1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Selain sebagai persekutuan orang-orang percaya, gereja dalam bentuknya adalah sebagai sebuah organisasi. Sebagaimana sebuah organisasi, maka gereja membutuhkan pemimpin. Bukan pemimpin yang bekerja dengan asal-asalan tetapi pemimpin yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya bagi kemajuan gereja tersebut. Oleh karena itu pola kepemimpinan gereja selalu menjadi suatu masalah yang penting1. Mengapa dikatakan penting sebagai sebuah masalah? Karena pada kenyataannya, masih banyak gereja yang belum benar-benar memikirkan bentuk kepemimpinan yang tepat bagi gerejanya. Masih banyak pemimpin gereja yang menjalankan kepemimpinannya secara tradisional sebagai satu-satunya pengambil keputusan, sebagai satu-satunya orang yang berkuasa dalam sebuah gereja. Dan sebagai suatu masalah, maka perlu segera dicarikan solusi yang tepat dan memadai. Dalam penulisan skripsi ini, kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan seorang pendeta sebagai salah satu unsur pemimpin gereja. Jikalau tadi dikatakan seorang pemimpin gereja biasanya merupakan satu-satunya orang yang berkuasa di gereja itu, namun di lain pihak bisa terjadi ekstrem sebaliknya. Pendeta dianggap sebagai pembantu rumah tangga yang harus mampu menjalankan seluruh tugas-tugas yang ada di gereja. Dalam sebuah gereja tertentu, ketika selama beberapa tahun ia tidak memiliki pendeta, jemaatnya dikenal sebagai jemaat yang pro aktif dan mandiri. Seluruh kegiatan dapat berlangsung dengan baik meskipun tanpa campur tangan seorang pendeta (hanya ada pendeta konsulen). Tetapi anehnya, ketika ada seorang calon pendeta ditempatkan di sana, mendadak jemaat berubah 180° menjadi jemaat yang pasif. Hampir seluruh pekerjaan diserahkan pada si capen. Karena si capen tinggal di gereja, maka telepon gereja menjadi lebih sering berdering dan pekerjaan kantor tiba-tiba menumpuk, mulai dari menghubungi pembicara sampai mengecek perlengkapan ibadah. Nah, kalau sudah begini maka siapa yang harus disalahkan? Ataukah mungkin lebih baik bagi jemaat tersebut apabila 1 Malcolm Brownlee, “Menuju Pola Kepemimpinan Baru Dalam Gereja-Gereja di Indonesia” , Pidato pada perayaan Dies Natalis ke-18 STT Duta Wacana Yogyakarta, p. 1 2 selamanya tidak memiliki pendeta sehingga kemampuan mereka dapat terus dikembangkan? Pola kepemimpinan gerejawi berbeda dengan pola kepemimpinan dalam dunia usaha atau organisasi-organisasi lainnya, karena hakikat dan tujuannya pun berbeda. Kepemimpinan duniawi berbentuk hierarki dan selalu berorientasi pada kekuasaan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin besar kekuasaan yang dimilikinya. Dan biasanya, kekayaannya pun akan semakin meningkat seiring dengan kenaikan jabatan tersebut. Berbeda dengan pola yang semacam itu, kepemimpinan gereja adalah kepemimpinan yang berdasarkan Kristus; yang bercitra pada apa yang dilakukan Yesus selama hidupNya di dunia2. Laurie Beth Jones mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan Yesus (dia menyebutnya dengan gaya manajemen) merupakan perpaduan dari gaya-gaya kepemimpinan yang telah ada sekarang ini. Pertama adalah gaya manajemen yang didasarkan pada penggunaan kekuatan yang otoritatif. Sedangkan yang kedua adalah yang didasarkan pada penggunaan kekuasaan yang kooperatif. Ia begitu yakin bahwa Yesus adalah pemimpin yang teragung. Yesus memiliki manajemen yang memadukan dan mengatasi yang terbaik dari kedua gaya kepemimpinan tersebut. Jones sangat mengagumi gaya kepemimpinan Yesus karena Ia berhasil melatih dua belas orang manusia biasa menjadi orang-orang yang dapat memberikan pengaruh begitu kuat pada dunia di waktu-waktu yang