1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan dan
merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan
karena adanya lendir atau mukus, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk
juga merupakan salah satu gejala paling umum yang menyertai penyakit
pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary
Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena
bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan
dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit (Chung, 2003).
Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan beragam hal salah satunya adalah
keberadaan mukus pada saluran pernafasan. Normalnya, mukus membantu
melindungi paru-paru dengan menjebak partikel asing yang masuk. Namun
apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak lagi membantu malahan
mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh karena itu, tubuh memiliki
respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan tersebut.
Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel
asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang.
Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
1
2
Obat batuk yang dapat menekan batuk disebut juga antitusif. Antitusif adalah
obat-obatan penekan batuk yang kerjanya dibagi menjadi dua yaitu perifer dan
sentral (Sartono, 1993). Antitusif yang bekerja di sentral dibagi lagi menjadi non
narkotik dan narkotik. Banyak antitusif yang telah dikembangkan dan digunakan
di klinik sebagai obat-obat over the counter (OTC). Namun obat-obatan antitusif
non narkotik yang sekarang ini kerjanya kurang efektif dan antitusif narkotik
memiliki efek samping yang tidak diinginkan, misalnya kodein memberikan efek
samping kecanduan (Reynolds dkk., 2003).
Obat-obatan antitusif baru yang bebas efek samping diperlukan untuk
mengatasi masalah yang timbul oleh efek samping obat antitusif yang sudah ada.
Salah satu cara untuk menemukan obat tersebut adalah dari alam atau
menggunakan obat-obatan herbal. Sudah sejak lama Indonesia terkenal akan
keanekaragaman tumbuhan, tak terkecuali tumbuhan obat. Penduduk setempat
biasanya menggunakan tumbuhan tersebut untuk kebutuhan kesehatan misalnya
obat batuk. Seiring perkembangan waktu, pemanfaatan tumbuhan obat makin luas
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Banyak industri di Indonesia
memanfaatkan tumbuhan obat tersebut untuk kemudian diformulasikan dan
dijadikan suatu produk. Salah satu industri telah berhasil memformulasikan
produk obat batuk yang berasal dari herbal-herbal alam yang telah terbukti
memiliki khasiat untuk mengatasi batuk. Produk itu adalah “Sirup OB poliherbal”.
Sirup OB poliherbal diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini
terbuat dari kombinasi 7 ekstrak tumbuhan yang masing-masing telah terbukti
secara empiris maupun ilmiah memiliki khasiat meredakan batuk. Komposisi
tersebut adalah ekstrak rimpang jahe (zingiberis rhizoma), rimpang kencur
3
(kaempferiae rhizoma), buah jeruk nipis (citrus aurantifolii fructus), herba timi
(thymi herba), daun mint (menthae folia), biji pala (myristicae semen), akar manis
(liquorice), dan madu. Sirup OB poliherbal diklaim berkhasiat meredakan batuk
yang disebabkan alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin
dengan aksi mengencerkan dahak dan membantu mengeluarkan dahak sehingga
dapat melegakan nafas.
Herbal-herbal yang terkandung dalam Sirup OB poliherbal diketahui
memiliki khasiat sebagai antitusif berdasarkan penelitian yang sudah ada.
Berdasarkan penelitian bahwa rimpang jahe (Suekawa, 1984), rimpang kencur
(Sellappan, 2015) dan herba thymi (Basch dkk., 2004) dilaporkan memiliki
aktivitas antitusif. Sejauh ini, belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek
sirup OB poliherbal mengenai aktivitas antitusif. Oleh karena itu, pada penelitian
ini akan diuji aktivitas antitusif sirup OB poliherbal pada hewan uji marmut yang
diinduksi dengan asam sitrat.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah sirup OB poliherbal memiliki aktivitas antitusif terhadap marmut yang
diinduksi dengan asam sitrat?
2. Pada dosis berapakah sirup OB poliherbal yang memberikan efek antitusif
terhadap marmut uji paling optimal?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antitusif dan
dosis optimal dari suatu produk yang disebut sirup OB poliherbal terhadap
marmut yang diinduksi dengan asam sitrat.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi baru kepada
masyarakat pada umumnya dan PT. Deltomed Laboratories pada khususnya
terkait pengembangan obat baru lewat informasi khasiat/efek antitusif sirup OB
poliherbal.
