II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KANKER KOLON Kanker kolon merupakan suatu tumor yang tumbuh bersifat ganas yang dapat merusak DNA atau jaringan sehat disekitar kolon (usus besar). Kanker kolon ini umumnya disebabkan oleh adanya faktor genetik, konsumsi alkohol yang tinggi, serta pola makan yang rendah serat. Berdasarkan data dari Global Research Statistics pada tahun 2008, negara-negara dengan kasus kanker kolon di dunia terdapat pada negara maju seperti Australia, New Zealand, Eropa, dan Amerika Utara (Jemal et al. 2011). Kasus kanker kolon yang cukup banyak juga terdapat di negara Amerika Serikat dengan sekitar 50.000 penderita meninggal akibat kanker kolon tiap tahunnya (Byrne. 2008). Kolon dan rectum merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kolon dan rectum merupakan bagian dari sistem pencernaan akhir manusia. Kolon merupakan saluran otot (usus) besar yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menyimpan sisa-sisa metabolisme tubuh yang kemudian akan diteruskan pada rectum untuk dibuang keluar dari tubuh. Awal mula terjadinya kanker kolon adalah dengan tumbuhnya suatu tumor atau benjolan pada dinding kolon maupun rectum yang disebut polip. Polip bersifat jinak. Dalam perkembangannya, beberapa polip dapat bersifat ganas (cancerous atau malignant) dan ada yang tetap bersifat jinak (Byrne. 2008). Menurut American Cancer Society (2012), kemungkinan polip dapat berubah menjadi kanker tergantung dari jenis polip tersebut seperti: a. Polip adenomatus (adenoma) Polip ini disebut polip pre-cancerous, polip ini merupakan jenis polip yang dapat berubah menjadi kanker b. Polip hyperplasia dan polip inflamantori Pada umumnya polip ini merupakan polip non pre-cancerous, tetapi polip ini memiliki kemungkinan untuk berubah menjadi kanker apabila tumbuh di kolon ascending c. Displasia Displasia merupakan sel yang terlihat abnormal apabila dilihat melalui mikroskop yang terdapat pada kolon atau rectum. Sel ini dapat berubah menjadi kanker dan umumnya ditemukan pada penderita Ulcherative colitis dan Chron’s disease Faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya kanker kolon dapat berasal dari factor lingkungan maupun dari keturunan. Sekitar 88 hingga 94% faktor tersebut berasal dari lingkungan seperti tingginya pola konsumsi daging, merokok, obesitas, merokok, dan konsumsi alkohol sedangkan 5 hingga 10% disebabkan oleh faktor keturunan (Siregar. 2007) 2.2 PATI RESISTEN Pati resisten didefinisikan sebagai suatu kumpulan pati dan produk degradasi pati yang tidak dapat diserap di usus baik usus kecil maupun usus besar manusia yang sehat. Pati resisten dikenal sebagai serat yang tidak dapat dicerna yang tahan dari pencernan oleh enzim amilase di usus kecil dan difermentasi menjadi short chain fatty acid (SCFA) oleh mikroba dalam usus besar (Keenan et al. 2006). Pati resisten merupakan salah satu bagian dari serat makanan. Menurut The American Association of Cereal Chemists, serat makanan merupakan suatu bagian yang dapat dimakan dari tumbuhan atau karbohidrat analog yang tahan terhadap pencernaan dan penyerapan dalam usus halus manusia dengan fermentasi seluruhnya maupun sebagian di dalam usus besar (Joseph. 2002). 3 Secara umum, pati resisten diklasifikasikan dalam empat tipe. Pati resisten tipe 1 yang secara fisik terjebak atau tidak dapat diakses dalam dinding sel dari biji yang disosoh dan biji seperti kacangkacangan. Pati resisten tipe 2 merupakan pati yang granulanya tidak tergelatinisasi terdapat dalam kentang, pisang hijau, dan pati maizena tinggi amilosa. Pati resisten tipe 3 merupakan pati kristal teretrogradasi yang terbentuk selama proses pembuatan makanan konvensional seperti pemasakan dan pendinginan kentang dan pasta, roti, sereal, dan pati maizena tinggi amilosa teretrogradsi. Tipe terakhir adalah pati resisten tipe 4 yang secara kimiadimodifikasi karena adanya ikatan silang (crosslinkage) dengan zat-zat kimia lainnya. (Aigster. 