GEORG SIMMEL DAN RELASIONISME Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan Individu dan Masyarakat F. Budi Hardiman STF Driyarkara, Jakarta Abstract: Social philosophy and social sciences face the dilemma of individualism and collectivism. Whereas liberalism views the individual as the ultimate social reality, socialism bases it self on the idea that the social totality is the ultimate social reality. The German sociologist and social philosopher, Georg Simmel, solved the dilemma with his concept of Wechselwirkung (mutual effect). This so called relationism changes the common construction of modern sociology. In this paper the author elaborates Simmel’s relationism in different works of the thinker and takes the contributions of this concept into account. He shows how Simmel’s relationism operates in his approach to different form of Vergesellschaftung (sociation). Keywords: Unterschiedwesen (makhluk pembeda), relationisme, Wechselwirkung (pengaruh timbal balik), Vergesellschaftung (sosiasi). Filsafat sosial dan ilmu-ilmu sosial dalam masyarakat Indonesia ingin menemukan “jalan tengah” bagi individualisme Barat dan kolektivisme Asia. Di masa lalu atas nama ideologi Pancasila pemerintahan Orde Baru mendengung-dengungkan pendirian tengah itu tanpa upaya intelektual yang berarti untuk memberikan sebuah basis epistemologis yang memadai bagi penolakan terhadap individualisme yang mendasari liberalisme Barat. Bahkan ideologi negara itu – oleh rezim otoriter waktu itu – ditafsirkan secara kolektivistis sehingga menindas kebebasan individu. Dengan menempatkan keseluruhan (bangsa, negara, masyarakat dst.) sebagai realitas sui generis, Pancasila versi Orde Baru dalam praktiknya mendekati karakter fasisme dan komunisme yang ditolaknya. Yang dikorbankan tentu saja individu dan minoritas. Tidak disangsikan bahwa seharusnya ada penjelasan epistemologis dan sosiologis untuk melampaui individualisme dan kolektivisme itu. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 1 Dalam ilmu-ilmu sosial dan filsafat sosial Eropa, konflik antara individualisme dan kolektivisme, mekanisme dan organisme dilihat sebagai persoalan modern yang berjalan seiring dengan proses individuasi. Ekonomi pasar dan perkembangan institusi hak milik pribadi tentu memiliki andil yang tidak sedikit terhadap proses individuasi itu, mengingat keduanya memperbesar ruang kebebasan individu. Suatu ekses yang tak terkendali dari proses individuasi, yakni individualisasi, oleh sosiologi modern sejak dini sudah dilihat sebagai suatu bahaya yang harus diatasi dengan pemahaman yang tepat mengenai masyarakat. Tegangan persoalan antara individualisme dan kolektivisme itu telah membawa kita pada sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah sebenarnya seorang ‘individu’ itu? Bersamaan dengan itu tentu dapat dilontarkan pertanyaan yang sama fundamentalnya: Apakah “masyarakat” itu? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu membutuhkan jawaban yang lebih daripada sekedar sebuah definisi, yaitu sebuah penjelasan epistemologis dan antropologis tentang apa itu individualisasi dan kolektivisasi yang terjadi dalam masyarakat modern. . Di dalam penelitian ini saya mencoba menawarkan penjelasan epistemologis itu dengan mengacu pada pemikiran Georg Simmel dalam beberapa karyanya yang terpenting. Saya akan mulai dengan menelusuri pandangan liberalisme tentang individu sebagai titik tolak (1), lalu membahas bagaimana Simmel dengan pandangannya yang disebut ‘relasionisme’ mencoba mengatasi individualisme liberal (2). Di samping menjelaskan relasionisme itu (3), saya akan menunjukkan juga bagaimana relasionisme itu membuka peluang untuk konstruksi suatu sosiologi yang dapat menjelaskan berbagai fenomen sosial konkret dan bahkan berciri keseharian yang selama ini kurang diperhatikan di dalam sosiologi yang menekankan desain-desain besar tentang masyarakat (4). Saya akan mengakhiri penelitian ini dengan sebuah penutup singkat (5). 1. Individualisme sebagai Duduk Perkara Perlawanan terhadap individualisme yang kita temukan dalam ideologi-ideologi politis kontemporer sudah dimulai sejak berdirinya sosiologi. Sebagai suatu ilmu, sosiologi pada dasarnya bersikap kritis terhadap individualisme. Sosiologi memiliki perspektif dasariah, yaitu melihat manusia sebagai anggota sebuah kolektif (socius = teman). Disiplin ini muncul di dalam aliran positivisme Prancis abad ke-19 sebagai upaya untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme hubungan antarindividu dalam masyarakat yang menjadi modern. Auguste Comte (1789-1857), pendiri aliran ini, memberi pendasaran metodologis bagi sosiologi sebagai ilmu positif. Sosiologi didirikan sebagai suatu ilmu untuk menjelaskan mekanisme-mekanisme yang bekerja di dalam kolektivitas ma- 2 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 nusia.1 Tekanan sosiologi pada kolektivitas semakin jelas dalam konsep Marx tentang kelas dan kesadaran kelas, serta konsep Durkheim tentang kesadaran kolektif. Cukup jelas bahwa sejak berdirinya sosiologi melawan individualisme dalam liberalisme. Perspektif sosiologis ini bertentangan secara diametral dengan pandangan-pandangan kaum liberal tentang manusia dan masyarakatnya. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa liberalisme dan sosiologi berangkat dari asumsi-asumsi antropologis yang berbeda. Citra manusia dalam liberalisme tampil paling jelas dalam pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) tentang masyarakat. Hobbes termasyhur dengan gagasannya tentang state of nature (keadaan alamiah) yang tidak lain daripada sebuah fiksi rasional mengenai prilaku individu-individu dalam keadaan sebelum berdirinya negara. Mereka yang membaca karya utamanya Leviathan (1651) akan menemukan bahwa dia mendekati realitas sosial dengan cara atomisasi. Totalitas kolektif dicacah menjadi bagian-bagian pembentuknya. Bagian terkecil dari totalitas itu adalah “individu alamiah”. Individu selalu menyertakan ciri-ciri kelompoknya, seperti identitas sosial dan religiusnya, namun Hobbes dalam konstruksi teoretisnya membersihkan individu dari unsur-unsur kelompoknya sedemikian sehingga diperoleh individu murni yang abstrak. Dalam pemikiran Hobbes individu alamiah itu berinteraksi menurut mekanisme-mekanisme hubungan-hubungan strategis. Kriterium terakhir bagi individu adalah survival. Tidak dapat disangsikan bahwa Leviathan bertolak dari sebuah pengandaian metafisis bahwa elemen terakhir pembentuk totalitas, yakni individu, adalah realitas par excellence. Dalam model penjelasan Hobbesian itu atom-atom sosial itu berhubungan satu sama lain lewat transaksi atau kontrak yang di dalamnya para pihak melakukan kalkulasi strategis. Masyarakat egois-egois tercerahkan ini tak lebih daripada sebuah mekanisme. Totalitas sosial tidak memiliki realitasnya sendiri, melainkan merupakan “tambahan” dari pikiran individu pada hubungan-hubungan atomistis yang tak pernah melampaui aku-kamu, yakni tak pernah menerima kekitaan sebagai sebuah realitas. Bahwa individu-individu rasional-strategis dapat membentuk sebuah masyarakat adalah sebuah tesis yang janggal. Akan tetapi tesis ini terus dibela sampai masa Pencerahan Eropa abad ke-18. Dalam bukunya Zum ewigen Frieden, Immanuel Kant (1724-1804) menggemakan kembali tesis itu dengan beberapa revisi, namun arahnya tetap sama, yakni individualisme. Para egois tercerahkan dalam liberalisme itu menurut Kant bersedia untuk tunduk pada hukum bersama, karena hukum itu me- 1 Lih. Budi Hardiman, F., Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004, 211. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 3 lindungi kepentingan-kepentingan egoistis mereka. Karena itu “bangsa setan-setan” (Volk von Teufeln) yang rasional pun dapat membentuk masyarakat, jika masyarakat itu tersusun dari mekanisme-mekanisme keadilan belaka yang netral terhadap nilai-nilai kultural.2 Liberalisme ingin memperlihatkan bahwa rasa kekitaan itu sekunder; yang primer adalah mekanisme-mekanisme obyektif yang menata interaksi atom-atom sosial. Bahkan aspirasi-aspirasi komuniter dianggap dapat menindas individu, maka masyarakat harus netral dari mereka. “Setan” dalam model Kant atau “individu” dalam model Hobbes adalah satu dan sama; keduanya mengesampingkan kolektivitas, sekalipun kata “negara” atau “bangsa” dipakai dalam model mereka. 2. Georg Simmel, Antropologi Kantian dan Wechselwirkung Apakah model penjelasan liberalisme memuaskan? Apakah manusia sungguh merupakan atom-atom dari sebuah totalitas, sementara totalitas itu hanyalah epifenomena dari atom-atom yang adalah realitas terakhir? Bahkan Kant sendiri dalam karyanya “Idee zu einer allgemeinen Geschichte in weltbûrgerlicher Absicht”, 3 mendasarkan pemikirannya tentang masyarakat pada model antropologis tentang manusia sebagai mahluk ganda: Di satu pihak dia cenderung menarik diri dari yang lain dan hidup sebagai seorang individu, tetapi di lain pihak dia tak dapat sepenuhnya meninggalkan kelompoknya. Makhluk yang berdiri di dalam sekaligus di luar kolektivitas ini disebutnya dengan istilah kontradiktoris “ungesellige Geselligkeit” yang kiranya dapat diterjemahkan sebagai ‘sosialitas yang asosial’. Bila manusia itu di dalam sekaligus di luar masyarakatnya, tidakkah datum antropologis ini sentral untuk membangun teori sosiologis yang memadai? Filsuf dari Kõnigsberg ini tidak bertahan dalam paradoks itu karena dalam filsafat sosialnya dia lebih memilih untuk melindungi kepentingan-kepentingan diri manusia sebagai individu sebagaimana tersirat dalam tesisnya tentang “bangsa setan-setan”itu. Dengan demikian dia dimasukkan dalam kubu liberalisme. Antropologi Kantian tentang manusia sebagai makhluk ganda itu cukup kuat untuk menjadi basis sebuah konstruksi sosiologis, hanya jika ketegangan paradoksal dalam diri manusia dipertahankan dan tidak dijual entah kepada kolektivisme maupun individualisme. Orang yang mencoba bertahan dalam paradoks antropologis itu adalah Georg Simmel (1858-1918). Lahir dari keluarga Yahudi pengusaha coklat yang beralih 2 Bdk. Kant, Zum ewigen Frieden, Pasal Definitif Tambahan Pertama, Reclam, Stuttgart, 1974. 3 Teks ini dapat dibaca dalam: Kant, I., Schriften zur Geschichtsphilosophie, Reclam, Stuttgart, 1974. 4 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 menjadi Katolik, kehidupan pendiri sosiologi di Jerman ini ditandai banyak kontradiksi: ditolak oleh komunitas Yahudi namun sekaligus dicurigai oleh orang Kristen; membela sosialisme namun danggap tidak ortodoks oleh kaum Marxis; oleh para sosiolog lebih dipandang sebagai fisuf namun oleh para filsuf dihitung sebagai sosiolog. Karir akademis Simmel juga tidak berjalan mulus karena ia tidak pernah sungguhsungguh diterima dalam universitas Jerman berhubung ia seorang Yahudi. Meski demikian, kuliah-kuliahnya sebagai Privatdozent selalu ramai diikuti para mahasiswa. Sosok Simmel yang berdiri di perbatasanperbatasan itu justru menguntungkan tilikan-tilikan intelektualnya yang dapat dikembalikan pada paradoks antropologis Kantian di atas. Gambaran antropologis Kantian itu tampak dalam tulisan awalnya yang berjudul Ûber sociale Differenzierung (1892). Di dalam teks itu Simmel menyebut manusia untuk pertama kalinya sebagai Unterschiedswesen. Istilah Jerman ini sebaiknya diterjemahkan sebagai ‘makhluk perbedaan’. Manusia adalah makhluk perbedaan karena dia tidak mau dan tak dapat disamakan sepenuhnya dengan yang lain. Dia selalu ingin sedikit berbeda dari yang lain. Meski demikian, dia juga tidak ingin diisolasi dari yang lain, yakni tak ingin dibedakan sama sekali dari yang lain. Singkatnya, manusia adalah sama sekaligus berbeda dari sesamanya. 