52 analisa drug related problems pada pasien hiperurisemia di

advertisement
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 17, No. 1, 2012, halaman 52-59
ISSN : 1410-0177
ANALISA DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN HIPERURISEMIA
DI BANGSAL RAWAT INAP DAN RAWAT JALAN PENYAKIT DALAM
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
Ririn Anjelin1, Helmi Arifin1, Raveinal2, Deswinar Darwin1
1
Fakultas Farmasi Universitas Andalas Padang
2
Bagian Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
ABSTRACT
This research was a prospective observational study using descriptive cross sectional
approach and performed at all patients of hyperuricemia with or without
accompanying diseases at Interne Ward and Polyclinic DR. M. Djamil Hospital
Padang during Maret to May 2011, by census. The data obtained were analyzed
using descriptive analysis method. Results showed that type of DRPs frequently
occured at 110 patients with hyperuricemia with/without accompanying diseases at
Interne polyclinic was drug interactions of pharmacokinetic and pharmacodynamic at
36 patients. Adverse drug reaction 9 patients, non-compliance of patients 5 patients.
Drug terapy without medical indication, lower and higher dose, inappropriate drug
selection, inappropriate drug administration interval were had no problems. At the
Interne Ward from 7 patients, the DRPs frequentlyy occured were drug interactions
(3 patients), higher drug dose (2 patients), adverse drug reactions (2 patients), patient
non-compliance (2 patients), inappropriate drug administration interval (1 patient),
drug therapy without medical indication (1 patient), and other DRPs had no
problems. There was non toxic drug interactions or adverse drug reactions was found
during this study.
Keywords: hyperuricemia, drug related problems.
PENDAHULUAN
Drug Related Problems (DRPs)
merupakan kejadian yang tidak
diharapkan dari pengalaman pasien
akibat atau diduga akibat terapi obat
sehingga kenyataannya akan dapat
menggangggu
keberhasilan
pemyembuhan yang diharapkan. DRPs
selain merugikan pasien juga dapat
menghambat keberhasilan suatu terapi.
Sebuah penelitian di Inggris yang
dilakukan pada salah satu unit
perawatan umum menemukan 8,8%
kejadian DRPs pada 93% pasien
darurat. Dapat dilihat juga dari catatan
sejarah bahwa di Amerika pada tahun
1997 terjadi 140 ribu kematian dari 1
juta pasien yang dirawat di rumah
sakit akibat adanya DRPs dari obat
yang diresepkan (Cipolle, Strand,
Moorley,1998).
Hiperurisemia adalah suatu keadaan
dimana konsentrasi asam urat serum di
atas 6,0 mg/dL (wanita) dan 6,8
mg/dL (pria). Hampir 10% individu
dewasa
menderita
hiperurisemia
setidaknya sekali dalam seumur hidup
mereka. Kebanyakan dari mereka
tidak memerlukan pengobatan lebih
lanjut. Hiperurisemia juga dapat
menyebabkan resiko komplikasi yang
tinggi seperti gout, urolithiasis,
nefropati asam urat akut, dan hal ini
52
Ririn A., et al.
perlu dilakukan evaluasi untuk
menjelaskan penyebabnya serta untuk
mendapatkan pengobatan yang sesuai
(Dincer, Ayse& Dennis, 2002).
Di China pada tahun 2006, Nan et al.,
mendapatkan prevalensi hiperurisemia
sebesar 25,3% pada orang dewasa usia
20 – 74 tahun. Informasi ini
membuktikan bahwa kadar asam urat
serum mengalami peningkatan pada
suatu
populasi
seiring
dengan
perubahan gaya hidup manusia yang
cenderung kurang memperhatikan
asupan
makanannya
(Nan,2006;Lin,2000;Kelley,1997).
Besarnya
angka
kejadian
hiperurisemia
pada
masyarakat
Indonesia belum ada data yang pasti.
