BAB I URGENSI MERUNUTPUZZLE KEADILAN

advertisement
BAB I
URGENSI MERUNUTPUZZLE
KEADILAN SOSIAL DARI PINGGIR
Karya ini dipersiapkan untuk menunjukkan bahwa ada cara lain, selain
yang tekstual dalam memahami dan menegakkan keadilan.
Untuk itu, akan
dipaparkan dua telaah terhadap pewacanaan hal ini. Keduanya disajikan berikut
ini.
A. Pewacanaan Keadilan Sosial Sebagai Sebuah Tatanan Nilai
Ketika
membahas
keadilan
sosial,
biasanya
kita
megacu
pada
perbincangan yang sangat filosofis dan mengacu pada pengalaman orang di masa
lalu yang hidup di negeri yang sangat jauh.Perbincangan tentang hal itu berangkat
dari dunia ideal, dari abstraksi filosofis, bukan dari realita yang kita hadapi dalam
keseharian kehidupan.
Tidak jarang, perbincangan tentang keadilan sosial merujuk pada
pengalaman Bangsa Romawi di masa lalu.Dikatakan bahwa, salah satu
kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi keadilan adalah imperium
Romawi.Mereka memiliki sebuah lambang keadilan yang nantinya diwariskan
kepada kita. Lambang itu adalah Iustitia, sang dewi Keadilan. Dewi ini
memegang sebuah neraca di satu tangannya, sementara di tangan yang lain, ia
memegang sebuah pedang. Kedua matanya tertutup sehelai kain. Secara simbolik,
tertutupnya kedua mata dewi tersebut mau menunjukkan ketidakberpihakkannya
pada salah satu dari kedua belah pihak yang berseteru. Neraca itu mengacu pada
ide simbolik tentang ide “setiap manusia sesuai dengan haknya”.Singkatnya,
gagasan tentang kesetaraan.Adapunpedang melambangkan kemampuan untuk
membuat keputusan berdasarkan suatu otoritas tertentu yang telah diberikan
kepadanya.Dari simbol inipun kita sudah bisa melihat bahwa, konsep keadilan
selalu diselimuti dengan berbagai dinamika dan makna.Kesimpulan dari
pewacanaan seperti yang digambarkan di atas adalah bahwa, keadilan adalah
„konsep yang mengalir‟, yang tidak dapat dipenjara dalam satu bentuk konsep
yang tetap dan mutlak.1 Keadilan, ditekuni sebagai idealitas, bukan sebagai
realita.
Selanjutnya, dari pewacanaan yang idealistik tersebut, perbincangan
semakin membumi ketika dibahas operasionalisasinya, untuk menegakkan
keadilan diperlukan hukum. Meskipun hukum seringkali digunakan sebagai
sinonim untuk „keadilan‟ atau „kepenuhan akan hukum‟ namun kata ini memiliki
pengertian yang lebih luas, yang lebih dekat dengan kewajaran. Dalam
perkembangan perdebatannya keadilan mengalami dikotomi, yakni keadilan sosial
dan keadilan legal.Keadilan Sosial sebagai keadilan distributif dan substantif
sementara Keadilan legal sebagai keadilan komutatif dan prosedural. Dikotomi ini
berasal dari akar pemikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa tindakan tidak
adil terjadi ketika seorang mengambil lebih dari yang dia bagikan: he takes more
than he share.
1
Lihat Filsafat Keadilan dalam Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan
Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta, Gramedia, 2005,hlm.45
Dalam pewacanaan yang berlangsung dalam domain filosofis tadi ada
berbagai issu krusial yang dibahas.Dalam kaitan ini Hume dan Mill, mensyaratkan
adanya pembahasan tentang konflik kepentingan. Untuk membicarakannya,
mereka mensyaratkan keterbatasan kebajikan dan persaingan manusia akan
barang-barang atau hal-hal langka. Keadilan mensyaratkan orang untuk menekan
klaim itu dan membenarkannya dengan aturan, peraturan dan standard. Perdebatan
tersebut di atas direspon oleh Rawls yang secara eksplisit memperkenalkan teori
keadilannya dalam versinya sendiri. Teorisasi keadilan ditawarkan sebagai cara
untuk menghadapi ide etika sosial utilitarian yang tidak pernah kekurangan
pengaruh, bahkan pada masa kejayaan analisis dan meta-etika. Pandanganya
merupakan versi teori kontras sosial tradisional yang diidealisasikan, yang
dipahami melalui lensa pandangan Kantian, pilihan otonom Kantian (lihat
Kontrak Sosial) Menurut Rawls, keadilan paling baik dipahami dengan
menggunakan prinsip-prinsip bahwa badan-badan yang bebas dan sama akan
setuju untuk misalnya, untuk menentukan istilah-istilah kerjasama sosial masa
depan, dengan kondisi adil dalam membuat pilihan semacam itu. Rawls
membayangkan pilihan itu yang dengan demikian dicirikan sebagai terbuat dari
posisi orisinil oleh kontraktor-kontraktor yang tidak cemburu tetapi secara
rasional tertarik diri kepada apa yang ada dibelakang “selubung ketidakpedulian”
sehingga membuat mereka tidak bisa menyesuaikan prinsip prinsip dengan
keuntungan mereka sendiri karena mereka tidak peduli dengan apa yang dalam
kenyataan menjadi keuntungan mereka.
Bagi para pemikir komunitarian, konsep Rawls tentang keadilan yang
dituangkan dalam buku besarnya tersebut tidak melihat secara jeli meihat nilainilai keutamaan yang secara esensial telah mempengaruhi seseorang dalam suatu
komunitas kultural, dimana orang tersebut lahir dan berkembang. Michael J.
Sandel, misalnya, mengkritik pengandaian antropologis Rawls sebagai yang
atomistik
dan
abstrak,
serta
pengandaian
sosiologisnya
yang
bersifat
individualistik. Problem keadilan muncul ketika dibawah bendera konsep
individualisme liberal tersebut, hak-hak didahulukan daripada „yang baik‟.
Dengan demikian, paham keadilan justru mengalami keterbatasan di masyarakatmasyarakat yang memiliki pengandaian-pengandaian, baik antropologis ataupun
sosiologis, yang bertentangan dengan pengandaian-pengandaian paham liberal
tersebut. Agar perbincangan tentang keadilan semakin mendekatkan alam nyata,
Rawls menegaskan betapa pentingnya mengkaitkan keadilan dengan kebebasan
sipil masyarakat.Dengan mengkaitkan keadilan dengan hal itu, kita akan dapat
memenangkan pertimbangan kesejahteraan individual atau kesejahteraan sosial
(hak-hak asosiasi dan ucapan bebas tidak bisa dijembatani hanya agar bisa
meningkatkan kemakmuran suatu kelompok) dan klaimnya yang dikenal sebagai
“prinsip perbedaan”, dimana ketidaksetaraan pada tunjangan dan beban sosial
dibenarkan hanya jika itu membuat kelompok yang paling tidak beruntung lebih
baik kondisinya dibanding yang sebaliknya. (Bloocker and Smith [eds.],
1980:17).