kemudian3. Jones sebagai salah satu orang yang menulis buku tentang teladan kepemimpinan Yesus membuktikan bahwa sebenarnya kesadaran tentang pentingnya perubahan pola kepemimpinan, terutama dalam lingkup gereja, sudah mulai nampak bahkan jauh sebelum penulisan bukunya. Namun sayangnya kesadaran tersebut masih terbatas pada wacana saja sehingga belum banyak gereja yang mempraktekkannya. Mereka masih bertahan pada status quo dan enggan untuk mencoba sesuatu yang baru. Ketahanan pada status quo ini tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kita tidak akan membahas faktor-faktor itu di sini, tetapi penulis hanya akan menyebutkan beberapa diantaranya. Pertama, masih banyak pemimpin gereja yang senang dihormati sebagai pemimpin tunggal dalam sebuah gereja. 2 Pdt. Sutan M. Hutagalung, Ph.D., Identitas Kepemimpinan Pelayan Gereja, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 1987, p. 3 3 Laurie Beth Jones, Yesus Chief Executive Officer, (Jakarta : Mitra Utama), 1997, p. xiii-xv 3 Kalau ia menjalankan pola kepemimpinan yang baru, tentu posisi itu akan tergeser dari dirinya. Kedua, jemaat sudah terlalu lama menggantungkan dirinya pada pemimpin gereja sehingga mereka tidak sadar bahwa sebenarnya secara tidak langsung mereka sedang “dibodohi”. Atau jika mereka sadar pun, mereka enggan untuk mengadakan transformasi karena mereka sudah merasa “nyaman” dengan situasi demikian. Dan masih banyak faktor lainnya. 2. PERMASALAHAN Dengan melihat kenyataan yang ada seperti terurai pada bagian pertama tadi, maka tugas kita adalah mencari bentuk kepemimpinan gereja yang tepat, yang dapat menjawab tantangan-tantangan gereja saat ini. Jika kita sudah menyadari bahwa satu-satunya figur pemimpin yang patut kita teladani adalah Yesus, maka kita harus mencari apa yang sebenarnya Yesus ajarkan bagi kita. Bambang Mulyatno dkk memberikan sebuah masukan bahwa ada tiga bentuk kepemimpinan yang meneladan pada dan merupakan kehendak Tuhan Yesus sendiri, yaitu: 1. Kepemimpinan pelayanan yaitu pemimpin yang memperlakukan orang-orang yang dipimpinnya bukan sebagai objek, apalagi sekedar alat untuk memuaskan kepentingan dirinya, melainkan sebagai subjek. Bentuk ini mengacu pada perkataan Yesus sendiri bahwa Ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Markus 10:45). 2. Kepemimpinan partisipatif yaitu pemimpin yang melibatkan warganya dalam proses kepemimpinan itu sendiri sehingga dapat menghasilkan “pemimpinpemimpin besar”. 3. Kepemimpinan reformis yaitu pemimpin yang bersedia dan mampu mengadakan pembaruan-pembaruan seiring dengan berkembangnya zaman4. Di dalam Alkitab sendiri sebenarnya Yesus sangat jarang disebut sebagai pemimpin, tetapi telah banyak teolog dan kaum awam yang mengakui bahwa Ia adalah seorang Pemimpin yang Sejati. Beberapa ayat yang menunjukkan Yesus adalah pemimpin, misalnya : “Dan 4 Bambang Mulyatno,dkk., “Kepemimpinan Gereja Dalam Mengelola Keesaan Dan Konflik”, Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), 1998, p. 152-159 4 engkau Betlehem, tanah Yehuda, engkau sekali-kali bukanlah yang terkecil diantara mereka yang memerintah Yehuda, karena padamulah akan bangkit seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umatKu Israel” (Matius 2:6); “… Yesus, yang memimpin mereka kepada keselamatan, dengan penderitaan” (Ibrani 2:10); “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, …”(Ibrani 12:2)5. Dalam skripsi ini, secara khusus kita akan melihat gaya kepemimpinan Yesus dalam Injil Markus. Markus sendiri tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Yesus adalah seorang pemimpin; tidak ada kata-kata yang menunjuk pada hal tersebut. Markus menyebutkan Yesus sebagai Anak