GEORG SIMMEL DAN RELASIONISME Sebuah Tinjauan Filosofis

advertisement
GEORG SIMMEL DAN RELASIONISME
Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan
Individu dan Masyarakat
F. Budi Hardiman
STF Driyarkara, Jakarta
Abstract:
Social philosophy and social sciences face the dilemma of individualism and
collectivism. Whereas liberalism views the individual as the ultimate social
reality, socialism bases it self on the idea that the social totality is the ultimate
social reality. The German sociologist and social philosopher, Georg Simmel,
solved the dilemma with his concept of Wechselwirkung (mutual effect). This
so called relationism changes the common construction of modern sociology.
In this paper the author elaborates Simmel’s relationism in different works of
the thinker and takes the contributions of this concept into account. He shows
how Simmel’s relationism operates in his approach to different form of
Vergesellschaftung (sociation).
Keywords: Unterschiedwesen (makhluk pembeda), relationisme,
Wechselwirkung (pengaruh timbal balik), Vergesellschaftung (sosiasi).
Filsafat sosial dan ilmu-ilmu sosial dalam masyarakat Indonesia ingin
menemukan “jalan tengah” bagi individualisme Barat dan kolektivisme
Asia. Di masa lalu atas nama ideologi Pancasila pemerintahan Orde Baru
mendengung-dengungkan pendirian tengah itu tanpa upaya intelektual
yang berarti untuk memberikan sebuah basis epistemologis yang memadai
bagi penolakan terhadap individualisme yang mendasari liberalisme Barat.
Bahkan ideologi negara itu – oleh rezim otoriter waktu itu – ditafsirkan
secara kolektivistis sehingga menindas kebebasan individu. Dengan
menempatkan keseluruhan (bangsa, negara, masyarakat dst.) sebagai
realitas sui generis, Pancasila versi Orde Baru dalam praktiknya mendekati
karakter fasisme dan komunisme yang ditolaknya. Yang dikorbankan
tentu saja individu dan minoritas. Tidak disangsikan bahwa seharusnya
ada penjelasan epistemologis dan sosiologis untuk melampaui individualisme dan kolektivisme itu.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
1
Dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat sosial Eropa, konflik antara
individualisme dan kolektivisme, mekanisme dan organisme dilihat
sebagai persoalan modern yang berjalan seiring dengan proses individuasi.
Ekonomi pasar dan perkembangan institusi hak milik pribadi tentu
memiliki andil yang tidak sedikit terhadap proses individuasi itu,
mengingat keduanya memperbesar ruang kebebasan individu. Suatu ekses
yang tak terkendali dari proses individuasi, yakni individualisasi, oleh
sosiologi modern sejak dini sudah dilihat sebagai suatu bahaya yang harus
diatasi dengan pemahaman yang tepat mengenai masyarakat. Tegangan
persoalan antara individualisme dan kolektivisme itu telah membawa
kita pada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah sebenarnya
seorang ‘individu’ itu? Bersamaan dengan itu tentu dapat dilontarkan
pertanyaan yang sama fundamentalnya: Apakah “masyarakat” itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu membutuhkan jawaban yang lebih
daripada sekedar sebuah definisi, yaitu sebuah penjelasan epistemologis
dan antropologis tentang apa itu individualisasi dan kolektivisasi yang
terjadi dalam masyarakat modern. .
Di dalam penelitian ini saya mencoba menawarkan penjelasan
epistemologis itu dengan mengacu pada pemikiran Georg Simmel dalam
beberapa karyanya yang terpenting. Saya akan mulai dengan menelusuri
pandangan liberalisme tentang individu sebagai titik tolak (1), lalu
membahas bagaimana Simmel dengan pandangannya yang disebut
‘relasionisme’ mencoba mengatasi individualisme liberal (2). Di samping
menjelaskan relasionisme itu (3), saya akan menunjukkan juga bagaimana
relasionisme itu membuka peluang untuk konstruksi suatu sosiologi yang
dapat menjelaskan berbagai fenomen sosial konkret dan bahkan berciri
keseharian yang selama ini kurang diperhatikan di dalam sosiologi yang
menekankan desain-desain besar tentang masyarakat (4). Saya akan
mengakhiri penelitian ini dengan sebuah penutup singkat (5).
1.
Individualisme sebagai Duduk Perkara
Perlawanan terhadap individualisme yang kita temukan dalam
ideologi-ideologi politis kontemporer sudah dimulai sejak berdirinya
sosiologi. Sebagai suatu ilmu, sosiologi pada dasarnya bersikap kritis
terhadap individualisme. Sosiologi memiliki perspektif dasariah, yaitu
melihat manusia sebagai anggota sebuah kolektif (socius = teman). Disiplin
ini muncul di dalam aliran positivisme Prancis abad ke-19 sebagai upaya
untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme hubungan antarindividu
dalam masyarakat yang menjadi modern. Auguste Comte (1789-1857),
pendiri aliran ini, memberi pendasaran metodologis bagi sosiologi sebagai ilmu positif. Sosiologi didirikan sebagai suatu ilmu untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme yang bekerja di dalam kolektivitas ma-
2
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
nusia.1 Tekanan sosiologi pada kolektivitas semakin jelas dalam konsep
Marx tentang kelas dan kesadaran kelas, serta konsep Durkheim tentang
kesadaran kolektif. Cukup jelas bahwa sejak berdirinya sosiologi melawan
individualisme dalam liberalisme. Perspektif sosiologis ini bertentangan
secara diametral dengan pandangan-pandangan kaum liberal tentang
manusia dan masyarakatnya. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa
liberalisme dan sosiologi berangkat dari asumsi-asumsi antropologis yang
berbeda.
Citra manusia dalam liberalisme tampil paling jelas dalam pemikiran
Thomas Hobbes (1588-1679) tentang masyarakat. Hobbes termasyhur
dengan gagasannya tentang state of nature (keadaan alamiah) yang tidak
lain daripada sebuah fiksi rasional mengenai prilaku individu-individu
dalam keadaan sebelum berdirinya negara. Mereka yang membaca karya
utamanya Leviathan (1651) akan menemukan bahwa dia mendekati
realitas sosial dengan cara atomisasi. Totalitas kolektif dicacah menjadi
bagian-bagian pembentuknya. Bagian terkecil dari totalitas itu adalah
“individu alamiah”. Individu selalu menyertakan ciri-ciri kelompoknya,
seperti identitas sosial dan religiusnya, namun Hobbes dalam konstruksi
teoretisnya membersihkan individu dari unsur-unsur kelompoknya
sedemikian sehingga diperoleh individu murni yang abstrak.
