BAB I URGENSI MERUNUTPUZZLE KEADILAN SOSIAL DARI PINGGIR Karya ini dipersiapkan untuk menunjukkan bahwa ada cara lain, selain yang tekstual dalam memahami dan menegakkan keadilan. Untuk itu, akan dipaparkan dua telaah terhadap pewacanaan hal ini. Keduanya disajikan berikut ini. A. Pewacanaan Keadilan Sosial Sebagai Sebuah Tatanan Nilai Ketika membahas keadilan sosial, biasanya kita megacu pada perbincangan yang sangat filosofis dan mengacu pada pengalaman orang di masa lalu yang hidup di negeri yang sangat jauh.Perbincangan tentang hal itu berangkat dari dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam keseharian kehidupan. Tidak jarang, perbincangan tentang keadilan sosial merujuk pada pengalaman Bangsa Romawi di masa lalu.Dikatakan bahwa, salah satu kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi keadilan adalah imperium Romawi.Mereka memiliki sebuah lambang keadilan yang nantinya diwariskan kepada kita. Lambang itu adalah Iustitia, sang dewi Keadilan. Dewi ini memegang sebuah neraca di satu tangannya, sementara di tangan yang lain, ia memegang sebuah pedang. Kedua matanya tertutup sehelai kain. Secara simbolik, tertutupnya kedua mata dewi tersebut mau menunjukkan ketidakberpihakkannya pada salah satu dari kedua belah pihak yang berseteru. Neraca itu mengacu pada ide simbolik tentang ide “setiap manusia sesuai dengan haknya”.Singkatnya, gagasan tentang kesetaraan.Adapunpedang melambangkan kemampuan untuk membuat keputusan berdasarkan suatu otoritas tertentu yang telah diberikan kepadanya.Dari simbol inipun kita sudah bisa melihat bahwa, konsep keadilan selalu diselimuti dengan berbagai dinamika dan makna.Kesimpulan dari pewacanaan seperti yang digambarkan di atas adalah bahwa, keadilan adalah „konsep yang mengalir‟, yang tidak dapat dipenjara dalam satu bentuk konsep yang tetap dan mutlak.1 Keadilan, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai realita. Selanjutnya, dari pewacanaan yang idealistik tersebut, perbincangan semakin membumi ketika dibahas operasionalisasinya, untuk menegakkan keadilan diperlukan hukum. Meskipun hukum seringkali digunakan sebagai sinonim untuk „keadilan‟ atau „kepenuhan akan hukum‟ namun kata ini memiliki pengertian yang lebih luas, yang lebih dekat dengan kewajaran. Dalam perkembangan perdebatannya keadilan mengalami dikotomi, yakni keadilan sosial dan keadilan legal.Keadilan Sosial sebagai keadilan distributif dan substantif sementara Keadilan legal sebagai keadilan komutatif dan prosedural. Dikotomi ini berasal dari akar pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa tindakan tidak adil terjadi ketika seorang mengambil lebih dari yang dia bagikan: he takes more than he share. 1 Lihat Filsafat Keadilan dalam Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta, Gramedia, 2005,hlm.45 Dalam pewacanaan yang berlangsung dalam domain filosofis tadi ada berbagai issu krusial yang dibahas.Dalam kaitan ini Hume dan Mill, mensyaratkan adanya pembahasan tentang konflik kepentingan. Untuk membicarakannya, mereka mensyaratkan keterbatasan kebajikan dan persaingan manusia akan barang-barang atau hal-hal langka. Keadilan mensyaratkan orang untuk menekan klaim itu dan membenarkannya dengan aturan, peraturan dan standard. Perdebatan tersebut di atas direspon oleh Rawls yang secara eksplisit memperkenalkan teori keadilannya dalam versinya sendiri. Teorisasi keadilan ditawarkan sebagai cara untuk menghadapi ide etika sosial utilitarian yang tidak pernah kekurangan pengaruh, bahkan pada masa kejayaan analisis dan meta-etika. Pandanganya merupakan versi teori kontras sosial tradisional yang diidealisasikan, yang dipahami melalui lensa pandangan Kantian, pilihan otonom Kantian (lihat Kontrak Sosial) Menurut Rawls, keadilan paling baik dipahami dengan menggunakan prinsip-prinsip bahwa badan-badan yang bebas dan sama akan setuju untuk misalnya, untuk menentukan istilah-istilah kerjasama sosial masa depan, dengan kondisi adil dalam membuat pilihan semacam itu. Rawls membayangkan pilihan itu yang dengan demikian dicirikan sebagai terbuat dari posisi orisinil oleh kontraktor-kontraktor yang tidak cemburu tetapi secara rasional tertarik diri kepada apa yang ada dibelakang “selubung ketidakpedulian” sehingga membuat mereka tidak bisa menyesuaikan prinsip prinsip dengan keuntungan mereka sendiri karena mereka tidak peduli dengan apa yang dalam kenyataan menjadi keuntungan mereka. Bagi para pemikir komunitarian, konsep Rawls tentang keadilan yang dituangkan dalam buku besarnya tersebut tidak melihat secara jeli meihat nilainilai keutamaan yang secara esensial telah mempengaruhi seseorang dalam suatu komunitas kultural, dimana orang tersebut lahir dan berkembang. Michael J. Sandel, misalnya, mengkritik pengandaian antropologis Rawls sebagai yang atomistik dan abstrak, serta pengandaian sosiologisnya yang bersifat individualistik. Problem keadilan muncul ketika dibawah bendera konsep individualisme liberal tersebut, hak-hak didahulukan daripada „yang baik‟. Dengan demikian, paham keadilan justru mengalami keterbatasan di masyarakatmasyarakat yang memiliki pengandaian-pengandaian, baik antropologis ataupun sosiologis, yang bertentangan dengan pengandaian-pengandaian paham liberal tersebut. Agar perbincangan tentang keadilan semakin mendekatkan alam nyata, Rawls menegaskan betapa pentingnya mengkaitkan keadilan dengan kebebasan sipil masyarakat.Dengan mengkaitkan keadilan dengan hal itu, kita akan dapat memenangkan pertimbangan kesejahteraan individual atau kesejahteraan sosial (hak-hak asosiasi dan ucapan bebas tidak bisa dijembatani hanya agar bisa meningkatkan kemakmuran suatu kelompok) dan klaimnya yang dikenal sebagai “prinsip perbedaan”, dimana ketidaksetaraan pada tunjangan dan beban sosial dibenarkan hanya jika itu membuat kelompok yang paling tidak beruntung lebih baik kondisinya dibanding yang sebaliknya. (Bloocker and Smith [eds.], 1980:17). Tentu saja ada banyak kesulitan dalam mewujudkan keadilan. Para filosof, termasuk Daniels lalu mengidentifikasi kesulitan-kesulitan atas prinsip pertimbangan perbedaan Rawls tentang distribusi adil jasa-jasa medis dan teknologi. Didalam Mengambil Hak Secara Serius, Dworkin menyatakan bahwa teori keadilan Rawls didasarkan pada ide hak-hak, daripada berbasis sasaran atau berbasis kewajiban, dan terus berjalan untuk menawarkan tulisan keadilan sosial yang berdasarkan hak (yang ia ambil secara implisit menurut pandangan Rawls) berpusat pada ide bahwa semua perempuan dan laki-laki memiliki hak atas kesamaan perhatian dan respek. Nagel, didalam Ekualitas dan Partialitas, mengeksplorasi pandangan Rawls bahwa pengaturan-pengaturan sosial yang adil harus bisa diterima semua pihak (kondisi kebulatan suara) dan menggali kesulitan-kesulitan praktis dan moral yang dihasilkan oleh desakan dan kebulatan suara. Scanlon diberbagai makalah menerima kondisi kebulatan suara Rawls tetapi telah mencoba untuk membahasnya secara lebih luas sebagai dasar untuk moralitas pada umumnya, bukan hanya keadilan politik atau sosial, yeng untuk tujuan itu, bergantung pada ide ke-masuk-akal-an dalam menerima atau menolak aturan-aturan (kebalikan dengan ide kontrak rasional tertarik diri tanpa cemburu dari Rawls) (Door, 1991: 61). Meskipun semua teori ini berhutang suatu jenis hutang pada Rawls, namun berbeda dalam hal-hal penting, dan perdebatan diantara mereka kemungkinan tetap menjadi fokus sentral pemikiran etis dan politik untuk masa depan yang dapat diramalkan.2 Charles Taylor secara jernih mencoba untuk menunjukkan bahwa perdebatan antara liberalisme dan komunitarianisme ini