BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologi serius dan kronik.
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak dengan gejala berupa serangan berulang akibat cetusan listrik pada
neuron secara berlebihan dari sebagian atau seluruh jaringan otak. Hal tersebut
dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom maupun psikis
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Prevalensi dan insidensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi
daripada negara maju. Angka prevalensi epilepsi di negara maju 4-7/1000
orang dan 5-74/1000 orang di negara berkembang. World Health Organization
menyebutkan, insiden epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000
penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 penduduk
(Raharjo, 2007).
Insiden epilepsi tertinggi terjadi pada anak-anak dan merupakan penyakit
neurologis utama pada kelompok usia tersebut (Pinzon, 2006). Insidensi
epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas,
sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok
umur populasi. Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus
epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan
diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
Pengobatan epilepsi dengan obat antiepilepsi (OAE) bersifat individual
dan khas. Sifat khas ini yakni jangka waktu pengobatan yang lama dan
seringkali memerlukan lebih dari satu obat, sehingga berpotensi menimbulkan
efek samping. Penelitian yang dilakukan oleh Mustarsid dkk. (2011)
menunjukkan semakin lama pengobatan epilepsi maka semakin besar
kemungkinan terjadi gangguan memori. Obat antiepilepsi mempunyai efek
negatif maupun positif terhadap kemampuan kognitif pasien epilepsi. Obat
antiepilepsi dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan tingkah laku pasien
epilepsi dengan cara mengurangi bangkitan kejang, efek modulasi terhadap
neurotransmitter, dan efek psikotropika. Obat antiepilepsi mempengaruhi
sinkronisasi jaringan neuron untuk menurunkan eksitasi neuron yang
berlebihan sehingga dapat menurunkan bangkitan kejang dan dapat
menurunkan aktivasi epilepsi di sekeliling jaringan otak yang normal. Aktivasi
OAE tersebut apabila dirangsang secara terus menerus dapat mengakibatkan
penurunan aktivitas motorik, psikomotor, penurunan perhatian, dan gangguan
memori.
Penelitian oleh Wijayatri (2012) mengemukakan kejadian efek samping
OAE pada monoterapi dibandingkan dengan politerapi adalah 20% vs 14%.
Dari penelitian tersebut monoterapi memberikan kejadian efek samping obat
yang lebih besar dibandingkan politerapi, namun hasil wawancara dengan
pasien menunjukkan efek samping pada monoterapi jauh lebih ringan dan tidak
mengganggu kenyamanan pasien.
Dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan tersebut peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian berupa evaluasi efek samping OAE politerapi pada
pasien pediatrik di Instalasi Kesehatan Anak (INSKA) Sub. Bagian Neurologi
RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015. Penelitian dilakukan di RSUP
Dr. Sardjito karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe A yang berada
pada posisi tertinggi dalam sistem rujukan rumah sakit di DIY dan Jawa
Tengah bagian selatan (Anonim, 2009). Pemilihan lokasi penelitian di INSKA
Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito dikarenakan sekitar 70% pasien di
sini merupakan pasien epilepsi. Subyek penelitian yang akan dipilih oleh
peneliti adalah pasien pediatrik karena insidensi epilepsi tertinggi di Indonesia
adalah pada usia anak-anak yakni 40-50% dari keseluruhan pasien epilepsi.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dapat dirumuskan berdasarkan uraian di atas adalah:
1. Bagaimana pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA
Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret 2015?
2. Bagaimana efek samping OAE pada pengobatan politerapi pasien epilepsi
pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode
Januari-Maret 2015?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui pola pengobatan epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik di
INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode Januari-Maret
2015.
2. Mengetahui jenis efek samping OAE politerapi yang terjadi pada pasien
pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito periode
Januari-Maret 2015.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Data dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait
pola pengobatan dan kejadian efek samping OAE politerapi pada pasien
epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP Dr. Sardjito
periode Januari-Maret 2015.
2. Bagi rumah sakit
Hasil penelitian dapat menyumbangkan masukan dalam menetapkan strategi
pengobatan rasional epilepsi pada pasien epilepsi pediatrik, yakni pengobatan
dengan efek terapi maksimal dan efek samping minimal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai
dengan kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan
disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari
neuron otak (Ikawati, 2011). Epilepsi merupakan salah satu penyakit
neurologi utama pada pediatrik. Seseorang dikatakan menderita epilepsi bila
setidaknya mengalami 2 kali bangkitan tanpa provokasi. Pada sebagian besar
kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus,
epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi
fisik dan retardasi mental (Pinzon, 2006).
Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan
sebagai gejala yang timbul mendadak, hilang spontan, dan cenderung untuk
berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut sangat bervariasi
berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan sensorik (subjektif),
gangguan motorik atau kejang (objektif), gangguan otonom, dan perubahan
tingkah laku (psikologis). Hal tersebut tergantung dari letak fokus
epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya (Gurnett dan
Dodson, 2009).
2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi
di seluruh dunia. Diduga terdapat sekitar 50 juta penderita epilepsi di dunia
(WHO, 2012). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33198 per 100.000 penduduk tiap tahun (WHO, 2006). Insiden epilepsi di
negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara
berkembang mencapai 100/100.000 penduduk (Forsgren dan Hesdorffer,
2009). Prevalensi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada
negara maju yaitu 5-74/1000 orang banding 4-7 /1000 orang (Oktaviani dan
Khosama, 2014).
