PDF (Bab I)

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jerawat merupakan peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai
dengan adanya komedo, popula, pustule, dan kista pada daerah-daerah predileksi
seperti muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung.
Beberapa hal penyebab terjadinya jerawat adalah peningkatan produksi sebum,
adanya keratinisasi folikel, bakteri dan peradangan (Harahap, 2000).
Salah satu bakteri yang menyebabkan terjadinya jerawat adalah
Staphylococcus epidermidis (Harahap, 2000). Pengobatan jerawat meliputi
pengobatan oral, topikal dan antibiotik (Harahap, 2000). Obat sintetik tersebut
memiliki efek samping, untuk meminimalkannya maka diformulasi obat herbal
yang memiliki sedikit atau tanpa efek samping. Lidah buaya merupakan salah satu
produk herbal yang memiliki khasiat sebagai jerawat (Sawarkar et al., 2010).
Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan jenis tumbuhan yang sudah dikenal
sejak ribuan tahun silam, digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuhan luka
bakar dan perawatan kulit. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pemanfaatan tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku
industri farmasi, kosmetik, bahan makanan dan minuman kesehatan (Agoes,
2010).
Ekstrak etanol lidah buaya memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus dengan masing-masing zona
hambat 16 mm dan 15,66 mm (Lawrence et al., 2009). Penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa gel lidah buaya lebih efektif sebagai antibakteri
Gram positif yang diisolasi meliputi Staphylococcus aureus, Staphylococcus
epidermidis, dan Streptococcus pyogenes, dan Gram negatif (Pseudomonas
aeruginosa). Terhadap Gram positif gel ekstrak lidah buaya mampu menghambat
sebesar 75,3% dan 100,0% untuk Gram negatif. Perbandingan gel lidah buaya
juga dengan antibiotik standar menunjukkan bahwa gel lidah buaya lebih efektif
1
2
dibandingkan metisilin, basitrasin, novobiosin, dan erythromisin (Bashir et al.,
2011).
Untuk meningkatkan efektivitas penggunanaan ekstrak lidah buaya, maka
akan dilakukan formulasi menggunakan karbopol 934. Suatu basis atau pembawa
diperlukan di dalam pembuatan sediaan gel, dimana basis tersebut akan
mempengaruhi waktu kontak dan kecepatan pelepasan zat aktif untuk dapat
memberikan efek. Idealnya, suatu basis gel harus dapat diaplikasikan dengan
mudah, tidak mengiritasi kulit dan nyaman saat digunakan, serta dapat
melepaskan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Wyatt et al., 2001). Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa basis karbopol 934 memiliki keunggulan
dibandingkan dengan polimer lain, disamping itu basis karbopol 934 merupakan
salah satu basis yang bersifat hidrofilik sehingga memiliki stabilitas yang lebih
besar, daya sebar pada kulit yang baik, mudah dicuci dengan air dan
memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan
obatnya baik (Voigt,1984). Berdasarkan pertimbangan diatas maka dilakukan
penelitian dengan tujuan mengetahui sifat fisik gel ekstrak lidah buaya (Aloe vera
(L.) Webb) dalam basis karbopol 934 dan pengaruh sediaan gel dengan gelling
agent karbopol 934 terhadap efektifitas ekstrak lidah buaya sebagai antibakteri.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah:
1.
Apakah ekstrak etanol daun lidah buaya efektif menghambat pertumbuhan
Staphylococcus epidermidis ?
2.
Bagaimanakah pengaruh seri konsentrasi gelling agent karbopol 934 terhadap
sifat fisik gel ekstrak etanol daun lidah buaya dan aktivitas antibakteri
terhadap Staphylococcus epidermidis?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb)
sebagai antibakteri Staphylococcus epidermidis.
3
2.
Mengetahui pengaruh seri konsentrasi gelling agent karbopol 934 terhadap
sifat fisik ekstrak etanol daun lidah buaya dan aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus epidermidis.