4 Dalam kesamaannya dia berbeda, sementara dalam perbedaannya dia sama dengan yang lain. Dalam tulisannya “Philosophie der Mode”, Simmel memperlihatkan tegangan antara yang sama dan yang berbeda itu dalam fenomen mode atau fesyen: Pemakai mode baru menunjukkan individualitasnya dengan cara mengikuti apa yang menjadi kecenderungan kolektivitasnya. Mode itu bagian dari kehidupan kolektif. Jika tidak begitu, mode tak dikenali sebagai mode. Akan tetapi mode memperlihatkan kebaruannya justru karena mengambil jarak sedikit dari selera rata-rata. Individualitas mode itu pada gilirannya diapresiasi sebagai bagian kehidupan kolektif.5 Wacana tentang “hakikat” mode ini menjadi penting bagi sosiologi karena bukan hanya pakaian, melainkan juga pikiran dan bentuk kehidupan (seperti sosialisme, liberalisme, kapitalisme dst.) bisa menjadi mode. Analisis sosiologis Simmel dapat dilihat sebagai suatu gugatan atas individualisme, suatu gugatan epistemologis yang tidak jatuh ke dalam slogan ideologis. Seberapa individualkah seorang individu? Pertanyaan ini mendasar bukan hanya penting secara antropologis, melainkan terlebih secara epistemologis. Simmel membuktikan bahwa individualisme tidak 4 5 Bdk. Simmel, Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989, 137 Lih. Simmel, Georg, “Philosophy of Fashion”, dalam: Frisby, David et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London, 1997, 187 dst. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 5 konsekuen dan tak bisa konsekuen. Betulkah individu merupakan realitas terakhir dalam masyarakat? Bahkan seorang individu mengandung pluralitas di dalam dirinya, karena manusia adalah “produk dari faktorfaktor yang beraneka ragam”, seperti: sejarah, kebudayaan, genetik dst. Dalam Ûber sociale Differenzierung, Simmel memberikan sebuah penjelasan yang dapat dikembalikan pada evolusionisme Charles Darwin dan Herbert Spencer: Bila kita menimbang perubahan-perubahan yang tak terukur yang membentuk organisme-organisme sebelum mereka dapat berkembang dari bentuk-bentuk yang paling primitif sampai ke umat manusia, mencermati berbagai pengaruh dan kondisi hidup yang rumit yang menempatkan setiap generasi pada kebetulan-kebetulan dan tegangan-tegangan, dan akhirnya memperhitungkan kelenturan dan pola pewarisan organis…kesatuan manusia secara metafisis dan absolut itu akan tampak sangat meragukan. Manusia bukanlah suatu kesatuan, melainkan jumlah dan produk keanekaragaman factor yang darinya orang secara kualitatif maupun fungsional hanya dapat mengatakan secara tidak persis bahwa semua faktor itu mengarah pada sebuah kesatuan. 6 Setiap individu adalah “negara yang terdiri dari negara-negara”. Maksudnya, konsep individu itu sendiri adalah sebuah totalisasi lewat suatu konstruksi epistemis.7 Individu adalah totalitas dalam arti bahwa dia terdiri dari banyak elemen yang dikonstruksi oleh pikiran pengamat menjadi suatu kesatuan. Di sini konsep fenomenologi sosial dari Alfred Schutz, yaitu tipifikasi (Typifizierung), dapat menjelaskan apa yang dimaksud oleh Simmel. Apa yang disebut tipifikasi oleh Schutz itu tidak lain daripada konstruksi realitas yang dilakukan oleh kesadaran kita. Dunia sosial (Sozialwelt) adalah hasil rekaan kesadaran yang kita kenakan pada obyekobyek sehingga obek-obyek itu berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu tatanan tertentu yang disebut dunia sosial, seperti: birokrasi, agama, masyarakat, dst. Dengan demikian bukan hanya “masyarakat”, melainkan juga “individu” adalah hasil konstruksi kesadaran atau tipifikasi para aktor sosial. Perjumpaan dengan orang lain selalu terjadi lewat pembiasaan, sedemikian rupa sehingga kita tidak sekedar mengenalinya sebagai anggota sebuah kelompok, melainkan lamakelamaan mengenalinya sebagai seorang individu. Demikian pula pengenalan atas para individu sebagai sebuah kelompok berlangsung sedemikian rupa sehingga dalam kesadaran kita mengenali mereka sebagai suatu kesatuan. Baik “individu” maupun “masyarakat” adalah tipe-tipe yang dikonstruksikan oleh para aktor sosial. Itulah tipifikasi. Jika individu merupakan hasil tipifikasi, “individu” itu sendiri merupakan 6 Ibid., 127 7 Lih. Ibid., 127 6 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 hasil konstruksi sosial. Dengan kata lain, individu tidak individual sebagaimana dimengerti oleh liberalisme. Individu itu, dalam arti ini, bersifat kolektif, karena merupakan hasil konstruksi sosial para aktor di dalam sebuah masyarakat. Dalam arti ini individualisme tidak dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri karena merupakan sebuah social value.8 Tipifikasi tidak hanya menyingkapkan kolektivitas individu, melainkan juga individualitas kolektif. “Masyarakat” bukanlah suatu substansi yang berdiri di luar individu-individu. Simmel memperkenalkan istilah “Wechselwirkung” ke dalam sosiologi, dan istilah itu kiranya dapat diterjemahkan sebagai “efek timbal-balik”. Nuansa psikologis dari istilah ini menegaskan bagaimana pengaruh kesadaran dalam proses tipifikasi. Masyarakat adalah hasil efek timbal balik di antara individu-individu. Dalam efek timbal balik inilah tipifikasi terjadi, dan tipifikasi inilah yang menghasilkan tipe-tipe sebagai hasil kontruksi, seperti misalnya “individu”, “orang asing”, “pelacur”, “lawan”, dst. Tersirat dalam berbagai teks Simmel bahwa tipifikasi mengandaikan konsep ruang, yakni dialektika jarak dan kedekatan. Dalam Ûber sociale Differenzierung, misalnya, dia menjelaskan sebuah ‘hukum’ yang ia sebut “Reciprocitätsverhältnis von Individualisierung und Verallgemeinerung” (hubungan timbal balik dari individualisasi dan kolektivisasi)’ sebagai berikut: Semakin terdiferensasi sebuah kolektivitas menurut komponen-komponennya, semakin sedikit pulalah kesan individual yang ditunjukkan oleh kolektivitas itu sebagai keseluruhan…(d)alam setiap manusia seakan-akan ceteris paribus terdapat suatu proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial yang hanya berubah bentuk saja: semakin rapat sebuah kolektivitas yang di dalamnya kita menjadi anggota-anggotanya, semakin sedikit pulalah kita memiliki kebebasan individualitas; karenanya kolektivitas itu sendiri menjadi sesuatu yang individual dan memisahkan diri dari yang lainnya dengan batas yang tegas, justru karena kolektivitas ini kecil.9 Istilah “proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial” sangat penting di sini. Dapat dikatakan bahwa Simmel memikirkan hubungan antara individualisasi dan kolektivisasi sebagai semacam ekuilibrium atau homeostasis: (A) Semakin para individu dalam sebuah kolektif mengambil distansi satu sama lain dan mengenali yang lain lebih sebagai individu daripada sebagai anggota kelompok, semakin kurang individuallah kolektif itu. Artinya, kolektif itu longgar dan berciri kosmopolitan. (B) Akan tetapi semakin para individu sampai pada taraf tertentu kehilangan distansi satu sama lain (atau belum terdiferensiasi oleh proses modernisasi) 8 Bdk. Sandel, M., Liberalism and the Limits of Justice, Continuum, New York, 2001, 11. 