Jumlah kasus epilepsi di Indonesia sulit diperkirakan. Hal ini
dikarenakan pada kondisi tanpa serangan pasien terlihat normal dan semua
data laboratorium juga normal, selain itu ada stigma tertentu pada penderita
epilepsi sehingga malu atau enggan mengakui (Ikawati, 2011). Ada studi
yang
melaporkan
bahwa
insidensi
epilepsi
berkisar
antara
11-34
orang/100.000 penduduk. Prevalensi penderita epilepsi di Indonesia berkisar
antara 0,5%- 2% dari jumlah penduduk atau sebanyak 1-4 juta jiwa (Raharjo,
2007).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).
Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur
50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon
(2006) terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada
anak-anak adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama
pada kelompok usia tersebut.
Insidensi epilepsi pada anak di negara berkembang lebih tinggi daripada
negara maju, berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi
yang pasti untuk epilepsi pada anak sulit ditemukan (Aulina dkk., 2014). Di
Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
3. Etiologi
Etiologi kejang perlu diketahui untuk menentukan jenis terapi yang tepat
bagi pasien. Beberapa etiologi kejang pada pediatrik yang dikelompokkan
berdasarkan umur antara lain sebagai berikut:
Tabel I. Etiologi Kejang Berdasarkan Kelompok Umur Pediatrik
Penyebab Terjadinya Kejang Berdasarkan Umur
Neonatus
Hipoksia dan iskemia pada perinatal
(<1 bulan)
Trauma dan hemoragi intrakranial
Infeksi akut pada sistem saraf pusat
Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesia, defisiensi piridoksin)
Gejala putus obat
Gangguan perkembangan
Penyakit genetik
Bayi dan
Kejang karena demam
Anak-anak
Penyakit genetik
(>1 bulan,
Infeksi sistem saraf pusat
<12 tahun)
Gangguan perkembangan
Trauma
Idiopatik
Remaja
Gangguan perkembangan
(12-18 tahun)
Infeksi
Tumor otak
Penggunaan obat terlarang
Trauma
Idiopatik
(Kasper dkk., 2008)
Menurut (Kusumastuti dan Basuki, 2014) etiologi epilepsi dapat dibagi
dalam tiga kategori, sebagai berikut:
a. Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.
Diperkirakan
mempunyai
predisposisi
genetik
dan
umumnya
berhubungan dengan usia.
b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan atau lesi
struktural pada otak, misalnya: cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat,
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol dan obat), metabolik, dan kelainan neuro degeneratif.
4. Patofisiologi
Serangan epilepsi disebabkan oleh proses eksitasi di dalam otak yang
lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam
eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltagegated-ion-channel opening, dan menguatnya sinkroni neuron sangat penting
dalam inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Neurotransmiter
eksitasi yaitu glutamat, aspartat, dan asetilkolin. Neurotransmiter inhibisi
yang paling dikenal adalah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin
(Madara dan Pomarico-Denino, 2008).
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Serangan epilepsi akan muncul
apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang
berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara cepat dan
berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian menstimulasi neuronneuron sekitarnya atau neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Serangan
epilepsi akan tampak secara klinis apabila cetusan listrik dari sejumlah besar
neuron abnormal muncul secara bersama-sama membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak (Harsono, 2007).
5. Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsy
(ILAE) 1981 untuk jenis bangkitan epilepsi adalah sebagai berikut (Kusumastuti
dan Basuki, 2014).
a. Kejang parsial
1) Parsial sederhana
2) Parsial kompleks
3) Parsial yang diikuti kejang umum sekunder
b. Kejang umum
1) Absence (petit mal)
2) Tonik-klonik (grand mal)
3) Tonik
4) Klonik
5) Atonik
6) Mioklonik
c. Kejang yang tak terklasifikasi
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography),
kejang dibagi menjadi 4 (Ikawati, 2011).
a. Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi
terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama.
Tabel II. Klasifikasi Kejang Umum
Kejang umum
(generalized seizure)
yang terdiri dari :
1) Atonic seizure
2) Myoclonic seizure
3) Abscense attacks/
petit mal
4) Clonic seizure
5) Tonic seizure
6) Tonic-clonic
convulsion (grand
mal)
7) Spasme Infantil
Keterangan
Jarang terjadi. Bisa mengalami kehilangan kekuatan otot,
terutama lengan dan kaki, sehingga bisa jatuh.
Kejang ini sangat singkat, hanya beberapa detik, tetapi mungkin
terjadi beberapa kali sehari.
Kadang-kadang pasien memiliki epilepsi tambahan seperti
absence atau myoclonic seizure.
Biasanya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur.
Terdiri dari sentakan tiba-tiba seperti terkena sengatan listrik,
umumnya terjadi pada dua sisi tubuh. Pasien mungkin secara
tidak sadar akan menjatuhkan benda yang dipegangnya.
Jenis yang jarang.
Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja.
Onset mendadak, biasanya tidak ada atau hanya minimal
manifestasi motorik.
Penderita tiba-tiba melotot dengan pandangan kosong, atau
matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai.
Tidak responsif bila diajak bicara.
Kejadiannya hanya beberapa detik, dapat terjadi beberapa kali
sehari, dan bahkan sering tidak disadari oleh penderita sendiri.
Jarang terjadi.
Terdiri dari gerakan sentakan ritmik dari tangan dan kaki,
terkadang terjadi kedua sisi tubuh pasien.
Kekuatan otot meningkat sehingga tubuh, lengan, dan kaki
pasien memegang/ mengencang secara tiba-tiba.
Sering terjadi saat pasien tidur dan melibatkan seluruh bagian
otak sehingga mempengaruhi seluruh tubuh.
