LAPORAN KASUS Malaria Berat Eva Roswati Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RS H. Adam Malik, Medan, Sumatera Utara, Indonesia ABSTRAK Malaria adalah penyakit infeksi parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit, ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria dapat berlangsung akut atau kronik, tanpa komplikasi atau mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. Dilaporkan satu kasus malaria berat berasal dari daerah Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Kepulauan Riau, dengan parasitemia Plasmodium falciparum dan mengalami komplikasi malaria serebral, anemia berat, gangguan ginjal akut, malaria algid (gagal sirkulasi), perdarahan saluran cerna, ikterik, kelainan hati (malaria biliosa), hemoglobinuria (black water fever), hiperlaktatemia. Terapi berupa oksigenasi, resusitasi cairan dan transfusi darah, artemeter injeksi 160 mg IM (loading dose), selanjutnya 80 mg IM sampai kesadaran membaik (hari ke-3), primakuin 3 tablet (dosis tunggal), artesunat 8 tablet (4 tablet pagi, 4 tablet malam) selama 3 hari, dan hemodialisis 4 kali. Pasien menunjukkan perbaikan klinis setelah dirawat selama 15 hari dan minta pulang berobat jalan di daerah asalnya. Kata kunci: malaria berat, Plasmodium falciparum, artemeter, artesunat ABSTRACT Malaria is an infectious disease caused by Plasmodium parasites that attack erythrocytes, characterized by the presence of asexual form in blood. Malaria infection can occur acutely or chronically, without or with systemic complication known as severe malaria. One case of severe malaria was reported, which found at Bangkinang area, Kampar District, Province of Kepulauan Riau, with Plasmodium falciparum parasitemia and complications of cerebral malaria, severe anemia, acute kidney injury, malaria algid (circulation failure), gastrointestinal bleeding, icterus, liver disorder (malaria biliosa), hemoglobinuria (black water fever), and hyperlactatenia. The treatment consisted of oxygenation, fluid rescucitation and blood tranfusion, injection of artemeter 160 mg IM (loading dose) then 80 mg IM until consciousuess improved (day 3), primaquine 3 tablets (single dose), artesunate tablets (4 tablets morning, 4 tablets evening) for 3 days, and hemodialysis 4 times. Patient showed clinical improvement after 15 days of treatment and decided to continue the treatment as ambulatory patient in her city. Kata kunci: severe malaria, Plasmodium falciparum, artemeter, artesunate PENDAHULUAN Malaria adalah penyakit infeksi parasit disebabkan Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah. Plasmodium yang sering dijumpai ialah Plasmodium vivax (malaria tertiana, benign malaria) dan Plasmodium falciparum (malaria tropika, malignant malaria), sementara Plasmodium malariae dan Plasmodium ovale sangat jarang. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia, dan splenomegali. Memasuki milineum ke-3, infeksi malaria masih merupakan problem klinis bagi negara tropis/subtropis, berkembang maupun yang sudah maju; diperkirakan terjadi 200-300 juta kasus malaria baru dan 1-3 juta penduduk dunia meninggal per tahunnya. Infeksi malaria dapat berlangsung akut atau kronik, tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat. 518 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 518 WHO (2006) mendefinisikan malaria berat jika terdapat parasitemia P. falciparum fase aseksual disertai satu atau lebih gambaran klinis atau laboratoris berikut: (1) manifestasi klinis, antara lain kelemahan, gangguan kesadaran, gawat napas atau asidosis respiratorik, kejang berulang, syok, edema paru, perdarahan abnormal, ikterus, hemoglobinuria; (2) abnormalitas nilai laboratorium, antara lain anemia berat, hipoglikemia, asidosis, gangguan fungsi ginjal, hiperlaktatemia, hiperparasitemia. Bila terjadi lebih dari 3 komplikasi organ, risiko kematian >75%. LAPORAN KASUS Seorang wanita usia 35 tahun diantar keluarganya ke UGD RSHAM (Rumah Sakit Haji Adam Malik), Medan, dengan