Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Berbicara THARIQAT.... bagi orang yang belum mengetahui pasti bertanya-tanya. Kenapa harus berthariqat...? Bukankan sudah cukup amalan-amalan yang kita kerjakan sesuai dengan rukun islam dan rukun iman sebagai pondasi dasar dari agama islam itu sendiri…? Sebab sebahagian ulama mengatakan thariqat itu tidak diperbuat oleh Nabi, sehingga sebahagian ulama dan orang awam berkesimpulan pastilah setiap yang tidak dibuat oleh nabi adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah pastilah sesat. Bukankah hal itu selalu ada menghantui pikiran kita serta membuat hati kita berburuk sangka terhadap amalan-amalan thariqat itu sendiri. Rasulullah SAW telah bersabda: “Barang siapa yang menciptakan Bid’ah dhalalah (maksudnya Bid’ah yang sesat) yang tidak menyenangkan hati bagi Allah dan Rasul-Nya, maka akan ditimpahkan segala dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu yang tidak dikurangi sedikitpun” (H.R. Tirmidzi) Sedangkan para pengamal thariqat hanya selalu memperbanyak amalan-amalan dzikir dan wirid-wirid yang bersumber dari kitab suci Alqur’an dan Al-hadits, apakah ini yang kita katakan sesat….??? dan melaksanakan wirid serta membaca surat yassin yang juga diadakan hampir di seluruh daerah khususnya di Indonesia, juga akan kita katakan sesat…??? Sampai hatikah kita atau terlalu kejamkah kita ini untuk mengatakan orang yang membaca ayat-ayat Allah atau firman-firman Allah kita katakan sesat…??? Ampunkanlah kami ya Allah… kalau selama ini kami telah banyak berburuk sangka kepada saudara kami sendiri yang rupa-rupanya mereka mengamalkan amalan – amalan dan wirid-wirid adalah tujuannya untuk lebih mendekatkan diri kepadamu secara penuh dengan keikhlasan hatinya untuk mencintai Allah. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman yang bunyi dan artinya: Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati, (Q.S Al Baqarah (2) Ayat 139) 1 Sebenarnya tidaklah begitu… berthariqat secara sistematis dalam beramal ibadah yang telah dilakukan secara turun menurun, dengan istilahnya disebut silsilah berthariqat. Artinya; para salafus shaleh (orangorang saleh terdahulu) ataupun wali-wali Allah terdahulu telah mengamalkan dzikrullah secara benar, pas, tepat dan terarah pada inti sasaran yang dimaksudkan Allah dan yang dikehendaki Allah serta diridhoi Allah, terutama pada diri junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW sebagai kekasih Allah (Habibullah). Berthariqat sendiri didasarkan atas firman Allah SWT: Dan bahwasanya: jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak) (Q.S Al Jin (72) Ayat 16) Sekarang....tidakkah kita juga menginginkan diri kita sebagai seorang hamba yang benar di dalam pandangan dan penilaian Allah, yang selalu dapat merasakan ketentraman, ketenangan, kedamaian dan kelapangan dengan hati selalu berkekalan (istiqamah/berdzikir) hanya kepada Allah semata. Seperti di dalam firman Allah SWT : yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram. (Q.S Ar Rad (13) Ayat 28) dan firman Allah SWT lagi yang bunyi dan artinya: Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orangorang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, (Q.S Al Fath (48) Ayat 4) Serta Firman Allah SWT lagi yang bunyi dan artinya: Maka apakah orang-orang yang dilapangkan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Q.S Az Zumar (39) Ayat 22) 2 Jadi, cukup jelas dikatakan Allah bahwa “Sesat yang sesungguhnya