perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Infeksi Menular Seksual (IMS) a. Pengertian Infeksi Menular Seksual (IMS) Infeksi Menular Seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, penyakit menular seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan bergantiganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. IMS yang sering terjadi adalah Gonorhoe, Sifilis, Herpes, namun yang paling terbesar diantaranya adalah AIDS. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabka penderitaan, sakit berkepanjangan, kemandulan, bahkan kematian (Koeswinarno,1998; Scorviani dan Nugroho, 2012). b. Gejala-gejala IMS Menurut Scorviani dan Nugroho (2012), gejala-gejala umum IMS pada laki-laki adalah bintik-bintk berisi cairan, borok, atau lecet pada daerah sekitar kelamin. Luka tidak sakit, keras dan berwarna merah pada sekitar daerah kelamin. Adanya kutil yang tumbuh seperti jengger ayam. Sakit luar biasa saat kencing. Kencing nanah atau darah dengan bau busuk. Bengkak panas nyeri pada pangkal paha yang akhirnya menjadi borok. Kehilangan berat badan secara drastis, diare berkepanjangan, dan berkeringat saat malam. c. Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) Koeswinarno (1998) menyatakan bahwa masalah-masalah PMS yang sering timbul adalah: 1) Gonorhoe Penyakit ini ditularkan melaui hubungan seksual. Sebutan lain penyakit ini adalah kencing nanah. Penyakit ini menyerang organ reproduksi 10 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 dan menyerang selaput lender, mucus, mata, anus dan beberapa organ tubuh lainnya. Bakteri yang membawa penyakit ini dinamakan Gonococcus. Pada pria, gejala awal gonore biasanya timbul dalam waktu 2-7 hari setelah terinfeksi. Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra dan beberapa jam kemudian diikuti oleh nyeri ketika berkemih serta keluarnya nanah dari penis. Sedangkan pada wanita, gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi. Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau bulan, dan diketahui menderita penyakit tersebut hanya setelah pasangan hubungan seksualnya tertular. Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan. Tetapi beberapa penderita menunjukkan gejala yang berat, seperti desakan untuk berkemih, nyeri ketika berkemih, keluarnya cairan dari vagina, dan demam. Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, saluran telur, indung telur, uretra, dan rektum serta menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual (Koeswinarno, 1998). Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubungan seks melalui anus (anal sex) dapat menderita gonore pada rektumnya. Penderita akan merasakan tidak nyaman di sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah di sekitar anus tampak merah dan kasar, serta tinjanya terbungkus oleh lendir dan nanah (Koeswinarno, 1998). Hubungan seksual melalui mulut (oral sex) dengan seorang penderita gonore biasanya akan menyebabkan gonore pada tenggorokan (faringitis gonokokal). Umumnya infeksi tersebut tidak menimbulkan gejala, namun terkadang menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan untuk menelan (Koeswinarno, 1998). Jika cairan yang terinfeksi mengenai mata, maka bisa menyebabkan terjadinya infeksi mata luar (konjungtivitis gonore). Bayi yang baru lahir juga bisa terinfeksi gonore dari ibunya selama proses persalinan sehingga terjadi pembengkakan pada kedua kelopak matanya dan dari matanya keluar nanah. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 Jika infeksi itu tidak diobati, maka akan menimbulkan kebutaan (Koeswinarno,1998). 2) Sifilis Penyakit ini disebut raja singa dan ditularkan melalui hubungan seksual atau penggunaan barang-barang dari seseorang yang tertular (Misalnya: baju, handuk, dan jarum suntik). Penyebab timbulnya penyakit ini adalah adanya kuman Treponema pallidum, kuman ini menyerang organ penting tubuh lainya seperti selaput lendir, anus, bibir, lidah dan mulut (Koeswinarno, 1998). Penularan biasanya melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung dan kongenital sifilis (penularan melalui ibu ke anak dalam uterus). Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan; sebelum perkembangan tes serologikal, diagnosis sulit dilakukan dan penyakit ini sering disebut "Peniru Besar" karena sering dikira penyakit lainnya (Koeswinarno, 1998). Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan sistem saraf, jantung, atau otak. Sifilis yang tak terawat dapat berakibat fatal. Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis atau menemukan pasangan seks yang mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk segera menemui dokter secepat mungkin (Keswinarno, 1998). Sifilis yang tidak diobati bersifat sangat menular dalam 2 tahun pertama (sifilis dini). Jalur utama penularan berasal dari hubungan seksual oro- dan anogenitalis tanpa pelindung. Karena hubungan seks oro-genitalis sering dianggap kurang berisiko tertular HIV, cara ini sering dilakukan kalangan LSL baik dengan HIV atau tanpa HIV, namun justru merupakan jalur penularan yang penting. Jumlah pasangan seksual yang banyak serta diagnosis yang tertunda dapat meningkatkan angka penularan dan kesulitan notifikasi pasangan seksual. Semua ulkus genitalis, eksantema tanpa rasa gatal, serta gejala penyakit yang parah (misalnya demam, kelelahan yang sangat, limfadenopati, pembesaran hati dan limpa, terdapat enzim hati yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 meningkat, gejala neurologis atau oftalmologis) tanpa penyebab yang jelas, harus dilakukan pemeriksaan sifilis terutama pada LSL tanpa memandang status HIV yang disandangnya (Kemenkes RI, 2011). 