kebijakan fiskal ibnu taimiyyah dan

advertisement
Naskah Buku
KEUANGAN PUBLIK ISLAM
Oleh:
Nafis Irkhami
2
3
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah, atas segala kemurahan dan kemudahan yang telah
dikaruniakanNya, sehingga karya sederhana ini akhirnya dapat terselesaikan.
Sesederhana apapun karya ini, dapat dibukukan berkat dukungan dan dorongan
dari sejumlah orang. Karena itu, sudah semestinya penulis mengungkapkan rasa
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya buku ini.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pemikiran tentang kebijakan
publik telah dimulai sejak awal kehadiran Islam itu sendiri. Persinggungan Islam
dengan peradaban-peradaban lain menjadi penting ditelusuri untuk memahami
hukum Islam dengan baik. Khalifah Umar ibn Khattab telah memulai upaya-upaya
kontekstualisasi hukum Islam sesuai dengan kondisi sosio-historis yang
melingkupinya. Seringkali upayanya itu harus berhadapan dengan pola-pola
pemahaman tekstualis para sahabat. Puncak pemberlakuan sistem pajak yang
mengacu kepada sistem keuangan publik masa Islam klasik adalah pada masa
Dinasti Abbasiyah. Hal itu setidaknya terbukti dari karya-karya pemikiran para
ekonom di masa tersebut, di antaranya adalah Abu Yusuf dan Abu Ubayd.
Terkait dengan sistem perpajakan ushr dan jizyah, dengan mengikuti
ijtihad Khalifah Umar, pemerintah Muslim modern sudah semestinya membuat
rekonstruksi dan standarisasi aturan pembayaran pajak (fiskal) untuk mewujudkan
keadilan serta menghindari perasaan diskriminasi di antara masyarakat. Dalam
kontek
pemikiran
ekonomi
kontemporer,
faktor
terpenting yang perlu
dipertimbangkan dari ijtihad Umar ibn Khattab adalah pendekatan yang
digunakannya untuk selalu mereaktualisasikan ketentuan-ketentuan Islam dengan
mempertimbangkan perubahan kondisi sosio-historis.
Pergulatan pemikiran kebijakan publik sebagaimana tergambar di atas
menjadi konsen utama dari penulisan buku ini. Semoga buku sederhana ini dapat
memberi sumbangan manfaat dan maslahah, amin.
4
DAFTAR ISI
PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab 1 PENDAHULUAN
Great Gap Pemikiran Ekonomi
Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam
Kerangka Umum Kebijakan Publik
Metode Penulisan Buku
Sistematika Buku
Bab 2 MENGENAL LEBIH DEKAT TOKOH EKONOMI MAKRO
(IBN TAIMIYYAH DAN JOHN MAYNARD KEYNES)
Ibn Taimiyyah
Setting Akademik Masa Ibn Taimiyyah
Kondisi Sosial-Politik
Karya-Karya Ibn Taimiyyah
Kebijakan Fiskal Dinasti Mamluk
John Maynard Keynes
Karya-Karya Keynes
Aliran Ekonomi Klasik
Bab 3 PEMIKIRAN KEBIJAKAN PUBLIK IBN TAIMIYYAH
Perkembangan Awal Kebijakan Publik Islam
Pendekatan Ibn Taimiyah
Campur Tangan Negara dalam Perekonomian
Kebijakan Fiskal Ibn Taimiyyah
Bab 4 PEMIKIRAN EKONOMI MAKRO
JOHN MAYNARD KEYNES
5
Pendekatan Keynes
Campur Tangan Negara dalam Perekonomian
Kebijakan Fiskal Keynes
Bab 5 PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN FISKAL:
RELEVANSI
Konsep Kebijakan Publik Islam
Ibn Taimiyyah vis a vis J.M. Keynes
Ke Arah Keadilan yang Lebih Luas
DAFTAR PUSTAKA
Indeks
6
Bab 1
PENDAHULUAN
Great Gap Pemikiran Ekonomi
Islam menganggap agama sebagai cara mengatur kehidupan di atas bumi
ini. Ia adalah suatu dimensi kehidupan duniawi yang terealisasikan sepenuhnya
jika kehidupan dijalani secara moral di bawah bimbingan Tuhan.1 Anggapan yang
dikemukakan oleh Isma‟il Raji tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Monzer Kahf. Menurutnya, Islam menganggap kegiatan-kegiatan manusia
dalam
bidang
ekonomi
sebagai
salah
satu
aspek
dari
pelaksanaan
tanggungjawabnya di bumi ini.2 Dengan kata lain, dalam pandangan Kahf
seseorang yang semakin banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dia
akan bisa semakin baik, selama kehidupannya tetap terjaga keseimbangannya.
