5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Selada air

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan
Selada air (Nasturtium officinale R. Br.) termasuk suku Brassicaceae.
Selada air sering dikonsumsi sebagai sayur tumis dan rasanya agak mirip dengan
kangkung atau bayam. Tumbuhnya menjalar seperti tanaman kangkung dan biasa
ditanam di rawa-rawa. Daerah asalnya adalah wilayah timur Mediterania dan
wilayah yang berbatasan dengan Asia (Permatasari, 2011).
2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Tumbuhan selada air memiliki sistematika sebagai berikut (Lubis et al.,
2013) :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Brassicales
Suku
: Brassicaceae
Marga
: Nasturtium
Jenis
: Nasturtium officinale R. Br.
2.1.2 Sinonim Tumbuhan
Sinonim Rorippa nasturtium-aquaticum (Linn.) Hayek (Novia, 2009).
2.1.3 Nama Lokal
Indonesia: Selada air (Ditjen POM, 1989).
5
2.1.4 Nama Asing
Watercress (Inggris), sai yeung ts’oi (China) (Novia, 2009), AlafeCheshmeh (Persia) (Hoseini, 2009).
2.1.5 Morfologi
Daun tumbuhan selada air merupakan daun majemuk gasal, warna hijau
sampai hijau kecoklatan; batang dan tangkai daun berwarna muda kehijauan, anak
daun sebanyak 3 lembar sampai 9 lembar, anak daun di ujung umumnya
berbentuk jorong melebar sampai bundar, pangkal berbentuk jantung, membundar
atau tumpul; panjang helaian anak daun di ujung 1,5 cm sampai 4,5 cm dan lebar
1 cm sampai 3 cm; anak daun dibawahnya berukuran lebih kecil (Ditjen POM,
1989).
2.1.6 Kandungan Kimia
Selada air mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid/steroid,
glikosida dan tanin (Ginting et al., 2014), juga kaya akan kandungan vitamin C,
vitamin A, vitamin E, vitamin K (Costain, 2007), asam folat, iodin, besi, protein
dan kalsium (Gonçalves et al., 2009).
2.1.7 Khasiat Tumbuhan
Selada air digunakan sebagai antikanker yakni kanker kolon dengan
menggunakan jus selada air dengan konsentrasi paling efektif 50 μl/ml (Boyd et
al., 2006), antidiabetes dengan dosis paling efektif 100 mg/kg bb (Hoseini et al.,
2009), obat tuberkulosis dengan konsentrasi paling efektif 1000 μg/ml (Corona et
al., 2008) dan untuk mengobati iritasi pada saluran urin efferen (Gruenwald et al.,
2000). Penelitian Özen (2009), menunjukkan bahwa ekstrak selada air memiliki
6
aktivitas antioksidan yang kuat sehingga dapat menghambat peroksidasi lipid
pada hati, otak dan ginjal dengan dosis 500 mg/ml.
2.2 Toksikologi
Toksikologi adalah kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik
berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya (Lu, 1994).
Menurut Hodgson dan Levi (2000), toksikologi didefinisikan sebagai cabang ilmu
pengetahuan yang berhubungan erat dengan senyawa racun dimana racun yang
dimaksud adalah senyawa-senyawa yang menimbulkan efek merugikan tubuh bila
dikonsumsi baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Menurut Donatus (1996),
toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat
kimia atas sistem-sistem biologi dengan pusat perhatiannya terletak pada aksi
berbahaya zat kimia tersebut.
2.3 Paparan Umum Toksikologi
Peristiwa timbulnya pengaruh berbahaya atau efek toksik racun terhadap
makhluk hidup terjadi melalui beberapa proses. Menurut Donatus (1996), pertama
kali makhluk hidup mengalami paparan dengan toksikan, setelah mengalami
absorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan
terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di dalam
diri makhluk hidup. Di tempat aksi ini kemudian terjadi interaksi antara toksikan
atau metabolitnya dengan komponen penyusun sel sasaran atau reseptor sehingga
timbul pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta sifat tertentu.
