BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Telinga 2.1.1. Anatomi Organ

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Telinga
2.1.1.
Anatomi Organ Telinga
Telinga merupakan sebuah organ yang mampu mendeteksi suara,
mengenal suara dan berperan dalam keseimbangan posisi tubuh. Telinga
mengandung bagian vestibulum dari keseimbangan, namun orientasi kita terhadap
lingkungan juga ditentukan oleh kedua mata kita dan alat perasa pada tendon
dalam. Jadi telinga adalah organ pendengaran dan keseimbangan (Sloane, 2004).
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan
dalam. Bagian liar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke
telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses
tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea,
yang mengandung reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi
impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar dan aparatus vestibularis,
yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood,2001).
a. Telinga Luar
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari rawan yang diliputi
kulit. Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun
bertulang di sebelah medial. Seringkali ada penyempitan liang telinga pada
perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar
parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus
mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen
stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di
posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga
untuk memasuki kelenjar parotis (Higler, 2000).
Pinna merupakan daun kartilago yang menangkap gelombang bunyi
dan menjalarkannya ke kanal auditori eksternal (meatus), suatu lintasan
Universitas Sumatera Utara
sempit yang panjangnya sekitar 2,5 cm yang merentang dari aurikula
sampai membran timpani (Sloane, 2004).
b. Membrana Timpani
Membrana timpani atau gendang telinga adalah perbatasan telinga
tengah. Membran ini memisahkan telinga luar dari telinga tengah, dan
memiliki
tegangan,
ukuran,
dan
ketebalan
yang
sesuai
untuk
menggetarkan gelombang bunyi secara mekanis (Sloane, 2004).
Membrana timpani adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan
puncaknya umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya
bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah
yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas
melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian
hipotimpanum yang meluas melampaui batas bawah membrana timpani.
Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar,
lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, dan
lapisan mukosa bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas
prosesus lateralis maleus dan ini menyebabkan bagian membran timpani
yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid) (Higler, 2000).
c. Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu
kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding
anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada
dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani
sehingga kotak tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Dinding superior
telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian
atas dinding posterior terdapat aditus ad antrum tulang mastoid dan di
bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf
fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke
leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah
Universitas Sumatera Utara
stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial
maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika.
Korda timpani kemudian bergabung dengan saraf lingualis dan
menghantarkan
serabut-serabut
sekretomotorik
ke
ganglion
submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior
lidah. Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah
superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus
transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak.
Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke telinga tengah dari dasarnya.
Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis
ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang berinsersi pada
leher maleus. Dinding lateral dari telinga tengah adalah dinding tulang
epitimpanum di bagian atas, membrana timpani, dan dinding tulang
hipotimpanum di bagian bawah. Bagian yang paling menonjol pada
dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang
pertama. Saraf timpanikus berjalan melintasi promontorium ini. Fenestra
rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki
stapes terletak pada
fenestra
ovalis
pada
batas posterosuperior
promontorium. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak
di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus kokleariformis di anterior
hingga piramid stapedius di posterior (Higler, 2000).
d. Tuba Eustakius
Tuba Eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani
terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus
terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi
dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriksor superior.
Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat terbukan melalui kontraksi otot
levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi
Universitas Sumatera Utara
pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membrana timpani
(Higler, 2000).
e. Telinga dalam
Telinga dalam berisi cairan dan terletak dalam tulang temporal, di sisi
medial telinga tengah.Bentuk telinga tengah sedemikian kompleksnya
sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika membentuk suatu
rongga tertutup yaitu labirin membrana yang terisi endolimfe, satu-satunya
cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah
natrium.Labirin membrana dikelilingi oleh cairanoerilimfe (tinggi natrium,
rendah kalium) yang terdapat dalam kapsul otika bertulang. Labirin tulang
dan membran memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian
vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara
bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita
(Higler, 2000).
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebahai modiolus, berisi berkas
saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian
berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk
mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan
berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis.
Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana
basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea
spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah
yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada
basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah) (Ganong,
2002).
Universitas Sumatera Utara
Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ
Corti, yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf
perifer pendengaran. Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam
(3.000) dan tiga baris sel rambut liar (12.000). Sel-sel ini menggantung nglewat lubang-lubang dengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang
dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen menempel
pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung
datar, bersifat gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membrana tektoria.
Membrana tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang
terletak di medial disebut sebagai limbus (Sherwood,2001).
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulum, utrikulus dan
kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang
diliputi oleh sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu
lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat
pula otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih
besar daripada ensolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari
otkan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan rangsangan
pada reseptor (Higler, 2000).
Sakulus berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus sempit
yang juga merupakan saluran menuju sakulus endolimfatikus. Makula
utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus.
Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing
kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan
mengandung sel-sel rambut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu
kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan
menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel
rambut krista dan merangsang sel reseptor (Higler, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Fisiologi Pendengaran
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang
suara adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah
bertekanan tinggi karena kompresi (pemampatan) molekul-molekul udara yang
berselang seling dengan daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul
tersebut (Sherwood, 2001).
Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu
gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan
perpindahan mirip gelombang pada membran basilaris terhadap membrana
tektorium Sewaktu menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut bertekuk. Hal
ini menyebabkan
terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup
signifikan, maka saraf-saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan
terangsang untuk melepaskan potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak
(Corwin, 2001).
Frekuensi gelombang tekanan menentukan sel-sel rambut yang akan
berubah dan neuron aferen yang akan melepaskan potensial aksi. Misalnya, sel-sel
rambut yang terletak dibagian membranan basilaris dekat jendela oval adalah selsel yang mengalami perubahan oleh suara berfrekuensi tinggi, sedangkan sel-sel
rambut yang terletak di membrana basilaris yang paling jauh dari jendela oval
adalah sel-sel yang mengalami perubahan oleh gelombang berfrekuensi rendah.
Otak
menginterpretasikan
suatu
suara
berdasarkan
neuron-neuron
yang
diakftifkan. Otak menginterpretasikan intensitas suara berdasarkan frekuensi
impuls neuron dan jumlah neuron aferen yang melepaskan potensial aksi (Corwin,
2001).
Penghantaran (konduksi) gelombang bunyi ke cairan di telinga dalam
melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengaran, yang merupakan jalur
utama untuk pengdengaran normal, dosebut hantaran osikular. Gelombang bunyi
juga menimbulkan getaran membran timpani kedua yang menutupi fenestra
rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran normal, disebut
hantaran udara. Hantaran jenis ketiga, hantaran tulang adalah penyaluran getaran
dari tulang-tulang tengkorak ke cairan di telinga dalam. Hantaran tulang yang
Universitas Sumatera Utara
cukup besar terjadi apabila kita menempelkan garpu tala atau benda lain yang
bergetar langsung ke tengkorak. Jaras ini juga berperan dalam penghantaran bunyi
yang sangat keras (Ganong, 2002).
2.2.
Macam-macam Gangguan Pendengaran
Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji
pendengaran yaitu gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan
keduanya atau tipe campuran. Gangguan pendengaran konduktif adalah akibat
kelainan telinga luar atau tengah. Gangguan pendengaran sensorineural timbul
sekunder dari kelainan koklearis, saraf kedelapan atau saluran auditorik sentral
(Higler, 2000).
Tuli konduktif disebabkan oleh hal yang menggangu hantaran normal
daripada gelombang suara ke organ corti. Jadi merupakan gangguan konduksi
rangsangan suara melalui liang telinga, membran timpani, ruang telinga tengah,
dan tulang pendengaran (Hassan et al, 2007).
Pada telinga luar misalnya serumen prop atau benda asing dalam liang
telinga, otitis eksterna, eksostosis. Pada telinga tengah misalnya OMA supurativa
dan nonsupurativa, otitis media kronik dengan atau tanpa mastoiditis, perforasi
membranan timpani, otitis media serosa (glue ear), otitis media adesiva,
otosklerosis, sumbatan tuba eustachii, barotrauma, trauma kepala disertai
gangguan fungsi telinga oleh ossicular chain disruption atau oleh hematoma
dalam telinga tengah, neoplasma (Hassan et al, 2007).
Pada tulis sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga
dalam, nervus VIII atau di pusat pendengaran (Soepardi et al, 2007). Tuli saraf
disebabkan oleh hal yang merintangi atau mengurangi reaksi normal dari sel
/rambut terhadap stimulasi oleh gelombang suara atau hal yang merintangi atau
mengganggu reaksi normal dari jalan serabut saraf organ corti ke korteks serebral
(Hassan et al, 2007).
Kerusakan pada saraf atau koklea dapat disebabkan oleh trauma kepala
disertai kerusakan os petrosus, trauma akustik misalnya ketulian akibat bising di
pabrik, infeksi (virus pada parotitis, campak, influenza dan sebagainya),
Universitas Sumatera Utara
neoplasma (akustik neuroma, glomus jugulare), obat ototoksi (streptomisin,
kanamisin, preparat kina), gangguan serebrovaskular (Hassan et al, 2007).
2.2.1. Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss)
Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup
keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising
lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umunya
terjadi pada kedua telinga (Hassan et al, 2007).
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan
bising, antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih
lama terpapar bising, mendapat pengobatan yang bersifat racun terhadap telinga
(obat
ototoksik)
seperti
streptomisin,
kanamisin,
garamisin
(golongan
aminoglikosida), kina, asetosal dan lain-lain (Corwin, 2001).
a. Gejala Klinis
Kurang pendengaran disertai tinitus (berdenging di telinga) atau tidak.
Bila sudah cukup berat disertai keluhan sukar menangkap percakapan
dengan kekerasan biasa dan bila sudah berat percakapan yang keraspun
sukar dimengerti. Secara klinis pajanan bising pada organ pendengaran
dapat menimbulkan reaksi adaptasi, peningkatan ambang dengar
sementara (temporary threshold shift) dan peningkatan ambang dengar
menetap (permanent threshold shift) (Hassan et al, 2007).
