momen, kemiringan dan keruncingan, distribusi normal, distribusi t

advertisement
MOMEN, KEMIRINGAN DAN KERUNCINGAN, DISTRIBUSI NORMAL,
DISTRIBUSI T, DISTRIBUSI F, DISTRIBUSI BINOMIAL, DISTRIBUSI POISSON,
UJI NORMALITAS DAN HOMOGENITAS, UJI F DAN t, HIPOTESIS, DAN ANOVA
Makalah
Sebagai Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah
ANALISIS STATISTIK
Oleh:
1. Trilius Septaliana KR
(20102512011)
2. Aisyah (20102512023)
DOSEN PENGASUH :
Dr. Ratu Ilma I.P.,M.Si
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2011
BAB 6
MOMEN, KEMENCENGAN DAN KURTOSIS
1. PENDAHULUAN
Rata-rata dan varians sebenarnya merupakan hal istimewa dari kelompok ukuran
lain yang disebut momen. Dari momen ini pula beberapa ukuran lain dapat diturunkan.
Bentuk-bentuk sederhana dari momen dan ukuran-ukuran yang didapat daripadanya
akan diuraikan di dalam bab ini.
2. MOMEN
Misalkan diberikan variable x dengan harga-harga: x1, x2, …., xn. Jika A =
sebuah bilangan tetap dan r = 0, 1, 2, ……., n, maka momen ke-r sekitar A, disingkat
mr, didefinisikan oleh hubungan:
(1) ……………………………

=
)
Σ(
Untuk A = 0 didapat momen ke-r sekitar nol atau disingkat momen ke-r:
− =
(2) ……………………………
Dari rumus (2), maka untuk r = 1 didapat rata-rata ̅ . Jika A = ̅ kita peroleh
momen ke-r sekitar rata-rata, biasa disingkat dengan mr. Jadi didapat:
(3) …………………………...
=
(
̅)
Untuk r = 2, rumus (3) memberikan varians s2.
Untuk membedakan apakah momen itu untuk sampel atau untuk populasi, maka
dipakai simbul:
mr dan mr untuk momen sampel dan r dan r untuk momen populasi.
Jadi, mr dan mr adalah statistik sedangkan r dan r merupakan parameter.
Jika data telah disusun dalam daftar distribusi frekuensi, maka rumus-rumus di
atas berturut-turut berbentuk:
(4) ………………………..
=
Σ (
− =
(5) ………………………..
(6) ………………………..
)
=
(
̅)
dengan n = fi, xi = tanda kelas interval dan fi = frekuensi yang sesuai dengan xi.
Dengan menggunakan cara sandi, rumus 4 menjadi:
=
(7) ………………………
dengan, p = panjang kelas interval,
Dari
ci = variable sandi.
, harga-harga mr untuk beberapa harga r, dapat ditentukan berdasarkan
hubungan:
=
− (
)
=
− 3
+ 2(
)
=
−4
+ 6(
)
− 3(
)
Contoh: Untuk menghitung empat buah momen sekitar rata-rata untuk data dalam daftar
distribusi frekuensi, kita lakukan sebagai berikut.
DATA
fi
ci
fici
60 – 62
5
-2
-10
20
-40
80
63 – 65
18
-1
-18
18
-18
18
66 – 68
42
0
0
0
0
0
69 – 71
27
1
27
27
27
27
72 - 74
8
2
16
32
64
128
Jumlah
100
-
15
97
33
253
Dengan menggunakan rumus (7), maka:
=
=3
=
=3
= 0,45
= 8,91
=
=3
= 8,73
=
=3
= 204,93
Sehingga dengan menggunakan hubungan di atas:
=
− (
) = 8,73 − (0,45) = 8,53.
=
− 3
+ 2(
) = 8,91 − 3(0,45)(8,73) + 2(0,45) = −2,69
=
−4
+ 6(
)
− 3(
)
= 204,93 − 4(0,45)(8,91) + 6(0,45) (8,73) − 3(0,45) = 199,38
Dari hasil ini, didapat varians s2 = m2 = 8,53.
3. KEMENCENGAN
Kemencengan atau kecondongan (skewness) adalah tingkat ketidaksimetrisan
atau kejauhan simetri dari sebuah distribusi. Sebuah distribusi yang tidak simetris akan
memiliki rata-rata, median, dan modus yang tidak sama besarnya ( ≠ Me ≠ Mo),
sehingga distribusi akan terkonsentrasi pada salah satu sisi dan kurvanya akan menceng.
Jika distribusi memiliki ekor yang lebih panjang ke kanan daripada yang ke kiri
maka distribusi disebut menceng ke kanan atau memiliki kemencengan positif.
Sebaliknya, jika distribusi memiliki ekor yang lebih panjang ke kiri daripada yang ke
kanan maka distribusi disebut menceng ke kiri atau memiliki kemencengan negatif.
Berikut ini gambar kurva dari distribusi yang menceng ke kanan (menceng
positif) dan menceng ke kiri (menceng negatif).
Mo
Gambar a
Mo
Gambar b
Gambar 1
Kemencengan Distribusi (a) Menceng ke kanan (b) Menceng ke kiri
Untuk mengetahui bahwa konsentrasi distribusi menceng ke kanan atau
menceng ke kiri, dapat digunakan metode-metode berikut :
1.
Koefisien Kemencengan Pearson
Koefisien Kemencengan Pearson merupakan nilai selisih rata-rata dengan modus
dibagi simpangan baku. Koefisien Kemencengan Pearson dirumuskan sebagai berikut:
=
−
Keterangan :
sk = koefisien kemencengan Pearson
Apabila secara empiris didapatkan hubungan antar nilai pusat sebagai :
−
= 3( −
)
Maka rumus kemencengan di atas dapat diubah menjadi :
=
3( −
)
Jika nilai sk dihubungkan dengan keadaan kurva maka :
1) sk = 0
kurva memiliki bentuk simetris;
2) sk> 0
nilai-nilai terkonsentrasi pada sisi sebelah kanan ( terletak di sebelah
kanan Mo), sehingga kurva memiliki ekor memanjang ke kanan, kurva
menceng ke kanan atau menceng positif;
3) sk< 0
nilai-nilai terkonsentrasi pada sisi sebelah kiri ( terletak di sebelah kiri
Mo), sehingga kurva memiliki ekor memanjang ke kiri, kurva menceng
ke kiri atau menceng negatif.
Contoh soal :
Berikut ini adalah data nilai ujian statistik dari 40 mahasiswa sebuah universitas.
Nilai Ujian Statistika pada Semester 2, 2010
Nilai Ujian
Frekuensi
31 – 40
4
41 – 50
3
51 – 60
5
61 – 70
8
71 – 80
11
81 – 90
7
91 – 100
2
Jumlah
40
a) Tentukan nilai sk dan ujilah arah kemencengannya (gunakan kedua rumus tersebut) !
b) Gambarlah kurvanya !
Penyelesaian:
Nilai
X
f
u
u2
fu
fu2
31 – 40
35,5
4
-4
16
-16
64
41 – 50
45,5
3
-3
9
-9
27
51 – 60
55,5
5
-2
4
-10
20
61 – 70
65,5
8
-1
1
-8
8
71 – 80
75,5
11
0
0
0
0
81 – 90
85,5
7
1
1
7
7
91 – 100
95,5
2
2
4
4
8
-32
134
Jumlah
40
=
∑
=
a.
∑
∑
+
−
∑
=
)
=
+
= 70,5 +
.
+
,
=
134
−32
−
40
40
= 10
1
− (∑
+2
=
−32
= 75,5 − 8 = 67,5
40
= 75,5 + 10
1
(40) − 12
= 60,5 + 2
. 10 = 60,5 + 10 = 70,5
8
.
,
,
= 10 (1,62) = 16,2
4
. 10 = 70,5 + 4,44 = 74,94
4+5
= −0,46
Oleh karena nilai sk-nya negatif (-0,46) maka kurvanya menceng ke kiri atau
menceng negatif.
b. Gambar kurvanya :
Kurva nilai ujian statistik
12
10
8
6
4
2
0
35
45
56
66
76
86
96
Gambar 2
Kurva menceng ke kiri
2.
Koefisien Kemencengan Bowley
Koefisien kemencengan Bowley berdasarkan pada hubungan kuartil-kuartil (Q1,
Q2 dan Q3) dari sebuah distribusi. Koefisien kemencengan Bowley dirumuskan :
=
(
(
)−(
)+(
−
−
−
−
)
)
atau
=
Keterangan : skB
=
−2 +
−
koefisien kemencengan Bowley;
Q = kuartil
Koefisien kemencengan Bowley sering juga disebut Kuartil Koefisien
Kemencengan.Apabila nilai skB dihubungkan dengan keadaan kurva, didapatkan :
1) Jika Q3 – Q2 > Q2 – Q1 maka distribusi akan menceng ke kanan atau menceng secara
positif.
2) Jika Q3 – Q2 < Q2 – Q1 maka distribusi akan menceng ke kiri atau menceng secara
negatif.
3) skB positif, berarti distribusi mencengke kanan.
4) skB negatif, nerarti distribusi menceng ke kiri.
5) skB = ± 0,10 menggambarkan distribusi yang menceng tidak berarti dan skB> 0,30
menggambarkan kurva yang menceng berarti.
Contoh soal :
Tentukan kemencengan kurva dari distribusi frekuensi berikut :
Nilai Ujian Matematika Dasar I dari 111 mahasiswa, 1997
Nilai Ujian
Frekuensi
20,00 – 29,99
4
30,00 – 39,99
9
40,00 – 49,99
25
50,00 – 59,99
40
60,00 – 69,99
28
70,00 – 79,99
5
Jumlah
111
Penyelesaian :
Kelas Q1 = kelas ke -3
=
1
− (∑ )
+4
.
= 39,995 +
27,75 − 13
. 10 = 45,895
25
= 49,995 +
55,5 − 38
. 10 = 54,37
40
= 59,995 +
83,25 − 78
. 10 = 61,87
28
Kelas Q2 = kelas ke -4
=
1
− (∑
+2
)
.
Kelas Q3 = kelas ke -5
=
3
− (∑ )
+4
.
=
−2 +
−
=
61,87 − 2(54,37) + 45,895
= −0,06
61,87 − 45,895
Karena skB negatif (=−0,06) maka kurva menceng ke kiri dengan kemencengan
yang berarti.
3.
Koefisien Kemencengan Persentil
Koefisien Kemencengan Persentil didasarkan atas hubungan antar persentil (P90,
P50 dan P10) dari sebuah distribusi. Koefisien Kemencengan Persentil dirumuskan :
=
(
−
)−(
−
−
)
Keterangan :
skP = koefisien kemecengan persentil , P = persentil
4.
Keofisien Kemencengan Momen
Koefisien Kemencengan Momen didasarkan pada perbandingan momen ke-3
dengan pangkat tiga simpang baku. Koefisien menencengan momen dilambangkan
dengan α3. Koefisien kemencengan momen disebut juga kemencengan relatif.
Apabila nilai α3dihubungkan dengan keadaan kurva, didapatkan :
1) Untuk distribusi simetris (normal), nilai α3= 0,
2) Untuk distribusi menceng ke kanan, nilai α3 = positif,
3) Untuk distribusi menceng ke kiri, nilai α3= negatif,
4) Menurut Karl Pearson, distribusi yang memiliki nilai α3> ±0,50 adalah distribusi
yang sangat menceng
5) Menurut Kenney dan Keeping, nilai α3 bervariasi antara ± 2 bagi distribusi yang
menceng.
Untuk mencari nilaiα3, dibedakan antara data tunggal dan data berkelompok.
a. Untuk data tunggal
Koefisien Kemencengan Momen untuk data tunggal dirumuskan :
=
α3 = koefisien kemencengan momen
1
∑( − )
=2
b. Untuk data berkelompok
Koefisien kemencengan momen untuk data berkelompok dirumuskan :
=
1
∑( − )
=2
atau
=
=
∑
−3
∑
∑
+2
∑
dalam pemakaiannya, rumus kedua lebih praktis dan lebih mudah perhitungannya.
5. KERUNCINGAN ATAU KURTOSIS
Keruncingan atau kurrtosis adalah tingkat kepuncakan dari sebuah distribusi yang
biasanya diambil secararelatif terhadap suatu distribusi normal.
Berdasarkan keruncingannya, kurva distribusi dapat dibedakan atas tiga macam,
yaitu sebagai berikut :
1) Leptokurtik
Merupakan distribusi yang memiliki puncak relatif tinggi.
2) Platikurtik
Merupakan distribusi yang memiliki puncak hampir mendatar
3) Mesokurtik
Merupakan distribusi yang memiliki puncak tidak tinggi dan tidak mendatar
Bila distribusi merupakan distribusi simetris maka distribusi mesokurtik dianggap
sebagai distribusi normal.
leptokurtik
mesokurtik
platikurtik
Gambar 3. Keruncingan Kurva
Untuk mengetahui keruncingan suatu distribusi, ukuran yang sering digunakan
adalah koefisien kurtosis persentil.
1.
Koefisien keruncingan
Koefisien keruncingan atau koefisien kurtosis dilambangkan dengan4 (alpha 4).
Jika hasil perhitungan koefisien keruncingan diperoleh :
1) Nilai lebih kecil dari 3, maka distribusinya adalah distribusi pletikurtik
2) Nilai lebih besar dari 3, maka distibusinya adalah distribusi leptokurtik
3) Nilai yang sama dengan 3, maka distribusinya adalah distribusi mesokurtik
Untuk mencari nilai koefisien keruncingan, dibedakan antara data tunggal dan
data kelompok.
a. Untuk data tunggal
1
∝ =
∑( − )
Contoh soal:
Tentukan keruncingan kurva dari data 2, 3, 6, 8, 11 !
Penyelesaian :
= 6; s = 3,67
-
1
∝ =
∑( − )
(
−
2
-4
256
3
-3
81
6
0
0
8
2
16
11
5
625
Jumlah
0
978
)
1
978
195,6
= 5
=
= 1,08
(3,67)
181,4
Karena nilainya 1,08 (lebih kecil dari 3) maka distribusinya adalah distribusi platikurtik.
b. Untuk data kelompok
1
∝ =
∑( − )
atau
∝ =
2.
