BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Spiritual Leadership a. Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” yang berarti tuntun, didalamnya ada dua pihak yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. Menurut Rivai dan Deddy Mulyadi (2003: 2) kepemimpinan dipahami sebagai kekuatan menggerakkan dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan sebagai alat, sarana atau proses untuk membujuk orang lain agar bersedia melakukan sesuatu secara sukarela. Clawson dalam Tjiharjadi (2007: 9) yang menyatakan dalam definisi kepemimpinan terdapat tiga aspek: kemampuan memengaruhi orang lain, keinginan memengaruhi orang lain, kemampuan memengaruhi berdasarkan cara menanggapi yang disukai orang lain Pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan mengikuti perubahan jaman seiring dengan kemajuan teknologi. Pemimpin akan dapat memberikan perubahan bagi orang lain dan lingkungan dengan berani untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Kartono (2005: 80) menjelaskan tipe kepemimpinan yaitu: Tipe karismatik,Tipe paternalis dan maternalistis, Tipe militeristis, Tipe otokratis atau otoritatif, Tipe laisser faire, Tipe populistis, Tipe administratif, Tipe demokratif dan Tipe spiritual leadership. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin berarti orang yang mempengaruhi pihak lain melalui proses kewibawaan komunikasi, sehingga orang lain mendapat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu. Kepemimpinan bersifat dinamis dan situasional, mengutamakan visi serta melibatkan orang lain untuk memberikan tanggapan atas keinginan untuk mengikuti. Terdapat banyak tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin, yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tipe spiritual 10 11 leadership. Setiap pemimpin memiliki ciri khas masing-masing dalam memimpin bawahannya sesuai dengan sifat dasar yang dimiliki individu, sehingga tipe kepemimpinan tidak dapat dipaksakan terhadap orang lain dalam memimpin suatu organisasi. b. Spiritualitas Spiritual lebih memiliki ikatan kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan yang bersifat fisik atau material. Terkait dengan hakikat spiritualitas, Dehaghi, Goodarzi dan Arazi (2012: 160) berpendapat: “spirituality has two components: vertical and horizontal. The vertical component in spirituality is a desire to transcend the individual ego or self-esteem. The name you put on the vertical component might be God, spirit, universe, higher power or something else and the horizontal component in spirituality is a desire to be servise to other humans and the planet. In the horizontal we seek to make a difference through our actions. This dimension is manifested externally.” Secara ringkas Dehagi, Goodarzi dan Arazi menjelaskan bahwa spiritualitas memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal. Komponen vertikal dalam spiritualitas adalah keinginan melampaui diri sendiri, ego dan harga diri yang kemudian merujuk pada keyakinan akan Tuhan sebagai pemegang kedudukan tertinggi di alam semesta. Sedangkan komponen horizontal adalah keinginan untuk berinteraksi, mengeksplor diri dengan manusia lain dan alam melalui segala pikiran dan tindakan. Spiritualitas berbeda dengan religiusitas. Religiusitas menurut Ancok dan Suroso (2001: 26) adalah sebuah ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual. Religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu dalam hati, getaran hati nurani dan sikap personal. Mangunwijaya (1996: 57) menerangkan bahwa religiusitas merupakan bentuk penerimaan ajaran agama yang bersangkutan tanpa perlu bergabung dengan kelompok atau organisasi tertentu. 12 Spiritualitas dan religiusitas tidak dapat dijadikan satu kesatuan makna. Individu yang memiliki spiritualitas dapat dipastikan memiliki religiusitas namun individu yang memiliki religiusitas belum tentu memiliki spiritualitas dalam dirinya. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Wirawan (2010: 217) mengenai perbedaan spiritualitas dan religiusitas adalah sebagai berikut: Tabel 2.1: Perbedaan Spiritualitas dan Religiusitas Spiritualitas Tidak terkait dengan kepercayaan akan adanya Tuhan Spiritualitas tidak harus memeluk agama tertentu Perilaku spiritual seperti meditasi, ritual, rasa cinta, kebahagiaan dan adat Spiritualitas berdasarkan rasio yang dapat diterima akal sehat Religiusitas Terkait dengan kepercayaan akan adanya Tuhan Semua agama menghasilkan spiritualitas yang berdasarkan agama Perilaku religiusitas seperti sembahyang, puasa dan derma Religiusitas dapat rasional maupun irasional Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan bentuk hubungan manusia dengan pencipta-Nya yang diwujudkan melalui ajaran agama yang tertanam dalam diri seseorang dan tercermin dalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Spiritualitas merupakan suatu cara yang berhubungan dengan emosi atau perilaku tertentu dari individu. Seseorang yang memiliki spiritualitas akan menujukkan sikap terbuka, memberi dan penuh kasih kepada orang lain. Spiritualitas adalah pencarian makna serta pencapaian tujuan yang berdampak pada individu lain dan lingkungan. Religiusitas lebih menekankan kepada ajaran untuk mencari ilmu agama sesuai dengan keyakinan masing-masing individu dalam kehidupan sehari-hari. c. Spiritual Leadership 1) Pengertian Spiritual Leadership Teori spiritual leadership muncul beberapa tahun terakhir. Beberapa peneliti berusaha untuk menggali karakteristik spiritual leadership. Reave (2005) menyebutkan bahwa tingkah laku spiritual 13 leadership termasuk menghormati orang lain, kesetaraan, kepedulian, identifikasi dengan kontribusi, reaksi untuk umpan balik dan refleksi diri. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya faktor pemimpin yang melayani. Melayani memiliki makna semangat batin untuk membantu orang lain, menjaga kepercayaan serta mampu menjadi pendengar yang baik. Kepemimpinan akan berjalan efektif, disegani dan memiliki derajat yang tinggi bila seorang pemimpin memiliki 3 kelebihan yakni kelebihan dalam bidang intelektual atau rasio, jasmani atau fisik dan rohani atau spiritual. Peningkatan spiritual mendorong tumbuhnya kompetensi keterampilan teknis, kreativitas, motivasi internal, kejujuran, komitmen dan integritas dalam pekerjaan (Manullang dan Malfayeti, 2004: 93). Spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan keberanian di dalam diri sehingga ada memampuan untuk mewujudkan yang terbaik dan tindakan yang manusiawi. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan panggilan hidup akan muncul dalam diri ketika spiritualitas jiwanya tumbuh dan berkembang. Spiritual sangat erat kaitannya dengan mempertahankan prinsip yang disertai dengn pelaksanana tanggungjawab melaksanakan prinsipprinsip, nilai takwa atau tanggung jawab merupakan ciri seorang yang profesional. Rivai (2004: 141) mengemukakan bahwa seorang pemimpin dengan spiritual yang menonjol akan dengan mudah membedakan sebuah ide dari fakta, perasaan atau keyakinan. Pemimpin yang memiliki sikap spiritual menunjukkan sikap melayani, melayani dalam konteks ini adalah memberikan semangat kepada orang lain, mempercayai anggota dan dapat menjadi pendengar yang baik. Fry (2003) mendefinisikan Spiritual Leadership sebagai berikut: “Spiritual leadership as comprising the values, attitudes and behaviors that are necessary to intrinsically motivate one’s self and others so that they have a sense of spiritual survival trought calling and membership. This entails 1) creating a vision where in organizational members experience a sense of calling in that their 14 life has meaning and make difference, 2) establishing a sosial/a organizational culture based on altruistic love where by leaders and followers have genuine care, concern and appreciation for both self other, there by producing a sense of membership and feel understood and appreciated.” Menurut Fry, Spiritual Leadership meliputi nilai-nilai, sikap dan perilaku yang dipelukan secara intrinsik memotivasi diri sendiri dan orang lain sehingga mereka mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual melalui panggilan hidup (calling) dan keanggotaan sistem sosial. spiritual leadership memerlukan: (1) penciptaan visi dimana para anggota organisasi mengalami panggilan hidup dalam hal kehidupan mereka (2) mengembangkan suatu budaya sosial berdasarkan pada cinta altruistik dimana pemimpin dan pengikut mempunyai perawatan, perhatian dan apresiasi asli untuk diri sendiri dan orang lain, memproduksi rasa keanggotaan dan merasa dipahami dan dihargai. Seorang pemimpin bertanggungjawab menyusun visi, misi, strategi dan penerapannya dalam organisasi. Pemimpin dalam menyusun visi juga bertanggungjawab menciptakan kesesuaian nilai antar semua level dalam organisasi termasuk juga membina hubungan baik dengan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Anggota organisasi membutuhkan seorang pemimpin yang dapat dipercaya dan mempercayai anggotanya. Pemimpin dengan spiritual leadership akan bertanggungjawab dalam mempengaruhi oranglain untuk mencapai tujuan bersama. 2) Konsep Model Spiritual Leadership Proses kepemimpinan yang berasaskan nilai akan memberikan energi dan motivasi tinggi, komitmen, rasa percaya diri kepada tim. Fry dalam Wirawan (2010: 230) mengemukakan model proses kepemimpinan spiritual dengan Gambar 2.1: 15 Para pemimpin strategik Visi/misi Panggilan Membuat arti Kehidupan berbeda Harapan/kepercayaan (upaya/kerja) Cinta altruistik Tim berdaya Anggota tim Komitmen organisasi & produktivitas Keanggotaan Memahami & mengapresiasi Gambar 2.1: Model Spiritual Leadership sebagai Motivasi Intrinsik Sumber: Wirawan (2010: 230) Para pemimpin strategik melalui pilihan mengenai visi, misi, strategi dan implementasinya bertanggungjawab untuk menciptakan visi dan nilai-nilai yang sama di semua level organisasi dan mengembangkan hubungan yang efektif antara organisasi dan lingkungan para pemangku kepentingan. Definisi tersebut memerlukan: a) Visi Maxwell (2001: 209) mengatakan bahwa Visi adalah segalanya bagi seorang pemimpin, karena visilah yang memimpin para pemimpin, melukiskan sasaran, memicu serta membakar semangat, dan mendorong untuk maju. Seorang pemimpin yang tidak memiliki visi takkan kemanamana, hanya akan berlari ditempat. Visi membuat orang lain mengikuti sang pemimpin. Visi dimulai dari dalam diri seorang pemimpin. Visi timbul dari pengalaman masa lalu seorang pemimpin atau sejarah orang-orang di sekelilingnya. Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa visi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang pemimpin 16 tanpa visi, pemimpin tidak akan mengetahui apa yang harus dikerjakannya karena tidak memiliki tujuan. Dharmayanto (2006: 71) mengatakan bahwa seorang pemimpin perlu memiliki arah yang jelas. Arah yang jelas inilah yang disebut visi. Visi adalah impian yang ingin diraih oleh setiap organisasi atau pemimpin. Visi yang diciptakan harus secara jelas menggambarkan suatu perjalanan yang bila dilaksanakan dapat memberikan rasa terpanggil dalam pekerjaan, individu menemukan makna hidup, dan membuat sesuatu yang berbeda. Visi yang diciptakan haruss secara jelas menggambarkan suatu perjalanan yang dapat memberikan rasa terpanggil dalam pekerjaan, menemukan makna hidup dan mengalami perubahan dalam hidup. b) Cinta Altruistik Cinta altruistik di dalam spiritual leadership didefinisikan sebagai suatu rasa keseluruhan harmoni dan kesejahteraan yang diproduksi melalui kepedulian, perhatian dan apresiasi untuk diri sendiri dan orang lain. Cinta altruistik dan nilai-nilai mengenai hal tersebut dimanifestasikan melalui kepedulian tanpa kondisi, tak mementingkan diri sendiri, loyal dan baik hati, memperhatikan dan apresiasi untuk diri sendiri dan orang lain. Sebagai pemimpin, kepentingan orang lain menjadi prioritas pertama dan utama. Pemimpin adalah pelayan bagi anggotanya, wajib memberikan pelayanan yang terbaik. Pelayanan yang diberikan akan menunjukkan kecintaan pemimpin terhadap anggota-anggotanya, menjadikan anggota merasa nyaman bekerjasama dalam organisasi. c) Hope/Fight Harapan (hope) merupakan suatu hasrat dengan keinginan pemenuhan. Kepercayaan (fight) menambah kemungkinan untuk mengharapkan dan merupakan suatu kepercayaan mengenai sesuatu 17 dimana tak ada bukti. Kepercayaan berdasarkan nilai-nilai, sikap dan perilaku yang menunjukkan kepastian absolut dan kepercayaan apa yang diinginkan dan diharapkan akan datang. Menurut Tayib, dkk (2013) kepercayaan lebih dari sekedar harapan atas sesuatu yang diinginkan, ini merupakan sanksi yang tidak dapat dibuktikan oleh bukti fisik. Hope merupakan keinginan atas sebuah pengharapan yang dipenuhi. Orang yang memiliki kepercayaan atau harapan memiliki tujuan kemana mereka akan pergi, dan bagaimana cara mencapainya. Mereka dapat menghadapi perlawanan, pertahanan dan penderitaan dalam mencapai tujuan. Hope/Fight merupakan dasar dari pendirian visi dan misi organisasi yang akan dipenuhi. Spiritual leadership bukanlah tentang kecerdasan dan keterampilan dalam memimpin saja, namun juga menjunjung nilai-nilai kebenaran, kejujuran, integritas, kebijaksanaan dan belas kasih yang membentuk moral diri sendiri dan orang lain. Seorang pemimpin dituntut untuk mengelola organisasi, mempengaruhi orang lain dan menunjukkan perilaku benar yang harus dikerjakan bersama serta mempengaruhi semangat kerja kelompok. Spiritualitas membantu pemimpin membangun karakter dalam diri sehingga berpengaruh pada pola kepemimpinan yang dijalankan. 2. Motivation Training a. Motivasi Menurut Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata motif itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan dirasakan atau mendesak. 18 Bahri (2002: 114) menyebutkan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi didalam pribadi sesorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencaapai tujuan. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah suatu dorongan yang diberikan oleh orang lain untuk mencapai tujuannya. Motivasi yang ada dalam diri manusia yaitu suatu kemampuan atau faktor yang terdapat dalam diri manusia untuk menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi dapat dikatakan sebagai suatu tindakan atau kondisi. Melalui motivasi dapat memberikan inspirasi agar seseorang mau melakukan kegiatan. b. Training Training adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, peserta mempelajari pengetahuan dan ketrampilan dalam tujuan terbatas (Sikula dalam Mangkunegara, 2003: 41). Senada dengan pendapat tersebut, menurut Notoadmodjo (2009: 52) pelatihan adalah bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar, berguna untuk memperoleh dan meningkatkan ketrampilan diluar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu relatif singkat dan metodenya mengutamakan praktek daripada teori. Wexley dan Yulk dalam Mangkunegara (2009: 43) mengemukakan: “training and development are term is referring to planned efforts designed facilitate the acquisition of relevant skills, knowledge ans attitudes by organizations members. Development focuses more on improving the decision making and human relations skill and the presentation of a more factual and narrow subject matter.” Wexley dan Yulk menjelaskan bahwa pelatihan dan pengembangan adalah sesuatu yang mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan usaha- 19 usaha berencana yang dilaksanakan untuk mencapai penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan sikap karyawan atau anggota organisasi. Pengembangan lebih difokuskan pada peningkatan keterampilan dalam mengambil keputusan dan hubungan manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Silberman & Auerbach (2013: 14) yaitu pelatihan aktif bertumpu pada asumsi melatih sekelompok peserta di situasi dalam lingkup sebuah ruang kelas. Pendekatan aktif menuju pelatihan tak terbatas pada mode penyampaian melainkan bisa dipadukan dengan mode lainnya. Berdasarkan pengertian training menurut pendapat ahli di atas dapat disimpulkan training adalah suatu proses pendidikan jangka pendek diluar sistem pendidikan menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan. Training dilaksanakan diluar sistem pendidikan dengan alokasi waktu yang singkat serta lebih memprioritaskan praktek daripada mempelajari teorinya. Pemberian training dapat dipadukan dengan mode lain dalam pencapaian tujuannya. Training sebagai suatu proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan dengan tujuan mengubah pola perilaku. c. Motivation Training Motivation Training adalah sebuah Training yang bertujuan memberikan semangat baru didalam setiap diri pesertanya hingga mampu setidaknya mendorong mereka mencapai tujuan hidup mereka masing-masing. Motivation Training kini semakin dibutuhkan mengingat semakin tingginya persaingan. Motivation Training akan sangat bermanfaat karena dapat memberikan dorongan, stimulus dan semangat kepada setiap orang untuk dapat melakukan sesuatu secara lebih baik agar tercapai tujuan yang diinginkan. Setiap orang membutuhkan motivasi agar dapat meraih prestasi yang terbaik. Anggota dan pimpinan sebuah organisasi pasti juga membutuhkan motivasi agar dapat mencapai target yang diinginkan. Motivation Training juga 20 memberikan semangat untuk dapat selalu berpikir positif, memahami dan mengaktifkan potensi diri, meningkatkan keyakinan, motivasi dan percaya diri, mencetak pribadi yang rendah hati, dan menghargai perbedaan, menjadi pribadi yang tulus, dalam melayani, memahami prinsip, sukses untuk meraih cita-cita, karier dan kehidupan pribadi. 