1. Ekspresi Hes-1 pada CML fase lanjut

advertisement
BAB V. PENUTUP
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekspresi Hes-1 pada CML fase lanjut lebih rendah dibandingkan fase kronik.
2. Ekspresi CEBPA tidak berbeda antara CML fase kronik dan fase lanjut.
V.2. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah:
1. Penelitian pada sampel pasien CML fase lanjut perlu dilakukan dengan
menggunakan besar sampel yang memenuhi jumlah minimum sehingga
dapat mewakili populasi.
2. Penelitian pada gen lain yang diduga terkait dengan Hes-1 dan CEBPA perlu
dilakukan baik secara in vitro, in vivo pada hewan coba, maupun pada
sampel pasien untuk mengetahui gambaran yang lebih komprehensif
mengenai peran kedua gen tersebut dalam perkembangan CML.
3. Penelitian dengan desain kohort mengenai Hes-1 dan CEBPA mulai dari
pasien CML fase kronik yang diikuti sampai fase lanjut perlu dilakukan
untuk melihat dinamika ekspresi kedua gen tersebut, sehingga dapat lebih
mengetahui peran kedua gen tersebut pada setiap fase CML.
54
55
V.3. Ringkasan
V.3.1. Pendahuluan
Chronic myeloid leukemia (CML) merupakan penyakit keganasan neoplasma
dengan angka insidensi yang cukup tinggi. CML berkaitan erat dengan gen fusi
BCR-ABL (Frazer et al., 2007; Skroski, 2012) yang ditunjukkan dengan lebih
kurang 90-95% kasus mempunyai gen fusi BCR-ABL. Gen fusi BCR-ABL ini
terjadi akibat translokasi resiprokal antara kromosom 9 dengan kromsosom 22
membentuk kromosom Philadelphia. Translokasi tersebut menyebabkan terbentuk
gen fusi BCR-ABL yang mengkode protein onkogenik P210BCR-ABL (Frazer et al.,
2007; Perrotti et al., 2010; Apperley, 2015). BCR-ABL memiliki aktivitas tirosin
kinase tinggi yang menyebabkan peningkatan aktivasi jalur sinyal intraseluler untuk
proliferasi dan survival bagi sel myeloid (Frazer et al., 2007; Sillaber et al., 2003;
Rumpold & Webersinke, 2011).
CML dibagi menjadi tiga fase berdasarkan progresivitasnya, yaitu fase
kronik, akselerasi, dan blast crisis. World Health Organization (WHO)
mengkarakterisasi ketiga fase tersebut berdasarkan jumlah sel myeloid imatur (sel
blast) yang terakumulasi dalam darah atau bone marrow. Pasien fase kronik
biasanya memiliki jumlah sel blast kurang dari 10%, pasien fase akselerasi memiliki
jumlah sel blast 10-20% sedangkan pasien fase blast crisis memiliki jumlah sel blast
lebih dari 20%. Blast crisis merupakan fase terminal pada CML dan terjadi akibat
terhentinya proses diferensiasi (differentiation arrest) sel-sel myeloid (Calabretta &
Perrotti, 2010).
Jalur molekuler progresivitas CML dari fase kronik menjadi fase lanjut
(akselerasi dan blast crisis) belum sepenuhnya dipahami. Mutasi genetik atau
perubahan kromosomal kedua (secondary mutation) setelah BCR-ABL diduga
56
memiliki pengaruh paling besar dalam progresivitas malignansi sel myeloid imatur
(Calabretta & Perrotti, 2010; Shet et al., 2002). Selain itu, resistensi terhadap terapi
inhibitor tirosin kinase juga mempercepat progresivitas penyakit tersebut (Sillaber et
al., 2003).
Proses diferensiasi myeloid terutama diinduksi oleh gen CEBPA yang
mengkode protein C/EBP-α (CCAAT-enhancer binding protein alpha) (Chang et
al., 2007), yaitu protein yang berperan menginduksi transkripsi gen-gen terkait
diferensiasi. Pada kasus CML, ekspresi CEBPA dihambat oleh berbagai gen,
diantaranya BCR-ABL, Hes-1, dan hnRNP-E2 yang berakibat pada terhentinya
diferensiasi myeloid dan perkembangan CML fase kronik menjadi blast crisis
(Chang et al., 2007; Liu et al., 2015). Gen Hes-1 (hairy enhancer of split 1)
merupakan represor transkripsi beberapa gen, salah satunya adalah CEBPA.