∑
−4
∑
∑
+6
∑
∑
−3
∑
Koefisien Kurtosis Persentil
Koefisien Kurtosis Persentil dilambangkan dengan K (kappa). Untuk distribusi
normal, nilai K = 0,263. Koefisien Kurtosis Persentil, dirumuskan :
1
(
=2
−
)
−
Contoh soal :
Berikut ini disajikan tabel distribusi frekuensi dari tinggi 100 mahasiswa
universitas XYZ.
a. Tentukan koefisien kurtosis persentil (K) !
b. Apakah distribusinya termasuk distribusi normal !
Tinggi Mahasiswa Universitas XYZ
Tinggi (inci)
frekuensi (f)
60 – 62
5
63 – 65
18
66 – 68
42
69 – 71
27
72 - 74
8
Jumlah
100
Penyelesaian :
 Kelas Q1 = kelas ke-3
=
1.
− (∑ )
+ 4
.
1.100
− 23
= 65,5 + 4
. 3 = 65,64
42
 Kelas Q3 = kelas ke-4
=
3.
− (∑
+ 4
)
3.100
− 65
= 68,5 + 4
. 3 = 69,61
27
.
 Kelas P10 = kelas ke-2
10.
− (∑
+ 100
=
.
10.100
−5
= 62,5 + 100
. 3 = 63,33
18
.
90.100
− 65
= 68,5 + 100
. 3 = 71,28
27
)
 Kelas P90 = kelas ke-4
90.
− (∑
+ 100
=
)
Koefisien kurtosis persentil (K) adalah :
1
(
=2
−
−
)
1
(69,61 − 65,64)
=2
= 0,25
71,28 − 63,33
Karena nilai K = 0,25 (K<0,263) maka distribusinya bukan distribusi normal.
BAB 7
DISTRIBUSI NORMAL
Distribusi normal adalah distribusi dengan variabel acak kontinu atau sering
disebut distribusi Gauss. Jika variabel acak kontinu X mempunyai fungsi densitas pada
X = x dengan persamaan :
( )=
1
(
)
√2
dengan : π = nilai konstan yang bila ditulis dengan 4 desimal π = 3,1416
e = bilangan konstan, bila ditulis hingga 4 desimal, e = 2,7183.
µ = parameter, ternyata merupakan rata-rata untuk distribusi.
σ = parameter, merupakan simpangan baku untuk distribusi.
Nilai x mempunyai batas - ∞ < x < ∞, maka dikatakan bahwa variabel acak X
berdistribusi normal. Sifat-sifat penting distribusi normal :
1) Grafiknya selalu ada di atas sumbu datar X.
2) Bentuknya simetris terhadap x = µ.
3) Mempunyai satu modus, jadi kurva normal, tercapai pada x = µ sebesar
,
.
4) Grafiknya mendekati (berasimtotkan) sumbu datar x dimulai dari x = µ + 3σ ke
kanan dan x = µ - 3σ ke kiri.
5) Luas daerah grafik selalu sama dengan satu unit persegi.
Untuk setiap pasang µ dan σ, sifat-sifat di atas akan selalu dipenuhi, hanya
bentuk kurvanya saja yang berlainan. Jika σ makin besar, kurvanya makin rendah
(platikurtik) dan untuk σ makin kecil, kurvanya makin tinggi (leptokurtik).
(A)
(B)
(A) kurva normal dengan µ = 10 dan σ = 5, sedangkan (B) kurva normal dengan µ = 20
dan σ = 7.
Untuk menentukan peluang harga X antara a dan b, yakni P(a<X<b), digunakan
rumus:
( <
< )=
(
/ (
2 )
)
Distribusi normal standar ialah distribusi dengan rata-rata µ = 0 dan simpangan baku σ
= 1. Fungsi densitasnya berbentuk :
( )=−
1
/
√2
Untuk z dalam daerah - ∞ < z < ∞.
Untuk menentukan distribusi normal baku dapat menggunakan transformasi :
= −
−
Grafiknya dapat dilihat seperti berikut ini :
Normal Umum
µ-3σ µ-2σ µ-σ µ µ+σ µ+2σ µ+3σ
rata-rata = µ ≠ 0
Simpangan baku = σ ≠ 1
Normal Standar
-3
-2
-1
0 1 2 3
rata-rata = 0
σ=1
Setelah didapatkan formasi distribusi normal baku dari distribusi normal umum
dari rumus
= −
maka daftar distribusi normal dapat digunakan. Dengan daftar
ini bagian-bagian luas dari distribusi normal baku dapat dicari dengan cara :
1) Hitung z sehingga dua desimal.
2) Gambarkan kurvanya seperti gambar sebelah kanan pada gambar di atas.
3) Letakkan harga z pada sumbu datar, lalu tarik garis vertikal hingga memotong kurva.
4) Luas yang tertera dalam daftar adalah luas daerah antara garis ini dengan garis tegak
di titik nol.
5) Dalam daftar, cari tempat harga z pada kolom paling kiri hanya hingga satu desimal
keduanya dicari pada baris paling atas.
6) Dari z di kolom kiri maju ke kanan dan dari z di baris atas turun ke bawah, maka
didapat bilangan yang merupakan luas yang dicari. Bilangan yang didapat harus
ditulis dalam bentuk 0,xxxx (bentuk 4 desimal).
Karena seluruh luas = 1 dan kurva simetrik terhadap µ = 0, maka luas dari garis
tegak pada titik nol ke kiri ataupun ke kanan adalah 0,5.
Beberapa contoh, penggunaan daftar normal baku.
Akan dicari luas daerah :
1) Antara z = 0 dan z = 2,15.
Di bawah z pada kolom kiri cari 2,1 dan di atas sekali angka 5. Dari 2,1 maju ke
kanan dan dari 5 menurun, didapat 4842.
Luas daerah yang dicari, dapat dilihat daerah yang diarsir, = 0,4842.
0
2,15
2) Antara z = 0 dan z = -1,86.
Karena z bertanda negatif, maka pada grafiknya diletakkan di sebelah kiri 0. Untuk
daftar digunakan z = 1,86. Di bawah z kolom kiri dapatkan 1,8 dan di atas angka 6.
Dari 1,8 ke kanan dan dari 6 ke bawah didapat 4686.
Luas daerah = daerah diarsir = 0,4686.
-1,86
0
3) Antara z = -1,50 dan z = 1,82.
Dari grafik terlihat bahwa kita perlu mencari luas dua kali, lalu dijumlahkan.
Mengikuti cara 1) untuk z = 1,82 dan cara di 2) untuk z = -1,50, masing-masing
didapat 0,4656 dan 0,4332. Jumlah = luas yang dicari = 0,4332 + 0,4656 = 0,8988.
-1,5 0
1,82
4) Antara z = 1,40 dan z = 2,65.
Yang dicari adalah luas dari z = 0 sampai ke z = 1,40. Dengan cara yang dijelaskan
di atas masing-masing didapat 0,4960 dan 0,4192. Luas yang dicari = 0,4960 –
0,4192 = 0,0768.
0 1,40 2,65
5) Dari z = 1,96 ke kiri.
Luasnya sama dengan dari z = 0 ke kiri (= 0,5) ditambah luas dari z = 0 sampai ke z
= 1,96. Untuk z = 1,96 dari daftar didapat 0,4750. Luas = 0,5 + 0,4750 = 0,9750.
0
1,96
6) Dari z = 1,96 ke kanan.
Dari gambar 6) dapat dilihat bahwa yang dicari merupakan daerah yang tidak
diarsir. Ini sama dengan luas dari z = 0 ke kanan (= 0,5) dikurangi luas dari z = 0
sampai ke z = 1,96 yang besarnya 0,4750. Luas = 0,5 – 0,4750 = 0,0250.
Untuk mencari kembali z apabila luasnya diketahui, maka dilakukan langkah
sebaliknya. Misalnya, jika luas = 0,4931, maka dalam badan daftar dicari 4931 lalu
menuju ke pinggir sampai pada kolom z, didapat 2,4 dan menuju ke atas sampai batas z
didapat 6. Harga z = 2,46.
Beberapa bagian luas untuk distribusi normal umum dengan rata-rata µ dan
simpangan baku σ tertentu dengan mudah dapat ditentukan. Tepatnya, jika sebuah
fenomena berdistribusi normal, maka dari fenomena itu :
1) Kira-kira 68,27% dari kasus ada dalam daerah satu simpangan baku sekitar ratarata, yaitu antara µ - σ dan µ + σ.
2) Ada 95,45% dari kasus terletak dalam daerah dua simpangan baku sekitar ratarata, yaitu antara µ - 2σ dan µ + 2σ.
3) Hampir 99,73% dari kasus ada dalam daerah tiga simpangan baku sekitar ratarata, yaitu antara µ - 3σ dan µ + 3σ.
Contoh :
Berat barang siswa dalam suatu tour rata-rata 3,750 gram dengan simpangan
baku 325 gram. Jika berat barang berdistribusi normal, maka tentukan ada :
a) Berapa persen siswa yang mempunyai berta barang lebih dari 4.500 gram ?
b) Berapa orang siswa yang yang memiliki berat barang antara 3.500 gram dan 4.500
gram, jika semuanya ada 10.000 siswa ?
c) Berapa siswa yang orang siswa yang berat barangnya lebih kecil atau sama dengan
4.000 gram jika semuanya ada 10.000 siswa?
d) Berapa orang siswa yang berat barangnya 4.250 gram jika semuanya ada 5.000
siswa?
Penyelesaian :
Dengan X = berat barang siswa dalam gram, µ = 3,750 gram, σ = 325 gram,
maka :
a) Dengan transformasi rumu
= −
s untuk X = 4.500 :
4.500 − 3.750
= 2,31
325
Berat yang lebih dari 4.500 gram, pada grafiknya ada disebelah kanan z = 2,31. Luas
= −
daerah ini = 0,5 – 0,4896 = 0,0104. Jadi ada 1, 04% dari dari berat barang siswa yang
lebih dari 4.500 gram.
0
2,31
b) Dengan X = 3.500 dan X = 4.500 didapat :
3.500 − 3.750
= −0,77
= 2,31
325
Luas daerah yang perlu = daerah yang diarsir = 0,2794 + 0,4896 = 0,7690. Banyak
=
siswa yang berat barangnya antara 3.500 gram dan 4.500 gram diperkirakan ada
(0,7690)(10.000) = 7.690.
-0,77 0
2,31
c) Karena beratnya lebih kecil atau sama dengan 4.000 gram, maka beratnya harus lebih
kecil dari 4.000,5 gram.
=
4.000,5 − 3.750
= −0,77
325
Peluang berat barang siswa lebih kecil atau sama dengan 4.000 gram = 0,5 + 0, 2794
= 0,7794.
Banyak siswa = (0,7794)(10.000) = 7794.
d) Jika berat 4.250 gram berarti berat antara 4.249,5 gram dan 4.250,5 gram. Jadi untuk
X = 4.249,5 dan X = 4.250,5 didapat :
4.249,5 − 3.750
= 1,53.
325
4.250,5 − 3.750
=
= 1,54
325
Luas daerah yang perlu = 0,4382 – 0,4370 = 0,0012.
=
Banyak siswa = (0,0012)(5.000) = 6.
Antara distribusi binom dan distribusi normal terdapat hubungan tertentu. Jika
untuk fenomena yang berdistribusi binom berlaku :
a) N cukup besar,
b) π = P(A) = peluang peristiwa A terjadi, tidak terlalu dekat kepada nol, maka
distribusi binom dapat didekati oleh distribusi normal dengan rata-rata µ = Nπ dan
simpangan baku σ =
(1 −
).
Untuk pembakuan, agar daftar distribusi normal baku dapat dipakai, maka
digunakan transformasi :
=
−
(1 −
)
Dengan X = variabel acak dalam distribusi diskrit yang menyatakan terjadinya
peristiwa A. Karena disini telah mengubah variabel acak diskrit dari distribusi binom
menjadi variabel acak kontinu dalam distribusi normal, maka nilai-nilai X perlu
mendapat penyesuaian. Yang dipakai ialah dengan jalan menambah atau mengurangi
dengan 0,5.
Perhatikan distribusi binom oleh distribusi normal sangat berfaedah, antara lain
untuk mempermudah perhitungan.
Contoh :
10% dari siswa tergolong kategori A. Sebuah sampel acak terdiri atas 400 siswa
telah diambil. Tentukan peluangnya akan terdapat :
a) paling banyak 30 orang tergolong kategori A.
b) Antara 30 dan 50 orang tergolong kategori A.
c) 55 orang atau lebih termasuk kategori A.
Penyelesaian :
Soal ini merupakan soal distribusi binom. Tetapi lebih cepat dan mudah bila
diselesaikan dengan distribusi normal. Kita ambil X = banyak siswa termasuk kategori
A. Maka dari segi X ini didapat:
µ = 0,1 x 400 orang = 40 0rang.
Σ = √400 0,1
0,9 orang = 6 orang.
a) Paling banyak 30 orang dari kategori A, berarti X = 0, 1, 2, ..., 30. Melakukan
penyesuaian terhadap X, maka sekarang X menjadi - 0,5 < X < 30,5, sehingga :
−0,5 − 40
= −6,57.
6
30,5 − 40
=
= −1,58
6
Luas daerah yang diarsir adalah 0,5 – 0, 4429 = 0,0571. Peluangnya terdapat
=
paling banyak 30 orang termasuk kategori A adalah 0,0571.
-1,58
0
b) Untuk distribusi normal, disini berlaku 30,5 < X < 49,5. Bilangan standar z-nya
masing-masing :
30,5 − 40
49,5 − 40
= −1,58
=
= +1,58.
6
6
Dari daftar distribusi normal baku terdapat peluang yang ditanyakan = 2(0,4429) =
=
0,8858.
c) 55 orang atau lebih untuk distribusi binom memberikan X > 54,5 untuk distribusi
normal.
Maka
=
54,5 − 40
= 2,42
6
Sehingga kita perlu luas daerah dari Z = 2,42 ke kanan. Dari daftar distribusi
normal baku didapat peluang yang dicari = 0,5 – 0,4922 = 0,0078.
0
2,42
Apabila kondisi populasi digambarkan dalam bentuk kurva, bisa dijumpai
berbagai macam bentuk kurva. Hal ini tergantung dari kondisi penyebaran frekuensi
skor yang terkumpul. Pada umumnya kondisi populasi dalam dunia pendidikan
berdistribusi normal. Tetapi tidak selamanyapopulasi yang dijumpai akan berdistribusi
normal, oleh karena itu, kita harus hati-hati dalam menghadapi data tersebut. Analisis
statisik untuk data yang berdistribusi normal akan berbeda, dengan demikian maka
interpretasinyapun akan dipengaruhi oleh bentuk distribusinya.
