KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI

advertisement
KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI MASYARAKAT MISKIN
DALAM MENGAKSES PENDIDIKAN FORMAL
(Studi pada Keluarga Pemulung di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan
Way Halim Kota Bandar Lampung)
Oleh
Endik Arya Budi*), I Gede Sidemen*)*)
*)
Mahasiswa program sarjana Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
**)
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT
This research aimed at described constraints that have been faced by poor people,
especially the family scavengers of gunung sulah for accessing formal education.
Type this research is descriptive with a qualitative approach with a method of
collecting data done by means of an interview deep and observation. Engineering
analysis of data done by means of the reduction of data, presentation of data, and
the withdrawal of the conclusion. The results showed that a scavenger that is in
gunung sulah entirely live below the poverty line, so that they must work harder to
her child can school, don ' t even rarely drop out of school was due to the absence
of the cost. The obstacles faced by the family scavengers for accessing formal
education are very diversified, some of them are parents a scavenger that low
income levels, bustle parents in fulfilling the necessities of life, absence of time
children, parents in the process of education the community about that is not
conducive, and an apathy and individualist, among the members of society and a
government policy that was not efficient.
Keywords: scavenger, access to education, dropout
PENDAHULUAN
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan menjadi penyebab kelangkaan alat
pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan, kesehatan,
dan pekerjaan.
Menurut Nasikun (1995), kondisi sesungguhnya yang harus dipahami
mengenai kemiskinan adalah bahwa kemiskinan merupakan sebuah fenomena
multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti
hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam
kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam
sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 63-71 63
sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar, antara lain
informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam
kemiskinan seringkali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah
terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup menjadi sempit dan
pengap.
Kemiskinan terjadi karena kemampuan masyarakat pelaku ekonomi tidak
sama sehingga terdapat masyarakat yang tidak dapat ikutserta dalam proses
pembangunan atau menikmati hasil-hasil pembangunan (Soegijoko, 1997).
Kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang ditandai dengan
pengangguran, keterbelakangan, dan keterpurukan. Masyarakat miskin lemah
dalam kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas dalam upaya
mendapatkan pendidikan layak dan kegiatan sosial ekonomi (Undang undang
Nomor 25 tahun 2000 tentang Propenas).
Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengukur tingkat
kesejahteraan suatu rumahtangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat
kemiskinan di suatu wilayah lazim digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah
satu tema utama pembangunan. Keberhasilan dan kegagalan pembangunan
acapkali diukur berdasarkan perubahan pada tingkat kemiskinan (Suryahadi dan
Sumarto, 2001).
Pemulung merupakan sekelompok manusia yang mengalami kekurangan
sumberdaya, sehingga kemampuan sosial ekonomi pemulung dalam membiayai
pendidikan anak-anaknya sangat rendah, hal ini mengakibatkan anak-anak
mereka cenderung tidak bersekolah karena harus ikut membantu orangtua dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Menurut Sinaga (2008) faktor yang menentukan seseorang menjadi
pemulung antara lain adalah tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata tidak tamat
sekolah dasar), serta keterampilan yang terbatas. Untuk mengatasi himpitan
kesulitan dalam menjalani kehidupan agar tetap hidup, pada umumnya pemulung
mengerahkan semua anggota keluarganya sebagai tenaga kerja.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945) mengamanatkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia harus
melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dijelaskan pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “bahwa sistem pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu, serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan”.
Hal ini menunjukan bahwa setiap warganegara pada semua strata, baik
ekonomi, sosial, suku, maupun agama memiliki hak sama untuk memperoleh
pendidikan. Dengan demikian, pemerintah diwajibkan untuk mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional bagi seluruh warga negara
Indonesia. Sistem pendidikan nasional dimaksud harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan, terutama bagi anak-
64
Kendala-Kendala yang Dihadapi Masyarakat Miskin dalam Mengakses …
anak, sebagai generasi penerus keberlangsungan dan kejayaan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk merealisasikan pemerataan pendidikan tersebut, sejak tahun 1974
sampai 1984 pemerintah telah menggalakkan pemerataan pendidikan bagi tiaptiap lapisan masyarakat sampai pelosok nusantara, yaitu melalui program SD
Inpres dan dicanangkannya program wajib belajar 6 tahun. Kemudian, tahun 1994
hingga saat ini kebijakan tersebut berubah menjadi wajib belajar sembilan tahun.
