DARI KOLONIALISME HINGGA RUANG DISPLAY Meninjau Museum Dari Kajian Poskolonial ASYHADI MUFSI SADZALI Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jambi, Jambi, Indonesia Telepon: 0741-5917398, Faksimile. 0741-583111 Pos-el: [email protected] Abstrak Perkembangan arkeologi di Indonesia dimulai pada awal abad ke-18 atas munculnya ketertarikan sekelompok masyarakat Eropa terhadap benda dan bangunan kuno yang ada di Indonesia. Dari kolonialisme kuno berubah jadi penjajahan ekonomi dan idiologi. Perubahan bentuk kapitalis kuno dengan kapitalis gaya baru yang intinya sama-sama menghisap dan selalu ada bangsa yang menjajah dan yang dijajah. Dari kolonialisme bahkan berlanjut hingga ke ruang display sebuah museum, diamana segala hal yang ditampilkan tidak terlepas dari aroma kolonialisme. Dimana politik adalah muatan utama yang disisipkan secara kasat mata. Bahkan bayang-bayang kolonialisme masih melekat dalam sistim birokrasi museum yang dengan sadar atau tidak hal ituterus berlangsung hingga kini. Seperti ada kecendrungan dan keyakinan dalam kerangka pikir masyarakat bekas jajahan, bahwa apa yang pernah ditawarkan dan dilakukan kolonial di masa lampau harus dipertahankan karena dianggap lebih baik dan moderen. Kata Kunci: Kolonialisme, ruang display, museum, postkolonial PENDAHULUAN Perkembangan arkeologi di Indonesia dimulai pada awal abad ke-18 atas munculnya ketertarikan sekelompok masyarakat Eropa terhadap benda dan bangunan kuno yang ada di Indonesia. 1 Rumpius disebut-sebut sebagai sejarawan banyak pertama yang melakukan pendataan dan mempertontonkan bangsa jajahan masing- pencatatan yang masing, mulai dari Afrika hingga ke Asia. D’ Egoismenegara-negara penjajah dan saling Amboinsche Rariteitkamer“kamar yang berisi bersaing untuk menempati peringkat terhebat benda-benda unik dari Ambon”terbit pada dan tahun 1705. Selanjutnya pada tahun 1778, digelarnya Royal Sociaty (perkumpulan para petinggi kemudian dimasa sekarang lebih dikenal kolonial) dengan sebutan World Expo. kemudian benda-benda dibukukan dibentuk arkeologi dengan atas judul dasar semangat mencerahkan bangsa jajahan (politik etis). Royal Sociaty kemudian mendirikan Museum Batavia yang kini dikenal dengan sebutan Museum Nasional (Museum Gajah). Sejarah perkembangan museum di Indonesia sangat dipengaruhi dengan situasi politik dunia pada saat itu. Salah satunya adalah Exposition universelle, yang merupakan suatupameran dunia yang dipelopori oleh bangsa-bangsa kolonial yang digelar pada tahun 1889 di Paris, Prancis. Penyelenggraan kegiatan itu selain untuk menampilakan kejayaan masingmasing Negara peserta (Eropa) juga memperlihatkan bangsa jajahan yang dimiliki masing-masing misalnya Negara Belanda peserta.Seperti pada waktu itu menampilkan rumah tradisional Jawa lengkap dengan isi rumah dan orang yang hidup dan tinggal didalamnya. lainExposition Dengan universelle kata merupakan pagelaran untuk menampilkan eksotisme Timur yang pada kenyataannya lebih dekat pada sesuatu yang dianggap aneh, primitif dan bodoh. Pada tahun-tahun berikutnya juga kegiatan teratas serupa merupakan Exposition yang juga landasan nyata universelle yang Sanghai menjadi tuan rumah perhelatan World expopada tahun 2010. Amerika,dan Negara-negara Eropa maupun Jepang pernah menjadi tuan rumah kegiatan tersebut, yang kemudian muncul indikasi bahwa tuan rumah adalah bangsa-bangsa penjajah. sebuah tulisan saya kolonialisme yang dapat kutip dilihat Seperti ”jika sebagai pembentukan budaya, maka demikian juga kebudayaan merupakan pembentukan kolonial” (Dirks, 1992. Hlm. 39). Kalimat singkat tersebut memberikan penjelasan yang panjang kepada kita bahwa masyarakat kolonial serta merta dengan sengaja dan berusaha untuk menciptkan kesadaran palsu dalam masyarakat jajahannya. Salah satu bentuknya