Dalam pemikiran Hobbes individu alamiah itu berinteraksi menurut
mekanisme-mekanisme hubungan-hubungan strategis. Kriterium terakhir
bagi individu adalah survival. Tidak dapat disangsikan bahwa Leviathan
bertolak dari sebuah pengandaian metafisis bahwa elemen terakhir
pembentuk totalitas, yakni individu, adalah realitas par excellence. Dalam
model penjelasan Hobbesian itu atom-atom sosial itu berhubungan satu
sama lain lewat transaksi atau kontrak yang di dalamnya para pihak
melakukan kalkulasi strategis. Masyarakat egois-egois tercerahkan ini tak
lebih daripada sebuah mekanisme. Totalitas sosial tidak memiliki realitasnya
sendiri, melainkan merupakan “tambahan” dari pikiran individu pada
hubungan-hubungan atomistis yang tak pernah melampaui aku-kamu,
yakni tak pernah menerima kekitaan sebagai sebuah realitas.
Bahwa individu-individu rasional-strategis dapat membentuk sebuah
masyarakat adalah sebuah tesis yang janggal. Akan tetapi tesis ini terus
dibela sampai masa Pencerahan Eropa abad ke-18. Dalam bukunya Zum
ewigen Frieden, Immanuel Kant (1724-1804) menggemakan kembali tesis
itu dengan beberapa revisi, namun arahnya tetap sama, yakni individualisme. Para egois tercerahkan dalam liberalisme itu menurut Kant
bersedia untuk tunduk pada hukum bersama, karena hukum itu me-
1
Lih. Budi Hardiman, F., Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta,
2004, 211.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
3
lindungi kepentingan-kepentingan egoistis mereka. Karena itu “bangsa
setan-setan” (Volk von Teufeln) yang rasional pun dapat membentuk
masyarakat, jika masyarakat itu tersusun dari mekanisme-mekanisme
keadilan belaka yang netral terhadap nilai-nilai kultural.2 Liberalisme
ingin memperlihatkan bahwa rasa kekitaan itu sekunder; yang primer
adalah mekanisme-mekanisme obyektif yang menata interaksi atom-atom
sosial. Bahkan aspirasi-aspirasi komuniter dianggap dapat menindas
individu, maka masyarakat harus netral dari mereka. “Setan” dalam
model Kant atau “individu” dalam model Hobbes adalah satu dan sama;
keduanya mengesampingkan kolektivitas, sekalipun kata “negara” atau
“bangsa” dipakai dalam model mereka.
2.
Georg Simmel, Antropologi Kantian dan Wechselwirkung
Apakah model penjelasan liberalisme memuaskan? Apakah manusia
sungguh merupakan atom-atom dari sebuah totalitas, sementara totalitas itu hanyalah epifenomena dari atom-atom yang adalah realitas
terakhir? Bahkan Kant sendiri dalam karyanya “Idee zu einer allgemeinen
Geschichte in weltbûrgerlicher Absicht”, 3 mendasarkan pemikirannya
tentang masyarakat pada model antropologis tentang manusia sebagai
mahluk ganda: Di satu pihak dia cenderung menarik diri dari yang lain
dan hidup sebagai seorang individu, tetapi di lain pihak dia tak dapat
sepenuhnya meninggalkan kelompoknya. Makhluk yang berdiri di dalam
sekaligus di luar kolektivitas ini disebutnya dengan istilah kontradiktoris
“ungesellige Geselligkeit” yang kiranya dapat diterjemahkan sebagai
‘sosialitas yang asosial’. Bila manusia itu di dalam sekaligus di luar masyarakatnya, tidakkah datum antropologis ini sentral untuk membangun
teori sosiologis yang memadai? Filsuf dari Kõnigsberg ini tidak bertahan
dalam paradoks itu karena dalam filsafat sosialnya dia lebih memilih
untuk melindungi kepentingan-kepentingan diri manusia sebagai individu
sebagaimana tersirat dalam tesisnya tentang “bangsa setan-setan”itu.
Dengan demikian dia dimasukkan dalam kubu liberalisme.
Antropologi Kantian tentang manusia sebagai makhluk ganda itu
cukup kuat untuk menjadi basis sebuah konstruksi sosiologis, hanya jika
ketegangan paradoksal dalam diri manusia dipertahankan dan tidak
dijual entah kepada kolektivisme maupun individualisme. Orang yang
mencoba bertahan dalam paradoks antropologis itu adalah Georg Simmel
(1858-1918). Lahir dari keluarga Yahudi pengusaha coklat yang beralih
2
Bdk. Kant, Zum ewigen Frieden, Pasal Definitif Tambahan Pertama, Reclam, Stuttgart, 1974.
3
Teks ini dapat dibaca dalam: Kant, I., Schriften zur Geschichtsphilosophie, Reclam, Stuttgart,
1974.
4
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
menjadi Katolik, kehidupan pendiri sosiologi di Jerman ini ditandai
banyak kontradiksi: ditolak oleh komunitas Yahudi namun sekaligus
dicurigai oleh orang Kristen; membela sosialisme namun danggap tidak
ortodoks oleh kaum Marxis; oleh para sosiolog lebih dipandang sebagai
fisuf namun oleh para filsuf dihitung sebagai sosiolog. Karir akademis
Simmel juga tidak berjalan mulus karena ia tidak pernah sungguhsungguh diterima dalam universitas Jerman berhubung ia seorang
Yahudi. Meski demikian, kuliah-kuliahnya sebagai Privatdozent selalu
ramai diikuti para mahasiswa. Sosok Simmel yang berdiri di perbatasanperbatasan itu justru menguntungkan tilikan-tilikan intelektualnya yang
dapat dikembalikan pada paradoks antropologis Kantian di atas.
Gambaran antropologis Kantian itu tampak dalam tulisan awalnya
yang berjudul Ûber sociale Differenzierung (1892). Di dalam teks itu Simmel
menyebut manusia untuk pertama kalinya sebagai Unterschiedswesen.
Istilah Jerman ini sebaiknya diterjemahkan sebagai ‘makhluk perbedaan’.
Manusia adalah makhluk perbedaan karena dia tidak mau dan tak dapat
disamakan sepenuhnya dengan yang lain. Dia selalu ingin sedikit berbeda
dari yang lain. Meski demikian, dia juga tidak ingin diisolasi dari yang
lain, yakni tak ingin dibedakan sama sekali dari yang lain. Singkatnya,
manusia adalah sama sekaligus berbeda dari sesamanya. 4 Dalam
kesamaannya dia berbeda, sementara dalam perbedaannya dia sama
dengan yang lain. Dalam tulisannya “Philosophie der Mode”, Simmel
memperlihatkan tegangan antara yang sama dan yang berbeda itu dalam
fenomen mode atau fesyen: Pemakai mode baru menunjukkan individualitasnya dengan cara mengikuti apa yang menjadi kecenderungan
kolektivitasnya. Mode itu bagian dari kehidupan kolektif. Jika tidak
begitu, mode tak dikenali sebagai mode. Akan tetapi mode memperlihatkan kebaruannya justru karena mengambil jarak sedikit dari selera
rata-rata. Individualitas mode itu pada gilirannya diapresiasi sebagai
bagian kehidupan kolektif.5 Wacana tentang “hakikat” mode ini menjadi
penting bagi sosiologi karena bukan hanya pakaian, melainkan juga
pikiran dan bentuk kehidupan (seperti sosialisme, liberalisme, kapitalisme
dst.) bisa menjadi mode.