Namun, syari‟at Islam hanya memberikan kepada pengikutnya prinsipprinsip dasar dalam menuntun perilaku ekonomi individu yang mengarah pada
tujuan-tujuan umum (maqashid al-syari‟ah), yaitu mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian studi tentang ekonomi Islam memberi kelonggaran
dalam batas-batas tertentu, untuk memilih strategi yang sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan ekonomi dan sosial. Untuk merumuskan ketentuan-ketentuan yang
belum diatur secara rinci tersebut, maka diperlukan pemikiran yang mendalam dan
sungguh-sungguh (ijtihad).
Tugas untuk menggali konsep-konsep ekonomi oleh umat muslim ini
secara komprehensif dan mengagumkan sebenarnya telah dimulai oleh sejumlah
fuqaha klasik, seperti Abu Yusuf (113-182H/731-798M), Abu Ubaid (150-224H),
al-Mawardi (364-450H/974-1058M), ibn Khaldun (732-808H/1332-1406M), Al1
Isma‟il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its implications for Thought and Life, (Pensylvania:
The International Institut of Islamic Thoughts, 1982), hal. 204
2
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun
Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal. 4. Pengkaitan fungsi manusia sebagai
khalifatullah dalam tidakan-tindakan ekonomi telah banyak dikemukakan oleh para pemikir
ekonomi Islam lain, seperti „Abd al-Qadir Audah, Sayyid M. Rasyid Rida, Maududi, Sayyid Qutb,
dan Hasan al-Banna. Lihat catatan kaki no. 2, bab V pada M. Umer Chapra, Islam and the
Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal. 202
7
Ghazali (450-505H/1058-1111M), dan ibn Taimiyah (661-728H/1263-1326M).
Ulama-ulama klasik tersebut telah mengemukakan gagasan-gagasannya tentang
institusi pemerintah dan alat-alat kebijakan-kebijakannya di bidang ekonomi
pembangunan.
Latar belakang sosial dan ekonomi dari masing-masing ulama tersebut
tentu saja sangat menentukan pola pemikiran masing-masing. Di samping itu,
terkait dengan tema penulisan buku ini, latar belakang kehidupan politik masingmasing ulama juga perlu menjadi perhatian penting. Seorang ulama yang terjun
langsung dalam dunia politik, yakni menjadi pejabat atau aparat pemerintah, tentu
memiliki kepentingan-kepentingan tertentu yang harus disisipkan ke dalam
karyanya, baik secara sengaja maupun tidak. Termasuk dalam hal ini, seorang
ulama yang menulis buku tentang pemerintahan atas permintaan pemerintah.
Dengan demikian, selain tuntutan akademik, unsur sosio-politik menjadi
faktor penting yang mendorong perkembangan pemikiran tentang kebijakan dan
keuangan publik. Perluasan wilayah Islam masa awal ke barat sampai Afrika dan
Spanyol, serta ke timur hingga Asia Tengah dan Cina meniscayakan adanya
administrasi pemerintahan yang memadahi, termasuk kebijakan keuangan publik.
Imperium baru yang memiliki wilayah seluas itu dituntut untuk memiliki dan
membangun sistem pengelolaan keuangan negara yang kokoh dan operasional.