telah mereka tampilkan dalam bentuk museum hidup yang dipamerkan padaExposition universelle atau world expo dimasa kini. Ada adu kekuatan dan show up antar masing-masing Negara kuat yang mempunyai tujuan yang sama dengan exposition universelle masa kolonial yakni sebuah bentuk pernyataan tidak langsung manusia baru diduga akan muncul dihadapan bahwa kami yang terhebat, kami adalah tuan mata kita secara langsung. Saat ini, saya tidak dan kalian adalah budak. suka mengatakan begitu, akan tetapi saya Dari kolonialisme kuno berubah jadi penjajahan ekonomi dan idiologi. Perubahan bentuk kapitalis kuno dengan kapitalis gaya baru yang intinya sama-sama menghisap dan selalu ada bangsa yang menjajah dan yang dijajah. Dari kolonialisme bahkan berlanjut hingga ke ruang display sebuah museum, diamana segala hal yang ditampilkan tidak terlepas dari aroma kolonialisme. Dimana politik adalah muatan utama yang disisipkan secara kasat mata. Bahkan bayang-bayang kolonialisme masih melekat dalam sistim birokrasi museum yang dengan sadar atau tidak hal ituterus berlangsung hingga kini. Seperti ada kecendrungan dan keyakinan dalam kerangka pikir masyarakat bekas jajahan, bahwa apa yang pernah ditawarkan dan dilakukan kolonial di masa lampau harus dipertahankan karena dianggap lebih baik dan moderen. Apakah mental-mental budak, dan mental bangsa terjajah itu belum hilang dari bangsa ini? Seperti ada rasa kurang percaya diri dan luka masa lalu yang masih melakat hingga mengkarat dalam karakter dan pola pikir masyarakat bekas jajahan. Ternyata terdapat pengaruh psikologis yang kuat atas masa lalu yang masih terasa hingga dimasa kini, “dan pada hari penindasan berhenti, harus mengatakannya, karena dekolonisasi telah menunjukkannya: ini bukanlah persoalan cara terjadinya, kehidupan yang terjajah untuk waktu yang lama sebelum kita melihat bahwa benar-benar ada manusia baru” (Memmi, 1968. Diikutip dari Gandhi,1998. Hlm. 8). Memmi dalam ungkapanya terlihat pesimis akan adanya mayarakat baru yang benar-benar telah merdeka secara pamikiran dan memiliki mentalitas mandiri dan bermartabat. Apakah luka dan pengaruh kolonialisme begitu dalam dan mendarah daging? Pertanyaan tersebut akan saya jawab dari sudut pandang museum dalam kajian poskolonial. TEORI POSKOLONIAL Foucault dalam bukunya The Arcaheology of Knowladgebanyak memaparkan wacana yang sudut pandang di pengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, khususnya dalam dialektika materialnya. Pengaruhnya kemudian banyak menginspirasi para akademisi yang salah satunya adalah Edward W Said dengan salah satu bukunya yang sangat popular, Orientalism. “Orientalisme secara umum dianggap sebagai katalisator dan titik referensi bagi poskolonialisme, mewakili tahap pertama teori poskolonial” (Gandhi, 3 1998. Hlm. 85-86). Said mempublikasikan mempengaruhi pola pikir dan mentalitas bukunya dalam sehingga semakin tidak percaya diri dan tidak peluncurannya banyak mendapat sambutan mempunyai pegangan sejarah yang kuat dan dari dunia iternasional khususnya Asia-Afrika mudah sebagi bangsa bekas koloni. Said dalam ketergantungan pada sistim-sistim kolonial. pada tahun 1978 dan orientalism mengkaji orientalisme dengan tujuan untuk melihat hubungan sejarah yang tidak seimbang anatara dunia Timur dengan dunia Barat (imperialis Eropa). Kajiannya banyak menggunakan pendekatan cultur studies, membahas tentang berbagai konteks budaya lokal yang menjadi korban langsung kolonialisme. Said membawa pengaruh yang luar biasa bagi analisis kolonialisme dan pemikiran kolonial. Orientalisme dianggap sebagai tahap pertama teori poskolonial. diombang-ambingkan oleh Paparan di atas mengisaratkan bahwa teori poskolonial terlahir praktek-praktek untuk kolonialisme menggugat yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern (orang-orang yang tertindas), bukan dengan propaganda perang atau kekerasan fisik namun dengan dialetkika kesadaran dan pemaksaan gagasan (pola pikir dan mentalitas). Poskolonial mencoba membongkar mitos-mitos yang Studi poskolonial menempatkan dirinya “mengkerdilkan” mental masyarakat bangsa sebagai suatu kajian yang tidak ingin terlepas terjajah dan yang telah menghapus jati diri dari segala bentuk konteks historis yang bangsa. Secara historis kajian poskolonial menaungi bangsa-bangsa yang merasakan adalah kajian akademis yang berkembang dampak-dampak Dampak- pada era tahun 1980-an Dan dari kajian-kajian dampak tersebut tidak bisa di bilang ”usai ini kemudian muncullah gambaran-gmbaran sudah” atau telah berkhir sejak bangsa ini yang tidak menyenangkan dari bangsa-bangsa memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 penjajah ataupun pembentukan (pencitraan) Agustus 1945. Leela Gandhi dalam bukunya gambaran yang tidak sesuai dari bangsa “Teori Poskolonial: Dalam Meruntuhkan terjajah Hegemoni Barat” berpendapat bahwa bansa- kelompok masyarakat yang selalu dianggap bangsa bekas koloni cendrung berusaha lepas barbar, tidak beradab, bodoh dan aneh. Bagi dari luka lama dengan cara amnesia sejarah, kebanyakan orang, kolonialisme hanyalah dengan kata lain secara sengaja menghapus persoalan masa lalu, dan kini dunia sudah sejarah kelam masa penjajahan dari kerangka berubah pikir Tempat yang jauh lebih simpatik terhadap penjajahan. bangsa-bangsa terjajah. Hal ini (bangsa menjadi koloni) tempat sebagai yang suatu berbeda. masyarakat pribumi. Apakah benar seperti Adapun itu? Kajian poskolonial dalam teori maupun Sonobudoyo setelah kolonial Belanda jatuh pemahaman dan pemaparannya teramat luas maka dikelola dibawah pemerintahan Jepang. untuk benar-benar dipaparkan dengan lengkap Setelah kemerdekaan Indonesia kemudian dan mendalam pada kajian ini. Dan teori ditangani oleh Dinas Wiyoto Projo yang poskolonial berlangsung yang saya gunakan dalam sejarah dari perkembangan tahun Museum 1945-1949 lalu pembahasan ini hanyalah sebagai alat untuk kemudian berpindah tangan ke Dinas P dan K membedah persoalan-persoalan yang akan Provinsi D.I.Y. Pada 11 Desember 1973 saya angkat, dan teori poskolonial sebagai berganti tangan ke Dinas Pendidikan dan pisau bedah yang cocok untuk melihat Kebudayaan, museum dari sisi lain. Museum Provinsi yang berada dibawah Dinas MUSEUM SONOBUDOYO DALAM KAJIAN POSKOLONIAL Museum Sonobudoyo dan dimasa kini menjadi Pendidikan dan Kebudayaan. Kolonialisme secara sengaja dibentuk merupakan museum terlengkap setelah Museum Nasional di Jakarta yang terkait dengan seni budaya dan kepurbakalaan. Museum ini merupakan museum pertama dan tertua di D.I.Y yang resmi didirikan pada 6 November 1935. Keputusan mendirikan museum Sonobudoyo merupakan hasil dari kongres Java Institut yang diselenggrakan di Surakarta pada tahun 1931. Perlu diketahui bahwa Java Institut sendiri merupakan sebuah lembaga yang berkecimpung dalam dunia kebudayaan yang beranggotakan mayoritas orang-orang asing. Pada awal pendiriannya, Ir. Th Karsten sebagai perancang banguanannya mendesain bangunan Sonobudoyo sesuai dengan koleksi yang akan ditampilkan, yakni koleksi Jawa, Madura, Bali dan sebagian pulau Lombok. untuk mengubah budaya-budaya tradisonal melalui idiologi daN politik kolonial yakni penaklukan dan pemerintahan. Sistim kolonial serta merta memberikan perubahan yang signifikan terhadap sistim birokrasi dan tatanan pemerintahan. Dalam hal ini ternyata pengaruhnya juga meliputi sistim birokrasi di dalam museum. Contoh kasus yang akan saya angkat adalah srtuktur hirarki birokrasi di museum Sonobudoyo. Secara struktur kepala museum berada pada bagan bagian paling atas yang kemudian dibawahnya pemegang adalah kepala kekuasaan