Gejala klinis lainnya yaitu :
1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan
oleh bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini
merupakan fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan
bising.
Universitas Sumatera Utara
2. Peningkatan ambang dengar sementara merupakan keadaan
terdapatnya peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising
dengan intensitas cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam
beberapa menit atau jam. Jarang terjadi pemulihan dalam satuan
hari.
3. Peningkatan ambang dengar menetap merupakan keadaan dimana
terjadi peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising
dengan intensitas sangat tinggi berlangsung singkat (explosif) atau
berlangsung lama yang menyebabkan kerusakan pada berbagai
struktur koklea, antara lain kerusakan organ Corti, sel-sel rambut,
stria vaskularis dll (Higler, 2000).
b. Klasifikasi
Secara umum dibedakan dua macam yaitu :
-
Pengaruh Auditorial berupa tuli akibat bising (noise induced
hearing loss) dan umumnya terjadi dalam lingkungan kerja dengan
tingkat kebisingan yang tinggi.
-
Pengaruh non auditorial dapat bermacam-macam misalnya
gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak nyaman, gangguan tidur,
peningkatan tekanan darah dan lain sebagainya (Hassan et al,
2007).
c. Patologi
Telah diketahui secara umum bahwa bising menimbulkan kerusakan di
telinga dalam. Lesinya sangat bervariasi dari disoiasi organ corti, ruptur
membran, perubahan stereosilia dan organel subseluler. Bising juga
menimbulkan efek pada sel ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh
darah dan stria vaskularis. Pada observasi kerusakan organ corti dengan
mikroskop elektron ternyata bahwa sel-sel sensor dan sel penunjang
merupakan bagian yang paling peka di telinga dalam (Hassan et al, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Jenis kerusakan pada struktur organ tertentu yang ditimbulkan
bergantung pada intensitas lama pajanan dan frekuensi bising. Penelitian
menggunakan intensitas bunyi 120 dB dan kualitas bunyi nada murni
sampai bising dengan waktu pajanan 1-4 jam menimbulkan beberapa
tingkatan kerusakan sel rambut. Kerusakan juga dapat dijumpai pada sel
penyangga, pembuluh darah dan serabut aferen (Hassan et al, 2007).
Stimulasi bising dengan intensitas sedang mengakibatkan perubahan
ringan pada silia dan Hensen’s body, sedangkan stimulasi dengan
intensitas yang lebih keras dengan waktu pajanan yang lebih lama akan
mengakibatkan kerusakan pada struktur sel rambut
lain
seperti
mitokondria, granula lisosom, lisis sel dan robekan di membran reisner.
Pajanan bunyi dengan efek destruksi yang tidak begitu besar menyebabkan
terjadinya ‘floppy silia’ yang sebagian masih reversibel. Kerusakan silia
menetap ditandai dengan fraktur ‘rootlet’ silia pada lamina retikularis
(Warren, 2008).
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,
pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk
pendengaran seperti audiometri (Hassan et al, 2007).
Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising
dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada
pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke
telinga yang pendengarannya lebih baik dan Schwabach memendek. Kesan
jenis ketuliannya tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni
didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000 – 6000 Hz dan
pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik
untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI (short
increment sensitivity index), ABLB (alternate binaural loudness balance),
audiometeri Bekesy, audiometri tutur (speech audiometry), hasil
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan
adanya
fenomena
rekrutmen
(recruitment)
yang
patognomonik untuk tuli sensorineural koklea (Hassan et al, 2007).
Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli sensorineural koklea,
dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap kenaikan
intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui
ambang dengarnya. Sebagai contoh orang yang pendengarannya normal
tidak dapat mendeteksi kenaikan bunyi 1 dB bila sedang mendengarkan
bunyi nada murni yang kontinyu, sedangkan bila ada rekrutmen dapat
mendeteksi kenaikan bunyi tersebut. Contoh sehari-hari pada orang tua
yang menderita presbikusis (tuli sensorineural koklea akibat proses
penuaan) bila kita berbicara dengan kekerasan (volume) biasa dia
mengatakan jangan berisik, tetapi bila kita berbicara agak keras dia
mengatakan jangan berteriak, sedangkan orang yang pendengarannya
normal tidak menganggap kita berteriak (Higler, 2000).
Orang yang menderita tuli sensorineural koklea sangat terganggu oleh
bising latar belakang (background noise), sehingga bila orang tersebut
berkomunikasi di tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar
dan mengerti pembicaraan. Keadaan ini disebut cocktail party deafness
(Higler, 2000).
Apabila seseorang yang tuli mengatakan lebih mudah berkomunikasi
di tempat yang sunyi atau tenang, maka orang tersebut menderita tuli
sensorineural koklea (Higler, 2000).
e. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat
dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga
(ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet) (Warren,
2008).
