BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakao Kakao

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan spesies penting famili
Sterculiceae yang berasal dari daerah Amazon Amerika Selatan (Chat, 1953;
Dinarti, 1991). Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan
pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama,
serta kelembaban tinggi yang relatif tetap.
Pada tahun 1528, coklat mulai diperkenalkan di wilayah Eropa oleh
bangsa Spanyol dan mulai menyebar ke seluruh dunia sekitar abad ke-16
(Toussaint-Samat, 2009). Di Indonesia, kakao juga diperkenalkan oleh Spanyol
pertama kali pada tahun 1560 di daerah Minahasa. Kakao mulai menyebar ke
seluruh wilayah di Indonesia mulai akhir abad 18 dan menjadi komoditas
perkebunan utama di Indonesia. Pada tahun 2012, Indonesia menjadi penghasil
kakao terbesar kedua di dunia di bawah Pantai Gading dengan total produksi lebih
dari 900 ribu ton (FAO, 2014).
2.1.1 Morfologi Kakao
Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan (perennial) berbentuk pohon
dengan tinggi dapat mencapai antara 4,5 sampai 7,0 meter pada umur 12 tahun
(Karmawati et al, 2010). Tanaman kakao memiliki batang yang berkayu dan
berbentuk bulat (Tjitrosoepomo, 1992) dengan dua sifat percabangan sehingga
9
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
10
disebut dengan dimorfisme. Cabang yang arah pertumbuhannya ke atas disebut
cabang ortotrop, sedangkan cabang yang arah pertumbuhannya ke samping
disebut cabang plagiotrop (Karmawati et al., 2010). Sistem perakaran tanaman
kakao adalah akar tunggang dengan panjang dapat mencapai 8 meter ke arah
samping dan 15 meter ke arah bawah (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963).
Daun kakao bersifat dimosfirme, yaitu daun pada cabang ortotrop
memiliki tangkai daun yang panjang (sekitar 7,5 - 10 cm), sedangkan daun pada
cabang plagiotrop memiliki tangkai daun yang pendek (sekitar 2,5 cm;
Karmawati et al, 2010). Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus), ujung
daun meruncing (acuminatus), dan pangkal daun runcing (acatus) (Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963). Tanaman kakao memiliki permukaan daun licin
dan mengkilap, sedangkan susunan tulang daun menyirip dan tulang daun
menonjol kepermukaan bawah helai daun (van Steenis et al., 2008; Prawoto &
Winarsih, 2010).
Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan dan tersusun atas 5
daun kelopak (sepala) dan 5 daun mahkota (petala) serta 10 tangkai sari yang
tersusun dalam 2 lingkaran. Masing-masing lingkaran tersusun atas 5 tangkai sari
yang steril (staminodia) dan 5 tangkai sari yang fertil (stamen). Bunga kakao
memiliki 5 daun buah yang bersatu (Gambar 2.1.B; van Steenis et al., 2008).
Tanaman kakao bersifat cauliflori yang artinya bunga tumbuh dan berkembang
dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang (Gambar 2.1.A; Backer &
Bakhuizen van den Brink, 1963). Pohon kakao dewasa dapat membentuk sekitar
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
11
10.000 bunga, namun, hanya 30 – 60 bunga yang tumbuh dan berkembang
menjadi buah yang masak (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963).
Gambar 2.1.A Cauliflori atau Bunga kakao bunga tumbuh dan berkembang dari
bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Panah hitam
menunjukan bunga masih kuncup dan panah biru menunjukan
bunga telah mekar (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963).
Stigma
Stylus
Staminodia
Stamen
Petala
Sepala
Pedicel
Gambar 2.1.B Diagram bunga yang telah mekar yang menunjukkan posisi
staminodia, petala, dan bagian bunga yang lain (Susanto, 1994).
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
12
Buah kakao terdiri atas kulit buah (pod), arilus (pulp), dan biji. Kulit buah
kakao terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan eksokarp, mesokarp, dan endokarp
(Limbongan, 2012). Biji tersusun dalam lima baris mengelilingi poros buah dan
memiliki jumlah yang beragam yaitu sekitar 20 – 50 butir per buah (Karmawati et
al., 2010). Warna buah kakao beraneka ragam, namun pada dasarnya warna buah
kakao ada dua macam yaitu buah muda berwarna hijau putih dan bila sudah
matang warna berubah menjadi kuning, dan buah muda yang berwarna merah
setelah buah matang warna berubah menjadi oranye (Susanto, 1994).
2.1.2 Kultivar Kakao
Terdapat tiga kultivar utama kakao yang sering dibudidayakan oleh petani
yaitu criollo, forastero, dan trinitario (Susanto, 1994). Kultivar criollo (Gambar
2.2 A - D) memiliki ciri kulit buah tipis dan mudah diiris dengan 10 alur yang
letaknya berselang-seling antara lima alur agak dalam dan lima alur dangkal.
