BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Newcastle Disease (ND) atau penyakit tetelo disebabkan oleh strain virulen avian Paramyxovirus serotipe tipe 1 (AMPV-1) dari genus Avulavirus yang termasuk dalam subfamily Paramyxovirinae, family Paramyxoviridae (OIE, 2009). Berdasarkan hasil uji Hemagglutination Inhibiton (HI) dan Neuraminidase Inhibition (NI) genus Avulavirus ini terdiri dari sembilan serotype yakni APMV serotype 1 sampai dengan serotype 9 (Aldous dan Alexander, 2001). Serotype APMV-4, APMV-5, APMV-6, APMV-7, APMV-8 dan APMV-9 pada umumnya menyerang itik, angsa, merpati, betet dan beberapa jenis unggas lainnya, tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas (Saepulloh, 2005). Hanya APMV-2 dan APMV-3 yang menyebabkan penyakit pernafasan dan penurunan produksi telur (Alexander, 2000). Penyakit ND sendiri menyerang unggas, khususnya ayam yang bersifat sangat menular dan akut serta menimbulkan gejala gangguan pencernaan, pernafasan dan syaraf. (Alexander dan Senne, 2008; Quinn et al., 2011). Wabah penyakit ND dilaporkan pertama kali tahun 1926 di Jawa (Indonesia) dan Newcastle (Inggris) (Swayne ang King, 2003; Stenerodon, 2004). Penyakit akibat virus ini masih merupakan permasalahan yang utama bagi peternak di Indonesia (OIE, 2009). Di Indonesia, penyakit ND bersifat endemis, yang ditandai dengan kejadian penyakit yang ditemukan sepanjang tahun (Tabbu, 2000). Tahun 2012 virus ND virulen telah terdeteksi di Bali (Adi et al., 2010). Terdapat tiga pathotype didalam Virus ND yang dikelompokkan berdasarkan atas waktu kematian embrio, yakni: lentogenic adalah strain virus yang kurang ganas ditandai dengan kematian embrio lebih dari 90 jam, mesogenic antara 60-90 jam, sedangkan velogenic kurang dari 60 jam (Saif, 2003). Virus ND tipe lentogenic menunjukkan gejala klinis pada ternak ayam yang bersifat ringan atau tanpa gejala klinis. Virus ND tipe mesogenic dengan virulensi moderat (sedang) menunjukkan gejala yang dari ringan sampai sedang. Sementara itu, virus ND velogenic adalah tipe yang sangat ganas ditandai dengan penyakit yang bersifat akut dan kematian yang tinggi sampai 100%. Berdasarkan atas predileksinya dan gejala klinis yang ditimbulkan, virus ND velogenic dibedakan lagi menjadi bentuk neurotropic dengan kelainan pada sistem syaraf, pneumotropic dengan kelainan pada sistem pernafasan, dan Viscerotropic dengan kelainan pada sistem pencernaan (Aldous and Alexander, 2001). Alexander and Senne (2008b) menyatakan bahwa berdasarkan tanda-tanda klinis yang terlihat pada ayam yang terinfeksi ND telah dikelompokkan menjadi lima pathotype. Viscerotropic velogenic: bentuk yang sangat patogen di mana lesi usus hemoragik sering terlihat; Neurotropic velogenic: bentuk yang ditandai dengan kematian yang tinggi, biasanya diikuti dengan gejala pernapasan dan saraf; Mesogenic: bentuk yang ditandai dengan gejala pernapasan, gejala syaraf sesekali, tapi tingkat kematian rendah; Lentogenic: bentuk yang menunjukkan adanya infeksi pernafasan ringan atau subklinis; dan Asimtomatic: bentuk yang biasanya ditandai dengan infeksi enterik yang bersifat subklinis. Virus ND yang ada di Indonesia adalah galur velogenic-viscerotropic (Adi et al., 2010). Tabbu (2000) menjelaskan bahwa unggas yang terinfeksi virus ND terutama dari tipe velogenic Viscerotropic (VVND) gejala klinis yang ditimbulkan antara lain terjadi kelesuan, peningkatan frekuensi pernafasan, kehilangan nafsu makan, penurunan konsumsi air minum, kelemahan dan berakhir kematian. Adi, et al (2009) menjelaskan bahwa ayam yang terinfeksi virus ND velogenik gejala klinis yang ditimbulkan dehidrasi, badan mengalami kekurusan dan diare kehijauan yang menempel di sekitar kloaka. Penelitian yang dilakukan oleh Tabbu (1996) menyatakan bahwa ayam broiler yang mendapat vaksinasi dua kali vaksin aktif pada umur 4 dan 18 hari menunjukkan tingkat proteksi 80% terhadap uji tantang virus velogenic ND pada umur 45 hari, sedangkan hasil vaksinasi gabungan ND aktif-inaktif yang diberikan pada umur 4 hari dan dilakukan booster pada umur 18 hari menunjukkan tingkat proteksi 100%. Penelitian yang dilakukan oleh Nana (2006) tentang program vaksinasi pada ayam broiler menunjukkan proteksi dari penggunaan vaksin aktif pada minggu pertama dan minggu kedua adalah 60%. Program vaksinasi menggunakan vaksin aktif pada minggu pertama dan vaksin inaktif pada minggu kedua menunjukkan proteksi 100%. Program vaksinasi menggunakan vaksin aktif pada minggu pertama menunjukkan tingkat proteksi sebesar 40%. Penelitian tentang uji tantang pada ayam buras yang dilakukan oleh Wibowo and Amanu (2010) menunjukkan bahwa ayam buras yang diberi vaksin gabungan ND aktif-inaktif pada umur 7 hari dapat melindungi ayam hingga 100% sedangkan pada ayam yang divaksin ND aktif pada umur 7 hari dan dilakukan