AKURASI CARIK CELUP URIN UNTUK MENDETEKSI BAKTERIURI ASIMTOMATIS PADA KEHAMILAN PRETERM dr. Tjok G A Suwardewa, Sp.OG(K) BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2014 i ABSTRAK AKURASI CARIK CELUP URIN UNTUK MENDETEKSI BAKTERIURI ASIMTOMATIS PADA KEHAMILAN PRETERM Bakteriuri asimtomatis adalah adanya bakteri lebih dari 105 CFU /ml pada urin tanpa disertai gejala klinik, hal ini dapat menyebabkan terjadinya persalinan preterm apabila tidak terdeteksi dan diobati. Kultur urin adalah baku emas untuk mendiagnosis bakteriuri asimtomatis, namun pemeriksaan ini mahal dan sulit dikerjakan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kepekaan carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan metode skrining yang lebih cepat, murah dan akurat dalam mendeteksi bakteriuri asimtomatis. Desain pada penelitian ini adalah uji diagnostik, melibatkan 88 orang wanita hamil preterm yang datang ke Poliklinik atau IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dengan analisis tabel 2x2 didapatkan carik celup urin memiliki sensitivitas 84,21%, spesifisitas 81,16%, nilai prediktif positif 55,17%, nilai prediktif negatif 94,92%, nilai likelihood ratio positif 4,47, nilai likelihood ratio negatif 0,19 dan akurasi sebesar 81,82%. Dari hasil tersebut disimpukan carik celup urin dapat digunakan untuk mendeteksi adanya bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm, terutama pada daerah dengan sumber daya terbatas. Kata kunci : bakteruri asimtomatis, kehamilan preterm, carik celup urin, akurasi 1 ABSTRACT URINE DIPSTICK ACCURACY TO DETECT ASYMPTOMATIC BACTERIURIA IN PRETERM PREGNANCY Asymptomatic bacteriuria defined as a significant bacteriuria (at least 105 CFU /ml) without any clinical symptoms, asymptomatic bacteriuria can lead to preterm delivery if this condition was undetected and untreated. Urine culture is the gold standard for the diagnostic, however it is expensive and not easy to perform. The objective of this study was to measure the accuracy of urine dipstick in detecting asymptomatic bacteriuria in preterm pregnancy. Goal of this study is to propose a faster, more reasonable and accurate screening method for detecting asymptomatic bacteriuria in pregnancy. This study was a diagnostic test, which involved 88 preterm pregnant women who attended Sanglah Hospital Obstetric and Gynecologic Department, and fulfilled the inclusion and exclusion criteria. Based on the 2x2 table analysis, it was found that urine dipstick had 84.21% sensitivity, 81.16% specificity, while positive and negative predictive value, and the positive and negative likelyhood ratio were 55.17%, 94.92%, 4.47% and 0.19% respectively, with the accuracy was 81.82%. From these results, it was concluded that urine dipstick can be used to detect asymptomatic bacteriuria in preterm pregnancy, especially in limited resources setting. Keywords: asymptomatic bacteriuria, preterm pregnancy, dipstick, accuracy 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persalinan preterm adalah penyebab utama terjadinya kematian neonatal. Dalam jangka panjang prematuritas memberikan dampak kesehatan yang besar terhadap kesehatan anak sepanjang masa hidupnya. Menurut Beck dan Wojdyla (2009), 28% dari seluruh kematian neonatal disebabkan oleh persalinan preterm. Anak yang lahir prematur lebih sering mengalami serebral palsi, gangguan panca indera, gangguan kemampuan belajar dan penyakit saluran nafas dibanding anak yang lahir cukup bulan. Infeksi adalah salah satu faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Sekitar 30-50% persalinan preterm disebabkan oleh infeksi asenden dari traktus urogenital (Klein dan Gibbs, 2005). Salah satu infeksi yang dapat menyebabkan terjadinya persalinan preterm adalah bakteriuri asimtomatis. Bakteriuri asimtomatis didefinisikan sebagai adanya koloni bakteri lebih dari 105 CFU/ml pada urin, tanpa menimbulkan gejala klinis (Josoprawiro, 2002; LaSala, 2007). Bakteriuri asimtomatis dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada wanita hamil berupa pielonefritis, gagal nafas, syok sepsis, dan kerusakan ginjal permanen (Fatima, 2006; Smaill, 2007). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya persalinan preterm adalah dengan melakukan deteksi dini dan pengobatan terhadap bakteriuri asimtomatis pada wanita hamil. Dengan melakukan hal ini 3 2 terjadi penurunan risiko terjadinya persalinan preterm sebesar 30% (Smaill, 2007). Saat ini kultur urin adalah penunjang diagnostik yang paling baik untuk menegakkan diagnosis bakteriuri asimtomatis. Penapisan dengan kultur urin disarankan dikerjakan saat kunjungan antenatal pertama atau usia kehamilan 1216 minggu untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis (Lin, 2008). Kendala yang timbul dalam mengerjakan pemeriksaan kultur secara rutin adalah prosedur yang rumit, dan biaya yang mahal. Beberapa pemeriksaan lain dapat menjadi alternatif untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis, salah satunya adalah pemeriksaan carik celup urin yang dapat mengetahui adanya aktivitas bakteri dalam urin dengan mendeteksi adanya nitrit dan leukosit esterase dalam urin (Strassinger, 2008). Adanya nitrit dalam urin adalah akibat adanya bakteri yang mengubah nitrat yang terdapat dalam urin menjadi nitrit melalui reaksi enzimatis. Leukosit esterase menandakan adanya leukosit dalam urin yang dapat menjadi penanda terjadinya infeksi. Pada beberapa penelitian, pemeriksaan carik celup dengan kedua parameter ini memiliki sensitivitas 68%-88% dan spesifisitas 62%-87% (DeVille, 2004). Pemeriksaan carik celup ini mudah dikerjakan, hasilnya cepat didapat, biaya pemeriksaan jauh lebih murah dari kultur urin dan tidak memerlukan keahlian khusus. Dengan demikian, dilakukan penelitian untuk mengetahui akurasi carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mendiagnosis bakteriuria asimtomatis terutama pada daerah dengan sumber daya terbatas. 3 1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang penelitian diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah carik celup urin dapat digunakan sebagai metode yang akurat untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk mengetahui kepekaan pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm dibandingkan dengan kultur urin. 1.3.2 Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui sensitivitas carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm 2. Untuk mengetahui spesifisitas carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 3. Untuk mengetahui nilai duga positif dan negatif carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 4. Untuk mengetahui nilai likelihood ratio positif dan negatif carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 5. Untuk mengetahui akurasi carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 4 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Menambah data mengenai akurasi pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 1.4.2 Manfaat praktis Memberikan metode skrining yang lebih cepat, murah dan akurat untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis terutama di daerah dengan sumber daya terbatas. 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Definisi Bakteriuri Asimtomatis Adanya bakteri yang terdeteksi dalam urin disebut bakteriuri. Bakteriuri dapat timbul tanpa gejala klinis, namun dapat juga menyebabkan gejala yang bervariasi, dapat berupa disuri (nyeri saat berkemih), frekuensi (berkemih yang sering, lebih dari 8 kali dalam 24 jam), urgensi (keinginan yang kuat untuk berkemih secara tiba-tiba), hematuria (kencing bercampur darah), perasaan nyeri pada daerah suprasimfisis dengan atau tanpa demam (LaSala, 2007). Bakteriuri asimtomatis didefinisikan sebagai suatu keadaan adanya koloni bakteri lebih dari 105 CFU/ml pada urin, tanpa menimbulkan gejala klinis (Josoprawiro, 2002; LaSala, 2007). Koloni bakteri pada saluran kencing ini bila tidak diberi penanganan yang adekuat dapat berkembang menjadi infeksi saluran kencing bagian atas. Pada wanita hamil bakteriuri asimtomatis mempunyai arti klinis yang penting karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi bagi ibu maupun bayi. 2.2 Epidemiologi Bakteriuri Asimtomatis Infeksi saluran kencing adalah infeksi yang paling sering terjadi pada wanita. Prevalensi bakteriuri asimtomatis pada wanita secara umum sebesar sekitar 10-12%, dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia (Sweet, 2002). Pada wanita hamil prevalensi bakteriuri asimtomatis bervariasi, di Amerika 5 6 Serikat prevalensi sebesar 3-5% (Lin, 2008), di India sekitar 2-14% (Vaishali, 2002) Bangladesh 10% (Selimuzzaman et.al., 2007). Di Indonesia, Simanjuntak (1982), menemukan prevalensi sebesar 10 % , Ocviyanti (1996), 7,3%, dan Kalalo (2006), sebesar 9,85%. Prevalensi yang tinggi dapat ditemukan pada wanita dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah (Smaill, 2007). 