Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman 52-59 ISSN : 1410-0177 ANALISA DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN HIPERURISEMIA DI BANGSAL RAWAT INAP DAN RAWAT JALAN PENYAKIT DALAM RSUP DR. M. DJAMIL PADANG Ririn Anjelin1, Helmi Arifin1, Raveinal2, Deswinar Darwin1 1 Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang 2 Bagian Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang ABSTRACT This research was a prospective observational study using descriptive cross sectional approach and performed at all patients of hyperuricemia with or without accompanying diseases at Interne Ward and Polyclinic DR. M. Djamil Hospital Padang during Maret to May 2011, by census. The data obtained were analyzed using descriptive analysis method. Results showed that type of DRPs frequently occured at 110 patients with hyperuricemia with/without accompanying diseases at Interne polyclinic was drug interactions of pharmacokinetic and pharmacodynamic at 36 patients. Adverse drug reaction 9 patients, non-compliance of patients 5 patients. Drug terapy without medical indication, lower and higher dose, inappropriate drug selection, inappropriate drug administration interval were had no problems. At the Interne Ward from 7 patients, the DRPs frequentlyy occured were drug interactions (3 patients), higher drug dose (2 patients), adverse drug reactions (2 patients), patient non-compliance (2 patients), inappropriate drug administration interval (1 patient), drug therapy without medical indication (1 patient), and other DRPs had no problems. There was non toxic drug interactions or adverse drug reactions was found during this study. Keywords: hyperuricemia, drug related problems. PENDAHULUAN Drug Related Problems (DRPs) merupakan kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya akan dapat menggangggu keberhasilan pemyembuhan yang diharapkan. DRPs selain merugikan pasien juga dapat menghambat keberhasilan suatu terapi. Sebuah penelitian di Inggris yang dilakukan pada salah satu unit perawatan umum menemukan 8,8% kejadian DRPs pada 93% pasien darurat. Dapat dilihat juga dari catatan sejarah bahwa di Amerika pada tahun 1997 terjadi 140 ribu kematian dari 1 juta pasien yang dirawat di rumah sakit akibat adanya DRPs dari obat yang diresepkan (Cipolle, Strand, Moorley,1998). Hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi asam urat serum di atas 6,0 mg/dL (wanita) dan 6,8 mg/dL (pria). Hampir 10% individu dewasa menderita hiperurisemia setidaknya sekali dalam seumur hidup mereka. Kebanyakan dari mereka tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut. Hiperurisemia juga dapat menyebabkan resiko komplikasi yang tinggi seperti gout, urolithiasis, nefropati asam urat akut, dan hal ini 52 Ririn A., et al. perlu dilakukan evaluasi untuk menjelaskan penyebabnya serta untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai (Dincer, Ayse& Dennis, 2002). Di China pada tahun 2006, Nan et al., mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 25,3% pada orang dewasa usia 20 – 74 tahun. Informasi ini membuktikan bahwa kadar asam urat serum mengalami peningkatan pada suatu populasi seiring dengan perubahan gaya hidup manusia yang cenderung kurang memperhatikan asupan makanannya (Nan,2006;Lin,2000;Kelley,1997). Besarnya angka kejadian hiperurisemia pada masyarakat Indonesia belum ada data yang pasti. Penelitian lapangan yang dilakukan pada penduduk kota Denpasar, Bali mendapatkan prevalensi hiperurisemia sebesar 18,2% (Wisesa,2009). Merujuk pada uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian Drug Related Problems pada pasien hiperurisemia. Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prosfektif tehadap suatu populasi terbatas yaitu seluruh pasien hiperurisemia pada bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan Maret sampai Mei 2011. Data pasien hiperurisemia didapat dari bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam, kemudian dilakukan pencatatan rekam medik dibangsal rawat inap. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, Depo Farmasi bangsal penyakit dalam, melihat kondisi pasien langsung dan wawancara dengan pasien dan/atau keluarga pasien. J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 METODOLOGI PENELITIAN 1. Jenis data Meliputi masalah-masalah yang ditemukan dalam terapi hiperurisemia yakni penggunaan obat yang tidak diperlukan, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis yang berlebih atau kurang, terjadinya efek samping obat, terjadinya interaksi obat yang dianalisis secara kualitatif. 2. Sumber data Sumber data meliputi rekam medik pasien yang menjalani terapi obat untuk hiperurisemia serta wawancara pasien dan/atau keluarga pasien di bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. 3. Penetapan obat yang akan dievaluasi Obat yang akan dievaluasi adalah obat-obat yang digunakan oleh pasien selama menjalani terapi hiperurisemia di bangsal rawat inap dan rawat jalan peyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. 4. Penetapan sampel yang akan dievaluasi Sampel yang dipilih adalah pasien hiperurisemia yang mempunyai kadar asam urat > 6,8 mg/dL (pria) dan > 6,0 mg/dL (wanita) yang menjalani terapi hiperurisemia dan/atau mempunyai riwayat hiperurisemia sebelumya di bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan Maret sampai Mei 2011. 5. Penetapan standar penggunaan obat Standar penggunaan obat ditetapkan berdasarkan standar terapi penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang edisi V tahun 2008, formularium yang 53 Ririn A., et al. berlaku dan literatur-literatur ilmiah lainnya. 6. Pengambilan data Pengambilan data dilakukan melalui pencatatan rekam medik di bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam di RSUP DR. M. Djamil Padang meliputi data-data yang berkaitan dengan DRPs serta kelengkapan data pasien lainnya (seperti umur, jenis kelamin, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, riwayat obat terdahulu, tindakan terapi terhadap penyakit hiperurisemia, diagnosa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dll). Data yang diambil dipindahkan ke lembaran pengumpul data yang telah disiapkan. Kekurangan rekam medik dilengkapi dengan melihat catatan perawat, catatan obat depo farmasi Ilmu Penyakit Dalam (IPD) melihat kondisi pasien langsung dengan mewawancarai pasien dan/atau keluarga pasien. 7. Analisa data Data ditabulasikan kemudian dibandingkan terhadap kriteria penggunaan obat yang telah ditetapkan. Hasil perbandingan menunjukkan persentase beberapa kategori drug related problems yang muncul selama pasien menjalani terapi dengan kriteria penggunaan obat yang tidak diperlukan, indikasi tanpa obat, ketidaktepatan pemilihan obat, dosis yang berlebih atau kurang, terjadinya efek samping obat, dan terjadinya interaksi obat. J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 rawat jalan penyakit dalam dan 7 pasien hiperurisemia dengan atau tanpa penyakit penyerta di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Hasil analisa terjadi atau tidaknya Drug Related Problems pada pasien hiperurisemia di bangsal rawat inap dan rawat jalan penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang selama bulan Maret sampai dengan Mei 2011 adalah sebagai berikut : Tabel 1. Jumlah Pasien Hiperurisemia dan Penyakit Penyerta yang Mengalami Drug Related Problems di Poliklinik Khusus Penyakit Dalam RSUP. DR. M Djamil Padang No Drug Related Jumlah . Problems Pasien 1. Indikasi tidak dapat 0 2. obat Terapi obat tanpa 0 3. indikasi medis Ketidaktepatan 0 4. pemilihan obat Terjadinya 0 5. Kelebihan dosis obat Terjadinya 0 6. Kekurangan dosis 36 7. obat Terjadinya Interaksi 9 8. Obat 5 9. Terjadinya Reaksi Efek Samping Obat 0 Ketidakpatuhan Pasien Ketidaktepatan Interval Pemberian Obat 110 Total pasien HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini telah diseleksi 110 pasien hiperurisemia dengan atau tanpa penyakit penyerta di instalasi 54 Ririn A., et al. Tabel 2. Jumlah Pasien Hiperurisemia dan Penyakit Penyerta yang Mengalami Drug Related Problems di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP. DR. M Djamil Padang Drug Related Jumlah No Problems Pasien 1. Indikasi tidak dapat 0 2. obat Terapi obat tanpa 1 3. indikasi medis Ketidaktepatan 0 4. pemilihan obat Terjadinya kelebihan 2 5. dosis obat Terjadinya 0 6. kekurangan dosis 6 7. obat Terjadinya interaksi 2 8. obat 2 9. Terjadinya reaksi efek samping obat 1 Ketidakpatuhan pasien Ketidaktepatan interval pemberian obat 7 orang Total pasien Dari hasil penelitian diketahui bahwa di poliklinik khusus penyakit dalam dan di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang tidak ditemukan adanya pasien dengan indikasi tidak dapat obat. Semua pasien yang masuk dalam data penelitian ini telah diberikan terapi obat sesuai dengan kondisi klinisnya. Pasien dengan kondisi klinis yang mengindikasikan keadaan hiperurisemia diberikan terapi antihiperurisemia untuk mengontrol kadar asam urat dalam darah. Selain keadaan hiperursemia biasanya selalu ada keadaan klinis lain yang juga memerlukan terapi tambahan. J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 Untuk penggunaan obat tanpa indikasi ditemukan satu masalah pada salah satu pasien di bangsal rawat inap penyakit dalam, dimana terjadi duplikasi terapi yang tidak perlu pada 1 orang pasien yang diberikan dua buah antihistamin dengan mekanisme kerja yang sama, yaitu CTM dan loratadin. Keduanya bekerja bekerja dengan cara berkompetisi dengan histamin pada reseptor H1 di saluran gastrointestinal dan pembuluh darah. Efek samping loratadin yang paling sering muncul adalah sakit kepala maka untuk pasien ini yang memiliki masalah vertigo sebaiknya loratadin tidak perlu digunakan karena dikhawatirkan jika efek samping ini muncul akan mengganggu pasien. Penggunaan loratadin dengan antihistamin lainnya, dalam kasus ini CTM, akan meningkatkan toksisitas loratadin (7). Selain itu pada pemberian CTM efek samping yang paling sering terjadi adalah sedasi dengan cara menekan kerja neurotransmiter sistem stimulasi (perangsang), yang justru menguntungkan pasien yang dirawat di rumah sakit atau pasien yang perlu banyak tidur. Dalam penelitian ini tidak ditemukan ketidaktepatan pemilihan obat baik di bangsal rawat inap maupun di poliklinik khusus penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang. Semua obat yang digunakan merupakan obat pilihan untuk kasus pada pasien hiperurisemia dengan atau tanpa penyakit penyerta, sesuai dengan kebutuhan pasien tersebut. Selain itu, untuk DRPs kategori dosis obat kurang tidak ditemukan masalah untuk masing-masing instalasi, tetapi untuk kategori dosis berlebih ditemukan permasalahan pada pasien di bangsal rawat inap penyakit dalam. Kelebihan 55 Ririn A., et al. dosis obat ini terjadi pada 2 orang pasien dari total 7 orang pasien yang masuk dalam data penelitian. Kedua pasien diberikan lansoprazol 2 x 30 mg/hari. Seharusnya dosis lansoprazol hanya 30 mg/hari, baik dalam dosis terbagi ataupun dosis tunggal. Lansoprazol diindikasikan untuk dyspepsia, refluks gastroesofageal, tukak lambung, dan tukak yang diasosiasikan dengan penggunaan NSAID. Efek