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang
bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa,
dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar / ABD (hearing aid). Apabila
pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD
pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi
agar dapat menerima keadaanya. Latihan pendengaran (auditory training)
agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien
dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Di
samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,
rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume,
tinggi rendah dan irama percakapan (Hassan et al, 2007).
f. Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli
sensorineural koklea yang sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati
dengan obat maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh
karena itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian (Hassan
et al, 2007).
g. Pencegahan
Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising lingkungan kerja harus
diusahakan lebih rendah dari 85 dB. Hal ini dapat diusahakan dengan cara
meredam sumber bunyi, misalnya yang berasal dari generator dipisah
dengan menempatkannya di suatu ruangan yang dapat meredam bunyi.
Jika bising ditimbulkan oleh alat-alat
seperti mesin tenun, mesin
penggulungan lembaran baja, kilang minyak atau bising yang ditimbulkan
sendiri oleh pekerja seperti di tempat penempaan logam, maka pekerja
tersebut yang harus dilindungi denga alat pelindung bising seperti sumbat
telinga, tutup telinga dan pelindung kepala. Ketiga alat tersebut terutama
melindungi telinga terhadap bising yang berfrekuensi tinggi dan masing-
Universitas Sumatera Utara
masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Tutup telinga memberikan
proteksi lebih baik dari pada sumbat telinga, sedangkan helm selain
pelindung telinga terhadap bising juga sekaligus sebagai pelindung kepala.
Kombinasi antara sumbat telinga dan tutup telinga memberikan proteksi
yang terbaik. Pekerja yang menjadi tuli akibat terpajan bising di
lingkungan kerja berhak mendapat santunan (Hassan et al, 2007).
Selain alat pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti
ketentuan pekerja di lingkungan bising yang berintensitas lebih dari 85 dB
tanpa menimbulkan ketulian, misalnya dengan menggunakan tabel berikut
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Batas pajanan bising yang diperkenankan sesuai keputusan
Menteri Tenaga Kerja 1999
Jam
Menit
Detik
Lama pajan/hari
Intensitas dalam dB
24
80
16
82
8
85
4
88
2
91
1
94
30
97
15
100
7,50
103
3,75
106
1,88
109
0,94
112
28,12
115
14,06
118
7,03
121
3,52
124
1,76
127
0,88
130
0,44
133
0,22
136
0,11
139
Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB, walau sesaat
Semua usaha pencegahan akan lebih berhasil bila diterapkan Program
Konservasi Pendengaran (PKP) yang bertujuan untuk mencegah atau
Universitas Sumatera Utara
mengurangi tenaga kerja dari kerusakan atau kehilangan pendengaran
akibat kebisingan di tempat kerja, tujuan lain adalah mengetahui status
kesehatan pendengaran tenaga kerja yang terpajan bising berdasarkan datadata. Untuk mencapai keberhasilan program konservasi pendengaran,
diperlukan pengetahuan tentang seluk beluk pemeriksaan audiometri,
kemampuan dan ketrampilan pelaksana pemeriksaan audiometri, kondisi
audiometer dan penilaian hasil audiogram (Hassan et al, 2007).
Aktivitas Program Konservasi Pendengaran antara lain adalah
melakukan identifikasi sumber bising melalui survey kebisingan di tempat
kerja (walk through survey), melakukan analisis kebisingan dengan
mengukur kebisingan menggunakan Sound Level Meter (SLM) atau
Octave Band Analyzer, melakukan kontrol kebisingan dengan berbagai
cara peredaman bising, melakukan tes audiometri secara berkala pada
pekerja ynag berisiko, menerapkan sistem komunikasi, informasi, dan
edukasi, serta menerapkan penggunaan APD (alat pelindung diri) secara
ketat dan melakukan pencatatan dan pelaporan data (Hassan et al, 2007).
2.3.
Suara
Suara
atau bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang
merambat dalam suatu medium secara perapatan dan perenggangan, terbentuk
oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami
getaran. Medium atau zat perantara ini dapat berupa zat cair, padat, gas. Jadi,
gelombang bunyi dapat merambat misalnya di dalam air, batu bara, atau udara.
Sebagai contoh palu yang digunakan untuk mengaplikasikan paku menghasilkan
getaran suara yang tersebar melalui udara. Suara dihasilkan dari kompresi
molekul-molekul yang berjalan pada suatu medium. Manusia mendengar bunyi
saat gelombang bunyi menghasilkan getaran di udara atau medium lain, sampai ke
gendang telinga manusia. Batas frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga
manusia kira-kira dari 20 Hz sampai 20 kHz pada amplitudo umum dengan
Universitas Sumatera Utara
berbagai variasi dalam kurva responsnya. Gelombang suara di atas 20 kHz disebut
ultrasonik dan di bawah 20 Hz disebut infrasonik (Stach, 1998).