Upaya-upaya ini dilaksanakan mengacu pada perluasan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan (dimensi equality of access). Adapun tujuan
dilaksanakannya program wajib belajar tersebut adalah untuk mencerdaskan anak
bangsa.
Wajib belajar adalah pemberian pelayanan kepada anak bangsa untuk
memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan
masyarakat banyak. Pada umumnya penduduk di Indonesia adalah kalangan yang
terbilang belum mampu dalam hal materi, sehingga pemerintah pada akhir-akhir
ini selalu berusaha memberikan bantuan khusus kepada sekolah-sekolah. Bantuan
itu dimaksudkan untuk meningkatkan mutu kinerja tenaga pendidik dan yang
dididik.
Program ini bukan ditujukan untuk kalangan tertentu saja, tapi semua
kalangan haruslah dapat merasakan hal ini. Meskipun program pemerintah ini
sudah lama terlaksana, namun yang terjadi, pendidikan yang layak hanya bisa
dirasakan oleh golongan menengah ke atas saja, hal ini dikarenakan pemerintah
belum mampu mensubsidi seluruh biaya operasional sekolah, sehingga
masyarakat miskin tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak.
Hal ini dikarenakan pendidikan saat ini telah menjadi barang komoditi.
Pendidikan menjadi komoditas yang diperjual-belikan dengan keuntungan yang
sangat menggiurkan bagi penjualnya. Lihatlah sekolah-sekolah yang ada, hampir
semuanya memungut biaya dari siswanya apalagi sekolah-sekolah dengan label
nasional dan internasional. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan
pemerintah untuk SD dan SMP, masih belum memastikan bahwa satu sekolah
menjadi gratis.
Mahalnya biaya pendidikan ini akan makin terasa berat bagi orangtua
ketika anaknya akan memasuki bangku SMA dan PT. Mungkin tidak ada satupun
dari SMA di Indonesia yang memberlakukan bebas biaya bagi siswanya, terlebih
pada bangku universitas. Hal ini bertolak belakang dengan program pemerataan
pemerintah di bidang pendidikan, sehingga banyak orangtua yang tidak mampu
membiayai sekolah dan mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak.
Fenomena rendahnya pemerataan pendidikan dapat kita jumpai dalam
kehidupan keluarga pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah. Banyak
sekali anak-anak putus sekolah dikarenakan tidak adanya biaya, sehingga tak
jarang anak-anak tersebut membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Mereka mengaku tidak dapat menyekolahkan anaknya ke jenjang
yang lebih tinggi dikarenakan biaya sekolah yang sangat tinggi.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 63-71 65
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif mengacu kepada strategi penelitian, seperti
observasi partisipan, wawancara mendalam, dan sebagainya yang memungkinkan
peneliti memperoleh informasi mengenai masalah sosial secara empiris. Pada
penelitian kualitatif data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata atau
kalimat, gambar-gambar, dan penjelasan tentang data hasil penelitian. Pendekatan
kualitatif juga dapat menggali informasi sebanyak dan sedalam mungkin sehingga
akan didapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang kendala-kendala yang
dihadapi masyarakat miskin, khususnya pada keluarga pemulung dalam
mengakses pendidikan formal.
Proses penentuan informan dalam penelitian ini ditentukan secara
purposive, dimana pemilihan informan dipilih sesuai dengan kriteria dan keadaan
(situasi) lapangan ketika melakukan penelitian. Informan dalam penelitian ini
adalah: (1) Orangtua yang berprofesi sebagai pemulung dan bermukim di
Kelurahan Gunung Sulah, (2) Anak Putus sekolah, (3) Aparat sekolah di
Kelurahan Gunung Sulah. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif menggunakan model analisis interaktif yang meliputi reduksi data,
penyajian data, dan verivikasi atau penarikan kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atau sampah
tertentu untuk proses daur ulang. Ada dua jenis pemulung yaitu: pemulung lepas
(yang bekerja sebagai swausaha) dan pemulung yang tergantung pada seorang
bandar (yang meminjamkan uang kepada mereka dan memotong uang pinjaman
tersebut saat membeli barang dari pemulung).