Sering terjadi penyimpangan pada mata dan kepala ke arah satu
sisi, kadang-kadang rotasi dari seluruh tubuh.
Ada kehilangan kesadaran secara immediate.
Jika pasien berdiri saat kejang ini terjadi, pasien akan jatuh.
Bentuk kejang yang paling banyak terjadi.
Pasien bisa tiba-tiba kehilangan kesadaran, diikuti dengan
kejang yang disebut fase tonik selama 30-60 detik, kemudian
kejang klonik selama 30-60 detik.
Bisa terjadi sianosis, inkontinensi urin, atau menggigit lidah.
Pasca kejang pasien mendapatkan kembali kesadaran, mungkin
merasa sangat lelah dengan sakit kepala dan kebingungan.
Pasien tidak memiliki memori tentang apa yang terjadi, dan
mungkin menemukan dirinya di lantai dalam posisi yang aneh.
Seringkali jatuh ke dalam tidur nyenyak.
Jenis yang sama (tetapi non-epileptik) bisa terjadi pada orang
normal.
Sentakan tiba-tiba yang diikuti dengan penegangan.
Lengan tangan terentangkan dengan cepat, lutut tertarik ke atas
dan tubuh membungkuk ke depan (jack knife seizures).
Sering terjadi setelah bangun tidur dan jarang terjadi dalam
kondisi tidur.
b. Kejang parsial/ fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari
daerah tertentu dari otak.
Tabel III. Klasifikasi Kejang Parsial/ Fokal
Kejang Parsial yang
terdiri dari :
1) Simple partial
seizure
2) Complex partial
seizures
Keterangan
Pasien tidak kehilangan kesadaran sehingga dapat memberitahu
apa yang terjadi, tetapi pengalaman yang dialami mungkin
sangat aneh sehingga mungkin tidak dapat mengekspresikan
dengan baik.
Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
Gejala yang muncul tergantung pada bagian otak yang
dipengaruhi, antara lain :
a) gejala motorik, fokusnya adalah pada korteks motor utama.
b) gejala somatosensory atau special sensory, fokusnya di post
central gyrus (primary sensory cortex). Mungkin ada
perasaan kesemutan, tertusuk pin dan jarum, dingin atau
panas, atau mati rasa anggota badan. Kadang-kadang
mungkin ada perasaan aneh dengan tanda-tanda visual,
mendengar, atau sensasi bau.
c) gejala autonomik, terkait dengan fokus di lobus temporal.
Mungkin ada sensasi naik dari epigastrum ke tenggorokan,
palpitasi, berkeringat, atau flushing.
d) gejala psikis: terdiri dari perubahan suasana hati, memori,
atau pikiran.
Melakukan gerakan-gerakan tak terkendali antara lain gerakan
mengunyah dan meringis, tanpa kesadaran.
Berawal sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang
untuk penurunan kesadaran.
Tidak kehilangan kesadaran secara penuh, ia sedikit menyadari
apa yang terjadi tetapi tidak bisa merespon apa-apa.
Ada aura, perasaan aneh di perut naik ketenggorokan dan
kepala, atau sensasi cahaya, bau, suara atau rasa.
Kadang-kadang terjadi dengan halusinasi atau dengan gejala
psikomotor seperti otomatisasi yaitu gerakan otomatis, misalnya
menarik-narik pakaian, karet, memukul bibir, atau gerakan
berulang tanpa tujuan.
Recovery yang lambat pasca kejang dan disertai periode
kebingungan.
( Ikawati, 2011 dan WHO, 2002)
c. Unclassified seizures yaitu semua jenis kejang yang tidak dapat
diklasifikasikan karena ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukan
dalam kategori klasifikasi yang tersebut di atas (Ikawati, 2011).
d. Status epileptikus yaitu kejang yang terjadi terus menerus selama 5 menit
atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan
kesadaran di antara dua kejang tersebut. Status epileptikus merupakan
kondisi darurat yang memerlukan pengobatan secara tepat untuk
meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian. Status
ini mungkin bisa terjadi sebagai epilepsi pertama bagi pasien, atau dapat
dipicu oleh penghentian antikonvulsan secara tiba-tiba (Ikawati, 2011).
6. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Menurut Kusumastuti
dan Basuki (2014), langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis dalam
praktik klinis adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis, baik auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata
mengenai gejala dan tanda sebelum, selama, dan pascabangkitan.
Anamnesis lain yang perlu dilakukan adalah anamnesis terhadap faktor
pencetus, usia,
durasi, dan frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan, terapi epilepsi sebelumnya
dan respon terhadap OAE sebelumnya, penyakit yang diderita sekarang,
riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin
menjadi penyebab maupun komorbiditas, riwayat epilepsi dan penyakit
lain dalam keluarga, riwayat saat berada dalam kandungan- kelahirantumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam, dan
riwayat trauma kepala-stroke- infeksi susunan saraf pusat.
b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang
berkaitan dengan epilepsi, seperti trauma kepala. Pemeriksaan neurologis
berfungsi untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus
yang dapat berhubungan dengan epilepsi.
c. Pemeriksaan penunjang, seperti berikut:
1) Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada
dugaan suatu bangkitan untuk membantu menunjang diagnosis,
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi, prognosis, dan
perlu/ tidaknya pemberian OAE.
2) Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak secara noninvasif, seperti: Fuctional brain imaging seperti Positron Emission
Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography
(SPECT), Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT)
Scanning.
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan hematologis di awal pengobatan sebagai salah satu
acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan
OAE, 2 bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek
samping OAE, rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor
efek samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek
samping OAE.
b) Pemeriksaan kadar OAE dilakukan untuk melihat kadar OAE
dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan
pasien.