Gelombang bunyi terdiri dari molekul-molekul udara yang bergetar majumundur. Tiap saat, molekul-molekul itu berdesakan di beberapa tempat sehingga
menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang bertekanan tinggi dan rendah
secara bergantian bergerak di udara menyebar dari sumber bunyi (Stach, 1998).
Bunyi merambat di udara dengan kecepatan 1.224 km/jam. Bunyi
merambat lebih lambat jika suhu dan tekanan udara lebih rendah. Di udara tipis
dan dingin pada ketinggian lebih dari 11 km, kecepatan bunyi 1.000 km/jam. Di
air, kecepatannya 5.400 km/jam, jauh lebih cepat daripada di udara (Higler, 2000).
Suara merambat melalui gelombang suara dan menghasilkan fluktuasi
tekanan udara, yang dikonversi menjadi gelombang mekanik ke telinga manusia
dan dirasakan oleh otak (Higler, 2000).
Suara merupakan energi mekanik yang merambat melalui materi dalam
bentuk gelombang. Melalui cairan dalam bentuk gelombang kompresi dan melalui
padat dalam bentuk gelombang kompresi dan geser. Suara dianggap secara lebih
rinci melalui gelombang generik, yaitu frekuensi, panjang gelombang, periode,
amplitudo, kecepatan, dan arah. Kecepatan dan arah ini digabungkan menjadi
vektor kecepatan, atau panjang gelombang dan arah digabungkan menjadi vektor
gelombang (Hassan et al, 2007).
Suara tidak dapat terdengar pada ruang hampa udara karena bunyi
membutuhkan zat perantara untuk menghantarkan bunyi baik zat padat, cair
maupun gas (Higler, 2000).
a. Penentuan Arah Sumber Suara
Seseorang menentukan sumber suara dalam arah horizintal melalui dua
prinsip yaitu perbedaan waktu antara masuknya suara ke dalam satu telinga dan
masuknya ke dalam telinga yang lain, dan perbedaan antara intensitas suara
dalam kedua telinga (Hassan et al, 2007).
Mekanisme pertama berfungsi paling baik untuk frekuensi di bawah 3000
siklus per detik, dan mekanisme kedua bekerja paling baik pada frekuensi yang
Universitas Sumatera Utara
lebih tinggi karena kepala bertindak sebagai sawar suara yang lebih baik pada
frekuensi-frekuensi ini. Mekanisme perbedaan waktu dalam membedakan arah,
jauh lebih tepat daripada mekanisme intensiats, karena mekanisme ini tidak
bergantung pada faktor-faktor luar, melainkan hanya bergantung pada interval
waktu yang tepat antara dua sinyal akustik. Jika seseorang melihat lurus ke
arah sumber suara, suara akan mencapai kedua telinga dengan jarak waktu
yang tepat sama, sedangkan jika telinga kanan lebih dekat dengan suara
daripada telinga kiri, sinyal suara dari telinga kanan akan memasuki otak lebih
dahulu daripada sinyal dari telinga kiri (Higler, 2000).
Kedua mekanisme yang telah disebutkan tidak dapat mengatakan apakah
suara berasal dari depan atau dari belakang, dari atas atau dari bawah
seseorang. Pembedaan ini terutama dicapai melalui aurikula kedua telinga.
Bentuk aurikula mengubah kualitas suara yang masuk ke telinga, yang
bergantung pada arah dari sumber suara. Hal ini terjadi melalui penguatan
frekuensi bunyi spesifik yang berasal dari berbagai arah (Guyton, 2007).
b. Mekanisme Saraf untuk Mendeteksi Arah Suara
Kerusakan korteks auditorik pada kedua sisi otak, akan menyebabkan
hilangnya hampir semua kemampuan untuk mendeteksi arah datangnya suara.
Analisis saraf untuk proses deteksi ini dimulai dari nukleus olivarius superior
di dalam batang otak, meskipun ternyata jaras persarafan pada semua jalur dari
nukleuis ini ke korteks dibutuhkan untuk menginterpretasikan sinyal.
Mekanisme tersebut dianggap terjadi sebagai berikut. Nukleus olivarius
superior dibagi menjadi dua bagian yaitum nukleus olivarius suoerior medial
dan nukleus olivarius superior lateral. Nukleus lateral bertanggung jawab untuk
mendeteksi arah sumber suaram agaknya melalui perbandingan sederhana
diantara perbedaan intensitas suara yang mencapai kedua telingam dan
mengirimkan sinyal yang tepat ke korteks suditorik untuk memperkirakan
arahnya (Higler, 2000).
Namun
demikian,
nukleus
olivarius
superior
medial
mempunyai
mekanisme spesifik untuk mendeteksi perbedaan waktu antara sinyal akustik
Universitas Sumatera Utara
yang memasuki kedua telinga. Nukleus ini terdiri atas sejumlah besar neuron
yang mempunyai dua dendrit utama, satu menonjol ke kanan dan satu
menonjol ke kiri. Sinyal akustik dari telinga kanan mengenai dendrit kanan,
dan sinyal dari telinga kiri mengenai dendrit kiri. Intensitas eksitasi di setiap
neuron sangat sensitif terhadap perbedaan waktu yang spesifik antara dua
sinyal akustik yang berasal dari kedua telinga. Neuron yang dekat dengan salah
satu perbatasan nukleus akan berespons secara maksimum terhadap perbedaan
waktu yang singkat, sedangkan yang dekat dengan perbatasan yang berlawanan
akan berespons terhadap perbedaan waktu yang sangat panjang. Neuron yang
berada di antara keduanya akan berespons terhadap perbedaan waktu sedang.