sebenarnya sudah 2 Lihat Sarbini, Abdurachman dalam naskah disertasi AnalisisFilosofis Makna Keadilan Sosial dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya bagi Pengelolaan Hutan Register di Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung. 2008. UGM: Yogyakarta,hlm.56 mengalami persilangan pendapat.Persilangan pendapat tersebut terletak dalam dua bentuk isu yang sangat berbeda.Artinya, para pemikir komunitarian berupaya „menyerang‟ pada taraf ontologi, sementara para pemikir liberal berupaya merÍumuskan pemikiran mereka dalam tahap metode atau advokasi.Taraf ontologis lebih menyangkut hakekat dari konsep-konsep kunci yang diperdebatkan, sementara taraf metodis lebih berkaitan dengan bentuk sikap moral dari kebijakan-kebijakan yang digunakan. Debat ditataran ontologis antara para pemikir liberal dan para pemikir komunitarian ini merupakan debat klasik yang sudah mewarnai sejarah filsafat barat. Debat klasik tersebut mengambil dua kutub, yakni antara pandangan atomis dan pandangan holistis. Sementara pada tataran advokasi atau metodis, perdebatan selalu menyangkut dua hal, yakni antara paham individualis yang memberikan prioritas lebih tinggi pada individu ketimbang komunitas, dan kolektivis yang memberikan kedudukan lebih tinggi bagi kehidupan komunitas daripada nilai-nilai individu. Yang jelas, dari pembahasan secara filosofis ini istilah keadilan (justice) ditafsir menjadi beragam makna, baik dalam teoritis maupun praktik. Dalam tataran teoritis ia mendasarkan pada ide-ide tentang apa dan bagaimana keadilan itu. Sementara dalam tataran praxis ia menjelma menjadi realisasi teoritis kedalam kehidupan sosial. Keduanya hadir seiring dengan perubahan zaman manusia dalam membentuk komunitasnya.Diskursus tentang keadilan sosial, baik teoritis dan praxis telah muncul beberapa abad yang lalu di tanah Yunani.Keadilan era Yunani Klasik lebih menitikberatkan pada keterkaitan subjek dan objek dalam kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.Realitas keadilannya menekankan pada dominasi manusia (being) sebagai subjek yang otonom. Dalam konstelasi pemikiran Kant, Habermas menyadari sekaligus mengakui secara eksplisit bahwa teori diskursus yang dikembangkannya terfokus pada masalah keadilan.Lebih tepatnya, teori diskursus Habermas mau menajamkan dirinya pada masalah justifikasi filosofis klaim normatif keadilan itu sendiri. Bagi Kant, yang dimana pemikirannya sangat mempengaruhi Habermas, putusan moral bertujuan menjelaskan bagaimana konflik tindakan dapat diselesaikan atas dasar persetujuan rasional antara subjek otonom, yang mengambil keputusan berdasarkan imperatif kategoris.Pada titik ini, Habermas, sambil menjauh dari prinsip subjek otonom individualistik dari Kant, menggantikan imperatif kategoris dengan prosedur argumentasi moral. Selain itu, Habermas juga mengubah konsep antropologis Kant yang monologis menjadi subjek yang terlibat dalam relasi intersubyektif dalam diskursus praktis, yang bertujuan untuk mencapai konsensus rasional. Habermas berhutang sekaligus mengatasi pemikiran Kant. Dalam konteks ini, bisa dikatakan bahwa Habermas berupaya merumuskan teori keadilan “deontologi plus”. Artinya, Habermas mau memperluas konsep keadilan deontologis Kantian dengan menyuntikkan kedalamnya aspek intersubjektif, dan “aspek struktural hidup yang baik yang dapat dibedakan dari totalitas konkret bentuk kehidupan yang khusus.”Dengan kata lain, Habermas mengintegrasikan teori diskursusnya dengan pemikiran Hegel tentang hubungan internal antara keadilan yang selalu terkait erat dengan solidaritas. Bagi Hegel, terutama dalam Philosophy of Rightnya, keadilan dan solidaritas memiliki hubungan interdependensi. Artinya, keadilan dan solidaritas tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kehadiran yang satu selalu sudah mengandaikan kehadiran yang lain. Keadilan merupakan realisasi dari kebebasan individual, sedangkan solidaritas merupakan realisasi kebebasan pada tataran sosial. Mendapat pengaruh dari Hegel maupun Kant, Habermas mempostulatkan prinsip penghormatan yang sama, dan hak yang sama bagi individu. Dari perspektif modernitas, menjadikan hak serta penghormatan yang sama bagi individu sebagai postulat merupakan realisasi kebebasan subjektif dan individualitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya. Sedangkan tentang solidaritas, Habermas berpendapat bahwa “solidaritas mempostulatkan empati dan perhatian bagi keberlangsungan lingkungan sosial masyarakat.” Dengan kata lain, solidaritas mengacu pada keberlangsungan ikatan anggota komunitas yang secara intersubjektif menempati dunia kehidupan yang sama. Ketika keadilan dicoba untuk diwacanakan sebagai praktek sehari-hari mengedepanlah pemahaman bahwa keadilan sosial sering berkonotasi sebagai keadilan distributif.Padahal ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar antara keadilan sosial dan keadilan distributif.Keadilan sosial memungkinkan individu dan kelompok masyarakat dapat berkembang secara maksimal. Konsepsi umum keadilan sosial selama ini memang dekat dengan keadilan distributif bahwa semua barang-barang sosial yang utama, seperti kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri, harus didistribusikan secara sama kecuali jika distribusi yang tidak sama atas sebagian atau seluruh barang-barang ini menguntungkan mereka yang paling kurang disukai(Rawls, 1975:303). Padahal keadilan sosial sendiri lebih dari itu. Keadilan sosial dalam penelitian ini akan didukkan dalam pengertiannya yang luas sebagai suatu tata nilai yang membentuk tatanan dalam sebuah komunitas. Sebagai sebuah tata nilai keadilan sosial maujud ketika komunitas/masyarakat merasa puas dengan kehidupannya. Dengan meminjam kacamata Taylor dalam memetakan perdebatan klasik akan keadilan dari kaum libertian dan komunitarian serta Habermas yang berusaha mensintesakan keduanya dapat ditunjukkan bahwa pewacanaan keadilan selama ini berputar pada oposisi biner, yang telah pula dikritik oleh Taylor untuk segera ditinggalkan sebabpolarisasi semacam itu telah memberikan kesan seakan-akan hanya ada satu isu disini, yakni bahwa posisi seseorang atas sesuatu hal menentukan pendapatnya secara keseluruhan.Padahal realitas sesungguhnya jauh lebih kompleks dari pada pembagian semacam itu. Sehubungan dengan pewacanaan keadilan yang disoroti di atas, mencuat realita menarik.Ketika menyoroti mengenai keadilan dalam era modern Campbell menunjukkan bahwa pewacanaan ini mulai kehilangan daya tangkapnya terhadap aspek ekonomi, aspek yang dalam perkembangannya kini menjadi penting sebab jangkauannya yang luas dan kompleks di zaman yang terus merangkak menuju sistem global.Kritik Campbell muncul setelah pengamatannya terhadap realitas masyarakat modern yang menurutnya kini telah terjebak dalam kepentingan ekonomi yang lilitannya sering mereduksi nilai-nilai kemanusaian.Dan akhirnya memunculkan marginalisasi manusia dan mengabaikan kaidah-kaidah moralitas yang berujung pada banyak krisis. Senada dengan Campbell, J. Donald Walters menggambarkan secara impresif situasi krisis yang dialami oleh umat manusia dalam peradaban modern ini. Krisis itu digambarkannya sebagai efek dari minimnya kesadaran moral dan spiritual yang menjadi „tren‟ dalam paradigma manusia modern mengenai kehidupan: “Ilmu pengetahuan abad 20 telah memberi umat manusia berkah melimpah. Ia telah memberi umat manusia kemudahan materi dan memperluas cakrawala pikirannya. Tetapi ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat dan hilangnya secara bertahap pada pedoman spiritual dan etika yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. (Walters, 