1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang
menunjukkan bahwa pasien menerima terapi yang sesuai dengan kebutuhan klinis,
dalam dosis yang sesuai, selama periode waktu yang memadai, dan penggunaan
biaya terendah bagi pasien (Quick dkk., 1997). Dalam pengobatan rasional terkait
beberapa komponen, mulai dari diagnosis, pemilihan dan penentuan dosis obat,
penyediaan dan pelayanan obat, petunjuk pemakaian obat, bentuk sediaan yang
tepat, cara pengemasan, pemberian label, serta kepatuhan penggunaan obat oleh
penderita (Segeran, 2009).
Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin
terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari pemberian suatu obat.
Akibat yang dapat timbul dari penggunaan obat yang tidak rasional antara lain
berkurangnya kualitas pengobatan yang akhirnya dapat menyebabkan kenaikan
mortalitas dan morbiditas pasien, menyebabkan kenaikan biaya pengobatan,
meningkatkan resiko terjadinya efek yang tidak diinginkan seperti reaksi efek
samping obat dan resistensi obat (WHO, 1994).
Adjusment dosis atau penyesuaian dosis merupakan upaya intervensi untuk
mencapai pengobatan yang efektif. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan
dasar fungsi organ vital seperti ginjal ataupun hati. Hal ini karena hati dan ginjal
merupakan organ utama yang bertanggung jawab terhadap eliminasi dan
1
2
metabolisme obat – obatan dari dalam tubuh. Adanya gangguan terhadap fungsi
ginjal akan memerlukan penyesuaian dosis maupun interval pemberian dosis
untuk obat- obat yang diekskresikan melalui ginjal (Roger et al., 2009)
Gangguan ginjal merupakan penyakit progesif yang menjadi masalah
kesehatan global karena terjadi peningkatan penderita gangguan ginjal terutama
pada negara – negara industri. Gangguan ginjal termasuk silent killer yang
berkembang tanpa memberikan gejala sebagai tanda, pasien cenderung melakukan
pengobatan ketika telah mencapai stadium akhir penyakit ginjal tanpa disadari.
Prevalensi penyakit ginjal kronik antara populasi orang dewasa AS diperkirakan
sebanyak 13% (>25 juta orang dewasa) dan pasien dengan stadium akhir penyakit
ginjal meningkat dari 209.000 pada tahun 1991 menjadi 472.000 pada tahun 2004
(Munar dan Harleen, 2007).
Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya gangguan ginjal
yaitu nilai GFR (glomerular filtration rate) dan creatinin clearence. GFR
dinyatakan sebagai volume plasma yang disaring diseluruh glomerulus persatuan
waktu, berdasarkan jumlah aliran darah ginjal dan hemodinamik kapiler. Nilai
normal
untuk
GFR
yaitu
127±20/ml/menit/1,73
m2
pada
pria
dan
118±20/ml/menit/1,73 m2 pada wanita (Dipiro et al., 2008). Adanya peningkatan
serum kreatinin > 50 % diatas nilai normal, penurunan klirens kreatinin > 50 %
dan penurunan GFR ≤ 90 % menunjukkan adanya gangguan pada ginjal (Roger et
al., 2009). Nilai GFR dapat digunakan untuk memperkirakan keadaan dan tingkat
keparahan gangguan ginjal pada tubulus ginjal yang dapat berkembang menjadi
gagal ginjal. Laju filtrasi glomerulus dapat dihitung dengan persamaan
3
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan persamaan Cockcroft- Gault
dengan memperhatikan faktor jenis kelamin, berat badan, serum kreatinin, dan
body surface area (Jonhson et al., 2004)
Korelasi antara gangguan ginjal dan toksisitas obat pertama kali
dikemukakan oleh J.W Smith dkk, yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
adverse reaction
9% ketika BUN kurang dari 20 mg/dl. Jumlah obat yang
diberikan pada pasien akan mempengaruhi toksisitas obat itu sendiri (Anderson,
1989). Gangguan ginjal akan menyebabkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat – obat yang diekskresikan melalui ginjal tersebut (Shargel et
al., 2005). Gangguan ginjal dapat juga mempengaruhi beberapa sistem organ,
mengakibatkan perubahan respon terhadap obat yang diberikan meskipun
farmakokinetik obat tidak berubah (Roger et al., 2009). Dosis obat – obatan yang
diekskresikan secara primer oleh ginjal harus disesuaikan untuk masing – masing
individu. Obat – obatan dengan terapeutik sempit harus diberikan dengan
pengurangan dosis, contohnya adalah digoksin dan aminoglikosida sebanyak 50%
sebagai dosis awal (Aslam et al., 2003).