D. Tinjauan Pustaka
1.
Tanaman Lidah Buaya
a. Sistematika Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera (L.) Webb)
Kedudukan tanaman lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb) :
Devisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak Kelas
: Liliidae
Bangsa
: Liliales
Suku
: Liliaceae
Marga
: Aloe
Jenis
: Aloe barbadensis Mill.
Sinonim
: Aloe vera (L.) Webb
(Backer dan Van Den Brink, 1965)
b. Nama Lain
Lidah buaya merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh di berbagai
daerah dan di berbagai negara maka dari itu lidah buaya memiliki berbagai
nama yang sesuai dengan nama daerah atau negara tersebut.
Sinonim : Aloe barbadensis Miller, Aloe ferox Miller, Aloe vulgaris
Lamk. Nama Daerah : lidah buaya (Indonesia), jadam (Malaysia),
crocodile tongue (Inggris). Nama Asing : Lu hui (Cina), salvila (Spanyol).
Nama simplisia : Aloe (konsentrat kering dari jus daun lidah buaya)
(Dalimartha, 2008).
c. Deskripsi tanaman
Lidah buaya merupakan tanaman sukulen berbentuk roset dengan
tinggi 30-60 cm dan diameter tajuk 60 cm atau lebih. Daunnya berdaging,
kaku, lancip (lanceolate) dengan warna daun hijau keabu-abuan dan
memiliki bercak putih (Setiabudi, 2009). Lidah buaya merupakan
4
tumbuhan berbatang pendek yang tidak terlihat karena tertutup oleh daundaun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah, melalui batang inilah
muncul tunas-tunas yang selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Lidah
buaya tahan terhadap kekeringan karena di dalam daunnya banyak
tersimpan cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu kekurangan
air. Permukaan daun dilapisi lilin dengan duri lemas di pinggirnya. Akar
lidah buaya berupa akar serabut yang pendek dan berada di permukaan
tanah, panjangnya sekitar 50-100 cm (Agoes, 2010).
Lidah buaya mempunyai sekitar 300 spesies. Daun lidah buaya yang
berdaging tebal dikupas kulitnya, terdapat cairan kuning yang rasanya
pahit dan bagian dalam menghasilkan gel pekat. Perbanyakan dengan
pemisahan anakan (Dalimartha, 2008).
d. Kandungan Kimia
Berdasarkan hasil penelitian, tanaman lidah buaya kaya akan
kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin,
polisakarida, dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan
antara lain aloin, barbaloin, isobarbaloin, aloe-emodin, dan aloesin (Agoes
2010). Lidah buaya juga mengandung lupeol, asam salisilat, nitrogen,
fenol, sulfur, magnesium, laktat, prostanoid, dan serat. Aloin memiliki
efek laksatif, aloktin, kampesterol, β sitosterol dan acemannan memiliki
efek anti inflamasi : lupeol, asam salisilat, fenol, dan sulfur sebagai
antiseptik (Ebadi, 2011).
Aloe emodin dan rhein adalah polifenol golongan antrakuinon yang
mempunyai khasiat laksatif (purgatif). Kandungan polisakaridanya
mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi reaksi peradangan
(Dalimartha, 2008). Lidah buaya mengandung asam salisilat, sterol, dan
enzim pemecah protein yang bekerja menghambat peradangan. Lidah
buaya juga mempunyai sifat adstrigen dan antibakteri yang berperan dalam
mengobati jerawat dengan cara menetralisir lemak (komedo) yang
menumpuk dan mencegah inflamasi (Hamman, 2008).
5
e. Khasiat dan Penggunaan
Lidah buaya memiliki khasiat yang beragam sering dijadikan bahan
campuran dalam sampo, minuman, obat cacing, luka bakar, bisul, luka
bernanah, amandel, sakit mata, keseleo, kosmetik, dan jerawat (Agoes,
2010). Salah satu fungi atau khasiat yang digunakan adalah sebagai anti
bakteri. Lidah buaya memiliki rasa pahit, sifat dingin, masuk meridian
jantung, hati dan pankreas. Berkhasiat menghilangkan panas hati,
mereklasasi usus besar agar buang air besar (laksatif), antiradang, peluruh
haid, dan parasitiside (Dalimartha, 2008).