Ada dua kemungkinan toksikan masuk ke dalam tubuh, yakni secara
intravaskuler dan ekstravaskuler. Menurut Donatus (1996), masuknya toksikan
7
secara intravaskuler meliputi intravena, intrakardial dan intraarteri dimana
toksikan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah, sedangkan masuknya toksikan
secara ekstravaskuler meliputi peroral, intramuskular, intraperitonial, subkutan
dan inhalasi dimana toksikan tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi darah.
Toksikan yang masuk secara ekstravaskuler selanjutnya akan masuk ke dalam
sirkulasi darah setelah melalui tahap absorpsi terlebih dahulu. Toksikan yang
berada dalam sirkulasi darah akan mengalami distribusi ke tempat aksi (sel
sasaran atau reseptor).
Tubuh makhluk hidup memiliki sistem pertahanan terhadap zat-zat asing
atau xenobiotik yang masuk ke dalam tubuhnya. Tubuh makhluk hidup akan
menolak dan mengekskresikan toksikan atau metabolitnya yang masuk di dalam
tubuhnya secara alami. Kapasitas toksikan yang melebihi sistem pertahanan tubuh
menyebabkan toksikan yang berlebih tersebut selanjutnya akan bereaksi dengan
sel sasaran atau reseptor dimana reaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan
sel sasaran atau reseptor dapat bersifat dapat balik (reversible) maupun tidak balik
(irreversible). Hal tersebut berakibat timbulnya efek toksik yang tidak diinginkan
(Donatus, 1996).
2.4 Toksisitas
Toksisitas adalah potensi bahan kimia untuk meracuni tubuh orang yang
terpapar. Toksisitas adalah kemampuan suatu zat asing dalam menimbulkan
kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan
(Priyanto, 2009).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu senyawa
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon dari sediaan uji.
8
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat
bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia sehingga dapat
ditentukan dosis penggunaan dan keamanannya (OECD, 2001).
Penelitian
toksisitas
konvensional
pada
hewan
coba
sering
mengungkapkan serangkaian efek akibat pajanan toksikan dalam berbagai dosis
untuk berbagai masa pajanan. Penelitian toksikologi biasanya dibagi menjadi tiga
kategori (Lu, 1994):
a.
Uji toksisitas akut dilakukan dengan memberikan bahan kimia yang sedang
diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam.
b.
Uji toksisitas jangka pendek (dikenal dengan subkronik) dilakukan dengan
memberikan bahan kimia berulang-ulang, biasanya setiap hari, selama jangka
waktu kurang lebih tiga bulan untuk tikus dan satu atau dua tahun untuk
anjing.
c.
Uji toksisitas jangka panjang dilakukan dengan memberikan bahan kimia
berulang-ulang selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya
sebagian besar dari masa hidupnya, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan
untuk tikus, dan 7-10 tahun untuk anjing dan monyet.
2.4.1 Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah salah satu uji praklinik untuk menentukan efek
toksik suatu senyawa yang akan terjadi pada waktu yang singkat setelah
pemberiannya dalam takaran tertentu (Lu, 1994). Prinsip toksisitas akut yaitu
pemberian secara oral suatu zat dalam beberapa tingkatan dosis kepada beberapa
kelompok hewan uji (OECD, 2001).
9
Uji toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan
untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah
pemberian suatu zat dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 24 jam; apabila pemberian dilakukan secara
berulang, maka interval tidak kurang dari 3 jam. Penilaian toksisitas akut
ditentukan dari kematian hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati
selama percobaan dan yang hidup sampai akhir percobaan diotopsi untuk
dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas dan selanjutnya dilakukan pengamatan
secara makropatologi pada setiap organ (OECD, 2001).
Takaran dosis yang dianjurkan pada toksisitas akut paling tidak terdapat
empat peringkat dosis. Dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak
mematikan seluruh hewan uji sampai dengan dosis tertinggi yang dapat
mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1996).
Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk mengidentifikasi bahan kimia yang
toksik dan memperoleh informasi tentang bahaya terhadap manusia bila terpajan.
Uji toksisitas akut digunakan untuk menetapkan nilai LD50 suatu zat (OECD,
2001). Tujuan lain dilakukannya uji toksisitas akut yaitu untuk mengetahui
hubungan antara dosis dengan timbulnya efek seperti perubahan perilaku, koma,
dan kematian serta mengetahui gejala-gejala toksisitas akut sehingga bermanfaat
untuk membantu diagnosis adanya kasus keracunan dan untuk memenuhi
persyaratan regulasi jika zat uji akan dikembangkan menjadi obat (Priyanto,
2009).
Penelitian uji toksisitas akut sebagian besar dirancang untuk menentukan
dosis lethal (LD50). LD50 didefinisikan sebagai dosis dari bahan kimia yang dapat
10
menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji (Retnomurti,
2008). LD50 yaitu dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik diharapkan akan
membunuh 50% hewan coba. Pengujian ini dapat menunjukkan organ sasaran
yang mungkin dirusak serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya
digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994).
LD50 adalah dosis perkiraan bahwa ketika racun itu diberikan langsung
kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi
yang ditentukan dari tes atau LC50 merupakan konsentrasi perkiraan, dalam
lingkungan hewan yang terpapar, yang akan membunuh 50% dari populasi di
bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hodgson dan Levi, 2000).
Pada umumnya, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa
tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah
toksisitasnya
(Sulastry,
2009).
Nilai
LD50
sangat
berguna
untuk
mengklasifikasikan zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya yang dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya.
Tingkat
LD50
Klasifikasi
Toksisitas
1
≤ 1 mg/kg
Sangat toksik
2
1-50 mg/kg
Toksik
3
50- 500 mg/kg
Toksik sedang
4
500-5000 mg/kg
Toksik ringan
5
5-15 g/kg
Praktis tidak toksik
6
≥15 g/kg
Relatif tidak membahayakan
(Hodge dan sterner, 1995)
11
Metode Penentuan LD50
Penentuan LD50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan
yang akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang
menyebabkan kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal
(Lu, 1994).
a. Metode Aritmatik Reed dan Muench
Metode ini menggunakan
nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai
adalah bahwa seekor hewan yang mati oleh dosis tertentu akan mati juga oleh
dosis yang lebih besar, sedangkan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga
akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah. Kematian kumulatif
diperoleh dengan menambahkan secara suksesif kebawah dan hidup kumulatif
diperoleh dengan menambahkan secara suksesif keatas persen hidup dari dosisdosis yang berdekatan dengan LD50 dihitung (Rasyid, 2012).
Penentuan LD50 didapatkan berdasarkan persamaan berikut:
𝑃. 𝐷 =
𝟓𝟎 − % 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 LD50
% 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐢𝐚𝐭𝐚𝐬 LD50 − % 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐰𝐚𝐡 LD50
,𝑃 =
dosis diatas LD50
dosis dibawah LD50
Adapun: P.D (ProportionalDistance) = jarak proporsional
P = proporsionasi peningkatan dosis.
Perhitungan LD50 yang dianalisis dengan metode Reed dan Muench ini
dilakukan dengan cara menghitung jarak proporsi kemudian ditentukan logaritma
perbandingan dosis. LD50 ditentukan dengan menambah logaritma dosis yang
rendah dan hasil kali jarak proporsi dengan perbandingan dosis yang tinggi
dengan dosis yang tinggi dengan dosis yang rendah (Rasyid, 2012).