3) Herpes Genitalis Saat ini dikenal dua macam herpes yakni herpes zoster dan herpes simpleks. Kedua herpes ini berasal dari virus yang berbeda. Herpes zoster disebabkan oleh virus Varicella zoster. Zoster tumbuh dalam bentuk ruam memanjang pada bagian tubuh kanan atau kiri saja. Jenis yang kedua adalah herpes simpleks, yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV). HSV sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu HSV-1 yang umumnya menyerang bagian badan dari pinggang ke atas sampai di sekitar mulut (herpes simpleks labialis), dan HSV-2 yang menyerang bagian pinggang ke bawah. Sebagian besar herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, walaupun ada juga yang disebabkan oleh HSV-1 yang terjadi akibat adanya hubungan kelamin secara orogenital, atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan oral seks, serta penularan melalui tangan (Kemenkes RI, 2011). Bila seseorang terkena HSV, maka infeksi yang terjadi dapat berupa episode I infeksi primer (pertama kali terjadi pada dirinya), episode I non primer, infeksi rekurens (ulangan), asimtomatik atau tidak ada infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten (Kemenkes RI, 1998). Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis. Pada keadaan ini tubuh sudah membentuk antibodi sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang terjadi tidak seberat episode I dengan infeksi primer (Kemenkes RI, 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 Sedangkan infeksi rekurens terjadi apabila HSV yang sudah ada dalam tubuh seseorang aktif kembali dan menggandakan diri. Hal ini terjadi karena adanya factor pencetus, yaitu berupa trauma (luka), hubbungan seksual yang berlebihan, demam, gangguan alat pencernaan, stress, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol serta obat-obatan yang menurunkan kekebalan tubuh seperti misalnya pada penderita kanker yang mengalami kemoterapi (Kemenkes RI, 2011). Herpes genitalis primer memiliki masa inkubasi antara 3 - 7 hari. Gejala yang timbul dapat bersifat berat tetapi bisa juga tidak tampak, terutama apabila lukanya berada di daerah mulut rahim pada perempuan. Pada awalnya, gejala ini didahului oleh rasa terbakar beberpa jam sebelumnya pada daerah dimana akan terjadi luka. Setelah luka timbul, penderita akan merasakan gejala seperti tidak enak badan, demam, sakit kepala, kelelahan, serta nyeri otot. Luka yang terjadi berbentuk vesikel atau gelembung-gelembung. Kemudian kulit tampak kemerahan dan muncullah vesikel yang bergerombol dengan ukuran sama besar. Vesikel yang berisi cairan ini mudah pecah sehingga menimbulkan luka yang melebar. Bahkan ada kalanya kelenjar getah bening di sekitarnya membesar dan terasa nyeri bila diraba (Kemenkes RI, 2011). Pada pria gejala akan tampak lebih jelas karena tumbuh pada kulit bagian luar kelenjar penis, batang penis, buah zakar, atau daerah anus. Sebaliknya, pada wanita gejala itu sulit terdeteksi karena letaknya tersembunyi. Herpes genitalis pada wanita biasanya menyerang bagian labia majora, labia minora, klitoris, malah acap kali leher rahim (serviks) tanpa gejala klinis. Gejala itu sering disertai rasa nyeri pada saluran kencing (Kemenkes RI, 2011). 4) Kondiloma Akuminata (Kutil Genitalis) Kutil Genitalis (Kondiloma Akuminata) merupakan kutil di dalam atau di sekeliling vagina, penis atau dubur, yang ditularkan melalui hubungan seksual. Kutil genitalis sering ditemukan dan menyebabkan kecemasan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 karena: - tidak enak dilihat, - bisa terinfeksi bakteri - bisa merupakan petunjuk adanya gangguan sistem kekebalan. Pada wanita, virus papiloma tipe 16 dan 18, yang menyerang leher rahim tetapi tidak menyebabkan kutil pada alat kelamin luar dan bisa menyebabkan kanker leher rahim. Virus tipe ini dan virus papiloma lainnya bisa menyebabkan tumor intra-epitel pada leher rahim (ditunjukkan dengan hasil Pap-smear yang abnormal) atau kanker pada vagina, vulva, dubur, penis, mulut, tenggorokan atau kerongkongan (Koeswinarno, 1998). Kutil genitalis paling sering tumbuh di permukaan tubuh yang hangat dan lembab. Pada pria, area yang sering terkena adalah ujung dan batang penis dan dibawah kulit depannya (jika tidak disunat). Pada wanita, kutil timbul di vulva, dinding vagina, leher rahim (serviks) dan kulit di sekeliling vagina. Kutil genitalis juga bisa terjadi di daerah sekeliling anus dan rektum, terutama pada pria homoseksual dan wanita yang melakukan hubungan seksual melalui dubur (Koeswinarno, 1998). Kutil biasanya muncul dalam waktu 1-6 bulan setelah terinfeksi, dimulai sebagai pembengkakan kecil yang lembut, lembab, berwarna merah atau pink. Mereka tumbuh dengan cepat dan bisa memiliki tangkai. Pada suatu daerah seringkali tumbuh beberapa kutil dan permukaannya yang kasar memberikan gambaran seperti bunga kol (blumkol) (Koeswinarno, 1998). 