Tentu saja ada banyak kesulitan dalam mewujudkan keadilan. Para filosof,
termasuk
Daniels
lalu
mengidentifikasi
kesulitan-kesulitan
atas
prinsip
pertimbangan perbedaan Rawls tentang distribusi adil jasa-jasa medis dan
teknologi. Didalam Mengambil Hak Secara Serius, Dworkin menyatakan bahwa
teori keadilan Rawls didasarkan pada ide hak-hak, daripada berbasis sasaran atau
berbasis kewajiban, dan terus berjalan untuk menawarkan tulisan keadilan sosial
yang berdasarkan hak (yang ia ambil secara implisit menurut pandangan Rawls)
berpusat pada ide bahwa semua perempuan dan laki-laki memiliki hak atas
kesamaan perhatian dan respek. Nagel, didalam Ekualitas dan Partialitas,
mengeksplorasi pandangan Rawls bahwa pengaturan-pengaturan sosial yang adil
harus bisa diterima semua pihak (kondisi kebulatan suara) dan menggali
kesulitan-kesulitan praktis dan moral yang dihasilkan oleh desakan dan kebulatan
suara. Scanlon diberbagai makalah menerima kondisi kebulatan suara Rawls
tetapi telah mencoba untuk membahasnya secara lebih luas sebagai dasar untuk
moralitas pada umumnya, bukan hanya keadilan politik atau sosial, yeng untuk
tujuan itu, bergantung pada ide ke-masuk-akal-an dalam menerima atau menolak
aturan-aturan (kebalikan dengan ide kontrak rasional tertarik diri tanpa cemburu
dari Rawls) (Door, 1991: 61). Meskipun semua teori ini berhutang suatu jenis
hutang pada Rawls, namun berbeda dalam hal-hal penting, dan perdebatan
diantara mereka kemungkinan tetap menjadi fokus sentral pemikiran etis dan
politik untuk masa depan yang dapat diramalkan.2
Charles Taylor secara jernih mencoba untuk menunjukkan bahwa
perdebatan antara liberalisme dan komunitarianisme ini sebenarnya sudah
2
Lihat Sarbini, Abdurachman dalam naskah disertasi AnalisisFilosofis Makna Keadilan Sosial
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Relevansinya bagi Pengelolaan Hutan
Register di Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung. 2008. UGM: Yogyakarta,hlm.56
mengalami persilangan pendapat.Persilangan pendapat tersebut terletak dalam dua
bentuk isu yang sangat berbeda.Artinya, para pemikir komunitarian berupaya
„menyerang‟ pada taraf ontologi, sementara para pemikir liberal berupaya
merÍumuskan pemikiran mereka dalam tahap metode atau advokasi.Taraf
ontologis
lebih
menyangkut
hakekat
dari
konsep-konsep
kunci
yang
diperdebatkan, sementara taraf metodis lebih berkaitan dengan bentuk sikap moral
dari kebijakan-kebijakan yang digunakan. Debat ditataran ontologis antara para
pemikir liberal dan para pemikir komunitarian ini merupakan debat klasik yang
sudah mewarnai sejarah filsafat barat. Debat klasik tersebut mengambil dua kutub,
yakni antara pandangan atomis dan pandangan holistis. Sementara pada tataran
advokasi atau metodis, perdebatan selalu menyangkut dua hal, yakni antara paham
individualis yang memberikan prioritas lebih tinggi pada individu ketimbang
komunitas, dan kolektivis yang memberikan kedudukan lebih tinggi bagi
kehidupan komunitas daripada nilai-nilai individu.
Yang jelas, dari pembahasan secara filosofis ini istilah keadilan (justice)
ditafsir menjadi beragam makna, baik dalam teoritis maupun praktik. Dalam
tataran teoritis ia mendasarkan pada ide-ide tentang apa dan bagaimana keadilan
itu. Sementara dalam tataran praxis ia menjelma menjadi realisasi teoritis kedalam
kehidupan sosial. Keduanya hadir seiring dengan perubahan zaman manusia
dalam membentuk komunitasnya.Diskursus tentang keadilan sosial, baik teoritis
dan praxis telah muncul beberapa abad yang lalu di tanah Yunani.Keadilan era
Yunani Klasik lebih menitikberatkan pada keterkaitan subjek dan objek dalam
kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.Realitas keadilannya menekankan pada
dominasi manusia (being) sebagai subjek yang otonom.
Dalam konstelasi pemikiran Kant, Habermas menyadari sekaligus
mengakui secara eksplisit bahwa teori diskursus yang dikembangkannya terfokus
pada masalah keadilan.Lebih tepatnya, teori diskursus Habermas mau
menajamkan dirinya pada masalah justifikasi filosofis klaim normatif keadilan itu
sendiri. Bagi Kant, yang dimana pemikirannya sangat mempengaruhi Habermas,
putusan moral bertujuan menjelaskan bagaimana konflik tindakan dapat
diselesaikan atas dasar persetujuan rasional antara subjek otonom, yang
mengambil keputusan berdasarkan imperatif kategoris.Pada titik ini, Habermas,
sambil menjauh dari prinsip subjek otonom individualistik dari Kant,
menggantikan imperatif kategoris dengan prosedur argumentasi moral. Selain itu,
Habermas juga mengubah konsep antropologis Kant yang monologis menjadi
subjek yang terlibat dalam relasi intersubyektif dalam diskursus praktis, yang
bertujuan untuk mencapai konsensus rasional.
Habermas berhutang sekaligus mengatasi pemikiran Kant. Dalam konteks
ini, bisa dikatakan bahwa Habermas berupaya merumuskan teori keadilan
“deontologi plus”. Artinya, Habermas mau memperluas konsep keadilan
deontologis Kantian dengan menyuntikkan kedalamnya aspek intersubjektif, dan
“aspek struktural hidup yang baik yang dapat dibedakan dari totalitas konkret
bentuk kehidupan yang khusus.”Dengan kata lain, Habermas mengintegrasikan
teori diskursusnya dengan pemikiran Hegel tentang hubungan internal antara
keadilan yang selalu terkait erat dengan solidaritas.
Bagi Hegel, terutama dalam Philosophy of Rightnya, keadilan dan
solidaritas memiliki hubungan interdependensi. Artinya, keadilan dan solidaritas
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kehadiran yang satu selalu sudah
mengandaikan kehadiran yang lain. Keadilan merupakan realisasi dari kebebasan
individual, sedangkan solidaritas merupakan realisasi kebebasan pada tataran
sosial. Mendapat pengaruh dari Hegel maupun Kant, Habermas mempostulatkan
prinsip penghormatan yang sama, dan hak yang sama bagi individu. Dari
perspektif modernitas, menjadikan hak serta penghormatan yang sama bagi
individu sebagai postulat merupakan realisasi kebebasan subjektif dan
individualitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya. Sedangkan tentang
solidaritas, Habermas berpendapat bahwa “solidaritas mempostulatkan empati dan
perhatian bagi keberlangsungan lingkungan sosial masyarakat.” Dengan kata lain,
solidaritas mengacu pada keberlangsungan ikatan anggota komunitas yang secara
intersubjektif menempati dunia kehidupan yang sama.
Ketika keadilan dicoba untuk diwacanakan sebagai praktek sehari-hari
mengedepanlah pemahaman bahwa keadilan sosial sering berkonotasi sebagai
keadilan distributif.Padahal ada beberapa perbedaan yang cukup mendasar antara
keadilan sosial dan keadilan distributif.Keadilan sosial memungkinkan individu
dan kelompok masyarakat dapat berkembang secara maksimal. Konsepsi umum
keadilan sosial selama ini memang dekat dengan keadilan distributif bahwa semua
barang-barang sosial yang utama, seperti kebebasan dan kesempatan, pendapatan
dan kekayaan, dan dasar-dasar kehormatan diri, harus didistribusikan secara sama
kecuali jika distribusi yang tidak sama atas sebagian atau seluruh barang-barang
ini menguntungkan mereka yang paling kurang disukai(Rawls, 1975:303).
Padahal keadilan sosial sendiri lebih dari itu. Keadilan sosial dalam penelitian ini
akan didukkan dalam pengertiannya yang luas sebagai suatu tata nilai yang
membentuk tatanan dalam sebuah komunitas. Sebagai sebuah tata nilai keadilan
sosial maujud ketika komunitas/masyarakat merasa puas dengan kehidupannya.
Dengan meminjam kacamata Taylor dalam memetakan perdebatan klasik akan
keadilan dari kaum libertian dan komunitarian serta Habermas yang berusaha
mensintesakan keduanya dapat ditunjukkan bahwa pewacanaan keadilan selama
ini berputar pada oposisi biner, yang telah pula dikritik oleh Taylor untuk segera
ditinggalkan sebabpolarisasi semacam itu telah memberikan kesan seakan-akan
hanya ada satu isu disini, yakni bahwa posisi seseorang atas sesuatu hal
menentukan pendapatnya secara keseluruhan.Padahal realitas sesungguhnya jauh
lebih kompleks dari pada pembagian semacam itu.