12
b. Perhitungan Nilai LD50 Berdasarkan Cara Thomson dan Weil
Dalam mencari harga LD50 diperlukan ketepatan atau jika dilihat dari taraf
kepercayaan tertentu, harga tersebut hanya sedikit sekali bergeser dari harga
sebenarnya, atau berada pada rentang atau interval yang sempit. Untuk mencapai
tujuan, digunakan tabel yang dibuat oleh Thompson dan Weil. Pada penggunaan
tabel, percobaan harus memenuhi beberapa syarat berikut (Priyanto, 2009):
i.
jumlah hewan uji tiap kelompok peringkat dosis sama
ii.
interval merupakan kelipatan (d) tetap.
iii.
jumlah kelompok paling tidak 4 peringkat dosis.
Rumus :
Log m = log D + d (f + 1)
Dimana :
m = nilai LD50
D = Dosis terkecil yang digunakan
d = log dari kelipatan dosis
f = suatu nilai dalam tabel Weil, karena angka kematian tertentu (r)
c. Cara Farmakope Indonesia III (FI III)
Untuk menghitung LD50 berdasarkan FI III, uji harus memenuhi syaratsyarat seperti (Priyanto, 2009):
i.
Menggunakan seri dosis atau konsentrasi yang berkelipatan tetap
ii.
Jumlah hewan percobaan tiap kelompok harus sama
iii.
Dosis harus diatur sedemikian rupa supaya memberikan respon dari 0100% dan hitungan dibatasi direntang tersebut.
13
Rumus perhitungan LD50 adalah :
m = a – b (∑ pi – 0,5)
m = log LD50
a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan jumlah kematian 100%
tiap kelompok
b = beda log dosis yang berurutan
pi = jumlah hewan yang mati
d. Metode Perhitungan Cara Grafik (Graphical Calculation) Miller dan Tainter
Metode ini merupakan metoda yang paling umum dipakai dalam
penghitungan efektif dosis. Namun dibutuhkan kertas khusus berkoordinat yaitu
kertas probit logaritma, dengan absis dalam skala logaritma dan ordinat sebelah
kiri dalam skala probit atau ordinat sebelah kanan dibuat dalam skala persen yang
setara dengan skala probit (skala ini nonlinier) atau nilai persen dapat dilihat
didalam table probit. Kurva sigmoid dapat ditransformasi menjadi garis lurus
dengan memplotkan respon kuantal terhadap logaritma dosis. Dalam cara
perhitungan ini diperlukan tabel Probit.
Menurut Retnomurti (2008), faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50
sangat bervariasi antara jenis yang satu dengan jenis yang lain dan antara individu
satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Beberapa faktor tersebut antara
lain:
a. Spesies, Strain dan Keragaman Individu
Setiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan
detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan
14
bioaktivasi dan toksikasi suatu zat. Semakin tinggi tingkat keragaman suatu
spesies dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan percobaan
menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian LD50.
b. Perbedaan Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan
oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem
hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan
kepekaan terhadap suatu toksikan. Hewan jantan dan betina yang sama dari strain
dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang
sama, tetapi ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan terutama
pada tikus.
c. Umur
Hewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi
terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal
belum sempurna. Perbedaan aktivitas biotransformasi akibat suatu zat
menyebabkan perbedaan reaksi dalam metabolisme. Sedangkan pada hewan tua
kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah
menurun.
d. Berat Badan
Penentuan dosis dalam pengujian toksisitas akut dapat didasarkan pada
berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan
nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang
diberikan semakin besar.
15
e. Cara Pemberian
Lethal dosis dipengaruhi pula oleh cara pemberian. Pemberian obat
melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil
yang berbeda. Pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh
tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh
setelah terjadi penyerapan di saluran cerna sehingga mempengaruhi kecepatan
metabolisme suatu zat di dalam tubuh.
f. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain
temperatur, kelembaban, iklim, perbedaan siang dan malam. Perbedaan
temperatur suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.
g. Kesehatan hewan
Status hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu
toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan
lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda
dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat.
h. Diet
Komposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50.
Komposisi makanan akan mempengaruhi status kesehatan hewan percobaan.
Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai LD50.