Penelitian terdahulu secara in vitro dan in vivo pada mencit model menunjukkan
terdapat peningkatan ekspresi gen Hes-1 pada kasus CML. Oleh karena itu,
peningkatan ekspresi Hes-1 diduga dapat berakibat pada terhambatnya ekspresi gen
CEBPA, sehingga menyebabkan diferensiasi sel myeloid juga terhambat (Ward et
al., 2000; Chang et al., 2007; Nakahara et al., 2010; Liu et al., 2015).
Namun, kondisi tersebut belum sepenuhnya terbukti pada manusia.
Penelitian yang dilakukan pada pasien CML menunjukkan bahwa hanya 8 dari 20
pasien blast crisis yang diuji sampel darahnya mengalami peningkatan ekspresi Hes1 (Nakahara et al., 2010). Pemeriksaan ekspresi CEBPA pada kasus CML juga
belum pernah dilakukan pada manusia. Penelitian mengenai ekspresi CEBPA yang
sudah pernah dilakukan baru secara in vitro saja (Chang et al., 2007). Berdasarkan
uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi Hes-1 dan
CEBPA pada CML fase kronik dan fase lanjut.
57
V.3.2. Metode
Penelitian ini menggunakan sampel RNA total dari pasien CML di RSUP Dr.
Sardjito (2010-2015) yang pada saat terdiagnosis berada pada fase kronik (n=61)
dan pasien yang pada saat terdiagnosis berada pada fase lanjut (n=17). Kriteria
sampel yang digunakan yaitu sampel berasal dari RNA pasien CML usia 18-65
tahun yang terdiagnosis CML pada fase kronik atau yang terdiagnosis CML pada
fase akselerasi dan blast crisis, positif BCR-ABL serta tidak menderita keganasan
lain dilihat dari data rekam medik. Selain itu, sampel RNA tersebut tidak memiliki
konsentrasi rendah (<500ng/µL). Penelitian ini telah mendapat izin dari Komisi Etik
Fakultas Kedokteran UGM dengan Nomor Izin Etik KE/FK/640/EC/2016.
Analisis ekspresi gen Hes-1 dan CEBPA dilakukan menggunakan mesin
Real Time ABI (Applied Biosystem) 7500 Fast. Primer yang digunakan yaitu:
GAPDH 5’GCA CCG TCA AGG CTG AGA AC 3’ (forward) dan 5’ TGG TGA
AGA CGC CAG TGG A 3’ (reverse); Hes-1 5’ GGC GAA AGG ACT TAG GAC
TG 3’ (forward) dan 5’ CGA TTC CCT GTA GCT GCA TT 3’ (reverse); serta
CEBPA 5’ CGA TTC CCT GTA GCT GCA TT 3’ (forward) dan 5’ CCC ATG
GCC TTG ACC AAG GAG 3’ (reverse). Program untuk reaksi amplifikasi adalah
sebagai berikut: 10 menit pada suhu 95°C sebanyak 1 siklus, serta 15 detik pada
suhu 95°C dan 1 menit pada suhu 60°C sebanyak 40 siklus.
Data yang diperoleh di analisis secara statistik menggunakan program
SPSS.21 untuk membandingkan rerata nilai R (fold change) ekspresi relatif mRNA
Hes-1 terhadap GAPDH serta mRNA CEBPA terhadap GAPDH pada kelompok
fase kronik dengan fase lanjut. Analisis untuk melihat distribusi data dilakukan
terlebih dahulu dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila distribusi
58
data normal, analisis dilanjutkan menggunakan unpaired t-test untuk melihat beda
nyata rerata nilai R kedua gen antara kelompok fase kronik dengan fase lanjut.
Apabila distribusi data tidak normal, maka dilakukan upaya normalisasi data terlebih
dahulu. Upaya normalisasi dilakukan dengan mentransformasi data menjadi bentuk
log menggunakan program SPSS.21. Apabila data tetap terdistribusi tidak normal,
maka dilakukan uji beda nyata menggunakan Mann Whitney test. Analisis
peningkatan atau penurunan ekspresi Hes-1 dan CEBPA pada sampel pasien
dilakukan dengan cara membandingkan nilai ekspresi Hes-1 dan CEBPA pada
individu sehat (normal) sebagai standar penilai dengan ekspresinya pada kasus
CML.