9 Simmel, G., Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989, 173-174. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 7 dan mengenali yang lain lebih sebagai anggota kelompok daripada sebagai individu, semakin individuallah kolektif itu. Artinya, kolektif itu massif, rapat dan berciri etnosentris dan eksklusif. Pola hubungan macam itu diperlihatkannya dalam ekonomi uang. Dalam bukunya yang termasyhur Philosophie des Geldes (1900), Simmel mencoba memerlihatkan bagaimana ekonomi uang dan institusionalisasi hak milik pribadi telah memberi kontribusi bagi penciptaan jarak sosial dan pelonggaran sebuah kolektivitas yang tak lain berarti membesarnya ruang kebebasan individu. Uang memungkinkan distansi sekaligus individualisasi sehingga pola hubungan etnosentris dan ekslusif diubah menjadi pola-pola hubungan yang lebih longgar. 3. Melampaui Individualisme dan Kolektivisme Analisis Simmel tentang hubungan individualisasi dan kolektivisasi tersebut menarik untuk menanggapi dilema kuno dalam filsafat sosial antara individualisme dan kolektivisme yang juga dihadapi di Indonesia ketika orang mencari ‘jalan tengah’ dengan ideologi Pancasila. Sekarang kita menemukan sebuah tinjauan epistemologis yang sangat mendasar untuk ‘jalan tengah’ itu dalam pemikiran Simmel. Di hadapan relasionisme Simmel baik individualisme maupun kolektivisme dalam perspektif sosiologis telah kehilangan substansialitasnya. Keduanya menurut Simmel tidak dapat dipertahankan secara epistemologis. Tak ada individu par excellence, seperti juga tak ada masyarakat an sich. Apa yang membuat “masyarakat” menjadi masyarakat bukanlah individu dan juga bukan kolektif itu sendiri, melainkan relasi di antara para individu di dalamnya. Demikian juga apa yang membuat “individu” menjadi individu adalah relasi di antara para individu itu sendiri. Pandangan Simmel ini bukan sebuah relativisme sosiologis, melainkan – seperti saran banyak komentator Simmel- lebih tepat disebut relasionisme (Relationismus). Dalam relasionisme itu Simmel memandang kesatuan bukan sebagai suatu ketunggalan metafisis yang tidak dapat dibagi-bagi, suatu atom. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa kesatuan itu justru ditentukan oleh gerak berbagai komponen di dalamnya yang memberi efek-efek timbal balik (Wechselwirkung). Tulisnya: Bagi saya tidaklah dapat disangsikan bahwa hanya ada satu alasan untuk menjelaskan obyektivitas relatif dari penyatuan: pengaruh timbal-balik di antara bagian-bagian. Kita mencirikan setiap obyek sebagai tunggal sejauh komponen-komponennya berada dalam efek-efek timbal balik yang dinamis. 10 10 Simmel, Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989, 129. 8 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 Saya melihat bahwa pandangan Simmel ini dapat menjelaskan mengapa sebuah masyarakat bersifat kolektivistis ataupun individualistis. Relasionisme tidak hanya mengatakan bahwa sosiologi tidak dapat mencapai tingkat obyektivitas dan netralitas absolut. Dia juga mengatakan bahwa sosiologi yang menganjurkan kolektivisme maupun sosiologi yang menganjurkan individualisme terkait dengan social value dalam masyarakat tempat sosiologi itu dihasilkan. Lebih daripada semua itu relasionisme menyingkapkan bahwa individualisme maupun kolektivisme itu terkait dengan bentuk-bentuk relasi sebuah masyarakat, dengan apa yang disebutnya Wechselwirkung. Tulis Simmel: …semua penyatuan hanyalah sebuah tambahan yang berasal dari pikiran kita, hanyalah akibat dari hasrat penyatuan yang berciri psikologis yang kiranya tidak dapat dibuktikan secara obyektif.11 Artinya, individualisme maupun kolektivisme, organisme maupun mekanisme berkaitan dengan tipifikasi para individu dan karena itu juga bersangkutan dengan bentuk-bentuk penataan ruang, penataan struktural, pembagian kerja dan proses-proses ekonomi dalam sebuah masyarakat. Relasionisme dalam sosiologi Simmel ini pada analisis terakhir dapat kita kembalikan pada pandangan antropologisnya bahwa manusia adalah makhluk perbedaan. Karena manusia tidak sepenuh-penuhnya terhisap ke dalam kelompoknya dan juga tidak dapat seluruhnya memisahkan diri atau ke luar dari kelompoknya, individualitas dan kolektivitas berhubungan secara dialektis. Sebuah masyarakat yang menekankan individualitas individu memusatkan diri pada individualitas individu sedemikian rupa sehingga seolah-olah bagian kolektif dari individu itu tidak dilihat atau diabaikan. Hal seperti inilah yang terjadi di dalam liberalisme Barat. Sebaliknya sebuah masyarakat yang mementingkan kolektivitas memusatkan diri pada bagian kolektif dari individu (keanggotaannya pada sebuah kelompok) sedemikian rupa sehingga bagian individualnya (singularitasnya yang tidak tertukarkan) yang tidak termasuk di dalam kolektivitas itu diabaikan. Dalam kenyataan manusia berada di dalam sekaligus di luar kelompoknya. 4. Bentuk-bentuk Vergesellschaftung Relasionisme Simmel tidak hanya memberi tilikan bagi filsafat sosial, melainkan juga menantang sebuah konstruksi sosiologis yang melampaui individualisme dan kolektivisme. Berbeda dari Durkheim dan Weber yang banyak memusatkan aspek mikroskopis dalam realitas sosial. Analisis mikroskopis itu dimungkinkan oleh konsep ‘pengaruh timbal-balik’. Berbagai bentuk Wechselwirkung itu menghasilkan berbagai bentuk Vergesellschaftung. Istilah terakhir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 9 Inggris dengan sociation, maka juga bisa kita terjemahkan menjadi ‘sosiasi’. Kata itu mengacu pada suatu proses, gerak, atau aktivitas dua individu atau lebih saling berinteraksi dan memberi pengaruh timbal balik sedemikian rupa sehingga terbangun suatu kebersamaan di antara mereka. Apa yang disebut “masyarakat” tidak lain daripada keseluruhan hubungan saling pengaruh yang menghasilkan berbagai bentuk sosiasi. Di dalam karyanya yang