Analisis sosiologis Simmel dapat dilihat sebagai suatu gugatan atas
individualisme, suatu gugatan epistemologis yang tidak jatuh ke dalam
slogan ideologis. Seberapa individualkah seorang individu? Pertanyaan
ini mendasar bukan hanya penting secara antropologis, melainkan terlebih
secara epistemologis. Simmel membuktikan bahwa individualisme tidak
4
5
Bdk. Simmel, Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt
a.M., 1989, 137
Lih. Simmel, Georg, “Philosophy of Fashion”, dalam: Frisby, David et.al. (ed.), Simmel on
Culture, Sage Publications, London, 1997, 187 dst.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
5
konsekuen dan tak bisa konsekuen. Betulkah individu merupakan realitas
terakhir dalam masyarakat? Bahkan seorang individu mengandung
pluralitas di dalam dirinya, karena manusia adalah “produk dari faktorfaktor yang beraneka ragam”, seperti: sejarah, kebudayaan, genetik dst.
Dalam Ûber sociale Differenzierung, Simmel memberikan sebuah penjelasan
yang dapat dikembalikan pada evolusionisme Charles Darwin dan
Herbert Spencer:
Bila kita menimbang perubahan-perubahan yang tak terukur yang membentuk
organisme-organisme sebelum mereka dapat berkembang dari bentuk-bentuk
yang paling primitif sampai ke umat manusia, mencermati berbagai pengaruh
dan kondisi hidup yang rumit yang menempatkan setiap generasi pada
kebetulan-kebetulan dan tegangan-tegangan, dan akhirnya memperhitungkan
kelenturan dan pola pewarisan organis…kesatuan manusia secara metafisis
dan absolut itu akan tampak sangat meragukan. Manusia bukanlah suatu
kesatuan, melainkan jumlah dan produk keanekaragaman factor yang darinya
orang secara kualitatif maupun fungsional hanya dapat mengatakan secara
tidak persis bahwa semua faktor itu mengarah pada sebuah kesatuan. 6
Setiap individu adalah “negara yang terdiri dari negara-negara”.
Maksudnya, konsep individu itu sendiri adalah sebuah totalisasi lewat
suatu konstruksi epistemis.7 Individu adalah totalitas dalam arti bahwa
dia terdiri dari banyak elemen yang dikonstruksi oleh pikiran pengamat
menjadi suatu kesatuan. Di sini konsep fenomenologi sosial dari Alfred
Schutz, yaitu tipifikasi (Typifizierung), dapat menjelaskan apa yang
dimaksud oleh Simmel.
Apa yang disebut tipifikasi oleh Schutz itu tidak lain daripada
konstruksi realitas yang dilakukan oleh kesadaran kita. Dunia sosial
(Sozialwelt) adalah hasil rekaan kesadaran yang kita kenakan pada obyekobyek sehingga obek-obyek itu berhubungan satu sama lain dan
membentuk suatu tatanan tertentu yang disebut dunia sosial, seperti:
birokrasi, agama, masyarakat, dst. Dengan demikian bukan hanya
“masyarakat”, melainkan juga “individu” adalah hasil konstruksi
kesadaran atau tipifikasi para aktor sosial. Perjumpaan dengan orang
lain selalu terjadi lewat pembiasaan, sedemikian rupa sehingga kita tidak
sekedar mengenalinya sebagai anggota sebuah kelompok, melainkan lamakelamaan mengenalinya sebagai seorang individu. Demikian pula
pengenalan atas para individu sebagai sebuah kelompok berlangsung
sedemikian rupa sehingga dalam kesadaran kita mengenali mereka
sebagai suatu kesatuan. Baik “individu” maupun “masyarakat” adalah
tipe-tipe yang dikonstruksikan oleh para aktor sosial. Itulah tipifikasi.
Jika individu merupakan hasil tipifikasi, “individu” itu sendiri merupakan
6
Ibid., 127
7
Lih. Ibid., 127
6
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
hasil konstruksi sosial. Dengan kata lain, individu tidak individual
sebagaimana dimengerti oleh liberalisme. Individu itu, dalam arti ini,
bersifat kolektif, karena merupakan hasil konstruksi sosial para aktor di
dalam sebuah masyarakat. Dalam arti ini individualisme tidak dapat
dilepaskan dari masyarakat itu sendiri karena merupakan sebuah social
value.8
Tipifikasi tidak hanya menyingkapkan kolektivitas individu,
melainkan juga individualitas kolektif. “Masyarakat” bukanlah suatu
substansi yang berdiri di luar individu-individu. Simmel memperkenalkan
istilah “Wechselwirkung” ke dalam sosiologi, dan istilah itu kiranya dapat
diterjemahkan sebagai “efek timbal-balik”. Nuansa psikologis dari istilah
ini menegaskan bagaimana pengaruh kesadaran dalam proses tipifikasi.
Masyarakat adalah hasil efek timbal balik di antara individu-individu.
Dalam efek timbal balik inilah tipifikasi terjadi, dan tipifikasi inilah yang
menghasilkan tipe-tipe sebagai hasil kontruksi, seperti misalnya
“individu”, “orang asing”, “pelacur”, “lawan”, dst. Tersirat dalam
berbagai teks Simmel bahwa tipifikasi mengandaikan konsep ruang, yakni
dialektika jarak dan kedekatan. Dalam Ûber sociale Differenzierung,
misalnya, dia menjelaskan sebuah ‘hukum’ yang ia sebut “Reciprocitätsverhältnis von Individualisierung und Verallgemeinerung” (hubungan timbal
balik dari individualisasi dan kolektivisasi)’ sebagai berikut:
Semakin terdiferensasi sebuah kolektivitas menurut komponen-komponennya,
semakin sedikit pulalah kesan individual yang ditunjukkan oleh kolektivitas
itu sebagai keseluruhan…(d)alam setiap manusia seakan-akan ceteris paribus terdapat suatu proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial
yang hanya berubah bentuk saja: semakin rapat sebuah kolektivitas yang di
dalamnya kita menjadi anggota-anggotanya, semakin sedikit pulalah kita
memiliki kebebasan individualitas; karenanya kolektivitas itu sendiri menjadi
sesuatu yang individual dan memisahkan diri dari yang lainnya dengan batas
yang tegas, justru karena kolektivitas ini kecil.9
Istilah “proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial” sangat
penting di sini. Dapat dikatakan bahwa Simmel memikirkan hubungan
antara individualisasi dan kolektivisasi sebagai semacam ekuilibrium atau
homeostasis: (A) Semakin para individu dalam sebuah kolektif mengambil
distansi satu sama lain dan mengenali yang lain lebih sebagai individu
daripada sebagai anggota kelompok, semakin kurang individuallah
kolektif itu. Artinya, kolektif itu longgar dan berciri kosmopolitan. (B)
Akan tetapi semakin para individu sampai pada taraf tertentu kehilangan
distansi satu sama lain (atau belum terdiferensiasi oleh proses modernisasi)
8
Bdk. Sandel, M., Liberalism and the Limits of Justice, Continuum, New York, 2001, 11.