tata usaha. Pimpinan bidang koleksi (kepala pengampu) berada pada posisi ketiga, dan kemudian membawahi beberapa pengampu koleksi (mirip kurator), dan begitu seterusnya hingga level paling bawah. Apabila kepala museum 5 berhalangan dalam tugasnya, maka kekuasaan berjalan dengan kurang maksimal dan kurang dan segala keputusan berada pada tangan sesuai dengan Tupoksi-nya. Sebut saja salah bagian tata usaha. Hal ini bila ditinjau lebih satu contohnya dalam hal pembelian koleksi dalam dan jauh kebelakang merupakan baru yakni satu set wayang baru Cirebon. produk tinggalan kolonial yang ternyata Dalam hal ini yang menentukan pembelian masih belum hilang dalam sistim birokrasi di adalah bagian tata usaha, sementara bagian Indonesia, khusunya didalam museum. Pada pengampu koleksi wayang sendiri (mirip masa kolonial, masyarakat perkebunan seperti kurator) misalnya di Deli Serdang (Sumatera Utara) wewenang berada dibawah seorang administratur, atau mengemukakan pendapat. semacam kepala tata usaha. Sistim ini tidak tahu dan untuk tidak punya bersuara.dan Satu lagi hal aneh yang sering terjadi di adanya museum yakni seringnya terjadi sistim roling kewenangan berlebih dari seorang tata usaha (pertukaran) pegawai. Berdasarkan Kode etik yang tidak paham dan mengerti dengan ICOM untuk museum, museum adalah suatu permuseuman juga dengan koleksi, baik lembaga yang membutuhkan profesionalisme dalam mengatur dan menentukan koleksi dan sumber daya manusia yang kompeten masuk, koleksi keluar ataupun dalam hal dalam bidangnya, bidang-bidang khusus yang pembelian koleksi baru. Bisa dibayangkan membutuhkan knowledge dan pengalaman apa yang terjadi dengan museum dengan hal tingkat tinggi (ICOM, 2007.Hlm. 10-11), tapi tersebut. Secara sistim, semua hal harus aneh justru ada kegemaran dalam museum berawal dari bagian tata usaha dan dengan dengan sistim roling(pertukaran) pegawai sepengetahuannya juga. Kekuasaan yang yang sepenuhnya diatur oleh bagian tata terlalu besar ini mengakibatkan kekacauan usaha.Dalam dalam museum. Ada adu kekuatan dalam satu wewenang, apabila kita merujuk pada kode badan yang kemudian membentuk blok dan etik kelompok. Dalam kasus hilangnya 75koleksi Museum) dalam sub-bab personil tertera pada emas museum Sonobudoyo membawa saya poin 1.11 sampai ikut serta dalam tim evaluasi museum sebagai disebutkan bahwa asisten dari Bapak KRT Thomas dan Daud bertanggung jawab langsung pada pengampu Tanudirjo. koleksi. Dan pengampu koleksi dalam hal Dalam mengakibatkan proses evaluasi yang ICOM struktur birokrasi (International memiliki Council dengan Direktur 1.14, dan of jelas museum hampir berlangsung selama satu bulan, saya kinerjanya independensi dan dapat melihat bagaiamana sistim administrasi hubungan profesionalisme secara langsung dengan Direktur museum, dengan kata lain kolonialis memandang bangsa ini, sehingga Direktur ada anggapan Barat berarti Modern. Dalam museum tidak bisa menyalahgunakan kekuasaannya karena ada proses prosedur hukum yang mengatur dan demikian menggeneralisasi konsep tantang Barat dari juga sebaliknya (ICOM, 2007. Hlm, 2). sebuah entitas goegrafis dan temporal ke Akan tetapi pada kenyataannya dilapangan banyak hal-hal yang menyimpang. Sistim kolonial yang pernah berlangsung begitu lama di negara ini ternyata dalam era modern dan pada generasi yang barusistim itu masih terus berlangsung dan berjalan dalam sebuah pemanfaatan birokarasi. atau Mungkin mungkin juga ada ada tersebut hal itu membantu sebuah kategori psikologis. Dua hal yang berbeda tapi disamarkan seolah-olah sama dengan tujuan politis, dan teranyata bangsa jajahan setuju dengan hal tersebut dan menelannya bulat-bulat. Persoalan diatas hanya sebagaian kecil dari pengaruh kolonialisme yang ternayata masih ada dan perlu di perbaharui ke arah yang