Allah yang memiliki tugas memberitakan Injil (Markus 1:1, 14). Lalu di mana letak kepemimpinan Yesus, jika Ia sendiri merupakan utusan (baca: bawahan/pelayan/hamba) yang berarti Ia juga mempunyai atasan? Dalam Injil Markus, kita akan menjumpai banyak peristiwa di mana Yesus sering kali diperhadapkan dengan masalah-masalah kemasyarakatan6. Jika kita melihat Markus sebagai sebuah cerita, maka setiap peristiwa yang terjadi mempunyai arah, isi, suasana serta pemecahannya masing-masing7. Yesus memiliki sikap-sikap dan tindakan-tindakan tertentu terhadap setiap permasalahan yang ada, namun hampir selalu mendapat tentangan dari orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama para pemimpin agama saat itu. Hal ini tentunya menimbulkan ketegangan antara Yesus dengan para pemimpin agama tersebut. Namun seperti kita ketahui bahwa Yesus pada akhirnya selalu dapat mengatasi permasalahan yang dihadapiNya tersebut dengan baik. Melalui berbagai peristiwa yang terjadi, kita dapat mempelajari karakter Yesus sebagai seorang pemimpin dalam mengatasi berbagai permasalahan kemasyarakatan tersebut. Ada banyak hal yang dapat kita pelajari dari Yesus dalam hal kepemimpinan. Sayangnya sering kali kita hanya melihatnya dari satu sudut pandang saja yaitu tentang karakter pemimpin yang melayani (Markus 9:35, 10:43-45). Banyak orang menekankan bahwa jika seseorang ingin menjadi pemimpin yang baik maka ia harus mau melayani orang-orang yang dipimpinnya; ia harus mau menjadi pelayan. Saat ayat ini ditafsirkan secara dangkal, maka 5 scn 2, p. 4 Masalah kemasyarakatan yang dimaksud kebanyakan berhubungan dengan hukum Taurat, mengingat betapa lekatnya agama Yahudi dengan kehidupan masyarakat Yahudi pada waktu itu. 7 David Rhoads, Donald Michie, Injil Markus Sebagai Cerita, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2000, p. 88-89 6 5 pemimpin akan benar-benar menjadi pelayan (baca: budak); pendeta akhirnya harus menjadi pelayan manusia bukannya pelayan Allah. Seperti contoh kasus yang diutarakan di depan, jemaat sebagai orang-orang yang dipimpin justru malah berani memerintah pemimpinnya untuk melakukan berbagai hal. Mengapa demikian? Ya karena pemahaman bahwa pemimpin adalah pelayan bagi semua. Ironis bukan? Pada akhirnya tugas kepemimpinan itu justru malah hilang dan berganti dengan tugas seorang pelayan. Untuk itulah kita harus benar-benar memahami pola apa yang harus diterapkan dalam kepemimpinan gereja. Salah satu caranya dengan belajar langsung dari teladan-teladan Yesus, Sang Pemimpin Sejati. 3. FOKUS PERMASALAHAN Dengan mempertimbangkan dasar pemikiran tersebut, maka penulis mengambil judul untuk skripsi ini adalah : “Integritas Kepemimpinan Yesus Dalam Injil Markus Dan Implementasinya Dalam Kepemimpinan Pendeta” Adapun fokus permasalahan yang ingin didapat dari judul tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kita akan melihat kepemimpinan Yesus dalam Injil Markus. Markus merupakan Injil yang cukup unik. Meskipun isinya paling singkat di antara Injil yang lain tapi bukan berarti ia “tidak berisi”. Singkat tapi padat. Bahkan ada beberapa hal dan peristiwa yang tidak ditulis dalam Injil lain, tetapi tercantum dalam Markus. Usianya sebagai Injil yang tertua menambah keotoritasannya dalam mengisahkan tokoh panutan kita, Yesus Kristus. Keunikan lain dari Injil ini yaitu dari sejak awal (pasal 1) kita sudah dapat melihat kisah-kisah kepemimpinan Yesus melalui berbagai situasi yang dihadapiNya; Injil ini tidak diawali dengan cerita tentang kelahiranNya. 