9
Simmel, G., Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt
a.M., 1989, 173-174.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
7
dan mengenali yang lain lebih sebagai anggota kelompok daripada sebagai individu, semakin individuallah kolektif itu. Artinya, kolektif itu
massif, rapat dan berciri etnosentris dan eksklusif. Pola hubungan macam
itu diperlihatkannya dalam ekonomi uang. Dalam bukunya yang termasyhur Philosophie des Geldes (1900), Simmel mencoba memerlihatkan
bagaimana ekonomi uang dan institusionalisasi hak milik pribadi telah
memberi kontribusi bagi penciptaan jarak sosial dan pelonggaran sebuah
kolektivitas yang tak lain berarti membesarnya ruang kebebasan individu.
Uang memungkinkan distansi sekaligus individualisasi sehingga pola
hubungan etnosentris dan ekslusif diubah menjadi pola-pola hubungan
yang lebih longgar.
3.
Melampaui Individualisme dan Kolektivisme
Analisis Simmel tentang hubungan individualisasi dan kolektivisasi
tersebut menarik untuk menanggapi dilema kuno dalam filsafat sosial
antara individualisme dan kolektivisme yang juga dihadapi di Indonesia
ketika orang mencari ‘jalan tengah’ dengan ideologi Pancasila. Sekarang
kita menemukan sebuah tinjauan epistemologis yang sangat mendasar
untuk ‘jalan tengah’ itu dalam pemikiran Simmel. Di hadapan
relasionisme Simmel baik individualisme maupun kolektivisme dalam
perspektif sosiologis telah kehilangan substansialitasnya. Keduanya
menurut Simmel tidak dapat dipertahankan secara epistemologis. Tak
ada individu par excellence, seperti juga tak ada masyarakat an sich. Apa
yang membuat “masyarakat” menjadi masyarakat bukanlah individu
dan juga bukan kolektif itu sendiri, melainkan relasi di antara para individu
di dalamnya. Demikian juga apa yang membuat “individu” menjadi
individu adalah relasi di antara para individu itu sendiri. Pandangan
Simmel ini bukan sebuah relativisme sosiologis, melainkan – seperti saran banyak komentator Simmel- lebih tepat disebut relasionisme
(Relationismus). Dalam relasionisme itu Simmel memandang kesatuan
bukan sebagai suatu ketunggalan metafisis yang tidak dapat dibagi-bagi,
suatu atom. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa kesatuan itu justru
ditentukan oleh gerak berbagai komponen di dalamnya yang memberi
efek-efek timbal balik (Wechselwirkung). Tulisnya:
Bagi saya tidaklah dapat disangsikan bahwa hanya ada satu alasan untuk
menjelaskan obyektivitas relatif dari penyatuan: pengaruh timbal-balik di
antara bagian-bagian. Kita mencirikan setiap obyek sebagai tunggal sejauh
komponen-komponennya berada dalam efek-efek timbal balik yang dinamis.
10
10 Simmel, Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt a.M.,
1989, 129.
8
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
Saya melihat bahwa pandangan Simmel ini dapat menjelaskan
mengapa sebuah masyarakat bersifat kolektivistis ataupun individualistis.
Relasionisme tidak hanya mengatakan bahwa sosiologi tidak dapat
mencapai tingkat obyektivitas dan netralitas absolut. Dia juga
mengatakan bahwa sosiologi yang menganjurkan kolektivisme maupun
sosiologi yang menganjurkan individualisme terkait dengan social value
dalam masyarakat tempat sosiologi itu dihasilkan. Lebih daripada semua
itu relasionisme menyingkapkan bahwa individualisme maupun
kolektivisme itu terkait dengan bentuk-bentuk relasi sebuah masyarakat,
dengan apa yang disebutnya Wechselwirkung. Tulis Simmel:
…semua penyatuan hanyalah sebuah tambahan yang berasal dari pikiran
kita, hanyalah akibat dari hasrat penyatuan yang berciri psikologis yang
kiranya tidak dapat dibuktikan secara obyektif.11
Artinya, individualisme maupun kolektivisme, organisme maupun
mekanisme berkaitan dengan tipifikasi para individu dan karena itu juga
bersangkutan dengan bentuk-bentuk penataan ruang, penataan
struktural, pembagian kerja dan proses-proses ekonomi dalam sebuah
masyarakat.
Relasionisme dalam sosiologi Simmel ini pada analisis terakhir dapat
kita kembalikan pada pandangan antropologisnya bahwa manusia
adalah makhluk perbedaan. Karena manusia tidak sepenuh-penuhnya
terhisap ke dalam kelompoknya dan juga tidak dapat seluruhnya
memisahkan diri atau ke luar dari kelompoknya, individualitas dan
kolektivitas berhubungan secara dialektis. Sebuah masyarakat yang
menekankan individualitas individu memusatkan diri pada individualitas
individu sedemikian rupa sehingga seolah-olah bagian kolektif dari
individu itu tidak dilihat atau diabaikan. Hal seperti inilah yang terjadi
di dalam liberalisme Barat. Sebaliknya sebuah masyarakat yang
mementingkan kolektivitas memusatkan diri pada bagian kolektif dari
individu (keanggotaannya pada sebuah kelompok) sedemikian rupa
sehingga bagian individualnya (singularitasnya yang tidak tertukarkan)
yang tidak termasuk di dalam kolektivitas itu diabaikan. Dalam kenyataan
manusia berada di dalam sekaligus di luar kelompoknya.
4.
Bentuk-bentuk Vergesellschaftung
Relasionisme Simmel tidak hanya memberi tilikan bagi filsafat sosial,
melainkan juga menantang sebuah konstruksi sosiologis yang melampaui
individualisme dan kolektivisme. Berbeda dari Durkheim dan Weber yang
banyak memusatkan aspek mikroskopis dalam realitas sosial. Analisis
mikroskopis itu dimungkinkan oleh konsep ‘pengaruh timbal-balik’.
Berbagai bentuk Wechselwirkung itu menghasilkan berbagai bentuk
Vergesellschaftung. Istilah terakhir ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
9
Inggris dengan sociation, maka juga bisa kita terjemahkan menjadi ‘sosiasi’.
Kata itu mengacu pada suatu proses, gerak, atau aktivitas dua individu
atau lebih saling berinteraksi dan memberi pengaruh timbal balik
sedemikian rupa sehingga terbangun suatu kebersamaan di antara
mereka.
Apa yang disebut “masyarakat” tidak lain daripada keseluruhan
hubungan saling pengaruh yang menghasilkan berbagai bentuk sosiasi.