Pemulung berbandar hanya boleh menjual barangnya ke bandar, tidak
jarang bandar memberi pemondokan kepada pemulung, biasanya di atas tanah
yang didiami bandar, atau di mana terletak tempat penampungan barangnya.
Setelah dilakukan penelitian, dapat diketahui bahwasanya pemulung yang ada di
Kelurahan Gunung Sulah termasuk dalam kategori pemulung lepas, karena
mereka bebas menjual barang bekas yang didapat kepada pengepul (bandar)
manapun.
Adapun kendala yang dihadapi keluarga pemulung dalam mengakses
pendidikan formal sangat beragam, diantaranya kondisi ekonomi (kemiskinan),
lingkungan keluarga, rendahnya motivasi, lingkungan masyarakat, dan
pengelolaan kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran.
Kemiskinan
Pemulung merupakan sekelompok manusia yang mengalami kekurangan
sumberdaya sehingga kemampuan sosial ekonominya dalam membiayai
pendidikan anak-anaknya sangat rendah, hal ini mengakibatkan anak-anak
mereka cenderung tidak bersekolah karena harus membantu orangtua dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya.
66
Kendala-Kendala yang Dihadapi Masyarakat Miskin dalam Mengakses …
Menurut Sinaga (2008) faktor yang menentukan seseorang menjadi
pemulung antara lain adalah tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata tidak tamat
sekolah dasar), serta keterampilan yang terbatas. Untuk mengatasi himpitan
kesulitan dalam menjalani kehidupan agar tetap hidup, pada umumnya pemulung
mengerahkan semua anggota keluarganya sebagai tenaga kerja.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan, dapat
diketahui bahwa pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah seluruhnya
hidup di bawah garis kemiskinan sehingga mereka harus bekerja lebih keras agar
anaknya dapat sekolah, bahkan tak jarang putus sekolah dikarenakan tidak adanya
biaya.
Meskipun mereka sadar akan penghasilannya sebagai pemulung yang
tergolong rendah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak, para
pemulung yang ada di kelurahan ini tetap saja melakukan aktivitas seperti
biasanya, karena pemulung yang ada di kelurahan ini tidak memiliki keahlian lain
untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik. Akibatnya mereka (pemulung)
tetap melakukan aktivitasnya (memulung) sampai puluhan tahun.
Selanjutnya, pemulung yang ada di Kelurahan ini tingkat pendidikannya
tergolong rendah yaitu rata-rata tamat SD. Hal ini berdasarkan hasil wawancara
yang peneliti lakukan kepada informan, dimana seluruh informan (pemulung)
dalam penelitian ini tingkat pendidikannya rata-rata tamatan Sekolah Dasar .
Pada umumnya tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap
besar kecilnya pendapatan yang diperoleh. Seperti yang di ungkapkan oleh Sinaga
(2008) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin tinggi peluang
kerja serta semakin tinggi pendapatan dan status sosialnya, sehingga dapat
diasumsikan bahwa pemulung yang rata-rata berpenghasilan rendah karena
tingkat pendidikan pemulung yang rendah pula.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang peneliti lakukan,
menunjukkan bahwa keluarga pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah
rata-rata tingkat pendapatannya sangat rendah yaitu berkisar Rp.650.000 s/d Rp.
1.500.000, itupun sudah diakumulasikan dengan pendapatan seluruh anggota
keluarga yang ikut bekerja.
Dengan penghasilan yang rendah, para pemulung yang ada di kelurahan ini
terpaksa mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anak mereka sampai
kejenjang yang lebih tinggi.
Motivasi
Pemulung umumnya memandang pendidikan adalah sesuatu yang tidak
penting, hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya putus sekolah.
Pemulung merupakan sekelompok manusia yang mengalami kekurangan
sumberdaya, sehingga kemampuan sosial ekonominya dalam membiayai
pendidikan anak-anaknya sangat rendah.