2009, Sajilata et al. 2006). Pada dasarnya pati murni sulit untuk dicerna. Pati murni dapat dengan mudah dicerna melalui proses pemasakan, terutama dengan adanya air yang mampu membantu proses gelatinisasi pati. Penghancuran dari struktur makanan melalui penyosohan atau pengunyahan dapat meningkatkan daya cerna dari pati karena adanya akses dari emzim pencernaan ke dalam matriks (Topping. 2003). Disamping pemasakan, pendinginan juga dapat membantu pembentukan kristal-kristal granula pati yang dapat menahan pencernaan disebut proses retrogradasi. Mekanisme dalam pembuatan pati resisten pada umumnya melalui tahap pemanasan, pendinginan kembali (retrogradasi), hidrolisis dengan menggunakan enzim maupun non-enzim dan kombinasinya. Tahap awal pemanasan ditujukan agar pati tergelatinisasi dengan ditandai masuknya air ke dalam granula pati. Gelatinisasi adalah proses membengkaknya granula-granula pati akibat pemanasan dan tersuspensi dalam air panas (Winarno. 2002). Gelatinisasi disebabkan oleh adanya energi kinetik dari molekul air yang semakin kuat sehingga molekul air dapat masuk dalam granula pati (Devega. 2011). Setelah pemanasan, dilakukan pendinginan yang dapat memicu proses retrogradasi. Proses retrogradasi ini ditandai dengan molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula sehingga terbentuk jarring-jaring mikrokristal dan mengendap (Winarno. 2002). Interaksi yang terjadi antara rantai amilosa membentuk struktur yang lebih tahan terhadap hidrolisis. Hidrolisisi pada pati umumnya dilakukan oleh enzim. Salah satu enzim yang dapat menghidrolisis pati adalah enzim pululanase (EC 3.2.1.41). Enzim ini dapat menghidrolisis pati dengan cara memotong ikatan α-(1,6) pada amilopektinnya. 2.3 SHORT CHAIN FATTY ACID (SCFA) Short chain fatty acid (SCFA) merupakan suatu asam lemak rantai pendek yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroba-mikroba di usus besar. Pati atau produk-produk turunan pati serta pati yang telah melalui proses retrogradasi yang kemudian bertahan dalam usus besar adalah jenis-jenis pati yang difermentasi oleh bakteri-bakteri kolon untuk memproduksi SCFA. Serat makanan yang tidak dapat dicerna atau diabsorpsi oleh usus halus dan prebiotik akan difermentasi di usus besar sehingga menghasilkan SCFA (Hijova dan Chmelarova. 2007). SCFA merupakan suatu asam organik dengan 1 hingga 6 atom karbon dan merupakan anion utama yang dihasilkan dari fermentasi bakteri polisakarida, oligosakarida, protein, dan prekursor glukoprotein di usus besar (Cummings dan Macfarlane. 1991). Reaksi umum pembentukan SCFA sebagai berikut (Topping dan Clifton. 2001) : 59 C 6 H 12 O 6 + 38 H 2 O 60 CH 3 COOH (asetat) + 22 CH 3 CH 2 COOH (propionat) + 18 CH 3 CH 2 CH 2 COOH (butirat) + 96 CO 2 + 268 H+ + panas + bakteri 4 Proses fermentasi ini melibatkan banyak proses dan penguraian mikroba dalam pemecahan bahan organiknya sehingga menghasilkan suatu senyawa yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba, pemeliharaan, serta produk akhir lainnya yang kemudian digunakan oleh kolon. Produk akhir dari fermentasi ini adalah SCFA beserta gas-gas seperti CO 2 , CH 4 , H 2 , dan panas (Topping dam Clifton. 