Jadi, pola spasial perangsangan neuron berkembang di dalam nukleus olivarius
superior medial dengan suara yang datang langsung dari depan kepala
merangsang satu perangkat neuron olivarius secara maksimal dan suara dari
sudut sisi yang berebeda menstimulasi perangkat neuron lainnya pada sisi yang
tepat berlawanan. Orientasi spasial sinyal ini kemudian dijalarkan ke korteks
auditorik, tempat arah suara ditentukan oleh lokus neuron yang dirangsang
secara maksimal. Diduga bahwa semua sinyal yang digunakan untuk penentuan
arah suara dijalarkan melalui jaras yang berbeda dan merangsang lokus yang
berbeda dalam korteks serebri, dari jaras penjalaran dan lokus terkahir untuk
pola gaya suara (Stach, 1998).
Mekanisme untuk mendeteksi arah datangnya suara kembali menunjukkan
bagaimana informasi spesifik dalam sinyal sensorik dipotong ketika sinyal
melalui tingkat aktivitas neuron yang berbeda (Hassan et al, 2007).
c. Menentukan Kekerasan Suara
Kekerasan suara ditentukan oleh sistem pendengaran, sekurang-kurangnya
melalui tiga cara (Guyton, 2007).
Pertama, ketika suara menjadi lebuh keras amplitudo getaran membran
basilar dan sel-sel rambut juga meningkat, sehingga sel-sel rambut
mengeksitasi ujung saraf dengan lebih cepat (Guyton, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kedua, ketika amplitudo getaran meningkat akan menyebabkan semakin
banyak sel-sel rambut di pinggir bagian membran basilar yang beresonansi
menjadi terangsang sehingga menyebabkan penjumlahan spasial impuls yaitu,
transmisi melalui banyak serabut saraf dan bukan melalui beberapa serabut
saraf (Hassan et al, 2007).
Ketiga, sel-sel rambut luar tidak terangsang secara bermakna sampai
getaran membran basilar mencapai intensitas yang tinggi dan perangsangan
sel-sel ini tampaknya yang mengabarkan pada sistem saraf bahwa suara
tersebut sangat keras (Hassan et al, 2007).
2.4.
Macam-macam Evaluasi Pendengaran
1. Uji Rinne
Uji Rinne membandingkan hantaran tulang dan hantaran udara
pendengaran pasien. Tangkai penala yang bergetar ditempelkan pada
mastoid pasien (hantaran tulang) hingga bunyi tidak lagi terdengar. Penala
kemudian dipindahkan ke dekat telinga sisi yang sama (hantaran udara).
Telinga normal masih akan mendengar penala melalui hantaran udara,
temuan ini disebut Rinne positif ( HU>HT). Hasil ini dapat dijelaskan
sebagai hambatan yang tak sepadan (Higler, 2000).
Pasien dengan gangguan pendengaran sensorineural juga akan
memberi Rinne positif seandainya sungguh-sungguh dapat mendengar
bunyi penala, sebab gangguan sensorineural seharusnya mempengaruhi
baik hantaran udara maupun hantaran tulang ( HU>HT) (Hassan et al,
2007).
Istilah Rinne negatif dipakai bila pasien tidak dapat mendengar melalui
hantaran udara setelah penala tidak lagi terdengar melalui hantaran tulang
(HU<HT). (Stach, 1998).
Tabel 2.2 Interpretasi Hasil uji Rinne
Hasil Uji Rinne
Status Pendengaran
Lokus
Universitas Sumatera Utara
Positif HU ≥ HT
Negatif HU < HT
Tak ada atau
Normal atau gangguan
koklearis-
sensorineural
Gangguan Konduktif
retrokoklearis
Telinga luar atau
tengah
2. Uji Schwabach
Uji Schwabach membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa. Pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang
ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu,
pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan menghitung
beberapa lama (dalam detik) ia masih dapat menangkap bunyi (Higler,
2000).
Uji Schwabach dikatakan normal bila hantaran tulang pasien dan
pemeriksa hampir sama. Uji Schwabach memanjang atau meningkat bila
hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya pada
kasus gangguan pendengaran konduktif. Jika telinga pemeriksa masih
dapat mendengar penala setelah pasien tidak lagi mendengarnya, maka
dikatakan Schwabach memendek. Interpretasi uji Schwabach (Hassan et
al, 2007).