Gangguan ginjal baik itu karena proses menua atau penyakit, pemberian
obat – obatan perlu dilakukan dengan hati – hati. Pada gangguan ginjal kehatihatian ini mencakup pemilihan jenis obat ataupun dosisnya agar tidak membebani
kerja ginjal guna menghindari memburuknya kondisi ginjal pasien. Menurut
Bennett dan Swan (1992), akumulasi dan toksisitas bisa berkembang dengan cepat
jika dosis tidak disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pasien
dengan gangguan ginjal dapat menyebabkan perubahan absorpsi obat – obat
4
tertentu. Perubahan absorpsi obat dapat menyebabkan perubahan nilai AUC,
plasma clearence dan volume distribusi (Roger et al., 2009).
Kesalahan pemberian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal dapat
menyebabkan adverse effecs dan outcome terapi yang tidak maksimal, terutama
pada pasien geriatri memiliki risiko yang lebih tinggi dengan adanya penyakit
penyerta. Regimen dosis dapat dilakukan dengan pengaturan dosis pemeliharaan
dan interval dosis. Dosis pemeliharaan dapat dilakukan dengan pengurangan dosis
dan memperpanjang interval permberian dosis. Pengurangan setiap dosis tanpa
mengubah interval pemberian dosis dilakukan dengan monitoring konsentrasi obat
pada pasien. Penggunaan dosis normal dengan memperpanjang interval
pemberian dosis, memerlukan monitoring risiko kadar obat subterapeutik
menjelang akhir interval dosis (Munar dan Harleen, 2007).
Penyesuaian dosis sesuai dengan gangguan ginjal diindikasikan untuk
menghindari overdosis, memaksimalkan keberhasilan terapi, dan meminimalkan
efek samping obat (Soetikno et al., 2009). Dengan perhitungan nilai GFR dan
creatinin
clearence
dapat
ditentukan
adjustment
dosis
sehingga
dapat
menghindari underdose ataupun overdose. Monitoring terhadap pengobatan,
fungsi ginjal diperlukan selama pemberian terapi (Akbari et al., 2015). Selain itu,
penyesuaian regimen dosis pada pasien dengan gangguan ginjal dilakukan untuk
menghindari akumulasi yang berlebihan dari obat ataupun metabolit aktif yang
dapat mengakibatkan efek samping serius pada pasien dengan gangguan ginjal.
Tujuan dari adjustment dosis pada pasien gagal ginjal yaitu untuk
mempertahankan konsentrasi plasma dalam kondisi tunak dibandingkan dengan
5
pasien dengan fungsi ginjal normal (Roger et al., 2009). Regimen dosis
pemeliharaan obat pada gangguan ginjal diperlukan penyesuaian ketika serum
kreatinin menurun dibawah 30-40 ml/min. Selain itu, adanya adjustment dosis
dapat mendukung pelayanan farmasi klinis. Penyesuaian dosis dapat digunakan
sebagai upaya untuk menekan harga obat karena obat merupakan komponen
penting dalam upaya pelayanan kesehatan bahkan penggunaan obat dapat
mencapai 40 % dari seluruh biaya pelayanan kesehatan. Hasil penelitian dapat
digunakan untuk mengidentifikasi masalah penting yang terkait obat serta
menurunkan
kejadian
menyempurnakan
luaran
medication
klinis,
error,
memperbaiki
meningkatkan
efektivitas
peresepan,
biaya,
dan
mempersingkat lama tinggal di rumah sakit. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
peneliti merasa perlu melakukan penelitian adjustment dosis pada pasien dengan
gangguan ginjal. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit UGM karena merupakan
Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan
digunakan sebagai Rumah Sakit pendidikan untuk memperoleh ketrampilan klinis
bagi tenaga medis.
B. Rumusan Masalah
1. Obat apa sajakah yang membutuhkan adjustment dosis pada pasien dengan
gangguan ginjal dan berapa persentase pasien yang membutuhkan adjustment
dosis di Rumah Sakit UGM ?
2. Berapa besar efisiensi biaya yang dapat dihemat pada adjustment dosis pada
pasien dengan gangguan ginjal di Rumah Sakit UGM ?
6
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui obat apa saja yang digunakan dalam pengobatan pasien dengan
gangguan ginjal yang membutuhkan adjustment dosis dan mengetahui
persentase dari pasien dengan gangguan ginjal yang membutuhkan
adjustment dosis obat.
2.
Mengetahui efisiensi biaya yang dapat dihemat dengan aplikasi adjustment
dosis pada pasien dengan gangguan ginjal.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberikan
pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis, meliputi :
1.
Sebagai penyedia informasi atau data tambahan mengenai adjustment dosis
pada pasien dengan gangguan ginjal.
2.
Sebagai bahan evaluasi terhadap pemberian dosis obat – obatan pada pasien
dengan gangguan ginjal.
3.
Sebagai bahan acuan bagi rumah sakit untuk menyusun standar terapi dan
peningkatan mutu pelayanan medis khususnya pada pasien dengan gangguan
ginjal.
