perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Infeksi Menular Seksual (IMS)
a. Pengertian Infeksi Menular Seksual (IMS)
Infeksi Menular Seksual (IMS) disebut juga Penyakit Menular Seksual
(PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, penyakit menular
seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan bergantiganti pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. IMS yang sering terjadi
adalah Gonorhoe, Sifilis, Herpes, namun yang paling terbesar diantaranya adalah
AIDS. Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabka
penderitaan,
sakit
berkepanjangan,
kemandulan,
bahkan
kematian
(Koeswinarno,1998; Scorviani dan Nugroho, 2012).
b. Gejala-gejala IMS
Menurut Scorviani dan Nugroho (2012), gejala-gejala umum IMS pada
laki-laki adalah bintik-bintk berisi cairan, borok, atau lecet pada daerah sekitar
kelamin. Luka tidak sakit, keras dan berwarna merah pada sekitar daerah
kelamin. Adanya kutil yang tumbuh seperti jengger ayam. Sakit luar biasa saat
kencing. Kencing nanah atau darah dengan bau busuk. Bengkak panas nyeri pada
pangkal paha yang akhirnya menjadi borok. Kehilangan berat badan secara
drastis, diare berkepanjangan, dan berkeringat saat malam.
c. Jenis-jenis Infeksi Menular Seksual (IMS)
Koeswinarno (1998) menyatakan bahwa masalah-masalah PMS yang
sering timbul adalah:
1) Gonorhoe
Penyakit ini ditularkan melaui hubungan seksual. Sebutan lain
penyakit ini adalah kencing nanah. Penyakit ini menyerang organ reproduksi
10
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
dan menyerang selaput lender, mucus, mata, anus dan beberapa organ tubuh
lainnya. Bakteri yang membawa penyakit ini dinamakan Gonococcus.
Pada pria, gejala awal gonore biasanya timbul dalam waktu 2-7 hari
setelah terinfeksi. Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra dan
beberapa jam kemudian diikuti oleh nyeri ketika berkemih serta keluarnya
nanah dari penis. Sedangkan pada wanita, gejala awal biasanya timbul dalam
waktu 7-21 hari setelah terinfeksi. Penderita seringkali tidak merasakan gejala
selama beberapa minggu atau bulan, dan diketahui menderita penyakit
tersebut hanya setelah pasangan hubungan seksualnya tertular. Jika timbul
gejala, biasanya bersifat ringan. Tetapi beberapa penderita menunjukkan
gejala yang berat, seperti desakan untuk berkemih, nyeri ketika berkemih,
keluarnya cairan dari vagina, dan demam. Infeksi dapat menyerang leher
rahim, rahim, saluran telur, indung telur, uretra, dan rektum serta
menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual
(Koeswinarno, 1998).
Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubungan seks
melalui anus (anal sex) dapat menderita gonore pada rektumnya. Penderita
akan merasakan tidak nyaman di sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar
cairan. Daerah di sekitar anus tampak merah dan kasar, serta tinjanya
terbungkus oleh lendir dan nanah (Koeswinarno, 1998).
Hubungan seksual melalui mulut (oral sex) dengan seorang penderita
gonore biasanya akan menyebabkan gonore pada tenggorokan (faringitis
gonokokal). Umumnya infeksi tersebut tidak menimbulkan gejala, namun
terkadang menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan untuk menelan
(Koeswinarno, 1998).
Jika cairan yang terinfeksi mengenai mata, maka bisa menyebabkan
terjadinya infeksi mata luar (konjungtivitis gonore). Bayi yang baru lahir juga
bisa terinfeksi gonore dari ibunya selama proses persalinan sehingga terjadi
pembengkakan pada kedua kelopak matanya dan dari matanya keluar nanah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
Jika infeksi itu tidak diobati, maka akan menimbulkan
kebutaan
(Koeswinarno,1998).
2) Sifilis
Penyakit ini disebut raja singa dan ditularkan melalui hubungan
seksual atau penggunaan barang-barang dari seseorang yang tertular
(Misalnya: baju, handuk, dan jarum suntik). Penyebab timbulnya penyakit ini
adalah adanya kuman Treponema pallidum, kuman ini menyerang organ
penting tubuh lainya seperti selaput lendir, anus, bibir, lidah dan mulut
(Koeswinarno, 1998).
Penularan biasanya melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa
contoh lain seperti kontak langsung dan kongenital sifilis (penularan melalui
ibu ke anak dalam uterus). Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan;
sebelum perkembangan tes serologikal, diagnosis sulit dilakukan dan penyakit
ini sering disebut "Peniru Besar" karena sering dikira penyakit lainnya
(Koeswinarno, 1998).
Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti
kerusakan sistem saraf, jantung, atau otak. Sifilis yang tak terawat dapat
berakibat fatal. Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis atau
menemukan pasangan seks yang mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk
segera menemui dokter secepat mungkin (Keswinarno, 1998).
Sifilis yang tidak diobati bersifat sangat menular dalam 2 tahun
pertama (sifilis dini). Jalur utama penularan berasal dari hubungan seksual
oro- dan anogenitalis tanpa pelindung. Karena hubungan seks oro-genitalis
sering dianggap kurang berisiko tertular HIV, cara ini sering dilakukan
kalangan LSL baik dengan HIV atau tanpa HIV, namun justru merupakan
jalur penularan yang penting. Jumlah pasangan seksual yang banyak serta
diagnosis yang tertunda dapat meningkatkan angka penularan dan kesulitan
notifikasi pasangan seksual. Semua ulkus genitalis, eksantema tanpa rasa
gatal, serta gejala penyakit yang parah (misalnya demam, kelelahan yang
sangat, limfadenopati, pembesaran hati dan limpa, terdapat enzim hati yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
meningkat, gejala neurologis atau oftalmologis) tanpa penyebab yang jelas,
harus dilakukan pemeriksaan sifilis terutama pada LSL tanpa memandang
status HIV yang disandangnya (Kemenkes RI, 2011).
