BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh di saluran pernafasan dan merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi di tenggorokan karena adanya lendir atau mukus, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk juga merupakan salah satu gejala paling umum yang menyertai penyakit pernafasan seperti asma, bronkitis, dan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease). Ketiadaaan batuk dapat berbahaya dan fatal untuk kesehatan, karena bisa jadi batuk merupakan gejala awal dari penyakit pernafasan dan memudahkan dokter untuk mendiagnosis suatu penyakit (Chung, 2003). Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan beragam hal salah satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan. Normalnya, mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel asing yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak lagi membantu malahan mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh karena itu, tubuh memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan tersebut. Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang. Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. 1 2 Obat batuk yang dapat menekan batuk disebut juga antitusif. Antitusif adalah obat-obatan penekan batuk yang kerjanya dibagi menjadi dua yaitu perifer dan sentral (Sartono, 1993). Antitusif yang bekerja di sentral dibagi lagi menjadi non narkotik dan narkotik. Banyak antitusif yang telah dikembangkan dan digunakan di klinik sebagai obat-obat over the counter (OTC). Namun obat-obatan antitusif non narkotik yang sekarang ini kerjanya kurang efektif dan antitusif narkotik memiliki efek samping yang tidak diinginkan, misalnya kodein memberikan efek samping kecanduan (Reynolds dkk., 2003). Obat-obatan antitusif baru yang bebas efek samping diperlukan untuk mengatasi masalah yang timbul oleh efek samping obat antitusif yang sudah ada. Salah satu cara untuk menemukan obat tersebut adalah dari alam atau menggunakan obat-obatan herbal. Sudah sejak lama Indonesia terkenal akan keanekaragaman tumbuhan, tak terkecuali tumbuhan obat. Penduduk setempat biasanya menggunakan tumbuhan tersebut untuk kebutuhan kesehatan misalnya obat batuk. Seiring perkembangan waktu, pemanfaatan tumbuhan obat makin luas dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Banyak industri di Indonesia memanfaatkan tumbuhan obat tersebut untuk kemudian diformulasikan dan dijadikan suatu produk. Salah satu industri telah berhasil memformulasikan produk obat batuk yang berasal dari herbal-herbal alam yang telah terbukti memiliki khasiat untuk mengatasi batuk. Produk itu adalah “Sirup OB poliherbal”. Sirup OB poliherbal diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini terbuat dari kombinasi 7 ekstrak tumbuhan yang masing-masing telah terbukti secara empiris maupun ilmiah memiliki khasiat meredakan batuk. Komposisi tersebut adalah ekstrak rimpang jahe (zingiberis rhizoma), rimpang kencur 3 (kaempferiae rhizoma), buah jeruk nipis (citrus aurantifolii fructus), herba timi (thymi herba), daun mint (menthae folia), biji pala (myristicae semen), akar manis (liquorice), dan madu. Sirup OB poliherbal diklaim berkhasiat meredakan batuk yang disebabkan alergi debu, perubahan cuaca atau batuk karena masuk angin dengan aksi mengencerkan dahak dan membantu mengeluarkan dahak sehingga dapat melegakan nafas. Herbal-herbal yang terkandung dalam Sirup OB poliherbal diketahui memiliki khasiat sebagai antitusif berdasarkan penelitian yang sudah ada. Berdasarkan penelitian bahwa rimpang jahe (Suekawa, 1984), rimpang kencur (Sellappan, 2015) dan herba thymi (Basch dkk., 2004) dilaporkan memiliki aktivitas antitusif. Sejauh ini, belum pernah dilakukan penelitian mengenai efek sirup OB poliherbal mengenai aktivitas antitusif. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan diuji aktivitas antitusif sirup OB poliherbal pada hewan uji marmut yang diinduksi dengan asam sitrat. B. Rumusan Masalah 1. Apakah sirup OB poliherbal memiliki aktivitas antitusif terhadap marmut yang diinduksi dengan asam sitrat? 