4.
Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya.
5.
Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti.
7
E. Telaah Pustaka
1.
Definisi Gangguan Ginjal
Ginjal merupakan organ yang melakukan fungsi vital sebagai pengatur
volume
dan
komposisi
kimia
darah
serta
lingkungan
tubuh
dengan
mengekskresikan solut dan air secara selektif. Jika kedua ginjal gagal melakukan
fungsinya, maka kematian akan terjadi dalam waktu 3 hingga 4 minggu. Fungsi
vital ginjal dilakukan dengan filtrasi plasma darah melalui glomerulus diikuti
dengan reabsorpsi sejumlah solut dan air. Sebagian air lainnya akan diekskresikan
keluar tubuh sebagai kemih melalui sistem pengumpul. Gangguan ginjal
merupakan suatu keadaan dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan
hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh
seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Pasien dapat
mengetahui gangguan pada ginjal dengan evaluasi medik secara rutin atau dengan
adanya tanda disfungsi renal seperti timbulnya hipertensi, edema, mual, dan
hematuria. Pendekatan awal jika terkena penyakit tersebut adalah mencari
penyebabnya dan mengukur seberapa besar abnormalitas ginjal (Dipiro et al.,
2008).
Riwayat penyakit dan uji fisik juga penting, karena variasi pada sindroma
renal. Tanda – tanda dan gejala yang spesifik dinilai setelah jenis penyakit pada
ginjal diketahui. Pengelolaan penyakit ginjal yang efektif hanya dapat
dimungkinkan apabila diagnosisnya benar. Oleh karena pada kebanyakan
gangguan ginjal tidak banyak keluhan atau kelainan yang spesifik, tidak semua
8
gangguan ginjal dapat dengan mudah ditegakkan diagnosisnya, sehingga sering
kali diperlukan anamnesis dan pemeriksaan yang mendalam (Watnick dan
Morrison, 2002)
2. Epidemiologi Gangguan Ginjal
Gangguan ginjal merupakan penyakit progesif yang menjadi masalah
kesehatan global karena terjadi peningkatan penderita gangguan ginjal terutama
pada negara – negara industri. Pada gagal ginjal akut diperkiraan prevalensi
penyakit 1-25% dan kematian mencapai 15-60%. Insiden gagal ginjal akut terus
meningkat antara 1988 dan 2003. Di rumah sakit USA prevalensi penderita
penyakit ginjal akut sekitar 2%. Namun, kejadian gagal ginjal akut pada pasien
dengan miokard infark akut menurun antara tahun 2000 dan 2008, meskipun
meningkatnya prevalensi faktor risiko, dan mungkin karena peningkatan
kesadaran masyarakat akan penyakit
dan semakin efektifnya pencegahan
(Lameire et al., 2013) .
Survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menyebutkan
bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi penyakit gagal ginjal
kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Menurut data PT
Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita gagal ginjal tahap akhir saat ini
menjalani pengobatan.
3.
Tanda dan Gejala Klinik Gangguan Ginjal
Tanda – tanda dari gangguan ginjal secara umum dapat tidak terlihat.
Pemeriksaan labolatorium dapat digunakan untuk mengetaui apakah tanda – tanda
9
tersebut mengarah pada gangguan ginjal. Gejala yang sering muncul yaitu urin
berkurang dibandingkan dengan normal. Terjadi bengkak di kaki, pergelangan,
tangan, dan muka karena ginjal tidak bisa membuang air yang berlebih, mudah
capek ataupun lemah dan sesak napas, akibat air mengumpul di paru-paru.
Keadaan ini sering disalah artikan sebagai asma atau kegagalan jantung
(Warianto, 2013). Pasien dapat mengalami edema, urin dapat berwarna atau
berbusa, sakit saat berkemih dan nyeri perut atau panggul yang parah.
4. Perjalanan Klinis Gangguan Fungsi Ginjal
Sebagian besar penyakit ginjal menyerang nefron, mengakibatkan
kehilangan kemampuannya untuk menyaring. Kerusakan pada nefron dapat terjadi
secara cepat, sering sebagai akibat pelukaan atau keracunan. Tetapi kebanyakan
penyakit ginjal merusak nefron secara perlahan. Kerusakan akan tampak setelah
beberapa tahun atau bahkan dasawarsa. Sebagian besar penyakit ginjal menyerang
kedua buah ginjal sekaligus. Gagal ginjal terminal terjadi bila fungsi ginjal sudah
sangat buruk, dan penderita mengalami gangguan metabolisme protein, lemak,
dan karbohidrat (Dipiro et al., 2008).