5) Chlamydia Trachomatis Chlamydia trachomatis adalah salah satu dari tiga spesies bakteri dalam genus Chlamydia, famili Chlamydiaceae, kelas Chlamydiae, filum Chlamydiae, domain Bacteria (Scorviani dan Nugroho, 2012). Chlamidia trachomatis adalah agen chlamydial pertama yang ditemukan dalam tubuh manusia. Bakteri ini pertama kali diidentifikasi tahun 1907. Infeksi Chlamydia trachomatis sering tidak menimbulkan gejala dan sangat berisiko bila terjadi pada ibu-ibu karena dapat menyebabkan kehamilan ektopik, infertilitas dan abortus. WHO memperkirakan 4 juta kasus baru pada ibu-ibu terinfeksi oleh Chlamydia trachomatis dan 50.000 diantaranya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 mengalami intertilitas,kehamilan ektopik dan abortus. Mekanisme terjadinya infeksi C.trachomatis telah dipelajari banyak peneliti, dimana MOMP (Major Outer Membrane Protein) merupakan suatu target penting untuk mencegah respons imun dari host, seperti neuralizing factor dan sel T. Berdasarkan adanya variasi nukleotida dari MOMP pada gen Omp-1 dan adanya inhibisi respon imun dapat menyebabkan mudahnya host terpapar oleh C.trachomatis. Setiap variasi nukleotida memperlihatkan berkurangnya imunitas seravor yang spesifik dalam menyeleksi imun dari host (Scorviani dan Nugroho, 2012). 6) HIV-AIDS HIV merupakan singkatan dari Human Immuno Deficiency Virus, yaitu sejenis virus yang menyebabkan AIDS. HIV ini menyerang sel darah putih dalam tubuh sehingga jumlah sel darah putih semakin berkurang dan menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah. AIDS adalah singkatan Acquired Immuno Deficiency Syndrom artinya suatu gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh seseorang. Pada dasarnya setiap orang mempunyai sistem kekebalan tubuh yang dapat melindunginya dari berbagai serangan seperti virus, kuman, dan penyakit lainnya (Koeswinarno,1998). Diagnosis dan terapi serta pemeriksaan dan konseling IMS sangat penting dalam strategi pencegahan HIV yang komprehensif pada kelompok LSL. Kunjungan ke klinik IMS merupakan kesempatan emas bagi perawat atau dokter untuk membahas praktik seks aman dan memberitahu pasien mengenai pentingnya IMS terutama infeksi rektum dan sifilis dalam penularan HIV (Kemenkes RI, 2011). Pemeriksaan HIV dan konseling harus selalu dianjurkan pada seorang LSL. spesimen untuk pemeriksaan gonore dan klamidiosis harus diambil dari rongga mulut (farings dan tonsil), uretra/urin dan saluran anus. Hati-hati dengan lubrikan yang memiliki efek bakteriostatik. Pemeriksaan rektum dengan cara inspeksi anus dan palpasi dengan jari merupakan metode sederhana untuk mendeteksi kutil, ulkus, dan tumor. Bahan darah harus diperiksa untuk kemungkinan sifilis, hepatitis A,B dan C. Pasangan seksual commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 pasien harus juga diperiksa untuk IMS lainnya, oleh karena beberapa IMS dapat terjadi sekaligus pada kelompok LSL. Skrining rutin tahunan IMS termasuk untuk HIV harus dianjurkan kepada semua LSL yang masih aktif secara seksual. Sedangkan skrining tiap 3-6 bulan dianjurkan untuk LSL yang sangat berisiko, yaitu LSL dengan banyak pasangan seksual, minum alkohol atau memakai obat terlarang, berwisata ke Kota-Kota risiko tinggi untuk seks. LSL yang masih aktif seksual dengan infeksi HIV harus menjalani skrining IMS termasuk palpasi rektum dan anoskopi paling tidak sekali setahun (Kemenkes RI, 2011). 2. Pelayanan IMS Secara umum ada pendapat bahwa pelayanan IMS yang berkualitas tinggi hanya dapat diberikan oleh para spesialis Kulit dan Kelamin yang bekerja di klinik IMS, namun berdasarkan aspek keterjangkauan, pelayanan yang tidak sesuai dengan keinginan pasien, dan sumber daya manusia yang diperlukan maupun aspek biaya, maka cara pelayanan spesialistik tersebut menjadi tidak praktis (Kemenkes RI, 2011). Walaupun demikian dianjurkan, agar pelayanan rutin terhadap pasien IMS diintegasikan ke dalam pelayanan kesehatan dasar, sedangkan klinik yang mengkhususkan diri pada pelayanan IMS mungkin akan bermanfaat sebagai pelayanan kesehatan dasar di daerah perKotaan untuk kelompok khusus seperti penjaja seks beserta para pelanggannya, pekerja migran, pengemudi truk jarak jauh, dan kelompok lain yang sulit terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Sebagai tambahan, berkaitan dengan konsentrasi para ahli IMS yang berpengalaman, klinik tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pelayanan rujukan untuk pelayanan kesehatan dasar, termasuk unit rawat jalan rumah sakit, praktek pribadi. Beberapa klinik spesialis dapat ditingkatkan sebagai pusat rujukan untuk tempat pelatihan petugas pelaksanaan pelayanan IMS, dan menyediakan/ memperoleh informasi epidemiologi (misalnya prevalens kuman penyebab pada setiap