Rekaman historis menunjukkan bahwa para penggagas dan perancang
keuangan serta perencana garis-garis kebijakan fiskal masa awal telah membahas
berbagai persoalan keuangan publik. Lingkup pembahasan kajian tersebut adalah
mengenai pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara. Pembahasan mengenai
pendapatan negara meliputi tentang pengumpulan pendapatan, struktur perpajakan
serta pendistribusian pajak. Sedangkan mengenai pengeluaran negara mencakup
persoalan pembelanjaan negara untuk kesejahteraan masyarakat, pengembangan
ekonomi dan lain sebagainya.
Ibn Taimiyyah membahas regulasi harga oleh negara dan memberi catatan
serius atas praktek monopoli, oligopoli, dan monopsoni. Gagasan seperti ini,
menurut Islahi, tidak pernah ditemukan dalam karya Aquinas ataupun bahkan para
8
sarjana pada abad berikutnya.3 Ibn Taimiyyah menguraikan secara detil tentang
peranan ekonomi negara dalam ranah publik, sumber-sumber penerimaan dan
pengeluaran publik (keuangan publik), dan sebagainya.
Ibn Taimiyah dalam karyanya di bidang politik, Al-Siyasah al-Syar‟iyah
fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, memang tidak secara khusus membicarakan tentang
proses lahirnya sebuah negara, namun poin penting yang dapat disimpulkan dari
karya tersebut adalah mengenai pentingnya sebuah organisasi negara. Manusia
menurut Ibn Taimiyah wajib menghindarkan dirinya dari kehidupan yang
anarkhis. Selanjutnya, hal tersebut hanya dapat dihindari dengan cara membangun
sebuah organisasi negara. Dalam hal ini bahkan ia sampai kepada kesimpulan
bahwa membangun sebuah organisasi negara adalah tugas suci yang merupakan
tuntutan agama dan menjadi perangkat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.4
Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia menurutnya hanya dapat
tercapai manakala manusia mau bergabung dalam sebuah komunitas, di mana
dalam komunitas tersebut manusia dapat membangun kehidupan dan melakukan
interaksi sosial yang dicirikan dengan hidup saling tolong-menolong dan gotongroyong. Pesan terpenting dari gagasannya tersebut adalah bahwa bangunan negara
tersebut menjadi sarana penting untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Setelah melihat begitu pentingnya sebuah organisasi negara, maka satu
hal lagi yang perlu ada kekuasaan yang dapat mengatur jalannya organisasi negara
tersebut dalam mewujudkan kesejarteraan dan kebahagiaan masyarakatnya. Ibn
Taimiyah berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak
sekedar untuk menjaga kemaslahatan jiwa serta menjaga harta benda masyarakat
saja, akan tetapi lebih dari itu, adalah untuk menjaminan berlakunya segala
perintah dan hukum Tuhan. Dalam kesempatan lain Ibn Taimiyah membahasakan
penguasa sebagai bayangan Tuhan di muka bumi, dengan demikian segala bentuk
3
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic
Foundation, 1988), hal. 244
4
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar‟iyah fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, (Kairo: Dar alKitab al-‟Arabi, 1951), hal. 174. Kesimpulan ini dapat ditemukan dalam tulisan Qamaruddin Khan,
The Political Thought of Ibn Taymiyah, (Delhi : Adam Publisher,1992), hal. 122, bandingkan juga
dengan tulisan Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
9
kekuasaan dan wewenang yang dimiliki adalah bersumber dari Tuhan. Bahkan
secara lebih keras lagi, ia menyatakan bahwa kepala negara, meskipun zalim, lebih
baik bagi masyarakat dari pada mereka harus hidup tanpa adanya pengendali
negara.5
Pandangan-pandangan tegas ibn Taimiyyah, yang kadang juga terkesan
ekstrim mengenai negara (termasuk kekuasaan kepala negara yang “tidak
terbatas”), dapat dipahami dalam kerangka kondisi sosio historis yang terjadi pada
masanya. Dalam kondisi kekacauan, serta di ambang kehancuran dunia Islam, di
mana negara tidak sanggup lagi memberikan perlindungan dan jaminan keamanan,
maka kehadiran seorang pemimpin menjadi impian banyak orang.