Ujung buah umumnya berbentuk tumpul dan sedikit bengkok. Setiap buah berisi
30 – 40 biji yang bentuknya agak bulat sampai bulat dengan endosperm yang
berwarna putih. Kakao criollo memiliki pertumbuhan yang kurang kuat dengan
kemampuan produksi yang relatif rendah (Susanto, 1994).
Kultivar forastero (Gambar 2.2 E - H) memiliki ciri kulit buah agak keras
tetapi permukaannya halus dengan alur buah yang agak dalam. Kakao kultivar
forastero memiliki biji berbentuk gepeng dengan endosperm berwarna ungu tua.
Kultivar ini memiliki pertumbuhan tanaman yang kuat dengan produksi tinggi
serta relatif lebih tahan hama penyakit dibandingkan dengan criollo. Namun
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
13
kultivar forastero memiliki citarasa yang kurang disukai dibandingkan dengan
kultivar criollo (Susanto, 1994).
Kultivar trinitario (Gambar 2.2 I - L) adalah kakao hasil persilangan
antara kakao criollo dengan forestero. Kakao kultivar ini memiliki sifat yang
sangat heterogen dan beragam (Susanto, 1994).
A
B
a
c
k
eC
r
&
B
E
F
B
B
a
a
c
c
k
k
D
G
H
e
e
B
B
r
r
a&
a&
c
c
kB
kB
B
I
J
ea
a
ae
B
B
rc
c
cr
a
a
&
k
k&
k
c
c
h
h
h
k
k
B
u
uB L
u
K
e
e
ai
i
ia B
B
r
r
cz
z
zc a
a
&
&
e kultivar kakao di dunia,
c A - D. criollo Eek - H.
c forastero dan keI - L
Gambar 2.2.Tiga
hn
n
nh Sumber
k
trinitario
(Susanto, k
1994).
gambar
B
B
uv
v
vu e
e
http://worldstandards.eu/chocolate%20-%20cacao.html
a
a
ia
a
ai r
r
c
c
zn
n
nz &
&
k
k
2.1.3 ManfaatdKakao
ed
de
h
h
ne
e
en B
B
Bagian utama dari tanaman kakao
yang banyak dimanfaatkan
oleh petani
u
u
vn
n
nv a
a
i
i
a c
aB
B
B
c
adalah bagian buahnya.
Kulit buah kakao
dapat dimanfaatkan
sebagai pakan
z
z
n k
nri
ri
ri
k
e
e
dn
ternak hewan ruminansia
(Murni & Okrisandi,
2012), berpotensi
n
nd h menjadi sumber
h
n
n
ek
k
ke u
u
v
v
n,
,
,n i
i
a
a
B
1
1B z
1
z
n
n
ri
9
9ri e
9
e
d
d
Pengaruh
Penambahan
6-benzylamin...,
Riyan
Fauji,
FKIP
UMP,
n6 2014
6
6n n
n
e
e
k3 v
k3
3
v
14
bioetanol, sumber zat pewarna, pupuk organik maupun bahan baku pembuatan
kompos (Dachlan et al., 2009; Wulan, 2011). Biji kakao merupakan bagian
terpenting dari buah kakao. Biji kakao dapat diolah menjadi cocoa liquor, cocoa
butter dan bubuk coklat yang dapat diolah lebih lanjut menjadi beraneka ragam
makanan dan minuman seperti ice cream, biskuit maupun cake (Gambar 2.3 B;
Zairisman, 2006).
A
D
B
C
E
F
Gambar 2.3 A. Bubuk coklat. B - F Produk olahan biji coklat. Sumber dari
http://ilmubakery2.blogspot.com/
2.2
Budidaya Kakao dan Permasalahan Kakao di Indonesia
2.2.1 Budidaya Kakao
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas andalan
perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Dalam
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
15
hal penyedia lapangan pekerjaan, perkebunan kakao berhasil menyerap tenaga
kerja sampai sekitar 900 ribu kepala keluarga pada tahun 2002 (Balitbang
Pertanian Departemen Pertanian, 2005). Kakao juga penyumbang devisa terbesar
ke tiga di sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet dengan nilai
sebesar US $ 1,2 milyard pada tahun 2010 (FAO, 2014).
Dalam hal produksi, Indonesia menjadi negara terbesar kedua di bawah
Pantai Gading dalam hal produksi kakao. Pada tahun 2012, produksi kakao
Indonesia mencapai lebih dari 900 ribu ton sedangkan produksi kakao Pantai
Gading mencapai lebih dari 1,6 juta ton (Gambar 2.4; FAO, 2014). Tingginya
total produksi kakao tersebut ditopang oleh luas area perkebunan kakao di
Indonesia. Pada tahun 2012, luas area perkebunan kakao di Indonesia mencapai
1,73 juta ha sedangkan luas perkebunan kakao di Pantai Gading mencapai 2,5 juta
ha (Gambar2.5; FAO, 2014). Hal tersebut menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan perkebunan kakao terluas kedua di dunia dibawah Pantai Gading.