Di dalam karyanya yang diterbitkan setahun sebelum kematiannya,
Soziologie (1917), Simmel mendefinisikan masyarakat sebagai berikut:
Saya bertolak dari gambaran tentang masyarakat yang sedapat mungkin jauh
dari kontroversi definisi, yakni bahwa masyarakat itu ada, di manapun
beberapa individu memasuki hubungan saling mempengaruhi. Pengaruh
timbal-balik ini selalu terjadi dari dorongan-dorongan tertentu atau demi
tujuan-tujuan tertentu. Dorongan erotis, religius atau dorongan untuk
kebersamaan belaka, tujuan-tujuan pertahanan diri seperti juga tujuan-tujuan
penyerangan, tujuan-tujuan permainan dan juga pencarian nafkah, tujuantujuan memberi bantuan dan juga pengajaran dan banyak hal lain lagi
menghasilkan kenyataan bahwa manusia menjalin hubungan dengan yang
lain di dalam sebuah kebersamaan, sebuah tindakan saling berbagi, saling
bekerjasama, saling berlawanan, dalam sebuah korelasi kondisi-kondisi, yaitu
memberi efek-efek kepada semua ini dan menerima efek-efek dari semua ini.12
Dari gambaran tentang masyarakat dalam kutipan di atas jelas
bahwa masyarakat bukanlah suatu entitas metafisis ataupun suatu
substansi, melainkan relasi itu sendiri, maka untuk mendekatinya kita
harus memusatkan diri pada bentuk-bentuk sosiasi atau relasi-relasi itu.
Sosiologi menurut Simmel tidak lain daripada ilmu yang meneliti jenisjenis dan bentuk-bentuk sosiasi.
Bentuk-bentuk sosiasi itu terjadi dari efek-efek timbal-balik yang tidak
terbilang jumlahnya dalam hubungan antar individu, maka masyarakat
terjadi dari anyaman jejaring efek timbal- balik yang tak terbilang itu.
Saling mengedipkan mata, saling cemburu, saling berkirim surat, (dan
dewasa ini) saling mengirim SMS, makan siang bersama, persaingan,
memberi ucapan terimakasih, entah secara altruis ataupun didasari
kepentingan adalah bentuk-bentuk mikro sosiasi yang secara sosiologis
tidak kalah pentingnya dari formasi partai-partai, formasi kelas-kelas
sosial, pembagian kerja, hirarkhi sosial dst. Karena itu Simmel tidak hanya
menganalisis pembentukan elit dalam masyarakat egaliter atau niveau
sosial, gerakan massa dan sub/superordinasi sosial, melainkan juga apa
11 Simmel, Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892) Suhrkamp, Frankfurt a.M.,
1989, 119.
12 Simmel, G., Soziologie. Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp,
Frankfurt a.M.,1995, 17-18
10
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
yang disebutnya “masyarakat berdua” (Gesellschaft zu zweien)13, seperti
perkawinan, rahasia berdua, intimitas dst. Di dalam semua analisisnya
itu, hubungan timbal balik individualisasi dan kolektivisasi diandaikan
dan juga diperlihatkannya. Jika obyek siosiologi adalah sosiasi, terbentanglah obyek-obyek sosiologi itu dari ranah makroanalitis yang paling ‘obyektif’ dan ‘struktural-formal’ sampai ranah mikroanalitis yang
‘intensional’ dan ‘psikis’. Berikut ini saya akan mengulas bagaimana
relasionisme menjadi instrumen teoretis untuk menjelaskan beberapa
obyek sosiologi atau bentuk-bentuk sosiasi pada ranah makroskopis dan
ranah mikroskopis.
Bentuk sosiasi pertama yang akan kita bahas sebagai analisis
makroskopis Simmel adalah superordinasi-dan subordinasi. Secara
formal struktural dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat terstruktur
menurut superordinasi dan subordinasi: Ada orang-orang atau kelompokkelompok yang memimpin dan ada orang-orang atau kelompok-kelompok
yang dipimpin. Menurut Simmel, kedua kutub itu – yang memimpin dan
yang dipimpin – tidak bisa diisolasi satu sama lain karena keduanya
menghasilkan efek timbal balik (Wechselwirkung) sedemikian hingga
semua pemimpin itu juga dipimpin. Dalam tulisan berjudul “Uber-und
Unterordnung” yang dikumpulkan dalam Soziologie, Simmel menulis:
Semua pemimpin juga dipimpin, sebagaimana dalam banyak kasus
tuan adalah budak para budaknya. ‘Saya adalah pemimpinnya, maka
saya harus mengikuti mereka’ begitu kata salah seorang dari pemimpinpemimpin partai besar di Jerman dalam kaitannya dengan para
pengikutnya.14
Maksudnya, karakter, ekspektasi, kondisi para pengikut turut menciptakan isi dan bentuk kepememimpinan itu sendiri. Karena bukan
‘substansi’ atau ‘benda’, melainkan suatu ‘relasi’, kepemimpinan
merupakan bentuk sosiasi yang juga merupakan hasil efek timbal balik.
Juga kalau pemimpin kelihatannya mampu menyihir para pengikutnya
dia juga sebenarnya berada dalam sugesti para pengikutnya. Menurut
Simmel superordinasi dan subordinasi itu tidak dapat total, karena tidak
seluruh diri individu masuk atau diisap ke dalam relasi antara pemimpin
dan pengikut itu. Artinya, individu masih memiliki kebebasan, juga kalau
itu sedikit saja, karena manusia adalah makhluk perbedaan yang berdiri
di dalam sekaligus di luar masyarakatnya.
Bentuk sosiasi kedua adalah individualisasi dan kolektivisasi.
Individu itu sendiri dilihat oleh Simmel sebagai makhluk yang berada di
13 Lih. Simmel, G., “Gesellschaft zu zweien,” dalam: Simmel, G., Schriften zur Soziologie. Eine
Auswahl, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1983, 348 dst.
14 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp,
Frankfurt a.M.,1995, 164.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
11
dalam sekaligus di luar kelompoknya. Artinya, individu selalu saja
mereservasi suatu wilayah non-sosial dalam dirinya sehingga kebersamaannya dengan yang lain tidak ‘menghabisi’ dirinya. Dalam tulisan
yang berjudul “Ekskurs ueber das Problem: Wie ist Gesellschft moeglich?”,
kita temukan konsep epistemologis Simmel tentang individu itu:
…setiap elemen sebuah kelompok tidak hanya merupakan bagian dari
masyarakat, melainkan juga sesuatu yang di luar itu…bahwa individu dengan
sisi-sisi tertentu bukanlah unsur masyarakat merupakan syarat positif bahwa
individu adalah unsur dengan sisi-sisi lain hakikatnya: Caranya tersosiasi
ditentukan atau turut ditentukan oleh caranya tidak tersosiasi.15
Dengan kalimat lain, bagian yang non-sosial dari individu, yaitu
perangainya, kepentingannya, kepribadiannya, nasibnya dst. menurut
Simmel justru menentukan bagaimana ia membentuk sosiasi dengan yang
lain. Jika individu dimengerti sebagai sesuatu yang di dalam sekaligus di
luar masyarakat, akan ada sekurangnya dua implikasi. Pertama, kesamaan atau homogenisi, sebagaimana terjadi dalam rezim-rezim totaliter, tidak akan dapat total dan absolut, karena yang bersosiasi hanyalah
bagian sosial individu, yakni: aspek politis dan ekonomisnya, sementara
bagian non-sosialnya tetap berdiri di luar kelompok yang dihomogenisasikan itu. Kedua, terjadi hubungan timbal-balik antara individualisasi dan
kolektivisasi yang sedikit banyak tergantung pada signifikansi bagian sosial
dan bagian non-sosial individu itu.