Penelitian lapangan yang dilakukan
pada penduduk kota Denpasar, Bali
mendapatkan prevalensi hiperurisemia
sebesar 18,2% (Wisesa,2009).
Merujuk pada uraian di atas maka
perlu dilakukan penelitian Drug
Related Problems pada pasien
hiperurisemia. Penelitian ini dilakukan
dengan analisis deskriptif yang
dikerjakan secara prosfektif tehadap
suatu populasi terbatas yaitu seluruh
pasien hiperurisemia pada bangsal
rawat inap dan rawat jalan penyakit
dalam di RSUP DR. M. Djamil
Padang selama bulan Maret sampai
Mei 2011. Data pasien hiperurisemia
didapat dari bangsal rawat inap dan
rawat jalan penyakit dalam, kemudian
dilakukan pencatatan rekam medik
dibangsal rawat inap. Kekurangan
rekam medik dilengkapi dengan
melihat catatan perawat, Depo Farmasi
bangsal penyakit dalam,
melihat
kondisi
pasien
langsung
dan
wawancara dengan pasien dan/atau
keluarga pasien.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis data
Meliputi
masalah-masalah
yang
ditemukan dalam terapi hiperurisemia
yakni penggunaan obat yang tidak
diperlukan, indikasi tanpa obat,
ketidaktepatan pemilihan obat, dosis
yang berlebih atau kurang, terjadinya
efek samping obat, terjadinya interaksi
obat yang dianalisis secara kualitatif.
2. Sumber data
Sumber data meliputi rekam medik
pasien yang menjalani terapi obat
untuk hiperurisemia serta wawancara
pasien dan/atau keluarga pasien di
bangsal rawat inap dan rawat jalan
penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang.
3. Penetapan obat yang akan
dievaluasi
Obat yang akan dievaluasi adalah
obat-obat yang digunakan oleh pasien
selama menjalani terapi hiperurisemia
di bangsal rawat inap dan rawat jalan
peyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang.
4. Penetapan sampel yang akan
dievaluasi
Sampel yang dipilih adalah pasien
hiperurisemia yang mempunyai kadar
asam urat > 6,8 mg/dL (pria) dan > 6,0
mg/dL (wanita) yang menjalani terapi
hiperurisemia dan/atau mempunyai
riwayat hiperurisemia sebelumya di
bangsal rawat inap dan rawat jalan
penyakit dalam di RSUP DR. M.
Djamil Padang selama bulan Maret
sampai Mei 2011.
5. Penetapan standar penggunaan
obat
Standar penggunaan obat ditetapkan
berdasarkan standar terapi penyakit
dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
edisi V tahun 2008, formularium yang
53
Ririn A., et al.
berlaku dan literatur-literatur ilmiah
lainnya.
6. Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan melalui
pencatatan rekam medik di bangsal
rawat inap dan rawat jalan penyakit
dalam di RSUP DR. M. Djamil
Padang meliputi data-data yang
berkaitan
dengan
DRPs
serta
kelengkapan data pasien lainnya
(seperti umur, jenis kelamin, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit
sebelumnya,
riwayat
penyakit
keluarga, riwayat obat terdahulu,
tindakan terapi terhadap penyakit
hiperurisemia, diagnosa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang, dll).
Data yang diambil dipindahkan ke
lembaran pengumpul data yang telah
disiapkan. Kekurangan rekam medik
dilengkapi dengan melihat catatan
perawat, catatan obat depo farmasi
Ilmu Penyakit Dalam (IPD) melihat
kondisi pasien langsung dengan
mewawancarai
pasien
dan/atau
keluarga pasien.
7. Analisa data
Data
ditabulasikan
kemudian
dibandingkan
terhadap
kriteria
penggunaan
obat
yang
telah
ditetapkan.