2. Pada dosis berapakah sirup OB poliherbal yang memberikan efek antitusif terhadap marmut uji paling optimal? 4 C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antitusif dan dosis optimal dari suatu produk yang disebut sirup OB poliherbal terhadap marmut yang diinduksi dengan asam sitrat. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan informasi baru kepada masyarakat pada umumnya dan PT. Deltomed Laboratories pada khususnya terkait pengembangan obat baru lewat informasi khasiat/efek antitusif sirup OB poliherbal. E. Tinjauan Pustaka 1. Batuk a. Definisi Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi pertanda utama terhadap penyakit perafasan sehingga dapat menjadi petunjuk bagi tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan diagnosisnya (Chung, 2003). b. Patofisiologi Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan pernafasan serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda 5 asing. Setiap batuk terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal ini diprakarsai oleh reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik percabangan saluran udara besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian distal, serta dalam faring. Laring dan reseptor tracheobronchial memiliki respon yang baik terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Reseptor kimia yang peka terhadap panas, asam dan senyawa capsaicin akan memicu refleks batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid (capsaicin). Impuls dari reseptor batuk yang telah dirangsang akan melintasi jalur aferen melalui saraf vagus ke „pusat batuk‟ di medula. Pusat batuk akan menghasilkan sinyal eferen yang bergerak menuruni vugus, saraf frenikus dan saraf motorik tulang belakang untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna membantu batuk. Mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu: 1. Fase inspirasi: fase inhalasi yang menghasilkan volume yang diperlukan untuk batuk efektif 2. Fase kompresi: penutupan laring dikombinasikan dengan kontraksi otot-otot dinding dada, diagframa sehingga menghasilkan dinding perut menegang akibat tekanan intratoraks. 3. Fase ekspirasi: glotis akan terbuka, mengakibatkan aliran udara ekspirasi yang tinggi dan mengeluarkan suara batuk (Yahya, 2007). c. Klasifikasi Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut, dan batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu. Batuk 6 subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk kronis yaitu batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka dapat diprediksi penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan gagal jantung kongestif. Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca infeksi, bakteri sinusitis maupun batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis bila terjadi pada perokok biasanya merupakan penyakit chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan pada non perokok kemungkinan adalah postnasal drip, asma dan gastroesophageal reflux disease (GERD). Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. Sedangkan batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme pengeluaran mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009). d. Terapi Obat-obatan yang digunakan untuk batuk bermacam-macam tergantung dari jenis batuknya. Terdapat beberapa jenis obat batuk yaitu antitusif, ekspektoran dan mukolitik. Obat antitusif merupakan obat yang ditujukan untuk menekan batuk. Obat-obatan ini kurang memberi manfaat klinis kecuali bila memang batuk tersebut sangat mengganggu. Contoh obat-obatannya adalah kodein, noskapin dan dekstrometorfan. Ketiganya merupakan obat golongan narkotik 7 Obat ekspektoran digunakan untuk mengencerkan dahak sehingga batuk dapat lebih produktif dan memudahkan ekspektorasi. Contoh obat-obatan ini adalah gliseril guaiakolat, succus liquiriteae dan ammonium chloride. Obat mukolitik merupakan obat yang berfungsi mempercepat ekspektorasi dan mengurangi viskositas