1) Tujuan Motivation Training Simamora (2004: 179) mengemukakan tujuan utama Training secara luas dikelompokkan dalam empat bidang yaitu: (1) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan, (2) Membantu memecahkan permasalahan operasional, (3) Mempersiapkan karyawan untuk promosi, (4) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi Moekijat (2010: 84) mengatakan bahwa tujuan umum Training adalah: (1) Mengembangkan keahlian, sehingga tugas dapat diselesaikan dengan lebih efekif dan cepat, (2) Mengembangkan pengetahuan, sehingga tugas dapat diselesaikan secara rasional, (3) Mengembangkan sikap, sehingga dapat menimbulkan kemauan bekerjasama. Pendapat diatas dapat disimpulkan tujuan Motivation Training adalah memudahkan karyawan dalam mengembangkan keahlian, pengetahuan dan sikap dalam memecahkan permasalahan operasional. Pelatihan berfungsi untuk mengorientasi keahlian dalam bidang tertentu secara singkat untuk memudahkan karyawan dalam mengembangkan keterampilan kerjanya. Hubungan Motivation Training dalam bidang Bimbingan dan Konseling adalah untuk penguasaan nilai, pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap pada diri Guru BK. Nilai mengacu kepada penanaman budi pekerti kepada Guru BK dalam membimbing peserta didik di sekolah. Pengetahuan merujuk kepada berkembangnya ilmu dan wawasan dalam 21 bidang Bimbingan dan Konseling. Keterampilan yang perlu dimiliki Guru BK adalah keterampilan dalam memimpin diri sendiri maupun klien dalam pelaksanaan proses Bimbingan dan Konseling. Sedangkankan perubahan sikap yang diharapkan adalah untuk menjadikan Guru BK profesional dalam melaksanakan tugas tanggungjawabnya serta menunjukkan sikap positif dalam setiap suasana. Penguasaan keempat aspek tersebut berdasarkan pengembangan teori-teori psikologis yang berhubungan dengan ranah Bimbingan dan Konseling yaitu teori humanistik, behavioral dan kognitif. Tujuan teori-teori tersebut adalah untuk mengubah perilaku seseorang. Pelatihan adalah proses belajar sehingga diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi pesertanya. Teori belajar kognitif mengacu pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para ahli berupaya untuk menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan dalam aktifitas belajar. Piaget dalam Syah (2003: 37) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu, sebab individu terus-menerus melakukan interaksi dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan, dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Aplikasi dalam tahapan training ini adalah keterlibatan peserta dalam proses pelatihan. Peserta yang aktif dalam mengikuti pelatihan akan terangsang pemikirannya untuk berkembang sehingga dapat memahami tujuan dari pelatihan yang diberikan. Psikologi behavioral merupakan ilmu psikologi yang mempelajari tentang tingkah laku seseorang. Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner dalam Syah (2003: 64) tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Tingkah laku terletak diantara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Dengan demikian tingkah laku dapat diubah dengan cara 22 mengubah atecendent, konsekuensi atau keduanya. Skinner menjelaskan konsekuensi sangat menentukan seseorang untuk mengulangi suatu perilaku pada saat lain diwaktu yang akan datang. Hubungan dengan pelatihan adalah pelatihan membentuk perilaku peserta untuk terbiasa dengan konsekuensi yang dalam hal ini adalah hasil pelatihan sehingga peserta akan melakukan yang telah dipelajari dalam training. Diharapkan peserta dapat mengulangi yang telah dipeoleh ketika pelatihan. Psikologi humanistik memberikan sumbangan bagi pendidikan dengan sebutan pendidikan humanistik. Pendidikan humanistik berusaha untuk mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Fokus model pendidikan humanistik adalah mengembangkan aspek emosional, sosial, mental dan keterampilan dalam berkarir. Rogers dalam Suryabrata (2012: 261) mengungkapkan bahwa dunia pengalaman individual hanya dapat dikenal oleh individu yang bersangkutan sendiri, namun belum tentu individu yang bersangkutan dapat mengembangkan pengalaman diri walaupun secara potensial telah dimiliki. Individu beraksi terhadap hal yang merangsang dan mendorongnya seperti apa yang dialaminya. Apapun yang dipikirkan sebagai benar baik itu betul-betul benar atau tidak adalah kenyataan, dan kenyataan subyektif inilah yang menentukan tingkah lakunya. Pelatihan membantu peserta untuk membuka pikirannya dalam menyikapi hal-hal tertentu yang diharapkan dapat menjadi mindset bagi peserta pelatihan. Materi-materi yang diberikan selama pelatihan akan mengakar dalam pemikiran peserta dan menghasilkan perubahan perilaku peserta pelatihan. Aspek-aspek tersebut menunjukkan bahwa teori psikologi kognitif, behavioral dan humanistik saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain. Teori tersebut dapat sesuai dengan tujuan pelatihan yang akan diselenggarakan yaitu menciptakan pengetahuan, nilai, keterampilan dan perubahan sikap dari peserta pelatihan ke arah yang lebih positif. 