Data populasi akan berdistribusi normal jika rata-rata nilainya sama dengan
modenya serta sama dengan mediannya. Ini berarti bahwa sebagian nilai (skor)
mengumpul pada posisi tengah, sedangkan frekuensi skor yang rendah dan yang tinggi
menunjukkan kondisi yang semakin sedikit seimbang. Oleh karena penurunan frekuensi
pada skor yang semakin rendah dan skor yang semakin tinggi adalah seimbang, maka
penurunan garis kurva ke kanan dan ke kiri akan seimbang.
Kurva normal mempunyai hubungan erat dengan data yang kontinue (interval
mauoun ratio). Distribusi yang normal kurvanya merupakan distribusi yang paling
banyak dijumpai dan digunakan sebagai pengembangan rumus-rumus statistik
parametrik (inferensial statistik). Disamping itu, sifat normal ini yang paling banyak
ditunjukkan oleh sifat populasi.
Distribusi normal mempunyai sifat-sifat yang khusus, yaitu :
1. Bentuknya simetri dengan sumbu X.
2. Nilai rata-rata = mode = media.
3. Mode hanya satu (unimodal).
4. Ujung-ujung grafiknya hanya mendekati sumbu X atau dengan kata lain tidak akan
bersinggungan maupun berpotongan dengan sumbu X (berasimtot dengan sumbu X).
5. Kurva akan landai jika rentangan skor besar, sebaliknya jika rentangan skor kecil
maka kurvanya akan meninggi.
6. Luas daerah kurva akan sama dengan luas satu persegi empat.
Bentuk kurva normal tergantung pada distribusi nilai/skor yang akan dibuat
kurvanya. Penyebaran skor dan panjang pendeknya rentangan distribusi berpengaruh
besar atau menentuka bentuk kurvanya. Jika jumlah responden sama, maka kurva
normal dari distribusi skor tersebut akan berbeda bentuknya.
Jenis bentuk kurva yang diakibatkan oleh perbedaan rentangan nilai dan
simpangan baku ada tiga macam, yaitu :
1. Leptokurtik, merupakan bentuk kurva normal yang meruncing tinggi karena
perbedaan frekuensi pada skor-skor yang mendekati rata-rata sangat kecil.
2. Platykurtic, merupakan kurva normal yang mendatar rendah karena perbedaan
frekuensi pada skor-skor yang mendekati rata-rata sangat kecil.
3. Normal, merupakan bentuk kurva normal yang biasa, artinya bentuknya merupakan
bentuk antara leptokurtic dan platykurtic, karena penyebaran skor biasa dan tidak
terjadi kejutan-kejutan yang berarti.
Bentuk ketiga kurva normal itu dapat dilihat pada grafik, berikut ini :
(1)
(2)
(3)
Kurva normal dapat pula dibuat berdasarkan skor yang telah ditransformasikan
ke Z skor. Proses transformasi distribusi skor yang normal akan tetap menghasilkan
distribusi Z skor yang normal pula. Untuk kepercayaan kita, dapat dibuktikan melalui
contoh soal di bawah.
Contoh : 1
Suatu penyebaran nilai matematika siswa pada suatu sekolah menengah pertama
sebagai berikut :
65
65
60
70
70
70
75
75
75
75
80
80
80
85
85
90
Berdasarkan data tersebut di atas buatlah :
1. Perhitungan rata-rata dan simpangan bakunya.
2. Transformasi Z skor.
3. Kurva berdasarkan distribusi skor asli.
4. Kurva berdasarkan distribusi Z skor.
Rumus rata-rata yang digunakan adalah rumus rata-rata hitung yaitu (∑X) : n,
sedangkan simpangan bakunya dihitung dengan rumus
=
∑(
)
dan rumus
= √
untuk sejumlah
sampel, tetapi jika yang akan dihitung simpangan
bakunya merupakan populasi maka pembagi pada perhitungan variance sebesar N.
Jumlah skor adalah 1200
Jumlah responden adalah 16
Jadi, rata-ratanya adalah 1200 : 16 = 75
Jika data di atas merupakan populasi maka σ = 7,91
Jika data di atas merupakan sampel maka Sd = 8,16. Apabila kita menganggap
bahwa skor tersebut adalah skor yang berasal dari populasi, maka Z skornya adalah :
Untuk X = 60
Z skor = (60 - 75) : 7,91 = -1,90
Untuk X = 65
Z skor = (65 - 75) : 7,91 = -1,26
Untuk X = 70
Z skor = (70 - 75) : 7,91 = -0,63
Untuk X = 75
Z skor = (75 - 75) : 7,91 = 0
Untuk X = 80
Z skor = (80 - 75) : 7,91 = 0,63
Untuk X = 85
Z skor = (85 - 75) : 7,91 = 1,26
Untuk X = 90
Z skor = (90 - 75) : 7,91 = 1,90
Berdasarkan distribusi skor asli kurvanya adalah :
4
3
2
1
0
60
65
70
75
80
85
µ
Berdasarkan distribusi Z skor kurvanya adalah :
1,90
1,26
0,63
90
95
1,26 1,90
95
4
3
2
1
0
0
µ
0,63
Jelas kini bahwa distribusi skor yang normal akan tetap normal walaupun
dilakukan transformasi ke Z skor. Mengingat kurva normal tersebut simetri, maka garis
tegak lurus pada sumbu X di titik µ akan membagi dua bagian kurva menjadi sama
besar. Luas seluruh daerah di bawah kurva normal adalah 100% atau sama dengan 1
(satu), sehingga belahan kanan kurva normal dan belahan sebelah kiri kurva normal
masing-masing mempunyai luas 0,5 atau 50%. Untuk lebih jelasnya tentang luas daerah
di bawah kurva normal dapat dilihat pada figur di bawah.
Melalui transformasi ke Z skor kita akan dapat mencari luar daerah di bawah
kurva normal, untuk nilai-nilai Z tertentu. Dalam kasus ini kita hanya berpedoman pada
tabel distribusi normal. Tabel ini disamping dapat digunakan untuk menentukan luas
daerah di bawah kurva normal untuk batas titik tertentu, juga dapat digunakan untuk
mencari titik tertentu. Tentunya apabila titik Z yang tidak diketahui, sedangkan luas
daerah di bawah kurva normal diketahuinya. Cara menggunakan tabel ini sangat mudah
karena dalam tabel hanya terdiri dari tiga kolom dan kita tinggal melihat pasangan
angka antar kelompok dalam satu baris yang slah satu angkanya kita ketahui.
-2
-1
0
µ
68, 26%
1
2
95,46%
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Yang memuat berbagai kemungkinan nilai Z.
2. Yang menunjukkan luas daerah di bawah kurva antara titik µ atau 0 dengan nilai Z.
3. Yang menunjukkan luas daerah di bawah kurva diluar nilai Z atau luas daerah di
bawah kurva di atass nilai Z.
Pada luas kolom B dan C selalu berjumlah 0,5 karena jumlah B dan C
merupakan setengah dari luas daerah di bawah kurva normal. Penggunaan kolom B dan
C secara serentak (bersama) tidak pernah terjadi kecuali untuk mengontrol kebenaran
angka-angka tersebut. Gunakan salah satu kolom B dan C sesuai dengan kebutuhannya.
Contoh : 2
a. Jika diketahui Z skor 1,26 hitunglah luas daerah di bawah kurva normal antara µ
dengan titik Z.
b. Jika diketahui Z skor min 1,90 hitunglah luas daerah di bawah kurva normal antara µ
dengan titik Z.
c. Jika luas daerah di luar titik Z adalah 0,4207 carilah titik Z nya.
d. Jika luas daerah diantara titik Z dengan µ adalah 0,1179 carilah titik Z nya.
Dengan berpedoman pada tabel distribusi normal kita dapat menjawab semua
soal di atas.
1. Lihat pada (tabel distribusi normal) pada kolom a yang mengandung Z 1,26,
kemudian cari jodohnya pada kolom B diperoleh angka 0,3962.
2. Lihat pada kolom A yang mengandung Z 1,90 (tanda minus tidak mempengaruhi
penentuan angka dalam tabel), kemudian cari jodohnya pada kolom B diperoleh
angka 0,4713.
3. Lihat pada kolom C yang mengandung angka 0,4207, kemudian cari jodohnya di
kolom A diperoleh 0,20.
4. Lihat pada kolom B yang mengandung angka 0,1179, kemudian cari jodohnya di
kolom A diperoleh 0,30.
BAB 8
DISTRIBUSI T DAN DISTRIBUSI F
1. DISTRIBUSI STUDENT ATAU DISTRIBUSI T
Distribusi dengan variabel acak kontinu lainnya, selain dari distribusi normal,
ialah distribusi Student atau distribusi t. Fungsi densitasnya adalah:
( )=
……………….
(1)
berlaku untuk harga-harga t yang memenuhi -∞  t  ∞ dan K merupakan bilangan tetap
yang besarnya bergantung pada n sedemikian sehingga luas daerah di bawah kurva
sama dengan satu unit. Pada distribusi t ini terdapat bilangan (n – 1) yang dinamakan
derajat kebebasan, akan disingkat dengan dk.
Jika sebuah populasi mempunyai model dengan persamaan seperti dalam rumus
(1), maka dikatakan populasi itu berdistribusi t dengan dk (n – 1).
Bentuk grafiknya seperti distribusi normal baku, simetrik terhadap t = 0,
sehingga sepintas lalu hamper tak ada bedanya. Untuk harga-harga n yang besar,
biasanya n ≥ 30, distribusi t mendekati distribusi distribusi normal baku, yaitu:
( )=−
1
√2
Untuk perhitungan-perhitungan, daftar distribusi t sudah disusun berbentuk
tabel. Daftar tersebut berisikan nilai-nilai t untuk dk dan peluang tertentu. Kolom paling
kiri, kolom dk, berisikan derajat kebebasan, baris teratas berisikan nilai peluang.
Untuk penggunaan daftar distribusi t, perhatikan
gambar di samping. Gambar ini merupakan grafik
distribusi t dengan dk =  (baca: nu) dimana p = (n – 1).
Luas bagian diarsir = p dan dibatasi paling kanan oleh
tp. Harga tp inilah yang dicari dari daftar untuk
pasangan  dan p yang diberikan.
0
tp
Contoh penggunaan daftar distribusi t.
1. Untuk n = 13, jadi dk = 12 dan p = 0,95, maka t = 1,78.
Ini didapat dengan meliat tabel distrubusi t dengan jalan maju ke kanan dari 12 dan
menurun dari 0,95.
2. Untuk n = 16, tentukan t supaya luas yang diarsir = 0,95.
-t
0
t
Dari grafik dapat dilihat bahwa luas ujung kiri = 1 – 0,95 = 0,05. Kedua ujung
ini sama luas, jadi luas ujung kanan, mulai dari t ke kanan = 0,025. Mulai dari t ke
kiri luasnya = 1 – 0,025 = 0,975. Harga p inilah yang dipakai untuk daftar.
Dengan  = 15 (lihat daftar distribusi t) kita maju ke kanan dan dari p = 0,975
kita menurun, didapat t = 2,13. Jadi, antara t = 2,13 luas yang diarsir = 0,95.
3. Tentukan t sehingga luas dari t ke kiri = 0,05 dengan dk = 9. Untuk ini p yang
digunakan = 0,95. Dengan dk = 9 didapat t = 1,83. Karena yang diminta kurang dari
0,5 maka t harus bertanda negatif. Jadi, t = -1,83.
2. DISTRIBUSI F
Distribusi F ini juga mempunyai variabel acak yang kontinu. Fungsi densitasnya
mempunyai persamaan:
(
( )=
∙
)
(
)
………………..
(2)
Dengan variabel acak F memenuhi batas F  0, K = bilangan tetap yang harganya
bergantung pada 1 dan 2, sedemikian sehingga luas di bawah kurva sama dengan satu,
1 = dk pembilang dan 2 = dk penyebut.
Jadi, distribusi F ini mempunyai dua buah derajat kebebasan. Grafik distribusi F
tidak simetrik dan umumnya sedikit positif. Seperti juga distribusi lainnya, untuk
keperluan perhitungan dengan distribusi F, daftar distribusi F telah disediakan seperti
daftar distribusi t. Daftar tersebut berisikan nilai-nilai F untuk peluang 0,01 dan 0,05
dengan derajat kebebasan 1 dan 2. Peluang ini sama dengan luas daerah ujung kanan
yang diarsir, sedangkan dk = 1 ada pada baris paling atas dan dk = 2 pada kolom
paling kiri.
Untuk setiap pasang dk, 1 dan 2, daftar berisikan
harga-harga F dengan kedua luas daerah ini 0,01 atau
0,05.
F
Untuk tiap dk = 2, daftar terdiri atas dua baris, yang atas untuk peluang p = 0,05
dan yang bawah untuk p = 0,01.
Contoh:
Untuk pasangan derajat kebebasan 1 = 24 dan 2 = 8, ditulis juga (1, 2) = (24, 8),
maka untu p = 0,05 didapat F = 3,12 sedangkan untuk p = 0,01 didapat F = 5,28
(terdapat pada daftar distribusi F. Ini didapat dengan jalan mencari 24 pada baris atas
dan 8 pada kolom kiri. Jika dari 24 turun dan dari 8 ke kanan, maka didapat bilanganbilangan tersebut. Yang atas untuk p = 0,05 dan yang bawah untuk p = 0,01.
Notasi lengkap untuk nilai-nilai F dari daftar distribusi F dengan peluang p dan
dk (1, 2) dan F0,01(24,8) = 5,28.
Meski daftar yang diberikan hanya untuk peluang p = 0,01 dan p = 0,05, tetapi
sebenarnya masih bias didapat nilai-nilai F dengan peluang 0,99 dan 0,95. Untuk itu,
digunakan hubunga:
(
)(
,
)
1
=
(
,
)
Dalam rumus di atas, perhatikan antara p dan (p – 1) dan pertukaran antara derajat
kebebasan (v1, 2) menjadi (2, 1).
Contoh: Telah didapat F0,05(24,8) = 3,12
Maka,
,
( ,
)
=
,
= 0,321.