kesadaran menurun. Pasien berasal dari daerah Bangkinang, Kabupaten Kampar, Provinsi Kepulauan Riau. Dari aloanamnesis, didapatkan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, yang memburuk secara bertahap. Riwayat trauma sebelumnya tidak dijumpai. Muka pucat dan mata kuning disadari sejak 1 minggu, diikuti seluruh tubuh pucat kekuningkuningan. Tidak dijumpai riwayat sakit kuning sebelumnya ataupun perdarahan spontan, seperti mimisan dan gusi berdarah. Tidak dijumpai riwayat minum jamu-jamuan dan alkohol. Demam sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit, naik turun, dan ada periode bebas demam. Menggigil dan berkeringat banyak dijumpai. Muntah dialami pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 2-3 kali/hari, isi apa yang dimakan dan diminum, tidak dijumpai muntah darah. Batuk tidak dijumpai. Sesak napas sejak 2 hari yang lalu, tidak berhubungan dengan aktivitas, cuaca, dan posisi. Buang air besar hitam dan buang air kecil kuning pekat dialami pasien 2 hari ini dengan volume urin ±1600 mL/hari. Pasien dirujuk dari RS Kabupaten Kampar dengan dugaan diagnosis anemia hemolitik autoimun. CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012 7/8/2012 12:17:53 PM LAPORAN KASUS darah 110-120/60 mmHg, nadi 80-96 kali/ menit, frekuensi napas 20-24 kali/menit, suhu 36,5-37,0 ºC, volume urin 700-2.100 mL/hari. Gambar 1 Pemeriksaan darah tepi: Plasmodium falciparum (+) Kesadaran somnolen, tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 100 kali/menit, frekuensi pernapasan 28 kali/menit, suhu 38,5 °C. Pada pemeriksaan fisik, mata: konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (+), toraks: ronki basah di lapangan bawah kedua paru, abdomen: organomegali (-), ekstremitas: akral dingin (-). Pemeriksaan laboratorium: darah rutin: Hb 7,52 gr/dL, leukosit 9.140/mm3, Ht 22,1%, trombosit 151.000/mm3, SGOT 52 U/L, SGPT 35 U/L, gula darah sewaktu 274,4 mg/dL, ureum 450,2 mg/dL, kreatinin 12,31 mg/dL, elektrolit: Na/K/Cl 136/6,5/101 mEq/L. EKG: sinus takikardia. Diagnosis sementara: penurunan kesadaran et causa ensefalopati uremik + gagal ginjal akut + perdarahan saluaran cerna bagian atas et causa ulkus stres + suspect anemia hemolitik autoimun. Terapi: tirah baring, oksigen 2-4 L/menit, infus NaCl 0,9% 30 tetes/menit, asam traneksamat injeksi 500 mg/8jam, ranitidin injeksi 50 mg/12jam, rencana hemodialisis cito, kateter urin terpasang, NGT terpasang (keluar cairan lambung warna kehitaman), dibilas setiap 15 menit dengan NaCl 0,9% sampai bersih, pasien dipuasakan selama 6-8 jam. Kondisi pasien memburuk dengan kesadaran koma, tekanan darah 70/40 mmHg dan pasien kejang 1x. Diberi terapi tambahan diazepam injeksi 5 mg dan infus dopamin dengan tekanan darah menjadi 100-110/60-70 mmHg. Hari ke 2-3, pasien masih mengalami penurunan kesadaran dan NGT hitam. Kesadaran koma-somnolen, tekanan darah 90-100/50-60 dengan infus dopamin, nadi 100 kali/menit, frekuensi napas 28-30 kali/menit, suhu 37,338,7 ºC. Pemeriksaan malaria darah tepi: Plasmodium falciparum (+). Bilirubin total 4,39 mg/ CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 519 dL, bilirubin direk 4,16 mg/dL, fosfatase alkali 47 U/L, SGOT 57 U/L, SGPT 35 U/L, LDH 1.822 U/L, analisis gas darah: pH 7,357, pCO2 28,0 mmHg, pO2 119,3 mmHg, HCO3 15,3 mmol/L, CO2 total 16,2 mmol/L, BE -9,4 mmol/L, saturasi O2 95,6%. Diagnosis kerja: Malaria berat dengan gagal ginjal akut + perdarahan saluran cerna bagian atas et causa ulkus stres. Terapi spesifik: Artemeter injeksi 3,2 mg/kgBB (loading dose 160 mg atau 2 ampul, IM), selanjutnya 1,6 mg/kgBB (80 mg atau 1 ampul, IM) sampai kesadaran membaik, kemudian dihentikan. Primakuin 3 tablet (dosis tunggal), artesunat 4 tablet pagi dan 4 tablet malam selama 3 hari sesudah injeksi artemeter dihentikan. Terapi suportif dengan tirah baring, oksigenasi, resusitasi cairan, nutrisi diet 1.500 kkal, dan hemodialisis. Pada hari ke 4-6, keadaan umum pasien membaik dan NGT jernih. Kesadaran