Ginjal yang mengalami gangguan tidak bisa menahan protein darah
(albumin) yang seharusnya tidak dilepaskan ke urin. Awalnya terdapat albumin
dalam jumlah sedikit (mikro-albuminuria) dalam urin. Bila jumlahnya semakin
parah akan terdapat pula protein lain (proteinuria). Berkurangnya fungsi ginjal
menyebabkan terjadinya penumpukan hasil pemecahan protein yang beracun bagi
tubuh, yaitu ureum dan nitrogen. Kemampuan ginjal menyaring darah dinilai
10
dengan perhitungan Laju Filtrasi Glomerulus atau Glomerular Filtration Rate
(GFR) (Dipiro et al., 2008).
Kemampuan fungsi ginjal tersebut dihitung dari kadar kreatinin
(creatinine) dan kadar nitrogen urea (blood urea nitrogen/BUN) didalam darah.
Kreatinin adalah hasil metabolisme sel otot yang terdapat didalam darah setelah
melakukan kegiatan, ginjal akan membuang kretinin dari darah ke urin. Bila
fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin di dalam darah akan meningkat. Kadar
kreatinin normal dalam darah adalah 0,6-1,2 mg/dL (Dipiro et al., 2008).
5. Klasifikasi Gangguan Ginjal
Berdasarkan guidelines FDA (Food and Drug Administration) nilai GFR
dapat digunakan untuk menentukan fungsi ginjal dan untuk klasifikasi pasien
dengan gangguan ginjal. Nilai GFR digunakan sebagai dasar klasifikasi karena
farmakokinetika obat akan berbeda antara pasien dengan gangguan ginjal dan
pasien dengan ginjal normal. Klasifikasi ini dibedakan menjadi lima tingkatan/
kelompok, yaitu :
a. Ginjal normal : clearence creatinin > 80 ml/min
b. Gangguan ginjal ringan : clearence creatinin 50 - 80 ml/min
c. Ganggua ginjal sedang : clearence creatinin 30 – 49 ml/min
d. Gangguan ginjal berat : clearence creatinin <30 ml/min
e. ESRD (End Stage Renal Diseases)
Secara umum gangguan ginjal diklasifkasikan berdasarkan adanya
kerusakan struktur ginjal dan penurunan fungsi ginjal (kecepatan filtrasi
ginjal/GFR). Gangguan ginjal dapat disebabkan oleh :
11
a. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut merupakan penurunan laju filtrasi glomerulus
yang umumnya terjadi selama beberapa jam, hari atau terkadang hingga
minggu. Gagal ginjal akut dikaitkan dengan adanya akumulasi produk
yang seharusnya diekskresikan seperi urea dan kreatinin. Penurunan fungsi
ginjal secara signifikan ini
berbeda dengan CKD (Chronic kidney
diseases) yang ditandai juga dengan adanya proteinuria dan albuminuria.
Pada gagal ginjal akut terjadi penurunan output urin dari keadaan normal.
Anuric (output urin <50 ml/hari), oliguri (output urin <500 ml/hari), atau
nonoliguri (output urin >500 ml/hari) (Dipiro et al., 2008). Terdapat tiga
kondisi yang dapat menyebabakan gagal ginjal akut yaitu prerenal, renal
dan pasca renal.
b. Gagal ginjal kronik
Gagal ginjal kronk merupakan penurunan fungsi ginjal secara
progesif yang terjadi selama beberapa bulan hingga beberapa tahun (Wells
et al.,2009). Menurut K/DOQI gagal ginjal kronik merupakan kerusakan
ginjal lebih dari 3 bulan, diperlihatkan dengan adanya abnormalitas
struktur atau fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan glomerular
filtration rate (GFR), dengan manifestasi klinik yaitu abnormalitas
patologi atau adanya marker kerusakan ginjal seperti abnormalitas
komposisi darah atau urin, atau abnormalitas pada imaging test (K/DOQI.,
2002).
12
Pada kasus gagal ginjal akut kondisi ginjal dapat dipulihkan
kembali, hal ini berbeda dengan kasus pada gagal ginjal kronik. Pada gagal
ginjal kronik penderita hanya dapat menghambat laju tingkat kegagalan
fungsi ginjal tersebut, agar tidak menjadi gagal ginjal terminal, suatu
kondisi dimana ginjal sudah hampir tidak dapat berfungsi lagi. Kondisi ini
berlangsung secara perlahan dan sifatnya menahun, dengan sedikit gejala
pada awalnya, pasien lebih sering tidak merasakan adanya gejala (Dipiro
et al., 2008).