BAB 9
UJI NORMALITAS DAN UJI HOMOGENITAS
1. UJI NORMALITAS
Uji normalitas berguna untuk menentukan data yang telah dikumpulkan
berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal. Metode klasik dalam pengujian
normalitas suatu data tidak begitu rumit. Berdasarkan pengalaman empiris beberapa
pakar statistik, data yang banyaknya lebih dari 30 angka (n > 30), maka sudah dapat
diasumsikan berdistribusi normal. Biasa dikatakan sebagai sampel besar.
Namun untuk memberikan kepastian, data yang dimiliki berdistribusi normal
atau tidak, sebaiknya digunakan uji statistik normalitas. Karena belum tentu data yang
lebih dari 30 bisa dipastikan berdistribusi normal, demikian sebaliknya data yang
banyaknya kurang dari 30 belum tentu tidak berdistribusi normal, untuk itu perlu suatu
pembuktian. uji statistik normalitas yang dapat digunakan diantaranya Chi-Square,
Kolmogorov Smirnov, Lilliefors, Shapiro Wilk.
1.
METODE CHI SQUARE (UJI GOODNESS OF FIT DISTRIBUSI
NORMAL)
Metode Chi-Square atau X2 untuk Uji Goodness of fit Distribusi Normal
menggunakan pendekatan penjumlahan penyimpangan data observasi tiap kelas dengan
nilai yang diharapkan.
X2 
Oi  Ei 
Ei
Keterangan :
X2 = Nilai X2
Oi = Nilai observasi
Ei = Nilai expected / harapan, luasan interval kelas berdasarkan tabel normal
dikalikan N (total frekuensi) (pi x N)
N
= Banyaknya angka pada data (total frekuensi)
Komponen penyusun rumus tersebut di atas didapatkan berdasarkan pada hasil
transformasi data distribusi frekuensi yang akan diuji normalitasnya, sebagai berikut:
Batas
No
Interval
Z
Xi  X
SD
pi
Oi
Ei (pi x N)
Kelas
1
2
3
dst
Keterangan :
Xi = Batas tidak nyata interval kelas
Z
= Transformasi dari angka batas interval kelas ke notasi pada distribusi normal
pi = Luas proporsi kurva normal tiap interval kelas berdasar tabel normal (lampiran)
Oi = Nilai observasi
Ei = Nilai expected / harapan, luasan interval kelas berdasarkan tabel normal
dikalikan N (total frekuensi) ( pi x N )
Persyaratan Metode Chi Square (Uji Goodness of fit Distribusi Normal)
a.
Data tersusun berkelompok atau dikelompokkan dalam tabel distribus frekuensi.
b.
Cocok untuk data dengan banyaknya angka besar ( n > 30 )
c.
Setiap sel harus terisi, yang kurang dari 5 digabungkan.
Signifikansi
Signifikansi uji, nilai X2 hitung dibandingkan dengan X2 tabel (Chi-Square).
Jika nilai X2 hitung < nilai X2 tabel, maka Ho diterima ; Ha ditolak.
Jika nilai X2 hitung > nilai X2 tabel, maka maka Ho ditolak ; Ha diterima.
Contoh :
DIAMBIL TINGGI BADAN MAHASISWA DI SUATU PERGURUAN TINGGI
TAHUN 1990
TINGGI BADAN
JUMLAH
140 - 144
7
145 - 149
10
150 - 154
16
155 - 159
23
160 - 164
21
165 - 169
17
170
174
JUMLAH
6
100
Selidikilah dengan α = 5%, apakah data tersebut di atas berdistribusi normal?
(Mean = 157.8; Standar deviasi = 8.09)
Penyelesaian :
1.
Hipotesis :
Ho : Populasi tinggi badan mahasiswa berdistribusi normal
H1 : Populasi tinggi badan mahasiswa tidak berdistribusi normal
2.
Nilai α
Nilai α = level signifikansi = 5% = 0,05
3.
Rumus Statistik penguji
X2 
Oi  Ei 
Ei
Batas Interval
Z
Kelas
Xi  X
SD
pi
Oi
Ei (pi x N)
139.5 - 144.5
-2.26 -
-1.64
0.4881 - 0.4495
= 0.0386
7
3.86
144.5 - 149.5
-1.64 -
-1.03
0.4495 - 0.3485
= 0.1010
10
10.1
149.5 - 154.5
-1.03 -
-0.41
0.3485 - 0.1591
= 0.1894
16
18.94
154.5 - 159.5
-0.41 -
0.21
0.1591 - 0.0832
= 0.2423
23
24.23
159.5 - 164.5
0.21 -
0.83
0.0832 - 0.2967
= 0.2135
21
21.35
164.5 - 169.5
0.83 -
1.45
0.2967 - 0.4265
= 0.1298
17
12.98
169.5
1.45 -
2.06
0.4265 - 0.4803
= 0.0538
6
5.38
174.5
JUMLAH
100
Luasan pi dihitung dari batasan proporsi hasil tranformasi Z yang
dikonfirmasikan dengan tabel distribusi normal (Lampiran).
X2 
Oi  Ei  
Ei
2
2
2
2
2


7  3.86  10  10.1 16  18.94 23  24.23
6  5.38





3.86
 0.427
4.
10.1
18.94
24.23
5.38
Derajat Bebas
Df = ( k – 3 ) = ( 5 – 3 ) = 2
5.
Nilai tabel
Nilai tabel X2 ; α = 0,05 ; df = 2 ; = 5,991. Tabel X2 (Chi-Square) pada lampiran.
6.
Daerah penolakan
- Menggunakan gambar
Terima
0.1628
Tolak
5.991
- Menggunakan rumus
|0,427 | < |5,991| ; berarti Ho diterima, Ha ditolak
7.
Kesimpulan
Populasi tinggi badan mahasiswa berdistribusi normal α = 0,05.
2. METODE LILLIEFORS (N KECIL DAN N BESAR)
Metode Lilliefors menggunakan data dasar yang belum diolah dalam tabel
distribusi frekuensi. Data ditransformasikan dalam nilai Z untuk dapat dihitung luasan
kurva normal sebagai probabilitas komulatif normal. Probabilitas tersebut dicari
bedanya dengan probabilitas komultaif empiris. Beda terbesar dibanding dengan tabel
Lilliefors pada lampiran 4 Tabel Harga Quantil Statistik Lilliefors Distribusi Normal.
No
Xi
Z
Xi  X
SD
F(X)
S(X)
| F(X)-S(X) |
1
2
3
dst
Keterangan :
Xi
= Angka pada data
Z
= Transformasi dari angka ke notasi pada distribusi normal
F(x)
= Probabilitas komulatif normal
S(x)
= Probabilitas komulatif empiris
PERSYARATAN
a. Data berskala interval atau ratio (kuantitatif)
b. Data tunggal / belum dikelompokkan pada tabel distribusi frekuensi
c. Dapat untuk n besar maupun n kecil.
SIGNIFIKANSI
Signifikansi uji, nilai | F (x) - S (x) | terbesar dibandingkan dengan nilai tabel Lilliefors.
Jika nilai | F (x) - S (x) | terbesar < nilai tabel Lilliefors, maka Ho diterima ; Ha ditolak.
Jika nilai | F(x) - S(x) | terbesar > dari nilai tabel Lilliefors, maka Ho ditolak ; Ha
diterima. Tabel Lilliefors pada lampiran, Tabel Harga Quantil Statistik Lilliefors
Distribusi Normal
3. METODE KOLMOGOROV-SMIRNOV
Metode Kolmogorov-Smirnov tidak jauh beda dengan metode Lilliefors.
Langkah-langkah penyelesaian dan penggunaan rumus sama, namun pada signifikansi
yang berbeda. Signifikansi metode Kolmogorov-Smirnov menggunakan tabel
pembanding Kolmogorov-Smirnov, sedangkan metode Lilliefors menggunakan tabel
pembanding metode Lilliefors.
No
Xi
Z
Xi  X
SD
FT
FS
| FT - FS |
1
2
3
dst
Keterangan :
Xi
= Angka pada data
Z
= Transformasi dari angka ke notasi pada distribusi normal
FT
= Probabilitas komulatif normal
FS
= Probabilitas komulatif empiris
PERSYARATAN
a.
Data berskala interval atau ratio (kuantitatif)
b.
Data tunggal / belum dikelompokkan pada tabel distribusi frekuensi
c.
Dapat untuk n besar maupun n kecil.
SIGINIFIKANSI
Signifikansi uji, nilai |FT – FS| terbesar dibandingkan dengan nilai tabel Kolmogorov
Smirnov.
Jika nilai |FT – FS| terbesar <nilai tabel Kolmogorov Smirnov, maka Ho diterima ; Ha
ditolak.
Jika nilai |FT – FS| terbesar > nilai tabel Kolmogorov Smirnov, maka Ho ditolak ; Ha
diterima.
Tabel Kolmogorov Smirnov pada lampiran 5, Harga Quantil Statistik Kolmogorov
Distribusi Normal.
4.
METODE SHAPIRO WILK
Metode Shapiro Wilk menggunakan data dasar yang belum diolah dalam tabel
distribusi frekuensi. Data diurut, kemudian dibagi dalam dua kelompok untuk
dikonversi dalam Shapiro Wilk. Dapat juga dilanjutkan transformasi dalam nilai Z
untuk dapat dihitung luasan kurva normal.
1 k

T3   ai  X ni 1  X i 
D  i 1

2
Keterangan :
D
=
Berdasarkan rumus di bawah
ai
=
Koefisient test Shapiro Wilk (lampiran 8)
X n-i+1
=
Angka ke n – i + 1 pada data
Xi
=
Angka ke i pada data
n
2
D   X i  X 
i 1
Keterangan :
Xi
=
Angka ke i pada data yang
X
=
Rata-rata data
 T  dn
G  bn  c n  ln  3
 1  T3



Keterangan :
G
= Identik dengan nilai Z distribusi normal
T3
= Berdasarkan rumus di atas
bn, cn, dn
= Konversi
Statistik
Shapiro-Wilk
Pendekatan
Distribusi
(lampiran)
PERSYARATAN
a.
Data berskala interval atau ratio (kuantitatif)
b.
Data tunggal / belum dikelompokkan pada tabel distribusi frekuensi
c.
Data dari sampel random
Normal
SIGNIFIKANSI
Signifikansi dibandingkan dengan tabel Shapiro Wilk. Signifikansi uji nilai T3
dibandingkan dengan nilai tabel Shapiro Wilk, untuk dilihat posisi nilai probabilitasnya
(p).
Jika nilai p > 5%, maka Ho diterima ; Ha ditolak.
Jika nilai p < 5%, maka Ho ditolak ; Ha diterima.
Tabel Harga Quantil Statistik Shapiro-Wilk Distribusi Normal. Jika digunakan rumus
G, maka digunakan tabel 2 distribusi normal.
2. UJI HOMOGENITAS
Uji homogenitas dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dua atau lebih
kelompok data sampel berasal dari populasi yang memiliki variansi yang sama.
Pada analisis regresi, persyaratan analisis yang dibutuhkan adalah bahwa galat
regresi untuk setiap pengelompokan berdasarkan variabel terikatnya memiliki variansi
yang sama. Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut.
H0 :
=
=⋯=
H1 : paling sedikit satu tanda sama dengan tidak berlaku
Ada beberapa metoda yang telah ditemukan untuk melakukan pengujian ini,
tetapi di sini hanya akan diberikan sebuah saja yang dikenal dengan nama uji Bartlett.
Pengujian homogenitas data dengan uji Bartlett adalah untuk melihat apakah
variansi-variansi k buah kelompok peubah bebas yang banyaknya data per kelompok
bisa berbeda dan diambil secara acak dari data populasi masing-masing yang
berdistribusi normal, berbeda atau tidak.
Uji Bartlett dilakukan dengan menghitung x2. Harga x2 yang diperoleh dari
perhitungan (x2hitung) selanjutnya dibandingkan dengan x2 dari tabel (x2tabel ), bila x2hitung
< x2tabel , maka hipotesis nol diterima. Artinya data berasal dari populasi yang homogen.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pengujian homogenitas dengan
uji Barlett adalah:
1. Menentukan kelompok-kelompok data, dan menghitung varians untuk tiap kelompok
tersebut.
2. Membuat tabel pembantu untuk memudahkan proses perhitungan.
3. Menghitung varians gabungan.
4. Menghitung log dari varians gabungan.
5. Menghitung nilai Bartlett.
6. Menghitung nilai
7. Menentukan nilai dan titik kritis.
8. Membuat kesimpulan.
Untuk memudahkan perhitungan, satuan-satuan yang diperlukan untuk uji
Bartlett lebih baik disusun dalam sebuah daftar seperti tabel berikut.
DAFTAR HARGA-HARGA YANG PERLU UNTUK UJI BARTLETT
=
H0 :
Sampel
1
dk
ke
=⋯=
(
log
) log
1
n1 - 1
1/ n1 - 1
log
(
− 1) log
2
n2 - 1
1/ n2 - 1
log
(
− 1) log
nk - 1
1/ nk - 1
log
(
− 1) log
Σ(
− 1) log
.
.
.
K
Σ(
Jumlah
− 1)
Σ
(
1
− 1)
--
--
Dari daftar ini, kita hitung harga-harga yang diperlukan, yakni:
1. Varians gabungan dari semua sampel:
=
Σ ( − 1) ∙
Σ ( − 1)
2. Harga satuan B dengan rumus:
= (log
)Σ(
− 1)
Ternyata bahwa untuk uji Bartlett digunakan statistic chi-kuadrat.
= (ln 10){(
− 1)log
}
Dengan ln 10 = 2,3026, disebut logaritma asli dari bilangan 10.
Dengan taraf nyata , kita tolak hipotesis H0 jika
(
)(
)
≥
(
)(
),
dimana
didapat dari daftar distribusi chi-kuadrat dengan peluang (1−∝) dan
= ( − 1).
Keterangan:
k
= banyaknya kelompok
ni
= banyaknya data pada kelompok ke-i
n
= banyaknya seluruh data
s2i = variansi sampel pada kelompok ke-i
Contoh:
Daftar Pertambahan Berat Badan (dalam kg) Siswa Sekolah T Setelah Percobaan
Pertambahan berat badan karena makanan ke
Data hasil pengamatan
Dengan rumus
=
(
dk
1
2
3
4
Jumlah
4
4
3
3
14
2
12
14
6
9
20
15
16
14
23
10
16
18
10
19
20
19
17
22
)
= 29,3;
= 21,5;
Daftarnya menjadi:
Sampel
1
3
4
, varians untuk tiap sampel kita hitung hasilnya:
= 35,7;
= 20,7.