3) Herpes Genitalis
Saat ini dikenal dua macam herpes yakni herpes zoster dan herpes
simpleks. Kedua herpes ini berasal dari virus yang berbeda. Herpes zoster
disebabkan oleh virus Varicella zoster. Zoster tumbuh dalam bentuk ruam
memanjang pada bagian tubuh kanan atau kiri saja. Jenis yang kedua adalah
herpes simpleks, yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV). HSV
sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu HSV-1 yang umumnya menyerang
bagian badan dari pinggang ke atas sampai di sekitar mulut (herpes simpleks
labialis), dan HSV-2 yang menyerang bagian pinggang ke bawah. Sebagian
besar herpes genitalis disebabkan oleh HSV-2, walaupun ada juga yang
disebabkan oleh HSV-1 yang terjadi akibat adanya hubungan kelamin secara
orogenital, atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut dengan oral seks, serta
penularan melalui tangan (Kemenkes RI, 2011).
Bila seseorang terkena HSV, maka infeksi yang terjadi dapat berupa
episode I infeksi primer (pertama kali terjadi pada dirinya), episode I non
primer, infeksi rekurens (ulangan), asimtomatik atau tidak ada infeksi sama
sekali. Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh
hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan
DNA hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga
menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf
sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten
(Kemenkes RI, 1998).
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung
tetapi belum menimbulkan gejala klinis. Pada keadaan ini tubuh sudah
membentuk antibodi sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan
yang terjadi tidak seberat episode I dengan infeksi primer (Kemenkes RI,
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
Sedangkan infeksi rekurens terjadi apabila HSV yang sudah ada
dalam tubuh seseorang aktif kembali dan menggandakan diri. Hal ini terjadi
karena adanya factor pencetus, yaitu berupa trauma (luka), hubbungan seksual
yang berlebihan, demam, gangguan alat pencernaan, stress, kelelahan,
makanan yang merangsang, alkohol serta obat-obatan yang menurunkan
kekebalan tubuh seperti misalnya pada penderita kanker yang mengalami
kemoterapi (Kemenkes RI, 2011).
Herpes genitalis primer memiliki masa inkubasi antara 3 - 7 hari.
Gejala yang timbul dapat bersifat berat tetapi bisa juga tidak tampak, terutama
apabila lukanya berada di daerah mulut rahim pada perempuan. Pada awalnya,
gejala ini didahului oleh rasa terbakar beberpa jam sebelumnya pada daerah
dimana akan terjadi luka. Setelah luka timbul, penderita akan merasakan
gejala seperti tidak enak badan, demam, sakit kepala, kelelahan, serta nyeri
otot. Luka yang terjadi berbentuk vesikel atau gelembung-gelembung.
Kemudian kulit tampak kemerahan dan muncullah vesikel yang bergerombol
dengan ukuran sama besar. Vesikel yang berisi cairan ini mudah pecah
sehingga menimbulkan luka yang melebar. Bahkan ada kalanya kelenjar getah
bening di sekitarnya membesar dan terasa nyeri bila diraba (Kemenkes RI,
2011).
Pada pria gejala akan tampak lebih jelas karena tumbuh pada kulit
bagian luar kelenjar penis, batang penis, buah zakar, atau daerah anus.
Sebaliknya, pada wanita gejala itu sulit terdeteksi karena letaknya
tersembunyi. Herpes genitalis pada wanita biasanya menyerang bagian labia
majora, labia minora, klitoris, malah acap kali leher rahim (serviks) tanpa
gejala klinis. Gejala itu sering disertai rasa nyeri pada saluran kencing
(Kemenkes RI, 2011).
4) Kondiloma Akuminata (Kutil Genitalis)
Kutil Genitalis (Kondiloma Akuminata) merupakan kutil di dalam
atau di sekeliling vagina, penis atau dubur, yang ditularkan melalui hubungan
seksual. Kutil genitalis sering ditemukan dan menyebabkan kecemasan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
karena: - tidak enak dilihat, - bisa terinfeksi bakteri - bisa merupakan petunjuk
adanya gangguan sistem kekebalan. Pada wanita, virus papiloma tipe 16 dan
18, yang menyerang leher rahim tetapi tidak menyebabkan kutil pada alat
kelamin luar dan bisa menyebabkan kanker leher rahim. Virus tipe ini dan
virus papiloma lainnya bisa menyebabkan tumor intra-epitel pada leher rahim
(ditunjukkan dengan hasil Pap-smear yang abnormal) atau kanker pada
vagina, vulva, dubur, penis, mulut, tenggorokan atau kerongkongan
(Koeswinarno, 1998).
Kutil genitalis paling sering tumbuh di permukaan tubuh yang hangat
dan lembab. Pada pria, area yang sering terkena adalah ujung dan batang penis
dan dibawah kulit depannya (jika tidak disunat). Pada wanita, kutil timbul di
vulva, dinding vagina, leher rahim (serviks) dan kulit di sekeliling vagina.
Kutil genitalis juga bisa terjadi di daerah sekeliling anus dan rektum, terutama
pada pria homoseksual dan wanita yang melakukan hubungan seksual melalui
dubur (Koeswinarno, 1998).
Kutil biasanya muncul dalam waktu 1-6 bulan setelah terinfeksi,
dimulai sebagai pembengkakan kecil yang lembut, lembab, berwarna merah
atau pink. Mereka tumbuh dengan cepat dan bisa memiliki tangkai. Pada suatu
daerah seringkali tumbuh beberapa kutil dan permukaannya yang kasar
memberikan gambaran seperti bunga kol (blumkol) (Koeswinarno, 1998).
5) Chlamydia Trachomatis
Chlamydia trachomatis adalah salah satu dari tiga spesies bakteri
dalam genus Chlamydia, famili Chlamydiaceae, kelas Chlamydiae, filum
Chlamydiae, domain Bacteria (Scorviani dan Nugroho, 2012).