2003:1) Problematika yang lantas mengedepan ketika pewacanaan tentang keadilan selalu berangkat dari refleksi filosofis dan asyik didalam maupun melampaui perdebatan klasik oposisi biner menjadikannya lalai terhadap tuntutan jaman yang mulai berubah. Pewacanaan ini lantas gagal menangkap realitas sosial yang dihadapi sehari-hari oleh masyarakat, seperti: kelaparan dan kemiskinan, pelanggaran yang berkelanjutan atas hak-hak asasi manusia, meningkatnya pengangguran serta perbedaan tingkat kemakmuran yang signifikan di negara industri. Sehingga implikasinya ia hanya disimpan di menara gading utopia yang sibuk diperdebatkan oleh para filusuf dan akademisi sebagai sebuah cita-cita bersama yang melalaikan dinamika kehidupan sehari-hari yang dijalani masyarakat pada saat ini. Meski karya ini tidak berpretensi untuk serta merta menjawab segala persoalan itu, tetapi sebuah upaya untuk menyelediki pewacanaan keadilan mulai menemukan urgensinya dalam tatanan dinamika masyarakat modern yang semakin kehilangan pedoman spiritual dan etika B. Keadilan Sosial di Indonesia: Kebuntuan dalam Pewacanaan Secara Tekstual Penulis berusaha ambil bagian dalam perdebatan tentang keadilan. Keadilan dalam penelitian ini, akan didudukkan sebagai sebuah keutamaan yang menjadi fundamen terpenting yang mendasari seluruh relasi-relasi yang bersifat sosial politis.Fundamen-fundamen yang seringkali serta merta ditetapkan oleh kekuatan-kekuatan dominan yang hampir tidak bisa dielakkan. Meminjam kajian Alasdair MacIntyre yang menekankan pentingnya peran komunitas, budaya, dan tradisi dalam menentukan apa yang adil dan apa yang tidak, konsep keadilan terkait langsung dengan rasionalitas praktis maupun teoritis, yang ada dalam masyarakat tertentu. Dan karena rasionalitas, praktis maupun teoritis, tersebut adalah suatu konsep yang lahir dalam sejarah, maka tipikalitas rasionalitas tersebut harus juga dipahami menurut konteks historisnya. Dengan studi komprehensifnya yang mau menyoroti problem rasionalitas dan keadilan dalam sejarah filsafat, terutama sejak Yunani Kuno sampai abad ke-19, MacIntyre mau menunjukkan bahwa secara ontologis tidak ada satu rasionalitas, melainkan ada banyak rasionalitas yang mengakar pada tradisinya masingmasing. Dari rasionalitas yang beragam secara ontologis itu, maka lahirlah paham keadilan yang berbeda-beda pula dalam tradisinya sendiri-sendiri. Meskipun McIntyre telah menunjukkan bahwa paham keadilan berbedabeda dan mengakar pada tradisinya masing-masing, tekanan strategis dari kekuatan dominanseringkali tidak dapat dielakkan.Tekanan inilah yang kemudian memaksakan bentuk bentuk kepatuhan terhadap standar tertentu, yang seringnya memunculkan reaksi resistensi keras yang berujung pada rapuh dan hancurnya integritas sosial.Sehingga alih-alih fundamen itu berhasil mengantarkan masyarakatnya mencapai kehidupan yang harmonis melainkan justru meruncingkan aura individualistik maupun hegemoni sebuah komunitas serta terjadi distorsi tradisi.Praktek yang pahitnya juga terjadi di Indonesia selama ini, negara plural yang mencita-citakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, yang belum kunjung dirasakan. Sehingga menjadi perlu untuk selanjutnya memeriksa pewacanaan keadilan sosial yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia sendiri, keadilan sosial sudah lama didudukkan sebagai citacita bangsa Indonesia tetapi realitasnya masih menjadi tanda tanya besar. Perbincangan tentang keadilan senantiasa berangkat dari ekspresi formalnya.Secara formal keadilan sosial menjadi aspirasi dominan dalam konstitusi bangsa Indonesia.Dari 7 (tujuh) kata adil yang tercantum dalam UUD 1945, terdapat dua kata adil dibatang tubuh, yaitu dalam sumpah jabatan presiden dan wakilnya. Lima kata adil selebihnya: perikeadilan, seadil-adilnya, adil dan makmur, keadilan sosial, adil dan beradab justru tercantum dalam pembukaan. Penjelasan konstitusi juga secara eksplisit menyebutkan tujuan negara “hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Hal ini dapat berati, keadilan sosial merupakan asas dasar yang harus menjadi kiblat bagi setiap rezim politik yang memegang tampuk kekuasaan dibawah konstitusi tersebut.3 “Tiga konstitusi pernah berlaku di tanah Air sepanjang lebih setengah abad sejarah Republik Indonesia, dan ketiganya amat 3Ibid. diwarnai oleh cita-cita terciptanya masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial.” (Hatta, 1976:10) Setelah diposisikan sebagai rumusan yang formal itu, lalu dibahas cara mewujudkannya. Dalam rangka itu lalu dilacak perjalanan sejarah bangsa inidalam meniti jalan menuju kesana.Jalan yang pernah dilalui ternyata berbedabeda dan hal ini terkait dengan adanya dua rezim kekuasaan yang bertolak belakang. Dalam rezim Soekarno selama 20 tahun, Indonesia pernah mengambil jalan yang disebut sosialisme Indonesia, yang dikenal dengan Marhaenisme, tetapi segera dihentikan sejarah dalam kelaparan dan pertumpahan darah. Analisis Bur Rasuanto (2005) yang melampirkan wacana pasca kajian sekitar pemikiran keadilan sosial di Indonesia oleh Soekarno dan Muhammad Hatta menunjukkan bahwa di tangan Soekarno dan Hatta, keadilan sosial bernuansa kritik-kritik mereka terhadap individualisme dan demokrasi liberal barat yang diterima dan ditampung dalam teori Rawls dan Habermas. Kritik-kritik itu telah ikut mendasari faham keadilan sosial Soekarno maupun Muhammad Hatta, bahkan pemikir pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka tetap percaya ketertiban masyarakat didasari prinsip kekerabatan dan sistem gotong royong dalam pergauan hidup tradisional didesa-desa, dan menemukannya pada konsep kolektivisme dan demokrasi. Dalam menapaki sejarah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial itu, kita semua disodori narasi khas. Bahwa, dibawah rezim Soeharto yang beroperasi selama 32 tahun, masyarakat diminta mempercayakan diri kepada negara. Negara mencoba menghadirkan dirinya sebagai penjamin keadilan dengan caranya sendiri. Di belakang hari, wacana keadilan semakin bergeser kepada urgensi untuk mengedepankanmekanisme pasar dalam mewujudkan keadilan. Liberalisasi yang berlangsung belakangan ini menjadikan banyak yang percaya itulah jalan objektif menuju keadilan. Tetapi pasar hanya dapat menciptakan keseimbangan harga dan tak bisa menciptakan keseimbangan moral. Nafas hidupnya adalah persaingan dan rivalitas, sementara keadilan sosial adalah solidaritas. Dalam 3 dasawarsa, persaingan pasar telah mengikis solidaritas dari kehidupan kita. Dalam situasi yang dikuasasai nafsu persaingan yang dikembangkan oleh rezim politik yang tidak memberi tempat bagi perbedaan, keadilan sosial bukan hanya mustahil, memikirkannya saja penuh resiko.4 Telaah tentang pewacanaan keadilan melalui kilasan sejarah diatas menunjukkan bahwa wacana keadilan sosial menjadi milik pemerintah dan disebarkan kepada masyarakat dengan cara-cara yang berbeda. Implikasi nya tatanan nilai disiapkan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan tafsir sepihak penguasa. Tatanan yang akhirnya disiapkan menjadi teks-teks peraturan perundangan dan indkator-indikator yang kaku dan tekstual. Dan cenderung melupakan bahwa masyarakat pun menyimpan tatanan nilai nya sendiri dalam konteks kehidupannya sehari-hari. Implikasi dari hal ini alih-alih bersama-sama mempraktekkan keadilan sosial, 4Opcit. hlm.10 membentuk tatanan nilai yang saling memuaskan, justru kegagalan yang dipetik dan kekecewaan yang harus ditelan dengan pahit. Dua telah pewacanaan diatas menunjukkan kepada kita bahwa kegagalan keadilan sosial dirasakan dalam