sputum. Contoh obatnya adalah asetilsistein, karbosistein, ambroxol dan bromhexin (Ikawati, 2009). e. Mekanisme Batuk Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat pada laring, trakea, bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6 reseptor di dapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Serabut aferen terpenting terdapat pada cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh serabut afferen dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus, nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan lain-lain. 8 Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu : 1. Fase iritasi Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang. 2. Fase inspirasi Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial. 3. Fase kompresi Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif. 9 Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka. 4. Fase ekspirasi Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara (Putri, 2012). Dalam terjadinya mekanisme batuk, reseptor rangsangan batuk sangat berperan dalam menginisiasi timbulnya refleks batuk. Rangsangan atau stimulus yang dapat menimbulkan batuk secara garis besar terbagi menjadi 3, yaitu: Serabut Aδ atau rapidly adapting receptors (RARs), serabut C, dan slowly adapting stretch receptor (SARs). Mereka dibedakan berdasarkan neurochemistry, letaknya, kecepatan konduksi, sensitivitas fisika-kimia, dan kemampuan adaptasi terhadap lung inflation. 10 Gambar 1. Refleks Batuk dan Sites of Action dari Beberapa Agen Antitusif (Reynolds, 2004). Rapidly adapting receptors (RARs) merupakan serabut Aδ termyelinasi yang diduga berada didalam atau selapis dibawah sel epitel di sepanjang saluran pernafasan bertanggung jawab dalam mekanisme pertukaran udara dalam saluran pernafasan (Widdicombe, 2001). RARs merupakan reseptor yang aktivitasnya meningkat apabila dirangsang oleh stimulus mekanis seperti sekresi mukus atau oedema, namun tidak sensitif terhadap banyak stimulus kimia penginduksi batuk seperti bradikinin dan capsaicin. (Lee dan Pisarri, 2001). 11 Reseptor serabut C memiliki peranan penting dalam refleks pertahanan diri saluran pernafasan. Serabut C merespon terhadap baik mekanis (walaupun memerlukan stimulus yang lebih besar dari RARs) maupun kimia, seperti sulfur dioxide, bradikinin dan capsaicin (Lee dan Pisarri, 2001). Walaupun SARs juga termasuk dalam lingkup keluarga „A‟, tidak seperti RARs, aktivitas SAR tidak tergantung pada stimulus yang menginduksi batuk. SAR juga diduga tidak terlibat secara langsung dalam refleks batuk. Namun, SAR mungkin ikut memfasilitasi refleks batuk seperti yang ditunjukkan pada kucing dan kelinci, melalui interneuron yang disebut „pump cells’ yang diduga meningkatkan refleks batuk yang berasal dari aktivitas RARs (Shannon, 2000). 2. Mekanisme Obat-obat Antitusif Obat-obatan antitusif bekerja menekan batuk dengan 2 mekanisme. Yang pertama adalah bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) dan yang kedua bekerja pada saraf perifer. a. Obat-obatan antitusif yang bekerja pada SSP Batuk dapat terjadi karena aktivasi refleks batuk terdiri atas adanya saraf aferen, saraf-saraf pusat batuk dan saraf eferen, yang diregulasi oleh aktivitas otak yang lebih tinggi. Karena itulah saraf-saraf yang berperan dan sistem regulasi dapat menjadi target antitusif. Contoh obat-obatan antitusif yang bekerja pada SSP ialah kodein dan dekstrometorfan (Takahama, 2003). 