7. Penatalaksanaan Terapi
Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi dosis
untuk mengoptimalilasi terapi OAE, dalam hal ini maksimal dalam
mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal. Tujuan utama
pengobatan epilepsi adalah membebaskan pasien dari bangkitan tanpa
mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi
sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat serangan
kejang yang berlangsung lama. Sasaran terapi epilepsi adalah keseimbangan
neurotransmiter GABA di otak. Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau
menurunkan lepasnya muatan listrik saraf yang berlebihan melalui perubahan
pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter, dan atau
mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan, mencegah cetusan serta
putusnya fungsi agregasi normal neuron (Ikawati, 2011).
Terapi epilepsi dapat menggunakan terapi non-farmakologi mapun terapi
farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi epilepsi adalah terapi dengan menggunakan OAE.
Prinsip terapi farmakologi epilepsi menurut Gunadharma dkk. (2014)
adalah sebagai berikut:
1) OAE diberikan kepada pasien ketika diagnosis epilepsi sudah
ditegakkan, terdapat minimum 2 bangkitan dalam setahun, dan
bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari.
2) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenis bangkitan, jenis sindrom epilepsi, dan kondisi
pasien.
3) Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap
sesuai kondisi klinis pasien sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping. Hal ini untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
4) Monoterapi lebih baik untuk mengurangi potensi adverse effect,
meningkatkan kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa politerapi
lebih baik dari monoterapi.
5) Menghindari atau meminimalkan penggunaan antiepilepsi sedatif
untuk mengurangi toleransi, efek pada intelegensia, memori, dan
kemampuan motorik.
6) Jika memungkinkan, terapi diinisiasi dengan satu antiepilepsi
nonsedatif, jika gagal dapat diberikan antiepilepsi sedatif atau
dengan politerapi.
7) Variasi individual pasien terhadap respon obat antiepilepsi
memerlukan pemantauan ketat dan penyesuaian dosis. Jika
memungkinkan dapat dilakukan monitoring kadar obat dalam darah
sebagai dasar dilakukan penyesuaian dosis disertai dengan
pengamatan terhadap kondisi klinis pasien.
8) Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan atau efek samping dialami pasien, maka OAE
disubstitusi dengan obat lini pertama lain. Caranya bila OAE telah
mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
(tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama
maka kedua OAE tetap diberikan. Bila diperoleh respon yang buruk,
kedua OAE harus diganti dengan OAE yang lain. Penambahan OAE
ketiga baru dilakukan bila terdapat respon dengan OAE kedua tetap
suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah
maksimal.
9) OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan
OAE pertama.
10) Interval waktu tertentu, perlu memonitoring kemungkinan timbul
ketoksikan.
11) Terapi OAE dilanjutkan pada pasien bebas kejang hingga 1-2 tahun.
12) Jangan memutus OAE tanpa mengecek EEG pasien.
13) Penghentian OAE dilakukan dengan menurunkan dosis secara
perlahan.
b. Terapi non-farmakologi
Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi nonfarmakologi seperti pembedahan dan diet ketogenik.
8. Obat Antiepilepsi (OAE)
Menurut Wibowo dan Gofir (2006) mekanisme kerja OAE dibagi
menjadi 2 bagian besar, yakni efek langsung pada membran yang eksitabel
dan efek melalui perubahan neurotransmitter.
a. Efek langsung pada membran yang eksitabel
1) Fenitoin
Cara kerja utama fenitoin adalah memblokade pergerakan ion
melalui channel Na dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa
maupun alliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial
aksi. Fenitoin juga dapat menghambat efek channel Ca dan menunda
aktivasi ion K keluar aksi potensial, menyebabkan kenaikan periode
refraktori dan penurunan cetusan ulangan. Fenitoin berefek stabilitas
pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel.
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis pediatrik fenitoin sebagai antikonvulsan diberikan secara
oral seperti pada dosis dewasa. Dosis awal 15-20 mg/kg dalam 3
dosis terbagi. Dosis pemeliharaan 300mg/hari atau 5-6 mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi atau 1-2 dosis terbagi menggunakan dosis
lepas lambat (rentang 200-1200mg/hari) (Lacy, 2009).
Efek samping tidak bergantung dosis yang sering timbul pada
pediatrik adalah hiperplasia gusi. Efek samping fenitoin bergantung
dosis antara lain: masalah penglihatan (nystagmus, diplopia, blurred
vision), pusing, sakit kepala, mual, muntah, mengantuk, ataksia
(tidak
seimbang),
letargi
(kelemahan
otot),
dan
masalah
dermatologi(kemerahan, pruritus) (Lacy, 2009).
2) Karbamazepin
Derivat dari antidepresan trisiklik ini efektif untuk serangan
parsial dan general tonik klonik, dapat diberikan secara tunggal atau
kombinasi. Mekanisme kerja obat ini dengan memblokade channel
Na selama pelepasan dan mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf
serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis awal untuk anak <6 tahun 10-20 mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi (tablet) atau 4 kali sehari (suspensi), dosis dinaikkan setiap
minggu sampai respon optimal dan kadar terapeutik tercapai. Dosis
pemeliharaan 3-4 kali sehari dengan dosis maksimum 35mg/kg/hari
(Lacy, 2009).
Dosis awal untuk anak 6-12 tahun 200mg/hari dalam 2 dosis
terbagi (tablet/tablet lepas lambat) atau 4 dosis terbagi (suspensi).