23 2) Metode Motivation training Menurut Mardianto (2009: 128) pelatihan dapat dilakukan dengan beberapa cara: a) External development activities Maksudnya adalah aktifitas diluar ruangan. Tujuannya memberikan gambaran secara riil yang telah disampaikan di dalam kelas. b) In class training Metode pengembangan di dalam kelas. Keunggulannya adalah program pengembangan lebih terstruktur, biasanya menggunakan sebuah kurikulum seperti pengajaran di sekolah. c) Seminar Seminar pada umumnya merupakan sebuah bentuk pengajaran akademis. Seminar biasanya fokus pada suatu topik khusus dan peserta seminar dapat berpartisipasi secara aktif. d) Workshop Banyak topik yang disajikan dalam workshop-workshop pengembangan dengan materi meliputi soft-skill maupun hard-skill. e) Benchmark Benchmark merupakan suatu teknik pengentasan terbatas dengan cara membandingkan kemampuan berbagai kerja dari beberapa peralatan dengan tujuan meningkatkan kualitas pada produk baru. Penggunaan metode pembelajaran pelatihan disesuaikan dengan tujuan pelatihan, keadaan peserta, alat bantu pelatihan yang tersedia, kondisi tempat pelaksanaan pelatihan dan waktu pelatihan. Dalam penelitian ini akan digunakan metode in class training. Metode tersebut bertujuan untuk menumbuhkan ketertarikan dan semangat dari peserta pelatihan sehingga materi spiritual leadership dapat bermanfaat bagi seluruh peserta pelatihan. Harapan setelah pelaksanaan Motivation Training dengan metode in class training peserta dapat lebih memahami potensi diri dan mampu 24 mengembangkan sikap spiritual leadership yang akan berguna untuk menunjang profesionalitas pekerjaannya sebagai calon Guru BK. 3) Tahapan Motivation Training Menurut Hamalik (2001: 38) penyusunan suatu program pelatihan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a) Menetapkan klasifikasi pekerjaan, kemudian menyusun suatu deskripsi pekerjaan lengkap dengan tugas secara rinci. b) Identifikasi kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut, yang terdiri dari perangkat keterampilan dan pengetahuan tertentu. c) Penyiapan program pelatihan secara jelas, rinci dan siistematik d) Menetapkan metode dan tempat penyelenggaraan pelatihan dan materi pelatihan e) Review program pelatihan dengan mengikutsertakan pengawasan dan menejemen puncak f) Mempersiapkan para pelatih (instruktur) g) Menyiapkan peserta pelatihan melalui prosedur seleksi tertentu h) Mengembangakan prosedur penilaian (evaluasi) dan tindak lanjut Tahap awal yang penting dalam penyelenggaraan pelatihan adalah penilaian kebutuhan pelatihan. Tahap ini berguna sebgai sumber dasar bagi keseluruhan upaya pelatihan. Hasil dari penilaian kebituhan akan digunakan untuk mengembangkan aktivitas pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi pelatihan. Pelaksanaan pelatihan dirancang dan disajikan berupa aktivitas dan berbagi pengalaman belajar untuk memenuhi sasaran dari hasil penilaian kebutuhan pelatihan. 25 4) Evaluasi Training Evaluasi Training diberikan dengan tujuan untuk mengevaluasi kualitas training yang diikuti. Evaluasi menjadi bahan penilaian keefektifan metode yang telah diberikan sebagai program pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi. Evaluasi training yang terkenal adalah teori yang dikemukakan oleh Kirkpatrick. Menurut Kirkpatrick (1998: 19) ada empat tingkatan untuk evaluasi training yaitu: a) Level 1: Reaksi (Reaction Evaluation) Evaluasi terhadap reaksi peserta pelatihan ditujukan untuk mengukur kepuasan peserta terhadap penyelenggaraan pelatihan. Pelatihan dianggap berkualitas apabila pelatihan dapat memuaskan dan memenuhi harapan peserta sehingga mereka mempunyai motivasi dan merasa nyaman untuk belajar. Evaluasi level ini berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar pelaksanaan pelatihan seperti: (1)Apakah pelatihan dapat memenuhi harapan peserta? (2)Bagaimana pendapat peserta mengenai pelaksanaan pelatihan? (3)Bagaimana penilaian peserta terhadap instruktur pelatihan? (4)Adalah kelemahan atau keterbatasan pelatihan yang mengurangi efektivitas pembelajaran? b) Level 2: Hasil Belajar Konsep belajar menurut Kirkpatrick dapat didefinisikan sebagai peningkatan pengetahuan, kenaikan keterampilan dan perubahan sikap peserta setelah selesai mengikuti pelatihan. Peserta dikatakan telah belajar apabila pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan maupun peningkatan keterampilan. Mengevaluasi hasil belajar lebih sulit mengevaluasi reaksi. dan memakan waktu dibandingkan dengan 26 Jika kemampuan peserta setelah mengikuti pelatihan meningkat secara signifikan, artinya program secara aktual menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan dan dikatakan proses pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai tujuan pembelajaran. c) Level 3: Tingkah Laku Subjek dan sasaran evaluasi perilaku ini berbeda dengan evaluasi pada level 2. Penilaian sikap difokuskan pada perubahan sikap yang terjadi setelah peserta kembali ke tempat kerja. Pada level ini dapat juga dinilai bagaimana peserta dapat mentranfer pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperoleh selama training untuk diimplementasikan di tempat kerjanya. Karena yang dinilai adalah perubahan perilaku setelah kembali ke tempat kerja maka evaluasi level 3 ini dapat disebut sebagai evaluasi terhadap outcomes dari kegiatan training. d) Level 4: Hasil Akhir (final result) Evaluasi hasil dalam level 4 ini difokuskan pada hasil akhir (final result) yang terjadi karena peserta telah mengikuti suatu program. Evaluasi hasil akhir ini dilakukan dengan membandingka kelompok kontrol dengan kelompok peserta training, mengukur kinerja sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan. Dalam penelitian ini tidak semua tahapan evaluasi dibahas, hanya tahap pertama dan kedua yang akan dilaksanakan. Tahap pertama merupakan evaluasi mengenai reaksi peserta Motivation Training, tujuannya untuk mengevaluasi keefektifan metode yang digunakan. Jika peserta merespon dengan baik, terdapat perubahan pada peserta maka metode tersebut dapat dilanjutkkan namun jika peserta merasa bosan dengan training maka perlu ada perubahan metode yang diberikan kepada peserta. 