2001). SCFA memiliki tiga asam lemak utama, yaitu asetat (C2), propionat (C3), dan butirat (C4), selain itu ada beberapa SCFA yang diproduksi seperti valerat (C5) dan kaproat (C6). Masing-masing asam lemak ini dihasilkan oleh jalur yang berbeda dan memiliki fungsinya tersendiri. Banyak mikroflora dalam usus yang dapat digunakan untuk merombak glukosa menjadi SCFA dengan cara fermentasi. Fermentasi dilakukan oleh bakteri-bakteri di usus besar ini dengan memanfaatkan sumber C yang terdapat pada pati resisten. Mayoritas dari bakteri di usus besar ini menggunakan jalur glikolisis untuk mengambil sumber karbon yang kemudian diubah menjadi piruvat dan asetil ko-A (Macfarlane dan Macfarlane. 2003). Metabolisme glukosa menjadi piruvat dan asetil ko-A merupakan kunci utama dari proses fermentasi karbohidrat menjadi SCFA. Jalur pembentukan SCFA pada bakteri kolon memiliki beberapa versi pada tiap-tiap jenis SCFA yang diproduksi. Berdasarkan dari Louis et al (2007), katabolisme glukosa berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas menghasilkan CO 2 dan piruvat. Daur pembentukan asetat dilangsungkan melalui jalur Wood Ljungdahl yang bermula dari CO 2 . Propionat berasal dari fiksasi CO 2 , sedangkan pada butirat dibentuk melalui dua jalur yaitu butirat kinase dan jalur butirilCoA:asetil-CoA transferase. Pada jalur pertama, enzim fosfo transbutirilase dan butirat kinase mengonversi butiril-CoA menjadi butirat dengan produk antara butiril-fosfat. Pada jalur kedua, enzim butiril-CoA:asetat CoA-transferase mentransfer gugus CoA ke asetat eksternal sehingga dihasilkan asetil-CoA dan butirat. Skema pembentukan SCFA ini dapat dilihat pada gambar 1. 5 Heksosa (glukosa, fruktosa); pentosa (xilosa, arabinosa) L-fukosa PEP DHAP + L-laktaldehid CO2 Asetat CO2 Asetil-CoA Piruvat Oksaloasetat Aetoasetil-CoA L-laktat β-hidroksibutiril-CoA Laktil-CoA Suksinil-CoA Propan-1,2-diol Krotinil-CoA Akrilil-CoA Metilmalonil-CoA Propionaldehid Asetil-CoA CO2 Suksinat CO2 Butiril-CoA Propionil-CoA Propionil-CoA Propionil-CoA Propanol Asetat Butiril-P Asetil-CoA Propionat Butirat 1a 1b 2 3 4 Gambar 1. Jalur pembentukan asetat, propionat dan butirat. 1a: jalur butirat kinase, 1b:butirilCoA:asetil CoA transferase, 2: jalur akrilat, 3:jalur suksinat, 4: jalur propandiol. (Louis et al. 2007). Tanda panah terputus menunjukkan adanya produk antara. DHAP: dihidroksiaseton pospat, P: Pospat, PEP: Pospoenolpiruvat. Asetat merupakan SCFA yang terdapat di usus besar kemudian ditrasportasikan ke dalam hati sehingga tidak dimetabolisme di usus besar. Di dalam hati, asetat digunakan dalam lipogenesis. Selain itu, asetat merupakan substrat utama dalam sintesis kolesterol (Hijova dan Chmelarova. 2007). Selain sebagai substrat utama kolesterol, asetat juga membantu produksi butirat pada beberapa bakteri dalam usus besar. SCFA lain yang dihasilkan dari fermentasi bakteri usus besar adalah propionat. Propionat dibentuk melalui tiga jalur utama, pertama melalui jalur akrilat dengan mengubah piruvat menjadi laktat sehingga dihasilkan propionat, kedua melalui jalur fiksasi CO2 sehingga membentuk suksinat yang kemudian terbentuk propionat, dan terakhir jalur propanadiol yang menghasilkan propanol sebagai produk sampingnya. Pada hewan ruminansia, propionat merupakan prekursor utama dari proses glukoneogenesis (Hijova dan Chmelarova. 2007). Studi mengenai propionat pada manusia memang masih sedikit dibandingkan studi pada hewan ruminansia. Propionat dimetabolisme dalam hati, dengan semakin meningkatnya produksi propionat melalui fermentasi dapat menghambat sintesis kolesterol dalam hati (Hijova dan Chmelarova. 