Naskah Buku KEUANGAN PUBLIK ISLAM Oleh: Nafis Irkhami 2 3 Kata Pengantar Segala puji bagi Allah, atas segala kemurahan dan kemudahan yang telah dikaruniakanNya, sehingga karya sederhana ini akhirnya dapat terselesaikan. Sesederhana apapun karya ini, dapat dibukukan berkat dukungan dan dorongan dari sejumlah orang. Karena itu, sudah semestinya penulis mengungkapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya buku ini. Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran tentang kebijakan publik telah dimulai sejak awal kehadiran Islam itu sendiri. Persinggungan Islam dengan peradaban-peradaban lain menjadi penting ditelusuri untuk memahami hukum Islam dengan baik. Khalifah Umar ibn Khattab telah memulai upaya-upaya kontekstualisasi hukum Islam sesuai dengan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Seringkali upayanya itu harus berhadapan dengan pola-pola pemahaman tekstualis para sahabat. Puncak pemberlakuan sistem pajak yang mengacu kepada sistem keuangan publik masa Islam klasik adalah pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal itu setidaknya terbukti dari karya-karya pemikiran para ekonom di masa tersebut, di antaranya adalah Abu Yusuf dan Abu Ubayd. Terkait dengan sistem perpajakan ushr dan jizyah, dengan mengikuti ijtihad Khalifah Umar, pemerintah Muslim modern sudah semestinya membuat rekonstruksi dan standarisasi aturan pembayaran pajak (fiskal) untuk mewujudkan keadilan serta menghindari perasaan diskriminasi di antara masyarakat. Dalam kontek pemikiran ekonomi kontemporer, faktor terpenting yang perlu dipertimbangkan dari ijtihad Umar ibn Khattab adalah pendekatan yang digunakannya untuk selalu mereaktualisasikan ketentuan-ketentuan Islam dengan mempertimbangkan perubahan kondisi sosio-historis. Pergulatan pemikiran kebijakan publik sebagaimana tergambar di atas menjadi konsen utama dari penulisan buku ini. Semoga buku sederhana ini dapat memberi sumbangan manfaat dan maslahah, amin. 4 DAFTAR ISI PENGANTAR DAFTAR ISI Bab 1 PENDAHULUAN Great Gap Pemikiran Ekonomi Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam Kerangka Umum Kebijakan Publik Metode Penulisan Buku Sistematika Buku Bab 2 MENGENAL LEBIH DEKAT TOKOH EKONOMI MAKRO (IBN TAIMIYYAH DAN JOHN MAYNARD KEYNES) Ibn Taimiyyah Setting Akademik Masa Ibn Taimiyyah Kondisi Sosial-Politik Karya-Karya Ibn Taimiyyah Kebijakan Fiskal Dinasti Mamluk John Maynard Keynes Karya-Karya Keynes Aliran Ekonomi Klasik Bab 3 PEMIKIRAN KEBIJAKAN PUBLIK IBN TAIMIYYAH Perkembangan Awal Kebijakan Publik Islam Pendekatan Ibn Taimiyah Campur Tangan Negara dalam Perekonomian Kebijakan Fiskal Ibn Taimiyyah Bab 4 PEMIKIRAN EKONOMI MAKRO JOHN MAYNARD KEYNES 5 Pendekatan Keynes Campur Tangan Negara dalam Perekonomian Kebijakan Fiskal Keynes Bab 5 PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN FISKAL: RELEVANSI Konsep Kebijakan Publik Islam Ibn Taimiyyah vis a vis J.M. Keynes Ke Arah Keadilan yang Lebih Luas DAFTAR PUSTAKA Indeks 6 Bab 1 PENDAHULUAN Great Gap Pemikiran Ekonomi Islam menganggap agama sebagai cara mengatur kehidupan di atas bumi ini. Ia adalah suatu dimensi kehidupan duniawi yang terealisasikan sepenuhnya jika kehidupan dijalani secara moral di bawah bimbingan Tuhan.1 Anggapan yang dikemukakan oleh Isma‟il Raji tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Monzer Kahf. Menurutnya, Islam menganggap kegiatan-kegiatan manusia dalam bidang ekonomi sebagai salah satu aspek dari pelaksanaan tanggungjawabnya di bumi ini.2 Dengan kata lain, dalam pandangan Kahf seseorang yang semakin banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dia akan bisa semakin baik, selama kehidupannya tetap terjaga keseimbangannya. Namun, syari‟at Islam hanya memberikan kepada pengikutnya prinsipprinsip dasar dalam menuntun perilaku ekonomi individu yang mengarah pada tujuan-tujuan umum (maqashid al-syari‟ah), yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian studi tentang ekonomi Islam memberi kelonggaran dalam batas-batas tertentu, untuk memilih strategi yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dan sosial. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan yang belum diatur secara rinci tersebut, maka diperlukan pemikiran yang mendalam dan sungguh-sungguh (ijtihad). Tugas untuk menggali konsep-konsep ekonomi oleh umat muslim ini secara komprehensif dan mengagumkan sebenarnya telah dimulai oleh sejumlah fuqaha klasik, seperti Abu Yusuf (113-182H/731-798M), Abu Ubaid (150-224H), al-Mawardi (364-450H/974-1058M), ibn Khaldun (732-808H/1332-1406M), Al1 Isma‟il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its implications for Thought and Life, (Pensylvania: The International Institut of Islamic Thoughts, 1982), hal. 204 2 Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 4. Pengkaitan fungsi manusia sebagai khalifatullah dalam tidakan-tindakan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh para pemikir ekonomi Islam lain, seperti „Abd al-Qadir Audah, Sayyid M. Rasyid Rida, Maududi, Sayyid Qutb, dan Hasan al-Banna. Lihat catatan kaki no. 2, bab V pada M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal. 202 7 Ghazali (450-505H/1058-1111M), dan ibn Taimiyah (661-728H/1263-1326M). Ulama-ulama klasik tersebut telah mengemukakan gagasan-gagasannya tentang institusi pemerintah dan alat-alat kebijakan-kebijakannya di bidang ekonomi pembangunan. Latar belakang sosial dan ekonomi dari masing-masing ulama tersebut tentu saja sangat menentukan pola pemikiran masing-masing. Di samping itu, terkait dengan tema penulisan buku ini, latar belakang kehidupan politik masingmasing ulama juga perlu menjadi perhatian penting. Seorang ulama yang terjun langsung dalam dunia politik, yakni menjadi pejabat atau aparat pemerintah, tentu memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang harus disisipkan ke dalam karyanya, baik secara sengaja maupun tidak. Termasuk dalam hal ini, seorang ulama yang menulis buku tentang pemerintahan atas permintaan pemerintah. Dengan demikian, selain tuntutan akademik, unsur sosio-politik menjadi faktor penting yang mendorong perkembangan pemikiran tentang kebijakan dan keuangan publik. Perluasan wilayah Islam masa awal ke barat sampai Afrika dan Spanyol, serta ke timur hingga Asia Tengah dan Cina meniscayakan adanya administrasi pemerintahan yang memadahi, termasuk kebijakan keuangan publik. Imperium baru yang memiliki wilayah seluas itu dituntut untuk memiliki dan membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang kokoh dan operasional. Rekaman historis menunjukkan bahwa para penggagas dan perancang keuangan serta perencana garis-garis kebijakan fiskal masa awal telah membahas berbagai persoalan keuangan publik. Lingkup pembahasan kajian tersebut adalah mengenai pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara. Pembahasan mengenai pendapatan negara meliputi tentang pengumpulan pendapatan, struktur perpajakan serta pendistribusian pajak. Sedangkan mengenai pengeluaran negara mencakup persoalan pembelanjaan negara untuk kesejahteraan masyarakat, pengembangan ekonomi dan lain sebagainya. Ibn Taimiyyah membahas regulasi harga oleh negara dan memberi catatan serius atas praktek monopoli, oligopoli, dan monopsoni. Gagasan seperti ini, menurut Islahi, tidak pernah ditemukan dalam karya Aquinas ataupun bahkan para 8 sarjana pada abad berikutnya.3 Ibn Taimiyyah menguraikan secara detil tentang peranan ekonomi negara dalam ranah publik, sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran publik (keuangan publik), dan sebagainya. Ibn Taimiyah dalam karyanya di bidang politik, Al-Siyasah al-Syar‟iyah fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, memang tidak secara khusus membicarakan tentang proses lahirnya sebuah negara, namun poin penting yang dapat disimpulkan dari karya tersebut adalah mengenai pentingnya sebuah organisasi negara. Manusia menurut Ibn Taimiyah wajib menghindarkan dirinya dari kehidupan yang anarkhis. Selanjutnya, hal tersebut hanya dapat dihindari dengan cara membangun sebuah organisasi negara. Dalam hal ini bahkan ia sampai kepada kesimpulan bahwa membangun sebuah organisasi negara adalah tugas suci yang merupakan tuntutan agama dan menjadi perangkat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.4 Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia menurutnya hanya dapat tercapai manakala manusia mau bergabung dalam sebuah komunitas, di mana dalam komunitas tersebut manusia dapat membangun kehidupan dan melakukan interaksi sosial yang dicirikan dengan hidup saling tolong-menolong dan gotongroyong. Pesan terpenting dari gagasannya tersebut adalah bahwa bangunan negara tersebut menjadi sarana penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Setelah melihat begitu pentingnya sebuah organisasi negara, maka satu hal lagi yang perlu ada kekuasaan yang dapat mengatur jalannya organisasi negara tersebut dalam mewujudkan kesejarteraan dan kebahagiaan masyarakatnya. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak sekedar untuk menjaga kemaslahatan jiwa serta menjaga harta benda masyarakat saja, akan tetapi lebih dari itu, adalah untuk menjaminan berlakunya segala perintah dan hukum Tuhan. Dalam kesempatan lain Ibn Taimiyah membahasakan penguasa sebagai bayangan Tuhan di muka bumi, dengan demikian segala bentuk 3 Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), hal. 244 4 Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar‟iyah fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, (Kairo: Dar alKitab al-‟Arabi, 1951), hal. 174. Kesimpulan ini dapat ditemukan dalam tulisan Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taymiyah, (Delhi : Adam Publisher,1992), hal. 122, bandingkan juga dengan tulisan Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang 9 kekuasaan dan wewenang yang dimiliki adalah bersumber dari Tuhan. Bahkan secara lebih keras lagi, ia menyatakan bahwa kepala negara, meskipun zalim, lebih baik bagi masyarakat dari pada mereka harus hidup tanpa adanya pengendali negara.5 Pandangan-pandangan tegas ibn Taimiyyah, yang kadang juga terkesan ekstrim mengenai negara (termasuk kekuasaan kepala negara yang “tidak terbatas”), dapat dipahami dalam kerangka kondisi sosio historis yang terjadi pada masanya. Dalam kondisi kekacauan, serta di ambang kehancuran dunia Islam, di mana negara tidak sanggup lagi memberikan perlindungan dan jaminan keamanan, maka kehadiran seorang pemimpin menjadi impian banyak orang. Selanjutnya terkait dengan kewenangan negara, sebelum Ibn Taimiyyah, tak ada pemikir (fuqaha) Islam yang begitu menekankan kebolehan pemungutan finansial selain zakat, kecuali ibn Hazm (994-1064)6. Dalam hal ini ibn Hazm menyatakan: ُ٘يجثشٚ ,ُٙا تفمشائِٛٛ األغٕياء ِٓ أً٘ و ًّ تٍذ أْ يمٍٝفشض عٚ… 7 …,ُٙ إْ ٌُ ذمُ اٌ ّزواج ت, رٌهٍٝاٌضٍطاْ ع “Diwajibkan bagi kalangan kaya dari warga negara untuk menyokong kalangan miskin, dan pemerintah (dibenarkan untuk) memaksa hal tersebut jika mereka tidak mau membayar zakat.” Ibn Hazm membicarakan hal ini dalam kontek pembahasan tentang zakat. Dengan demikian, ia tidak berbicara tentang kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus. Sekelompok fuqaha beranggapan, jika seseorang telah membayar zakat, maka ia tidak lagi mempunyai kewajiban finansial kepada negara, dan negara tidak mempunyai hak untuk menarik pungutan lagi kecuali dalam kasus tertentu (daruri), di mana negara tak memiliki dana lagi, misalnya dalam kondisi perang.8 Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 47 5 Ibid.,hal. 174 6 Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 220 7 Ibn Hazm, Al-Muhalla, Ahmad Sakir, ed., (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), VI, hal. 156 8 Abu Hasan „Ali ibn Muhammad Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Kairo: „Isa alBabi al-Halabi, 1969), hal. 113 10 Di sisi lain, juga ada fuqaha yang melarang sama sekali pemungutan dari rakyat meskipun dalam keadaan mendesak seperti kasus di atas. Pemikiran Ibn Taimiyyah berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut. Ia membenarkan bentuk pengeluaran finansial selain zakat, sebagaimana pernyataannya, ّ ًاألصٚ ,ْاٌض ّىاٚ اٌٍثاسٚ َ اٌطعاٍُٝ ٌثعط عٙأْ إعأح إٌاس تعع ً ت,ْ رٌه ظٍّاٛال يىٚ ٗيجثش عٍيٚ ٌإلِاَ أْ يٍزَ تزٌهٚ اجةٚ أِش 9 …إيجاب اٌشاسع “Pada dasarnya umat manusia diwajibkan untuk saling mendukung dalam hal sandang, pangan dan papan, dan seorang pemimpin menjamin perwujudannya dan (dibenarkan) memaksakannya. Hal tersebut bukan merupakan suatu kezaliman, justru suatu kewajiban syar‟i.” Beberapa abad setelah Ibn Taimiyyah menetapkan tentang pentingnya dan keharusan campur tangan pemerintah dalam perokonomian publik, para ekonom Barat masih berdebat tentang perlu-tidaknya peran pemerintah. Menurut pendapat ahli-ahli ekonomi Klasik, dalam suatu perekonomian yang diatur oleh mekanisme pasar, tingkat penggunaan tenaga kerja akan selalu tercapai. Pandangan ini didasarkan pada keyakinan bahwa di dalam perekonomian tidak akan terdapat kekurangan permintaan. Apabila para produsen menaikkan produksi mereka atau menciptakan jenis-jenis barang baru, maka dalam perekonomian akan selalu terdapat permintaan terhadap barang-barang itu. Maka di dalam perekonomian pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan permintaan.10 Dengan demikian, maka tenaga kerja akan selalu terpakai dalam sistem tersebut. Pengangguran hanya bersifat sementara, sampai sistem itu bekerja sendiri secara otomatis. Dalam sistem perekonomian seperti ini pemerintah tidak perlu melakukan campur tangan terhadap perekonomian, sebab mekanisme otomatis itu akan bekerja sendiri. 9 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-„Asimiy, ed., (Riyad: Matabi‟ al-Riyad, 1398 H ), XXIX, hal. 194 10 Richard A. Ward, The Economic and Financial System, (Scranton: International Texbook Company, 1970), hal. 206 11 Keynes, tidak sependapat dengan adanya mekanisme otomatis yang dijalankan oleh “invisible hand” tersebut. Pemerintah menurutnya, sebagaimana halnya Ibn Taimiyyah, mempunyai peranan mutlak untuk mengelola ekonomi dan untuk meningkatkan serta menjaga pertumbuhan yang stabil, yaitu terutama dengan kebijakan fiskal.11 Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi jalannya perekonomian dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Dengan demikian kebijaksanaan ini akan sangat ampuh untuk meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama dalam situasi di mana sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh. Revolusi Keynesian dan keprihatinannya terhadap ketimpangan pendapatan tersebut, telah menggugah kesadaran akademik berbagai kalangan ekonom mengenai perlunya campur tangan negara guna menjamin tercapainya tujuan-tujuan sosial yang luas.12 Meskipun dalam hal ini terdapat kesamaan pendapat antara Keynes dan Ibn Taimiyyah tentang perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian, namun tentu saja keduanya berangkat dari kondisi sosiohistoris yang berbeda, yang melatarbelakangi pemikiran masing-masing. Buku ini berupaya untuk mengungkap secara lebih intensif dan ekstensif atas teori-teori politik-ekonomi Ibn Taimiyyah dan Keynes dengan merujuk kepada masing-masing perbedaan latar belakang sosio-kultural, religiusitas, idiologi, dan wawasan berpikirnya. Setelah itu, penyusun berusaha menarik benang merah di antara keduanya dalam sebuah studi komprehensif yang lebih menekankan analitis kritis dan komparatif. Setidaknya dari perbandingan itu kita bisa “menjawab” tesis Great Gap Schumpeter bahwa ilmu ekonomi mengalami keterputusan atau ada sesuatu yang hilang (missing link) semenjak jatuhnya 11 Ibid., hal 206. Lihat juga, Ian J. Humpreys, Understand Economics, terj. Kencanawati Tamiran dan Giato Widianto, (Jakarta: ARCAN, 1989), hal. 81 12 Sekarang tak satupun sistem ekonomi yang menolak adanya campur tangan negara. Sistem ekonomi kapitalispun yang masih sering dianalogikan dengan leissez faire-nya sejak 1930an, sesudah terancam kebangkrutan, secara terbuka telah mengakui perlunya campur tangan negara. Mekanisme pasar tidak dapat lagi sepenuhnya mengandalkan bekerjanya invisible hand. Lihat, Sumarsono, “Pendapatan dan Belanja Negara dan Deregulasi Ekonomi dalam Ekonomi Islam” dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, M. Rusli Karim, ed., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 12 Romawi hingga masa Thomas Aquinas (1225-1274M). Selanjutnya, buku ini juga berupaya melihat tingkat relevansi dan signifikansi teori-teori politik dan kebijakan ekonomi, -dengan memberi tekanan khusus pada kebijakan fiskal- dari kedua tokoh sebagai alternatif memecahkan problematika intervensi negara dalam pembangunan yang seringkali merupakan pilihan dilematis bagi banyak negara hingga dewasa ini sekalipun. Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam Sebelum membahas lebih jauh tentang kebijakan publik Islam, ada baiknya bila terlebih dahulu kita mengetahui karya-karya awal yang secara khusus membahas persoalan tersebut. Ini penting untuk memahami ketersambungan pemikiran tokoh yang kita kaji, Ibn Taimiyyah, dengan pemikir-pemikir sebelumnya. Judul kitab-kitab yang membicarakan tentang kebijakan publik pada umumnya menggunakan kata-kata al-kharaj, al-amwal dan al-ahkam alsulthaniyyah. Berikut ini akan dikemukakan tiga kecenderungan penggunaan judul tersebut, sehingga akan diketahui latar belakang dan corak masing-masing secara umum. Pertama, judul kitab yang menggunakan kata al-Kharaj. Secara literal, kharaj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam pengertian fiqh, sebagaimana dinyatakan ibn Manzur, adalah َ ُ تمَ َذ ٍسٌٙ َُ في اٌ َّضَٕ ِح ِِٓ ِاٛ شيء ي ُْخ ِشجُٗ اٌمٛ٘ٚ اح ٌذٚ اٌخ َشا ُضٚ اٌخَشْ ُضٚ 13 ... ٍَِٛع “Sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka, dengan takaran yang telah diketahui.” Dengan kata lain, kharaj merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik 1992), hal. 103. 13 Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.), III: 66. 13 tanah.14 Dengan demikian, kharaj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah, khums, usyr, dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharaj lebih dimaksudkan untuk pajak yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yang dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya.15 Orang pertama yang diyakini telah menulis tentang kharaj adalah Mu‟awiyah ibn Ubaid Allah (w.786), menteri terkemuka khalifah al-Mahdi (Abbasiyah). Sayang, buku Mu‟awiyah yang berjudul Al-Kharaj ini sudah tidak bisa ditemukan lagi. Dari puluhan judul kitab tentang kharaj yang terselamatkan sampai saat ini adalah karya Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan Qudamah ibn Ja‟far. Kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf disusun untuk memenuhi permintaan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809). Sebagaimana ditulis sendiri dalam pengantarnya, Abu Yusuf menyatakan bahwa kitabnya dimaksudkan sebagai rujukan dan pertimbangan bagi khalifah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan pajak yang Islami.16 Berdasarkan tujuan penulisan tersebut, dapat dipahami bila pendekatan yang digunakan dalam buku itu sangat pragmatis dan bercorak fiqih. Bahkan, di dalamnya banyak ditemui fatwa atau nasehat mengenai adab kepemimpinan.17 Kitab lain dengan judul sama, al-Kharaj, disusun oleh ulama sezaman dengan Abu Yusuf, yaitu Abu Zakariyya Yahya ibn Adam (w. 818). Sama seperti Al-Kharaj Abu Yusuf, kitab ini juga dimaksudkan sebagai pedoman umum dasardasar keuangan publik Islam. Dengan demikian buku ini tidak menyinggung tentang praktek perpajakan yang ada saat itu, namun lebih banyak mengemukakan hadits-hadits terkait dengan persoalan keuangan publik.18 Hadits-hadits yang dikompilasikan oleh Yahya ibn Adam berbicara tentang 14 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought hlm. 30 15 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS, 2004), hlm. 4. 16 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1979), hlm.3 17 M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003), hlm. 34 18 Setidaknya terdapat 640 hadits perihal keuangan publik (sumber-sumber pendapatan dan 14 topik-topik seperti ghanimah, fai‟, kharaj, jizyah; baik yang diperoleh dari rampasan perang maupun melalui perjanjian damai; mengenai otoritas khalifah untuk mendistribusikan tanah taklukan; larangan menyewakan tanah kharaj; ketentuan tentang menghidupkan tanah mati; pajak barang tambang; ketentuan yang berlaku untuk masyarakat yang ditaklukkan, dan sebagainya. Persoalanpersoalan tersebut sebenarnya telah dibahas secara komprehensif oleh Abu Yusuf. Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan Yahya berbeda dengan Yusuf. Kitab Abu Yusuf lebih bercorak judicial-oriented, sedangkan tulisan Yahya nampaknya lebih dimaksudkan sebagai buku compilation-oriented. Dengan demikian buku Yusuf lebih kaya dengan analisis dan upaya untuk melakukan istinbat hukum, sedangkan Yahya lebih berkosentrasi untuk menggali sebanyak mungkin hadits-hadits sebagai landasan hukumnya. Dari ratusan hadits yang dikemukakan dalam kompilasinya, menurut penelitian Meera dan Ahsan, hanya 40 hadits yang dapat ditemukan dalam kutub al-sittah.19 Kitab Al-Kharaj terakhir yang masih dapat ditemukan saat ini, meskipun sudah tidak utuh lagi,20 adalah karya Qudamah ibn Ja‟far (w. 932). Tidak jauh berbeda dengan latar belakang kedua penulis sebelumnya, penulisan buku ini memiliki keterkaitan dengan pemerintah saat itu.21 Dua penulis sebelumnya menulis karena kapasitasnya sebagai ulama yang diakui pemerintah, dan tidak memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Berbeda dengan keduanya, Qudamah adalah seorang aparat yang terlibat langsung dalam pemerintahan sehingga tulisannya lebih bersifat kontekstual. Bahkan penulisan buku ini ditengarai sebagai konter terhadap kritik yang diajukan oleh para katib (kolektor dan administrator pajak) saat itu bahwa praktek keuangan publik yang dijalankan pengeluaran negara) dalam kitab tersebut. 19 Ahamed Kameel Mydin Meera dan Syed Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues: A Comparative Study of Early Islamic Scholarly Thoughts and Their Reception by Western Economists,” dalam Abulhasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992), hlm. 205. 20 Sebagian dari buku tersebut telah diterjemahkan oleh A. Ben Shemesh, Taxation in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1965). 21 Qudamah adalah sekretaris Khalifah Abbasiyyah, Al-Muktafi dan Al-Muktadir. Lihat Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32 15 pemerintah banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Islam.22 Dalam pembahasannya Qudamah tidak banyak menampilkan hadits sebagaimana pendahulunya, namun mengemukakan berbagai pendapat yang telah ada.23 Setelah buku-buku berjudul al-Kharaj, buku tentang kebijakan publik selanjutnya adalah yang menggunakan judul al-amwal. Al-amwal merupakan bentuk jamak dari al-mal yang berarti “kekayaan atau keuangan.”24 Kitab-kitab yang menggunakan judul ini pada umumnya membahas tentang sumber-sumber serta pengelolaan pendapatan negara. Dengan demikian istilah al-kharaj dan alamwal sering digunakan secara bergantian oleh para ulama pada masa itu.25 Dalam penggunaannya, pembahasan tentang al-kharaj lebih menekankan pada pajak tanah, sedangkan pembahasan al-amwal membicarakan semua bentuk dan sumber-sumber pendapatan keuangan publik. Dengan kata lain, kitab al-amwal memiliki cakupan lebih luas dibanding al-kharaj. Kitab-kitab dengan judul al-amwal yang sampai kepada kita adalah karya Abu Ubayd, Abu Humaid ibn Zanjawaih dan Abu Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi.26 Kitab al-amwal pertama dalam pembahasan ini, karya Abu Ubayd, merupakan sebuah buku yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik.27 Kitab ini, menurut Ugi, kemungkinan disusun semasa purna tugas Abu Ubayd sebagai qadi di Tarsus.28 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kitab ini merupakan refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum. Hampir sama dengan metode Abu Yusuf, ketika membahas berbagai kasus keuangan publik Abu Ubayd juga mengulasnya dengan pendekatan fiqih, yaitu dengan merujukkan pandangannya pada nash dan hadits, praktek khalifah maupun pendapat ulama-ulama terdahulu. Dengan rujukan-rujukannya pada praktek dan pandangan-pandangan ulama terdahulu, maka kitab Abu Ubayd juga bercorak 22 Ahamed Kameel dan Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues,” hlm. 206. Ibid 24 Ibn Manzur, Lisan al-Araby, XIV: 158 25 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32. 26 Menurut Sabahuddin Azmi, setidaknya ada enam kitab yang ditulis dengan judul Alamwal. Lihat bukunya, Islamic Economics, hlm. 32. 27 Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Noor Muhammad Ghiffari, Book of Finance (Islamabad: Institute of Islamic Studies). 23 16 historis. Kitab al-amwal kedua adalah karya Humaid ibn Zanjawaih,29 seorang murid ibn Abu Ubayd. Pada bagian awal, kitab ini membahas tentang normanorma kepemimpinan dalam Islam; tentang kewajiban pemimpin untuk bersikap adil, kewajiban rakyat untuk mentaati pemimpin dan sebagainya. Selanjutnya penulis mendiskusikan tentang keuangan publik Islam, terutama terkait dengan wilayah-wilayah taklukan dan wilayah yang membuat perjanjian damai dengan Islam. Buku Zanjawaih ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai buku syarah atas Kitab al-amwal karya gurunya.30 Meskipun di sana-sini dijumpai pandangannya yang berbeda dengan gurunya, namun secara garis besar ia mengikuti metode diskriptif gurunya. Kitab terakhir dengan judul al-amwal ditulis oleh Ja‟far ibn Nashr alDawudi. Kitab yang disusun ulama Malikiyah pada akhir abad ke-4 Hijriyah ini merupakan satu-satunya kitab yang secara spesifik membahas keuangan publik dari perspektif mazhab Maliki. Berbeda dengan dua kitab al-amwal sebelumnya, dalam pembahasannya al-Dawudi mengangkat praktek perpajakan yang berlaku pada saat itu, khususnya di Irak, Sisilia, dan Spanyol.31 Secara umum, buku ini mengkampanyekan praktek pemerintahan yang bersih dari korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Dengan demikian, buku ini bisa menjadi cerminan kondisi sosio-politik yang berlaku saat itu. Kitab-kitab klasik selanjutnya yang membahas tentang keuangan publik adalah berjudul al-ahkam al-sulthaniyah. Berbeda dengan dua model kitab alkharaj dan al-amwal yang lebih menekankan pembahasan pada keuangan publik, kitab ini memiliki cakupan yang lebih luas. Di samping tentang keuangan publik, kitab ini juga membahas topik-topik administrasi pemerintahan, makro ekonomi 28 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, hal. 41 Kitab karya ibn Zanjawaih ini telah terkompilasi dalam program Maktabah Syamilah 30 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 33. Buku karya Zanjawaih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Istanbul. Belakangan telah diterbitkan setelah diedit oleh Dr. Syakir Daib dalam 3 jilid. 31 Ibid. 29 17 (sistem pasar, intervensi pemerintah ke dalam pasar), moneter (sistem mata uang), dan sebagainya. Kitab dengan judul al-Ahkam al-Sulthaniyah ditulis oleh dua sarjana pada paruh pertama abad ke-15, yaitu Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058) dan Abu Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065). Selain dengan judul yang sama, kedua kitab ini pun memiliki cakupan yang sama dan dari periode yang sama. Meski demikian, tidak diketahui secara persis siapa yang lebih dulu menyelesaikan bukunya. Kedua buku ini ditulis dengan sistematika yang baik dan runtut. Topik pembahasan kedua buku ini tidak hanya pada keuangan publik, namun juga mengangkat persoalan pajak, pengelolaan tanah, pembelanjaan publik dan sebagainya. Di samping itu, keduanya juga membahas masalah pemerintahan dan prosedur administrasi, termasuk peran pemerintah dalam perekonomian; baik fiskal maupun moneter. Menurut Azmi, perbedaan utama dari dua buku tersebut adalah ketika membahas aspek-aspek administrasi keuangan. Dalam hal ini Abu Ya‟la lebih banyak mengutip pendapat-pendapat dari mazhabnya sendiri, yakni Hanbali; sedangkan Al-Mawardi tidak hanya merujuk pada mazhabnya sendiri (Syafi‟i), namun juga dari mazhab Hanafi dan Maliki. Lebih jauh, dalam pembahasannya Mawardi menyebutkan rujukan-rujukan yang ia gunakan, sehingga bukunya sudah menggunakan gaya penulisan seperti buku-buku ilmiah saat ini. 18 Tabel Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam Judul Kitab AlKharaj Penyusun Latar belakang Corak/gaya Kandungan Abu Yusuf Memenuhi permintaan Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809). Banyak mengemukakan fatwa atau nasehat mengenai adab kepemimpinan Yahya ibn Adam Pedoman umum dasar-dasar keuangan publik Islam Konter terhadap kritik para katib (kolektor dan administrator pajak) Refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum (qadi) Buku syarah atas Kitab al-amwal karya Abu Ubayd Mengangkat praktek perpajakan yang berlaku pada saat itu Pedoman umum dasar-dasar keuangan publik Islam Judicialoriented Sangat pragmatis dan bercorak fiqih. Compilationoriented Qudamah ibn Ja‟far Abu Ubayd Kitab alAmwal AlAhkam alSulthaniyyah Abu Humaid ibn Zanjawaih Abu Ja‟far ibn Nashr alDawudi. Abu alHasan alMawardi (w. 1058) Abu Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065). Sda Judicialoriented Diskriptif Lebih banyak mengemukakan haditshadits tentang keuangan publik Mengemukakan berbagai pendapat ulama tentang keuangan publik Historis Normatif Legal reasoning Normatif Legal reasoning buku yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik Norma-norma kepemimpinan Islami; Keuangan publik Islam Empirik Legal reasoning Keuangan publik dari perspektif mazhab Maliki Legal reasoning (Komparatif mazhab) Keuangan publik; pajak, pengelolaan tanah; pembelanjaan publik dsb. Pemerintahan dan prosedur administrasi Sda Legal reasoning (Hanbaliah) 19 Kerangka Umum Kebijakan Publik Pendekatan yang lazim digunakan untuk menjelaskan persoalan penerimaan dan belanja negara dalam ekonomi Islam terkait dengan tujuan Islam dalam membangun masyarakat, khususnya dalam tujuan sosio-ekonominya. Prinsip yang paling pokok adalah tercapainya tujuan keadilan sosial ekonomi yang terbebas dari segala penindasan. Dalam kaidah hukum prinsip tersebut dirumuskan sebagai: 32 “Penyelenggaraan kemaslahatan.” غ تاٌّصٍححِٕٛ اٌشعيحٍٝذصشّف االِاَ ع pemerintahan didasarkan kepada pertimbangan Menengok terminologi ekonomi, keadilan seorang penguasa berarti, pertama, ia akan memungut sesuatu dari masyarakat sesuai dengan prinsip keadilan, misalnya cukai dan pajak. Kedua, berkaitan dengan masalah distribusi, kebijakan yang adil adalah jika pemerintah mengalokasikan belanja negara pada para pihak-pihak yang berhak.33 Ibn Taimiyyah sangat menghormati keadilan sebagai sesuatu yang fundamental dan krusial. Tanpa kondisi tersebut, setiap manusia tidak akan dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.34 Berdasarkan keadilan itu juga yang menjadi tujuan utama pemegang otoritas.35 Untuk menegakkan fungsi negara, Ibn Taimiyyah mengaitkannya dengan institusi hisbah. Dalam pembahasannya tentang hisbah, pertama-tama ia mengungkap sisi historis kemunculan lembaga ini. Selanjutnya, ia mengaitkan bahasannya dengan masalah-masalah ekonomi yang terus relevan dengan saat ini. Sebagai contoh persoalan tentang pengembangan intervensi negara terhadap usaha privat dan pembatasan atas hak-hak individual.36 Dengan keadilan yang 32 Jalal ad-Din „Abd al-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazair, (Semarang: Taha Putra, t.t.), hal. 83 33 Ibid. 34 Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal 95. Juga, Ibn Taimiyyah, al-Siyasah a-Syar‟iyyah fi Islah al-Ra‟iy wa al-Ra‟iyyah, (Mesir: Dār alKitab al-„Arabiy, 1969), hal. 178 35 Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah, hal. 42. 