c. Ketidak mampuan fungsi ginjal (renal insuficiency)
Tahap dimana racun seperti creatinin dan urea yang secara normal
diekskresikan oleh ginjal mulai terakumulasi, meskipun kadar elektrolit
masih dalam batas normal karena adaptasi homeostatik. Hal ini akan
berdampak pada ketidakseimbangan fungsi tubuh dan mengakibatkan
asidemia, penyakit tulang, dan perubahan kadar hormon seperti hormon
paratiroid (Marriot et al., 2003)
d. End Stage Renal Diseases (ESRD) atau gagal ginjal tahap akhir
Ditandai dengan uremia dan gejala gangguan gastrointestinal,
gangguan kulit dan gangguan syaraf (Marriot et al., 2003)
6. Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Ginjal
Sekitar dua-pertiga dari nekrosis tubular akut disebabkan oleh gangguan
ginjal dengan iskemia reperfusi atau sepsis, dan disebabkan oleh nefrotoksisitas
langsung atau tidak langsung. Perubahan tubular dan vaskular, bersamaan dengan
adanya peradangan interstitial dapat menurunkan laju filtrasi glomerular secara
13
ekstrim (Lameire et al., 2013). Gangguan ginjal secara akut dapat terjadi pada tiga
tempat yaitu pre renal, renal dan post renal. Pre renal dapat disebabkan oleh
dehidrasi karena kehilangan cairan, misalnya karena muntah-muntah, diare,
berkeringat banyak dan demam serta hipovolemia (volume darah yang kurang)
karena perdarahan yang hebat. Pemberian obat-obatan seperti diuretik yang
menyebabkan pengeluaran cairan berlebihan. Penyebab lain adalah gangguan
aliran darah ke ginjal yang disebabkan sumbatan pada pembuluh darah ginjal
(Dipiro et al., 2008).
Gangguan pada post renal dapat disebabkan oleh adanya sumbatan saluran
kemih (ureter atau kandung kencing) menyebabkan aliran urin berbalik arah ke
ginjal. Jika tekanan semakin tinggi maka dapat menyebabkan kerusakan ginjal
dan ginjal menjadi tidak berfungsi lagi dan menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
Pembesaran prostat atau kanker prostat dapat menghambat uretra
dan
menghambat pengosongan kandung kencing. Dengan terhambatnya proses
pengosongan kandung kemih ini akan bisa memicu terjadinya gagal ginjal. Tumor
di perut yang menekan serta batu ginjal yang dapat menyumbat ureter akan
mengakibatkan gangguan pada ginjal. Adanya infeksi saluran kemih (pielonefritis
kronis), penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif juga dapat
menyebabkan gagal ginjal kronis (Dipiro et al., 2008).
7. Manifestasi gangguan ginjal
Manifestasi klinis gangguan ginjal meliputi perubahan jumlah cairan dan
elektrolit, keseimbangan asam basa dan mineral, gangguan skeletal, anemia dan
koagulasi disorders, hipertensi, perubahan fungsi kardiovaskuler, gastrointestinal
14
disorder, komplikasi
neurologi
dan imunologi
disorder. Uremia
dapat
menggambarkan manifestasi klinis ESRD. Azotemia menunjukkan akumulasi
limbah nitrogen dalam darah dan dapat terjadi tanpa gejala (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi gagal ginjal ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Manifestasi Gagal Ginjal (Dipiro et al., 2008)
8. Faktor Resiko Gangguan Ginjal
Faktor resiko yang berkaitan dengan terjadinya gangguan ginjal antara lain
(Dipiro et al., 2008) :
a. Susceptibility merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya
gangguan ginjal. Hal ini meliputi usia, penurunan massa ginjal, berat
badan lahir rendah, riwayat keluarga, tingkat pendidikan dan ekonomi
rendah, inflamasi sintemik dan dyslipidemia.
15
b. Initiation merupakan faktor yang secara langsung menyebabkan kerusakan
ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat, meliputi diabetes,
hipertensi, glomerulonephritis, autoimun, penyakit ginjal polikistik, infeksi
saluran kemih, batu ginjal dan toksisitas obat.
c. Progession merupakan faktor resiko yang memperburuk kerusakan ginjal
yang meliputi glikemia, peningkatan tekanan darah, proteinuria, obesitas
dan merokok (Dipiro et al., 2008).