kehidupan sehari-hari masyarkat setidaknya disebabkan oleh dua hal: yakni pewacanaan yang terlampau asyik ddidalam refleksi teoritis sehingga lalai untuk menangkap dinamika perubahan zaman yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dan,dalam konteks Indonesia adalah kegagalan strategi pemerintah yang menyiapkan pewacanaan secara topdown, dimana masyarakat selalu diletakkan sebagai objek yang berhadap-hadapan dan perlu diatur. Menganggap pemerintah selalu sebagai pihak yang lebih adil. Sehingga implikasinya adalah sebatas kepada penguatan legitimasi pemerintah dan kehilangan jejak pencariannya terhadap suatu tatanan yang harmonis dan dinamis dalam ruang hidup bersama. Sehingga keadilan sosial yang dicari dalam refleksi filosofis tekstual dan metodologis yang top-down hanya terkurung didalam menara gading utopia dan meninggalkan perilaku tokenisme semata. Mengatasi itu, Habermas dalam artikelnya yang berjudul Moral Consciousness and Communicative Action, mengutip salah satu kalimat yang ditulis oleh Max Horkheimer. Kalimat itu berbunyi:“ Apa yang diperlukan untuk bisa mengatasi sifat utopia dari gagasan Kant mengenai konstitusi sempurna umat manusia, adalah suatu teori materialis tentang masyarakat.”5 Mengingat kebuntuan pencarian tekstual terhadap tatanan tersebut dan pintu masuk yang ditawarkan oleh Horkheimer yang ditekankan oleh Habermas, 5 Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, Cambridge, MIT Press, 1990. hal. 203 maka karya ini disiapkan untuk menelusuri jalur keadilan dari pinggir, yakni kedilan yang tumbuh dalam tatanan suatu masyarakat yang sering ditenggelamkan dalam narasi besar keadilan ala penguasa. Maka karya ini disiapkan untuk melihat reproduksi keadilan sosial pada masyarakat agraris, dalam konteks ini Tengger. C. Mencari Alternatif Konstruksi Keadilan Sosial Telah ditunjukkan bahwa keadilan sosial bukanlah sesuatu yang taken for granted.Ia dibentuk dan sedang terus menerus dalam proses pembentukan oleh kekuasaan Negara. Upaya yang selama ini dilakukan adalah pembentukan wacana keadilan sosial berlangsung secara top-down, yang prosesnya berangkat dari pemerintah dan bermuara pada masyarakat, seakan-akan kita bisa taking for granted, pemerintah selalu lebih adil. Yang selama ini dilakukan pemerintah adalah menyiapkan format ideologisasi, dan format itu merupakan hasil penafsiran sepihak. Untuk menenangkan dirinya, format itu lantas dilegalisasi sebagai produk Undang-Undang dan melalui Badan-Badan Pemerintah terkait. Hanya saja selama ini, tidak ada jaminan bahwa legalisasi itu bermuara pada penguatan legitimasi. Sehingga implikasinya keadilan sosial justru gagal merasuk kedalam struktur kesadaran masyarakat dan sulit untuk dipraktekkan. Disisi lain telah juga ditunjukkan bahwa masyarakat menyimpan suatu sistem pengetahuannya yang meski tak terkatakan dan tersembunyi selalu dipraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pola pembentukan ini agaknya berbeda dengan apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Pola yang sering dilupakan karena memang tersamarkan tetapi justru berhasil dipraktekkan dan dipegang teguh samapai kini. Sehingga barangkali dalam proses merekonstruksi keadilan sosial secara bersama-sama dibutuhkan upaya lain jika model tekstual yang top-down gagal merasuk kedalam struktur kesadaran masyarakat. Sehingga bentuk pencarian keadilan sosialnya nanti bukanlah tentang pengulangan pemusatan kekuasaan melainkan pencariannya terhadap sebuah jalan tengah dimana kondisi-kondisi penyebaran kekuasaan bisa berlangsung.Dengan kesadaran itu, pencarian terhadap alternatif keadilan sosial kontekstual induktif yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyebaran kekuasaan menjadi penting untuk segera ditemukan. Agar dapat digunakan untuk mengatasi pewacanaan keadilan sosial yang ternyata hanyalah sebatas pemusatan kekuasaan, yang memunculkan represi kepada pihak lain yang dianggap kalah. Upaya pencariannya selanjutnya dapat dilakukan dengan mengatasi problematika yang telah dipetakan sebelumnya, yakni mendokumentasikan analisis reflektif kehidupan sehari-hari masyarakat. Analisis reflektif ini adalah menyelidiki bentuk-bentuk pengalaman reproduksi pengetahuan masyarakat yang disembunyikan dalam kehidupan mereka seharihari, dalam konteks penelitian ini adalah Tengger. Pola yang lantas akan diadaptasi dalam kajian ini untuk selanjutnya disusur secara lebih detil adalah pola kontekstual, pola pengetahuan yang berangkat dari akar rumput. Pola alternatif yang mendudukkan pentingnya analisis konteks dalam setiap kajian politik, muncul setelah perdebatan besar antara para intelektual dibawah bendera general law dan skepticism postmodern.Dalam analisisnya Robert Goddin dan Charles Tilly menyebut pola kontekstual/pendekatan alternatif yang muncul dari perdebatan itu sebagai something in between, Dalam karyanya Contextual Political Analysis6, Goddin dan Tilly berhasil menunjukkan bahwa lubang besar permasalahan analisis ilmu politik adalah obsesinya untuk merumuskan general law yang cenderung meninggalkan pengamatannya terhadap detil waktu, tempat, kondisi yang terjadi kini serta sejarah sebelumnya yang membentuk kondisi tersebut. Dalam proses untuk menambal lubang tersebut, para generalis dan kontekstualis sesungguhnya telah merumuskan jalan pertemuan yang seringkali tidak mereka sadari. Jalan ini kemudian diungkap oleh Goddin dan Tilly dengan merangkum perdebatan diantara mereka dari sisi ontologies, explanatory strategies dan mechanism. Dari hasil elaborasinya, mereka menawarkan pendekatan analisis politik kontekstual, yang memfokuskan dirinya untuk memahami konteks yang mempengaruhi: proses politik, fakta-fakta empirik dilapangan dalam proses politik dan selanjutnya konteks yang membentuk pemahaman analis itu sendiri. Dengan fokus analisis seperti ini maka analisis akan dibingkai dengan jawaban: it depends, tergantung waktu tempat dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi proses politik itu dibentuk. Lebih jauh, tidak hanya memfokuskan tentang bagaimana pengetahuan lokal membentuk ke-saling-paham-an, fakta-fakta empirik dan proses politik disuatu tempat tertentu, melainkan juga menjajagi pengetahuan yang diabstraksikan dari sebuah pengalaman dalam konteks yang luas. Sehingga filosofi, psikologi, ideologi, kebudayaan, sejarah, tempat, populasi dan teknologi does matter dalam proses-proses politik. 6 Lihat Robert Goddin dan Charles Tilly dalam Contestual Political Analysis, 2005, Oxford Press: Inggris,hlm.48 Gambar 1 Perbedaan Pola Tekstual dan Kontekstual penguasa Perilaku berkeadilan akar rumput tokenisme tafsir Sub ordinasi masyarakat Ditinggalkan dalam perilaku masyarakat penguasa tafsir Kontrak sosial masyarakat Etika bernegara Sejumlah telaah antropologis telah dilakukan, dan telaah tersebut terlibat bertapa berbeda nuansa keadilan yang terbentang dalam keseharian kehidupan masyarakat. Dalam Masyarakat Tengger pada awal tahun 1980an, Raffles, Heffner dan Nancy Smith berhasil menunjukkan adanya tatanan nilai yang berhasil dipraktekkan dan selanjutnya menjamin kepuasan anggota komunitasnya. Dalam tulisan Raffles misalnya, orang Tengger digambarkan sebagai orang yang bahagia, penuh canda tawa dan riang. Sementara dalam tulisan Heffner dan Nancy Smith mereka digambarkan sebagai orang yang egaliter, terbuka dan bahagia. Sikap-sikap ini seperti yang telah ditunjukkan diawal tulisan ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja, ada tatanan yang disetting dalam sebuah sistem yang tersembunyi dalam perilaku mereka. Tatanan ini lah yang kemudian