Menurut Sinaga (2008) rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat
miskin berkorelasi positif dengan rendahnya motivasi keluarga pemulung
terhadap pendidikan, hal ini mengakibatkan anak-anak mereka cenderung
mengikuti pola fikir orangtuanya, sehingga anak-anak mereka cenderung tidak
bersekolah dan membantu orangtuanya dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 63-71 67
Akan tetapi, pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah meskipun
hidup di bawah garis kemiskinan, motivasi mereka terhadap pendidikan, baik
dilihat dari orangtua, anaknya, tergolong baik, karena mereka menaruh harapan
yang tinggi terhadap pendidikan anaknya dengan harapan masa depan yang lebih
baik, meskipun pada akhirnya anak mereka tetap mengalami putus sekolah dan
pihak aparat serta masyarakat tidak beranggapan demikian, karena tingginya
angka putus sekolah yang terjadi di kelurahan ini didominasi oleh pemulung.
Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah entitas terkecil dalam masyarakat, serta merupakan
bagian yang sangat sentral dalam membangun karakter anak. Keberhasilan anak
tidak ditentukan oleh pendidikan formal semata, tetapi juga pendidikan dalam
keluarga. Selain itu, komunikasi yang baik antara anak dan orangtua menjadi
kunci dalam membangun keluarga. Keluarga mempunyai peran yang sangat
penting dalam menentukan karakter seseorang. Sekolah saja tidak cukup untuk
membentuk karakter seseorang, mau tidak mau kita harus menoleh kepada
keluarga. Keluarga berkontribusi dalam pembentukan nilai-nilai sehingga anak
bisa menemukan identitasnya.
Lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter
anak di luar lingkungan sekolah, serta lingkungan sosial. Jika pola pendidikan
karakter di tengah keluarga sudah terbangun dengan baik, dengan sendirinya anak
akan lebih mudah untuk menerima pendidikan karakter di sekolah. Akan tetapi
yang terjadi di kehidupan masyarakat miskin justru sebaliknya, khususnya pada
lingkungan keluarga pemulung.
Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara yang dilakukan oleh
peneliti terhadap 5 informan (orangtua pemulung), dimana 3 diantaranya selalu
berangkat kerja pada pagi hari serta pulang pada malam hari, sedangkan yang
mengurusi rumah serta pendidikan anak adalah sang istri, hal ini menunjukkan
tidak adanya kerjasama diantara kedua orangtua untuk menciptakan lingkungan
keluarga yang baik untuk pendidikan anak.
Para orangtua pemulung (khususnya ayah) yang ada di Kelurahan Gunung
Sulah selalu disibukkan dengan aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga
urusan rumah serta pendidikan anak diserahkan kepada sang istri, dikarenakan
mereka (istri) bekerja tidak sampai sore dan tempat kerjanya berdekatan dengan
rumah.
Akibatnya keluarga yang seharusnya menjadi wadah bagi anak untuk
berinteraksi dan pendidikan anak tidak terealisasi, hal ini dikarenakan kesibukan
orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Alokasi Waktu Orangtua dalam Proses Pembelajaran Anak
Partisipasi orangtua besar pengaruhnya terhadap proses belajar anak dan
prestasi belajar yang akan dicapai. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Slameto
(1995) yang mengemukakan bahwa: ”Keluarga adalah lembaga pendidikan yang
pertama dan utama. Keluarga yang sehat, besar artinya untuk pendidikan dalam
ukuran kecil, dan bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar,
yaitu pendidikan bangsa, negara, dan dunia”.
68
Kendala-Kendala yang Dihadapi Masyarakat Miskin dalam Mengakses …
Orangtua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya
mereka acuh tak acuh terhadap proses belajar anaknya, tidak memperhatikan
samasekali akan kepentingan dan kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak
mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan atau melengkapi alat belajar, tidak
mau tahu bagaimana kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami
anaknya dalam belajar, dan lain-lain, dapat mengakibatkan anak menjadi malas
bersekolah.
Keluarga pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah tidak pernah
mengalokasikan waktunya untuk pembelajaran anak, karena para orangtua
pemulung selalu disibukkan dengan pekerjaan yang mereka lakukan dari pagi hari
hingga petang, selain itu para orangtua menyerahkan segala urusan yang berkaitan
dengan pendidikan anak pada pihak sekolah saja.