V.3.3. Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek terdiagnosis
pertama kali pada rentang usia 18-39, yaitu sebesar 47,5% (29/61) pada fase kronik
dan 52,9% (9/17) pada fase lanjut (Tabel 6). Pada beberapa sumber disebutkan
bahwa kasus CML jarang ditemui pada anak-anak atau usia muda. Di Asia, usia
rerata pasien saat pertama kali terdiagnosis adalah pada usia 40-an, dan usia tersebut
lebih rendah dari negara-negara Barat, yaitu pada rentang usia 55-80 tahun (GarciaManero et al., 2003; Kim et al., 2010). Hal tersebut cukup mendukung pernyataan
sebelumnya bahwa kasus CML di Asia banyak ditemukan pada usia 40-an,
meskipun di Indonesia banyak kasus yang ternyata ditemukan pada usia lebih muda.
Pada penelitian ini, perbandingan persentase jenis kelamin subyek laki-laki dan
perempuan fase kronik hampir seimbang, yaitu sebesar 54,1% : 45,9%. Pada fase
lanjut, persentase laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, yaitu sebesar
70,6% : 29,4% (Tabel 6). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya
59
yang menyebutkan bahwa rasio penderita laki-laki : perempuan adalah 1,3-2,2 : 1
(Garcia-Manero et al., 2003; Frazer et al., 2007). Meskipun demikian, belum ada
penelitian yang menyebutkan bahwa baik usia maupun jenis kelamin merupakan
faktor yang mempengaruhi CML secara langsung atau tidak, sehingga masih perlu
dilakukan penelitian lebih jauh lagi mengenai hal tersebut.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat variasi individu yang
tinggi pada ekspresi Hes-1 fase kronik (Gambar 11A), dengan nilai maksimum
sebesar 1264,9 dan nilai minimum 0,0 (Lampiran 4). Hal tersebut juga dibuktikan
dengan tingginya nilai standar deviasi, yaitu sebesar 236,6 (Tabel 7). Hasil
pemeriksaan ekspresi Hes-1 pada fase lanjut juga menunjukkan adanya variasi
individu (Gambar 11A), meskipun tidak sebesar pada fase kronik dengan nilai
maksimum sebesar 127,2 dan nilai minimum sebesar 0,01 (Lampiran 5). Nilai
standar deviasi ekspresi Hes-1 fase lanjut adalah sebesar 30,7 (Tabel 7). Di sisi lain,
variasi individu pada ekspresi CEBPA lebih rendah dibandingkan dengan ekspresi
Hes-1 (Gambar 11B). Hal ini ditunjukkan dengan lebih rendahnya standar deviasi
CEBPA, yaitu 16,0 pada fase kronik dan 2,4 pada fase lanjut jika dibandingkan
dengan ekspresi Hes-1 (Tabel 7). Ekspresi CEBPA fase kronik mempunyai nilai
maksimum sebesar 122,3 dan nilai minimum sebesar 0,0, dan pada fase lanjut
mempunyai nilai maksimum sebesar 4,9 dan nilai minimum sebesar 0,2 (Lampiran 4
dan 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan variasi individu
pada sampel yang digunakan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor lain
seperti gen-gen yang mempengaruhi ekspresi Hes-1 dan CEBPA. Analisis
microarray pada penelitian sebelumnya menunjukan bahwa terdapat heterogenisitas
mutasi gen yang terjadi pada kasus CML. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
belum dapat diketahui gen yang secara konsisten mengalami mutasi pada CML
60
selain BCR-ABL (Nowicki et al., 2003). Variasi individu yang ditemukan pada
penelitian ini diduga dapat disebabkan karena mutasi gen yang berbeda tersebut,
sehingga mungkin dapat mempengaruhi ekspresi Hes-1 dan CEBPA.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan secara in vitro dan in vivo,
ekspresi Hes-1 meningkat pada CML blast crisis. Penelitian pada sampel pasien
(n=20) juga menunjukkan bahwa ekspresi Hes-1 meningkat pada 40% sampel pasien
blast crisis (Nakahara et al., 2010). Namun, pada penelitian ini ekspresi Hes-1 yang
meningkat hanya ditemukan pada 17,6% sampel pasien fase lanjut (akselerasi dan
blast crisis) (Tabel 8). Peningkatan tersebut tidak cukup tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian Nakahara et al. (2010) yang menyebutkan bahwa ekspresi Hes-1