Selanjutnya terkait dengan kewenangan negara, sebelum Ibn Taimiyyah,
tak ada pemikir (fuqaha) Islam yang begitu menekankan kebolehan pemungutan
finansial selain zakat, kecuali ibn Hazm (994-1064)6. Dalam hal ini ibn Hazm
menyatakan:
ُ٘‫يجثش‬ٚ ,ُٙ‫ا تفمشائ‬ِٛٛ‫ األغٕياء ِٓ أً٘ و ًّ تٍذ أْ يم‬ٍٝ‫فشض ع‬ٚ…
7
…,ُٙ‫ إْ ٌُ ذمُ اٌ ّزواج ت‬,‫ رٌه‬ٍٝ‫اٌضٍطاْ ع‬
“Diwajibkan bagi kalangan kaya dari warga negara untuk menyokong
kalangan miskin, dan pemerintah (dibenarkan untuk) memaksa hal tersebut
jika mereka tidak mau membayar zakat.”
Ibn Hazm membicarakan hal ini dalam kontek pembahasan tentang zakat. Dengan
demikian, ia tidak berbicara tentang kebijakan ekonomi pemerintah secara khusus.
Sekelompok fuqaha beranggapan, jika seseorang telah membayar zakat,
maka ia tidak lagi mempunyai kewajiban finansial kepada negara, dan negara
tidak mempunyai hak untuk menarik pungutan lagi kecuali dalam kasus tertentu
(daruri), di mana negara tak memiliki dana lagi, misalnya dalam kondisi perang.8
Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 47
5
Ibid.,hal. 174
6
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 220
7
Ibn Hazm, Al-Muhalla, Ahmad Sakir, ed., (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), VI, hal. 156
8
Abu Hasan „Ali ibn Muhammad Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Kairo: „Isa alBabi al-Halabi, 1969), hal. 113
10
Di sisi lain, juga ada fuqaha yang melarang sama sekali pemungutan dari rakyat
meskipun dalam keadaan mendesak seperti kasus di atas.
Pemikiran Ibn Taimiyyah berbeda dengan pendapat-pendapat tersebut. Ia
membenarkan
bentuk
pengeluaran
finansial
selain
zakat,
sebagaimana
pernyataannya,
ّ ً‫األص‬ٚ
,ْ‫اٌض ّىا‬ٚ ‫اٌٍثاس‬ٚ َ‫ اٌطعا‬ٍٝ‫ُ ٌثعط ع‬ٙ‫أْ إعأح إٌاس تعع‬
ً‫ ت‬,‫ْ رٌه ظٍّا‬ٛ‫ال يى‬ٚ ٗ‫يجثش عٍي‬ٚ ‫ٌإلِاَ أْ يٍزَ تزٌه‬ٚ ‫اجة‬ٚ ‫أِش‬
9
…‫إيجاب اٌشاسع‬
“Pada dasarnya umat manusia diwajibkan untuk saling mendukung dalam
hal sandang, pangan dan papan, dan seorang pemimpin menjamin
perwujudannya dan (dibenarkan) memaksakannya. Hal tersebut bukan
merupakan suatu kezaliman, justru suatu kewajiban syar‟i.”
Beberapa abad setelah Ibn Taimiyyah menetapkan tentang pentingnya dan
keharusan campur tangan pemerintah dalam perokonomian publik, para ekonom
Barat masih berdebat tentang perlu-tidaknya peran pemerintah. Menurut pendapat
ahli-ahli ekonomi Klasik, dalam suatu perekonomian yang diatur oleh mekanisme
pasar, tingkat penggunaan tenaga kerja akan selalu tercapai. Pandangan ini
didasarkan pada keyakinan bahwa di dalam perekonomian tidak akan terdapat
kekurangan permintaan. Apabila para produsen menaikkan produksi mereka atau
menciptakan jenis-jenis barang baru, maka dalam perekonomian akan selalu
terdapat permintaan terhadap barang-barang itu. Maka di dalam perekonomian
pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan permintaan.10 Dengan demikian,
maka tenaga kerja akan selalu terpakai dalam sistem tersebut. Pengangguran
hanya bersifat sementara, sampai sistem itu bekerja sendiri secara otomatis. Dalam
sistem perekonomian seperti ini pemerintah tidak perlu melakukan campur tangan
terhadap perekonomian, sebab mekanisme otomatis itu akan bekerja sendiri.