apatis, tekanan darah 90-110/50-60 mmHg tanpa dopamin, nadi 80-100 kali/menit, frekuensi napas 24-26 kali/menit, suhu 36,5-38 ºC, volume urin ±1.600 mL/hari. Hasil laboratorium hari ke-4: Hb 4,7 g/dL; leukosit 7.150/mm3; Ht 15%; trombosit 130.000/mm3; prothrombin time 15,8” (13,50”) (rasio=1,17); INR 1,19; aPTT 34,9”(31,0”) (rasio=1,12); thrombin time 19,0” (12,0”) (rasio=1,58); D-dimer 205 ng/mL, fibrinogen 205 ng/mL. Urinalisis: urin kuning keruh, reduksi/bilirubin/keton/protein/nitrit (-), darah (+), berat jenis 1,020 g/mL, pH 5,0; sedimen urin: eritrosit 10-30/LPB, leukosit 1020/LPB, epitel 3-6/LPB, silinder: granular (+), kristal (-). Terapi spesifik dilanjutkan dengan terapi suportif, pasien menjalani hemodialisis dengan transfusi PRC 3 kantong selama HD. Hari ke-6 hingga ke-15: keadaan umum pasien membaik, kesadaran compos mentis, tekanan Pada hari ke-7, hasil pemeriksaan darah tepi: parasit malaria (-). Hasil laboratorium hari ke-10: darah rutin: Hb 8,6 g/dL, leukosit 7.310/mm3, Ht 28%, trombosit 88.000/mm3. Fungsi ginjal: ureum 196,1 mg/dL, kreatinin 4,7 mg/dL, elektrolit: Na/K/Cl 148/3,0/114 mEq/L. Terapi suportif hanya hemodialisis 1 kali, sementara terapi spesifik sudah selesai. Pada hari ke-15, keluarga pasien sudah minta pulang karena kesehatan pasien sudah membaik dan dana terbatas. DISKUSI Penelitian patogenesis malaria berat berkembang pesat akhir-akhir ini. Meskipun demikian, penyebab pastinya masih belum diketahui. Perhatian terutama difokuskan pada sekuestrasi eritrosit yang berisi parasit stadium matur ke dalam mikrovaskuler organ-organ vital. Faktor lain, seperti induksi sitokin TNF-α dan sitokin lainnya oleh toksin parasit malaria dan produksi nitric oxide (NO) juga diduga mempunyai peranan penting . Sporozoit dilepas saat nyamuk Anopheles menggigit manusia, yang selanjutnya akan masuk ke dalam sel-sel hati (hepatosit), kemudian terjadi skizogoni ekstra-eritrositer. Skizon hati yang matang selanjutnya pecah, lalu merozoit akan menginvasi sel eritrosit dan terjadi skizogoni intra-eritrositer, menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit. Skizon matang yang pecah melepaskan toksin malaria yang akan menstimulasi sistem retikuloendotelial dengan dilepaskannya sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan sitokin lainnya, mengubah aliran darah lokal dan endotel vaskuler, mengubah biokimia sistemik, dan menyebabkan anemia serta hipoksia jaringan dan organ. Komplikasi malaria umumnya pada infeksi Plasmodium falciparum. Penderita malaria dengan komplikasi digolongkan sebagai malaria berat. Pada jenis ini, ditemukan parasitemia Plasmodium falciparum dan komplikasi malaria serebral, anemia berat, gangguan ginjal akut, malaria algid (gagal sirkulasi), perdarahan saluran cerna, ikterik, kelainan hati (malaria biliosa), hemoglobinuria (black water fever), hiperlaktatemia. 519 7/8/2012 12:17:55 PM LAPORAN KASUS Malaria serebral merupakan komplikasi yang paling berbahaya, mortalitasnya 20-50% dengan pengobatan. Gejalanya ditandai de-ngan apatis, disorientasi, somnolen, delirium, stupor, koma dan perubahan tingkah laku yang dapat terjadi perlahan dalam beberapa hari atau mendadak dalam waktu hanya 1-2 jam, sering disertai kejang. Pada malaria serebral diduga terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak menyebabkan anoksi otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoadherensi dan sekuestrasi parasit. Black water fever (hemoglobinuria) adalah suatu sindrom dengan karakteristik serangan akut, menggigil, demam, hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, hemoglobinuria, dan gagal ginjal. Biasanya terjadi sebagai komplikasi infeksi Plasmodium falciparum yang berulangulang pada orang non-imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Malaria hemoglobinuria dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan enzim G-6PD dan biasanya parasit falciparum positif, atau pada penderita dengan defisiensi G6-PD yang biasanya disebabkan karena