sindrom dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 kerentanan antimikroba), dan riset operasional (misalnya studi kelayakan, dan studi validitas setiap bagan alur) (Kemenkes RI, 2011). Upaya pencegahan dan perawatan IMS yang efektif menurut Kemenkes RI (2011) dapa Komponen paket ini berupa: a. Promosi perilaku seksual yang aman. b. Memprogramkan peningkatan penggunaan kondom, yang meliputi berbagai aktifitas mulai dari promosi penggunaan kondom sampai melakukan perencanaan dan manajemen pendistribusian kondom. c. Peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan. d. Pengintegrasian upaya pencegahan dan perawatan IMS ke dalam upaya pelayanan kesehatan dasar, upaya kesehatan reproduksi, klinik pribadi/ swasta serta upaya kesehatan terkait lainnya. e. Pelayanan khusus terhadap kelompok populasi berisiko tinggi, seperti misalnya para wanita dan pria penjaja seks, remaja, pengemudi truk jarak jauh, serta para narapidana. f. Penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna. g. Pencegahan dan perawatan sifilis kongenital dan konjungtivitis neonatorum. h. Deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik maupun yang asimtomatik. Salah satu komponen penting dari paket pelayanan kesehatan ini adalah penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna, meliputi: a. Identifikasi sindrom: Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis secara sindrom atau dengan bantuan laboratorium. b. Edukasi pasien: kepada pasien dijelaskan tentang riwayat alamiah dari infeksi yang dialaminya, serta pentingnya melaksanakan pengobatan secara tuntas, serta hal-hal penting lainnya. c. Pengobatan antibiotik terhadap sindrom: Cara apapun yang digunakan untuk menegakkan diagnosis, baik dengan menggunakan bagan alur maupun dengan bantuan laboratorium, secara mutlak diperlukan ketersediaan antibiotik yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 efektif. Obat yang diperlukan perlu disediakan pada saat petugas kesehatan pertama kalinya kontak dengan pasien IMS. Cara pengobatan yang efektif ini juga perlu disiapkan dan dilaksanakan pada semua klinik swasta/pribadi. d. Penyedian kondom: Dengan mendorong seseorang untuk menggunakan kondom, maka Kepala Dinas Kesehatan perlu memberikan jaminan bahwa kondom tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan dengan harga yang terjangkau pada semua fasilitas kesehatan serta berbagai titik pendistribusian lainnya. Pemasaran Sosial (Social Marketing) kondom adalah cara lain untuk meningkatkan jangkauan terhadap penjualan kondom. e. Konseling: fasilitas konseling disiapkan agar dapat dimanfaatkan oleh siapa saja yang membutuhkannya; misalnya pada kasus herpes genitalis kronis atau kutil pada alat genital, baik untuk perorangan maupun untuk mitra seksualnya. f. Pemberitahuan dan pengobatan pasangan seksual: penting bagi setiap program penanggulangan IMS adalah melakukan penatalaksanaan terhadap setiap mitra seksual pasien IMS, dan menghimbau agar mereka sendiri lah yang menghubungi tempat pelayanan Ims untuk mendapatkan pengobatan. Upaya ini harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor sosial dan budaya setempat, untuk menghindari masalah etis maupun masalah praktis yang mungkin timbul, misalnya penolakan, dan kekerasan khususnya terhadap wanita. 3. Penapisan (skrining) Penyakit pada Sistem Repoduksi a. Pengertian Menurut WHO, skrining adalah usaha untuk mengidentifikasi suatu penyakit yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan pemeriksaan tertentu atau prosedur lain yang dapat digunakan secara tepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tapi mempunyai sakit atau betul-betul sehat. Jadi secara garis besar skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosis sehingga pada hasil test yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih intensif untuk menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak kemudian bagi yang diagnosisnya positif dilakukan pengobatan intensif agar commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 tidak membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya, khususnya bagi penyakit-penyakit menular. b. Manfaat Skrining 1) Mendapatkan klien yang menderita penyakit sedini mungkin sehingga segera mendapatkan pengobatan 2) Mencegah meluasnya penyakit di masyarakat 3) Membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sebelum sakit 4) Meningkatkan kewaspadaan tenaga kesehatan akan kejadian penyebaran/endemic 5) Memperoleh informasi epidemiologi yang berguna untuk penelitian c. Sifat Skrining 1) Memerlukan deteksi dini penyakit yaitu mendeteksi tahap awal penyakit dan melihat besarnya masalah kesehatan di masyarakat. 