12 1. Kodein Kodein merupakan obat antitusif golongan narkotik yang bekerja pada SSP. Kodein sejak lama digunakan sebagai „gold standard‟ pembanding obat-obatan antitusif baru yang bekerja pada SSP. Kodein kemungkinan merupakan obat yang paling sering diresepkan sebagai antitusif karena dapat memberikan efek analgesik dan antitusif yang baik pada pemberian secara peroral (Chung, 2003). Kodein merupakan golongan opiat yang selektif pada reseptor µ opioid, seperti pada analognya morfin, namun dengan afinitas yang jauh lebih kecil. Kemampuan analgesiknya diduga berasal dari konversi dari kodein ke morfin. Reseptor µ opioid merupakan reseptor yang berpasangan dengan G-protein yang berfungsi sebagai regulator transmisi sinaps melalui G-protein yang mengaktifkan protein efektor. Terikatnya opiat menstimulasi pertukaran dari GTP (Guanosin Trifosfat) menjadi GDP (Guanosin Difosfat) di G-protein kompleks. Sebagai sistem efektor adalah adenylate cyclase dan cylcic adenosin monophospate (cAMP) yang terletak di bagian dalam permukaan membran plasma. Opioid mengurangi cAMP intraselular dengan cara menghambat adenylate cyclase. Akibatnya, pelepasan nociceptive neurotransmitter seperti substansi P, GABA (Gamma Amino Butyric Acid), dopamine, asetilkolin dan noradrenaline ikut terhambat. Opioid juga menghambat pelepasan vasopressin, somastotatin, insulin dan glukagon. Opioid menutup N-type voltageoperated calcium channels (OP2-receptor agonist) dan membuka 13 calcium-dependant inwardly rectifying potassium channels (OP3 dan OP1 receptor agonist). Hal ini mengakibatkan hiperpolarisasi dan mengurangi sensitivitas neuron (Schroeder dan Fahey, 2004). Kodein merupakan sebuah prodrug. Dia akan aktif setelah melewati metabolisme menjadi morfin melalui hepar. Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin oleh enzim hepar CYP2D6 (Cytochrome P450 family 2 subfamily D member 6). Sekitar 70-80% dosis yang diberikan mengalami glukoronidasi membentuk codeine6-glucoronide. Proses ini dimediasi oleh UDP-glukoronosiltranferase UGT2B7 (UDP-Glucoronyltransferase 2B7) dan UGT2B4 (UDPGlucoronyltransferase 2B4). Lima hingga sepuluh persen dari dosis mengalami O-demetilasi menjadi morfin dan 10% lainnya mengalami N-demetilasi membentuk norcodeine. CYP2D6 memfasilitasi biotransformasi menjadi morfin. CYP3A4 (Cytochrome P450 family 3 subfamily A member 4) adalah enzim yang memfasilitasi konversi menjadi norcodeine. Baik morfin maupun norcodeine dimetabolisme lebih lanjut dan mengalami glukoronidasi. Metabolit glukoronid dari morfin adalah morphine-3-glucoronide (M3G) dan morphine-6glucoronide (M6G). Baik morfin maupun M6G merupakan senyawa aktif dan memiliki aktivitas analgesik. Sedangkan norcodeine dan M3G tidak memiliki aktivitas analgesik (Vree dkk., 2000). Efek samping yang ditimbulkan kodein antara lain mengantuk, mual dan muntah, serta konstipasi. Selain itu, kodein dapat 14 mengakibatkan ketergantungan seperti layaknya pada obat-obatan morfin, namun dengan skala yang lebih kecil (Chung, 2003). 2. Dekstrometorfan Dekstrometorfan merupakan obat antitusif non narkotik yang bekerja pada SSP. Dekstrometorfan yang disintesis dari derivat morfin tidak memiliki efek analgesik maupun sedatif sehingga obat ini diperjual belikan secara luas. Efek antitusif dari deksrometrofan sama besar dengan efek antitusif dari kodein (Reynolds dkk., 2003). Dekstrometorfan merupakan obat batuk antitusif yang ditujukan untuk batuk kering. Dekstrometorfan menekan refleks batuk dengan cara langsung bertindak pada pusat batuk di dalam medulla pada otak. Dekstrometorfan menunjukkan afinitas ikatan yang tinggi pada beberapa region di otak, termasuk pusat batuk medulla. Senyawa aktif dekstrometorfan merupakan antagonis reseptor NMDA (NMethyl D-Aspartate) dan bertindak sebagai non-competitive channel blocker. (Hargreaves dkk., 1994). Dekstrometorfan merupakan opioid-like drug yang berikatan dan sekaligus bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA glutamatergic. Dekstrometorfan juga merupakan agonis pada reseptor opioid σ1 dan σ2, sekaligus juga merupakan antagonis reseptor α3/β4 nikotinik dan bertarget pada serotonin reuptake pump (Hernandez dkk., 2000). Dekstrometorfan diabsorpsi secara cepat dari saluran pencernaan, dimana dia akan masuk ke aliran darah dan melewati blood-brain barrier (BBB). Dekstrometorfan diubah 15 menjadi dextrorphan, sebagai senyawa metabolit aktif setelah melewati first-pass hepatic portal (Olney dan Labruyere, 1989). Efek samping yang ditimbulkan dekstrometorfan relatif kecil pada dosis normal, namun meningkat seiring