Relasi antara individualisasi dan kolektivisasi itu menurut Simmel
memiliki pola yang mirip hukum. Dalam tulisan yang berjudul
Bemerkungen zu socialethischen Problemen (1888), 16 Simmel menjelaskan
sebuah pola yang dia amati dari sejarah: Kelompok homogen dan
eksklusif, seperti gilda abad pertengahan (Zunft), sangat eksklusif dan
membedakan diri dari kelompok-kelompok lain, namun begitu para
individu di dalamnya terdiferensiasi karena kompetisi di antara mereka,
mereka itu malah menjadi makin serupa dengan para individu dari
kelompok-kelompok lain. Dengan kalimat lain, proses individuasi yang
terjadi di dalam sebuah kelompok akibat kompetisi di dalamnya akan
membuat para individu pembentuk kelompok itu menjadi makin mirip
dengan para individu dari kelompok lain yang bersaing dengan kelompok
mereka. Dengan cara itu pula kelompok mereka makin kurang eksklusif.
Kompetisi dan diferensiasi memperbesar bagian non-sosial dari para
individu sehingga melonggarkan ikatan-ikatan pada bagian sosial mereka.
Proses seperti itulah yang terjadi dalam modenisasi dan liberalisasi
masyarakat di manapun.
15 Ibid., 51
16 Teks ini terdapat dalam Simmel, G., Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892)
Suhrkamp, Frankfurt a.M, 1989, 20 dst.
12
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
Kita bisa mengajukan keberatan kepada Simmel karena dalam
masyarakat modern juga terdapat tendensi-tendensi etnosentrisme dan
eksklusivisme agama seperti terdapat dalam kelompok-kelompok
fundamentalisme. Artinya, modernisasi tidak hanya membawa
pelonggaran, tetapi juga pengetatan kelompok-kelompok yang bersikap
reaksioner terhadap liberalisasi. Kenyataan itu tidak bertentangan dengan
penjelasan Simmel mengingat - seperti sudah diulas di atas – adalanya
“suatu proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial”. Fenomen
gerakan-gerakan fundamentalisme agama maupun regionalisme di
tengah-tengah globalisasi pasar menunjukkan tidak lain daripada bahwa
bagian sosial para individu yang didesak oleh individualisasi dalam
ekonomi pasar mencoba mencari ekuilibrium baru dengan tekanan
berlebihan. Secara makroanalitis dan formal dapat dikatakan bahwa
ekuilibrium itu harus dicapai untuk ‘penghematan energi’ (Kraftersparnis)
untuk totalitas sosial, maka sebuah sistem tertutup dan monistis seperti
fundamentalisme agama adalah bentuk penghematan energi (psikis).
Bentuk sosiasi ketiga adalah konflik atau pertarungan (Streit). Simmel
berpendapat bahwa pertarungan juga merupakan sebuah bentuk sosiasi
yang khas, sebagaimana ditulisnya dalam Der Streit:
Bila setiap efek timbal-balik di antara para individu merupakan suatu sosiasi,
pastilah pertarungan yang tentu merupakan salah satu dari efek timbal-balik
yang paling hebat…jelas-jelas berlaku sebagai sosiasi.17
Di sini tidak dimaksudkan bahwa masyarakat hanya memuat
pertarungan, melainkan juga memuat pertarungan. Lebih tepatnya,
seperti Herakleitos bicara tentang harmoni dalam kontradiksi atau
Empedokles tentang tegangan cinta (philotes) dan benci (neikos) dalam
kosmos, Simmel bicara tentang harmoni dan disharmoni, asosiasi dan
kompetisi, kebaikan dan kedengkian sebagai kekuatan-kekuatan pelekat
dan pemisah yang memberi ‘bentuk’ pada masyarakat.
Masyarakat, sebagaimana adanya, adalah hasil kedua kategori efek–
efek timbal-balik yang sejauh itu keduanya muncul secara sepenuhnya
positif.18
Relasionisme Simmel lalu sungguh mendekati metafisika Herakleitos
ketika kesatuan (Einheit) tidak dimengerti sebagai absennya kekuatankekuatan pemecah, melainkan sebagai presennya kekuatan-kekuatan itu.
Yang ‘negatif’ dan ‘merugikan’ itu justru positif dan menguntungkan
bagi kesatuan dan integritas sosial. Di dalam hal-hal yang memecah belah
masyarakat sudah terkandung hal-hal yang menyatukan secara lebih
17 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp,
Frankfurt a.M.,1995, 284
18 Ibid., 286
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
13
kompleks, seperti juga distansi di antara dua orang yang bermusuhan
kerap merupakan hasil rasa simpati sekaligus antipati di antara mereka
atau relasi erotis mengandung cinta dan hormat sekaligus pelecehan.
Bahwa individu berada di dalam sekaligus di luar masyarakatnya
bertanggungjawab atas paradoks ini.
Bentuk-bentuk sosiasi pada ranah mikroskopis dapat dimulai dengan
apa yang disebut oleh Simmel sebagai “Gesellschaft zu zweien” (masyarakat
berdua). Kata ‘masyarakat’ mengesankan sesuatu yang abstrak karena
menyangkut suatu populasi manusia yang sangat banyak yang membentuk ekonomi, politik atau kebudayaan. Akan tetapi Simmel berpendapat bahwa apa yang disebut masyarakat itu sudah dimulai pada
relasi dua orang, seperti pada kongsi dagang, hubungan saling menjaga
rahasia, perkawinan monogami, dst. Simmel memperlihatkan kekhasan
bentuk sosiasi dua orang itu sebagai sesuatu yang juga berada dalam
tegangan individualisasi dan kolektivisasi. Perkawinan monogami dalam
masyarakat modern, misalnya, semakin terindividualisasi, yakni pasangan
makin eksklusif dan unik, sehingga tampaknya ada banyak ragam gaya
pasangan. Akan tetapi bersamaan dengan itu, sesuatu yang supra-individual juga ada pada mereka: Sebagai bentuk sosiasi pasangan-pasangan
monogami yang khas yang beragam itu juga mengikuti pola kolektif yang
sama, yaitu perkawinan monogami sebagai institusi sosial.