9
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd al-Rahman
ibn Muhammad ibn Qasim al-„Asimiy, ed., (Riyad: Matabi‟ al-Riyad, 1398 H ), XXIX, hal. 194
10
Richard A. Ward, The Economic and Financial System, (Scranton: International
Texbook Company, 1970), hal. 206
11
Keynes, tidak sependapat dengan adanya mekanisme otomatis yang
dijalankan oleh “invisible hand” tersebut. Pemerintah menurutnya, sebagaimana
halnya Ibn Taimiyyah, mempunyai peranan mutlak untuk mengelola ekonomi dan
untuk meningkatkan serta menjaga pertumbuhan yang stabil, yaitu terutama
dengan
kebijakan
fiskal.11
Dengan
kebijakan
fiskal,
pemerintah
dapat
mempengaruhi jalannya perekonomian dengan menyuntikkan dana berupa
pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja.
Dengan demikian kebijaksanaan ini akan sangat ampuh untuk meningkatkan
output dan memberantas pengangguran, terutama dalam situasi di mana sumber
daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Revolusi
Keynesian
dan
keprihatinannya
terhadap
ketimpangan
pendapatan tersebut, telah menggugah kesadaran akademik berbagai kalangan
ekonom mengenai perlunya campur tangan negara guna menjamin tercapainya
tujuan-tujuan sosial yang luas.12 Meskipun dalam hal ini terdapat kesamaan
pendapat antara Keynes dan Ibn Taimiyyah tentang perlunya intervensi pemerintah
dalam perekonomian, namun tentu saja keduanya berangkat dari kondisi sosiohistoris yang berbeda, yang melatarbelakangi pemikiran masing-masing.
Buku ini berupaya untuk mengungkap secara lebih intensif dan ekstensif
atas teori-teori politik-ekonomi Ibn Taimiyyah dan Keynes dengan merujuk
kepada masing-masing perbedaan latar belakang sosio-kultural, religiusitas,
idiologi, dan wawasan berpikirnya. Setelah itu, penyusun berusaha menarik
benang merah di antara keduanya dalam sebuah studi komprehensif yang lebih
menekankan analitis kritis dan komparatif. Setidaknya dari perbandingan itu kita
bisa “menjawab” tesis Great Gap Schumpeter bahwa ilmu ekonomi mengalami
keterputusan atau ada sesuatu yang hilang (missing link) semenjak jatuhnya
11
Ibid., hal 206. Lihat juga, Ian J. Humpreys, Understand Economics, terj. Kencanawati
Tamiran dan Giato Widianto, (Jakarta: ARCAN, 1989), hal. 81
12
Sekarang tak satupun sistem ekonomi yang menolak adanya campur tangan negara.
Sistem ekonomi kapitalispun yang masih sering dianalogikan dengan leissez faire-nya sejak 1930an, sesudah terancam kebangkrutan, secara terbuka telah mengakui perlunya campur tangan negara.
Mekanisme pasar tidak dapat lagi sepenuhnya mengandalkan bekerjanya invisible hand. Lihat,
Sumarsono, “Pendapatan dan Belanja Negara dan Deregulasi Ekonomi dalam Ekonomi Islam”
dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, M. Rusli Karim, ed., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
12
Romawi hingga masa Thomas Aquinas (1225-1274M).
Selanjutnya, buku ini juga berupaya melihat tingkat relevansi dan
signifikansi teori-teori politik dan kebijakan ekonomi, -dengan memberi tekanan
khusus pada kebijakan fiskal- dari kedua tokoh sebagai alternatif memecahkan
problematika intervensi negara dalam pembangunan yang seringkali merupakan
pilihan dilematis bagi banyak negara hingga dewasa ini sekalipun.
Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang kebijakan publik Islam, ada baiknya
bila terlebih dahulu kita mengetahui karya-karya awal yang secara khusus
membahas persoalan tersebut. Ini penting untuk memahami ketersambungan
pemikiran tokoh yang kita kaji, Ibn Taimiyyah, dengan pemikir-pemikir
sebelumnya.