Hal ini berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara yang dilakukan
oleh peneliti terhadap 5 informan orangtua pemulung, dimana 4 keluarga
pemulung di kelurahan ini tidak menerapkan pengalokasian belajar anak,
dikarenakan tidak adanya kerjasama yang baik antara pihak sekolah dengan
keluarga pemulung itu sendiri.
Dengan tidak diberlakukannya pengalokasian waktu terhadap
pembelajaran anak tersebut, mengakibatkan anak-anak mereka cenderung malas
dalam belajar serta mendapatkan prestasii yang tergolong kurang baik di
sekolahannya, karena mereka (anak pemulung) setelah pulang sekolah cenderung
untuk menghabiskan waktunya untuk bermain dengan teman-teman sebayanya.
Lingkungan Masyarakat
Munadjat (dalam Tamtama, 2011) menjelaskan bahwa lingkungan
merupakan suatu benda atau kondisi tertentu, di mana di dalamnya termasuk
manusia dengan tingkahlaku, serta perbuatannya yang mempengaruhi kehidupan
dan kesejahteraan manusia lainnya. Lingkungan juga dapat diartikan sebagai
segala keragaman interaksi yang mampu menyeimbangkan keadaan atau
kehidupan manusia.
Menurut Ahmadi dan Uhbiyati (dalam Tamtama, 2011), lingkungan sosial
merupakan bentuk hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya,
termasuk di dalamnya adalah tingkahlaku antar manusia, tingkahlaku orangtua
dengan anak-anaknya, suami-istri, tetangga, serta teman yang saling
mempengaruhi satu sama lainnya.
Pengaruh-pengaruh lingkungan yang negatif dan salah terhadap dunia
pendidikan akan turut berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan
anak. Peserta didik yang bergaul dengan teman-temannya yang tidak sekolah atau
putus sekolah akan terpengaruh oleh mereka.
Lingkungan keluarga pemulung di Kelurahan Gunung Sulah tidaklah
mencerminkan suatu keadaan yang baik untuk proses pendidikan anak karena
tidak adanya kerjasama antar masyarakat terkait proses pembelajaran anak, serta
aktivitas para remaja yang tidak baik, seperti malas-malasan dan pemanfaatan
waktu yang kurang baik untuk anak-anak. Hal ini berdasarkan hasil observasi dan
wawancara kepada masyarakat sekitar serta pihak pemerintah setempat yang
menyatakan bahwa lingkungan keluarga pemulung yang bermukim di kelurahan
ini mempunyai andil besar terhadap keberlangsungan minat anak terhadap
pendidikan (karena pemuda di kelurahan ini cenderung tanpa malu-malu minumJurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 63-71 69
minum atau hura-hura untuk memanfaatkan waktu luang mereka), dan tidak
adanya kerjasama antar anggota masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang
peduli dengan pendidikan (tidak adanya jam belajar masyarakat), serta sifat apatis
dan masa bodoh terhadap sesama anggota masyarakat.
Lingkungan pemukiman yang tergolong buruk (negatif), berdampak pada
sikap anak-anak keluarga pemulung yang sering dijumpai tidak bersekolah karena
kurangnya rasa peduli antar anggota masyarakat
Pengelolaan Kebijakan Pemerintah yang Tidak Tepat Sasaran
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tepatnya pada pasal 55 ayat (4) dinyatakan “lembaga pendidikan
berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan
sumberdaya lain secara adil dan merata dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah
daerah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara, lembaga, dan
instansi pendidikan dari Sabang sampai Merauke berhak mendapatkan bantuan,
subsidi biaya, tenaga pengajar berkualitas, dan sistem pendidikan yang bermutu,
baik bagi masyarakat mampu maupun masyarakat tidak mampu (miskin).
Bentuk upaya pemerataan dan perluasaan akses pendidikan tersebut adalah
dengan menuangkan kebijakan pendidikan yang tepat sasaran. Diantara program
strategis kebijakan pemerataan pendidikan tersebut adalah melakukan pemerataan
dan perluasan akses pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi seluruh lapisan
masyarakat. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan pada upaya
memperluas daya tampung satuan pendidikan serta memberi kesempatan yang
sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat, baik golongan
masyarakat mampu maupun yang tidak mampu.