Analisis mikroskopis yang mungkin paling cermat menggali hal-hal
yang paling kita remehkan dalam keseharian tetapi sekaligus juga
ternyata sangat penting bagi interaksi sosial adalah mengenai pancaindra
( die Sinne). Dalam kosakata fenomenologi, interaksi sosial lewat saling
tatap, mendengarkan, bersuara, melihat bersama, membaui keringat dst.
adalah kegiatan-kegiatan pra-reflektif yang taken for granted yang tercakup dalam Lebenswelt (dunia-kehidupan). Di tangan Simmel relasirelasi pengindraan tersebut menjadi pangkal terjadinya bentuk-bentuk
sosiasi, maka tidak berlebihan bila tulisannya tentang hal ini ia beri judul
Soziologie des Sinne (sosiologi pancaindra). 19 Di awal tulisan itu ia
mengatakan:
Kenyataan bahwa kita mempersepsi orang-orang lain secara indrawi
berkembang ke kedua arah yang efek timbal-baliknya memiliki makna
sosiologis yang fundamental.20
19 Teks ini termuat dalam:sebuah ekskursus dalam Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen
ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, h. 722-742. Edisi
terjemahan ke dalam bahasa Inggris dapat dibaca pada Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997, 109-119. Edisi Inggris mengacu pada teks yang agak
berbeda dari teks dalam ekskursus.
20 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp,
Frankfurt a.M.,1995, 722.
14
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
Artinya, interpesepsi itu sendiri, seperti pada saling tatap, membaui,
mendengarkan dst. tanpa mengucapkan sepatah katapun, sudah
merupakan bentuk sosiasi dan bahkan mendasari komunikasi verbal.
Bahwa kita terlibat ke dalam interaksi-interaksi sama sekali tergantung pada kenyataan bahwa kita memiliki efek indrawi satu kepada
yang lain.21
Dari fakta lumrah namun penting itu, Simmel memperlihatkan
bagaimana mata, telinga, hidung, lidah, kulit memainkan perananperanan yang khas dalam sosiasi. Saling tatap, misalnya, dianggapnya
sebagai “interaksi yang paling langsung dan paling murni”22, karena mata
tidak bisa mengambil tanpa sekaligus memberi, sementara menatap
bersama langit yang sama menghasilkan rasa identitas bersama atau
“unsur hakiki kesatuan yang tersirat dalam setiap aagama”, karena lewat
tatapan ke arah yang sama itu muncul kesadaran akan kesetaraan dan
akan yang melingkupi semua.23 Pada telinga kesalingan yang terdapat
dalam mata itu tidak ada, karena telinga adalah organ egoistis yang
hanya bisa mengambil tanpa memberi. Meski demikian, telinga dapat
menjadi organ kolektivisasi bila bersama mendengar suara yang sama,
misalnya, dalam konsert. Simmel bahkan menunjukkan bagaimana
membaui keringat menandai perbedaan kelas-kelas sosial: Makin
terkolektivisasi, orang makin toleran satu sama lain dengan bau badan,
dan makin terindividualisasi, orang makin sulit mendekati orang yang
berbau yang dianggapnya berasal dari kelas rendah.
Selain relasi-relasi intersensoris, Simmel juga menunjuk Geselligkeit
sebagai bentuk sosiasi yang patut mendapat perhatian. Kata Jerman itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan sociability yang sebaiknya
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan keguyuban. Banyak
ragam sosiasi bersifat fungsional, seperti transaksi dalam pasar,
administrasi dalam birokrasi atau strategi dalam politik, namun ada
bentuk sosiasi yang dilakukan demi relasi itu sendiri dan bukan demi
tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Bentuk sosiasi yang dimaksud adalah
keguyuban. Simmel menjelaskan keguyuban sebagai suatu bentuk
interaksi yang menggabungkan seni dan permainan, maka ‘forma’ atau
bentuk menjadi lebih penting daripada isinya. Misalnya, gurauan,
kegiatan cari kutu rambut, atau permainan (kartu, catur, bekel dst) di
antara teman-teman yang dinikmati sebagai kegembiraan akibat
21 Frisby, D. et.al (ed.), Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997,
110.
22 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp,
Frankfurt a.M.,1995, 723.
23 D. et.al (ed.), Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997, 116.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
15
kebersamaan. Simmel menyebut keguyuban “bentuk permainan asosiasi”
karena kebersamaan merupakan tujuan pada dirinya. Kegiatan ini adalah
sebuah “permainan sosial” (Sozialspiel):
Permainan sosial memiliki sebuah makna ganda yang dalam – bahwa
permainan itu dimainkan tidak hanya di dalam sebuah masyarakat sebagai
sesuatu pengemban luarnya, melainkan bahwa dengan masyarakat
‘masyarakat’ sesungguhnya dimainkan.24
“Permainan sosial” ini menurutnya baru berjalan dengan baik jika
terjadi di antara orang-orang sederajad atau – kalaupun tidak sederajad
– para individu yang akan bersikap seolah-olah sederajad:
(Keguyuban) adalah sebuah permainan yang di dalamnya seseorang
“bertindak” seolah-olah semua orang adalah sederajad, seolah-olah ia secara
khusus menghargai setiap orang.25
Simmel menunjuk suatu tipe permainan sosial yang tidak memenuhi
syarat kesederajadan itu, yakni erotisme atau khususnya kegenitan. Si
genit memainkan tegangan sikap ya atau tidak untuk meningkatkan daya
tariknya sampai pada puncaknya persis saat si pria dibiarkannya
menyangka telah meraih apa yang diinginkannya, padahal si genit tidak
bersungguh-sungguh kepadanya. 26 Di dalam kegenitan tak ada kesederajadan karena si pria yang menyangka dirinya mengatasi sasarannya
ternyata menjadi korbannya. Sebagai permainan sosial keguyuban tidak
berciri fungsional di luar dirinya karena “semua keguyuban tidak lain
adalah simbol kehidupan karena menunjukkan dirinya dalam aliran
permainan yang agak menghibur”.27
Bentuk sosiasi lain yang secara mikroskopis dianalisis oleh Simmel
adalah bersantap atau – lebih tepat –makan bersama (Mahlzeit). Di sini
Simmel juga memperlihatkan bagaimana hal yang paling individual dan
egoistis seperti makan tidak dapat sepenuhnya individual dan egoistis
karena darinya berkembang sesuatu yang sosial lewat efek timbal balik.