itu” adalah HATI YANG KERAS TIDAK BERDZIKIR KEPADA ALLAH. Dalam buku yang berjudul “Sekitar Thariqat Naqsyabandiyah” yang ditulis oleh Drs. H. Imron Abu Amar, halaman 11-12 menuliskan bahwa : pengertian Thariqat sebagaimana yang telah berkembang di kalangan Ulama Ahli Tasawuf, yaitu: Jalan atau petunjuk dalam melaksanakan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah dan yang dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai kepada guru-guru, ulamaulama secara bersambung dan berantai hingga pada masa kita ini. Suatu contoh dapat diketahui, bahwa di dalam Al Qur’an hanya dapat dijumpai adanya ketentuan kewajiban “shalat”, tetapi tidak ada satu ayatpun yang memberikan perincian tentang raka’at shalat tersebut. Misalnya saja shalat Dzuhur sebanyak 4 raka’at, Ashar 4 raka’at, Maghrib 3 Raka’at, Isya 4 raka’at dan Subuh 2 raka’at. Demikian pula terhadap syarat dan rukunnya shalat tersebut. Rasulullah sebagai orang yang pertama yang memberikan contoh-contoh dan cara-cara mengerjakan shalat-shalat maktubah dengan melalui perbuatan yang ditunjukan dan ditiru oleh para sahabatnya terus turun menurun sampai kepada kita ini lewat pelajaranpelajaran dan petunjuk yang diberikan oleh para Guru, Syekh dan para Ulama. Hal ini bukan berarti, bahwa Al Qur’an sebagai sumber pokok hukum dalam Islam itu tidak lengkap, Sunnah Rasul dan Ilmu Fiqih yang disusun oleh para Ulama tidak sempurna, akan tetapi masih banyak penjelasan yang dibutuhkan umat agar pelaksanaan peraturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya dapat dikerjakan secara teratur rapi menurut semestinya. Bukan menurut penerimaan dan penangkapan akal bagi yang mampu membaca, menghayati dan memahami yang pada puncaknya orang ini akan mengerjakan syari’at Islam sesuai dengan kemauan hawa nafsunya sendiri. Hampir saja diseluruh kalangan para ahli Sufi berpendapat, bahwa sebenarnya thariqat itu adalah termasuk kedalam kerangka Ilmu Mukasyafah yang dapat memancarkan cahaya ke dalam hati para penganutnya karena mengamalkan dzikrullah. Sehingga dengan cahaya (nur) itu terbukalah segala sesuatu yang ada di balik rahasia ucapanucapan Nabi dan demikian pula halnya terhadap segala sesuatu yang ada di balik rahasia cahaya Allah. Ilmu Mukasyafah tidak begitu saja mudah dipelajari, kecuali bila 3 ditempuh dengan melalui jalan latihan bathin (Riyadho) dan perjuangan melawan hawa nafsu (Mujahadah). Dengan kesungguhan menempuh jalan yang demikian itu, maka sedikit demi sedikit akan menjadi terbuka segala yang ghaib di balik hijab yang mendindingi antara hamba dan Tuhannya. Sehingga dapatlah bermusyahadah (menyaksikan sendiri) dengan pengelihatan hati (Musyahadatul Qalbi) bukan dengan pengelihatan mata. Sebab pengelihatan mata ini hanyalah merupakan alat belaka dari pengelihatan hati. Buta dalam perkara ini bukanlah buta mata, tetapi buta hati dalam dada. maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S Al Hajj (22) Ayat 46) Dari sinilah maka sesungguhnya syari’at yang dikerjakan dapat berjalan di atas rel yang lurus, tidak terpeleset jatuh kedalam jurang kesesatan, sehingga terhalang untuk dapat sampai kepada yang dituju. Yakni untuk siapa sebenarnya syari’at itu dikerjakan. Jawabnya adalah “HANYA UNTUK ALLAH” yang dituju. Seperti do’a iftitah yang selalu kita bacakan ketika melaksanakan shalat setelah mengucap takbir “Inna shalatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil-’aalamiin. Laa syariikalahu wa bi dzalika umirtu wa ana