Judul kitab-kitab yang membicarakan tentang kebijakan publik pada
umumnya menggunakan kata-kata al-kharaj, al-amwal dan al-ahkam alsulthaniyyah. Berikut ini akan dikemukakan tiga kecenderungan penggunaan judul
tersebut, sehingga akan diketahui latar belakang dan corak masing-masing secara
umum.
Pertama, judul kitab yang menggunakan kata al-Kharaj. Secara literal,
kharaj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam pengertian fiqh,
sebagaimana dinyatakan ibn Manzur, adalah
َ
‫ُ تمَ َذ ٍس‬ٌٙ‫ َُ في اٌ َّضَٕ ِح ِِٓ ِا‬ٛ‫ شيء ي ُْخ ِشجُٗ اٌم‬ٛ٘ٚ ‫اح ٌذ‬ٚ ‫اٌخ َشا ُض‬ٚ
‫اٌخَشْ ُض‬ٚ
13
... ٍَٛ‫ِع‬
“Sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka,
dengan takaran yang telah diketahui.”
Dengan kata lain, kharaj merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik
1992), hal. 103.
13
Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.), III: 66.
13
tanah.14 Dengan demikian, kharaj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah,
khums, usyr, dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharaj lebih dimaksudkan
untuk pajak yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum
Muslim yang dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya.15
Orang pertama yang diyakini telah menulis tentang kharaj adalah
Mu‟awiyah ibn Ubaid Allah (w.786), menteri terkemuka khalifah al-Mahdi
(Abbasiyah). Sayang, buku Mu‟awiyah yang berjudul Al-Kharaj ini sudah tidak
bisa ditemukan lagi. Dari puluhan judul kitab tentang kharaj yang terselamatkan
sampai saat ini adalah karya Abu Yusuf, Yahya ibn Adam dan Qudamah ibn
Ja‟far.
Kitab Al-Kharaj karya Abu Yusuf disusun untuk memenuhi permintaan
Khalifah Harun al-Rasyid (w. 809). Sebagaimana ditulis sendiri dalam
pengantarnya, Abu Yusuf menyatakan bahwa kitabnya dimaksudkan sebagai
rujukan dan pertimbangan bagi khalifah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan
pajak yang Islami.16 Berdasarkan tujuan penulisan tersebut, dapat dipahami bila
pendekatan yang digunakan dalam buku itu sangat pragmatis dan bercorak fiqih.
Bahkan, di dalamnya banyak ditemui fatwa atau nasehat mengenai adab
kepemimpinan.17
Kitab lain dengan judul sama, al-Kharaj, disusun oleh ulama sezaman
dengan Abu Yusuf, yaitu Abu Zakariyya Yahya ibn Adam (w. 818). Sama seperti
Al-Kharaj Abu Yusuf, kitab ini juga dimaksudkan sebagai pedoman umum dasardasar keuangan publik Islam. Dengan demikian buku ini tidak menyinggung
tentang praktek perpajakan yang ada saat itu, namun lebih banyak mengemukakan
hadits-hadits terkait dengan persoalan keuangan publik.18
Hadits-hadits yang dikompilasikan oleh Yahya ibn Adam berbicara tentang
14
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought hlm.
30
15
Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta:
PSZ STIS, 2004), hlm. 4.
16
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1979), hlm.3
17
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS,
2003), hlm. 34
18
Setidaknya terdapat 640 hadits perihal keuangan publik (sumber-sumber pendapatan dan
14
topik-topik seperti ghanimah, fai‟, kharaj, jizyah; baik yang diperoleh dari
rampasan perang maupun melalui perjanjian damai; mengenai otoritas khalifah
untuk mendistribusikan tanah taklukan; larangan menyewakan tanah kharaj;
ketentuan tentang menghidupkan tanah mati; pajak barang tambang; ketentuan
yang berlaku untuk masyarakat yang ditaklukkan, dan sebagainya. Persoalanpersoalan tersebut sebenarnya telah dibahas secara komprehensif oleh Abu Yusuf.
Meskipun demikian, pendekatan yang digunakan Yahya berbeda dengan Yusuf.