E. Tinjauan Pustaka
1. Batuk
a. Definisi
Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam
membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat
beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi
pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk
bagi tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan
diagnosisnya (Chung, 2003).
b. Patofisiologi
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan
pernafasan serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda
5
asing. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal
ini diprakarsai oleh reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik
percabangan saluran udara besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian
distal, serta dalam faring. Laring dan reseptor tracheobronchial memiliki
respon yang baik terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Reseptor kimia
yang peka terhadap panas, asam dan senyawa capsaicin akan memicu refleks
batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid (capsaicin). Impuls dari
reseptor batuk yang telah dirangsang akan melintasi jalur aferen melalui saraf
vagus ke „pusat batuk‟ di medula. Pusat batuk akan menghasilkan sinyal eferen
yang bergerak menuruni vugus, saraf frenikus dan saraf motorik tulang
belakang untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna membantu
batuk.
Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:
1. Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang
diperlukan untuk batuk efektif
2. Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi
otot-otot dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding perut
menegang akibat tekanan intratoraks.
3. Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara
ekspirasi yang tinggi dan mengeluarkan suara batuk (Yahya, 2007).
c. Klasifikasi
Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut, dan
batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu. Batuk
6
subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk kronis
yaitu batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka dapat
diprediksi penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan oleh
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan
gagal jantung kongestif. Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca
infeksi, bakteri sinusitis maupun batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis
bila terjadi pada perokok biasanya merupakan penyakit chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) dan pada non perokok kemungkinan adalah postnasal drip, asma dan gastroesophageal reflux disease (GERD).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering
dan batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan
untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar.
Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme
pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).
d. Terapi
Obat-obatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam tergantung
dari jenis batuknya. Terdapat beberapa jenis obat batuk yaitu antitusif,
ekspektoran dan mukolitik. Obat antitusif merupakan obat yang ditujukan
untuk menekan batuk. Obat-obatan ini kurang memberi manfaat klinis kecuali
bila memang batuk tersebut sangat mengganggu. Contoh obat-obatannya
adalah kodein, noskapin dan dekstrometorfan. Ketiganya merupakan obat
golongan narkotik
7
Obat ekspektoran digunakan untuk mengencerkan dahak sehingga batuk
dapat lebih produktif dan memudahkan ekspektorasi. Contoh obat-obatan ini
adalah gliseril guaiakolat, succus liquiriteae dan ammonium chloride.
Obat mukolitik merupakan obat yang berfungsi mempercepat ekspektorasi
dan mengurangi viskositas sputum. Contoh obatnya adalah asetilsistein,
karbosistein, ambroxol dan bromhexin (Ikawati, 2009).
e. Mekanisme Batuk
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini
berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di
luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat
pada laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin
berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6
reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus.
Serabut aferen terpenting terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan
rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan
dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus
menyalurkan
rangsang
dari
sinus
paranasalis,
nervus
glosofaringeus
menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang
dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh serabut afferen dibawa
ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat
muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen nervus vagus, nervus
frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis,
nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari
otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan lain-lain.
8
Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya
mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1.
Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan
esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
diafragma,
sehingga
dimensi
lateral
dada
membesar
mengakibatkan
peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif.
9
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4.
Fase ekspirasi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan
disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi
akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara
(Putri, 2012).
Dalam terjadinya mekanisme batuk, reseptor rangsangan batuk sangat
berperan dalam menginisiasi timbulnya refleks batuk. Rangsangan atau
stimulus yang dapat menimbulkan batuk secara garis besar terbagi menjadi 3,
yaitu: Serabut Aδ atau rapidly adapting receptors (RARs), serabut C, dan
slowly adapting stretch receptor (SARs). Mereka dibedakan berdasarkan
neurochemistry, letaknya, kecepatan konduksi, sensitivitas fisika-kimia, dan
kemampuan adaptasi terhadap lung inflation.
10
Gambar 1. Refleks Batuk dan Sites of Action dari Beberapa Agen Antitusif (Reynolds, 2004).