minal-muslimin. Artinya: SESUNGGUHNYA SHALATKU, IBADATKU, HIDUPKU DAN MATIKU SEMATA HANYA UNTUK ALLAH , Tuhan seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan dengan itu aku di perintahkan untuk tidak menyekutukan-Nya, dan aku dari golongan orang muslimin. Walaupun sunnat hukumnya membaca do’a iftitah, tetapi itulah inti pokok dari tujuan beramal ibadah itu sendiri. Demikianlah akhirnya manusia ini akan dapat menemukan hakikat kebenaran hidup yang sejati yaitu untuk bagaimana menggapi keridho’an Allah SWT. Sebagaimana ijab Kabul dari seluruh pengamal pengamal thariqat; ILAHI ANTA MAQSUDI WA RIDHOKA MATLUBI Artinya : “ Ya Allah hanya Engkau maksudku tiada yang lain dan ridhoMu jua dambaanku/harapanku tiada yang lain” Sehingga benarlah diri kita dalam padangan Allah untuk dapat mencintai-Nya dan rasul-Nya dengan tidak merasa malas, ria, bangga, ujub diri terhadap amalan-amalan yang kita kerjakan itu. Justru 4 sebaliknya, kita menyadari akan nyatanya diri kita ini yang hina di dalam pandangan Allah SWT yang tiadak ada artinya apa-apa karena memang kita berasal dari setetes air mani yang hina. Allah SWT telah berfirman: Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (Q.S Al Mu’minuun (23) Ayat 14) Setelah kita menyadari akan siapakah diri kita yang sesungguhnya, maka segala amal ibadah yang kita lakukan tulus dan ikhlas hanya kepada Allah semata Dzat Yang Maha Mulia itu, dan menjadikan diri kita benar secara Hablumminannas karena dapat bergaul dengan rasa kerendahan hati, berbudi, sopan santun dan penuh keramahtamahan dan berakhlakul karimah secara murni yang jauh dari kesan kemunafikan. Jadi, sekali lagi kami sampaikan: Allah SWT mengatakan di dalam firman-Nya yaitu: Orang-orang yang keras hatinya karena tidak berdzikir kepada Allah-lah yang dikatakan SESAT YANG SESUNGGUHNYA (SESAT YANG AMAT NYATA) (Q.S Az Zummar (39) Ayat 22), dan karena dirinya berparasangka bahwa sesat yang amat nyata itu adalah perbuatan yang bid’ah , sedangkan ketika kita shalat dan mengerjakan amalan-amalan yang lainnya itu dianggapnya telah cukup, tetapi sesungguhnya mereka tersesat dijalan yang benar, dengan menganggap bahwa mereka telah benar atas segala bentuk pekerjaan syari’atnya, namun tersesat dalam pandangan dan penilaian Allah SWT, karena hatinya (Qalbunya) tidak berdzikir kepada Allah SWT. sebagaimana firman-Nya: Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan LEBIH TERSESAT DARI JALAN (YANG BENAR). (Q.S Al israa’ (17) Ayat 72) Itulah Qalbu (hati) yang gelap tidak berdzikir kepada Allah Karena tidak mau melatihnya untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT atau menyebut Asma Allah di dalam hati itu. (Q.S Al A’raaf (7) Ayat 205) Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S Al A’raaf (7) Ayat 205) 5 dan thariqat merupakan jalan beramal ibadah secara benar, pas, tepat dan pada inti sasarannya yaitu HATI menuju kesufian atau tasawuf (hati yang bening, bersih dan suci) (Q.S Al Jiin (72) Ayat 16). Dari mulai hari ini dan seterusnya marilah kita sama-sama untuk menyatakan taubat kepada Allah azza wa jalla Yang Maha Suci itu, atas buruk sangka dan pikiran yang salah. Mohon maaf lahir dan bathin atas segala kesalahan dan kekurangan serta kelemahan atas keterangan yang saya sampaikan. Billahi taufiq wal hidayah wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Disampaikan oleh: Mursyid/Guru Besar/Mujaddid Syekh. Muhammad Hirfi Nuzlan Bin H. Muhammad Thahir Bin Muhammad Isa Bin Malan 6