2.
Ekstraksi Simplisia
Ekstraksi adalah penarikan zat aktif yang diinginkan dari bahan mentah
obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehinga zat yang diinginkan
akan larut (Ansel, 1989). Ada beberapa metode dasar ekstraksi yang dipakai
untuk penyarian diantaranya yaitu maserasi, perkolasi, sokletasi. Pada
penelitian ini digunakan metode maserasi untuk penyarian simplisia. Maserasi
adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan
(Anonim, 2000). Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana dan
paling banyak digunakan (Ansel, 1989).
3.
Gel
a. Definisi Gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri
dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 2005).
Gel dirumuskan sebagai sistem dispersi, yang minimal terdiri dari dua
fase, sebuah fase padat dan sebuah fase cair (liogel) atau sebuah fase padat
dan fase gas (serogel) (Voigt, 1984).
Obat-obat topikal yang dipilih sebaiknya yang bersifat mampu
mengatasi kuman patogen, non toksik lokal dan sistemik, mudah
6
digunakan, memberi kenyamanan pasien (tidak menimbulkan nyeri), tidak
iritatif, dan harga terjangkau. Dengan pemberian obat-obat topikal secara
tepat dan efektif, diharapkan dapat mengurangi terjadinya infeksi luka dan
mencegah sepsis yang seringkali masih menjadi penyebab kematian pasien
(Effendy, 1999).
b. Dasar Gel
Dasar gel dapat dibedakan menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar
gel hidrofilik (Ansel, 2005).
1) Dasar gel hidrofobik (koloid liofobik)
Koloid
liofobik
umumnya
terdiri
dari
partikel-partikel
anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, bilamana
ada, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Bahan hidrofilik
tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan
prosedur yang khusus (Ansel, 2005). Dasar gel hidrofobik antara lain
petrolium, mineral oil atau gel polietilen, plastibase, aluminium
stearat, carbowaks (Allen, 2002).
2) Dasar gel hidrofilik (koloid liofilik)
Koloid liofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang
besaran dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase
dispersi.
Terminologi
tertentu
telah
dikembangkan
untuk
menggolongkan berbagai macam derajat daya tarik menarik antara
fase-fase dari dispersi koloid jika fase terdispersi koloid jika fase
terdispersi dapat berinteraksi dengan fase pendispersi, hal tersebut
diistilahkan sebagai liofilik yang berarti suka pada pelarut. Pada
umumnya karena daya tarik-menarik pada pelarut dari bahan-bahan
hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik-menarik dari bahan
hidrofobik, sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk
dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 2005). Basis
gel hidrofilik antara lain aerosol, bentonite, eter selulosa, natrium
alginat, tragakan, karbomer, polimer sintetik (Voigt, 1984).
7
3) Sediaan gel
Idealnya, gelling agent untuk keperluan farmasi dan kosmetik
harus inert, aman, dan tidak reaktif dengan komponen formulasi
lainnya (Lieberman et al., 1996). Konsentrasi gelling agent biasanya
kurang dari 10%, pada kisaran 0,5% sampai 2,0% (Allen, 2002).
Resin basis karbopol merupakan ikatan alkil pentarithritol,
polimers asam berbasis akrilik, yang memiliki berat molekul tinggi
dan dimodifikasi dengan C10 hingga C30 alkil akrilat (Allen, 2002).