meningkatnya dosis dengan efek samping berupa pusing, mual dan muntah, serta sakit kepala. Dekstrometorfan harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan hepar karena memerlukan degradasi metabolisme di liver (Chung, 2003). b. Obat-obatan antitusif yang berkerja pada saraf perifer Obat-obatan antitusif yang bekerja secara perifer bekerja di luar SSP dan menekan batuk dengan cara menurunkan satu atau lebih responsitas dari saraf sensorik yang berperan pada refleks, berbeda dengan obatobatan antitusif SSP yang bekerja di dalam SSP. Contoh obat-obatan antitusif yang bekerja pada sistem saraf perifer adalah benzonatate, levodropropizine, moguisteine (Reynolds dkk., 2003). 1. Benzonatate Benzonatate merupakan turunan poliglikol rantai panjang yang secara kimia memiliki hubungan dengan prokain, dimana bila dikonsumsi secara oral maka target aksinya adalah menghambat strech receptor (Lalloo dkk., 1995). Benzonatate merupakan agen antitusif non-narkotik yang secara kimia mirip dengan tetracaine dan anastesi lokal tipe ester lainnya. Benzonatate digunakan untuk menekan batuk yang timbul baik batuk akut maupun kronis. Obat ini bertindak secara perifer dengan 16 menganastesi strech receptor yang terletak di saluran pernafasan, paru-paru, dan pleura sehingga dengan mengurangi aktivitas mereka mengakibatkan refleks batuk berkurang (Cohen dkk., 2009). Benzonatate bertindak secara perifer, menganastesi strech receptors dari serabut vagal aferen dalam alveoli, bronchi, dan pleura. Reseptor-reseptor di sinilah yang bertanggung jawab atas terjadinya refleks batuk, sehingga dengan menganastesi reseptorreseptor ini dapat mengakibatkan penghambatan produksi batuk. Benzonatate juga menekan transmisi dari refleks batuk di tingkat medulla dimana impuls aferen ditransmisikan ke saraf motorik. (Cohen dkk., 2009). 2. Levodropropizine Levodropropizine merupakan obat antitusif non-opioid yang efek periferalnya kemungkinan karena modulasi pada sensory neuropeptides dalam saluran pernafasan (Lalloo dkk., 1995). Levodropopizine pada penelitian klinis dengan metode randomized double-blind memiliki efek antitusif yang dapat diperbandingkan dengan dekstrometorfan dan dihidrokodein (Reynolds dkk., 2003). 3. Moguisteine Moguisteine merupakan jenis obat antitusif baru non-opioid yang bekerja pada saraf perifer (Bolser dkk., 1993) yang melibatkan ATPsensitive potassium channels (Bolser dkk., 1994). Obat ini belum secara komersil diperjual belikan karena masih dalam tahap pengembangan. 17 3. Sirup OB Poliherbal Gambar 2. Produk sirup OB poliherbal Sirup OB poliherbal (gambar 2), merupakan salah satu produk obat batuk yang diproduksi oleh PT. Deltomed Laboratories. Produk ini berupa sediaan sirup yang terbuat dari bahan-bahan alam dengan komposisi seperti tabel 1. Tabel 1. Komposisi sirup OB poliherbal Tiap 15 mL mengandung ekstrak: Zingiberis Rhizoma 4,5 gram Kaempferiae Rhizoma 1,5 gram Citrus Aurantifolii Fructus 1,5 gram Thymi Herba 1,5 gram Menthae Folia 0,75 gram Myristicae Semen 0,75 gram Licorice 0,25 gram Dalam Mel (madu) sampai 15 mL Sirup OB poliherbal diindikasikan untuk menghangatkan dan melegakan tenggorokan serta membantu meredakan batuk yang disebabkan karena masuk angin. Dosis sirup OB poliherbal adalah tiga kali sehari satu sendok takar (15 18 mL) untuk orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak tiga kali sehari setengah sendok takar (7,5 mL). Produk ini tersedia dalam kemasan botol 60 mL dan 100 mL. Berikut adalah penjelasan khasiat tiap bahan: a. Zingiberis Rhizoma Merupakan rimpang dari tanaman Zingiberis officinale. Tanaman yang memiliki nama lokal jahe ini memiliki berbagai khasiat diantaranya adalah antiemetik, antipiretik, analgesik, hipotensif, dan antitusif. Aktivitas antitusif dari jahe berasal dari kandungan senyawa 6-gingerol dan 6-shogaol yang berdasarkan penelitian terdahulu terbukti memiliki aktivitas antitusif (Suekawa, 1984). b. Kaempferiae Rhizoma Merupakan rimpang dari tanaman Kaempferiae galanga. Di Indonesia