2.3 Etiologi Bakteriuri Asimtomatis Sebagian besar bakteri penyebab bakteriuri adalah flora fekal. Sekitar 8090% infeksi saluran kencing disebabkan oleh Escericia koli (E. koli) saja (Sweet, 2002; LaSala, 2007). Hal ini disebabkan karena E. koli adalah flora normal usus dan sangat mudah mengkontaminasi saluran kencing karena letaknya yang berdekatan secara anatomis. Berikut urutan bakteri yang sering menjadi penyebab infeksi saluran kemih yaitu E. koli, Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonie, Streptokokus beta hemolitikus, Pseudomonas aeruginosa (Josoprawiro, 2002). Stafilokokus saprofitikus ditemukan pada 10% infeksi saluran kencing pada wanita seksual aktif (Sweet 2002; LaSala, 2007). Pseudomonas aeruginosa sering ditemukan pada infeksi saluran kencing setelah instrumentasi alat medis. Enterokokus dan Streptococcus agalactiae bertanggung jawab pada 3% kejadian, dan sering ditemukan pada wanita dengan diabetes. Bakteri anaerob jarang menyebabkan infeksi pada saluran kencing karena adanya oksigen pada saluran kencing menghambat pertumbuhan kuman anaerob (LaSala, 2007). 7 2.4 Faktor Risiko Bakteriuri Asimtomatis Sampai saat ini terdapat beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan terjadinya infeksi saluran kencing. Riwayat infeksi saluran kencing berulang, hubungan seksual, penggunaan kondom spermisida, dan cervical cup dapat menjadi faktor risiko terjadinya bakteriuri asimtomatis. Riwayat infeksi saluran kencing terdahulu menjadi penanda kerentanan individu terhadap infeksi bakteri, sehingga mudah terjadi rekurensi. Aktivitas hubungan seksual, penggunaan diafragma dengan spermisida, maupun cervical cup dapat meningkatkan risiko terjadinya bakteriuri asimtomatis (Hooton, 2000). Spermisida yaitu nonoksinol 9, adalah mikrobisida aktif terhadap laktobasilus dan G. vaginalis, sementara E. koli dan patogen lain sangat resisten terhadap efek tersebut. Galur laktobasilus penghasil hidrogen peroksida lebih suseptibel terhadap nonoksinol 9 dibandingkan bukan penghasil hidrogen peroksida. Nonoksinol 9 juga dapat membantu perlekatan E. koli pada epitel vagina. Mekanisme ini menjelaskan studi epidemiologi yang menunjukkan meningkatnya risiko infeksi saluran kencing, bakteriuri asimtomatis dan kolonisasi E. koli pada vagina (Sweet, 2007). Pada wanita hamil, frekuensi hubungan seksual lebih dari tiga kali seminggu, ditemukan dapat meningkatkan risiko terjadinya bakteriuri (Amiri, 2009). Hal ini terjadi karena bakteri uropatogen dapat ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual. Terdapatnya jenis bakteri yang sama pada pasangan pria dan wanita yang menderita bakteriuri memperkuat dugaan bahwa hubungan seksual dapat 8 ditularkan secara langsung melalui hubungan seksual (Sweet, 2002). Pada wanita pasca menopause, kekurangan kadar estrogen dihubungkan dengan penurunan koloni laktobasilus, peningkatan pH vagina dan peningkatan kolonisasi E. koli di vagina. Karena hal tersebut risiko terjadinya infeksi saluran kencing meningkat sepuluh kali pada wanita pasca menopause yang tidak memperoleh terapi sulih hormon (Sweet, 2007). 2.5 Patogenesis Bakteriuri Asimtomatis Adanya kemiripan flora usus dengan bakteri uropatogen menimbulkan suatu hipotesis bahwa infeksi saluran kencing terjadi karena adanya rute asenden dari usus ke vestibulum vagina lalu ke uretra dan akhirnya ke kandung kemih (Sweet, 2007). Wanita memiliki uretra sepanjang 3-4 cm dan letaknya dekat dengan vagina, anus dan rektum yang merupakan area koloni dari flora usus yang merupakan bakteri golongan enterobakter. Keadaan ini menyebabkan infeksi saluran kencing lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria (Gillstrap, 2001). Adanya koloni enterobakter yang sering terjadi pada vestibulum wanita yang mengalami infeksi saluran kencing berulang dibanding yang tidak, menunjukkan bahwa rute asenden flora fekal adalah penyebab utama bakteriuri (Sweet, 2007). 9 Gambar 2.1 Skema Patogenesis Infeksi Saluran Kencing Secara Asenden (Sumber: Cattell, 1998) Kolonisasi uropatogen pada introitus vagina adalah tahap penting dalam patogenesis infeksi saluran kencing. Kolonisasi ini dipengaruhi oleh ekosistem mikroba vagina. Mikroflora vagina normal didominasi oleh laktobasilus yang menyebabkan kondisi pH asam pada vagina yang akan mencegah berlanjutnya kolonisasi uropatogen E. koli. Kolonisasi kemudian berkembang ke daerah periuretra, selanjutnya akan terjadi infeksi asenden dari uretra ke dalam kandung kemih yang didukung oleh kemampuan perlekatan bakteri pada epitel saluran kencing, maka bakteri dapat berkembang biak dan menimbulkan bakteriuri baik simtomatis maupun asimtomatis. Dalam menimbulkan infeksi saluran kencing, bakteri dan inang mempunyai faktor virulensi dan mekanisme pertahanan tubuh yang akan menentukan apakah infeksi akan hilang, memberat atau menetap tanpa gejala. Adapun faktor virulensi dan mekanisme pertahanan tubuh inang adalah sebagai berikut. 10 2.5.1 Faktor virulensi mikroorganisme Faktor virulensi menentukan kemampuan suatu organisme untuk menimbulkan penyakit. Seperti dibahas sebelumnya bahwa E. koli adalah penyebab utama infeksi saluran kencing, maka faktor virulensi dibawah ini sebagian besar dimiliki oleh E. koli. a. Antigen somatik O (endotoksin) E. koli yang diisolasi dari infeksi saluran kencing merupakan bagian dari kelompok serogrup O yang sering terdapat pada feses. Endotoksin ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel epitel kandung kemih dan menyebabkan reaksi inflamasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa antigen O ini adalah faktor virulensi yang berperan pada infeksi saluran kencing akut. Pada bakteriuri asimtomatis dan infeksi saluran kencing yang lama, sering ditemukan bakteri yang memiliki antigen O dengan rantai polisakarida yang lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa E. koli yang mengalami gangguan pada antigen O dan mengalami penurunan virulensilah yang menjadi penyebab infeksi asimtomatis dan infeksi yang kronis tersebut (Sussman, 1998). b. Antigen K (kapsuler) Kapsul adalah polisakarida asam yang bersifat antifagosit. Antigen K banyak ditemukan pada pielonefritis dibanding sistitis (Sussman,1998). c. Ketahanan terhadap efek bakterisidal serum Efek bakterisidal serum terjadi akibat aktifasi komplemen setelah adanya antibodi spesifik, atau akibat adanya aktivasi oleh adanya senyawa polimer pada 11 permukaan bakteri. Hal ini tergantung pada karakteristik permukaan bakteri. Bakteri yang menyebabkan bakteriuri asimtomatis, lebih rentan terhadap mekanisme ini dibanding dengan bakteri pada infeksi saluran kencing akut (Sussman, 1998). d. Penyerapan besi dan hemolisin Besi mempunyai peran penting sebagai nutrisi untuk menunjang hidup bakteri. Bakteri yang mampu bertahan adalah bakteri yang dapat menyerap besi dari lingkungan yang memiliki kadar besi yang rendah. Kadar besi normal pada urin adalah sekitar 150µg/24 jam yang tersedia untuk mikroorganisme. Mikroorganisme menghasilkan sideropor, suatu molekul dengan berat rendah yang mempunyai afinitas tinggi terhadap besi, dalam peranannya pada sistem transpor besi. E. koli dan beberapa enterobakteria lain menghasilkan enterobaktin (enterokelin) pada saat tumbuh dalam lingkungan dengan kadar besi rendah. Enterobaktin yang dihasilkan oleh sel akan dipecah setelah besi yang diikat diambil oleh sel. Jenis E. koli penyebab infeksi saluran kencing juga dapat memiliki senyawa pengikat besi yang lain yaitu aerobaktin, aerobaktin tidak seperti enterobaktin dapat didaur ulang kembali setelah dipakai, sehingga tidak memerlukan banyak energi lagi untuk membentuk pengikat besi yang baru. Aerobaktin juga mampu melepas besi yang telah berikatan dengan transferin. Aerobaktin didapatkan pada 75% E. koli yang diisolasi pada kultur darah penderita dengan septikemia, yang menunjukkan bahwa aerobaktin ini mempunyai peran penting dalam mencapai sirkulasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aerobaktin adalah salah satu faktor 12 virulensi yang menjadi penentu terjadinya septikemia dari infeksi saluran kencing (Sussman, 1998). e. Hemolisin Hubungan antara produksi hemolisin dengan patogenitas E. koli telah lama diketahui. Ditemukan bahwa E. koli yang memproduksi hemolisin lebih virulen dibanding yang tidak, E. koli yang menyebabkan infeksi saluran kencing sebagian besar menghasilkan hemolisin. Hemolisin berperan dalam memecah hemoglobin atau heme untuk memperoleh besi yang terdapat di dalamnya (Sussman,1998). Selain kemampuannya dalam menghancurkan eritrosit, hemolisin juga bersifat toksik terhadap berbagai jenis sel (misalnya sel polimorfonuklear [PMN], leukosit, monosit). E. koli dengan hemolisin menyebabkan cedera pada tubuli ginjal secara invitro. Walaupun hemolisin tidak berperan dalam menetapnya infeksi pada saluran kencing bagian atas, hemolisin mungkin berperan dalam menyebabkan kerusakan mukosa yang diperlukan dalam terjadinya penyakit invasif (Sweet, 2002). f. Urease Proteus mirabilis dan proteus vulgaris memiliki suatu ciri khas sebagai uropatogen. Mereka menghasilkan urease yang dapat memecah urea menjadi karbon dioksida dan amonia, yang bersifat toksik terhadap ginjal. Hal ini juga menyebabkan suasana urin menjadi lebih basa, yang dapat menyebabkan magnesium amonium posfat menggumpal dan berpotensi menempel satu sama lain dan menjadi batu infeksi. Selain pada proteus, urease juga menjadi faktor virulen untuk Stafilokokus saprofitikus (Sussman,1998). 