2. Tokoh yang akan diteladani di sini adalah Yesus. Ia dikenal dan diakui sebagai seorang pemimpin yang berhasil selama berabad-abad lamanya. Meskipun Ia harus 6 mengakhiri hidupnya di dunia dengan cara yang sangat tragis namun Ia telah meninggalkan banyak karya selama hidupNya itu. Oleh karena itu penulis ingin merumuskan kembali apa yang Yesus ajarkan sebagai kepemimpinan. Karakter dan sikap bagaimana yang harus kita pegang agar menjadi pemimpin yang disegani tapi bukan melalui keotoriteran. Namun juga supaya tidak menjadi pemimpin yang sekadar menjadi bulan-bulanan karena bersikap terlalu kooperatif. 3. Kepemimpinan yang baik dibutuhkan dalam segala aspek kehidupan karena tidak dapat dipungkiri bahwa kepemimpinan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan sebuah bidang kerja. Namun di sini penulis tidak akan membahas kepemimpinan secara luas melainkan membatasi hanya pada kepemimpinan gerejawi. Pada bagian akhir skripsi ini akan dipaparkan kesimpulan dan saran-saran yang diharapkan dapat berguna bagi para pemimpin gerejawi. 4. Kata “integritas” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti kebulatan, keutuhan, kejujuran. Seseorang yang memiliki integritas berarti antara kata-kata dan perbuatannya ada kesesuaian. Dalam menghadapi situasi apapun, tindakan yang ia lakukan akan sesuai dengan kata-kata yang pernah diucapkannya atau diajarkannya sehingga ia tidak perlu bersikap mendua ataupun berpura-pura (munafik). Jadi di sini kita akan melihat keutuhan Yesus sebagai seorang pemimpin. 5. Dalam rangka memahami integritas kepemimpinan Yesus, maka akan ditafsirkan beberapa bagian dalam Injil Markus. Pemilihan perikop yang akan ditafsir adalah berdasarkan masalah kemasyarakatan yang dihadapi oleh Yesus yang dirasa cukup signifikan. Adapun bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut : (1) Markus 2 : 13-17 Dalam perikop ini Yesus menghadapi masalah mengenai penerimaan orangorang berdosa, yang dianggap tidak layak untuk bergaul dengan kelompok masyarakat yang lain. Masalah ini cukup sensitif terutama bagi para ahli Taurat karena mereka menganggap orang-orang yang tidak menjalankan hukum Taurat dengan sempurna dianggap najis, berdosa dan harus dikucilkan dari masyarakat. Tetapi Yesus justru berpendapat lain melalui perkataanNya, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa”. 7 (2) Markus 10 : 42-45 Kali ini Yesus harus berhadapan dengan murid-muridNya yang memiliki pemahaman keliru mengenai keMesiasan Yesus. Para murid – dan seperti masyarakat pada umumnya – membayangkan keMesiasan secara duniawi yaitu soal meraih kedudukan dan kemuliaan. Namun Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa barangsiapa ingin menjadi besar hendaklah ia menjadi pelayan dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. (3) Markus 11 : 15-17 Pada bagian ini Yesus menghadapi masalah seputar Bait Allah. Masyarakat pada waktu itu menjadikan Bait Allah sebagai pusat perekonomian jauh melebihi dari fungsi utamanya sebagai pusat peribadahan. Oleh karena itu Yesus ingin mengembalikan sentralitas Bait Allah sebagai pusat ibadah kepada Allah. Yesus mengambil tindakan tegas dengan mengusir orang-orang yang berjual beli di sana dan mengatakan “Bukankah RumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa”. 