Dosis pemeliharaan 400-800 mg/hari dengan dosis maksimum 1000
mg/hari. Dosis untuk anak >12 tahun seperti pada dosis dewasa
yakni dosis awalan 400 mg/hari dalam 2 (tablet atau tablet lepas
lambat) atau 4 (suspensi) dosis terbagi, dinaikkan 200mg/hari setiap
minggu dengan aturan pakai 2x sehari (tablet lepas lambat) atau 3-4
kali sehari (formula lain) sampai tercapai kadar terapeutik. Dosis
maksimal anak 12-15 tahun 1000 mg/hari dan anak >15 tahun 1200
mg/hari (Lacy, 2009).
Efek samping yang paling sering terjadi berupa sedasi, sakit
kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia yang umumnya bersifat
sementara (kurang dari 2 minggu). Kurang lebih 40% dari pengguna
masih mengalami rasa kantuk setelah 1 tahun, reaksi kulit juga agak
sering terjadi. Efek lainnya adalah anoreksia dan gangguan psikis.
Dapat terjadi gangguan darah, hepatitis dan lupus erythematodes,
maka harus dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu atau bulan.
Kombinasi dengan fenobarbital dan fenitoin dapat menyulitkan
terapi. Obat ini dapat menembus plasenta, berakumulasi di jaringan
janin
dan
dapat
mengganggu
pertumbuhan
janin
sehingga
penggunaan pada kehamilan tidak dianjurkan (Tjay dan Rahardja,
2013).
3) Etosuksimid
Mekanisme kerja obat ini menghambat channel Ca tipe T. Arus
Ca tipe T diperkirakan merupakan arus yang menimbulkan pemacu
pada saraf talamus sehingga terjadi gelombang korteks yang ritmis
dari serangan absens (Katzung dkk., 2009). Etosuksimid sebagai
obat pilihan untuk serangan absens pada anak-anak yang tidak
disertai serangan tonik-klonik atau mioklonik (Wibowo dan Gofir,
2006).
Dosis awal untuk anak 3-6 tahun 250 mg/hari dengan kenaikan
dosis setiap 4-7 hari. Dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari dengan
dosis maksimal 1,5 g/hari dalam dosis terbagi. Dosis untuk anak >6
tahun seperti pada dosis dewasa yakni
dosis awal 500 mg/hari,
dinaikkan 250 mg sesuai kebutuhan setiap 4-7 hari sampai 1,5 g/hari
dalam dosis terbagi (Lacy, 2009).
Efek samping berupa sedasi, antara lain rasa mengantuk dan
termenung, sakit kepala, anoreksia, dan mual. Leukopenia jarang
terjadi, namun gambaran darah, fungsi hati dan urin perlu dikontrol
secara terarur (Tjay dan Rahardja, 2013).
4) Asam valproat
Asam valproat menghambat channel Ca tipe T. Asam valproat
juga meningkatkan fungsi GABA tetapi hanya terlihat pada
konsentrasi tinggi. Obat ini meningkatkan sintesis GABA dengan
menstimulasi Glutamic Acid Dekarboksilasi (GAD). Obat ini
menghasilkan modulasi selektif pada arus Na selama pelepasan
muatan (Wibowo dan Gofir, 2006).
Asam valproat merupakan drug of choice untuk epilepsi general
idiopatik, epilepsi mioklonik juvenile, dapat digunakan untuk
serangan mioklonus tipe-tipe lain, epilepsi fotosensitif dan Sindrom
Lennox. Asam valproat adalah second-line pada terapi spasme
infantile dan first-line pada epilepsi fokal (Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis asam valproat untuk anak dengan simplex dan complex
absence seizures serta complex partial seizures yakni dosis awalan
15 mg/kg/hari, dinaikkan 5-10 mg/kg/hari setiap minggu sampai
kadar terapeutik tercapai. Dosis maksimum 60 mg/kg/hari. Depakote
dalam formulasi lepas lambat tidak direomendasikan pada anak <10
tahun (Lacy, 2009).
Efek samping yang sering terjadi adalah gangguan saluran cerna
yang bersifat sementara, sedasi, ataksia, udema pergelangan kaki,
dan rambut rontok (reversibel). Efek lainnya kenaikan berat badan
terutama remaja putri (Tjay dan Rahardja, 2013).
b. Efek melalui perubahan neurotransmitter
1) Blokade aksi glutamate (glutamate blockers)
a) Felbamat
Mekanisme kerja felbamat dengan memperkuat aktivitas
GABA yakni dengan memblokade reseptor NMDA. Felbamat
memblokade channel Na voltage-dependent, tetapi tidak berefek
pada reseptor GABA. Felbamat terbukti efektif pada politerapi
maupun terapi tambahan pada serangan parsial pada pasien
dengan usia ≥ 14 tahun, obat ini juga bermanfaat untuk Sindrom
Lennox-Gastaut yang tidak berespon terhadap terapi lain
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis awal untuk anak >14 tahun adalah 1200 mg/hari
dalam 3-4 dosis terbagi dengan kenaikan dosis 600 mg setiap 2
minggu sampai 2400 mg/hari berdasarkan respon klinik
kemudian sampai 3600 mg/hari
sesuai indikasi. Anak 2-14
tahun dengan Sindrom Lennox-Gastaut membutuhkan dosis
awal 15 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi, bisa dinaikkan 15
mg/kg/hari setiap minggu sampai 45 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis
terbagi (Lacy, 2009). Efek samping berupa mual, muntah,
gangguan penglihatan, pusing, dan reaksi alergi di kulit serta
anemia aplastik (Tjay dan Rahardja, 2013).
b) Topiramat
Memiliki mekanisme aksi yang beragam, menghambat
reseptor glutamat subtipe Alpha – amino – 3 – hidroxy – 5
methylisoxazole – 4 - propionicacid (AMPA), menghambat
karbonat anhidrase dengan lemah, menghambat channel Na
high-voltaged-activated, memperpendek durasi ledakan spontan
dan frekuensi potensial aksi, dan menghambat GABA dengan
mekanisme yang tidak diketahui dengan pasti. Topiramat
sebagai terapi adjuvan pada epilepsi parsial dan general tonikklonik sekunder, epilepsi general tonik-klonik primer dan
Sindrom Lennox-Gastaut (Wibowo dan Gofir, 2006).