2007). SCFA butirat merupakan salah satu sumber energi yang dibutuhkan oleh jaringan kolon. Disamping sebagai sumber energi, butirat juga banyak diimplikasikan untuk mengontrol apoptosis, pembelahan, dan diferensiasi sel. Dari seluruh SCFA ini, sekitar 70-90% butirat dimetabolisme di jaringan kolon. Butirat tidak diproduksi oleh bakteri asam laktat, tetapi jumlah dari butirat ini dapat ditingkatkan oleh bakteri usus. 6 2.4 SEL HCT-116 (ATCC CCL-247™) Sel HCT-116 merupakan salah satu sel kanker kolon yang diisolasi dari jaringan kolon manusia. Sel HCT-116 ini pada dasarnya memiliki tiga morfologi yaitu HCT-116, HCT-116a, dan HCT-116b. Sel HCT-116 tumbuh menjadi sel yang berbentuk polygonal yang hampir berhimpit satu dengan lainnya, sel HCT-116a adalah sel yang tidak membentuk monolayer karena sel satu dengan lainnya sangat berhimpit sehingga cenderung terbentuk klaster-klaster padat, sel HCT-116b merupakan sel yang berbentuk polygonal dan akan menjadi padat apabila sel tersebut sudah konfluen atau penuh satu bidang pandang mikroskop (Brattain et al .1981). Sel HCT-116 merupakan sel kanker kolon manusia yang memiliki fenotip untuk bermutasi (Weber et al. 2002). Pada beberapa studi mengenai sel HCT-116, sel ini diketahui memiliki DNA cacat sehingga lebih rentan terhadap apoptosis. Sel ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada medium semipadat dan fibroblast konfluen (Brattain et al. 1981). Menurut Brattain et al (1981), sel HCT-116 memiliki kemampuan tumorigenik (dapat memproduksi tumor) sekitar 50% terhadap hewan yang terjangkit dengan waktu laten rata-rata sekitar 16 hari. Sel HCT-116 ini dapat tumbuh dengan baik apabila media tumbuhnya mengandung 10% growth factor serum dan antibiotik (100 unit penicillin + 100μg/mL streptomycin). Sel ini dapat tumbuh baik dalam kondisi suhu 37°C dan konsentrasi 5% CO2. Dalam pemeliharaan sel, HCT-116 dapat dijadikan sebagai stok dalam nitrogen cair sebanyak 5 juta sel/ml dengan serum yang mengandung 10% DMSO. (a) (b) Gambar 2. Morfologi Sel HCT-116. (a) Sel HCT 116 belum konfluen; (b) sel HCT 116 konfluen (ATCC CCL-247TM) 7 2.5 SEL VERO (ATCC CCL-81TM) Sel VERO merupakan suatu sel lestari non kanker berbentuk ephitelial yang diisolasi dari organ ginjal normal monyet hijau afrika dewasa (Cercopithecus aethiops) pada 27 Maret 1962 oleh Y. Yusumura dan Y. Kaakita di Universitas Chiba, Jepang. Sel VERO umumnya dapat digunakan dalam berbagai penelitian seperti dalam penggunaannya dalam replikasi virus sebagai substrat vaksin sel. Sel VERO sensitif terhadap infeksi dari beberapa virus seperti SV-40, SV-5, arbovirus, reovirus, rubella, simian adenovirus, poliovirus, influenza virus, parainfluenza virus, vaccinia, dan lainnya (Sheets. 2000) Sel VERO tidak membentuk tumor, tetapi pada fasase tinggi sel VERO dapat bersifat tumorigenik (Sheets. 2000). Umumnya sel VERO diaplikasikan pada tes mikoplasma, deteksi virus, serta sebagai substrat. Media dasar pertumbuhan sel VERO adalah Eagle’s Minimum Essential Medium (EMEM) dengan penambahan serum pertumbuhan yaitu fetal bovine serum sebesar 10%. Sel VERO dapat tumbuh optimal pada kondisi udara 95%, CO 2 5%, dan temperatur 37°C. Untuk penyimpanan beku, sel VERO dapat disimpan dalam freeze medium yang berisi medium pertumbuhan serta DMSO 5% dan disimpan dalam nitrogen cair. (a) (b) Gambar 3. Morfologi sel VERO. (a) sel VERO belum konfluen; (b) sel VERO konfluen/penuh (ATCC CCL-81TM) 8 2.5 BAKTERI Clostridium butyricum BCC B2571 Bakteri merupakan salah satu mikroba yang menghuni usus manusia. Usus manusia memiliki kondisi yang memungkinkan bagi beberapa bakteri baik patogen maupun yang bermanfaat untuk berkembang. Populasi bakteri yang berkembang di dalam usus manusia berjumlah besar sekitar setidaknya 1010 hingga 1011 cfu/g, dengan massa sekitar 250-750 g sehingga menghasilkan total bakteri sekitar 1013 cfu (Topping dan Clifton. 