lebih baik. kecendrungan untuk mengacu pada sistim Guru yang baik akan mengajarkan hal lama atau seperti meniru, yang dalam yang bahasanya Homi K Bhaba dia menyebutnya melahirkan murid-murid yang sesat. Mungkin dengan istilah mimikri (meniru). Seperti yang ada yang salah dalam pembinaan dan dijelaskan dalam tulisan Nicholas B. Dirks pedoman permuseuman di Indonesia. Itu “dengan memandang kolonialisme sebagai salah satu yang menjadi kecurigaan saya. proyek budaya pengontrol maka menjadi Dalam terpusat anatar permuseuman di Indonesia adalah Direktorat kolonialisme dan kebudayaan” (Dirks, 1992. Permuseuman, hal ini saya simpulkan bukan Hlm. 40) Dengan asumsi lain, kita telah tanpa alasan. Dalam Keputusan Menteri dibentuk oleh pemerintah kolonial, termasuk Pendidikan dalam sistim permuseuman. Seperti yang 0222e/0/1980, Bab V, Pasal 81 dan 82 yakni disebutkan “orientalisme” berupa: merumuskan kebijakan teknis di sebagai sesuatu yang berada di Timur yang bidang permuseuman, melaksanakan kegiatan lebih rendah dan dikontrol oleh Barat, dimana dan terdapat gagasan di dalamnya bahwa identitas melaksanakan urusan tata usaha Direktorat. eropa sebagai identitas yang lebih unggul. Dari penjelasan singkat tersebut kita sudah (Said, 1994. Hlm. 9). Seperti itu lah para dapat menilai dan menyimpulkan bahwa dan ketergantungan Edward Said baik. hal Pelajaran ini dan pembinaan yang yang sesat menjadi Kebudayaan permuseuman, akan guru Nomor: dan 7 tegangan arus rendah yang kini terjadi dalam temukan dalam beberapa museum Pemerintah dunia enrgi-nya di Indonesia, termasuk Sonobudoyo yang berasal dari Direktorat Permuseuman. Dalam pada hakeketnya punya koleksi yang sangat Bungai Rampai (masih jadi tanda tanya dalam luar biasa. benak permuseuman, saya, sumber kenapa Permuseuman yang bunga rampai?) dikeluarkan oleh Direktorat Permuseuman terdapat beberapa DARI KOLONIALISME HINGGA RUANG DISPLAY hal yang janggal dan kurang tepat, antara lain: Jika penelitian-penelitian tentang hukum, terdapat satu sub-bab yang menggunakan tenaga kerja dan pertanian di panggung- bahasa panggung Inggris dengan judul sub-bab kolonial menyingkapkan arti CULTURAL penting utuk pembentukan tatanan-tatanan POLICIES AND MUSEUM DEVOLOPMENT baru, maka pameran-pameran kolonial yang PROGRAMS” dilakukan “FUTURE ORIENTED Sedikit banyaknya ini pada Exposition universelle, menunjukkan betapa orientasi dan arah kiblat Colinial exebition dan pameran dalam bentuk bangsa ini masih menganggap Eropa itu lain memberikan gambaran bahwa barat segalanya. Terbukti tidak ada rasa percaya diri mempertontonkan dan mental bangsa terjajah masih melekat anggapan kuat di dalamnya. Dalam buku tersebut, juga sebenarnya yang perlu diberi pencerahan dan dijelaskan museum menunjukkan siapa “Tuan dan budak”. Atas “museum adalah pengawal warisan budaya” dasar apa Barat dikatakan lebih berbudaya (Bunga Rampai Permuseuman, 1997. Hlm, dibandingkan Timur, atau lebih beradab 15). Museum hanya jadi pengawal, dan bukan dibandingkan Timur? Dalam catatan-catatan hal yang mengherankan jika benda yang penjelajah berada dalam museum adalah sesuatu yang Rodrigues, Jhon Davis dan lain sebagainya bisu dan kaku. Apabila museum itu dipahami jelas-jelas menyebutkan keherananya atas hal- sebagai seorang guru sekaligus teman yang hal luar biasa yang mereka saksikan. Seperti mengasikkan, mungkin akan banyak hal yang misalnya kebiasaan mandi orang Timur dan bisa kita peroleh dari museum dan tentunya hal-hal beradab lainnya. museum pemahaman itu akan tentang sangat mengasikkan. Museum is a story teller, sumber kisah itu adalah koleksi dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya haruslah jadi pencerita yang baik. Dan itu belum saya Timur, kolonial Eropa Orientalisme lebih sebagai seperti seperti kepada kenyataan Tome