BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Telinga 2.1.1. Anatomi Organ Telinga Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi suara, mengenal suara dan berperan dalam keseimbangan posisi tubuh. Telinga mengandung bagian vestibulum dari keseimbangan, namun orientasi kita terhadap lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata kita dan alat perasa pada tendon dalam. Jadi telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan (Sloane, 2004). Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Bagian liar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea, yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood,2001). a. Telinga Luar Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis (Higler, 2000). Pinna merupakan daun kartilago yang menangkap gelombang bunyi dan menjalarkannya ke kanal auditori eksternal (meatus), suatu lintasan Universitas Sumatera Utara sempit yang panjangnya sekitar 2,5 cm yang merentang dari aurikula sampai membran timpani (Sloane, 2004). b. Membrana Timpani Membrana timpani atau gendang telinga adalah perbatasan telinga tengah. Membran ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah, dan memiliki tegangan, ukuran, dan ketebalan yang sesuai untuk menggetarkan gelombang bunyi secara mekanis (Sloane, 2004). Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membran timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid) (Higler, 2000). c. Telinga Tengah Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah Universitas Sumatera Utara stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior lidah. Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang berinsersi pada leher maleus. Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang epitimpanum di bagian atas, membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah. Bagian yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang pertama. Saraf timpanikus berjalan melintasi promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosuperior promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior hingga piramid stapedius di posterior (Higler, 2000). d. Tuba Eustakius Tuba Eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriksor superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat terbukan melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi Universitas Sumatera Utara pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani (Higler, 2000). e. Telinga dalam Telinga dalam berisi cairan dan terletak dalam tulang temporal, di sisi medial telinga tengah.Bentuk telinga tengah sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu rongga tertutup yaitu labirin membrana yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium.Labirin membrana dikelilingi oleh cairanoerilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsul otika bertulang. Labirin tulang dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita (Higler, 2000). Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebahai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah) (Ganong, 2002). Universitas Sumatera Utara Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan tiga baris sel rambut liar (12.000). Sel-sel ini menggantung nglewat lubang-lubang dengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrana tektoria. Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus (Sherwood,2001). Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulum, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih besar daripada ensolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otkan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada reseptor (Higler, 2000). Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakulus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel reseptor (Higler, 2000). Universitas Sumatera Utara 2.1.2. Fisiologi Pendengaran Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang berselang seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut (Sherwood, 2001). Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal ini menyebabkan terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak (Corwin, 2001). Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan berubah dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel rambut yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah selsel yang mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel rambut yang terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval adalah sel-sel yang mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah. Otak menginterpretasikan suatu suara berdasarkan neuron-neuron yang diakftifkan. Otak menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi impuls neuron dan jumlah neuron aferen yang melepaskan potensial aksi (Corwin, 2001). Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk pengdengaran normal, dosebut hantaran osikular. Gelombang bunyi juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran normal, disebut hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang adalah penyaluran getaran dari tulang-tulang tengkorak ke cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang Universitas Sumatera Utara cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang bergetar langsung ke tengkorak. Jaras ini juga berperan dalam penghantaran bunyi yang sangat keras (Ganong, 2002). 2.2. Macam-macam Gangguan Pendengaran Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yaitu gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran. Gangguan pendengaran konduktif adalah akibat kelainan telinga luar atau tengah. Gangguan pendengaran sensorineural timbul sekunder dari kelainan koklearis, saraf kedelapan atau saluran auditorik sentral (Higler, 2000). Tuli konduktif disebabkan oleh hal yang menggangu hantaran normal daripada gelombang suara ke organ corti. Jadi merupakan gangguan konduksi rangsangan suara melalui liang telinga, membran timpani, ruang telinga tengah, dan tulang pendengaran (Hassan et al, 2007). Pada telinga luar misalnya serumen prop atau benda asing dalam liang telinga, otitis eksterna, eksostosis. Pada telinga tengah misalnya OMA supurativa dan nonsupurativa, otitis media kronik dengan atau tanpa mastoiditis, perforasi membranan timpani, otitis media serosa (glue ear), otitis media adesiva, otosklerosis, sumbatan tuba eustachii, barotrauma, trauma kepala disertai gangguan fungsi telinga oleh ossicular chain disruption atau oleh hematoma dalam telinga tengah, neoplasma (Hassan et al, 2007). Pada tulis sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam, nervus VIII atau di pusat pendengaran (Soepardi et al, 2007). Tuli saraf disebabkan oleh hal yang merintangi atau mengurangi reaksi normal dari sel /rambut terhadap stimulasi oleh gelombang suara atau hal yang merintangi atau mengganggu reaksi normal dari jalan serabut saraf organ corti ke korteks serebral (Hassan et al, 2007). Kerusakan pada saraf atau koklea dapat disebabkan oleh trauma kepala disertai kerusakan os petrosus, trauma akustik misalnya ketulian akibat bising di pabrik, infeksi (virus pada parotitis, campak, influenza dan sebagainya), Universitas Sumatera Utara neoplasma (akustik neuroma, glomus jugulare), obat ototoksi (streptomisin, kanamisin, preparat kina), gangguan serebrovaskular (Hassan et al, 2007). 2.2.1. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umunya terjadi pada kedua telinga (Hassan et al, 2007). Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga (obat ototoksik) seperti streptomisin, kanamisin, garamisin (golongan aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain (Corwin, 2001). a. Gejala Klinis Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar menetap (permanent threshold shift) (Hassan et al, 2007). Gejala klinis lainnya yaitu : 1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising. Universitas Sumatera Utara 2. Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan hari. 3. Peningkatan ambang dengar menetap merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (explosif) atau berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dll (Higler, 2000). b. Klasifikasi Secara umum dibedakan dua macam yaitu : - Pengaruh Auditorial berupa tuli akibat bising (noise induced hearing loss) dan umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan tingkat kebisingan yang tinggi. - Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam misalnya gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah dan lain sebagainya (Hassan et al, 2007). c. Patologi Telah diketahui secara umum bahwa bising menimbulkan kerusakan di telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disoiasi organ corti, ruptur membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Bising juga menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ corti dengan mikroskop elektron ternyata bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Hassan et al, 2007). Universitas Sumatera Utara Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan bergantung pada intensitas lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian menggunakan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel penyangga, pembuluh darah dan serabut aferen (Hassan et al, 2007). Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan intensitas yang lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan mengakibatkan kerusakan pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran reisner. Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada lamina retikularis (Warren, 2008). d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri (Hassan et al, 2007). Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000 – 6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance), audiometeri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil Universitas Sumatera Utara menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang patognomonik untuk tuli sensorineural koklea (Hassan et al, 2007). Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea, dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang dengarnya. Sebagai contoh orang yang pendengarannya normal tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila sedang mendengarkan bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen dapat mendeteksi kenaikan bunyi tersebut. Contoh sehari-hari pada orang tua yang menderita presbikusis (tuli sensorineural koklea akibat proses penuaan) bila kita berbicara dengan kekerasan (volume) biasa dia mengatakan jangan berisik, tetapi bila kita berbicara agak keras dia mengatakan jangan berteriak, sedangkan orang yang pendengarannya normal tidak menganggap kita berteriak (Higler, 2000). Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut cocktail party deafness (Higler, 2000). Apabila seseorang yang tuli mengatakan lebih mudah berkomunikasi di tempat yang sunyi atau tenang, maka orang tersebut menderita tuli sensorineural koklea (Higler, 2000). e. Penatalaksanaan Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet) (Warren, 2008). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah Universitas Sumatera Utara mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar / ABD (hearing aid). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaanya. Latihan pendengaran (auditory training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan (Hassan et al, 2007). f. Prognosis Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian (Hassan et al, 2007). g. Pencegahan Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara meredam sumber bunyi, misalnya yang berasal dari generator dipisah dengan menempatkannya di suatu ruangan yang dapat meredam bunyi. Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat seperti mesin tenun, mesin penggulungan lembaran baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan sendiri oleh pekerja seperti di tempat penempaan logam, maka pekerja tersebut yang harus dilindungi denga alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup telinga dan pelindung kepala. Ketiga alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi tinggi dan masing- Universitas Sumatera Utara masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup telinga memberikan proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga, sedangkan helm selain pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala. Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi yang terbaik. Pekerja yang menjadi tuli akibat terpajan bising di lingkungan kerja berhak mendapat santunan (Hassan et al, 2007). Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB tanpa menimbulkan ketulian, misalnya dengan menggunakan tabel berikut Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja 1999 Jam Menit Detik Lama pajan/hari Intensitas dalam dB 24 80 16 82 8 85 4 88 2 91 1 94 30 97 15 100 7,50 103 3,75 106 1,88 109 0,94 112 28,12 115 14,06 118 7,03 121 3,52 124 1,76 127 0,88 130 0,44 133 0,22 136 0,11 139 Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walau sesaat Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil bila diterapkan Program Konservasi Pendengaran (PKP) yang bertujuan untuk mencegah atau Universitas Sumatera Utara mengurangi tenaga kerja dari kerusakan atau kehilangan pendengaran akibat kebisingan di tempat kerja, tujuan lain adalah mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan datadata. Untuk mencapai keberhasilan program konservasi pendengaran, diperlukan pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri, kemampuan dan ketrampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi audiometer