2012
Produksi kakao (ton)
2000000
1500000
1000000
500000
0
Pantai Gading
Indonesia
Ghana
Nigeria
Kamerun
Negara
Gambar 2.4 Lima Negara produsen kakao terbesar di dunia tahun 2012.
Indonesia (panah biru) menempati posisi kedua sebagai produsen
kakao terbesar di dunia (FAO, 2014).
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
16
3000000
luas lahan (ha)
2500000
2000000
Indonesia
1500000
Pantai Gading
1000000
Ghana
Nigeria
500000
0
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 2.5 Perkembangan luas area negara penghasil kakao yang menempatkan
Indonesia di urutan ke -2 terbesar di dunia dari tahun 2009-2012
(tanda panah; FAO, 2014).
2.2.2 Permasalahan Budidaya kakao di Indonesia
Dalam hal produktivitas perkebunan kakao, Indonesia hanya mampu
menghasilkan biji kakao dengan jumlah yang rendah dari setiap hektar per
tahunnya. Tahun 2012, produktivitas kakao Indonesia untuk setiap hektar lahan
cukup rendah, hanya sekitar 540 kg sehingga menempatkan Indonesia sebagai
negara urutan ke tujuh belas di dunia. Angka tersebut hampir seperlima
produktivitas negara Guatemala dan Thailand yang mencapai lebih dari 2,6 ton
per hektar per tahunnya (Gambar 1.1; FAO, 2014).
Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas
kakao di Indonesia, diantaranya adalah faktor usia tanaman kakao yang sudah tua.
Rata-rata umur tanaman kakao di Indonesia lebih dari 25 tahun sehingga
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
17
mengakibatkan menurunnya produktivitas kakao sekitar 0,2 – 0,3 kg per pohon
per tahun (Taufik et al.,2010). Dengan kondisi tanaman kakao yang sudah tua
tersebut maka harus segera dilakukan peremajaan dengan tujuan meningkatkan
produktivitas tanaman kakao (Taufik et al., 2010). Faktor utama lainnya yang
diduga menyebabkan rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah kualitas
bibit yang kurang baik (Goenadi, 2005). Oleh karena hal tersebut diperlukan
upaya untuk memproduksi bibit kakao dalam jumlah yang massal dengan kualitas
yang unggul.
2.2.3 Pembibitan Tanaman Kakao
Pada saat ini kebanyakan para petani memperoleh bibit kakao secara
generatif atau melalui biji. Biji kakao yang dipanen dari tanaman kakao yang
unggul dibersihkan dan dikeringkan sampai kadar air sekitar 40%. Biji yang
kering selanjutnya dikecambahkan selama kurang lebih 12 hari. Benih yang telah
dikecambahkan kemudian ditanam di lahan dengan pemeliharaan sekitar 4-5
bulan (Rahardjo, 2011).
Keuntungan perbanyakan kakao secara generatif adalah mudah dan
sederhana untuk dilakukan (Wahyudi et al., 2008) serta dapat dihasilkan bibit
dalam jumlah yang banyak dengan pertumbuhan yang seragam serta memiliki
perakaran yang kuat (Harmanto, 2001). Namun, bibit tanaman hasil perbanyakan
generatif memiliki sifat genetik yang bervariasi. Hal ini disebabkan kakao
merupakan tanaman yang melakukan penyerbukan silang (cross pollination) dan
bunga kakao bersifat protogini yang artinya putik masak lebih awal daripada
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
18
kepalasari sehingga serbuk sari tidak mampu membuahi putik dari kuntum yang
sama (Prawoto, 2008). Sebagai akibatnya keturunan yang diperoleh dari
perbanyakan generatif akan bervariasi (Maximova et al., 2002).
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit yang
seragam secara genetik adalah dengan cara perbanyakan bibit secara vegetatif
seperti stek, cangkok, okulasi dan sambung pucuk (Gambar 2.6; Winarsih et al.,
2003). Pembibitan kakao melalui stek dilakukan dengan cara memotong pucuk
atau batang yang masih muda kemudian ditanam pada media tanam (Gambar
2.6; Siregaret al., 2010). Stek akan mulai muncul akar setelah tanaman berumur
sekitar 3 minggu dan setelah berumur sekitar 6 bulan tanaman siap digunakan
sebagai bibit (Rahardjo, 2010).
A
B
C
Gambar 2.6 Perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan cara A. Stek B.
Okulasi C. Sambung pucuk. Sumber gambar A dari
http://yogas09.student.ipb.ac.id/perbanyakan-pembiakan-tanamanplant-propagation/;
sumber
gambar
B
dan
C
dari
http://biologiez.blogspot.com/2010/11/perbanyakan-tanaman.html
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
19
Pembibitan kakao melalui stek mampu menghasilkan bibit dengan sifat
genetis yang sama dengan induk tanaman serta mampu menghasilkan buah yang
lebih cepat dibandingkan dengan teknik pembibitan generatif (Siregar et al.,
2010). Namun, tingkat keberhasilan pembibitan kakao menggunakan stek masih
rendah (sekitar 27%; Abdoellah, 2008). Disamping itu teknik stek hanya mampu
menghasilkan bibit yang terbatas serta dapat merusak tanaman induk (Rahardjo,
2010).