Hasil
perbandingan
menunjukkan persentase beberapa
kategori drug related problems yang
muncul selama pasien menjalani terapi
dengan kriteria penggunaan obat yang
tidak diperlukan, indikasi tanpa obat,
ketidaktepatan pemilihan obat, dosis
yang berlebih atau kurang, terjadinya
efek samping obat, dan terjadinya
interaksi obat.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
rawat jalan penyakit dalam dan 7
pasien hiperurisemia dengan atau
tanpa penyakit penyerta di bangsal
rawat inap penyakit dalam RSUP DR.
M. Djamil Padang. Hasil analisa
terjadi atau tidaknya Drug Related
Problems pada pasien hiperurisemia di
bangsal rawat inap dan rawat jalan
penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang selama bulan Maret sampai
dengan Mei 2011 adalah sebagai
berikut :
Tabel 1. Jumlah Pasien Hiperurisemia
dan Penyakit Penyerta yang
Mengalami
Drug Related
Problems di Poliklinik Khusus
Penyakit Dalam RSUP. DR. M
Djamil Padang
No
Drug Related
Jumlah
.
Problems
Pasien
1.
Indikasi tidak dapat
0
2.
obat
Terapi obat tanpa
0
3.
indikasi medis
Ketidaktepatan
0
4.
pemilihan obat
Terjadinya
0
5.
Kelebihan dosis obat
Terjadinya
0
6.
Kekurangan dosis
36
7.
obat
Terjadinya Interaksi
9
8.
Obat
5
9.
Terjadinya Reaksi
Efek Samping Obat
0
Ketidakpatuhan
Pasien
Ketidaktepatan
Interval Pemberian
Obat
110
Total pasien
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini telah diseleksi
110 pasien hiperurisemia dengan atau
tanpa penyakit penyerta di instalasi
54
Ririn A., et al.
Tabel 2. Jumlah Pasien Hiperurisemia
dan Penyakit Penyerta yang
Mengalami
Drug Related
Problems di Bangsal Rawat
Inap Penyakit Dalam RSUP.
DR. M Djamil Padang
Drug Related
Jumlah
No
Problems
Pasien
1. Indikasi tidak dapat
0
2. obat
Terapi obat tanpa
1
3. indikasi medis
Ketidaktepatan
0
4. pemilihan obat
Terjadinya kelebihan
2
5. dosis obat
Terjadinya
0
6. kekurangan dosis
6
7. obat
Terjadinya interaksi
2
8. obat
2
9. Terjadinya reaksi
efek samping obat
1
Ketidakpatuhan
pasien
Ketidaktepatan
interval pemberian
obat
7 orang
Total pasien
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
di poliklinik khusus penyakit dalam
dan di bangsal rawat inap penyakit
dalam RSUP DR. M. Djamil Padang
tidak ditemukan adanya pasien dengan
indikasi tidak dapat obat. Semua
pasien yang masuk dalam data
penelitian ini telah diberikan terapi
obat sesuai dengan kondisi klinisnya.
Pasien dengan kondisi klinis yang
mengindikasikan
keadaan
hiperurisemia
diberikan
terapi
antihiperurisemia untuk mengontrol
kadar asam urat dalam darah. Selain
keadaan hiperursemia biasanya selalu
ada keadaan klinis lain yang juga
memerlukan terapi tambahan.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
Untuk penggunaan obat tanpa indikasi
ditemukan satu masalah pada salah
satu pasien di bangsal rawat inap
penyakit dalam, dimana terjadi
duplikasi terapi yang tidak perlu pada
1 orang pasien yang diberikan dua
buah antihistamin dengan mekanisme
kerja yang sama, yaitu CTM dan
loratadin. Keduanya bekerja bekerja
dengan cara berkompetisi dengan
histamin pada reseptor H1 di saluran
gastrointestinal dan pembuluh darah.
Efek samping loratadin yang paling
sering muncul adalah sakit kepala
maka untuk pasien ini yang memiliki
masalah vertigo sebaiknya loratadin
tidak
perlu
digunakan
karena
dikhawatirkan jika efek samping ini
muncul akan mengganggu pasien.