yang Pires, sering disebutkan Said, oleh agen-agen kulit putih kerap melakukan kesadaran palsu) mistifikasi baik (penciptaan dalam tatanan pemikiran, asrip atau catatan-catatan kolonial Timur maupun sistem yang sengaja dibuat baku keterasingan yang telah secara layak dijadikan untuk tujuan tertentu. Museum adalah salah sebagai cirinya” (Said, 1994. Hlm. 160). satu produk dari kolonialisme, yang dibentuk dan dibuat sesuai pemikiran kolonial dan cara pandangnya. Tentu dalam penciptaannya ada faktor dan maksud tertentu, terlebih dalam hal penyajiannya atau display. Bila kita melihat jauh kebelakang dimana konsep awal dari museum adalah dianggap seperti candi atau kuil-kuil yunani yang suci dan hanya untuk kalangan tertentu, maka tidak heran pada masa-masa awal munculnya museum hanya kaum bangsawan yang bisa mengunjungi museum. Dari bangsawan oleh bangswan untuk bangsawan. Seperti yang terjadi di zaman Romawi dimana kaisar Roma memerkan benda-benda dari negeri jajahan sebagai simbol kekuasaan dan legitimasi kekuatan. Museum di zaman kolonial hadir sebagai bentuk politik dan pernyataan kepada kaum terjajah bahwa hanya Barat yang memiliki ilmu pengetahuan dan Timur patut dipertontonkan atas ketertinggalan dan budaya primitifnya. Budaya material bangsa dari kesuraman, aljenasi dan Museum Sonobudoyo memilik 43.583 koleksi (termasuk 75 unit item yang hilang) baik yang dipamerkan maupun yang disimpan di storage. Ruang pameran dibagi dalam beberapa bagian yang disusun berdasarkan story line(alur pengunjung) yang ditatapkan secara sepihak oleh pihak museum dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Koleksi ditampilkan dalam bentuk menempatkannya pada lemari kaca atau filtrin dan pada bagian bawah koleksi diberi lebel informasi singkat tentang koleksi yang dipamerkan. Bentuk lain adalah berupa diorama dan manakin (boneka tiruan) yang diberi baju dengan wajah dan warna kulit yang semuanya hampir sama lalu diberi lebel informasi singkat. Koleksi yang berukuran besar musiktradisional dan seperti alat-alat artefaktual batu dipamerkan dengan meletakkannya, pada alas tertentu atau terkadang tanpa alas dan dengan tambahan lebel informasi singakat. simbol Apabila kita kembali kemasa kolonial, penaklukkan dan kontrol Eropa atas segala maka koleksi di museum geologi, Batavia hal dalam negeri jajahan. Dan anehnya, museum (museum nasional sekarang) maupun bangsa Eropa mengagap tindakan mereka itu Sonobudoyo di tahun 1935, maka kita akan adalah tindakan agung yang mulia, “dalam melihat hal yang sama, dimana koleksi pandangannya, adalah dipamerkan begitu saja dan yang berbeda seorang pahlawan yang tengah menyelmatkan hanyalah lebel infomasipada koleksi. Karena terjajah di pamerkan orientalis sebagai modern 9 pada waktu itu cara memberikan informasi museum, “jelas sekali, organisasi masa lalu mengenai koleksi seluruhnya digabungkan yang terdekat dibawah rubrik kolonialisme dalam sebuah buku pegangan yang akan anda cendrung mengurangi ke anekaragaman” bawa berkeliling (Gandhi. 2006. Hlm. 221). Museum bukan lah mengunjugi museum. Koleksi dipamerkan sebuah lembaga yang netral. Selalu ada hanya karena keberpihakan terhadap suatu pandangan yang eksotismenya (anggapan kolonial) seperti subjektif, namun hal ini bukan berarti harus yang disebutkan Rumpius dalam bukunya D’ mengingkari Amboinsche Rariteitkamer “kamar yang berisi kenyataan. Keberadaan suku yang lainnya benda-benda unik dari Ambon”, jelas hal itu juga harus ditampilkan. Dalam sebuah jurnal merujuk pada maksud orientalisme atau berjudul sesuatu hal yang aneh, primitif, eksotis, bodoh traditional curation in women’s weaving dan rongsokan masa lalu. Museum juga culture” disebutkan bagaiamana Museum dibentuk sebagai tempat untuk melihat betapa Kapuas Raya – Sintang Kalimantan Barat