1
0,25
0,25
0,33
0,33
1,16
log
29,3
21,5
35,7
20,7
--
1,4669
1,3324
1,5527
1,3160
--
(
) log
5,8676
5,3296
4,6581
3,9480
19,8033
Varians gabungan dari empat sampel itu adalah
4(29,3) + 4(21,5) + 4(35,7) + 4(20,7)
= 26,6
4+4+3+3
= log 26,6 = 1,4249 dan = (1,4249)(14) = 19,9486, sehingga
=
maka log
= (2,3026)(19,9486 − 19,8033) = 0,063.
Jika  = 0,05, dari daftar chi-kuadrat dengan dk = 3, didapat
Ternyata bahwa
= 0,063 < 7,81 sehingga hipotesis H0 :
=
,
( )
=
= 7,81.
=
diterima dalam taraf 0,05.
Jika harga
yang dihitung cukup dekat dengan harga dari tabel,biasanya
dilakukan koreksi terhadap rumus
di atas dengan menggunakan faktor koreksi K
sebagai berikut.
=1+
1
3( − 1)
1
1
−
−1
Σ ( − 1)
Dengan faktor koreksi ini, statistik
=
dengan
di ruas kanan dihitung dengan
yang dipakai sekarang ialah:
1
= (ln 10){(
− 1)log
}.
BAB 10
DISTRIBUSI BINOMIAL DAN DISTRIBUSI POISSON
1.
DISTRIBUSI BINOMIAL
Suatu percobaan sering terdiri atas beberapa usaha, tiap usaha dengan dua
kemungkinan hasil yang dapat diberi nama sukses dan gagal. Percobaan seperti ini
disebut Percobaan Binomial.
Distribusi binomial berasal dari percobaan binomial yaitu suatu proses Bernoulli
yang diulang sebanyak n kali dan saling bebas. Distribusi Binomial merupakan
distribusi peubah acak diskrit.
Suatu percobaan binomial ialah yang memenuhi persyaratan berikut :
1. Percobaan terdiri atas n usaha yang berulang
2. Tiap usaha memberikan hasil yang dapat dikelompokkan sukses atau gagal.
3. Peluang sukses, dinyatakan dengan p, tidak berubah dari usaha yang satu ke yang
berikutnya.
4. Tiap usaha bebas dengan usaha lainnya.
Jika pada percobaan dalam eksperimen itu,   P( A) tetap harganya, maka
percobaan yang berulang-ulang dari eksperimen itu dinamakan percobaan Bernoulli.
Sekarang lakukan percobaan Bernoulli sebanyak N kali secara independen, X
diantaranya menghasilkan peristiwa A dan sisanya (N-X) peristiwa A . Jika   P( A)
untuk tiap percobaan, 1    P( A) , maka peluang terjadinya peristiwa A sebanyak X=x
kali diantara N, dihitung oleh (distribusi binomial) :
N
p( x)  P( X  x)    (1   ) N  x
x
N
Dengan x = 0,1,2,....N, 0<  <1, dan   merupakan koefisien binomial
x
N
N!
  
 x  x!( N  x )!
Distribusi binom mempunyai parameter, diantaranya yang akan kita gunakan
ialah rata-rata  dan simpangan baku  . Rumusnya adalah :
  N dan   N (1   )
Dengan pengertian bahwa parameter ini ditinjau dari peristiwa A.
CONTOH :
1.
Peluang untuk mendapatkan 6 bermuka G ketika melakukan undian dengan sebuah
mata uang sebanyak 10 kali adalah :
10 
P( X  6)    1 2
6
  1 2 
6
4
 
 210 1 2
10
 0, 2050
Dengan X = jumlah muka G yang nampak
2.
10% dari semacam benda tergolong A. Sebuah sampel berukuran 30 telah diambil
secara acak. Berapa peluang sampel itu akan berisikan benda kategori A :
a. Semuanya
b. Sebuah
c. Dua
d. Paling sedikit sebuah
e. Paling banyak dua buah
f. Tentukan rata-rata terdapatnya kategori A
Penyelesaian :
a.
Kita artikan X = banyak benda kategori A. Maka  = peluang benda termasuk
kategori A=0,10.
Semuanya tergolong kategori A berarti X=30
 30 
30
0
P( X  30)   0,10  0,90   10 30
 30 
Nilai yang sangat kecil yang atau bisa sama dengan nol.
b.
Sebuah termasuk kategori A berarti X=1
 30 
1
29
P( x  1)   0,10  0,90  0,1409
1
Peluang sampel itu berisi sebuah benda kategori A adalah 0,1409
c.
Di sini X = 2, sehingga :
 30 
2
28
P( x  2)   0,10 0,90   0,2270
2
d.
Paling sedikit sebuah benda tergolong kategori A, berarti x=1,2,3,...30.
Jadi perlu P( x  1)  P( x  20)  .......  P( x  30).
Tetapi
P( x  0)  P( x  1)  ....  P( x  30) ,
sehingga
yang
dicari
adalah
1  P( x  0)
 30 
0
30
Sekarang P( x  0)   0,10  0,90  0,0423
0
Peluang dalam sampel itu terdapat paling sedikit sebuah benda kategori A adalah :
1-0,0423=0,9577
e.
Terdapat paling banyak 2 buah kategori A,
berarti X=0,1,2. Perlu dicari P( x  0)  P( x  1)  P( X  2) .
Di atas, semuanya ini telah dihitung. Hasilnya = 0,0423+0,1409+0,2270=0,4102
f.
  30(0,1)  3 .
Rata-rata diharapkan akan terdapat 3 benda termasuk kategori A dalam setiap
kelompok yang terdiri atas 30 buah.
PERHITUNGAN DISTRIBUSI BINOMIAL
Exp : Pendekatan normal untuk binomial dengan n = 15, p = 0,4
Menurut Teorema Limit Pusat :
Jika x suatu variabel random binomial dengan mean  = np & variansi 2 = np(1 – p).
Jika n cukup besar (n>30) dan p tidak terlalu dekat dengan 0 atau 1, maka :
Contoh :
Dalam ujian pilihan ganda, tersedia 200 pertanyaan dengan 4 alternatif jawaban
dan hanya 1 jawaban yang benar. Jika seseorang memilih jawaban secara random,
berapa peluang dia lulus ujian (syarat lulus : benar paling sedikit 60) ?
Jawab :
x = banyak jawaban yang benar
p = 0,25 = ¼  1 – p = 0,75
x  Bin(200; 0,25)
 = n.p = 200x0,25 = 50
2 = n.p(1-p) = 200(0,25).(0,75) = 37,5
  = 6,13
P(x ≥ 60) = Luas kurva normal dari x = 59,5 ke kanan
Z1 =
X1  
59 ,5  50

= 1,55

6 ,13
 A = 0,4394
P(x≥60) = 0,5 – 0,4394
= 0,0606
= 6,06 %
2.
DISTRIBUSI POISSON
Distribusi Poisson dipakai untuk menentukan peluang suatu kejadian yang
jarang terjadi, tetapi mengenai populasi yang luas atau area yang luas dan juga
berhubungan dengan waktu.
Variabel acak diskrit X dikatakan mempunyai distribusi Poisson jika fungsi
peluangnya berbentuk :
P ( X )  P ( X  x) 
e    x
x!
Keterangan :
x = 0,1,2,3,....,
e = sebuah bilangan konstan yang jika dihitung hingga 4 desimal e=2,7183
 = sebuah bilangan tetap.
Ternyata bahwa distribusi Poisson ini mempunyai parameter :
 
 
Distribusi Poisson sering digunakan untuk menentukan peluang sebuah
peristiwa yang dalam area kesempatan tertentu diharapkan terjadinya sangat jarang.
Ciri-ciri distribusi Poisson :
1.
Percobaan di satu selang tertentu tak bergantung pada selang lain.
2.
Peluang terjadinya satu percobaan singkat atau pada daerah yang kecil
(jarangterjadi)
3.
Peluang lebih dari satu hasil percobaan alkan terjadi dalam selang waktu yang
singkat tersebut, dapat diabaikan.
Beberapa contoh :
a.
Banyak orang yang lewat melalui pasar setiap hari, tetapi sangat jarang terjadi
seseorang yang menemukan barang hilang dan mengembalikannya kepada si
pemilik atau melaporkannya kepada polisi.
b.
Dalam tempo setiap 5 menit, operator telepon banyak menerima permintaan nomor
untuk disambungkan, diharapkan jarang sekali terjadi salah sambung.
c.
Misalkan rata-rata ada 1,4 orang buta huruf untuk setiap 100 orang. Sebuah sampel
berukuran 200 telah diambil.
Jika x= banyak buta huruf per 200 orang, maka untuk kita sekarang   2,8 .
Peluangnya tidak terdapat yang buta huruf adalah :
e 2,8 2,8
 e 2,8  0,0608
0!
0
p(0) 
Sedangkan peluang terdapatnya yang buta sama dengan 0,9392.
Distribusi Poisson dapat pula dianggap sebagai pendekatan kepada distribusi
binom. Jika dalam hal distribusi binom, N cukup besar sedangkan  = peluang
terjadinya peristiwa A, sangat dekat kepada nol sedemikian sehingga   NP tetap,
Untuk penggunaanya, sering dilakukan pendekatan ini jika N  50 sedangkan Np  5 .
Contoh :
Peluang seseorang akan mendapatkan reaksi buruk setelah disuntik besarnya 0,0005.
Dari 4000 orang yang disuntik, tentukan peluang yang mendapat reaksi buruk :
a. Tidak ada
b. Ada 2 orang
c. Lebih dari 2 orang
d. Tentukan ada berapa orang diharapkan yang akan mendapat reaksi buruk
Penyelesaian :
a.
Dengan menggunakan pendekatan distribusi Poisson kepada distribusi binom, maka
  Np  4000  0,0005  2
Jika X = banyak orang yang mendapatkan reaksi buruk akibat suntikan itu, maka :
e 2  2 0
p ( 0) 
 0,1353
0!
b.
Dalam hal ini X = 2, sehingga
p ( 2) 
e 2  2 2
 0, 2706
2!
Peluang ada 2 orang yang mendapat reaksi buruk adalah 0,2706
c.
Yang menderita reaksi buruk lebih dari 2 orang, ini berarti X=3,4,5,....
Tetapi p(0)  p (1)  p(2)  .....  1 , maka p(3)  p (4)  ....  1  p (0)  p (1)  p (2) .
Harga-harga p (0) dan p (2) sudah dihitung diatas.
e 2  2 1
p(1) 
 0,2706
1!
d.
Peluang yang dicari adalah 1  (0,1353  0,2706  0,2706)  0,3235
Ini tiada lain diminta menentukan rata-rata  . Diatas sudah dihitung   2
3.
PENGUJIAN
HIPOTESIS
DALAM
DISTRIBUSI
NORMAL
DAN
DISTRIBUSI POISON
Pada prinsipnya pengujian hipotesis yang berkaitan dengan distribusi normal,
distribusi binomial, maupun distribusi poison adalah sama, perbedaan terletak pada saat
kita merumuskan hipotesis dan melakukan transformasi ke Z skor. Pada saat distribusi
binomial maupun poison kita berhubungan dengan data diskrit, sehingga dalam
pengujian hipotesis adalah mengujinprobabilitas (bukan µ).
Untuk mempermudah pemahaman pengujian hipotesis pada distribusi binomial,
perhatikan contoh berikut :
Suatu hasil penelitian terhadap keberhasilan belajar mahasiswa di perguruan
tinggi dengan nilai yang memuaskan telah terbukti bahwa 80% mahasiswa yang orang
tuanya adalah guru berhasil menyelesaikan program sarjana dengan memuaskan.
Belakangan ini ada isu bahwa keberhasilan anak-anak guru dalam menyelesaikan
program sarjana dengan memuaskan semakin turun. Untuk membuktikan hal tersebut,
maka dilakukan penelitian dengan mengumpulkan sampel sebanyak 100 lulusan
program sarjana yang orangtuanya adalah guru. Dari hasil pengumpulan data ternyata
75% dari sampel dapat menyelesaikan program sarjana dengan memuaskan.
Berdasarkan dasar tersebut, apakah kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa
persentase keberhasilan anak guru untuk menyelesaikan program sarjana dengan nilai
memuaskan memang menurun?
Untuk itu marilah kita uji kebenaran dugaan tersebut melalui pengujian
hipotesis. Hipotesisnya adalah :
Ho
:
P
≥
0,80
H1
:
P
<
0,80
Apabila kita mengambil alpha sebesar 0,05 maka Z 0,05 adalah 1,645 (lihat
tabel Z). Transformasi ke Z dapat dihitung dengan rumus 5.1.
Z=
Sedangkan standar error dapat dihitung dengan rumus 5.2.
σp = ( . ):
Untuk soal di atas, standar error dan transformasi ke Z adalah :
σp = (0,80 0,20): 100
= 0,40
Dengan demikian maka :
Z=
,
,
,
=
,
,
= −1,25
Dengan memperhatikan hipotesis kita dapat menentukan daerah penerimaan
hipotesis nol, yaitu ≥ − 0,05 = -1,645.
Oleh karena Z hasil perhitungan > daripada Z tabel, maka kita menerima
hipotesis nol. Dengan demikian maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa :
keberhasilan anak guru dalam menyelesaikan program sarjana dengan nilai
memuaskan menurun.
Kurva yang menggambarkan pengujian hipotesis sebenarnya bisa berupa dua
kurva yang digambarkan secara bersama, sehingga tampak apakah perbedaan rata-rata
populasi dengan rata-rata sampel terletak di daerah penerimaan Ho atau tidak. Jika
kedua rata-rata itu masih terletak di daerah penerimaan hipotesis nol, maka rata-rata
tersebut tidak mempunyai perbedaan yang berarti. Dengan kata lain tidak ada perbedaan
antara rata-rata populasi dengan sampel (penelitian). Sebaliknya, apabila rata-rata data
yang terkumpul tersebut terletak pada daerah penolakan Ho, maka perbedaan antara
kedua rata-rata tersebut sangat besar, sehingga kita dapat mengambil suatu kesimpulan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua rata-rata tersebut.