pemberian primakuin. Anemia terjadi karena percepatan destruksi sel-sel darah merah dan peningkatan bersihan oleh limpa disertai gangguan (ketidakefektifan) sistem eritropoesis. Indikasi transfusi jika kadar Hb <5 g% atau bila hematokrit <15%. Gangguan metabolik lainnya berupa asidosis metabolik, peningkatan asam laktat, pH turun dan peningkatan bikarbonat. Penanganan malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis seawal mungkin. Prinsip penanganannya terdiri atas (1) obat antimalaria, (2) exchange transfusion, (3) terapi cairan/nutrisi, dan (4) penanganan terhadap gangguan fungsi organ yang meng-alami komplikasi. Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi prerenal karena dehidrasi (>50%), hanya sekitar 5-10% disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan fungsi ini karena anoksia disebabkan penurunan aliran darah ke ginjal akibat dehidrasi dan sumbatan mikrovaskular akibat sekuestrasi, sitoadherensi, dan rosseting. Beberapa faktor risiko gangguan fungsi ginjal adalah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus, hemoglobinuria. Dialisis merupakan pilihan pengobatan untuk menurunkan mortalitas. Malaria algid adalah malaria yang disertai syok vaskuler, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik <70 mmHg), perubahan tahanan perifer, dan berkurangnya perfusi jaringan. Hipotensi biasanya responsif dengan pemberian NaCl 0,9% dan obat inotropik. Ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falciparum. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus), dijumpai ikterus hemolitik 17,2%; ikterus obstruktif 78,6%, serta peningkatan SGOT rata-rata 121 mU/mL dan SGPT 80,8 mU/mL dengan rasio de Ritis 1,5; peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang, jarang melebihi 200 IU; ikterus berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan hati. Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, hidung, kulit, saluran cerna dapat terjadi karena trombositopenia atau gangguan koagulasi intravaskuler karena gangguan fungsi hati. Pada pasien ini, didapati perdarahan spontan saluran cerna dengan trombositopenia dan gangguan fungsi hati. 520 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 520 WHO telah menetapkan pemakaian obat ACT (Artemisinin-based Combination Therapy) secara global. Golongan ini dipilih sebagai obat utama karena efektif mengatasi Plasmodium yang resisten terhadap pengobatan. Selain itu, artemisinin juga bekerja membunuh Plasmodium dalam semua stadium, termasuk gametosit, dan efektif terhadap semua spesies. Golongan artemisinin berasal dari tanaman Artemisia annua atau Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton yang mempunyai beberapa formula, seperti artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinat, dan dihidroartemisinin (tabel 1). Monoterapi golongan artemisinin akan mengakibatkan rekrudensi. Karena itu, WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin-based combination therapy (ACT). Kombinasi ini dapat berupa fixed dose dan non-fixed dose. Contoh kombinasi dosis tetap (fixed dose): (1) co-artem (artemeter 20 mg + lumefantrin 120 mg), dosis 4 tablet 2 x sehari selama 3 hari, (2) artekin (dihidroartemisinin 40 mg + piperakuin 320 mg), dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam kemudian masing-masing 2 tablet. Contoh kombinasi dosis tidak tetap (non-fixed dose): (1) artesunat + meflokuin, (2) artesunat + amodiakuin, (3) artesunat + klorokuin, (4) artesunat + SP (sulfadoksin-pirimetamin), (5) artesunat + pironaridin, (6) artesunat + klorproguanil-dapson, (7) dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim, (8) dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim + primakuin, (9) dihidroartemisinin + naptokuin. Dari kombinasi tersebut, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah artesunate + amodiakuin. Dosis orang dewasa yaitu artesunate 200mg (4tablet) pada hari I-III, amodiakuin (200mg/ tablet): 3 tablet hari I-II dan 1½ tablet hari III. Dosis