36 Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 188-9 20 merupakan prinsip dasar bagi kebijakan ekonomi pemerintah, Ibn Taimiyyah mengembangkan gagasan-gagasan normatifnya tentang sistem ekonomi Islam. Sementara itu dalam ekonomi konvensional, bagi kaum Libertian (sebelum Keynes), setiap orang mempunyai hak absolut untuk bebas dari agresi pihak lain. Ini berarti, sebagaimana halnya dalam teori Adam Smith, kaum Libertian menentang campur tangan negara atas hak-hak milik setiap orang atas mekanisme ekonomi pasar bebas. Mereka membela mati-matian hak atas milik pribadi tanpa batas dan juga membela perdagangan bebas di antara para pelaku ekonomi. Karena itu, sistem yang mereka kehendaki adalah kapitalisme laissez-faire.37 Kondisi pasar bebas tersebut ditengarai Keynes akan melahirkan pasar monopoli dan adanya barang publik.38 Akibat dari kegagalan pasar ini secara langsung akan mengganggu tingkat kesempatan kerja,39 ia menulis, The outstanding faults of the economic society in which we life are its failure to provide for full employment and its arbitrary and inequitable distribution of wealth and income...I believe that there is social psychological justification for significant inequalities of income and wealth, but not for such large disparities as exist today.40 Menurut Keynes, di samping secara ekonomi makro mekanisme pasar tidak menjamin stabilitas ekonomi, ketidakseimbangan antara rencana investasi dan rencana tabungan mengakibatkan fluktuasi kegiatan ekonomi yang menyebabkan pengangguran. Menurutnya, pemerintah dapat berperan positif untuk menyetabilkannya, terutama dengan kebijaksanaan fiskal. Meskipun Ibn Taimiyyah menekankan pentingnya peranan pemerintah dalam ekonomi makro, tetapi tidak seperti Keynes, ia tetap menganjurkan pasar 37 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 172 38 Alec Cairncross, Introduction to Economics, (London: Butterworth & Co. Ltd., 1944), hal 395. Juga, Faried Wijaya M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987), hal. 246 39 Respek Keynes terhadap kondisi full employment ini sebenarnya sudah tercermin dari judul bukunya yang pada hakekatnya berbicara tentang pendapatan dan kesempatan kerja. Lihat, “Prakata” Sumitro Djojohadikusumo dalam John Maynard Keynes, Teori Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga, dan Uang, terj. Willem H. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hal. xxvii 40 John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London: Macmillan, 1936), hal. 372-4 21 bebas.41 Kebebasan ekonomik individual tersebut harus tetap dibatasi untuk menghindari unsur-unsur monopoli.42 Dengan demikian, Ibn Taimiyyah menghendaki bekerjanya mekanisme pasar secara bebas, tetapi di saat yang sama ia juga mengijinkan campur tangan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan ekonominya. Dari uraian di atas, ternyata Ibn Taimiyyah dan Keynes berangkat dari filosofi-ideologi yang berbeda. Ibn Taimiyyah ingin menciptakan suatu sistem perekonomian yang adil bagi rakyat, sementara bagi Keynes tujuan utama yang ingin dipecahkan adalah mengurangi pengangguran yang berlebihan di masanya (yang dalam bahasanya disebut sebagai full employment). Ibn Taimiyyah merupakan salah satu ulama klasik yang pemikirannya masih banyak dikaji sampai saat ini. Banyaknya kajian terhadap pemikiranpemikiran Ibn Taimiyyah dengan sendirinya menunjukkan kontribusinya yang tinggi terhadap keilmuan Islam. Hal tersebut sekaligus juga menunjukkan urgensi studi ini. Sejumlah buku kontemporer yang mendiskusikan pemikiran Ibn Taimiyyah akan dikemukakan berikut ini: Muhammad Amin menulis karya berjudul Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam. Tulisan Abdul Azim Islahi yang berjudul Economic Concepts of ibn Taimiyah. Tulisan Qomarrudin Khan berjudul The Political Thought of Ibnu Taimiyah.43 Karya Muhammad Abu Zahrah; „Usbu‟u al-Fiqh al-Islami wa Mihrajan ibn Taimiyah. Karya H. Laoust berjudul Nadariyyat Ibn Taimiyah fi al-Siyasah wa alIjtima‟ 41 Dalam menjelaskan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudkan, Ibn Taimiyyah secara meyakinkan menyatakan bahwa individu-individu berhak menyimpan harta milik mereka dan tidak seorangpun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya, tanpa persetujuan mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu, di mana mereka diwajibkan untuk melepaskan hak-hak tersebut. 42 Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 25 22 Karya Muhammad al-Mubarrak berjudul Arau ibn Taimiyah fi ad-Daulah wa Maza Tadakhuliha fi al-Majal al-Iqtisadi, Khalid Ibrahim Jindan dengan karyanya The Theory of Government According to Ibn Taimiyyah. 44 Victor E. Makari, Ibn Taimiyya‟s Ethics: The Social Factors Rasyad Salim dengan bukunya Al-Gazali Versus ibnu Taimiyah Ahmadie Thaha dengan bukunya Ibnu Taimiyah, Hidup dan Pemikirannya. Sedangkan penulisan dalam bentuk disertasi dan tesis, baik yang dilakukan di dalam maupun luar negeri; baik yang telah dipublikasikan (dalam bentuk buku) maupun tidak, antara lain; Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation in Islam, karya Nurcholis Madjid Epistemologi Hukum Islam (Suatu Telaah Tentang Sumber Illat dan Tujuan Hukum Islam) karya Juhaya S. Praja Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, karya Muhammad Amin Suma The Principles of Ibn Taimiyya‟s Qur‟anic Interpretation karya Didin Syafruddin. Realisme Ibnu Taimiyyah, karya M. Nur Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, karya Zainun Kamal Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf, karya A. Wahib Mu‟thi Studi Ibnu Taimiyyah dan Pemikiran (Sebuah Studi tentang Pemikiran Sumber Hukum Islam) karya Kamsi Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang Tasawuf, karya Syafan Nur Etika Intervensi Negara (Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyyah) karya M. Arskal Salim, Tafsir Surat al-Ikhlas karya Ibnu Taimiyyah (Sebuah Kajian Pemikiran) 43 44 Dua buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 23 karya Muhammad. Deretan panjang karya dan penelitian terhadap pemikiran Ibn Taimiyyah tersebut di atas hanyalah sebagian kecil saja. Berbagai buku dan penelitian lainnya masih banyak yang belum disebutkan dalam daftar tersebut, termasuk tulisan-tulisan dalam bentuk artikel. Selanjutnya tokoh kedua dalam kajian buku ini adalah John Maynard Keynes. Ia merupakan seorang tokoh ilmuwan ekonomi yang melejit dengan karyanya The General Theory of Employment, Interest and Money.45 Buku ini merupakan karya Keynes yang paling banyak menimbulkan kontroversi dibandingkan dengan buku-buku lain yang ditulis oleh pakar ekonomi pada generasinya. Isinya membedah semua kesimpulan-kesimpulan Gordian mengenai siklus perdagangan dan mengemukakan suatu pendekatan untuk menentukan tingkat kegiatan ekonomi, problem kesempatan kerja dan pengangguran, sebabsebab inflasi, strategi kebijakan keuangan. Perdebatan mengenai buku ini berlanjut hingga ia meninggal, bahkan hingga kini. Meskipun karyanya ditulis seperempat abad yang lalu, Keynes dan bukunya tetap menjadi perdebatan di kalangan ekonomi klasik, neo-klasik dan modern. Dari tulisan-tulisan yang telah penyusun ungkapkan di atas, buku ini memiliki posisi tersendiri di antara karya-karya yang telah mengkaji pemikiran ekonomi Ibn Taimiyyah dan Keynes. Tulisan ini membahas secara khusus mengenai kebijakan fiskal Ibn Taimiyyah, kemudian dikaitkan dengan pemikiran modern yang digagas oleh John Maynard Keynes. Metode Penulisan Buku Buku ini dimaksudkan sebagai kajian sejarah pemikiran ekonomi Islam. Dengan demikian, penekanannya adalah pada perkembangan pemikiran ekonomi, khususnya mengungkap bagaimana ibn Taimiyyah merespon persoalan-persoalan yang ada pada zamannya. Dengan pendekatan ini diharapkan kita memperoleh 45 Diterbitkan oleh Cambridge University Press, 1936, Telah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa antara lain Jerman, Jepang, dan Prancis. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Willem W. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991) 24 gagasan yang jelas mengenai tahap-tahap awal perkembangan teori kebijakan publik Islam dan sekaligus mengakui sumbangan yang diberikan oleh para pemikir ekonomi Muslim. Setidaknya, kita bisa menjawab tesis Great Gap Schumpeter. Tesis missing link tersebut di satu sisi dapat dipahami mengingat masih sangat sedikitnya informasi yang sampai kepada kita mengenai wujud dan perkembangan ekonomi Islam atau sistem perekonomian di dunia Islam. Di sisi lain, secara internal, umat Islam sendiri masih belum banyak mengeksplorasi pemikiran-pemikiran ekonomi para pendahulunya, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak literatur dalam bidang ini yang tidak sampai ke tangan kita. Berdasarkan sifat kajiannya, buku ini seluruhnya berdasarkan atas kajian pustaka atau studi literatur. Oleh karena itu sifat penelitiannya adalah penelitian kepustakaan (library research). Data yang dikumpulkan dan dianalsis sepenuhnya berasal dari literatur maupun bahan dokumentasi lain, seperti tulisan di jurnal maupun di media yang lain, yang relevan dengan masalah yang dikaji. Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah dua jenis data, yaitu data yang bersifat primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang berkait dengan pemikiran Keynes dan Ibn Taimiyyah dalam aspek kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi. Sumber data primer dari pemikiran Ibn Taimiyyah adalah tulisannya: al-Hisbah fi al-Islam, as-Siyasah asy-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyyah dan Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah. Sedangkan data primer Keynes adalah karya-karyanya: The General Theory of Employment, Interest, and Money, Tract on Monetary Reform, dan A Treatise on Money. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa karya monumental Keynes General Theory diakui oleh banyak pihak sebagai karya yang sulit dicerna, bahkan oleh ahli ekonomi sekalipun.46) 46 Dengan demikian, dalam buku ini Pengakuan tentang hal ini ditulis oleh H. W. Arndt dalam pengantar buku Keynes, oleh Soemitro dalam pengantar buku terjemahan The General Theory, oleh Deliarnov dalam Perkembangan Pemikiran Ekonomi, hal. 165, dan lain-lain. Menyadari akan hal ini, beberapa bulan setelah penerbitan The General Theory, para pakar berupaya menerbitkan buku maupun 25 penyusun banyak merujuk pada sumber-sumber data sekunder untuk membantu pemahaman penulis. Data yang bersifat sekunder merupakan data yang berkait dengan ekonomi makro yang dikemukakan oleh para ilmuan lain, baik ekonom muslim maupun umum (positif). Data sekunder ini terdiri dari dua kategori, yaitu pertama: karyakarya yang secara langsung mendiskusikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah dan John Maynard Keynes, dan kedua, karya-karya yang tidak secara langsung mendiskusikan pemikiran kedua tokoh yang dikaji dalam buku ini, namun pembahasannya masih dalam lingkup kebijakan publik. Data-data sekunder ini digunakan sebagai bahan penunjang dan pelengkap analisis. Data-data kepustakaan ini dibahas dengan pendekatan analisis diskriptif dan komparatif. Dengan cara deskriptif, dimaksudkan untuk menemukan pandangan kedua tokoh yang memliki latar belakang berbeda tersebut yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah, yaitu dalam hal ini kebijaksanaan fiskal. Sedangkan dengan metode komparatif dimaksudkan untuk membandingkan pemikiran Keynes dengan Ibn Taimiyyah. Pembandingan ini selanjutnya digunakan untuk menemukan aktualitas, melacak relevansi yang menunjuk pada keterhubungan yang bersifat fungsional tertentu dengan dimensi yang dipertanyakan. Akhirnya, dengan metode pendekatan analisis tersebut, penulis berusaha menelaah pemikiran kedua tokoh. Cara yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), yaitu menganalisis konsep dari pemikiran berbagai tulisan yang berkait dengan kebijakan fiskal, terutama yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah dan Keynes, serta kemungkinan kontribusi pemikiran tentang kebijaksanaan pemerintah yang Islami. Kajian ini membahas aturan-aturan Islam dalam bidang ekonomi, sehingga ia melibatkan diri dalam justifikasi hukum dan ideologiknya, dengan tidak mengabaikan signifikansi dan implikasi ekonomiknya. Pandangan artikel untuk menyampaikannya dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti, seperti yang dilakukan oleh Hicks, Hansen, Wilson, Joan Robinson, Klein dan lain-lain. 26 Keynes dihadapkan dengan gagasan-gagasan Ibn Taimiyyah dalam kerangka hukum. Hukum dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai Islami.47 Sistematika Buku Kerangka pembahasan dari studi ini dituangkan dalam lima bab yang saling terkait satu dengan lainnya secara sistematis. Bab satu memuat tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam buku ini, kerangka umum kebijakan publik, metode dan sistematika buku. Pada bab dua, penyusun mendiskripsikan latar belakang kehidupan masing-masing tokoh. Hal ini penting diketahui, mengingat pemikiran seorang tokoh tidak akan terlepas dari latar belakang sosio-historis yang melingkupinya. Kondisi pemikiran maupun praktek ekonomi makro sebelum kedua tokoh juga dikemukakan sebagai pijakan untuk memahami gagasan kedua tokoh, yang merupakan kelanjutan dan perkembangan dari pemikiran sebelumnya. Dengan mengenal lebih dekat seting sejarah kedua tokoh, diharapkan kita bisa menemukan pola-pola tertentu yang mempengaruhi bangunan pemikiran mereka Memasuki bab ketiga, dikemukakan pemikiran Ibn Taimiyyah tentang peranan pemerintah dalam kebijaksanaan ekonomi dengan memberi penekanan kepada kebijakan fiskal, juga disinggung tentang regulasi pasar dengan institusi hisbahnya. Sedangkan pemikiran ekonomi makro Keynes dikemukakan pada bab selanjutnya. Pada bab ini dikemukakan gagasan Keynes tentang urgensi intervensi pemerintah terhadap perekonomian suatu negara, yaitu dengan kebijakan fiskal yang bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja penuh. Setelah diuraikan konsep-konsep kebijakan ekonomi Ibn Taimiyyah dan Keynes, kemudian diakhiri dengan bab lima. Pada bab ini diuraikan tentang analisis komparatif pemikiran kedua tokoh, lalu dianalisa dengan kacamata konsep sistem ekonomi Islam, untuk dicari persamaan-persamaan dan 47 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hal. 5 27 perbedaannya serta menemukan alternatif terbaik dari keduanya. 28 Bab 2 MENGENAL LEBIH DEKAT TOKOH EKONOMI MAKRO (IBN TAIMIYYAH DAN JOHN MAYNARD KEYNES) Ibn Taimiyyah Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiu al-Din Ahmad Abu al-Abbas Ibn al-Syaikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim Ibn al-Syaikh Majd alDin Abi al-Barakat Abd al-Salam Ibn Abi Muhammad Abdullah Ibn Abi al-Qasim al-Khadri Ibn Muhammad Ibn al-Khadri Ibn Ali Ibn Abdillah.48 Ia lahir pada hari Senin, 10 Rabi‟ul Awwal 661 H atau 22 Januari 1262 M di Harran49, sebuah kota kecil di bagian utara Mesopotamia, dekat Urfa, di bagian tenggara Turki sekarang. Para Ulama berbeda pendapat tentang sandaran penasaban Ibn Taimiyah. Satu pendapat mengatakan bahwa Kakek dari Ibn Taimiyah pernah mengadakan perjalanan haji dan dalam perjalanan bertemu dengan seorang anak yang bernama Taimiyah, dan sekembalinya dari perjalannannya itu ia menemukan putrinya telah melahirkan seorang bayi dan kemudian bayi itu dinamakan Ibn Taimiyah. Sedangkan versi lain mengatakan bahwa penasaban Ibn Taimiyah adalah mengambil dari nama Ibu dari kakeknya yaitu Taimiyah.50 Masa-masa dilahirkannya ibn Taimiyah merupakan masa yang penuh dengan gejolak politik, dan merupakan titik balik sejarah bagi dunia Islam. Hal ini karena pada masa ini (yaitu menjelang abad ke-7 H, awal abad ke 8 H), dunia Islam dihadapkan pada situasi kemerosotan dan kemunduran. Kaum muslim terpecah-pecah ke dalam berbagai negara kecil. Raja-raja tersebut saling memandang raja lainnya lebih sebagai musuh daripada sebagai saudara seiman. 48 Moh. Ben Chener, “Ibn Taimiya”, dalam First Encyclopaedia of Islam, M. Houstsma, A. J. Weinsinch, T. W. Arnold, W. Hefening, E. Levi Provencal, ed., (Leiden: E. J. Brill, t.t.), hal. 421. 49 H. R. Gibb dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed., (Leiden: E. J. Brill, 1961), hal. 151 50 Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyah Hayatuhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Bairut : Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal.17. 29 Situasi yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya serbuan pasukan Mongol yang menyapu dunia Islam, mulai dari India sampai ke Mesir. Mereka merampok dan membunuh serta menghancurkannya. Bagdad sebagai pusat peradaban Arab pada waktu itu juga tidak luput dari serbuan Mongol, bahkan penduduknya banyak yang disembelih. Untuk menyelamatkan diri, keluarga Ibn Taimiyyah mengungsi dari tempat kelahirannya ke Damaskus pada tahun 1270 M (menjelang kedatangan pasukan Mongol).51 Pada saat itu usia Ibn Taimiyyah baru 7 tahun. Selanjutnya, keluarga Ibn Taimiyyah menetap di kota Siria itu. Selain serangan bangsa Tartar dari timur itu, dari barat umat Islam juga harus menghadapi serangan tentara Salib, dari dalam Islam sendiri digerogoti oleh permusuhan di antara para penguasa dan sekte-sekte Islam sendiri.52 Dengan demikian, di mana-mana terjadi kekacauan dan kebekuan, di samping itu kerusakan budi dan moral juga dalam sitasi yang amat parah. Sejumlah kecil universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan, dan tak diacuhkan. Pemerintah juga menjadi despotis, kadang-kadang terjadi anarki dan berbagai upaya pembunuhan.53 Ketidakpastian juga menghantui para penguasa muslim yang kebanyakan meninggal secara tidak wajar. Merekapun jarang menduduki jabatan efektif lebih dari tiga tahun. Seorang pegawai pemerintahan sering diangkat dan diberhentikan hingga berkali-kali selama hidupnya, meskipun ia memiliki kemampuan dan kompetensi.54 Setting Akademik Masa Ibn Taimiyyah Keluarga Taimiyyah dikenal berpendidikan tinggi yang sangat kental dengan tradisi Hanabilah55. Ayahnya, „Abdul Halim, pamannya Fahr ad-Din dan kakeknya Majd ad-Din merupakan ulama besar dari mazhab Hanbali. Dalam 51 H. R. Gibb dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, hal. 23. Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyyah, (Delhi: Adam Publiser & Distributors, 1992), hal. 39-41 53 L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia Baru Islam, 1966), hal. 29. 54 Brockelmaan, History of Islamic Peoples, (New York: G. P. Putnam‟s Sons, 1944), hal. 237 55 Ignaz Goldziher, “Ibn Taimiyyah” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, James 52 30 suasana keluarga yang secara turun temurun merupakan tokoh-tokoh Hanbali seperti itulah ibn Taimiyah memperoleh pendidikan. Dengan demikian, latar belakang pendidikan Ibn Taimiyyah secara esensial berpijak pada teologi dan pemikiran hukum mazhab Hanbali. Tetapi pengetahuannya tentang mazhab Hanbali justru mendorongnya untuk juga mendalami berbagai pikiran mazhab lain. Meskipun banyak pemikir menisbatkan Ibn Taimiyyah dengan mazhab Hanbaliah, namun dalam banyak hal sebenarnya ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan imam Hanbali. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Amin menunjukkan bahwa kesamaan usul al-fiqh antara keduanya sesungguhnya terletak pada kesamaan sikap antara keduanya dalam menerima hadis sebanyak mungkin, di samping juga memandang atsar as-sahabah dan fatawa at-tabi‟in sebagai bagian dasar hukum.56) Secara formal, Ibn Taimiyyah memulai belajar di sekolah Dar al-Hadis asSukkariyyah yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.57 Ia juga belajar pada para ulama terkemuka lain di kota Damaskus yang pada masa itu –di samping Mesir– merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaan Islam serta pusat berkumpulnya para ulama besar berbagai mazhab Islam.58 Guru-guru Ibn Taimiyyah berjumlah kurang lebih 200 orang.59 Di antara gurunya tersebut adalah, 1. Syams ad-Din al-Maqdisi, mufti pertama dari mazhab Hanbali di Suriah. 2. Ibn „Abd al-Qalawy, seorang ahli hadis, fiqh, nahwu dan pengarang. Salah satu karyanya adalah kitab al-Furuq. 3. Ibn „Abd ad-Da‟im (577-678), guru Ibn Taimiyyah di bidang hadis. Hastings, ed., (Eddinburgh: T. & T. Clark, 1990), VII, hal. 72. 56 Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 138 57 Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah: Hayatuhu wa Asruhu Ara‟uhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 17. 58 Qamaruddin Khan, The Political, hal. 11-12. 59 Laoust, Henry. “Ibn Taymiyya” dalam Encyclopaedia of Islam, B. Lewis, V. L. Menage, Ch. Pellat, dan J. Schacht, ed., (London: Luzac & Co., 1971), vol. III, hal. 951. 31 4. Al-Munaja‟ ibn Usman at-Tanuki (611-695), guru Ibn Taimiyyah bidang fiqh selain mengajar, ia juga seorang mufti, mufassir dan ahli nahwu.60 Ibn Taimiyyah mempunyai kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar biasa.61 Sadar akan kemampuan ini, ia berusaha untuk memanfaatkannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah tidak membatasi studinya hanya pada guru-gurunya saja, tapi di luar itu ia menelaah berbagai buku dalam berbagai disiplin ilmu yang berbeda secara otodidak. Literatur-literatur itulah yang nantinya lebih banyak membentuk wawasan dan analisisnya yang tajam. Ia juga memperkaya pengetahuannya dengan literatur-literatur masa kini (heresiographical literature), misalnya secara khusus tentang filasafat dan sufisme, seperti karya-karya al-Farabi, ibn Sina, ibn Rusyd, al-Ghazali, ibn „Arabi, dan lain-lain. Ia mempunyai pengetahuan yang luas mengenai Yunani seperti karya-karya Plato, Aristoteles dan sejarah Islam. Juga berbagai buku agama dari dua pokok di atas (Yunani dan Islam), hal ini dapat dibuktikan dari berbagai buku yang ditulisnya. Ibn Taimiyah telah menyelesaikan studi keagamaannya secara formal sebelum melewati usia 17 tahun. Pada saat itu ia telah mulai mengarang kitab. Kemudian, ia menjadi mufti pada usia 20 tahun. Sewaktu ayahnya wafat tahun 682 H/1284 M, ibn Taimiyah yang saat itu ia baru berusia 21 tahun telah menggantikan jabatan penting ayahnya. Pada tanggal 2 Muharam 683 H/1284 M ia mulai mengajar fiqh di Madrasah yang dipimpinnya. Setahun kemudian, 10 Saffar 684 H/1285 M, ia mulai memberi kuliah umum tafsir al-Qur‟an di Masjid Raya Damaskus sekaligus menjadi khatib. Masih pada tahun yang sama, ia menggantikan ayahnya sebagai guru besar hadis dan fiqh Hanbali di beberapa Madrasah terkenal yang ada di 60 Guru-guru yang lain misalnya, ibn Abi al-Yusr, al-Kamal ibn „Abd al-Majid ibn „Asakir, Yahya ibn asy-Syairafi, dan Ahmad ibn Abu al-Khair. 61 Sebagai contoh, diriwayatkan bahwa suatu ketika salah seorang guru Ibn Taimiyyah mendiktekan 11 matan hadis kepadanya. Kemudian setelah dibacanya sekali, ia telah menghafal seluruh matan hadis tersebut. Kelak, setelah ia menjadi guru hadis, banyak para ulama yang menyanjung dan memuji kehebatannya dengan mengatakan, “Kalau ada hadis yang tidak diketahui 32 Damaskus. Dalam waktu yang singkat, namanya menjadi termasyhur melebihi ahli-ahli hadis yang lain yang terkemuka pada masa itu, seperti ibn Daqaiq al-‟Id, Kamal ad-Din az-Zimlikani dan Syams ad-Din az-Zahabi,62 sehingga ia tampil sebagai tokoh utama mazhab Hanbali. Kedudukannya yang baru tersebut menandai permulaan karirnya yang kontroversial dalam kehidupan masyarakat sebagai teolog yang aktif. Namanya mulai dikenal sebagai seorang pemikir, memiliki ketajaman intuisi, berpikir dan bersikap bebas, setia kepada kebenaran, piawai dalam berpidato, dan lebih dari itu penuh keberanian dan ketekunan. Ia memiliki semua persyaratan yang mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa.63 Perbedaan pendapat berdasar mazhab sebenarnya telah dimulai sejak abad 4H, yaitu antara mazhab Syafi‟iyyah dengan Hanafiah. Perbedaan pendapat tersebut kemudian meruncing sampai masa Hanabilah. Hal ini menunjukkan adanya keterbatasan wawasan berpikir dan kecenderungan fanatisme mazhab. Selain itu terjadi pula perbedaan pendapat antara Mu‟tazilah dengan Asy‟ariyyah dan al-Maturidiyyah. Fanatisme dan perbedaan-perbedaan pendapat tersebut terus berlanjut sampai masa Ibn Taimiyyah. Namun hal itu tidak mempengaruhi pola pikir Ibn Taimiyyah. Ia tidak melihat siapa yang berpendapat, tapi ia berkonsistensi kepada dalil yang didasarkan pada pendapat sendiri. Jika terdapat konsistensi argumen, maka demikianlah yang ia ikuti, jika tidak ia menolaknya. Banyak pemikiran Ibn Taimiyyah yang dinilai “keterlaluan”, karena sering menyalahi pendapat yang secara umum telah dipegangi para fuqaha sebelumnya. Bahkan, ibn Batutah menilainya sebagai orang gila.64 Hasil pemikiran-pemikiran oleh Ibn Taimiyyah, maka itu bukan hadis.” 62 Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah, hal. 94. 63 Muhammad Abu Zahrah, Usbu‟ al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibn Taimiyyah, (Kairo: Matu'at al-Majlis al-A‟la li Ri‟ayat al-Funun wa al-Adab wa al-‟Ulum alIjtima‟iyyah, t.t.), hal. 691-4 64 Donald P. Little, “Did Ibn Taimiyya Have a Screw Loose?” dalam Studia Islamica, no. 42, 1975, hal. 95. Dengan pendekatan sosio-historis, secara kritis Little menunjukkan hal yang sebaliknya. Pada bagian akhir dari tulisannya tersebut, ia merekomendasikan, “If we want to understand the nature of the Ibn Taimiyyan phenomenon, by which I mean the full impact of his activities and his writings on the development of Islam, we must surely start with the nature of man himself.” 33 Ibn Taimiyyah yang jauh meninggalkan pola pikir pada masanya itu antara lain, 1. Seseorang diperkenankan untuk bertayamun meskipun ada air, demi mengejar keutamaan shalat berjamaah. 2. Diperkenankan mengqasar salat dan membatalkan puasa wajib bagi orang dalam perjalanan yang merasa kesulitan, meskipun belum mencapai jarak minimal yang telah disepakati para fuqaha. 3. Sa‟i cukup sekali bagi haji tamattu‟, sebagaimana juga cukup sekali sa‟i bagi haji qiran dan ifrad.65 Pandangan-pandangan ibn Taimiyah tersebut dinilai sangat aneh pada masanya mengingat kajian ilmiah di masanya cenderung memihak dan membawa fanatisme golongan atau mazhab. Masing-masing melihat bahwa akidah itu ada imamnya (dari orang yang terdahulu) dan diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Mereka berkeyakinan bahwa hanya pendapat mereka sajalah yang benar, sementara orang di luar mereka adalah salah. Kajian hukum Islam pada masa Ibn Taimiyyah tidak lebih baik dari kalam dan filsafat. Iqbal menggambarkan bahwa fuqaha di kala itu cenderung untuk memberikan penghormatan keliru terhadap masa lalu, dengan meyakini finalitas mazhab-mazhab serta meyakini tertutupnya pintu ijtihad. Berbagai khurafat didukung secara legal oleh ijma. Akibatnya, para ulama menjadi tidak lagi toleran, seperti pada kasus Mihnah al-Makmun yang menunjukkan ketiadaan toleransi perbedaan pendapat.66 Dalam hal ini Ibn Taimiyyah berupaya menyuarakan pentingnya penerapan hukum Islam dalam kehidupan individu dengan menjadikan negara dan pemerintah sekedar sebagai alat untuk merealisasikan hukum Islam tersebut.67 Dalam bidang tasawuf, Ibn Taimiyyah menekankan penentangannya 65 Untuk contoh dan pembahasan lebih jauh, lihat, Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 136-7 66 Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hal. 67 67 Hal ini terlihat dalam karyanya as-Siyasah asy-Syar‟iyyah dan al-Hisbah. Pembahasan lebih lanjut terdapat pada bab III. 34 terhadap tiga hal. Pertama, faham ittihad,68 kedua, kritik atau klaim mereka yang menyatakan bahwa barang siapa yang sampai pada puncak “kecintaan pada Allah” maka bagi mereka maksiat dan taat menjadi sama. Ketiga, adanya assu‟buzah (kepercayaan mistik) yang disertai dengan tarikat-tarikat yang muncul pada zamannya.69 Gagasan-gagasan dan pemikiran Ibn Taimiyyah berupaya mencari potensi pemikiran orisinal yang berkesinambungan hingga Nabi Muhammad SAW. Dampaknya terlihat terutama di bidang akidah, seperti ia tulis dalam risalahnya kepada penduduk Hammah berjudul al-Risalah al-Hamawiyyah. Kondisi Sosial-Politik Antara tahun 693/1294 sampai 728/1328, Ibn Taimiyyah telah 6 kali keluar masuk penjara. Keseluruhan waktu yang dihabiskannya di bui adalah 6 tahun lebih.70) Ketika berusia 32 tahun, Ibn Taimiyah pertama kali berurusan dengan penguasa Mamluk. Ketika itu ia melancarkan protes di Damaskus menentang seorang pendeta yang dituduh menghina Nabi Muhammad. Sekalipun katib Kristen itu kemudian ditahan dan dihukum, namun Ibn Taimiyah akhirnya juga ikut dicekal dengan tuduhan menghasut rakyat.71 Namun, justru di dalam penjara itu Ibn Taimiyyah memanfaatkan waktunya untuk menulis sebuah karya berjudul As-Salim al-Maslul „ala Syatim ar-Rasul.72 68 Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 82 69 H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Princeton: Princeton University Press, 1982), hal. 212-13 70 Donald P. Little, “The Historical and Historiographical Significance of the Detention of Ibn Taimiyyah” dalam International Journal of Middle East Study (IJMES), IV, 1973, hal. 313. Dalam artikel tersebut, secara umum Donald menyimpulkan sebab pemenjaraan Ibn Taimiyyah adalah; berkaitan dengan kedudukannya sebagai ulama penasehat agama sultan yang menimbulkan adanya “kecemburuan” ulama lain; adanya perselisihan pendapat dengan fuqaha lain; pertentangan dengan kaum sufi; dan karirnya yang menonjol di tengah-tengah masyarakat. 