ingin saya tunjukkan dalam penelitian ini. Tatanan yang tersembunyi dibalik perilaku mereka sehari-hari, yang dalam bagian sebelumnya telah banyak diulas, kini sangat banyak dipengaruhi oleh wajah sehari-hari pembentukan negara. Kajian ini berusaha untuk menggunaan kajian-kajian di Tengger sebagai acuan dalam menelaah keadilan yang ditegakkan dalam kesehariannya. Dengan kesadaran bahwa tulisan-tulisan itu berdasarkan penelitian diawal tahun 1980-an dimana wajah negara belum terlalu banyak membentuk identitas ke-Tenggerannya, karya ini justru akan menggandeng konteks kontemporer tersebut, sehingga nantinya proses rekonstruksi keadilan sosialnya akan dilihat dalam narasi relasi masyarakat Tengger bersama-sama dengan Negara. Dari pengalaman gagalnya cara top-down atau tekstual dalam merawat diskursus keadilan sosial itu, maka alur dari penelitian ini berangkat dari jalur induktif yang berusaha untuk peka terhadap konteks lokal, di akar rumpur.Kajian ini diharapkan melengkapi rangkaian puzzle perdebatan keadilan sosial dari pinggir. D. Rumusan Masalah Setelah menyajikan paparan panjang di dua sub-bab tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa pertanyaan besar yang hendak dijawab adalah:Apa dan bagaimana konstruksi keadilan Sosial (dari dan untuk) sebuah masyarakat terwujud? Untuk itu, secara teknis pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: 1. Dalam kesehariannya,bagaimana perilaku masyarakat Tengger memaknai keadilan? 2. Bagaimana keadilan tersebut mengejawantah dalam kehidupan bernegara? E. Tujuan Penelitian Kajian ini dilakukan untuk dapat menawarkan pelacakan aktualisasi dan reproduksi nilai keadilan sosial dalam keseharian masyarakat. Pelacakan melalui proses induktif dalam diyakini akan menghasilkantawaran baru ini. Dari kajian ini diharapkan dapat menemukan model alternatif dalam „mempraktekkan‟ keadilan sosial. F. Mengkerangkai Pencarian Keadilan Sosial Kontekstual: Keniscayaan Titik Tengah Analisis politik kontekstual dilakukan dengan kesadaran akan adanya „ketergantungan‟ terhadap konteks.Oleh karena itu, dalam pencarian model yang dicanangkan dalam studi ini akan mengoptimalkan sensitifias terhadao situasi kontekstual. Ini adalah orientasi yang relatif baru dalam analisis politik. Yang memotorinya adalah Charles Tilly dan Robert Goddin.7Dalam handbook yang disunting oleh kedua tokoh ini diletakkan justifikasi bahwa context does matter. Mereka menunjukkan bagaimana analisis politik sangat tergantung dengan konteks yang membentuk fakta-fakta politik, proses politik sampai pemahaman analis politik itu sendiri. Konteks yang perlu diperhatikan dalam analisis politik, dibagi kedalam 8 pembahasan besar seperti: philosophy, psychology, ideas, culture, history, place, population and technology matters. Konteks kultural, historogical, linguistik dan spatial lah yang membentuk dan juga sekaligus 7 opcit, 18 dibentuk oleh analisis politik. Karyanya mengakui karakter multidimensional politik yang hidup dalam tempat, waktu dan alam pikir tertentu. Dari kegagalan yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya dan kesadaran baru bahwa context does matter, maka penelusuran pembentukan keadilan sosial lokal, mengakui karakter multidimensional politik, sehingga narasinya akan dimulai dari telusur sejarah relasi masyarakat Tengger dengan negara dalam berbagai kurun waktu dan tempat tertentu, sehingga berhasil ditunjukkan konteks umum yang memmbentuk dan dibentuk oleh keadilan sosial lokalnya. Penggalian selanjutnya akan diarahkan untuk memahami alam pikir masyarakat Tengger yang menjadi konteks khusus yang membentuk dan dibentuk oleh nilai keadilan sosialnya. Upaya penggalian yang selanjutnya ditujukan untuk memahami konteks umum dan khusus yang mempengaruhi nilai keadilan sosial Tengger, secara operasional akan dilakukan dengan meminjam teknik yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann yang selanjutnya akan dimodifikasi dalam kerangka baru yang telah dikontekstualisasikan untuk membaca relasi antara Negara dengan masyarakat Tengger, untuk menemukan keadilan sosial dari akar rumput. 1. Merekonstruksi Keadilan dari Akar Rumput: Merajut Kaitan Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi Cara pandang kontekstual, mensyaratkan pemahaman bahwa setiap subjek menyimpan pengetahuannya sendiri, yang umumnya disembunyikan dalam perilaku mereka sehari-hari. Pengetahuan yang tidak serta merta ada melainkan dibentuk secara terus menerus. Rekonstruksi akan pengetahuan ini digunakan untuk memahami corak alam pikir masyarakat setempat sehingga berhasil membuka pintu masuk menuju peggalian keadilan sosial yang tersembunyi dalam struktur dasar kesadaran orang Tengger menghadapi dinamika sosialnya. Pemahaman mengenai pengetahuan yang disimpan subjek ini menjadi penting untuk ditemukan dalam upaya menggali keadilan sosial lokal yang mengakar pada tradisi masyarakat setempat. Sehingga, pengetahuan yang kemudian direkonstruksi adalah praktik penengakan keadilan sosial yang tersembunyi dalam perilaku keseharian masyarakat. Yang nantinya akan diaktualisasikan menjadi tafsir berkeadilan sosial ala Tengger, yang mungkin saja berbeda dengan kajian tentang keadilan sosial yang selama ini ada, yang berangkat dari pola tekstual Teori konstruksi sosial Berger dan Luckman mencoba mengadakan sintesa antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen sinergis dan memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asalmuasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif. Berpijak dari kerangka pikir ini lah penelitian ini memahami fenomena berkeadilan sosial orang Tengger, sehingga nantinya dapat ditunjukkan bahwa keadilan sosial yang manifest dalam kehidupan sehari-hari adalah hasil rekayasa manusia yang karena begitu sinergisnya proses yang berlangsung, ketiganya menjadi sulit diurai dalam praktek, sehingga lebih jauh kelangsungannya tidak menjadi beban dan akhirnya menjelaskan mengapa para pelakunya cenderung taking for granted. Hal ini dijelaskan Berger dan Luckman dapat terjadi karena kita masih memandang masyarakat sebagai kenyataan objektif, yang sepertinya berada diluar manusia dan berhadap-hadapan dengannya. Studi ini meminjam kerangka fikir Berger dan Luckmann yang berpandangan bahwa masyarakat berada baik sebagai kenyataan obyektif maupun subyektif. Hal ini dapat dipahami apabila masyarakat dipahami dari segi suatu proses dialektis yang berlangsung terus menerus dan terdiri dari tiga momen: eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.8 Ketiga momen itu tidak terjadi dalam suatu urutan waktu melainkan secara serentak. Secara sederhananya, ketika individu berada dalam masyarakat berarti ia berpartisipasi dalam dialektika itu. Dalam dialektika yang sama, masyarakat menciptakan suatu nilai dan dengan itu menciptakan dirinya sendiri. Untuk memudahkan keterarahan dalam pembacaan gejala sosial dimasyarakat dalam penelitian ini akan diuraikan secara lebih detil ketiga momen tersebut sebagai berikut. a. Internalisasi. Kajian ini meminjang perspektif Berger yang mecoba untuk melacak apa yang disebutnya internalisasi. Baginya, internalisasiadalah penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Penafsiran/pemahaman ini bukanlah merupakan hasil dari penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi melainkan dimulai dengan individu mengambil alih dunia dimana sudah ada orang lain. Dalam proses selanjutnya terdapat pengidentifikasian timbal balik yang berlangsung terus-menerus antar individu sehingga tercipta pengertian bahwa masing-masing berpartisipasi dalam keberadaan pihak