PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT EMOSI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. F DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG PUNTADEWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA DISUSUN OLEH : RAYINDA KINANDIKA NIM. P.11105 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT EMOSI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. F DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG PUNTADEWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan DISUSUN OLEH : RAYINDA KINANDIKA NIM. P.11105 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT EMOSI PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. F DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG PUNTADEWA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA”. Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta. 3. Joko Kismanto S.Kep.,Ns, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini. 4. S.Dwi Sulisetyowati, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini. 5. Maula Mar’atus Solikhah, S.Kep.,Ns selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya karya tulis ilmiah ini. 6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya serta menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Teman-teman mahasiswa khususnya kelas 3B Program Studi DIII Keperawatan Stikes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan karya tulis ilmiah ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Surakarta, 8 Mei 2014 Penulis DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul …………………………………………………………... i Pernyataan Keaslian Tulisan ……………………………………………... ii Lembar Persetujuan ……………………………………………………… iii Lembar Pengesahan ……………………………………………………… iv Kata Pengantar ………………………………………………………….. v Daftar Isi ………………………………………………………………… vii Daftar Tabel ……………………………………………………………... x Daftar Gambar …………………………………………………………... xi Daftar Lampiran …………………………………………………………. xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………. 1 B. Tujuan Penulisan …………………………………………….. 4 C. Manfaat Penulisan …………………………………………… 5 BAB II TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan ………………………….. 6 1. Pengertian Perilaku Kekerasan ………………………….. 6 2. Tanda Dan Gejala ……………………………………….. 7 3. Rentang Respon …………………………………………. 8 4. Faktor Predisposisi ………………………………………. 9 5. Faktor Presipitasi ………………………………………… 11 6. Proses Terjadinya Masalah ………………………………. 11 B. Konsep Asuhan Keperawatan ………………………………. 15 1. Pengkajian ……………………………………………….. 15 2. Pohon Masalah …………………………………………... 22 3. Masalah Keperawatan …………………………………… 22 4. Data Yang Perlu DiKaji …………………………………. 23 5. Diagnosa Keperawatan ………………………………….. 25 6. Rencana Tindakan Keperawatan ………………………… 25 7. Implementasi Keperawatan ……………………………… 31 8. Evaluasi Keperawatan …………………………………… 33 C. Konsep Nafas Dalam ……………………………………….. 34 1. Pengertian Relaksasi ……………………………………. 34 2. Prosedur Relaksasi Nafas Dalam ……………………….. 35 D. Emosi / Stress ……………………………………………….. 36 1. Pengertian Stress /Emosi ………………………………..... 36 2. Tanda dan gejala Stress / Emosi ………………………..... 36 3. Pengukuran Stress ……………………………………….. 38 BAB III LAPORAN KASUS A. Pengkajian …………………………………………………… 40 B. Diagnosa Keperawatan ………………………………………. 46 C. Intervensi …………………………………………………….. 47 D. Implementasi ………………………………………………… 50 E. Evaluasi ……………………………………………………… 51 BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian …………………………………………………… 54 B. Diagnosa Keperawatan ………………………………………. 58 C. Rencana Keperawatan ……………………………………….. 60 D. Implementasi ………………………………………………… 64 E. Evaluasi ……………………………………………………… 67 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.......……………………………………………... 70 B. Saran.........…………………………………………………… 73 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.3 Data yang perlu dikaji ………………………………………. 24 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Rentang Respon Marah ………………………………………. 8 Gambar 2.2 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan …………………. 23 Gambar 3.1 Genogram …………………………………………………….. 39 Gambar 3.2 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan …………………. 43 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lembar Konsultasi Karya Ilmiah Lampiran 2 Log Book Lampiran 3 Format Pendelegasian Pasien Lampiran 4 Asuhan Keperawatan Lampiran 5 Jurnal Utama Lampiran 6 DASS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sehat jiwa menurut WHO (World Healt Organitation) adalah karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan pribadinya (Ade, 2011). Menurut Departemen Kesehatan Indonesia (DEPKES RI, 2008), sehat jiwa adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai satu kesatuan yang utuh terdiri dari unsur fisik, mental, dan sosial. Gangguan mental adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsi-fungsi kejiwaan terhadap stimulus eksternal dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian, suatu organ, atau sistim kejiwaan / mental (Kartini Kartono dalam Erlinafsiah 2010). Skizofrenia menurut Maramis adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada proses pikir serta disharmonisasi antara proses pikir, afek atau emosi, kemampuan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan terutama karena waham dan halusinasi. Afek dan emosi inadekuat, ambi valensi dan perilaku bizar.Skizofrenia berasal dari kata “skizo” yang berarti retakan atau pecah (split), dan “frenia” yang berarti jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan kepribadian (splitting of personality). Keretakan kepribadian pada seseorang adalah perilaku yang menyimpang, misalnya cemas yang berlebihan sehingga menimbulkan kekerasan pada orang lai (Hawari, 2001 dalam jurnal Erviana dan Arif, 2008). Penggolongan gangguan jiwa sangat beraneka ragam menurut para ahli berbedabeda dalam pengelompokkannya. Menurut Damaiyanti (2010) dalam jurnal Afdanisa dan Welly (2012), perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan Sundeen dalam Nita Fitria, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan kelingkungan, kedalam diri atau secara distrukif (Patricia D. Barry dalam Yosep 2010). Menurut Atkinson, bahwa pasien skizofrenia menunjukkan perilaku menarik diri, cemas, terisolasi dan sulit diatur, sehingga akan mempengaruhi mental klien. Menurut Marasmis, bahwa terapi yang dapat dilakukan meliputi: psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, psikoterapi analitis, terapi seni kreatif, terapi perilaku dan terapi kerja (Wiramihardja (2004) dalam jurnal Erviana dan Arif, 2008). Menurut Stuart & Sundeen, jenis pelayanan kesehatan yang biasa dilakukan pada penanganan pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan diatas adalah: isolasi ruangan, pemberian medika mentosa (pengobatan), pengikatan dan pembentukan tim krisis. Kesemuanya masih mengarah pada perlindungan pada aspek keselamatanpada pasien dan orang lain yang ada disekitarnya (Djoko dan Arif, 2005). Salah satu bentuk terapi perilaku adalah dengan tehnik relaksasi. Relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan tegangan, pertama-tama jasmaniah yang ada pada akhirnya mengakibatkan mengendurnya ketegangan jiwa Wiramihardja (2004). Cara relaksasi dapat bersifat respiratoris yaitu dengan mengatur mekanisme atau aktifitas pernafasan atau otot dilakukan dengan tempo atau irama intensitas yang lebih lambat. Keteraturan dalam bernafas khususnya dengan irama yang tepat, akan menyebabkan sikap mental dan badan akan rileks. Pelatihan otot akan menyebabkan otot makin lentur dan menerima situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuatnya kaku (Erviana dan Arif, 2008). Negara Indonesia khususnya Propinsi Jawa Tengah prevalensi gangguan jiwa mangalami peningkatan mulai tahun 2005 sampai tahun 2010 (Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2005-2010). Hal ini menunjukkan bahwa gangguan jiwa termasuk gangguan kesehatan yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat (Astia, 2008). Berdasarkan laporan periode bulan Maret 2014, pasien yang dirawat di ruang Puntadewa RSJD Surakarta didapatkan dari 30 pasien yang mengalami gangguan jiwa, 14 pasien mengalami halusinasi, 6 pasien mengalami isolasi sosial dan 10 pasien mengalami perilaku kekerasan. Berdasarkan hasil pengkajian penulis terhadap Tn. F dengan perilaku kekerasan didapatkan data subyektif klien bingung, agresif, tidak kontrol diri, marah-marah, dan membakar istrinya dengan rokok karena keinginannya tidak terpenuhi, data obyektif : klien tampak kesal, wajah merah, mata melotot, suara dengan nada tinggi. Latar belakang tersebut mendorong penulis untuk membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Emosi Pada Asuhan Keperawatan Tn.F Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Puntadewa Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta”. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Melaporkan Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Emosi Pada Asuhan Keperawatan Tn.F Dengan Perilaku Kekerasan Diruang Puntadewa RSJD Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada Tn.F dengan perilaku kekerasan. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn.F dengan perilaku kekerasan. c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Tn.F dengan perilaku kekerasan. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada Tn.F dengan perilaku kekerasan. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada Tn.F dengan perilaku kekerasan. f. Penulis mampu menganalisa hasil Pemberian Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Tingkat Emosi Pada Asuhan Keperawatan Tn.F Dengan Perilaku Kekerasan di ruang Puntadewa RSJD Surakarta. C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis Dapat meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman nyata penulis dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. 2. Bagi profesi keperawatan Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan, sehingga klien mendapatkan penanganan yang cepat, tepat dan optimal. 3. Bagi institusi rumah sakit Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak rumah sakit untuk membuat kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan. 4. Bagi pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan khususnya pada klien dengan perilaku kekerasan dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN 1. Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Stuart dan sundeen 1995, dalam Fitria 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari keadaan emosi secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan kelingkungan, kedalam diri atau secara distrukif (Patricia D. Barry dalam Yosep 2010). Dari beberapa penjelasan diatas mengenai perilaku kekerasan penulis menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, dimana perilaku kekerasan ini dapat dilakukan secara verbal maupun fisik, disertai dengan tingkah laku yang tidak terkontrol. 2. Tanda Dan Gejala Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut meliputi (Fitria, 2010): a. Fisik Mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku. b. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus. c. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif. d. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut. e. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme. f. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat. g. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. h. Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual. 3. Rentang Respon Respon Adaptif Asertif Frustasi Respon Maladaptif Pasif Agresif Kekerasan Gambar 2. 1 Rentang respon marah Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2010) Keterangan: a. Asertif Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan. b. Frustasi Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak menemukan alternatif. c. Pasif Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya. d. Agresif Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol. e. Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta kehilangan kontrol. 4. Faktor Presdiposisi Faktor presdiposisi perilaku kekerasan yaitu (Fitria, 2010): a. Biologis Dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator / pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada sistem neurofisiologis dapat menimbulkan respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada peningkatan kadar hormon testoteron atau progesteron. Pengaturan perilaku agresif adalah dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino-neropinetrin. b. Psikologis Agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan. Gangguan ekspresi marah disebabkan karena ketidakmampuan menyelesaikan agresif yang menyebabkan individu berperilaku destruktif. Sedangkan menurut Freud menyatakan bahwa sejak dilahirkan individu akan mengalami ancaman yang perlu diekspresikan. Perilaku destruktif terjadi apabila ancaman tersebut menguasai individu. Menurut Freud, agresi berasal dari rasa frustasi akibat ketidakmampuan individu mencapai tujuan. Bila individu tidak mampu mengekspresikan perasaannya individu akan marah pada dirinya. Frustasi dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan kecemasan sehingga individu merasa harga dirinya terganggu. Konflik juga merupakan ancaman bagi individu yang dapat mencetuskan perilaku agresif. Persepsi yang salah tehadap konflik yang terjadi dapat membuat individu menjadi agresi. Teori ekstensi yang dikemukakan oleh Fromm menyatakan bahwa tingkahlaku individu didasarkan pada kebutuhan hidup. Bila cara konstruktif individu akan berperilaku agresif. Perilaku destrukstif juga dapat disebabkan oleh kegagalan mendapatkan eksistensi akibat kondisi sosial yang tidak sejalan dengan niat dan alasan individu. c. Sosiokultural Norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi agresif individu. Teori lingkungan sosial mengemukakan bahwa norma yang memperkuat perilakunya disebabkan ekspresi marah yang pernah dialami sebelumnya. Orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu cenderung mudah marah; yang disebut “Acting Out” terhadap marah. Bila privacy / pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka responnya berupa agresif/amuk. Tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian dari proses sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman langsung. Pola subkultural cenderung menyebabkan imitasi tingkah laku agresi yang mengarah pada amuk. Ahli teori sosial berpendapat bahwa komponen biologi tingkah laku agresif berhubungan denagn aspek-aspek psikososial. 5. Fator Presipitasi Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury sacara psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang (Yosep, 2010). Ketika seorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal maupun ekternal. Contoh stressor eksternal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua, yakni : a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri. b. Lingkungan: rebut, kehilangan orang/obyek yang berharga, konflik interaksi sosial. 6. Proses Terjadinya Masalah a. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Penyebab Menurut Stuart dan Sundeen (1998) penyebab resiko perilaku kekerasan adalah: 1) Harga diri rendah Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan. Tanda dan gejala : a) Mengkritik diri sendiri. b) Perasaan tidak mampu. c) Pandangan hidup yang pesimistis. d) Tidak menerima pujian. e) Penolakan terhadap kemampuan diri f) Kurang memperhatikan kemampuan perawatan diri. 2) Mekanisme koping tidak efektif Mekanisme koping tidak efektif adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar. Mekanisme koping tidak efektif diantaranya adalah: a) Mengalihkan Pengalihan emosi yang semula ditujukan pada seseorang / benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit pengancam dirinya. b) Mengingkari Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitif. c) Disosiasi Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya. d) Proyeksi Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi. e) Rasionalisasi Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima. f) Regresi Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini. g) Splitting Sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai positif dan negatif di dalam diri sendiri. h) Represi Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang; merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain i) Supresi Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang disadari; pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang; kadangkadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya. j) Sublimasi Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyalurannya secara normal. b. Proses Terjadinya Masalah Ditinjau Dari Akibat Menurut Stuart dan Sundeen (1995) dalam Fitria (2010) klien dengan resiko perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai / membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Tanda dan gejala pada klien dengan perilaku kekerasan antara lain : fisik, verbal, perilaku, emosi, intelektual, spiritual, sosial, perhatian B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Menurut Stuart dan Laria (2001) dalam Dalami (2010), pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor presdiposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Pengkajian merupakan langkah pertama proses keperawatan dan meliputi pengumpulan, organisasi dan analisis data. (American Nurrses Association (1994), dalam Videbeck 2008). Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. Pengkajian keperawatan pada klien Resiko Perilaku Kekerasan meliputi : a. Pengumpulan data 1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status merital, suku/bangsa, nomor medrec, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat dan alamat. 2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat. b. Alasan masuk dan faktor presipitasi Faktor pencetus Resiko perilaku kekerasan meliputi ancaman terhadap fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal, ancaman eksternal. c. Faktor Predisposisi Faktor pendukung terjadinya Resiko Perilaku kekerasan adalah biologis yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/ pengatur perilaku.Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif.Psikologis menjelaskan bahwa agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima.Respon tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan dan sosiokultural dimana norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi agresif individu. d. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan dengan pendekatan persistem meliputi: 1) Sistem integumen; terdapat gangguan kebersihan kulit, klien tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri. 2) Sistem saraf; kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping obat anti psikotik. 3) Sistem penginderaan; ditemukan tidak adanya halusinasi dengar, penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien mengalami gangguan afeksi dan kognisi sehingga tidak mampu untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat kecemasan yang meningkat. 4) Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah , denyut nadi, dan suhu klien. e. Aspek psikologis, sosial dan spiritual 1) Aspek Psikologis a) Genogram; berisi tentang struktur keluarga dengan minimal tiga generasi. b) Konsep diri (1) Gambaran diri; meliputi bagian tubuh yang disukai klien dan bagian tubuh yang tidak disukai oleh klien. Apakah klien ada hambatan dengan bagian tubuh yang tidak disukainya? (2) Identitas diri; meliputi status dan posisi klien di keluarga dan kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan. (3) Peran diri; meliputi peran yang diemban oleh klien di keluarga dan lingkungannya. (4) Ideal diri; persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai standar pribadi. (5) Harga diri; penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. 2) Aspek sosial Klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya bersifat curiga dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain, mudah tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran untuk berinteraksi dengan orang lain. 3) Aspek spiritual Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa, kegiatan ibadah yaitu kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah dan pendapat klien tentang kegiatan ibadah. 4) Status mental a) Penampilan Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap tubuh lemah dan kontak mata kurang. b) Pembicaraan Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi klien selama wawancara apatis dan mudah tersinggung c) Aktivitas motorik Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur, tegang, gelisah dan biasanya terdapat tremor. d) Alam perasaan Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan, putus asa, ketakutan, khawatir? e) Afek Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai?Interaksi selama wawancara. Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang? f) Interaksi selama wawancara Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang? g) Persepsi Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan, pengecap, penghidu cenestetik, maupun kinestetik. h) Isi pikir Kadang-kadang ada ide yang tidak realistik seperti waham, fantasi, obsesi, dan phobia. i) Proses pikir Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial, tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea dan blocking. j) Tingkat kesadaran Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini?kejadian yang baru saja terjadi dan kejadian masa lalu. k) Memori Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang dan jangka pendek atau tidak? l) Tingkat konsentrasi dan berhitung Menilai tingkat konsentrasi klien apak mudah beralih, atau tidak mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung klien. m) Kemampuan penilaian Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan masalah, klien masih mampu untuk mengambil keputusan dengan tepat atau tidak. n) Daya tilik diri Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke rumah sakit dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa. 5) Kebutuhan Persiapan Pulang Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya, adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan tempat rujukan perawatan atau pengobatan. 6) Mekanisme koping Pada pasien dengan skizofrenia perlu dikaji mekanisme koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit maupun mekanisme koping pasien selama menghadapi masalah di rumah sakit jiwa. 7) Masalah psikososial dan lingkungan Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah pasien di lingkungannya, apakah pasien sering bermasalah dengan orang di sekitarnya? 8) Pengetahuan klien Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh pasien mengenal penyakitnya.Hal ini juga digunakan untuk merencanakan kegiatan atau tindakan selanjutnya. 