Rapidly
adapting
receptors
(RARs)
merupakan
serabut
Aδ
termyelinasi yang diduga berada didalam atau selapis dibawah sel epitel di
sepanjang saluran pernafasan bertanggung jawab dalam mekanisme
pertukaran udara dalam saluran pernafasan (Widdicombe, 2001). RARs
merupakan reseptor yang aktivitasnya meningkat apabila dirangsang oleh
stimulus mekanis seperti sekresi mukus atau oedema, namun tidak sensitif
terhadap banyak stimulus kimia penginduksi batuk seperti bradikinin dan
capsaicin. (Lee dan Pisarri, 2001).
11
Reseptor serabut C memiliki peranan penting dalam refleks pertahanan
diri saluran pernafasan. Serabut C merespon terhadap baik mekanis
(walaupun memerlukan stimulus yang lebih besar dari RARs) maupun
kimia, seperti sulfur dioxide, bradikinin dan capsaicin (Lee dan Pisarri,
2001).
Walaupun SARs juga termasuk dalam lingkup keluarga „A‟, tidak
seperti RARs, aktivitas SAR tidak tergantung pada stimulus yang
menginduksi batuk. SAR juga diduga tidak terlibat secara langsung dalam
refleks batuk. Namun, SAR mungkin ikut memfasilitasi refleks batuk
seperti yang ditunjukkan pada kucing dan kelinci, melalui interneuron
yang disebut „pump cells’ yang diduga meningkatkan refleks batuk yang
berasal dari aktivitas RARs (Shannon, 2000).
2. Mekanisme Obat-obat Antitusif
Obat-obatan antitusif bekerja menekan batuk dengan 2 mekanisme. Yang
pertama adalah bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) dan yang kedua bekerja
pada saraf perifer.
a. Obat-obatan antitusif yang bekerja pada SSP
Batuk dapat terjadi karena aktivasi refleks batuk terdiri atas adanya
saraf aferen, saraf-saraf pusat batuk dan saraf eferen, yang diregulasi oleh
aktivitas otak yang lebih tinggi. Karena itulah saraf-saraf yang berperan
dan sistem regulasi dapat menjadi target antitusif. Contoh obat-obatan
antitusif yang bekerja pada SSP ialah kodein dan dekstrometorfan
(Takahama, 2003).
12
1. Kodein
Kodein merupakan obat antitusif golongan narkotik yang
bekerja pada SSP. Kodein sejak lama digunakan sebagai „gold
standard‟ pembanding obat-obatan antitusif baru yang bekerja pada
SSP. Kodein kemungkinan merupakan obat yang paling sering
diresepkan sebagai antitusif karena dapat memberikan efek analgesik
dan antitusif yang baik pada pemberian secara peroral (Chung, 2003).
Kodein merupakan golongan opiat yang selektif pada reseptor µ
opioid, seperti pada analognya morfin, namun dengan afinitas yang
jauh lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga berasal dari
konversi dari kodein ke morfin. Reseptor µ opioid merupakan
reseptor yang berpasangan dengan G-protein yang berfungsi sebagai
regulator transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktifkan
protein efektor. Terikatnya opiat menstimulasi pertukaran dari GTP
(Guanosin Trifosfat) menjadi GDP (Guanosin Difosfat) di G-protein
kompleks. Sebagai sistem efektor adalah adenylate cyclase dan cylcic
adenosin monophospate (cAMP) yang terletak di bagian dalam
permukaan membran plasma. Opioid mengurangi cAMP intraselular
dengan cara menghambat adenylate cyclase. Akibatnya, pelepasan
nociceptive neurotransmitter seperti substansi P, GABA (Gamma
Amino Butyric Acid), dopamine, asetilkolin dan noradrenaline ikut
terhambat.
Opioid
juga
menghambat
pelepasan
vasopressin,
somastotatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup N-type voltageoperated calcium channels (OP2-receptor agonist) dan membuka
13
calcium-dependant inwardly rectifying potassium channels (OP3 dan
OP1 receptor agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi dan
mengurangi sensitivitas neuron (Schroeder dan Fahey, 2004).
Kodein merupakan sebuah prodrug. Dia akan aktif setelah
melewati metabolisme menjadi morfin melalui hepar. Kodein
mengalami demetilasi menjadi morfin oleh enzim hepar CYP2D6
(Cytochrome P450 family 2 subfamily D member 6). Sekitar 70-80%
dosis yang diberikan mengalami glukoronidasi membentuk codeine6-glucoronide. Proses ini dimediasi oleh UDP-glukoronosiltranferase
UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase 2B7) dan UGT2B4 (UDPGlucoronyltransferase 2B4). Lima hingga sepuluh persen dari dosis
mengalami O-demetilasi menjadi morfin dan 10% lainnya mengalami
N-demetilasi
membentuk
norcodeine.