2.4.2 Uji Toksisitas Subkronik
Uji toksisitas subkronik adalah uji ketoksikan sesuatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga
bulan. Uji toksisitas subkronik sesuatu zat uji, utamanya ditujukan untuk
16
mengungkapkan efek toksik dan jenis organ yang terkena, maupun hubungan
antara dosis dan efek toksik. Selain itu, dengan uji toksisitas subkronik,
memungkinkan terlihatnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat
dan tidak dapat terdeteksi pada uji toksisitas akut (Donatus, 1996).
Prinsip dari uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa
tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu
dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama waktu pemberian sediaan uji,
hewan harus diamati setap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Hewan yang
mati selama periode pemberian sediaan uji segera diotopsi dan organ serta
jaringan diamati secara makropatologi dan histopatologi. Pada akhir periode
pemberian sediaan uji, semua hewan yang masih hidup diotopsi selanjutnya
dilakukan pengamatan secara makropatologi dan histopatologi pada setap organ
dan jaringan (OECD, 2001).
Tujuan uji toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi
adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, memperoleh
informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara
berulang dalam jangka waktu tertentu, memperoleh informasi dosis yang tidak
menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan
reversibilitas atau irreversibiltas zat uji (OECD, 2001). Uji toksisitas subkronik
bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009).
2.4.3 Uji Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek
toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara berulang sampai seluruh
umur hewan. Perlu dilakukan uji toksisitas kronik mengingat pemakaian obat
17
seringkali memerlukan waktu yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang
masa hidup si pemakai. Uji toksisitas kronik pada prinsipnya sama dengan uji
toksisitas subkronik, tetapi sediaan uji diberikan selama tidak kurang dari 12
bulan (OECD, 2001).
Tujuan dari uji toksisitas kronik oral adalah untuk mengetahui profil efek
toksik setelah pemberian sediaan uji secara berulang selama waktu yang panjang,
memperoleh informasi efek toksik zat uji yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas
subkronik dan untuk menetapkan tingkat dosis yang tidak menimbulkan efek
toksik (OECD, 2001).
2.5 Hati
Hati merupakan organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2 persen
berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Unit
fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang
beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia
mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus (Guyton dan Hall, 2007).
Hati terletak di bawah diafragma kanan, dilindungi bagian bawah tulang
iga kanan. Lobus kiri hati berada di dalam epigastrium, tidak dilindungi oleh
tulang iga. Hati normal kenyal dengan permukaan yang licin (Chandrasoma dan
Taylor, 2005).
Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan kompleks yang penting
untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu :
18
a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu
Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu
liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi
lemak dalam usus halus.
b. Fungsi metabolik
Hati berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,
vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea,
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.
c. Fungsi pertahanan tubuh
Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan
oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau
konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat
yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer
yang terdapat di dinding sinusoid hati.
Pemeriksaan kerusakan hati dilakukan karena hati merupakan organ yang
sangat berperan dalam proses metabolisme sehingga organ ini sering terpapar zat
kimia yang akan mengalami detoksifikasi dan inaktivasi sehingga zat kimia
tersebut menjadi tidak berbahaya bagi tubuh. Kerusakan hati karena obat dan zat
kimia dapat terjadi akibat hilangnya kemampuan regenerasi sel hati, sehingga hati
akan mengalami kerusakan permanen yang dapat menimbulkan kematian (Elya et
al., 2010).
Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar
obat dan toksikan (Lu, 1994). Kerusakan hepar karena zat toksik dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan
19
lamanya paparan zat tersebut. Kerusakan hepar dapat terjadi segera atau setelah
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis
hepatosit, kolestasis, atau timbulnya disfungsi hepar secara perlahan-lahan. Obatobatan yang menyebabkan kerusakan hepar pada umumnya diklasifikasikan
sebagai hepatotoksik yang dapat diduga dan yang tak dapat diduga, tergantung
dari mekanisme dengan cara mana mereka menyebabkan kerusakan hepar
(Amalina, 2009).
