan Kvittingen (2004) jika ditambahkan indikator bromtimol biru dalam suatu larutan, maka akan terjadi perubahan warna pada indikator yaitu perubahan warna dari hijau ke biru pada elektroda negatif dan kuning pada elektroda positif. Sedangkan jika ion klorida yang dioksidasi, maka tidak akan terjadi perubahan warna disekitar anoda. Hal senada juga dikatakan oleh Stauffer dan Fox (2008), penambahan indikator 1,10 phenanthrolin dan thimolpthalin pada elektrolisis air yang menggunakan paku besi sebagai elektroda, akan memberikan perubahan warna yang berbeda yaitu orange pada anoda (kompleks Fe2+ dengan 1,10 phenanthroline) dan biru pada katoda indikasi adanya ion OH-. Selain dengan indikator, adanya gas klor dapat diketahui dengan cara melewatkan gas klor ke dalam larutan KI. Gas klor atau air klor di dalam larutan KI akan mengoksidasi ion iodida menjadi iodin dan menyebabkan perubahan warna dari bening (tidak berwarna) menjadi coklat (Vogel, 1985).