Dosis obat ini biasanya berkisar dari 200 mg/hari sampai
600 mg/hari, dengan sedikit pasien menoleransi dosis lebih
besar dari 1000 mg/hari. Efek samping bergantung dosis paling
sering terjadi dalam empat minggu pertama, meliputi rasa
kantuk,
kelelahan,
pusing,
lambat
berpikir,
parestesi,
kegelisahan, dan bingung (Porter dan Meldrum, 2012).
2) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran pasca-sinaptik dan
neuron
a) Klonazepam
Klonazepam merupakan agonis reseptor GABA yang
mempunyai afinitas tinggi terhadap reseptor GABA-A. Obat ini
efektif untuk serangan mioklonik dan subkortikal mioklonus,
serangan umum dan sedikit berperan pada serangan parsial.
Obat ini digunakan sebagai terapi adjuvan untuk epilepsi
refrakter. Klonazepam juga digunakan sebagai terapi emergensi
pada status epileptikus seperti diazepam (Wibowo dan Gofir,
2006).
Dosis awal untuk anak <10 tahun adalah 0,01-0,03
mg/kg/hari (maksimal 0,005 mg/kg/hari) diberikan 2-3
kali
sehari. Dosis dinaikkan tidak lebih 0,5 mg setiap 3 hari sampai
kejang terkontrol dan efek samping terlihat. Dosis pemeliharaan
0,1-0,2 mg/kg/hari dalam 3 kali sehari, tidak melebihi 0,2
mg/kg/hari. Dosis untuk anak >10 tahun seperti dosis dewasa,
yakni dosis awal harian tidak melebihi 1,5 mg diberikan 3 kali
sehari. Dosis bisa dinaikkan 0,5-1 mg setiap 3 hari sampai
kejang terkontrol (maksimal 20 mg/hari). Dosis pemeliharaan
0,05-0,2 mg/kg, tidak boleh lebih dari 20 mg/hari (Lacy, 2009).
Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, seperti
mengantuk dan pusing. Dapat pula terjadi kelemahan otot dan
sekresi ludah berlebihan yang dapat membahayakan pernapasan
terutama pada anak-anak (Tjay dan Rahardja, 2013).
b) Fenobarbital
Beraksi langsung pada reseptor GABA dengan berikatan
pada tempat ikatan barbiturat sehingga memperpanjang durasi
pembukaan channel Cl, mengurangi aliran Na dan K,
mengurangi influks Ca dan menurunkan eksitabilitas glutamat.
Fenobarbital merupakan obat entiepilepsi dengan spektrum luas,
digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum
sekunder. Obat ini digunakan sebagai second drug karena
memberikan efek buruk seperti sedasi dan penurunan daya
kognitif, namun pada status epileptikus obat ini masih
digunakan sebagai first drug (Wibowo dan Gofir, 2006).
Fenobarbital bersifat menginduksi enzim dan mempercepat
penguraian kalsiferol (vitamin D2) dengan kemungkinan
menimbulkan rachitis pada anak (Tjay dan Rahardja, 2013).
Dosis pediatrik untuk penanganan status epileptikus
diberikan secara intra vena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/hari
dalam dosis tunggal atau terbagi. Pemberian dosis tambahan 5
mg/kg/dosis setiap 15-30 menit sampai kejang terkontrol atau
tercapai dosis total 40 mg/kg. Dosis pemeliharaan kejang pada
infants dapat diberikan 5-8 mg/kg/hari dalam dosis tunggal atau
terbagi 2. Dosis pemeliharaan pada anak 1-5 tahun 6-8
mg/kg/hari dalam 1-2 dosis terbagi, 5-12 tahun 4-6 mg/kg/hari
dalam 1-2 dosis terbagi, dan >12 tahun 1-3 mg/kg/hri dalam
dosis terbagi atau 50-100 mg 2-3 kali sehari (Lacy, 2009).
9. Pemilihan OAE pada Pediatrik
Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini karena
pada pediatrik masih terjadi pertumbuhan dan perkembangan dalam profil
farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US. Department of
Health and Human Service, 2014). Populasi pediatrik dapat diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok berdasarkan usia.
Tabel IV. Klasifikasi Pediatrik Berdasarkan Kelompok Usia
Kelompok
Neonatus
Infant
Anak-anak
Remaja
Usia
0-27 hari
28 hari-23 bulan
2-11 tahun
12-18 tahun
(ICH Guideline E11, 2001)
Pemilihan OAE untuk pada pasien epilepsi pediatrik membutuhkan
perhatian. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain AEDspecific variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek
samping, farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific
variables (latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan
status sosial ekonomi), dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya
OAE) (Glauser dkk., 2006).