CYP2D6
memfasilitasi
biotransformasi menjadi morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family
3 subfamily A member 4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi
menjadi norcodeine. Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme
lebih lanjut dan mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari
morfin adalah morphine-3-glucoronide (M3G) dan morphine-6glucoronide (M6G). Baik morfin maupun M6G merupakan senyawa
aktif dan memiliki aktivitas analgesik. Sedangkan norcodeine dan
M3G tidak memiliki aktivitas analgesik (Vree dkk., 2000).
Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain mengantuk,
mual dan muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein dapat
14
mengakibatkan ketergantungan seperti layaknya pada obat-obatan
morfin, namun dengan skala yang lebih kecil (Chung, 2003).
2. Dekstrometorfan
Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang
bekerja pada SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat
morfin tidak memiliki efek analgesik maupun sedatif sehingga obat
ini diperjual belikan secara luas. Efek antitusif dari deksrometrofan
sama besar dengan efek antitusif dari kodein (Reynolds dkk., 2003).
Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan
untuk batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk dengan
cara langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla pada
otak. Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang tinggi pada
beberapa region di otak, termasuk pusat batuk medulla. Senyawa
aktif dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA (NMethyl D-Aspartate) dan bertindak sebagai non-competitive channel
blocker. (Hargreaves dkk., 1994).
Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan
dan sekaligus bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA
glutamatergic. Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada
reseptor opioid σ1 dan σ2, sekaligus juga merupakan antagonis
reseptor α3/β4 nikotinik dan bertarget pada serotonin reuptake pump
(Hernandez dkk., 2000). Dekstrometorfan diabsorpsi secara cepat
dari saluran pencernaan, dimana dia akan masuk ke aliran darah dan
melewati blood-brain barrier (BBB). Dekstrometorfan diubah
15
menjadi dextrorphan, sebagai senyawa metabolit aktif setelah
melewati first-pass hepatic portal (Olney dan Labruyere, 1989).
Efek samping yang ditimbulkan dekstrometorfan relatif kecil
pada dosis normal, namun meningkat seiring meningkatnya dosis
dengan efek samping berupa pusing, mual dan muntah, serta sakit
kepala. Dekstrometorfan harus digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan gangguan hepar karena memerlukan degradasi
metabolisme di liver (Chung, 2003).
b. Obat-obatan antitusif yang berkerja pada saraf perifer
Obat-obatan antitusif yang bekerja secara perifer bekerja di luar SSP
dan menekan batuk dengan cara menurunkan satu atau lebih responsitas
dari saraf sensorik yang berperan pada refleks, berbeda dengan obatobatan antitusif SSP yang bekerja di dalam SSP. Contoh obat-obatan
antitusif yang bekerja pada sistem saraf perifer adalah benzonatate,
levodropropizine, moguisteine (Reynolds dkk., 2003).
1. Benzonatate
Benzonatate merupakan turunan poliglikol rantai panjang yang secara
kimia memiliki hubungan dengan prokain, dimana bila dikonsumsi secara
oral maka target aksinya adalah menghambat strech receptor (Lalloo dkk.,
1995).
Benzonatate merupakan agen antitusif non-narkotik yang secara
kimia mirip dengan tetracaine dan anastesi lokal tipe ester lainnya.
Benzonatate digunakan untuk menekan batuk yang timbul baik batuk
akut maupun kronis. Obat ini bertindak secara perifer dengan
16
menganastesi strech receptor yang terletak di saluran pernafasan,
paru-paru, dan pleura sehingga dengan mengurangi aktivitas mereka
mengakibatkan refleks batuk berkurang (Cohen dkk., 2009).
Benzonatate bertindak secara perifer, menganastesi strech
receptors dari serabut vagal aferen dalam alveoli, bronchi, dan
pleura. Reseptor-reseptor di sinilah yang bertanggung jawab atas
terjadinya refleks batuk, sehingga dengan menganastesi reseptorreseptor ini dapat mengakibatkan penghambatan produksi batuk.
Benzonatate juga menekan transmisi dari refleks batuk di tingkat
medulla dimana impuls aferen ditransmisikan ke saraf motorik.