9) Aspek Medik Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya mendapatkan obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol, Clorpromazine, dan anti kolinergik seperti Triheksifenidil serta Electro Convulsive Therapy (ECT) 10) Daftar Masalah Keperawatan Berisi tentang masalah-masalah keperawatan yang didapat dari pengumpulan data. 11) Pohon Masalah Umumnya masalah keperawatan saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Keliat, 2006). Pada pohon masalah terdapat tiga komponen penting yaitu: a) Prioritas masalah keperawatan (masalah utama) merupakan masalah utama klien dari berbagai masalah. b) Penyebab (causal) adalah salah satu masalah keperawatan yang menyebabkan munculnya masalah utama. c) Akibat adalah masalah keperawatan yang terjadi akibat masalah utama. 2. Pohon Masalah Resiko perilaku menciderai diri diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Akibat Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik Gangguan pemeliharaan kesehatan Defisit perawatan diri: mandi dan berhias Perilaku kekerasan Masalah Utama Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah Gangguan konsep diri: Harga diri rendah kronis Penyebab Gambar 2. 2 Pohon masalah Perilaku kekerasan Sumber: Keliat, (2006) 3. Masalah Keperawatan Masalah keperawatan yang mungkin muncul (Fitria, 2010) : a. Perilaku kekerasan. b. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. c. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis d. Gangguan pemeliharaan kesehatan e. Defisit perawatan diri: mandi dan berhias f. Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah. g. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik. 4. Data Yang Perlu Dikaji Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan Data yang perlu dikaji Subjektif: 1. Klien mengancam 2. Klien mengumpat dengan kata-kata yang kotor. 3. Klien mengatakan dendam dan jengkel. 4. Klien mengatakan ingin berkelahi 5. Klien menyalahkan dan menuntut. 6. Klien meremehkan Obyektif 1. Mata melotot/ pandangan tajam. 2. Tangan mengepal. 3. Rahang mengatup. 4. Wajah memerah dan tegang. 5. Postur tubuh kaku. 6. Suara keras. Harga diri rendah Subyektif 1. Mengungkapkan dirinya measa tidak berguna. 2. Mengungkapkan dirinya merasa tidak mampu. 3. Mengungkapkan dirinya tidak semangat untuk beraktivitas atau bekerja. 4. Mengungkapkan dirinya tidak malas melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting). 5. Menarik diri secara sosial. 6. Menarik diri dari realita. Obyektif 1. Mengkritik diri sendiri. 2. Perasaan tidak mampu. 3. Pandangan hidup yang pesimistis. 4. Tidak menerima pujian. 5. Penurunan produktivitas. 6. Penolakan terhadap kemampuan diri. Resiko menciderai diri Subyektif sendiri, orang lain, dan 1. Klien mengungkapkan cemas dan khawatir. lingkungan. 2. Klien mengungkapkan apa yang dilihat dan didengar mengancam dan membuatnya takut. Obyektif 1. Wajah klien tampak tegang. 2. Mata merah dan melotot. 3. Rahang mengatup. 4. Tangan mengepal. 5. Mondar mandir. Tabel 2.3 Data yang perlu dikaji (Fitria, 2010). 5. Diagnosa Keperawatan Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul (Damaiyanti, 2012) : a. Perilaku Kekerasan, b. Harga diri rendah kronik, c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, limgkungan, dan verbal). 6. Rencana Tindakan Keperawatan Perencanaan keperawatan untuk pasien resiko perilaku kekerasan rencana intervensi dapat digunakan untuk mengatasinya adalah sebagai berikut: Kesadaran diri perawat dan klien sangat penting karena akan mempengaruhi intervensi dan interaksi antara klien dan perawat (Keliat, 2006). Bila secara emosi belum siap sebaiknya intervensi ditunda, merumuskan batasan marah bersama klien untuk mengenalkan pada klien arti dan makna marah sehingga klien dapat mengukur dirinya, pengendalian terhadap kekerasan dengan melibatkan lingkungan sekitar dan psikofarmaka, latihan asertif dengan cara menurunkan energi dan emosi kemarahan dengan cara yang biasa dilakukan klien setelah itu dilakukan komunikasi secara asertif untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut Stuart dan laria (2001) perencanaan keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosis tertentu. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosis tertentu. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau dimiliki klien. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien. Umumnya, kemampuan klien pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosis keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat selesai, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki klien agar klien percaya pada kemampuan menyelesaikan masalah ( Stuart dan laria (2001), dalam Dalami, 2010). a. Fokus Intervensi Resiko Perilaku Kekerasan Tujuan umumnya adalah klien tidak melakukan tindakan kekerasan. Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi adalah wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada kontak mata, bersedia menceritakan perasaan. Intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus kedua yaitu klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kriteria evaluasinya yaitu klien menceritakan penyebab perasaan jengkel/kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Intervensi keperawatannya adalah bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya dengan motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Kriteria hasilnya adalah klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan yaitu tanda fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, dan lain-lain, tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar, tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi keperawatannya yaitu bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya: motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tandatanda fisik) saat perilaku kekerasan terjadi, motivasi klien menceritakan kondisi emosinya (tanda-tanda emosional) saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda-tanda sosial) saat terjadi perilaku kekerasan. Tujuan khusus keempat yaitu klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi klien menjelaskan: jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya saat melakukan kekerasan, efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah. Intervensi keperawatannya yaitu diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini: motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi. Tujuan khusus kelima yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah klien menjelaskan akibat tindak kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri: luka, dijauhi teman, dll, orang lain/keluarga: luka, tersinggung, ketakutan, dll, lingkungan: barang atau benda rusak dll. Untuk intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada: diri sendiri, orang lain / keluarga, lingkungan. Tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi klien mampu menjelaskan cara-cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien: apakah klien mau mempelajari cara baru mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang diketahui klien, jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan marah dengan cara fisik: nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olah raga, verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang lain, sosial: latihan asertif dengan orang lain, spiritual: sembahyang / doa, zikir, meditasi, dsb sesuai keyakinan agamanya masingmasing. Tujuan khusus ketujuh yaitu klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinnya adalah klien memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan: fisik: tarik nafas dalam, memukul bantal / kasur, verbal: mengungkapkan perasaan kesal / jengkel pada orang lain tanpa menyakiti, spiritual: zikir / doa, meditasi sesuai agamanya. Intervensi keperawatan meliputi, diskusikan cara yang mungkin dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang mungkin untuk mengungkapkan kemarahan, melatih klien memperagakan cara yang dipilih: memperagakan cara melaksanakan cara yang dipilih, menjelaskan manfaat cara tersebut, menganjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, memberi penguatan pada klien, memperbaiki cara yang masih belum sempurna. Menganjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah / jengkel. Tujuan khusus kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien. Intervensi keperawatannya meliputi diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatasi perilaku kekerasan, mendiskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku kekerasan, menjelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga, memperagakan cara merawat klien (menangani perilaku kekerasan), memberi kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, memberi pujian kepada keluarga setelah peragaan, menanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan. Tujuan khusus kesembilan yaitu klien menjelaskan: manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat , dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan dan klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. Intervensi keperawatannya adalah menjelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat, menjelaskan kepada klien: jenis obat (nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien. Dan anjurkan klien untuk minta dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat. b. Fokus Intervensi Harga Diri Rendah Tujuan Umumnya: Klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap. Tujuan Khusus pertama: Klien dapat membina hubungan saling percaya, intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien. Tujuan Khusus kedua: klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki, intervensi keperawatannya adalah diskusikan kemampuan dan sapek positif klien, beri inforcement atas kemampuan mengungkapkan perasaanya. Saat bertmu klien, hindari member penilaian negatif.Utamakan member pujian yang realitis. Tujuan Khusus ketiga: klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan, intervensi keperawatannya adalah mendiskusikan emampuan klien yang masih dapat digunakan selama sakit, diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan dirumah. Tujuan Khusus keempat: rencanakan aktifitas yang dapat dilakukan, intervensi keperawatannya adalah rencanakan bersama klien aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan: kegiatan mandiri,kegiatan dengan bantuan minimal. 7. Implementasi Keperawatan Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat adalah menggunakan rencana yang tidak ditulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal (Dalami, 2010) Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi secara singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tekhnikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak (inform consent) dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan dan peran serta yang diharapkan dari klien. Semua tindakan yang telah dilaksanakan antara lain membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan, mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan, dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan beserta respons klien. 