9. Adjusment dosis
Penyesuaian dosis sesuai dengan gangguan ginjal diindikasikan untuk
menghindari overdosis, memaksimalkan keberhasilan terapi, dan meminimalkan
efek samping obat (Soetikno et al., 2009). Selain itu, penyesuaian regimen dosis
pada pasien dengan gangguan ginjal dilakukan untuk menghindari akumulasi
yang berlebihan dari obat ataupun metabolit aktif yang dapat mengakibatkan efek
samping serius pada pasien dengan gangguan ginjal. Regimen dosis dapat
dilakukan dengan menyesuaikan dosis pemeliharaan dan interval dosis. Tujuan
dari penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal yaitu untuk mempertahankan
konsentrasi plasma dalam kondisi tunak dibandingkan dengan pasien dengan
fungsi ginjal normal (Roger et al., 2009). Golongan obat yang dperkirakan
memerlukan adjustment dosis pada pasien dengan gangguan ginjal :
a. Antihipertensi
Thiazide diuretic merupakan first line untuk terapi uncomplicated
hypertension, namun tidak direkomendasikan jika serum kreatinin diatas
2,5 mg/dl atau jika creatinin clearence kurang dari 30 ml/min. Loop
16
diuretic umumnya digunakan pada pasien uncomplicated hypertension
dengan gangguan ginjal kronik. Kombinasi dengan aldosteron blokers
dapat menurunkan mortalitas pada pasien dengan gangguan hati berat,
namun pada pasien dengan gangguan ginjal berat perlu dihindari
kombinasi tersebut karena dapat meningkatkan serum potassium yang
biasanya menyertai gangguan ginjal. ACEI dan ARBs merupakan first line
pada hipertensi dengan DM type I dan II, proteiuria maupun pada stage
awal gangguan ginjal kronik. ACEI dan ARBs akan menghambat sistem
Renin-Angiotensin-Aldosteron pada pasien dengan gangguan ginjal
kronik. Pada pasien dengan serum kreatinin normal dapat menyebabkan
dilatasi arteriolar efferent. Hal ini dapat menyebabkan penurunan GFR
secara signifikan 15%. Pemakaian jangka panjang sebagai renoprotective
dan cardioprotective, memerlukan titrasi dosis dan monitoring fungsi
ginjal (Munar dan Harleen, 2007).
b. Antidiabetes
Metformin diekskresikan melalui ginjal 90-100%, penggunaannya
tidak dianjurkan ketika serum kreatinin lebih dari 1,5mg/dl pada pria dan
1,4mg/dl pada wanita dan pada pasien geriatri dengan gangguan ginjal
kronik. Pemakaian metformin pada pasien dengan gangguan ginjal dengan
kondisi hypoksemia seperti infark miokard akut, sepsis, penyakit hati dan
pernafasan, akan meningkatkan risiko asidosis laktat. Pemakaian
metformin pada pasien dengan gangguan ginjal perlu titrasi dosis dan
dimulai dengan dosis rendah, monitoring respon pasien dan toleransi.
17
Metformin tidak dianjurkan pada pasien dengan resiko tinggi asidosis
laktat. Golongan sulfonilurea perlu dihindari pada pasien dengan gagal
ginjal kronik stage 3-5 karena dapat menyebabkan hypoglikemia.
Glipizide tidak memiliki metabolit aktif dan aman untuk pasien dengan
gangguan ginjal (Munar dan Harleen, 2007).
c. Antibiotik
Banyak
antibiotik
yang
dieliminasi
melalui
ginjal
dan
membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal.
Pada pasien dengan gagal ginjal penyesuaian dosis direkomendasikan
untuk antibiotika tertentu seperti seftriakson, sefoperason, turunan
penisilin, aminoglikosida, vancomisin, asiklovir dan gansiclovir (Quan.,
2008). Kadar penisilin injeksi yang berlebihan dapat menyebabkan
toksisitas neuromuskuler, mioklonus, kejang hingga koma. Imipenem
dapat terakumilasi pada pasien dengan gangguan ginjal kronik sehingga
menyebabkan kejang apabila dosis tidak dikurangi. Golongan tetrasiklin
kecuali doksisiklin bersifat antianabolik yang efeknya diperkirakan secara
signifikan memperburuk uremia pada pasien dengan penyakit berat.
Nitrofurantoin memiliki metabolit beracun yang akan terakumulasi pada
pasien dengan gagal ginjal kronik dan dapat menyebabkan periperal
neuritis. Aminoglikosida perlu dihindari pada pasien dengan gagal ginjal
kronik. Apabila digunakan, dosis awal harus didasarkan pada nilai GFR
dan perlu monitorng fungsi ginjal dan konsentrasi obat harus dimonitoring
dan dosis disesuaikan (Munar dan Harleen, 2007).
18
d. Analgesik
Pasien dengan stadium 5 pada gagal ginjal mugkin mengalami efek
samping dari opioid yang digunakan. Metabolit dari meperidine,
dektropropoksifen, morfin, tramadol dan kodein dapat terakumulasi pada
pasien dengan gagal ginjal kronis sehingga dapat menyebabkan
terganggunya sistem saraf pusat dan pernafasan. Obat tersebut tidak
dianjurkan pada pasien dengan gagal ginjal stadium 4-5. Morfin dan
kodein dapat digunakan pada pasien dengan clearence creatinin kurang
dari 50 ml per menit dengan pengurangan dosis 50 hingga 75%. Tramadol
sustained release harus dihindari pada pasien dengan gagal ginjal kronik.
Interval penggunaan tramadol reguler perlu ditingkatkan menjadi setiap 12
jam pada pasien dengan clearence creatinin kurang dari 30 ml permenit.