amodiakuin adalah 25-30mg/kgBB selama 3 hari. Walaupun resistensi terhadap obat standar golongan non ACT telah dilaporkan, di beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin (kegagalan <25%). Obat non-ACT adalah: 1. Klorokuin difosfat/sulfat, 250 mg garam (150 mg basa). Dosis 25 mg basa/kgBB untuk Tabel 1 Pengobatan dengan Golongan Artemisin Nama Obat Artesunat Sediaan Oral: 50 mg, 200 mg Dosis Hari I: 2 mg/kgBB, 2 x sehari Hari II-V: dosis tunggal Injeksi IM/IV: 60 mg/amp Hari I: 2,4 mg/kgBB Minimal 3 hari bisa peroral: 1,2mg/kg/hari Artemeter Artemisinin Dihidroartemisinin Arte-eter Supositoria: 100, 200 mg 1600 mg/3hari atau 5 mg/kgBB/12jam Oral: 40 mg, 50 mg Hari I: 4 mg/kgBB dibagi 2 dosis 2 mg/kgBB/hari, 6 hari Injeksi 80 mg/amp hari I: 3,2 mg/kgBB 1,6 mg/kgBB, 3 hari, oral Oral: 250 mg Hari I: 20 mg/kgBB dibagi 2 dosis 10 mg/kgBB, 6 hari Supositoria: 100, 200, 300, 400, 500 mg 2.800 mg/3hari: 600 mg dan 400 mg (hari I); 2 x 400 mg (2 hari berikutnya) Oral: 20, 60, 80 mg 2 mg/kgBB/dosis, 2 x sehari (hari I); Suposituria: 80 mg 1 x sehari (4 hari selanjutnya) Injeksi IM: 150 mg/amp Barte-eter (artemotil): 4,8 dan 1,6 mg/kgBB selang 6 jam; 1,6 mg/kgBB (4 hari selanjutnya) CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012 7/8/2012 12:17:56 PM LAPORAN KASUS 3 hari; hari I-II 10mg/kgBB dan hari III 5 mg/ kgBB. Pada orang dewasa, biasa dipakai dosis 4 tablet hari I-II dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax. 2. Sulfadoksin-Pirimetamin (SP) (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin). Dosis orang dewasa 3 tablet (dosis tunggal). Pada anak, dosis pirimetamin 1,25 mg/kgBB. Hanya dipakai untuk P. falciparum dan tidak efektif untuk P. vivax. Dapat digunakan jika gagal dengan pengobatan klorokuin. 3. Kina sulfat (1 tablet 220 mg). Dosis yang dianjurkan 3 x 10 mg/kgBB selama 7 hari. Dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax. Kina dapat dipakai sebagai obat cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. 4. Primakuin (1 tablet = 15 mg). Dipakai sebagai obat pelengkap/pengobatan radikal terhadap P. falciparum maupun P. vivax. Pada P. falciparum, dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet. Untuk P. vivax, dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari untuk membunuh gamet dan hipnozoit (antirelaps). Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi, juga belum tersedia obat golongan artemisinin, dapat menggunakan kombinasi obat standar, yaitu (1) klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin (SP), (2) SP + kina, (3) klorokuin + doksisiklin/tetrasiklin, (4) SP + doksisiklin/tetrasiklin, (5) kina + doksisiklin/tetrasiklin, (6) kina + klindamisin. Pemberian obat antimalaria pada malaria berat berbeda dari malaria biasa karena pada malaria berat, diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama dalam darah untuk segera menurunkan derajat parasitemi. Oleh karenanya dipilih cara parenteral (injeksi) yang berefek langsung dalam peredaran darah dan kurang menyebabkan resistensi: I. Derivat artemisinin (Tabel 1) II. Kina (Kina HCl/Kinin Antipirin) (a) Loading dose 20 mg/kgBB kina HCl dalam 100-200 mL cairan isotonis selama 4 jam, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/kgBB dalam 200 mL selama 4 jam setiap 8 jam. Apabila pasien sudah sadar, diberikan kina peroral dengan dosis 3 x 400-600 mg selama 7 hari, dihitung dari pemberian pa-renteral hari I (10 mg/kgBB/8 jam). (b) Digunakan dosis tetap 500 mg kina HCl (BB rata-rata 50 kg), dilarutkan dalam cairan isotonis selama 6-8 jam berkesinambungan, tergantung kebutuhan cairan tubuh. (c) Dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 20 mg/kgBB, terbagi pada 2 tempat suntikan, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/ kgBB tiap 8 jam sampai pasien dapat minum peroral. III. Kuinidin. Bila kina tidak tersedia, kuinidin (isomernya) cukup aman dan efektif. Loading dose 15 mg basa/kgBB, dilarutkan dalam 250 mL cairan isotonik selama 4 