dan penilaian hasil audiogram (Hassan et al, 2007). Aktivitas Program Konservasi Pendengaran antara lain adalah melakukan identifikasi sumber bising melalui survey kebisingan di tempat kerja (walk through survey), melakukan analisis kebisingan dengan mengukur kebisingan menggunakan Sound Level Meter (SLM) atau Octave Band Analyzer, melakukan kontrol kebisingan dengan berbagai cara peredaman bising, melakukan tes audiometri secara berkala pada pekerja ynag berisiko, menerapkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi, serta menerapkan penggunaan APD (alat pelindung diri) secara ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data (Hassan et al, 2007). 2.3. Suara Suara atau bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang merambat dalam suatu medium secara perapatan dan perenggangan, terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Medium atau zat perantara ini dapat berupa zat cair, padat, gas. Jadi, gelombang bunyi dapat merambat misalnya di dalam air, batu bara, atau udara. Sebagai contoh palu yang digunakan untuk mengaplikasikan paku menghasilkan getaran suara yang tersebar melalui udara. Suara dihasilkan dari kompresi molekul-molekul yang berjalan pada suatu medium. Manusia mendengar bunyi saat gelombang bunyi menghasilkan getaran di udara atau medium lain, sampai ke gendang telinga manusia. Batas frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan Universitas Sumatera Utara berbagai variasi dalam kurva responsnya. Gelombang suara di atas 20 kHz disebut ultrasonik dan di bawah 20 Hz disebut infrasonik (Stach, 1998). Gelombang bunyi terdiri dari molekul-molekul udara yang bergetar majumundur. Tiap saat, molekul-molekul itu berdesakan di beberapa tempat sehingga menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang bertekanan tinggi dan rendah secara bergantian bergerak di udara menyebar dari sumber bunyi (Stach, 1998). Bunyi merambat di udara dengan kecepatan 1.224 km/jam. Bunyi merambat lebih lambat jika suhu dan tekanan udara lebih rendah. Di udara tipis dan dingin pada ketinggian lebih dari 11 km, kecepatan bunyi 1.000 km/jam. Di air, kecepatannya 5.400 km/jam, jauh lebih cepat daripada di udara (Higler, 2000). Suara merambat melalui gelombang suara dan menghasilkan fluktuasi tekanan udara, yang dikonversi menjadi gelombang mekanik ke telinga manusia dan dirasakan oleh otak (Higler, 2000). Suara merupakan energi mekanik yang merambat melalui materi dalam bentuk gelombang. Melalui cairan dalam bentuk gelombang kompresi dan melalui padat dalam bentuk gelombang kompresi dan geser. Suara dianggap secara lebih rinci melalui gelombang generik, yaitu frekuensi, panjang gelombang, periode, amplitudo, kecepatan, dan arah. Kecepatan dan arah ini digabungkan menjadi vektor kecepatan, atau panjang gelombang dan arah digabungkan menjadi vektor gelombang (Hassan et al, 2007). Suara tidak dapat terdengar pada ruang hampa udara karena bunyi membutuhkan zat perantara untuk menghantarkan bunyi baik zat padat, cair maupun gas (Higler, 2000). a. Penentuan Arah Sumber Suara Seseorang menentukan sumber suara dalam arah horizintal melalui dua prinsip yaitu perbedaan waktu antara masuknya suara ke dalam satu telinga dan masuknya ke dalam telinga yang lain, dan perbedaan antara intensitas suara dalam kedua telinga (Hassan et al, 2007). Mekanisme pertama berfungsi paling baik untuk frekuensi di bawah 3000 siklus per detik, dan mekanisme kedua bekerja paling baik pada frekuensi yang Universitas Sumatera Utara lebih tinggi karena kepala bertindak sebagai sawar suara yang lebih baik pada frekuensi-frekuensi ini. Mekanisme perbedaan waktu dalam membedakan arah, jauh lebih tepat daripada mekanisme intensiats, karena mekanisme ini tidak bergantung pada faktor-faktor luar, melainkan hanya bergantung pada interval waktu yang tepat antara dua sinyal akustik. Jika seseorang melihat lurus ke arah sumber suara, suara akan mencapai kedua telinga dengan jarak waktu yang tepat sama, sedangkan jika telinga kanan lebih dekat dengan suara daripada telinga kiri, sinyal suara dari telinga kanan akan memasuki otak lebih dahulu daripada sinyal dari telinga kiri (Higler, 2000). Kedua mekanisme yang telah disebutkan tidak dapat mengatakan apakah suara berasal dari depan atau dari belakang, dari atas atau dari bawah seseorang. Pembedaan ini terutama dicapai melalui aurikula kedua telinga. Bentuk aurikula mengubah kualitas suara yang masuk ke telinga, yang bergantung pada arah dari sumber suara. Hal ini terjadi melalui