lebih dikenal dengan nama kencur. Memiliki kandungan metabolit sekunder cinnamate, pentadecane, 1,8-cineole dan terpenoid yang memiliki aktivitas sebagai antitusif (Sellappan, 2015). c. Citrus Aurantifolii Citrus Merupakan buah dari tanaman Citrus aurantifolia dengan nama lokal jeruk nipis. Di Indonesia, taman ini secara tradisional sudah sejak lama dikenal sebagai herbal digunakan bersama dengan madu untuk meringankan gejala batuk (Aibinu dkk., 2007). Kandungan asam sitrat mampu meningkatkan produksi sekresi mukus pada 19 saluran pernafasan (Lopez-Vidriero, 1977) sehingga dapat digunakan sebagai ekspektoran. d. Thymi Herba Merupakan herbal yang berasal dari tanaman Thymus vulgaris yang daunnya dikeringkan. Minyak atsiri dari ekstrak herba thymi dilaporkan memiliki aktivitas ekspektoran (Gordonoff dan Merz, 1931). Selain itu, herba thymi mengandung senyawa thymol dan carvacol yang berdasarkan penelitian Basch dkk. (2004) mampu memberikan efek antitusif. e. Menthae Folia Merupakan daun dari tanaman Mentha sp. atau dikenal dengan mint. Selain memiliki aroma khas yang menyenangkan, daun mint mengandung minyak atsiri yang memiliki aktivitas sebagai ekspektoran (Kingham, 1995). Senyawa menthol dalam uap ekstrak daun mint berdasarkan penelitian Wise dkk. (2012) mampu menurunkan sensitivitas reseptor refleks batuk. f. Myristicae Semen Merupakan biji dari tanaman Myristiceae sp. Di Indonesia dikenal dengan nama buah pala. Biji pala sering digunakan sebagai bahan sirup OB poliherbalat batuk karena dapat mengatasi gangguan pernafasan (Agbodigi, 2014). Mengandung minyak biji pala yang memiliki aktivitas ekspektoran dimana mampu memberikan efek bronkomukotropik pada hewan uji kelinici (Boyd dan Shepard, 1970). 20 g. Liquorice Merupakan akar dari tanaman Glycyrrhiza glabra. Dikenal memiliki aktivtitas farmakologis yang cukup banyak dan diantaranya berperan sebagai agen ekspetoran (Anil, 2012). 4. Model Hewan Uji Aktivitas Antitusif Respon batuk merupakan sebuah refleks mekanisme pertahanan yang secara fisiologis terbagi menjadi tiga bagian. Yang pertama adalah sistem aferen yang mengenali stimulus batuk, kemudian sistem saraf pusat (SSP) yang mengubah stimulus melalui sistem eferen menjadi refleks batuk. Hewan uji yang dipilih haruslah mewakili refleks batuk tersebut (Belvisi dan Hele, 2003). Beberapa model yang pernah digunakan diantaranya: a. Tikus Banyak studi yang telah dilakukan pada tikus, dan terbukti tikus dapat menghasilkan suara batuk (Kamei dkk., 1987). Namun walau begitu masih terjadi skeptisme mengenai refleks batuk yang dihasilkan oleh tikus apakah melalui mekanisme yang sama pada manusia atau tidak (Korpas, 1972). b. Mencit Mencit salah satu hewan pengerat yang berbentuk kecil. Penelitian unutk batuk menggunakan hewan uji ini telah dilakukan, namun penggunaan mencit sebagai hewan uji batuk masih banyak diragukan. Hal ini dikarenakan mencit tidak memiliki RARs (rapidly adapting receptors) dan tidak memiliki energi yang diperlukan untuk menghasilkan batuk 21 (Karlsson dkk., 1988). Namun begitu, penelitian untuk refleks ekspirasi dapat dilakukan dengan hewan uji ini (Belvisi dkk., 2003). c. Marmut Marmut merupakan model hewan uji untuk penelitian mengenai batuk yang paling populer saat ini. Banyak studi yang dilakukan dengan hewan uji ini, terutama efek antitusif dengan menggunakan senyawa asam sitrat ataupun capsaicin sebagai induktor. Batuk pada marmut dapat ditentukan melalui pengamatan pada postur tubuh saat batuk dan suara yang dihasilkan marmut itu sendiri (Belvisi dan Hele, 2003). Marmut memiliki kemiripan refleks batuk yang sangat besar terhadap manusia menggunakan induksi asam sitrat maupun capsaicin. Selain memiliki refleks kemiripan dalam batuk, penelitian terbaru in vitro menunjukkan bahwa saraf vagus terdepolarisasi marmut mirip dengan saraf vagus pada manusia (Belvisi dkk., 2003). 