Perubahan struktur hati yang terjadi pada kerusakan hepar dapat berupa
(Amalina, 2009) :
1. Inflamasi (hepatitis)
Yaitu peradangan pada hati yang dapat dicetuskan oleh benda asing,
organisme atau obat-obatan (akibat langsung toksin).
2. Degenerasi dan penimbunan intraseluler.
Cedera karena toksik dapat menyebabkan pembengkakan dan edema
hepatosit. Pada degenerasi hidropik tampak sel-sel yang sitoplasmanya pucat,
bengkak dan timbul vakuola-vakuola di dalam sitoplasma, karena penimbunan
cairan. Hepatotoksik dan obat juga dapat menyebabkan penimbunan tetesan lipid
(steatosis). Hati secara mikroskopis terlihat gambaran vakuola lemak kecil dalam
sitoplasma di sekitar inti (mikrovesikular steatosis), yang dapat berlanjut
membentuk vakuola besar yang mendesak inti ke tepi sel (makrovesikular
steatosis).
Penimbunan lemak ringan dalam hati dapat tidak berpengaruh pada
penampakan makro. Bila penimbunan progresif, hati membesar dan bertambah
20
kuning, pada keadaan ekstrim, hati dapat seberat tiga sampai enam kg dan
berubah menjadi hati yang kuning, lunak, dan berminyak.
3. Nekrosis
Adalah kematian sel atau jaringan pada organisme hidup. Inti menjadi
lebih padat (piknotik) yang dapat hancur bersegmen-segmen (karioreksis) dan
kemudian sel menjadi eosinofilik. Nekrosis dapat bersifat:
a. Nekrosis fokal, adalah kematian sebuah sel atau kelompok kecil sel dalam satu
lobus.
b. Nekrosis zonal, adalah kerusakan sel hepar pada satu lobus. Nekrosis zonal
dapat dibedakan menjadi nekrosis sentral, midzonal, dan perifer.
c. Nekrosis masif, yaitu nekrosis yang terjadi pada daerah yang luas.
d. Nekrosis pembentukan jembatan (bridging necrosis), yaitu dengan jejas
inflamasi yang lebih berat, nekrosis hepatosit dapat menjangkau lobus yang
berdekatan dengan cara porta ke porta, porta ke central, atau central ke central.
4. Fibrosis
Terjadi sebagai respons terhadap radang atau akibat langsung toksin.
Fibrosis yang berkepanjangan menyebabkan sirosis. Pada sirosis, morfologi hepar
tampak makronoduler, mikronoduler, atau campuran. Bila berlangsung progresif,
hepar menjadi berwarna coklat, tidak berlemak, mengecil, terkadang berat hepar
kurang dari satu kg.
2.6 Proses Biotransformasi Obat di Hati
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang non-polar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
21
Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi fase I
terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi lebih
polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif atau kurang aktif. Reaksi fase II
merupakan reaksi konyugasi dengan substrat endogen seperti asam glukoronat,
asam sulfat, asam asetat, atau asam amino dan akibatnya hampir selalu menjadi
tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau
reaksi fase I diikuti reaksi fase II (Amalina, 2009).
Reaksi metabolisme yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim sitokrom
P450 (CYP) dalam retikulum endoplasmik (mikrosom) hati. Ada sekitar 50 jenis
isoenzim CYP yang aktif pada manusia, tetapi hanya beberapa yang penting untuk
metabolisme obat, diantaranya CYP3A4/5, CYP2D6, CYP2C8/9, CYP2C19,
CYP1A1/2, dan CYP2E1. CYP450 3A4/5 merupakan enzim sitokrom P450 yang
paling banyak (30%) di hepar dan memetabolisme sebagian besar (50%) obat.
Isoenzim ini juga terdapat di epitel usus halus dan di ginjal. CYP450 3A4/5
berperan sangat penting dalam metabolisme dan eliminasi lintas pertama berbagai
obat, dengan demikian induksi dan inhibisinya membawa dampak yang besar
dalam menurunkan atau meningkatkan efek dari banyak obat akibat penurunan
atau peningkatan bioavailabilitas dan kadarnya dalam darah (Amalina, 2009).
Reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidasi melalui enzim UDPglukuronil-transferase (UGT), yang terutama terjadi dalam mikrosom hati, tetapi
juga di jaringan usus halus, ginjal, paru, kulit. Reaksi konjugasi yang lain
(asetilasi, sulfasi, konyugasi dengan glutation) terjadi dalam sitosol (Amalina,
2009).
22
2.7 Mekanisme Kerusakan Hati Akibat Obat
Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan dan lamanya paparan zat
tersebut. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Kerusakan dapat berbentuk nekrosis hepatosit, kolestasis, atau
timbulnya disfungsi hati secara perlahan-lahan. Obat-obatan yang menyebabkan
kerusakan hati pada umumnya diklasifikasikan sebagai hepatotoksik yang dapat
diduga dan yang tak dapat diduga, tergantung dari mekanisme dengan cara mana
mereka menyebabkan kerusakan hati (Amalina, 2009).
Kerusakan hati oleh obat yang dapat diduga, menyebabkan reaksi hati
yang berulang-ulang. Kriterianya adalah setiap individu mengalami kerusakan
hati bila diberikan dalam dosis tertentu, beratnya kerusakan hati bergantung dosis,
kerusakan biasanya dapat diadakan pada hewan percobaan, lesi hepatik yang
terjadi biasanya jelas, mempunyai interval waktu yang singkat antara pencernaan
obat dan reaksi melawan. Banyak reaksi obat yang toksik terjadi karena konversi
oleh hati terhadap obat menjadi metabolit berupa kimia reaktif yang konvalen
yang mengikat protein nukleofilik pada hepatosit hingga terjadi nekrosis. Reaksi
oksidasi sitokrom P450 juga menghasilkan metabolit dengan rantai bebas yang
dapat terikat kovalen ke protein dan ke asam lemak tak jenuh membran sel,
sehingga menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan membran dan akhirnya
terjadi kematian hepatosit (Amalina, 2009).
Kerusakan hati oleh obat yang tidak dapat diduga disebut juga
idiosinkrasi, meskipun jarang terjadi. Hal ini dapat timbul karena reaksi
hipersensitivitas yang disertai demam, bercak kulit, eosinofilia. Agen atau
23
metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk membentuk antigen yang sensitif.
Beberapa tandanya adalah insidens yang sangat rendah (lebih kecil dari 1%) pada
individu yang menggunakan obat, kerusakan tidak tergantung dari dosis,
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan berlalu antara pencernaan obat dan
reaksi melawan. Lesi ini tidak dapat dibuat pada binatang percobaan sehingga lesi
ini sering tidak dapat diketahui pada penelitian toksikologi dan percobaan klinik
awal (Amalina, 2009).
2.8 Hewan Percobaan
Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan percobaan yang
sering digunakan dalam penelitian. Hewan ini dinilai cukup efisien dan ekonomis
karena mudah dipelihara, tidak memerlukan tempat yang luas, lama hamil yang
singkat dan banyak memiliki anak perkelahiran. Mencit mempunyai sifat-sifat
produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia besar serta memiliki siklus
estrus yang pendek. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang paling banyak
digunakan pada sebagian besar uji toksisitas (Retnomurti, 2008). Mencit dan tikus
putih memiliki banyak data toksikologi, sehingga mempermudah membandingkan
toksisitas zat-zat kimia (Lu, 1994).
Sistem taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Retnomurti, 2008):
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Bangsa
: Rodentia
Marga
: Mus
24
Jenis
: Mus musculus
Mencit memiliki beberapa data biologis, diantaranya (Retnomurti 2008) :
Lama hidup
: 1-2 tahun
Lama produktif
: 9 bulan
Lama hamil
: 19-21 hari
Umur dewasa
: 35 hari
Umur dikawinkan
: 8 minggu
Berat dewasa
: 20-40 gram (jantan)
18-35 gram (betina)
25
Download