Tabel 2.3 Interpretasi Hasil uji Schwabach
Hasil Uji
Status Pendengaran
Lokus
Normal
Normal
Tak ada
Memanjang
Tuli konduktif
Memendek
Tuli sensorineural
Schwabach
Telinga luar dan/ atau
tengah
Koklearis dan/ atau
retrokoklearis
Universitas Sumatera Utara
3. Uji Weber
Uji Weber membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga
pasien. Cara melakukan uji weber dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz
lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Gagang
penala yang bergetar ditempelkan di tengah dahi dan pasien diminta
melaporkan apakah suara terdengar di telinga kiri, kanan atau keduanya
(Hassan et al, 2007).
Umumya pasien mendengar bunyi penala pada telinga dengan
konduksi tulang yang lebih baik atau dengan komponen konduktif yang
lebih besar. Jika nada terdengar pada telinga yang dilaporkan lebih buruk,
maka tuli konduktif perlu dicurigai pada telinga tersebut. Jika terdengar
pada telinga yang lebih baik, maka dicurigai tuli sensorineural pada
telingga yang terganggu. Fakta bahwa pasien mengalami lateralisasi
pendengaran pada telinga dengan gangguan konduksi dan bukannya pada
telinga yang lebih baik mungkin terlihat aneh bagi pasien dan kadangkadang juga pemeriksa (Higler, 2000).
Uji Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral,
namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun
sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi
tunggal (Stach, 1998).
4. Audiometri
Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar
dan mengukur. Audiometri dikembangkan awal 1920-an, mencontoh
rangkaian oktaf dari skala C seperti pada penala. Intensitas nada dapat
dipertahankan pada tingkat tertentu, tidak seperti penla di mana intensitas
nada segera berkurang setelah dibunyikan. Nada dapat pula diinterupsi
sesuai kehendak, atau intensitas dapat dilemahkan pada interval tertentu
dengan hambatan elektris, dengan demikian intensitas bunyi dapat
dihitung. Hanya tinggal menambahkan satuan intensitas, suatu notasi
Universitas Sumatera Utara
desibel dan kontinuitas intensitas, dan lahirlah suatu era modern
audiometri nada murni. Desibel (dB) adalah satuan yang sangat cocok
yaitu, logaritma dari rasio dua daya atau tekanan (Higler, 2000).
a. Audiometri Nada Murni
Audiometer nada murni adalah suatu alat elektronik yang
menghasilkan bunyi yang relatif bebas bising ataupun energi suara
pada kelebihan nada, karenanya disebut “murni”. Terdapat beberapa
pilihan nada terutama dari oktaf skala C : 125, 250, 500, 1000, 2000,
4000, dan 8000 Hz. Tersedia pula nada-nada dengan interval setengah
oktaf (750, 1500, 3000 dan 6000 Hz). Audiometer memiliki tiga
bagian penting yaitu suatu osilator dengan berbagai frekuensi untuk
menghasilkan bunyi, suatu peredam yang memungkinkan berbagai
intensitas bunyi (umumnya dengan peningkatan 5 dB), dan suatu
transduser (earphone atau penggetar tulang dan kadang-kadang
pengeras suara) untuk mengubah energi listrik menjadi energi akustik
(Stach, 1998).
Ada dua sumber bunyi, yang pertama adalah dari earphone yang
ditempelkan pada telinga. Masing-masing telinga diperiksa secara
terpisah dan hasilnya digambarkan sebagai audiogram hantaran udara.
Sumber bunyi kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang
yang ditempelkan pada mastoid (atau dahi) melalui suatu head band.
Vibrator menyebabkan osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan
cairan dalam koklea. Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram
hantaran tulang, dan biasanya diinterpretasikan sebagai suatu metoda
yang memintas telinga tengah, sebagai alat pengukur cadangan
koklearis dan mencerminkan keadaan sistem saraf pendengaran
(Higler, 2000).
Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran
pasien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan
frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang
Universitas Sumatera Utara
normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala desibel, suara
dipresentasikan dengan aerphon (air conduction) dan skala skull
vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka
mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran
oleh bone conduction menggambarkan SNHL (Stach, 1998).
Langkah-langkah melakukan tes audiometri nada murni yaitu
(Stach, 1998) :
a. Tes telinga yang normal terlebih dahulu yang ditanya
kepastiannya melalui anamnese. Ambang batas telinga normal
akan berperan penting untuk tujuan masking. Jika pendengaran
kedua telinga dilaporkan sama maka dimulai dari telinga
kanan,
b. Ambang batas dimulai pada 1000 Hz yang mudah diterima dan
biasanya frekuensi yang baik untuk pendengaran,
c. Nada terus-menerus atau bergelombang diperdengarkan selama
1 detik,
d. Mulai dengan memberikan nada pada intensitas dimana
penderita
dapat
mendengarnya
secara
jelas.
Apabila
pendengarannya normal, maka dimulai pada 40 dB. Jika
pendengaranya mengalami gangguan ringan, maka dimulai
pada intensitas yang lebih tinggi,
e. Jika pasien tidak merespon, tingkatkan intensitas sebanyak 20
dB sampai ada respon. Jika pasien merespon maka mulai
mencari ambang batas pendengaran,
f. Untuk mencari ambang batas dipakai aturan “naik 10, turun 5”.
