1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jerawat merupakan peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, popula, pustule, dan kista pada daerah-daerah predileksi seperti muka, bahu, bagian atas dari ekstremitas superior, dada, dan punggung. Beberapa hal penyebab terjadinya jerawat adalah peningkatan produksi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri dan peradangan (Harahap, 2000). Salah satu bakteri yang menyebabkan terjadinya jerawat adalah Staphylococcus epidermidis (Harahap, 2000). Pengobatan jerawat meliputi pengobatan oral, topikal dan antibiotik (Harahap, 2000). Obat sintetik tersebut memiliki efek samping, untuk meminimalkannya maka diformulasi obat herbal yang memiliki sedikit atau tanpa efek samping. Lidah buaya merupakan salah satu produk herbal yang memiliki khasiat sebagai jerawat (Sawarkar et al., 2010). Lidah buaya (Aloe vera L.) merupakan jenis tumbuhan yang sudah dikenal sejak ribuan tahun silam, digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuhan luka bakar dan perawatan kulit. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan tanaman lidah buaya berkembang sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetik, bahan makanan dan minuman kesehatan (Agoes, 2010). Ekstrak etanol lidah buaya memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus pyogenes dan Staphylococcus aureus dengan masing-masing zona hambat 16 mm dan 15,66 mm (Lawrence et al., 2009). Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa gel lidah buaya lebih efektif sebagai antibakteri Gram positif yang diisolasi meliputi Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Streptococcus pyogenes, dan Gram negatif (Pseudomonas aeruginosa). Terhadap Gram positif gel ekstrak lidah buaya mampu menghambat sebesar 75,3% dan 100,0% untuk Gram negatif. Perbandingan gel lidah buaya juga dengan antibiotik standar menunjukkan bahwa gel lidah buaya lebih efektif 1 2 dibandingkan metisilin, basitrasin, novobiosin, dan erythromisin (Bashir et al., 2011). Untuk meningkatkan efektivitas penggunanaan ekstrak lidah buaya, maka akan dilakukan formulasi menggunakan karbopol 934. Suatu basis atau pembawa diperlukan di dalam pembuatan sediaan gel, dimana basis tersebut akan mempengaruhi waktu kontak dan kecepatan pelepasan zat aktif untuk dapat memberikan efek. Idealnya, suatu basis gel harus dapat diaplikasikan dengan mudah, tidak mengiritasi kulit dan nyaman saat digunakan, serta dapat melepaskan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Wyatt et al., 2001). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa basis karbopol 934 memiliki keunggulan dibandingkan dengan polimer lain, disamping itu basis karbopol 934 merupakan salah satu basis yang bersifat hidrofilik sehingga memiliki stabilitas yang lebih besar, daya sebar pada kulit yang baik, mudah dicuci dengan air dan memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan obatnya baik (Voigt,1984). Berdasarkan pertimbangan diatas maka dilakukan penelitian dengan tujuan mengetahui sifat fisik gel ekstrak lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb) dalam basis karbopol 934 dan pengaruh sediaan gel dengan gelling agent karbopol 934 terhadap efektifitas ekstrak lidah buaya sebagai antibakteri. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah ekstrak etanol daun lidah buaya efektif menghambat pertumbuhan Staphylococcus epidermidis ? 2. Bagaimanakah pengaruh seri konsentrasi gelling agent karbopol 934 terhadap sifat fisik gel ekstrak etanol daun lidah buaya dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb) sebagai antibakteri Staphylococcus epidermidis. 3 2. Mengetahui pengaruh seri konsentrasi gelling agent karbopol 934 terhadap sifat fisik ekstrak etanol daun lidah buaya dan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis. D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Lidah Buaya a. Sistematika Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera (L.) Webb) Kedudukan tanaman lidah buaya (Aloe vera (L.) Webb) : Devisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak Kelas : Liliidae Bangsa : Liliales Suku : Liliaceae Marga : Aloe Jenis : Aloe barbadensis Mill. Sinonim : Aloe vera (L.) Webb (Backer dan Van Den Brink, 1965) b. Nama Lain Lidah buaya merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh di berbagai daerah dan di berbagai negara maka dari itu lidah buaya memiliki berbagai nama yang sesuai dengan nama daerah atau negara tersebut. Sinonim : Aloe barbadensis Miller, Aloe ferox Miller, Aloe vulgaris Lamk. Nama Daerah : lidah buaya (Indonesia), jadam (Malaysia), crocodile tongue (Inggris). Nama Asing : Lu hui (Cina), salvila (Spanyol). Nama simplisia : Aloe (konsentrat kering dari jus daun lidah buaya) (Dalimartha, 2008). c. Deskripsi tanaman Lidah buaya merupakan tanaman sukulen berbentuk roset dengan tinggi 30-60 cm dan diameter tajuk 60 cm atau lebih. Daunnya berdaging, kaku, lancip (lanceolate) dengan warna daun hijau keabu-abuan dan memiliki bercak putih (Setiabudi, 2009). Lidah buaya merupakan 4 tumbuhan berbatang pendek yang tidak terlihat karena tertutup oleh daundaun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah, melalui batang inilah muncul tunas-tunas yang selanjutnya akan menjadi tanaman anak. Lidah buaya tahan terhadap kekeringan karena di dalam daunnya banyak tersimpan cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu kekurangan air. Permukaan daun dilapisi lilin dengan duri lemas di pinggirnya. Akar lidah buaya berupa akar serabut yang pendek dan berada di permukaan tanah, panjangnya sekitar 50-100 cm (Agoes, 2010). Lidah buaya mempunyai sekitar 300 spesies. Daun lidah buaya yang berdaging tebal dikupas kulitnya, terdapat cairan kuning yang rasanya pahit dan bagian dalam menghasilkan gel pekat. Perbanyakan dengan pemisahan anakan (Dalimartha, 2008). d. Kandungan Kimia Berdasarkan hasil penelitian, tanaman lidah buaya kaya akan kandungan zat-zat seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida, dan komponen lain yang sangat bermanfaat bagi kesehatan antara lain aloin, barbaloin, isobarbaloin, aloe-emodin, dan aloesin (Agoes 2010). Lidah buaya juga mengandung lupeol, asam salisilat, nitrogen, fenol, sulfur, magnesium, laktat, prostanoid, dan serat. Aloin memiliki efek laksatif, aloktin, kampesterol, β sitosterol dan acemannan memiliki efek anti inflamasi : lupeol, asam salisilat, fenol, dan sulfur sebagai antiseptik (Ebadi, 2011). Aloe emodin dan rhein adalah polifenol golongan antrakuinon yang mempunyai khasiat laksatif (purgatif). Kandungan polisakaridanya mempercepat penyembuhan luka dan mengurangi reaksi peradangan (Dalimartha, 2008). Lidah buaya mengandung asam salisilat, sterol, dan enzim pemecah protein yang bekerja menghambat peradangan. Lidah buaya juga mempunyai sifat adstrigen dan antibakteri yang berperan dalam mengobati jerawat dengan cara menetralisir lemak (komedo) yang menumpuk dan mencegah inflamasi (Hamman, 2008). 5 e. Khasiat dan Penggunaan Lidah buaya memiliki khasiat yang beragam sering dijadikan bahan campuran dalam sampo, minuman, obat cacing, luka bakar, bisul, luka bernanah, amandel, sakit mata, keseleo, kosmetik, dan jerawat (Agoes, 2010). Salah satu fungi atau khasiat yang digunakan adalah sebagai anti bakteri. Lidah buaya memiliki rasa pahit, sifat dingin, masuk meridian jantung, hati dan pankreas. Berkhasiat menghilangkan panas hati, mereklasasi usus besar agar buang air besar (laksatif), antiradang, peluruh haid, dan parasitiside (Dalimartha, 2008). 2. Ekstraksi Simplisia Ekstraksi adalah penarikan zat aktif yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehinga zat yang diinginkan akan larut (Ansel, 1989). Ada beberapa metode dasar ekstraksi yang dipakai untuk penyarian diantaranya yaitu maserasi, perkolasi, sokletasi. Pada penelitian ini digunakan metode maserasi untuk penyarian simplisia. Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (Anonim, 2000). Maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana dan paling banyak digunakan (Ansel, 1989). 3. Gel a. Definisi Gel Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 2005). Gel dirumuskan sebagai sistem dispersi, yang minimal terdiri dari dua fase, sebuah fase padat dan sebuah fase cair (liogel) atau sebuah fase padat dan fase gas (serogel) (Voigt, 1984). Obat-obat topikal yang dipilih sebaiknya yang bersifat mampu mengatasi kuman patogen, non toksik lokal dan sistemik, mudah 6 digunakan, memberi kenyamanan pasien (tidak menimbulkan nyeri), tidak iritatif, dan harga terjangkau. Dengan pemberian obat-obat topikal secara tepat dan efektif, diharapkan dapat mengurangi terjadinya infeksi luka dan mencegah sepsis yang seringkali masih menjadi penyebab kematian pasien (Effendy, 1999). b. Dasar Gel Dasar gel dapat dibedakan menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik (Ansel, 2005). 