Sehubungan dengan pewacanaan keadilan yang disoroti di atas, mencuat
realita menarik.Ketika menyoroti mengenai keadilan dalam era modern Campbell
menunjukkan bahwa pewacanaan ini mulai kehilangan daya tangkapnya terhadap
aspek ekonomi, aspek yang dalam perkembangannya kini menjadi penting sebab
jangkauannya yang luas dan kompleks di zaman yang terus merangkak menuju
sistem global.Kritik Campbell muncul setelah pengamatannya terhadap realitas
masyarakat modern yang menurutnya kini telah terjebak dalam kepentingan
ekonomi yang lilitannya sering mereduksi nilai-nilai kemanusaian.Dan akhirnya
memunculkan marginalisasi manusia dan mengabaikan kaidah-kaidah moralitas
yang berujung pada banyak krisis. Senada dengan Campbell, J. Donald Walters
menggambarkan secara impresif situasi krisis yang dialami oleh umat manusia
dalam peradaban modern ini. Krisis itu digambarkannya sebagai efek dari
minimnya kesadaran moral dan spiritual yang menjadi „tren‟ dalam paradigma
manusia modern mengenai kehidupan:
“Ilmu pengetahuan abad 20 telah memberi umat manusia berkah
melimpah. Ia telah memberi umat manusia kemudahan materi dan
memperluas cakrawala pikirannya. Tetapi ia juga mendatangkan
kegelisahan jiwa yang hebat dan hilangnya secara bertahap pada
pedoman spiritual dan etika yang telah menjadi benteng kokoh
setiap peradaban besar masa lalu. (Walters, 2003:1)
Problematika yang lantas mengedepan ketika pewacanaan tentang keadilan
selalu berangkat dari refleksi filosofis dan asyik didalam maupun melampaui
perdebatan klasik oposisi biner menjadikannya lalai terhadap tuntutan jaman
yang mulai berubah. Pewacanaan ini lantas gagal menangkap realitas sosial yang
dihadapi sehari-hari oleh masyarakat, seperti: kelaparan dan kemiskinan,
pelanggaran yang berkelanjutan atas hak-hak asasi manusia, meningkatnya
pengangguran serta perbedaan tingkat kemakmuran yang signifikan di negara
industri. Sehingga implikasinya ia hanya disimpan di menara gading utopia yang
sibuk diperdebatkan oleh para filusuf dan akademisi sebagai sebuah cita-cita
bersama yang melalaikan dinamika kehidupan sehari-hari yang dijalani
masyarakat pada saat ini. Meski karya ini tidak berpretensi untuk serta merta
menjawab segala persoalan itu, tetapi sebuah upaya untuk menyelediki
pewacanaan keadilan mulai menemukan urgensinya dalam tatanan dinamika
masyarakat modern yang semakin kehilangan pedoman spiritual dan etika
B. Keadilan Sosial di Indonesia:
Kebuntuan dalam Pewacanaan Secara Tekstual
Penulis berusaha ambil bagian dalam perdebatan tentang keadilan.
Keadilan dalam penelitian ini, akan didudukkan sebagai sebuah keutamaan yang
menjadi fundamen terpenting yang mendasari seluruh relasi-relasi yang bersifat
sosial politis.Fundamen-fundamen yang seringkali serta merta ditetapkan oleh
kekuatan-kekuatan dominan yang hampir tidak bisa dielakkan.
Meminjam kajian Alasdair MacIntyre yang menekankan pentingnya peran
komunitas, budaya, dan tradisi dalam menentukan apa yang adil dan apa yang
tidak, konsep keadilan terkait langsung dengan rasionalitas praktis maupun
teoritis, yang ada dalam masyarakat tertentu. Dan karena rasionalitas, praktis
maupun teoritis, tersebut adalah suatu konsep yang lahir dalam sejarah, maka
tipikalitas rasionalitas tersebut harus juga dipahami menurut konteks historisnya.
Dengan studi komprehensifnya yang mau menyoroti problem rasionalitas dan
keadilan dalam sejarah filsafat, terutama sejak Yunani Kuno sampai abad ke-19,
MacIntyre mau menunjukkan bahwa secara ontologis tidak ada satu rasionalitas,
melainkan ada banyak rasionalitas yang mengakar pada tradisinya masingmasing. Dari rasionalitas yang beragam secara ontologis itu, maka lahirlah paham
keadilan yang berbeda-beda pula dalam tradisinya sendiri-sendiri.
Meskipun McIntyre telah menunjukkan bahwa paham keadilan berbedabeda dan mengakar pada tradisinya masing-masing, tekanan strategis dari
kekuatan dominanseringkali tidak dapat dielakkan.Tekanan inilah yang kemudian
memaksakan bentuk bentuk kepatuhan terhadap standar tertentu, yang seringnya
memunculkan reaksi resistensi keras yang berujung pada rapuh dan hancurnya
integritas sosial.Sehingga alih-alih fundamen itu berhasil mengantarkan
masyarakatnya
mencapai
kehidupan
yang
harmonis
melainkan
justru
meruncingkan aura individualistik maupun hegemoni sebuah komunitas serta
terjadi distorsi tradisi.Praktek yang pahitnya juga terjadi di Indonesia selama ini,
negara plural yang mencita-citakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, yang
belum kunjung dirasakan. Sehingga menjadi perlu untuk selanjutnya memeriksa
pewacanaan keadilan sosial yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia sendiri, keadilan sosial sudah lama didudukkan sebagai citacita bangsa Indonesia tetapi realitasnya masih menjadi tanda tanya besar.
Perbincangan
tentang
keadilan
senantiasa
berangkat
dari
ekspresi
formalnya.Secara formal keadilan sosial menjadi aspirasi dominan dalam
konstitusi bangsa Indonesia.Dari 7 (tujuh) kata adil yang tercantum dalam UUD
1945, terdapat dua kata adil dibatang tubuh, yaitu dalam sumpah jabatan presiden
dan wakilnya. Lima kata adil selebihnya: perikeadilan, seadil-adilnya, adil dan
makmur, keadilan sosial, adil dan beradab justru tercantum dalam pembukaan.
Penjelasan konstitusi juga secara eksplisit menyebutkan tujuan negara “hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.” Hal ini dapat berati, keadilan
sosial merupakan asas dasar yang harus menjadi kiblat bagi setiap rezim politik
yang memegang tampuk kekuasaan dibawah konstitusi tersebut.3
“Tiga konstitusi pernah berlaku di tanah Air sepanjang lebih
setengah abad sejarah Republik Indonesia, dan ketiganya amat
3Ibid.
diwarnai oleh cita-cita terciptanya masyarakat Indonesia yang
berkeadilan sosial.” (Hatta, 1976:10)
Setelah diposisikan sebagai rumusan yang formal itu, lalu dibahas cara
mewujudkannya. Dalam rangka itu lalu dilacak perjalanan sejarah bangsa
inidalam meniti jalan menuju kesana.Jalan yang pernah dilalui ternyata berbedabeda dan hal ini terkait dengan adanya dua rezim kekuasaan yang bertolak
belakang. Dalam rezim Soekarno selama 20 tahun, Indonesia pernah mengambil
jalan yang disebut sosialisme Indonesia, yang dikenal dengan Marhaenisme, tetapi
segera dihentikan sejarah dalam kelaparan dan pertumpahan darah. Analisis Bur
Rasuanto (2005) yang melampirkan wacana pasca kajian sekitar pemikiran
keadilan sosial di Indonesia oleh Soekarno dan Muhammad Hatta menunjukkan
bahwa di tangan Soekarno dan Hatta, keadilan sosial bernuansa kritik-kritik
mereka terhadap individualisme dan demokrasi liberal barat yang diterima dan
ditampung dalam teori Rawls dan Habermas. Kritik-kritik itu telah ikut mendasari
faham keadilan sosial Soekarno maupun Muhammad Hatta, bahkan pemikir
pejuang kemerdekaan Indonesia. Mereka tetap percaya ketertiban masyarakat
didasari prinsip kekerabatan dan sistem gotong royong dalam pergauan hidup
tradisional didesa-desa, dan menemukannya pada konsep kolektivisme dan
demokrasi.
Dalam menapaki sejarah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial
itu, kita semua disodori narasi khas. Bahwa, dibawah rezim Soeharto yang
beroperasi selama 32 tahun, masyarakat diminta mempercayakan diri kepada
negara. Negara mencoba menghadirkan dirinya sebagai penjamin keadilan dengan
caranya sendiri.
Di belakang hari, wacana keadilan semakin bergeser kepada urgensi untuk
mengedepankanmekanisme pasar dalam mewujudkan keadilan. Liberalisasi yang
berlangsung belakangan ini menjadikan banyak yang percaya itulah jalan objektif
menuju keadilan. Tetapi pasar hanya dapat menciptakan keseimbangan harga dan
tak bisa menciptakan keseimbangan moral. Nafas hidupnya adalah persaingan dan
rivalitas, sementara keadilan sosial adalah solidaritas. Dalam 3 dasawarsa,
persaingan pasar telah mengikis solidaritas dari kehidupan kita. Dalam situasi
yang dikuasasai nafsu persaingan yang dikembangkan oleh rezim politik yang
tidak memberi tempat bagi perbedaan, keadilan sosial bukan hanya mustahil,
memikirkannya saja penuh resiko.4
Telaah tentang pewacanaan keadilan melalui kilasan sejarah diatas
menunjukkan bahwa wacana keadilan sosial menjadi milik pemerintah dan
disebarkan kepada masyarakat dengan cara-cara yang berbeda. Implikasi nya
tatanan nilai disiapkan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan tafsir sepihak
penguasa. Tatanan yang akhirnya disiapkan menjadi teks-teks peraturan
perundangan dan indkator-indikator yang kaku dan tekstual. Dan cenderung
melupakan bahwa masyarakat pun menyimpan tatanan nilai nya sendiri dalam
konteks kehidupannya sehari-hari. Implikasi dari hal ini alih-alih bersama-sama
mempraktekkan keadilan sosial,
4Opcit.
hlm.10
membentuk
tatanan nilai
yang saling
memuaskan, justru kegagalan yang dipetik dan kekecewaan yang harus ditelan
dengan pahit.