2) Bukan merupakan alat diagnostik 3) Positif test akan mengikuti test diagnostik atau prosedur untuk memastikan penyakit. d. Syarat Melaksanakan Skrining 1) Test cukup sensitif dan spesifik 2) Test dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, murah dan sederhana 3) Penyakit atau masalah yang akan di skrining merupakan masalah yang cukup serius, prevalensinya tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat. 4) Kebijakan intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah dilaksanakan skrining harus jelas. e. Macam-macam Skrining 1) Mass Screening (penyaringan masal) Skrining yang dilakukan pada seluruh populasi, misalnya X-Ray survey atau blood pressure screening pada seluruh masyarakat yang berkunjung pada pelayanan kesahatan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 2) Selective Screening Hanya dilakukan pada populasi tertentu dengan target populasi berdasarkan rasio tertentu, misalnya pap smear screening pada wanita usia >35 tahun untuk mendeteksi karsinoma serviks, mammography screening untuk wanita yang mempunyai riwayat keluarga menderita karsinoma payudara. 3) Single Disease Screening Haya dilakukan untuk satu penyakit misalnya skrining terhadap penderita penyakit TBC, jadi lebih tertuju pada penyakitnya. 4) Multiphasic Screening Untuk beberapa penyakit pada kunjungan tertentu, sangat sederhana, mudah, murah dan diterima secara luas, misalnya pemeriksaan karsinoma pada serviks dan payudara disertai pemerikaan tekanan darah, gula, kolesterol, dll. 5) Case Finding (pencarian kasus) Merupakan salah satu penanggulangan keadaan wabah dimana untuk menemukan sumber penularan atau mencari adanya kasus baru di masyarakat. f. Tahapan skrining 1) Tahap menetapkan masalah. Masalah kesehatan yang ingin diketahui dikumpulkan berbagai keterangan yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan tersebut, keteranganketerangan yang diperoleh harus diseleksi untuk kemudian disusun sehingga menjadi jelas kriteria masalah kesehatan yang akan dicari. 2) Tahap menetapkan cara pengumpulan data yang akan dipergunakan untuk masalah kesehatan. 3) Tahap menetapkan populasi yang akan dikumpulkan datanya. Populasi yang dipilih adalah populasi yang mempunyai risiko untuk terkena masalah kesehatan tersebut namun masih sehat. Tentukan sumber data, kriteria responden, besar sampel dan cara pengambilan sampel. 4) Tahap melakukan penyaringan Penyaringan dilakukan dengan memanfaatkan kriteria masalah kesehatan serta cara pengumpulan data yang telah ditetapkan. Hasil dari langkah ini adalah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 ditemukannya kelompok populasi yang mengidap masalah kesehatan. Kelompok populasi ini hars dipisahkan dari kelompok populasi yang tidak mengidap masalah kesehatan tersebut. 5) Tahap mempertajam penyaringan Pada kelompok populasi yang dicurigai mengidap masalah kesehatan yang telah dicari, dilakukan penyaringan lagi dengan prosedur diagnostik, untuk memperoleh kelompok populasi yang benar-benar mengidap masalah kesehatan tersebut. 6) Tahap penyusunan laporan dan tindak lanjut Setelah dapat dipastikan bahwa kelompok populasi hanya mengidap masalah kesehatan yang dicari saja, dilakukan pengolahan data dan penyusunan laporan. Kepada kelompok populasi yang terbukti mengidap masalah kesehatan yang dicari, perlu ditindak lanjuti dengan pemberian pengobatan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dihadapinya (Romauli dan Vindari, 2012). 4. Waria a. Sejarah Waria lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat. Di Indonesia kata Waria merupakan akronim dari (Koeswinarno, 1998). Ada beberapa pengertian waria yang diperoleh dari berbagai sumber . Secara fisiologis waria adalah pria. Namun pria (waria) ini mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang wanita. Baik dalam tingkah dan lakunya, penampilan atau dandanannya ia mengenakan busana dan aksesori seperti wanita. Secara psikis, waria merasakan adanya ketidakcocokan antara jati diri yang dimiliki dengan alat kelaminnya. Dalam perilaku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki sifat lemah lembut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 Waria adalah individu-individu yang ikut serta dalam sebuah komunitas khusus yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin sendiri itulah yang merupakan objek seksual paling menggairahkan (Koeswinarno,1998 dalam Hartanti 2012). Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaaan biologisnya (hermafroditisme) orientasi seksual (homoseksualitas) maupun akibat pengkondisian lingkungan pergaulan (PPDGJ II, Depkes RI, 1983 dalam Hartanti, 2012). Transeksualisme sendiri adalah termasuk gangguan identitas jenis yang ditandai oleh perasaan tidak senang (discomfort) dan tidak sesuai terhadap alat kelaminnya dan perilaku menetap yang mirip dengan perilaku lawan jenisnya. Ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis (PPDGJ II, Depkes RI, 1983 dalam Hartanti, 2012). Identitas jenis adalah perasaan seseorang tergolong dalam jenis kelamin yang tertentu dengan perkataan lain kesadaran bahwa dirinya adalah laki-laki atau perempuan. Identitas jenis merupakan suatu penghayatan pribadi dari peran jenis (gender role) dan peran jenis adalah pernyataaan terhadap masyarakat dari identitas jenisnya (PPDGJ II, Depkes RI, 1983 dalam Hartanti, 2012). Sedangkan Fausiah (2003) dalam Hartanti (2012) menyebutkan identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan. Menurut Kartono 1989 & Manshur 1981 dalam Koeswinarno 1998 transeksualitas adalah suatu gejala seseorang merasa seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya. Transeksualisme adalah suatu gejala penyimpangan tingkah laku seksual dimana seseorang merasa terperangkap oleh keadaan anatomi tubuhnya sehingga orang tersebut ingin mengganti alat kelaminnya. b. Kondisi Fisik dan Kejiwaan Waria Waria pada dasarnya secara fisik adalah pria, kondisi fisik waria menurut Hartanti (2012) adalah memiliki bentuk tubuh seperti pria (rahangnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 yang kuat,lengannya yang berotot,bentuk paha, dan lain-lain). Waria tidak memancarkan Pheromone dari dalam tubuhnya seperti pada wanita. Waria biasa memakai pakaian yang cenderung seperti wanita, biasanya berpakaian seksi Waria tidak mungkin memiliki organ tubuh wanita secara alami (seperti rahim dan payudara) karena hormon testosteron dalam tubuhnya. Kondisi kejiwaan waria digambarkan bahwa dalam diri mereka terdapat jenis kelamin yang secara jasmani sempurna dan jelas tapi secara psikis cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis (Heuken, 1979 :148 dalam Hartanti, 2012). Pertentangan ini digambarkan jika dia menganggap dirinya pria sebaliknya jika ia pria menganggap dirinya adalah wanita. Untuk mewujudkannya maka ia akan melakukan visualisasi dari mulai menghilangkan atribut fisik seperti mencukur kumis, cambang maupun tindakan operasi bentuk tubuh seperti bibir, payudara dan puncaknya adalah melakukan operasi genital (Koeswinarno, 1996 dalam Hartanti, 2012). Di Indonesia secara umum kelompok Transgender Waria menempati kelas masyarakat bawah. Pengesahan Deklarasi HAM terhadap kaum Waria ini di Indonesia sudah dinyatakan melalui Deklarasi International Yogyakarta Principles (March 2007) yang salah satunya menyatakan bahwa Orang MSM dan transgender berhak atas perlindungan penuh hak asasi manusia. Dimana di dalamnya termasuk hak atas standar tertinggi yang dapat dicapai dalam mendapatkan layanan kesehatan, non diskriminasi dan privasi. c. Transgender Waria Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorde (DSM) III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa sub tipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual. Menurut Koeswinarno (1998) Tanda-tanda transgender atau transseksual yang bisa dilacak melalui DSM antara lain : Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya. Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain. Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika dating stress. Selain itu terdapat pula adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal serta dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (2006) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme. Salah satu akibatnya trangender muncullah istilah waria yaitu wanita pria. Orang yang secara genetik mempunyai potensi penyimpangan ini dan apabila didukung oleh lingkungan keinginannya sangat besar untuk merubah diri menjadi waria. Misalnya ada laki-laki yang tidak percaya diri atau tidak nyaman bila tidak berdandan atau berpakain wanita. Selain itu, faktor lingkungan juga sangat mempengaruhi yaitu faktor ekonomi misalnya. Awalnya hanya untuk mendapatkan uang tapi lama-kelamaan jadi keterusan (Koeswinarno 1998). Istilah Transgender (Green & Brinkin, 1994; Lombardi et,al 1998 dalam Kenagy, 2002 dalam Hartanti, 2012) sudah digunakan sebagai istilah yang memayungi dan untuk mendeskrpsikan orang yang tidak mengikuti Norma Gender secara Tradisional yaitu orang-orang yang termasuk kelompok Transgenderist, drag queens, cross-dressers, intersex dan tr . Orang- orang Transgender lazim menggunakan dua istilah untuk menjelaskan identitas gender mereka yaitu : Male-to-Female (MTF) adalah istilah bagi seseorang yang lahir sebagai Pria tapi mengidentifikasikan dirinya sebagai Wanita. Female-to- commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 Male (FTM) adalah istilah bagi seseorang yang lahir sebagai Wanita namun mengidentifikasikan dirinya sebagai Pria. Di Indonesia istilah Transgender yang sering disebutkan di Indonesia (MTF) walaupun jenis kelompok Pria Wanita ada namun lebih jarang di eksplorasi. 5. Teori Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model) Dalam membuat kerangka pikir, peneliti menggunakan teori model perubahan perilaku Health Belief Model (Becker dan Rosenstock, 1987). Model Kepercayaan Kesehatan (HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950-an oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan kegagalan secara luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa, terutama berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan. Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an. Apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 a. Komponen-Komponen Health Belief Model (HBM) 1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility) Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi terhadap adanya resusceptibilily (timbul kepekaan kembali), dan susceptibilily (kepekaan) terhadap penyakit secara umum. 2) Keseriusan yang dirasa (Perceived Severity/Seriousness) Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi kegiatan evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian, cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yang dirasakan (perceived threat). 