1) Dasar gel hidrofobik (koloid liofobik) Koloid liofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, bilamana ada, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Bahan hidrofilik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 2005). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolium, mineral oil atau gel polietilen, plastibase, aluminium stearat, carbowaks (Allen, 2002). 2) Dasar gel hidrofilik (koloid liofilik) Koloid liofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besaran dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase dispersi. Terminologi tertentu telah dikembangkan untuk menggolongkan berbagai macam derajat daya tarik menarik antara fase-fase dari dispersi koloid jika fase terdispersi koloid jika fase terdispersi dapat berinteraksi dengan fase pendispersi, hal tersebut diistilahkan sebagai liofilik yang berarti suka pada pelarut. Pada umumnya karena daya tarik-menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik-menarik dari bahan hidrofobik, sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 2005). Basis gel hidrofilik antara lain aerosol, bentonite, eter selulosa, natrium alginat, tragakan, karbomer, polimer sintetik (Voigt, 1984). 7 3) Sediaan gel Idealnya, gelling agent untuk keperluan farmasi dan kosmetik harus inert, aman, dan tidak reaktif dengan komponen formulasi lainnya (Lieberman et al., 1996). Konsentrasi gelling agent biasanya kurang dari 10%, pada kisaran 0,5% sampai 2,0% (Allen, 2002). Resin basis karbopol merupakan ikatan alkil pentarithritol, polimers asam berbasis akrilik, yang memiliki berat molekul tinggi dan dimodifikasi dengan C10 hingga C30 alkil akrilat (Allen, 2002). Karbopol 934 adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksinya menjadi mudah terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama reaksi elektrostatik di antara perubahan rantai polimer (Flory, 1953 Cit Lu dan Jun, 1998). Adapun sifat fisik dari karbopol yaitu membentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas, higroskopis, memiliki titik lebur pada 260oC selama 30 menit dan berat jenis 1,72-2,08 g/cm3. Karbopol dapat larut dalam air, etanol, dan gliserin. Konsentrasi lazim karbopol sebagai gelling agent yaitu dengan 0,5-2% (Rowe et al., 2006). Menurut hasil penelitian Lu dan Jun (1998), karbopol konsentrasi 2% memiliki nilai difusi paling besar. Karbopol 934 ini memiliki keefektifan yang tinggi dalam mengentalkan sediaan seperti pada viskositas gel (Allen, 2002). Trietanolamin sebagai penetrasi ditambahkan untuk mengentalkan gel setelah basis karbomer didispersikan. Trietanolamin akan menetralisir resin basis karbomer yang mengandung etanol hingga 50% (Allen, 2002). Netralisasi yang berlebihan akan menghasilkan penurunan viskositas, yang tidak dapat balik dengan penambahan asam. Viskositas dan kemurnian maksimum terjadi pada pH 7, tetapi viskositas dan kemurnian dapat diterima pada pH 4,5 sampai 5 dan menjangkau sampai pH 11 (Allen, 2002). pH sangat penting dalam menentukan viskositas gel basis karbopol (Allen, 2002). 8 Serbuk resin karbopol tidak mengandung adanya pertumbuhan bakteri, jamur, dan fungi sedangkan dalam sistem air, jamur, dan beberapa bakteri dapat tumbuh (Allen, 2002). Tumbuhnya jamur dan bakteri disebabkan oleh tingginya kandungan air (sampai 70%), sediaan ini dapat mengalami kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Untuk mengupayakan tercapainya stabilitas yang baik dari segi mikrobial digunakan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam. Khususnya untuk basis karbopol sangat cocok digunakan metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet (Voigt, 1995). Kesesuaian atau kegagalan suatu pengawet dalam melindungi formulasi terhadap bakteri-bakteri yang merusak tergantung pada berbagai faktor. Interaksi bahan pengawet dengan surfaktan, zat aktif, komponen pembawa lainnya, penyerapan oleh bahan pengemas polimer, dan temperatur penyimpanan produk dapat mengubah konsentrasi bahan pengawet yang tidak terkait atau bebas di dalam fase air (Lachman dkk., 1986). 