4. TUJUAN PENULISAN Dalam skripsi ini kita akan mempelajari gaya dan sikap kepemimpinan Yesus. Dengan melihat berbagai situasi yang dihadapi oleh Yesus maka kita dapat menemukan pola yang dipakai oleh Yesus. Dapat dikatakan bahwa Yesus selalu punya jalan keluar yang tepat dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapiNya. Cara-cara yang dipakai oleh Yesus bukanlah cara yang licik, melainkan Ia selalu mencari celah untuk menyadarkan masyarakat dari kesalahpahaman akan berbagai masalah kemasyarakatan yang muncul saat itu. Sikap dan tindakan Yesus tersebut diarahkan untuk membawa suatu perbaikan. Dengan mempelajari kepemimpinan Yesus maka diharapkan para pemimpin gereja dapat menyadari kekeliruannya dan kemudian meneladani apa yang Yesus ajarkan ini. Kita mengharapkan bahwa gereja-gereja akan semakin berkembang dengan berubahnya pola kepemimpinan yang ada. Kemajuan gereja bukan semata-mata demi kemajuan secara organisatoris, tetapi supaya misi dan visi yang diemban gereja dapat tercapai. Gereja sebagai tanda kehadiran Kerajaan Allah di dunia memiliki visi dan misi dari Allah sendiri. 8 Namun gereja hidup di tengah-tengah masyarakat duniawi. Jika gereja tidak peka dan menyadari keberadaannya tersebut maka ia tidak akan berhasil menjalankan visi dan misi tersebut, gereja akan hanyut dalam arus dunia atau justru akan tenggelam karena tidak mampu mengikuti perubahan zaman. Pola kepemimpinan Yesus sebagai teladan bagi kepemimpinan gereja hendaknya dapat membawa gereja tetap eksis, tetap pada jalurnya dan tetap setia pada misi yang diembannya. 5. METODE PENULISAN Skripsi ini akan ditulis dengan memakai pendekatan hermeneutis murni yaitu dengan menggunakan metode penafsiran sosio historis. Metode ini menggunakan analisis sosial budaya dalam memahami suatu teks dalam Alkitab. Kita menyadari bahwa sebuah teks tidak mungkin lepas dari kondisi masyarakat yang berkembang saat itu. Menurut John G. Gager dalam artikelnya yang berjudul “Shall We Marry Our Enemies”, ada dua keuntungan yang didapat dari memanfaatkan ilmu-ilmu sosial dalam penafsiran Alkitab. “Pertama, kita akan mampu memahami dan menghadirkan kembali pengalaman hidup masyarakat awal di balik teks Alkitab itu, dengan segala dimensinya secara penuh. Kedua, kita akan dapat menangkap kembali kesinambungan antara pengalaman religius masyarakat awal tersebut dengan pengalaman religius masyarakat secara lebih luas lagi termasuk pengalaman religius kita kini dan di sini”8. Dengan menggunakan metode sosio historis ini akan sangat membantu dalam mencapai tujuan penulisan skripsi ini yaitu melihat integritas kepemimpinan Yesus. Penulis dapat menggali kehidupan kepemimpinan baik di bidang politik maupun dalam keagamaan Yahudi yang terjadi di zaman Yesus sehingga dengan demikian dapat membandingkannya dengan sikap kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Yesus. 8 Pdt. Yusak Tridarmanto, M.Th., “Berteologi Secara Kontekstual Dan Penafsiran Alkitab”, Teologi Operatif: Berteologi Dalam Konteks Kehidupan yang Pluralistik di Indonesia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2003, p. 32 9 6. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun urut-urutan dalam seluruh rangkaian penulisan makalah akhir ini adalah : BAB I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan 2. Permasalahan 3. Fokus Permasalahan 4. Tujuan Penulisan 5. Metode Penulisan 6. Sistematika Penulisan BAB II. KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT PALESTINA PADA MASA YESUS KRISTUS DAN PEMBACA MARKUS 1. Kehidupan Sosial Masyarakat Palestina Pada Masa Yesus Kristus A. Situasi Kemasyarakatan (1) Kehidupan Politik (2) Kehidupan Keagamaan (3) Kehidupan Sosial - Ekonomi B. Relasi Antara Pemimpin Politik dan Pemimpin Keagamaan C. Penampilan Yesus Sebagai Seorang Tokoh Pemimpin 2. Kehidupan Sosial Masyarakat Pembaca Injil Markus A. Siapa Penulis Injil Markus ? B. Siapa Pembaca Injil Markus ? C. Kapan Injil Markus Ditulis ? D. Bagaimana Kondisi Pembaca Injil Markus ? BAB III. YESUS DAN BERBAGAI MASALAH KEMASYARAKATAN YANG DIHADAPINYA – SEBUAH USAHA UNTUK MENEMUKAN POLA KEPEMIMPINAN YESUS 1. Markus 2 : 13-17 2. Markus 10 : 42-45 3. Markus 11 : 15-17 BAB IV. PENUTUP 1. Kesimpulan 2. Saran