3) Manfaat yang dirasa (Perceived Benefits) Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah mendorong untuk menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku. Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungankeuntungan yang dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upayaupaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness), sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok. 4) Penghalang atau hambatan yang dirasa (Perceived Barriers) Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti: ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti: khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 5) Variabel-variabel lain Perbedaan demografis, sosiopsikologi, dan variabel struktural mungkin memberikan pengaruh dalam persepsi individu dan secara lansung mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Secara rinci, faktor-faktor sosiodemografi, pencapaian dalam bidang pendidikan, dipercaya mempunyai efak secara tidak langsung terhadap perilaku yang akan mempengaruhi persepsi kerentanan, kekerasan, manfaat, dan penghalang. Selain itu, faktor pendorong untuk bertindak (cues to action), seperti: kampanye media massa, nasehat dokter, dan lain-lain, memberikan pengaruh secara tidak langsung yang berkaitan dengan perilaku. 6) Kemampuan Diri (Self-Efficacy) Faktor ini bukan merupakan salah satu komponen HBM, tetapi sangat berkaitan dengan HBM. Faktor ini memberi pengaruh terhadap HBM dalam rangka meningkatkan kekuatan dalam penjelasan. Self Efficacy didefinisikan sebagai suatu estimasi kemampuan seseorang yang akan mendorong ke suatu hasil tertentu (perilaku), adalah serupa dengan konsep HBM dalam manfaat yang dirasakan. INDIVIDUAL PERCEPTIONS MODIFYING FACTORS Demographic LIKELIHOOD OF ACTION Perceived benefits or Perceived barrier Socio-psychological Perceived susceptibility/ Perceived severity Perceived threat of disease Likelihood of behavior Cues to action Gambar 2.1 : Teori Health Belief Model (Sumber: Becker and Rosenstock, 1987) commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 B. Penelitian yang Relevan Tabel 2.1 Penelitian yang relevan Nama No. Peneliti/ Judul dan Desain Hasil Tahun/Jurnal 1. Solomon et Syphilis Predicts HIV Keseluruhan kejadian sifilis adalah 7,3 kasus al. 2014. Incidence Among Men and per 100 orang-tahun. Tidak ada perbedaan Clinical Transgender Women Who dalam kejadian sifilis antara lengan studi (7,8 Infectious Have Sex With Men in a kasus per 100 orang-tahun untuk FTC / TDF Diseases Preexposure Prophylaxis Trial vs 6,8 kasus per 100 orang-tahun untuk Journal. placebo, P = 0,304). Kejadian HIV yang DOI: 10.1093/cid/ ciu450 disertai sifilis (2,8 kasus per 100 orang-tahun Metode : The Preexposure Profilaksis Initiative (iPrEx) studi acak 2.499 pria HIVnegatif dan wanita transgender yang berhubungan seks dengan tanpa sifilis vs 8,0 kasus per 100 orang-tahun dengan kejadian sifilis), mencerminkan tidak ada hubungan antara pengacakan ke FTC / TDF lengan dan insiden sifilis pada kejadian HIV laki-laki (LSL) untuk menerima oral harian FTC / TDF atau plasebo. prevalensi sifilis di skrining dan kejadian selama masa tindak lanjut diukur. 2. Zhao et al. Predictors of Condom Use Di antara peserta, 79,6% menerima pendidikan 2012. PLoS Behaviors Based on the Health sekolah menengah atau kurang, 60,5% belum ONE Belief Model (HBM) among menikah, 69,3% telah bekerja sebagai WPS Journal 7 Female Sex Workers: A Cross- selama 2 tahun atau kurang, dan 66,0% (11). Sectional Study in Hubei memiliki pasangan seksual yang stabil non- e:49542. ProVince, China komersial. 74,9% peserta menggunakan doi:10.1371/ Metode: kondom secara konsisten dengan klien selama journal. Cross sectional study vaginal sex pada bulan lalu dan 91,2% pada commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 saat terakhir. Hanya sebagian kecil dari peserta (18,7%) menggunakan kondom setiap kali dengan pasangan non-komersial. Selain itu, 39,9% melakukan aborsi, 5,5% mengaku penyalahgunaan narkoba, dan 68,0% membeli Kondom sendiri. 3. Fibriana. 2013. Jurnal Kesehatan Masyarakat (KEMAS) 8 (02) 161165. ISSN 18581196 4. 