Karbopol 934 adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus
karboksinya
menjadi
mudah
terionisasi
setelah
dinetralisasi,
membentuk gel selama reaksi elektrostatik di antara perubahan rantai
polimer (Flory, 1953 Cit Lu dan Jun, 1998). Adapun sifat fisik dari
karbopol yaitu membentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas,
higroskopis, memiliki titik lebur pada 260oC selama 30 menit dan
berat jenis 1,72-2,08 g/cm3. Karbopol dapat larut dalam air, etanol,
dan gliserin. Konsentrasi lazim karbopol sebagai gelling agent yaitu
dengan 0,5-2% (Rowe et al., 2006). Menurut hasil penelitian Lu dan
Jun (1998), karbopol konsentrasi 2% memiliki nilai difusi paling
besar. Karbopol 934 ini memiliki keefektifan yang tinggi dalam
mengentalkan sediaan seperti pada viskositas gel (Allen, 2002).
Trietanolamin
sebagai
penetrasi
ditambahkan
untuk
mengentalkan gel setelah basis karbomer didispersikan. Trietanolamin
akan menetralisir resin basis karbomer yang mengandung etanol
hingga 50% (Allen, 2002). Netralisasi yang berlebihan akan
menghasilkan penurunan viskositas, yang tidak dapat balik dengan
penambahan asam. Viskositas dan kemurnian maksimum terjadi pada
pH 7, tetapi viskositas dan kemurnian dapat diterima pada pH 4,5
sampai 5 dan menjangkau sampai pH 11 (Allen, 2002). pH sangat
penting dalam menentukan viskositas gel basis karbopol (Allen,
2002).
8
Serbuk resin karbopol tidak mengandung adanya pertumbuhan
bakteri, jamur, dan fungi sedangkan dalam sistem air, jamur, dan
beberapa bakteri dapat tumbuh (Allen, 2002). Tumbuhnya jamur dan
bakteri disebabkan oleh tingginya kandungan air (sampai 70%),
sediaan ini dapat mengalami kontaminasi mikrobial, yang secara
efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Untuk
mengupayakan tercapainya stabilitas yang baik dari segi mikrobial
digunakan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam. Khususnya
untuk basis karbopol sangat cocok digunakan metil dan propil paraben
yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet (Voigt,
1995).
Kesesuaian atau kegagalan suatu pengawet dalam melindungi
formulasi terhadap bakteri-bakteri yang merusak tergantung pada
berbagai faktor. Interaksi bahan pengawet dengan surfaktan, zat aktif,
komponen pembawa lainnya, penyerapan oleh bahan pengemas
polimer, dan temperatur penyimpanan produk dapat mengubah
konsentrasi bahan pengawet yang tidak terkait atau bebas di dalam
fase air (Lachman dkk., 1986).
4.
Kulit
Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai
peranan dalam homeostasis (Effendy, 1999). Kulit mempunyai beberapa
fungsi, antara lain proteksi, absorbsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu
tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, keratinasi, dan pembentukan
vitamin D (Djuanda, 2002).
a. Anatomi fisiologi kulit
Kulit secara garis besar tersususn atas tiga lapisan utama, yaitu :
1) Lapisan epidermis (kutikula)
Lapisan epidermidis merupakan bagian kulit yang paling luar
berupa epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan beberapa lapisan
yang terlihat jelas. Jenis sel yang utama disebut keratinosit (Graham,
2006). Epidermis dibedakan atas 5 lapisan kulit, yaitu : stratum
9
korneum (lapisan tanduk), stratum lusidium, stratum granulosum
(lapisan keratohialin), stratum spinosum (stratum malphigi), dan
stratum basale (Djuanda, 2001).
2) Lapisan dermis
Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, gelembung
rambut, kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut
syaraf dan korpus pacini (Anief, 1997).
3) Lapisan subkutis atau lapisan subkutan
Lapisan subkutan memiliki banyak sel liposit yang menghasilkan
banyak lemak. Jaringan subkutan berfungsi untuk menyekat panas,
bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan energi (Harahap,
2000).
b. Jerawat atau akne
Jerawat adalah penyakit peradangan folikel pilosebasea dalam jangka
waktu yang lama, yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat
sembuh sendiri (Djuanda, 2002). Biasanya jerawat mulai timbul pada masa
pubertas. Pada waktu pubertas terdapat kenaikan dari hormon androgen
yang beredar dalam darah yang dapat menyebabkan hiperplasia dan
hipertrofi dari grandula sebasea (Harahap, 2000).