diterbitkan setahun sebelum kematiannya, Soziologie (1917), Simmel mendefinisikan masyarakat sebagai berikut: Saya bertolak dari gambaran tentang masyarakat yang sedapat mungkin jauh dari kontroversi definisi, yakni bahwa masyarakat itu ada, di manapun beberapa individu memasuki hubungan saling mempengaruhi. Pengaruh timbal-balik ini selalu terjadi dari dorongan-dorongan tertentu atau demi tujuan-tujuan tertentu. Dorongan erotis, religius atau dorongan untuk kebersamaan belaka, tujuan-tujuan pertahanan diri seperti juga tujuan-tujuan penyerangan, tujuan-tujuan permainan dan juga pencarian nafkah, tujuantujuan memberi bantuan dan juga pengajaran dan banyak hal lain lagi menghasilkan kenyataan bahwa manusia menjalin hubungan dengan yang lain di dalam sebuah kebersamaan, sebuah tindakan saling berbagi, saling bekerjasama, saling berlawanan, dalam sebuah korelasi kondisi-kondisi, yaitu memberi efek-efek kepada semua ini dan menerima efek-efek dari semua ini.12 Dari gambaran tentang masyarakat dalam kutipan di atas jelas bahwa masyarakat bukanlah suatu entitas metafisis ataupun suatu substansi, melainkan relasi itu sendiri, maka untuk mendekatinya kita harus memusatkan diri pada bentuk-bentuk sosiasi atau relasi-relasi itu. Sosiologi menurut Simmel tidak lain daripada ilmu yang meneliti jenisjenis dan bentuk-bentuk sosiasi. Bentuk-bentuk sosiasi itu terjadi dari efek-efek timbal-balik yang tidak terbilang jumlahnya dalam hubungan antar individu, maka masyarakat terjadi dari anyaman jejaring efek timbal- balik yang tak terbilang itu. Saling mengedipkan mata, saling cemburu, saling berkirim surat, (dan dewasa ini) saling mengirim SMS, makan siang bersama, persaingan, memberi ucapan terimakasih, entah secara altruis ataupun didasari kepentingan adalah bentuk-bentuk mikro sosiasi yang secara sosiologis tidak kalah pentingnya dari formasi partai-partai, formasi kelas-kelas sosial, pembagian kerja, hirarkhi sosial dst. Karena itu Simmel tidak hanya menganalisis pembentukan elit dalam masyarakat egaliter atau niveau sosial, gerakan massa dan sub/superordinasi sosial, melainkan juga apa 11 Simmel, Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892) Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989, 119. 12 Simmel, G., Soziologie. Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, 17-18 10 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 yang disebutnya “masyarakat berdua” (Gesellschaft zu zweien)13, seperti perkawinan, rahasia berdua, intimitas dst. Di dalam semua analisisnya itu, hubungan timbal balik individualisasi dan kolektivisasi diandaikan dan juga diperlihatkannya. Jika obyek siosiologi adalah sosiasi, terbentanglah obyek-obyek sosiologi itu dari ranah makroanalitis yang paling ‘obyektif’ dan ‘struktural-formal’ sampai ranah mikroanalitis yang ‘intensional’ dan ‘psikis’. Berikut ini saya akan mengulas bagaimana relasionisme menjadi instrumen teoretis untuk menjelaskan beberapa obyek sosiologi atau bentuk-bentuk sosiasi pada ranah makroskopis dan ranah mikroskopis. Bentuk sosiasi pertama yang akan kita bahas sebagai analisis makroskopis Simmel adalah superordinasi-dan subordinasi. Secara formal struktural dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat terstruktur menurut superordinasi dan subordinasi: Ada orang-orang atau kelompokkelompok yang memimpin dan ada orang-orang atau kelompok-kelompok yang dipimpin. Menurut Simmel, kedua kutub itu – yang memimpin dan yang dipimpin – tidak bisa diisolasi satu sama lain karena keduanya menghasilkan efek timbal balik (Wechselwirkung) sedemikian hingga semua pemimpin itu juga dipimpin. Dalam tulisan berjudul “Uber-und Unterordnung” yang dikumpulkan dalam Soziologie, Simmel menulis: Semua pemimpin juga dipimpin, sebagaimana dalam banyak kasus tuan adalah budak para budaknya. ‘Saya adalah pemimpinnya, maka saya harus mengikuti mereka’ begitu kata salah seorang dari pemimpinpemimpin partai besar di Jerman dalam kaitannya dengan para pengikutnya.14 Maksudnya, karakter, ekspektasi, kondisi para pengikut turut menciptakan isi dan bentuk kepememimpinan itu sendiri. Karena bukan ‘substansi’ atau ‘benda’, melainkan suatu ‘relasi’, kepemimpinan merupakan bentuk sosiasi yang juga merupakan hasil efek timbal balik. Juga kalau pemimpin kelihatannya mampu menyihir para pengikutnya dia juga sebenarnya berada dalam sugesti para pengikutnya. Menurut Simmel superordinasi dan subordinasi itu tidak dapat total, karena tidak seluruh diri individu masuk atau diisap ke dalam relasi antara pemimpin dan pengikut itu. Artinya, individu masih memiliki kebebasan, juga kalau itu sedikit saja, karena manusia adalah makhluk perbedaan yang berdiri di dalam sekaligus di luar masyarakatnya. Bentuk sosiasi kedua adalah individualisasi dan kolektivisasi. Individu itu sendiri dilihat oleh Simmel sebagai makhluk yang berada di 13 Lih. Simmel, G., “Gesellschaft zu zweien,” dalam: Simmel, G., Schriften zur Soziologie. Eine Auswahl, Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1983, 348 dst. 14 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, 164. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 11 dalam sekaligus di luar kelompoknya. Artinya, individu selalu saja mereservasi suatu wilayah non-sosial dalam dirinya sehingga kebersamaannya dengan yang lain tidak ‘menghabisi’ dirinya. Dalam tulisan yang berjudul “Ekskurs ueber das Problem: Wie ist Gesellschft moeglich?”, kita temukan konsep epistemologis Simmel tentang individu itu: …setiap elemen sebuah kelompok tidak hanya merupakan bagian dari masyarakat, melainkan juga sesuatu yang di luar itu…bahwa individu dengan sisi-sisi tertentu bukanlah unsur masyarakat merupakan syarat positif bahwa individu adalah unsur dengan sisi-sisi lain hakikatnya: Caranya tersosiasi ditentukan atau turut ditentukan oleh caranya tidak tersosiasi.15 Dengan kalimat lain, bagian yang non-sosial dari individu, yaitu perangainya, kepentingannya, kepribadiannya, nasibnya dst. menurut Simmel justru menentukan bagaimana ia membentuk sosiasi dengan yang lain. Jika individu dimengerti sebagai sesuatu yang di dalam sekaligus di luar masyarakat, akan