5. Marmut Gambar 3. Marmut 22 a. Klasifikasi Marmut (Cavia porcellus) (gambar 3), merupakan jenis marmut domestik yang tergabung dalam spesies hewan pengerat. Marmut berasal dari Andes (Weir, 1974). Di Amerika Selatan, marmut biasa dijadikan sebagai sumber makanan atau sebagai obat tradisional dan sejak 1960 daging marmut mulai diperkenalkan secara luas ke dunia (Vecchio, 2004). Marmut memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Famili : Caviidae Genus : Cavia Spesies : Cavia porcellus b. Ciri-ciri Marmut termasuk jenis hewan pengerat yang besar. Mereka memilii kisaran bobot sebesar 700 hingga 1200 gram dengan panjang tubuh sepanjang 20 hingga 25 cm. Mereka umumnya hidup selama 4 hingga 5 tahun, namun umurnya bisa mencapai 8 tahun (Richardson, 2000). c. Habitat di alam Marmut secara alamiah tidak ada di alam. Hal ini karena marmut yang ada sekarang merupakan keturunan dan hybrid dari spesies marmut atau cavies terdekat seperti C. aperea, C. fulgida, dan C. tschudii yang tersebar luas di daratan Amerika Selatan (Weir, 1974). Jenis cavies yang 23 teridentifikasi di alam pada abad ke-20 seeprti C. anolaimae dan C. guinae kemungkinan merupakan marmut domestik yang dilepaskan ke alam liar sehingga menjadi bagian dari alam liar (Nowak, 1999). Marmut liar umumnya ditemukan di dataran rumput. Mereka merupakan hewan sosial, hidup di alam liar dengan berkelompok kecil yang terdiri atas beberapa betina, pejantan, dan marmut muda. Mereka bergerak dalam grup berpindah mencari makanan dari satu tempat ke tempat lain seperti rumput, dan tidak menyimpan makanan. Walaupun tidak membuat sarang, mereka mencari perlindungan dari sarang hewan lain yang ditinggalkan atau sebuah terowongan yang terbentuk dari vegetasi. Marmut merupakan hewan yang aktif saat fajar dan sore, dimana predator lebih sulit memangsa mereka. d. Tingkah Laku Marmut merupakan hewan yang dapat mengingat jalan menuju makanan, hingga berbulan-bulan. Kesulitan utama yang dimiliki marmut ialah pergerakan (Charters dan Allen, 1904). Walaupun marmut dapat melompat melintasi rintangan kecil, mereka merupakan pemanjat yang buruk dan tidak begitu lincah. Marmut sangat mudah terkejut dan akan diam dalam jangka waktu yang lama atau lari mencari perlindungan saat merasakan bahaya. Kelompok besar marmut yang terkejut biasanya melakukan stampede, yaitu lari pada arah yang tidak beraturan untuk membingungkan predator. Marmut merupakan perenang yang sangat baik (Harkness dan Wagner, 1995). 24 Penglihatan marmut tidak sebaik pada manusia, namun mereka memiliki luas pandang yang lebih lebar yaitu sekitar 340o dan melihat dengan warna parsial. Marmut telah mengembangkan indra yang baik akan mendengar, mencium, dan menyentuh. Bersuara adalah komunikasi utama yang dilakukan antar spesies marmut. e. Kesehatan Penyakit utama yang diderita marmut biasanya merupakan gangguan pernafasan, diare, defisiensi vitamin, radang tenggorokan, dan infeksi oleh kutu, jamur, atau tungau. Trixacarus caviae merupakan penyebab umum rontoknya rambut marmut dan menimbulkan gejala seperti menggaruk berlebihan, agresivitas yang tidak biasa terutama bagian yang terinfeksi, dan pada beberapa kasus menyebabkan kejang. Marmut juga dapat menderita “tungau lari” (Gliricola porcelli), sejenis serangga putih kecil yang dapat terlihat bergerak melewati rambut, dan telurnya berupa titik kecil hitam yang menempel pada rambut. Marmut bukan hewan yang tahan panas. Tubuh mereka didesain untuk lebih mentolerir dingin daripada panas. Hal ini karena marmut memiliki badan yang gemuk dan kompak dengan suhu badan berkisar antar 38-40o C. Marmut merupakan hewan yang suka menyembunyikan rasa sakit sebagai senjata untuk melawan pemangsanya. Karena itulah, marmut peliharaan yang menderita penyakit seringkali baru terlihat gejala sakitnya saat sudah parah atau stadium lanjut. f. Penggunaan Penelitian 25 Marmut pertama kali digunakan sebagai hewan penelitian pada abad ke-17 saat ahli biologi dari Italia, Marcello Malphigi dan Carlo Fracassati melakukan pembedahan marmut untuk mempelajari struktur anatominya (Guerrini, 2003). Pada tahun 1780, Antoine Lavoiser menggunakan marmut dalam eksperimennya menggunakan kalorimeter, sebuah alat yang digunakan untuk mengukur produksi panas (Bucholz dan Schoeller, 2004). Marmut juga berperan penting dalam pembuktian teori kuman di akhir abad ke-19 melalui eksperimen dari Louis Pasteur, Emile Roux, dan Robert Kouch (Guerrini, 2003). 