4. Kulit Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam homeostasis (Effendy, 1999). Kulit mempunyai beberapa fungsi, antara lain proteksi, absorbsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi), pembentukan pigmen, keratinasi, dan pembentukan vitamin D (Djuanda, 2002). a. Anatomi fisiologi kulit Kulit secara garis besar tersususn atas tiga lapisan utama, yaitu : 1) Lapisan epidermis (kutikula) Lapisan epidermidis merupakan bagian kulit yang paling luar berupa epitel gepeng (skuamosa) berlapis, dengan beberapa lapisan yang terlihat jelas. Jenis sel yang utama disebut keratinosit (Graham, 2006). Epidermis dibedakan atas 5 lapisan kulit, yaitu : stratum 9 korneum (lapisan tanduk), stratum lusidium, stratum granulosum (lapisan keratohialin), stratum spinosum (stratum malphigi), dan stratum basale (Djuanda, 2001). 2) Lapisan dermis Dermis mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, gelembung rambut, kelenjar lemak (sebasea), kelenjar keringat, otot dan serabut syaraf dan korpus pacini (Anief, 1997). 3) Lapisan subkutis atau lapisan subkutan Lapisan subkutan memiliki banyak sel liposit yang menghasilkan banyak lemak. Jaringan subkutan berfungsi untuk menyekat panas, bantalan terhadap trauma, dan tempat penumpukan energi (Harahap, 2000). b. Jerawat atau akne Jerawat adalah penyakit peradangan folikel pilosebasea dalam jangka waktu yang lama, yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri (Djuanda, 2002). Biasanya jerawat mulai timbul pada masa pubertas. Pada waktu pubertas terdapat kenaikan dari hormon androgen yang beredar dalam darah yang dapat menyebabkan hiperplasia dan hipertrofi dari grandula sebasea (Harahap, 2000). Patogenesis jerawat, dimulai dari androgen (biasanya dalam kadar yang normal) merangsang peningkatan produksi sebum folikel rambut terutama yang mengandung kelenjar sebasea besar (pada wajah, leher, dada, dan punggung) menjadi tersumbat karena hiperkeratosis. Hal ini menimbulkan komedo tertutup dalam folikel ini, bakteri mengadakan profilaksis organisme ini bereaksi pada sebum, mengeluarkan zat-zat kimia yang menyebabkan peradangan. Zat-zat kimia tersebut bocor ke dermis di sekitarnya lalu tubuh memberikan respon peradangan akut yang intensif. Akibatnya terbentuk papula, pustulla, dan nodula (Graham, 2006). Ada tiga hal penting dalam pengobatan jerawat, yaitu mencegah timbulnya komedo, mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan 10 reaksi peradangan, dan mempercepat resolusi lesi peradangan (Harahap, 2000). c. Bakteri Staphylococcus epidermidis Sistematika Staphylococcus epidermidis adalah sebagai berikut : Divisi : Bacteria Kelas : Bacilli Bangsa : Bacillales Suku : Staphylococcaceae Marga : Staphylococcus Jenis : Staphylococcus epidermidis (Rokhmawati, 2009). Stafilokokus mudah tumbuh pada perbenihan bakteri dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik. Stafilokokus tumbuh paling cepat pada suhu 370C. Staphylococcus epidermidis membentuk pigmen setelah lama dieramkan (Jawetz et al., 2005). Staphylococcus epidermidis adalah anggota flora normal pada kulit manusia. Staphylococus epidermidis menimbulkan penyakit melalui kemampuannya menyebar luas dalam jaringan dan pembentukan zat ekstraselluler. Lipase Staphylococcus epidermidis berperan dalam terjadinya jerawat (Jawetz et al., 2005). d. Antibakteri Suatu zat antibakteri yang ideal memiliki toksisitas selektif. Istilah ini berarti bahwa suatu obat berbahaya bagi parasit tetapi tidak membahayakan inang. Seringkali, toksisitas selektif lebih bersifat relatif dan bukan absolut, ini berarti bahwa suatu obat yang pada konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit (Jawetz et al., 2005). Toksisitas selektif dapat berupa fungsi dari suatu reseptor khusus yang dibutuhkan untuk perlekatan obat, atau dapat bergantung pada penghambatan proses biokimia yang penting untuk bakteri tetapi tidak 11 untuk inang. Mekanisme kerja sebagian besar obat antibakteri belum dimengerti secara jelas. Namun, untuk mudahnya mekanisme kerja dibagi menjadi empat cara, yaitu penghambatan sintesis protein, dan penghambatan sintesis asam nukleat (Jawetz et al., 2005). E. Monografi Bahan Tambahan 1. Karbopol 934 Resin basis