booster pada umur 21 hari tingkat proteksinya adalah 60% dari serangan velogenic ND mulai dari munculnya gejala klinis atau kematian. Penelitian uji tantang pada ayam petelur yang dilakukan oleh Darminto dan Ronohardjo pada tahun 1996 menunjukkan bahwa pemberian vaksin ND inaktif pada umur 4 minggu dan dilakukan uji tantang sebanyak 4 kali, yaitu pada umur 15, 18, 20 dan 26 minggu dapat melindungi ayam dari serangan virus ND dari munculnya gejala klinis/ kematian hingga 100%. Ayam yang diberi priming vaksin aktif bersamaan dengan vaksin inaktif memberi proteksi lebih tinggi dibanding ayam yang diberi priming vaksin aktif karena vaksin inaktif yang ini diberikan pada DOC dan tidak dipengaruhi oleh antibodi dari induk atau maternal antibodi, sedangkan vaksin aktif yang diberikan pada hari pertama kemungkinan terjadi netralisasi oleh maternal antibodi atau antibodi induk sehingga kekebalan yang terbentuk tidak mencapai maksimal (Tabbu, 2000). Program vaksinasi yang telah dilakukan seringkali titer antibodi yang dihasilkan tidak seperti yang diharapkan. Langkah pencegahan seperti program vaksinasi yang teratur dan kontinyu baik dengan cara suntik, semprot, tetes mata/hidung, atau air minum serta biosekuriti di lingkungan peternakan tidak diterapkan dengan baik karena kurangnya perhatian dan pemahaman masyarakat tentang penyakit ND, sehingga wabah penyakit terus meluas (Malole, 2006; Suryana, 2006) dan menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan (Antipas et al., 2012). Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti karena faktor genetik, antibodi maternal, akibat kualitas vaksin yang kurang baik, kesalahan vaksinator, status nutrisi dan penyakit (Kencana, 2013). Dilihat dari titer antibodi maternal pada anak ayam, titer antibodi maternal akan menurun sejak hari ke-3 dan menurun terus hingga hari ke-12. Antibodi asal induk ini akan menurun dengan cepat seiring meningkatnya umur ayam (Allan et al., 1978). Menurut Gillingham (2006), waktu paruh untuk antibodi asal induk adalah sekitar 3-5 hari dengan level imunitas protektif hingga 3 minggu. Transfer antibodi ke embrio terjadi melalui dua tahap. Pertama, antibodi disimpan dalam kuning telur dan albumin (putih telur) dan setelah itu ditransfer ke embrio. Induk mentransfer Antibodi Maternal Dapatan (AMD) ke telur dengan cara menyimpan Imunoglobulin Y (IgY), Imunoglobulin (IgA) dan Imunoglobulin (IgM) ke dalam kuning telur dan albumin. IgY merupakan Ig isotope yang paling dominan pada kuning telur. Immunoglobulin ini disekresikan oleh ovarium ayam kedalam ovum (kuning telur) yang sedang berkembang dalam berbagai tahap. Hamal, et al (2006) menemukan bahwa 27 sampai 30 % dari IgY induk di transfer ke keturunannya. IgA dan IgM ditransfer ke embrio melalui albumen oleh usus embrio dan mungkin memiliki fungsi utama pada anak ayam yang baru menetas sebagai Ig pelindung disaluran pencernaan atau sebagai tambahan sumber protein. Salah satu cara untuk mengukur tingkat kekebalan secara serologi dikerjakan melalui uji Hemaglutination Inhibition (HI). Uji HI lebih banyak dipakai karena selain mudah dan murah, uji ini spesifik dan dapat menunjukkan status kekebalan pada ayam (Mirah Adi et a.l., 2012). Adapun Metode diagnostik yang berbasis jaringan dan teknik Immunostaining yaitu Uji imunohistokimia (IHK). Teknik ini dapat melacak distribusi virus pada berbagai organ sehingga dapat dipakai untuk mengetahui pathogenesis infeksi virus, tergolong aman karena dilakukan pada organ yang telah difiksasi dengan formalin sehingga virus yang dilacak adalah virus yang sudah inaktif, penggunaan AbMo sebagai antibodi primer dapat meningkatkan akurasi uji. Atas dasar permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian tentang “pengaruh antibodi maternal terhadap histopatogenesis virus newcastle disease lapang pada ayam broiler”. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah profil titer antibodi maternal pada ayam broiler ? 1.2.2 Apakah titer antibodi maternal berpengaruh terhadap histopatogenesis virus Newcastle disease pada ayam broiler khususnya terhadap munculnya gejala syaraf? 1.2.3 Berapakah titer antibodi maternal yang protektif, subprotektif dan tidak protektif terhadap infeksi virus Newcastle disease lapang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1.3.1 Profil titer antibodi maternal pada ayam broiler. 1.3.2 Pengaruh titer antibodi maternal terhadap histopatogenesis virus Newcastle disease pada ayam broiler khususnya terhadap munculnya gejala syaraf. 1.3.3 Titer antibodi maternal yang protektif, subprotektif dan tidak protektif terhadap infeksi virus Newcastle Disease lapang. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak tentang pencegahan penyakit Newcastle disease dalam menentukan efisiensi waktu vaksinasi pada ternak unggas.