13 g. Aderen Kemampuan E. koli untuk melekat pada permukaan sel epitel sangat penting untuk terjadinya infeksi saluran kencing. Karena dengan perlekatan tersebut maka bakteri dapat bertahan dari aliran urin dan kemudian berkembang biak dan berkoloni di saluran kencing. Fimbriae dan pili adalah aderen yang banyak dimiliki oleh bakteri uropatogen (Sussman, 1998). h. Fimbriae E. koli memeliki dua jenis fimbriae yang dibedakan berdasarkan kemampuan hemaglutinisasi. Hemaglutinasi fimbriae jenis pertama dihambat oleh manose dan senyawa manosida, sedangkan hemaglutinasi fimbriae yang kedua bersifat resisten terhadap manose. Jenis yang pertama disebut fimbriae sensitif manose atau fimbriae tipe 1, sedangkan yang kedua disebut fimbriae resisiten manose. Fimbriae tipe 1 sering dijumpai pada pada bakteri Gram negatif termasuk pada jenis yang kurang virulen. Fimbriae jenis ini berikatan pada reseptor pada uroepetilium, lendir mukosa dan protein Tamm-Horsfall. Fimbriae resisten manose seperti yang terdapat pada E. koli uropatogen juga dapat ditemukan pada beberapa bakteri uropatogen Gram negatif lain seperti Proteus dan Klebsiella. Pada E. koli beberapa jenis fimbriae resisten manose antara lain fimbriae P, fimbriae S, dan fimbriae DR. Stafilokokus saprofitikus memiliki struktur fibrilar pada permukaan selnya yang berfungsi untuk melekatkan diri pada sel epitel saluran kencing. Gen yang mengatur pembentukan fimbriae tipe 1 dan resisten manose terdapat pada kromosom bakteri. Walaupun secara genotif bakteri memiliki gen ini, gen ini 14 tidak selalu dapat diekspresikan. Namun demikian pada kondisi tertentu, bakteri tersebut dapat mengekspresikan gen tersebut sewaktu-waktu (Sussman, 1998). i. Hubungan adesi dan infeksi Organisme penyebab infeksi saluran kencing ditemukan berlekatan dengan sel epitel pada urin pasien dengan infeksi saluran kencing akut. Fimbriae tipe 1 sepertinya tidak memberikan peran yang terlalu penting dalam infeksi akut saluran kencing, walaupun fimbriae tipe 1 banyak ditemukan pada E. koli penyebab infeksi saluran kencing, namun fimbriae ini tidak melekat begitu baik dengan epitel ginjal. Meskipun demikian fimbriae tipe 1 penting perannya dalam kolonisasi awal pada periuretra, uretra dan pada kandung kemih. Hal ini didukung oleh bukti bahwa pada percobaan infeksi saluran kencing pada tikus menggunakan campuran bakteri dengan fimbriae tipe 1 dan bukan fimbriae tipe 1 ditemukan bahwa bakteri dengan fimbria tipe 1 dominan ditemukan pada kandung kemih namun sedikit sekali ditemukan pada ginjal. Fimbriae resisten manose, khususnya fimbriae P, spesifik menyebabkan infeksi saluran kencing terutama pada ginjal. Fimbriae P diproduksi oleh E. koli pada saluran kencing saat infeksi saluran kencing akut dan terdapat pada 80% anak dengan pielonefritis akut (Sussman, 1998). Kurang lebih 50-60% E. koli yang mempunyai fimbriae P ditemukan pada sistitis akut. Fimbriae P memudahkan perjalanan E. koli ke saluran kencing bagian atas melalui ikatan spesifik dengan reseptor khusus pada sel uroepitelial. Fimbriae P juga memperkuat respon inflamasi pada saluran kencing akibat adanya E. koli, menyebabkan peningkatan 15 sekresi interleukin-6 (IL-6) secara signifikan dibandingkan pada galur tanpa fimbriae (Sweet, 2002). Terdapat hubungan yang signifikan antara fimbriae dengan kejadian infeksi saluran kencing berulang pada wanita hamil. Wanita hamil dengan riwayat infeksi saluran kencing memiliki kemungkinan tujuh kali lebih besar terinfeksi E. koli dengan fimbriae resisten manose dibanding wanita tanpa riwayat infeksi saluran kencing. Wanita hamil dengan bakteriuri simtomatis memiliki kemungkinan enam kali lebih besar untuk terinfeksi E. koli dengan fimbriae resisten manose dibandingkan dengan wanita hamil dengan bakteriuri asimtomatis. Model kolonisasi pada saluran kencing terdiri dari dua tahap. Di dalam kolon, dimana terdapat banyak mukus, fimbriae tipe 1 memiliki peran penting untuk mempertahankan kolonisasi, sementara pada saluran kencing, dimana terdapat mukus dan aliran kencing secara periodik, bila hanya fimbriae tipe 1 yang diproduksi maka organisme akan dibuang melalui urin, maka bakteri akan mengekspresikan gen untuk menghasilkan fimbriae resisiten manose sehingga dapat bertahan pada saluran kencing (Sussman, 1998). 2.5.2 Mekanisme pertahanan saluran kencing Saluran kencing memiliki mekanisme pertahanan unuk melindungi diri dari infeksi. Mekanisme pertahanan ini dapat bersifat tidak spesifik, yang mencegah infeksi mikroba secara umum, maupun spesifik yang melibatkan respon imunologis terhadap mikroorganisme tertentu, tergantung dari antigen yang dibawa oleh mikroorganisme tersebut. 16 2.5.2.1 Mekanisme pertahanan non spesifik a. Flora normal vagina Flora normal vagina yang terdiri dari golongan laktobasilus yang menempel pada permukaan epitel vagina, mempunyai peran penting dalam mencegah terjadinya kolonisasi pada introitus dan periuretra. Hal ini disebabkan karena flora normal mengganggu proses adesi bakteri uropatogen. Inokulasi vagina dengan laktobasilus dapat menjadi metode yang efektif dalam mencegah terjadinya kolonisasi bakteri E. koli uropatogen (Sussman, 1998). b. Berkemih Berkemih adalah mekanisme pertahanan alami yang paling sederhana dan efektif. Aliran urin sangat berguna dalam membersihkan saluran kencing dari mikroorganisme, sekitar 99,9% mikroorganisme yang baru memasuki saluran kencing dapat dikeluarkan saat berkemih (Warren, 2001). c. Komposisi urine Meskipun berkemih dapat efektif menyapu mikroorganisme yang memasuki saluran kencing, pada dinding saluran kencing masih terdapat lapisan tipis urin yang membasahi mukosa saluran kencing yang dapat memberi kesempatan terjadinya inokulasi kuman. Komposisi urin bervariasi pada tiap orang, tergantung pada diet dan hidrasi. Konsentrasi urea yang tinggi dalam urin berguna untuk menghambat pertumbuhan kuman. Kuman anaerob jarang sekali dijumpai pada infeksi saluran kencing, hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi oksigen yang cukup tinggi dalam saluran kencing (Warren, 2001). 17 d. Kandung kemih Kandung kemih memiliki sistem antibakteri yang efektif. Epitel kandung kemih dilapisi oleh suatu lapisan glikokalik yang terdiri dari campuran polisakarida sulfat dengan glikosaminoglikan yang dapat menghalangi proses perlekatan bakteri pada epitel kandung kemih. Epitel kandung kemih juga diperkirakan menghasilkan suatu senyawa asam organik yang bersifat antimikroba. Proses berkemih dan aliran urin akan membantu proses pengeluaran bakteri dari kandung kemih. Urin mengandung protein Tamm-Horsfall yang banyak mengandung residu manose yang dapat berikatan dengan E. koli dengan fimbriae tipe 1, kemudian bakteri yang sudah diikat akan dibuang melalui aliran urin. Mekanisme lain yang juga berperan adalah pelepasan epitel kandung kemih secara terus menerus. Proses ini semakin cepat terjadi apabila terdapat infeksi pada kandung kemih tersebut (Sussman, 1998). e. Leukosit polimorfonuklear Leukosit polimorfonuklear (PMN) ditemukan pada urine pasien dengan infeksi saluran kencing. Sebagian besar PMN ini dalam keadaan hidup, tetapi hanya 2-3% yang mengandung bakteri yang dicerna. Migrasi PMN ke dalam urin paling sering dipicu oleh adanya fimbriae P dan lipopolisakarida (LPS). PMN sangat penting perannya dalam membersihkan bakteri dari saluran kencing. Kondisi urin tidak terlalu mendukung fungsi dan aktivitas PMN. Migrasi PMN, fagositosis dan efek bakterisidal PMN berkurang dengan adanya osmolaritas dan pH urin