Penggunaan
loratadin
dengan
antihistamin lainnya, dalam kasus ini
CTM, akan meningkatkan toksisitas
loratadin (7). Selain itu pada
pemberian CTM efek samping yang
paling sering terjadi adalah sedasi
dengan
cara
menekan
kerja
neurotransmiter
sistem
stimulasi
(perangsang),
yang
justru
menguntungkan pasien yang dirawat
di rumah sakit atau pasien yang perlu
banyak tidur.
Dalam penelitian ini tidak ditemukan
ketidaktepatan pemilihan obat baik di
bangsal rawat inap maupun di
poliklinik khusus penyakit dalam
RSUP DR. M. Djamil Padang. Semua
obat yang digunakan merupakan obat
pilihan untuk kasus pada pasien
hiperurisemia dengan atau tanpa
penyakit penyerta, sesuai dengan
kebutuhan pasien tersebut. Selain itu,
untuk DRPs kategori dosis obat
kurang tidak ditemukan masalah untuk
masing-masing instalasi, tetapi untuk
kategori dosis berlebih ditemukan
permasalahan pada pasien di bangsal
rawat inap penyakit dalam. Kelebihan
55
Ririn A., et al.
dosis obat ini terjadi pada 2 orang
pasien dari total 7 orang pasien yang
masuk dalam data penelitian. Kedua
pasien diberikan lansoprazol 2 x 30
mg/hari. Seharusnya dosis lansoprazol
hanya 30 mg/hari, baik dalam dosis
terbagi ataupun dosis tunggal.
Lansoprazol
diindikasikan
untuk
dyspepsia, refluks gastroesofageal,
tukak lambung, dan tukak yang
diasosiasikan dengan penggunaan
NSAID. Efek samping lansoprazol
yang paling sering muncul adalah
nyeri abdomen, mual, sakit kepala dan
kemerahan pada kulit. Selain itu,
bersihan lansoprazol dari dalam tubuh
akan berkurang pada pasien yag lebih
tua, termasuk pada pasien no. 1 yang
telah berumur 73 tahun dan pasien no.
3 yang berumur 63 tahun dengan
kondisi hati dan ginjal yang fungsinya
telah menurun karena faktor usia
(Martindale,2007).
Jika
bersihan
lansoprazol ini berkurang dari yang
semestinya,
maka
bisa
terjadi
penumpukan atau peningkatan jumlah
konsentrasi lansoprazol dalam plasma.
Akan sangat disayangkan jika karena
kelebihan dosis ini pasien mengalami
efek samping yang pada akhirnya akan
merugikan
pasien
itu
sendiri.
Kelebihan dosis ini bisa disebabkan
karena kesalahan dalam peresepan
atau karena kondisi pasien yang
mengharuskan
dosis
disesuaikan
dengan kondisi klinis pasien.
Efek samping obat yang paling sering
muncul dalam penelitian ini adalah
mual, perut kembung dan nyeri
abdomen, serta gatal-gatal dan nyeri.
Di bangsal rawat inap penyakit dalam
dari 7 pasien 2 orang diantaranya
mengalami efek samping obat berupa
mual dan perut kembung. Di poliklinik
khusus penyakit dalam dari 110 pasien
9 orang diantaranya yang mengalami
efek samping obat merugikan ini. Efek
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
samping ini bisa diatasi dengan
pemberian obat yang dapat menekan
efek tidak nyaman pada saluran cerna,
pemberian bedak kocok salisyl dan
terapi penunjang lainnya. Efek
samping tidak mungkin dihindari atau
dihilangkan sama sekali, tetapi dapat
ditekan atau dicegah seminimal
mungkin dengan menghindari faktorfaktor risiko yang sebagian besar dapat
diketahui. Dampak negatif masalah
efek samping obat dalam klinik antara
lain dapat menimbulkan keluhan atau
penyakit
baru
karena
obat,
meningkatkan biaya pengobatan,
mengurangi kepatuhan berobat serta
meningkatkan
potensi
kegagalan
pengobatan.
Untuk DRPs kategori interaksi obat, di
bangsal rawat inap penyakit dalam
ditemukan 3 orang pasien dari 7
pasien yang mengalami interaksi
farmakokinetik obat dan di poliklinik
khusus penyakit dalam dari 110 pasien
ditemukan 32 orang yang mengalami
interaksi
farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat. Semua interaksi
ini tidak bersifat toksik. Umumnya
interaksi yang terjadi adalah interaksi
obat antara allopurinol dengan obatobat yang digunakan oleh pasien
dengan penyakit penyerta lainnya,
seperti hipertensi, gout dislipidemia,
dan lain-lain. Interaksi yang terjadi
diantaranya adalah interaksi antara
allopurinol
dengan
HCT
(hidrochlorthiazide). Interaksi ini
bersifat farmakokinetik dimana HCT
dapat meningkatkan konsentrasi serum
allopurinol
sehingga
dapat
meningkatkan toksisitas allopurinol.
Pada pasien dengan gangguan ginjal,
interaksi ini dapat meningkatkan
reaksi
hipersentitifitas
(Martindale,2007).
Ekskresi
oxipurinol juga berkurang saat kedua
obat ini digunakan, terutama pada
56
Ririn A., et al.
pasien dengan gangguan ginjal. Pada
beberapa studi menyatakan untuk
pasien dengan fungsi ginjal normal
kejadian peningkatan konsentrasi
serum allopurinol ataupun penurunan
ekskresi oxipurinol tidak terjadi.
Sedangkan untuk studi lainnya
menunjukkan efek allopurinol pada
metabolisme
pirimidin
yang
meningkat seiring dengan penggunaan
diuretik tiazid yang mana berpotensial
meningkatkan hiperurisemia dan pada
akhirnya mengarahkan terjadinya
kerusakan ginjal (Baxter,2008).
Interaksi obat lain yang terjadi adalah
antara allopurinol dengan Aspirin®
(asetosal). Jika digunakan secara
bersamaan
Aspirin®
dapat
meningkatkan kadar asam urat dan
menurunkan
efikasi
allopurinol
sehingga menyebabkan efek yang
diharapkan
tidak
maksimal
(Martindale,2007). Mekanisme kerja
dari interaksi ini belum dapat
dimengerti. Kemungkinan interaksi ini
terjadi pada sekresi tubulus ginjal.
Dalam dosis reguler Aspirin® (325 mg
atau kurang per harinya) belum tentu
dapat menimbulkan interaksi yang
merugikan (Baxter,2008).
Interaksi lain yang terjadi adalah
antara allopurinol dengan obat-obat
dari golongan ACE inhibitor, yaitu
kaptopril dan ramipril. Penggunaan
obat-obat ini secara bersamaan akan
meningkatkan
potensiasi
efek
hipersensitifitas allopurinol, terutama
pada pasien dengan gagal ginjal
kronik.
Penggunaan
allopurinol
dengan kaptopril harus dengan
perhatian terutama pada pasien gagal
ginjal kronik untuk menghindari
terjadinya efek yang tidak diinginkan
(Martindale,2007).
Interaksi
ini
kemunculannya jarang dan tidak bisa
diprediksi.
Pasien-pasien
yang
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
mendapatkan kombinasi kedua obat
ini harus selalu dimonitor jika terdapat
tanda-tanda hipersensitifitas (seperti
reaksi pada kulit) atau rendahnya
jumlah sel darah putih (nyeri
tenggorokan, demam), terutama pada
pasien dengan gangguan ginjal
(Baxter,2008)).
Interaksi-interaksi obat yang terjadi di
atas ada yang bersifat farmakokinetik
dan ada yang bersifat farmakodinamik.
Untuk interaksi farmakokinetik bisa
terjadi pada tahap absorpsi, distribusi,
metabolisme
ataupun
ekskresi.
Sedangkan
untuk
interaksi
farmakodinamik dapat terjadi jika
suatu obat mempengaruhi kerja obat
lainnya. Dari data yang diperoleh,
interaksi obat yang sering terjadi
adalah
interaksi
farmakokinetik.
Dalam penanggulangannya interaksi
farmakokinetik ini dapat dihindari
dengan memberikan jarak penggunaan
antara obat-obat yang berpotensi
terjadi interaksi merugikan selama 1-2
jam. Sedangkan untuk interaksi
farmakodinamik, perlu dimonitor data
laboratorium yang mungkin akan
mengalami
penurunan
atau
peningkatan jika interaksi obat
tersebut terjadi, ataupun dengan
memberikan terapi tambahan atau
terapi pengganti untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya interaksi obat
yang
tidak
diinginkan.
Dari
keseluruhan interaksi obat yang
ditemui, tidak ada yang bersifat toksik.
Pada pasien hiperurisemia dan
penyakit penyerta di poliklinik khusus
penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang ditemukan ketidakpatuhan
pasien sebanyak 5 orang dari 110
pasien yang masuk dalam data
penelitian dan di bangsal rawat inap
penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil
Padang ditemukan ketidakpatuhan
57
Ririn A., et al.
pasien sebanyak 2 orang dari 7 pasien
yang masuk dalam data penelitian.
Pasien yang tidak patuh ini memiliki
alasan
yang
beragam
untuk
ketidakpatuhannya.
Ada
yang
mengaku sering lupa minum obat atau
terlewat waktu minum obat karena
sibuk dengan urusan yang lain, ada
yang memang sengaja tidak meminum
obatnya dengan alasan efek samping
yang ditimbulkan setiap minum obat
itu terasa sangat mengganggu, seperti
efek mual dan nyeri abdomen.
Terutama pada pasien dengan usia
yang tidak lagi muda, hal ini sangat
mengganggu aktifitas mereka.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012



Pada pasien rawat inap, ada ditemukan
ketidaktepatan interval pemberian obat
sebanyak 1 orang dari 7 pasien yang
masuk dalam data penelitian. Pada
pasien no.2 di rekam medik ditulis
pemberian kolkisin 3 x 0,5 mg setiap
15 menit maksimal 6 mg. Dari
penelusuran
literatur,
pemberian
kolkisin untuk serangan gout akut
dimulai dengan dosis oral 0,1 mg
kemudian 0,5 mg setiap 2 – 3 jam
hingga rasa nyeri hilang atau efek
pada gastrointestinal muncul (muntah)
(Martindale,2007). Jika pemberian
kolkisin tiap 15 menit maka dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan
konsentrasi kolkisin dalam darah,
sehingga
kemungkinan
akan
memperparah efek samping yang tidak
diinginkan.
b.


KESIMPULAN
a. Di poliklinik khusus penyakit
dalam.
 Drug related problems kategori
indikasi tidak dapat obat, terapi
obat tanpa indikasi medis,
ketidaktepatan pemilihan obat,
terjadinya
kelebihan
dan
kekurangan dosis obat, serta

ketidaktepatan interval pemberian
obat tidak ditemukan masalah.
Drug related problems kategori
ketidakpatuhan pasien sebanyak 5
orang dari 110 pasien ; hal ini
disebabkan oleh faktor individual
pasien tersebut.
Drug related problems kategori
terjadinya reaksi efek samping
obat sebanyak 9 orang dari 110
pasien; dalam prakteknya hal ini
dapat diatasi dengan pengaturan
penggunaan obat yang tepat
ataupun
pemberian
terapi
tambahan yang memungkinkan
bagi pasien.