6. Asam Sitrat Gambar 4. Rumus Bangun Asam Sitrat Asam sitrat yang memiliki rumus bangun pada gambar 4, merupakan salah satu asam organik yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman (60 % dari total produksi), antara lain berfungsi sebagai pemberi rasa asam, antioksidan dan pengemulsi. Flavor sari buah, ekstrak sari buah, es krim, marmalade diperkuat dan diawetkan dengan menambahkan asam sitrat. Selain itu juga banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan detergent. Dalam industri farmasi (10% dari total produksi), digunakan sebagai bahan pengawet 26 dalam penyimpanan darah atau sebagai sumber zat besi dalam bentuk Feri-sitrat. Dalam industri kimia (25% dari total produksi), digunakan sebagai antibuih dan bahan pelunak (Rahman, 1992). Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, asam sitrat memiliki pemerian berupa hablur bening, tidak berwarna atau serbuk hablur granul sampai halus, putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; rasa sangat asam. Asam sitrat sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol; agak sukar larut dalam eter (Depkes R.I., 1995). Asam sitrat memiliki tingkat toksisitas akut yang rendah berdasarkan penelitian pada manusia dan hewan. Asam sitrat juga tidak memiliki sifat karsinogenik atau reprotoksik maupun agen teratogenik. Namun asam sitrat dapat menyebabkan iritasi pada mata dan juga saluran pernafasan serta pada kulit, dimana menjadikan ancaman toksisitas utama yang dimiliki oleh asam sitrat. Iritasi lokal asam sitrat yang diaplikasikan pada kulit dengan hewan uji kelinci dilaporkan sedikit mengiritasi dengan penggunaan larutan berkonsentrasi 30% asam sitrat. Namun pada konsentrasi sebesar 50%, dilaporkan menyebabkan lidah anjing hewan uji mengalami ulseraci yang parah dan kerusakan jaringan. Dengan hewan uji yang sama, asam sitrat juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan hiperreakitvitas saluran nafas nonspesifik. Asam sitrat dapat menyebabkan batuk pada marmut yang dipaparkan dengan 7,5% larutan asam sitrat berbentuk aeorosol selama 3 menit (Karlaganis, 2000). 27 F. Landasan teori Batuk merupakan suatu refleks pertahanan tubuh dari masuknya benda asing pada saluran pernafasan. Refleks batuk dimulai dengan aktifnya reseptor rangsangan batuk yang dapat diaktifkan dengan stimulus mekanis yaitu reseptor serabut Aδ maupun stimulus kimiawi yaitu reseptor serabut C (Widdicombe, 2001). Walaupun disebut sebagai mekanisme pertahanan tubuh, namun apabila batuk terjadi berlebihan malah akan mengganggu aktivitas dari penderita. Pemanfaatan menggunakan bahan alam sebagai alternatif pengobatan merupakan tren yang cukup populer saat ini dan penggunaannya mulai meningkat. Salah satu pemanfaatannya adalah sebagai obat batuk. Salah satu industri farmasi di Indonesia telah memformulasikan sebuah obat batuk yang kandungannya berasal dari bermacam-macam tanaman herbal Indonesia yaitu “sirup OB poliherbal”. Sirup OB poliherbal merupakan hasil dari formulasi 7 macam herbal Indonesia. Herbal yang terkandung dalam sirup obat batuk tersebut diantaranya adalah rimpang jahe, rimpang kencur, buah jeruk nipis, herba thymi, daun mint, biji pala dan akar manis. Penelitian terdahulu menyatakan kandungan 6-gingerol dan 6-shogaol dalam jahe, eucalyptol dalam kencur, thymol dan carvacol dalam herba thymi dan menthol dalam daun mint memiliki aktivitas antitusif. Kandungan herbal yang memiliki aktivitas antitusif dalam sirup OB poliherbal diharapkan membuat sirup OB poliherbal memiliki aktivitas antitusif 28 G. Hipotesis Kandungan ekstrak-ekstrak herbal dalam sirup OB poliherbal yang memiliki aktivitas antitusif mampu menekan jumlah batuk yang dihasilkan hewan uji marmut terinduksi asam sitrat.