Kitab Abu Yusuf lebih bercorak judicial-oriented, sedangkan tulisan
Yahya nampaknya lebih dimaksudkan sebagai buku compilation-oriented. Dengan
demikian buku Yusuf lebih kaya dengan analisis dan upaya untuk melakukan
istinbat hukum, sedangkan Yahya lebih berkosentrasi untuk menggali sebanyak
mungkin hadits-hadits sebagai landasan hukumnya. Dari ratusan hadits yang
dikemukakan dalam kompilasinya, menurut penelitian Meera dan Ahsan, hanya 40
hadits yang dapat ditemukan dalam kutub al-sittah.19
Kitab Al-Kharaj terakhir yang masih dapat ditemukan saat ini, meskipun
sudah tidak utuh lagi,20 adalah karya Qudamah ibn Ja‟far (w. 932). Tidak jauh
berbeda dengan latar belakang kedua penulis sebelumnya, penulisan buku ini
memiliki keterkaitan dengan pemerintah saat itu.21 Dua penulis sebelumnya
menulis karena kapasitasnya sebagai ulama yang diakui pemerintah, dan tidak
memegang jabatan tertentu dalam pemerintahan. Berbeda dengan keduanya,
Qudamah adalah seorang aparat yang terlibat langsung dalam pemerintahan
sehingga tulisannya lebih bersifat kontekstual. Bahkan penulisan buku ini
ditengarai sebagai konter terhadap kritik yang diajukan oleh para katib (kolektor
dan administrator pajak) saat itu bahwa praktek keuangan publik yang dijalankan
pengeluaran negara) dalam kitab tersebut.
19
Ahamed Kameel Mydin Meera dan Syed Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related
Issues: A Comparative Study of Early Islamic Scholarly Thoughts and Their Reception by Western
Economists,” dalam Abulhasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic
Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992), hlm. 205.
20
Sebagian dari buku tersebut telah diterjemahkan oleh A. Ben Shemesh, Taxation in
Islam (Leiden: E. J. Brill, 1965).
21
Qudamah adalah sekretaris Khalifah Abbasiyyah, Al-Muktafi dan Al-Muktadir. Lihat
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32
15
pemerintah banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan Islam.22 Dalam
pembahasannya Qudamah tidak banyak menampilkan hadits sebagaimana
pendahulunya, namun mengemukakan berbagai pendapat yang telah ada.23
Setelah buku-buku berjudul al-Kharaj, buku tentang kebijakan publik
selanjutnya adalah yang menggunakan judul al-amwal. Al-amwal merupakan
bentuk jamak dari al-mal yang berarti “kekayaan atau keuangan.”24 Kitab-kitab
yang menggunakan judul ini pada umumnya membahas tentang sumber-sumber
serta pengelolaan pendapatan negara. Dengan demikian istilah al-kharaj dan alamwal sering digunakan secara bergantian oleh para ulama pada masa itu.25
Dalam penggunaannya, pembahasan tentang al-kharaj lebih menekankan pada
pajak tanah, sedangkan pembahasan al-amwal membicarakan semua bentuk dan
sumber-sumber pendapatan keuangan publik. Dengan kata lain, kitab al-amwal
memiliki cakupan lebih luas dibanding al-kharaj.
Kitab-kitab dengan judul al-amwal yang sampai kepada kita adalah karya
Abu Ubayd, Abu Humaid ibn Zanjawaih dan Abu Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi.26
Kitab al-amwal pertama dalam pembahasan ini, karya Abu Ubayd, merupakan
sebuah buku yang sistematis dan komprehensif mengenai keuangan publik.27
Kitab ini, menurut Ugi, kemungkinan disusun semasa purna tugas Abu Ubayd
sebagai qadi di Tarsus.28 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kitab ini
merupakan refleksi seorang ulama sekaligus praktisi hukum.