yang ekstrim. Opsonin dalam urin membantu fungsi PMN, opsonin yang 18 penting dalam urin adalah komplemen dan imunoglobulin. Terdapat konsentrasi IgG dan IgA yang lebih tinggi pada urin penderita pielonefritis dibanding sistitis. Tanpa adanya komplemen ataupun imunoglobulin, PMN masih dapat melakukan fagositosis pada E. koli. Hal ini bisa terjadi karena beberapa bakteri memiliki komponen tertentu pada permukaan selnya yang bisa merangsang fagositosis. f. Sitokin Peran sitokin adalah sebagai mediator respon inflamasi. Sitokin yang saat ini telah diketahui berperan dalam respon inflamasi dalam saluran kencing adalah IL-6 dan IL-8. IL-6 berperan dalam sintesis reaktan fase akut dan IgA, sedangkan IL-8 adalah aktivator untuk PMN. Konsentrasi IL-6 dan IL-8 biasanya meningkat pada berbagai manifestasi infeksi saluran kencing, terutama pada pielonefritis. Sekresi IL-8 lebih tinggi pada infeksi bakteri yang mengekspresikan fimbriae tipe 1 atau fimbriae P yang menempel pada permukaan epitel. Adanya IL-6 dan IL-8 akibat infeksi saluran kencing dibuktikan dengan cara menginokulasikan bakteri penyebab bakteriuri asimtomatis pada kandung kemih penderita infeksi saluran kencing simtomatis. Gejala infeksi saluran kencing menghilang namun dalam 4 jam setelah infeksi bakteri, muncul IL-6 dan IL-8 pada urin subyek penelitian tersebut. PMN kemudian mencapai urin dan banyaknya jumlah PMN berkaitan dengan konsentrasi IL-8 pada urin tersebut. Sitokin ini diproduksi oleh epitel saluran kencing sehingga dengan cepat memasuki urin begitu terjadi inokulasi bakteri. 19 2.5.2.2 Mekanisme pertahanan spesifik a. Respon humoral Antibodi yang sering ditemukan pada saluran kencing penderita infeksi saluran kencing adalah IgA dan IgG. Setelah kontak dengan antigen limfosit pada mukosa saluran kencing akan bermigrasi ke limfonodus lokal, lalu kembali lagi ke permukaan mukosa untuk memproduksi antibodi lokal. Antibodi pada urin memberikan perlindungan dengan berbagai cara. Pertama antibodi bertindak sebagai opsonin untuk fagositosis oleh PMN yang berada pada saluran kencing. Kedua antibodi terhadap adesin dapat menghambat perlekatan bakteri pada permukaan epitel. Ketiga, antibodi ini dapat mengaglutinasi organisme melalui reaksi imun. Keempat, antibodi untuk hemolisin penting untuk netralisasi hemolisin tersebut (Warren, 2001). b. Respon seluler Meskipun T sel manusia meningkat dalam 2-3 hari pada organ yang terinfeksi selama pielonefritis dan sistitis, peranan imunitas yang diperantarai sel (Cell Mediated Immunity) pada permulaan infeksi tidak diketahui secara jelas (Warren, 2001). 2.6 Diagnosis Bakteriuri Asimtomatis Bakteriuri asimtomatis tidak menimbulkan gejala klinis apapun, oleh karena itu pemeriksaan kultur urin adalah pemeriksaan yang terbaik untuk menegakkan diagnosis. Diagnosa bakteriuri asimtomatis ditegakkan bila terdapat bakteri lebih dari 105 CFU/ml pada pemeriksan kultur urin (Josoprawiro, 2002; LaSala, 2007). 20 Karena terbukti pengobatan pada bakteriuri asimtomatis dapat menurunkan insiden pielonefritis dan segala komplikasinya, American College of Obstetric and Gynecology (ACOG) menyarankan pemeriksaan kultur urin pada semua wanita hamil pada kunjungan antenatal pertama dan pada trimester ketiga. (Le, 2004). The US Preventive Services Task Force merekomendasikan untuk melakukan kultur urin pada usia kehamilan 12-16 minggu, untuk dapat mendeteksi sekitar 80% kasus bakteriuri asimtomatis (Lin, 2008). Mengingat mahalnya pemeriksaaan kultur urin, maka beberapa pemeriksaan lain yang dapat digunakan sebagai alternatif antara lain pengecatan Gram, pemeriksaan IL-8, serta yang paling ekonomis adalah pemeriksaan carik celup urin. 2.7 Kehamilan dan Hubungannya dengan Bakteriuri Asimtomatis Telah diketahui bahwa infeksi saluran kencing adalah komplikasi yang sering terjadi pada kehamilan. Adanya berbagai faktor yang mendukung terjadinya replikasi bakteri pada saluran kencing dan infeksi asenden menuju saluran kencing bagian atas. Saluran kencing wanita mengalami perubahan selama kehamilan. Tonus dan aktivitas otot polos saluran kencing berkurang, hal ini menyebabkan berkurangnya laju aliran kencing yang melewati saluran kencing. Terjadi pelebaran ureter dan pelvis ginjal yang disebabkan oleh menurunnya peristaltik dan tonus otot polos sebagai akibat dari peningkatan progesteron dan juga akibat obstruksi mekanis oleh uterus yang membesar. Kandung kemih mengalami penurunan tonus otot yang menyebabkan peningkatan kapasitas dan pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna. Beberapa hal tersebut di atas 21 menyebabkan terjadinya refluks vesikoureter, memudahkan terjadinya infeksi asenden oleh kuman patogen. Beberapa perubahan fisik maupun kimia urin yang terjadi pada kehamilan juga dapat mendukung terjadinya infeksi saluran kencing. Peningkatan pH urin pada saat kehamilan mendukung pertumbuhan bakteri. Glikosuria yang sering ditemukan pada kehamilan normal memberikan nutrisi bagi pertumbuhan bakteri pada saluran kencing. Kondisi hipertonis pada medula menghambat migrasi leukosit, fagositosis dan aktivitas komplemen. Efek kumulatif dari berbagai faktor diatas menyebabkan peningkatan risiko terjadinya infeksi asenden, kolonisasi dan infeksi pada ginjal. Adanya bakteriuri asimtomatis saat kehamilan dapat berasal dari riwayat infeksi saluran kencing sebelumnya termasuk bakteriuri asimtomatis saat anak-anak maupun yang didapat melalui hubungan seksual (Sweet, 2002). Akibat dari bakteriuri asimtomatis pada ibu maupun bayi dapat timbul apabila tidak diberi terapi antibiotika. Metaanalisis menunjukkan adanya peningkatan kejadian persalinan preterm dan bayi berat lahir rendah pada wanita hamil dengan bakteriuri asimtomatis yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika (Romero, 1989). Bakteriuri asimtomatis juga dapat meningkatkan risiko terjadinya bakteriuri simtomatis dan juga persalinan preterm (Fatima, 2006). Meskipun demikian mekanisme yang jelas mengenai penyebab terjadinya awitan persalinan preterm pada bakteriuri asimtomatis belum jelas. Hal ini diduga berkaitan dengan adanya pelepasan sitokin proinflamasi yang dilepaskan oleh monosit ibu maupun bayi sebagai respon dari produk yang dihasilkan oleh bakteri. Risiko terjadinya 22 bakteriuri simtomatis meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan, dengan insiden sekitar 30-60% pada trimester ketiga pada saat stasis dan hidronefrosis semakin berat. Apabila tidak mendapat pengobatan yang adekuat maka sekitar 2040% akan berkembang menjadi pielonefritis akut (Smaill, 2001). Pada wanita tanpa bakteriuri asimtomatis insiden pielonefritis adalah sebesar 1%. Pielonefritis akut dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain gagal nafas, syok sepsis persalinan preterm, dan kekambuhan yang akan menyebabkan kerusakan ginjal permanen pada wanita tersebut. Sindroma gagal nafas akut dapat terjadi pada 1-8% wanita dengan pielonefritis, 20-25% akan mengalami insufisiensi renal (Le, 2004). 2.8 Carik Celup Urin untuk Mendeteksi Bakteriuri Asimtomatis Pada saat ini pemeriksaan kimia urin lazim dilakukan dengan menggunakan carik celup. Keunggulan pemeriksaan ini antara lain mudah dilakukan, murah, hasilnya cepat dan hasilnya dapat dipercaya. Pemeriksaan kimia urin yang dipermudah ini dapat digunakan di laboratorium kecil, ditujukan untuk para dokter yang ingin mengetahui hasil pemeriksaan laboratorium dengan cepat. Laboratorium besar juga dapat melakukannya untuk meringankan beban mengingat banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan tiap hari. Dalam bidang obstetri dan ginekologi pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya infeksi bakteri pada saluran kencing. Saat ini kultur urin adalah pemeriksaan yang paling baik untuk menegakkan diagnosis bakteriuri. Pemeriksaan ini mahal dan memiliki prosedur pemeriksaan yang rumit. Sebagai alternatif, pemeriksaan carik celup nitrit dalam urin dan leukosit esterase dapat 23 digunakan sebagai indikator terhadap adanya bakteriuri. Nitrit urin adalah hasil metabolisme bakteri golongan enterobakter, yang menjadi 80-90% penyebab bakteriuri. Nitrit tidak terdapat dalam urin normal. Leukosit esterase adalah enzim aromatik yang terdapat dalam sel polimorfonuklear, sel polimorfonuklear akan bermigrasi ke dalam urin sebagai respon pertahanan alami tubuh saat ada pajanan kuman ke dalam saluran kencing. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan carik celup urin bervariasi, baik pemeriksaan yang menggunakan nitrit urin ataupun leukosit esterase saja ataupun menggabungkan kedua parameter tersebut. Beberapa penelitian mencatat hasil sebagai berikut nitrit mempunyai sensitivitas 45%-60%, spesifisitas: 85%-98%%, leukosit esterase dengan senstivitas 48%-86%, spesifisitas 17%-93%. Kombinasi nitrit dan leukosit esterase senstivitas 68%-88%, Spesifisitas: 62%-87% (DeVille, 2004). Pemeriksaan nitrit dalam urin memiliki spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang cukup baik dengan nilai duga positif yang tinggi dalam mendeteksi bakteriuri asimtomatis. pemeriksaan ini juga gampang dikerjakan oleh orang yang tidak terlatih, sehingga pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai metode skrining (Mathews, 1998; Khattak, 2004). Pemeriksaan carik celup menunjukkan sensitivitas yang cukup baik untuk pemeriksaan bakteriuri pada kehamilan (Kovavisarach, 2008). DeVille (2004), dalam suatu metaanalisis menyatakan bahwa pemeriksaan carik celup dapat mengeksklusi adanya infeksi apabila terdapat hasil negatif pada pemeriksaan nitrit dan leukosit esterase. Kombinasi pemeriksaan ini memberikan 24 sensitivitas yang tinggi pada praktek dokter keluarga walaupun tidak dapat menggantikan kultur urin sebagai baku emas. Menurut Jayalakhsmi (2008), pada wanita hamil pemeriksaan carik celup nitrit dan leukosit esterase apabila berdiri sendiri tidak cukup sensitif untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis, namun kombinasi antara nitrit dan leukosit esterase memberikan alternatif yang dapat diterima sebagai prosedur diagnostik. Selain kelebihan tersebut diatas, pemeriksaan carik celup urin mempunyai kekurangan yaitu tidak mampu menentukan jenis kuman penyebab dan tidak mampu menentukan sensitivitas kuman terhadap antibiotika. 2.8.1 Leukosit esterase Sebelum dikembangkannya reagen carik celup leukosit esterase, deteksi peningkatan leukosit urin memerlukan pemeriksaan mikroskopis. Hal ini menyebabkan variasi dalam pembacaan hasil, dan bersifat subyektif. Dengan adanya tes carik celup untuk leukosit esterase maka pemeriksaan ini menjadi lebih standar. Kelebihan dari pemeriksaan ini adalah dapat mendeteksi adanya leukosit dalam urin meskipun leukosit itu sudah lisis terlebih dahulu. Tes Leukosit esterase mendeteksi adanya esterase pada sel darah putih granulosit (netrofil, eosinofil, dan basofil) dan monosit. Netrofil adalah granulosit yang paling sering ditemukan pada infeksi bakteri. Esterase juga terdapat pada trikomonas dan histiosit. Limfosit, eritrosit, bakteri dan jaringan ginjal tidak mengandung esterase. Hasil leukosit esterase positif dapat terjadi pada infeksi bakteri yang menghasilkan pemeriksaan nitrit negatif. Infeksi yang disebabkan 25 oleh trikomonas, jamur dan reaksi inflamasi pada ginjal dapat menyebabkan leukosituri tanpa adanya bakteriuri. Reaksi reagen pada carik celup berdasarkan kemampuan leukosit esterase untuk mengkatalisa hidrolisis asam ester yang terdapat pada bantalan reagen yang akan menghasilkan senyawa aromatik dan asam. Senyawa aromatik akan bereaksi dengan garam diazonium yang terdapat dalam bantalan reagen sehingga menghasilkan warna ungu. Indoxylcarbonic acid ester + diazonium salt Leukocyte esterase acid indoxyl + acid indoxyl purple azodye Gambar 2.2 Reaksi Kimia Carik Celup Pemeriksaan Leukosit Esterase dalam Urin (Sumber: Strasinger dan Lorenzo, 2008) Dibutuhkan waktu sekitar dua menit untuk menyelesaikan reaksi tersebut diatas. Hasil dinyatakan dalam nilai ringan, sedang dan berat. Hasil positif palsu dapat terjadi apabila terdapat formalin dalam wadah urin , urin yang sangat pekat dan adanya nitrofurantoin dapat mengaburkan reaksi pewarnaan. Hasil negatif palsu dapat terjadi bila terdapat konsentrasi protein yang tinggi (lebih dari 500 mg/dL), glukosa lebih dari 3 g/dL, asam oksalat dan asam askorbat. 26 2.8.2 Pemeriksaan nitrit dalam urin Dasar kimia dari pemeriksaan nitrit dalam urin adalah kemampuan dari beberapa bakteri yang dapat mengubah nitrat, suatu bahan yang terdapat dalam urin normal, menjadi nitrit, yang tidak terdapat pada urin normal Pemeriksaan nitrit dalam urin menunjukkan adanya aktivitas bakteri dalam urin yang mengubah nitrat yang dekskresikan ke dalam urin dengan melibatkan enzim nitrat reduktase dengan mekanisme sebagai berikut: Nitrate reduction NO3Nitrate + e- + 2H+ NO2- + Nitrite H2O Nitrate reductase Gambar 2.3 Reduksi Nitrat Menjadi Nitrit (Sumber: Carlsson, 2005) Dasar kimia dari pemeriksaan nitrit dalam urin adalah kemampuan dari beberapa bakteri yang dapat mengubah nitrat, suatu bahan yang terdapat dalam urin normal, menjadi nitrit, yang tidak terdapat pada urin normal. Nitrit yang terdapat di dalam urin dideteksi dengan reaksi Griess, nitrit pada suasana asam akan bereaksi dengan amin aromatik (asam para-arsanillik atau sulfanilamid) yang akan menimbulkan senyawa diazonium yang kemudian akan bereaksi dengan tetrahidrobenzoquinolin yang akan menyebabkan timbulnya warna merah muda. Untuk mencegah terjadinya hasil positif palsu akibat kontaminasi maka sensitivitas alat ini dibuat supaya dapat mendeteksi nitrit dalam urin dengan koloni kuman lebih dari 105 organisme per ml. Perbedaan warna merah muda 27 yang timbul dapat bervariasi, namun pemeriksaan ini tidak dapat mengukur derajat bakteriuri. Perubahan warna menjadi merah muda dibaca sebagai hasil positif yang menandakan adanya bakteriuri yang signifikan. Acid Para-arsanillic acid or sulfonamide + NO2 (Nitrit) Diazonium salt Acid Diazonium salt + tetrahydrobenzoquinolin Pink azodye Gambar 2.4 Reaksi pada Pemeriksaan Nitrit dalam Urin dengan Carik Celup (Sumber: Strasinger dan Lorenzo, 2008) Adanya nitrit dalam urin memerlukan tiga kondisi yaitu harus terdapat nitrat dalam urin, harus ada bakteri yang dapat mengubah nitrat menjadi nitrit, dan adanya waktu yang cukup untuk mengubah nitrat menjadi nitrit. 28 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Bakteriuri asimtomatis ditandai dengan adanya bakteri lebih dari atau sama dengan 105 CFU/ml pada urin tanpa disertai gejala klinis. Terjadinya bakteriuri tergantung dari virulensi bakteri dan mekanisme pertahanan tubuh inang. Perubahan fisiologi dan anatomi yang disebabkan oleh kehamilan mempengaruhi mekanisme pertahanan pada saluran kencing. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi kejadian bakteriuri asimtomatis antara lain status ekonomi, riwayat infeksi saluran kencing berulang, umur kehamilan, dan aktivitas hubungan seksual. Dalam kehamilan, bakteriuri asimtomatis dapat berkembang menjadi pielonefritis dan juga dapat menyebabkan terjadinya persalinan preterm dan bayi berat lahir rendah. Sekitar 90 % Bakteri yang menginfeksi saluran kencing adalah bakteri gram negatif, dari golongan enterobakteri terutama E. koli yang merupakan flora normal saluran pencernaan yang dapat menginfeksi saluran kencing secara asenden. Golongan bakteri ini dapat mereduksi nitrat yang dieksekresikan di urin menjadi nitrit melalui reaksi enzimatis. Akibat dari invasi bakteri ke dalam saluran kencing, maka akan terjadi respon alamiah berupa migrasi sel polimorfonuklear ke dalam saluran kencing. Adanya sel polimorfonuklear ini dideteksi melalui adanya leukosit esterase dalam urin, suatu enzim yang terdapat dalam sel leukosit polimorfonuklear. 28 29 Nitrit dalam urin yang menunjukkan adanya aktivitas bakteri dalam urin dan leukosit esterase yang menunjukkan adanya leukosit dalam urin dapat dideteksi dengan pemeriksaan carik celup. Saat ini standar baku emas untuk mendiagnosis bakteriuri asimtomatis adalah kultur urin. 3.2 Konsep Penelitian Kehamilan Perubahan fisiologi dan anatomi Perubahan pada sistem saluran kencing Bakteri fekal Bakteriuri asimtomatis Faktor risiko: - Hubungan seks - Pemakaian spermisida atau cervical cup - Riwayat ISK Diagnostik Kultur urin Carik celup urin Gambar 3.1 Konsep Penelitian 30 3.3 Hipotesis Penelitian Carik celup urin dapat digunakan sebagai metode yang akurat untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 31 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji diagnostik (observasional analitik potong lintang), dengan menggunakan kultur urin sebagai baku emas. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik serta IRD Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan kultur urin dikerjakan di Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah 4.2.2 Waktu penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2011 sampai Februari 2013. 4.3 Penentuan Sumber Data Penelitian 4.3.1 Populasi target Ibu hamil yang memeriksakan diri ke poliklinik atau IRD Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. 