Chlamidia trachomatis adalah agen chlamydial pertama yang
ditemukan dalam tubuh manusia. Bakteri ini pertama kali diidentifikasi tahun
1907. Infeksi Chlamydia trachomatis sering tidak menimbulkan gejala dan
sangat berisiko bila terjadi pada ibu-ibu karena dapat menyebabkan kehamilan
ektopik, infertilitas dan abortus. WHO memperkirakan 4 juta kasus baru pada
ibu-ibu terinfeksi oleh Chlamydia trachomatis dan 50.000 diantaranya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
mengalami intertilitas,kehamilan ektopik dan abortus. Mekanisme terjadinya
infeksi C.trachomatis telah dipelajari banyak peneliti, dimana MOMP (Major
Outer Membrane Protein) merupakan suatu target penting untuk mencegah
respons imun dari host, seperti neuralizing factor dan sel T. Berdasarkan
adanya variasi nukleotida dari MOMP pada gen Omp-1 dan adanya inhibisi
respon imun dapat menyebabkan mudahnya host terpapar oleh C.trachomatis.
Setiap variasi nukleotida memperlihatkan berkurangnya imunitas seravor yang
spesifik dalam menyeleksi imun dari host (Scorviani dan Nugroho, 2012).
6) HIV-AIDS
HIV merupakan singkatan dari Human Immuno Deficiency Virus,
yaitu sejenis virus yang menyebabkan AIDS. HIV ini menyerang sel darah
putih dalam tubuh sehingga jumlah sel darah putih semakin berkurang dan
menyebabkan sistem kekebalan tubuh menjadi lemah. AIDS adalah singkatan
Acquired Immuno Deficiency Syndrom artinya suatu gejala menurunnya
sistem kekebalan tubuh seseorang. Pada dasarnya setiap orang mempunyai
sistem kekebalan tubuh yang dapat melindunginya dari berbagai serangan
seperti virus, kuman, dan penyakit lainnya (Koeswinarno,1998).
Diagnosis dan terapi serta pemeriksaan dan konseling IMS sangat
penting dalam strategi pencegahan HIV yang komprehensif pada kelompok
LSL. Kunjungan ke klinik IMS merupakan kesempatan emas bagi perawat
atau dokter untuk membahas praktik seks aman dan memberitahu pasien
mengenai pentingnya IMS terutama infeksi rektum dan sifilis dalam penularan
HIV (Kemenkes RI, 2011).
Pemeriksaan HIV dan konseling harus selalu dianjurkan pada
seorang LSL. spesimen untuk pemeriksaan gonore dan klamidiosis harus
diambil dari rongga mulut (farings dan tonsil), uretra/urin dan saluran anus.
Hati-hati dengan lubrikan yang memiliki efek bakteriostatik. Pemeriksaan
rektum dengan cara inspeksi anus dan palpasi dengan jari merupakan metode
sederhana untuk mendeteksi kutil, ulkus, dan tumor. Bahan darah harus
diperiksa untuk kemungkinan sifilis, hepatitis A,B dan C. Pasangan seksual
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
pasien harus juga diperiksa untuk IMS lainnya, oleh karena beberapa IMS
dapat terjadi sekaligus pada kelompok LSL. Skrining rutin tahunan IMS
termasuk untuk HIV harus dianjurkan kepada semua LSL yang masih aktif
secara seksual. Sedangkan skrining tiap 3-6 bulan dianjurkan untuk LSL yang
sangat berisiko, yaitu LSL dengan banyak pasangan seksual, minum alkohol
atau memakai obat terlarang, berwisata ke Kota-Kota risiko tinggi untuk seks.
LSL yang masih aktif seksual dengan infeksi HIV harus menjalani skrining
IMS termasuk palpasi rektum dan anoskopi paling tidak sekali setahun
(Kemenkes RI, 2011).
2. Pelayanan IMS
Secara umum ada pendapat bahwa pelayanan IMS yang berkualitas tinggi
hanya dapat diberikan oleh para spesialis Kulit dan Kelamin yang bekerja di klinik
IMS, namun berdasarkan aspek keterjangkauan, pelayanan yang tidak sesuai dengan
keinginan pasien, dan sumber daya manusia yang diperlukan maupun aspek biaya,
maka cara pelayanan spesialistik tersebut menjadi tidak praktis (Kemenkes RI,
2011).
Walaupun demikian dianjurkan, agar pelayanan rutin terhadap pasien IMS
diintegasikan ke dalam pelayanan kesehatan dasar, sedangkan klinik yang
mengkhususkan diri pada pelayanan IMS mungkin akan bermanfaat sebagai
pelayanan kesehatan dasar di daerah perKotaan untuk kelompok khusus seperti
penjaja seks beserta para pelanggannya, pekerja migran, pengemudi truk jarak jauh,
dan kelompok lain yang sulit terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Sebagai
tambahan, berkaitan dengan konsentrasi para ahli IMS yang berpengalaman, klinik
tersebut dapat dijadikan sebagai tempat pelayanan rujukan untuk pelayanan
kesehatan dasar, termasuk unit rawat jalan rumah sakit, praktek pribadi. Beberapa
klinik spesialis dapat ditingkatkan sebagai pusat rujukan untuk tempat pelatihan
petugas pelaksanaan pelayanan IMS, dan menyediakan/ memperoleh informasi
epidemiologi (misalnya prevalens kuman penyebab pada setiap sindrom dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
kerentanan antimikroba), dan riset operasional (misalnya studi kelayakan, dan studi
validitas setiap bagan alur) (Kemenkes RI, 2011).
Upaya pencegahan dan perawatan IMS yang efektif menurut Kemenkes RI
(2011) dapa
Komponen paket ini berupa:
a. Promosi perilaku seksual yang aman.
b. Memprogramkan peningkatan penggunaan kondom, yang meliputi berbagai
aktifitas mulai dari promosi penggunaan kondom sampai melakukan perencanaan
dan manajemen pendistribusian kondom.
c. Peningkatan perilaku upaya mencari pengobatan.
d. Pengintegrasian upaya pencegahan dan perawatan IMS ke dalam upaya
pelayanan kesehatan dasar, upaya kesehatan reproduksi, klinik pribadi/ swasta
serta upaya kesehatan terkait lainnya.
e. Pelayanan khusus terhadap kelompok populasi berisiko tinggi, seperti misalnya
para wanita dan pria penjaja seks, remaja, pengemudi truk jarak jauh, serta para
narapidana.
f. Penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna.
g. Pencegahan dan perawatan sifilis kongenital dan konjungtivitis neonatorum.
h. Deteksi dini terhadap infeksi yang bersifat simtomatik maupun yang
asimtomatik.
Salah satu komponen penting dari paket pelayanan kesehatan ini adalah
penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna, meliputi:
a. Identifikasi sindrom: Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis secara
sindrom atau dengan bantuan laboratorium.
b. Edukasi pasien: kepada pasien dijelaskan tentang riwayat alamiah dari infeksi
yang dialaminya, serta pentingnya melaksanakan pengobatan secara tuntas, serta
hal-hal penting lainnya.
c. Pengobatan antibiotik terhadap sindrom: Cara apapun yang digunakan untuk
menegakkan diagnosis, baik dengan menggunakan bagan alur maupun dengan
bantuan laboratorium, secara mutlak diperlukan ketersediaan antibiotik yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
efektif. Obat yang diperlukan perlu disediakan pada saat petugas kesehatan
pertama kalinya kontak dengan pasien IMS. Cara pengobatan yang efektif ini
juga perlu disiapkan dan dilaksanakan pada semua klinik swasta/pribadi.
d. Penyedian kondom: Dengan mendorong seseorang untuk menggunakan kondom,
maka Kepala Dinas Kesehatan perlu memberikan jaminan bahwa kondom
tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan dengan harga yang
terjangkau pada semua fasilitas kesehatan serta berbagai titik pendistribusian
lainnya. Pemasaran Sosial (Social Marketing) kondom adalah cara lain untuk
meningkatkan jangkauan terhadap penjualan kondom.
e. Konseling: fasilitas konseling disiapkan agar dapat dimanfaatkan oleh siapa saja
yang membutuhkannya; misalnya pada kasus herpes genitalis kronis atau kutil
pada alat genital, baik untuk perorangan maupun untuk mitra seksualnya.
f. Pemberitahuan dan pengobatan pasangan seksual: penting bagi setiap program
penanggulangan IMS adalah melakukan penatalaksanaan terhadap setiap mitra
seksual pasien IMS, dan menghimbau agar mereka sendiri lah yang
menghubungi tempat pelayanan Ims untuk mendapatkan pengobatan. Upaya ini
harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan faktor sosial dan budaya
setempat, untuk menghindari masalah etis maupun masalah praktis yang
mungkin timbul, misalnya penolakan, dan kekerasan khususnya terhadap wanita.
3. Penapisan (skrining) Penyakit pada Sistem Repoduksi
a. Pengertian
Menurut WHO, skrining adalah usaha untuk mengidentifikasi suatu
penyakit yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan pemeriksaan
tertentu atau prosedur lain yang dapat digunakan secara tepat untuk membedakan
orang-orang yang kelihatannya sehat tapi mempunyai sakit atau betul-betul sehat.
Jadi secara garis besar skrining tidak dimaksudkan untuk mendiagnosis
sehingga pada hasil test yang positif harus dilakukan pemeriksaan yang lebih
intensif untuk menentukan apakah yang bersangkutan memang sakit atau tidak
kemudian bagi yang diagnosisnya positif dilakukan pengobatan intensif agar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
tidak membahayakan bagi dirinya maupun lingkungannya, khususnya bagi
penyakit-penyakit menular.
b. Manfaat Skrining
1) Mendapatkan klien yang menderita penyakit sedini mungkin sehingga segera
mendapatkan pengobatan
2) Mencegah meluasnya penyakit di masyarakat
3) Membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sebelum sakit
4) Meningkatkan
kewaspadaan
tenaga
kesehatan
akan
kejadian
penyebaran/endemic
5) Memperoleh informasi epidemiologi yang berguna untuk penelitian
c. Sifat Skrining
1) Memerlukan deteksi dini penyakit yaitu mendeteksi tahap awal penyakit dan
melihat besarnya masalah kesehatan di masyarakat.
2) Bukan merupakan alat diagnostik
3) Positif test akan mengikuti test diagnostik atau prosedur untuk memastikan
penyakit.
d. Syarat Melaksanakan Skrining
1) Test cukup sensitif dan spesifik
2) Test dapat diterima oleh masyarakat, aman, tidak berbahaya, murah dan
sederhana
3) Penyakit atau masalah yang akan di skrining merupakan masalah yang cukup
serius, prevalensinya tinggi, merupakan masalah kesehatan masyarakat.
4) Kebijakan intervensi atau pengobatan yang akan dilakukan setelah
dilaksanakan skrining harus jelas.
e. Macam-macam Skrining
1) Mass Screening (penyaringan masal)
Skrining yang dilakukan pada seluruh populasi, misalnya X-Ray survey atau
blood pressure screening pada seluruh masyarakat yang berkunjung pada
pelayanan kesahatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
2) Selective Screening
Hanya dilakukan pada populasi tertentu dengan target populasi berdasarkan
rasio tertentu, misalnya pap smear screening pada wanita usia >35 tahun
untuk mendeteksi karsinoma serviks, mammography screening untuk wanita
yang mempunyai riwayat keluarga menderita karsinoma payudara.
3) Single Disease Screening
Haya dilakukan untuk satu penyakit misalnya skrining terhadap penderita
penyakit TBC, jadi lebih tertuju pada penyakitnya.
4) Multiphasic Screening
Untuk beberapa penyakit pada kunjungan tertentu, sangat sederhana, mudah,
murah dan diterima secara luas, misalnya pemeriksaan karsinoma pada serviks
dan payudara disertai pemerikaan tekanan darah, gula, kolesterol, dll.
5) Case Finding (pencarian kasus)
Merupakan salah satu penanggulangan keadaan wabah dimana untuk
menemukan sumber penularan atau mencari adanya kasus baru di masyarakat.
f. Tahapan skrining
1) Tahap menetapkan masalah.
Masalah kesehatan yang ingin diketahui dikumpulkan berbagai keterangan
yang ada hubungannya dengan masalah kesehatan tersebut, keteranganketerangan yang diperoleh harus diseleksi untuk kemudian disusun sehingga
menjadi jelas kriteria masalah kesehatan yang akan dicari.
2) Tahap menetapkan cara pengumpulan data yang akan dipergunakan untuk
masalah kesehatan.
3) Tahap menetapkan populasi yang akan dikumpulkan datanya.
Populasi yang dipilih adalah populasi yang mempunyai risiko untuk terkena
masalah kesehatan tersebut namun masih sehat. Tentukan sumber data,
kriteria responden, besar sampel dan cara pengambilan sampel.
4) Tahap melakukan penyaringan
Penyaringan dilakukan dengan memanfaatkan kriteria masalah kesehatan serta
cara pengumpulan data yang telah ditetapkan. Hasil dari langkah ini adalah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
ditemukannya kelompok populasi yang mengidap masalah kesehatan.
Kelompok populasi ini hars dipisahkan dari kelompok populasi yang tidak
mengidap masalah kesehatan tersebut.
5) Tahap mempertajam penyaringan
Pada kelompok populasi yang dicurigai mengidap masalah kesehatan yang
telah dicari, dilakukan penyaringan lagi dengan prosedur diagnostik, untuk
memperoleh kelompok populasi yang benar-benar mengidap masalah
kesehatan tersebut.
6) Tahap penyusunan laporan dan tindak lanjut
Setelah dapat dipastikan bahwa kelompok populasi hanya mengidap masalah
kesehatan yang dicari saja, dilakukan pengolahan data dan penyusunan
laporan. Kepada kelompok populasi yang terbukti mengidap masalah
kesehatan yang dicari, perlu ditindak lanjuti dengan pemberian pengobatan
untuk mengatasi masalah kesehatan yang dihadapinya (Romauli dan Vindari,
2012).
4. Waria
a. Sejarah Waria
lama dalam sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap
masyarakat. Di Indonesia kata Waria merupakan akronim dari
(Koeswinarno,
1998). Ada beberapa pengertian waria yang diperoleh dari berbagai sumber .
Secara fisiologis waria adalah pria. Namun pria (waria) ini
mengidentifikasikan dirinya menjadi seorang wanita. Baik dalam tingkah dan
lakunya, penampilan atau dandanannya ia mengenakan busana dan aksesori
seperti wanita. Secara psikis, waria merasakan adanya ketidakcocokan antara
jati diri yang dimiliki dengan alat kelaminnya. Dalam perilaku sehari-hari, ia
juga merasa dirinya sebagai seorang wanita yang memiliki sifat lemah lembut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
Waria adalah individu-individu yang ikut serta dalam sebuah komunitas khusus
yang para anggotanya memahami bahwa jenis kelamin sendiri itulah yang
merupakan objek seksual paling menggairahkan (Koeswinarno,1998 dalam
Hartanti 2012).
Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala waria
adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki memilih
menjadi waria dapat terkait dengan keadaaan biologisnya (hermafroditisme)
orientasi seksual (homoseksualitas) maupun akibat pengkondisian lingkungan
pergaulan (PPDGJ II, Depkes RI, 1983 dalam Hartanti, 2012).
Transeksualisme sendiri adalah termasuk gangguan identitas jenis yang
ditandai oleh perasaan tidak senang (discomfort) dan tidak sesuai terhadap alat
kelaminnya dan perilaku menetap yang mirip dengan perilaku lawan jenisnya.
Ketidaksesuaian antara alat kelamin dengan identitas jenis (PPDGJ II, Depkes
RI, 1983 dalam Hartanti, 2012).
Identitas jenis adalah perasaan seseorang tergolong dalam jenis kelamin
yang tertentu dengan perkataan lain kesadaran bahwa dirinya adalah laki-laki
atau perempuan. Identitas jenis merupakan suatu penghayatan pribadi dari peran
jenis (gender role) dan peran jenis adalah pernyataaan terhadap masyarakat dari
identitas jenisnya (PPDGJ II, Depkes RI, 1983 dalam Hartanti, 2012).
Sedangkan Fausiah (2003) dalam Hartanti (2012) menyebutkan identitas
gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri
seseorang berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan.
Menurut Kartono 1989 & Manshur 1981 dalam Koeswinarno 1998
transeksualitas adalah suatu gejala seseorang merasa seksualitas yang berlawanan
dengan struktur fisiknya. Transeksualisme adalah suatu gejala penyimpangan
tingkah laku seksual dimana seseorang merasa terperangkap oleh keadaan
anatomi tubuhnya sehingga orang tersebut ingin mengganti alat kelaminnya.
b. Kondisi Fisik dan Kejiwaan Waria
Waria pada dasarnya secara fisik adalah pria, kondisi fisik waria
menurut Hartanti (2012) adalah memiliki bentuk tubuh seperti pria (rahangnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
yang kuat,lengannya yang berotot,bentuk paha, dan lain-lain). Waria tidak
memancarkan Pheromone dari dalam tubuhnya seperti pada wanita. Waria biasa
memakai pakaian yang cenderung seperti wanita, biasanya berpakaian seksi
Waria tidak mungkin memiliki
organ tubuh wanita secara alami (seperti rahim dan payudara) karena hormon
testosteron dalam tubuhnya.
Kondisi kejiwaan waria digambarkan bahwa dalam diri mereka terdapat
jenis kelamin yang secara jasmani sempurna dan jelas tapi secara psikis
cenderung untuk menampilkan diri sebagai lawan jenis (Heuken, 1979 :148
dalam Hartanti, 2012). Pertentangan ini digambarkan jika dia menganggap
dirinya pria sebaliknya jika ia pria menganggap dirinya adalah wanita. Untuk
mewujudkannya maka ia akan melakukan visualisasi dari mulai menghilangkan
atribut fisik seperti mencukur kumis, cambang maupun tindakan operasi bentuk
tubuh seperti bibir, payudara dan puncaknya adalah melakukan operasi genital
(Koeswinarno, 1996 dalam Hartanti, 2012).
Di Indonesia secara umum kelompok Transgender Waria menempati
kelas masyarakat bawah. Pengesahan Deklarasi HAM terhadap kaum Waria ini
di Indonesia sudah dinyatakan melalui Deklarasi International Yogyakarta
Principles (March 2007) yang salah satunya menyatakan bahwa Orang MSM dan
transgender berhak atas perlindungan penuh hak asasi manusia. Dimana di
dalamnya termasuk hak atas standar tertinggi yang dapat dicapai dalam
mendapatkan layanan kesehatan, non diskriminasi dan privasi.
c. Transgender Waria
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin disebut juga
sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala
ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk
fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat
kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex
Reassignment Surgery).
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorde (DSM)
III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome.
Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa sub tipe meliputi transseksual,
a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual. Menurut Koeswinarno (1998)
Tanda-tanda transgender atau transseksual yang bisa dilacak melalui DSM antara
lain : Perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya.
Berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain.
Mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun
dan bukan hanya ketika dating stress. Selain itu terdapat pula adanya penampilan
fisik interseks atau genetik yang tidak normal serta dapat ditemukannya kelainan
mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of
Psychology (2006) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala
pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah
laku negativisme. Salah satu akibatnya trangender muncullah istilah waria yaitu
wanita pria. Orang yang secara genetik mempunyai potensi penyimpangan ini
dan apabila didukung oleh lingkungan keinginannya sangat besar untuk merubah
diri menjadi waria. Misalnya ada laki-laki yang tidak percaya diri atau tidak
nyaman bila tidak berdandan atau berpakain wanita. Selain itu, faktor lingkungan
juga sangat mempengaruhi yaitu faktor ekonomi misalnya. Awalnya hanya untuk
mendapatkan uang tapi lama-kelamaan jadi keterusan (Koeswinarno 1998).
Istilah Transgender (Green & Brinkin, 1994; Lombardi et,al 1998 dalam
Kenagy, 2002 dalam Hartanti, 2012) sudah digunakan sebagai istilah yang
memayungi dan untuk mendeskrpsikan orang yang tidak mengikuti Norma
Gender secara Tradisional yaitu orang-orang yang termasuk kelompok
Transgenderist, drag queens, cross-dressers, intersex dan tr
. Orang-
orang Transgender lazim menggunakan dua istilah untuk menjelaskan identitas
gender mereka yaitu : Male-to-Female (MTF) adalah istilah bagi seseorang yang
lahir sebagai Pria tapi mengidentifikasikan dirinya sebagai Wanita. Female-to-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
Male (FTM) adalah istilah bagi seseorang yang lahir sebagai Wanita namun
mengidentifikasikan dirinya sebagai Pria.
Di Indonesia istilah Transgender yang sering disebutkan di Indonesia
(MTF) walaupun jenis kelompok Pria Wanita ada namun lebih jarang di
eksplorasi.
5. Teori Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)
Dalam membuat kerangka pikir, peneliti menggunakan teori model
perubahan perilaku Health Belief Model (Becker dan Rosenstock, 1987). Model
Kepercayaan Kesehatan (HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950-an
oleh sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika
Serikat, dalam usaha untuk menjelaskan kegagalan secara luas partisipasi
masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. Kemudian, model
diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-gejala penyakit dan
bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa, terutama
berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis. Oleh karena itu, lebih dari tiga
dekade, model ini telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan
secara luas menggunakan pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan
antara perilaku dengan kesehatan.
Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada
berbagai program Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an. Apabila
individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada 4 variabel kunci
yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap
suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan
yang dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi
tindakan tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
a. Komponen-Komponen Health Belief Model (HBM)
1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived Susceptibility)
Hal ini mengacu pada persepsi subyektif seseorang menyangkut risiko dari
kondisi kesehatannya. Di dalam kasus penyakit secara medis, dimensi
tersebut meliputi penerimaan terhadap hasil diagnosa, perkiraan pribadi
terhadap
adanya
resusceptibilily
(timbul
kepekaan
kembali),
dan
susceptibilily (kepekaan) terhadap penyakit secara umum.
2) Keseriusan yang dirasa (Perceived Severity/Seriousness)
Perasaan mengenai keseriusan terhadap suatu penyakit, meliputi kegiatan
evaluasi terhadap konsekuensi klinis dan medis (sebagai contoh, kematian,
cacat, dan sakit) dan konsekuensi sosial yang mungkin terjadi (seperti efek
pada pekerjaan, kehidupan keluarga, dan hubungan sosial). Banyak ahli yang
menggabungkan kedua komponen diatas sebagai ancaman yang dirasakan
(perceived threat).
3) Manfaat yang dirasa (Perceived Benefits)
Penerimaan susceptibility sesorang terhadap suatu kondisi yang dipercaya
dapat menimbulkan keseriusan (perceived threat) adalah mendorong untuk
menghasilkan suatu kekuatan yang mendukung kearah perubahan perilaku.
Ini tergantung pada kepercayaan seseorang terhadap efektivitas dari berbagai
upaya yang tersedia dalam mengurangi ancaman penyakit, atau keuntungankeuntungan yang dirasakan (perceived benefit) dalam mengambil upayaupaya kesehatan tersebut. Ketika seorang memperlihatkan suatu kepercayaan
terhadap adanya kepekaan (susceptibility) dan keseriusan (seriousness),
sering tidak diharapkan untuk menerima apapun upaya kesehatan yang
direkomendasikan kecuali jika upaya tersebut dirasa manjur dan cocok.
4) Penghalang atau hambatan yang dirasa (Perceived Barriers)
Aspek-aspek negatif yang potensial dalam suatu upaya kesehatan (seperti:
ketidakpastian, efek samping), atau penghalang yang dirasakan (seperti:
khawatir tidak cocok, tidak senang, gugup), yang mungkin berperan sebagai
halangan untuk merekomendasikan suatu perilaku.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
5) Variabel-variabel lain
Perbedaan demografis, sosiopsikologi, dan variabel struktural mungkin
memberikan pengaruh dalam persepsi individu dan secara lansung
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Secara rinci,
faktor-faktor
sosiodemografi,
pencapaian
dalam
bidang pendidikan,
dipercaya mempunyai efak secara tidak langsung terhadap perilaku yang
akan mempengaruhi
persepsi kerentanan,
kekerasan, manfaat, dan
penghalang. Selain itu, faktor pendorong untuk bertindak (cues to action),
seperti: kampanye media massa, nasehat dokter, dan lain-lain, memberikan
pengaruh secara tidak langsung yang berkaitan dengan perilaku.
6) Kemampuan Diri (Self-Efficacy)
Faktor ini bukan merupakan salah satu komponen HBM, tetapi sangat
berkaitan dengan HBM. Faktor ini memberi pengaruh terhadap HBM dalam
rangka meningkatkan kekuatan dalam penjelasan. Self Efficacy didefinisikan
sebagai suatu estimasi kemampuan seseorang yang akan mendorong ke suatu
hasil tertentu (perilaku), adalah serupa dengan konsep HBM dalam manfaat
yang dirasakan.
INDIVIDUAL PERCEPTIONS
MODIFYING FACTORS
Demographic
LIKELIHOOD OF ACTION
Perceived benefits
or Perceived barrier
Socio-psychological
Perceived susceptibility/
Perceived severity
Perceived threat of
disease
Likelihood of
behavior
Cues to action
Gambar 2.1 : Teori Health Belief Model (Sumber: Becker and Rosenstock, 1987)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
B. Penelitian yang Relevan
Tabel 2.1 Penelitian yang relevan
Nama
No.
Peneliti/
Judul dan Desain
Hasil
Tahun/Jurnal
1.
Solomon et
Syphilis Predicts HIV
Keseluruhan kejadian sifilis adalah 7,3 kasus
al. 2014.
Incidence Among Men and
per 100 orang-tahun. Tidak ada perbedaan
Clinical
Transgender Women Who
dalam kejadian sifilis antara lengan studi (7,8
Infectious
Have Sex With Men in a
kasus per 100 orang-tahun untuk FTC / TDF
Diseases
Preexposure Prophylaxis Trial
vs 6,8 kasus per 100 orang-tahun untuk
Journal.
placebo, P = 0,304). Kejadian HIV yang
DOI:
10.1093/cid/
ciu450
disertai sifilis (2,8 kasus per 100 orang-tahun
Metode : The Preexposure
Profilaksis Initiative (iPrEx)
studi acak 2.499 pria HIVnegatif dan wanita transgender
yang berhubungan seks dengan
tanpa sifilis vs 8,0 kasus per 100 orang-tahun
dengan kejadian sifilis), mencerminkan tidak
ada hubungan antara pengacakan ke FTC /
TDF lengan dan insiden sifilis pada kejadian
HIV
laki-laki (LSL) untuk
menerima oral harian FTC /
TDF atau plasebo. prevalensi
sifilis di skrining dan kejadian
selama masa tindak lanjut
diukur.
2.
Zhao et al.
Predictors of Condom Use
Di antara peserta, 79,6% menerima pendidikan
2012. PLoS
Behaviors Based on the Health
sekolah menengah atau kurang, 60,5% belum
ONE
Belief Model (HBM) among
menikah, 69,3% telah bekerja sebagai WPS
Journal 7
Female Sex Workers: A Cross-
selama 2 tahun atau kurang, dan 66,0%
(11).
Sectional Study in Hubei
memiliki pasangan seksual yang stabil non-
e:49542.
ProVince, China
komersial. 74,9% peserta menggunakan
doi:10.1371/
Metode:
kondom secara konsisten dengan klien selama
journal.
Cross sectional study
vaginal sex pada bulan lalu dan 91,2% pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
saat terakhir. Hanya sebagian kecil dari peserta
(18,7%) menggunakan kondom setiap kali
dengan pasangan non-komersial. Selain itu,
39,9% melakukan aborsi, 5,5% mengaku
penyalahgunaan narkoba, dan 68,0% membeli
Kondom sendiri.
3.
Fibriana.
2013. Jurnal
Kesehatan
Masyarakat
(KEMAS) 8
(02) 161165.
ISSN 18581196
4.
5.
Keikutsertaan Pelanggan
Hasil penelitian menggunakan teori Health
Wanita Penjaja seks Dalam
Belief Model menunjukkan partisipasi
Voluntary Conseling And
pelanggan WPS di resosialisasi Argorejo
Testing (VCT)
dalam melakukan VCT masih rendah yaitu
Metode :
60,2% (56 orang).
Penelitian survei dengan
pendekatan cross sectional
Rahmayani
Hubungan Pengetahuan dan
Bahwa 65% waria penjaja seks memiliki
et al. 2013.
Sikap dengan Tindakan
tindakan yang baik, 70% memiliki
Jurnal
Pencegahan Penularan HIV-
pengetahuan yang tinggi, dan 52,5%
Kesehatan
AIDS pada Waria di Kota
menunjukkan sikap sedang terhadap
Andalas.
Padang Tahun 2013
pencegahan penularan HIV-AIDS. Hasil uji
Desain : analitik observasional
chi-square menunjukkan bahwa ke dua
dengan pendekatan cross
variabel independen berhubungan secara
sectional study
bermakna.
Simamora.
Alternatif Kebijakan Perilaku
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-
2014. Jurnal
Penggunaan Kondom
faktor: Pada level individual internal
Ilmiah
Untuk Pencegahan HIV pada
penggunaan kondom tidak konsisten, lemah
WIDYA,
Penjaja seks Waria di
dan sebagian besar tidak langsung. Pada level
Volume 2
Lokalisasi Gor Kota Bekasi
interpersonal umumnya mendukung pada
nomor 3.
Tahun 2014
perilaku penggunaan kondom dalam setiap
ISSN 2337-
Desain :
hubungan seksual. Pada level
6686, ISSN-
Kualitatif konfirmatori dengan
kebijakan publik masih lemah dan ditemukan
L 2338-3321
wawancara mendalam,
mendukung sekaligus menghambat perilaku
observasi dan telaah dokumen
penggunaan
kondom. Kebijakan yang ada saat ini masih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
relatif dan hanya mengenai sebagian aspek
penting dalam pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS. Diusulkan
alternatif kebijakan berupa TOR untuk
perbaikan program, kegiatan, anggaran
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di
Kota Bekasi.
6.
Hartanti.
Faktor-Faktor yang
Prevalensi Sifilis pada Transgender Waria di 5
2012. Tesis.
berhubungan dengan Infeksi
Kota sebesar 25,25%, Faktor yang
FKM UI
Sifilis pada populasi
berhubungan signifikan adalah Status HIV,
Transgender Waria di 5 Kota
kemudian Umur >31 tahun dan Penggunaan
Besar di Indonesia
Hormon Suntik Silikon, Tingkat pendidikan,
Lamanya melakukan hubungan seks komersial
Desain :
dengan imbalan, Penggunaan Kondom,
penelitian observasional
Konsumsi Napza Suntik, Konsumsi Alkohol
dengan rancangan cross
dan Akses ke Layanan IMS tidak
sectional
berhubungan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
7.
Rumana N.
Infeksi Menular Seksual pada
Hasil : Studi ini menunjukkan bahwa
A. 2013.
Gay di Tangerang, Jogjakarta
proporsi MSM terinfeksi PMS sebesar 32%.
Forum
dan Makassar Tahun 2009
Faktor-faktor yang terbukti signifikan
Ilmiah.
(Aspek Rekam Medis pada
terhadap kejadian IMS pada LSL adalah usia,
Volume 10
Analisis Data STBP)
usia pertama perilaku berisiko, sumber utama
Nomor 3
pendapatan, dan penggunaan kondom, jenis
Desain : studi deskriptif
pelumas, dan jumlah pasangan seksual.
dengan pendekatan cross
Aspek catatan medis yang diperlukan untuk
sectional
meninjau catatan medis di rumah sakit
sehingga riwayat pasien IMS bisa lebih baik
ditelusuri sehingga penularan kepada orang
lain dapat diatasi dan mencegah
kemungkinan menuju gerbang HIV/AIDS.
Berdasarkan penelitian ini menjadi
penambahan variabel jenis pelumas karena
terbukti secara signifikan terkait dengan
kejadian IMS pada LSL, tetapi tidak dalam
bentuk catatan medis.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah jenis dan rancangan
penelitian, fokus penelitian, fenomena yang diteliti, waktu dan tempat penelitian.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan konsep perilaku Health Belief Model menunjukkan empat
persepsi waria terhadap penggunaan pelayanan skrining IMS yang berfungsi sebagai
komponen utama Health Belief Model yaitu keseriusan dirasakan, kerentanan yang
dirasakan, manfaat yang dirasakan, dan hambatan yang dirasakan oleh waria. Masingmasing persepsi, secara individu atau dalam kombinasi, dapat digunakan untuk
menjelaskan perilaku kesehatan. Perilaku waria dalam kaitannya dengan teori Health
Belief Model telah diperluas dengan komponen lain yang mencakup pedoman tindakan
untuk melakukan perilaku sehat, dan efikasi diri sebagai kontrol dari faktor-faktor
perilaku sehat itu sendiri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Kerangka berpikir menurut teori Health Belief Model disajikan dalam bagan
berikut ini:
Umur, keadaan psikologis,
sosial ekonomi
Pengetahuan tentang IMS
Efikasi diri waria
Keyakinan tentang
penggunaan pelayanan IMS
dan kondom untuk
pencegahan IMS
Isyarat tindakan
Informasi IMS
Pengalaman orang lain yang
terkena IMS
Keseriusan dan kerentanan
yang dirasakan waria
Risiko IMS yang dirasakan
Kekhawatiran terkena IMS
Penggunaan pelayanan
skrining IMS
Hambatan yang dirasakan
waria:
Biaya
Psikologis
Tindakan yang disarankan
Besarnya manfaat yang
dirasakan dari skrining IMS
Waria sehat
Waria Sakit
Gambar 2.2 : Kerangka berpikir menurut teori Health Belief Model
D. Pertanyaan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti ingin mengetahui faktor-faktor dari sudut pandang
waria tentang penggunaan pelayanan skrining IMS di Kota Yogyakarta meliputi :
1. Bagaimana karakteristik dan isyarat bertindak waria terhadap penggunaan
pelayanan skrining IMS?
2. Bagaimana persepsi waria terhadap kerentanan mereka terhadap penyakit IMS?
3. Seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit IMS?
4. Bagaimanakah hambatan yang ditemui waria dalam menggunakan pelayanan
skrining IMS? seperti hambatan finansial, fisik dan psikososial.
5. Apa saja manfaat yang diperoleh waria dengan menggunakan pelayanan skrining
IMS?
6. Bagaimanakah efikasi diri/keyakinan waria tentang penggunaan pelayanan skrining
IMS sebagai pencegahan IMS?
commit to user
Download