Acetaminophen dapat digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal
(Munar dan Harleen, 2007).
e. NSAID
Adverse renal effects dari NSAID pada gagal ginjal akut yaitu
sindrom nefrotik dengan nefritis intestitial dan pada gagal ginjal kronik
dapat berupa gagal ginjal akut, sindrom nefrotik dengan nefritis
intertestitial dan efek pada gastrointestinal. Penggunaan jangka pendek
NSAID umumnya aman pada pasien yang terhidrasi baik, yang memiliki
fungsi ginjal yang baik, tidak memiliki gagal jantung, diabetes
atau
hipertensi. Penggunaan jangka panjang dan dosis harian yang tinggi pada
COX-2 inhibitor dan NSAID lainnya harus dihindari. Pasien dengan resiko
19
tinggi NSAID-induced pada pasien gangguan ginjal harus menerima
pengukuran serum kreatinin setiap dua hingga empat minggu selama
beberapa minggu setelah inisiasi (Munar dan Harleen, 2007).
f. Obat lainnya
Penyesuaian dosis juga dilakukan untuk obat golongan statin dan
obat yang diresepkan lainnya pada pasien dengan gangguan ginjal. Terapi
penggunaan herbal, beberapa diperkirakan dapat menimbulkan risiko pada
pasien dengan gagal ginjal akut. St John Wort dan ginkgo akan
mempercepat
metabolisme banyak obat,
dan menyebabkan efek
farmakologis berkurang. Ginkgo juga dapat menyebabkan peningkatan
risiko perdarahan
pada pasien yang menggunakan aspirin, ibuprofen,
warfarin. Beberapa produk herbal seperti dandelion dan jus noni
mengandung kalium yang dapat menyebabkan hiperkalemia. Beberapa
diperkirakan mengandung logam berat yang beracun bagi ginjal, atau
epedra yang dapat menyebabkan vasokontriksi pada pasien dengan
hipertensi. Obat – obat China
yang mengandung asam aristolothic
(umumnya digunakan dalam regimen penurunan berat badan) bersifat
nefrotoksik dan dapat menyebabkan gagal ginjal stadium 3-5 (Munar dan
Harleen, 2007). Daftar obat yang membutuhkan adjustment dosis
tercantum pada Tabel 1.
20
Tabel I. Contoh obat yang membutuhkan adjustment dosis (Munar dan Harleen, 2007).
Obat
Dosis lazim
Adjustment dose berdasarkan nilai GFR
>50
1.
2.
Antihipertensi
a. Captopril
b. Lisinopril
c. Atenolol
d. Bisoprolol
e. Amiloride
f. Thiazid
10 - 50
< 10
25 mg setiap 8 jam
100%
75%
50%
5-10 mg/hari
100%
50-75%
25-50%
5-100 mg/hari
100%
50%
25%
10 mg/hari
100%
75%
50%
5 mg/hari
100%
50%
Hindari
25-50 mg/hari
100%
100%
Hindari
Max 50-100 mg/3x
sehari
Pada pasien dengan serum creatinie >2mg/dL harus
dihindari.
5 mg/hari
Adjustment dosis tidak terlalu diperlukan.
500 mg/ 12-24 jam
Hindari jika serum creatinine >1,5 mg/dL, perlu
monitoring penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal.
Antidiabetes
a. Acarbose
b. Glipizide
c. Metformin
d. chlopropamide
100-500 mg/ hari
3.
Antimikroba
a. Fluconazole
b. Acyclovir
Hindari pada pasien dengan GFR <50,dapat
meningkatkan resiko hypoglikemia.
200-400/24 jam
100%
50%
50%
5-100 mg/kg/8 jam
100%
100%/12-24
jam
50%/12-24 jam
c.
d.
Imipenem
Meropenem
e.
Cefadroxil
0,25-1 g/6 jam
100%
f.
g.
h.
Cefixime
Amoxicillin
Ciprofloxacin
1-2 g/8 jam
100%
25%
50%/ 24 jam
50%
(GFR <20)
50%/12 jam
50%/ 36 jam
0,5-1 g/12 jam
100%
50-100%/
12-24 jam
50%
21
i.
Tetrasisiklin
200 mg/12 jam
100%
75%
100%/ 24 jam
j.
Sulfamethoxazol
e
250-500/ 8 jam
100%
100%/ 8-12
jam
50%
400 mg IV, 500-750
mg oral/ 12 jam
100%
50-75%
100%/ 24 jam
250-500 mg (2-4x)/hari
1 g/ 8-12 jam
100%/ 8-12
jam
100%/ 12-24
jam
100%/ 24 jam
100%/ 12 jam
100%/ 18
jam
4.
Statin
a. Simvastatin
10-20 mg/hari; max 80
mg/hari
b.
Atorvastatin
c.
Lovastatin
Tidak dibutuhkan adjustment.
10 mg/hari; max 80
mg/hari
20-40 mg/hari; max 80
mg/hari (immediate
release), 60 mg/hari
(extended release)
5.