(Cohen dkk., 2009).
2. Levodropropizine
Levodropropizine merupakan obat antitusif non-opioid yang efek
periferalnya
kemungkinan
karena
modulasi
pada
sensory
neuropeptides dalam saluran pernafasan (Lalloo dkk., 1995).
Levodropopizine pada penelitian klinis dengan metode randomized
double-blind memiliki efek antitusif yang dapat diperbandingkan
dengan dekstrometorfan dan dihidrokodein (Reynolds dkk., 2003).
3. Moguisteine
Moguisteine merupakan jenis obat antitusif baru non-opioid yang
bekerja pada saraf perifer (Bolser dkk., 1993) yang melibatkan ATPsensitive potassium channels (Bolser dkk., 1994). Obat ini belum
secara komersil diperjual belikan karena masih dalam tahap
pengembangan.
17
3. Sirup OB Poliherbal
Gambar 2. Produk sirup OB poliherbal
Sirup OB poliherbal (gambar 2), merupakan salah satu produk obat batuk
yang diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini berupa sediaan
sirup yang terbuat dari bahan-bahan alam dengan komposisi seperti tabel 1.
Tabel 1. Komposisi sirup OB poliherbal
Tiap 15 mL mengandung ekstrak:
Zingiberis Rhizoma
4,5 gram
Kaempferiae Rhizoma
1,5 gram
Citrus Aurantifolii Fructus
1,5 gram
Thymi Herba
1,5 gram
Menthae Folia
0,75 gram
Myristicae Semen
0,75 gram
Licorice
0,25 gram
Dalam Mel (madu) sampai
15 mL
Sirup OB poliherbal diindikasikan untuk menghangatkan dan melegakan
tenggorokan serta membantu meredakan batuk yang disebabkan karena masuk
angin. Dosis sirup OB poliherbal adalah tiga kali sehari satu sendok takar (15
18
mL) untuk orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak tiga kali sehari setengah
sendok takar (7,5 mL). Produk ini tersedia dalam kemasan botol 60 mL dan
100 mL.
Berikut adalah penjelasan khasiat tiap bahan:
a. Zingiberis Rhizoma
Merupakan rimpang dari tanaman Zingiberis officinale. Tanaman
yang memiliki nama lokal jahe ini memiliki berbagai khasiat
diantaranya adalah antiemetik, antipiretik, analgesik, hipotensif, dan
antitusif. Aktivitas antitusif dari jahe berasal dari kandungan senyawa
6-gingerol dan 6-shogaol yang berdasarkan penelitian terdahulu
terbukti memiliki aktivitas antitusif (Suekawa, 1984).
b. Kaempferiae Rhizoma
Merupakan rimpang dari tanaman Kaempferiae galanga. Di
Indonesia lebih dikenal dengan nama kencur. Memiliki kandungan
metabolit
sekunder
cinnamate,
pentadecane,
1,8-cineole
dan
terpenoid yang memiliki aktivitas sebagai antitusif (Sellappan, 2015).
c. Citrus Aurantifolii Citrus
Merupakan buah dari tanaman Citrus aurantifolia dengan nama
lokal jeruk nipis. Di Indonesia, taman ini secara tradisional sudah
sejak lama dikenal sebagai herbal digunakan bersama dengan madu
untuk meringankan gejala batuk (Aibinu dkk., 2007). Kandungan
asam sitrat mampu meningkatkan produksi sekresi mukus pada
19
saluran pernafasan (Lopez-Vidriero, 1977) sehingga dapat digunakan
sebagai ekspektoran.
d. Thymi Herba
Merupakan herbal yang berasal dari tanaman Thymus vulgaris
yang daunnya dikeringkan. Minyak atsiri dari ekstrak herba thymi
dilaporkan memiliki aktivitas ekspektoran (Gordonoff dan Merz,
1931). Selain itu, herba thymi mengandung senyawa thymol dan
carvacol yang berdasarkan penelitian Basch dkk. (2004) mampu
memberikan efek antitusif.
e. Menthae Folia
Merupakan daun dari tanaman Mentha sp. atau dikenal dengan
mint. Selain memiliki aroma khas yang menyenangkan, daun mint
mengandung minyak atsiri
yang memiliki aktivitas sebagai
ekspektoran (Kingham, 1995). Senyawa menthol dalam uap ekstrak
daun mint berdasarkan penelitian Wise dkk. (2012) mampu
menurunkan sensitivitas reseptor refleks batuk.