Perbanyakan vegetatif lainnya yang dapat digunakan dalam menghasilkan
bibit kakao adalah melalui okulasi. Okulasi merupakan metode perbanyakan
vegetatif dengan menempelkan mata tunas dari pohon kakao yang berkualitas ke
batang bawah bibit, kemudian mengikat dengan plastik agar mata tunas tidak
terlepas (Gambar 2.6; Rahardjo, 2010). Bibit okulasi siap tanam ke lahan setelah
berumur 4 - 5 bulan. Teknik okulasi mempunyai tingkat keberhasilan tinggi
(sekitar 90%; Rahardjo, 2010), bibit yang dihasilkan seragam dengan induknya
(Siregar et al., 2010), namun jumlah bibit yang dihasilkan terbatas dan dapat
mengakibatkan kerusakan pada tanaman induknya (Wahyudi et al., 2008).
Teknik lain yang digunakan dalam pembibitan kakao secara vegetatif
adalah teknik sambung pucuk (Gambar 2.6; Siregar et al., 2010). Sambung
pucuk dilakukan dengan cara memotong pucuk atau cabang dari pohon yang
memiliki kualitas bagus untuk disambungkan dengan bibit kakao yang diperoleh
dari generatif (Siregar et al., 2010). Bibit hasil sambung pucuk akan siap
dipindahkan ke lahan setelah berumur 7 bulan (Wahyudi et al., 2008). Teknik
sambung pucuk memiliki tingkat keberhasilan tinggi (sekitar 80 %; Limbongan,
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
20
2011), bibit yang dihasilkan seragam dan sama dengan induknya, namun jumlah
bibit yang dihasilkan terbatas dan dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman
induknya (Li et al.,,1998).
Mengingat teknik pembibitan konvensional masih memiliki banyak
kendala, maka alternatif pembibitan kakao dibutuhkan untuk menghasilkan bibit
dalam jumlah yang banyak dengan sifat genetik yang seragam.
2.3
Perkembangan Penelitian Embriogenesis Somatik Kakao
Salah satu teknik pembibitan yang dapat digunakan untuk menghasilkan
bibit kakao dalam jumlah yang banyak dengan sifat genetika yang seragam dan
sama dengan induknya adalah melalui teknik kultur jaringan tanaman. Kultur
jaringan tanaman merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara
mengisolasi bagian tanaman dan ditumbuhkan pada media tanam buatan yang
aseptis (Hendaryono & Wijayani, 1994). Teknik kultur jaringan mempunyai
keunggulan yaitu dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dengan
waktu yang singkat serta menghasilkan bibit yang seragam dengan induknya
(Avivi et al., 2010). Namun teknik ini memerlukan keahlian khusus, dan
lingkungan yang aseptis sehingga harus dilakukan di laboratorium, serta tidak
semua tanaman dapat diperbanyak menggunakan teknik kultur jaringan
(Hendaryono & Wijayani, 1994).
Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan untuk perbanyakan
bibit kakao seperti melalui kultur pucuk dan kultur tunas aksiler (Zulkarnain,
2011). Namun, kultur pucuk kakao belum berhasil diaplikasikan dalam jumlah
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
21
massal serta memiliki beberapa kendala seperti tumbuhan yang dihasilkan
memiliki pertumbuhan yang lambat dan memiliki akar serabut (Zulkarnain, 2011).
Teknik kultur tunas aksiler juga belum berhasil untuk diaplikasikan pada tanaman
kakao (Figuera et al., 1991)
Salah satu teknik kultur jaringan yang mulai dikembangkan untuk
menyediakan bibit kakao secara massal adalah teknik embriogenesis somatik
(Wahyudi et al., 2008). Embriogenesis somatik merupakan salah satu metode
perbanyakan tanaman secara klonal yang memungkinkan sekumpulan sel untuk
berpoliferasi, multiplikasi, membentuk embrio somatik dan berdiferensiasi
membentuk tanaman sempurna (Santos et al., 2005). Embrio somatic dapat
dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem,
yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka
perbanyakan melalui embriosomatik lebih menguntungkan daripada pembentukan
tunas adventif yang unipolar.