Aturan ini menyatakan bahwa jika pasien mendengar nada
maka diturunkan 10 dan apabila tidak mendengar nada maka
dinaikkan 5,
g. Dikatakan ambang batas bila penderita merespon 50 % saat
diperika. Misalnya, merespon dua atau tiga kali dari enam kali
diberikan nada,
Universitas Sumatera Utara
h. Ketika ambang batas sudah ditentukan pada 1000 Hz, lakukan
tes pada 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz,
1000z, 500 Hz dan 250 Hz. Mengulangi tes pada 1000 z pada
telingan yang sudah diperiksa untuk memastikan bahwa respon
tidak membaik walaupun pasien sudah mengetahui cara kerja
pemeriksaan,
i.
Lakukan tes pada telinga yang lain dengan cara yang sama.
Hasilnya ditunjukkan dalam desibel (dB) dan dimasukkan ke
bentuk audiogram. Audiogram nada murni yang lengkap terdiri
dari 4 plots yang berbeda yaitu hantaran tulang dan tulang masingmasing untuk telingan kanan dan kiri. Juga mempunyai simbol
untuk hantaran udara (O) dan hantaran tulang (∆). Kombinasi
audiometri hantaran tulang dan udara akan membagi gangguan
pendengaran menjadi konduktif, sensorineural dan campuran
(Stach, 1998).
Kedua telinga yang tidak ditutup secara rapat akan
menyebabkan telinga yang tidak diuji juga ikut mendengar nada
yang diterima telinga yang diuji karena suara tsb akan dihantarkan
melalui hantaran tulang. Karena itu, salah satu cara untuk
mencegah hal tsb adalah dengan melakukan masking atau
memberikan suara ke telinga yang tidak diuji. Hantaran tulang dan
udara juga sering megalami persilangan nada (crossover) yaitu
apabila nada diberikan kepada telinga hingga intensitas tertentu
maka telinga lainnya juga akan menerima nada tersebut. Sedangkan
interaural attenuation adalah ketika nada diberikan pada telinga
maka akan berkurang intensitasnya saat sampai ke telinga lainnya.
Jumlah dari interaural attenuation tergantung dari tipe transduser
yang digunakan, Jika memakia supra-aural earphone adalah 40 dB
sedangkan insert earphone adalah 50 dB dan hantaran tulang 0 dB.
Insert earphone mempunyai jumlah interaural attenuation yang
tinggi tetapi crossover yang kecil karena insert earphone
Universitas Sumatera Utara
menghasilkan getaran suara yang tidak langsung atau jarang
berhubungan langsung dengan kulit sehingga getaran yang
ditransmisikan ke tulang sangat kecil. Supra-aural earphone
berhubungan langsung dengan kulit sehinnga mengurangi jumlah
interaural attenuation tetapi meningkatkan resiko crossover.
Transduser pada hantaran tulang menggetarkan kulit dan tulang
secara langsung yang mengakibatkan penurunan jumlah interaural
attenuation dan meningkatkan resiko crossover (Stach, 1998).
Tabel 2.4 Klasifikasi Kehilangan Pendengaran
Kehilangan dalam
Desibel
Klasifikasi
0-15
Pendengaran normal
>15-25
Kehilangan pendengaran kecil
>25-40
Kehilangan pendengaran ringan
>40-55
Kehilangan pendengaran sedang
>55-70
Kehilangan pendengaran sedang sampai
berat
>70-90
Kehilangan pendengaran berat
>90
Kehilangan pendengaran berat sekali
b. Audiometri Tutur
Audiometri tutur adalah sistem uji pendengaran pasien yang
menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan
melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mengukur beberapa
aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama
dengan audiometri nada murni, hanya disini sebagai alat uji
pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada
penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa
Universitas Sumatera Utara
melalui mikropon
yang dihubungkan dengan audiometri tutur,
kemudian disalurkan melalui telepon kepada telinga yang diperiksa
pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan
hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan
disalurkan melalui audiometri tutur. Penderita diminta untuk
menirukan dengan jelas setiap kata yang didengar, dan apabila katakata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin
dilemahkan, pendengar diminta untuk menebaknya. Pemeriksa
mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap
denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu
diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar,
sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yang diturunkan
dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi
kemampuan pendengaran yaitu
-
Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50 % dari sejumlah
kata-kata yang dututurkan pada suatu intensitas minimal dengan
benarm yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT dan
dinyatakannya dengan satuan desibel (dB),
-
Kemampuan maksimal pendengaran untuk mendiskriminasikan
tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang ditutukan yang
dinyatakan dengan nilai diskrimiasi tutur atau NDT. Satuan
pengukuran NDT itu adalah presentasi maksimal kata-kata yang
ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suata beberapa saja.,
Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada
tingkat nilai ambang (NPT) tetapi juga diatasnya (Stach, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Download