f. Myristicae Semen
Merupakan biji dari tanaman Myristiceae sp. Di Indonesia dikenal
dengan nama buah pala. Biji pala sering digunakan sebagai bahan
sirup OB poliherbalat batuk karena dapat mengatasi gangguan
pernafasan (Agbodigi, 2014). Mengandung minyak biji pala yang
memiliki aktivitas ekspektoran dimana mampu memberikan efek
bronkomukotropik pada hewan uji kelinici (Boyd dan Shepard,
1970).
20
g. Liquorice
Merupakan akar dari tanaman Glycyrrhiza glabra. Dikenal
memiliki aktivtitas farmakologis yang cukup banyak dan diantaranya
berperan sebagai agen ekspetoran (Anil, 2012).
4. Model Hewan Uji Aktivitas Antitusif
Respon batuk merupakan sebuah refleks mekanisme pertahanan yang secara
fisiologis terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah sistem aferen yang
mengenali stimulus batuk, kemudian sistem saraf pusat (SSP) yang mengubah
stimulus melalui sistem eferen menjadi refleks batuk. Hewan uji yang dipilih
haruslah mewakili refleks batuk tersebut (Belvisi dan Hele, 2003). Beberapa
model yang pernah digunakan diantaranya:
a. Tikus
Banyak studi yang telah dilakukan pada tikus, dan terbukti tikus dapat
menghasilkan suara batuk (Kamei dkk., 1987). Namun walau begitu masih
terjadi skeptisme mengenai refleks batuk yang dihasilkan oleh tikus
apakah melalui mekanisme yang sama pada manusia atau tidak (Korpas,
1972).
b. Mencit
Mencit salah satu hewan pengerat yang berbentuk kecil. Penelitian
unutk batuk menggunakan hewan uji ini telah dilakukan, namun
penggunaan mencit sebagai hewan uji batuk masih banyak diragukan. Hal
ini dikarenakan mencit tidak memiliki RARs (rapidly adapting receptors)
dan tidak memiliki energi yang diperlukan untuk menghasilkan batuk
21
(Karlsson dkk., 1988). Namun begitu, penelitian untuk refleks ekspirasi
dapat dilakukan dengan hewan uji ini (Belvisi dkk., 2003).
c. Marmut
Marmut merupakan model hewan uji untuk penelitian mengenai batuk
yang paling populer saat ini. Banyak studi yang dilakukan dengan hewan
uji ini, terutama efek antitusif dengan menggunakan senyawa asam sitrat
ataupun capsaicin sebagai induktor. Batuk pada marmut dapat ditentukan
melalui pengamatan pada postur tubuh saat batuk dan suara yang
dihasilkan marmut itu sendiri (Belvisi dan Hele, 2003).
Marmut memiliki kemiripan refleks batuk yang sangat besar terhadap
manusia menggunakan induksi asam sitrat maupun capsaicin. Selain
memiliki refleks kemiripan dalam batuk, penelitian terbaru in vitro
menunjukkan bahwa saraf vagus terdepolarisasi marmut mirip dengan
saraf vagus pada manusia (Belvisi dkk., 2003).
5. Marmut
Gambar 3. Marmut
22
a. Klasifikasi
Marmut (Cavia porcellus) (gambar 3), merupakan jenis marmut
domestik yang tergabung dalam spesies hewan pengerat. Marmut berasal
dari Andes (Weir, 1974). Di Amerika Selatan, marmut biasa dijadikan
sebagai sumber makanan atau sebagai obat tradisional dan sejak 1960
daging marmut mulai diperkenalkan secara luas ke dunia (Vecchio, 2004).