samping lansoprazol yang paling sering muncul adalah nyeri abdomen, mual, sakit kepala dan kemerahan pada kulit. Selain itu, bersihan lansoprazol dari dalam tubuh akan berkurang pada pasien yag lebih tua, termasuk pada pasien no. 1 yang telah berumur 73 tahun dan pasien no. 3 yang berumur 63 tahun dengan kondisi hati dan ginjal yang fungsinya telah menurun karena faktor usia (Martindale,2007). Jika bersihan lansoprazol ini berkurang dari yang semestinya, maka bisa terjadi penumpukan atau peningkatan jumlah konsentrasi lansoprazol dalam plasma. Akan sangat disayangkan jika karena kelebihan dosis ini pasien mengalami efek samping yang pada akhirnya akan merugikan pasien itu sendiri. Kelebihan dosis ini bisa disebabkan karena kesalahan dalam peresepan atau karena kondisi pasien yang mengharuskan dosis disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Efek samping obat yang paling sering muncul dalam penelitian ini adalah mual, perut kembung dan nyeri abdomen, serta gatal-gatal dan nyeri. Di bangsal rawat inap penyakit dalam dari 7 pasien 2 orang diantaranya mengalami efek samping obat berupa mual dan perut kembung. Di poliklinik khusus penyakit dalam dari 110 pasien 9 orang diantaranya yang mengalami efek samping obat merugikan ini. Efek J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 samping ini bisa diatasi dengan pemberian obat yang dapat menekan efek tidak nyaman pada saluran cerna, pemberian bedak kocok salisyl dan terapi penunjang lainnya. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktorfaktor risiko yang sebagian besar dapat diketahui. Dampak negatif masalah efek samping obat dalam klinik antara lain dapat menimbulkan keluhan atau penyakit baru karena obat, meningkatkan biaya pengobatan, mengurangi kepatuhan berobat serta meningkatkan potensi kegagalan pengobatan. Untuk DRPs kategori interaksi obat, di bangsal rawat inap penyakit dalam ditemukan 3 orang pasien dari 7 pasien yang mengalami interaksi farmakokinetik obat dan di poliklinik khusus penyakit dalam dari 110 pasien ditemukan 32 orang yang mengalami interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Semua interaksi ini tidak bersifat toksik. Umumnya interaksi yang terjadi adalah interaksi obat antara allopurinol dengan obatobat yang digunakan oleh pasien dengan penyakit penyerta lainnya, seperti hipertensi, gout dislipidemia, dan lain-lain. Interaksi yang terjadi diantaranya adalah interaksi antara allopurinol dengan HCT (hidrochlorthiazide). Interaksi ini bersifat farmakokinetik dimana HCT dapat meningkatkan konsentrasi serum allopurinol sehingga dapat meningkatkan toksisitas allopurinol. Pada pasien dengan gangguan ginjal, interaksi ini dapat meningkatkan reaksi hipersentitifitas (Martindale,2007). Ekskresi oxipurinol juga berkurang saat kedua obat ini digunakan, terutama pada 56 Ririn A., et al. pasien dengan gangguan ginjal. Pada beberapa studi menyatakan untuk pasien dengan fungsi ginjal normal kejadian peningkatan konsentrasi serum allopurinol ataupun penurunan ekskresi oxipurinol tidak terjadi. Sedangkan untuk studi lainnya menunjukkan efek allopurinol pada metabolisme pirimidin yang meningkat seiring dengan penggunaan diuretik tiazid yang mana berpotensial meningkatkan hiperurisemia dan pada akhirnya mengarahkan terjadinya kerusakan ginjal (Baxter,2008). Interaksi obat lain yang terjadi adalah antara allopurinol dengan Aspirin® (asetosal). Jika digunakan secara bersamaan Aspirin® dapat meningkatkan kadar asam urat dan menurunkan efikasi allopurinol sehingga menyebabkan efek yang diharapkan tidak maksimal (Martindale,2007). Mekanisme kerja dari interaksi ini belum dapat dimengerti. Kemungkinan interaksi ini terjadi pada sekresi tubulus ginjal. Dalam dosis