ada sekurangnya dua implikasi. Pertama, kesamaan atau homogenisi, sebagaimana terjadi dalam rezim-rezim totaliter, tidak akan dapat total dan absolut, karena yang bersosiasi hanyalah bagian sosial individu, yakni: aspek politis dan ekonomisnya, sementara bagian non-sosialnya tetap berdiri di luar kelompok yang dihomogenisasikan itu. Kedua, terjadi hubungan timbal-balik antara individualisasi dan kolektivisasi yang sedikit banyak tergantung pada signifikansi bagian sosial dan bagian non-sosial individu itu. Relasi antara individualisasi dan kolektivisasi itu menurut Simmel memiliki pola yang mirip hukum. Dalam tulisan yang berjudul Bemerkungen zu socialethischen Problemen (1888), 16 Simmel menjelaskan sebuah pola yang dia amati dari sejarah: Kelompok homogen dan eksklusif, seperti gilda abad pertengahan (Zunft), sangat eksklusif dan membedakan diri dari kelompok-kelompok lain, namun begitu para individu di dalamnya terdiferensiasi karena kompetisi di antara mereka, mereka itu malah menjadi makin serupa dengan para individu dari kelompok-kelompok lain. Dengan kalimat lain, proses individuasi yang terjadi di dalam sebuah kelompok akibat kompetisi di dalamnya akan membuat para individu pembentuk kelompok itu menjadi makin mirip dengan para individu dari kelompok lain yang bersaing dengan kelompok mereka. Dengan cara itu pula kelompok mereka makin kurang eksklusif. Kompetisi dan diferensiasi memperbesar bagian non-sosial dari para individu sehingga melonggarkan ikatan-ikatan pada bagian sosial mereka. Proses seperti itulah yang terjadi dalam modenisasi dan liberalisasi masyarakat di manapun. 15 Ibid., 51 16 Teks ini terdapat dalam Simmel, G., Aufsätze 1881-1890. Ûber sociale Differenzierung (1892) Suhrkamp, Frankfurt a.M, 1989, 20 dst. 12 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 Kita bisa mengajukan keberatan kepada Simmel karena dalam masyarakat modern juga terdapat tendensi-tendensi etnosentrisme dan eksklusivisme agama seperti terdapat dalam kelompok-kelompok fundamentalisme. Artinya, modernisasi tidak hanya membawa pelonggaran, tetapi juga pengetatan kelompok-kelompok yang bersikap reaksioner terhadap liberalisasi. Kenyataan itu tidak bertentangan dengan penjelasan Simmel mengingat - seperti sudah diulas di atas – adalanya “suatu proporsi tetap antara yang individual dan yang sosial”. Fenomen gerakan-gerakan fundamentalisme agama maupun regionalisme di tengah-tengah globalisasi pasar menunjukkan tidak lain daripada bahwa bagian sosial para individu yang didesak oleh individualisasi dalam ekonomi pasar mencoba mencari ekuilibrium baru dengan tekanan berlebihan. Secara makroanalitis dan formal dapat dikatakan bahwa ekuilibrium itu harus dicapai untuk ‘penghematan energi’ (Kraftersparnis) untuk totalitas sosial, maka sebuah sistem tertutup dan monistis seperti fundamentalisme agama adalah bentuk penghematan energi (psikis). Bentuk sosiasi ketiga adalah konflik atau pertarungan (Streit). Simmel berpendapat bahwa pertarungan juga merupakan sebuah bentuk sosiasi yang khas, sebagaimana ditulisnya dalam Der Streit: Bila setiap efek timbal-balik di antara para individu merupakan suatu sosiasi, pastilah pertarungan yang tentu merupakan salah satu dari efek timbal-balik yang paling hebat…jelas-jelas berlaku sebagai sosiasi.17 Di sini tidak dimaksudkan bahwa masyarakat hanya memuat pertarungan, melainkan juga memuat pertarungan. Lebih tepatnya, seperti Herakleitos bicara tentang harmoni dalam kontradiksi atau Empedokles tentang tegangan cinta (philotes) dan benci (neikos) dalam kosmos, Simmel bicara tentang harmoni dan disharmoni, asosiasi dan kompetisi, kebaikan dan kedengkian sebagai kekuatan-kekuatan pelekat dan pemisah yang memberi ‘bentuk’ pada masyarakat. Masyarakat, sebagaimana adanya, adalah hasil kedua kategori efek– efek timbal-balik yang sejauh itu keduanya muncul secara sepenuhnya positif.18 Relasionisme Simmel lalu sungguh mendekati metafisika Herakleitos ketika kesatuan (Einheit) tidak dimengerti sebagai absennya kekuatankekuatan pemecah, melainkan sebagai presennya kekuatan-kekuatan itu. Yang ‘negatif’ dan ‘merugikan’ itu justru positif dan menguntungkan bagi kesatuan dan integritas sosial. Di dalam hal-hal yang memecah belah masyarakat sudah terkandung hal-hal yang menyatukan secara lebih 17 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, 284 18 Ibid., 286 Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 13 kompleks, seperti juga distansi di antara dua orang yang bermusuhan kerap merupakan hasil rasa simpati sekaligus antipati di antara mereka atau relasi erotis mengandung cinta dan hormat sekaligus pelecehan. Bahwa individu berada di dalam sekaligus di luar masyarakatnya bertanggungjawab atas paradoks ini. Bentuk-bentuk sosiasi pada ranah mikroskopis dapat dimulai dengan apa yang disebut oleh Simmel sebagai “Gesellschaft zu zweien” (masyarakat berdua). Kata ‘masyarakat’ mengesankan sesuatu yang abstrak karena menyangkut suatu populasi manusia yang sangat banyak yang membentuk ekonomi, politik atau kebudayaan. Akan tetapi Simmel berpendapat bahwa apa yang disebut masyarakat itu sudah dimulai pada relasi dua orang, seperti pada kongsi dagang, hubungan saling menjaga rahasia, perkawinan monogami, dst. Simmel memperlihatkan kekhasan bentuk sosiasi dua orang itu sebagai sesuatu yang juga berada dalam tegangan individualisasi dan kolektivisasi. Perkawinan monogami dalam masyarakat modern, misalnya, semakin terindividualisasi, yakni pasangan makin eksklusif dan unik, sehingga tampaknya ada banyak ragam gaya pasangan. Akan tetapi bersamaan dengan itu, sesuatu yang supra-individual juga ada pada mereka: Sebagai bentuk sosiasi pasangan-pasangan monogami yang khas yang beragam itu juga mengikuti pola kolektif yang sama, yaitu perkawinan monogami sebagai institusi sosial. Analisis mikroskopis yang mungkin paling cermat menggali hal-hal yang paling kita remehkan dalam keseharian tetapi sekaligus juga ternyata sangat penting bagi interaksi sosial adalah mengenai pancaindra ( die Sinne). Dalam kosakata fenomenologi, interaksi sosial lewat saling tatap, mendengarkan, bersuara, melihat bersama, membaui keringat dst. adalah kegiatan-kegiatan pra-reflektif yang taken for granted yang tercakup dalam Lebenswelt (dunia-kehidupan). Di tangan Simmel relasirelasi pengindraan tersebut menjadi pangkal terjadinya bentuk-bentuk sosiasi, maka tidak berlebihan bila tulisannya tentang hal ini ia beri judul Soziologie des Sinne (sosiologi pancaindra). 