Karena itulah santapan merupakan obyek sosiologi:
Struktur sosiologis bersantap – yang menghubungkan keegoisan eksklusif
dari makan dengan suatu frekuensi kebersamaan – muncul dengan sebuah
kebiasaan berkumpul bersama, hal yang jarang dapat dilakukan pada
kesempatan-kesempatan yang berciri lebih luhur dan intelektual. Orangorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan tertentu dapat berkumpul
bersama pada saat bersantap – dalam kemungkinan ini, terhubung dengan
24 Frisby, David. et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London, 1997, 125.
25 Ibid. 124.
26 Lih. Ibid. 126.
27 Lih. Ibid., 128.
16
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
keprimitivan dan karenanya juga ciri universal kepentingan material, terletak
makna sosiologis yang tak terukur dari santapan.28
Simmel membangun ‘sosiologi bersantap’ di atas tegangan antara
individu dan kelompok di satu sisi, dan antara alam dan kebudayaan di
lain sisi. Semakin dekat ke alam, yakni hanya sekedar pemuasan naluri,
semakin individual dan egoistislah proses bersantap itu, maka juga
semakin ‘anarkhis’lah kegiatan bersantap itu. Di antara orang-orang
primitif, misalnya, tidak ada aturan meja, maka tiap orang makan begitu
lapar, yakni makan secara egoistis dan individualistis. Cara macam itu
disebut ‘naturalisme makan’ karena orang melahap langsung didorong
nalurinya. Aturan bersantap mengandaikan tata waktu karena orang
dapat berkumpul bila ada waktu yang disepakati. Tata waktu bersantap
tersebut merupakan pangkal sosiasi yang membuat para individu
mengatasi naluri langsungnya untuk melaksanakan hal-hal yang lebih
luhur, yaitu bersosialisasi. Karena itu Simmel menyebut kemunculan
aturan bersantap sebagai “kemenangan pertama atas naturalisme
makan”29 Sosiasi bersantap lalu menjadi makin kompleks dan bahkan
meningkat ke ranah estetis yang tinggi sehingga tujuan pemuasan naluri
belaka ‘ditransendensikan’. Gambaran bersantap dari para anggota kelaskelas bawah menunjukkan kelangsungannya pada materialitas makanan,
sementara gambaran dari orang-orang kaya dan terdidik memperlihatkan
skema dan keteraturan pada taraf yang melampaui individu-individu itu.
Dikatakan dengan cara lain, naturalisme makan terdapat dalam
fakta bahwa kita harus makan demi survival kita. Fakta ini dimengerti
dan diterima semua orang karena berakar dalam kehidupan kita yang
paling primitif. Dari fakta primitif itu pula menurut Simmel terdapat
alasan mendasar bagi sosiasi bersantap. Dan sosiasi itu pada gilirannya
membuat kita dapat mengatasi naturalisme makan. Dengan ungkapan
lain, dalam naturalisme makan sudah terkandung potensi untuk mengatasinya, suatu potensi sosiasi. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika kita menghubungkan ‘sosiologi
bersantap’ pada konsep antropologis Simmel tentang manusia sebagai
makhluk yang berada di dalam sekaligus di luar alam dan masyarakatnya. Bahwa manusia berada di dalam sekaligus di luar alam memungkinkannya untuk melampaui naturalisme makan dengan bertolak darinya.
Kebanyakan analisis sosial memusatkan perhatian pada struktur
atau sistem sosial. Kalaupun interaksi sosial diperhitungkan, perasaanperasaan sosial sering luput dari perhatian. Bagi Simmel perasaanperasaan sosial sama pentingnya dengan struktur atau sistem sosial dalam
28 Ibid., 130.
29 Lih. Ibid., 131.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
17
mempertahankan integritas sosial. Salah satu tipe perasaan sosial itu
adalah kesetiaan. Kesetiaan tentu merupakan sebuah ‘nilai’, tetapi ia juga
berjangkar pada perasaan-perasaan manusia. Menurut Simmel kesetiaan
memiliki peran sentral dalam sosiasi:
Tanpa fenomen yang kita sebut kesetiaan, masyarakat tidak dapat ada untuk
jangka waktu tertentu, seperti yang kita miliki sekarang. Unsur-unsur yang
membuat masyarakat itu hidup – kepentingan-diri para anggotanya, pengaruh,
paksaan, idealisme, kebiasaan mekanis, rasa kewajiban, cinta, kelembaman –
tidak dapat mencegahnya untuk tercabik-cabik jika unsur-unsur tersebut tidak
dilengkapi oleh faktor kesetiaan itu.30
Di samping kesetiaan, rasa terimakasih dan rasa malu juga menjadi
perhatian sosiologis Simmel karena perasaan-perasaan tersebut
menghasilkan pengaruh timbal balik dalam proses sosiasi. Berbagai
bentuk sosiasi lainnya, seperti kesenggangan, pelacuran, orang asing,
dusta dan rahasia, menambah detil lebih jauh dari apa yang ia sebut
pengaruh timbal balik dalam interaksi sosial.
5.
Penutup
Wechselwirkung dan Vegesellschaftung sebagai konsep-konsep sentral
dalam pemikiran Simmel menawarkan suatu terobosan yang menarik
untuk mengatasi dilema individualisme dan kolektivisme di dalam
pemikiran sosial. Masyarakat bukanlah sebuah entitas atau substansi
metafisis yang tidak berubah, melainkan suatu relasi atau jejaring relasi
yang terus berubah dan memiliki tegangan-tegangan di dalamnya. Seperti
masyarakat, individu pun tidak dimengerti sebagai substansi ataupun
atom sosial, melainkan sebagai relasi. Konsep Wechselwirkung yang
menandai relasionisme Simmel membuka wawasan kita tentang
hubungan-hubungan sosial tidak sekedar pada ranah struktur sosial,
melainkan juga sampai pada ranah psikologis. Sebagai relasi, masyarakat
merupakan bagian peristiwa-peristiwa dan aktivitas-aktivitas berpikir,
merasa, bertindak, bungkam, bergerak dst. Karena itu Simmel tidak
terutama memusatkan analisisnya pada Gesellschaft (masyarakat),
melainkan pada Vegesellschaftung (memasyarakat). Alih-alih
memaparkan masyarakat sebagai suatu bangunan yang sudah jadi,
Simmel mencurahkan perhatiannya pada proses memasyarakat, yaitu
proses terlibatnya individu di dalam interaksi sosial.
*)
Fransisco Budi Hardiman
Alumnus Hochschule fûr Philosophie Mûnchen Jerman, pengajar filsafat politik di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara Jakarta.
30 Wolff, Kurt., H., The Sociology of Georg Simmel, The Free Press, New York, 1950, 379.
18
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010
BIBLIOGRAFI
Budi Hardiman, F., Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche,
Gramedia, Jakarta, 2004.
Frisby, David. et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London,
1997
Kant, Immanuel , Zum ewigen Frieden, Pasal Definitif Tambahan Pertama,
Reclam, Stuttgart, 1999.
Simmel, Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892),
Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989.
“ - “Philosophy of Fashion”, dalam: Frisby, David et.al. (ed.), Simmel
on Culture, Sage Publications, London, 1997.
“ - , Soziologie. Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung,
Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995.
Sandel, M., Liberalism and the Limits of Justice, Continuum, New York,
2001.
Wolff, Kurt., H., The Sociology of Georg Simmel, The Free Press, New York,
1950.
Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme
19
Download