lainnya. Proses untuk 8 Lihat Peter Berger dan Thomas Luckman dalam Tafsir Atas Kenyataan Sosial, 2000, hlm. 48. mencapainya adalah sosialisasi. Disini Berger membedakan proses ini menjadi: sosialisai primer dan sosialisasi sekunder. Berger berargumen bahwa sosialisasi primer, yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, merupakan sosialisasi yang paling penting bagi individu dan struktur dasar dari sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer. Sosialisasi primer melibatkan lebih dari belajar secara kognitif semata. Ia berlangsung dalam kondisi-kondisi yang bermuatan emosi yang tinggi. Dalam sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi. Orang-orang yang berpengaruh tidak dapat dipilih. Dalam konteks penelitian ini, pertanyaan akan diarahkan untuk melacak bentuk-bentuk sosialisasi primer mengenai praktik-praktik (keadilan) yang diajarkan di Tengger dalam lingkungan keluarganya. Selanjutnya sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah sub dunia kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga (institusionalisasi). Subdunia ini pada umumnya parsial dan berbeda dengan dunia dasar yang diperoleh dalam sosialisasi primer, meskipun begitu ia tetap menjadi kenyataan yang sifatnya kohesif dalam kadar tertentu. Cirinya terdiri dari komponen-komponen yang normatif, efektif dan kognitif. Ia juga disertai dengan perangkat-perangkat legitimasi yang sering menggunakan simbol-simbol ritual atau material. Dalam konteks penelitian ini akan dilacak bentuk-bentuk sosialisasi sekunder mengenai berperilaku adil yang dilakukan lewat upacara adat dan peraturan dari lembaga kemasyarakatan lain. Upacara dipilih karena dalam struktur sosial masyarakat Tengger ia masih dianggap sakral, sehingga sistem pengetahuan didalamnya masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Lembaga kemasyarakatan yang dimaksudkan adalah sekumpulan organisasi dengan sistem tertentu yang berinteraksi secara intens dengan masyarakat setempat, seperti struktur agama dan mungkinlembaga-lembaga lain yang akan ditemukan dalam proses penelitian lanjutan. b. Obyektivasi. Analisis ini meminjam cara Berger mengkerangkai kajiannya dengan istilah obyektivasi. Baginya, obyektifitasi adalah upaya memelihara dan mentransformasikan kenyataan subyektif. Pemeliharaan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Dalam hal ini Berger membedakannya menjadi: cara pemeliharaan rutin dan cara pemeliharaan dalam keadaan krisis. Keduanya melibatkan proses-proses sosial yang pada dasarnya sama. Dalam proses ini akan muncul upaya untuk membedakan antara orangorang yang berpengaruh dan orang-orang lain yang kurang penting. Dan wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan. Proses lain yang juga penting dalam obyektivasi adalah alternation atau tersedianya suatu aparat legitimasi untuk keseluruhan tahapan transformasi.Dalam prosedurprosedur ini terjadiah transformasi parsial dari kenyataan-kenyataan subyektif atau sektor-sektor tertentunya saja. Transformasi ini lazim dalam masyarakat masa kini dalam hubungannya dengan mobilitas sosial dan pendidikan bidang kerja individu. c. Eksternalisasi. Secara implisit Berger menyebutkan eksternalisasi ini sebagai keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi. Sehubungan dengan hal itu, studi ini mencoba untuk menganalisa kemajemukan kenyataan maupun identitas dalam kaitannya dengan dinamika struktural dari industrialisme, khususnya dinamika pola-pola pelapisan sosial yang ditimbulkannya. Atas dasar itu, studi ini memperlakukan identitas sebagai unsur kunci dalam proses ini. Dalam konteks penelitian ini perlu dikonfirmasi bagaimana masyarakat Tengger memaknai dirinya, yakni dalam kondisi apa mereka memaknai diri mereka sebagai masyarakat yang berhasil mewujudkan keadilan sosial. 2. Tapak-Tapak Menuju Titik Tengah Kontekstualisasi, Rekonstruksi dan Negosiasi Ketiga proses yang dijelaskan Berger dan Luckmann selanjutnya akan dioperasionalisasikan dalam perluasannya dengan kacamata contextual political analysis. Dalam tafsir sosial atas kenyatan, Berger dan Luckman menjelaskan tiga momen dialektis dimana kenyataan subjektif dan objektif bertemu. Ketiga momen yang terjadi dalam dunia pemaknaan individu terhadap lingkungan sosial dan aspek diluarnya. Berger dan Luckman mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan yaitu realitas dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar kehendak kita. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mempunyai karakteristik tertentu, yang hadir dalam kesadaran individu. Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger, membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang dipegang dan dipraktekkan. Dengan demikian, hubungan antara individu dengan institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang diekspresikan dengan tiga momen: society is human product. Society is an objective reality. Human is sosial product. (Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat adalah suatu kenyataan sasaran. Manusia adalah produk sosial). Dialektika ini dimediasikan oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh peranan-peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional (Waters, 1994 : 35). Dengan catatan bahwa karya Berger mendasarkan diri pada pengetahuan dalam level individu bersama masyarakatnya, dan pertimbangan pendekatan kontekstual yang telah dikemukaan sebelumnya, maka ketiga momen dialektis tersebut selanjutnya akan dikerucutkan kembali, dalam rangka pencarian keadilan sosial lokal. Upaya pengerucutan dimulai dengan pemahaman mengenai perbedaan konteks penelitian Berger dan Luckmann dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, pengetahuan ditekuni secara spesifik pada keadilan sosial lokal, yang dalam konteks kontemporer pengetahuan ini banyak dibentuk bersama dengan negara, yang sekaligus membentuk diri mereka. Selanjutnya, kontekstualisasi teori Berger dan Luckmann dalam penelitian ini ditantang untuk memberikan kepekaan kepada: konteks berbeda yang melahirkan pengetahuan orang Tengger dan aktor representasi negara, konstruksi pengetahuan baru yang terbentuk dalam relasi antara orang Tengger dengan aktor Negara, corak produk pengetahuan dan perilaku negosiatif yang terbentuk. Perpaduan dari kedua teori itu akan dioperasionalisasikan dalam bentuk-bentuk proses yang lebih spesifik dalam konteks relasi masyarakat Tengger dengan Negara, sebagai berikut: a. Kontekstualisasi Jika Berger dan Luckmann mengkerangkai proses penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif untuk mengungkapkan makna sebagai proses internalisasi, maka senada dengan itu proses kontekstualisasi yang dipersiapkan adalah operasionalisasi dari proses internalisasi dimana dua subjek yang berbeda bertemu, dalam konteks penelitian ini adalah masyarakat Tengger dan Negara. Dalam proses ini seperti yang telah dikemukakan Berger dimulai dengan individu mengambil alih dunia dimana sudah ada orang lain yang selanjutnya terjadi pengidentifikasian timbal balik yang berlangsung terus menerus sehingga tercipta pengertian bahwa masing-masing berpartisipasi dalam keberadaan pihak lain, yang dicapai melalui proses sosialisasi baik primer maupun sekunder. Dalam operasionalisasinya, proses kontekstualisasi menyelediki cara pandang negara terhadap masyarakat Tengger dan cara pandang masyarakat Tengger terhadap negara. Upaya penyelidikannya, seperti yang telah ditunjukkan Berger dilakukan dalam ruang-ruang sosialisasi primer dan sekunder yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Sosialisasi primer dalam proses kontekstualisasi adalah kebijakan-kebijakan otoritatif negara yang langsung ditujukan kepada masyarakat Tengger. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah kebijakan-kebijakan yang bersumber dari subjek lain disamping negara yang turut berperan besar dalam kehidupan sosial dan politik orang Tenger. Dan juga bagaimana reaksi yang dimunculkan oleh orang Tengger dalam menghadapinya. b. Rekonstruksi Proses ini adalah operasionalisasi dari proses obyektivasi Berger. Dalam relasinya dengan Negara, akan diselidiki cara pemeliharaan suatu ukuran simetris antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Seperti yang ditunjukkan Berger bahwa wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan, maka dalam proses rekonstruksi akan dilakukan interpretasi terhadap pola komunikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak, masyarakat Tengger dan Negara. Selain itu juga akan diselediki proses alternation atau tersedianya suatu alat legitimasi, yang berupa: sanksi, denda, advokasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak. c. Negosiasi Selanjutnya, operasionalisasi dari proses eksternalisasi Berger akan dibingkai dalam proses negosiasi. Disini akan disingkapkan corak bangunan pengetahuan lokal sebagai hasil dari proses sosialisasi. Dari sana kemudian akan diabstraksikan sebuah pengetahuan tentang keadilan sosial yang dibentuk oleh masyarakat Tengger bersama-sama dengan Negara. Dalam kacamata Berger identitas menjadi unsur kunci dalam proses ini. Sehingga selanjutnya akan diidentifikasi pengetahuan lokal masyarakat masyarakat Tengger. Kerangka pikir yang selanjutnya digunakan untuk menemukan keadilan sosial kontekstual, adalah perpaduan dari Analisis Politik Kontekstual Tilly dan Goddin, serta Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann, yang mengerucut pada lahirnya proses-proses pemaknaan pengetahuan antara masyarakat lokal dengan negara, dalam konteks penelitian ini orang Tengger dan aktor representasi Negara di Tengger. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, ketiga momen sinergis itu adalah: kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi. Untuk mempermudah dalam mengingat, maka akronim yang selanjutnya dipilih untuk menampung ketiga momen tersebut adalah KEREN, yang dipungut dari Ke: kontekstualisasi, Re: rekonstruksi dan N: Negosiasi. Ketiga momen ini dirancang dengan kesadaran pentingnya kepekaan terhadap konteks kultural, historogical, linguistik dan spatial, yang membentuk pengetahuan subjek dan selanjutnya dialektikanya dalam relasi politis bersama negara. Sehingga pembahasan selanjutnya diupayakan untuk melihat prosesproses terjadinya penyebaran kekuasaan. Dalam rangka menuju kesana, maka pengamatan selanjutnya akan diarahkan pada telaah kompromi, mekipun telaah ini telah banyak ditinggalkan oleh para filosof dan ilmuwan hukum9 Pertimbangan terhadap telaah kompromi tetap dilakukan berdasarkan analisis Clay yang menyebutkan kompromi sebagai work of mutual concession10. Dalam cara pandang ini maka kompromi harus menyertakan multilateral concession, sebagai jalan terjadinya penyebaran kekuasaan itu sendiri. Sehingga selanjutnya, telaah dilanjutkan untuk mengenali bentuk-bentuk kompromi yang dipilih antara orang Tengger bersama dengan Negara. Telaah terhadap kompromi ini kemudian akan diletakkan sebagai realitas, dalam terminologi Berger dan Luckmann. Semakin mengerucut, akan diperhatikan dialektika antara bentuk-bentuk 9 J. E. Coons, 'Compromise as Precise Justice', in Pennock and Chapman „,MIT Press,hl.m57 10 R. Birley (ed.), Speeches and Documents in American History, II, 1818- 1865 (London: Oxford University Press, 1964), hlm.140. kompromi ini dengan corak pengetahuan lokal, yang merasuk ke kesadaran orang Tengger. 3. Analisis KEREN:Keniscayaan Titik Tengah Seperti yang dicanangkan sebelumnya maka ketiga momen yang merupakan sintesa antara fenomen fenomen sosial tersebut berlangsung secara simultan dan sinergis, tak hierarkis. Pembentukan keadilan sosial yang dilakukan bersama dengan menyelami ketiga proses tersebut akhirnya mengantarkan subjek untuk mengembangkan relasi kompromis dengan subjek lain sebab terbentuk kesadaran untuk mengakui dan memahami entitas lain diluar dirinya, melalui proses kontekstualisasi. Selanjutnya, dari bentuk-bentuk relasi inilah maka akan muncul pengetahuan yang sifatnya dialektis, direkonstruksi secara bersama, antara orang Tengger dengan negara. Dimana , pencarian terhadap keadilan sosialnya, terus-menerus dinegosiasikan bersama dengan perubahan dinamika sosialnya. Sehingga pencarian sebuah jalan tengah terhadapnya adalah sesuatu yang niscaya. Ketiga proses: kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi adalah tapaktapak yang digunakan untuk mempermudah penarasian data nantinya dalam mendokumentasikan kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger dengan negara,dan lebih jauh pengetahuan berkeadilan sosial yang diam-diam dijalankan, meskipun tak terkatakan. Dengan kesadaran bahwa ketiga proses tersebut berlangsung secara sinergis dan simultan, maka upaya penarasian juga akan mengimplisitkan ketiga proses iniMelalui analisis dialektis KEREN, penarasian akan disusun untuk mensintesakan antara realita: kompromi orang Tengger dengan Negara dan corak pengetahuan lokal, yang merasuk kedalam kesadaran subjek. Dengan analisis dialektis kontekstual tersebut maka kerangka keadilan sosialnya adalah keniscayaan jalan tengah dalam relasi intersubjektif, yang senantiasa bergerak menyesuaikan perubahan zaman dan terikat dengan konteks zamannya. Sebuah jalan tengah untuk menuju titik tengah. Titik tengah disini berbeda dengan kesepakatan, yang dalam terminologi Rawls 11 disebut konsensus. Jalan tengah tidak menuntut adanya kesepakatan mutlak tanpa adanya perbedaan kepentingan. Jalan ini mengandaikan pertemuan persamaan tanpa melupakan perbedaan kepentingan. Sehingga kriteria-kriteria keadilannya adalah kecocokan bukan kesepakatan. Kecocokan didasarkan pada intuisi untuk menerima persamaan tanpa keterpaksaan sebab perbedaan interest, tidak mengandaikan dieliminasinya melainkan justru terus menerus dicari dalam relasi intersubjektif yang dinamis. Analisis KEREN mengantarkan pembentukan „keadilan sosial‟ sebagai pengetahuan mengenai negosiasi pencarian jalan tengah yang terus menerus antara konteks yang membentuk tiap subjek dalam relasi intersubjektif dan konstruksi pengetahuan dinamis yang merasuk kedalam kesadaran subjek. Negosiasi dilakukan dalam konteks yang berubah-ubah yang membentuk sekaligus dibentuk oleh kesadaran intersubjektif, dimana didalam ruang sosial tersebut masa depan menjadi musim yang berlangsung sepanjang tahun. Disana terdapat satu keutuhan yang secara kaya jauh lebih terdiferensiasi daripada program yang paling rinci, dan karenanya maka program semacam itu jelas tidak 11 Lihat Rawls, Opcit. 35 pernah bisa menjadi segalanya dan akan ada hal-hal yang memang tidak pernah bisa dibicarakan.12 Maka keadilan sosial tidak akan pernah menjadi sesuatu yang idealistik, melainkan pilihan-pilihan sulit untuk menemukan kecocokan antara pengetahuan dalam kesadaran subjek dan konteks dinamika sosialnya. Secara sederhananya, keadilan sosial tercapai dalam momentum tertentu dimana terjadi kecocokan antara „perasaan adil‟ dan „tindakan adil‟. „Perasaan adil‟ berarti subjek merasa menerima keadilan, berdasarkan pengetahuan khas pada masing-masing kesadaran subjek, yang mungkin terjadi dengan adanya pemahaman. „Tindakan adil‟ berarti subjek melakukan aktualisasi terhadap perilaku penyebaran kekuasaan, berdasarkan konteks yang membentuk relasi intersubjektif, yang mungkin terjadi dengan adanya empati. Sehingga, keadilan sosial adalah titik tengah pertemuan sulit antara „perasaan adil‟ dengan „tindakan adil‟ dalam relasi intersubjektif. Menjadi sulit sebab pertemuan keduanya mensyaratkan pemahaman dan empati terhadap entitas „yang lain‟. Entitas „yang lain‟ yang tidak serta merta berada diluar subjek. Keadilan sosialnya lahir dari pencarian subjek yang terus menerus terhadap jalan tengah keduanya. Sehingga titik tengah menjadi suatu keniscayaan. Dalam konsep matematis, titik tengah dari suatu ruas garis terletak ditengah-tengah ruas garis sedemikian sehingga membagi ruas garis tersebut menjadi dua bagian yang sama panjang. 