19 Di awal tulisan itu ia mengatakan: Kenyataan bahwa kita mempersepsi orang-orang lain secara indrawi berkembang ke kedua arah yang efek timbal-baliknya memiliki makna sosiologis yang fundamental.20 19 Teks ini termuat dalam:sebuah ekskursus dalam Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, h. 722-742. Edisi terjemahan ke dalam bahasa Inggris dapat dibaca pada Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997, 109-119. Edisi Inggris mengacu pada teks yang agak berbeda dari teks dalam ekskursus. 20 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, 722. 14 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 Artinya, interpesepsi itu sendiri, seperti pada saling tatap, membaui, mendengarkan dst. tanpa mengucapkan sepatah katapun, sudah merupakan bentuk sosiasi dan bahkan mendasari komunikasi verbal. Bahwa kita terlibat ke dalam interaksi-interaksi sama sekali tergantung pada kenyataan bahwa kita memiliki efek indrawi satu kepada yang lain.21 Dari fakta lumrah namun penting itu, Simmel memperlihatkan bagaimana mata, telinga, hidung, lidah, kulit memainkan perananperanan yang khas dalam sosiasi. Saling tatap, misalnya, dianggapnya sebagai “interaksi yang paling langsung dan paling murni”22, karena mata tidak bisa mengambil tanpa sekaligus memberi, sementara menatap bersama langit yang sama menghasilkan rasa identitas bersama atau “unsur hakiki kesatuan yang tersirat dalam setiap aagama”, karena lewat tatapan ke arah yang sama itu muncul kesadaran akan kesetaraan dan akan yang melingkupi semua.23 Pada telinga kesalingan yang terdapat dalam mata itu tidak ada, karena telinga adalah organ egoistis yang hanya bisa mengambil tanpa memberi. Meski demikian, telinga dapat menjadi organ kolektivisasi bila bersama mendengar suara yang sama, misalnya, dalam konsert. Simmel bahkan menunjukkan bagaimana membaui keringat menandai perbedaan kelas-kelas sosial: Makin terkolektivisasi, orang makin toleran satu sama lain dengan bau badan, dan makin terindividualisasi, orang makin sulit mendekati orang yang berbau yang dianggapnya berasal dari kelas rendah. Selain relasi-relasi intersensoris, Simmel juga menunjuk Geselligkeit sebagai bentuk sosiasi yang patut mendapat perhatian. Kata Jerman itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan sociability yang sebaiknya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan keguyuban. Banyak ragam sosiasi bersifat fungsional, seperti transaksi dalam pasar, administrasi dalam birokrasi atau strategi dalam politik, namun ada bentuk sosiasi yang dilakukan demi relasi itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Bentuk sosiasi yang dimaksud adalah keguyuban. Simmel menjelaskan keguyuban sebagai suatu bentuk interaksi yang menggabungkan seni dan permainan, maka ‘forma’ atau bentuk menjadi lebih penting daripada isinya. Misalnya, gurauan, kegiatan cari kutu rambut, atau permainan (kartu, catur, bekel dst) di antara teman-teman yang dinikmati sebagai kegembiraan akibat 21 Frisby, D. et.al (ed.), Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997, 110. 22 Simmel, G., Soziologie, Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995, 723. 23 D. et.al (ed.), Simmel on Culture. Selected Writing, Sage Publications, London, 1997, 116. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 15 kebersamaan. Simmel menyebut keguyuban “bentuk permainan asosiasi” karena kebersamaan merupakan tujuan pada dirinya. Kegiatan ini adalah sebuah “permainan sosial” (Sozialspiel): Permainan sosial memiliki sebuah makna ganda yang dalam – bahwa permainan itu dimainkan tidak hanya di dalam sebuah masyarakat sebagai sesuatu pengemban luarnya, melainkan bahwa dengan masyarakat ‘masyarakat’ sesungguhnya dimainkan.24 “Permainan sosial” ini menurutnya baru berjalan dengan baik jika terjadi di antara orang-orang sederajad atau – kalaupun tidak sederajad – para individu yang akan bersikap seolah-olah sederajad: (Keguyuban) adalah sebuah permainan yang di dalamnya seseorang “bertindak” seolah-olah semua orang adalah sederajad, seolah-olah ia secara khusus menghargai setiap orang.25 Simmel menunjuk suatu tipe permainan sosial yang tidak memenuhi syarat kesederajadan itu, yakni erotisme atau khususnya kegenitan. Si genit memainkan tegangan sikap ya atau tidak untuk meningkatkan daya tariknya sampai pada puncaknya persis saat si pria dibiarkannya menyangka telah meraih apa yang diinginkannya, padahal si genit tidak bersungguh-sungguh kepadanya. 26 Di dalam kegenitan tak ada kesederajadan karena si pria yang menyangka dirinya mengatasi sasarannya ternyata menjadi korbannya. Sebagai permainan sosial keguyuban tidak berciri fungsional di luar dirinya karena “semua keguyuban tidak lain adalah simbol kehidupan karena menunjukkan dirinya dalam aliran permainan yang agak menghibur”.27 Bentuk sosiasi lain yang secara mikroskopis dianalisis oleh Simmel adalah bersantap atau – lebih tepat –makan bersama (Mahlzeit). Di sini Simmel juga memperlihatkan bagaimana hal yang paling individual dan egoistis seperti makan tidak dapat sepenuhnya individual dan egoistis karena darinya berkembang sesuatu yang sosial lewat efek timbal balik. Karena itulah santapan merupakan obyek sosiologi: Struktur sosiologis bersantap – yang menghubungkan keegoisan eksklusif dari makan dengan suatu frekuensi kebersamaan – muncul dengan sebuah kebiasaan berkumpul bersama, hal yang jarang dapat dilakukan pada kesempatan-kesempatan yang berciri lebih luhur dan intelektual. Orangorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan tertentu dapat berkumpul bersama pada saat bersantap – dalam kemungkinan ini, terhubung dengan 24 Frisby, David. et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London, 1997, 125. 25 Ibid. 124. 26 Lih. Ibid. 126. 27 Lih. Ibid., 128. 