Kebijakan pemerintah mengenai pemerataan pendidikan nasional
seharusnya dilaksanakan secara tepat dan efektif. Pertama dana pemerintah yang
dialokasikan untuk pendidikan harus dibagi sesuai dengan kebutuhan setiap
daerah dan tidak dipukul rata. Kedua, banyak sekolah di daerah terpencil
membutuhkan sarana dan prasarana yang pantas untuk dipakai (seperti gedung
dan ruangan layak), fasilitas belajar yang bermutu, dan proses pembelajaran yang
efektif. Ketiga, perlu adanya tenaga pengajar berkompeten yang siap untuk
ditugaskan di daerah-daerah terpencil yang bertujuan untuk membangun sumber
daya manusia disana karena banyak guru-guru muda berkualitas lebih suka
mengajar di kota besar daripada di daerah.
Realitanya, kebijakan pemerintah sampai saat ini kurang menyentuh ke
seluruh kalangan masyarakat, sehingga pemerataan pendidikan tidak kunjung
terlaksana. Akibatnya masyarakat miskin khususnya keluarga pemulung yang
tidak memiliki biaya kurang berpartisipasi dalam dunia pendidikan.
Keluarga pemulung yang ada di Kelurahan Gunung Sulah, hanya sebagian
kecil yang mendapatkan bantuan dana dari kebijakan tersebut yaitu hanya 1 dari 5
keluarga pemulung yang anaknya mendapatkan bantuan tersebut.
Tidak tepatnya pengelolaan dana bantuan yang dilakukan oleh pemerintah,
terjadi karena penyaluran dana tersebut memerlukan waktu yang cukup lama (2
minggu), terlebih dana yang diperoleh pihak sekolah (SDN 1 Gunung Sulah)
sangat terbatas, sehingga tidak semua siswa miskin SDN 1 Gunung Sulah
mendapatkan kucuran dana tersebut.
70
Kendala-Kendala yang Dihadapi Masyarakat Miskin dalam Mengakses …
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan,
peneliti dapat menarik kesimpulan tentang kendala-kendala yang dihadapi
keluarga pemulung dalam mengakses pendidikan, meliputi:
1. Tingkat pendapatan orangtua pemulung yang rendah.
2. Kesibukan orangtua dalam memenuhi kebutuhan hidup.
3. Terbatasnya waktu orangtua dalam proses pendidikan anak.
4. Lingkungan masyarakat sekitar yang kurang mendidik serta sikap apatis dan
individualis diantara anggota masyarakat.
5. Implementasi kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran.
Saran
Setelah melihat hasil penelitian, maka penulis memberikan saran-saran
untuk dijadikan bahan pertimbangan, sebagai berikut:
a. Mengingat begitu pentingnya pendidikan anak, perlu dilakukan kerjasama
antara pemerintah setempat dengan aparatur kelurahan guna melakukan
penyadaran kepada masyarakat miskin, khususnya pada keluarga pemulung,
sehingga dapat merubah pola fikir mereka terhadap pendidikan.
b. Keluarga pemulung harus bersifat terbuka terhadap intervensi dari pihak luar
(pemerintah), sehingga proses perubahan pola fikir dapat berjalan dengan
baik.
c. Masyarakat sekitar dibantu Ketua RT setempat agar membangun lingkungan
yang kodusif bagi anak-anak usia sekolah dengan meciptakan jam belajar
masyarakat.
d. Pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah agar melakukan monitoring
terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan agar
pemerataan pendidikan dapat terlaksana dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nasikun, 1995. Kemiskinan di Indonesia Menurun (Dalam “Perangkap
Kemiskinan,
Problem
dan
Strategi
Pengentasannya”).
AirlanggaUniversity Press. Surabaya.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Rineka Cipta.
Jakarta.
Sinaga, Pariaman. 2008. Kajian Model Pengembangan Usaha Di Kalangan
Pemulung. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM ASDED
Urusan Penelitian Korperasi. Jakarta.
Soegijoko, Budi Tjahjati S. dan BS Kusbiantoro. 1997. Bunga Rampai
Perencanaan Pembangunan Di Indonesia, Yayasan Soegijanto
Soegijoko. Bandung.
Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 1: 63-71 71
Download