Patogenesis jerawat, dimulai dari androgen (biasanya dalam kadar
yang normal) merangsang peningkatan produksi sebum folikel rambut
terutama yang mengandung kelenjar sebasea besar (pada wajah, leher,
dada, dan punggung) menjadi tersumbat karena hiperkeratosis. Hal ini
menimbulkan komedo tertutup dalam folikel ini, bakteri mengadakan
profilaksis organisme ini bereaksi pada sebum, mengeluarkan zat-zat
kimia yang menyebabkan peradangan. Zat-zat kimia tersebut bocor ke
dermis di sekitarnya lalu tubuh memberikan respon peradangan akut yang
intensif. Akibatnya terbentuk papula, pustulla, dan nodula (Graham, 2006).
Ada tiga hal penting dalam pengobatan jerawat, yaitu mencegah
timbulnya komedo, mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan
10
reaksi peradangan, dan mempercepat resolusi lesi peradangan (Harahap,
2000).
c. Bakteri Staphylococcus epidermidis
Sistematika Staphylococcus epidermidis adalah sebagai berikut :
Divisi : Bacteria
Kelas : Bacilli
Bangsa : Bacillales
Suku : Staphylococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus epidermidis (Rokhmawati, 2009).
Stafilokokus mudah tumbuh pada perbenihan bakteri dalam keadaan
aerobik atau mikroaerobik. Stafilokokus tumbuh paling cepat pada suhu
370C. Staphylococcus epidermidis membentuk pigmen setelah lama
dieramkan (Jawetz et al., 2005).
Staphylococcus epidermidis adalah anggota flora normal pada kulit
manusia. Staphylococus epidermidis menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya menyebar luas dalam jaringan dan pembentukan zat
ekstraselluler. Lipase Staphylococcus
epidermidis
berperan dalam
terjadinya jerawat (Jawetz et al., 2005).
d. Antibakteri
Suatu zat antibakteri yang ideal memiliki toksisitas selektif. Istilah ini
berarti
bahwa
suatu
obat
berbahaya
bagi
parasit
tetapi
tidak
membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif
dan bukan absolut, ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi
tertentu dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit (Jawetz et al.,
2005).
Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari suatu reseptor khusus yang
dibutuhkan
untuk perlekatan
obat,
atau
dapat bergantung pada
penghambatan proses biokimia yang penting untuk bakteri tetapi tidak
11
untuk inang. Mekanisme kerja sebagian besar obat antibakteri belum
dimengerti secara jelas. Namun, untuk mudahnya mekanisme kerja dibagi
menjadi
empat
cara,
yaitu
penghambatan
sintesis
protein,
dan
penghambatan sintesis asam nukleat (Jawetz et al., 2005).
E. Monografi Bahan Tambahan
1.
Karbopol 934
Resin basis karbomer (karbopol) merupakan ikatan alkil pentarithritol,
polimers asam berbasis akrilik, yang memiliki berat molekul tinggi dan
dimodifikasi dengan C10 hingga C30 alkil akrilat (Allen, 2002). Karbopol
934 adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksinya menjadi mudah
terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama reaksi elektrostatik di
antara perubahan rantai polimer (Flory, 1953 Cit Lu dan Jun, 1998). Adapun
sifat fisik dari karbopol yaitu membentuk serbuk halus putih, sedikit berbau
khas, higroskopis, memiliki titik lebur pada 260o C selama 30 menit dan berat
jenis 1,72-2,08 g/cm3. Karbopol dapat larut dalam air, etanol, dan gliserin.