Marmut memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Caviidae
Genus
: Cavia
Spesies
: Cavia porcellus
b. Ciri-ciri
Marmut termasuk jenis hewan pengerat yang besar. Mereka memilii
kisaran bobot sebesar 700 hingga 1200 gram dengan panjang tubuh
sepanjang 20 hingga 25 cm. Mereka umumnya hidup selama 4 hingga 5
tahun, namun umurnya bisa mencapai 8 tahun (Richardson, 2000).
c. Habitat di alam
Marmut secara alamiah tidak ada di alam. Hal ini karena marmut
yang ada sekarang merupakan keturunan dan hybrid dari spesies marmut
atau cavies terdekat seperti C. aperea, C. fulgida, dan C. tschudii yang
tersebar luas di daratan Amerika Selatan (Weir, 1974). Jenis cavies yang
23
teridentifikasi di alam pada abad ke-20 seeprti C. anolaimae dan C.
guinae kemungkinan merupakan marmut domestik yang dilepaskan ke
alam liar sehingga menjadi bagian dari alam liar (Nowak, 1999). Marmut
liar umumnya ditemukan di dataran rumput. Mereka merupakan hewan
sosial, hidup di alam liar dengan berkelompok kecil yang terdiri atas
beberapa betina, pejantan, dan marmut muda. Mereka bergerak dalam
grup berpindah mencari makanan dari satu tempat ke tempat lain seperti
rumput, dan tidak menyimpan makanan. Walaupun tidak membuat
sarang, mereka mencari perlindungan dari sarang hewan lain yang
ditinggalkan atau sebuah terowongan yang terbentuk dari vegetasi.
Marmut merupakan hewan yang aktif saat fajar dan sore, dimana
predator lebih sulit memangsa mereka.
d. Tingkah Laku
Marmut merupakan hewan yang dapat mengingat jalan menuju
makanan, hingga berbulan-bulan. Kesulitan utama yang dimiliki marmut
ialah pergerakan (Charters dan Allen, 1904). Walaupun marmut dapat
melompat melintasi rintangan kecil, mereka merupakan pemanjat yang
buruk dan tidak begitu lincah. Marmut sangat mudah terkejut dan akan
diam dalam jangka waktu yang lama atau lari mencari perlindungan saat
merasakan bahaya. Kelompok besar marmut yang terkejut biasanya
melakukan stampede, yaitu lari pada arah yang tidak beraturan untuk
membingungkan predator. Marmut merupakan perenang yang sangat
baik (Harkness dan Wagner, 1995).
24
Penglihatan marmut tidak sebaik pada manusia, namun mereka
memiliki luas pandang yang lebih lebar yaitu sekitar 340o dan melihat
dengan warna parsial. Marmut telah mengembangkan indra yang baik
akan mendengar, mencium, dan menyentuh. Bersuara adalah komunikasi
utama yang dilakukan antar spesies marmut.
e. Kesehatan
Penyakit utama yang diderita marmut biasanya merupakan gangguan
pernafasan, diare, defisiensi vitamin, radang tenggorokan, dan infeksi
oleh kutu, jamur, atau tungau. Trixacarus caviae merupakan penyebab
umum rontoknya rambut marmut dan menimbulkan gejala seperti
menggaruk berlebihan, agresivitas yang tidak biasa terutama bagian yang
terinfeksi, dan pada beberapa kasus menyebabkan kejang. Marmut juga
dapat menderita “tungau lari” (Gliricola porcelli), sejenis serangga putih
kecil yang dapat terlihat bergerak melewati rambut, dan telurnya berupa
titik kecil hitam yang menempel pada rambut.
Marmut bukan hewan yang tahan panas. Tubuh mereka didesain
untuk lebih mentolerir dingin daripada panas. Hal ini karena marmut
memiliki badan yang gemuk dan kompak dengan suhu badan berkisar
antar 38-40o C. Marmut merupakan hewan yang suka menyembunyikan
rasa sakit sebagai senjata untuk melawan pemangsanya. Karena itulah,
marmut peliharaan yang menderita penyakit seringkali baru terlihat
gejala sakitnya saat sudah parah atau stadium lanjut.
f. Penggunaan Penelitian
25
Marmut pertama kali digunakan sebagai hewan penelitian pada abad
ke-17 saat ahli biologi dari Italia, Marcello Malphigi dan Carlo Fracassati
melakukan pembedahan marmut untuk mempelajari struktur anatominya
(Guerrini, 2003). Pada tahun 1780, Antoine Lavoiser menggunakan
marmut dalam eksperimennya menggunakan kalorimeter, sebuah alat
yang digunakan untuk mengukur produksi panas (Bucholz dan Schoeller,
2004). Marmut juga berperan penting dalam pembuktian teori kuman di
akhir abad ke-19 melalui eksperimen dari Louis Pasteur, Emile Roux,
dan Robert Kouch (Guerrini, 2003).