Dua telah pewacanaan diatas menunjukkan kepada kita bahwa kegagalan
keadilan sosial dirasakan dalam kehidupan sehari-hari masyarkat setidaknya
disebabkan oleh dua hal: yakni pewacanaan yang terlampau asyik ddidalam
refleksi teoritis sehingga lalai untuk menangkap dinamika perubahan zaman yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Dan,dalam konteks Indonesia
adalah kegagalan strategi pemerintah yang menyiapkan pewacanaan secara topdown, dimana masyarakat selalu diletakkan sebagai objek yang berhadap-hadapan
dan perlu diatur. Menganggap pemerintah selalu sebagai pihak yang lebih adil.
Sehingga implikasinya adalah sebatas kepada penguatan legitimasi pemerintah
dan kehilangan jejak pencariannya terhadap suatu tatanan yang harmonis dan
dinamis dalam ruang hidup bersama. Sehingga keadilan sosial yang dicari dalam
refleksi filosofis tekstual dan metodologis yang top-down hanya terkurung
didalam menara gading utopia dan meninggalkan perilaku tokenisme semata.
Mengatasi itu, Habermas dalam artikelnya yang berjudul Moral Consciousness
and Communicative Action, mengutip salah satu kalimat yang ditulis oleh Max
Horkheimer. Kalimat itu berbunyi:“ Apa yang diperlukan untuk bisa mengatasi
sifat utopia dari gagasan Kant mengenai konstitusi sempurna umat manusia,
adalah suatu teori materialis tentang masyarakat.”5
Mengingat kebuntuan pencarian tekstual terhadap tatanan tersebut dan
pintu masuk yang ditawarkan oleh Horkheimer yang ditekankan oleh Habermas,
5
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, Cambridge, MIT Press,
1990. hal. 203
maka karya ini disiapkan untuk menelusuri jalur keadilan dari pinggir, yakni
kedilan yang tumbuh dalam tatanan suatu masyarakat yang sering ditenggelamkan
dalam narasi besar keadilan ala penguasa. Maka karya ini disiapkan untuk melihat
reproduksi keadilan sosial pada masyarakat agraris, dalam konteks ini Tengger.
C. Mencari Alternatif Konstruksi Keadilan Sosial
Telah ditunjukkan bahwa keadilan sosial bukanlah sesuatu yang taken for
granted.Ia dibentuk dan sedang terus menerus dalam proses pembentukan oleh
kekuasaan Negara. Upaya yang selama ini dilakukan adalah pembentukan wacana
keadilan sosial berlangsung secara top-down, yang prosesnya berangkat dari
pemerintah dan bermuara pada masyarakat, seakan-akan kita bisa taking for
granted, pemerintah selalu lebih adil. Yang selama ini dilakukan pemerintah
adalah menyiapkan format ideologisasi, dan format itu merupakan hasil
penafsiran sepihak. Untuk menenangkan dirinya, format itu lantas dilegalisasi
sebagai produk Undang-Undang dan melalui Badan-Badan Pemerintah terkait.
Hanya saja selama ini, tidak ada jaminan bahwa legalisasi itu bermuara pada
penguatan legitimasi. Sehingga implikasinya keadilan sosial justru gagal merasuk
kedalam struktur kesadaran masyarakat dan sulit untuk dipraktekkan.
Disisi lain telah juga ditunjukkan bahwa masyarakat menyimpan suatu
sistem pengetahuannya yang meski tak terkatakan dan tersembunyi selalu
dipraktekkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pola pembentukan ini agaknya
berbeda dengan apa yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Pola yang sering
dilupakan karena memang tersamarkan tetapi justru berhasil dipraktekkan dan
dipegang teguh samapai kini. Sehingga barangkali dalam proses merekonstruksi
keadilan sosial secara bersama-sama dibutuhkan upaya lain jika model tekstual
yang top-down gagal merasuk kedalam struktur kesadaran masyarakat.
Sehingga bentuk pencarian keadilan sosialnya nanti bukanlah tentang
pengulangan pemusatan kekuasaan melainkan pencariannya terhadap sebuah jalan
tengah dimana kondisi-kondisi penyebaran kekuasaan bisa berlangsung.Dengan
kesadaran itu, pencarian terhadap alternatif keadilan sosial kontekstual induktif
yang menyediakan kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyebaran kekuasaan
menjadi penting untuk segera ditemukan.
Agar dapat digunakan untuk mengatasi pewacanaan keadilan sosial yang
ternyata hanyalah sebatas pemusatan kekuasaan, yang memunculkan represi
kepada pihak lain yang dianggap kalah. Upaya pencariannya selanjutnya dapat
dilakukan dengan mengatasi problematika yang telah dipetakan sebelumnya,
yakni mendokumentasikan analisis reflektif kehidupan sehari-hari masyarakat.
Analisis reflektif ini adalah menyelidiki bentuk-bentuk pengalaman reproduksi
pengetahuan masyarakat yang disembunyikan dalam kehidupan mereka seharihari, dalam konteks penelitian ini adalah Tengger.
Pola yang lantas akan diadaptasi dalam kajian ini untuk selanjutnya
disusur secara lebih detil adalah pola kontekstual, pola pengetahuan yang
berangkat dari akar rumput. Pola alternatif yang mendudukkan pentingnya analisis
konteks dalam setiap kajian politik, muncul setelah perdebatan besar antara para
intelektual dibawah bendera general law dan skepticism postmodern.Dalam
analisisnya
Robert
Goddin
dan
Charles
Tilly
menyebut
pola
kontekstual/pendekatan alternatif yang muncul dari perdebatan itu sebagai
something in between, Dalam karyanya Contextual Political Analysis6, Goddin
dan Tilly berhasil menunjukkan bahwa lubang besar permasalahan analisis ilmu
politik adalah obsesinya untuk merumuskan general law yang cenderung
meninggalkan pengamatannya terhadap detil waktu, tempat, kondisi yang terjadi
kini serta sejarah sebelumnya yang membentuk kondisi tersebut. Dalam proses
untuk menambal lubang tersebut, para generalis dan kontekstualis sesungguhnya
telah merumuskan jalan pertemuan yang seringkali tidak mereka sadari. Jalan ini
kemudian diungkap oleh Goddin dan Tilly dengan merangkum perdebatan
diantara mereka dari sisi ontologies, explanatory strategies dan mechanism.
Dari hasil elaborasinya, mereka menawarkan pendekatan analisis politik
kontekstual, yang memfokuskan dirinya untuk memahami konteks yang
mempengaruhi: proses politik, fakta-fakta empirik dilapangan dalam proses
politik dan selanjutnya konteks yang membentuk pemahaman analis itu sendiri.
Dengan fokus analisis seperti ini maka analisis akan dibingkai dengan jawaban: it
depends, tergantung waktu tempat dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi
proses politik itu dibentuk. Lebih jauh, tidak hanya memfokuskan tentang
bagaimana pengetahuan lokal membentuk ke-saling-paham-an, fakta-fakta
empirik dan proses politik disuatu tempat tertentu, melainkan juga menjajagi
pengetahuan yang diabstraksikan dari sebuah pengalaman dalam konteks yang
luas. Sehingga filosofi, psikologi, ideologi, kebudayaan, sejarah, tempat, populasi
dan teknologi does matter dalam proses-proses politik.
6
Lihat Robert Goddin dan Charles Tilly dalam Contestual Political Analysis, 2005, Oxford Press:
Inggris,hlm.48
Gambar 1
Perbedaan Pola Tekstual dan Kontekstual
penguasa
Perilaku berkeadilan
akar rumput
tokenisme
tafsir
Sub ordinasi
masyarakat
Ditinggalkan
dalam
perilaku
masyarakat
penguasa
tafsir
Kontrak sosial
masyarakat
Etika
bernegara
Sejumlah telaah antropologis telah dilakukan, dan telaah tersebut terlibat
bertapa berbeda nuansa keadilan yang terbentang dalam keseharian kehidupan
masyarakat. Dalam Masyarakat Tengger pada awal tahun 1980an, Raffles,
Heffner dan Nancy Smith berhasil menunjukkan adanya tatanan nilai yang
berhasil dipraktekkan dan selanjutnya menjamin kepuasan anggota komunitasnya.
Dalam tulisan Raffles misalnya, orang Tengger digambarkan sebagai orang yang
bahagia, penuh canda tawa dan riang. Sementara dalam tulisan Heffner dan Nancy
Smith mereka digambarkan sebagai orang yang egaliter, terbuka dan bahagia.