jam, dilanjutkan dengan 7,5 mg basa/kgBB dalam 4 jam, tiap 8 jam, dilanjutkan peroral setelah pasien sadar. IV. Klorokuin. Loading dose: 10 mg basa/kgBB, dilarutkan dalam 500 mL cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dilanjutkan dengan dosis 5 mg basa/kgBB per infus selama 8 jam, diulang 3 kali (dosis total 25 mg basa/kgBB selama 32 jam). Bisa juga diberikan secara intramuskuler atau subkutan dengan dosis 3,5 mg basa/ kgBB tiap 6 jam atau 2,5 mg basa/kgBB tiap 4 jam. Bila penderita sudah dapat minum oral, pengobatan parenteral segera dihentikan. Exchange transfusion (transfusi tukar) dapat dipertimbangkan pada malaria berat walaupun indikasi pemberiannya belum disepakati.4 Transfusi tukar dapat menurunkan keadaan parasitemia secara cepat. Pada malaria berat, transfusi tukar berguna untuk mengeluarkan eritrosit yang berparasit, mengurangi toksin hasil parasit dan metabolismenya (sitokin dan radikal bebas), serta memperbaiki anemia. Indikasi transfusi tukar (exchange blood transfusion): • Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat • Parasitemia >10% disertai komplikasi berat lainnya, seperti malaria serebral, gangguan ginjal akut, ikterus (bilirubin total >25 mg%), dan anemia berat • Parasitemia >10% disertai gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian antima- laria yang optimal • Parasitemia >10% disertai prognosis buruk (misalnya, lanjut usia, adanya parasit stadium lanjut/skizon pada darah perifer). Dugaan suatu kelainan darah sebelumnya (anemia hemolitik autoimun) pada pasien ini mungkin karena ditemukannya gejala anemia yang terjadi secara perlahan-lahan, ikterus, dan demam. Mengingat asal daerah pasien, pemeriksaan malaria darah tepi dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding yang ternyata menunjukkan hasil P. falciparum positif. Ketepatan diagnosis dan ketersediaan obat untuk malaria berat dan fasilitas hemodialisis di RSHAM serta pihak keluarga yang kooperatif selama perawatan telah menyelamatkan pasien. Pemeriksaan laboratorium ulangan untuk evaluasi faal hati, faal ginjal serta pemeriksaan penunjang lain tidak dapat dilakukan terkait keterbatasan dana (status umum). SIMPULAN 1. Telah dilaporkan satu kasus malaria berat yang berasal dari salah satu daerah di Kepulauan Riau yang didiagnosis melalui pemeriksaan darah tepi dengan hasil Plasmodium falciparum positif, dengan komplikasi malaria serebral, anemia berat, gagal ginjal akut, malaria algid (gagal sirkulasi), perdarahan saluran cerna, ikterus, kelainan hati, hemoglobinuria, dan hiperlaktatemia. 2. Terapi yang diberikan berupa oksigen, resusitasi cairan dan transfusi darah, artemeter injeksi 160 mg IM (loading dose) yang dilanjutkan dengan 80 mg IM sampai kesadaran membaik (hari ke-3. Primakuin 3 tablet (dosis tunggal), artesunat tablet (4 tablet pagi, 4 tablet malam) selama 3 hari, dan hemodialisis 4 kali. 3. Pasien menunjukkan perbaikan klinis setelah dirawat selama 15 hari dan keluarga memutuskan membawa pasien pulang untuk berobat jalan saja di daerah asalnya. 4. Ketepatan diagnosis dan ketersediaan obat untuk malaria berat, fasilitas hemodialisis di RSHAM, serta keluarga yang kooperatif selama perawatan berkontribusi atas pemulihan pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Paul NH. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI, 2007; 1732-44. 2. Iskandar Z, Budi S. Malaria berat. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: FKUI, 2007; 1745-48. 3. Donald JK.Malaria. Cecil Medicine, Goldman, 2007; Bab 366. 4. White NJ, Breman JG, et al. Malaria. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, et al, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. pp. 1280–93. 5. Bradley W. Malaria. Oxford Textbook of Medicine. 4th ed. vol. 1, 2003; pp. 1721-48. 6. Elias P, Kartika W. Anemia hemolitik autoimun. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI, 2007; p. 660. CDK-195/ vol. 39 no. 7, th. 2012 CDK-195_vol39_no7_th2012 ok.indd 521 521 7/8/2012 12:18:17 PM