Bibit yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik memiliki
keunggulan berupa sifat genetika yang seragam dan sama dengan induknya (Park
& Klimaszewska, 2003; Santos et al., 2005; Masseret et al., 2008). Sistem
perakaran yang dihasilkan dari teknik embriogenesis somatik juga kuat seperti
tanaman yang berasal dari biji (Paulin & Garzon, 2008). Namun teknik
embriogenesis somatik memiliki kelemahan, yaitu peluang terjadi mutasi lebih
tinggi, metode lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus
embriogenik
karena
subkultur
berulang,
memerlukan penanganan
yang
lebihintensif karena kultur lebih rapuh dan biaya yang dibutuhkan relatif mahal
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
22
karena tempat yang digunakan harus aseptis (Purnamaningsih, 2002). Disamping
itu, kelemahan utama dari perbanyakan tanaman kakao melalui teknik
embriogenesis somatik adalah tingkat keberhasilan yang sangat bervariasi mulai
dari 1 sampai 100% tergantung genotip yang digunakan (Li et al., 1998). Oleh
karena itu, pengembangan teknik embriogenesis somatik sangat dibutuhkan guna
menghasilkan bibit kakao berkualitas unggul.
Dalam pelaksanaannya, embriogenesis somatik dilakukan melalui empat
tahap, yaitu (1) induksi kalus, (2) induksi embrio somatik, (3) perkecambahan,
dan (4) aklimatisasi bibit yang dihasilkan dengan kondisi lingkungan ex vitro
(Gambar 2.7; Li et al., 1998). Pada tahap induksi kalus, medium tanam ditambah
dengan zat pengatur tumbuh golongan auksin dengan konsentrasi yang tinggi agar
terinduksi sekelompok sel membentuk kalus (Purnamaningsih, 2002). Kalus
terbentuk karena luka pada eksplan sebagai respons terhadap hormon baik
endogen maupun eksogen. Terdapat dua macam kalus yang umum terbentuk pada
tahapan ini, yaitu kalus embrionik dan kalus non-embrionik (Winarsih et al.,
2003). Kalus embriogenik memiliki ciri berwarna kekuningan, berbentuk nodul,
sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil-kecil dan
mengandung butir pati, sedangkan kalus non-embriogenik memiliki ciri-ciri sel
berukuran besar, sitoplasma tidak padat, inti kecil, vakuola yang besar dan tidak
mengandung butir pati (Purnamaningsih, 2002).
Tahap selanjutnya adalah tahap induksi embrio somatik. Pada tahap ini,
kalus embriogenik dipindahkan ke dalam medium induksi embrio yang
mengandung auksin dengan konsentrasi rendah (Purnamaningsih, 2002).
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
23
Pemindahan kalus dari medium dengan konsentrasi auksin tinggi ke medium
dengan penambahan auksin yang rendah akan menyebabkan sel-sel mengalami
morfogenesis membentuk kelompok sel menyerupai ernbrio pada biji. Pada
umumnya, embrio somatik mulai terbentuk setelah kalus dipelihara di dalam
medium induksi embrio selama 2 - 32 minggu (Winarsih et al., 2003; Traore et
al., 2003). Tahapan pembentukan embrio dimulai dari fase globular, hati, torpedo
dan kotiledon (Gambar2.7; Purnamaningsih, 2002).
Pada tahap perkecambahan, embrio yang yang terbentuk kemudian
dikecambahkan untuk menjadi tanaman lengkap dengan penambahan zat pengatur
tumbuh dengan konsentrasi yang sangat rendah atau bahkan tidak ditambah
dengan zat pengatur tumbuh (Purnamaningsih, 2002). Tahap akhir dalam
embriogenesis somatik adalah aklimatisasi, yaitu bibit tanaman yang diperoleh
dipindahkan dari lingkungan dengan kondisi in vitro ke lingkungan ex vitro
(Purnamaningsih, 2002).
A
B
C
D
E
F
Gambar 2.7 Tahap perkembangan morfologi embrio somatik kakao; (a)
embriosomatik kakao pada tahap globular; (b) embrio somatik
kakao tahap hati; (c) embrio somatik kakao tahap torpedo; (d)
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
24
embrio somatik kakao tahap kotiledon; (e) planlet; dan (f)
aklimatisasi planlet (Li et al., 1998)
Banyak tanaman berhasil diperbanyak menggunakan teknik embriogenesis
somatik seperti pada tanaman kacang tanah (Arachis hipogaea L.; Srilestari,
2005), kopi arabika (Coffea Arabica L.; Priyono, 1993), rotan (Calamus manan
Miq.;Gunawan dan Wiendi, 1992), kedelai (Glycine max L.; Ratnadewi et al.,
1996), jahe (Zingiber officinale Roscoe; Abdillah, 2013), teh (Camellia sinensis
L.; Tahardi et al., 2003), jambu mete (Anacardium occidentale L.; Mariska,
1996), cendana (Santalum album L.; Sukmadjaja, 2005), dan lada liar (Piper
nigrumL.; Husni et al., 1997).
Pada tanaman kakao, teknik embriogenesis somatik juga telah dicobakan
untuk digunakan dalam produksi bibit. Namun demikian, tingkat keberhasilan
teknik embriogenesis somatik masih relatif rendah sehingga tanaman kakao
digolongkan ke dalam tanaman yang sulit diperbanyak secara in vitro
(recalcitrant).
Banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
embriogenesis kakao seperti pemilihan eksplan yang bervariasi seperti bagian
bunga (Li et al., 1998; Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010), embrio muda
(Dinarti, 1991), maupun kotiledon (Chantrapradist & Kamnoon, 1995; Omokolo
et al., 1997). Di antara berbagai jenis eksplan tersebut, eksplan bunga memiliki
tingkat keberhasilan yang lebih baik 1-100% (Li et al., 1998) dibandingkan
dengan eksplan embrio buah muda yaitu antara 0 - 73,3% (Dinarti, 1991) dan
eksplan kotiledon yaitu 0% (Chantrapradist & Kamnoon, 1995; Omokolo et al.,
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
25
1997). Namun demikian, faktor genetis secara nyata berpengaruh dalam
pembentukan embrio somatik kakao Alemanno et al. (1996) membuktikan hanya
5 klon dari 25 klon kakao yang diuji mampu menghasilkan embrio somatik
sedangkan
sisanya
tidak
berhasil
diperbanyakan
menggunakan
teknik
embriogenesis somatik (Winarsih et al., 2003).
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embrio somatik kakao juga telah
dilakukan dengan menggunakan beberapa medium dasar seperti medium MS
(Murashige dan Skoog, 1962) dan medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984).
Hasil penelitian yang dilakukan Alemanno et al (1996) menunjukkan bahwa
medium MS hanya berhasil menginduksi embrio somatik dengan tingkat
keberhasilan kurang dari 11%, sedangkan medium DKW memiliki tingkat
keberhasilan yang bervariasi mulai dari 4 – 70% tergantung genotip yang
digunakan (Maximova et al., 2002).
2.4
Medium Tanam
Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kultur jaringan adalah
pemberian nutrisi dalam jumlah dan perbandingan yang tepat ke dalam medium
tanam (Yusnita, 2003). Medium yang digunakan dalam kultur in vitro tumbuhan
ada bermacam-macam. Beberapa medium dasar yang banyak digunakan dalam
kultur jaringan adalah medium dasar MS (Murashige & Skoog, 1962) yang
banyak digunakan untuk kultur kalus dan regenerasi hampir semua jenis kultur,
medium dasar B5 (Gamborg, 1968) yang banyak digunakan untuk kultur suspensi
sel tanaman leguminosae, medium dasar SH (Schenk & Hildebrant, 1972) yang
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
26
banyak digunakan untuk kultur kalus tanaman dikotil dan monokotil, medium
dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) yang banyak digunakan untuk kultur
jaringan tanaman berkayu, dan medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984)
yang banyak digunakan untuk kultur embrio somatik pada tanaman kakao
(Hendaryono & Wijayanti, 1994).
Pada umumnya, medium tanam terdiri atas senyawa makronutrien,
mikronutrien, gula, zat pengatur tumbuh dan vitamin serta asam-asam amino.
2.4.1 Makronutrien
Unsur hara makro dibutuhkan dalam jumlah cukup besar. George &
Sherrington (1984) menyebutkan beberapa persenyawaan makronutrien yang
umum digunakan pada medium kultur jaringan, antara lain nitrogen (N), kalium
(K), kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), dan sulfur (S) (George & Klerk,
2008; Nursyamsi, 2010). Unsur - unsur hara makro yang diberikan ke dalam
medium tanam biasanya berupa KNO3, NH4NO3, MgSO4.7H2O, NaH2PO4.H2O,
KH2PO4, KCl, KNO3, KH2PO4. CaCl2.2H2O, dan Ca(NO3)2.4H2O (Zulkarnain,
2011).
2.4.2 Mikronutrien
Unsur hara mikro adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam
jumlah sedikit (Nursyamsi, 2010). Menurut Gamborg dan Shylluk (1981), yang
termasuk dalam unsur hara mikro adalah besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn), bor
(B), tembaga (Cu), kobalt (Co), dan molibdenum (Mo) dan klor (Cl) (George &
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
27
Klerk, 2008; Nursyamsi, 2010). Unsur-unsur hara mikro yang diberikan dalam
medium tanam biasanya berupa MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KJ,
NaMoO4.2H2O, CuSO4.5H2O dan CoCl2.6H2O (Zulkarnain, 2011)
2.4.3 Gula
Selain unsur hara makro dan mikro, dalam medium kultur harus memiliki
bahan-bahan lain yang berguna sebagai sumber karbon dan energi bagi tanaman
(Pierik, 1987). Pada medium kultur ditambahkan gula yang berguna sebagai
sumber energi dan karbon. Penambahan gula tersebut disebabkan sel dan jaringan
tumbuhan belum terbentuk sempurna sehingga untuk proses asimilasi autotrof
diperlukan asupan energi dan karbon yang berasal dari luar. Gula yang biasanya
digunakan adalah
sukrosa
atau
komponen-komponennya
yang
meliputi
monosakarida, glukosa atau fruktosa (Katuuk, 1989; Purnamaningsih, 2002).
2.4.4 Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik baik berupa
hormon maupun senyawa sintetik dalam konsentrasi sangat rendah yang mampu
mendukung, menghambat, atau menimbulkan respon bagi tumbuhan (Salisbury &
Ross, 1995). Secara umum ada lima kelompok ZPT yang digunakan dalam kultur
jaringan, yaitu auksin, sitokinin. giberelin, etilen, dan asam absisat (Salisbury &
Ross, 1995).
Salah satu ZPT yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah
golongan sitokinin. Pemberian sitokinin ke dalam medium kultur jaringan
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
28
mempunyai peranan yang penting yaitu meningkatkan keberhasilan pembelahan
sel, ploriferasi pucuk, morfogenesis pucuk, perkecambahan biji (Zulkarnain,
2011). Pemberian sitokinin dalam konsentrasi yang relatif tinggi akan merangsang
pembentukan tunas (Hendaryono & Wijayanti, 1994).
Salah satu sitokinin yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah
benzil amino purine (BAP). BAP merupakan zat pengatur tumbuh golongan
sitokinin dengan rumus kimia C12H11N3 dengan berat molekul 225.25 g mol-1
(Gambar 2.8; Silva, 2012). BAP berfungsi merangsang pertumbuhan tunas,
berpengaruh terhadap metabolisme sel, pembelahan sel, merangsang sel,
mendorong inisiasi tunas lateral, dan merangsang pertumbuhan embrio
(Wattimena, 1998).
Gambar 2.8 Rumus bangun 6-benzilamino purin (BAP) (George & Sherrington,
1984; Silva, 2012)
Pemberian BAP ke dalam medium tanam berhasil menginduksi embrio
somatik dengan tingkat keberhasilan mencapai 73,3% pada tanaman kakao
kultivar trinitario (Dinarty, 1991). Pada kultivar criollo, penambahan BAP ke
dalam medium tanam untuk menginduksi pembentukan embrio somatik juga
pernah dilaporkan (Purwasih, 2013) dan menunjukkan tingkat keberhasilan yang
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
29
lebih baik dibandingkan dengan penambahan sitokinin yang lain yaitu adenin
(Hilyatunnisa, 2013). Oleh karena itu dalam penelitan ini ditambahkan BAP ke
dalam medium tanam guna merangsang pembentukan embrio somatik tanaman
kakao.
2.4.5 Vitamin dan Asam Amino
Vitamin merupakan senyawa penting yang berfungsi sebagai perantara
dalam reaksi biokimia atau sebagai katalis dalam berbagai jalur biokimia
(Abrahamian & Kantharajah, 2011). Vitamin mempunyai peran penting dalam
kultur jaringan tumbuhan. Penambahan vitamin pada pada medium tanam
berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan, diferensiasi kalus dan embrio,
pertumbuhan dan perkembangan akar (George & Sherrington, 1984). Hal tersebut
karena vitamin berperan penting sebagai kofaktor atau bagian dari molekul
kofaktor yang penting dalam reaksi-reaksi biokimia di dalam sel. Vitamin yang
umum digunakan pada medium dasar antara lain myo-inositol, thiamin (B1), asam
nikotinat, dan piridoksin (B6) (Srilestari, 2005).
Disamping vitamin, ke dalam medium tanam juga ditambahkan asamasam amino essensial. Hal tersebut dilakukan karena sel tanaman pada kondisi in
vitro belum melakukan proses metabolisme secara normal sehingga perlu
ditambahkan asam-asam amino yang belum bisa disintesis oleh sel tanaman
tersebut. Asam amino yang banyak ditambahkan ke dalam medium kultur
jaringan adalah glisin.
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
30
Myo-inositol merupakan bagian dari polyhydroxylated sikloalkana yang
dikenal secara umum sebagai cyclitol dengan formula C6H12O6 (Barnejee et al.
2007).
Myo-inositol
berfungsi
untuk
memperbaiki
pertumbuhan
dan
morfogenesis, berperan dalam lintasan biosintesis asam D-galakturonat yang
menghasilkan vitamin C dan pektin, dan menstimulir pertumbuhan sel. Pemberian
myo-inositol pada kultur jaringan anggrek terbukti mampu meningkatkan tinggi
dan jumlah plantlet, meningkatkan panjang dan lebar daun serta meningkatkan
pertumbuhan panjang akar planlet. Hal tersebut disebabkan karena myo-inositol
berperan penting dalam mendorong proses diferensiasi dan mempercepat
pembelahan sel (Widiastoety et al., 2008).