4.3.2 Populasi terjangkau Ibu hamil yang memeriksakan diri ke Rumah ke poliklinik atau IRD Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar periode September 2011 sampai Februari 2013 31 32 4.3.3 Sampel eligibel Sampel eligibel diambil dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 4.3.4 Kriteria eligibilitas Untuk kriteria eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi 4.3.4.1 Kriteria inklusi 1. Wanita hamil yang datang ke poliklinik/IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar dengan usia kehamilan antara 28 sampai 37 minggu. 2. Bersedia ikut penelitian dan menandatangani informed consent. 4.3.4.2 Kriteria eksklusi 1. Adanya riwayat meminum antibiotik dalam satu minggu terakhir. 2. Adanya keluhan perdarahan pervaginam. 3. Adanya gejala klinis infeksi saluran kencing. 4.3.5 Penghitungan besar sampel Didasarkan pada asumsi tingkat kepercayaan yang diinginkan = 0,05, Zα= 1,96; power of test = 0,8; d = 0,2; Sensitivitas yang diharapkan 85% dan proporsi kejadian sebesar 14%, dengan rumus Snedecor dan Cochran dihitung besar sampel sebagai berikut (Sastroasmoro, 2005). n= n = 1,962 x 0,85 x 0,15/ 0,22 = 12,25 N = 12,25/0,14 = 87,46 ≈ 88 Zα2 x (P.Q) d2 (1) 33 4.3.6 Teknik pengambilan sampel Sampel penelitian dipilih dengan cara consecutive sampling sampai jumlah sampel terpenuhi. Masing-masing sampel penelitian ditampung urinnya pada urin porsi tengah dan ditampung dalam dua wadah, yaitu wadah tidak steril untuk pemeriksaan nitrit dan wadah steril untuk kultur urin. Diperlukan 10 ml urin untuk masing-masing sampel pemeriksaan. Prosedur pengambilan urin porsi tengah 1. Pengambilan spesimen urin porsi tengah dilakukan oleh pasien sendiri, sebelumnya diberikan penjelasan sebagai berikut: a. Penderita harus mencuci tangan memakai sabun kemudian dikeringkan dengan handuk. b. Tanggalkan pakaian dalam, penderita dalam posisi jongkok, lebarkan labia dengan satu tangan. c. Bersihkan labia dan vulva menggunakan kasa steril dengan arah dari depan ke belakang. d. Bilas dengan air hangat dan keringkan dengan kasa steril yang lain. Selama proses ini berlangsung labia harus tetap terbuka lebar dan jari tangan jangan menyentuh daerah yang sudah steril. e. Penderita berkemih, aliran urin selanjutnya ditampung dalam wadah yang sudah disediakan. Hindari urin mengenai lapisan tepi wadah. Pengumpulan urin selesai sebelum aliran urin habis. f. Wadah ditutup rapat. 34 2. Spesimen diberi label identitas dan dikirim ke laboratorium sesegera mungkin setelah pengambilan. Jangan lebih dari 2 jam untuk dilakukan kultur. . Prosedur pemeriksaan carik celup urin : 1. Alat carik celup dicelupkan ke dalam botol spesimen. 2. Pita carik celup diangkat dan kelebihan urin yang menempel di badan pita dihilangkan dengan cara mendirikan secara horizontal carik celup tersebut diatas kertas. 3. Perubahan warna diamati lalu diinterpretasikan sesuai dengan kontrol untuk nitrit dan leukosit esterase yang terdapat pada wadah carik celup urin. 4. Pemeriksan dilakukan minimal dalam 1 jam setelah sampel urin ditampung. Prosedur pemeriksaan kultur urin : 1. Mikroskopis a. Sentrifuse 10 ml urin 3000 rpm selama 15 menit. b. Buat 2 preparat langsung dan sedimen. Satu untuk preparat basah dan lainnya untuk pewarnaan Gram. c. Dengan pembesaran 40x, hitung leukosit pada preparat basah. d. Pelaporan bila > 5 sel/lp disebut bakteriuria. e. Dilakukan pewarnaan Gram. 2. Dikukan AMA Test. a. Plate antimikrobial menggunakan E. Coli ATCC 25922 atau B. Subtilis sebagai organisme indikator untuk mendeteksi adanya aktivitas mikrobial 35 pada urin. AMA Test positif menunjukkan adanya antimikrobial pada urin yang mungkin menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada urin. b. Larutkan 2-3 koloni bakteri standar untuk membuat kekeruhan 0,5-1 McFarland. Inokulasi menggunakan kapas steril pada permukaan plate Mueller Hinton (MH). Plate dapat disiapkan sebelumnya dan disimpan pada suhu 4oC hingga saat digunakan. c. Teteskan satu tetes urin penderita pada permukaan media MH. d. Inkubasi 37oC selama 24 jam. e. Pembacaan hasil : positif bila terlihat adanya zona hemolisis berarti terdeteksi adanya antibiotika pada urin penderita. Negatif bila tidak terlihat zona hemolisis berarti tidak terdeteksi adanya antibiotika pada urin penderita. 3. Kultur Urin Hari II a. Ambil 1 µl urin teteskan pada media cokelat agar atau blood agar dan Mac Conckey. b. Kemudian digores dengan menggunakan ose dengan 4 kuadran. c. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hari II a. Diamati pertumbuhan yang terjadi. b. Dilakukan pengecatan gram pada masing-masing koloni yang tumbuh. c. Dilakukan uji sensitivitas pada media MH. d. Inkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. 36 Hari III a. Baca zona yang terbentuk, laporkan sebagai S (Sensitive) atau R (Resistance) dan I (Intermediate). b. Keluarkan hasil setelah mendapatkan ekspertise dari dokter konsultan. 4.4 Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : carik celup urin 2. Variabel tergantung : bakteriuri asimtomatis 4.4.1 Klasifikasi variabel Variabel bebas : carik celup urin Variabel tergantung : bakteriuri asimtomatis Baku emas : kultur urin 4.4.2 Definisi operasional variabel 1. Bakteriuri asimtomatis adalah adanya bakteri dengan kadar lebih dari 105 CFU/ml dalam urin tanpa gejala klinis. 2. Gejala klinis infeksi saluran kencing adalah disuri (nyeri saat berkemih), frekuensi (berkemih yang sering lebih dari 8 kali dalam 24 jam), urgensi (keinginan yang kuat untuk berkemih secara tiba-tiba), hematuria (kencing bercampur darah), perasaan nyeri pada daerah suprasimfisis dengan atau tanpa demam. 3. Kultur urin adalah pemeriksaan laboratorium yang dikerjakan untuk mengetahui adanya bakteri dalam urin (bakteriuri). 4. Carik celup urin adalah secarik kertas yang mengandung enzim atau bahan kimia yang sensitif untuk beberapa parameter sehingga akan mengalami 37 perubahan warna bila dicelupkan dalam urin, pada penelitian ini digunakan merk Combur 10 (Roche). 5. Uji carik celup urin positif adalah apabila salah satu parameter nitrit atau lekosit esterase menunjukkan hasil positif. 6. Uji carik celup urin negatif adalah apabila kedua parameter leukosit esterase dan nitrit keduanya negatif. 7. Umur kehamilan adalah umur kehamilan (dalam minggu) yang dihitung sejak tanggal hari pertama haid terakhir atau perkiraan dengan USG bila ibu hamil lupa tanggal hari pertama haid terakhir. 8. Kehamilan preterm adalah kehamilan dengan usia kehamilan 28 - 37 minggu. 9. Perdarahan pervaginam adalah suatu kondisi abnormal dimana darah mengalir pada vagina yang dapat disebabkan kelainan uterus, serviks, atau vagina serta kehamilan abnormal. 4.5 Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah urin yang diambil dari urin porsi tengah yang ditampung dengan wadah urin tidak steril untuk pemeriksaan carik celup dan wadah steril untuk kultur urin. Media pembiakan untuk kultur urin adalah media Mac Conkey, media blood agar, dan 11 jenis antibiotika untuk tes sensitivitas. 4.6 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Wadah urin steril. b. Wadah urin tidak steril. c. Stetoskop merk Riester. 38 d. Tensimeter merk Riester. e. Kit pemeriksaan kultur urin. f. Kit pemeriksaan Gram. g. Kit pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi nitrit dan leukosit esterase dalam urin, pada penelitian ini digunakan alat Combur 10 (Roche). h. Instrumen untuk alat-alat tulis yaitu meja tulis, formulir penelitian, kertas dan alat tulis serta perlengkapan lainnya. 4.7 Prosedur Penelitian Wanita hamil yang memenuhi kriteria inklusi seperti diatas, dimasukkan sebagai sampel dalam penelitian, setelah mengisi formulir dan menandatangani informed consent yang disediakan. Ibu Hamil yang datang ke Poliklinik serta IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi Populasi terjangkau Sampel Kultur urin Carik celup urin Analisis Data Gambar 4.1 Alur Penelitian 39 4.9 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis sebagai berikut : Data ditampilkan dalam tabel 2 x 2 kemudian dilakukan analisis untuk mendapat nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, serta likelihood ratio positif dan negatif serta akurasinya. Tabel 4.1. Tabel 2x2 Carik Celup Urin dan Kultur Urin Kultur urin Jumlah (+) (-) (+) a b a+b (-) c d c+d a+c b+d a+b+c+d Carik celup urin Jumlah BAB V HASIL PENELITIAN Telah dilakukan penelitian dengan rancangan uji diagnostik terhadap 88 orang ibu hamil preterm yang datang ke kamar Bersalin IRD dan Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Dari 88 sampel yang diperiksa terdapat 19 sampel dengan bakteriuri asimtomatis dan 69 sampel tanpa bakteriuri asimtomatis. 