Barat begitu agung dan beradab sedangkan menyajikan Timur adalah sesuatu yang konyol dan pantas masyarakatnya yang beragam dengan arif dan untuk dijajah dan diberikan pencerahan. Bagi bijaksana. Antar etnis ada proporsi yang mereka museum itu tidak lebih sebagai sama, dan ditampilkan sesuai dengan cara tempat pandang masyarakat tersebut terhadap budaya kemana-mana sebagai untuk selama barang tontonan membanggakan diri, kebenaran “community dan menutupi base display dari berbagai mereka. Demikian politik untuk kepentingan tertentu. Hal ini kolonial dalam bukan tidak berlandasan dan beralasan, tapi Timur kenyatannya bisa kita lihat dari sejarah dipertanyakan sudut pandang dan cara mereka pemebentukan dan perkembangan museum melihat dan menjiwai koleksi tersebut dalam “berawal dari konsep candi” yang suci dan penyajiannya di ruang display. untuk kalangan tertentu. halnya etnik mengagungkan rasnya, dan sebagai ajang dalam juga museum: memamerkan sebuah dengan eksotisme museum. Patut Homi K Bhaba salah seoarang akademisi NKRI atau Negara Kesatuan Republik yang banyak membicarakan Indonesia, tercipta oleh akibat kolonialisme, berkebangsaan tanpa itu kita mungkin berdiri sebagai istilah mimikri. Mimikri itu sendiri berarti Negara-negara Keaneka meniru. Dalam kajian poskolonial banyak ragaman budaya yang begitu mejemuk tidak juga yang menggunakan kajian sastra, dalam luput hal ini berupa novel yang bercerita tentang dari yang praktek berbeda. kolonialisme dalam India yang poskolonial mencetuskan pengalaman-pengalaman bekas untuk berkunjung serta tidak bisa menikmati koloni. Terlihat ada kecendrungan mimikri dan mengambil pelajaran dari apa yang pada bangsa bekas jajahan. Dimana mereka ditawarkan dalam museum. Sungguh ironis banyak meniru dan mengikuti pandangan dan dan menyedihkan bila pengunjung tidak bisa pola-pola parapelajar menggambil pelajaran dari museum yang pribumi yang bersekolah di Belanda suka sejatinya adalah media edukasi dan jendela meniru budaya kolonial. beberapa bangsa Misalnya lagu Belanda dengan peradaban bangsa. mengganti liriknya dalam bentuk bahasa jawa spekolonialisme, atau Melayu. Dalam dunia permuseuman hal penindasan, pembodohan dan politik yang ini ternayata juga terjadi. Ada kecendrungan membosankan. meniru kenapa museum di Barat begitu edukatif, dan melanjutkan cara-cara Lalu muncul pertanyaan, dilakukan dua ketimpangan di dalamnya, tidak ada penjajah kemungkinan untuk hal tersebut, kurang dan yang terjajah, dan itu dibentuk dan percaya pada kemampuan sendiri atau pola diciptakan untuk sesama mereka dalam kaca pikir yang masih mengangap kolonial itu mata dan sudut pandang yang sama. Dan selalu lebih pintar, modern dan ahli dalam dengan tujuan museum yang sebenarnya, bidang tersebut. Hasilnya dapat kita saksikan yakni sendiri pada museum-museum yang ada Muncul pertanyaan kedua dalam benak saya, disekitar kita, seperti misalnya Sonobudoyo apakah dan lain sebagainya. Indonesia Ada Melihat museum Sonobudoyo dari sudut pandang poskolonial memberikan pemahaman bahwa sistim dan birokrasi di museum masih terjebak dalam bayang-bayang kolonialisme. Aturan dan cara pandangnya masih berada dibawah temeram lentera merah putih biru. Tidak mengherankan jikalau nafas dan aroma kolonialisme begitu kental di museum-museumsehingga bangsa pribumi yang pada dasarnya alergi kolonialis enggan mencerdasakn sebenarnya di masa Sebab hanyalah inovatif kolonial. kratif? isinya pengelolaan museum seperti yang pernah bangsa dan karena Museum tidak kehidupan tujuan kini ada bangsa. museum adalah di untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Atau hanya untuk kepentingan politik saja? KESIMPULAN Dalam kesimpulannya, praktek-praktek kolonial dibangsa ini masih belum tuntas diberantas