8. Evaluasi keperawatan Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respons klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir yaitu (Dalami, 2009): S : Respon subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan O : Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien saat tindakan dilakukan, tau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi. A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau ada masalah baru dan ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien (PR), dan tindak lanjut oleh perawat. C. KONSEP NAFAS DALAM 1. Pengertian Relaksasi Teknik relaksasi merupakan tindakan eksternal yang mempengaruhi tindakan internal individu. Contoh relaksasi yaitu biofeedback, yoga, meditasi, latihan relaksasi progresif (Carpenito, 2000). Relaksasi adalah status hilang dari tegangan dari otot rangka dimana individu mencapai melalui tehnik yang disengaja (Carpenito (2000), dalam jurnal Erviana dan Arif, 2008) Teknik yang dapat dilakukan untuk mengurangi perilaku kekerasan diantaranya teknik relaksasi. Alasannya adalah jika melakukan kegiatan dalam kondisi dan situasi yang relaks, maka hasil dan prosesnya akan optimal. Relaksasi merupakan upaya untuk mengendurkan ketegangan jasmaniah, yang pada akhirnya mengendurkan ketegangan jiwa. Salah satu cara terapi relaksasi adalah bersifat repiratoris, yaitu dengan mengatur aktivitas nafas. Pelatihan relaksasi pernafasan dilakukan dengan mengatur mekanisme pernafasan baik tempo atau irama dan intensitas yang lebih lambat dan dalam. Keteraturan dalam bernapas, menyebabkan sikap mental dan beban yang relaks sehingga menyebabkan otot lentur dan dapat menerima situasi yang merangsang luapan emosi tanpa membuat kaku (Wiramihardja, 2007, hlm. 132 dalam jurnal Nanny dan Sujarwo 2010). Nafas dalam yaitu bentuk latihan nafas yang terdiri atas pernafasan abdominal (diafragma) dan purse lips breathing (Asmadi, 2008). Teknik relaksasi nafas dalam adalah sebuah teknik yang telah lama diperkenalkan dapat dipakai untuk menciptakan ketenangan, menguranngi tekanan supaya klien merasa nyaman, dina dkk, 2009. Menurut Kustanti dan Widodo (2008) dalam jurnal Sujarwo (2010) menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi yang berhubungan dengan pasien perilaku kekerasan, salah satunya adalah ketrampilan relaksasi nafas dalam. Menurut Widyastuti (2004) dalam jurnal Nanny (2010) teknik relaksasi tidak hanya menyeabkan efek yang menenangkan fisik tetapi juga menenagkan pikiran. Oleh karena itu teknik relaksasi seperti nafas dalam dapat membantu mengatasi stress. Teknik nafas dalam juga dapat memberikan individu kontrrol diri ketika terjadi rrasa ketidak nyamanan atau cemas, stress fisik, dan emosi yang disebabkan oleh kecemasan, pelaksanaan teknik relaksasi bisa berhasil jika paseien kooperatif (Abdul, 2007). 2. Prosedur relaksasi nafas dalam : Prosedur relaksasi nafas dalam dilaksanakan sebagai berikut (Asmadi, 2008) : a. Atur posisi yang nyaman, b. Fleksikan lutut klien untuk merelaksasikan otot abdomen, c. Tempatkan 1 atau 2 tangan pada abdomen, tepat dibawah tulang iga, d. Tarik nafas dalam melalui hiding, jaga mulut tetap tertutup. Hitung sampai 3 selama inspirasi, e. Hembuskan udara lewat bibir seperti meniup (purse lips breating) secara perlahan. D. STRESS / EMOSI 1. Pengertian Stress/emosi Stres adalah suatu kondisi tegangan (tension) baik secara faal maupun psikologis yang di sebabkan oleh tuntutan dari lingkungan yang dipersepsi kan oleh penderitanya sebagai ancaman. Mengalami Stres adalah kondisi manusiawi. Pada satu sisi , stres membantu kita agar tetap termotivasi (eustres). Tetapi pada sisi lain jika kita terlalu banyak mendapatkan stres akan menurunkan kualitas kinerja kita (distres). 2. Tanda dan gejala Stress / Emosi a. Gejala Emosional/Kognitif 1) Mudah merasa ingin marah (sensitif ) 2) Merasa putus asa saat harus menunggu 3) Merasa gelisah 4) Tidak dapat berkonsentrasi 5) Sulit berkonsentrasi 6) M udah bingung 7) Bermasalah dengan ingatan (mudah lupa, susah mengingat) 8) Setiap saat memikirkan hal-hal negatif 9) Berpikir negatif tentang diri sendiri 10) Mood naik turun (mood mudah berubah-ubah, misalnya merasa gembira tapi tak lama kemudian merasa bosan dan ingin marah) 11) Makan terlalu banyak 12) Makan padahal tidak lapar 13) Merasa tidak memiliki cukup energi untuk menyelesaikan sesuatu 14) Merasa tidak mampu mengatasi masalah 15) Sulit membuat keputusan 16) Emosi suka meluap-luap (baik gembira, sedih, marah, dan sebagai- nya) 17) Biasanya merasa marah dan bosan 18) Kurang memiliki selera humor b. Gejala Fisik : 1) Otot-otot tegang 2) Sakit punggung bagian bawah 3) Sakit di bahu atau leher 4) Sakit dada 5) Sakit perut 6) Kram otot 7) Iritasi atau ruam kulit yang tidak dapat dijelaskan kategorinya 8) Denyut jantung cepat 9) Telapak tangan berkeringat 10) Berkeringat padahal tidak melakukan aktivitas fisik 11) Perut terasa bergejolak 12) Gangguan pencernaan dan cegukan 13) Diare 14) Tidak dapat tidur atau tidur berlebihan 15) Napas pendek 16) Sering Menahan napas 3. Pengukuran Stress Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang dialami seseorang. Tingkatan stres ini bisa diukur dengan banyak skala. Antaranya adalah dengan menggunakan Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) atau lebih diringkaskan sebagai Depression Anxiety Stres Scale 21 (DASS 21) oleh Lovibond & Lovibond (1995). Psychometric Properties of The Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS) terdiri dari 42 item dan Depression Anxiety Stres Scale 21 terdiri dari 21 item. DASS adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. DASS 42 dibentuk tidak hanya untuk mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku di manapun dari status emosional, secara signifikan biasanya digambarkan sebagai stres. DASS dapat digunakan baik itu oleh kelompok atau individu untuk tujuan penelitian. DASS adalah kuesioner 42-item yang mencakup tiga laporan diri skala dirancang untuk mengukur keadaan emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stres. Masing-masing tiga skala berisi 14 item, dibagi menjadi sub-skala dari 2 - 5 item dengan penilaian setara konten. Skala Depresi menilai dysphoria, putus asa, devaluasi hidup, sikap meremehkan diri, kurangnya minat / keterlibatan, anhedonia, dan inersia. Skala Kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan subjektif pengalaman mempengaruhi cemas. Skala Stres (item) yang sensitif terhadap tingkat kronis non-spesifik gairah. Ini menilai kesulitan santai, gairah saraf, dan yang mudah marah/gelisah, mudah tersinggung / over-reaktif dan tidak sabar. Responden yang diminta untuk menggunakan 4-point keparahan/skala frekuensi untuk menilai sejauh mana mereka memiliki mengalami setiap negara selama seminggu terakhir. Skor untuk masing-masing responden selama masing-masing sub-skala, kemudian dievaluasi sesuai dengan keparahan-rating indeks di bawah (Lovibond & Lovibond, 2003) : 1) Normal : 0-14 2) Stres Ringan : 15-18 3) Stres Sedang : 19-25 4) Stres Berat : 26-33 5) Stres Sangat Berat : ≥ 34 Selain itu, ada juga skala-skala lain yang bisa digunakan seperti Perceived Stres Scale (PSS) atau Profile Mood States (POMS). Alat-alat ini digunakan sebagai instrument untuk mendeteksi stres dan tahap stres dan bukannya sebagai alat untuk mendiagnosa. BAB III LAPORAN KASUS Bab III merupakan ringkasan Asuhan Keperawatan Jiwa dengan pada pasien Tn.F dengan Perilaku Kekerasan di ruang Puntadewa RSJD Surakarta pada tanggal 07 April – 09 April 2014. Asuhan keperawatan ini dimulai dari pengkajian, analisa data, perumusan diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. A. Pengkajian Hasil pengkajian tanggal 07 April 2014 pukul: 09.00 WIB pada kasus ini diperoleh dengan cara autoanamnesa dan allowanamnesa, mengadakan pengkajian langsung, pemeriksaan fisik dan menelaah catatan perawat, dari data pengkajian tersebut didapatkan hasil identitas klien bernama Tn.F, umur38 tahun, masuk tanggal 02April 2014, agama Islam, alamat Sukoharjo, dirawat di ruang Puntadewa RSJD Surakarta. Penanggung jawab klien adalah Ny.E, pekerjaan guru, hubungan dengan klien adalah istrinya. Alasan masuk klien mengatakan ± 2 hari sebelum masuk rumah sakit klien bingung, agresif, gelisah dan tidak kontrol diri, marah-marah dan membakar istrinya dengan rokok karena keinginannya tidak di penuhi. Faktor predisposisi didapatkan klien mengatakan sudah mengalami gangguan jiwa sejak lima tahun yang lalu dan pernah dirawat di rumah sakit jiwa kurang lebih dua kali, terakhir bulan desember tahun lalu dan pengobatan sebelumnya kurang berhasil karena putus minum obat kurang lebih dua bulan dan jarang kontrol, klien mengatakan tidak pernah mengalami penganiayaan fisik semasa hidupnya.Ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu ayah dan adiknya, tetapi mereka tidak di rawat di RSJ.Faktor presipitasi klien mengatakan stress karena di PHK sejak 5 tahun yang lalu karena pabrik yang mempekerjakannya bangkrut. Hasil pemeriksaan fisik mencakup keadaan umum composmentis. Penilaian terhadap klien tegang, gelisah dan mondar-mandir. Hasil tanda- tanda vital klien, tekanan darah: 130/80 mmHg, nadi: 88 x/menit, suhu: 36 C, respirasi: 20 x/menit, tinggi badan: 165 cm, berat badan: 67 kg. Hasil pemeriksaan fisik klien tidak mengalami kejang, asma, hipertensi.Bentuk kepala Mesochepal, kulit kepala bersih dan rambut pendek berwarna hitam dan sudah beruban. Hasil pemeriksaan muka dari mata simetris kanan dan kiri, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik,dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pemeriksaan hidung penciuman normal, bersih, tidak terpasang kanul, pemeriksaan mulut dengan hasil mukosa tidak kering dan lidah bersih dan tidak ada stomatitis. Hasil daripemeriksaan telinga simetris kanan dan kiri dengan pendengaran baik tanpa alat bantu dengar dan tidak ada serumen. Pemeriksaan pada leher tidak ada pembesaran kelenjar thyroid. Pemeriksaan dada : pada jantung inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba dis SIC V, perkusi pekak, dan auskultasi bunyi jantung I sama dengan bunyi jantung II yaitu reguler. Pemeriksaan paru-paru didapatkan hasil inspeksi pengembangan dada simetris kanan dan kiri, palpasi teraba vokal fremitus kanan sama dengan kiri, perkusi sonor diseluruh lapang paru, auskultasi tidak terdengar suara wheezing atau mengi saat inspirasi. Pemeriksaan abdomen, inspeksi bentuk abdomen simetris, tidak ada jejas atau bekas luka, pada saat di auskultasi bising usus 14 kali permenit di kuadran II kiri atas, terdengar bunyi pekak di kuadran I dan tympani di kuadran II, III, IV pada saat di perkusi, tidak ada nyeri tekan pada saat di palpasi. Pada saat pemeriksaan ekstermitas,kekuatan otot 5 (gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan penahanan penuh) tidak ada perubahan bentuk tulang dan akral hangat. Pada ekstermitas bawah akral teraba hangat, tidak terjadi kelemahan, dan tidak ada perubahan bentuk tulang. Gambar 3.1 Genogram Keterangan : : Laki - Laki : Laki - Laki meninggal : Perempuan meninggal : Perempuan : Pasien : Mengalami gangguan jiwa : Tinggal serumah : Garis Keturunan Dari gambar genogram diatas dapat dijelaskan dalam keluarga Tn.F ayahnya dan adiknya mengalami gangguan jiwa, ayahnya sudah meninggal. Ayah dan adiknya tidak dibawa ke rumah sakit jiwa, hanya di rawat di rumah. Pengkajian konsep diri pada gambaran dirinya klien mengatakan suka pada wajahnya karena klien merasa wajahnya tampan, bagian tubuh yang tidak ia suka adalah tangan karena dia menganggap mempunyai dua tangan tetapi tidak mampu untuk bekerja. Identitas klien, klien seorang laki-laki berumur 38 tahun sudah menikah, mempunyai dua orang anak, klien tidak puas dengan kondisi saat ini karena klien belum bisa mencukupi keluarganya. Peran diri, klien belum bisa menjalankan perannya sebagai ayah karena 5 (lima) tahun terakhir tidak dapat membiayai keluarganya karena di PHK. Ideal diri, klien ingin cepat sembuh supaya segera bekerja kembali. Harga diri klien mengatakan orang yang tidak berguna karena tidak bisa menafkahi keluarganya, klien mau segera sembuh dan bekerja kembali agar dapat membiayai keluarganya, klien mengatakan malu dengan keadaannya sekarang yang tidak bekerja. Hubungan sosial klien mengatakan orang yang paling berharga adalah istri dan anaknya, apabila ada masalah klien selalu bercerita dengan keluarganya. Peran serta dalam kegiatan kelompok atau masyarakat klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan dalam masyarakat. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain klien mengatakan jarang bergaul dengan orang-orang disekitar karena malu dengan keadaannya karena klien tidak bekerja dan pernah masuk RSJ. Nilai dan keyakinan klien mengenai gangguan jiwa mengatakan ini semua adalah cobaan bagi klien dan keluarganya,beragama islam dan tidak rajin sholat lima waktu. Pengkajian status mental didapatkan data, penampilan klien terlihat sedikit rapi dengan rambut yang jarang di sisir, cara berpakaian rapi. Pembicaraan saat dikaji klien berbicara dengan jelas dan nada suara keras dan tinggi, tidak meloncat-loncat dari tema pembicaraan dan dapat berkomunikasi dengan jelas. Aktifitas motorik klien terlihat sering menyendiri dan melamun, melakukan kegiatan jika dimotivasi, mata merah, nada suara tinggi dan kasar, tatapan mata tajam. Alam perasaan klien mengatakan sedih karena tidak berguna bagi keluarganya dan hanya menjadi beban. Afek klien saat dikaji afeknya datar mempunyai emosi yang labil terkadang marahmarah sendiri dan cenderung mempertahankan setiap pendapatnya, mudah marah. Interaksi klien saat di wawancarai cukup kooperatif dan mau menjawab semua pertanyaan yang diajukan dan selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya. Persepsi sampai saat dikaji klien mengatakan tidak mendengar suara-suara. Proses pikir klien dapat menjawab pertanyaan dengan baik, kooperatif, tidak berbelit-belit. Tingkat kesadaran orientasi tempat, waktu, orang dapat disebutkan dengan jelas dan benar. Memori klien dapat mengingat kejadian jangka panjang dan jangka pendek, klien mampu mengingat kapan saat dia dibawa di rumah sakit dengan diantar tetangga dan istrinya. Tingkat konsentrasi klien dapat menghitung dengan baik, dan dapat memfokuskan konsentrasi dengan baik. Kemampuan penilaian klien mampu menilai suatu masalah dan dapat mengambil keputusan sesuai tingkat atau mana yang lebih baik untuk dikerjakan pertama kali. Daya tilik diri klien mengatakan mengenali penyakitnya dan tidak mengingkari terhadap penyakitnya, klien mampu menjelaskan mengapa klien bisa seperti ini dan penyebab mengapa klien bisa sakit jiwa. Pada pengkajian kebutuhan klien pulang didapatkan data bahwa klien mengatakan makan 3x sehari dengan menu yang disediakan dari rumah sakit yaitu nasi, sayur, lauk-pauk serta buah. klien juga selalu habis makannya, minum kurang lebih 7 gelas perhari. BAB klien sehari 1x yaitu saat pagi hari dan untuk BAK klien 5-7x sehari. Kebutuhan mandi klien juga tercukupi, klien mengatakan mandi 2x sehari yaitu pagi dan sore. klien juga mengatakan selalu keramas dan menggosok giginya saat mandi, kemudian klien mengatakan setelah mandi tidak lupa ganti baju yang bersih, klien tidak mengalami gangguan dalam tidur karena klien dapat tidur kurang lebih 6-8 jam per hari baik siang ataupun malam. klien ketika di rumah sakit mau untuk minum obat secara teratur agar cepat sembuh dan pulang. Pemeliharaan kesehatan pasien jarang kontrol ke rumah sakit. Kegiatan di dalam rumah klien lebih senang melihat tv. Kegiatan di luar rumah klien mengatakan bekerja bila ada yang mengajaknya bekerja. Hasil mekanisme koping, klien mengalami mekanisme koping maladaptif yaitu klien mengatakan jengkel kepada istrinya karena keinginan klien tidak dipenuhi oleh istrinya, klien membakar istrinya dengan rokok dan mengamuk jika sedang marah. Dari masalah psikososial dan lingkungan klien mengatakan tidak mempunyai masalah dengan lingkungan, klien jarang ikut dalam kegiatan masyarakat seprti gotong royong, rapat bapak-bapak karena malu dengan keadaannya yang tidak bekerja dan pernah di rawat di RSJ. Klien mengatakan pernah di PHK saat bekerja lima tahun yang lalu. Aspek medis yang diberikan untuk klien antara laininjeksi Lodomer 1ampul IM, Heloperidol 2x5mg, Risperidol 2x2 m, Triheksaperidol 2x2 mg. B. Diagnosa Keperawatan Berdasarkan data diatas dapat ditegakkan diagnosa keperawatan yaitu perilaku kekerasan, diagnosa keperawatan tersebut didukung dengan data subyektif klien mengatakan kesal dengan istrinya karena keinginannya tidak dipenuhi. Data obyektif: klien tampak kesal, wajah merah, mata melotot, suara dengan nada tinggi. Setelah diagnosa keperawatan ditegakkan maka dapat digambarkan pohon masalah sebagai berikut Akibat Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik Resiko perilaku menciderai diri diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Perilaku kekerasan Masalah Utama Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah Gangguan konsep diri: Harga diri rendah kronis Gangguan pemeliharaan kesehatan Defisit perawatan diri: mandi dan berhias Penyebab Gambar 3. 2 Pohon masalah Resiko Perilaku kekerasan Sumber: Keliat, (2006) C. Intervensi Didapatkan dari hasil pengkajian rencana keperawatan pada Tujuan umum: Klien tidak melakukan tindakan kekerasan. Tujuan khusus yaitu merupakan respon yang diharapakan dari hasil tindakan keperawatan. Tujuan khusus 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan klien tampak: Menunjukan tanda-tanda percaya pada perawat, wajah cerah (tersenyum), mau berkenalan, bersedia menceritakan perasaannya. Intervensi yang akan dilakukan bina hubungan saling percaya dengan, memberi salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukan sikap empati jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus 2: Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan klien menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, menceritakan penyebab perasaan kesal (jengkel), baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Intervensi yang akan dilakukan, bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya, motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal (jengkel), dengarkan tanpa mencela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien. Tujuan Khusus 3: Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perlikau kekerasaan. Kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan, tanda fisik mata merah, tangan mengepal, ekspresi wajah tegang, tanda emosional, perasaan marah jengkel marah bicara kasar, tanda sosial bermusuhan yang dialami saat terjadi perilklien kekerasan. Intervensi yang akan dilakukan, bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya, motivasi klien menceritakan kondisi fisik saat perilaku kekerasan terjadi, motivasi klien menceritkan kondisi emosinya saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain saat terjadi perilaku kekerasan. Tujuan khusus 4: Klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukanya. Kriteria evaluasi setelah 1x pertemun klien menjelaskan, jenisjenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukanya, perasaannya saat melakukan kekerasan, efektifitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah. Intervensi yang akan dilakukan, diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukan selama ini, motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindakan kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindakan kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan yang dilakukanya masalah yang dialami teratasi. Tujuan khusus 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Kriteria evaluasi setelah 1x pertemun klien menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri (luka, dijauhi teman), orang lain (keluarga luka, tersinggung, ketakutan), lingkungan (barang atau benda rusak). Intervensi yang akan dilakukan, diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada, diri sendiri, orang lain, keluarga, lingkungan Tujuan khusus 6: Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Kriteria evaluasi 2x pertemuan klien, menjelaskan cara sehat mengungkapkan marah, Intervensi diskusikan dengan klien apakah klien mau mempelajari cara mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah, jelaskan cara sehat untuk mengungkapkan marah, cara fisik : nafas dalam pukul bantal dan olahraga, verbal mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal pada orang lain, sosial : latihan asertif dengan orang lain. Tujuan khusus 7: Klien dapat mendemontrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasi setelah 2 kali pertemuan klien memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan, fisik : tarik nafas dalam, memukul bantal, verbal : mengungkapkan perasaan kesal pada orang lain tanpa menyakiti, spiritual zikir doa. Intervensi diskusikan cara mungkin di pilih untuk mengungkapkan kemarahannya, latih klien memperagakan cara yang dipilih, jelaskan manfaat cara tersebut, anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat jengkel muncul. Tujuan khusus 8: Klien mendapatkan dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasi setelah 3x pertemuan keluarga : menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien. Intervensi diskusikan pentingnya paran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatakan perilaku kekerasaan, jelaskan pengertian penyebeb, akibat, dan cara merawat klien perilaku kekerasan, peragakan klien menangani parilaku kekerasan, beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, beri pujian kepada keluarga setelah peragakan, tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatih. Tujuan khusus 9: Klien menggunakan obat sesuai program yang telah di tetapkan . Kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan klien menjelaskan : manfaat minum obat, keinginan tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat, dosis yang diberikan kepadanya, waktu penakaran, cara penakaran, efek yang dirasakan, setelah 1x pertemuan klien mengungkapkan obat sesuai program. Intervensi jelaskan manfaat menggunaan obat secara teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat, jelaskan kepada klien : jenis obat (nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakain, efek yang dirasakan klien, anjurkan klien :minta dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat atau dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat. D. Implementasi Implementasi keperawatan untuk diagnosa keperawatan dilaksanakan dua hari pada tanggal 07-08 april 2014. Pada tanggal 07 April 2014 jam 10.00 WIB dengan SP 1 : pasien dapat membina hubungan saling percaya (BHSP), mengidentifikasi penyebab peilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan yang dilakukan, mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam. Implementasi : penulis membina hubungan saling percaya, menjelaskan tujuan interaksi, menyampaikan kontrak (topik, waktu, tempat) memberi kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya, mengidentifikasi penyebab perasaan marah, tanda dan gejala yang di rasakan, perilaku kekerasan yang sudah dilakukan (akibat perilaku kekerasan yang dilakukan), mengajarkan mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam dan memberi kesempatan pada pasien untuk mempraktekkannya, memberi reinforcement positif kepada pasien jika sudah bisa mempraktekkannya sendiri, menganjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal harian. Pada tanggal 08 April 2014 pukul 09.00 WIB dengan SP 2: mengajarkan mengontrol perilaku kekerasan dengan pukul bantal. Implementasi : penulis memberikan salam terapeutik, menanyakan perasaan pasien, memvalidasi SP 1 (mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 yaitu nafas dalam), mengajarkan dan melatih mengotrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 : pukul bantal, memberikan kesempata pasien untuk mempraktekkan cara mengontrol perilau kekerasan dengan pukul bantal, memberikan pujian positif pada pasien jika sudah bisa mempraktekkannya sendiri, menganjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal harian. E. Evaluasi Setelah dilakukan implementasi didapatkan data evaluasi, strategi pelaksanaan satu, implementasi pada hari senin tanggal 07 April 2014 pada jam 10.00 WIB membina hubungan saling percaya seperti salam terapeutik, member salam setiap berinteraksi, memperkenalkan nama, nama panggilan dan tujuan interaksi, menanyakan nama pasien dan panggilan kesukaan pasien, menanyakan perasaan pasien seperti mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, menyebutkan cara mengontol perilaku kekerasan, membantu klien mempraktikkan cara mengontrol perilaku kekerasan, menganjurkan klien untuk memasukkan dalam jadwal kegiatan harian, memberikan inforcement atas keberhasilan pasien. Evaluasi dari data subjektif : pasien memperkenalkan diri, nama dan alamat rumah, pasien mengatakan membakar istrinya dengan rokok karena keinginanya tidak dipenuhi, pasien merasa bersalah, pasien ingin belajar cara mengontor perilaku kekerasan dengan sehat. Data objektif : pasien kooperatif, tatapan mata tajam, kontak mata ada, pasien tampak tegang, pasien mau berjabat tangan, menyebutkan penyebab, tanda dan gejala, akibat dan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan, pasien mau di ajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan nafas dalam, pasien tampak bisa mempraktekkan cara mengontrol prilaku kekerasan dengan nafas dalam dengan mandiri. Analisa paien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan menggunakan nafas dalam. Perencanaan strategi pelaksanaan satu evaluasi strategi pelaksanaan satu ( tarik nafas dalam) dan lanjut strategi pelaksanaan dua (pukul bantal). Implementasi pada hari selasa pada tanggal 08 April 2014 pukul 09.00 WIB, dengan diagnosa perilaku kekerasan, strategi pelaksanaan dua, salam terapeutik, mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik II pukul bantal, menganjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian, memberikan reinforcement positif atas keberhasilan pasien. Evaluasi dari data subjektif pasien menjawab salam, mengatakan perasaannya senang, pasien masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 1 dengan cara tarik nafas dalam, pasien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 2 pukul bantal. Data objektif pasien kooperatif, pasien tampak rileks dan tenang, pasien masih mengingat cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 1 dengan cara tarik nafas dalam, pasien mampu mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 2 dengan cara pukul bantal. Analisa pasien mampu mempraktekkan cara fisik II cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pukul bantal, pasien mampu mempraktekkan dan masalah teratasi. Perencanaan evaluasi cara mengontrol perilaku kekerasan SP 1 ( nafas dalam), cara mengontrol perilaku kekerasan SP 2 (pukul bantal) dan lanjutkan cara mengontol perilaku kekerasan dengan SP 3 (mengungkapkan marah secara verbal). BAB IV PEMBAHASAN Pada bab pembahasan penulis akan membahas mengenai Pemberian tindakan teknik nafas dalam terhadap penurunan tingkat pada Tn.F dengan Perilaku Kekerasan Diruang Puntadewa RSJD Surakarta, pada tanggal 07-09 Mei 2014 yang dimulai dengan membahas pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan dan evaluasi. A. Pengkajian Pengkajian merupakan langkah pertama proses keperawatan dan meliputi pengumpulan, organisasi; dan analisis informasi (American Nurses Association, 1994). Dalam keperawatan kesehatan jiwa, proses ini sering disebut pengkajian psikososial, yang mencakup pemeriksaan status mental. Tujuan pengkajian psikososial ialah membangun gambaran status emosional klien saat ini, kapasitas mental dan fungsi perilakunya. Pengkajian ini berfungsi menjadi dasar perkembangan rencana perawatan untuk memenuhi kebutuhan klien. Pengkajian ini juga merupakan landasan klinis yang digunakan untuk mengevaluasi keefektifan terapi dan intervensi, atau tolak ukur kemajuan klien Sheila L. Videbeck, 2008). (American Nurses Association, 1994 dalam Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, dan spiritual (Nurjannah, 2005). Pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.Cara ini yang akan dipakai pada uraian berikut. Cara pengkajian lain berfokus pada 5 (lima) dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Stuart dan Sundeen, 1995 dalam Dalami, 2010). Kasus pada Tn.F termasuk dalam dimensi yaitu dimensi fisik.Dalam pengkajian pasien penulis melakukan pengkajian meliputi : identitas klien, keluhan utama/alasan masuk, faktor predisposisi, aspek fisik/biologi, aspek psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, pengetahuan, aspek medik. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode auto anamnese dan allow anamneses terhadap klien dan perawat yang merawatnya, observasi langsung terhadap penampilan dan perilaku klien. Menurut Dalami (2010), data pengkajian dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu : data objektif dan data subjektif (Dalami, 2010). Data objektif adalah data yang ditemukan melalui keadaan nyata. Data Subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapat melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga. Data yang diperoleh setelah melakukan pengkajian pada klien yaitu data subjektif antara lain klien mengatakan benci dengan istrinya karena keinginanya tidak dipenuhi, klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika marah. Data objektif yang diperoleh antara lain mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dan kasar, pandangan mata tajam, merusak barang. Faktor presipitasi secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih dikenal dengan adanyaancaman terhadap konsep diri seseorang (Direja, 2011). Ketika seorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal maupun ekternal. Contoh stressor eksternal: merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang di cintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita menurut Yosep (2010). Sedangkan faktor presipitasi dalam kasus klien adalah klien mengatakan dirinya korban PHK 5 (lima) tahun yang lalu karena pabrik yang mempekerjakanya bangkrut, sehingga klien tidak bisa menafkahi keluarganya. Faktor Predisposisi adalah berbagai faktor yang menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang menurut Stuart, (2006). Sedangkan faktor predisposisi klien adalah klien mengatakan mengalami gangguan jiwa sejak 5 (lima) tahun yang lalu dan pernah masuk RSJD Surakarta kurang lebih 2x, pengobatan sebelumnya belum berhasil karena pasien jarang kontrol dan berhenti minum obat selama 2 (dua) bulan, ayah dan adiknya juga mengalami gangguan jiwa tetapi tidak di bawa ke rumah sakit jiwa, klien tidak pernah mengalami penganiayaan fisik ataupun seksual. Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku klien yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh semua kalangan tenaga medis, seperti dokter maupun apoteker.mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satunya adalah kepatuhan dalam minum obat. Hal ini merupakan syarat utama dari tercapainya hasil pengobatan yang dilakukan (Ana Fuji Rahayu, 2013). Seseorang mengalami kekambuhan adalah ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah, stimulus lingkungan, konflik interpersonal, status, putus obat, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, ketidaksiapan ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa (Direja, 2011). Sedangkan pada kasus Tn.F mengalami putus obat sehingga menyebabkan klien mengalami kekambuhan. Mekanisme koping adaptif klien bercerita tentang perasaannya terhadap perawat, mengatakan jika ada masalah menceritakan kepada keluarganya. Sedangkan mekanisme maladaptif klien mengatakan jengkel kepada istrinya karena keinginannya tidak dipenuhi, bila kesal klien ingin mengamuk dan memukul. Dari dua koping diatas yang sering klien lakukan adalah koping maladaptif karena klien mengamuk dan memukul. Stressor yang terjadi pada klien adalah klien di PHK dan keinginannya tidak dipenuhi oleh istrinya. Sekarang Tn.F mengalami gangguan jiwa klien tampak emosi, memukul, muka merah, tatapan mata tajam. Klien tampak menyendiri dan jarang bersosialisasi, klien malu bila bertemu dengan tetangganya karena klien adalah korban PHK dan pernah di rawat di RSJ. Tanda dan gejala klien pada tahap marah, krisis atau perilaku kekerasan, dan kemungkinan bunuh diri. Muka merah, tegang, pandangan mata tajam, mondarmandir, memukul, memaksa, irritable, sensitif, dan agresif ( Farida dan Yudi, 2010). Ada beberapa tanda dan gejala pada Tn.F antara lain muka merah, pandangan tajam, mondar-mandir. Bila dibandingkan dengan teori di atas ada beberapa tanda dan gejala yang sesuai dengan teori. Terapi yang diberikan ke klien mendapat terapi obat yaitu Haloperidol 2x5 mg sehari, Trihexsilphenidil 3x2 mg sehari, Risperdal 2x2 mg sehari. Menurut ISO atau Informasi Spesialite Obat (2011-2012). Haloperidol merupakan golongan psikofarma yang digunakan sebagai terapi depresi endogen tanpa agitasi, gangguan neurogigi dengan piramidal atau ekstrapiramidal, kondisi komatose dan depresi system saraf berat, hipersensitif, Parkinson. Sediaan obat 2mg, 5mg/tablet, 5mg/ml obat tetes, 5mg/ml obat injeksi. Trihexshipenidil untuk obat anti pakirson dengan sediaan obat tablet 2mg, 5mg, injeksi 25mg/ml. Risperdal digunakan untuk skizofrenia akut atau kronik, keadaan psikotik lain dengan gejala halusinasi, delusi, curiga, sediaan obat tablet 1mg, 2mg, 3mg (ISO, 2011-2012) B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan, sedangkan menurut Stuart dan Sundeen (2006) dalam Dalami (2010). diagnosa keperawatan adalah identifikasi atau penilaian terhadap pola respon klien baik aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan berbeda dari diagnosa psikiatrik medis dimana diagnosa keperawatan adalah respon klien terhadap masalah medis atau bagaimana masalah mempengaruhi fungsi klien sehari-hari yang merupakan perhatian pertama diagnosa keperawatan (Nurjannah, 2005). Agar penentuan pohon masalah dapat dipahami dengan jelas, penting untuk diperhatikan tiga komponen, yaitu : penyebab (causa), masalah utama (core problem) dan effect (akibat) (Dalami, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari Tn.F, penulis menentukan masalah keperawatan yaitu perilaku kekerasan yang dsebabkan oleh harga diri rendah yang didukung data subjektif, klien mengatakan orang yang tidak berguna karena tidak bisa menafkahi keluarganya dan klien jarang bergaul dengan orang-orang disekitar karena malu dengan keadaannya karena pasien tidak bekerja dan pernah masuk RSJ. Data objektif klien tampak kesal, wajah merah, mata melotot, suara dengan nada tinggi. Kemudian dapat beresiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang didukung data subjektif klien membakar istrinya dengan rokok karena keinginanya tidak dipenuhi, data objektif pasien tampak kesal, emosi saat menceritakan masalahnya dengan istrinya keinginanya tiak dipenuhi. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut penulis menyimpulkan bahwa pohon masalah yang dialami Tn.F sama dengan teori yang ditulis yaitu penyebab dari perilaku kekerasan adalah harga diri rendah sehingga dapat beresiko perilaku menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. C. Rencana Keperawatan Perencanaan keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosis tertentu. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai (Dalami, 2010). Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosis tertentu. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau dimiliki klien. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien. Umumnya, kemampuan klien pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu kemampuan kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosis keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat selesai, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki klien agar klien percaya pada kemampuan menyelesaikan masalah. Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Tn.F penulis rencanakan berdasarkan teori keperawatan jiwa dimana tujuan umumnya adalah klien tidak melakukan tindakan kekerasan, dan ada Sembilan tujuan khusus yaitu tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi adalah wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada kontak mata, bersedia menceritakan perasaan. Intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus yang kedua yaitu klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Kriteria evaluasinya yaitu klien menceritakan penyebab perasaan jengkel/kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Intervensi keperawatannya adalah bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya dengan motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus yang ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Kriteria hasilnya adalah klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan yaitu tanda fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, dan lain-lain, tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar, tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi keperawatannya yaitu bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya: motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik) saat perilaku kekerasan terjadi, motivasi klien menceritakan kondisi emosinya (tanda-tanda emosional) saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi klien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda-tanda sosial) saat terjadi perilaku kekerasan. Tujuan khusus yang keempat yaitu klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi klien menjelaskan: jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya saat melakukan kekerasan, efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah. Intervensi keperawatannya yaitu diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini: motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi. Tujuan khusus yang kelima yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah klien menjelaskan akibat tindak kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri: luka, dijauhi teman, dll, orang lain/keluarga: luka, tersinggung, ketakutan, dll, lingkungan: barang atau benda rusak dll. Untuk intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada: diri sendiri, orang lain / keluarga, lingkungan. Tujuan khusus yang keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi klien mampu menjelaskan cara-cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien: apakah klien mau mempelajari cara baru mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang diketahui klien, jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan marah dengan cara fisik: nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olah raga, verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang lain, sosial: latihan asertif dengan orang lain, spiritual: sembahyang / doa, zikir, meditasi, dsb sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Tujuan khusus yang ketujuh yaitu klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah klien memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan: fisik: tarik nafas dalam, memukul bantal / kasur, verbal: mengungkapkan perasaan kesal / jengkel pada orang lain tanpa menyakiti. Intervensi keperawatan meliputi, diskusikan cara yang mungkin dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang mungkin untuk mengungkapkan kemarahan, melatih klien memperagakan cara yang dipilih: memperagakan cara melaksanakan cara yang dipilih, menjelaskan manfaat cara tersebut, menganjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, memberi penguatan pada klien, memperbaiki cara yang masih belum sempurna. Menganjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah / jengkel. Tujuan khusus yang kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien. Intervensi keperawatannya meliputi diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatasi perilaku kekerasan, mendiskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku kekerasan, menjelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga, memperagakan cara merawat klien (menangani perilaku kekerasan), memberi kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, memberi pujian kepada keluarga setelah peragaan, menanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan. Tujuan khusus kesembilan yaitu klien menjelaskan: manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat , dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan dan klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. Intervensi keperawatannya adalah menjelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat, menjelaskan kepada klien: jenis obat (nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien. Dan anjurkan klien untuk minta dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat (Nita Fitria, 2010). D. Implementasi Implementasi dan evaluasi keperawatan yang dilakukan pada Tn.F dilakukan selama dua hari pada tanggal 07-08 April 2014 di bangsal Puntadewa di Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan (Dalami, 2010). Pada situasi nyata, implementasi seringkali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Tindakan yang biasa dilakukan perawat adalah menggunakan rencana yang tidak ditulis, yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, dan juga tidak memenuhi aspek legal. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi secara singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tekhnik yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak (inform consent) dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan dan peran serta yang diharapkan dari klien. Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respons klien. Implementasi pada bab ini penulis akan membahas tentang jurnal dengan asuhan keperawatan pada Tn.F dengan perilaku kekerasan di ruang puntadewa RSJD Surakarta pembahasan yang penulis lakukan meliputi aplikasi dari jurnal pengaruh teknik relaksasi nafas dalam pada klien dengan perilaku kekerasan. Penulis menggunakan pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan mengobservasiklien yaitu dari perilaku dan tindakan yang dilakukan klien saat perilaku kekerasan itu muncul. Tanda dan gejala perilaku kekerasan yang muncul biasanya adalah mata melotot atau pandangan mata tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah merah dan tegang, serta postur tubuh kaku, mengancam, mengumpat dengan katakata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus, meneyerang oaring lain, melukai diri sendiri, merusak lingkungan, amuk, agresif (fitria, 2009). Hal ini sesuai dengan Tn.F dimana dari data alasan masuk pasien bingung, agresif, gelisah dan tidak kontrol diri, marah-marah. Implementasi keperawatan untuk diagnose perilaku kekerasan yang dilakukan pada hari senin tanggal 07 April 2014 pada pukul 10.00 WIB. Penulis melakukan SP 1 perilaku kekerasan yaitu mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, serta akibat perilaku kekeasan dan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 nafas dalam. Implementasinya adalah : penulis membina hubungan saling percaya, menjelaskan tujuan interaksi, menyampaikan kontrak (topic, waktu, tempat) memberi kesempatan pada pasien mengungkapkan perasaannya, mengidentifikasi penyebab perasaan marah, tanda dan gejala yang di rasakan, perilaku kekerasan yang sudah dilakukan (akibat perilaku kekerasan yang dilakukan), mengajarkan mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam dan member kesempatan pada pasien untuk mempraktekkannya, memberi reinforcement positif kepada pasien jika sudah bisa mempraktekkannya sendiri, mengnjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal harian. Respon klien pasien memperkenalkan diri, nama dan alamat rumah, pasien mengatakan membakar istrinya dengan rokok karena keinginanya tidak dipenuhi, merasa pasien merasa bersalah, pasien ingin belajar cara mengontor perilaku kekerasan dengan sehat, klien mengatakan sudah bisa melakukannya sendiri dan sudah di masukkan kedalam jadwal kegiatan harian.Implementasi untuk diagnosa harga diri rendah, mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki, beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang oleh klien lakukan. Implementasi yang ke dua dilakukan pada hari selasa tanggal 08 April 2014 pada pukul 09.00 WIB. Penulis mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 yaitu pukul bantal. Implementasinya, penulis memberikan salam terapeutik, menanyakan perasaan pasien, memvalidasi SP 1 (mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 yaitu nafas dalam), mengajarkan dan melatih mengotrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 : pukul bantal, memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekkan cara mengontrol perilau kekerasan dengan pukul bantal, memberikan pujian positif pada pasien jika sudah bisa mempraktekkannya sendiri, menganjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal harian. Respon klien pasien menjawab salam, mengatakan perasaannya senang, pasien masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 1 dengan cara tarik nafas dalam, pasien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 2 pukul bantal, pasien mampu mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 2 dengan cara pukul bantal, pasien mengatakan sudah memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian. E. Evaluasi Evaliasi adalah mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai dhasil yang diharapkan asuhan keperawatan adalah proses dinamik yang melibatkan perubahan dalam status kesehhatan klien sepanjang waktu, pemicu kebutuhan terhadap data baru, berbagai diagnosa keperawatan dan modifikasi rencana asuhan sesuai dengan