Lainnya
a. Allopurinol
b. Ranitidine
Direkomendasikan mulai dengan dosis 5 mg/hari
pada pasien dengan GFR kurang dari 10.
Penggunaan perlu monitoring pada pasien dengan
GFR kurang dari 30
300 mg/hari
75%
50%
25%
150-300 mg
75%
50%
25%
10. Metode Adjustment dosis
Terjadinya penurunan fungsi ginjal dapat mengubah konsentrasi obat
dalam plasma dan pada jaringan target sehingga mempengaruhi efikasi dan
toksisitas. Seringkali pasien dengan kondisi ini menjadi lebih peka terhadap
beberapa obat sehingga terjadi peningkatan efek samping dengan atau tanpa
22
penyesuaian dosis (Quan dan Aweeka, 2005). Ada beberapa metode adjustment
dosis obat, yaitu :
a. Metode variasi frekuensi (atau interval). Dosis individu sama pada pasien
dengan fungsi ginjal normal, tetapi diberikan dengan interval pemberian
yang lebih jarang.
b. Metode variasi dosis. Interval pemberian dosis sama dengan pasien dengan
fungsi ginjal normal, tetapi dosis dikurangi. Satu dosis dirancang untuk
mencapai konsentrasi tunak obat yang sama pada pasien dengan fungsi
ginjal normal, dosis alternative untuk mencapai konsentrasi puncak yang
sama.
c. Metode Kunin. Separuh dosis yang digunakan untuk pasien dengan fungsi
ginjal normal diberikan setiap waktu paruh.
d. Metode kombinasi. Melakuan perubahan baik pada interval pemberian
maupun dosis individual (Brater dan Hall., 2000).
F. Landasan Teori
Gangguan ginjal akan menyebabkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat – obat yang diekskresikan melalui ginjal tersebut (Shargel et
al., 2005) . Gangguan ginjal dapat juga mempengaruhi beberapa sistem organ
yang mengakibatkan perubahan respon terhadap obat yang diberikan meskipun
farmakokinetik obat tidak berubah. Dosis obat – obatan yang diekskresikan secara
primer oleh ginjal harus disesuaikan untuk masing – masing individu. Obat –
obatan dengan terapeutik sempit harus diberikan dengan pengurangan dosis,
23
contohnya adalah digoksin dan aminoglikosida yang memerlukan pengurangan
dosis sebanyak 50% sebagai dosis awal (Aslam et al., 2003).
Adanya gangguan ginjal baik itu karena proses menua atau penyakit, maka
pemberian obat – obatan perlu dilakukan dengan hati – hati. Kehati-hatian ini
mencakup pemilihan jenis obat ataupun dosisnya agar tidak membebani kerja
ginjal guna menghindari memburuknya kondisi ginjal pasien. Menurut Bennett
dan Swan (1992), akumulasi dan toksisitas bisa berkembang dengan cepat jika
toksisitas tidak disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Penyesuaian dosis sesuai dengan gangguan ginjal diindikasikan untuk
menghindari overdosis, memaksimalkan keberhasilan terapi, dan meminimalkan
efek samping obat (Soetikno et al., 2009).
Dengan perhitungan nilai GFR dan creatinin clearence dapat ditentukan
adjustment dosis sehingga dapat menghindari underdose ataupun overdose.
Tujuan
dari
adjustment
dosis
pada
pasien
gagal
ginjal
yaitu
untuk
mempertahankan konsentrasi plasma dalam kondisi tunak dibandingkan dengan
pasien dengan fungsi ginjal normal (Roger et al., 2009). Strategi adjustment dosis
atau penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu dalam terapi
obat individu dan dapat mencegah penurunan kualitas hidup pasien lebih lanjut
(Falconnier et al.,2001).
Selain itu, dengan adanya adjustment dosis dapat meningkatkan efisiensi
biaya pengobatan. Penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan ginjal
umumnya belum dilakukan, sehingga biaya pengobatan menjadi lebih tinggi.
Adjustment dosis dapat dilakukan penurunan dosis yang diberikan maupun
24
pengurangan frekuensi pemberian dosis sehingga akan mengurangi biaya
pengobatan. Adjustment dosis dilakukan untuk meningkatkan efektifitas terapi dan
meningkatkan efisiensi biaya pengobatan yang dapat dihemat oleh pasien.
G. Keterangan Empiris
Dari penelitian diharapkan dapat diambil informasi mengenai penggunaan
obat – obat yang membutuhkan adjustment dosis dan persentase pasien yang
membutuhkan adjustment dosis di Rumah Sakit UGM. Penelitian ini juga dapat
melihat gambaran efisiensi biaya pengobatan pada pasien dengan gangguan ginjal
di Rumah Sakit UGM apabila dilakukan adjustment dosis.
Download