Daerah penerimaan dan penolakan Ho dapat dilihat dalam kurva di bawah ini :
Untuk pengujian hipotesis yang menggunakan one tailed tes daerah alphanya
cukup satu sisi, di kanan atau kiri.
0,025
Daerah penerimaan Ho
BAB 11
UJI F DAN UJI T
Uji F dikenal dengan Uji serentak atau uji Model/Uji Anova, yaitu uji untuk melihat
bagaimanakah pengaruh semua variabel bebasnya secara bersama-sama terhadap variabel
terikatnya. Atau untuk menguji apakah model regresi yang kita buat baik/signifikan atau tidak
baik/non signifikan.
Jika model signifikan maka model bisa digunakan untuk prediksi/peramalan, sebaliknya
jika non/tidak signifikan maka model regresi tidak bisa digunakan untuk peramalan.
Uji F dapat dilakukan dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, jika F hitung >
dari F tabel, (Ho di tolak Ha diterima) maka model signifikan atau bisa dilihat dalam kolom
signifikansi pada Anova (Olahan dengan SPSS, Gunakan Uji Regresi dengan Metode Enter/Full
Model ). Model signifikan selama kolom signifikansi (%) < Alpha (kesiapan berbuat salah tipe
1, yang menentukan peneliti sendiri, ilmu sosial biasanya paling besar alpha 10%, atau 5% atau
1%). Dan sebaliknya jika F hitung < F tabel, maka model tidak signifikan, hal ini juga ditandai
nilai kolom signifikansi (%) akan lebih besar dari alpha.
Uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji bagaimana pengaruh masingmasing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri terhadap variabel terikatnya. Uji ini dapat
dilakukan dengan mambandingkan t hitung dengan t tabel atau dengan melihat kolom
signifikansi pada masing-masing t hitung, proses uji t identik dengan Uji F (lihat perhitungan
SPSS pada Coefficient Regression Full Model/Enter). Atau bisa diganti dengan Uji metode
Stepwise.
Pernggunaan Uji F dan t akan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab selanjutnya.
BAB 12
PENGUJIAN HIPOTESIS
1. PENDAHULUAN
Hipotesis adalah asumsi atau dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk
menjelaskan hal itu yang sering dituntut untuk melakukan pengecekannya.
Jika asumsi atau dugaan itu dikhususkan mengenai populasi, umumnya
mengenai nilai-nilai parameter populasi, maka hipotesis itu disebut hipotesis statistik.
Langkah atau prosedur untuk menentukan apakan menerima atau menolak hipotesis
disebut pengujian hipotesis.
2. DUA MACAM KEKELIRUAN
Dalam melakukan pengujian hipotesis, ada dua macam kekeliruan yang dapat
terjadi, dikenal dengan nama-nama :
a) Kekeliruan tipe I : ialah menolak hipotesis yang sehaeusnya diterima,
b) Kekeliruan tipe II : ialah menerima hipotesis yang sehaeusnya ditolak.
Untuk mengingat hubungan antara hipotesis, kesimpulan dan tipe kekeliruan,
dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
TIPE KEKELIRUAN KETIKA MEMBUAT KESIMPULAN
TENTANG HIPOTESIS
KESIMPULAN
Terima Hipotesis
Tolak Hipotesis
KEADAAN SEBENARNYA
HIPOTESIS BENAR
HIPOTESIS SALAH
KELIRU
BENAR
(Kekeliruan Tipe II)
KELIRU
BENAR
(Kekeliruan Tipe I)
Agar penelitian dapat dilakukan maka kedua tipe kekeliruan itu kita nyatakan
dalam peluang. Peluang membuat kekeliruan tipe I bisa dinyatakan dengan α (baca :
alfa) atau disebut kekeliruan α, dan peluang membuat kekeliruan tipe II bisa dinyatakan
dengan β (baca : beta) atau disebut kekeliruan β.
Dalam penggunaannya α disebut taraf signifikan atau taraf arti atau sering juga
disebut taraf nyata dengan harga yang biassa digunakan 0,01 atau 0,05. Dengan α = 0,05
atau disebut juga 5%, maka berarti kira-kira 5 dari setiap 100 kesimpulan bahwa kita
akan menolak hipotesis yang seharusny diterima.
3. LANGKAH-LANGKAH PENGUJIAN HIPOTESIS
Supaya nampak adanya dua pilihan, hipotesis H ini perlu didampingi oleh
pernyataan lain yang isinya berlawanan, yang merupakan tandingan unttuk H dan
dinyatakan dengan A. Pasangan H dan A ini, tepatnya H melawan A, lebih jauh juga
menentukan kriteria pengujian yang terdiri dari daerah daerah penerimaan dan daerah
penolakan hipotesis. Daerah penolakan hipotesis sering pula disebut daerah kritis.
Jika yang diuji parameter
(dalam penggunaannya
bisa rata-rata µ, proporsi
π, simpangan baku σ dan lain-lain) maka akan didapat hal-hal :
a) Hipotesis mengandung pengertian sama. Dalam hal ini pasangan H dan A adalah :
1) H :
=
A :
=
3) H :
=
A :
>
Dengan
,
1
1
2) H :
=
A :
≠
4) H :
=
A :
<
1
1
1 dua harga berlainan yang diketahui. Pasangan 1) dinamakan
pengujian sederhana lawan sederhana sedangkan yang lainnya merupakan pengujian
sederhana lawan komposit.
b) Hipotesis mengandung pengertian maksimum.
Untuk ini H dan A berbentuk :
H
:
≤
A
:
>
1
Yang biasa dinamakan pengujian komposit lawan komposit.
c) Hipotesis mengandung pengertian minimum.
Perumusan H dan A berbentuk :
H
:
≥
A
:
<
1
Ini juga pengujian komposit lawan komposit.
Yang akan dipelajari hanyalah pengujian terhadap hipotesis yang perumusannya
mengandung pengertian sama atau tidak memiliki perbedaan, disebut hipotesis nol
dengan lambang H0 melawan hipotesis tandingannya dengan lambang H1 yang
mengandung pengertian tidak sama, lebih besar atau lebih kecil. H1 ini harus dipilih
atau ditentukan penelitu sesuai dengan persoalan yang dihadapi.
Pasangan Ho dan H1 yang telah dirumuskan, untuk kita disini akan dituliskan
dalam bentuk :
∶ 0 =
∶ 0 ≠
atau
∶ 0 =
∶ 0 >
atau
∶ 0 =
∶ 0 <
Langkah berikutnya, kita pilih bentuk statistik mana yang harus digunakan,
apakah z, t, X , F, atau lainnya. Kemudian berdasarkan pilihan taraf nyata α atau disebut
juga ukuran daerah kritis, kriteria pengyjian kita tentukan. Peran hipotesis tandingan
dalam penentuan daerah kritis adalah sebagai berikut :
1) Jika tandingan
mempunyai perumusan tidak sama, maka dalam distribusi statistik
yang digunakan, normal untuk angka z, Student untuk t, dan seterusnya, didapat dua
daerah kritis masing-masing pada ujung-ujung distribusi. Luas daerah kritis adalah
. Pengujian hipotesis ini dinamakan uji dua pihak.
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Luas = 1/2α
Luas = 1/2α
Daerah
Penerimaan
d1
d2
Kedua daerh dibatasi oleh d1 dan d2 yang didapat dari dari daftar distribusi
yang bersanglutan dengan menggunakan peluang yang ditentukan oleh α. Kriteria
yang didapat adalah : terima hipotesis
jika harga statistik yang dihitung
berdasarkan data penelitian jatuh antara d1 dan d2, dalam hal lainnya
ditolak.
2) Untuk tandingan
yang mempunyai perumusan lebih besar, maka dalam distribusi
yang digunakan didapat sebuah daerah kritis yang letaknya di ujung sebelah kanan.
Luas daerah kritis ini sama dengan α.
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Luas = 1/2α
Daerah
Penerimaan
Luas = α
d
Harga d didapat dari daftar distribusi yang bersangkutan dengan peluang
yang ditentukan oleh α, menjadi batas antara daerah kritis dan daerah penerimaan
. Kriteria yang dipakai adalah : tolak
jika statistik yang dihitung berdasarkan
sampel yang tidak kurang dari d. Dalam hal lainnya kita terima
. Pengujian ini
kita namakan uji satu pihak.
3) Jika tandingan
mengandung pernyataan yang lebih kecil, maka daerah kritis ada
di ujung kiri distribusi yang digunakan. Luas daerah ini = α yang menjadi batas
daerah penerimaan
oleh bilangan d yang didapatkan dari daftar distribusi yang
bersangkutan. Peluang untuk mendapat d ditentukan oleh taraf nyata α.
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Luas = α
Daerah
Penerimaan
d
Kriteria yang digunakan adalah : terima
jika statistis yang
dihitungkan berdasarkan penelitian lebih besar dari d sedangkan dalam hal lainnya
kita tolak. Dalam hal ini kita mempunyai uji satu pihak, ialah pihak kiri.
4. MENGUJI RATA-RATA µ : UJI DUA PIHAK
Misalkan suatu populasi berdistribusi normal dengan rata-rata µ dan simpangan
baku σ. Akan diuji mengenai parameter rata-rata µ. Untuk ini bisa diambil sampel acak
berukuran n, lalu hitung statistik
dan s. Dibedakan sebagai berikut ;
 Jika σ diketahui
∶ 0 =
∶ 0 ≠
Untuk pasangan hipotesisnya
µ
µ
Dengan µ sebuah harga yang diketahui, maka digunakan statistik :
=
̅− µ
√
 Jika σ tidak diketahui
Dalam kenyataannya σ sering tuidak diketahui. Dengan pasangan hipotesis
∶ 0 =
∶ 0 ≠
µ
µ
maka menggunakan statistik :
=
̅− µ
√
H0 kita terima jika −
(
∝)
<
<
(
∝)
didapat dari daftar normal baku
dengan peluang (1−∝). Dalam hal lainnya, H0 ditolak.
5. MENGUJI RATA-RATA µ : UJI SATU PIHAK
Perumusan yang umum untuk uji pihak kanan mengenai rata-rata µ
berdasarkan
dan
adalah :
∶ 0 =
∶ 0 >
µ
µ
Misalkan suatu populasi berdistribusi normal dan sampel acak berukuran n. Maka
dihitung statistik
dan s. Didapat hal-hal berikut :
 Jika σ diketahui
Jika simpangan baku σ untuk p0opulasi diketahui, seperti biasa digunakan
statistik
=
̅
. Sketsa untuk kriteria untuk pengujian seperti dalam gambar
√
berikut:
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Daerah Penolakan
(Daerah kritis)
Luas = 1/2α
Luas = α
Daerah
Penerimaan
d
Selanjutnya menggunakan distribusi normal baku. Batas kriteria didapat dari
daftar normal baku.
ditolak jika z ≥
,
dengan
,
normal baku menggunakan peluang (0,5 - ). Dalam hal lainnya
didapat dari daftar
diterima.
 Jika σ tidak diketahui
Jika σ tidak diketahui maka statistik yang digunakan untuk menguji
∶ 0 =
∶ 0 >
Adalah statistik
̅
=
µ
µ
. Kriteria pengujian didapat dari daftar distribusi
√
Student t denga dk = (n - 1) dan peluang (1 –
).
ditolak jika t ≥
dengan
diterima dalam hal lainnya.
Jika σ tidak diketahui, maka untuk uji pihak kiri tersebut digunakan statistik t
seperti yang tertera dalam
=
̅
. Dalam hal ini
ditolak jika t ≤ -
, dengan
√
didapat dari daftar distribusi Student menggunakan peluang (1 – ) dan dk = (n 1). Untuk t > -
, hipotesis
diterima.
6. MENGUJI PROPORSI µ : UJI DUA PIHAK
Misalkan ada populasi binom dengan proporsi peristiwa A = π. Berdasarkan
sebuah sampel acak yang diambil dari populasi itu, akan diuji mengenai dua pihak.
∶ 0 = µ
∶ 0 ≠ µ
dengan
sebuah harga yang diketahui. Dari sampel yang berukuran n itu dihitung
proporsi sampel
adanya peristiwa A. Dengan menggunakan pendekatan oleh distribusi
normal, maka untuk pengujian ini digunakan statistik z yang rumusnya :
=
−
(1 −
)
Kriteria untuk pengujian ini, dengan taraf nyata α adalah : terima
−
(
)
< z <
(
)
, dimana
peluang (1 − ). Dalam hal lainnya
(
)
jika
didapat dari daftar normal baku dengan
ditolak.
Contoh:
Kita ingin menguji bahwa distribusi siswa laki-laki dan dan siswa perempuan
yang menguasai statistika adalah sama. Sebuah sampel acak terdiri atas 4.800 orang
siswa adalah 2.458 siswa laki-laki. Dalam taraf nyata 0,05. Betulkah distribusi siswa
laki-laki dan perempuan itu sama?
Jawab:
Jika π = peluang terdapatnya siswa laki-laki, maka akan diuji pasangan hipotesis:
∶
∶
x = 2.458, n = 4.800, dan
1
2
1
≠
2
=
= didapat,
−
=
(1 −
2.458
− 0,5
= 4.800
= 1,68
)
(0,5) (0,5)
4.800
Nilai z dari daftar normal baku dengan α = 0,05 adalah 1,96. Jadi kriteria
pengujian yang dipakai : terima
sedangkan dalam hal lain
sehingga
jika z hitung terletak antara -1,96 dan 1,96;
ditolak. Harga z = 1,86 ada pada daerah penerimaan
diterima. Kesimpulan : peluang siswa laki-laki dan perempuan sama
besar.
7. MENGUJI PROPORSI  : UJI SATU PIHAK
Jika yang diuji dari populasi binom itu berbentuk:
∶
∶
=
>
maka pengujian demikian merupakan uji pihak kanan. Untuk ini pun, statistic yang
digunakan masih statistik z seperti tertera dalam rumus di atas. Yang berbeda hanyalah
dalam penentuan kriteris pengujiannya. Dalam hal ini, tolak H0 jika
≥
,
∝,
di
mana
,
∝,
,
∝
didapat dari daftar normal baku dengan peluang (0,5−∝). Untuk
<
hipotesis H0 diterima.