27 Tahap selanjutnya adalah tahap pembelajaran, tujuannya agar peserta dapat memperoleh manfaat sesuai dengan tema training yang diberikan. Dengan belajar, peserta training akan mengalami perubahan dalam dirinya, mampu meningkatkan kinerjanya dan menjadi lebih baik dalam bekerja sama dengan anggota yang lain. Setelah dilaksanakan pelatihan dilakukan pengukuran hasil dengan membandingkan penilaian sebelum dan sesuadah diberikan pelatihan. 3. Peran Spiritual Leadership bagi Guru BK Peran Guru BK sangat sentral dalam pembentukan karakter peserta didik. Guru BK sebagai agen perubahan dituntut untuk dapat memahami perkembangan dari waktu ke waktu. Menyadari hal tersebut diharapkan Guru BK mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, dan selanjutnya menjadi agen perubahan bagi yang lain. Seorang Guru BK harus terbiasa untuk mengidentifikasi tantangan masa depan di segala bidang, sehingga mampu membantu orang lain dalam menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang ada. Kepemimpinan adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh Guru BK. Menurut McMahon (2009) diharapkan Guru BK memiliki keterampilan untuk mempimpin. Guru BK berfungsi sebagai pemimpin dalam lingkungan pendidikan dalam rangka untuk mempromosikan perubahan sistematik yang akan menghapus hambatan kesuksesan. Gagasan Guru BK sebagai pemimpin adalah keselarasan filosofis dan perilaku dalam ekosistem profesional Guru BK. Artinya, kepemimpinan menjadi aspek utama yang harus dimiliki oleh seorang Guru BK untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban secara profesional. Guru BK yang memiliki kepemimpinan akan mampu membantu peserta didik dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sebagai agen perubahan Guru BK diharapkan mampu memberikan kontribusi yang maksimal dalam melayani klien. Sikap kepemimpinan ditanamkan sejak awal seorang Guru BK menempuh pendidikan profesi, yaitu ketika dalam proses belajar di bangku kuliah. 28 Hal tersebut berfungsi untuk membentuk karakter Guru BK yang profesional sesuai dengan kode etik Guru BK. Mason (2009) mengemukakan bahwa program Guru BK telah menyertakan kepemimpinan sebagai bagian dari kurikulum, pendidikan mengenai kepemimpinan diberlakukan baik secara lokal maupun nasional. Namun pada prakteknya kepemimpinan belum dilaksanakan dalam pekerjaan sehari-hari ketika menjadi Guru BK. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari seorang Guru BK terutama spiritual leadership. Pengetahuan tentang spiritual leadership tidak hanya dipelajari ketika dalam bangku kuliah saja tetepi harus dipraktekkan Guru BK dalam menjalankan tugas di sekolah menghadapi peserta didik yang beraneka ragam permasalahannya. Spiritual leadership harus ditanamkan sejak dini kepada calon Guru BK agar tebentuk kebiasaan yang baik dalam melayani peserta didik. Guru BK perlu mengembangkan visi, cinta altruis dan harapan dalam diri untuk dapat menumbuhkan spiritual leadership dalam dirinya. 4. Hubungan Motivation Training dengan Peningkatan Spiritual Leadership Pengelolaan sebuah organisasi dan menejemen dalam pekerjaan dilakukan tidak hanya dengan keharusan untuk memperoleh manfaat yang sebesarbesarnya dari sumber daya yang dimiliki guna mencapai tujuan organisasi. Diharapkan juga terpenuhinya kebutuhan pemimpin yang mampu menjaga kesinambungan pelaksanakan kegiatan serta mempertahankan keadaan organisasi yang dipimpin. Peranan seorang leader sangat berpengaruh dalam perkembangan organisasi dan anak buahnya. Pemimpin akan mencerminkan sifat yang ada dalam organisasi tersebut, apabila pemimpin dapat menjalankan tugas dengan baik hasil yang dicapai akan maksimal dan sesuai dengan tujuan. Namun bila pemimpin tidak dapat membawa perubahan ke arah yang positif maka organisasipun juga akan kehilangan arah tujuannya. Sutrisno (2010: 281) menyebutkan spiritualitas akan dapat menyempurnakan karakter kepemimpinan. Selain hal-hal yang mendasar seperti 29 keberanian, ketabahan dan fleksibilitas juga terkandung visi yang tak terbatas, yang menempatkan manusia sebagai bagian utuh dari alam semesta. Hal ini dapat mendorong kreativitas dan inovasi yang tak terbatas. Visi seorang pemimpin yang memiliki spiritual tinggi diharapkan dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat dan lingkungan hidupnya. Seseorang yang spiritualnya tinggi akan cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh dengan pengabdian yaitu seseorang yang bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaan. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling dipersiapkan untuk menjadi seorang Guru BK. Guru BK harus memiliki sikap kepemimpinan untuk memimpin diri sendiri maupun orang lain (Guru BK lain dan klien) sebagai kompetensi dasar dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Guru BK yang memiliki sikap kepemimpinan mampu mengendalikan situasi dan mempengaruhi orang lain dalam pencapaian tujuan bersama. Sikap yang harus dimiliki Guru BK adalah spiritual leadership. Spiritual leadership seperti yang diungkapkan oleh Fry (2003) akan membentuk Guru BK untuk menetapkan visi dan tujuan dalam layanan Bimbingan dan Konseling. Selain itu, Spiritual Leadership juga akan membantu Guru BK untuk mengembangkan sikap altruistik untuk mementingkan kepentingan orang lain, memberikan pelayanan sepenuh hati dan rasa kasih sayang. Guru BK juga akan memiliki harapan serta keyakinan akan kemampuan diri sendiri maupun kliennya. Spiritual leadership penting bagi Guru BK maka perlu ada pelatihan terutama bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling sebagai calon Guru BK. Motivation Training tentang spiritual leadership diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan spiritual leadership bagi Mahasiswa Bimbingan dan Konseling dengan harapan Mahasiswa Bimbingan dan Konseling kelak dapat menjadi Guru BK yang tangguh dan menjalankan perannya secara maksimal. Pelatihan motivasi yang akan diberikan kepada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling adalah pelatihan tentang spiritual leadership. Pelatihan tersebut 30 memadukan konsep pelatihan dari Kirkpatrick mengenai evaluasi training dan spiritual leadership dari teori Fry. Diharapkan pelatihan yang dilaksanakan dengan tahap reaksi dan pembelajaran dapat meningkatkan spiritual leadership Mahasiswa Bimbingan dan Konseling sebagai calon Guru BK. Konsep Motivation Training sejalan dengan teori belajar sosial. Barlow dalam Syah (2003: 106) menjelaskan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah penting dalam pembelajaran. Menurut Bandura dalam Slameto (1995: 21) proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Penguasaan perilaku atau respon baru adalah hasil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dari waktu yang bersamaan (kontinguitas) yang diamati. Kuat lemahnya respon bergantung pada penguatan. Bandura dalam Hitipeuw (2009: 51) memberikan dua konsep utama dalam teori belajar social cognition yaitu modeling dan vicarious learning. Belajar berdasarkan modeling dipandang sebagai kecenderungan individu untuk meniru (imitasi) tingkah laku yang mereka amati dari orang lain. Melalui pengamatan perilaku orang lain akan mendorong diri sendiri untuk meniru perilakunya. Memberikan contoh model akan merangsang indivdu untuk melakukan hal yang sama. Belajar berdasarkan vicarious learning terjadi ketika individu mengamati konsekuensi dari tingkah laku seseorang dan kemudian menyesuaikan tingkah lakunya sendiri. Vicarious learning merangsang individu untuk mengembangkan kemampuan kognitif yang dimiliki, memikirkan tindakan yang harus diambil setelah mengamati perilaku orang lain. 31 Motivation Training mendorong peserta untuk mengamati dan meniru sikap Spiritual Leadership pada kegiatan pelatihan yang dilaksanakan. Peserta diajak untuk melakukan permainan dan mendiskusikan beberapa artikel yang berhubungan dengan Spiritual Leadership, diharapkan setelah melakukan modeling melalui permainan dan diskusi akan merubah pola pikir peserta tentang Spiritual Leadership. Peserta yang mengalami perubahan pengetahuan Spiritual Leadership juga akan menunjukkan perubahan perilaku sesuai dengan modeling yang dilakukan pada saat pelatihan. Metode motivation training yang akan digunakan adalah in class training. Menurut Notoatmdjo (2009: 24) dalam in class training peserta pelatihan mengikuti pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dengan menggunakan teknik-teknik yang diajarkan dalam pelatihan. Dalam metode ini disajikan informasi yang tujuannya mengintroduksikan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan baru kepada peserta. Harapan akhir dari proses pengetahuan, sikap dan keterampilam peserta dapat diadopsi dalam pekerjaannya nanti. Teknik ini dapat berupa ceramah yang berarti peserta pasif mendengarkan, diskusi yaitu informasi diberikan dalam bentuk tugas atau pertanyaan yang dibahas oleh peserta dan teknik permodelan perilaku atau cara meniru tindakan dengan mengobservasi dan meniru model yang diproyeksikan melalui simulasi. B. Penelitian Yang Relevan Penelitian terdahulu yang telah dipublikasikan terkait dengan Spiritual Leadership adalah penelitian yang dilakukan oleh Dudung Abdurahman dan Prima Mulyasari Agustini (2011). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui hubungan Spiritual Leadership dengan spiritualitas tempat kerja. Hasil dari penelitian tersebut adalah perilaku Spiritual Leadership tinggi dan spiritualitas tempat kerja juga tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Spiritual Leadership dengan spiritualitas tempat kerja memiliki hubungan yang positif dan kuat. 32 Penelitian lain dilakukan oleh Riska Fii Ahsani (2013) . Penelitian mengenai Spiritual Leadership, meaning/calling, membership, manajemen karir dan produktifitas yang dilaksanakan di kantor Pemerintahan Kabupaten Sukoharjo memperoleh hasil pemimpin yang memiliki Spiritual Leadership terbukti berpengaruh terhadap meaning/calling dan membership anggotanya. Meaning/calling terbukti berpengaruh pada produktifitas kerja. Penelitian selanjutnya oleh Mayang Ayu Bestari (2013). Penelitian tersebut mengenai hubungan Spiritual Leadership dan konsep diri dengan manajemen karir serta produktifitas. Hasil penelitian menunjukkan Spiritual Leadership dan konsep diri pada individu akan mempengaruhi menejemen karir dan produktifitas dalam bekerja. Semakin tinggi Spiritual Leadership dan konsep diri