Konsentrasi lazim karbopol sebagai gelling agent yaitu dengan 0,5-2% (Rowe
et al., 2006). Viskositas dan kemurnian maksimum pada pH 7, tetapi
viskositas dan kemurnian dapat diterima pada pH 4,5-5 dan menjangkau
sampai pH 11(Allen, 2002). pH penting dalam menentukan viskositas gel
basis karbomer (Allen, 2002).
2.
Trietanolamin (TEA)
TEA mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 107,4%
dihitung terhaadap zat anhidrat sebagai trietanolamin. Trietanolamin memiliki
rumus N(C2H4OH)3, pemerian cairan kental, tidak berwarna hingga kuning
pucat, bau lemah mirip aromatik, higroskopis. Trietanolamin mudah larut
dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P. Trietanolamin
digunakan sebagai bahan tambahan (Anonim, 1979).
3.
Metil paraben
Metal paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 100,5% C8H8O3. Pemerian hablur kecil, tidak berwarna atau berbau khas
12
lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutan sukar larut dalam air,
dalam benzene dan dalam karbon tetraklorida, mudah larut dalam etanol dan
dalam eter. Metil paraben mempunyai jarak lebur antara 1250 dan 1280.
(Anonim,
1995).
Metil
paraben
digunakan
sebagai
zat
pengawet
(Anonim,1979).
4.
Propil paraben
Propil paraben digunakan sebagai zat pengawet dan tambahan
(Anonim,1979). Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan
tidak lebih dari 100,5% C10H12O3, dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan. Pemerian serbuk putih atau hablur kecil, tidak berwarna. Propel
paraben mempunyai kelarutan sangat sukar larut dalam air, mudah larut
dalam etanol, dan dalam eter, sukar larut dalam air mendidih. Jarak lebur
propel paraben adalah 950 dan 980 (Anonim, 1995).
5.
Akuades
Akuades merupakan bahan yang hampir selalu digunakan sebagai
eksipien formulasi dibidang farmasi berupa cairan bening, tidak berwarna,
tidak berbau dan tidak berasa. Akuades memiliki titik didih 100oC (Galichet,
2005).
F. Landasan Teori
Lidah buaya memiliki banyak khasiat, salah satunya sebagai antibakteri.
Ekstrak etanol daun lidah buaya mengandung asam kumorat, asam askorbat,
procetol, dan asam sinnami yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri
Streptococcus pyogenes (Lawrence et al., 2006). Ekstrak etanol lidah buaya (Aloe
vera L.) memiliki daya antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis karena
memiliki kesamaan dengan Streptococcus pyogenes yaitu struktur dinding sel
bakteri Gram positif (Jawetz et al,. 2005). Ekstrak lidah buaya pada pemakaian
topikal dengan dosis 10 mg/ml memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Propionibacterium acne (yang merupakan flora normal kulit dan bakteri Gram
positif) pada media agar dengan zona hambat 8,4 mm (Sawarkar et al., 2010).
13
Aktivitas antibakteri dari ekstrak lidah buaya ini ditunjukkan oleh adanya
antrakuinon dan aloin (Tian et al., 2003).)
Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan ekstrak lidah buaya pada
kulit dilakukan formulasi gel ekstrak lidah buaya dengan basis karbopol 934.
Semakin tinggi konsentrasi karbopol 934 sebagai gelling agent pada sediaan gel
ekstrak lidah buaya, maka viskositasnya semakin tinggi dan semakin sukar
melepaskan obatnya (Voigt, 1995). Dengan variasi konsentrasi diketahui
efektivitas ekstrak etanol lidah buaya pada sediaan gel dan sifat fisik gel yang
baik.
G.
Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, penggunaan variasi konsentrasi karbopol 934
sebagai gelling agent mempengaruhi dari sifat fisik gel, yaitu kenaikan viskositas,
penurunan daya lekat, penurunan daya sebar, perubahan pH dan aktivitas
penghambatan pertumbuhan antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis.
Download