Sikap-sikap ini seperti yang telah ditunjukkan diawal tulisan ini bukanlah sesuatu
yang terjadi begitu saja, ada tatanan yang disetting dalam sebuah sistem yang
tersembunyi dalam perilaku mereka. Tatanan ini lah yang kemudian ingin saya
tunjukkan dalam penelitian ini. Tatanan yang tersembunyi dibalik perilaku mereka
sehari-hari, yang dalam bagian sebelumnya telah banyak diulas, kini sangat
banyak dipengaruhi oleh wajah sehari-hari pembentukan negara.
Kajian ini berusaha untuk menggunaan kajian-kajian di Tengger sebagai
acuan dalam menelaah keadilan yang ditegakkan dalam kesehariannya. Dengan
kesadaran bahwa tulisan-tulisan itu berdasarkan penelitian diawal tahun 1980-an
dimana wajah negara belum terlalu banyak membentuk identitas ke-Tenggerannya, karya ini justru akan menggandeng konteks kontemporer tersebut,
sehingga nantinya proses rekonstruksi keadilan sosialnya akan dilihat dalam
narasi relasi masyarakat Tengger bersama-sama dengan Negara. Dari pengalaman
gagalnya cara top-down atau tekstual dalam merawat diskursus keadilan sosial itu,
maka alur dari penelitian ini berangkat dari jalur induktif yang berusaha untuk
peka terhadap konteks lokal, di akar rumpur.Kajian ini diharapkan melengkapi
rangkaian puzzle perdebatan keadilan sosial dari pinggir.
D. Rumusan Masalah
Setelah menyajikan paparan panjang di dua sub-bab tersebut di atas, dapat
ditegaskan bahwa pertanyaan besar yang hendak dijawab adalah:Apa dan
bagaimana konstruksi keadilan Sosial (dari dan untuk) sebuah masyarakat
terwujud? Untuk itu, secara teknis pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:
1. Dalam kesehariannya,bagaimana perilaku masyarakat Tengger memaknai
keadilan?
2. Bagaimana keadilan tersebut mengejawantah dalam kehidupan bernegara?
E. Tujuan Penelitian
Kajian ini dilakukan untuk dapat menawarkan pelacakan aktualisasi dan
reproduksi nilai keadilan sosial dalam keseharian masyarakat. Pelacakan melalui
proses induktif dalam diyakini akan menghasilkantawaran baru ini. Dari kajian ini
diharapkan dapat menemukan model alternatif dalam „mempraktekkan‟ keadilan
sosial.
F. Mengkerangkai Pencarian Keadilan Sosial Kontekstual:
Keniscayaan Titik Tengah
Analisis politik kontekstual dilakukan dengan kesadaran akan adanya
„ketergantungan‟ terhadap konteks.Oleh karena itu, dalam pencarian model yang
dicanangkan dalam studi ini akan mengoptimalkan sensitifias terhadao situasi
kontekstual. Ini adalah orientasi yang relatif baru dalam analisis politik. Yang
memotorinya adalah Charles Tilly dan Robert Goddin.7Dalam handbook yang
disunting oleh kedua tokoh ini diletakkan justifikasi bahwa context does matter.
Mereka menunjukkan bagaimana analisis politik sangat tergantung dengan
konteks yang membentuk fakta-fakta politik, proses politik sampai pemahaman
analis politik itu sendiri. Konteks yang perlu diperhatikan dalam analisis politik,
dibagi kedalam 8 pembahasan besar seperti: philosophy, psychology, ideas,
culture, history, place, population and technology matters. Konteks kultural,
historogical, linguistik dan spatial lah yang membentuk dan juga sekaligus
7
opcit, 18
dibentuk oleh analisis politik. Karyanya mengakui karakter multidimensional
politik yang hidup dalam tempat, waktu dan alam pikir tertentu.
Dari kegagalan yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya dan kesadaran
baru bahwa context does matter, maka penelusuran pembentukan keadilan sosial
lokal, mengakui karakter multidimensional politik, sehingga narasinya akan
dimulai dari telusur sejarah relasi masyarakat Tengger dengan negara dalam
berbagai kurun waktu dan tempat tertentu, sehingga berhasil ditunjukkan konteks
umum yang memmbentuk dan dibentuk oleh keadilan sosial lokalnya. Penggalian
selanjutnya akan diarahkan untuk memahami alam pikir masyarakat Tengger yang
menjadi konteks khusus yang membentuk dan dibentuk oleh nilai keadilan
sosialnya.
Upaya penggalian yang selanjutnya ditujukan untuk memahami konteks
umum dan khusus yang mempengaruhi nilai keadilan sosial Tengger, secara
operasional akan dilakukan dengan meminjam teknik yang dikembangkan oleh
Berger dan Luckmann yang selanjutnya akan dimodifikasi dalam kerangka baru
yang telah dikontekstualisasikan untuk membaca relasi antara Negara dengan
masyarakat Tengger, untuk menemukan keadilan sosial dari akar rumput.
1. Merekonstruksi Keadilan dari Akar Rumput:
Merajut Kaitan Eksternalisasi, Obyektivasi dan Internalisasi
Cara pandang kontekstual, mensyaratkan pemahaman bahwa setiap subjek
menyimpan pengetahuannya sendiri, yang umumnya disembunyikan dalam
perilaku mereka sehari-hari. Pengetahuan yang tidak serta merta ada melainkan
dibentuk secara terus menerus. Rekonstruksi akan pengetahuan ini digunakan
untuk memahami corak alam pikir masyarakat setempat sehingga berhasil
membuka pintu masuk menuju peggalian keadilan sosial yang tersembunyi dalam
struktur dasar kesadaran orang Tengger menghadapi dinamika sosialnya.
Pemahaman mengenai pengetahuan yang disimpan subjek ini menjadi penting
untuk ditemukan dalam upaya menggali keadilan sosial lokal yang mengakar pada
tradisi
masyarakat
setempat.
Sehingga,
pengetahuan
yang
kemudian
direkonstruksi adalah praktik penengakan keadilan sosial yang tersembunyi dalam
perilaku keseharian masyarakat. Yang nantinya akan diaktualisasikan menjadi
tafsir berkeadilan sosial ala Tengger, yang mungkin saja berbeda dengan kajian
tentang keadilan sosial yang selama ini ada, yang berangkat dari pola tekstual
Teori konstruksi sosial Berger dan Luckman mencoba mengadakan sintesa
antara fenomen-fenomen sosial yang tersirat dalam tiga momen sinergis dan
memunculkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang dilihat dari segi asalmuasalnya merupakan hasil ciptaan manusia, buatan interaksi intersubjektif.
Berpijak dari kerangka pikir ini lah penelitian ini memahami fenomena berkeadilan sosial orang Tengger, sehingga nantinya dapat ditunjukkan bahwa
keadilan sosial yang manifest dalam kehidupan sehari-hari adalah hasil rekayasa
manusia yang karena begitu sinergisnya proses yang berlangsung, ketiganya
menjadi sulit diurai dalam praktek, sehingga lebih jauh kelangsungannya tidak
menjadi beban dan akhirnya menjelaskan mengapa para pelakunya cenderung
taking for granted. Hal ini dijelaskan Berger dan Luckman dapat terjadi karena
kita masih memandang masyarakat sebagai kenyataan objektif, yang sepertinya
berada diluar manusia dan berhadap-hadapan dengannya.
Studi ini meminjam kerangka fikir Berger dan Luckmann yang
berpandangan bahwa masyarakat berada baik sebagai kenyataan obyektif maupun
subyektif. Hal ini dapat dipahami apabila masyarakat dipahami dari segi suatu
proses dialektis yang berlangsung terus menerus dan terdiri dari tiga momen:
eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.8 Ketiga momen itu tidak terjadi
dalam suatu urutan waktu melainkan secara serentak. Secara sederhananya, ketika
individu berada dalam masyarakat berarti ia berpartisipasi dalam dialektika itu.
Dalam dialektika yang sama, masyarakat menciptakan suatu nilai dan dengan itu
menciptakan dirinya sendiri. Untuk memudahkan keterarahan dalam pembacaan
gejala sosial dimasyarakat dalam penelitian ini akan diuraikan secara lebih detil
ketiga momen tersebut sebagai berikut.
a. Internalisasi. Kajian ini meminjang perspektif Berger yang mecoba
untuk melacak apa yang disebutnya internalisasi. Baginya, internalisasiadalah
penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan
suatu makna. Penafsiran/pemahaman ini bukanlah merupakan hasil dari
penciptaan makna secara otonom oleh individu-individu yang terisolasi melainkan
dimulai dengan individu mengambil alih dunia dimana sudah ada orang lain.