71 Gubernur Siria pada saat itu menawarkan dua pilihan bagi pendeta tersebut, yaitu: dihukum mati atau dimaafkan, jika mau masuk Islam. Tentu saja Asaf memilih menjadi muslim. Namun Ibn Taimiyyah tetap berkeras agar ia tetap dihukum mati meskipun telah menjadi muslim, sebab hukuman itu pantas bagi siapa saja yang menghina Nabi, baik ia Islam atau tidak. 72H enry Laoust. “Ibn Taymiyya”, hal. 951. 35 Ibn Taimiyyah juga pernah dipanggil Sultan di Mesir berkaitan dengan tuduhan memiliki sifat anthropomorfik (sifat manusia yang dikaitkan dengan bukan manusia). Ia tiba di Kairo pada tanggal 7 April 1306. Ia tidak diberi kesempatan yang layak untuk menjelaskan permasalahannya dan langsung dijebloskan ke dalam penjara. Setelah mendekam selama satu setengah tahun, ia dibebaskan pada 25 September 1307. Setelah dibebaskan, Ibn Taimiyyah memutuskan untuk tinggal beberapa hari di Kairo. Ia berusaha memulihkan keimanan penduduk sekitar, serta memperbaiki pandangan hidup mereka. Salah satu upaya tersebut adalah dengan memberikan kritik yang pedas terhadap beberapa pemikiran sufisme yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga mencela beberapa praktek bid‟ah yang merajalela. Ternyata Sultan Baibar alJasankir yang berkuasa saat itu sangat mendukung kaum sufi, karena itu Ibn Taimiyyah diasingkan ke Alexandria dan dikenakan tahanan rumah. Setelah sekitar tujuh bulan dalam pengasingan, ia dipanggil ke Kairo untuk dijadikan sebagai penasehat pribadi oleh Sultan Nasir Muhammad ibn Qalawun, yang berhasil memulihkan tahtanya pada tanggal 4 Maret 1310.73 Pengalaman dua kali dipenjara tidak menyurutkan nyali Ibn Taimiyyah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan empat mazhab hukum yang terkenal, bahkan dengan mazhab yang dianut pemerintah. Salah satu contohnya adalah keputusan hukum tentang perceraian. Ibn Taimiyyah berpandangan bahwa ucapan talak tiga kali sekaligus hanya dianggap sebagai talak satu. Selain itu, ucapan talak yang disampaikan dalam keadaan terpaksa hukumnya tidak sah. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat mazhab Hanbali yang dianut Sultan, oleh karena itu ia dipenjarakan lagi di Damaskus selam lima setengah bulan, dan dibebaskan pada 9 Februari 1321 atas keputusan sultan Nasir.74 Pengalaman di penjara untuk terakhir kalinya dirasakan oleh Ibn Taimiyyah karena fatwanya yang menentang praktek ziarah kubur pada saat itu, termasuk ke makam Rasulullah. Setelah terjadi perdebatan sengit dengan para 73 74 4 Ibid., hal. 952 Ibn Kasir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, 1981), IV, hal. 123- 36 ulama di masanya, akhirnya ia dijebloskan ke penjara Damaskus bersama beberapa muridnya.75 Di penjara inilah tokoh reformasi itu menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 20 Zulqa‟idah 728 H / 27 Setember 1328 M, setelah mendapat perlakuan yang kasar selama lima bulan. Berbagai kegiatan dan peristiwa yang dialami tersebut, sedikit banyak telah memberi warna bagi pandangan-pandangan politiknya. Di samping itu, sebagai seorang sunni, pandangan politiknya juga masih menunjukan trauma “fitnah besar” yang pertama, yaitu pembunuhan Usman ibn „Affan yang diikuti oleh peperangan antara kelompok pendukung „Ali ibn Abi Talib dan kelompok pendukung Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan, dan yang masih diteruskan dengan peristiwa pembunuhan Husain ibn „Ali oleh kelompok Mu‟awiyah pimpinan Yazid ibn Mu‟awiyah. “Trauma Fitnah” yang menjadi ciri pandangan politik IbnTaimiyah itu nampak pada pegangan eratnya pada hadis yang mengatakan bahwa kaum muslimin harus bersabar atas kejahatan para penguasa mereka dan sama sekali dilarang memberontak. Sebab menurutnya, hal itu adalah perkara yang paling memberikan maslahat untuk kehidupan duniawi dan akhirat.22 Kematiannya disambut dengan derai air mata ratusan ribu para pengagumnya. Mereka yang menghantar jenazahnya ke pemakaman itu bahkan menyajikan berbagai ragam tanda kehormatan yang sebenarnya perbuatan itu ditentang oleh Ibn Taimiyyah sendiri karena dianggap bid‟ah. Karya-Karya Ibn Taimiyyah Sebagai seorang ulama dan tokoh Islam terkemuka, ibn Taimiyah termasuk salah seorang yang sangat produktif. Berbagai kitab telah banyak ditulisnya, hampir mengenai setiap aspek dari Islam. Namun, dari karya-karya yang dihasilkan tersebut, ternyata tidak seluruhnya dapat tersimpan dengan baik. Banyak karya-karya yang hilang dan tidak mungkin ditemukan kembali. Hal ini 75 Ibid., XIV, hal. 123-4 Nurcholish Madjid, “Argumen untuk Keterbukaan, Moderasi dan Toleransi (Beberapa Pokok Pandangan Ibnu Taimiyah)”, dalam Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni dan bukan Muslim, Mochtar Prabottinggi, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 130. 22 37 setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang paling dominan adalah; pertama, ketidaksukaan ulama-ulama Islam yang tidak menyetujui pemikirannya dan yang pernah menerima kritikannya, seperti golongan Sunni, Rawafid, Mistik dan Ahl al-bid‟ah; faktor kedua, tekanan-tekanan politik yang dialaminya.23 Sekalipun demikian, seperti dituturkan Chener, setidaknya terdapat 500 karya yang telah dihasilkan oleh ibnTaimiyah yang bisa diselamatkan.24 Usaha untuk mengumpulkan karya-karya Ibn Taimiyyah tersebut dilakukan oleh „Abd arRahman ibn Muhammad ibn Qasim dengan bantuan putranya Muhammad ibn „Abd ar-Rahman. Sebagian karya itu kini telah terhimpun dalam Majmu‟ Fatawa yang berjumlah 37 jilid.76 Dari karya-karyanya ini, menurut Qamaruddin Khan, kebanyakan merupakan reaksi terhadap kondisi yang melanda kaum muslimin pada waktu itu.25 Karya-karya Ibn Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuan seperti tafsir, hadis, fiqh dan usul fiqh, akhlaq tasawuf, mantiq, filsafat, kalam, dan politik. Sebagian dari tulisannya, seperti Kitab ar-Radd „ala al-Mantiqiyyun, Ma‟arij al-Wusul, Minhaj as-Sunnah, dan Kitab Bugyah al-Murtad, tampak bersifat polemis dan bernada keras. Hal ini disebabkan karena karya-karya tersebut ditulis sebagai koreksi dan kritik terhadap berbagai praktek dan pemikiran pada saatnya yang dinilai tidak benar. Sesuai dengan pembahasan dalam buku ini, maka karyanya yang banyak berbicara mengenai obyek masalah ini dapat disebutkan antara lain: as-Siyasah Syar‟iyyah. Buku ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya tentang penunjukan dan pengangkatan para pejabat negara, pengelolaan kekayaan negara dan harta benda rakyat. Bagian kedua membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana, hak Tuhan dan hak sesama manusia, kemudian ditutup dengan dua pasal masing-masing tentang musyawarah dan tentang pentingnya suatu pemerintahan. 23 Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal. 1. Moh. Ben Chener, “Ibn Taimiya”, hal. 422. 76 Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah, hal. 32. 25 Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal.1. 24 38 Sesuai dengan pernyataannya sendiri, buku ini hanya berisi uraian singkat yang memuat garis-garis besarnya saja tanpa rincian yang mendetail. Selain itu, karya lain yang sejalan dengan pembahasan ini adalah al-Hisbah fi al-Islam dan Majmu‟ Fatawa yang merupakan kumpulan dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah yang terdiri dari 30 jilid. Karena sebagai kumpulan dari fatwa-fatwanya, maka secara lengkap karya ini kemudian diberi judul Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam. Karyanya yang lain antara lain Manasik al-Haj. Karya ini disusun sepulang Ibn Taimiyyah dari menunaikan ibadah haji pada tahun 1293 M. Ketika menunaikan haji tersebut, ia menyaksikan banyak praktek bid‟ah yang dilakukan para hujjaj. Sebagai protes kemudian disusunlah risalah tersebut. Karya Ibn Taimiyyah yang lain yang juga merupakan usaha penghapusan terhadap praktek bid‟ah adalah Risalah Ziyarah al-Qubur wa al-Istinjad bi al-Maqbur. Tulisan ini merupakan jawaban kepada orang-orang yang meminta fatwa kepadanya tentang ziyarah kubur, termasuk kuburan Nabi Muhammad saw. Ketika Ibn Taimiyyah terlibat dalam aksi protes tindakan Gubernur Syiria yang membebaskan „Assaf dari hukuman mati karena menghina Nabi Muhammad. Ibn Taimiyyah memprotes sikap gubernur dengan menulis kitab asSarim al-Maslul „ala Syatim ar-Rasul.77 Dalam karya ini, antara lain ia menyatakan bahwa masuknya seseorang ke dalam agama Islam tidak dapat membebaskannya dari hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya. Pada tahun 1299 M, Ibn Taimiyyah menulis sebuah risalah yang berjudul al-Fatawa al-Hamawiyah. Risalah ini ditulisnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan orang-orang Hammah yang menanyakan kepadanya tentang sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an. Karangan tersebut berisi tentang kritik-kritik Ibn Taimiyyah terhadap kesalahan akidah Jamiyyah, Mu‟tazilah, dan Asy‟ariyyah, dan memicu timbulnya perdebatan panjang dan sengit dengan para fuqaha, terutama qadi Jalal ad-Din al-Hanafi. Para lawannya menuduh Ibn Taimiyyah dengan sifat anthropomorfik.78 77H 78 enry Laoust,. “Ibn Taymiyya”, hal. 951. Ibid. hal. 952. 39 Karya Ibn Taimiyyah yang lain adalah Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah fi Naqd al-Kalam asy-Syi‟ah wa al-Qadariyyah. Kitab ini ditulisnya sebagai sanggahan terhadap teori pemerintahan imamah yang dikembangkan oleh kaum Syi‟i. Ia menilai konsep imamah sebagai gagasan yang tidak sesuai dengan ajaranajaran islam.79 Buah pena Ibn Taimiyyah yang lain, Iqtida as-Sirat al-Mustaqim menjelaskan keharusan kaum muslim mempertahankan identitas mereka di tengah-tengah masyarakat, dan harus berhati-hati agar tidak terhanyut dalam tata cara dan adat istiadat umat lain. Nasehat ini terutama dikhususkan untuk golongan minoritas islam.80 Kebijakan Fiskal Dinasti Mamluk Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh megenai pemikiran ekonomi makronya, maka kita perlu mengetahui praktek kebijakan negara yang terjadi pada masanya, yaitu dinasti Mamluk. Daerah kekuasaan dinasti Mamluk terbagi menjadi beberapa wilayah, seperti Tripoli, Gaza, Karak, Safad, Damascus, Hamah, Aleppo, Iskandariah, dan Kairo. Asal usul dinasti ini adalah dari para budak yang dididik militer. Selama abad 13 dan 14, budak-budak tersebut semula diambil dari Turki, kemudian pada abad berikutnya diambil dari Kaukasus. Mereka berasal dari berbagai ras, suku dan agama.81 Dalam strata sosial, generasi budak inilah yang menempati kelas pertama. Para elit penguasa dan penentu kebijakan negara berasal dari golongan ini. Kelas kedua adalah ahl al-imamah, yakni mereka yang bekerja dalam pemerintahan sebagai pegawai birokrasi, hakim, juru tulis, ilmuwan, ulama dan sebagainya. Lapisan terakhir adalah para pedagang dan bisnisman yang mempunyai kedudukan ekonomi cukup mapan. Di bawah mereka adalah lapisan terbawah yang terdiri dari para petani, tukang-tukang, tenaga kasar dan sebagainya. Kelas terakhir inilah 79 Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal. 7. Ibid., hal. 36-7 81 Carl F. Petry, “A Paradox of Patronage during the Later Mamluk Periode”, dalam The Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983, hal. 184 80 40 yang paling menderita, terlebih para petani, sebab mempunyai kewajiban pajak di luar batas kewajaran.82 Gambaran secara lebih lengkap tentang sistem perpajakan pada masa ini akan diuraikan pada bab ini. a. Sumber Pemasukan Sumber pemasukan dinasti Mamluk berasal dari pajak atas tanah, pajak atas barang tambang, perikanan dan industri, bea cukai, jizyah, zakat, harta warisan yang tidak mempunyai pewaris, pajak atas hiburan dan tontonan, serta kewajiban pembayaran untuk menyokong kepentingan militer, peperangan, dan kesejahteraan sultan. Pemasukan dari bidang pajak terdapat tiga macam yaitu pajak dari penduduk non muslim untuk mendapat perlindungan, pajak perdagangan dan pertukangan, serta pajak hasil produksi tanah.83 Sektor pertanian memperoleh prioritas pertama pada masa dinasti ini, sehingga dipertimbangkan sebagai sumber utama kesejahteraan masyarakat. Hal ini bisa dipahami, mengingat kehidupan masyarakat asli saat itu tergantung kepada hasil produksi pertanian.84 Sejak sebelum pemerintah dinasti Mamluk, seluruh tanah di Mesir dibagi menjadi 24 bagian. Empat bagian milik Sultan, 10 bagian berada di tangan gubernur (amir), dan 10 bagian lainnya diperuntukkan bagi anggota pasukan militer. Tanah-tanah tersebut dibagi-bagikan kepada para amir dan prajurit menurut sistem Iqta‟. 85) Sistem tersebut masih berlanjut hingga masa pemerintahan dinasti Mamluk. 86) Pada saat Sultan Lajin (1296-1298) berkuasa, ia telah melakukan 82 Jalal ad-Din „Abd ar-Rahman As-Suyuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa alQahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1968), hal. 95 83 Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books, 1992), hal. 136-7 84 Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), hal. 33 85 Sitem iqta‟ adalah pemberian hak kelola tanah oleh negara dengan tujuan untuk didayagunakan. 86 Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk li Ma‟rifah Duwal al-Muluk, Mustafa Ziyada dan Said „Abd al-Fattah, ed., (Kairo: Lajnah at-Ta'lif wa at-Tarjamah, 1973), II, hal. 841 41 perombakan sistem pemilikan tanah. Hal yang melatarbelakangi upaya perombakannya tersebut adalah untuk mengatasi perbuatan curang para amir yang mengambil tanah iqta‟ milik prajurit yang telah kehilangan hak pakainya, dengan dalih untuk dilindungi. Untuk maksud tersebut, ia mengeluarkan perintah pengukuran tanah. Kebijakan Sultan Lajin yang lebih dikenal dengan istilah “Husami Rawk” ini selain bertujuan menghapuskan proteksi tanah oleh amir, juga memilih seluruh tanah Mesir menjadi empat bagian untuk Sultan, 10 bagian untuk amir bersama prajurit, satu bagian disiapkan untuk mereka yang mengadu, dan sembilan bagian lainnya merupakan cadangan tanah iqta‟ bagi calon tentara yang baru. 87) Kebijakan sultan ini mengundang reaksi kurang puas di kalangan militer. Akibatnya, pemerintah Sultan Lajin dikudeta. Tampaknya, “Husami Rawk” itu dipandang tidak membawa manfaat apapun. Sebab, di satu sisi, tak seorang pun yang memperoleh tanah lebih luas dari sebelumnya. Di sisi lain sebagian besar tanah masih tersisa menganggur dan tidak terkelola. Belajar dari pengalaman program “Husami Rawk” yang gagal, Sultan AnNasir ibn Qalawun, yang naik tahta untuk kedua kalinya menggantikan Lajin pada tahun 1298, dengan segera mengajukan program reformasi yang berbeda dari “Husami Rawk”. An-Nasir memilah tanah masih menjadi 24 bagian. Sepuluh bagian di antaranya ditetapkan sebagai tanah iqta‟ yang diperuntukkan secara ekslusif kepada Sultan. Sisanya sebanyak 14 bagian diserahkan dalam bentuk iqta‟ pula kepada para amir dan prajurit. Selanjutnya prajurit yang tua dan yang cacat tidak diikutsertakan dalam kepemilikan tanah iqta‟ tersebut. Akan tetapi, sebagai ganti tanah iqta‟, mereka memperoleh gaji pensiun sebesar 3000 dirham setiap tahunnya. Reformasi An-Nasir ini berlangsung sukses dan membawa perubahan besar dalam sistem pertanahan di Mesir.88 Program Nasir ini dilakukan dua kali, 87 Ibid., hal. 841 Amalia Levanoni, A Turning Point in Mamluk History (The Third Reign of al-Nasir Muhammad ibn Qalawun 1310-1341), (Leiden: E. J. Brill, 1995), hal. 142 88 42 yaitu di Syria pada tahun 713/1313 dan di Mesir pada tahun 715/1315.89 Dalam rangkaian program reformasi tersebut, Sultan mendirikan sejumlah diwan untuk menjamin lancarnya pelayanan terhadap pelaksanaan keuangan publik. Dengan beberapa paket kebijakan ekonominya, Sultan Nasir dapat menaikkan pendapatan negara. Upaya untuk mendongkrak pemasukan negara juga dilakukan dengan meningkatkan perbaikan-perbaikan sarana bidang pertanian, sebab pemasukan dari bidang ini sangat besar. Nasir juga menaikkan pembayaarn iqta‟at dan al-khass dari 4/24 menjadi 10/24 dari seluruh tanah pertanian. 90 Pada masa Mamluk, zakat dan kharaj secara umum tidak dikenakan pada barang tertentu. Tetapi mereka seringkali mengenakan zakat pada barang-barang yang semestinya dibebaskan pengenaannya oleh syari‟at. Mereka juga tidak membatasi prosentase zakat yang harus dibayarkan misalnya dua setengah persen dari nilai barang atau sepuluh persen untuk hasil pertanian dan seterusnya. Demikian juga dalam pemungutan pajak.91 Untuk menambah pemasukan, pemerintah juga memungut pajak yang diambil dari tontonan dan hiburan, bahkan dari praktek prostitusi.92 Secara umum, praktek-praktek penyimpangan dalam pemasukan dan pengeluaran keuangan publik sebagaimana tergambar di atas, selalu terulang setiap pengangkatan sultan baru. Hal ini disebabkan pandangan para sultan Mamluk yang menganggap seluruh harta dan kekayaan negara sebagai miliknya.93 dan selalu mendapat kritikan dari para ulama pada waktu itu, termasuk Ibn Taimiyyah. Ibn Taimiyah sangat mencela sistem perpajakan yang tidak adil dan sumber penerimaan yang ilegal, di masanya. Alasannya, ia yakin bahwa kebijakan yang dilakukan pejabat yang berwenang saat itu tidak jujur dan berbeda dengan 89 Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk , II, hal. 127 Ibid. 91 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd arRahman ibn Qasim al-‟Asimi an-Najdi al-Hanbali, ed., (Riyad: Matabi‟ ar-Riyad, 1398 H ), XXX, hal. 343-44 92 Ibid., XXIX, hal. 591 93 Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, (Cambridge: Massachussetts, 1967), hal. 35-6 90 43 petunjuk syariat. Dalam bukunya Iqtida‟ as-Sirat al-Mustaqim, ia menilai bahwa sejumlah pejabat melakukan berbagai tipe kebijakan berbeda yang tak adil untuk meningkatkan penerimaan dana yang tidak sah. Menurutnya, seharusnya mereka hanya mengumpulkan penerimaan dari cara yang adil dan menggunakannya secara layak, dan mereka tak perlu melaksanakan pungutan dan cukai yang ilegal.94 Ibn Taimiyyah menambahkan, dalam praktek pelaksanaan penarikan pajak pada masa tersebut banyak sumber pemasukan pajak yang dinilai tidak legal (haram), karena nilai bebannya yang terlampau tinggi dan tidak disesuaikan dengan kemampuan para wajib pajak. Misalnya pajak yang dikenakan kepada penduduk berdasarkan pada jumlah binatang ternak yang mereka miliki, atau berdasarkan jumlah pohon yang mereka miliki. Penarikan pajak atas barang kebutuhan pokok yang seharusnya dibebaskan dari pajak. Pemungutan pajak kepada warga penduduk kota tertentu oleh gubernur secara spontan ketika pasukan datang, juga penarikan pajak untuk keperluan pesta resepsi sultan atau peringatan ulang tahun kerajaan, dan sebagainya. Penarikan pajak kepada penduduk yang sedang mengadakan perjalanan untuk berdagang, tengah menunaikan kewajiban haji, dan sebagainya.95 b. Pola Pembelanjaan Seperti juga administrasi hasil pendapatan, secara umum, pola pembelanjaan para penguasa dari Dinasti Mamluk, kebanyakan tak sesuai dengan aturan dan petunjuk syariat. Untuk pembayaran para menteri, gubernur, wazir, hakim dan pejabat agama lain dikeluarkan oleh bait al-mal. Juga pengeluarkan untuk pembangunan dam, kanal dan jalan. Tetapi, penerimaan terbesar negara dikeluarkan untuk kebutuhan istana sultan dan militer. Sebagian besar pajak dialokasikan untuk kepentingan Sultan, gubernur, para elit birokrasi dan militer. Sebagai contoh, pada tahun 1315 M, satu setengah bagian pajak diperuntukkan 94 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyyah tentang Pemerintahan, terj. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. 46 95 Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, XXX, hal. 337-8. 44 bagi kepentingan Sultan.96 Elit penguasa dan para petinggi militer mendapat pemasukan yang diperoleh dari iqta‟, gaji, bonus, dan uang sogokan yang jumlahnya secara fantastis melebihi pendapatan golongan masyarakat yang tinggal di kota. Para amir yang berkedudukan tinggi menerima gaji tetap 20.000 dinar atau lebih per tahun di tengah-tengah masyarakat di mana golongan rendahnya belum tentu dapat melihat emas dalam waktu setahun.97) Pengawas lapangan (muqta‟) dan gubernur memperoleh gaji kurang lebih 100.000 dinar per tahun. Sebagian besar pendapatan ini dihambur-hamburkan untuk kehidupan yang mewah. Sebagian digunakan untuk kepentingan seni dan arsitektur. Mereka mengeluarkan banyak biaya untuk memenuhi selera dan hobi dalam mengoleksi barang-barang mewah seperti keramik, baju yang mahal, barang pecah belah, dan perkakas dari logam.98) Pemerintahan Mamluk juga memberikan perhatian khusus pada industri pembuatan kapal. Sebab kapal dan perahu sangat berguna untuk pengangkutan barang-barang produksi dan pertanian dari dalam ke luar negeri. Terlebih penting lagi, kapal perang memiliki fungsi penting untuk mendukung ketahanan negara, seperti ketika menghadapi serangan pasukan Salib di Laut Tengah. Mengingat besarnya sumber pemasukan dinasti Mamluk dari pertanian, pemerintah menyediakan anggaran cukup besar untuk sarana dan prasarana pertanian. Misalnya, pada masa pemerintahan Sultan Nasir, sejumlah besar bendungan berskala besar dan kecil dibangun. Juga sejumlah kanal pengairan kanal digali.99 Pemerintah juga menyediakan sejumlah besar bibit pertanian berkualitas. Sejak itu jumlah produksi pertanian mampu melebihi kebutuhan negeri itu, bahkan mampu menyuplai sejumlah besar padi untuk rakyat rakyat 96 Kenyataan ini terbukti dengan adanya jabatan Nazir al-Khas yang bertanggungjawab atas penyediaan segala kebutuhan pangan dan sandang istana, kepala-kepala jawatan, para gubernur, qadi-qadi dan keuangan pribadi sultan. Lihat Sayuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.), II, hal. 84 97 Carl F. Petry, “A Paradox of Patronage During The Later Mamluk Period”, dalam The Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983, hal. 189 98 Ibid. 99 Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk, II, hal. 130 45 Suriah dan Hijaz.100 Selain itu, negara juga mampu menampung surplus produksi sebagai cadangan di musim paceklik.101 Pemerintah Mamluk juga memberikan perhatian pada kepentingan agama. Sebanyak 171 bangunan di Damascus didirikan untuk tujuan-tujuan keagamaan, selain itu mereka juga merenofasi bangunan-bangunan yang telah tua.102 Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan pengeluaran negara pada masa ini masih sangat jauh dari nilai-nilai keadilan. Ibn Taimiyah menggambarkan penyimpangan penggunaan keuangan publik tersebut, ًِصٚ , ِا يشيذٍٝا ِضاعذج ٌٗ عٙٔ إ:يٛيمٚ . وً ِذج,ٖن ِٓ أً٘ تٍذٌٍّٛا تعط اٙ ذجثٝ ِصً اٌجثاياخ اٌرٚ ,ُٙٔٗ ٌجيضْٛ ِا يجّعُٛ جيضا لادِيٓ يجّعٙٔٛ إِا ٌى:ْ ساذثاٛالج أحيأا ِٓ غيش أْ يىٌِٛا يطٍثٗ ا . رٌهٛٔحٚ ,ٌٌٗذٚ زٚحذَٚ اٌضٍطاْ أٚ ومذ:اسضْٛ ٌثعط اٌعُٛ يجّعٙٔٛإِاٌىٚ 103 ّ ْ أخز تالحٛ فمذ يى, األخزٌٝاتإٌضثح إٌٙإّٔا يخرٍف حاٚ ... .ًْ أخز تثاغٛلذ يىٚ ,ك John Maynard Keynes John Maynard Keynes, yang juga sering disebut dengan Lord Keynes dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1883 di Cambridge, dan meninggal pada tanggal 21 April 1946.104 Ia merupakan anak dari pasangan John Neville Keynes (18521949), seorang ahli ekonomi dan Florence Ada Brown, salah seorang wanita pertama yang menjadi mahasiswi.105 Setelah lulus dari Universitas Cambridge, ibunya menjadi wali kota Cambridge.106 Keynes betul-betul cerminan seorang cendikiawan tulen. Selain ahli dalam bidang ekonomi, yang didukung oleh kepiawaiannya dalam ilmu matematik, ia 100 Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 33 Khalil ibn Syahin Az-Zahir, Zubdah Kasyf al-Mamalik, (Kairo: Matba‟ah alJumhuriyyah, 1984), hal. 122 102 Ira M. Lapidus, Muslim Cities, hal. 199 103 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXX, hal. 338-9 104 Hyman P. Minsky, "Keynes, John Maynard", dalam Encyclopedia Americana, Bernard S., dkk. ed., vol. 16, (Danbury: Grolier Incorporated, 1983), hal. 412. 105 David McCord Wright, The Keynesian System, (New York: Fordham U.P., 1962), hal. ix 106 George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi., (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 158 101 46 juga mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang politik, falsafah, dan bahkan juga sangat mengerti dengan dunia sastra, seni lukis teater, drama dan bahkan tari balet klasik. Kesukaannya pada seni tari inilah yang mempertemukannya dengan seorang penari balet, Lydia Lopokova, yang kelak menjadi istrinya. Kepiawaian istrinya dalam seni tari dibuktikan dengan penghargaan yang disandangnya: Diaghilev‟s Ballet Russes.107 Keynes juga sangat menggemari pesta, acara makan-makan bersama, rekreasi, dan menonton pertunjukan seni. Kesenangan dan perhatian Keynes terhadap dunia seni dan sastra tidak hilang meskipun ia mulai sibuk dengan pekerjaan-pekerjaannya di Cambridge. Bahkan untuk mendukung dan mengembangkan perkembangan seni ia banyak mengeluarkan biaya, tenaga dan waktu demi terbentuknya Cambridge Theater.108 Keynes mula-mula memperoleh pendidikan di Eton. Sebagai seorang murid yang pintar, ia banyak memenangkan berbagai hadiah dan penghargaan dalam bidang matematik, bahasa Inggris, dan seni klasik. Kemudian Keynes melanjutkan pendidikan ke King‟s College, Cambridge. Selama di universitas ini ia memperoleh nilai terbaik dalam bidang utama matematik. Di cambridge, selain matematik, ia juga memperdalam falsafah dari gurunya Alfred Whitehead. Sedangkan pelajaran-pelajaran ekonomi ia peroleh di bawah bimbingan Alfred Marshall dan Arthur C. Pigou.109 Namun, Keynes sering mendapatkan nilai rendah untuk mata kuliah ekonomi, sebab ia sering mempunyai pemikiran yang berbeda dengan guru-gurunya. Menanggapi hal ini ia berkata, “I evidently know more about economics than my examiners !”110 Karena bermaksud untuk menjadi pegawai negeri sipil dalam bidang keuangan, Keynes berupaya membekali diri dengan pengetahuan ekonomi. Setelah lulus sebagai juara dua dalam saringan tersebut, ia ditempatkan di kantor urusan 107 Longman, “Keynes”, dalam Dictionary of 20th Century Biography, Alan Isaacs dan Elizabeth Martin, ed.., (Harlow: Market House Books Ltd., 1985), hal. 279. 108 Gerhard W. Ditz, “Smith and Keynes: Religious Differences in Economic Philosophy” dalam Bijdragen:Tijdschrift voor Filosofie en Theologie, tahun 1988, hal. 69 109 George Soule, Pemikiran Para Pakar, hal. 278. 110 Sebagaimana dikutip dari R. F. Harrod, The Life of John Maynard Keynes oleh 47 India. Di sana banyak waktu luang yang ia manfaatkan untuk membaca koran. Merasa sayang dengan waktunya yang banyak terbuang, Keynes mulai mempersiapkan diri untuk menyusun tesis dalam bidang ekonomi, dengan harapan dapat diangkat sebagai tenaga peneliti di Universitas Cambridge. Meskipun akhirnya keinginan itu gagal, namun Marshall melihat bakat yang terpendam dalam diri Keynes. Kemudian ia diangkat sebagai asistennya. Tahun berikutnya, setelah merevisi tesisnya, ia diterima sebagai tenaga pengajar. Selain sebagai staf pengajar di Cambridge, atas dukungan Marshall, Keynes menjadi editor sebuah jurnal ilmiah yang cukup ternama, yaitu Economic Journal. Pada tahun 1913 ia diangkat menjadi anggota komisi untuk urusan mata uang dan keuangan India. Dalam komisi itu ia terlihat menonjol karena mempunyai kemampuan yang bagus untuk mengkombinasikan pengetahuan teoritis dengan hal-hal praktis. Di sela-sela kesibukannya Keynes masih menyempatkan diri untuk mengumpulkan buku-buku tua (langka), juga menjadi seorang businessman, yaitu dengan memenej investasinya di pagi hari sebelum sarapan, dan menjadi anggota diskusi The Bloomsbury Group.111 Dari grup ini Keynes kenal dengan tokoh-tokoh seperti Lytton Strachey dan Leonard Woolf.112 Dalam usia yang sangat muda (sekitar 26 tahun) Keynes telah menjadi anggota tim delegasi Inggris untuk melakukan perundingan perdamaian Versailes pada tahun 1919. Keynes yang saat itu sebagai pejabat Kementrian Keuangan meminta berhenti dari jabatannya, sebab tidak sependapat dengan kebijakan penetapan pampasan perang bagi Jerman yang menurutnya terlalu tinggi. Mulai saat itulah namanya mulai dikenal sebagai ahli ekonomi-politik. Sebagai seorang ahli ekonomi politik, kepentingan utamanya adalah pembahasan mengenai hubungan antara pemerintah dengan ekonomi. Namun baginya ilmu ekonomi lebih penting daripada ilmu politik. Ia berpendapat bahwa jika seorang politikus menjalankan tugasnya dengan benar; sesuai dengan ilmu Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.148. 111 Longman, "Keynes”, hal. 63 112 Michael Stewart, Keynes and After, (Harmondsworth: Penguin Books, 1967), hal. 14 48 ekonomi, maka semua problem ekonomi dalam negara akan dapat diselesaikan dengan baik.113 Masa setelah pengunduran dirinya, yakni tahun 1920-an, merupakan suatu masa yang sangat makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pesatnya pembangunan pada saat ini digambarkan oleh William J. Boyes, The 1920s was a period of generally high prosperity and economic growth. GNP in constants dollar increased by 42 percent between 1920 and 1929. Construction was booming. The automobile was revolutionizing life styles. Everyone seemed optimistic and prosperous as was reflected in clothing styles and the popular dance, the Charleston. Soaring stock prices mirrored America‟s optimize in regarding the future. Popular opinion was that growth and prosperity would continue forever...114 Namun, kemakmuran tersebut tidak berumur panjang. Sejak “The Black Thursday,” 24 Oktober 1929, perekonomian mulai terguncang. Dalam waktu yang singkat terjadilah pengangguran besar-besaran, yang dikenal dengan “Great Depression”. Dalam situasi seperti itu, ia diangkat sebagai anggota Panitia Macmillan untuk Keuangan dan Perindustrian (tahun 1930). Dan pada tahun itu juga Keynes menerbitkan The Treatise on Money yang disusun sebagai upaya untuk melancarkan kecaman tajam atas keputusan pemerintah untuk kembali ke standar emas. Banyak saran Keynes yang dimasukkan ke dalam program New Deal Presiden Franklin D. Rosevelt yang dibentuk pada tahun 1930. Keynes bertugas untuk yang keduakalinya dalam Kementrian Keuangan selama perang dunia kedua, dan memikul tanggung jawab bagi perundingan dengan Amerika Serikat mengenai perjanjian Lend-Lease.115 Ia memegang peranan utama dalam Perjanjian Bretton International IMF (International Monetary Fund) di Bretton Woods pada tahun 1944.116 Atas jasa-jasanya yang sangat besar tersebut, ia kemudian diangkat sebagai “Baron”, suatu gelar 113 Ibid., hal. 61. William J. Boyes, Macroeconomics: The Dinamics of Theory and Policy, (Ohio: South Western Publishing Co., 1982), hal. 60 115 Longman, "Keynes”, hal. 278 116 Hyman P. Minsky, "Keynes, John Maynard ", hal. 413 114 49 kebangsawanan yang sangat tinggi dalam masyarakat Eropa. Setelah Perang Dunia II, kebijaksanaan Keynes mengenai bebas pengangguran diterima oleh AS, dan banyak negara lain. Pandangan Keynes sering dianggap sebagai dasar kebijakan ekonomi modern. Dikatakan David bahwa, “We are all Keynessian today,” sebab semua ahli ekonomi modern menggunakan teori Keynes sebagai pendekatan terhadap kebijakan ekonomi.117 Ketenarannya dalam bidang ekonomi dapat disejajarkan dengan Adam Smith dan Karl Marx.118 Ia banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrindoktrin klasik. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Ekonomi Pembangunan”, Bapak Ekonomi Makro”119, sebab kalau dulu dalam tradisi klasik maupun neo-klasik analisis-analisis ekonomi lebih banyak bersifat mikro, sejak Keynes analisis ekonomi juga memperhatikan makro, yaitu dengan melihat hubungan di antara variabel-variabel ekonomi secara agregatif. Keynes sering dibandingkan dengan John Stuart Mill. Keduanya memang sama-sama menolak teori klasik, dan berani menempuh perjalanan yang berbeda dengan pendahulunya. Perbedaannya J.S. Mill gagal membangun teori baru yang berbeda dengan pakar-pakar pendahulunya (terutama oleh Rocardo). Sedangkan Keynes berhasil menemukan jalan keluar dari masa lalu, yaitu dari tradisi laissez faire yang dianut oleh para ahli ekonomi klasik dan neo-klasik, seperti gurunya sendiri Alfred Marshall. Keynes kemudian berhasil membentuk suatu teori ekonomi baru, sehingga terjadi revolusi. Apa yang dilakukan Keynes dalam mengembangkan teori-teori baru dapat dijelaskan sebagai reaksi intelektual terhadap masalah-masalah yang dihadapi pada masanya. Ia ingin mengetahui kekuatan-kekuatan yang telah menyebabkan terjadinya pengangguran besar-besaran di Inggris pada tahun 1920-an dan depresi besar-besaran tahun 1930-an. Prosentase pengangguran pada saat itu mencapai 117 David McCord Wright, The Keynesian, hal. x Michael Stewart, Keynes and After, hal. 13 119 Pengertian “makro dan “mikro” itu sendiri sebenarnya bukan bersumber dari Keynes, tetapi dikembangkan kemudian oleh Ragnar Frish, seorang tokoh ekonomi berkebangsaan Norwegia. 118 50 20%.120 Teori-teori yang telah mengakar pada saat itu dinilai tidak mampu menjelaskan gejala unemployment yang berkepanjangan ini. Karya-Karya Keynes Sebagai seorang pakar ekonomi ulung, ia telah banyak menulis buku. Pada tahun 1913 ia menulis Indian Currency and Finance, yang memperlihatkan ketertarikannya pada masalah-masalah moneter. Tulisan berikutnya adalah The Economic Consequences of the Peace, yang terbit pada tahun 1919, yang berisi tentang problem-problem utama yang dihadapi dunia politik dan perekonomian pada saat itu. Dalam buku ini, ia banyak mengkritik cara-cara yang digunakan oleh negara-negara yang menang perang dalam Perang Dunia Pertama dalam menekan negara-negara yang kalah perang. Walaupun dalam perjanjian Versailes ia mewakili pemerintah Inggris, namun tidak urung ia mengkritik cara-cara yang digunakan negara-negara menang tersebut dalam menekan Jerman dengan syarat pembayaran utang perang yang sangat berat. Pada buku tersebut ia memperkirakan bahwa tekanan-tekanan tersebut akan menumbuhkan rasa dendam dan marah dari masyarakat Jerman.121 The Economic Consequences of the Peace merupakan sebuah karya yang sangat kritis,122 dan menjadi best seller pada saat itu, sehingga mampu mengangkat nama Keynes ke taraf internasional.123 Kemudian pada tahun 1922 ia menulis A Revision of The Treaty. Kedua buku yang disebutkan terakhir ini disusun sehubungan dengan pengalamannya dalam delegasi perdamaian Versailles. pada tahun 1923 ia menulis Tract on Monetary Reform. Karya Keynes yang lain ialah A Treatise on Money (1930) yang terdiri dari dua volume. Buku ini memperlihatkan keprihatinannya terhadap perubahan daya beli uang pada tahun 1930-an. Volume pertama khusus menyajikan teori120 Michael Stewart, Keynes, hal. 9 Dua puluh tahun kemudian, apa yang menjadi perkiraan Keynes tersebut menjadi kenyataan, di mana Jerman yang kalah pada Perang Dunia I, melakukan balas dendam dengan memprakarsai Perang Dunia II di bawah komando Hitler. 122 E. G. Rupp, “Keynes”, dalam Encyclopaedia Britanica, vol. 13, Warren E. Preece, dkk., ed, London: William Benton Publisher, 1965, hal. 320 121 51 teori tentang arti dan peran uang dalam perekonomian secara murni, dan dalam volume kedua dijelaskan bagaimana teori-teori murni tentang uang tersebut diterapkan dalam perekonomian.124 Problem utama perekonomian yang dihadapi sejak tahun 1930-an, adalah meluasnya pengangguran kerja, di mana menurut teori klasik, seharusnya pengangguran itu dapat terhapus sedikit demi sedikit dengan pemahaman teori “invisible hand”-nya. Namun setelah beberapa tahun teori ini tidak terbukti menyelesaikan problem unemployment, Keynes mulai meninggalkan teori ini. Ia mencoba menawarkan pendekatan baru terhadap masalah itu dengan menerbitkan bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money. Teori klasik, dalam pendangan Keynes, mengandung banyak kelemahan, dan karena itu perlu diperbaiki dan disempurnakan, sebagaimana ia tulis di awal bukunya, I have called this book The General Theory of Employment, Interest, and Money, placing the emphasize on the prefix general. The object of such a title is to contrast the character of my arguments and conclusions with those of the classical theory of the subject, upon which I was brought up and which dominates the economic thought, both practical and theoretical, of the governing and academic classes of this generation, as it has for a hundred years past.125 (Saya memberi judul buku ini dengan Teori Umum mengenai Kesempatan Kerja, Bunga dan Uang, dengan memberi penekanan pada kata umum. Maksud dan tujuan dari pemberian judul itu adalah untuk membedakan antara argumen-argumen dan kesimpulan saya dengan teori Klasik mengenai persoalan tersebut, sebuah teori yang saya dibesarkan di dalamnya dan telah menguasai pemikiran ekonomi, baik praktis maupun teoritis dari kalangan pemerintahan maupun dunia akademik pada saat ini, sebagaimana seratus tahun yang lalu). Aliran Ekonomi Klasik Aliran ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith (1723-1780). Sistem 123 Michael Stewart, Keynes, hal 16 Sebelum terbitnya The General Theory tahun 1936, Keynes masih mengikuti alur pemikiran klasik dan neo-klasik. 125 John Maynard Keynes, General Theory of Employment, Interest and Money, (London: 124 52 baru yang diperkenalkan melalui karyanya The Wealth of Nations tersebut, dimaksudkan untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme yang membenarkan adanya campur tangan pemerintah dalam seluruh sistem perekonomian. Dalam hal ini, Smith mengkampanyekan peran minimal pemerintah yang terbatas pada fungsi pemeliharaan ketertiban dan kesejahteraan hidup masyarakat, perlindungan hukum, dan fungsi keamanan serta ketahanan negara. Jadi, sistem ekonomi ini lebih mempercayakan aktivitas ekonomi negara kepada mekanisme pasar. Smith yakin bahwa cara ini akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang lebih luas bagi negara. Para teoretisi aliran klasik mempunyai harapan untuk menciptakan masyarakat yang adil. Menurut mereka, tatanan seperti itu hanya bisa dicapai bila kegiatan individu diberi kebebasan untuk mengelola kepentingannya sendiri. Setiap individu paling mengerti tentang apa yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena itu harus ada kebebasan dan otonomi bagi individu dalam kegiatan bermasyarakat. Tiap individu berhak untuk mencari bidang usaha untuk menghasilkan barang atau jasa yang dikehendakinya tanpa ada pembatasan. Smith menyatakan bahwa pelarangan terhadap sejumlah besar orang yang ingin menggunakan seluruh daya dan upayanya sesuai dengan cara yang mereka anggap menguntungkan mereka, merupakan suatu bentuk pelanggaran atas hakhak kebebasan kodrati dan keadilan.126 Kritik mereka terhadap monopoli dan sistem ekonomi merkantilisme merupakan penjabaran dari pendapatnya tersebut. Sistem Laissez faire (pasar bebas) dianggap sebagai sistem yang dapat menciptakan keadaan persaingan yang sempurna. Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, diserukan kepada negara untuk memberlakukan pasar bebas dan persaingan secara leluasa. Menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik dalam suatu perekonomian yang diatur oleh mekanisme pasar maka tingkat penggunaan tenaga kerja penuh akan selalu tercapai. Pandangan ini didasarkan kepada kenyakinan bahwa di dalam Macmillan, 1936), hal. 1 126 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and the Wealth of Nations, Edwin Cannan, ed., (New York: The Modern Library, 1985), hal. 141, 308 53 perekonomian tidak akan terdapat kekurangan permintaan. Apabila para produsen menaikkan produksi mereka atau menciptakan jenis-jenis barang yang baru maka di dalam perekonomian akan selalu terdapat pemintaan terhadap barang tersebut. Maka di dalam perekonomian pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan permintaan.127 Dengan kata lain penawaran yang bertambah akan secara otomatis menciptakan pertambahan permintaan. Kenyakinan ahli-ahli ekonomi klasik bahwa penawaran akan selalu menciptakan permintaan dapat dengan jelas terlihat dari pandangan Jean Babtiste Say (1767-1832), seorang ahli ekonomi klasik bangsa Prancis yang mengatakan: “Supply creates its own demand”. Menurut pendapatnya dalam setiap perekonomian akan jarang sekali terjadi masalah kelebihan produksi. Apabila terjadi masalah kelebihan produksi, maka hal itu hanya bersifat sementara. Mekanisme pasar akan membuat penyesuaian-penyesuaian sehingga akhir jumlah produksi akan turun di sektor-sektor yang mengalami kelebihan produksi dan akan naik di sektor-sektor di mana permintaan terhadap produksi mereka sangat berlebihan. Dari harga tiap produk yang terjual, akan diperoleh imbalan jasa berupa upah, bunga laba, dan sewa tanah. Imbalan jasa itu dalam keseluruhannya akan memadai jumlahnya untuk pembelian barang yang bersangkutan. Memang terdapat kemungkinan sebagian khalayak umum akan menabungkan sebagian dari pendapatannya. Namun demikian, tabungan yang dimaksud pada suatu saat akan disalurkan sebagai investasi. Hal ini akan membawa pada pengeluaran yang berdampat pada meningkatnya pendapatan proses produksi. bagi mereka yang terlibat dalam 128) Kaum klasik juga percaya bahwa dalam tingkat keseimbangan, semua sumber daya, termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (fullyemployed). Dengan demikian di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Dengan demikian di bawah sistem yang didasarkan 127 John Maynard Keynes, The General Theory, hal. 32-4 Agus Miftahus Surur, “Pasar, Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi”, dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.-Des.1999, hal. 6 128 54 pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Tenaga kerja bersedia bekerja dengan tingkat upah yang lebih rendah, sebagai akibat dari turunnya harga (upah) karena supply tenaga kerja yang berlebih. Kesediaan untuk bekerja dengan tingkat upah lebih rendah ini akan lebih menarik perusahaan untuk mempekerjakan mereka lebih banyak, karena demand akan tenaga kerja akan meningkat seiring dengan turunnya upah tenaga kerja.129 Jadi, dalam pasar persaingan sempurna mereka yang mau bekerja pasti akan memperoleh pekerjaan. Perkecualian berlaku bagi mereka yang “pilih-pilih” pekerjaan, atau tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang diatur oleh pasar. Kedua jenis penganggur ini oleh kaum klasik tidak digolongkan pada penganggur, melainkan disebut sebagai voluntary unemployment (pengangguran sukarela).130 Apabila asumsi-asumsi yang dinyatakan oleh para pemikir ekonom klasik di atas benar, maka perekonomian negara akan berjalan lancar dengan sendirinya. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap pasar. Peran ideal pemerintah hanya dibatasi pada hal-hal tertentu untuk menghindari terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu. Mengenai peran ideal negara ini, Adam Smith menganjurkan tiga tugas kekuasaan negara, yaitu; untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan komunitas lain, melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan menegakkan kepastian sektor publik dan institusi publik yang bebas dari kepentingan individu. Sehingga, anggapan bahwa prinsip tidak ikut campur merupakan suatu doktrin mutlak dari pasar bebas merupakan suatu kekeliruan dalam membaca ajaran Smith.131 Smith memberikan tempat yang sentral bagi peran pemerintah justru demi menegakkan keadilan dan demi terjaganya hak-hak individu. Dengan kata lain, dalam kondisi normal negara bersikap pasif, namun ketika terjadi pelanggaran terhadap individu maka negara mempunyai legitimasi moral untuk melakukan 129 John Maynard Keynes, The General Theory, hal. 112 Ibid., hal. 6-8 131 Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 179 130 55 intervensi secara, minimal-efektif sebagaimana diungkapkan Sonny Keraf.132 Artinya, pemerintah hanya diperkenankan untuk ikut campur tangan secara minimal, khususnya dengan alasan demi tegaknya keadilan. Sedangkan campur tangan berlebihan yang bersifat distorsif dianggap sebagai pelanggaran atas keadilan. Aliran klasik kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh neo klasik. Di antara mereka adalah Robert E. Lucas Jr., Thomas J. Sargent, Edward C. Prescott, Finn E. Kidland, John Long, Charles Plosser, dan Irving Fisher.133 Dari sekian banyak tokoh Neo Klasik, yang dianggap sebagai tokoh paling utama adalah Alfred Marshall (1842-1924), salah satu guru Keynes. Marshall dianggap sangat berjasa dalam memperbarui asas dan postulat pandangan-pandangan ekonomi yang dikemukakan pakar klasik dan neo klasik sebelumnya. Menurut Marshall, pertemuan antara permintaan dan penawaran yang menentukan harga yang terbentuk di pasar. Kalau harga yang terbentuk di pasar lebih besar dari biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang, berarti perusahaan dalam jangka pendek memperoleh keuntungan. Tetapi dalam jangka panjang keadaan akan kembali normal. Sebab, keuntungan yang dinikmati perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan lain masuk pasar. Makin banyak perusahaan masuk pasar berarti semakin banyak pula produksi dan penawaran. Kelebihan penawaran atas permintaan akan memaksa harga-harga turun, dan keadaan kembali pada situasi semula. Dengan demikian, apa yang dikemukakan oleh Marshall tetap dalam kerangka pemikiran klasik; bahwa mekanisme pasar bebas akan menjamin kestabilan ekonomi. Perbedaan antara Marshall dengan kaum klasik ialah dalam pendekatan penelitian. Kalau kaum klasik lebih banyak menggunakan metode induktif, Marshall mengkombinasikan metode induktif dengan metode deduktif. Selain itu, kelebihan 132 Marshall dari ekonom-ekonom lain ialah bahwa ia sangat Sonny Keraf, “Keadilan, Pasar Bebas, dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith”, dalam PRISMA, 9 Sept. 1995, hal. 11 133 Michael Parkin and Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1992), hal.16 56 memperhatikan nasib orang miskin. Bagi Marshall ilmu ekonomi merupakan alat dan sarana untuk memperbaiki kesejahteraan ummat manusia. Selain Marshall, tokoh neo klasik yang terkenal adalah Arthur Cecil Pigou (1877-1959). Pigou merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep real balance effect, yang kemudian lebih dikenal dengan dampak Pigou. Dampak Pigou adalah suatu stimulasi kesempatan kerja yang disebabkan oleh meningkatnya nilai riil dari kekayaan likuid sebagai konsekuensi dari turunnya harga-harga. Sewaktu nilai kekayaan riil naik maka konsumsi akan naik, yang berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan terbukanya kesempatan kerja baru.134 Pandangan ini merupakan salah satu dasar mengapa kaum klasik dan neo klasik percaya bahwa keseimbangan kesempatan kerja penuh (full-employment equilibrium) dapat dicapai sebagai hasil penurunan dalam tingkat upah. Karya Pigou tentang teori moneter, kesempatan kerja dan pendapatan nasional yang mengikuti tradisi klasik telah membawanya pada kontroversi dengan Keynes. Walaupun mereka sering berdebat, tetapi Pigou dan Keynes beserta Joan Robinson banyak memperbaiki konsep Marshall, terutama dari segi permintaan. 134 George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal. 154 57 Bab 3 PEMIKIRAN KEBIJAKAN PUBLIK IBN TAIMIYYAH Perkembangan Awal Kebijakan Publik Islam Sistem administrasi pemerintahan pada masa Nabi belum begitu kompleks. Ini dapat dipahami karena Beliau hidup di negara kecil Madinah yang baru berdiri, dan dengan kebijakan ekonomi yang masih sangat sederhana. Sepeninggal Beliau, negara Islam mulai menembus batas semenanjung Arabia, terlebih pada masa pemerintahan Umar. Kompleksitas dalam pengelolaan administrasi negara di wilayah taklukan menuntut perlunya sebuah sistem pemerintahan yang lebih profesional dan efisien. Khalifah Umar merupakan salah seorang sahabat Nabi yang memiliki pemahaman paling kritis. Pada masa Khulafa al-Rasyidun, pendapatan negara yang sebagian besar diperoleh dari hasil perluasan wilayah dan rampasan perang masih sangat mencukupi untuk kebutuhan-kebutuhan negara. Dengan cara pembelanjaan harta yang cermat dan efisien serta memegang teguh prinsip amanah, kondisi keuangan negara berlangsung dengan baik.135 Sebagai gambaran, maksimalisasi institusi Bait al-Mal (menjadi lembaga reguler dan permanen) pada masa Khalifah Umar adalah dilatarbelakangi dengan kedatangan Abu Hurairah yang menjabat sebagai Gubernur Bahrain, yang membawa dana pemungutan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham. Sejak saat itu, untuk pertamakalinya dalam sejarah Islam, Umar memutuskan untuk tidak menghabiskan pendapatan pajak tersebut, namun dicadangkan untuk kepentingan negara.136 Kebijakan ini jelas merupakan suatu kebijakan yang tidak populer pada masanya. Meskipun ketika memutuskannya Khalifah telah mengumpulkan para tokoh Sahabat untuk mendiskusikannya, tidak urung keputusan itu tetap menjadi 135 Banyak kisah keteladanan yang menggambarkan kejujuran dan keamanahan Khulafa al-Rasyidun. Di antaranya adalah kisah-kisah tentang bagaimana mereka berpakaian, fasilitas yang diperoleh sebagai khalifah, bagaimana mereka menjalankan tugas, memilah harta pribadi dengan kekayaan negara, dan sebagainya. 136 Sebagaimana dikutip Adiwarman Karim Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafinso Persada), hlm. 59. 58 polemik di kalangan mereka. Salah seorang sahabat yang tidak sepakat dengan kebijakan ini adalah Imam Ali. Selanjutnya pada masa Khalifah Utsman, pajak tanah (kharaj) dari Irak, Mesir, Afrika, Cyrenaica, Syprus yang diterima negara adalah sebesar 200.492.000 dirham atau senilai 20 juta dinar. Jumlah tersebut belum termasuk kharaj dari Arabia, Siria, Armenia, Azerbaijan dan Persia.137 Sedangkan perolehan negara dari pajak jizyah Irak adalah sekitar 15,4 juta dirham atau 1,54 juta dinar; dari Mesir sebesar 4 juta dinar atau 40 juta dirham; dan dari Siria 0,5 juta dinar. Total pendapatan jizyah pada masa itu apabila dikurskan adalah setara dengan 420,02 juta dolar U.S.138 Ini menggambarkan betapa besar pemasukan negara pada masa Utsman tersebut. Kompleksitas persoalan fiskal yang semakin besar dengan semakin mapannya daulah Muslim menjadi alasan mengapa tidak semua sumber pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan nash-nash syar‟i, melainkan harus diputuskan dengan ijtihad, dengan mempertimbangkan kontekstualitas.139 Orang pertama yang dinilai berani melakukan kontekstualisasi ini adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Berdasarkan ijtihadnya, misalnya, ia adalah yang pertama menetapkan obyek-obyek zakat baru yang sebelumnya tidak dikenakan;140 memutuskan untuk tidak menyerahkan tanah taklukan kepada para tentara, namun tetap dimiliki pemilik awal dengan kewajiban membayar pajak dan jizyah;141 ia juga menetapkan pungutan „usyur kepada penduduk Manbij (Hierapolis).142 137 Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” dalam Sayed Afzal Peerzade, Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam Publisher, 1996), hlm. 108 138 Ibid. 139 „Abd Wahhab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar‟iyyah, hlm. 102-103 140 Misalnya zakat untuk kuda, war (rumput herbal untuk bahan kosmetika), karet, hasil laut dan sebagainya. Lihat Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, bab 6. Abu Ubayd, tokoh utama yang dikaji dalam penelitian Ugi, dipandang sebagai ulama yang banyak mendukung dan mengikuti gagasan-gagasan Khalifah Umar. 141 Abu Yusuf menceritakan kisah Khalifah Umar ini; bagaimana ia bermusyawarah tentang pembagiannya, bagaimana tanggapan para tokoh, dan sebagainya di berbagai tempat dalam Kitab al-Kharaj, hlm. 23-27, 35, 68-69, dan 140-141. Lihat juga Abu Ubayd, Kitab al-Amwal (Beirut: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 65 142 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 26-27. 59 Dalam sejarah Islam, sebagaimana dicontohkan Nabi sendiri, sesungguhnya tidak ada halangan untuk mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam atau yang telah ada selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam. Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu agar sejalan dengan maqashid al-syari‟ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharaj,143 atas tanah tersebut. Lebih jauh, tidak hanya mengadopsi dan mengadaptasi sistem pajak peradaban lain, Khalifah Umar bahkan juga merasa perlu merekontekstualisasikan beberapa kebijakan keuangan publik yang telah diberlakukan masa Nabi Muhammad SAW. Contoh jelas dari upaya ijtihad tersebut adalah kebijakan pembagian tanah ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari penaklukan dengan perang akan dibagikan seperlima kepada negara dan kebutuhan sosial (bagian ini dikenal dengan sebutan khums), serta sisanya dibagikan untuk mereka yang ikut berperang. Ketentuan pembagian ini didasarkan pada Q.S. Al-Anfal (8): 41; “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai ghanimah, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil], jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Ketika banyak daerah yang ditaklukkan, Khalifah Umar memutuskan 143 Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 65. 60 untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan dalam Q.S Al-Anfal (8): 41. Tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh para pemilik semula dengan kompensasi membayar kharaj dan jizyah. Dengan demikian, tanah-tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah fay‟.144 Pendekatan Ibn Taimiyah Sebelum membicarakan tentang pemikiran kebijakan fiskal Ibn Taimiyyah, terlebih dahulu perlu diungkapkan pemikiran politiknya. Hal ini perlu, sebab pembicaraan tentang kebijakan-kebijakan negara merupakan bagian dari pembahasan politik ekonomi. Argumen rasional Ibn Taimiyyah atas perlunya pembentukan negara terletak pada kebutuhan untuk menegakkan syariat agama. Menurutnya, nilai-nilai dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak akan dapat dibangun tanpa adanya tata sosial yang terorganisir (yakni negara).145) Supremasi syari‟at harus terlihat dalam kehidupan umum dan dijamin secara hukum. Hal inilah menurut Syafi‟i Ma‟arif, yang menjadi inti doktrin politik Ibn Taimiyyah. Dan dari sinilah, maka perlu diciptakan sistem pengaturan politik untuk merealisasikan cita-cita syari‟at.146) Selain itu Ibn Taimiyyah menambahkan bahwa secara universal, semua manusia butuh untuk bergabung, bekerja sama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau tidak. Ia memperkuat argumen ini antara lain dengan sabda Nabi berikut, 147 ُ٘ا أحذٚ صفش فٍيؤ ِّشٝإرا خشض شالشح ف “Bila tiga orang melakukan perjalanan (bersama-sama), maka salah satu hendaklah menjadi pemimpinnya.” 144 Menurut definisi Yahya ibn Adam, ghanimah adalah segala sesuatu yang diperoleh dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay‟ (yaitu berupa kharaj dan jizyah). Lihat kitabnya, Al-Kharaj, hlm. 121. 145 Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‟Arabi, 1969), hal. 162 146 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan Masalah Keagamaan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 33 147 Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III, hal. 381. Hadis no. 2608 diriwayatkan dari Abi Sa‟id al-Khudriy. 61 Hadis yang diriwayatkan dari jalur lain menyatakan, 148 صٍّح فأٔد أِيشٔاٝ لاي ٔافع فمٍٕا ألت,ُ٘ا أحذٚإرا واْ شالشح في صفش فٍيؤ ِّش “Bila tiga orang berada dalam perjalanan (bersama-sama), maka salah satu hendaklah menjadi pemimpinnya. Nafi‟ berkata, “Kami menyatakan kepada Abi Salmah, “Engkaulah pemimpin kami.” Hadis-hadis Nabi tersebut menekankan perlunya pembentukan sebuah pemerintahan yang harus dianggap sebagai kewajiban agama. Dengan demikian pendirian sebuah negara merupakan sarana untuk menegakkan nilai-nilai dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Ia menulis: ّ ،ْ وٍّد هللا ٘ي اٌعٍياٛأْ ذىٚ ،ْ اٌذيٓ وٍّٗ ّّللٛد٘ا أْ يىٛ اإلصالَ ِمصٝاليد فٌٛإْ جّيع ا ّ ْفئ يٛعٍيٗ جا٘ذ اٌّشصٚ ,يٛتٗ أسصً اٌّشصٚ ،تٗ أٔزي اٌىرابٚ ، إّّٔا خٍك اٌخٍك ٌزاٌهٌٝذعاٚ ٗٔهللا صثحا 149 ِْٕٛاٌّؤٚ Tujuan tertinggi pembentukan suatu negara adalah untuk menegakkan aturan-aturan Allah. Maka seorang pemimpin negara yang dipilih untuk memegang kendali negara harus menjalankan fungsi dan kebijakan-kebijakan negara sesuai hukum-hukum Allah. Seorang pemimpin yang baik, menurut Ibn Taimiyyah adalah yang mengikuti petunjuk dan teladan Rasulullah SAW dan para sahabat penggantinya. Ia berpikir bahwa kekayaan negara harus digunakan untuk kemanfaatan penduduk, mempermudah setiap orang menegakkan ajaran agama dan memenuhi kebutuhan duniawi mereka. Penguasa tipe ini tergolong sangat saleh, ia hanya menghimpun uang sesuai dengan hak negara, bersikap dewasa, mengelola keuangan negara dengan penuh kebijaksanaan dan mengeluarkan anggaran bagi mereka yang membutuhkan, melaksanakan seluruh kewajiban dan menolak melaksanakan segala sesuatu yang dilarang.150) Lebih jauh ia menyatakan, bahwa kewajiban untuk mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat (amr ma‟ruf nahy munkar) merupakan tugas setiap 148 Ibid., Hadis no. 2609 diriwayatkan dari Abi Hurairah. Ibn Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal. 2 150 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 61. Pembahasan mengenai kewajiban-kewajiban seorang penguasa, Ibn Taimiyyah membahasnya secara khusus dalam Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd ar-Rahman Ibn Qasim al-‟Asimi an-Najdi al-Hanbali, ed., (Riyad: 149 62 muslim.151) Tugas ini tidak akan terwujud tanpa adanya kekuatan (quwwah) dan otoritas kepemimpinan (imarah). Pelaksanaan yang sama dari kewajiban agama, seperti jihad, mewujudkan keadilan, menunaikan ibadah haji dan ibadah wajib yang lain, membantu orang yang lemah dan menjamin terlaksananya hukum pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuannya (iqamah al-hudud).152) Semua tugas itu tak mungkin ditangani dengan baik tanpa adanya pemerintahan dan kekuasaan. Karena itu institusi pemerintahan dan negara sangat dibutuhkan dalam pandangan agama. Bahkan Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa wilayah pengaturan terhadap urusan-urusan manusia adalah salah satu kewajiban yang terbesar di dalam agama.153) Campur Tangan Negara dalam Perekonomian Dari pembahasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Ibn Taimiyyah, sebuah negara berperan sebagai suatu mekanisme untuk melaksanakan hukum-hukum al-Qur‟an dan Sunnah. Karena itu kebijakan-kebijakan dalam suatu negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nilai-nilai Islam. Bagi Ibn Taimiyyah, tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan ummat manusia. Kesejahteraan ummat manusia ini dapat dicapai bila seluruh sistem hukum dan ekonomi, termasuk fiskal, dilakukan, demi mewujudkan amanat rakyat dan dengan mempertimbankan segi keadilan.154) Dua prinsip utama ini menjadi pembahasan sentral dalam karyanya as-Siyasah. Prinsip pertama, keadilan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politikekonomi, keadilan merupakan esensi dalam penyelenggaraan tugas-tugas pembangunan ekonomi sebuah pemerintahan.155) Keadilan dalam terminologi Ibn Taimiyyah mempunyai arti yang sangat luas. Pada tingkat tertentu mengacu pada Matabi‟ ar-Riyad, 1398H ), XXVIII, hal. 260-8 151 Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 6 152 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 161 153 Ibid., hal. 156 154 Ibid., hal. 11, 48 155 Mengenai hal ini, Ibn Taimiyyah mengungkapkan bahwa Allah akan menolong pemerintahan yang adil sekalipun kafir, tetapi tidak menolong pemerintahan yang zalim meskipun muslim. Lihat, al-Hisbah, hal. 3, 81. 63 pemecahan masalah kepincangan ekonomi. Teori ini paling tidak mempunyai dua unsur pokok, yakni pertama, suatu teori pasar mengenai keadilan distributif dan suatu teori kepentingan bersama bagi kebijaksanaan kesejahteraan sosial. Menurutnya, pembagian barang dan jasa ekonomi harus dialokasikan melalui mekanisme pasar, yakni mengikuti hukum supply dan demand.156) Dengan penyediaan kesempatan yang sama bagi semua orang pasar akan bekerja, melalui mekanisme “Tangan Gaib” yang dijalankan oleh Allah.157) untuk kepentingan tidak saja bagi yang kaya melainkan juga bagi si miskin. Dalam keadaan normal, artinya dengan dibukanya peluang untuk semua pihak sebesar dan seluas mungkin, semua orang akan memperoleh kepentingan tertentu, tanpa merugikan orang lain, dan dengan demikian perekonomian negara akan berkembang sesuai kehendakNya. Sejalan dengan itu, pemerintah tidak dibenarkan untuk melakukan tas‟ir (campur tangan ke dalam mekanisme pasar). Pematokan harga (ilzam) oleh pemerintah berarti melanggar hak-hak para pelaku pasar.158) Sejauh tidak ada monopoli, hak istimewa, perlindungan dan dukungan politik, pasar akan mendistribusikan semua barang ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak merugikan siapapun. Pemberlakuan non-intervensi pemerintah bagi Ibn Taimiyyah tidak berlaku mutlak. Pada kasus-kasus tertentu, jika pasar gagal menjalankan fungsi fair competitive-nya karena beberapa alasan yang tidak dibenarkan secara hukum maupun moral, seperti: penjualan di bawah harga umum, ihtikar, dan talaqqi assila‟,159) maka dalam hal-hal seperti ini, negara dibenarkan untuk melakukan campur tangan demi merealisasikan maslahat al-‟ammah. Fungsi ini dilakukan oleh lembaga al-hisbah. Sedangkan prinsip yang kedua; amanah, berarti keharusan mengelola 156 Essid mencatat ada dua elemen penawaran menurut Ibn Taimiyyah, yaitu barang produksi lokal (ma yukhlaq)dan barang produksi impor (ma yujlab), dan ada tiga elemen permintaan, yaitu barang (al-mal), jumlah para produsen; dengan keinginannya (ar-ragba), dan kepentingan (al-hajat). Pembahasan lebih lanjut lihat Yassine Essid, A Critique of the Origins of Islamic Economic Thoughts, (Leiden: E.J. Brill, 1995), hal. 166. 157 Ibn Taimiyyah telah membahas tentang mekanisme pasar dan tentang non-intervensi pemerintah terhadap pasar, kurang lebih 4 abad sebelum teori invisible hand Adam Smith. 158 Ibn Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, hal. 16 64 kekayaan negara secara proporsional dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan rakyat yang sebesar-besarnya.160) Dua hal yang menjadi orientasi pemikiran politik ekonomi Ibn Taimiyyah tersebut didasarkan pada firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”161 Menurut Ibn Taimiyyah, ayat tersebut ditujukan kepada para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi, hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan. Dengan diwajibkannya para pemimpin negara untuk menyampaikan amanat kepada para pihak yang berhak dan untuk berlaku adil dalam mengambil keputusan tersebut, maka akan terjadi perpaduan antara kebijakan politik yang adil dan pemerintahan yang baik. Munawir mencatat bahwa amanat bagi Ibn Taimiyyah memuat dua macam manifestasi, yaitu: pertama, dalam penunjukan dan pengangkatan pejabat negara; kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda dan hak milik rakyat.162) Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa pemimpin negara bukanlah seorang “pemilik”, sehingga tidak pada tempatnya jika ia menghambur-hamburkan kekayaan negara. Kemudian Ibn Taimiyyah mengutip perkataan „Umar ra., “Perumpamaanku di depan rakyat adalah bagaikan suatu kaum yang berada dalam perjalanan. Kemudian, mereka semuanya mengumpulkan harta kekayaan yang 159 Yassine Essid, A Critique, hal. 154-61 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 12, dan Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 257-8 161 Q. S. An-Nisa‟ (4): 58 162 Munawir Sjadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: 160 65 mereka miliki dan menyerahkannya kepada seseorang untuk mendistribusikannya kepada mereka. Maka halalkah orang yang diserahi tersebut untuk seenaknya membagikan harta itu kepada yang disukai ?” 163) Untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal, di sisi lain warga negara diharuskan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, seperti membayar zakat, dan pajak. Bahkan dengan tegas Ibn Taimiyyah menyatakan, 164) إْ واْ ظٍّاٚ ,قٛا اٌضٍطاْ ِا يجة دفعٗ ِٓ اٌحمُٛ أْ يّٕعٌٙ الٚ “Dan mereka (warga negara] tidak berhak untuk menolak Penguasa atas hak-hak yang wajib dipenuhi, walaupun ia zalim.” Pernyataan Ibn Taimiyyah yang terkesan ekstrim dan keras ini ditafsirkan Munawir sebagai refleksi kekhawatirannya terhadap kemungkinan terjadinya gangguan terhadap stabilitas politik di negara pada masanya yang masih sangat rentan dengan kerawanan.165) Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menjelaskan masalah ini dengan memberikan contoh tentang pembayaran pajak mazalim al-musytarakah (pajak kolektif yang tak adil atau sewenang-wenang). Meskipun pajak ini merupakan bentuk pemaksaan yang tidak adil, namun rakyat dilarang untuk menolak. Alasannya adalah jika setiap orang mengelak untuk membayar pajak yang menjadi bagiannya, maka kewajiban yang menjadi bagiannya itu akan menjadi beban bagi orang lain.166) Di sinilah letak kezaliman itu. Namun, pada kesempatan yang lain Ibn Taimiyyah menyatakan, jika apa yang diperintahkan oleh penguasa menyimpang dari agama, maka rakyat tidak perlu lagi memberikan ketaatan kepada pemimpin.167) Apa yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah ini, dinilai Arskal sebagai kegagalannya dalam menggali prinsip-prinsip tersebut. Sikap tersebut menunjukkan bahwa ia adalah seorang UI-Press, 1993), hal. 84 163 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 29 164 Ibid., hal. 30 165 Munawir S., Islam dan Tata Negara, hal. 89 166 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXX, hal. 340 167 Ibid.,IV, hal. 444 66 tokoh yang cenderung berpikiran realistik-pragmatis.168) Hemat penulis, pernyataan kedua Ibn Taimiyyah di atas adalah dimaksudkan sebagai pengecualian terhadap bentuk perintah yang mengarah pada penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam. Bukan dalam hal kebijakankebijakan negara, sebab sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah, persoalan kebijakan suatu negara merupakan hak prerogratif seorang penguasa, dan dapat berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, seorang kepala negara tidak boleh sewenang-wenang. Ia harus tetap berada dalam batas-batas syari‟ah dan melalui suatu saluran demokrasi dari “konsultasi” (syura). Ibn Taimiyyah menambahkan, diterapkannya prinsip syura sebagaimana dituntut oleh al-Qur‟an (42: 38) merupakan sebuah keharusan, bukan pilihan.169) Hal ini mengimplikasikan pendapat Ibn Taimiyyah dengan jelas bahwa tidak ada alasan dalam syari‟ah yang mendukung despotisme, kediktatoran, dan otokrasi. Hubungan pemerintah-masyarakat versi Ibn Taimiyyah tersebut, dikatakan Goldberg, mirip dengan tradisi kontrak sosialnya Pencerahan Scottish,170) di mana tradisi ini mengakui bahwa tanpa mekanisme penjaga-penjaga yang layak, maka elit politik serta warga biasa akan cenderung pada egoisme yang berbahaya. Dengan pandangan hidup yang secara esensial kontraktual, maka kepatuhan kepada negara didasarkan atas tanggung jawab sosial masyarakat. Kebijakan Fiskal Ibn Taimiyyah Kebijakan fiskal merupakan suatu instrumen manajemen permintaan yang berusaha mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pemasukan dan pengeluaran publik. Pemerintah dapat melakukan berbagai kebijakan perpajakan atau pungutan lain untuk mengatur agar perekonomian tetap berjalan pada tingkat keseimbangan. Penerimaan dan pengeluaran negara saling berkaitan satu sama lain dalam pengertian fiskal.171 168 M. Arskal Salim G. P., Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, (Jakarta: LOGOS, 1999), hal. 60-1 169 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 135 170 Sebagaimana dikutip oleh Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, terj. Amirudin dan Asyhabudin, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 271 171 Michael Parkin dan Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 67 Para fuqaha masa awal, para perencana keuangan, para wazir yang bertanggung jawab atas perpajakan dan pembelanjaan publik, merupakan pionir dalam pengembangan pemikiran keuangan publik Islam. Mereka mencoba memahami persoalan-persoalan keuangan publik yang muncul di masa mereka, khususnya setelah meluasnya wilayah-wilayah taklukan, dengan mencari landasan dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta merujuk pada praktik para khalifah maupun pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya. Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Berdasarkan perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non-Muslim), dan „usyur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fay‟ (harta rampasan perang), ma‟adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya.172 Sabahuddin Azmi membuat klasifikasi sumber-sumber pendapatan yang agak berbeda dengan Khalaf. Ia membedakan sumber pendapatan negara berdasarkan tujuan alokasinya; 1) Pendapatan ghanimah, 2) Pendapatan shadaqah, dan 3) Pendapatan fay‟.173 Klasifikasi yang mengikuti pendapat Abu Yusuf ini menurut Azmi menjadi sangat penting karena alokasi dari setiap kategori pendapatan telah ditentukan, dan tidak boleh dicampuradukkan. Ibn Taimiyyah mengikuti klasifikasi Abu Yusuf. Ia menggarisbawahi bahwa sumber penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga kategori, yaitu hal. 163. 172 „Abd al-Wahhab Khalaf, al-Siyasah al-Syar‟iyyah (al-Munirah: Matba‟ah alTaqaddum, 1977), hal. 114. 173 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought (New Delhi: Goodword Books, 2004), Bab IV 68 ghanimah, sadaqah dan fai‟.174) Dalam mengklasifikasikan seluruh sumber penerimaan tersebut, Ibn Taimiyyah mempertimbangkan asal-usul dari penerimaan yang dihimpun dari berbagai sumber dan kebutuhan anggaran pengeluarannya, termasuk seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan zakat, dengan nama fai‟. Berbagai istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk menyebut sumbersumber keuangan publik Islam antara lain adalah fay‟, ghanimah, anfal, khums dan jizyah. Penyebutan istilah-istilah tersebut pada umumnya terkait dengan perang (jihad, qital, ghazwah) dan penaklukan (futuh). Dengan demikian bisa dipahami bila beberapa istilah tersebut hanya muncul sekali dalam al-Qur‟an; seperti anfal dalam Q.S. al-Anfal (8): 1, khums dalam Q.S. al-Anfal (8): 41, dan jizyah dalam Q.S. al-Taubah (9): 29. 1) Ghanimah Ghanimah merupakan harta kekayaan yang dirampas dari orang-orang non-muslim setelah perang usai.175) Selain ghanimah, al-Qur‟an menamakan harta perolehan perang ini dengan anfal, karena harta itu merupakan harta lebih yang dimiliki oleh kaum muslim dari sekian banyak harta mereka yang lain. Ketentuan mengenai ghanimah telah diatur dalam Q.S. al-Anfal (8): 1. “Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[593], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." Selain ayat tersebut, Ibn Taimiyyah juga mengutip hadis riwayat BukhariMuslim, dan Ahmad, di mana dari dalil-dalil tersebut, Ibn Taimiyyah 174 175 Ibid., hal. 32 Ibid. 69 menyimpulkan bahwa pembagian ghanimah ditentukan seperlimanya kepada kelompok yang telah ditentukan dalam ayat yaitu untuk kepentingan Rasul dan sanak kerabatnya, anak yatim, orang miskin dan ibn sabil. Sementara sisanya dibagikan di antara anggota pasukan yang turut berperang. Ghanimah yang berupa harta bergerak dibagi menjadi lima bagian. Empat bagian harus dibagikan secara merata untuk mereka yang ikut berperang, baik yang ikut terjun langsung dalam perang maupun tidak. Pengertian inilah yang dipegangi oleh para fuqaha sebelumnya. Pelebihan proporsi untuk salah satu pasukan (karena pertimbangan kepemimpinannya, nasab atau status sosialnya) tidak dapat dibenarkan. Berbeda dengan pendapat umum tersebut, Ibn Taimiyyah memberikan pemahaman baru terhadap pembagian ghanimah. Ia membenarkan pelebihan pembagian bagi pasukan, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti besarnya pengorbanan yang diberikan oleh seorang pasukan karena berhasil menyusup ke benteng pertahanan musuh. Dalam hal ini, keputusan akhir dari masing-masing bagian diputuskan oleh pemimpin atau komandan perang berdasarkan pertimbangan kepentingan bersama.176) Setelah dibagikan kepada para pasukan, sisanya (seperlima) diberikan untuk negara. Mereka yang berhak menerima seperlima itu disebutkan dalam alQur‟an: “Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 177 176 177 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 35. Q. S. Al-Anfal (8): 41 70 Yang dimaksud dengan hak Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut bukan berarti bahwa bagian itu dijadikan sebagai kekayaan pribadi utusan-Nya, tetapi sebagai bagian yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan publik. Dalam hal ini Ibn Taimiyyah menyatakan: ٌيش,ٌٗٛسصٚ ٌٗ فاٌّشاد تٗ ِا يجة أْ يصشف في غاعح هللاٛسصٚ هللاٌٝزا واْ اٌّاي حيس أظيف إٌٙٚ 178 زٖ اٌّصاتحٙاي تِٛ لاْ جّيع األ:لذساٚ وا ّلل خٍماٍِّٛ ٗٔٛاٌّشاد تٗ و Sedangkan untuk harta tidak bergerak, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa pendistribusiannya diserahkan mempertimbangkan kemaslahatan kepada kebijakan ummat,179) seperti negara pemberian dengan iqta‟. Pembahasan mengenai iqta‟ mendapat perhatian cukup banyak dari Ibn Taimiyyah. Pada masa Nabi, iqta‟ merupakan pemberian hak pengelolaan tanah (tanpa hak memilikinya) yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang ikut berperang untuk membantu mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Setelah mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya, Ibn Taimiyyah membedakan iqta‟ menjadi dua model, yaitu iqta‟ at-tamlik dan iqta‟ al-istighlal. Iqta‟ at-tamlik merupakan hadiah kepemilikan tanah yang diberikan oleh negara kepada orang yang ikut berpartisipasi dalam perang, atau kepada seseorang tanpa sebab tertentu, dengan tujuan agar tanah tersebut dapat produktif (ihya al-mawat). Sedangkan iqta‟ al-istighlal merupakan hadiah untuk mengambil manfaat dari tanah (bukan kepemilikannya). Dengan demikian, seorang yang mendapat iqta‟ tidak berhak untuk memiliki, menjual, memberikan atau mewariskannya kepada orang lain.180) Iqta‟ jenis kedua inilah yang berlaku pada masa Ibn Taimiyyah. Menurut Ibn Taimiyyah, seorang muqta‟ (penerima iqta‟) harus diijinkan untuk memperoleh keuntungan dari tanah tersebut, baik dengan cara bagi hasil 178 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, X, hal. 280 Ibid., XXVIII, hal. 273 180 Pada masa Ibn Taimiyyah, jenis iqta‟ yang kedua inilah yang berlaku. Lihat: Abdul A. Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), hal. 164 179 71 atau dengan sewa. Jika ia diharuskan mengelola tanah sendiri dan dilarang untuk menyewakannya, maka ia akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugas utamanya sebagai seorang anggota militer.181) Ibn Taimiyyah menganggap sistem iqta‟ sebagai suatu kebutuhan sosial. Jika iqta‟ dilarang di zaman itu, negara akan mengalami kesulitan untuk menyiapkan uang tunai untuk membayar mereka, karena memang tidak ada persediaan. Di samping menegaskan iqta‟ untuk kesejahteraan tentara dan keluarganya, Ibn Taimiyyah juga sangat menekankan pentingnya anggaran negara untuk pemeliharaan alat-alat perang dan militer. Bahkan untuk kepentingan ini, Ibn Taimiyyah menyatakan negara dapat menganggarkannya dari zakat, ghanimah dan fai‟. Untuk tujuan keamanan negara ini pula, Ibn Taimiyyah juga membenarkan alokasi fai‟ digunakan sebagai gaji para penjaga batas (wilayah) negara.182) Besarnya alokasi pembelanjaan negara untuk pertahanan (militer) dalam perhitungan Ibn Taimiyyah tersebut, merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini disebabkan karena kondisi politis pada saatnya yang menuntut ketahanan negara dalam menghadapi ancaman dan serangan dari Mongol dan Tentara Salib. Di masa modern pun, anggaran pembelanjaan negara untuk tujuan itu sangat tinggi, seperti yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara besar lainnya. 2) Zakat Pembahasan mengenai zakat mendapat perhatian yang paling banyak di antara berbagai sumber pendapatan negara yang disebutkan Ibn Taimiyyah. Hal ini dimungkinkan, mengingat pembelanjaan sosial ini menempati posisi sentral dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, pembahasan tentang zakat juga akan mendapat tempat yang lebih banyak dalam bab ini. Dalam Fatawa, Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa yang dimaksudkan 181 182 Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 36 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 51 72 zakat adalah sadaqah yang dikenakan atas harta bersih seseorang, dan dibayarkan tiap tahun. Zakat juga dikenakan terhadap kekayaan produktif, baik produktif karena jenis kekayaannya itu sendiri, seperti binatang ternak dan tanaman, ataupun produktif karena diubah fungsinya atau nilai tukarnya, seperti emas, perak dan barang dagangan.183) Prosentase zakat telah ditetapkan dalam al-Qur‟an. Prosentasi zakat dari semua harta bersih, seperti binatang ternak unta, domba, sapi, zakat atas barang dagangan dan zakat atas emas dan perak adalah sebesar 2,5%. Kecuali untuk hasil pertanian biji-bijian atau buah-buahan, yang presentasinya adalah sepersepuluh („usr) atau separuh dari sepersepuluh (nisf al-‟usr) tergantung pada apakah tanah pertanian yang bersangkutan diairi dengan air hujan ataukah dengan upaya tangan pengolahnya.184) Sebagaimana para fuqaha lain, suatu negara menurut Ibn Taimiyyah mempunyai hak memaksa bagi mereka yang enggan membayar zakat. Ia menyatakan: ,ٌإلِاَ أْ يٍزَ تزٌهٚ .اجةٚ أِشٝٔاٌضىاٚ اٌٍثاسٚ َ اٌطعاٍُٝ ٌثعط عٙاألصً أْ إعأح إٌاس تععٚ ُٕٙاٌّاي ألجً ٘ذايح إٌاس في ديٚ فيٗ اٌّخاغشج تإٌفشٜاد اٌزْٙ رٌه ظٍّا تً إيجاب اٌشاسع ٌٍجٛال يىٚ 185) Dalam hal ini, Ibn Taimiyyah menekankan bahwa kewajiban zakat tidak berbeda dengan kewajiban untuk menunaikan ibadah-ibadah wajib yang lain seperti shalat,186) dan kewajiban memenuhi nafkah untuk kebutuhan keluarga.187) Dengan demikian, dasar kewajiban zakat adalah kesadaran untuk melaksanakan kewajiban. Sahl bin Abi Salih mendapat fatwa dari beberapa sahabat, yaitu Sa‟ad bin Abi Waqqas, Ibn „Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa‟id al-Khudri, agar harta yang sudah mencapai satu nisab, zakatnya diserahkan kepada sultan (kepala negara), 183 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 8 Ibid., XXVIII, hal. 567 185 Ibid., XXIX, hal. 194 186 Ibn Taimiyyah, Kitab at-Tawasul wa al-Wasilah, (Mesir: Matba‟ah al-Manar, tt.), hal. 184 50 187 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 64 73 dan dikabarkan tidak ada seorang pun yang menentang pendapat ini.188) Bahkan, ibn „Abidin menegaskan bahwa pengumpulan zakat adalah hak dan kewajiban para penguasa untuk melindungi rakyat. Dengan demikian, hukum asal bagi pelaksanaan dan pembagian zakat tidak dilakukan sendiri oleh si wajib zakat,189) Namun, kata Ibn Taimiyyah, jika penguasa sebagai pengelola zakat tidak menyalurkan zakat pada pos-pos yang telah ditentukan, atau menyalurkan kepada mereka dengan tidak mempertimbangkan sisi keadilan, maka masyarakat diperbolehkan untuk menolak penyerahan pengelolaan zakat kepada negara. Mereka disarankan untuk menyerahkan secara langsung kepada pihak-pihak yang berhak sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an. 190) Sebagai lembaga keagamaan yang bersifat pokok, zakat telah diatur sedemikian rupa sehingga telah jelas bagi setiap muslim tentang siapa subyek zakat, apa yang menjadi obyek zakat, serta siapa-siapa yang berhak menerima, dan kapan zakat harus dikeluarkan, serta juga telah jelas pula aturan pelaksanaannya. Jadi, pembelanjaan zakat menurut Ibn Taimiyyah, tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang telah tercantum dalam al-Qur‟an surat at-Taubah ayat 60, yaitu:191) 1. Untuk orang-orang fakir (fuqara). 2. Orang-orang miskin (masakin). Kaum fakir dan miskin mempunyai kesamaan dalam taraf kehidupan mereka. Perbedaan antara keduanya adalah, yang satu terpaksa menjadi peminta-minta, sedang yang kedua tidak.192) 3. Para pengelola zakat („amilin). Adalah orang-orang yang bertugas untuk menarik, menjaga dan menulis serta membagikan harta zakat. 4. Orang-orang yang masih lemah hatinya (mu‟allafat qulubuhum). 188 Yusuf Qardawi, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Dar al-Irsyad, tt.), II, hal. 754 Ibn „Abidin Muhammad Amin, Radd al-Mukhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn „Abidin), (Mesir: Matba‟ah al-‟Amirah, 1376), III, hal. 27 190 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 81. Penolakan penyerahan kepada negara ini hanya berlaku untuk zakat. Untuk jenis kewajiban pajak atau pungutan yang lain, warga negara tidak diperbolehkan menentang negara, meskipun penguasa tersebut tidak adil. Lihat juga, Ibn Taimiyyah, Siyasah hal. 163 dan pembahasan sebelumnya. 191 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 567-8 189 74 Yang tergolong kelompok ini adalah orang-orang yang diharapkan dapat mendekatkan hatinya kepada Islam, baik mereka telah memeluk Islam atau belum, kaya atau miskin. Sepintas, pemberian zakat kepada orang kaya merupakan tindakan yang tidak bijaksana, namun menurut Ibn Taimiyyah, hal itu dapat dibenarkan demi kemaslahatan masyarakat yang lebih luas dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman dan gangguan dalam negeri.193) 5. Para budak (ar-riqab) Yakni untuk membantu mereka memerdekakan dirinya ataupun juga untuk membebaskan para tawanan perang. 6. Orang-orang yang berhutang (garimin). Yakni mereka yang terhimpit banyak hutang dan tidak mampu untuk melunasinya. 7. Untuk menegakkan agama Allah (fi sabilllah) Yakni para pejuang yang tengah berjihad di jalan Allah dan bekal yang mereka miliki tidak mencukupi lagi. 8. Seseorang yang dalam perjalanan (ibn as-sabil). Adalah mereka yang tengah melakukan perjalanan dari kota ke kota, dan orang seperti itu meskipun sebenarnya kaya tetapi kekurangan bekal untuk melanjutkan perjalanannya. Ibn Taimiyyah memberi catatan pada ayat tentang zakat, bahwa dalam lapangan praktis, zakat tidak diharuskan dibagi secara merata kepada delapan golongan tersebut. Menurutnya, pembagian zakat ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak. 194) Penekanan Ibn Taimiyyah dalam kewajiban zakat adalah –meminjam istilah Dawam– adanya transfer of consumption, transfer of income, transfer of 192 Ibid., XXVIII, hal. 570 Orang-orang kaya dan berpengaruh yang masih lemah hatinya (imannya) terhadap Islam dikhawatirkan akan mengganggu atau membahayakan umat Islam dari dalam. Dengan diberikannya bagian zakat, diharapkan mereka akan lebih simpati terhadap Islam. Lihat Siyasah, hal. 53 194 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 576-7 193 75 wealth, transfer of invest, ataupun redistribution.195) Maksudnya adalah bahwa hendaknya dengan pengelolaan zakat yang benar dapat dirasakan secara langsung oleh golongan-golongan miskin, dengan cara mengurangi kekuatan golongan kaya secara relatif dan meningkatkan kekuatan golongan yang paling membutuhkan.196) Dalam hal ini pengalihan kemampuan dan kekuatan berjalan seiring dengan pengalihan kekayaan, pendapatan, konsumsi dan investasi secara langsung. Dalam hal seperti itu zakat merupakan “pajak langsung” yang dikenakan pada si wajib zakat. Penyelenggaraannya juga dituntut untuk langsung dirasakan oleh pihak penerima, baik dengan barang sejenis (dengan barang yang dizakatkan), maupun dalam bentuk uang dengan nilai yang sama.197) Mekanisme zakat seperti itu akan menjadi pendorong investasi, sebab jika kekayaan itu tidak digunakan dalam produksi dan menyimpannya tanpa diinvestasikan, tetap akan dikenakan zakat sehingga akan kehilangan seperempatnya dalam waktu kurang dari 12 tahun.198) Dengan demikian, zakat akan menghukum uang (harta) yang hanya ditimbun, tidak produktif dan sumbersumber produksi yang tidak dijalankan. Dalam hal ini zakat dikenakan terhadap sumber-sumber yang ditimbun dan berupaya memasukkannya kembali ke dalam arus putaran kegiatan ekonomi sebagai kapasitas atau permintaan yang meningkat dalam konsumsi. Batas tingkat minim sangat rendah yang dibebaskan dari kewajiban membayar zakat memiliki arti penting yang sangat besar untuk mendorong investasi yang produktif yang dilakukan oleh zakat itu. Pada akhirnya, kewajiban membayar zakat membantu mendorong setiap bagian harta untuk dilibatkan dalam kegiatan produktif dengan ditingkatkannya hukuman bagi harta yang ditimbun itu 195 M. Dawam Rahardjo, “Fungsionalisasi zakat dalam Pencapaian Kesejahteraan Sosial”, dalam Islam dan Kemiskinan, Putut Widjanarko, ed., (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 48 196 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XIX, hal. 257-8 197 Ibid., XXV, hal. 8 198 Karena itu Nabi menghimbau umatnya untuk menginvestasikan harta anak yatim dengan memperingatkan bahwa zakat pada akhirnya akan memakan harta seorang, bila harta (milik anak yatim tersebut) itu tidak diinvestasikan secara produktif Penegasan Nabi ini mendapatkan perhatian banyak penulis Muslim sejak tahun 1940-an Lihat, Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 80 76 sehingga ia berubah menjadi harta yang produktif. Islahi menilai bahwa tingkat zakat yang tetap akan mendorong seseorang untuk bekerja, sehingga iklim investasi akan terpacu. Karena itu sejumlah besar angkatan kerja bisa terserap dalam dunia kerja dan kemudian memperoleh penghasilan. Jadi, jika pekerjaan itu hanya memerlukan tenaga kerja sedikitdikitnya pada saat seseorang mencari kekayaan, dalam kasus seperti itu prosentase yang besar dikenakan, misalnya seperlima dari seluruh hasil. 3) Fai’ Fai‟ merupakan barang yang diperoleh dari rampasan orang-orang yang tidak beriman yang takluk dalam peperangan. Fai‟ termasuk sumber penerimaan dari negara Islam dan sumber pembiayaan negara, seperti digambarkan dalam ayat al-Qur‟an yang turun pada tahun ke empat setelah hijrah Nabi. Penggunaan fai‟ secara umum telah diatur oleh Rasulullah yaitu sebagai harta negara dan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat umum, seperti fungsi kelima dari penggunaan ghanimah. Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, alokasi dari pembagian fai‟ dapat berbeda-beda dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain, tergantung kepada kebijaksanaan masing-masing kepala negara, dengan memperhatikan kondisi sosial yang melingkupinya.199) Ibn Taimiyyah menggolongkan seluruh penerimaan negara selain ghanimah dan zakat sebagai fai‟. Tujuan utama pembelanjaan negara dari fai, adalah pertama, untuk memelihara kehidupan sosial masyarakat menghadapi serangan dan ancaman baik dari dalam maupun luar negeri, dan kedua, untuk mengembangkan kualitas kehidupan sosial.200) Berikut ini akan dikemukakan berbagai jenis penerimaan negara yang dikategorikan sebagai fai‟, yaitu jizyah, kharaj, bea cukai dan berbagai pendapatan lain. a) Jizyah 199 200 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 46 Abdul Azim Islahi, Economics Concepts, hal. 216 77 Satu-satunya ayat yang menyebut jizyah terdapat dalam Q.S. al-Taubah (9): 29: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” Ayat ini turun ketika terjadi Perang Tabuk, yakni pertempuran terakhir yang diikuti Rasulullah.201 Latar belakang perang tersebut adalah pertikaian antara Dar al-Islam dengan Dar al-Harb. Memanfaatkan situasi ini, maka setelah wahyu turun Nabi menghimbau para pemimpin dan raja non-Muslim untuk memeluk Islam atau membayar jizyah. Pilihan bagi yang tidak mau menerima tawaran itu adalah perang.202 Istilah shahirun dalam ayat jizyah tersebut pada umumnya diartikan dengan “ketundukan.” Pengartian ini menurut Abdul Mannan didasarkan kepada dua alasan, pertama, karena semua Muslim baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak dibebaskan dari jizyah. Kedua, penggunaan kekuatan (pemaksaan) untuk mengkonversi keberagamaan seseorang tidak diperbolehkan dalam alQur‟an.203 Berdasarkan kondisi sosio-ekonomik saat itu, pengenaan pajak jizyah kepada kaum non-Muslim merupakan bentuk kompensasi atas perlindungan dan rasa aman yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Selain itu, jizyah juga dapat dipahami sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada mereka atas ketundukannya (sahirun) kepada hukum Islam. Dengan demikian, seorang warga 201 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Istanbul: Dar Qahraman wa al-Tawzi‟, 1984), 4:75 202 Menurut Abu Ubayd Nabi mengirim beberapa surat kepada para raja/pemimpin Zoroaster, Oman, Yaman, Bizamtium, Persia dan Absinia. 203 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 250. 78 negara hanya dapat dikategorikan sebagai dzimmy bila ia telah menundukkan diri kepada aturan-aturan pemerintah Islam. Secara ekonomik, kategori ini lebih menguntungkan bagi mereka dibandingkan dengan kondisi mereka bila tidak mau menundukkan diri pada hukum yang berlaku. Al-Qur‟an tidak menetapkan jumlah yang baku mengenai penarikan jizyah. Sementara itu, al-Sunnah menyebutkan berbagai besaran yang bervariasi. Pada prinsipnya, besarnya pungutan didasarkan pada “kemampuan untuk membayar”, atau tidak memberatkan bagi wajib pajak (ahl al-dzimmah).204 Salah satu wujud penerapan prinsip tersebut adalah bahwa anak-anak dan wanita tidak diwajibkan membayar jizyah. Pada masa „Umar ra., „Usman dan „Ali, tarif tahunan yang dikenakan bagi orang kaya adalah 48 dirham, bagi golongan menengah 24 dirham, dan bagi orang miskin yang mampu memenuhi kebutuhannya adalah 12 dirham.205) Berbeda dengan praktek masa awal Islam tersebut, Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa jizyah tidak hanya dikenakan kepada orang-orang non-Arab yang tinggal di Arabia saja, namun juga bagi penduduk pribumi. Ia berargumen bahwa aturan syari‟at secara umum berlaku bagi semua orang dan tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan non-Arab.206) Dalam lingkungan sosio-ekonomik masa awal Islam, pengenaan jizyah hanya kepada non-muslim merupakan upaya untuk menunjukkan superioritas Islam atas agama-agama lain. Pendapat yang dikemukakan Ibn Taimiyyah merupakan upaya pembacaan terhadap perubahan kondisi yang terjadi pada masanya. Kondisi negara pada masanya menuntut setiap warga negara untuk ikut serta membayar kewajiban guna pemeliharaan keamanan dalam negeri dan melindungi negara dari serbuan dari luar. Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa Mamluk menghadapi ancaman serangan dari Mongol, Tentara Salib, dan dari dalam negeri sendiri. 204 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, 115 Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and Practice, terj. M. Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hal. 249 206 Ibn Taimiyyah, „Idah ad-Dalalah fi Umum ar-Risalah, (Mesir: Idarah at-Taba‟ah al205 79 b) Kharaj Secara literal, kharaj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam pengertian fiqh, ibn Manzur menyatakan: ٍََٛس ِع ٍ ُ تمَذٌٙ َُ في اٌ َّضَٕ ِح ِِٓ ِاٛ شيء ي ُْخ ِشجُٗ اٌمٛ٘ٚ اح ٌذٚ اٌخَ َشا ُضٚ اٌ َخشْ ُضٚ “Sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka, dengan takaran yang telah diketahui.”207 Dengan demikian, kharaj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah, khums, usyr, dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharaj lebih dimaksudkan untuk pajak yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yang dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya.208 Ringkasnya, kharaj merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik tanah.209 Kharaj dalam arti pajak tanah ini dikenakan atas semua tanah di daerah taklukan dan tidak dibagikan kepada pasukan, namun diberikan kepada pemilik awal atau dialokasikan kepada petani non muslim. Kharaj seperti ini diperkenalkan oleh Nabi setelah perang Khaibar. Pada saat itu, orang-orang Yahudi diperbolehkan memiliki tanah-tanah mereka dengan syarat membayar kharaj separuh dari hasil panenannya. Sejak saat itu kharaj menjadi sumber penerimaan utama dari negara Islam. Sebelum Ibn Taimiyyah, Abu Yusuf telah berpendapat bahwa suatu negara (Islam) diperbolehkan untuk menaikkan atau menurunkan beban kharaj dengan mempertimbangkan kemampuan anggaran dan belanja negara.210 Dasar penaikan atau penurunan ini adalah apa yang telah dilakukan oleh khalifah „Umar, „Ali dan „Umar ibn „Abd al-‟Aziz, di mana mereka diriwayatkan telah menekankan bahwa pajak harus dipungut dengan cara yang adil. Yakni tidak boleh membebani rakyat Muniriyyah, tt.), hal.12 207 Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.), III: 66. 208 Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS, 2004), hlm. 4. 209 Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought hlm. 30 210 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, (Kairo: al-Matba‟ah as-Salafiah wa Maktabatuha, tt.), hal. 85 80 di luar kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok.211) Ibn Taimiyyah membedakan kharaj menjadi dua jenis. Pertama, pajak proporsional, dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima dan sebagainya. Yang kedua pajak tetap atas tanah. Pajak proporsional itu tidak tetap tergantung hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian. Sedangkan kharaj yang tetap dikenakan setahun sekali212) Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi dua kondisi, pertama, hasil kharaj harus digunakan oleh pemerintah dengan penuh amanat dan mengeluarkannya dengan hati-hati dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan perpajakan.213) Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata kepada semua yang membayar pajak.214) c) ‘Usyr Suku-suku Arab pra-Islam telah biasa menarik pungutan atau retribusi dari kafilah-kafilah dagang sebagai imbalan atas perlindungan yang mereka berikan di saat melintas di wilayah mereka, atau sebagai kompensasi karena melewatinya. Upeti (ju‟alah) ini merupakan pungutan yang mengandung paksaan dan tekanan dengan jumlah tertentu (biasanya 10%).215 Retribusi atau pungutan ini menjadi salah satu unsur pengeluaran yang harus dipersiapkan oleh eksportir untuk keberlangsungan hidup mereka, bahkan untuk mempertahankan hidup. Jika ada kafilah dagang yang tidak mau membayar pungutan tersebut maka ia akan dicegat, dirampas, dan bahkan dibunuh meskipun kafilah itu adalah utusan raja.216 Sebagaimana dikisahkan bahwa Kisra Anusyahwan (Penguasa Persia) mengirim rombongan kafilah yang mengangkut kayu sebagai bahan baku 211 Ibid., hal. 14,16, dan 86. Ibid., hal. 52 213 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 11 214 Ibid., hal. 48 215 Pungutan ini juga disebut dengan al-maks. Beberapa hadits Nabi mengisahkan kecaman Nabi terhadap praktek pemungutan upeti ini. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim (III/1323), dan Abu Dawud (III/132). 216 Khalil Abdul Karim, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As‟ad (Yogyakarta: 212 81 persenjataan panah untuk salah satu administraturnya di Yaman. Di Bani Tamim kafilah ini dipungut sejumlah upeti (ju‟alah) oleh pihak lain (karena adanya kolusi) sehingga dapat meneruskan perjalanan dengan aman sampai ke Yaman. Mendengar adanya kolusi ini Bani Tamim mengejar kafilah tersebut dan kemudian merampas serta membunuh sebagian dari mereka.217 Kisah tersebut menginformasikan kepada kita bahwa bentuk pungutan upeti atau retribusi yang sifatnya memaksa terhadap para pedagang saat melintas di wilayah suku tertentu merupakan tradisi yang telah berlangsung lama, sebelum peradaban Islam muncul. Setelah Islam hadir, Nabi mengambil kebijakan untuk menghapuskan pajak ju‟alah antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan termasuk dalam wilayah perjanjian yang disepakati dengan suku-suku yang tunduk di bawah kekuasaannya. Kebijakan ini, menurut Adiwarman dimaksudkan Nabi sebagai upaya untuk menggairahkan perdagangan.218 Namun, sebagian ulama menilai bahwa pelarangan itu terkait dengan adanya unsur kezaliman (pemaksaan dan vandalisme) dalam ju‟alah atau al-maks.219 Penulis lebih cenderung menganggap kecaman Nabi itu sebagai respon Nabi untuk mencegah bentuk-bentuk kezaliman (kekerasan, pemerasan dan gangguan keamanan) dalam praktek-praktek pemungutan upeti sebelumnya. Banyak hadits yang mengisahkan keengganan sejumlah orang untuk diangkat sebagai asyir karena merasa bertentangan dengan hati nuraninya. Di antaranya adalah riwayat dari ibn Sirin, katanya “Mereka ingin mempekerjakanku untuk menarik upeti sepersepuluh atas Ablah, sebuah negeri di pesisir Dijlah, tetapi aku menolak. Seorang lalu datang kepadaku dan berkata: “Mengapa anda tidak mau mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh Umar...?” 220 Setelah beberapa waktu retribusi ini dibekukan dalam Islam, kemudian muncul pemikiran Khalifah Umar ibn Khaththab untuk menerapkannya kembali LkiS, 2003), hal 66. 217 Sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim, Ibid., hlm. 67. 218 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 70 219 Munawar Iqbal, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah: IRTI, 2004), hal. 53 220 Dalam Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 148. 82 sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan publik,221 namun dengan istilah yang berbeda, yakni „usyr. Latar belakang penetapan kembali pajak retribusi yang secara literal berarti “sepersepuluh” ini adalah adanya permohonan dari kaum harby Manbij untuk melakukan perdagangan di negara Islam dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang.222 Setelah berkonsultasi dengan para sahabat, Umar mengabulkan permintaan mereka. Latar belakang lain (yang lebih populer) atas dimunculkannya kembali ju‟alah adalah kasus khusus yang diangkat oleh Abu Musa al-Asy‟ary yang melaporkan kepada Umar bahwa pedagang-pedagang Muslim dikenakan pajak sepersepuluh di wilayah asing (ardl al-harby). Khalifah menanggapi laporan itu dengan menetapkan pajak usyur kepada mereka dengan tingkat prosentase yang berbeda. Teks Khalifah Umar tertulis: ِٓ ِٓٓ اٌّضٍّيٚ ,خز ِٓ أً٘ اٌزِح ٔصف اٌعششٚ ,ْٓ ِٓ ذجاس اٌّضٍّيُٚ وّا يأخزِٕٙ خز أٔد ) ستع اٌعششٜوً استعيٓ دسّ٘ا(ا “Ambillah olehmu dari mereka (ahl al-harb) sebesar pungutan yang mereka ambil dari pedagang Muslim (yakni 10%). Ambil dari ahl aldzimmah separuhnya (yakni 5%), sementara untuk orang-orang Islam ambillah satu dirham dari setiap kelipatan 40 (yaitu 2,5%).”223 Riwayat inilah yang diambil Ibn Taimiyyah untuk menetapkan prosentase pajak bea cukai bagi non-muslim.224) Secara umum, semua jenis komoditas perdagangan yang masuk ke negara Islam merupakan objek usyur. Ketentuan-ketentuan dasar mengenai usyur yang digariskan oleh Abu Yusuf dalam kitabnya adalah sebagai berikut.225 1. Barang-barang wajib pajak adalah yang dimaksudkan sebagai komoditas perdagangan. 2. Bila pedagang adalah seorang Muslim, maka besarnya pajak adalah 2,5 persen (pajak dihitung berdasarkan jumlah total komoditas). 221 Abu Yusuf, Kharaj, hlm. 134 Ibid. Penggalan surat permohonan itu berbunyi: …ذعششٔاٚ دعٕا ٔذخً أسظه ذجاسا 223 Ibid., hlm. 135. 224 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 40 225 Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” hlm. 126. 222 83 3. Bila pedagang adalah seorang dzimmy, besarnya pajak adalah 5 persen. 4. Bila pedagang adalah orang asing, besarnya pajak adalah 10 persen. 5. Pajak boleh dibayarkan dalam bentuk uang cash maupun barang. 6. Batas minimal barang wajib pajak adalah sama dengan ketentuan nishab dalam zakat, yaitu senilai dengan 200 dirham. 7. Bila pedagang tinggal selama lebih dari satu tahun, maka komoditasnya akan dikenakan pajak lagi. 8. Pedagang Muslim dan dzimmy hanya dikenakan sekali pajak untuk komoditas yang sama. 9. Bila pedangang asing telah pulang ke negaranya dan kemudian kembali lagi, maka dikenakan pajak lagi. 10. Bukti pembayaran pajak harus menyebutkan jumlah pajak yang dibayarkan, nilai barang kena pajak, dan tanggal. 11. Pajak dikenakan untuk perdagangan antar propinsi di negara Islam. 12. Besar kecilnya beban pajak mempertimbangkan kebijakan yang berlaku di negara-negara lain. 13. Barang-barang yang dinilai hanya sedikit dibebaskan dari pajak 14. Barang-barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pajak atau dibebani pajak dengan pertimbangan lain. Dari ketentuan-ketentuan umum di atas, terlihat bahwa salah satu faktor penentu tingkat pajak adalah status para pedagang, yakni status kewarganegaraannya dan agamanya. Pembedaan tersebut adalah sesuatu yang wajar untuk realitas sosio-politik saat itu, bahkan sangat fair. Kenyataannya para pedagang dzimmy memang lebih banyak membutuhkan perlindungan dari para perampok dibandingkan dengan kaum Muslim. Di samping itu juga harus dipertimbangkan bahwa pedagang Muslim harus membayar zakat untuk komoditas mereka, sedangkan dzimmy hanya berkewajiban membayar usyr ketika mengadakan aktifitas perdagangan lintas batas saja. Terlepas dari zakat, yang mungkin dapat dinilai sebagai kewajiban religius, pajak yang lebih besar yang diberlakukan untuk pedagang asing dibandingkan 84 pajak untuk warga negara sendiri mengindikasikan adanya bisnis “nasional.” Dalam sistem kebijakan publik modern, sistem usyr sangat mirip dengan kebijakan subsidi. Lebih jauh, penggunaan pajak insentif, dalam arti memberikan peluang yang lebih besar kepada kalangan pedagang nasional untuk tumbuh lebih cepat serta melindungi mereka dari kompetitor asing, merupakan implikasi nyata dari sistem usyr periode klasik. Al-usyr, dalam pengertiannya sebagaimana dipraktekkan pada masa awal, bisa jadi akan kehilangan relevansinya dengan kontek kebijakan ekonomi saat ini, terutama bila dilihat dari sisi persaudaraan universal Islam (ukhuwah Islamiyah). Abdul Mannan menilai usyr sebagai kendala bagi perdagangan internasional dan bertentangan dengan norma Islam yang tidak mengenal diskriminasi dalam perdagangan.226 Namun menurutnya dari sisi lain, yakni melihat kondisi negaranegara Islam yang miskin dan sedang berkembang, praktek modern bea cukai dapat diterima sejauh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam kenyataannya, “versi modern” dari usyr ini masih banyak diterapkan oleh berbagai negara untuk melindungi produksi dalam negeri. d) Denda Berupa Uang Tujuan denda menurut Ibn Taimiyyah adalah untuk mengurangi kejahatan, bukan untuk menambah pemasukan negara. Jika denda digunakan untuk meningkatkan anggaran, maka dikhawatirkan justru akan menaikkan tingkat kejahatan.227) Dengan demikian, pendapat Ibn Taimiyyah tentang denda ini lebih dekat kepada denda dalam pengertian modern yang tujuan utamanya adalah sebagai punishment. Hukuman dan denda dalam kriminologi lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat. e) Berbagai sumber pendapatan lain 226 M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 250. 227 Ibid., hal. 73 85 Termasuk dalam hal ini adalah upeti yang dibayar oleh musuh, harta benda atau simpanan atau barang rampasan yang pemilik sebenarnya tidak diketahui lagi, dan karena itu tidak bisa dikembalikan dan harta benda pewaris yang tidak memiliki ahli waris.228) Ibn Taimiyyah tidak membahas secara rinci sumbersumber pemasukan negara yang terdaftar di atas dengan alasan sederhana, bahwa sumber-sumber tersebut telah dikenal oleh pemerintah pada saat itu.229) Ibn Taimiyyah lebih menekankan perhatiannya pada pada prinsip-prinsipnya saja. 228 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 568-9 Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 37 229 86 Bab 4 PEMIKIRAN EKONOMI MAKRO JOHN MAYNARD KEYNES Pendekatan Keynes Pemikiran ekonomi Keynes berangkat dari kritiknya terhadap pandangan ekonomi klasik yang telah diyakini kebenarannya pada saat itu. Pandangan ahliahli ekonomi klasik tersebut bertumpu pada masalah-masalah mikro.230) Sebagai contoh, pandangan yang menyatakan bahwa di dalam perekonomian tidak akan terdapat kekurangan permintaan. Apabila para produsen menaikkan produksi mereka atau menciptakan jenis-jenis barang yang baru maka di dalam perekonomian akan selalu terdapat pemintaan terhadap barang tersebut. Maka di dalam perekonomian pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan permintaan. Dengan kata lain penawaran yang bertambah akan secara otomatis menciptakan pertambahan permintaan. Analisis tersebut mengabaikan faktor-faktor di luar lingkup masalah produksi, ceteris paribus. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana menghasilkan barang-barang dan jasa sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya dengan memilih alternatif kombinasi faktor-faktor produksi yang terbaik. Dengan cara memilih alternatif terbaik atau paling efisien perusahaan akan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena yakin bahwa tiap barang yang diproduksi akan selalu diiringi oleh permintaan,231) maka setiap perusahaan berlomba-lomba untuk menghasilkan barang-barang dan jasa sebanyak230 Mikro ekonomi merupakan cabang dari ilmu ekonomi yang mempelajari perilaku konsumen dan perusahaan, penentuan harga-harga pasar, kuantitas faktor input, serta barang dan jasa yang diperjualbelikan. Lihat, Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 4-5. Dengan demikian, analisis ekonomi mikro menyelidiki bagaimana sumber-sumber daya ekonomi yang langka dialokasikan di antara alternatif akhir dan berusaha untuk menentukan faktor-faktor penentu strategis dari suatu penggunaan sumber-sumber daya secara efisien dan optimal. 231 Teori inilah yang kemudian dikenal sebagai Hukum Say, yang mengatakan: “supply creates it‟s own demand”. Bahwa memproduksi dan menawarkan produk-produk pada hakikatnya identik dengan meminta produk-produk lain. Sehingga permintaan total senantiasa harus seimbang, dengan begitu over produksi dan pengangguran secara umum tidak mungkin terjadi. Lihat, P. A. Samuelson, Economics an Introductory Analysis, (New York: McGraw Hill, 1958), hal. 391 87 banyaknya. Keadaan seperti inilah yang terjadi pada tahun 1930-an, di mana perusahaan berlomba-lomba berproduksi tanpa kendali. Di pihak lain daya beli masyarakat terbatas. Akibatnya banyak stok menumpuk. Sebagian perusahaan terpaksa mengurangi produksi, dan sebagian bahkan melakukan rasionalisasi, yaitu mengurangi produksi dengan mengurangi jumlah pekerja. Sejak saat itu mulailah pengangguran besar-besaran di kebanyakan negara.232) Tindakan rasionalisasi dari pihak perusahaan akan memaksa sebagian pekerja menganggur. Orang yang menganggur jelas tidak memperoleh pendapatan, dan sebagai konsekuensinya pendapatan masyarakat turun. Turunnya pendapatan masyarakat menyebabkan daya beli semakin rendah, dan akibatnya barang-barang tidak laku sehingga kegiatan produksi terhenti. Puncak dari kemerosotan ekonomi terjadi pada tahun 1930, di mana hampir di seluruh negaranegara industri terjadi depresi secara besar-besaran (great depression). Analisis-analisis yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik tidak dapat memberikan penjelasan mengenai sebab-sebab Great Depression. Keyakinan mereka bahwa di dalam perekonomian akan selalu terdapat permintaan yang cukup besar, sehingga akan selalu menjamin terwujudnya tingkat penggunaan tenaga kerja penuh, menyebabkan mereka mengabaikan analisis terhadap permintaan agregat dalam suatu perekonomian. Mereka sama sekali tidak membuat analisis tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat permintaan agregat kepada (I) tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai, dan (ii) penggunaan 232 Untuk mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai masalah ini, perlu diidentifikasi latar belakang depresi 1930-an. Faktor yang melatarbelakangi depresi era ini adalah demam spekulasi dari seluruh perekonomian A. S. pada tahun 1929. Demam spekulasi ini tidak hanya terbatas di Wall Street, tetapi menjalar ke seluruh negeri. Keinginan untuk cepat kaya menghilangkan kewaspadaan perusahaan dan bank. Obligasi-obligasi yang spekulatif dan tidak meyakinkan dijual oleh bank kepada para penanam modal. Selain itu, struktur investment trust dan holding company dibangun di atas perusahaan-perusahaan yang berproduksi. Semua kegiatan manipulasi trust mempersiapkan jalan bagi depresi. Akhirnya, setelah pasar modal benar-benar hancur, saat itu pula struktur kredit juga ambruk. Para penanam modal yang meminjamkan uang untuk membeli surat-surat berharga terpaksa dijual untuk menutup hutang. Bank-bank yang penuh dengan surat-surat berharga akhirnya menjadi insolvent. Lihat, Agus Miftahus Surur, “Pasar, Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi”, dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.Des.1999, hal. 11 88 tenaga kerja. Ahli-ahli ekonomi klasik lebih menumpukan perhatian kepada analisis mengenai masalah produksi, yaitu mereka terutama menerangkan tentang cara menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas (analisis segi penawaran) itu dengan efisien.233 Sejak terjadinya depresi besar-besaran, orang curiga bahwa ada sesuatu yang salah dengan teori klasik; sesuatu yang dianggap berlaku umum selama ini. Terdapatnya perbedaan di antara keyakinan ahli-ahli ekonomi klasik dengan kenyataan yang terjadi dalam perekonomian mendorong Keynes untuk menelaah kembali kebenaran-kebenaran dari teori mereka. Kenyataan bahwa suatu perekonomian dapat mengalami pengangguran dan kemerosotan perekonomian yang sangat buruk menimbulkan keragu-raguan terhadap kebenaran keyakinan ahli-ahli ekonomi klasik yang berpendapat bahwa perekonomian selalu mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Keadaan yang sebaliknya muncul pada waktu itu, yaitu kemampuan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barangbarang dan jasa-jasa adalah lebih besar dari permintaan masyarakat yang seharusnya. Dengan perkataan lain, kekurangan permintaan agregat dalam perekonomian merupakan sumber dari pengangguran dan kemunduran perekonomian yang sangat buruk tersebut. Ketika menghadapi situasi buruk itu, pemerintah Inggris (dan kebanyakan negara-negara lain), tetap mempertahankan kepercayaan kepada hukum ekonomi klasik yang telah lama mengakar, bahwa perekonomian akan memperbaiki dirinya secara otomatis. Pembuat kebijakan (pemerintah) dan para ahli ekonomi mengemukan pernyataan bahwa apa yang terjadi pada saat itu merupakan hal yang wajar, alamiah dan masuk akal. Sistem akan segera memperbaiki keadaan ini secara otomatis. Menanggapi hal ini Keynes menulis dalam Economic Consequences of the Peace dengan pernyataan sebaliknya, bahwa keadaan seperti itu, “...unusual, unstable, complicated, unreliable, temporary”.234) 233 Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, hal. 75 J. M. Keynes, Economic Consequences of the Peace, hal. 233 sebagaimana dikutip oleh Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal. 54 234 89 Keynes berpendapat bahwa sistem ekonomi pasar bebas tidak dapat diharapkan untuk memperbaiki keadaan dengan invisible hand-nya. Ia menyebut teori laissez faire sebagai “Breakdown Theory”. Depresi yang telah terjadi akan tetap berlangsung berlarut-larut tanpa penyelesaian.235) Tidak ada seorangpun yang akan sabar menunggu jangka panjang, sebab kata Keynes, “...in the long run, we are all dead.”236) Karena itulah Keynes memunculkan gagasan mengenai pentingnya peranan pemerintah dalam menghapuskan kurangnya permintaan agregat ~sebagai penyebab pengangguran~ melalui defisit pembelanjaan untuk memperbaiki depresi. Teori yang mengatakan bahwa “penawaran akan menciptakan permintaan sendiri”, dikritik oleh Keynes sebagai sesuatu yang keliru. Alasannya, sebagian dari pendapatan yang diterima masyarakat akan ditabung, tidak semuanya dikonsumsi. Dengan demikian, permintaan efektif biasanya lebih kecil dari total produksi. Kalaupun kekurangan ini bisa dieliminir dengan menurunkan hargaharga, maka pendapatan tentu akan turun, dan sebagai akibatnya tetap saja permintaan lebih kecil dari penawaran. Karena konsumsi lebih kecil dari pendapatan, berarti tidak semua produksi akan diserap masyarakat.237 Menurut Keynes, kebenaran Hukum Say hanya berlaku untuk perekonomian tertutup sederhana yang terdiri dari sektor rumah tangga dan perusahaan saja.238 Pada tingkat perekonomian seperti ini semua pendapatan yang diterima pada suatu periode biasanya langsung dikonsumsi, tanpa ada yang 235 Kenneth K. Kurihara, “Distribution, Employment and Secular Growth”, dalam Post Keynesian Economics, Kenneth K. Kurihara, ed., (New Jersey: Rutgers University Press, 1954), hal. 264 236 J. M. Keynes, Tract on Monetary Reform, (London: Macmillan, 1950), hal. 88. Pernyataan ini juga menyiratkan arti bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh Keynes juga tidak akan sesuai untuk masa sesudahnya. “Revolusi” Keynes muncul dan tumbuh dari perimbanganperimbangan keadaan depresi yang terjadi pada masanya. Pada awal dasawarsa 70-an bukan lagi depresi, deflasi dan pengangguran masal yang menjadi pokok permasalahan, melainkan justru suatu keadaan yang sebaliknya. Pada masa itu kegiatan ekonomi berada pada tingkat tinggi, kapasitas produksi terpasang dan digunakan sampai hampir pada batasnya, perdagangan internasional sudah sangat meluas, dan inflasi yang semakin meningkat. Dalam keadaan seperti ini, terlihatlah keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada sistem pemikiran Keynes. 237 J. M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London: Macmillan, 1936), hal. 55 238 J. M. Keynes, General Theory, hal. 11, 265 90 ditabung. Dalam arti, tabungan yang dimiliki oleh masyarakat akan segera dibelanjakan lagi untuk melakukan investasi dalam dunia usaha. Dalam keadaan seperti ini, permintaan akan selalu sama dengan penawaran agregat. Keynes menentang asumsi tersebut. Dalam perekonomian yang lebih maju, di mana masyarakatnya sudah mengenal tabungan, maka sebagian dari pendapatan akan mengalami kebocoran (leakage) yakni disimpan dalam bentuk tabungan, sehingga pengeluaran tidak lagi sama dengan arus pendapatan.239) Seorang yang menyisihkan pendapatannya untuk ditabung belum tentu dimaksudkan untuk investasi, masing-masing mempunyai motivasi yang berbeda.240) Demikian juga, bisa saja seseorang mengkonsumsikan uang yang diperolehnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan untuk investasi, dan sebaliknya. Pengusaha melakukakan investasi didorong oleh keinginan untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya, sedang sektor rumah tangga melakukan penabungan didorong oleh berbagai motif yang sangat berbeda. Termasuk di dalamnya ialah motif berjaga-jaga (pre-cautionary motives), misalnya untuk menghadapi kecelakaan, penyakit, untuk memenuhi hajat (memperingati kelahiran, pekawinan, kematian) dan sebagainya.241) Perbedaan dalam motif ini menyebabkan jumlah tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi. Kalaupun jumlahnya sama, menurut Keynes itu hanya merupakan kebetulan belaka, bukan suatu keniscayaan.242 Menurut Keynes, bunga merupakan jasa imbalan yang harus dibayar kepada si penabung (“penyebab kebocoran”) agar ia bersedia melepaskan bagian dari tabungannya yang ditahan dalam bentuk dana likuiditas tadi untuk selanjutnya dicairkan dalam bentuk investasi.243) Dengan kata lain, tingkat bunga adalah harga yang harus dibayar agar dana likuiditas itu itdak disimpan, melainkan dilepaskan untuk investasi. 239 Shigeto Tsuru, “Keynes versus Marx: The Methodology of Agregrates”, dalam Post Keynesian, Kenneth K. Kurihara, ed., hal. 321 240 J. M. Keynes, General Theory, hal. 65, 90 241 Samuelson, Macroeconomics, hal. 283 242 J. M. Keynes, General Theory, hal. 180-5. 243 Myron J. Gordon, Finance, Invesment, and Macroeconomics: The Neoclassical and 91 Campur Tangan Negara dalam Perekonomian Karena Keynes mengamati bahwa umumnya investasi lebih kecil dari jumlah tabungan, maka ia menyimpulkan bahwa permintaan agregat juga lebih kecil dari penawaran agregat. Kekurangan ini, apabila tidak diantisipasi, akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Karena sebagian produksi tidak terserap oleh masyarakat, stok akan meningkat, dan pada periode-periode berikutnya terpaksa harus dibatasi. Apa yang menjadi inti pokok dari pendapat Keynes di atas ialah bahwa perekonomian yang berjalan menurut mekanisme pasar biasanya mencapai keseimbangan pada titik di bawah fullemployment. Selain perilaku tabungan masyarakat, faktor yang juga berpengaruh terhadap tingkat kesempatan kerja penuh adalah harga dan upah.244) Mengenai hal ini, Keynes menunjukkan kelemahan yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik mengenai peranan dari penurunan tingkat upah di dalam menciptakan penggunaan tenaga kerja penuh. Keynes mengemukakan beberapa hal yang membuat harga bereaksi lamban bila terjadi kelebihan permintaan dan penawaran. Pertama, para karyawan dan buruh perusahaan umumnya terikat dengan suatu kontrak jangka panjang. Dengan demikian, sepanjang masa berlakunya kontrak, baik perusahaan maupun karyawan bersepakat pada tingkat upah sesuai yang tercantum dalam perjanjian. Kedua, harga-harga dari berbagai barang dan jasa seringkali diatur dan ditentukan oleh pemerintah, seperti tarif kendaraan biaya rekening listrik, telepon, dan minyak. Untuk mengubah harga-harga tersebut diperlukan proses formalitas yang panjang. Ketiga, banyak perusahaan yang kurang responsif terhadap kondisi pasar. Misalnya, perusahaan (para pemegang saham) harus bersidang dalam suatu panitia besar untuk mengambil suatu keputusan mengenai perubahan harga penting. 245) Menurut Keynes, letak kesalahan kaum klasik dalam seluruh masalah di Post Keynesian Solution, (Aldershot: Elgar Adward Pub., 1994), hal. 3-4 244 Samuelson, Macroeconomics, hal. 358-60 245 J.M. Keynes, General Theory, hal. 257, 266 92 atas bersumber dari penggunaan partial equilibrium analysis (analisis keseimbangan sebagian).246 Apabila tingkat upah turun maka tingkat pendapatan akan menjadi bertambah rendah, dan daya beli dalam masyarakat berkurang. Oleh sebab itu pengeluaran masyarakat akan menurun. Pengeluaran yang bertambah rendah ini akan menurunkan harga-harga, dan apabila keadaan itu terjadi, maka tingkat penggunaan tenaga kerja penuh tidak akan tercapai. Dari hasil pengamatan tentang kejadian depresi ekonomi pada awal 1930an dan kritiknya terhadap teori klasik, Keynes merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Tingkat kesempatan kerja dan tingkat inflasi dalam suatu perekonomian dapat dipengaruhi dengan cara mempengaruhi permintaan dan pengeluaran agregat. Menurut Keynes, pemerintahlah yang dapat melakukan tugas itu.247 Dalam situasi di mana terjadi gerak gelombang naik turunnya kegiatan ekonomi, pemerintah dapat menjalankan kebijaksanaan pengelolaan pengeluaran dan pengendalian permintaan efektif dalam bentuk “kontra siklis” atau “anti siklis”.248) Keynes menawarkan agar pemerintah menempuh kebijakan fiskal.249) Kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pajak dan pengeluaran pemerintah. Teori kebijakan fiskal Keynes ini diterima secara luas oleh negara-negara Barat untuk mengatasi masalah resesi ekonomi tahun 1930-an. Dan semenjak itu, kebijakan ini dipakai sebagai alat yang utama dalam usaha 246 Analisis ini menganggap bahwa apabila upah turun, maka penurunan itu tidak akan mempengaruhi kurva produk marginal. P. A. Samuelson, Economics,hal. 446-52 247 Sebagai contoh, dalam masalah pengangguran, pemerintah dapat memperbesar pengeluarannya untuk proyek-proyek padat karya sehingga sebagian tenaga kerja yang menganggur bisa bekerja, yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Jika harga-harga naik cepat, pemerintah bisa menarik jumlah uang beredar dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi, sehingga inflasi yang tak terkendali tidak sampai terjadi. 248 Samuelson, Macroeconomics, hal. 346 249 Keynes lebih menonjolkan kebijakan fiskal, karena pada masanya kebijakan fiskal dirasa lebih efektif untuk mempengaruhi perekonomian seperti yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh tingkat kompleksitas masalah moneter yang masih sederhana dibanding masa sekarang. Pada masa sekarang, kebijakan fiskal ini masih dapat diterapkan dengan efektif di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan di negara-negara yang sudah maju, kebijakan moneter akan terasa lebih dominan, karena derajat monetisasi (penggunaan jasa keuangan perbankan) di negaranegara tersebut sudah sangat tinggi. 93 perbaikan perekonomian untuk mencapai penggunaan tenaga kerja secara penuh dan mengontrol tingkat inflasi (suatu hal yang merupakan tujuan dari setiap pembangunan ekonomi). Dari berbagai kebijaksanaan yang dapat diambil oleh pemerintah, Maynard lebih mengandalkan anggaran ekspansif, jika perlu defisit, untuk mengatasi kebuntuan ekonomi pada saat itu. Kebijakan Fiskal Keynes Elemen utama dalam kebijakan fiskal ialah belanja negara untuk barang dan jasa, serta pajak atau pungutan lain. Dalam model Keynes kedua elemen utama tersebut dapat diubah-ubah untuk mempengaruhi tingkat pengeluaran. Selama masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan, perubahan pengeluaran agregat akan mengakibatkan perubahan output suatu bangsa.250 Pengeluaran pemerintah akan merangsang kenaikan pendapatan nasional serta produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh karena pengeluaran tersebut akan menaikkan permintaan agregatif. Hal itu juga berlaku bagi subsidi-subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Meskipun subsidi tersebut tidak menaikkan output secara langsung, namun akan menaikkan pengeluaran konsumsi agregatif mereka secara berantai dan berganda. Secara singkat, pengeluaran pemerintah secara langsung akan menaikkan produksi bila perekonomian belum mencapai keadaan kesempatan kerja penuh karena pengeluaran tersebut menaikkan permintaan agregatif didasarkan pada anggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidaklah pada proyek-proyek yang menghalangi atau menggantikan investasi sektor swasta.251 Kenaikan pajak akan berarti bahwa masyarakat akan memiliki pendapatan disposabel yang lebih rendah, hal ini berarti masyarakat terpaksa harus mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Jika pembelanjaan untuk investasi dan pembelanjaan pemerintah tetap pada jumlah yang sama, maka pengeluaran jumlah konsumsi masyarakat berikutnya akan menurunkan produk nasional bruto dan 250 J.M. Keynes, General Theory, hal. 94-5 251 Faried Wijaya M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987), hal. 135. 94 penggunaan tenaga kerja.252) Dengan demikian dalam model Keynes, apabila output berada di bawah titik potensial, maka pajak yang lebih tinggi tanpa tambahan belanja negara akan terus menekan output lebih rendah lagi dibanding titik potensial.253) Keynes tidak menawarkan gagasan mengenai kriteria untuk mengalokasikan pengeluaran sektor publik ~sebagai prioritas yang harus dipenuhi. Penyembuhan utama dalam resepnya adalah mempertahankan permintaan agregat pada level full employment. Pemerintah dapat melakukan hal ini dengan menambah atau mengurangi pengeluaran untuk kepentingan belanja apapun, seperti pertahanan, pembangunan infrastruktur fisik, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Keynes tidak menyinggung masalah prioritas. Dalam pandangannya, pemerintahan saat itu hanya gagal dalam penyelesaian menangani problem pengangguran, namun pemerintah dipandang telah benar dalam mengatasi problem alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan. Dengan begitu Keynes mengkhususkan hanya pada suatu modifikasi kecil dalam sistem perekonomian klasik untuk mempertahankan full employment.254) Perlu dikemukakan di sini bahwa, kebijakan yang digunakan untuk mengatasi pengangguran pada akhirnya akan membawa kepada inflasi. Dan sebaliknya, kebijakan untuk mengatasi inflasi akan membawa kepada pengangguran. Penurunan permintaan akan menurunkan inflasi, tetapi akan meningkatkan pengangguran255) Dengan demikian, strategi Keynes telah menimbulkan dilema tanpa penyelesaian masalah pengangguran dan inflasi. Dari sinilah maka dituntut adanya kemampuan dalam mempermainkan instrumeninstrumen kebijakan fiskal, yaitu mengendalikan perimbangan antara 252 Ibid. Samuelson, Macroeconomics, hal. 398 254 Lawrence R. Klein, The Keynesian Revolution, (New York: Mac Millan, 1954), hal. 253 165-87 255 J. M. Keynes, General Theory, hal. 281. Sekarang, kebenaran analisis seperti ini (yang ditunjukkan dengan kurva philips) mulai dipertanyakan. Pengalaman stagflasi terakhir (sejak tahun 1970-an) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi ternyata dibarengi dengan tingkat inflasi yang tinggi pula, dengan demikian trade-off yang tetap antara inflasi dan pengangguran tidak berlaku lagi. Lihat, Karl E. Case dan Ray C. Fair, Principles of Economics, (New York: Prentice Hall International, 1997), hal. 780-783 95 pengangguran dan inflasi. Dalam mengambil kebijakan fiskal, pemerintah menetapkan sejauh mana akan meningkatkan pajak, sejauh mana akan menurunkan pajak, dan juga sejauh mana akan meningkatkan atau menurunkan pengeluarannya. Sehingga, setiap kenaikan tingkat inflasi ataupun penurunan kesempatan kerja akibat kebijakan fiskal yang diambil masih tetap terjaga pada kisaran limit yang bisa ditolerir bagi perekonomian negara secara keseluruhan. Meskipun Keynes lebih menekankan pentingnya kebijakan fiskal, hal ini tidak berarti menafikan kebijakan moneter. Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tidak bisa dilepaskan karena apabila pemerintah berniat mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat, maka akan berhubungan dengan hasrat untuk berkonsumsi masyarakat (Marginal Propensity to Consume atau MPC) dan juga hasrat untuk menabung masyarakat (Marginal Propensity to Save atau MPS).256 Untuk menurunkan tingkat konsumsi dan menaikkan tabungan masyarakat dalam rangka mengatasi inflasi, pemerintah dapat menggunakan kombinasi kebijakan fiskal dan moneter, yaitu menaikkan pajak dan menaikkan tingkat bunga sehingga MPC akan turun dan MPS akan naik. Untuk meningkatkan kesempatan kerja, pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya dan menurunkan tingkat bunga sehingga MPC akan naik dan MPS akan turun. Lebih tingginya keinginan untuk berkonsumsi dan juga lebih rendahnya tingkat bunga kredit akan mendorong lebih tingginya tingkat investasi dalam masyarakat dan terbukanya kesempatan kerja. 256 Victoria Chik, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983), hal. 317. Lihat juga, Boediono, Ekonomi Makro, ed. 4, (Yogyakarta: BPFE, 1999), hal. 36-8 96 Bab 5 PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN FISKAL: RELEVANSI Konsep Kebijakan Publik Islam Koordinasi ekonomi memerlukan konsep dasar yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, terutama kepentingan-kepentingan para pelaku ekonomi. Untuk itu diperlukan tuntunan menyangkut aspek historiskonstitusional, moral-ideologis dan operasional praktis yang disebut sebagai sistem perekonomian. Di dalam sistem itu seluruh lembaga ekonomi diselenggarakan bertujuan untuk mencapai suatu tujuan kolektif. Dalam hal ini sistem ekonomi (politik) menjadi semacam pedoman, aturan atau kaidah yang digunakan oleh seseorang atau masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya, yaitu dalam melakukan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap barang dan jasa.257 Dalam realitasnya, mekanisme pasar tidak dapat bekerja sendiri (laissezfaire) sebagaimana diyakini dalam teori-teori ekonomi. Kondisi ini mengisyaratkan perlunya campur tangan pemerintah, terutama menyangkut kebijakan publik. Mekanisme koordinasi penyediaan barang-barang dan jasa dilaksanakan melalui hirarki yang dilakukan berdasarkan perintah dan kontrol oleh pemegang otoritas dan kewenangan. Dengan demikian kebijakan publik pada dasarnya merupakan rencana-rencana kelembagaan (ekonomi) yang menentukan seperangkat pilihan individu maupun publik. Pengertian lembaga ekonomi seringkali juga diartikan sebagai produk tertulis seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan MPR, Perda, AD ART suatu organisasi dan lain-lain. Di samping itu, lembaga juga dapat diartikan sebagai produk tidak tertulis seperti kebiasaan, adat istiadat, cara-cara 257 Paul R. Gregory dan Robert C Stuart, Comparative Economic System (Boston: Houghton Muffin Company, 1981), hal. 16. 97 yang biasa dilakukan oleh suatu masyarakat dalam melaksanakan produksi, distribusi dan konsumsi. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka perbedaan sistem ekonomi suatu negara dengan lainnya adalah terletak pada faktor-faktor meta ekonomis seperti pandangan hidup suatu bangsa, nilai-nilai yang dijunjung tinggi, kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat. Sistem perekonomian menurut Frans Seda bisa terbentuk melalui berbagai cara, di antaranya adalah; pertama, terbentuk dari tradisi secara turun temurun, yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat. Cara kedua, sistem ekonomi terbentuk dari hasil pemikiran seseorang. Sebagai contoh, sistem kapitalis digagas oleh Adam Smith dan para pendukung dari mazhab Klasik, kemudian sistem sosialis atau komunis dirancang oleh Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin, dan sebagainya. Cara ketiga, sistem ekonomi dibentuk melalui “pembaharuan”, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Cara keempat, sistem ekonomi diciptakan secara terrencana dalam bentuk “cetak biru” sebagai kerangka pola tindakan guna menghadapi berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang timbul di masyarakat.258 Cara terakhir ini menegaskan bahwa pembicaraan tentang ekonomi, terutama tentang sistem ekonomi sangat ditentukan oleh faktor politik. Dalam pembahasan ekonomi politik, berbagai keputusan menyangkut kebijakan publik (public policies) yang terdiri dari serangkaian pilihan yang saling berhubungan, dilaksanakan oleh pemerintah sesuai institusi ekonomi dan politik yang ada. Kebijakan tersebut diformulasikan dalam berbagai bidang isu yang bermuara pada kesejahteraan terkait dengan nilai-nilai ekonomi, sosial, politik dan budaya.259 Bentuk dari suatu kebijakan sangat ditentukan oleh pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu individu-individu atau kelompok individu yang mempunyai akses dalam perumusan kebijakan. Para pelaku 258 Frans Seda, Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1992). 259 William M. Dunn , Pengantar Analisis Keuangan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), hal. 110. 98 kebijakan (kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, para analis kebijakan dan lain-lain) memiliki persepsi yang berbeda terhadap informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan suatu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi. Dengan demikian, lingkungan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan publik. Dalam hubungan yang bersifat dialektis tersebut, dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan menjadi tidak dapat dipisahkan di dalam prakteknya. Dalam diskursus ekonomi Islam, campur tangan negara dalam perekonomian merupakan suatu keniccayaan. Karena alasan inilah beberapa ulama menyebut negara Islam (ideal) dengan sebutan Daulah Ri‟ayah (negara yang mengurusi kehidupan rakyat). Menurut Chapra, Intervensi tersebut diperlukan untuk menjamin keselarasan perekonomian dengan norma-norma Islam.260 Dalam hal ini, pemerintah berperan menyediakan berbagai barang publik untuk mendorong pembangunan dan perkembangan kesejahteraan masyarakat, khususnya pada hal-hal yang dinilai sebagai kewajiban layanan publik atau PSO (Public Service Obligation), yakni sektor pendidikan, kesehatan, dan inftrastruktur (jalan, jembatan, listrik, air, telepon, dan lainnya). Sistem kebijakan adalah produk subyektif manusia yang terbentuk melalui pilihan-pilihan sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas obyektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan. Dalam ekonomi Islam tiga komponen itu baik pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan maupun kebijakan publik itu sendiri harus selalu berpedoman pada syariah. Secara historis, kompleksitas persoalan keuangan publik yang semakin besar dengan semakin mapannya daulah Islam menjadi alasan mengapa tidak 260 M. Umer Chapra, Masa depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 63. 99 semua sumber pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan nashnash syar‟i. Dalam hal ini banyak persoalan yang harus diputuskan dengan ijtihad, dengan mempertimbangkan kontekstualitas.261 Orang pertama yang dinilai berani melakukan kontekstualisasi ini adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Berdasarkan ijtihadnya, ia adalah yang pertama menetapkan pos-pos pemasukan keuangan publik baru yang sebelumnya tidak dikenakan;262 memutuskan untuk tidak menyerahkan tanah taklukan kepada para tentara, namun tetap di tangan pemilik awal dengan kewajiban membayar pajak dan jizyah;263 ia juga menetapkan pungutan „usyur kepada penduduk Manbij (Hierapolis).264 Dalam sejarah Islam, sebagaimana dicontohkan Nabi sendiri, sesungguhnya mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam atau yang telah ada tidak menjadi persoalan selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam. Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu agar sejalan dengan maqashid al-syari‟ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharaj,265 atas tanah tersebut. Lebih jauh, tidak hanya mengadopsi dan mengadaptasi sistem pajak peradaban lain, Khalifah Umar bahkan juga merasa perlu merekontekstualisasikan beberapa kebijakan publik yang telah diberlakukan masa Nabi Muhammad SAW. Contoh jelas dari upaya ijtihad tersebut adalah kebijakan pembagian tanah 261 „Abd Wahhab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar‟iyyah, hlm. 102-103. Misalnya dalam bidang zakat (sebagai salah satu sumber pemasukan negara saat itu) untuk kuda, war (rumput herbal untuk bahan kosmetika), karet, hasil laut dan sebagainya. Lihat Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS, 2004), bab 6. Abu Ubayd, tokoh utama yang dikaji dalam penelitian Ugi, dipandang sebagai ulama yang banyak mendukung dan mengikuti gagasan-gagasan Khalifah Umar. 263 Abu Yusuf menceritakan kisah Khalifah Umar ini; bagaimana ia bermusyawarah tentang pembagiannya, bagaimana tanggapan para tokoh, dan sebagainya di berbagai tempat dalam Kitab al-Kharaj, hlm. 23-27, 35, 68-69, dan 140-141. Lihat juga Abu Ubayd, Kitab al-Amwal (Beirut: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 65 264 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 26-27. 265 Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 65. 262 100 ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari penaklukan dengan perang akan dibagikan seperlima kepada negara dan kebutuhan sosial (bagian ini dikenal dengan sebutan khums), serta sisanya dibagikan untuk mereka yang ikut berperang.266 Ketika banyak daerah yang ditaklukkan, Khalifah Umar memutuskan untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan dalam Q.S Al-Anfal (8): 41. Tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh para pemilik semula dengan kompensasi membayar kharaj dan jizyah. Dengan demikian, tanah-tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah fay‟.267 Nabhani menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam, kebijakan ekonomi publik harus menggunakan jizyah dan kharaj sebagai sumber pemasukan negara. Jizyah merupakan pungutan yang ditetapkan bagi penduduk kuffar sebagai kewajiban mereka terhadap pemerintah. Pajak ini tidak akan dikenakan lagi bila mereka telah memeluk Islam.268 Ketentuan mengenai jizyah tersebut berbeda dengan kharaj. Kharaj ditetapkan kepada semua warga negara (baik Muslim maupun non-Muslim) yang tinggal di tanah taklukan (ekspansi wilayah) baik melalui perang maupun perjanjian damai.269 Dalam hal ini, warga negara diwajibkan membayar pajak kharaj dengan asumsi bahwa mereka telah menempati tanah milik negara. Persoalan besar dalam diskusi tentang relevansi kebijakan fiskal dalam Islam dengan pajak dalam ekonomi modern tentu hanya bisa dilakukan dalam bingkai prinsip-prinsip kebijakan publik secara umum. Pembatasan ini harus dilakukan mengingat adanya rentang waktu yang sangat panjang. Bahkan bila tidak dilakukan pembatasan ini, maka diskusi tentang keuangan publik Islam justru akan kehilangan relevansinya. Sebagai ilustrasi, pada masa awal Islam, pendapatan pemerintah dari sektor ghanimah, fay dan jizyah adalah menjadi sumber pemasukan negara yang 266 Ketentuan pembagian ini didasarkan pada Q.S. Al-Anfal (8): 41 Menurut definisi Yahya ibn Adam, ghanimah adalah segala sesuatu yang diperoleh dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay‟ (yaitu berupa kharaj dan jizyah). Lihat kitabnya, Al-Kharaj, hlm. 121. 268 Taqy al-Din al-Nabhani, The Economic System of Islam, hal. 228-229 269 Ibid., hal. 230 267 101 sangat urgen. Demikian juga, pengeluaran pemerintah untuk keperluan perluasan wilayah dan menjaga perbatasan sangat besar. Bila pembahasan kita saat ini masih berkisar pada persoalan-persoalan tersebut, dengan pendekatan legal reasoning atau judicial oriented, dan bukannya dengan pendekatan historis, maka sudah tentu diskusi tersebut hanya berhenti pada tataran teoritis. Namun bila kita menggunakan kerangka pendekatan epistemologis, sesungguhnya konsep dan praktek perpajakan di zaman modern tidak berbeda dengan apa yang disinggung dalam kitab-kitab tentang kebijakan publik periode awal Islam. Abu Yusuf dan Qudamah ibn Ja‟far dan Ibn Taimiyyah misalnya, lebih dari seribu tahun yang lalu telah menjelaskan teori dan praktek jizyah dan usyr dalam suatu pemerintahan Islam, dengan konsep yang sangat mirip dengan teori modern “kapasitas fiskal” yang mencakup “keadilan horizontal dan vertikal.” Literatur konvensional tentang kebijakan publik banyak memberikan perhatian pada kriteria keadilan dalam kebijakan pajak. Kriteria ini menyatakan bahwa masing-masing pembayar pajak harus memberikan bagian yang adil dari kepemilikannya untuk pembiayaan pemerintah. “Bagian yang adil” tersebut, dalam ekonomi konvensional, pada umumnya diukur dengan dua cara. Pertama, pengukuran yang mengacu kepada prinsip manfaat dan kedua, mengacu kepada prinsip kemampuan membayar.270 Sedangkan prinsip manfaat menyatakan bahwa setiap pembayar pajak memberikan kontribusi senilai dengan manfaat yang akan diterimanya dari layanan publik.271 Lebih jauh, prinsip kemampuan membayar dalam ekonomi konvensional menyatakan bahwa masyarakat harus memberikan sumbangan terhadap pengeluaran pemerintah sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar.272 Berdasarkan prinsip ini, maka warga negara wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama dalam membayar pajak harus membayar dengan jumlah yang sama pula. Demikian juga, warga yang memiliki kemampuan lebih harus 270 R.A. Musgrave dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice (Singapura: McGraw Hill, 1987), hlm. 228-229. 271 Ibid., hlm. 229. 272 Ibid. 102 membayar lebih. Struktur sistem pajak dalam ekonomi Islam masa awal, sebagaimana digagas oleh para tokoh, menfokuskan pada kriteria kesamaan dan penekanan utama mereka adalah pada prinsip kemampuan untuk membayar. Untuk menegaskan kembali, Ibn Taimyyah yang didahului oleh Abu Yusuf, menyatakan bahwa penguasa memiliki wewenang untuk mengurangi atau meningkatkan pajak sesuai dengan kemampuan (produktifitas) tanah dan kemampuan pembayar pajak.273 Demikian juga, tingkat beban jizyah (dan pajak lainnya) tidak ditetapkan di awal. Tingkatan tersebut mempertimbangkan situasi dan kondisi pembayar pajak. Abu Yusuf menyebut prinsip pemungutan pajak yang didasarkan kepada nilai yang tidak tetap dengan istilah muqasamah.274 Menurutnya, tingkat pajak semestinya tidak ditetapkan di awal dengan nilai yang pasti,275 namun harus mempertimbangkan tingkat kemampuan dan prosentase penghasilan (pajak proporsional). Sistem ini menuntut adanya pembedaan tingkat pajak menurut pendapatan mereka. Sebagai contoh kasus penerapan sistem tersebut, Abu Yusuf mengemukakan sistem pajak yang berlaku di Sawad pada masa Khalifah Umar. Sebelum menetapkan prosentase pajak, Khalifah telah membentuk sebab dewan yang ditugaskan untuk mengukur luas tanah Sawad serta meneliti kapasitas finansialnya. Dari survei yang dilakukan, luas tanah tersebut adalah 36000000 acre.276 Berdasarkan masukan dewan, Khalifah menetapkan besarnya pajak adalah satu dirham untuk setiap jarib (ukuran tanah) dan satu qafiz gandum atau barley (sejenis gandum) untuk daerah (tanah) yang dilalui sungai. Jumlah ini merupakan sepertiga dari jumlah pajak yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas kekuasaan sebelumnya.277 273 Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 85 Abu Yusuf membahas persoalan itu secara khusus dalam sub-bab yang berjudul “Apa yang Seharusnya Dilakukan di Sawad.” 275 Sistem perpajakan yang telah ditetapkan nilainya disebut dengan wazifah 274 276 Abu Yusuf, Kharaj, hal. 36 M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 84 dan Adi Warman Karim, Sejarah Pemikiran, 68 277 103 Dengan menganalisis sistem pajak yang diterapkan di Sawad, Abu Yusuf berpendapat bahwa sistem yang seharusnya diberlakukan adalah sistem muqasamah.278 Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang digunakan dalam penetapan pajak di Sawad adalah:279 1) Tingkat produktifitas tanah 2) Elastisitas income demand terhadap tanah pertanian 3) Biaya irigasi 4) Situasi tanah terkait dengan pasar Beberapa abad setelah pandangan itu dikeluarkan, Adam Smith juga menetapkan bahwa perlindungan pemerintah untuk masyarakat dalam menutupi beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuan. Ukuran tersebut didasarkan pada tingkat pemasukan, dan inilah yang dimaksud bahwa kewajiban membayar pajak harus disesuaikan dengan kemampuan finansial.280 Selain penekanan pada “kemampuan membayar,” Abu Yusuf juga menyarankan penerapan prinsip kemanfaatan umum dalam pembiayaan layanan publik. Lagi-lagi, gagasan ini mengingatkan kepada teori pengacuan pada “kemanfaatan” dalam ekonomi konvensional sebagaimana telah disinggung di atas. Seperti telah kita lihat sebelumnya, kewajiban seorang dzimmy membayar usyr adalah dikatikan dengan manfaat yang akan mereka peroleh, yaitu demi keamanan atau “ijin gangguan.” Asas yang sama, menurut Abu Yusuf, juga diterapkan untuk proyek-proyek pembangunan. Para petani misalnya, yang telah mengambil manfaat langsugn dari proyek irigasi, maka harus berpartispasi secara proporsional dalam pembiayaan proyek tersebut.281 Ibn Taimiyyah vis a vis J.M. Keynes Dengan memperhatikan konsep ekonomi makro Ibn Taimiyyah, dapat 278 279 Ibid., hlm 48. M. Sarra Nezhad, “Tribute (Kharaj) as a Tax on Land is Islam,” dalam International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1. 280 Gazi Inayah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995), hlm. 44-45. 281 Ibid., hlm. 109-110. 104 ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya Ibn Taimiyyah tidak menempatkan peranan negara dalam bentuk intervensi yang memukul dasar komitmen kepada kapitalisme laissez-faire. Ia juga bukan dalam bentuk negara sejahtera sekular. Ia adalah suatu tugas „amr ma‟ruf nahy munkar. Yakni, peranan positif kewajiban moral untuk membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dengan memantapkan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan sosial, mempertahankan sistem ekonomi agar tetap selaras dengan garis kebijakan yang telah disepakati, mencegah penyelewengan demi mengejar kepentingan pribadi. Semakin besar motivasi yang dimiliki rakyat untuk mengamalkan nilainilai Islam, dan semakin efektif institusi-institusi sosio-ekonomi dalam menciptakan suatu keseimbangan antara sumber-sumber daya dan penggunaannya dalam mewujudkan maqashid, maka akan semakin kecil peranan negara dalam perekonomian. Tetapi menurut Ibn Taimiyyah, bagaimanapun perannya, negara tidak boleh bertindak sewenang-wenang; ia harus tetap berada dalam batas-batas syari‟ah. Sebab baginya tujuan pembentukan negara adalah untuk menegakkan supremasi syari‟ah. Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, esensi pemikiran Keynes adalah penolakan terhadap konsep klasik yang menyatakan bahwa tingkat full employment dijamin secara otomatis. Keynes memunculkan gagasan mengenai pentingnya peranan pemerintah untuk mengatasi depresi yang terjadi pada masanya, Dasar filsafatnya adalah bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting, yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan pasar. Upaya Keynes telah berhasil memperkenalkan pendekatan ekonomi yang lebih luas dan meruntuhkan keyakinan kaum klasik akan keagungan laissez-faire. Dalam pemikiran Ibn Taimiyyah, kebijakan fiskal diharapkan dapat melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam suatu negara. Proses pengalokasian penggunaan sumber daya, distribusi dan redistribusi pendapatan dan kekayaan, serta penggunaan kebijakan anggaran belanja sebagai alat stabilitas harga, kesempatan kerja yang tinggi, harus memberi suatu manifestasi 105 keprihatinan sosial dan moral yang jelas, di samping kesejahteraan material. Gagasan fiskal Ibn Taimiyyah yang didasarkan atas prinsip keadilan dan pemerataan distribusi ini, memungkinkan suatu negara untuk memecahkan masalah fungsi fiskal dengan cara yang relatif mudah. Sifat mementingkan kesejahteraan manusia dalam keuangan publik ini diperoleh dari gagasan zakat, yang mengandung potensi menuju perbaikan masyarakat untuk kepentingan si miskin dan lapisan masyarakat yang memerlukan bantuan. Zakat yang dipungut dari kaum muslimin dapat juga digunakan untuk kesejahteraan golongan non muslim. Selain itu, Ibn Taimiyyah menekankan bahwa pembayaran zakat bagi kaum muslimin bukan saja sebagai kewajiban terhadap negara, namun juga sebagai pelaksanaan kewajiban keagamaan. Jadi, pungutan zakat mempunyai dimensi ganda. Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, pemikiran full-employment Keynes tidak ia maksudkan sebagai tindakan moral ataupun agama.282) Baginya kesejahteraan hanya akan dapat dicapai dengan filsafat materialis. Ia menyatakan, “We were immoralists... recognized no moral obligation... no inner sanction to conform or obey... the prime objects in live are love, the creation and enjoyment of aesthetic experience and the pursuit of the knowledge... morals are unnecessary.”283) Dengan demikian, latar belakang pemikirannya adalah kenyataan bahwa kaum pengangguran secara tidak langsung akan menjadi beban, sehingga merugikan kesejahteraan ekonomi makro. Gagasan Keynes lebih menekankan konsumsi dan pemilikan materi sebagai sumber kebahagiaan manusia. Keynes tidak mengindahkan peranan nilai moral reformasi individu maupun sosial, dan terlalu berlebihan menekankan peranan negara. Ia tidak memiliki komitmen kepada persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi.284) Pandangan yang bersifat duniawi ini tidak memberikan suatu 282 E. F. Schumacher, Kecil itu Indah; Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil, terj. S. Supomo, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 29 283 Sebagaimana dikutip oleh Gerhard W. Ditz, “Smith and Keynes, Religious Differences in Economic Philosophy”, dalam Bijdragen Tijdschrift voor Filosofie en Theologie No. 49, tahun 1988, hal. 80 284 Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1995), hal. 7 106 dasar rasional apapun selain materialisme. Dalam kerangka kerja ini tidak ada motivasi untuk memenuhi kepentingan sosial kecuali bila ia secara otomatis merupakan hasil tidak langsung dari tujuan utama mereka. Dengan mengambil stuktur perpajakan Islam menurut pemikiran Ibn Taimiyyah, maka akan terlihat bahwa suku tertinggi (khums) adalah untuk barangbarang mineral, barang rampasan perang, barang-barang perhiasan yang berharga dan sebagainya. Dalam bidang pertanian yang tergantung dari curah hujan, tingkat pajak panenan („usyr) adalah sepuluh persen Dalam bidang pertanian irigasi, tingkat pajak adalah nisf al-‟usyr, yakni lima persen. Selain itu, terhadap aset-aset lainnya baik akumulasi-akumulasi kekayaan, maupun simpanan (tabungantabungan) yang tidak diinvestasikan, tingkatnya justru paling rendah, yakni 2,5% per annum. Dengan demikian, tampak bahwa tingkat pajak itu lebih tinggi manakala unsur kesempatan produktifnya (element of change) lebih besar. Sebaliknya; tingkat pajak akan lebih rendah jika kontribusi tenaga kerjanya lebih banyak. Lebih jauh, lembaga zakat telah mendorong orang menggunakan simpanan atau tabungan-tabungan mereka untuk meningkatkan pertumbuhan sampai lebih dari 2% atau 2,5% per annum; atau jika belum mencapai empat puluh tahun, pemilik asset-asset ini akan memiliki passiva atau hutang terakumulasi (accumulated liabilities). Atas dasar deduktif kumulatif tahunan ini, penurunan harga tahunan (depresiasi) seperti itu akan memerlukan waktu yang kurang dari empat puluh tahun.285 Dengan demikian, kita melihat bahwa di bawah sistem pembelanjaan sebagaimana diuraikan Ibn Taimiyyah, mobilisasi tabungan tidak akan berpengaruh secara merugikan. Menurut Keynes, kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat akan terkait dengan marginal propensity to consume (MPC) dan juga marginal propensity to save (MPS).286 Untuk meningkatkan kesempatan 285 kerja, pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya dan Muhammad Uzair, “Dasar-Dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan Keuangan Islam”, dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, Achmad, Amrullah dkk,. ed., (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 129. 286 Victoria Chik, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General 107 menurunkan tingkat bunga sehingga MPC akan naik dan MPS akan turun. Lebih tingginya keinginan untuk berkonsumsi dan juga lebih rendahnya tingkat bunga kredit akan mendorong lebih tingginya tingkat investasi dalam masyarakat dan terbukanya kesempatan kerja. Ibn Taimiyyah tidak memperkenankan campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat seperti gagasan Keynes tersebut. Dalam kerangka pemikiran ekonomi Ibn Taimiyyah, tingkat investasi yang tinggi dapat terbentuk dengan institusi zakat. Zakat akan mempengaruhi perilaku tabungan dan investasi. Untuk menghindari “hukuman” zakat terhadap harta yang tidak dijalankan, orang akan cenderung; (1) Meningkatkan propensity to consume, atau (2) Menggunakan tabungannya untuk investasi, yang berarti menurunkan propensity to save.287) Selain itu, tidak dibenarkannya pengenaan bunga dalam Islam mestinya memberi dorongan yang lebih besar bagi deposit untuk memobilisasikan investasi dalam kerangka bagi hasil.288) Dalam hal output, Ibn Taimiyyah mensyaratkan pengeluaran sebagai dasar pertimbangan utama untuk mengatur pemasukan. Hal ini berdasarkan persyaratan yang telah ditentukan bahwa suatu negara (Islam) harus menyediakan kebutuhan minimum pokok bagi semua warga negaranya, bahkan kewajiban ini juga dibebankan kepada setiap warga negara.289) Oleh karena itu, bila penghasilan zakat belum memenuhi persediaan pokok bagi si miskin, selalu terdapat kemungkinan lain untuk perpajakan tambahan di luar zakat, asal saja digunakan dengan cara yang benar. Apa yang dikemukakan Ibn Taimiyyah tersebut sangat berbeda dengan pendapat Keynes. Ia tidak menawarkan gagasan mengenai kriteria untuk pengeluaran sektor publik. Penyembuhan utama dalam resepnya adalah Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983), hal. 317 287 F. R. Faridi, “Zakat and Fiscal Policy”, dalam Readings in Islamic Fiscal Policy, Sayed Afzal Peerzade, ed., (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1996), hal. 77. Lihat juga Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 77-8. 288 Umer Chapra, Al-Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal. 194 289 Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXIX, hal. 194 108 mempertahankan permintaan agregat pada level full employment. Pemerintah dapat melakukan hal ini dengan menambah atau mengurangi pengeluaran untuk kepentingan bermacam-macam belanja, seperti pertahanan dan infrastruktur fisik, pendidikan, kesejahteraan maupun kesehatan. Keynes tidak menyinggung masalah prioritas. Yang terpenting baginya adalah bahwa pengeluaran publik (dalam bentuk apapun) akan mengangkat daya beli masyarakat, sehingga akan merangsang sektor produksi dan investasi, dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan nasional (yang berarti akan menghapus pengangguran). Walaupun gagasan sistim fiskal Ibn Taimiyyah sebagaimana dikemukakan di atas masih sederhana, namun dapat ditunjukkan bahwa sistem pajak itu bersifat elastis dan dinamis. Misalnya, golongan harta benda yang terkena zakat (dan pajak) tidak dipertahankan secara kaku. Ia menyetujui kebijakan untuk melakukan sejumlah perubahan sistem zakat, berdasarkan pertimbangan maslahah suatu negara.290 Baginya, zakat merupakan cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Sedangkan dalam gagasan Keynes, secara singkat dapat dikatakan bahwa sikap ekonominya lebih mementingkan cara daripada tujuan. Maka, sebagaimana dikatakan Keynes sendiri, hal ini akan melenyapkan kebebasan dan kemampuan manusia untuk memilih tujuan ideal yang benar-benar dikehendaki, karena perkembangan cara akan menentukan pilihan tujuan. Tujuan paling umum dari pembangunan ekonomi menurut Keynes adalah untuk memaksimalkan pendapatan nasional atau tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk tujuan ini, ia menetapkan suatu peranan yang lebih besar bagi pemerintah dalam suatu manajemen permintaan efektif terutama melalui kebijakan fiskal. Dalam hal ini, Keynes menganjurkan anggaran defisit. Keadilan yang Lebih Luas Keadilan telah diartikan secara beragam. Ibn Hazm misalnya, keadilan adalah terjaminnya kebutuhan minimum pokok bagi semua warga negara. Untuk 290 Lihat misalnya penafsirannya tentang mu‟allafat qulubuhum pada bab III, hal. 72. 109 tujuan inilah zakat dan fai‟ dialokasikan. Jika keduanya tidak mencukupi, maka tugas itu menjadi tanggungjawab pemerintah.291 Abu Yusuf menambahkan bahwa jizyah yang dikenakan kepada zimmi harus dialokasikan untuk kepentingan perlindungan bagi harta kekayaan dan usaha mereka. Oleh karena itu, wanita, anak-anak, dan orang tua tidak dikenakan jizyah.292 Dari apa yang mereka ungkapkan, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan (dalam kebijakan pemerintah) berarti adanya timbal balik antara hak dan kewajiban. Lebih tegas lagi, al-Gazali menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menolong warga negara yang menderita kesusahan karena masa paceklik, kelangkaan barang, dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Pemerintah berkewajiban mengeluarkan pembiayaan untuk mereka yang diambil dari bait al-mal.293 Pandangan al-Gazali tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Jassas ketika menafsirkan surat Yusuf.294 Dalam kerangka kajian ini, suatu perekonomian dikatakan telah mencapai taraf keadilan jika barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan semua orang terpenuhi secara memuaskan, dan terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, serta tidak memberikan pengaruh yang merugikan terhadap kesempatan kerja, motivasi usaha, tabungan dan investasi. Pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap pemerataan pendapatan maupun kesempatan kerja memiliki keistimewaan tertentu yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem ekonomi Keynesian. Keistimewaan yang paling menonjol adalah bahwa pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap pemberantasan kemiskinan merupakan sebuah kewajiban yang bersifat ganda (perintah agama dan kewajiban sebagai warga negara).295 291 Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba‟ah an-Nahdah, 1347), VI, hal. 156. Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hal. 272-3. Demikian juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi‟i, dalam al-Umm, V, hal. 50. 293 Abu Hamid al-Gazali, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba‟ah Khairiyyah, tt. ), hal. 94. 294 Jassas, Ahkam al-Qur‟an, (Kairo: Matba‟ah Salafiah, 1395), III, hal. 176 295 Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal 95. Lihat juga, Ibn Taimiyyah, as-Siyasah as-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyyah, (Mesir: 292 110 Kebijakan fiskal diharapkan memainkan peranan yang penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan menjaga agar pendapatan dan kekayaan yang adil terpelihara dalam batasan-batasan yang diterima oleh perekonomian Islam. Al-Qur‟an dan as-Sunnah tidak menetapkan suatu sistem keuangan yang kaku. Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah sebagaimana dikemukakan pada bab III telah menunjukkan hal ini. Islam tidak mengikat negara dengan ukuran pajak tertentu, suatu negara bisa saja mempunyai kebijakan yang berlainan dengan negara lain. Dalam hal ini ia menekankan akan pentingnya memperhatikan realitas sosial yang melingkupinya.296) Penekanan yang utama sebagaimana disinyalir Ibn Taimiyyah adalah pada tanggung jawab negara untuk memberikan penyelamatan pada kaum fakir miskin, dan dalam konteks inilah maka pengumpulan dan pendistribusian zakat pada setiap bagian negara merupakan suatu kewajiban. Meskipun Ibn Taimiyyah menekankan bahwa pajak maupun zakat seharusnya dibebankan dan didistribusikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan,297) namun harus disadari bahwa keduanya tidak akan memperkaya kaum miskin. Paling tidak, pajak dan zakat diharapkan dapat berfungsi untuk menghapus ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Data dari negara-negara tertentu menunjukkan, zakat (tidak termasuk pajak) memiliki potensi untuk mengalihkan 3% sampai 4% hasil kotor domestik setiap tahun kepada penduduk miskin.298) Dari bahasan-bahasannya, jelas sekali bahwa Ibn Taimiyyah sangat menekankan agar berbagai kebijakan yang digunakan oleh suatu negara berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan sosial. Menurutnya, hal ini hanya dapat dicapai bila pemerintahan bersikap adil dan menganggap kepemimpinannya sebagai kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh rakyat. Oleh karena itu dalam Dār al-Kitab al-„Arabiy, 1969), hal. 178 296 Lihat bab III, hal. 75 297 Ibn Taimiyyah, As-Siyasah, hal. 11, 46 298 Ziauddin Ahmad, Al-Qur‟an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 51. Lihat juga, Sahri Muhammad, “Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas Brawijaya” dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, no. 9, vol. II, 1991 M/1411 H, hal. 97. Meskipun masih dalam lingkup yang sangat terbatas, eksperimen ini menunjukkan suatu hasil yang menjanjikan. 111 suatu perekonomian Islam, semua kebijakan dapat diambil asal tetap berpegang pada fungsi tersebut. Dalam hal ini, anggaran defisit sebagaimana dianjurkan Keynes, bisa saja diterima, dengan catatan jika data-data menunjukkan terjadinya peningkatan hasil dari negara peminjam dan ada kemampuan untuk membayar hutang itu.299) Namun, hemat penyusun, pemakaian defisit anggaran harus diperhitungkan dengan cermat. Sebab, sekali suatu negara menggunakan anggaran defisit (yang berarti bergantung pada bantuan asing), maka sangat sulit untuk keluar dari ketergantungan tersebut.300 Sebab, kebijakan pemotongan pengeluaran yang tinggi, atau penaikan pajak yang berlebihan yang dituntut oleh pengembalian selalu tidak dapat diterima secara politis maupun publik.301) Banyak negara penerima bantuan hanya involve sedikit dalam proyek-proyek yang didanai dengan hutang luar negeri. Menurut Sritua Arief, terakumulasinya hutang luar negeri ini terjadi karena dua hal, pertama, nilai cicilan plus bunga yang lebih besar dari nilai hutang baru yang diterima, kedua, merosotnya nilai tukar (terms of trade) produkproduk ekspor dari negara-negara ini ke negara-negara maju.302 Penghasilan dari pajak tidak bisa ditingkatkan seiring dengan pengeluaran, karena dasar-dasar perpajakan yang terbatas dan ketidakefisienan serta korupsi administrasi perpajakan yang biasanya terjadi di negara-negara berkembang seperti indonesia. Selain itu, pajak yang terlalu tinggi akan merusak dunia 299 Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal. 303. 300 Kenyataan empiris menunjukkan, jumlah hutang negara sedang berkembang naik dari U.S. $ 49 billion (1970) menjadi U.S. $ 157 billion (1976), lalu menjadi U.S. $ 816 (1982), melambung ke angka U.S. $ 908 billion di tahun 1984, berlipat menjadi U.S. $ 1216 (1986), dan membengkak lagi menjadi U.S. $ 1662 billion di tahun 1992. Lihat, Munrokhim Misanam, “Hutang Luar Negeri dan Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, makalah pada Saresehan Politik Pendidikan Islam dan Ekonomi Islam, PPs. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tgl. 27 Feb. 2000, hal. 3. 301 Indonesia merupakan contoh yang paling konkrit untuk menerangkan hal ini. Walaupun pengeluaran pemerintah disusun berdasarkan anggaran berimbang, namun secara substansial selalu defisit. Lebih buruk lagi, alokasi dari anggaran itu tak begitu efektif untuk menstimulasi perekonomian karena menghadapi berbagai persoalan pelik seperti kultur birokrasi yang korup, dan sumber pendanaan yang diperoleh dari utang. Akibatnya, upaya pemerintah untuk menstimulasi kebutuhan ekonomi selalu dibarengi dengan akumulasi hutang. Di samping itu, dampak lanjutan (multiplier effect) dari kebijakan tersebut tidak maksimal. 302 Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998), hal. 112 investasi dan output, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambannya pertumbuhan ekonomi.303) Untuk mengatasi keadaan ini, pemerintah tidak mungkin lagi menggunakan resep Keynes, karena persoalan yang mendasarinya sama sekali telah berbeda dengan konteks sekarang. Sebagaimana sering ditekankan oleh Keynes sendiri, bahwa persoalan ekonomi adalah persoalan jangka pendek. Kritik yang sering dilontarkan terhadap teori Keynes adalah bahwa ia mempostulasikan investasi semata-mata berfungsi sebagai alat untuk memperbesar permintaan efektif. Keynes tidak banyak mempersoalkan kandungan suatu investasi. Banyak negara berkembang yang mendukung teori Keynes, Pihak pengambil keputusan ekonomi nasional di negara-negara tersebut melakukan upaya-upaya yang efektif untuk mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang produktif. Apa yang terjadi adalah kegiatan investasi yang mendukung rentier consumption.304 Semakin besar dana investasi disalurkan untuk tujuan investasi seperti ini, maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan persediaan barang modal yang dapat digunakan untuk tujuan reproduksi. Keseluruhan perangkat kebijaksanaan Keynes kendati mengandung tujuantujuan pemerataan dan perluasan kerja, masih dianggap oleh banyak pihak sebagai perangkat kebijakan ekonomi yang sangat berorientasi kepada pertumbuhan. Redistribusi dijalankan melalui pertumbuhan, bukan bersama pertumbuhan. Sementara itu banyak kalangan yang melontarkan pendapat bahwa kebijaksanaankebijaksanaan yang telah dijalankan untuk menghadapi gejolak-gejolak eksternal yang berpengaruh negatif terhadap ekonomi Indonesia dianggap sebagai kebijaksanaan yang hanya bersifat stop-gap measures. Sebagai stop-gap measures kebijaksanaan-kebijaksanaan ini kurang mengandung bobot strategis untuk jangka panjang sehingga dikhawatirkan tujuan-tujuan jangka panjang proses 238 303 Abdelhameed Bashir dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies, and Economic Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam Economic Growth and Human Resource Development in an Islamic Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1993), hal. 99 304 Sritua Arief, Teori dan Pengantar, hal. 8 113 pembangunan menjadi semakin jauh dari jangkauan. Dikhawatirkan strategi perdagangan luar negeri yang pragmatis dapat menjadi lebih dominan dalam wawasan pembangunan disubordinasikan terhadap strategi perdagangan luar negeri bukan sebaliknya. Pemakaian kebijakan fiskal sebagai teknik stabilisasi jangka pendek pada prakteknya menghadapi masalah, yakni kurang efektif. Perubahan tingkat pajak, khususnya perubahan pajak pendapatan, adalah tidak praktis dan memakan waktu yang lama; demikian juga halnya dengan proporsi yang besar dari pengeluaran pemerintah untuk, misalnya, pembangunan sekolah, jalan, rumah sakit dan pertahanan nasional, menggambarkan komitmen ekonomi dan sosial jangka panjang dan perubahannya tidak mudah dilakukan tanpa melalui prosedur formalitas perundingan politik yang cukup panjang. Demikian juga perubahan dalam pajak atau pengeluaran mengakibatkan efek pengganda (multiple effect),305 tetapi untuk jangka waktu panjang yang tidak dapat ditentukan. Selain itu, penggunaan kebijakan fiskal untuk mempertahankan agar perekonomian tetap berjalan pada tingkat permintaan agregat yang tinggi untuk mencapai penggunaan tenaga kerja penuh sering mengarah pada inflasi yang disebabkan oleh permintaan (demand-pull inflation). Karena suatu kebijaksanaan pajak agaknya kurang efektif dalam mempromosikan keadilan dan kesamaan sosial, maka dalam konteks masyarakat yang berorientasi kepada kemakmuran, seperti masyarakat Islam, perencanaan perekonomian dan kebijaksanaan pembelanjaan jangka menengah yang memberi prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat menjadi sangat penting. Yang penulis maksudkan dengan kebijaksanaan jangka menengah di sini adalah kebijakan yang menetapkan serangkaian target untuk kebutuhan pinjaman sektor publik (publicsector borrowing requirement). Dengan demikian, tujuan dari kebijakan ini adalah untuk memberi kesempatan lebih bagi sektor swasta dalam kancah perekonomian. Prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat ini harus sejalan dengan 305 Yaitu perubahan semula dari pengeluaran akan bertambah dan menyebar dalam ekonomi secara keseluruhan. 114 seluruh tuntutan untuk menjamin keadilan sosial baik statis maupun dinamis. Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa, akan harus ada suatu pembagian yang adil antara kebutuhan konsumsi langsung dengan kebutuhan pembentukan modal (investasi). Secara umum belanja masyarakat haruslah mencerminkan kenyataan bahwa dalam perekonomian Islami, negara harus memainkan peranan penting, tidak hanya sebagai satu katalis melainkan juga sebagai agen perubahan yang aktif, dalam proses dinamis menggerakkan perekonomian ke arah cita-cita Islam. Di bidang kebijaksanaan stabilitasi, negara juga akan terlibat dalam proyek-proyek untuk menciptakan kesempatan kerja di daerah-daerah minus dan juga untuk membangkitkan permintaan efektif pada saat depresi. Meskipun negara memainkan peran yang penting, namun harus dijaga jangan sampai kebijakannya menafikan peran swasta. Hal ini akan berakibat pengebirian kreativitas swasta dalam menciptakan output. Selain itu, pemerintah hendaknya juga dapat mengelola fungsi zakat dengan baik, sebab sebagaimana uraian sebelumnya, zakat mempunyai potensi yang luar biasa untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. 115 DAFTAR PUSTAKA Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Abu Ubayd, Kitab al-Amwal (Beirut: Dar al-Kutub, 1986) Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, (Kairo: al-Matba‟ah as-Salafiah wa Maktabatuha, tt.) Ahmad, Ziauddin, Al-Qur‟an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998) al-Faruqi, Isma‟il Raji, Tawhid: Its implications for Thought and Life, (Pensylvania: The International Institut of Islamic Thoughts, 1982. al-Gazali, Abu Hamid, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba‟ah Khairiyyah, tt. ). al-Maqrizi, Ahmad ibn „Ali, Kitab as-Suluk li Ma‟rifah Duwal al-Muluk, Mustafa Ziyada dan Said „Abd al-Fattah, ed., (Kairo: Lajnah at-Ta'lif wa atTarjamah, 1973) Al-Mawardi , Abu Hasan „Ali ibn Muhammad, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Kairo: „Isa al-Babi al-Halabi, 1969) Amin, Ahmad, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991) Amin, Ibn „Abidin Muhammad, Radd al-Mukhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah Ibn „Abidin), (Mesir: Matba‟ah al-‟Amirah, 1376) Arief, Sritua, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998) As-Suyuti, Jalal ad-Din „Abd ar-Rahman, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1968) Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought (New Delhi: Goodword Books, 2004) Azwar, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Rajagrafinso Persada) Az-Zahir, Khalil ibn Syahin, Zubdah Kasyf al-Mamalik, (Kairo: Matba‟ah alJumhuriyyah, 1984) Bashir, Abdelhameed dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies, and Economic Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam Economic Growth and Human Resource Development in an Islamic Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1993) Boediono, Ekonomi Makro, ed. 4, (Yogyakarta: BPFE, 1999) Boyes, William J., Macroeconomics: The Dinamics of Theory and Policy, (Ohio: South Western Publishing Co., 1982) 116 Brockelmaan, History of Islamic Peoples, (New York: G. P. Putnam‟s Sons, 1944) Cairncross, Alec, Introduction to Economics, (London: Butterworth & Co. Ltd., 1944) Case, Karl E. dan Ray C. Fair, Principles of Economics, (New York: Prentice Hall International, 1997) Chapra M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995) __________________, Al-Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997). Chener, Moh. Ben, “Ibn Taimiya”, dalam First Encyclopaedia of Islam, M. Houstsma, A. J. Weinsinch, T. W. Arnold, W. Hefening, E. Levi Provencal, ed., (Leiden: E. J. Brill, t.t.). Chik, Victoria, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983) Ditz, Gerhard W., “Smith and Keynes, Religious Differences in Economic Philosophy”, dalam Bijdragen Tijdschrift voor Filosofie en Theologie No. 49, tahun 1988 Dunn, William M., Pengantar Analisis Keuangan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999) Essid, Yassine, A Critique of the Origins of Islamic Economic Thoughts, (Leiden: E.J. Brill, 1995) Faridi, F. R., “Zakat and Fiscal Policy”, dalam Readings in Islamic Fiscal Policy, Sayed Afzal Peerzade, ed., (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1996) Ghiffari, Noor Muhammad, Book of Finance (Islamabad: Institute of Islamic Studies). Gibb H. A. R., Studies on the Civilization of Islam, (Princeton: Princeton University Press, 1982), hal. 212-13 __________________, dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed., (Leiden: E. J. Brill, 1961). Goldziher, Ignaz, “Ibn Taimiyyah” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, James Hastings, ed., (Eddinburgh: T. & T. Clark, 1990) Gordon, Myron J., Finance, Invesment, and Macroeconomics: The Neoclassical and Post Keynesian Solution, (Aldershot: Elgar Adward Pub., 1994) Gregory, Paul R. dan Robert C Stuart, Comparative Economic System (Boston: Houghton Muffin Company, 1981) Harrod, R. F., The Life of John Maynard Keynes oleh Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) 117 Hefner, Robert W., Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, terj. Amirudin dan Asyhabudin, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Hourani, Albert, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books, 1992) Humpreys, Ian J., Understand Economics, terj. Kencanawati Tamiran dan Giato Widianto, (Jakarta: ARCAN, 1989) Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba‟ah an-Nahdah, 1347) Ibn Kasir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, 1981) Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Istanbul: Dar Qahraman wa al-Tawzi‟, 1984) Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.). Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar‟iyah fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, (Kairo: Dar al-Kitab al-‟Arabi, 1969). _________________, „Idah ad-Dalalah fi Umum ar-Risalah, (Mesir: Idarah atTaba‟ah al-Muniriyyah, tt.). _________________, al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976) _________________, Kitab at-Tawasul wa al-Wasilah, (Mesir: Matba‟ah alManar, tt.), _________________, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-„Asimiy, (ed.) (Riyad: Matabi‟ al-Riyad, 1398H). Inayah, Gazi, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995) Iqbal, Munawar, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah: IRTI, 2004). Iqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981) Isaacs, Alan dan Elizabeth Martin, (ed.), Dictionary of 20th Century Biography (Harlow: Market House Books Ltd., 1985) Islahi, Abdul Azim, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, Islamic Foundation, 1988) (Leicester: The Jalal ad-Din „Abd al-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazair, (Semarang: Taha Putra, t.t.) Jassas, Ahkam al-Qur‟an, (Kairo: Matba‟ah Salafiah, 1395). Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995) 118 Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Karim, Khalil Abdul, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As‟ad (Yogyakarta: LkiS, 2003), hal 66. Keraf, Sonny, “Keadilan, Pasar Bebas, dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith”, dalam PRISMA, 9 Sept. 1995 ________________, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Keynes J. M. Keynes, Tract on Monetary Reform, (London: Macmillan, 1950) _______________, Teori Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga, dan Uang, terj. Willem H. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991) _______________, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London: Macmillan, 1936). Khalaf, „Abd al-Wahhab, al-Siyasah al-Syar‟iyyah (al-Munirah: Matba‟ah alTaqaddum, 1977) Khan, Qamaruddin, The Political Thought of Ibn Taimiyyah, (Delhi: Adam Publiser & Distributors, 1992) Klein, Lawrence R., The Keynesian Revolution, (New York: Mac Millan, 1954) Kurihara, Kenneth K., “Distribution, Employment and Secular Growth”, dalam Post Keynesian Economics, Kenneth K. Kurihara, ed., (New Jersey: Rutgers University Press, 1954) Laoust, Henry. “Ibn Taymiyya” dalam Encyclopaedia of Islam, B. Lewis, V. L. Menage, Ch. Pellat, dan J. Schacht, ed., (London: Luzac & Co., 1971), vol. III, hal. 951. Lapidus, Ira M., Muslim Cities in the Later Middle Ages, (Cambridge: Massachussetts, 1967) Levanoni, Amalia, A Turning Point in Mamluk History (The Third Reign of alNasir Muhammad ibn Qalawun 1310-1341), (Leiden: E. J. Brill, 1995) Little Donald P., “The Historical and Historiographical Significance of the Detention of Ibn Taimiyyah” dalam International Journal of Middle East Study (IJMES), IV, 1973 ________________, “Did Ibn Taimiyya Have a Screw Loose ?” dalam Studia Islamica, no. 42, 1975, hal. 95. Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan Masalah Keagamaan, (Jakarta: LP3ES, 1985) Madjid, Nurcholish, “Argumen untuk Keterbukaan, Moderasi dan Toleransi (Beberapa Pokok Pandangan Ibnu Taimiyah)”, dalam Islam: Antara Visi, 119 Tradisi, dan Hegemoni dan bukan Muslim, Mochtar Prabottinggi, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986) Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003) Mannan, Muhammad Abdul, Islamic Economic: Theory and Practice, terj. M. Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993). Meera, Ahamed Kameel Mydin dan Syed Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues: A Comparative Study of Early Islamic Scholarly Thoughts and Their Reception by Western Economists,” dalam Abulhasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992). Minsky, Hyman P., "Keynes, John Maynard", dalam Encyclopedia Americana, Bernard S., dkk. ed., vol. 16, (Danbury: Grolier Incorporated, 1983) Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1995) Muhammad, Sahri, “Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas Brawijaya” dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, no. 9, vol. II, 1991 M/1411 H Musgrave, R.A. dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice (Singapura: McGraw Hill, 1987) Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) Oran, Ahmad dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” dalam Sayed Afzal Peerzade, Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam Publisher, 1996) Parkin Michael dan Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1992) Petry, Carl F., “A Paradox of Patronage during the Later Mamluk Periode”, dalam The Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983 Qardawi, Yusuf, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Dar al-Irsyad, tt.) Rahardjo, M. Dawam, “Fungsionalisasi zakat dalam Pencapaian Kesejahteraan Sosial”, dalam Islam dan Kemiskinan, Putut Widjanarko, ed., (Bandung: Pustaka, 1988). Rupp, E. G., “Keynes”, dalam Encyclopaedia Britanica, vol. 13, Warren E. Preece, dkk., ed, London: William Benton Publisher, 1965, hal. 320 Salim, M. Arskal G. P., Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyyah, (Jakarta: LOGOS, 1999). Samuelson, P. A., Economics an Introductory Analysis, (New York: McGraw Hill, 1958) Sayuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al- 120 Kutub al-Arabiyah, tt.) Schumacher, E. F., Kecil itu Indah; Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil, terj. S. Supomo, (Jakarta: LP3ES, 1983) Seda, Frans, Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1992). Shemesh, A. Ben, Taxation in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1965). Sjadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1993) Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and the Wealth of Nations, Edwin Cannan, ed., (New York: The Modern Library, 1985) Soule, George, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) Stewart, Michael, Keynes and After, (Harmondsworth: Penguin Books, 1967) Stoddard, L., Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia Baru Islam, 1966). Suharto, Ugi, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS, 2004) Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Makroekonomi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996) Sumarsono, “Pendapatan dan Belanja Negara dan Deregulasi Ekonomi dalam Ekonomi Islam” dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, M. Rusli Karim, ed., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992) Surur, Agus Miftahus, “Pasar, Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi”, dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.-Des.1999 Tsuru, Shigeto, “Keynes versus Marx: The Methodology of Agregrates”, dalam Kenneth K. Kurihara, (ed.), Post Keynesian, Uzair, Muhammad, “Dasar-Dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan Keuangan Islam”, dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, Achmad, Amrullah dkk,. ed., (Yogyakarta: PLP2M, 1985) Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991) Ward, Richard A., The Economic and Financial System, (Scranton: International Texbook Company, 1970) Wijaya, Faried M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987) Wright, David McCord, The Keynesian System, (New York: Fordham U.P., 1962) Zahrah, Muhammad Abu, Ibn Taimiyah Hayatuhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Bairut : 121 Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.). ________________, Ibn Taimiyyah: Hayatuhu wa Asruhu Ara‟uhu wa Fiqhuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) ________________, Usbu‟ al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibn Taimiyyah, (Kairo: Matu'at al-Majlis al-A‟la li Ri‟ayat al-Funun wa alAdab wa al-‟Ulum al-Ijtima‟iyyah, t.t.) 122 Indeks Great Gap Isma‟il Raji Monzer Kahf maqashid al-syari‟ah Abu Yusuf Abu Ubaid al-Mawardi ibn Khaldun Al-Ghazali ibn Taimiyah John Maynard Keynes Qudamah ibn Ja‟far invisible hand kebijakan fiskal al-kharaj al-amwal al-ahkam al-sulthaniyyah Mu‟awiyah ibn Ubaid Allah al-Mahdi Qudamah ibn Ja‟far Abu Zakariyya Yahya ibn Adam Qudamah ibn Ja‟far Abu Ubayd Abu Humaid ibn Zanjawaih Abu Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi keuangan publik Abu Yusuf Thomas Aquinas Yahya ibn Adam Qudamah ibn Ja‟far Humaid ibn Zanjawaih Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi Abu al-Hasan al-Mawardi Abu Ya‟la al-Farra‟ Abu Ya‟la Hanbali Al-Mawardi Syafi‟i Abu Ya‟la al-Farra‟ Hanafi Maliki Khalifah Harun al-Rasyid katib (kolektor dan administrator pajak) 123 Adam Smith Libertian campur tangan negara ekonomi pasar perdagangan bebas laissez-faire pasar monopoli barang publik full employment John Maynard Keynes