16 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 keprimitivan dan karenanya juga ciri universal kepentingan material, terletak makna sosiologis yang tak terukur dari santapan.28 Simmel membangun ‘sosiologi bersantap’ di atas tegangan antara individu dan kelompok di satu sisi, dan antara alam dan kebudayaan di lain sisi. Semakin dekat ke alam, yakni hanya sekedar pemuasan naluri, semakin individual dan egoistislah proses bersantap itu, maka juga semakin ‘anarkhis’lah kegiatan bersantap itu. Di antara orang-orang primitif, misalnya, tidak ada aturan meja, maka tiap orang makan begitu lapar, yakni makan secara egoistis dan individualistis. Cara macam itu disebut ‘naturalisme makan’ karena orang melahap langsung didorong nalurinya. Aturan bersantap mengandaikan tata waktu karena orang dapat berkumpul bila ada waktu yang disepakati. Tata waktu bersantap tersebut merupakan pangkal sosiasi yang membuat para individu mengatasi naluri langsungnya untuk melaksanakan hal-hal yang lebih luhur, yaitu bersosialisasi. Karena itu Simmel menyebut kemunculan aturan bersantap sebagai “kemenangan pertama atas naturalisme makan”29 Sosiasi bersantap lalu menjadi makin kompleks dan bahkan meningkat ke ranah estetis yang tinggi sehingga tujuan pemuasan naluri belaka ‘ditransendensikan’. Gambaran bersantap dari para anggota kelaskelas bawah menunjukkan kelangsungannya pada materialitas makanan, sementara gambaran dari orang-orang kaya dan terdidik memperlihatkan skema dan keteraturan pada taraf yang melampaui individu-individu itu. Dikatakan dengan cara lain, naturalisme makan terdapat dalam fakta bahwa kita harus makan demi survival kita. Fakta ini dimengerti dan diterima semua orang karena berakar dalam kehidupan kita yang paling primitif. Dari fakta primitif itu pula menurut Simmel terdapat alasan mendasar bagi sosiasi bersantap. Dan sosiasi itu pada gilirannya membuat kita dapat mengatasi naturalisme makan. Dengan ungkapan lain, dalam naturalisme makan sudah terkandung potensi untuk mengatasinya, suatu potensi sosiasi. Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika kita menghubungkan ‘sosiologi bersantap’ pada konsep antropologis Simmel tentang manusia sebagai makhluk yang berada di dalam sekaligus di luar alam dan masyarakatnya. Bahwa manusia berada di dalam sekaligus di luar alam memungkinkannya untuk melampaui naturalisme makan dengan bertolak darinya. Kebanyakan analisis sosial memusatkan perhatian pada struktur atau sistem sosial. Kalaupun interaksi sosial diperhitungkan, perasaanperasaan sosial sering luput dari perhatian. Bagi Simmel perasaanperasaan sosial sama pentingnya dengan struktur atau sistem sosial dalam 28 Ibid., 130. 29 Lih. Ibid., 131. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 17 mempertahankan integritas sosial. Salah satu tipe perasaan sosial itu adalah kesetiaan. Kesetiaan tentu merupakan sebuah ‘nilai’, tetapi ia juga berjangkar pada perasaan-perasaan manusia. Menurut Simmel kesetiaan memiliki peran sentral dalam sosiasi: Tanpa fenomen yang kita sebut kesetiaan, masyarakat tidak dapat ada untuk jangka waktu tertentu, seperti yang kita miliki sekarang. Unsur-unsur yang membuat masyarakat itu hidup – kepentingan-diri para anggotanya, pengaruh, paksaan, idealisme, kebiasaan mekanis, rasa kewajiban, cinta, kelembaman – tidak dapat mencegahnya untuk tercabik-cabik jika unsur-unsur tersebut tidak dilengkapi oleh faktor kesetiaan itu.30 Di samping kesetiaan, rasa terimakasih dan rasa malu juga menjadi perhatian sosiologis Simmel karena perasaan-perasaan tersebut menghasilkan pengaruh timbal balik dalam proses sosiasi. Berbagai bentuk sosiasi lainnya, seperti kesenggangan, pelacuran, orang asing, dusta dan rahasia, menambah detil lebih jauh dari apa yang ia sebut pengaruh timbal balik dalam interaksi sosial. 5. Penutup Wechselwirkung dan Vegesellschaftung sebagai konsep-konsep sentral dalam pemikiran Simmel menawarkan suatu terobosan yang menarik untuk mengatasi dilema individualisme dan kolektivisme di dalam pemikiran sosial. Masyarakat bukanlah sebuah entitas atau substansi metafisis yang tidak berubah, melainkan suatu relasi atau jejaring relasi yang terus berubah dan memiliki tegangan-tegangan di dalamnya. Seperti masyarakat, individu pun tidak dimengerti sebagai substansi ataupun atom sosial, melainkan sebagai relasi. Konsep Wechselwirkung yang menandai relasionisme Simmel membuka wawasan kita tentang hubungan-hubungan sosial tidak sekedar pada ranah struktur sosial, melainkan juga sampai pada ranah psikologis. Sebagai relasi, masyarakat merupakan bagian peristiwa-peristiwa dan aktivitas-aktivitas berpikir, merasa, bertindak, bungkam, bergerak dst. Karena itu Simmel tidak terutama memusatkan analisisnya pada Gesellschaft (masyarakat), melainkan pada Vegesellschaftung (memasyarakat). Alih-alih memaparkan masyarakat sebagai suatu bangunan yang sudah jadi, Simmel mencurahkan perhatiannya pada proses memasyarakat, yaitu proses terlibatnya individu di dalam interaksi sosial. *) Fransisco Budi Hardiman Alumnus Hochschule fûr Philosophie Mûnchen Jerman, pengajar filsafat politik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. 30 Wolff, Kurt., H., The Sociology of Georg Simmel, The Free Press, New York, 1950, 379. 18 Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1, Maret 2010 BIBLIOGRAFI Budi Hardiman, F., Filsafat Modern. Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2004. Frisby, David. et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London, 1997 Kant, Immanuel , Zum ewigen Frieden, Pasal Definitif Tambahan Pertama, Reclam, Stuttgart, 1999. Simmel, Aufsaetze 1881-1890. Ueber sociale Differenzierung (1892), Suhrkamp, Frankfurt a.M., 1989. “ - “Philosophy of Fashion”, dalam: Frisby, David et.al. (ed.), Simmel on Culture, Sage Publications, London, 1997. “ - , Soziologie. Untersuchungen ûber die Formen der Vergesellschaftung, Suhrkamp, Frankfurt a.M.,1995. Sandel, M., Liberalism and the Limits of Justice, Continuum, New York, 2001. Wolff, Kurt., H., The Sociology of Georg Simmel, The Free Press, New York, 1950. Budi Hardiman, Georg Simmel dan Relasionisme 19