Dalam proses selanjutnya terdapat pengidentifikasian timbal balik yang
berlangsung terus-menerus antar individu sehingga tercipta pengertian bahwa
masing-masing berpartisipasi dalam keberadaan pihak lainnya. Proses untuk
8
Lihat Peter Berger dan Thomas Luckman dalam Tafsir Atas Kenyataan Sosial, 2000, hlm. 48.
mencapainya adalah sosialisasi. Disini Berger membedakan proses ini menjadi:
sosialisai primer dan sosialisasi sekunder. Berger berargumen bahwa sosialisasi
primer, yang dialami individu dalam masa kanak-kanak, merupakan sosialisasi
yang paling penting bagi individu dan struktur dasar dari sosialisasi sekunder
harus mempunyai kemiripan dengan struktur dasar sosialisasi primer.
Sosialisasi primer melibatkan lebih dari belajar secara kognitif semata. Ia
berlangsung dalam kondisi-kondisi yang bermuatan emosi yang tinggi. Dalam
sosialisasi primer tidak ada masalah identifikasi. Orang-orang yang berpengaruh
tidak dapat dipilih. Dalam konteks penelitian ini, pertanyaan akan diarahkan untuk
melacak bentuk-bentuk sosialisasi primer mengenai praktik-praktik (keadilan)
yang diajarkan di Tengger dalam lingkungan keluarganya.
Selanjutnya sosialisasi sekunder adalah internalisasi sejumlah sub dunia
kelembagaan atau yang berlandaskan lembaga (institusionalisasi). Subdunia ini
pada umumnya parsial dan berbeda dengan dunia dasar yang diperoleh dalam
sosialisasi primer, meskipun begitu ia tetap menjadi kenyataan yang sifatnya
kohesif dalam kadar tertentu. Cirinya terdiri dari komponen-komponen yang
normatif, efektif dan kognitif. Ia juga disertai dengan perangkat-perangkat
legitimasi yang sering menggunakan simbol-simbol ritual atau material.
Dalam konteks penelitian ini akan dilacak bentuk-bentuk sosialisasi
sekunder mengenai berperilaku adil yang dilakukan lewat upacara adat dan
peraturan dari lembaga kemasyarakatan lain. Upacara dipilih karena dalam
struktur sosial masyarakat Tengger ia masih dianggap sakral, sehingga sistem
pengetahuan didalamnya masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat.
Lembaga kemasyarakatan yang dimaksudkan adalah sekumpulan organisasi
dengan sistem tertentu yang berinteraksi secara intens dengan masyarakat
setempat, seperti struktur agama dan mungkinlembaga-lembaga lain yang akan
ditemukan dalam proses penelitian lanjutan.
b. Obyektivasi. Analisis ini meminjam cara Berger mengkerangkai
kajiannya dengan istilah obyektivasi. Baginya, obyektifitasi adalah upaya
memelihara dan mentransformasikan kenyataan subyektif. Pemeliharaan ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya suatu ukuran simetris antara kenyataan
obyektif dan kenyataan subyektif. Dalam hal ini Berger membedakannya menjadi:
cara pemeliharaan rutin dan cara pemeliharaan dalam keadaan krisis. Keduanya
melibatkan proses-proses sosial yang pada dasarnya sama.
Dalam proses ini akan muncul upaya untuk membedakan antara orangorang yang berpengaruh dan orang-orang lain yang kurang penting. Dan wahana
yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah percakapan. Proses lain
yang juga penting dalam obyektivasi adalah alternation atau tersedianya suatu
aparat legitimasi untuk keseluruhan tahapan transformasi.Dalam prosedurprosedur ini terjadiah transformasi parsial dari kenyataan-kenyataan subyektif
atau sektor-sektor tertentunya saja. Transformasi ini lazim dalam masyarakat
masa kini dalam hubungannya dengan mobilitas sosial dan pendidikan bidang
kerja individu.
c.
Eksternalisasi. Secara implisit Berger menyebutkan eksternalisasi ini
sebagai keberhasilan yang maksimal dalam sosialisasi. Sehubungan dengan hal
itu, studi ini mencoba untuk menganalisa kemajemukan kenyataan maupun
identitas dalam kaitannya dengan dinamika struktural dari industrialisme,
khususnya dinamika pola-pola pelapisan sosial yang ditimbulkannya. Atas dasar
itu, studi ini memperlakukan identitas sebagai unsur kunci dalam proses ini.
Dalam konteks penelitian ini perlu dikonfirmasi bagaimana masyarakat Tengger
memaknai dirinya, yakni dalam kondisi apa mereka memaknai diri mereka
sebagai masyarakat yang berhasil mewujudkan keadilan sosial.
2. Tapak-Tapak Menuju Titik Tengah
Kontekstualisasi, Rekonstruksi dan Negosiasi
Ketiga proses yang dijelaskan Berger dan Luckmann selanjutnya akan
dioperasionalisasikan dalam perluasannya dengan kacamata contextual political
analysis. Dalam tafsir sosial atas kenyatan, Berger dan Luckman menjelaskan tiga
momen dialektis dimana kenyataan subjektif dan objektif bertemu. Ketiga momen
yang terjadi dalam dunia pemaknaan individu terhadap lingkungan sosial dan
aspek diluarnya. Berger dan Luckman mendasarkan diri pada dua gagasan
sosiologi pengetahuan yaitu realitas dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai
kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar kehendak
kita. Sedangkan pengetahuan diartikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena
riil dan mempunyai karakteristik tertentu, yang hadir dalam kesadaran individu.
Kenyataan yang diterima individu dari lembaga sosial, menurut Berger,
membutuhkan cara penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan yang sedang
dipegang dan dipraktekkan. Dengan demikian, hubungan antara individu dengan
institusinya adalah sebuah dialektika (intersubjektif) yang diekspresikan dengan
tiga momen: society is human product. Society is an objective reality. Human is
sosial product. (Masyarakat adalah produk manusia. Masyarakat adalah suatu
kenyataan sasaran. Manusia adalah produk sosial). Dialektika ini dimediasikan
oleh pengetahuan yang disandarkan atas memori pengalaman di satu sisi dan oleh
peranan-peranan yang merepresentasikan individu dalam tatanan institusional
(Waters, 1994 : 35).
Dengan catatan bahwa karya Berger mendasarkan diri pada pengetahuan
dalam level individu bersama masyarakatnya, dan pertimbangan pendekatan
kontekstual yang telah dikemukaan sebelumnya, maka ketiga momen dialektis
tersebut selanjutnya akan dikerucutkan kembali, dalam rangka pencarian keadilan
sosial lokal. Upaya pengerucutan dimulai dengan pemahaman mengenai
perbedaan konteks penelitian Berger dan Luckmann dengan penelitian ini. Dalam
penelitian ini, pengetahuan ditekuni secara spesifik pada keadilan sosial lokal,
yang dalam konteks kontemporer pengetahuan ini banyak dibentuk bersama
dengan
negara,
yang
sekaligus
membentuk
diri
mereka.
Selanjutnya,
kontekstualisasi teori Berger dan Luckmann dalam penelitian ini ditantang untuk
memberikan kepekaan kepada: konteks berbeda yang melahirkan pengetahuan
orang Tengger dan aktor representasi negara, konstruksi pengetahuan baru yang
terbentuk dalam relasi antara orang Tengger dengan aktor Negara, corak produk
pengetahuan dan perilaku negosiatif yang terbentuk. Perpaduan dari kedua teori
itu akan dioperasionalisasikan dalam bentuk-bentuk proses yang lebih spesifik
dalam konteks relasi masyarakat Tengger dengan Negara, sebagai berikut:
a. Kontekstualisasi
Jika Berger dan Luckmann mengkerangkai proses penafsiran yang
langsung dari suatu peristiwa objektif untuk mengungkapkan makna sebagai
proses internalisasi, maka senada dengan itu proses kontekstualisasi yang
dipersiapkan adalah operasionalisasi dari proses internalisasi dimana dua subjek
yang berbeda bertemu, dalam konteks penelitian ini adalah masyarakat Tengger
dan Negara. Dalam proses ini seperti yang telah dikemukakan Berger dimulai
dengan individu mengambil alih dunia dimana sudah ada orang lain yang
selanjutnya terjadi pengidentifikasian timbal balik yang berlangsung terus
menerus sehingga tercipta pengertian bahwa masing-masing berpartisipasi dalam
keberadaan pihak lain, yang dicapai melalui proses sosialisasi baik primer
maupun sekunder.
Dalam operasionalisasinya, proses kontekstualisasi menyelediki cara
pandang negara terhadap masyarakat Tengger dan cara pandang masyarakat
Tengger terhadap negara. Upaya penyelidikannya, seperti yang telah ditunjukkan
Berger dilakukan dalam ruang-ruang sosialisasi primer dan sekunder yang
dilakukan
oleh
kedua
belah
pihak.