5. Keikutsertaan Pelanggan Hasil penelitian menggunakan teori Health Wanita Penjaja seks Dalam Belief Model menunjukkan partisipasi Voluntary Conseling And pelanggan WPS di resosialisasi Argorejo Testing (VCT) dalam melakukan VCT masih rendah yaitu Metode : 60,2% (56 orang). Penelitian survei dengan pendekatan cross sectional Rahmayani Hubungan Pengetahuan dan Bahwa 65% waria penjaja seks memiliki et al. 2013. Sikap dengan Tindakan tindakan yang baik, 70% memiliki Jurnal Pencegahan Penularan HIV- pengetahuan yang tinggi, dan 52,5% Kesehatan AIDS pada Waria di Kota menunjukkan sikap sedang terhadap Andalas. Padang Tahun 2013 pencegahan penularan HIV-AIDS. Hasil uji Desain : analitik observasional chi-square menunjukkan bahwa ke dua dengan pendekatan cross variabel independen berhubungan secara sectional study bermakna. Simamora. Alternatif Kebijakan Perilaku Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor- 2014. Jurnal Penggunaan Kondom faktor: Pada level individual internal Ilmiah Untuk Pencegahan HIV pada penggunaan kondom tidak konsisten, lemah WIDYA, Penjaja seks Waria di dan sebagian besar tidak langsung. Pada level Volume 2 Lokalisasi Gor Kota Bekasi interpersonal umumnya mendukung pada nomor 3. Tahun 2014 perilaku penggunaan kondom dalam setiap ISSN 2337- Desain : hubungan seksual. Pada level 6686, ISSN- Kualitatif konfirmatori dengan kebijakan publik masih lemah dan ditemukan L 2338-3321 wawancara mendalam, mendukung sekaligus menghambat perilaku observasi dan telaah dokumen penggunaan kondom. Kebijakan yang ada saat ini masih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 relatif dan hanya mengenai sebagian aspek penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS. Diusulkan alternatif kebijakan berupa TOR untuk perbaikan program, kegiatan, anggaran pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bekasi. 6. Hartanti. Faktor-Faktor yang Prevalensi Sifilis pada Transgender Waria di 5 2012. Tesis. berhubungan dengan Infeksi Kota sebesar 25,25%, Faktor yang FKM UI Sifilis pada populasi berhubungan signifikan adalah Status HIV, Transgender Waria di 5 Kota kemudian Umur >31 tahun dan Penggunaan Besar di Indonesia Hormon Suntik Silikon, Tingkat pendidikan, Lamanya melakukan hubungan seks komersial Desain : dengan imbalan, Penggunaan Kondom, penelitian observasional Konsumsi Napza Suntik, Konsumsi Alkohol dengan rancangan cross dan Akses ke Layanan IMS tidak sectional berhubungan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 7. Rumana N. Infeksi Menular Seksual pada Hasil : Studi ini menunjukkan bahwa A. 2013. Gay di Tangerang, Jogjakarta proporsi MSM terinfeksi PMS sebesar 32%. Forum dan Makassar Tahun 2009 Faktor-faktor yang terbukti signifikan Ilmiah. (Aspek Rekam Medis pada terhadap kejadian IMS pada LSL adalah usia, Volume 10 Analisis Data STBP) usia pertama perilaku berisiko, sumber utama Nomor 3 pendapatan, dan penggunaan kondom, jenis Desain : studi deskriptif pelumas, dan jumlah pasangan seksual. dengan pendekatan cross Aspek catatan medis yang diperlukan untuk sectional meninjau catatan medis di rumah sakit sehingga riwayat pasien IMS bisa lebih baik ditelusuri sehingga penularan kepada orang lain dapat diatasi dan mencegah kemungkinan menuju gerbang HIV/AIDS. Berdasarkan penelitian ini menjadi penambahan variabel jenis pelumas karena terbukti secara signifikan terkait dengan kejadian IMS pada LSL, tetapi tidak dalam bentuk catatan medis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah jenis dan rancangan penelitian, fokus penelitian, fenomena yang diteliti, waktu dan tempat penelitian. C. Kerangka Berpikir Berdasarkan konsep perilaku Health Belief Model menunjukkan empat persepsi waria terhadap penggunaan pelayanan skrining IMS yang berfungsi sebagai komponen utama Health Belief Model yaitu keseriusan dirasakan, kerentanan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, dan hambatan yang dirasakan oleh waria. Masingmasing persepsi, secara individu atau dalam kombinasi, dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku kesehatan. Perilaku waria dalam kaitannya dengan teori Health Belief Model telah diperluas dengan komponen lain yang mencakup pedoman tindakan untuk melakukan perilaku sehat, dan efikasi diri sebagai kontrol dari faktor-faktor perilaku sehat itu sendiri. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 Kerangka berpikir menurut teori Health Belief Model disajikan dalam bagan berikut ini: Umur, keadaan psikologis, sosial ekonomi Pengetahuan tentang IMS Efikasi diri waria Keyakinan tentang penggunaan pelayanan IMS dan kondom untuk pencegahan IMS Isyarat tindakan Informasi IMS Pengalaman orang lain yang terkena IMS Keseriusan dan kerentanan yang dirasakan waria Risiko IMS yang dirasakan Kekhawatiran terkena IMS Penggunaan pelayanan skrining IMS Hambatan yang dirasakan waria: Biaya Psikologis Tindakan yang disarankan Besarnya manfaat yang dirasakan dari skrining IMS Waria sehat Waria Sakit Gambar 2.2 : Kerangka berpikir menurut teori Health Belief Model D. Pertanyaan Penelitian Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui faktor-faktor dari sudut pandang waria tentang penggunaan pelayanan skrining IMS di Kota Yogyakarta meliputi : 1. Bagaimana karakteristik dan isyarat bertindak waria terhadap penggunaan pelayanan skrining IMS? 2. Bagaimana persepsi waria terhadap kerentanan mereka terhadap penyakit IMS? 3. Seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit IMS? 4. Bagaimanakah hambatan yang ditemui waria dalam menggunakan pelayanan skrining IMS? seperti hambatan finansial, fisik dan psikososial. 5. Apa saja manfaat yang diperoleh waria dengan menggunakan pelayanan skrining IMS? 6. Bagaimanakah efikasi diri/keyakinan waria tentang penggunaan pelayanan skrining IMS sebagai pencegahan IMS? commit to user