kondisi klien menurut (Damaiyanti dan Iskandar, 2012) Hasil evaluasi yang didapat dari Tn.F data subjektif dan data objektif antara lain: pasien mengatakan jengkel dengan istrinya karena keinginanya tidak terpenuhi, pasien tampak mau berjabat tangan dan membina hubungan saling percaya dengan perawat, pasien mau menyebutkn penyebab perilaku kekerasan yang muncul, ada kontak mata, pasien mau menjawab semua pertanyaan yang diberikan, pasien menyebutkan perilaku kekerasan yang dilakukan, pasien mau diajari cara mengontrol marah dengan cara nafas dalam dan pukul bantal dan pasien tampak mau melakukannya. Kemudian dilakukan rencana untuk pasien atara lain pasien diminta untuk memberitahu kepad perawat atau keluarga ketika sedang marah, sedangkan perencanaan untuk penulis adalah mempertahankan tujuan khusus pertama membina hubungan saling percaya, tujuan khusus ke dua mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan, tujuan khusus ke tiga mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, tujuan khusus ke empat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang yang pernah dilakukan, tujuan khusus ke lima akibat perilaku kekerasan, tujuan khusus ke enam mengidentifikasi cara konstruksif dalam mengungkapkan kemarahan, tujuan khusus ke tujuh mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan nafas dalam dan selanjutnya melaksanakan strategi pelaksanaan yang berikutnya pukul bantal dan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal, spiritual dan minum obat teratur. Motivasi pasein untuk mengontrol marah nafas dalam. Penulis mendelagasikan kepada perawat ruang untuk memvalidasi cara yang telah diajarkan kepada pasien. Hasil teknik relaksasi dari jurnal Nanny dan Sujarwo (2010), hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara tingkat emosi sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi nafas dalam dengan p value 0,000 yang berarti ada pengaruh antara teknik relaksasi nafas dalam dengan penurunan tingkat emosi. Hasil dari pemberian teknik relaksasi nafas dalam pada Tn.F didapatkan data obyektif: klien tampak tenang dan relaks. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian teknik relaksasi nafas dalam berpengaruh terhadap tingkat emosi pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta, hasil pemberian tindakan teknik nafas dalam terhadap penurunan emosi pada klien sesuai jurnal efektifitas teknik relaksasi nafas dalam terhadap perubahan tingkat emosi pada klien skizofrenia di RSJD Surakarta yang dipakai oleh penulis yaitu menunjukkan bahwa relaksasi nafas dalam mampu mengurangi ketegangan otot, meningkatkan perasaan bahagia dan kecemasan yang dialami oleh pasien. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pengkajian Pengkajian pada Tn.F didapat data dari tanggal klien masuk RSJD, Data yang berfokus pengajian pada kasus adalah pola koping toleransi stress bahwa klien mengatakan bingung, agresif, gelisah dan tidak kontrol diri, marah-marah dan membakar istrinya dengan rokok karena keinginannya tidak di penuhi, klien terlihat sering menyendiri dan melamun, melakukan kegiatan jika dimotivasi, mata merah, nada suara tinggi dan kasar, tatapan mata tajam. 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan pada pohon masalah yang menjadi core problem adalah perilaku kekerasan core problem adalah perilaku kekerasan yang didukung data subyektif : klien mengatakan kesal dengan istrinya karena keinginannya tidak dipenuhi dan data obyektif : klien tampak kesal, wajah merah, mata melotot, suara dengan nada tinggi. 3. Intervensi Intervensi yang dilakukan sesuai dengan SOP (Standar Opresional Prosedur) yang ditetapkan ada tujuan umum yaitu klien dapat mengontrol marah, pereencanaan tujuan khusus ada sembilan yaitu tujuan khusus pertama membina hubungan saling percaya, tujuan khusus ke dua mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, tujuan khusus ke tiga mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan, tujuan khusus ke empat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan, tujuan khusus ke lima mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, tujuan khusus ke enam mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan, tujuan khusus ke tujuh mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan nafas dalam. 4. Implementasi Implementasi yang dilakukan penulis untuk mengatasi perilaku kekerasaan pada Tn.F dengan SP 1 yaitu membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien dan melakukan pengkajian mulai dari mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, jenis perilaku kekerasan, akibat, cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan, mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan teknik relaksasi nafas dalam yang telah dipilih klien. SP 2 mengevaluasi mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik satu yang telah di pilih klien (teknik relaksasi nafas dalam) dan mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik dua pukul bantal. 5. Evaluasi Evaluasi yang didapat dari Tn.F adalah data subyektif dan obyektif : klien mengatakan jengkel dengan istrinya karena keinginannya tidak dipenuhi dan membakar istrinya dengan rokok, klien mengamuk, klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dengan ditunjukkan mau berjabat tangan dengan perawat dan menyebutkan identitasnya, klien dapat menyebutkan tanda – tanda perilaku kekerasan, klien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan, klien dapat menyebutkan akibat perilaku kekerasan, klien dapat menyebutkan cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan, klien mengatakan mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pukul bantal dan klien tampak mau mempraktekkannya. 6. Analisa Hasil Tingkat Emosi Klien Sebelum dan Sesudah Diberikan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Penulis melakukan tindakan keperawatan relaksasi nafas dalam untuk membantu klien mengontrol perilaku kekerasan. Sebelum diajarkan teknik relaksasi nafas dalam klien bingung, agresif, gelisah dan tidak kontrol diri, marahmarah. Setelah diajarkan teknik relaksasi nafas dalam, respon klien tampak tenang dan rileks, hal itu menunjukkan bahwa ada pengaruh teknik relaksasi nafas dalam dengan perilaku kekerasan yang dialami klien, teknik relaksasi tidak hanya menyebabkan efek yang menenangkan fisik tetapi juga menenagkan pikiran. Oleh karena itu teknik relaksasi seperti nafas dalam dapat membantu mengatasi stress. Hasil pemberian teknik relaksasi nafas dalam terhadap Tn.F efektif untuk menurunkan tingkat emosi pada klien dengan perilaku kekerasan. Hal ini sesuai dengan hasil riset dalam jurnal Nanny Dyah Zelianti dan Sujarwo, (2010) tentang pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang. B. Saran 1. Bagi pendidikan Institusi pendidikan diharapkan pembimbing member bimbingan kepada mahasiswa secara optimal, terutama dalam pendidikan Ilmu Keperawatan Jiwa kepada, sehingga penulis dapat mengaplikasikan dilahan klinik secara maksimal. 2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien jiwa dengan seoptimal mungkin dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. 3. Bagi perawat Perawat diharapkan memberi pelayanan yang tepat dan selalu meningkatkan komunikasi terapeutik kepada pasien sehingga pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan lebih sabar dalam memberikan pelayanan guna peningkatan kesembuhan klien. DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur, Eko Purwoko. 2007. Pengaruh Teknik Nafas Dalam Terhadap PerubahanTingkat Kecemasan Pada Ibu Persalinan Kala 1 Dipondok Bersalin Ngudi Saras Trikilan Kali Jambe Sragen. http://www.skripsistikes.wordpress.com diakses tanggal 7 april 2014. Afdanisa, Welly, 2012.Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa Jenis Isolasi sosial Di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Riau.http://scholar.google.com/scholar?q=komunikasi+terapeutik+perawat+dalam+p emulihan+pasien+gangguan+jiwa+jenis+isolasi+sosial+di+rumah+sakit+jiwa+provin si+riau&btnG=&hl=id&as_sdt+0%2C5 diakses pada tanggal 7 april 2014. Ana Fuji Rahayu, 2013. Studi Kasus Asuhan Keperawatan Jiwa Dengan Perilaku Kekerasan,http://digilip.stikeskusumahusada.ac.id/gdl.php?mod=browser&op=read& id=01-gdl-sugiartip-0220 diakses pada tanggal 5 April 2014. Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Penerbit Buku: Salemba Medika. Jakarta. Astiya Siskayanti, Arief Nugroho, Mugi Hartoyo. 2008. Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial Di RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang.http://scholar.google.com/scholar?q=pengaruh+komunikasi+terapeutik+ter hadap+kemampuan+berinteraksi+klien+isolasi+sosial+di+rsjd+do.+amino+gondohut omo+semarang&btnG=&hl=id&as_sdt=0%2C5 diakses pada tanggal 7 april 2014. Damaiyanti & Iskandar, 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: PT Refika Aditama. Bandung. Dina Dewi, dkk. 2009. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Persepsi Nyeri Pada Lansia Dengan Artitris Reumatoid. http://scholar.google.com/scholar?q=pengaruh+teknik+relaksasi+nafas+dalam+terha dap+penurunan+persepsi+nyeri+pada+lansia+dengan+artitis+reumatoid diakses tanggal 7 april 2014 Direja, Ade Herma Surya, 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Penerbit buku: Nuha Medika. Djoko, Arif, 2005. Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.http://scholar.google.com/scholar?q=pengaruh+komunikasi+terapeutik+ter hadap+penurunan+tingkat+perilaku+kekerasan+pada+pasien+skizofrenia+di+rumah +sakit+jiwa+daerah+surakarta&btnG=&hl=id&as_sdt=0%2C5 diakses 7 april 2014. Erlinafsiah. SST. 2010. Dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: Trans Info Media. Jakarta. Ermawati Dalami, S.Kp. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Penerbit Buku: Trans Info Media. Jakarta Erviana Kustanti, Arif Widodo. 2008. Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Peruahan Setatus Mental Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Surakarta.http://scholar.google.com/scholar?q=Pengaruh+Teknik+Relaksasi+Terhad ap+Peruahan+Setatus+Mental+Skizofrenia+Di+Rumah+Sakit+Jiwa+Surakarta.&btn G=&hl=id&as_sdt=0%2C5 diakses pada tanggal 7 april 2014. Farida Kusumawati, Yudi Hartono, 2010. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: Salemba Medika. Jakarta. Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku: PT Refika Aditama. Bandung. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2010. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia. Jakarta. Penerbit Buku: PT IFSI. Yogyakarta. Nanda. 2012. Definisi dan Klasifikasi. Penerbit Buku: Prima Medika. Jakarta. Nita Fitria. 2010. Prinsip Dasaar dan Aplikasi Penulisan Laporan pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Penerbit Buku: Salemba Medika. Jakarta. Nanny Dyah Zelianti, Sujarwo. 2010. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Emosi Klien Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang, http://scholar.google.com/scholar?hl=id&q=Pengaruh+Teknik+Relaksasi+Nafas+Dal am+Terhadap+Tingkat+Emosi+Klien+Perilaku+Kekerasan+Di+Rumah+Sakit+Jiwa+ Daerah+Dr.+Amino+Gondohutomo+Semarang&btnG= diakses pada tanggal 5 April 2014. Nurjannah, Intansari. 2005. Aplikasi Proses Keperawatan. Yogyakarta. Penerbit Buku: Moco Medika. Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Jakarta. Videbeck, Sheila L. 2008 Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.