12 Lihat Mulhern Francis, 2010, Budaya Metabudaya, Jalasutra: Yogyakarta, hlm. 88 Gambar 2 Keniscayaan Titik Tengah Gambar 3 Analisis KEREN: Menuju Titik Tengah REKONSTRUKSI Pemeliharaan Seharihari dan kondisi krisis a. pola komunikasi kedua belah pihak b. aparat legitimasi (sanksi, denda, advokasi) KONTEKSTUALISASI 1. sosialisasi primer a. kebijakan negara b. pengetahuan lokal 2. sosialisasi sekunder a. kebijakan aktor lain b. respon masyarakat NEGOSIASI 1. pola perilaku berulang 2. corak pengetahuan lokal G. Metode Penelitian Merujuk kepada problematika yang telah dipetakan pada bagian sebelumnya maka upaya pencarian keadilan kontekstual dalam penelitian ini tidak akan melepaskan dirinya untuk menyorot strategi-strategi kekuatan dominan tersebut yang memasuki kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger. Dan bagaimana masyarakat meresponnya. Dalam konteks penelitian ini adalah negara dan masyarakat Tengger. Penelitian ini akan dilakukan dengan metodologi kualitatif yang menyajikan data dalam uraian-uraian secara deskriptif. Teknik feneomonelogihermeneutika dipilih untuk mempermudah penangkapan realitas dimana fenomenologi memberikan ruang agar kenyataan dapat ditangkap sebagaimana kenyataan itu menampakkan diri dan terkenali oleh kesadaran karena ada intensionalitas (keterarahan). Dalam penelitian ini kenyataan akan diperlakukan sebagai teks yang bukan dimaknai sebagai tulisan semata, tetapi rajutan objekobjek, sehingga ia terbuka untuk diinterpretasi, bahkan didekonstruksi. Hermeneutik dipilih sebab karya ini dipersiapkan untuk menelusuri pengetahuan kontekstual yang hidup dan berkembang di akar rumput, dengan pertimbangan yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, Tengger dipilih sebagai lokasi pengumpulan bukti empirik untuk menyingkap pengetahuan mengenai keadilan sosial yang senantiasa dipelihara melalui praktik-praktik yang tersembunyi didalam perilaku keseharian masyarakatnya sehingga dalam analisis pembacaannya akan sampai kepada akar/ pengetahuan yang disembunyikan itu. Dengan asumsi bahwa pengetahuannya tersembunyi dalam praktik maka proses penyingkapannya dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap pola perilaku berulang13 sebagai data empirik dilapangan. Dan selanjutnya dikonstruksi untuk menemukan corak alam pikiran mereka. Konsep ini diadaptasi dari pemikiran George Bateson tentang ecology of mindyang mengajukan pertanyaanpertanyaan penting mengenai: 13 Teknik mempelajari pola perilaku yang berulang ini diadaptasi dari konsep Lao Tze yang mengatakan: watch your thought it becomes your words, watch your words it becomes your action, watch your action it becomes your habit, watch your habit it becomes your character, watch your character it becomes your destiny. How do ideas interact? Is there some sort of natural selection which determines the survival of some ideas and the extinction or death of others? What sort of economics limits the multiplicity of ideas in a given region of mind? What are the necessary conditions for stability (or survival) of such a system or subsystem?14 Corak alam pikiran inilah yang nantinya akan digunakan sebagai data untuk mengabstraksikan pengetahuan keadilan sosial lokal orang Tengger.Secara teknis, analisis dalam kajian ini akan meminjam alur dari Contextual Political Analysis, dimana kepekaan terhadap konteks didudukkan sama pentingnya dengan relasi para aktor didalamnya. Sehingga pengamatan didalamnya akan terarahkan untuk melihat fenomena adaptasi ekologis dan budaya suatu masyarakat, untuk mengurai jalinan relasi kuasa yang terbentuk didalam struktur kesadaran suatu masyarakat, yang tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati fenomena keadilan sosial yakni tatanan nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger dalam proses pembentukan komunitasnya. Dengan kesadaran akan simultannya proses dan luasnya wilayah penelitian. Maka fokus penelitian akan dibatasi hanya di ladang dan dapur orang Tengger. Kedua ruang yang paling sering dikunjungi dan memiliki tingkat interaksi yang tinggi. Sementara lokus penelitian hanya akan dilakukan di dua desa, yakni: Ranu Pani dan Ngadas. Kedua desa dipilih dengan pertimbangan berada didalam wilayah enclave Taman Nasional tetapi memiliki corak relasi berbeda dengan negara. Sehingga nantinya dapat dipahami mengapa terjadi corak yang berbeda. Untuk melengkapi kajian, 14 Ibid. penelitian ini juga akan mencari referensi mengenai kondisi historisdan sosiologis Tengger dan membaca respon orang Tengger mengenai bentuk-bentuk perilaku „adil‟ dalam perspektif mereka. Respon yang dimaksud disini adalah cerita dalam bentuk lisan yang didapat dari hasil wawancara dengan beberapa key informan. Respon tersebut kemudian diclusterisasi lagi kedalam cerita mengenai keadilan sosial masyarakat tengger dan nilai-nilai lainnya. Selanjutnya informasi tersebut akan diolah dengan model konstruksi ala Berger&Luckmann. Dari sana diharapkan berhasil direkonstruksi suatu bentuk keadilan sosial induktif dari masyarakat Tengger. H. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pencarian keadilan sosial kontekstual yang dalam penelitian ini diadopsi dari kearifan lokal masyarakat Tengger, maka narasi disusun sebagai berikut: BAB II, akan menyajikan Kompromi Terbatas: Wajah Sehari-Hari Tengger bersama Negara, yang akan memberikan cerita mengenai kehadiran negara dalam komunitas Tengger sejak zaman Majapahit sampai dengan narasi kontemporer negara di ladang dan dapur orang Tengger serta bentuk-bentuk reaksi yang dipilih oleh orang Tengger menyikapi dinamika sosialnya. Selanjutnya, BAB III akan menunjukkan Corak Alam Pikiran Orang Tengger yang Reflektif dan Dialektis. Bagian ini juga akan menyajikan konsepkonsep fundamental yang dipegang teguh oleh orang Tengger dan akhirnya mempengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan mereka sehari- hari. Konsep itu antara lain: alam sebagai sumber kehidupan, agama sebagai organisasi sosial, adat sebagai sistem filsafat dan masyarakat sebagai sumber rasa aman. Bentuk-bentuk pengetahuan yang diinternalisasikan ini dirumuskan dari pengamatan terhadap reaksi-reaksi orang Tengger menyikapi dinamika sosialnya, yang telah dijabarkan di bab sebelumnya. Bab IV Keniscayaan Titik Tengah: Simpul Keadilan Sosial Tengger, mengklasifikasi proses kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi yang menghasilkan konstruksi keadilan sosial mengenai keniscayaan titik tengah. Selanjutnya menyarikan jejak pola perilaku berulang dari dinamika kehidupan sosial Tengger di bab sebelumnya, antara lain niteni, laku dan rewang dalam proses-proses mengakses keadilan sosialnya, selanjutnya akan digambarkan pula sebuah Refleksi Teoritik yang akan memetakan perdebatan teoritik seputar filsafat keadilan mulai dari Rawls sampai Habermas. Dan mendudukkan keadilan sosial Tengger diantaranya.