6. Asam Sitrat
Gambar 4. Rumus Bangun Asam Sitrat
Asam sitrat yang memiliki rumus bangun pada gambar 4, merupakan salah satu
asam organik yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman (60
% dari total produksi), antara lain berfungsi sebagai pemberi rasa asam,
antioksidan
dan pengemulsi. Flavor sari buah, ekstrak sari buah, es krim,
marmalade diperkuat dan diawetkan dengan menambahkan asam sitrat. Selain itu
juga banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan detergent. Dalam
industri farmasi (10% dari total produksi), digunakan sebagai bahan pengawet
26
dalam penyimpanan darah atau sebagai sumber zat besi dalam bentuk Feri-sitrat.
Dalam industri kimia (25% dari total produksi), digunakan sebagai antibuih dan
bahan pelunak (Rahman, 1992).
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, asam sitrat memiliki pemerian
berupa hablur bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai halus,
putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; rasa sangat asam. Asam sitrat sangat
mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol; agak sukar larut dalam eter
(Depkes R.I., 1995).
Asam sitrat memiliki tingkat toksisitas akut yang rendah berdasarkan penelitian
pada manusia dan hewan. Asam sitrat juga tidak memiliki sifat karsinogenik atau
reprotoksik maupun agen teratogenik. Namun asam sitrat dapat menyebabkan
iritasi pada mata dan juga saluran pernafasan serta pada kulit, dimana menjadikan
ancaman toksisitas utama yang dimiliki oleh asam sitrat. Iritasi lokal asam sitrat
yang diaplikasikan pada kulit dengan hewan uji kelinci dilaporkan sedikit
mengiritasi dengan penggunaan larutan berkonsentrasi 30% asam sitrat. Namun
pada konsentrasi sebesar 50%, dilaporkan menyebabkan lidah anjing hewan uji
mengalami ulseraci yang parah dan kerusakan jaringan. Dengan hewan uji yang
sama,
asam
sitrat
juga
dapat
menyebabkan
bronkokonstriksi
dengan
hiperreakitvitas saluran nafas nonspesifik. Asam sitrat dapat menyebabkan batuk
pada marmut yang dipaparkan dengan 7,5% larutan asam sitrat berbentuk
aeorosol selama 3 menit (Karlaganis, 2000).
27
F. Landasan teori
Batuk merupakan suatu refleks pertahanan tubuh dari masuknya benda asing
pada saluran pernafasan. Refleks batuk dimulai dengan aktifnya reseptor
rangsangan batuk yang dapat diaktifkan dengan stimulus mekanis yaitu reseptor
serabut Aδ maupun stimulus kimiawi yaitu reseptor serabut C (Widdicombe,
2001). Walaupun disebut sebagai mekanisme pertahanan tubuh, namun apabila
batuk terjadi berlebihan malah akan mengganggu aktivitas dari penderita.
Pemanfaatan menggunakan bahan alam sebagai alternatif pengobatan merupakan
tren yang cukup populer saat ini dan penggunaannya mulai meningkat. Salah satu
pemanfaatannya adalah sebagai obat batuk.
Salah satu industri farmasi di Indonesia telah memformulasikan sebuah obat
batuk yang kandungannya berasal dari bermacam-macam tanaman herbal
Indonesia yaitu “sirup OB poliherbal”. Sirup OB poliherbal merupakan hasil dari
formulasi 7 macam herbal Indonesia. Herbal yang terkandung dalam sirup obat
batuk tersebut diantaranya adalah rimpang jahe, rimpang kencur, buah jeruk nipis,
herba thymi, daun mint, biji pala dan akar manis. Penelitian terdahulu menyatakan
kandungan 6-gingerol dan 6-shogaol dalam jahe, eucalyptol dalam kencur, thymol
dan carvacol dalam herba thymi dan menthol dalam daun mint memiliki aktivitas
antitusif. Kandungan herbal yang memiliki aktivitas antitusif dalam sirup OB
poliherbal diharapkan membuat sirup OB poliherbal memiliki aktivitas antitusif
28
G. Hipotesis
Kandungan ekstrak-ekstrak herbal dalam sirup OB poliherbal yang memiliki
aktivitas antitusif mampu menekan jumlah batuk yang dihasilkan hewan uji
marmut terinduksi asam sitrat.
Download