reguler Aspirin® (325 mg atau kurang per harinya) belum tentu dapat menimbulkan interaksi yang merugikan (Baxter,2008). Interaksi lain yang terjadi adalah antara allopurinol dengan obat-obat dari golongan ACE inhibitor, yaitu kaptopril dan ramipril. Penggunaan obat-obat ini secara bersamaan akan meningkatkan potensiasi efek hipersensitifitas allopurinol, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Penggunaan allopurinol dengan kaptopril harus dengan perhatian terutama pada pasien gagal ginjal kronik untuk menghindari terjadinya efek yang tidak diinginkan (Martindale,2007). Interaksi ini kemunculannya jarang dan tidak bisa diprediksi. Pasien-pasien yang J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 mendapatkan kombinasi kedua obat ini harus selalu dimonitor jika terdapat tanda-tanda hipersensitifitas (seperti reaksi pada kulit) atau rendahnya jumlah sel darah putih (nyeri tenggorokan, demam), terutama pada pasien dengan gangguan ginjal (Baxter,2008)). Interaksi-interaksi obat yang terjadi di atas ada yang bersifat farmakokinetik dan ada yang bersifat farmakodinamik. Untuk interaksi farmakokinetik bisa terjadi pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme ataupun ekskresi. Sedangkan untuk interaksi farmakodinamik dapat terjadi jika suatu obat mempengaruhi kerja obat lainnya. Dari data yang diperoleh, interaksi obat yang sering terjadi adalah interaksi farmakokinetik. Dalam penanggulangannya interaksi farmakokinetik ini dapat dihindari dengan memberikan jarak penggunaan antara obat-obat yang berpotensi terjadi interaksi merugikan selama 1-2 jam. Sedangkan untuk interaksi farmakodinamik, perlu dimonitor data laboratorium yang mungkin akan mengalami penurunan atau peningkatan jika interaksi obat tersebut terjadi, ataupun dengan memberikan terapi tambahan atau terapi pengganti untuk mengurangi kemungkinan terjadinya interaksi obat yang tidak diinginkan. Dari keseluruhan interaksi obat yang ditemui, tidak ada yang bersifat toksik. Pada pasien hiperurisemia dan penyakit penyerta di poliklinik khusus penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang ditemukan ketidakpatuhan pasien sebanyak 5 orang dari 110 pasien yang masuk dalam data penelitian dan di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil Padang ditemukan ketidakpatuhan 57 Ririn A., et al. pasien sebanyak 2 orang dari 7 pasien yang masuk dalam data penelitian. Pasien yang tidak patuh ini memiliki alasan yang beragam untuk ketidakpatuhannya. Ada yang mengaku sering lupa minum obat atau terlewat waktu minum obat karena sibuk dengan urusan yang lain, ada yang memang sengaja tidak meminum obatnya dengan alasan efek samping yang ditimbulkan setiap minum obat itu terasa sangat mengganggu, seperti efek mual dan nyeri abdomen. Terutama pada pasien dengan usia yang tidak lagi muda, hal ini sangat mengganggu aktifitas mereka. J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 Pada pasien rawat inap, ada ditemukan ketidaktepatan interval pemberian obat sebanyak 1 orang dari 7 pasien yang masuk dalam data penelitian. Pada pasien no.2 di rekam medik ditulis pemberian kolkisin 3 x 0,5 mg setiap 15 menit maksimal 6 mg. Dari penelusuran literatur, pemberian kolkisin untuk serangan gout akut dimulai dengan dosis oral 0,1 mg kemudian 0,5 mg setiap 2 – 3 jam hingga rasa nyeri hilang atau efek pada gastrointestinal muncul (muntah) (Martindale,2007). Jika pemberian kolkisin tiap 15 menit maka dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi kolkisin dalam darah, sehingga kemungkinan akan memperparah efek samping yang tidak diinginkan. b. KESIMPULAN a. Di poliklinik khusus penyakit dalam. Drug related problems kategori indikasi tidak dapat obat, terapi obat tanpa indikasi medis, ketidaktepatan pemilihan obat, terjadinya kelebihan dan kekurangan dosis obat, serta ketidaktepatan interval pemberian obat tidak ditemukan masalah. Drug related problems kategori ketidakpatuhan pasien sebanyak 5 orang dari 110 pasien ; hal ini disebabkan oleh faktor individual pasien tersebut. Drug related problems kategori terjadinya reaksi efek samping obat sebanyak 9 orang dari 110 pasien; dalam prakteknya hal ini dapat diatasi dengan pengaturan penggunaan obat yang tepat ataupun pemberian terapi tambahan yang memungkinkan bagi pasien. Drug related problems kategori terjadinya interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik obat seanyak 32 orang dari 110 pasien; dalam prakteknya hal ini telah diatasi dengan memberikan jarak pemakaian antara obat yang berinteraksi ataupun dengan memonitoring kemungkinan reaksi obat yang tidak diinginkan yang akan muncul. Di bangsal rawat inap penyakit dalam. Drug related problems kategori indikasi tidak dapat obat, ketidaktepatan pemilihan obat dan terjadinya kekurangan dosis obat tidak ditemukan masalah. Drug related problems kategori terapi obat tanpa indikasi medis dan ketidaktepatan interval pemberian obat masing-masing ditemukan pada 1 orang dari 7 pasien yang masuk dalam pennelitian. Drug related problems kategori terjadinya kelebihan dosis obat, terjadinya reaksi efek samping obat dan ketidakpatuhan pasien masing-masing ditemukan pada 2 58 Ririn A., et al. orang dari 7 pasien yang masuk dalam penelitian. Drug related problems kategori terjadinya interaksi obat ditemukan pada 3 orang dari 7 pasien yang masuk dalam penelitian dan dalam prakteknya hal ini telah diatasi dengan memberikan jarak pemakaian antara obat yang berinteraksi maupun dengan melakukan monitoring data laboratorium secara berkala terhadap kemungkinan interaksi yang terjadi. SARAN Untuk tercapainya terapi hiperurisemia dan penyakit penyerta yang optimal, maka diperlukan pencatatan yang jelas dan lengkap pada rekam medis pasien dan perhatikan juga kemungkinan terjadinya reaksi efek samping obat atau interaksi obat yang mungkin terjadi dari beberapa kombinasi obat yang digunakan oleh pasien. Selain itu diperlukan juga peranan farmasis klinis di tiap bangsal rawat inap dan poliklinik. J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012 Rheumatology. 5th ed. Philadelphia: W. B. Saunders; 1313-1347. Lin KC, Lin HY, Chou P. 2000. The interaction between uric acid level and other risk factors on the development of gout among asymptomatic hyperuricemic men in a prospective study. J Rheumatol; 27:1501–1505. Martindale, 2007. The Complete Drug Reference (Ed 35). New York: The Pharmaceutical Press. Nan H., Qing Qiao, Yanhu Dong, Weiguo Gao, Bin Tang, Rongli Qian. 2006. The prevalence of hyperuricemia in a population of the Coastal City of Qingdao, China. J. Rheumatol;33:13461350. Wisesa Ida Bagus Ngurah, Ketut Suastika. 2009. Hubungan antara konsentrasi asam urat serum dengan resistensi insulin pada penduduk suku bali asli di dusun Tenganan Pengringsingan Karangasem. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS Sanglah. Denpasar. J. Penyakit dalam, Volume 10: 110-121 DAFTAR PUSTAKA Baxter Karen. 2008. Stockley’s Drug Interactions. Eigth edition. Pharmaceutical Press. London. Cipolle R. J., Strand L. M., Moorley P. C., 1998, Pharmaceutical Care Practice, McGraw-Hill. Dincer H. Erhan, Ayse P. Dincer, Dennis J. Levinson. August 2002. Asymptomatic hyperuricemia: To treat or not to treat. Cleveland Clinic Journal of Medicine Volume 69 • Number 8: 594-608 Kelley W. N., Wortmann R. L. 1997. Crystal-associated synovitis: gout and hyperuricemia. In: Kelly W. N., Harris E. D., Ruddy S., Sledge C. B., editors. Textbook of 59