Tabel V. Pemilihan OAE Tiap Seizure pada Pediatrik
Tipe Bangkitan
Obat Lini 1
Obat lini 2
Kejang umum
tonik-klonik
Karbamazepin
Lamotrigin
Valproat
Topiramat
Klobazam
Levetirasetam
okskarbazepin
Absens
Etosuksimid
Lamotrigin
Valproat
Klobazam
Klonazepam
Topiramat
Mioklonik
Valproat
Topiramat
Tonik
Lamotrigin
Valproat
Atonik
Lamotrigin
Valproat
Spasme infantil
Steroid
Vigabatrin
Kejang
fokal
dengan/tanpa
kejang
umum
sekunder
Karbamazepin
Lamotrigin
Okskarbazepin
Valproat
Topiramat
Klobazam
Klonazepam
Lamotrigin
Levetirasetam
Pirasetam
Klobazam
Klonazepam
Levetirazetam
Topiramat
Klobazam
Klonazepam
Levetirazetam
Topiramat
Klobazam
Klonazepam
Valproat
Topiramat
Klobazam
Gabapentin
Levetirasetam
Fenitoin
Tiagabin
Alternatif/obat
lain yang dapat
dipertimbangkan
Aserazolamida
Klonazepam
Fenobarbital
Fenitoin
Pirimidon
-
-
Asetazolamida
Fenobarbital
Fenitoin
Pirimidon
Asetazolamida
Fenobarbital
Pirimidon
Obat yang
harus dihindari
(mungkin
memperburuk
kejang)
Tiagabin
Vigabatrin
Karbamazepin
Gabapentin
Okskarbazepin
Tiagabin
Vigabatrin
Karbamazepin
Gabapentin
Okskarbazepin
Tiagabin
Vigabatrin
Karbamazepin
Okskarbazepin
Karbamazepin
Okskarbazepin
Fenitoin
Nitrazepam
Karbamazepin
Okskarbazepin
Asetazolamida
Klonazepam
Fenobarbital
Pirimidon
-
(NICE Guideline, 2012)
Pemberian OAE perlu dilakukan titrasi dosis yaitu diinisiasi dengan
dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien (Ikawati,
2011). Dosis merupakan salah satu AED-specific variables yang akan
mempengaruhi efektifitas dan efek samping (Glauser dkk., 2006). Berikut ini
adalah regimen pemberian OAE pada pasien pediatrik.
Tabel VI. Regimen OAE pada Pediatrik
Obat
Fenitoin
Karbamazepin
Okskarbazepin
Lamotrigin
Zonisamid
Etosuksimid
Felbamat
Topiramat
Clobazam
Clonazepam
Fenobarbital
Pirimidon
Vigabatrin
Gabapentin
Valproat
Levetiracetam
Tiagabin
Dosis awal
Dosis maintenance
Frekuensi pemberian
(mg/kg/hari)
(mg/kg/hari)
(kali/hari)
5
5-15
1-2
5
10-25
2-4
5
10-50
2-3
0,5
2-8
1-2
2-4
4-8
2
10
15-30
1-2
15
30-45
3-4
0,5-1
5-9
2
0,25
0,5-1
1-2
0,025
0,025-0,1
2-3
4
4-8
1-2
10
20-30
1-2
40
50-150
1-2
20
20-40
3
10
15-40
2-3
10
20-60
2
Tidak disarankan untuk anak di bawah usia 12 tahun
(Brodie dkk., 2005)
10. Politerapi OAE
Enam puluh persen pasien epilepsi dapat
bebas kejang melalui
monoterapi OAE, sisanya merupakan pasien epilepsi refrakter dan
membutuhkan terapi tambahan OAE, bedah, maupun vagus nerve stimulation
(VNS). Berdasarkan informasi tersebut sedikitnya 14% pasien epilepsi
direkomendasikan untuk menjalani politerapi OAE (Louis, 2009).
Berdasarkan NICE (2012), politerapi adalah terapi dengan menggunakan
2 obat atau lebih, dalam hal ini adalah OAE. Politerapi OAE diterapkan pada
pasien intractable epilepsy atau epilepsy refractory. The American Academy
of Neurology/American Epilepsy Society (AAN/AES) Practice Guidelines
untuk terapi epilepsi refrakter mendukung penggunaan politerapi OAE pada
epilepsi parsial refrakter. Penelitian terbaru AAN/AES mengenai randomized,
blinded, controlled trials dari OAE generasi kedua dan ketiga yang sebagian
besar studi merupakan
studi politerapi retrospective case series dan
uncontrolled trials, menunjukkan 15% - 35% pasien dengan kejang parsial
menjadi bebas kejang dan 12 – 29% pasien megalami >50% pengurangan
kejang dengan politerapi. Penelitian lain prospective, randomized trial
menemukan bahwa 11% pasien yang gagal dengan monoterapi fenitoin atau
karbamazepin menjadi bebas kejang dengan politerapi (Louis, 2009).
Politerapi OAE pada pasien epilepsi harus rasional mengingat terapi
epilepsi merupakan terapi jangka panjang, semakin banyak obat yang
digunakan akan memperbesar kejadian efek samping. Kombinasi OAE efektif
yang disarankan oleh Lawthom dan Smith (2001) adalah karbamazepin,
lamotrigin atau fenitoin dengan gabapentin, levetiracetam, tiagabin atau
topiramat GABAmimetik - penghambat kanal Na.
11. Efek Samping Obat
Efek Samping Obat /ESO (Adverse Drug Reactions /ADR) adalah
respon terhadap suatu obat yang merugikan dan tidak diinginkan yang terjadi
pada penggunaan dosis lazim untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi
penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik (BPOM RI, 2012). Obat
antiepilepsi digunakan minimal 2 tahun untuk mengontrol kejang, sehingga
berpotensi menimbulkan banyak efek samping yang merugikan pada pasien
(Tan dkk., 2008).