oleh Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pendekatan poskolonial yang bertitik berat pada kajian historikal material cukup membuka tirai praktek-praktek terselubung kolonialisme di 11 dalam museum, yang baik secara sadar atau Museum sebagai objek tunggal dalam pun tidak hal itu perlahan berubah jadi sebuah tulisan ini masih menyimpan warisan kolinial kebiasaan. Mengutip istilah Homi K Bhaba, di dalamnya, baik secara birokrasi, konsep, mimikri atau kecendrungan untuk meniru dan tata pamer koleksi. Sonobudoyo saya sangat kental dalam museum-museum di jadikan objek kasus dikarenakan keterlibatan Indonesia. Seolah-olah ada hokum dan aturan dalam evaluasi museum Sonobudoyo. Data baku yang kaku yang mewajibkan semua dan informasi yang saya perolah cukup museum itu harus sama, padahal museum mampu membukakan mata dan melihat dari yang ideal adalah museum yang memiliki luar maupun dari dalam sistim yang berjalan cirri khas tersendiri dan konsep yang original di museum Sonobudoyo. Evaluasi bukan sesui dangan visi dan misi museum yang untuk menghujat dan menghakimi, tapi untuk bersangkutan. bahwa memperbaiki untuk menjadi lebih baik lagi. poskolonialisme dikaitkan antara totalitas dan Dalam hal ini rekomendasi yang saya struktur poitik di satu sisi, dan fragmen politik tawarkan adalah perubahan sistim birokrasi di lain sisi” (Gandhi. 2006. Hlm. 215). dari museum Provinsi ke museum BLA Museum yang pada dasarnya adalah lembag (Badan Layanan Umum) dimana museum edukasi langsung “Dapat masyarakat dikatakan ternyata juga tidak bertanggung kedua, jawab terlepas dari politik. Sektiadi dalam sebuah Gubernur.yang jurnal berjudul “Politics in the Museum: the seminar dan workshop permasalahan museum Appearances of the Museum Sonobudoyo and se-Indonesia yang mungkin bisa diadakan the Museum Yogya Kembali, Yogyakarta” setahun sekali. Yang terakhir adalah, perlu mengulas dari sudut pandang politik simbolik adanya sebuah jurnal ilmiah permuseuman dimana museum dijadikan sebuah wahana yang terbit sebulan atau dua bulan sekali, politik penguasa. Arkeologi sebagai sebuah karena dengan demikian kita akan dapat disiplin ilmu tidak bisa terlepas dari politik melihat bagaiman dinamika perkembangan maupun dari politisi yang mempolitikinya. dunia permuseuamn di Indonesia baik swasta Hal ini jelas disebutkan dalam sebuah buku maupun yang ditulis Randall H. McGuire berjudul memberantas “Arcaheology as Political Action” arkeologi melakat pada museum di Indonesia butuh memang tidak bisa terlepas dari modernisasi kerja keras dan keterlibatan dari segala pihak. dan perkembangan budaya global, dimana Perlu adanya pembaharuan sistim dan tatacara kapitalis memegang peranan dominan. juga cara pandang museum itu sendiri. Butuh pemerintah. warisan perlu Akhir di kepada kata, kolonialisme adakan untuk yang waktu dan proses untuk menuju museum ideal bangsa Indonesia yang sesuai dan mendidik bangsanya. DAFTAR PUSTAKA Bhaba, K. Homi. 2004. The Location of Culture. Routledge Classics. New York. Dirks. B. Nicholas. 1992. Introduction: Colonialism and Culture. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Direktorat Permuseuman. 1997. Rampai Permuseuman. Jakarta. Bunga Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial. Upaya Untuk Merentuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. ICOM. 2007. ICOM Code of Ethics for Museum. Terjemahan. ICOM Indonesia. Jakarta. McGuire H. Randall. 2008. Arcaheology As Politcal Action. University of California Press. Said. W Edward. 1994. Orientalism. New York: Random House, Inc. Sagita, Novia. 2007. Community based museum: Traditional Curation in Women’s Weaving Culture. Amsterdam: KIT Publisher. Tanudirjo, A. Daud. 1995. Theoritical Trends In Indoneisan Archaeology. Theory In Archaeology A World Perspective. Routladge. New York. 13