Sosialisasi
primer
dalam
proses
kontekstualisasi adalah kebijakan-kebijakan otoritatif negara yang langsung
ditujukan kepada masyarakat Tengger. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah
kebijakan-kebijakan yang bersumber dari subjek lain disamping negara yang turut
berperan besar dalam kehidupan sosial dan politik orang Tenger. Dan juga
bagaimana reaksi yang dimunculkan oleh orang Tengger dalam menghadapinya.
b. Rekonstruksi
Proses ini adalah operasionalisasi dari proses obyektivasi Berger. Dalam
relasinya dengan Negara, akan diselidiki cara pemeliharaan suatu ukuran simetris
antara kenyataan obyektif dan kenyataan subyektif. Seperti yang ditunjukkan
Berger bahwa wahana yang paling penting untuk memelihara kenyataan adalah
percakapan, maka dalam proses rekonstruksi akan dilakukan interpretasi terhadap
pola komunikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak, masyarakat Tengger dan
Negara. Selain itu juga akan diselediki proses alternation atau tersedianya suatu
alat legitimasi, yang berupa: sanksi, denda, advokasi yang dilakukan oleh kedua
belah pihak.
c. Negosiasi
Selanjutnya, operasionalisasi dari proses eksternalisasi Berger akan
dibingkai dalam proses negosiasi. Disini akan disingkapkan corak bangunan
pengetahuan lokal sebagai hasil dari proses sosialisasi. Dari sana kemudian akan
diabstraksikan sebuah pengetahuan tentang keadilan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat Tengger bersama-sama dengan Negara. Dalam kacamata Berger
identitas menjadi unsur kunci dalam proses ini. Sehingga selanjutnya akan
diidentifikasi pengetahuan lokal masyarakat masyarakat Tengger.
Kerangka pikir yang selanjutnya digunakan untuk menemukan keadilan
sosial kontekstual, adalah perpaduan dari Analisis Politik Kontekstual Tilly dan
Goddin, serta Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann, yang mengerucut pada
lahirnya proses-proses pemaknaan pengetahuan antara masyarakat lokal dengan
negara, dalam konteks penelitian ini orang Tengger dan aktor representasi Negara
di Tengger. Seperti yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, ketiga momen
sinergis itu adalah: kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi. Untuk
mempermudah dalam mengingat, maka akronim yang selanjutnya dipilih untuk
menampung ketiga momen tersebut adalah KEREN, yang dipungut dari Ke:
kontekstualisasi, Re: rekonstruksi dan N: Negosiasi.
Ketiga momen ini dirancang dengan kesadaran pentingnya kepekaan
terhadap konteks kultural, historogical, linguistik dan spatial, yang membentuk
pengetahuan subjek dan selanjutnya dialektikanya dalam relasi politis bersama
negara. Sehingga pembahasan selanjutnya diupayakan untuk melihat prosesproses terjadinya penyebaran kekuasaan. Dalam rangka menuju kesana, maka
pengamatan selanjutnya akan diarahkan pada telaah kompromi, mekipun telaah
ini telah banyak ditinggalkan oleh para filosof dan ilmuwan hukum9
Pertimbangan terhadap telaah kompromi tetap dilakukan berdasarkan analisis
Clay yang menyebutkan kompromi sebagai work of mutual concession10. Dalam
cara pandang ini maka kompromi harus menyertakan multilateral concession,
sebagai jalan terjadinya penyebaran kekuasaan itu sendiri. Sehingga selanjutnya,
telaah dilanjutkan untuk mengenali bentuk-bentuk kompromi yang dipilih antara
orang Tengger bersama dengan Negara. Telaah terhadap kompromi ini kemudian
akan diletakkan sebagai realitas, dalam terminologi Berger dan Luckmann.
Semakin mengerucut, akan diperhatikan dialektika antara bentuk-bentuk
9
J. E. Coons, 'Compromise as Precise Justice', in Pennock and Chapman „,MIT Press,hl.m57
10
R. Birley (ed.), Speeches and Documents in American History, II, 1818- 1865 (London: Oxford
University Press, 1964), hlm.140.
kompromi ini dengan corak pengetahuan lokal, yang merasuk ke kesadaran orang
Tengger.
3. Analisis KEREN:Keniscayaan Titik Tengah
Seperti yang dicanangkan sebelumnya maka ketiga momen yang
merupakan sintesa antara fenomen fenomen sosial tersebut berlangsung secara
simultan dan sinergis, tak hierarkis. Pembentukan keadilan sosial yang dilakukan
bersama dengan menyelami ketiga proses tersebut akhirnya mengantarkan subjek
untuk mengembangkan relasi kompromis dengan subjek lain sebab terbentuk
kesadaran untuk mengakui dan memahami entitas lain diluar dirinya, melalui
proses kontekstualisasi. Selanjutnya, dari bentuk-bentuk relasi inilah maka akan
muncul pengetahuan yang sifatnya dialektis, direkonstruksi secara bersama, antara
orang Tengger dengan negara. Dimana , pencarian terhadap keadilan sosialnya,
terus-menerus dinegosiasikan bersama dengan perubahan dinamika sosialnya.
Sehingga pencarian sebuah jalan tengah terhadapnya adalah sesuatu yang niscaya.
Ketiga proses: kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi adalah tapaktapak yang digunakan untuk mempermudah penarasian data nantinya dalam
mendokumentasikan
kehidupan
sehari-hari
masyarakat
Tengger
dengan
negara,dan lebih jauh pengetahuan berkeadilan sosial yang diam-diam dijalankan,
meskipun tak terkatakan. Dengan kesadaran bahwa ketiga proses tersebut
berlangsung secara sinergis dan simultan, maka upaya penarasian juga akan
mengimplisitkan ketiga proses iniMelalui analisis dialektis KEREN, penarasian
akan disusun untuk
mensintesakan antara realita: kompromi orang Tengger
dengan Negara dan corak pengetahuan lokal, yang merasuk kedalam kesadaran
subjek. Dengan analisis dialektis kontekstual tersebut maka kerangka keadilan
sosialnya adalah keniscayaan jalan tengah dalam relasi intersubjektif, yang
senantiasa bergerak menyesuaikan perubahan zaman dan terikat dengan konteks
zamannya. Sebuah jalan tengah untuk menuju titik tengah. Titik tengah disini
berbeda dengan kesepakatan, yang dalam terminologi Rawls 11 disebut konsensus.
Jalan tengah tidak menuntut adanya kesepakatan mutlak tanpa adanya perbedaan
kepentingan. Jalan ini mengandaikan pertemuan persamaan tanpa melupakan
perbedaan kepentingan. Sehingga kriteria-kriteria keadilannya adalah kecocokan
bukan kesepakatan. Kecocokan didasarkan pada intuisi untuk menerima
persamaan tanpa keterpaksaan sebab
perbedaan interest,
tidak mengandaikan dieliminasinya
melainkan justru terus menerus dicari dalam relasi
intersubjektif yang dinamis.
Analisis KEREN mengantarkan pembentukan „keadilan sosial‟ sebagai
pengetahuan mengenai negosiasi pencarian jalan tengah yang terus menerus
antara konteks yang membentuk tiap subjek dalam relasi intersubjektif dan
konstruksi pengetahuan dinamis yang merasuk kedalam kesadaran subjek.
Negosiasi dilakukan dalam konteks yang berubah-ubah yang membentuk
sekaligus dibentuk oleh kesadaran intersubjektif, dimana didalam ruang sosial
tersebut masa depan menjadi musim yang berlangsung sepanjang tahun. Disana
terdapat satu keutuhan yang secara kaya jauh lebih terdiferensiasi daripada
program yang paling rinci, dan karenanya maka program semacam itu jelas tidak
11
Lihat Rawls, Opcit. 35
pernah bisa menjadi segalanya dan akan ada hal-hal yang memang tidak pernah
bisa dibicarakan.12 Maka keadilan sosial tidak akan pernah menjadi sesuatu yang
idealistik, melainkan pilihan-pilihan sulit untuk menemukan kecocokan antara
pengetahuan dalam kesadaran subjek dan konteks dinamika sosialnya.