Tabel VII. Efek Samping yang Signifikan secara Klinik Penggunaan OAE pada Pediatrik
OAE
Asetazolamida
Karbamazepin
Klobazam
Etosuksimid
Klonazepam
Gabapentin
Lamotrigin
Fenobarbital
Primidon
Tiagabin
Fenitoin
Valproat
Topiramat
Levetirasetam
Okskarbazepin
Vigabatrin
Efek Samping yang Signifikan
Kehilangan nafsu makan, depresi, kesemutan, perasaan di ekstremitas,
poliuria, haus, sakit kepala, pusing, kelelahan, mudah marah, dan sesekali
mengantuk.
Reaksi alergi kulit, gangguan akomodasi (penglihatan kabur, diplopia),
ataksia, dan mual, terutama pada awal pengobatan atau jika dosis awal
terlalu tinggi.
Mengantuk , toleransi jika digunakan dalam waktu lama.
Mual, sakit kepala, dan mengantuk.
Mengantuk dan kelelahan merupakan efek sementara dan menghilang
secara spontan dengan atau tanpa pengurangan dosis.
Mengantuk, kelelahan, pusing, hiperkinesia (kejadian 2% atau lebih),
labilitas emosional (>10%).
Ruam kulit yang muncul dalam 8 minggu setelah memulai pengobatan.
Efek samping lain yang dilaporkan meliputi mengantuk, diplopia, pusing,
sakit kepala, insomnia, kelelahan, demam (terkait dengan ruam sebagai
bagian dari sindrom hipersensitivitas), agitasi, kebingungan, dan halusinasi.
Mengantuk, lesu, depresi mental, reaksi alergi pada kulit, dan hiperkinesia.
Mengantuk dan lesu, namun hanya terjadi pada awal pengobatan.
Pusing, kelelahan, kegelisahan (non-spesifik), tremor, kesulitan
konsentrasi, dan perasaan depresi.
Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam kulit, mengantuk, ataksia, dan
bicara cadel. Biasanya terkait dosis. Merendahkan fitur wajah, hiperplasia
gusi, dan hirsutisme jarang terjadi. Beberapa komplikasi haemopoetik telah
dilaporkan termasuk anemia, motor twitchings, dyskinesias (jarang), tremor
(jarang), dan kebingungan mental.
Sedasi dan tremor sesekali dilaporkan. Rambut rontok sementara, kembali
normal ketika obat dihentikan. Sodium valproate dikaitkan dengan risiko
yang lebih tinggi dari malformasi janin jika dikonsumsi pada kehamilan.
Efek samping yang terkait dosis sering dilaporkan. Peningkatan berat
badan juga dapat terjadi. Gangguan lambung sering terjadi pada awal
pengobatan. Kadang-kadang hiperaktif, agresi, dan gangguan perilaku.
Kerusakan hati yang parah sangat jarang dilaporkan. Ensefalopati dan
pankreatitis mungkin jarang terjadi. Hyperammonaemia tanpa perubahan
tes fungsi hati sering terjadi dan bersifat sementara serta diskrasia darah
dapat terjadi.
Sakit kepala, mengantuk, pusing, parestesia, dan penurunan berat badan.
Peningkatan risiko nefrolitiasis, gangguan memori dan konsentrasi atau
perhatian telah dilaporkan. Kasus reaksi mata - sekunder akut glaukoma
sudut tertutup berupa mata merah menyakitkan atau miopia akut.
Pusing, mengantuk, mudah marah, insomnia, labilitas emosional, ataksia,
tremor, sakit kepala, dan mual.
Diplopia, sakit kepala, mual, ruam kulit, ataksia, dan kebingungan.
Kejadian yang umum dilaporkan: mengantuk, eksitasi, mual, agitasi,
agresi, mudah marah, depresi, dan psikosis. Cacat bidang visual telah
dilaporkan pada satu dari tiga orang yang memakai vigabatrin dengan onset
pengobatan bulanan sampai tahunan.
(NICE Guidelines, 2012)
Penilaian efek samping yang terjadi pada pasien pediatrik menggunakan
Kuesioner Pediatric Epilepsy Side Effect Questionnaire (PESQ) Version 1.2
(Morita, Glauser, dan Modi – Cincinnati Children’s Hospital Medical
Center©). PESQ merupakan suatu kuesioner berdasarkan metode self-report/
parent-report yang bertujuan untuk mengukur keparahan kejadian efek
samping yang hanya disebabkan oleh OAE pada pasien epilepsi pediatrik.
F. Keterangan Empirik
Pengobatan epilepsi secara politerapi dibutuhkan oleh sekitar 30-40% pasien
yang gagal mencapai kontrol kejang dengan monoterapi. Obat antiepilepsi
minimal dikonsumsi selama 2 tahun. Pasien yang sudah mencapai kontrol kejang
dalam kurun waktu 2 tahun kemudian menjalani EEG untuk mengevaluasi
gelombang epileptik otak. Jika dari hasil EEG diperoleh gelombang otak normal
maka terapi OAE tetap harus dilanjutkan dengan penurunan dosis menuju
penghentian terapi obat. Politerapi dalam jangka waktu lama ini berpotensi
menimbulkan banyak efek samping . Efek samping yang sering dikaitkan dengan
penggunaan OAE adalah idiosinkrasi, gangguan kognitif, dan komplikasi lain
akibat penggunaan jangka panjang. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi
kejadian efek samping dari penggunaan obat OAE secara politerapi yang
diresepkan pada pasien epilepsi pediatrik di INSKA Sub. Bagian Neurologi RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta periode Januari-Maret 2015.
Download