Contoh:
Seorang pejabat mengatakan bahwa paling banyak 60% anggota masyarakat
termasuk golongan A. sebuah sampel acak telah diambil yang terdiri atas 8.500 orang
dan ternyata 5.426 termasuk golongan A. Apabila ∝= 0,01, benarkah pernyataan
tersebut?
Jawab:
∶
∶
Yang akan di uji adalah
= 5.426;
= 8.500;
=
=
>
0,6
0,6
(1 − ) = 0,4, maka diperleh:
= 0,6;
5.426
− 0,6
= 8.500
= 2,79
)
0,6(0,4)
8500
−
(1 −
Dengan taraf nyata ∝= 0,01 dari daftar normal baku memberikan
= 2,79 >
Harga
= 2,33. Maka
= 2,33.
,
ditolak dan uji sangat berarti. Ini
mengatakan bahwa persentase anggota masyarakat golongan A sudah melampaui 60%.
Untuk uji pihak kiri, maka pasangan hipotesis nol dan tandingannya adalah:
∶
∶
=
<
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika
≤
,
∝,
di mana
,
∝
didapat
dari daftar normal baku dengan peluang (0,5−∝). Dalam hal lainnya H0 diterima.
Contoh:
Akan diuji
∶
∶
=
<
0,3
0,3
Sampel acak berukuran n = 425 memberikan
= 0,28. Bagaimana hasil
pengujian dengan ∝= 0,05 ?
Jawab:
=
−
(1 −
)
=
0,28 − 0,3
0,3(0,7)
425
= −0,90
Dari daftar normal baku dengan ∝= 0,05 didapat
≤ −1,64. Jelas bahwa
kiri, maka tolak H0 jika
daerah penerimaan H0. Jadi,
:
,
= 1,64. Untuk uji pihak
= −0,90 ada pada
= 0,3 diterima pada taraf nyata 0,05. Pengujian tak
berarti.
8. MENGUJI VARIANS
A. Uji dua pihak
Untuk ini, pasangan H0 dan H1 adalah:
∶
∶
=
≠
Untuk menguji ini dipakai statistik chi-kuadrat,
=
( − 1)
Jika dalam pengujian dipakai taraf nyata ∝, maka kriteria pengujian adalah: terima H0
jika
∝
<
<
∝
dimana
∝
dan
didapat dari daftar distribusi chi-kuadrat
∝
= ( − 1) dan masing-masing dengan peluang
dengan
∝ dan 1 − ∝ . Dalam
hal lainnya H0 ditolak.
B. Uji satu pihak
Dalam kenyataannya sangat sering dikehendaki adanya varians yang berharga
kecil. Untuk ini pengujian diperlukan dan akan merupakan uji pihak kanan:
∶
∶
Statistik yang digunakan masih tetap
≥
Tolak H0 jika
∝
=
dimana
=
>
(
)
∝
. Kriteria dalam hal ini adalah :
didapat dari daftar distribusi chi-kuadrat
= ( − 1) dan peluang (1−∝). Dalam hal lainnya H0 diterima.
dengan
Jika hipotesis nol dan tandingannya menyebabkan uji pihak kiri, yakni
∶
∶
pasangan:
=
<
Maka hal yang sebaliknya akan terjadi mengenai kriteria pengujian, yaitu tolak H0 jika
≤
∝,
di mana
∝
didapat dari daftar distribusi chi-kuadrat dengan
= ( − 1)
dan peluang ∝ sedangkan statistik
=
(
)
tetap dihitung dengan menggunakan rumus
.
9. MENGUJI KESAMAAN DUA RATA-RATA : UJI DUA PIHAK
Pasangan hipotesis nol dan tandingannya yang akan diuji adalah :
∶
∶
=
≠
Untuk ini kita bedakan hal-hal berikut.
Hal A :
=
=
dan
diketahui
Statistik yang digunakan jika H0 benar adalah:
=
−
1
+
1
dengan taraf nyata ∝, maka kriteria pengujian adalah: terima H0 jika −
(
dimana
∝)
(
∝)
(
∝)
<
<
(1−∝).
didapat dari daftar normal baku dengan peluang
Dalam hal lainnya H0 ditolak.
Hal B :
=
=
tetapi
tidak diketahui
Jarang sekali
tetapi
diketahui besarnya. Jika H0 benar dan
=
=
tidak diketahui harganya, statistik yang digunakan adalah
=
−
1
+
1
dengan
=
(
− 1)
+ ( − 1)
+ −2
Menurut teori distribusi sampling, maka statistik t di atas berdistribusi student
dengan
∝
=(
dimana
+
∝
− 2). Kriteria pengujian adalah : terima H0 jika −
didapat dari daftar distribusi t dengan
peluang 1 − ∝. Dalam hal lainnya H0 ditolak.
=(
+
∝
< <
− 2) dan
≠
Hal C :
dan kedua-duanya tidak diketahui
Pendekatan yang digunakan dengan statistik t berikut.
−
=
+
Kriteria pengujiannya adalah : terima hipotesis H0 jika
+
+
−
=
dengan :
;
=
<
+
+
<
=
=
)
∝ ,(
)
∝ ,(
, m didapat dari daftar distribusi Student dengan peluang
dan dk = m. untuk harga-
harga t lainya, H0 ditolak.
Hal D : Observasi Berpasangan
=
Untuk observasi berpasangan, kita ambil
−
. Hipotesis nol dan
tandingannya adalah :
∶
∶
Jika
=
−
menghasilkan rata-rata
,
=
−
= 0
≠ 0
,…,
=
dan simpangan baku
−
, maka data
,
,…,
. Untuk pengujian hipotesis, gunakan :
=
√
dan terima H0 jika −
∝
dengan peluang 1 − ∝ dan
< <
∝
dimana
∝
didapat dari daftar distribusi t
= ( − 1). Dalam hal lainnya H0 ditolak.
10. MENGUJI KESAMAAN DUA RATA-RATA : UJI SATU PIHAK
Sebagaimana dalam uji dua pihak, untuk uji satu pihak pun dimisalkan bahwa
kedua populasi berdistribusi normal dengan rata-rata
. Karena umumnya besar
ditinjau hal-hal tersebut untuk keadaan
dan simpangan baku
tidak diketahui, maka di sini akan
=
atau
≠
.
Hal A. Uji Pihak Kanan
∶
∶
Yang diuji adalah
=
Dalam hal
=
>
, maka statistik yang digunakan ialah :
−
=
1
+
1
dengan
=
(
− 1)
+ ( − 1)
+ −2
Kriteria pengujian yang berlaku ialah terima H0 jika <
=(
mempunyai harga-harga lain. Dengan
≠
Jika
+
∝
dan tolak H0 jika t
− 2), dan peluang (1−∝).
, maka statistik yang digunakan adalah
−
=
+
Kriteria pengujiannya adalah : tolak hipotesis H0 jika
+
+
≥
Dan terima H0 jika sebaliknya, dengan :
=
;
=
;
=
∝ ,(
)
=
∝ ,(
)
Peluang untuk penggunaan daftar distribusi t ialah (1−∝) sedangkan dk-nya masingmasing (
− 1) dan (
− 1).
Untuk observasi berpasangan, pasangan hipotesis nol H0 dan hipotesis tandingan
H1, untuk uji pihak kanan adalah
∶
∶
= 0
> 0
Statistik yang digunakan masih statistik
=
√
dan tolak H0 jika
peluang 1−∝ dan
≥
∝
dimana
= ( − 1).
∝
didapat dari daftar distribusi student dengan
Contoh : untuk mempelajari kemampuan belajar tentang menjumlahkan bilangan, 10
anak laki-laki dan 10 anak perempuan telah diambil secara acak. Dari
pengamatan masa lampau kemampuan belajar anak laki-laki umumnya lebih
baik daripada kemampuan belajar anak perempuan. Hasil ujian yang
dilakukan adalah :
Laki-laki
30
21
21
27
20
25
27
22
28
18
Perempuan
31
22
37
24
30
15
25
42
19
38
Apakah yang dapat disimpulkan dari hasil ujian ini?
Jawab: Dari data di atas, setelah dihitung berdasarkan beda (selisih) tiap pasangan
data, didapat
= 4,4 dan
= 11,34, maka
=
=
√
4,4
= 1,227
11,34
√10
Dengan dk = 9 dan peluang 0,95 dari daftar distribusi student didapat
,
=
1,83. Karena t = 1,22 lebih kecil dari 1,83 maka H0 diterima. Dalam hal ini masih dapat
dikatakan bahwa rata-rata hasil ujian anak laki-laki lebih baik daripada rata-rata hasil
ujian anak perempuan.
Hal B. Uji Pihak Kiri
Perumusan hipotesis H0 dan hipotesis tandingan H1 untuk uji pihak kiri adalah :
∶
∶
=
<
Langkah-langkah yang ditempuh dalam hal ini sejalan dengan yang dilakukan
untuk uji pihak kanan.
Jika
=
, kedua-duanya nilainya tidak diketahui, maka digunakan statistik
=
−
1
+
1
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0 jika
daftar distribusi t dengan
=(
t lainnya, H0 diterima. Jika
≠
+
≤
∝
dimana
∝
− 2), dan peluang (1−∝). Untuk harga-harga
, maka yang digunakan adalah statistik
=
didapat dari
−
+
Kriteria pengujiannya adalah : tolak hipotesis H0 jika
+
+
≤
Dimana
,
, ,
semuanya seperti yang telah diuraikan di atas. Jika t lebih
besar dari harga tersebut, maka H0 diterima.
Untuk observasi berpasangan, hipotesis H0 dan tandingan yang akan diuji
adalah:
∶
∶
= 0
< 0
Statistik yang digunakan ialah statistik
=
√
dan tolak H0 jika ≤
(
)
∝),(
dan terima H0 untuk ≤ −
(
).
∝),(
11. MENGUJI KESAMAAN DUA PROPORSI : UJI DUA PIHAK
Akan diuji hipotesis
∶
∶
=
≠
Untuk ini digunakan pendekatan oleh distribusi normal dengan statistik :
−
=
dengan
=
dan
1
+
1
= 1− .
Jika dalam pengujian ini digunakan taraf nyata ∝, maka kriteria pengujiannya
adalah: terima H0 jika −
(
∝)
<
<
(
∝)
dimana
(
∝)
didapat dari daftar
normal baku dengan peluang (1−∝). Dalam hal lainnya H0 ditolak.
Contoh : Suatu penelitian dilakukan di daerah T terhadap 250 pemilih. Ternyata 150
pemilih menyatakan akan memilih calon R. Di daerah S penelitian dilakukan
terhadap 300 pemilih dan terdapat 162 yang akan memilih calon R. adaph
perbedaan nyata mengenai pemilihan calon R di antara kedua daerah itu ?
Jawab: Hipotesis yang akan di uji adalah :
=
=
= 0,5673, dan
1
=
1
+
=
≠
=1−
= 0,4327. Maka,
150
162
250 − 300
1
1
(0,5673)(0,4327)
250 + 300
−
=
∶
∶
Kriteri pengujian adalah: terima H0 jika −
(
∝)
=
(
,
)
=
,
= 1,96, sehingga −1,96 <
(
∝)
<
<
= 1,42
(
∝)
dimana
< 1,96. Dalam hal lainnya
H0 ditolak. Jelas bahwa z = 1,42 ada dalam penerimaan H0. Kesimpulan: dalam taraf
5%, penelitian memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua
daerah itu terhadap pemilihan calon R.
12. MENGUJI KESAMAAN DUA PROPORSI : UJI SATU PIHAK
Untuk uji pihak kanan, maka pasangan hipotesisnya adalah:
∶
∶
=
>
Statistik yang digunakan masih berdasarkan pendekatan distribusi normal, jadi
digunakan statistik
−
=
Dalam hal ini tolak H0 jika
1
≥
( ,
∝)
+
1
dan terima H0 untuk
<
( ,
∝)
dengan
∝ = taraf nyata.
Apabila uji pihak kiri, maka hipotesis nol H0 dan tandingannya adalah H1
berbentuk
∶
∶
=
<
Dengan statistik yang sama seperti di atas, tolak H0 jika
terima H0 untuk
>−
( ,
∝)
≤−
( ,
dengan ∝ = taraf nyata. Untuk kedua-duanya
didapat dari daftar distribusi normal baku dengan peluang (0,5−∝).
∝)
( ,
dan
∝)
BAB 13
ANALISIS VARIANS (ANOVA)
Analisa varians (Analysis of Varianc) atau yang lebih dikenal dengan istilah
ANOVA adalah suatu teknik untuk menguji kesamaan beberapa rata-rata secara
sekaligus. Tujuannya untuk mengetahui apakah ada perbedaan rata-rata dalam sampel
dengan perbedaan rata-rata antar sampel. Uji yang dipergunakan dalam ANOVA adalah
uji F karena dipakai untuk pengujian dari 2 sampel.Anova dapat digolongkan ke dalam
beberapa kriteria, yaitu :
1. Klasifikasi 1 arah
ANOVA klasifikasi 1 arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan
1 kriteria.
2. Klasifikasi 2 arah
ANOVA klasifikasi 2 arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan
2 kriteria.
3. Klasifikasi banyak arah
ANOVA banyak arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan
banyak kriteria.
1. ANOVA SATU ARAH (ONE WAY - ANOVA)
Anava atau Anova adalah anonim dari analisis varian terjemahan dari analysis of
variance, sehingga banyak orang yang menyebutnya dengan anova. Anova merupakan
bagian dari metoda analisis statistika yang tergolong analisis komparatif (perbandingan)
lebih dari dua rata-rata.
Uji anova satu arah adalah untuk membandingkan lebih dari dua rata-rata.
Sedangkang gunanya untuk menguji kemampuan generalisasi. Maksudnya dari
signifikansi hasil penelitian (anava satu jalur). Jika terbukti berbeda berarti kedua
sampel tersebut dapat digeneralisasikan, artinya data sampel dianggap dapat mewakili
populasi.
Anova pengembangan atau penjabaran lebih lanjut dari uji-t (
). Uji-t atau
uji-z hanya dapat melihat perbandingan dua kelompok data saja. Sedangkan anova satu
jalur lebih dari dua kelompok data. Contoh: Perbedaan prestasi belajar statistika antara
mahasiswa tugas belajar (X1), izin belajar (X2) dan umum (X3).
Anova lebih dikenal dengan uji-F (Fisher Test), sedangkan arti variasi atau
varian itu asalnya dari pengertian konsep “Mean Square” atau kuadrat rerata (KR).