2001). Dalam usus besar manusia, terdapat berbagai macam jenis bakteri yang menghuni usus besar manusia. Menurut Topping dan Clifton (2001), ada lebih dari 50 genus dan lebih dari 400 spesies bakteri yang ditemukan di feses. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan beberapa bakteri-bakteri tersebut merupakan bakteri yang berasal dari pencernaan manusia. Bakteri-bakteri yang terdapat dalam usus besar yang dapat memproduksi butirat adalah Eubacterium, Peptostreprococci, Clostridia, Roseburia, dan Butyrofibriofibrisolvens (Purwani. 2011) Salah satu bakteri kolon yang sering digunakan dalam penelitian adalah Clostridium butyricum. Bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang hidup dalam lingkungan usus besar manusia. C. butyricum merupakan bakteri gram positif pembentuk spora, bersifat anaerob obligat, dan dapat hidup di usus besar hewan, manusia, dan tanah. Menurut Miwatani (1990), bakteri Clostridium butyricum berperan dalam menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA), terutama asam butirat, asetat, dan propionat serta sejumlah asam format dan laktat. Bakteri ini sering digunakan untuk fermentasi guna menghasilkan asam butirat karena Clostridium butyricum BCC B2571 membutuhkan medium pertumbuhan yang sederhana , dapat menghasilkan metabolit tinggi, dan mudah diisolasi (Dewi. 2009). Bakteri Clostridium butyricum BCC B2571 ini juga mampu menghidrolisis pati dengan adanya aktivitas enzim ekstraselular α-amylase yang diproduksi bakteri tersebut, enzim ini menghidrolisis polisakarida menjadi dekstrin yang terdiri dari 6-9 unit glukosa (Dewi. 2009). 2.6 PERAN GULA PEREDUKSI BAGI PERTUMBUHAN SEL KANKER Karbohidrat banyak terdapat dalam berbagai bahan nabati, baik berupa gula sederhana, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pectin, selulosa, pati, serta lignin. Dari beberapa jenis karbohidrat tersebut, pati merupakan salah satu jenis karbohidrat yang terdapat pada umbiumbian seperti ubi jalar. Selama proses pematangan, kandungan pati dalam buah-buahan atau umbiumbian dapat berubah menjadi gula-gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis (Winarno. 2002). Gula pereduksi merupakan suatu gula yang memiliki gugus aldehida atau gugus hemiasetal (dalam bentuk cincin) di karbon anomeriknya (atom karbon nomor 1) yang kemudian dapat teroksidasi (reaktif). Gula pereduksi ini dapat membentuk rantai dan elongasi (pemanjangan). Ciri khas dari gula pereduksi adalah dengan adanya ikatan β-glikosidik. Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif (Winarno. 2002). Gugus hidroksil reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada atom karbon nomor 1 (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) gugus hidroksil reaktifnya terletak pada karbon nomor 2. Beberapa contoh dari gula pereduksi adalah glukosa, maltosa, laktosa. Pada umumnya gula pereduksi dapat mengalami suatu reaksi pencoklatan yang disebut reaksi maillard. Reaksi ini terjadi karena adanya interaksi antara gula pereduksi dengan gugus amina primer (protein) yang dapat menghasilkan bahan berwarna coklat (Winarno. 2002). Sel kanker membutuhkan beberapa nutrien yang dapat menunjang pertumbuhan dan 9 perkembangannya. Beberapa nutrien yang umum digunakan adalah vitamin, asam amino, gula serta pengontrolan pH dan tekanan osmotik. Gula yang digunakan merupakan karbohidrat yang akan menjadi sumber energi bagi sel kanker. Metabolisme pembentukan SCFA berasal dari metabolisme dari glukosa. Metabolisme glukosa pada sel menghasilkan piruvat dan asam laktat (Freshney. 1992). Glukosa yang digunakan untuk nutrisi kultur sel dapat digantikan oleh galaktosa atau fruktosa yang secara signifikan dapat mereduksi pembentukan asam laktat (Freshney. 1992) 10