meningkat pada 40% sampel pasien blast crisis. Hal tersebut dapat disebabkan
karena terdapat berbagai faktor diantaranya adalah gen-gen yang mempengaruhi
ekspresi Hes-1. Pada penelitian ini, ekspresi Hes-1 dibandingkan antara CML fase
kronik dan fase lanjut, sedangkan pada penelitian Nakahara et al. (2010), ekspresi
Hes-1 hanya dilihat pada CML blast crisis saja. Belum ada penelitian sebelumnya
yang membandingkan ekspresi Hes-1 pada CML fase kronik dan fase lanjut. Hasil
penelitian ini menunjukkan ekspresi Hes-1 lebih tinggi secara signifikan pada fase
kronik dibandingkan fase lanjut (Tabel 7). Ekspresi Hes-1 meningkat pada 70,5%
(43/61) sampel pasien fase kronik yang digunakan, sedangkan pada fase lanjut,
ekspresi Hes-1 yang meningkat hanya ditemukan pada 17,6% (3/17) sampel saja
(Tabel 8). Hasil tersebut tidak sesuai dengan hipotesis penelitian ini bahwa ekspresi
Hes-1 lebih tinggi pada fase lanjut dibandingkan fase kronik. Namun, jumlah sampel
yang tidak seimbang antara fase kronik dan fase lanjut pada penelitian ini juga
diduga dapat mempengaruhi hasil analisis statistik. Meskipun demikian, hasil
penelitian ini juga dapat mengasumsikan bahwa Hes-1 kemungkinan tidak berperan
61
secara dominan dalam proses penghambatan diferensiasi pada kasus CML. Dalam
beberapa sumber disebutkan bahwa peranan Hes-1 dalam perkembangan penyakit
terkait keganasan hematologi masih belum jelas. Beberapa penelitian menyebutkan
Hes-1 berperan sebagai onkogen sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa
Hes-1 berperan sebagai tumor suppressor gene (Espinosa et al., 2010; SakataYanagimoto et al., 2015; Tian et al., 2015). Berdasarkan penelitian sebelumnya,
dapat diketahui bahwa Hes-1 berperan untuk meregulasi berbagai jalur, baik jalur
proliferasi, diferensiasi, maupun apoptosis, dan dapat berperan sebagai onkogen
maupun tumor suppressor gene. Dari hasil penelitian ini belum dapat diketahui
peran Hes-1 dalam perkembangan CML secara langsung.
Penelitian secara in vitro dan in vivo menyebutkan bahwa ekspresi CEBPA
dapat dihambat oleh BCR-ABL melalui jalur MAPK-hnRNP-E2 pada kasus CML
blast crisis (Chang et al., 2007). Pada penelitian tersebut, ekspresi CEBPA hanya
dilihat pada CML blast crisis saja dan belum dilihat pada fase kronik. Pada
penelitian ini, ekspresi CEBPA dibandingkan antara CML fase kronik dan fase
lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi CEBPA pada fase kronik lebih
tinggi dibandingkan fase lanjut, namun hasil tersebut tidak berbeda nyata secara
statistic (Tabel 7). Meskipun demikian, persentase sampel dengan ekspresi CEBPA
yang menurun pada fase kronik maupun fase lanjut hampir seimbang, yaitu sebesar
42,6% (26/61) pada fase kronik dan 47,1% (8/17) pada fase lanjut (Tabel 8).
Persentase yang cukup besar pada fase kronik dan fase lanjut tersebut dapat
menimbulkan dugaan bahwa terhambatnya diferensiasi akibat ekspresi CEBPA yang
rendah pada kasus CML sudah dimulai sejak fase kronik, sehingga tidak menutup
kemungkinan bahwa ekspresi CEBPA yang rendah pada kedua fase memiliki peran
dalam perkembangan CML. Meskipun demikian, hasil penelitian ini belum dapat
62
membuktikan bahwa ekspresi CEBPA yang rendah dapat menyebabkan diferensiasi
sel myeloid terhambat. Jumlah sampel yang tidak seimbang antara fase kronik dan
fase lanjut pada penelitian ini diduga dapat mempengaruhi hasil analisis statistik.
Selain itu, berbagai faktor diantaranya adalah gen-gen yang mempengaruhi ekspresi
CEBPA juga diduga dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
V.3.4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekspresi Hes-1 pada CML fase lanjut lebih rendah dibandingkan fase kronik.
2. Ekspresi CEBPA tidak berbeda antara CML fase kronik dan fase lanjut.
Download