Rumusnya :
=
Dimana :
JK = jumlah kuadrat (some of square)
db = derajat bebas (degree of freedom)
Menghitung nilai Anova atau F (
=
=
) dengan rumus :
∶
=
=
∶
Varian dalam group dapat juga disebut Varian Kesalahan (Varian Galat). Dapat
dirumuskan :
= ∑
(∑
= ∑
)
−
− ∑
(∑
(∑
)
)
untuk
=
−1
untuk
=
−
Dimana :
(∑
)
= sebagai faktor koreksi
N
= Jumlah keseluruhan sampel (jumlah kasus dalam penelitian).
A
= Jumlah keseluruhan group sampel.
Langkah-langkah uji anova satu arah
1) Sebelum anova dihitung, asumsikan bahwa data dipilih secara random, berdistribusi
normal, dan variannya homogen.
2) Buatlah hipotesis (
)dalam bentuk kalimat.
3) Buatlah hipotesis (
)dalam bentuk statistik.
4) Buatlah daftar statistik induk.
5) Hitunglah jumlah kuadrat antar group (
= ∑
(∑
)
−
(∑
)
=
(∑
)
+
) dengan rumus :
(∑
)
+
)
−
(∑
=
−1
) dengan rumus :
=
6) Hitunglah derajat bebas antar group dengan rumus :
7) Hitunglah kudrat rerata antar group (
(∑
)
8) Hitunglah jumlah kuadrat dalam antar group (
= ∑
− ∑
=
(∑
) dengan rumus :
)
+
+
−
(∑
)
+
9) Hitunglah derajat bebas dalam group dengan rumus :
10)
Hitunglah kuadrat rerata dalam antar group (
11) Carilah
dengan rumus :
(∑
)
=
−
+
(∑
) dengan rumus :
)
=
=
12) Tentukan taraf signifikansinya, misalnya α = 0,05 atau α = 0,01
13) Cari
dengan rumus :
=
(
)(
,
)
14) Buat Tabel Ringkasan Anova
TABEL RINGKASSAN ANOVA SATU ARAH
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat
Varian (SV)
(JK)
bebas (db)
Antar group
(∑
)
(A)
−
Dalam group
−
(D)
Total
−
(∑
)
(∑
)
(∑
)
Taraf
Rerata
Signifikan
(KR)
( )
α
A–1
N–A
N–1
≥
15) Tentukan kriteria pengujian : jika
dan konsultasikan antara
Kuadrat
dengan
, maka tolak
-
-
-
berarti signifan
kemudian bandingkan.
16) Buat kesimpulan.
KASUS
Seorang ingin mengetahui perbedaan prestasi belajar untuk mata kuliah
dasar-dasar statistika antara mahassiswa tugas belajar, izin belajarn dan umum.
Data diambil dari nilai UTS sebagai berikut :
Tugas belajar (
Izin belajar (
Umum (
)
)
)
= 6 8 5 7 7 6 6 8 7 6 7
= 11 orang
= 5 6 6 7 5 5 5 6 5 6 8 7 = 12 orang
= 6 9 8 7 8 9 6 6 9 8 6 8 = 12 orang
Buktikan apakah ada perbedaan atau tidak?
LANGKAH-LANGKAH MENJAWAB :
1) Diasumsikan bahwa data dipilih secara random, berdistribusi normal, dan variannya
homogen.
2) Hipotesis (
) dalam bentuk kalimat.
= Terdapat perbedaan yang signifikan antara mahasiswa tugas belajar, izin
belajar dan umum.
= Tidak ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa tugas belajar, izin
belajar dan umum.
3) Hipotesis (
:
) dalam bentuk statistik
≠
=
:
=
=
4) Daftar statistik induk
NILAI UTS
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
STATISTIK
n
/
Varian (
)
6
8
5
7
7
6
6
8
7
6
7
-
5
6
6
7
5
5
5
6
5
6
8
7
6
9
8
7
8
9
6
6
9
8
6
8
11
73
943
6,64
484,45
12
71
431
5,92
420,08
12
90
692
7,5
675
TOTAL (T)
N = 35
234
1616
6,69
1564,46
0,85
0,99
1,55
1,13
5) Menghitung jumlah kuadrat antar group (
=
(∑
)
−
(∑
)
) dengan rumus :
(
=
)
(
+
)
+
(
)
−
(
)
= 1579,53 − 1564,46 15,07
6) Hitunglah derajat bebas antar group dengan rumus :
=
−1=3–1=2
A = jumlah group A
7) Hitunglah kudrat rerata antar group (
=
) dengan rumus :
15,07
= 7,54
2
=
8) Hitunglah jumlah kuadrat dalam antar group (
=
(∑
−
)
2
= (493 + 431 + 692) −
) dengan rumus :
2
73
71
90
+
+
11
12
12
2
= 1616 − 1579,53 = 36,47
9) Hitunglah derajat bebas dalam group dengan rumus :
=
−
= 35 – 3 = 32
10) Hitunglah kuadrat rerata dalam antar group (
=
11) Carilah
=
) dengan rumus :
36,47
= 1,14
32
dengan rumus :
=
=
,
,
= 6,61
12) Tentukan taraf signifikansinya, misalnya α = 0,05
13) Cari
dengan rumus :
=
(
)(
=
(
,
=
( ,
)( ,
,
)
)( ,
)
)
= 3,30
Cara mencari : Nilai
= 3,30 dan arti angka
( ,
)( ,
)
0,95
= Taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikan 5%.
Angka 2
= pembilang atau hasil dari db .
Angka 32 = penyebut atau hasil dari db .
Apabila angka 2 dicari ke kanan dan angka 32 ke bawah maka akan bertemu
dengan nilai
= 3,30 . Untuk taraf signifikansi 5% dipilih pada bagian
ats dan 1% dipilih pada bagian bawah.
14) Buat Tabel Ringkasan Anova
TABEL
RINGKASSAN ANOVA SATU JALUR
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat
Kuadrat
Taraf
Varian
(JK)
bebas (db)
Rerata
Signifikan
(KR)
( )
(SV)
Antar
15,07
2
7,54
6,61
group (A)
< 0,05
= 3,30
Dalam
36,47
32
1,14
-
-
51,54
34
-
-
-
group (D)
Total
15) Tentukan kriteria pengujian : jika
≥
, maka tolak
berarti signifan.
Setelah dikonsultasikan dengan tabel F kemudian dibandingkan antara
dengan
.ternyata :
>
atau 6,61 > 3,30 maka tolak
berarti signifikan.
16) Kesimpulan.
ditolak dan
diterima. Jadi, terdapat perbedaan yang signifikan antara
mahasiswa tugas belajar, izin belajar dan umum.
2. ANOVA DUA ARAH (TWO-WAY ANOVA)
Pengujian anova dua arah mempunyai beberapa asumsi diantaranya:
1. Populasi yang diuji berdistribusi normal,
2. Varians atau ragam dan populasi yang diuji sama,
3. Sampel tidak berhubungan satu dengan yang lain.
Tujuan dari pengujian anova dua arah adalah untuk mengetahui apakah ada
pengaruh dari berbagai kriteria yang diuji terhadap hasil yang diinginkan.
Anova dua arah dibagi menjadi dua bagian, yakni sebagai berikut.
1. Anova Dua Arah tanpa Interaksi
Pengujian klasifikasi dua arah tanpa interaksi merupakan pengujian hipotesis
beda tiga rata-rata atau lebih dengan dua faktor yang berpengaruh dan interaksi antara
kedua faktor tersebut ditiadakan.
Jumlah
Sumber Varians
Kuadrat
Derajat Bebas
Rata-Rata Baris
JKB
b–1
Rata-Rata Kolom
JKK
k–1
Error
JKE
(k – 1) (b – 1)
JKT
kb - 1
Total
Rata-Rata
Kuadrat
=
=
=
− 1 dan
= ( − 1)( − 1)
Kolom :
=
− 1 dan
= ( − 1)( − 1)
Jumlah Kuadrat Total
)=
−
Jumlah Kuadrat Baris
(
)=
(
)=
∑
−
Jumlah Kuadrat Kolom
∑
=
=
Baris :
(
f0
−
=
Jumlah Kuadrat Error
(
)=
−
−
Keterangan : T = total
Contoh:
Berikut ini adalah hasil perhektar dari 4 jenis padi dengan penggunaan pupuk yang
berbeda.
V1
V2
V3
V4
T
P1
4
6
7
8
25
P2
9
8
10
7
34
P3
6
7
6
5
24
19
21
23
20
83
Dengan taraf nyata 5%, ujilah apakah rata-rata hasil perhektar sama untuk :
a. Jenis pupuk (pada baris),
b. Jenis tanaman (pada kolom).
Jawab:
1. Hipotesis
=
a.
=
=
=
−
=
b.
=0
=
=
=
≠0
=0
−
≠0
2. Taraf nyata ( ) = 5% = 0,05 (
):
a. Untuk baris
=
−1 =3−1 =2
= ( − 1)( − 1) = (3 − 1)(4 − 1) = 6
(
=
)
;
( ; )
,
= 5,14
b. Untuk kolom
=
−1 =4−1 =3
= ( − 1)( − 1) = (3 − 1)(4 − 1) = 6
(
;
)
=
,
( ; )
= 4,76
3. Kriteria Pengujian
≤ 5,14
a.
> 5,14
≤ 4,76
b.
> 4,76
4. Perhitungan
=
=
−
∑
−
=4 +9 + … +5 −
=
∑
−
=
,
25 + 34 + 24
83
2357 6889
−
=
−
4
4(3)
4
12
= 589,25 − 574,08 =
=
83
= 605 − 574,08 =
4(3)
,
19 + 21 + 23 + 20
83
1731 6889
−
=
−
3
4(3)
3
12
= 577 − 574,08 = ,
=
−
= 30,92 − 15,17 − 2,92 =
,
15,17 15,17
=
= 7,585 = 7,59
3−1
2
2,92
2,92
=
=
= 0,97
4−1
3
12,83 12,83
=
=
=
= 2,14
( − 1)( − 1)
3(2)
6
=
=
=
=
=
−
=
7,59
= 3,55;
2,14
=
=
0,97
= 0,45
2,14
5. Kesimpulan
a. Karna
= 3,55 <
,
( ; )
= 5,14, maka H0 diterima. Jadi, rata-rata hasil
perhektar sama untuk pemberian ketiga jenis pupuk tersebut.
b. Karna
= 0,45 <
,
( ; )
= 4,76, maka H0 diterima. Jadi, rata-rata hasil
perhektar sama untuk penggunaan ke-4 varietas tanaman tersebut.
2. Anova Dua Arah dengan Interaksi
Pengujian klasifikasi dua arah dengan interaksi merupakan pengujian beda tiga
rata-rata atau lebih dengan dua faktor yang berpengaruh dan pengaruh interaksi antara
kedua faktor tersebut diperhitungkan.
Jumlah
Sumber Varians
Kuadrat
Rata-Rata Baris
JKB
b–1
Rata-Rata Kolom
JKK
k–1
JK (BK)
(k – 1) (b – 1)
Interaksi
Rata-Rata
Derajat Bebas
=
JKE
=
=
(
=
Error
JKT
bkn - 1
=
−
Jumlah Kuadrat Baris
=
∑
−
Jumlah Kuadrat Kolom
=
∑
−
Jumlah Kuadrat Bagi Interaksi Baris Kolom
)=
∑
∑
−
∑
−
∑
+
Jumlah Kuadrat Error
=
Keterangan : T = total
=
=
Jumlah Kuadrat Total
(
)
bk(n-1)
=
Total
f0
Kuadrat
−
−
−
(
)
Contoh:
Ekonomi Tingkat Keluarga
Tingkat Aktivitas
Ekstrakulikuler
t1
t2
t3
t4
Total
V1
V2
V3
64
72
74
66
81
51
70
64
65
65
57
47
63
43
58
58
52
67
59
66
58
68
71
39
65
59
42
58
57
53
41
61
59
46
53
38
723
736
651
Nb: untuk mempermudah dalam penyelesaian, masing-masing dijumlahkan dulu.
= 4;
= 3;
=3
Jawab:
1. Hipotesis
∶
=
=
=
=
∶
=
=
=
)
=
=(
=
−
2. Taraf nyata 5% = 0,05
>
(
;
,
>
,
≠0
=0
−
=(
>
=0
−
=
∶
=
; ( )(
( ;
> 3,01 ⟶
)
)
)
≠0
)
=(
)
=…= (
(
)
=0
) ≠0
Total
607
510
527
466
2110
>
(
;
>
; ( )(
,
>
)
( ;
,
)
)
> 3,40 ⟶
>
(
>
)(
(
,
>
)(
( ;
,
);
(
)
); ( )(
)
)
> 2,51 ⟶
3. Perhitungan
=
−
= 64 + 66 + ⋯ + 38 −
= 127448 −
=
∑
∑
=
(
)=
=
∑
2110
36
= 127448 − 123669 = 3779
−
=
607 + 510 + 527 + 466
2110
−
= 1157
9
36
−
=
723 + 736 + 651
2110
−
= 350
12
36
∑
−
∑
−
∑
+
200 + ⋯ + 150
607 + ⋯ + 466
723 + 736 + 651
2110
−
−
+
3
9
12
36
= 771
=
−
=
=
=
=
(
=
−
−
(
) = 3779 − 350 − 1157 − 771 = 1501
1157
= 385,67;
4−1
)
771
=
= 128,5;
(3)(2)
385,67
= 6,17 >
62,54
=
=
,
350
= 175
3−1
1501
=
= 62,54
24
=
=
=
175
= 2,8 <
62,54
=
=
128,5
= 2,05 <
62,54
,
,
4. Kesimpulan
Tingkat aktivitas ekstrakulikuler berpengaruh terhadap prestasi, tingkat ekonomi
tidak berpengaruh terhadap prestasi siswa dan adanya interaksi antara tingkat
ekonomi dengan ekstrakulikuler.
DAFTAR PUSTAKA
Irianto, Agus. 2008. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Kencana.
Hasan, Iqbal. 2006. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara.
Riduwan. Dasar-Dasar Statistika. 2005. Bandung : Alfabeta.
Sudjana. 2002. Metoda Statistika edisi ke 6. Bandung: Tarsito.
Tedjo N Raksonoatmodjo. 2009. Statistika Teknik. Jakarta : Refilka Aditama.
Download