Thiamin
(B1)
merupakan
vitamin
yang
berfungsi
mempercepat
pembelahan sel pada meristem akar tetapi tidak berpengaruh terhadap
pemanjangan sel. Thiamin juga berperan sebagai koenzim dalam proses respirasi
jaringan tanaman yang dikulturkan (Agrawal, 1989). Fungsi lain dari thiamin
adalah sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzimatik termasuk jalur pentosa
fosfat, glikolisis, siklus asam trikarboksilat (TCA), piruvat dehidrogenase
komplek, transketolase, dan piruvat dekarboksilase (Abrahamian & Kantharajah,
2011). Pada kultur jaringan anggrek, penambahan thiamin ke dalam medium
tanam mampu meningkatkan aktivitas respirasi sel sehingga pertumbuhan
tanaman menjadi normal (Widiastoety et al., 2008).
Asam nikotinat dikenal dengan nama niasin atau vitamin B3 yang
merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C6H5NO2 (Pudjaatmaka, 2002).
Asam nikotinat berperan penting dalam reaksi-reaksi enzimatis dan juga sebagai
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
31
komponen koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) dan nikotinamida
adenin dinukleotida fosfat (NADP) dan berperan sebagai kofaktor berbagai
oksidoreduktase yang terlibat dalam glikolisis dan metabolisme asam lemak
(Suha, 2014). Penambahan asam nikotinat ke dalam medium tanam terbukti
mampu meningkatkanterbentuknya embrio somatik pada tanaman kedelai
(Glycine max L.) (Barwale et al., 1986; Abrahamian & Kantharajah, 2011)
Piridoksin adalah nama lain dari vitamin B6 yang merupakan kofaktor
dalam berbagai reaksi metabolisme asam amino, termasuk diantaranya proses
transaminasi, deaminasi, dan dekarboksilasi (Lestari, 2012). Penambahan
piridoksin ke dalam medium tanam terbukti meningkatkan terbentuknya akar pada
tanaman tomat (Solanum lycopersicum L.) (George et al, 2008).
Glisin adalah asam amino yang paling sering ditambahkan pada medium
kultur jaringan dan mempunyai peran meningkatkan pertumbuhan sel serta
memperlancar metabolisme (Setiawan, 2008). Penambahan glisin ke dalam
medium tanam terbukti meningkatkan terbentuknya akar pada tanaman anggrek
(Widiastoety et al., 2008).
Pada kultur jaringan, penambahan vitamin ke dalam medium tanam
dilakukan dengan cara
mengkombinasikan baik macam maupun konsentrasi
vitamin-vitamin tersebut sehingga diperoleh komposisi yang tepat guna
merangsang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Saat ini terdapat lebih dari
100 kombinasi vitamin yang umum digunakan dalam kultur jaringan, diantaranya
adalah vitamin MS (Murashige & Skoog, 1962), Vitamin B5 (Gamborg et al.,
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
32
1968) dan vitamin DKW (Driver & Kuniyuki, 1984). Ketiga jenis vitamin
tersebut memiliki perbedaan seperti yang terdapat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Perbandingkan komposisi vitamin dan asam amino yang terkandung di
dalam medium tanam
Vitamin dan asam
amino
Myo-inositol
Thiamin
Asam nikotinat
Piridoksin
Glisin
Komposisi
Vitamin MS
100 mg/L
0,1 mg/L
0,5 mg/L
0,5 mg/L
2 g/L
Komposisi
Vitamin B5
100 mg/L
10 mg/L
1 mg/L
1 mg/L
-
Komposisi
Vitamin DKW
10 mg/L
0,2 mg/L
0,1 mg/L
0,2 g/L
Pada embriogenesis somatik, penambahan vitamin dengan macam dan
konsentrasi yang tepat terbukti berpengaruh terhadap keberhasilan induksi
embrio, meskipun keberhasilan tersebut sangat tergantung kepada jenis tanaman
maupun jenis eksplan yang digunakan. Pada kacang tanah (Arachis hypogaea, L.),
penambahan vitamin B5 (Gamborg, 1968) ke dalam medium tanam berhasil
menginduksi pembentukan embrio somatik yang lebih baik dibandingkan
penambahan vitamin MS ke dalam medium tanam (Srilestari, 2005). Pada
tanaman kopi arabika (Coffea arabica, L.), penambahan vitamin B5 ke dalam
medium tanam juga mampu menghasilkan embrio somatik lebih banyak
dibandingkan dengan vitamin yang lain (Simões-Costaet al., 2010).
Pada tanaman kakao, penambahan vitamin B5 ke dalam medium tanam
terbukti mampu mempercepat terbentuknya embrio somatik dibandingkan dengan
penambahan vitamin DKW ke dalam medium tanam (Muller, 2013). Pada
penelitian tersebut Muller (2013) menggunakan kakao kultivar forastero.
Penelitian tentang pengaruh penambahan jenis vitamin ke dalam medium tanam
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
33
terhadap keberhasilan induksi embrio somatik kakao kultivar criollo belum
pernah dilaporkan, sehingga pada penelitian ini dilaporkan tentang hal tersebut
untuk pertama kalinya.
Pengaruh Penambahan 6-benzylamin..., Riyan Fauji, FKIP UMP, 2014
Download