seseorang akan menunjukkan menejemen karir dan produktifitas kerja yang baik pula. Berdasarkan penelitian terdahulu mengenai Spiritual Leadership terbukti bahwa kemampuan Spiritual Leadershipperlu untuk dikembangkan untuk hasil yang maksimal dalam bekerja. Spiritual Leadership akan membantu seseorang secara optimal untuk menjalankan pekerjaan yang ditekuninya. Spiritual Leadership membentuk karakter seseorang untuk menetapkan tujuan kerja secara jelas, mendorong untuk lebih peduli terhadap orang lain serta memiliki harapan yang tinggi terhadap hasil pencapaian kerjanya. C. Kerangka Berpikir Berdasarkan teori yang telah dikemukakan maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran bahwa Spiritual Leadership merupakan nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan perilaku yang diperlukan secara intrinsik memotivasi diri sendiri dan orang lain sehingga mempunyai rasa terus hidup (survival) spiritual melalui panggilan hidup (calling) dengan mengembangkan visi, cinta altruis dan hope/fight. Cohen dalam Goodwin dan Coates (1976: 15) menyatakan bahwa setiap perilaku memiliki alasan, dan bahwa setiap perilaku benar-benar konsisten dengan 33 lingkungan di mana itu terjadi. Menurut analisis perilaku, perilaku ini bukan kebetulan. Individu mulai bekerja karena isyarat (cues) lingkungan menunjukkan bahwa ini adalah hal yang harus dilakukan. Dia bereaksi terhadap peristiwa tertentu yang mengatakan persis bagaimana berperilaku dalam situasi tertentu. isyarat ini disebut antecedents karena mereka terjadi sebelum perilaku tersebut terjadi. Peristiwa lanjutan yang disebut konsekuensi (consequents), datang setelah perilaku dan berfungsi baik untuk meningkatkan atau menurunkan frekuensi perilaku. Konsekuensi adalah peristiwa yang mengikuti perilaku tertentu, dan mungkin atau tidak mungkin menjadi hasil dari perilaku itu. Consequents sama pentingnya dengan antecedents karena menentukan apakah meningkatkan perilaku atau mengurangi perilaku di masa depan. Ada dua jenis consequents, yang meningkatkan frekuensi dari perilaku disebut penguatan (reinforcers) dan yang menurunkan seberapa sering perilaku terjadi disebut hukuman (punishers). Spiritual Leadership dapat ditingkatkan dengan menerapkan teori Social Learning yang memiliki konsep: cues sebagai isyarat seorang individu untuk melakukan suatu perilaku, modelling dengan meniru atau imitasi dari yang dilihat disekelilingnya dalam waktu tertentu dan prior learning yaitu hasil belajar dari pengalaman sebelumnya. Social learning untuk meningkatkan spiritual leadership dilaksanakan melalui motivation training dengan memasukkan aspek yang terkandung dalam social learning agar terbentuk perilaku individu. Antecedent yaitu berupa cues, modeling dan prior learning akan membentuk perilaku. Perilaku dapat berlanjut dan dapat terhenti. Perilaku berlanjut dipengaruhi oleh reinforcements dan perilaku berhenti karena dipengaruhi oleh punishment. Spiritual leadership dapat berkembang apabila individu mendapatkan reinforcement positif sehingga mendorong individu untuk mengubah nilai, sikap, pengetahuan dan perilaku. Penguatan tersebut akan menghasilkan perilaku positif sehingga individu mampu untuk mengembangkan spiritual leadership dalam diri. Kerangka pemikiran ini dapat dilihat dalam Gambar 2.2: 34 Spiritual Leadership Penggabungan nilai-nilai, sikap, pengetahuan dan perilaku yang dipelukan secara intrinsik memotivasi diri sendiri dan orang lain sebagai panggilan hidup (calling). Aspek Spiritual Leadership: Visi Altruistik Hope/Fight Teori social Learning Tingkah laku diarahkan oleh: 1. Cues : isyarat yang mengarahkan untuk berperilaku 2. Modelling : imitasi atau peniruan perilaku yang dilihat atau diamati 3. Prior learning : Pengalaman hasil belajar sebelumnya Tingkah laku berlanjut atau terhenti dipengaruhi oleh reinforcement dan punishment Motivation Training: Antecedents Behavior 1. Cues : Perilaku Spiritual melalui cues verbal dengan Leadership: memberikan cerita dan 1. Menetapkan visi diskusi mengenai cinta dalam proses altruis belajar sebagai 2. Modeling : calon guru BK melalui permainan 2. Melakukan cinta mengenai visi dan altruis kepada hope/fight orang lain 3. Prior learning ; 3. Mempunyai melalui orientasi Spiritual hope/fight Leadership terhadap tugas yang dikerjakan Consequents 1. Hidup menjadi lebih bermakna 2. Memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk melayani orang lain sebagai panggilan hidup (calling) Hal tersebut sebagai Self-Reinforcements Gambar 2.2 : Kerangka Berpikir hubungan antara Spiritual Leadership dan Motivation Training 35 D. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran, maka dapat dirumuskan hipotesis. Arikunto (2010: 110) mendefinisikan hipotesis sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap suatu permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Borg dalam Arikunto (2010: 112) menjelaskan persyaratan hipotesis: 1. Hipotesis harus dirumuskan dengan singkat dan jelas. 2. Hipotesis harus dengan nyata menunjukkan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih variabel. 3. Hipotesis harus didukung oleh teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli atau hasil penelitian yang relevan. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret Surakarta belum memiliki Spiritual Leadership. 2. Terdapat gain kemampuan Spiritual Leadership pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling seblum dan sesudah diberi treatment. 3. Motivation Training efektif meningkatkan Spiritual Leadership pada Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret Surakarta.