penguatan frekuensi bunyi spesifik yang berasal dari berbagai arah (Guyton, 2007). b. Mekanisme Saraf untuk Mendeteksi Arah Suara Kerusakan korteks auditorik pada kedua sisi otak, akan menyebabkan hilangnya hampir semua kemampuan untuk mendeteksi arah datangnya suara. Analisis saraf untuk proses deteksi ini dimulai dari nukleus olivarius superior di dalam batang otak, meskipun ternyata jaras persarafan pada semua jalur dari nukleuis ini ke korteks dibutuhkan untuk menginterpretasikan sinyal. Mekanisme tersebut dianggap terjadi sebagai berikut. Nukleus olivarius superior dibagi menjadi dua bagian yaitum nukleus olivarius suoerior medial dan nukleus olivarius superior lateral. Nukleus lateral bertanggung jawab untuk mendeteksi arah sumber suaram agaknya melalui perbandingan sederhana diantara perbedaan intensitas suara yang mencapai kedua telingam dan mengirimkan sinyal yang tepat ke korteks suditorik untuk memperkirakan arahnya (Higler, 2000). Namun demikian, nukleus olivarius superior medial mempunyai mekanisme spesifik untuk mendeteksi perbedaan waktu antara sinyal akustik Universitas Sumatera Utara yang memasuki kedua telinga. Nukleus ini terdiri atas sejumlah besar neuron yang mempunyai dua dendrit utama, satu menonjol ke kanan dan satu menonjol ke kiri. Sinyal akustik dari telinga kanan mengenai dendrit kanan, dan sinyal dari telinga kiri mengenai dendrit kiri. Intensitas eksitasi di setiap neuron sangat sensitif terhadap perbedaan waktu yang spesifik antara dua sinyal akustik yang berasal dari kedua telinga. Neuron yang dekat dengan salah satu perbatasan nukleus akan berespons secara maksimum terhadap perbedaan waktu yang singkat, sedangkan yang dekat dengan perbatasan yang berlawanan akan berespons terhadap perbedaan waktu yang sangat panjang. Neuron yang berada di antara keduanya akan berespons terhadap perbedaan waktu sedang. Jadi, pola spasial perangsangan neuron berkembang di dalam nukleus olivarius superior medial dengan suara yang datang langsung dari depan kepala merangsang satu perangkat neuron olivarius secara maksimal dan suara dari sudut sisi yang berebeda menstimulasi perangkat neuron lainnya pada sisi yang tepat berlawanan. Orientasi spasial sinyal ini kemudian dijalarkan ke korteks auditorik, tempat arah suara ditentukan oleh lokus neuron yang dirangsang secara maksimal. Diduga bahwa semua sinyal yang digunakan untuk penentuan arah suara dijalarkan melalui jaras yang berbeda dan merangsang lokus yang berbeda dalam korteks serebri, dari jaras penjalaran dan lokus terkahir untuk pola gaya suara (Stach, 1998). Mekanisme untuk mendeteksi arah datangnya suara kembali menunjukkan bagaimana informasi spesifik dalam sinyal sensorik dipotong ketika sinyal melalui tingkat aktivitas neuron yang berbeda (Hassan et al, 2007). c. Menentukan Kekerasan Suara Kekerasan suara ditentukan oleh sistem pendengaran, sekurang-kurangnya melalui tiga cara (Guyton, 2007). Pertama, ketika suara menjadi lebuh keras amplitudo getaran membran basilar dan sel-sel rambut juga meningkat, sehingga sel-sel rambut mengeksitasi ujung saraf dengan lebih cepat (Guyton, 2007). Universitas Sumatera Utara Kedua, ketika amplitudo getaran meningkat akan menyebabkan semakin banyak sel-sel rambut di pinggir bagian membran basilar yang beresonansi menjadi terangsang sehingga menyebabkan penjumlahan spasial impuls yaitu, transmisi melalui banyak serabut saraf dan bukan melalui beberapa serabut saraf (Hassan et al, 2007). Ketiga, sel-sel rambut luar tidak terangsang secara bermakna sampai getaran membran basilar mencapai intensitas yang tinggi dan perangsangan sel-sel ini tampaknya yang mengabarkan pada sistem saraf bahwa suara tersebut sangat keras (Hassan et al, 2007). 2.4. Macam-macam Evaluasi Pendengaran 1. Uji Rinne Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar. Penala kemudian dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara). Telinga normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara, temuan ini disebut Rinne positif ( HU>HT). Hasil ini dapat dijelaskan sebagai hambatan yang tak sepadan (Higler, 2000). Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural juga akan memberi Rinne positif seandainya sungguh-sungguh dapat mendengar bunyi penala, sebab gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi baik hantaran udara maupun hantaran tulang ( HU>HT) (Hassan et al, 2007). Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang (HU<HT). (Stach, 1998). Tabel 2.2 Interpretasi Hasil uji Rinne Hasil Uji Rinne Status Pendengaran Lokus Universitas Sumatera Utara Positif HU ≥ HT Negatif HU < HT Tak ada atau Normal atau gangguan koklearis- sensorineural Gangguan Konduktif retrokoklearis Telinga luar atau tengah 2. Uji Schwabach Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu, pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung beberapa lama (dalam detik) ia masih dapat menangkap bunyi (Higler, 2000). Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan pemeriksa hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada kasus gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih dapat mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka dikatakan Schwabach memendek. Interpretasi uji Schwabach (Hassan et al, 2007). Tabel 2.3 Interpretasi Hasil uji Schwabach Hasil Uji Status Pendengaran Lokus Normal Normal Tak ada Memanjang Tuli konduktif Memendek Tuli sensorineural Schwabach Telinga luar dan/ atau tengah Koklearis dan/ atau retrokoklearis Universitas Sumatera Utara 3. Uji Weber Uji Weber membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara melakukan uji weber dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Gagang penala yang bergetar ditempelkan di tengah dahi dan pasien diminta melaporkan apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya (Hassan et al, 2007). Umumya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang lebih besar. Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk, maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar pada telinga yang lebih baik, maka dicurigai tuli sensorineural pada telingga yang terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadangkadang juga pemeriksa (Higler, 2000). Uji Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal (Stach, 1998). 4. Audiometri Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur. Audiometri dikembangkan awal 1920-an, mencontoh rangkaian oktaf dari skala C seperti pada penala. Intensitas nada dapat dipertahankan pada tingkat tertentu, tidak seperti penla di mana intensitas nada segera berkurang setelah dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada interval tertentu dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat dihitung. Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi Universitas Sumatera Utara desibel dan kontinuitas intensitas, dan lahirlah suatu era modern audiometri nada murni. Desibel (dB) adalah satuan yang sangat cocok yaitu, logaritma dari rasio dua daya atau tekanan (Higler, 2000). a. Audiometri Nada Murni Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada, karenanya disebut “murni”. Terdapat beberapa pilihan nada terutama dari oktaf skala C : 125, 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah oktaf (750, 1500, 3000 dan 6000 Hz). Audiometer memiliki tiga bagian penting yaitu suatu osilator dengan berbagai frekuensi untuk menghasilkan bunyi, suatu peredam yang memungkinkan berbagai intensitas bunyi (umumnya dengan peningkatan 5 dB), dan suatu transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadang-kadang pengeras suara) untuk mengubah energi listrik menjadi energi akustik (Stach, 1998). Ada dua sumber bunyi, yang pertama adalah dari earphone yang ditempelkan pada telinga. Masing-masing telinga diperiksa secara terpisah dan hasilnya digambarkan sebagai audiogram hantaran udara. Sumber bunyi kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi) melalui suatu head band. Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklea. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram hantaran tulang, dan biasanya diinterpretasikan sebagai suatu metoda yang memintas telinga tengah, sebagai alat pengukur cadangan koklearis dan mencerminkan keadaan sistem saraf pendengaran (Higler, 2000). Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang Universitas Sumatera Utara normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air conduction) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Stach, 1998). Langkah-langkah melakukan tes audiometri nada murni yaitu (Stach, 1998) : a. Tes telinga yang normal terlebih dahulu yang ditanya kepastiannya melalui anamnese. Ambang batas telinga normal akan berperan penting untuk tujuan masking. Jika pendengaran kedua telinga dilaporkan sama maka dimulai dari telinga kanan, b. Ambang batas dimulai pada 1000 Hz yang mudah diterima dan biasanya frekuensi yang baik untuk pendengaran, c. Nada terus-menerus atau bergelombang diperdengarkan selama 1 detik, d. Mulai dengan memberikan nada pada intensitas dimana