5.1 Karakteristik Kuman Penyebab Bakteriuri Asimtomatis Pada penelitian ini dari 88 sampel ditemukan bakteriuri asimtomatis pada 19 sampel dengan prevalensi 21,59%. Adapun distribusi kuman penyebabnya adalah sebagai berikut . Tabel 5.1 Karakteristik Kuman Penyebab Bakteriuri Asimtomatis Organisme N (%) E. koli 10 52,63 Enterobakter spp. 5 26,31 Klebsiela spp. 2 10,53 Seratia spp. 2 10,53 Total 19 100 Tabel 5.1 menunjukkan distribusi kuman penyebab bakteriuri asimtomatis. Pada penelitian ini ditemukan E. koli sebagai penyebab terbanyak (52,63%) kemudian Enterobakter (26,31%), Klebsiela dan Seratia masing-masing 10,53% dari seluruh kuman penyebab. 40 41 5.2 Akurasi Carik Celup Urin untuk Mendeteksi Bakteriuri Asimtomatis pada Kehamilan Preterm Untuk mengetahui Akurasi carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm data disajikan dalam tabel 2 x 2 kemudian dihitung sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif, lilkelihood ratio positif, likelihood ratio negatif dan akurasi. Tabel 5.2 Carik Celup Urin dibandingkan dengan Kultur Urin Kultur urin Jumlah (+) (-) (+) 16 13 29 (-) 3 56 59 19 69 88 Carik celup urin Jumlah Dari tabel tersebut diatas didapatkan Sensitivitas = 16/19 = 84,21% Spesifisitas = 56/69 = 81,16% Nilai duga positif = 16/29 = 55,17 % Nilai duga negatif = 56/59 = 94,92% likelihood ratio positif = (16/19) : (13/69) = 4,47 likelihood ratio negatif = (3/19) : (56/69) = 0,19 Akurasi = (16+56)/(16+13+3+6) = 81,82% 42 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Kuman Penyebab Bakteriuri Asimtomatis Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap 88 orang ibu hamil preterm yang datang ke Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan serta Poliklinik Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Dari seluruh sampel penelitian didapatkan 19 sampel menunjukkan hasil kultur urin sesuai dengan bakteriuri asimtomatis. Pada penelitian ini, didapatkan E. koli sebagai kuman penyebab terbanyak (52,63%) terjadinya bakteriuri asimtomatis. Hal ini serupa dengan penelitian lain, seperti yang didapatkan oleh Kalalo (2006), E. koli menjadi penyebab terbanyak yaitu 37,83% dari seluruh kasus. Girishbabu (2011), menemukan prevalensi E. koli sebesar 30%. Selimuzzaman (2006), juga mendapatkan E. koli sebagai penyebab terbanyak (94,83%) terjadinya bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. Infeksi saluran kencing dapat terjadi akibat adanya infeksi asenden dari flora fekal. E. koli merupakan kuman Gram negatif berbentuk batang yang terdapat dalam usus. Jenis E. koli uropatogenik memiliki kemampuan untuk melakukan adesi dengan epitel kandung kemih dengan menggunakan fimbriae, tahap berikutnya terjadilah kolonisasi pada saluran kencing. Pada kehamilan cenderung terjadi stasis urin, kondisi seperti ini adalah kondisi yang ideal untuk pertumbuhan E. koli. Kurangnya higinitas ibu hamil akibat kesulitan saat 42 43 membersihkan anus dan vagina dengan baik setelah buang air dapat memudahkan infeksi E. koli (Girishbabu, 2011). 6.2 Uji Diagnostik Carik Celup Urin dibanding Kultur Urin sebagai Baku Emas. Carik celup urin memberikan sensitivitas 84,21%, spesifisitas 81,16%, nilai duga positif 55,17%, nilai duga negatif 94,92%, nilai likelihood ratio positif 4,47, nilai likelihood ratio negatif 0,19 dan akurasi sebesar 81,82%. Beberapa penelitian lain mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik untuk pemeriksaaan carik celup urin. Jayalakshmi (2008), mendapatkan sensitivitas sebesar 82,9 % dan spesifisitas 92,4% pada penggunaan kombinasi nitrit dengan leukosit esterase. Balamurugan (2012), menyebutkan dalam penelitiannya kombinasi nitrit dan leukosit esterase menghasilkan sensitivitas 92,30%, spesifisitas 82,75%, nilai duga positif 45% dan nilai duga negatif 99%. Lumbiganon (2002), mendapatkan hasil sensitivitas yang sangat rendah didapatkan hasil sensitivitas 13,9% dan spesifisitas 95,6%, hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan pola kuman penyebab, pada penelitian tersebut ditemukan 69,8% kuman penyebab adalah stafilokokus epidermidis, yang tergolong kuman Gram positif dan tidak mereduksi nitrat menjadi nitrit. Carik celup urin mengunakan parameter leukosit esterase dan nitrit untuk mendeteksi adanya bakteriuri asimtomatis. Leukosit esterase mendeteksi adanya enzim esterase yang terdapat dalam netrofil, secara teoritis adanya leukosit pada urin lebih sensitif diperiksa dengan leukosit esterase, karena leukosit esterase tetap positif hasilnya walaupun sel asalnya masih utuh ataupun sudah pecah dan tidak 44 terdeteksi oleh mikroskop. Adanya leukosit esterase pada urin lebih sering terjadi pada infeksi bakteri Gram negatif karena lebih banyak leukosit yang terkandung dalam urin pada infeksi Gram negatif. Tes nitrit mempunyai sensitivitas yang tinggi pada bakteriuri yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif terutama E.koli dan golongan Enterobakter (Lumbiganon, 2002). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh adanya kuman penyebab bakteriuri asimtomatis yang tidak menghasilkan nitrit, atau pada kuman yang melakukan metabolisme nitrat menjadi amonia dengan cepat sehingga nitrit hanya sebentar saja berada dalam urin. Semakin lama urin berada dalam kandung kemih maka semakin besar kemungkinan hasil positif didapatkan, karena bakteri penyebab bakteriuri memerlukan waktu untuk mengurai nitrat menjadi nitrit. Saat ini pemeriksaan kultur urin merupakan baku emas untuk mendeteksi bakteriuria, harga pemeriksaan kultur urin berkisar antara Rp 215.000,00 sampai Rp 412.000,00 dengan lama pengerjaan tiga sampai lima hari. Dibandingkan dengan beberapa metode skrining lain pemeriksaan carik celup ini lebih murah dan memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan IL-8 untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan. Interleukin-8 memiliki sensitivitas 70%, Spesifisitas 67%, nilai duga positif 19% dan nilai duga negatif 95% (Shelton dan Boges, 2001). Pemeriksaan IL-8 saat ini tidak dapat dikerjakan di RSUP Sanglah, namun dapat dikerjakan di laboratorium swasta, dilakukan dengan metode ELISA dengan biaya sekitar Rp 140.000,00 per pasien, dengan lama pengerjaan tiga hari. Pemeriksaan carik celup urin tidak memerlukan prosedur yang rumit, dengan harga pemeriksaan sekitar Rp 5.400,00 per pasien. Pengecatan Gram memiliki 45 akurasi yang lebih baik dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas 91,7% dan 97,2% (Ullah dan Barman, 2012), namun prosedurnya lebih rumit dan memerlukan keahlian khusus, dengan harga pemeriksaan berkisar antara Rp 26.000,00 sampai Rp 66.000,00. Dari hasil penelitian yang kami kerjakan didapatkan nilai duga negatif yang baik (94,92%), dengan demikian maka pemeriksaan carik celup urin ini dapat digunakan sebagai upaya untuk menyingkirkan dugaan adanya bakteriuri asimtomatis, sehingga mengurangi beban biaya pasien untuk pemeriksaan urin kultur. Nilai duga positif yang rendah (55,17%) hendaknya menjadi pertimbangan pada saat memberikan antibiotika, konfirmasi dengan kultur urin untuk mengetahui sensitivitas kuman adalah pilihan yang terbaik. Dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik (84,61% dan 81,16%) maka alat ini dapat digunakan sebagai metode penapisan awal sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih akurat yaitu kultur urin, terutama di daerah dengan sumber daya terbatas. 46 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dari penelitian ini didapatkan carik celup urin memiliki sensitivitas 84,21%, spesifisitas 81,16%, nilai prediktif positif 55,17%, nilai prediktif negatif 94,92%, nilai likelihood ratio positif 4,47, nilai likelihood ratio negatif 0,19 dan akurasi sebesar 81,82%. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan simpulan sebagai berikut: Pemeriksaan carik celup urin akurat untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis pada kehamilan preterm. 7.2 Saran Berdasarkan simpulan tersebut di atas dapat disarankan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan carik celup urin untuk mendeteksi bakteriuri asimtomatis dapat dikerjakan terhadap ibu-ibu dengan kehamilan preterm pada saat melakukan pemeriksaan antenatal. 2. Dengan hasil pola kuman dominan E. koli, dapat dilakukan suatu penelitian tentang pengaruh cara membilas vulva dan anus yang benar untuk mencegah terjadinya infeksi asenden. 46 47 DAFTAR PUSTAKA Amiri, F. 2009. Hygiene Practices and Sexual Activity Associated With Urinary Tract Infection in Pregnant Women. La Revue de Santé de la Méditerranée orientale; 15(1): 104-110. Balamurugan, S. 2012. Reagent Strip Testing (RST) for Asymptomatic Bacteriuria (ASB) in Pregnant Women: A Cost-effective Screening Tool in Under-resourced Settings. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6(4): 671-673 Beck, S. Wojdyla, D. 2009. The worldwide incidence of preterm birth: a systematic review of maternal mortality and morbidity, Bulletin of the World Health Organization, (88):31-38. Carlsson, S. 2005. Antibacterial Effect of Nitrite in Urine. Department of Surgical Science, Section of Urology and the Department of Physiology and Pharmacology Karolinska Institutet , Stockholm, Sweden. [ cited 2010 Mar. 10]. Avalaible at: URL: http://diss.kib.ki.se/2005/91-7140-237-3/.pdf Cattell, W. R. Jones, K. V. 1998. Host Factors in The Pathogenesis of Urinary Tract Infection. In : Davison A. M. Oxford Textbook of Clinical Nephrology 2nd edition. London: Oxford University Press. p:70. Devillé, W.L.J.M. 2004. The Urine Dipstick Test Useful to Rule Out Infections A Meta-Analysis of The Accuracy. BMC Urology. [cited: 2010 Jan. 29]. Avalaible at: http://www.biomedcentral.com/1471-2490/4/4 Enayat, K. 2008. Asymptomatic Bacteriuria among Pregnant Women Referred to Outpatient Clinics in Sanandaj, Iran. International Braz J Urol, 34(6):699-707. Fatima, N. 2006. Prevalence and Complications of Asymptomatic Bacteriuria During Pregnancy. Professional Med. J,13(1):110-114. Gilstrap, L. Ramin, S. 2001. Urinary Tract Infections During Pregnancy. Obstetrics And Gynecology Clinics Of North America, 28(3): 581-591 Girishbabu, R. J., Srikrishna, R., Ramesh, S.T. 2011. Asymptomatic bacteriuria in pregnancy. Int J Bil Med Res. 2(3):740-742. Haider, G. 2010. Risk Factors of Urinary Tract Infection in Pregnancy. J. Pak. Med. Assoc, 60(3): 213-216 48 Hazhir, S. 2007. Asymptomatic Bacteriuria in Pregnant Women. Urol J (Tehran). 2007;4:24-7 Hooton, T. 2000. A Prospective Study Of Asymptomatic Bacteriuria in Sexually Active Young Women. The New England Journal of Medicine, 343(14): 992-997. Jayalakshmi, J. Jayaram, V. S. 2008. Evaluation Of Various Screening Test To Detect Asymptomatic Bacteriuria in Pregnant Women. Indian Journal Of Pathology and Microbiology, 51(3): 379-381. Josoprawiro, M. J. 2002. Infeksi Saluran Kemih pada Masa Kehamilan dan Nifas. Dalam: Junizaf, Uroginekologi. Jakarta: Subbagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Kalalo, L.P. 2004. Pola Bakteri dan Tes Kepekaan Antibiotika Wanita Hamil dengan Bakteriuria Asimtomatis. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12(3): 103-109 Khattak, A. M. 2004. Accuracy of Griess Test to Predict Asymptomatic Bacteriuria During Pregnancy. Gomal Journal of Medical Sciences, 2(1). [cited: 2010 Mar.25]. Avaliable at: http://www.gjms.com.pk/files/GJMS%20Vol-21(5).pdf Klein, L. Gibbs, R. 2005. Infection and Preterm Birth, Obstet Gynecol Clin N Am, (32) pp: 397– 410. Kovavisarach, E. 2008. Reagent Strip Testing for Antenatal Screening and First Meaningful of Asymptomatic Bacteriuria in Pregnant Women. J. Med. Assoc. Thai, 91(12), [cited: 2010 Mar. 25]. Available at: http://www.medassocthai.org/journal Lakshmipriya, R. 2013. Prevalence of Asymptomatic Bacteriuria during Second Trimester of Pregnancy With Respect To Parity . RJPBCS, 4 (3):1316-1321 LaSala, V. 2007. Urinary Tract Infections: Managing Acute, Chronic and Difficult Cases. In : Culligan, P. Goldberg, R. Urogynecology in Primary Care. London: Springer-Verlag. p. 124-137. Le, J. Briggs, G.G. 2004. Urinary Tract Infections During Pregnancy. The Annals of Pharmacotherapy. 38: 1692-1701. Lin, K. Fajardo, K. 2008. Screening for Asymptomatic Bacteriuria in Adults: Evidence for the U.S. Preventive Services Task Force Reaffirmation Recommendation Statement. Ann. Intern. Med,149: 20- 24. 49 Lumbiganon, P. 2002. Reagent strip testing is not sensitive for the screening of asymptomatic bacteriuria in prenant women. J Med Assoc Thai,85(8): 922-927. Mathews, J. E. 1998. The Griess Test: An Inexpensive Screening Test for Asymptomatic Bacteriuria in Pregnancy. Aust. NZ. J. Obstet. Gynaecol, 38(4): 407-409. Nicolle, L.E. 2003. Asymtomatic Bacteriuria when to Screen and when to Treat. Infect Dis Clin N Am, 17:367-394. Ocviyanti, D. 1996. Penggunaan Tes Nitrit dan Tes Esterase Leukosit Untuk Penapisan Bakteriuri Tanpa Gejala pada Wanita Hamil. Indones J. Obstet Gynecol 20(2): 83-90. Romero, R. 1989. Meta-Analysis of The Relationship Between Asymptomatic Bacteriuria and Preterm Delivery/Low Birth Weight. Obstet. Gynecol. Apr;73(4):576-582. Sastroasmoro, S. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto. Schnarr, J. Smaill, F. 2008. Asymptomatic Bacteriuria and Symptomatic Urinary Tract Infections in Pregnancy. European Journal of Clinical Investigation, 38:3542. Selimuzzaman, A. 2009. Asymptomatic Bacteriuria during Pregnancy: Causative Agents and Their Sensitivity in Rajshahi City. [cited: 2010 Mar. 25]. Avalaible at: www.banglajol.info/index.php/TAJ/article/viewFile/3153/2653 Shelton, S. Boggess, K. 2001. Urinary interleukin-8 with asymptomatic bacteriuria in pregnancy. Obstet Gynecol, 97(4):583-6. [cited 2010 Mar.25] avalaible at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11275031 Simanjuntak, P. 1982. Masalah Bakteriuria Asimptomatik pada Kehamilan, Simposium Nasional Masalah Penyakit Ginjal dan Saluran Air Kemih di Indonesia. Medan. Smaill, F. Vazquez, J. 2007. Antibiotics for Asymptomatic Bacteriuria in Pregnancy. The Cochrane Collaboration. [Cited: 2010 Mar. 25]. Avalaible at: URL: http://www.cochranelibrary.com Strasinger, S. Lorenzo, M. 2008. Urinalysis and Body Fluids Fifth Edition. Philadelphia: F. A. Davis Company. 50 Sussman, M. 1998. Microbiology and Defences of The Urinary Tract. In : Davison A. M. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2nd edition. London: Oxford University Press. p:69. Sweet, R. Gibbs, R. 2002. Infectious Diseases of the Female Genital Tract. 4th edition. Pennsylvania: By Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Turpin, C.A. Minkah, B. Frimpong, E. H. 2007. Asymptomatic bacteriuria in pregnant women attending antenatal clinic at Komfo Anokye Teaching Hospital, Kumasi, Ghana. Ghana Med J, 41(1): 26-29. Ullah, A. Barman, A. 2012. Asymptomatic bacteriuria in pregnant mothers: a valid and cost-effective screening test in Bangladesh. J Obstet Gynaecol, 32(1):37-41. [cited: 8 feb.2014] available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22185534. Vaishali, J. 2009. Asymptomatic bacteriuria during pregnancy – health professional’s perspective. J. Obstet. Gynecol. India, 59(5): 440-443. Warren, J. 2001. Host–Parasite Interactions and Host Defense Mechanisms. In : Schrier, R. W. Diseases of the Kidney and Urinary Tract. 7th edition. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 51 Data Sampel Penelitian 0 Kultur urin - Carik celup + 33-34 1 - + 27 32-33 0 - + Wah 21 29-30 0 - + 5 Wiw 28 32-33 1 - + 6 Kum 22 32-33 0 - - 7 Eka 30 33-34 2 - - 8 Ast 19 31-32 0 - - 9 Mar 32 36-37 2 - + 10 Sur 34 32-33 0 - - 11 Sur 39 32-33 2 - - 12 Ime 38 35-36 2 - - 13 Mar 32 35-36 1 - - 14 Wid 23 36-37 1 - - 15 Sun 23 35-36 0 - - 16 Art 31 33-34 1 + + 17 Ren 35 33-34 2 + + 18 Maw 26 31-32 0 + + 19 Jes 28 34-35 1 + + 20 Fit 19 34-35 0 + + 21 Pur 25 34 1 + + 22 Suh 25 34-35 0 + + 23 Nur 23 34-35 1 + + 24 Sri 30 34-35 0 + + 25 Ras 29 30 1 - + 26 Ang 22 29-30 0 - - 27 Dew 22 35-36 0 - - 28 Win 26 32 2 - - 29 Sit 23 31-32 0 - - No Nama Umur U.K Paritas 1 Mas 22 30-31 2 Suk 30 3 Sar 4 52 30 Apr 17 34-35 0 - - 31 Sua 30 33-34 2 - + 32 Mia 36 33-34 4 - - 33 Ani 21 32-33 1 - - 34 Tut 24 34-35 0 - - 35 Sut 23 34-35 2 - - 36 Pur 23 32-33 0 - - 37 Ust 33 32-33 0 - - 38 Kar 31 35-36 1 + - 39 Dar 30 33-34 3 - - 40 Agn 26 32-33 0 - - 41 Fif 22 31-32 2 - - 42 Mis 30 30-31 2 - - 43 Tam 23 36-37 1 + + 44 Sua 40 34-35 3 - - 45 Ren 18 30-31 0 - - 46 Suk 40 28-29 0 - - 47 Rat 17 34-35 1 - - 48 Fat 32 34-35 2 - - 49 Sud 19 34-35 0 - + 50 Sar 30 32-33 1 - + 51 Yul 34 29-30 1 - + 52 Mer 21 30-31 0 - - 53 Dia 24 30-31 0 - - 54 Lil 20 30-31 0 - - 55 Pur 23 33-34 1 - - 56 Riz 25 31-32 0 - - 57 Wid 24 32-33 0 - - 58 Ros 21 31-32 0 - - 59 Sit 29 28-29 0 - + 60 War 30 34-35 1 - - 61 Ari 35 31-32 2 - + 62 Sum 23 35-36 0 - - 53 63 Yul 23 29-30 0 + + 64 Ana 20 33-34 0 - - 65 Dia 21 30-31 1 + - 66 Sar 22 29-30 1 + + 67 Okt 27 32-33 0 + + 68 Isw 39 33-34 2 - - 69 Sul 23 36-37 1 - - 70 Sen 35 32-33 2 - - 71 Ari 30 29-30 1 + + 72 Lin 31 32-33 2 + + 73 Kho 20 28-29 1 - - 74 Dar 26 29-30 1 - - 75 Dar 30 33-34 1 + - 76 Tri 28 31-32 1 + - 77 Sul 21 32-33 1 - - 78 Mar 26 34-35 1 - - 79 Sum 29 32-33 1 + + 80 Art 24 28-29 0 - - 81 Ayu 24 31-32 1 - - 82 Her 28 33 1 - - 83 Nun 21 34-35 0 - - 84 San 31 33-34 2 - - 85 Des 29 32-33 1 - - 86 Mau 32 34-35 2 - - 87 Dep 18 30-31 0 - - 88 Mar 25 30-31 1 - -