Drug related problems kategori
terjadinya
interaksi
farmakokinetik
dan
farmakodinamik obat seanyak 32
orang dari 110 pasien; dalam
prakteknya hal ini telah diatasi
dengan
memberikan
jarak
pemakaian antara obat yang
berinteraksi
ataupun
dengan
memonitoring
kemungkinan
reaksi obat yang tidak diinginkan
yang akan muncul.
Di bangsal rawat inap penyakit
dalam.
Drug related problems kategori
indikasi
tidak
dapat
obat,
ketidaktepatan pemilihan obat dan
terjadinya kekurangan dosis obat
tidak ditemukan masalah.
Drug related problems kategori
terapi obat tanpa indikasi medis
dan
ketidaktepatan
interval
pemberian obat masing-masing
ditemukan pada 1 orang dari 7
pasien yang masuk dalam
pennelitian.
Drug related problems kategori
terjadinya kelebihan dosis obat,
terjadinya reaksi efek samping
obat dan ketidakpatuhan pasien
masing-masing ditemukan pada 2
58
Ririn A., et al.
orang dari 7 pasien yang masuk
dalam penelitian.
 Drug related problems kategori
terjadinya
interaksi
obat
ditemukan pada 3 orang dari 7
pasien yang masuk dalam
penelitian dan dalam prakteknya
hal ini telah diatasi dengan
memberikan jarak pemakaian
antara obat yang berinteraksi
maupun
dengan
melakukan
monitoring data laboratorium
secara
berkala
terhadap
kemungkinan
interaksi
yang
terjadi.
SARAN
Untuk tercapainya terapi hiperurisemia
dan penyakit penyerta yang optimal,
maka diperlukan pencatatan yang jelas
dan lengkap pada rekam medis pasien
dan perhatikan juga kemungkinan
terjadinya reaksi efek samping obat
atau interaksi obat yang mungkin
terjadi dari beberapa kombinasi obat
yang digunakan oleh pasien. Selain itu
diperlukan juga peranan farmasis
klinis di tiap bangsal rawat inap dan
poliklinik.
J. Sains Tek. Far., 17(1), 2012
Rheumatology.
5th
ed.
Philadelphia: W. B. Saunders;
1313-1347.
Lin KC, Lin HY, Chou P. 2000. The
interaction between uric acid
level and other risk factors on the
development of gout among
asymptomatic hyperuricemic men
in a prospective study. J
Rheumatol; 27:1501–1505.
Martindale, 2007. The Complete Drug
Reference (Ed 35). New York:
The Pharmaceutical Press.
Nan H., Qing Qiao, Yanhu Dong, Weiguo
Gao, Bin Tang, Rongli Qian.
2006.
The
prevalence
of
hyperuricemia in a population of
the Coastal City of Qingdao,
China. J. Rheumatol;33:13461350.
Wisesa Ida Bagus Ngurah, Ketut Suastika.
2009.
Hubungan
antara
konsentrasi asam urat serum
dengan resistensi insulin pada
penduduk suku bali asli di dusun
Tenganan
Pengringsingan
Karangasem.
Bagian
Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/RS
Sanglah. Denpasar. J. Penyakit
dalam, Volume 10: 110-121
DAFTAR PUSTAKA
Baxter Karen. 2008. Stockley’s Drug
Interactions.
Eigth
edition.
Pharmaceutical Press. London.
Cipolle R. J., Strand L. M., Moorley P. C.,
1998,
Pharmaceutical
Care
Practice, McGraw-Hill.
Dincer H. Erhan, Ayse P. Dincer, Dennis
J. Levinson. August 2002.
Asymptomatic hyperuricemia: To
treat or not to treat. Cleveland
Clinic Journal of
Medicine
Volume 69 • Number 8: 594-608
Kelley W. N., Wortmann R. L. 1997.
Crystal-associated synovitis: gout
and hyperuricemia. In: Kelly W.
N., Harris E. D., Ruddy S., Sledge
C. B., editors. Textbook of
59
Download