penderita dapat mendengarnya secara jelas. Apabila pendengarannya normal, maka dimulai pada 40 dB. Jika pendengaranya mengalami gangguan ringan, maka dimulai pada intensitas yang lebih tinggi, e. Jika pasien tidak merespon, tingkatkan intensitas sebanyak 20 dB sampai ada respon. Jika pasien merespon maka mulai mencari ambang batas pendengaran, f. Untuk mencari ambang batas dipakai aturan “naik 10, turun 5”. Aturan ini menyatakan bahwa jika pasien mendengar nada maka diturunkan 10 dan apabila tidak mendengar nada maka dinaikkan 5, g. Dikatakan ambang batas bila penderita merespon 50 % saat diperika. Misalnya, merespon dua atau tiga kali dari enam kali diberikan nada, Universitas Sumatera Utara h. Ketika ambang batas sudah ditentukan pada 1000 Hz, lakukan tes pada 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz, 1000z, 500 Hz dan 250 Hz. Mengulangi tes pada 1000 z pada telingan yang sudah diperiksa untuk memastikan bahwa respon tidak membaik walaupun pasien sudah mengetahui cara kerja pemeriksaan, i. Lakukan tes pada telinga yang lain dengan cara yang sama. Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke bentuk audiogram. Audiogram nada murni yang lengkap terdiri dari 4 plots yang berbeda yaitu hantaran tulang dan tulang masingmasing untuk telingan kanan dan kiri. Juga mempunyai simbol untuk hantaran udara (O) dan hantaran tulang (∆). Kombinasi audiometri hantaran tulang dan udara akan membagi gangguan pendengaran menjadi konduktif, sensorineural dan campuran (Stach, 1998). Kedua telinga yang tidak ditutup secara rapat akan menyebabkan telinga yang tidak diuji juga ikut mendengar nada yang diterima telinga yang diuji karena suara tsb akan dihantarkan melalui hantaran tulang. Karena itu, salah satu cara untuk mencegah hal tsb adalah dengan melakukan masking atau memberikan suara ke telinga yang tidak diuji. Hantaran tulang dan udara juga sering megalami persilangan nada (crossover) yaitu apabila nada diberikan kepada telinga hingga intensitas tertentu maka telinga lainnya juga akan menerima nada tersebut. Sedangkan interaural attenuation adalah ketika nada diberikan pada telinga maka akan berkurang intensitasnya saat sampai ke telinga lainnya. Jumlah dari interaural attenuation tergantung dari tipe transduser yang digunakan, Jika memakia supra-aural earphone adalah 40 dB sedangkan insert earphone adalah 50 dB dan hantaran tulang 0 dB. Insert earphone mempunyai jumlah interaural attenuation yang tinggi tetapi crossover yang kecil karena insert earphone Universitas Sumatera Utara menghasilkan getaran suara yang tidak langsung atau jarang berhubungan langsung dengan kulit sehingga getaran yang ditransmisikan ke tulang sangat kecil. Supra-aural earphone berhubungan langsung dengan kulit sehinnga mengurangi jumlah interaural attenuation tetapi meningkatkan resiko crossover. Transduser pada hantaran tulang menggetarkan kulit dan tulang secara langsung yang mengakibatkan penurunan jumlah interaural attenuation dan meningkatkan resiko crossover (Stach, 1998). Tabel 2.4 Klasifikasi Kehilangan Pendengaran Kehilangan dalam Desibel Klasifikasi 0-15 Pendengaran normal >15-25 Kehilangan pendengaran kecil >25-40 Kehilangan pendengaran ringan >40-55 Kehilangan pendengaran sedang >55-70 Kehilangan pendengaran sedang sampai berat >70-90 Kehilangan pendengaran berat >90 Kehilangan pendengaran berat sekali b. Audiometri Tutur Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran pasien yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mengukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disini sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa Universitas Sumatera Utara melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepada telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometri tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan apabila katakata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu - Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50 % dari sejumlah kata-kata yang dututurkan pada suatu intensitas minimal dengan benarm yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT dan dinyatakannya dengan satuan desibel (dB), - Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang ditutukan yang dinyatakan dengan nilai diskrimiasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah presentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suata beberapa saja., Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT) tetapi juga diatasnya (Stach, 1998). Universitas Sumatera Utara