karbomer (karbopol) merupakan ikatan alkil pentarithritol, polimers asam berbasis akrilik, yang memiliki berat molekul tinggi dan dimodifikasi dengan C10 hingga C30 alkil akrilat (Allen, 2002). Karbopol 934 adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksinya menjadi mudah terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama reaksi elektrostatik di antara perubahan rantai polimer (Flory, 1953 Cit Lu dan Jun, 1998). Adapun sifat fisik dari karbopol yaitu membentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas, higroskopis, memiliki titik lebur pada 260o C selama 30 menit dan berat jenis 1,72-2,08 g/cm3. Karbopol dapat larut dalam air, etanol, dan gliserin. Konsentrasi lazim karbopol sebagai gelling agent yaitu dengan 0,5-2% (Rowe et al., 2006). Viskositas dan kemurnian maksimum pada pH 7, tetapi viskositas dan kemurnian dapat diterima pada pH 4,5-5 dan menjangkau sampai pH 11(Allen, 2002). pH penting dalam menentukan viskositas gel basis karbomer (Allen, 2002). 2. Trietanolamin (TEA) TEA mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 107,4% dihitung terhaadap zat anhidrat sebagai trietanolamin. Trietanolamin memiliki rumus N(C2H4OH)3, pemerian cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, bau lemah mirip aromatik, higroskopis. Trietanolamin mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) P, larut dalam kloroform P. Trietanolamin digunakan sebagai bahan tambahan (Anonim, 1979). 3. Metil paraben Metal paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3. Pemerian hablur kecil, tidak berwarna atau berbau khas 12 lemah, mempunyai sedikit rasa terbakar. Kelarutan sukar larut dalam air, dalam benzene dan dalam karbon tetraklorida, mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Metil paraben mempunyai jarak lebur antara 1250 dan 1280. (Anonim, 1995). Metil paraben digunakan sebagai zat pengawet (Anonim,1979). 4. Propil paraben Propil paraben digunakan sebagai zat pengawet dan tambahan (Anonim,1979). Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C10H12O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Pemerian serbuk putih atau hablur kecil, tidak berwarna. Propel paraben mempunyai kelarutan sangat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dan dalam eter, sukar larut dalam air mendidih. Jarak lebur propel paraben adalah 950 dan 980 (Anonim, 1995). 5. Akuades Akuades merupakan bahan yang hampir selalu digunakan sebagai eksipien formulasi dibidang farmasi berupa cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Akuades memiliki titik didih 100oC (Galichet, 2005). F. Landasan Teori Lidah buaya memiliki banyak khasiat, salah satunya sebagai antibakteri. Ekstrak etanol daun lidah buaya mengandung asam kumorat, asam askorbat, procetol, dan asam sinnami yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus pyogenes (Lawrence et al., 2006). Ekstrak etanol lidah buaya (Aloe vera L.) memiliki daya antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis karena memiliki kesamaan dengan Streptococcus pyogenes yaitu struktur dinding sel bakteri Gram positif (Jawetz et al,. 2005). Ekstrak lidah buaya pada pemakaian topikal dengan dosis 10 mg/ml memiliki aktivitas antibakteri terhadap Propionibacterium acne (yang merupakan flora normal kulit dan bakteri Gram positif) pada media agar dengan zona hambat 8,4 mm (Sawarkar et al., 2010). 13 Aktivitas antibakteri dari ekstrak lidah buaya ini ditunjukkan oleh adanya antrakuinon dan aloin (Tian et al., 2003).) Untuk meningkatkan efektivitas penggunaan ekstrak lidah buaya pada kulit dilakukan formulasi gel ekstrak lidah buaya dengan basis karbopol 934. Semakin tinggi konsentrasi karbopol 934 sebagai gelling agent pada sediaan gel ekstrak lidah buaya, maka viskositasnya semakin tinggi dan semakin sukar melepaskan obatnya (Voigt, 1995). Dengan variasi konsentrasi diketahui efektivitas ekstrak etanol lidah buaya pada sediaan gel dan sifat fisik gel yang baik. G. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, penggunaan variasi konsentrasi karbopol 934 sebagai gelling agent mempengaruhi dari sifat fisik gel, yaitu kenaikan viskositas, penurunan daya lekat, penurunan daya sebar, perubahan pH dan aktivitas penghambatan pertumbuhan antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis.