10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Spiritual Leadership

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Spiritual Leadership
a. Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti tuntun,
didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Menurut
Rivai dan Deddy Mulyadi (2003: 2) kepemimpinan dipahami sebagai kekuatan
menggerakkan dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan sebagai alat, sarana
atau proses untuk membujuk orang lain agar bersedia melakukan sesuatu secara
sukarela. Clawson dalam Tjiharjadi (2007: 9) yang menyatakan dalam definisi
kepemimpinan terdapat tiga aspek: kemampuan memengaruhi orang lain,
keinginan memengaruhi orang lain, kemampuan memengaruhi berdasarkan cara
menanggapi yang disukai orang lain
Pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan mengikuti
perubahan jaman seiring dengan kemajuan teknologi. Pemimpin akan dapat
memberikan perubahan bagi orang lain dan lingkungan dengan berani untuk
memulai perubahan dari diri sendiri. Kartono (2005: 80) menjelaskan tipe
kepemimpinan yaitu: Tipe karismatik,Tipe paternalis dan maternalistis, Tipe
militeristis, Tipe otokratis atau otoritatif, Tipe laisser faire, Tipe populistis,
Tipe administratif, Tipe demokratif dan Tipe spiritual leadership.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin
berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan
komunikasi, sehingga orang lain mendapat sesuatu dalam mencapai tujuan
tertentu. Kepemimpinan bersifat dinamis dan situasional, mengutamakan visi
serta melibatkan orang lain untuk memberikan tanggapan atas keinginan untuk
mengikuti. Terdapat banyak tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh
pemimpin, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tipe spiritual
10
11
leadership. Setiap pemimpin memiliki ciri khas masing-masing dalam
memimpin bawahannya sesuai dengan sifat dasar yang dimiliki individu,
sehingga tipe kepemimpinan tidak dapat dipaksakan terhadap orang lain dalam
memimpin suatu organisasi.
b. Spiritualitas
Spiritual lebih memiliki ikatan kepada hal yang bersifat kerohanian
atau kejiwaan dibandingkan yang bersifat fisik atau material. Terkait dengan
hakikat spiritualitas, Dehaghi, Goodarzi dan Arazi (2012: 160) berpendapat:
“spirituality has two components: vertical and horizontal. The vertical
component in spirituality is a desire to transcend the individual ego or
self-esteem. The name you put on the vertical component might be
God, spirit, universe, higher power or something else and the
horizontal component in spirituality is a desire to be servise to other
humans and the planet. In the horizontal we seek to make a difference
through our actions. This dimension is manifested externally.”
Secara ringkas Dehagi, Goodarzi dan Arazi menjelaskan bahwa
spiritualitas memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal. Komponen
vertikal dalam spiritualitas adalah keinginan melampaui diri sendiri, ego dan
harga diri yang kemudian merujuk pada keyakinan akan Tuhan sebagai
pemegang kedudukan tertinggi di alam semesta. Sedangkan komponen
horizontal adalah keinginan untuk berinteraksi, mengeksplor diri dengan
manusia lain dan alam melalui segala pikiran dan tindakan.
Spiritualitas berbeda dengan religiusitas. Religiusitas menurut Ancok
dan Suroso (2001: 26) adalah sebuah ekspresi spiritual seseorang yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual.
Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu dalam hati,
getaran hati nurani dan sikap personal. Mangunwijaya (1996: 57) menerangkan
bahwa religiusitas merupakan bentuk penerimaan ajaran agama yang
bersangkutan tanpa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi tertentu.
12
Spiritualitas dan religiusitas tidak dapat dijadikan satu kesatuan
makna. Individu yang memiliki spiritualitas dapat dipastikan memiliki
religiusitas namun individu yang memiliki religiusitas belum tentu memiliki
spiritualitas dalam dirinya. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Wirawan
(2010: 217) mengenai perbedaan spiritualitas dan religiusitas adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1: Perbedaan Spiritualitas dan Religiusitas
Spiritualitas
Tidak terkait dengan kepercayaan akan
adanya Tuhan
Spiritualitas tidak harus memeluk agama
tertentu
Perilaku spiritual seperti meditasi, ritual, rasa
cinta, kebahagiaan dan adat
Spiritualitas berdasarkan rasio yang dapat
diterima akal sehat
Religiusitas
Terkait dengan kepercayaan akan adanya
Tuhan
Semua agama menghasilkan spiritualitas yang
berdasarkan agama
Perilaku religiusitas seperti sembahyang,
puasa dan derma
Religiusitas dapat rasional maupun irasional
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas
merupakan bentuk hubungan manusia dengan pencipta-Nya yang diwujudkan
melalui ajaran agama yang tertanam dalam diri seseorang dan tercermin dalam
perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas merupakan suatu cara yang
berhubungan dengan emosi atau perilaku tertentu dari individu. Seseorang yang
memiliki spiritualitas akan menujukkan sikap terbuka, memberi dan penuh
kasih kepada orang lain. Spiritualitas adalah pencarian makna serta pencapaian
tujuan yang berdampak pada individu lain dan lingkungan. Religiusitas lebih
menekankan kepada ajaran untuk mencari ilmu agama sesuai dengan keyakinan
masing-masing individu dalam kehidupan sehari-hari.
c. Spiritual Leadership
1) Pengertian Spiritual Leadership
Teori spiritual leadership muncul beberapa tahun terakhir.
Beberapa
peneliti
berusaha
untuk
menggali
karakteristik
spiritual
leadership. Reave (2005) menyebutkan bahwa tingkah laku spiritual
13
leadership termasuk menghormati orang lain, kesetaraan, kepedulian,
identifikasi dengan kontribusi, reaksi untuk umpan balik dan refleksi diri.
Hal tersebut dapat terjadi karena adanya faktor pemimpin yang melayani.
Melayani memiliki makna semangat batin untuk membantu orang lain,
menjaga kepercayaan serta mampu menjadi pendengar yang baik.
Kepemimpinan akan berjalan efektif, disegani dan memiliki derajat
yang tinggi bila seorang pemimpin memiliki 3 kelebihan yakni kelebihan
dalam bidang intelektual atau rasio, jasmani atau fisik dan rohani atau
spiritual.
Peningkatan
spiritual
mendorong
tumbuhnya
kompetensi
keterampilan teknis, kreativitas, motivasi internal, kejujuran, komitmen dan
integritas dalam pekerjaan (Manullang dan Malfayeti, 2004: 93). Spiritual
melibatkan kemampuan menghidupkan keberanian di dalam diri sehingga
ada memampuan untuk mewujudkan yang terbaik dan tindakan yang
manusiawi. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan panggilan hidup akan
muncul dalam diri ketika spiritualitas jiwanya tumbuh dan berkembang.
Spiritual sangat erat kaitannya dengan mempertahankan prinsip
yang disertai dengn pelaksanana tanggungjawab melaksanakan prinsipprinsip, nilai takwa atau tanggung jawab merupakan ciri seorang yang
profesional. Rivai (2004: 141) mengemukakan bahwa seorang pemimpin
dengan spiritual yang menonjol akan dengan mudah membedakan sebuah
ide dari fakta, perasaan atau keyakinan. Pemimpin yang memiliki sikap
spiritual menunjukkan sikap melayani, melayani dalam konteks ini adalah
memberikan semangat kepada orang lain, mempercayai anggota dan dapat
menjadi pendengar yang baik.
Fry (2003) mendefinisikan Spiritual Leadership sebagai berikut:
“Spiritual leadership as comprising the values, attitudes and
behaviors that are necessary to intrinsically motivate one’s self and
others so that they have a sense of spiritual survival trought calling
and membership. This entails 1) creating a vision where in
organizational members experience a sense of calling in that their
14
life has meaning and make difference, 2) establishing a sosial/a
organizational culture based on altruistic love where by leaders
and followers have genuine care, concern and appreciation for both
self other, there by producing a sense of membership and feel
understood and appreciated.”
Menurut Fry, Spiritual Leadership meliputi nilai-nilai, sikap dan
perilaku yang dipelukan secara intrinsik memotivasi diri sendiri dan orang
lain sehingga mereka mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual
melalui panggilan hidup (calling) dan keanggotaan sistem sosial. spiritual
leadership memerlukan: (1) penciptaan visi dimana para anggota organisasi
mengalami
panggilan
hidup
dalam
hal
kehidupan
mereka
(2)
mengembangkan suatu budaya sosial berdasarkan pada cinta altruistik
dimana pemimpin dan pengikut mempunyai perawatan, perhatian dan
apresiasi asli untuk diri sendiri dan orang lain, memproduksi rasa
keanggotaan dan merasa dipahami dan dihargai.
Seorang pemimpin bertanggungjawab menyusun visi, misi, strategi
dan penerapannya dalam organisasi. Pemimpin dalam menyusun visi juga
bertanggungjawab menciptakan kesesuaian nilai antar semua level dalam
organisasi termasuk juga membina hubungan baik dengan semua pemangku
kepentingan (stakeholders). Anggota organisasi membutuhkan seorang
pemimpin yang dapat dipercaya dan mempercayai anggotanya. Pemimpin
dengan spiritual leadership akan bertanggungjawab dalam mempengaruhi
oranglain untuk mencapai tujuan bersama.
2) Konsep Model Spiritual Leadership
Proses kepemimpinan yang berasaskan nilai akan memberikan
energi dan motivasi tinggi, komitmen, rasa percaya diri kepada tim. Fry
dalam Wirawan (2010: 230) mengemukakan model proses kepemimpinan
spiritual dengan Gambar 2.1:
15
Para pemimpin strategik
Visi/misi
Panggilan
Membuat arti
Kehidupan berbeda
Harapan/kepercayaan
(upaya/kerja)
Cinta
altruistik
Tim berdaya
Anggota tim
Komitmen
organisasi
& produktivitas
Keanggotaan
Memahami &
mengapresiasi
Gambar 2.1: Model Spiritual Leadership sebagai Motivasi Intrinsik
Sumber: Wirawan (2010: 230)
Para pemimpin strategik melalui pilihan mengenai visi, misi,
strategi dan implementasinya bertanggungjawab untuk menciptakan visi dan
nilai-nilai yang sama di semua level organisasi dan mengembangkan
hubungan yang efektif antara organisasi dan lingkungan para pemangku
kepentingan. Definisi tersebut memerlukan:
a) Visi
Maxwell (2001: 209) mengatakan bahwa Visi adalah segalanya
bagi seorang pemimpin, karena visilah yang memimpin para pemimpin,
melukiskan sasaran, memicu serta membakar semangat, dan mendorong
untuk maju. Seorang pemimpin yang tidak memiliki visi takkan kemanamana, hanya akan berlari ditempat. Visi membuat orang lain mengikuti
sang pemimpin.
Visi dimulai dari dalam diri seorang pemimpin. Visi timbul dari
pengalaman masa lalu seorang pemimpin atau sejarah orang-orang di
sekelilingnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa visi
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang pemimpin
16
tanpa visi, pemimpin tidak akan mengetahui apa yang harus
dikerjakannya karena tidak memiliki tujuan.
Dharmayanto (2006: 71) mengatakan bahwa seorang pemimpin
perlu memiliki arah yang jelas. Arah yang jelas inilah yang disebut visi.
Visi adalah impian yang ingin diraih oleh setiap organisasi atau
pemimpin. Visi yang diciptakan harus secara jelas menggambarkan suatu
perjalanan yang bila dilaksanakan dapat memberikan rasa terpanggil
dalam pekerjaan, individu menemukan makna hidup, dan membuat
sesuatu yang berbeda. Visi yang diciptakan haruss secara jelas
menggambarkan suatu perjalanan yang dapat memberikan rasa terpanggil
dalam pekerjaan, menemukan makna hidup dan mengalami perubahan
dalam hidup.
b) Cinta Altruistik
Cinta altruistik di dalam spiritual leadership didefinisikan
sebagai suatu rasa keseluruhan harmoni dan kesejahteraan yang
diproduksi melalui kepedulian, perhatian dan apresiasi untuk diri sendiri
dan orang lain. Cinta altruistik dan nilai-nilai mengenai hal tersebut
dimanifestasikan melalui kepedulian tanpa kondisi, tak mementingkan
diri sendiri, loyal dan baik hati, memperhatikan dan apresiasi untuk diri
sendiri dan orang lain.
Sebagai pemimpin, kepentingan orang lain menjadi prioritas
pertama dan utama. Pemimpin adalah pelayan bagi anggotanya, wajib
memberikan pelayanan yang terbaik. Pelayanan yang diberikan akan
menunjukkan
kecintaan
pemimpin
terhadap
anggota-anggotanya,
menjadikan anggota merasa nyaman bekerjasama dalam organisasi.
c) Hope/Fight
Harapan (hope) merupakan suatu hasrat dengan keinginan
pemenuhan. Kepercayaan
(fight)
menambah
kemungkinan
untuk
mengharapkan dan merupakan suatu kepercayaan mengenai sesuatu
17
dimana tak ada bukti. Kepercayaan berdasarkan nilai-nilai, sikap dan
perilaku yang menunjukkan kepastian absolut dan kepercayaan apa yang
diinginkan dan diharapkan akan datang.
Menurut Tayib, dkk (2013) kepercayaan lebih dari sekedar
harapan atas sesuatu yang diinginkan, ini merupakan sanksi yang tidak
dapat dibuktikan oleh bukti fisik. Hope merupakan keinginan atas sebuah
pengharapan yang dipenuhi. Orang yang memiliki kepercayaan atau
harapan memiliki tujuan kemana mereka akan pergi, dan bagaimana cara
mencapainya. Mereka dapat menghadapi perlawanan, pertahanan dan
penderitaan dalam mencapai tujuan. Hope/Fight merupakan dasar dari
pendirian visi dan misi organisasi yang akan dipenuhi.
Spiritual leadership bukanlah tentang kecerdasan dan keterampilan
dalam memimpin saja, namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran,
kejujuran, integritas, kebijaksanaan dan belas kasih yang membentuk moral
diri sendiri dan orang lain. Seorang pemimpin dituntut untuk mengelola
organisasi, mempengaruhi orang lain dan menunjukkan perilaku benar yang
harus dikerjakan bersama serta mempengaruhi semangat kerja kelompok.
Spiritualitas membantu pemimpin membangun karakter dalam diri sehingga
berpengaruh pada pola kepemimpinan yang dijalankan.
2. Motivation Training
a. Motivasi
Menurut Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata motif
itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi
aktif. Motif menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk
mencapai tujuan dirasakan atau mendesak.
18
Bahri (2002: 114) menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu
perubahan energi didalam pribadi sesorang yang ditandai dengan timbulnya
afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencaapai tujuan. Dalam proses belajar,
motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi
dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi
adalah suatu dorongan yang diberikan oleh orang lain untuk mencapai
tujuannya. Motivasi yang ada dalam diri manusia yaitu suatu kemampuan atau
faktor yang terdapat dalam diri manusia untuk menimbulkan, mengarahkan dan
mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi dapat dikatakan sebagai suatu
tindakan atau kondisi. Melalui motivasi dapat memberikan inspirasi agar
seseorang mau melakukan kegiatan.
b. Training
Training adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang
mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, peserta mempelajari
pengetahuan
dan
ketrampilan
dalam
tujuan
terbatas
(Sikula
dalam
Mangkunegara, 2003: 41). Senada dengan pendapat tersebut, menurut
Notoadmodjo (2009: 52) pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang
menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan
ketrampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat
dan metodenya mengutamakan praktek daripada teori.
Wexley dan Yulk dalam Mangkunegara (2009: 43) mengemukakan:
“training and development are term is referring to planned efforts
designed facilitate the acquisition of relevant skills, knowledge ans
attitudes by organizations members. Development focuses more on
improving the decision making and human relations skill and the
presentation of a more factual and narrow subject matter.”
Wexley dan Yulk menjelaskan bahwa pelatihan dan pengembangan
adalah sesuatu yang mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan usaha-
19
usaha berencana yang dilaksanakan untuk mencapai penguasaan keterampilan,
pengetahuan, dan sikap karyawan atau anggota organisasi. Pengembangan lebih
difokuskan pada peningkatan keterampilan dalam mengambil keputusan dan
hubungan manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Silberman & Auerbach
(2013: 14) yaitu pelatihan aktif bertumpu pada asumsi melatih sekelompok
peserta di situasi dalam lingkup sebuah ruang kelas. Pendekatan aktif menuju
pelatihan tak terbatas pada mode penyampaian melainkan bisa dipadukan
dengan mode lainnya.
Berdasarkan pengertian training menurut pendapat ahli di atas dapat
disimpulkan training adalah suatu proses pendidikan jangka pendek diluar
sistem pendidikan menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir yang
bertujuan untuk meningkatkan keterampilan. Training dilaksanakan diluar
sistem
pendidikan
dengan
alokasi
waktu
yang
singkat
serta
lebih
memprioritaskan praktek daripada mempelajari teorinya. Pemberian training
dapat dipadukan dengan mode lain dalam pencapaian tujuannya. Training
sebagai suatu proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan dengan
tujuan mengubah pola perilaku.
c. Motivation Training
Motivation
Training
adalah
sebuah
Training
yang bertujuan
memberikan semangat baru didalam setiap diri pesertanya hingga mampu
setidaknya mendorong mereka mencapai tujuan hidup mereka masing-masing.
Motivation Training kini semakin dibutuhkan mengingat semakin tingginya
persaingan. Motivation Training akan sangat bermanfaat karena dapat
memberikan dorongan, stimulus dan semangat kepada setiap orang untuk dapat
melakukan sesuatu secara lebih baik agar tercapai tujuan yang diinginkan.
Setiap orang membutuhkan motivasi agar dapat meraih prestasi yang
terbaik. Anggota dan pimpinan sebuah organisasi pasti juga membutuhkan
motivasi agar dapat mencapai target yang diinginkan. Motivation Training juga
20
memberikan semangat untuk dapat selalu berpikir positif, memahami dan
mengaktifkan potensi diri, meningkatkan keyakinan, motivasi dan percaya diri,
mencetak pribadi yang rendah hati, dan menghargai perbedaan, menjadi pribadi
yang tulus, dalam melayani, memahami prinsip, sukses untuk meraih cita-cita,
karier dan kehidupan pribadi.
1) Tujuan Motivation Training
Simamora (2004: 179) mengemukakan tujuan utama Training
secara luas dikelompokkan dalam empat bidang yaitu: (1) Mengurangi
waktu belajar bagi karyawan baru untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan,
(2) Membantu memecahkan permasalahan operasional, (3) Mempersiapkan
karyawan untuk promosi, (4) Mengorientasikan karyawan terhadap
organisasi
Moekijat (2010: 84) mengatakan bahwa tujuan umum Training
adalah: (1) Mengembangkan keahlian, sehingga tugas dapat diselesaikan
dengan lebih efekif dan cepat, (2) Mengembangkan pengetahuan, sehingga
tugas dapat diselesaikan secara rasional, (3) Mengembangkan sikap,
sehingga dapat menimbulkan kemauan bekerjasama.
Pendapat diatas dapat disimpulkan tujuan Motivation Training
adalah
memudahkan
karyawan
dalam
mengembangkan
keahlian,
pengetahuan dan sikap dalam memecahkan permasalahan operasional.
Pelatihan berfungsi untuk mengorientasi keahlian dalam bidang tertentu
secara singkat untuk memudahkan karyawan dalam mengembangkan
keterampilan kerjanya.
Hubungan Motivation Training dalam bidang Bimbingan dan
Konseling adalah untuk penguasaan nilai, pengetahuan, keterampilan dan
perubahan sikap pada diri Guru BK. Nilai mengacu kepada penanaman budi
pekerti kepada Guru BK dalam membimbing peserta didik di sekolah.
Pengetahuan merujuk kepada berkembangnya ilmu dan wawasan dalam
21
bidang Bimbingan dan Konseling. Keterampilan yang perlu dimiliki Guru
BK adalah keterampilan dalam memimpin diri sendiri maupun klien dalam
pelaksanaan proses Bimbingan dan Konseling. Sedangkankan perubahan
sikap yang diharapkan adalah untuk menjadikan Guru BK profesional dalam
melaksanakan tugas tanggungjawabnya serta menunjukkan sikap positif
dalam setiap suasana.
Penguasaan keempat aspek tersebut berdasarkan pengembangan
teori-teori psikologis yang berhubungan dengan ranah Bimbingan dan
Konseling yaitu teori humanistik, behavioral dan kognitif. Tujuan teori-teori
tersebut adalah untuk mengubah perilaku seseorang. Pelatihan adalah proses
belajar sehingga diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi
pesertanya.
Teori belajar kognitif mengacu pada kegiatan kognitif dalam
belajar. Para ahli berupaya untuk menganalisis secara ilmiah proses mental
dan struktur ingatan dalam aktifitas belajar. Piaget dalam Syah (2003: 37)
berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu
terus-menerus melakukan interaksi dengan lingkungan. Lingkungan tersebut
mengalami perubahan, dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka
fungsi intelek semakin berkembang. Aplikasi dalam tahapan training ini
adalah keterlibatan peserta dalam proses pelatihan. Peserta yang aktif dalam
mengikuti pelatihan akan terangsang pemikirannya untuk berkembang
sehingga dapat memahami tujuan dari pelatihan yang diberikan.
Psikologi behavioral merupakan ilmu psikologi yang mempelajari
tentang tingkah laku seseorang. Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner.
Menurut Skinner dalam Syah (2003: 64) tingkah laku bukanlah sekedar
respon terhadap stimulus tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant.
Tingkah laku terletak diantara dua pengaruh yaitu pengaruh yang
mendahuluinya
(antecedent)
dan
pengaruh
yang
mengikutinya
(konsekuensi). Dengan demikian tingkah laku dapat diubah dengan cara
22
mengubah atecendent, konsekuensi atau keduanya. Skinner menjelaskan
konsekuensi sangat menentukan seseorang untuk mengulangi suatu perilaku
pada saat lain diwaktu yang akan datang. Hubungan dengan pelatihan adalah
pelatihan membentuk perilaku peserta untuk terbiasa dengan konsekuensi
yang dalam hal ini adalah hasil pelatihan sehingga peserta akan melakukan
yang telah dipelajari dalam training. Diharapkan peserta dapat mengulangi
yang telah dipeoleh ketika pelatihan.
Psikologi humanistik memberikan sumbangan bagi pendidikan
dengan sebutan pendidikan humanistik. Pendidikan humanistik berusaha
untuk mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran
nyata. Fokus model pendidikan humanistik adalah mengembangkan aspek
emosional, sosial, mental dan keterampilan dalam berkarir. Rogers dalam
Suryabrata (2012: 261)
mengungkapkan bahwa dunia pengalaman
individual hanya dapat dikenal oleh individu yang bersangkutan sendiri,
namun belum tentu individu yang bersangkutan dapat mengembangkan
pengalaman diri walaupun secara potensial telah dimiliki. Individu beraksi
terhadap hal yang merangsang dan mendorongnya seperti apa yang
dialaminya.
Apapun yang dipikirkan sebagai benar baik itu betul-betul
benar atau tidak adalah kenyataan, dan kenyataan subyektif inilah yang
menentukan tingkah lakunya. Pelatihan membantu peserta untuk membuka
pikirannya dalam menyikapi hal-hal tertentu yang diharapkan dapat menjadi
mindset bagi peserta pelatihan. Materi-materi yang diberikan selama
pelatihan akan mengakar dalam pemikiran peserta dan menghasilkan
perubahan perilaku peserta pelatihan.
Aspek-aspek tersebut menunjukkan bahwa teori psikologi kognitif,
behavioral dan humanistik saling berhubungan dan melengkapi satu sama
lain. Teori tersebut dapat sesuai dengan tujuan pelatihan yang akan
diselenggarakan yaitu menciptakan pengetahuan, nilai, keterampilan dan
perubahan sikap dari peserta pelatihan ke arah yang lebih positif.
23
2) Metode Motivation training
Menurut Mardianto (2009: 128) pelatihan dapat dilakukan dengan
beberapa cara:
a) External development activities
Maksudnya adalah aktifitas diluar ruangan. Tujuannya
memberikan
gambaran secara riil yang telah disampaikan di dalam kelas.
b) In class training
Metode pengembangan di dalam kelas. Keunggulannya adalah program
pengembangan
lebih
terstruktur,
biasanya
menggunakan
sebuah
kurikulum seperti pengajaran di sekolah.
c) Seminar
Seminar pada umumnya merupakan sebuah bentuk pengajaran akademis.
Seminar biasanya fokus pada suatu topik khusus dan peserta seminar
dapat berpartisipasi secara aktif.
d) Workshop
Banyak topik yang disajikan dalam workshop-workshop pengembangan
dengan materi meliputi soft-skill maupun hard-skill.
e) Benchmark
Benchmark merupakan suatu teknik pengentasan terbatas dengan cara
membandingkan kemampuan berbagai kerja dari beberapa peralatan
dengan tujuan meningkatkan kualitas pada produk baru.
Penggunaan metode pembelajaran pelatihan disesuaikan dengan
tujuan pelatihan, keadaan peserta, alat bantu pelatihan yang tersedia, kondisi
tempat pelaksanaan pelatihan dan waktu pelatihan. Dalam penelitian ini akan
digunakan metode in class training. Metode tersebut bertujuan untuk
menumbuhkan ketertarikan dan semangat dari peserta pelatihan sehingga
materi spiritual leadership dapat bermanfaat bagi seluruh peserta pelatihan.
Harapan setelah pelaksanaan Motivation Training dengan metode in class
training peserta dapat lebih memahami potensi diri dan mampu
24
mengembangkan sikap spiritual leadership yang akan berguna untuk
menunjang profesionalitas pekerjaannya sebagai calon Guru BK.
3) Tahapan Motivation Training
Menurut Hamalik (2001: 38) penyusunan suatu program pelatihan
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
a) Menetapkan klasifikasi pekerjaan, kemudian menyusun suatu deskripsi
pekerjaan lengkap dengan tugas secara rinci.
b) Identifikasi kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut, yang terdiri dari perangkat keterampilan dan pengetahuan
tertentu.
c) Penyiapan program pelatihan secara jelas, rinci dan siistematik
d) Menetapkan metode dan tempat penyelenggaraan pelatihan dan materi
pelatihan
e) Review program pelatihan dengan mengikutsertakan pengawasan dan
menejemen puncak
f) Mempersiapkan para pelatih (instruktur)
g) Menyiapkan peserta pelatihan melalui prosedur seleksi tertentu
h) Mengembangakan prosedur penilaian (evaluasi) dan tindak lanjut
Tahap awal yang penting dalam penyelenggaraan pelatihan adalah
penilaian kebutuhan pelatihan. Tahap ini berguna sebgai sumber dasar bagi
keseluruhan upaya pelatihan. Hasil dari penilaian kebituhan akan digunakan
untuk mengembangkan aktivitas pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi
pelatihan. Pelaksanaan pelatihan dirancang dan disajikan berupa aktivitas
dan berbagi pengalaman belajar untuk memenuhi sasaran dari hasil penilaian
kebutuhan pelatihan.
25
4) Evaluasi Training
Evaluasi Training diberikan dengan tujuan untuk mengevaluasi
kualitas training yang diikuti. Evaluasi menjadi bahan penilaian keefektifan
metode yang telah diberikan sebagai program pengembangan sumber daya
manusia dalam organisasi. Evaluasi training yang terkenal adalah teori yang
dikemukakan oleh Kirkpatrick. Menurut Kirkpatrick (1998: 19) ada empat
tingkatan untuk evaluasi training yaitu:
a) Level 1: Reaksi (Reaction Evaluation)
Evaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan ditujukan untuk
mengukur kepuasan peserta
terhadap penyelenggaraan pelatihan.
Pelatihan dianggap berkualitas apabila pelatihan dapat memuaskan dan
memenuhi harapan peserta sehingga mereka mempunyai motivasi dan
merasa nyaman untuk belajar.
Evaluasi level ini berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar
pelaksanaan pelatihan seperti:
(1)Apakah pelatihan dapat memenuhi harapan peserta?
(2)Bagaimana pendapat peserta mengenai pelaksanaan pelatihan?
(3)Bagaimana penilaian peserta terhadap instruktur pelatihan?
(4)Adalah kelemahan atau keterbatasan pelatihan yang mengurangi
efektivitas pembelajaran?
b) Level 2: Hasil Belajar
Konsep belajar menurut Kirkpatrick dapat didefinisikan sebagai
peningkatan pengetahuan, kenaikan keterampilan dan perubahan sikap
peserta setelah selesai mengikuti pelatihan. Peserta dikatakan telah belajar
apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan
pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Mengevaluasi hasil
belajar
lebih
sulit
mengevaluasi reaksi.
dan
memakan
waktu
dibandingkan
dengan
26
Jika kemampuan peserta setelah mengikuti pelatihan meningkat
secara signifikan, artinya program secara aktual menyebabkan terjadinya
perbedaan kemampuan dan dikatakan proses pembelajaran yang
dilakukan dapat mencapai tujuan pembelajaran.
c) Level 3: Tingkah Laku
Subjek dan sasaran evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi
pada level 2. Penilaian sikap difokuskan pada perubahan sikap yang
terjadi setelah peserta kembali ke tempat kerja. Pada level ini dapat juga
dinilai bagaimana peserta dapat mentranfer pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperoleh selama training untuk diimplementasikan di
tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah
kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai
evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training.
d) Level 4: Hasil Akhir (final result)
Evaluasi hasil dalam level 4 ini difokuskan pada hasil akhir
(final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program.
Evaluasi hasil akhir ini dilakukan dengan membandingka kelompok
kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan
sesudah mengikuti pelatihan.
Dalam penelitian ini tidak semua tahapan evaluasi dibahas, hanya
tahap pertama dan kedua yang akan dilaksanakan. Tahap pertama
merupakan evaluasi mengenai reaksi peserta Motivation Training, tujuannya
untuk mengevaluasi keefektifan metode yang digunakan. Jika peserta
merespon dengan baik, terdapat perubahan pada peserta maka metode
tersebut dapat dilanjutkkan namun jika peserta merasa bosan dengan training
maka perlu ada perubahan metode yang diberikan kepada peserta.
27
Tahap selanjutnya adalah tahap pembelajaran, tujuannya agar
peserta dapat memperoleh manfaat sesuai dengan tema training yang
diberikan. Dengan belajar, peserta training akan mengalami perubahan
dalam dirinya, mampu meningkatkan kinerjanya dan menjadi lebih baik
dalam bekerja sama dengan anggota yang lain. Setelah dilaksanakan
pelatihan dilakukan pengukuran hasil dengan membandingkan penilaian
sebelum dan sesuadah diberikan pelatihan.
3. Peran Spiritual Leadership bagi Guru BK
Peran Guru BK sangat sentral dalam pembentukan karakter peserta didik.
Guru BK sebagai agen perubahan dituntut untuk dapat memahami perkembangan
dari waktu ke waktu. Menyadari hal tersebut diharapkan Guru BK mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan, dan selanjutnya menjadi agen perubahan
bagi yang lain. Seorang Guru BK harus terbiasa untuk mengidentifikasi tantangan
masa depan di segala bidang, sehingga mampu membantu orang lain dalam
menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang ada.
Kepemimpinan adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh
Guru BK. Menurut McMahon (2009) diharapkan Guru BK memiliki keterampilan
untuk mempimpin. Guru BK berfungsi sebagai pemimpin dalam lingkungan
pendidikan dalam rangka untuk mempromosikan perubahan sistematik yang akan
menghapus hambatan kesuksesan. Gagasan Guru BK sebagai pemimpin adalah
keselarasan filosofis dan perilaku dalam ekosistem profesional Guru BK. Artinya,
kepemimpinan menjadi aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang Guru BK
untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban secara profesional. Guru BK yang
memiliki
kepemimpinan
akan
mampu
membantu
peserta
didik
dalam
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sebagai agen perubahan Guru BK
diharapkan mampu memberikan kontribusi yang maksimal dalam melayani klien.
Sikap kepemimpinan ditanamkan sejak awal seorang Guru BK
menempuh pendidikan profesi, yaitu ketika dalam proses belajar di bangku kuliah.
28
Hal tersebut berfungsi untuk membentuk karakter Guru BK yang profesional
sesuai dengan kode etik Guru BK. Mason (2009) mengemukakan bahwa program
Guru BK telah menyertakan kepemimpinan sebagai bagian dari kurikulum,
pendidikan mengenai kepemimpinan diberlakukan baik secara lokal maupun
nasional. Namun pada prakteknya kepemimpinan belum dilaksanakan dalam
pekerjaan sehari-hari ketika menjadi Guru BK. Hal ini menunjukkan bahwa
pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari seorang Guru BK
terutama spiritual leadership. Pengetahuan tentang spiritual leadership tidak
hanya dipelajari ketika dalam bangku kuliah saja tetepi harus dipraktekkan Guru
BK dalam menjalankan tugas di sekolah menghadapi peserta didik yang beraneka
ragam permasalahannya. Spiritual leadership harus ditanamkan sejak dini kepada
calon Guru BK agar tebentuk kebiasaan yang baik dalam melayani peserta didik.
Guru BK perlu mengembangkan visi, cinta altruis dan harapan dalam diri untuk
dapat menumbuhkan spiritual leadership dalam dirinya.
4. Hubungan Motivation Training dengan Peningkatan Spiritual Leadership
Pengelolaan sebuah organisasi dan menejemen dalam pekerjaan
dilakukan tidak hanya dengan keharusan untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dari sumber daya yang dimiliki guna mencapai tujuan organisasi.
Diharapkan juga terpenuhinya kebutuhan pemimpin yang mampu menjaga
kesinambungan pelaksanakan kegiatan serta mempertahankan keadaan organisasi
yang dipimpin. Peranan seorang leader sangat berpengaruh dalam perkembangan
organisasi dan anak buahnya. Pemimpin akan mencerminkan sifat yang ada dalam
organisasi tersebut, apabila pemimpin dapat menjalankan tugas dengan baik hasil
yang dicapai akan maksimal dan sesuai dengan tujuan. Namun bila pemimpin
tidak dapat membawa perubahan ke arah yang positif maka organisasipun juga
akan kehilangan arah tujuannya.
Sutrisno
(2010:
281)
menyebutkan
spiritualitas
akan
dapat
menyempurnakan karakter kepemimpinan. Selain hal-hal yang mendasar seperti
29
keberanian, ketabahan dan fleksibilitas juga terkandung visi yang tak terbatas,
yang menempatkan manusia sebagai bagian utuh dari alam semesta. Hal ini dapat
mendorong kreativitas dan inovasi yang tak terbatas. Visi seorang pemimpin yang
memiliki spiritual tinggi diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik
bagi masyarakat dan lingkungan hidupnya. Seseorang yang spiritualnya tinggi
akan cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian yaitu
seseorang yang bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih
tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaan.
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling dipersiapkan untuk menjadi
seorang Guru BK. Guru BK harus memiliki sikap kepemimpinan untuk memimpin
diri sendiri maupun orang lain (Guru BK lain dan klien) sebagai kompetensi dasar
dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Guru BK yang memiliki sikap
kepemimpinan mampu mengendalikan situasi dan mempengaruhi orang lain dalam
pencapaian tujuan bersama. Sikap yang harus dimiliki Guru BK adalah spiritual
leadership. Spiritual leadership seperti yang diungkapkan oleh Fry (2003) akan
membentuk Guru BK untuk menetapkan visi dan tujuan dalam layanan Bimbingan
dan Konseling. Selain itu, Spiritual Leadership juga akan membantu Guru BK
untuk mengembangkan sikap altruistik untuk mementingkan kepentingan orang
lain, memberikan pelayanan sepenuh hati dan rasa kasih sayang. Guru BK juga
akan memiliki harapan serta keyakinan akan kemampuan diri sendiri maupun
kliennya.
Spiritual leadership penting bagi Guru BK maka perlu ada pelatihan
terutama bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling sebagai calon Guru BK.
Motivation Training tentang spiritual leadership diberikan dengan tujuan untuk
meningkatkan keterampilan spiritual leadership bagi Mahasiswa Bimbingan dan
Konseling dengan harapan Mahasiswa Bimbingan dan Konseling kelak dapat
menjadi Guru BK yang tangguh dan menjalankan perannya secara maksimal.
Pelatihan motivasi yang akan diberikan kepada Mahasiswa Bimbingan dan
Konseling adalah pelatihan tentang spiritual leadership. Pelatihan tersebut
30
memadukan konsep pelatihan dari Kirkpatrick mengenai evaluasi training dan
spiritual leadership dari teori Fry. Diharapkan pelatihan yang dilaksanakan dengan
tahap reaksi dan pembelajaran dapat meningkatkan spiritual leadership
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling sebagai calon Guru BK.
Konsep Motivation Training sejalan dengan teori belajar sosial. Barlow
dalam Syah (2003: 106) menjelaskan bahwa lingkungan-lingkungan yang
dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali
dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar
manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku
orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan
permodelan ini merupakan salah satu langkah penting dalam pembelajaran.
Menurut Bandura dalam Slameto (1995: 21)
proses mengamati dan
meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar.
Perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan
antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Penguasaan perilaku atau
respon baru adalah hasil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dari waktu yang
bersamaan (kontinguitas) yang diamati. Kuat lemahnya respon bergantung pada
penguatan.
Bandura dalam Hitipeuw (2009: 51) memberikan dua konsep utama
dalam teori belajar social cognition yaitu modeling dan vicarious learning. Belajar
berdasarkan modeling dipandang sebagai kecenderungan individu untuk meniru
(imitasi) tingkah laku yang mereka amati dari orang lain. Melalui pengamatan
perilaku orang lain akan mendorong diri sendiri untuk meniru perilakunya.
Memberikan contoh model akan merangsang indivdu untuk melakukan hal yang
sama. Belajar berdasarkan vicarious learning terjadi ketika individu mengamati
konsekuensi dari tingkah laku seseorang dan kemudian menyesuaikan tingkah
lakunya sendiri. Vicarious learning merangsang individu untuk mengembangkan
kemampuan kognitif yang dimiliki, memikirkan tindakan yang harus diambil
setelah mengamati perilaku orang lain.
31
Motivation Training mendorong peserta untuk mengamati dan meniru
sikap Spiritual Leadership pada kegiatan pelatihan yang dilaksanakan. Peserta
diajak untuk melakukan permainan dan mendiskusikan beberapa artikel yang
berhubungan dengan Spiritual Leadership, diharapkan setelah melakukan
modeling melalui permainan dan diskusi akan merubah pola pikir peserta tentang
Spiritual Leadership. Peserta yang mengalami perubahan pengetahuan Spiritual
Leadership juga akan menunjukkan perubahan perilaku sesuai dengan modeling
yang dilakukan pada saat pelatihan.
Metode motivation training yang akan digunakan adalah in class training.
Menurut Notoatmdjo (2009: 24) dalam in class training peserta pelatihan
mengikuti pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan
menggunakan teknik-teknik yang diajarkan dalam pelatihan. Dalam metode ini
disajikan informasi yang tujuannya mengintroduksikan kemampuan, pengetahuan,
sikap dan keterampilan baru kepada peserta. Harapan akhir dari proses
pengetahuan, sikap dan keterampilam peserta dapat diadopsi dalam pekerjaannya
nanti. Teknik ini dapat berupa ceramah yang berarti peserta pasif mendengarkan,
diskusi yaitu informasi diberikan dalam bentuk tugas atau pertanyaan yang dibahas
oleh peserta dan teknik permodelan perilaku atau cara meniru tindakan dengan
mengobservasi dan meniru model yang diproyeksikan melalui simulasi.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian terdahulu yang telah dipublikasikan terkait dengan Spiritual
Leadership adalah penelitian yang dilakukan oleh Dudung Abdurahman dan Prima
Mulyasari Agustini (2011). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui
hubungan Spiritual Leadership dengan spiritualitas tempat kerja. Hasil dari
penelitian tersebut adalah perilaku Spiritual Leadership tinggi dan spiritualitas
tempat kerja juga tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Spiritual Leadership
dengan spiritualitas tempat kerja memiliki hubungan yang positif dan kuat.
32
Penelitian lain dilakukan oleh Riska Fii Ahsani (2013) . Penelitian mengenai
Spiritual
Leadership,
meaning/calling,
membership,
manajemen
karir
dan
produktifitas yang dilaksanakan di kantor Pemerintahan Kabupaten Sukoharjo
memperoleh hasil pemimpin yang memiliki Spiritual Leadership terbukti
berpengaruh
terhadap
meaning/calling
dan
membership
anggotanya.
Meaning/calling terbukti berpengaruh pada produktifitas kerja.
Penelitian selanjutnya oleh Mayang Ayu Bestari (2013). Penelitian tersebut
mengenai hubungan Spiritual Leadership dan konsep diri dengan manajemen karir
serta produktifitas. Hasil penelitian menunjukkan Spiritual Leadership dan konsep
diri pada individu akan mempengaruhi menejemen karir dan produktifitas dalam
bekerja. Semakin tinggi Spiritual Leadership dan konsep diri seseorang akan
menunjukkan menejemen karir dan produktifitas kerja yang baik pula.
Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai Spiritual Leadership terbukti
bahwa kemampuan Spiritual Leadershipperlu untuk dikembangkan untuk hasil yang
maksimal dalam bekerja. Spiritual Leadership akan membantu seseorang secara
optimal untuk menjalankan pekerjaan yang ditekuninya. Spiritual Leadership
membentuk karakter seseorang untuk menetapkan tujuan kerja secara jelas,
mendorong untuk lebih peduli terhadap orang lain serta memiliki harapan yang
tinggi terhadap hasil pencapaian kerjanya.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan maka dapat disusun suatu
kerangka pemikiran bahwa Spiritual Leadership merupakan nilai-nilai, sikap,
pengetahuan dan perilaku yang diperlukan secara intrinsik memotivasi diri sendiri
dan orang lain sehingga mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual melalui
panggilan hidup (calling) dengan mengembangkan visi, cinta altruis dan hope/fight.
Cohen dalam Goodwin dan Coates (1976: 15) menyatakan bahwa setiap
perilaku memiliki alasan, dan bahwa setiap perilaku benar-benar konsisten dengan
33
lingkungan di mana itu terjadi. Menurut analisis perilaku, perilaku ini bukan
kebetulan. Individu mulai bekerja karena isyarat (cues) lingkungan menunjukkan
bahwa ini adalah hal yang harus dilakukan. Dia bereaksi terhadap peristiwa tertentu
yang mengatakan persis bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. isyarat ini
disebut antecedents karena mereka terjadi sebelum perilaku tersebut terjadi. Peristiwa
lanjutan yang disebut konsekuensi (consequents), datang setelah perilaku dan
berfungsi
baik
untuk
meningkatkan atau menurunkan
frekuensi
perilaku.
Konsekuensi adalah peristiwa yang mengikuti perilaku tertentu, dan mungkin atau
tidak mungkin menjadi hasil dari perilaku itu. Consequents sama pentingnya dengan
antecedents karena menentukan apakah meningkatkan perilaku atau mengurangi
perilaku di masa depan. Ada dua jenis consequents, yang meningkatkan frekuensi
dari perilaku disebut penguatan (reinforcers) dan yang menurunkan seberapa sering
perilaku terjadi disebut hukuman (punishers).
Spiritual Leadership dapat ditingkatkan dengan menerapkan teori Social
Learning yang memiliki konsep: cues sebagai isyarat seorang individu untuk
melakukan suatu perilaku, modelling dengan meniru atau imitasi dari yang dilihat
disekelilingnya dalam waktu tertentu dan prior learning yaitu hasil belajar dari
pengalaman sebelumnya. Social learning untuk meningkatkan spiritual leadership
dilaksanakan melalui motivation training dengan memasukkan aspek yang
terkandung dalam social learning agar terbentuk perilaku individu.
Antecedent yaitu berupa cues, modeling dan prior learning akan membentuk
perilaku. Perilaku dapat berlanjut dan dapat terhenti. Perilaku berlanjut dipengaruhi
oleh reinforcements dan perilaku berhenti karena dipengaruhi oleh punishment.
Spiritual leadership dapat berkembang apabila individu mendapatkan reinforcement
positif sehingga mendorong individu untuk mengubah nilai, sikap, pengetahuan dan
perilaku. Penguatan tersebut akan menghasilkan perilaku positif sehingga individu
mampu untuk mengembangkan spiritual leadership dalam diri. Kerangka pemikiran
ini dapat dilihat dalam Gambar 2.2:
34
Spiritual Leadership
Penggabungan nilai-nilai, sikap,
pengetahuan dan perilaku yang
dipelukan
secara
intrinsik
memotivasi diri sendiri dan orang
lain sebagai panggilan hidup
(calling).
Aspek
Spiritual
Leadership:
Visi
Altruistik
Hope/Fight
Teori social Learning
Tingkah laku diarahkan oleh:
1. Cues
:
isyarat
yang
mengarahkan untuk berperilaku
2. Modelling : imitasi atau peniruan
perilaku yang dilihat atau diamati
3. Prior learning : Pengalaman
hasil belajar sebelumnya
Tingkah laku berlanjut atau terhenti
dipengaruhi oleh reinforcement dan
punishment
Motivation Training:
Antecedents
Behavior
1. Cues :
Perilaku
Spiritual
melalui cues verbal dengan
Leadership:
memberikan cerita dan
1. Menetapkan visi
diskusi mengenai cinta
dalam
proses
altruis
belajar
sebagai
2. Modeling :
calon guru BK
melalui
permainan
2. Melakukan cinta
mengenai
visi
dan
altruis
kepada
hope/fight
orang lain
3. Prior learning ;
3. Mempunyai
melalui orientasi Spiritual
hope/fight
Leadership
terhadap
tugas
yang dikerjakan
Consequents
1. Hidup
menjadi
lebih bermakna
2. Memotivasi
diri
sendiri dan orang
lain
untuk
melayani
orang
lain
sebagai
panggilan
hidup
(calling)
Hal tersebut sebagai
Self-Reinforcements
Gambar 2.2 : Kerangka Berpikir hubungan antara Spiritual Leadership dan Motivation Training
35
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan
hipotesis. Arikunto (2010: 110) mendefinisikan hipotesis sebagai suatu jawaban yang
bersifat sementara terhadap suatu permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui
data yang terkumpul. Borg dalam Arikunto (2010: 112) menjelaskan persyaratan
hipotesis:
1. Hipotesis harus dirumuskan dengan singkat dan jelas.
2. Hipotesis harus dengan nyata menunjukkan adanya hubungan antara dua variabel
atau lebih variabel.
3. Hipotesis harus didukung oleh teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli atau
hasil penelitian yang relevan.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini
yaitu:
1. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret
Surakarta belum memiliki Spiritual Leadership.
2. Terdapat gain kemampuan Spiritual Leadership pada Mahasiswa
Bimbingan dan Konseling seblum dan sesudah diberi treatment.
3. Motivation Training efektif meningkatkan Spiritual Leadership pada
Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Download