Secara sederhananya, keadilan sosial tercapai dalam momentum tertentu
dimana terjadi kecocokan antara „perasaan adil‟ dan „tindakan adil‟. „Perasaan
adil‟ berarti subjek merasa menerima keadilan, berdasarkan pengetahuan khas
pada masing-masing kesadaran subjek, yang mungkin terjadi dengan adanya
pemahaman. „Tindakan adil‟ berarti subjek melakukan aktualisasi terhadap
perilaku penyebaran kekuasaan, berdasarkan konteks yang membentuk relasi
intersubjektif, yang mungkin terjadi dengan adanya empati. Sehingga, keadilan
sosial adalah titik tengah pertemuan sulit antara „perasaan adil‟ dengan „tindakan
adil‟ dalam relasi intersubjektif. Menjadi sulit sebab pertemuan keduanya
mensyaratkan pemahaman dan empati terhadap entitas „yang lain‟. Entitas „yang
lain‟ yang tidak serta merta berada diluar subjek. Keadilan sosialnya lahir dari
pencarian subjek yang terus menerus terhadap jalan tengah keduanya. Sehingga
titik tengah menjadi suatu keniscayaan. Dalam konsep matematis, titik tengah
dari suatu ruas garis terletak ditengah-tengah ruas garis sedemikian sehingga
membagi ruas garis tersebut menjadi dua bagian yang sama panjang.
12
Lihat Mulhern Francis, 2010, Budaya Metabudaya, Jalasutra: Yogyakarta, hlm. 88
Gambar 2
Keniscayaan Titik Tengah
Gambar 3
Analisis KEREN: Menuju Titik Tengah
REKONSTRUKSI
Pemeliharaan Seharihari dan kondisi krisis
a. pola komunikasi
kedua belah pihak
b. aparat legitimasi
(sanksi, denda,
advokasi)
KONTEKSTUALISASI
1. sosialisasi primer
a. kebijakan
negara
b. pengetahuan
lokal
2. sosialisasi sekunder
a. kebijakan aktor
lain
b. respon
masyarakat
NEGOSIASI
1. pola perilaku
berulang
2. corak
pengetahuan
lokal
G. Metode Penelitian
Merujuk kepada problematika yang telah dipetakan pada bagian
sebelumnya maka upaya pencarian keadilan kontekstual dalam penelitian ini tidak
akan melepaskan dirinya untuk menyorot strategi-strategi kekuatan dominan
tersebut yang memasuki kehidupan sehari-hari masyarakat Tengger. Dan
bagaimana masyarakat meresponnya. Dalam konteks penelitian ini adalah negara
dan masyarakat Tengger.
Penelitian ini akan dilakukan dengan metodologi kualitatif yang
menyajikan data dalam uraian-uraian secara deskriptif. Teknik feneomonelogihermeneutika dipilih untuk mempermudah penangkapan realitas dimana
fenomenologi memberikan ruang agar kenyataan dapat ditangkap sebagaimana
kenyataan itu menampakkan diri dan terkenali oleh kesadaran karena ada
intensionalitas (keterarahan). Dalam penelitian ini kenyataan akan diperlakukan
sebagai teks yang bukan dimaknai sebagai tulisan semata, tetapi rajutan objekobjek, sehingga ia terbuka untuk diinterpretasi, bahkan didekonstruksi.
Hermeneutik dipilih sebab karya ini dipersiapkan untuk menelusuri pengetahuan
kontekstual yang hidup dan berkembang di akar rumput, dengan pertimbangan
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, Tengger dipilih sebagai lokasi
pengumpulan bukti empirik untuk menyingkap pengetahuan mengenai keadilan
sosial yang senantiasa dipelihara melalui praktik-praktik yang tersembunyi
didalam
perilaku
keseharian
masyarakatnya
sehingga
dalam
analisis
pembacaannya akan sampai kepada akar/ pengetahuan yang disembunyikan itu.
Dengan asumsi bahwa pengetahuannya tersembunyi dalam praktik maka
proses penyingkapannya dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap pola
perilaku berulang13 sebagai data empirik dilapangan. Dan selanjutnya dikonstruksi
untuk menemukan corak alam pikiran mereka. Konsep ini diadaptasi dari
pemikiran George Bateson tentang ecology of mindyang mengajukan pertanyaanpertanyaan penting mengenai:
13
Teknik mempelajari pola perilaku yang berulang ini diadaptasi dari konsep Lao Tze yang
mengatakan: watch your thought it becomes your words, watch your words it becomes your action,
watch your action it becomes your habit, watch your habit it becomes your character, watch your
character it becomes your destiny.
How do ideas interact? Is there some sort of natural selection
which determines the survival of some ideas and the extinction or
death of others? What sort of economics limits the multiplicity of
ideas in a given region of mind? What are the necessary
conditions for stability (or survival) of such a system or
subsystem?14
Corak alam pikiran inilah yang nantinya akan digunakan sebagai data untuk
mengabstraksikan pengetahuan keadilan sosial lokal orang Tengger.Secara teknis,
analisis dalam kajian ini akan meminjam alur dari Contextual Political Analysis,
dimana kepekaan terhadap konteks didudukkan sama pentingnya dengan relasi
para aktor didalamnya. Sehingga pengamatan didalamnya akan terarahkan untuk
melihat fenomena adaptasi ekologis dan budaya suatu masyarakat, untuk
mengurai jalinan relasi kuasa yang terbentuk didalam struktur kesadaran suatu
masyarakat, yang tercermin dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati fenomena keadilan
sosial yakni tatanan nilai yang dipegang teguh dalam kehidupan sehari-hari orang
Tengger dalam proses pembentukan komunitasnya. Dengan kesadaran akan
simultannya proses dan luasnya wilayah penelitian. Maka fokus penelitian akan
dibatasi hanya di ladang dan dapur orang Tengger. Kedua ruang yang paling
sering dikunjungi dan memiliki tingkat interaksi yang tinggi. Sementara lokus
penelitian hanya akan dilakukan di dua desa, yakni: Ranu Pani dan Ngadas.
Kedua desa dipilih dengan pertimbangan berada didalam wilayah enclave Taman
Nasional tetapi memiliki corak relasi berbeda dengan negara. Sehingga nantinya
dapat dipahami mengapa terjadi corak yang berbeda. Untuk melengkapi kajian,
14
Ibid.
penelitian ini juga akan mencari referensi mengenai kondisi historisdan sosiologis
Tengger dan membaca respon orang Tengger mengenai bentuk-bentuk perilaku
„adil‟ dalam perspektif mereka. Respon yang dimaksud disini adalah cerita dalam
bentuk lisan yang didapat dari hasil wawancara dengan beberapa key informan.
Respon tersebut kemudian diclusterisasi lagi kedalam cerita mengenai keadilan
sosial masyarakat tengger dan nilai-nilai lainnya. Selanjutnya informasi tersebut
akan diolah dengan model konstruksi ala Berger&Luckmann. Dari sana
diharapkan berhasil direkonstruksi suatu bentuk keadilan sosial induktif dari
masyarakat Tengger.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pencarian keadilan sosial kontekstual yang dalam
penelitian ini diadopsi dari kearifan lokal masyarakat Tengger, maka narasi
disusun sebagai berikut: BAB II, akan menyajikan Kompromi Terbatas: Wajah
Sehari-Hari Tengger bersama Negara, yang akan memberikan cerita mengenai
kehadiran negara dalam komunitas Tengger sejak zaman Majapahit sampai
dengan narasi kontemporer negara di ladang dan dapur orang Tengger serta
bentuk-bentuk reaksi yang dipilih oleh orang Tengger menyikapi dinamika
sosialnya.
Selanjutnya, BAB III akan menunjukkan Corak Alam Pikiran Orang
Tengger yang Reflektif dan Dialektis. Bagian ini juga akan menyajikan konsepkonsep fundamental yang dipegang teguh oleh orang Tengger dan akhirnya
mempengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam kehidupan mereka sehari-
hari. Konsep itu antara lain: alam sebagai sumber kehidupan, agama sebagai
organisasi sosial, adat sebagai sistem filsafat dan masyarakat sebagai sumber rasa
aman. Bentuk-bentuk pengetahuan yang diinternalisasikan ini dirumuskan dari
pengamatan terhadap reaksi-reaksi orang Tengger menyikapi dinamika sosialnya,
yang telah dijabarkan di bab sebelumnya.
Bab IV Keniscayaan Titik Tengah: Simpul Keadilan Sosial Tengger,
mengklasifikasi proses kontekstualisasi, rekonstruksi dan negosiasi
yang
menghasilkan konstruksi keadilan sosial mengenai keniscayaan titik tengah.
Selanjutnya menyarikan jejak pola perilaku berulang dari dinamika kehidupan
sosial Tengger di bab sebelumnya, antara lain niteni, laku dan rewang dalam
proses-proses mengakses keadilan sosialnya, selanjutnya akan digambarkan pula
sebuah Refleksi Teoritik yang akan
memetakan perdebatan teoritik seputar
filsafat keadilan mulai dari Rawls sampai Habermas. Dan mendudukkan keadilan
sosial Tengger diantaranya.
Download