Hampir sama dengan metode Abu Yusuf, ketika membahas berbagai kasus
keuangan publik Abu Ubayd juga mengulasnya dengan pendekatan fiqih, yaitu
dengan merujukkan pandangannya pada nash dan hadits, praktek khalifah maupun
pendapat ulama-ulama terdahulu. Dengan rujukan-rujukannya pada praktek dan
pandangan-pandangan ulama terdahulu, maka kitab Abu Ubayd juga bercorak
22
Ahamed Kameel dan Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related Issues,” hlm. 206.
Ibid
24
Ibn Manzur, Lisan al-Araby, XIV: 158
25
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 32.
26
Menurut Sabahuddin Azmi, setidaknya ada enam kitab yang ditulis dengan judul Alamwal. Lihat bukunya, Islamic Economics, hlm. 32.
27
Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Noor Muhammad Ghiffari,
Book of Finance (Islamabad: Institute of Islamic Studies).
23
16
historis.
Kitab al-amwal kedua adalah karya Humaid ibn Zanjawaih,29 seorang
murid ibn Abu Ubayd. Pada bagian awal, kitab ini membahas tentang normanorma kepemimpinan dalam Islam; tentang kewajiban pemimpin untuk bersikap
adil, kewajiban rakyat untuk mentaati pemimpin dan sebagainya. Selanjutnya
penulis mendiskusikan tentang keuangan publik Islam, terutama terkait dengan
wilayah-wilayah taklukan dan wilayah yang membuat perjanjian damai dengan
Islam.
Buku Zanjawaih ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai buku syarah
atas Kitab al-amwal karya gurunya.30 Meskipun di sana-sini dijumpai
pandangannya yang berbeda dengan gurunya, namun secara garis besar ia
mengikuti metode diskriptif gurunya.
Kitab terakhir dengan judul al-amwal ditulis oleh Ja‟far ibn Nashr alDawudi. Kitab yang disusun ulama Malikiyah pada akhir abad ke-4 Hijriyah ini
merupakan satu-satunya kitab yang secara spesifik membahas keuangan publik
dari perspektif mazhab Maliki. Berbeda dengan dua kitab al-amwal sebelumnya,
dalam pembahasannya al-Dawudi mengangkat praktek perpajakan yang berlaku
pada saat itu, khususnya di Irak, Sisilia, dan Spanyol.31 Secara umum, buku ini
mengkampanyekan praktek pemerintahan yang bersih dari korupsi dan
penyalahgunaan jabatan. Dengan demikian, buku ini bisa menjadi cerminan
kondisi sosio-politik yang berlaku saat itu.
Kitab-kitab klasik selanjutnya yang membahas tentang keuangan publik
adalah berjudul al-ahkam al-sulthaniyah. Berbeda dengan dua model kitab alkharaj dan al-amwal yang lebih menekankan pembahasan pada keuangan publik,
kitab ini memiliki cakupan yang lebih luas. Di samping tentang keuangan publik,
kitab ini juga membahas topik-topik administrasi pemerintahan, makro ekonomi
28
Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, hal. 41
Kitab karya ibn Zanjawaih ini telah terkompilasi dalam program Maktabah Syamilah
30
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics, hlm. 33. Buku karya Zanjawaih tersimpan dalam
bentuk manuskrip di perpustakaan Istanbul. Belakangan telah diterbitkan setelah diedit oleh Dr.
Syakir Daib dalam 3 jilid.
31
Ibid.
29
17
(sistem pasar, intervensi pemerintah ke dalam pasar), moneter (sistem mata uang),
dan sebagainya.
Kitab dengan judul al-Ahkam al-Sulthaniyah ditulis oleh dua sarjana pada
paruh pertama abad ke-15, yaitu Abu al-Hasan al-Mawardi (w. 1058) dan Abu
Ya‟la al-Farra‟ (w. 1065). Selain dengan judul yang sama, kedua kitab ini pun
memiliki cakupan yang sama dan dari periode yang sama. Meski demikian, tidak
diketahui secara persis siapa yang lebih dulu menyelesaikan bukunya.
Kedua buku ini ditulis dengan sistematika yang baik dan runtut. Topik
pembahasan kedua buku ini tidak hanya pada keuangan publik, namun juga
mengangkat persoalan pajak, pengelolaan tanah, pembelanjaan publik dan
sebagainya. Di samping itu, keduanya juga membahas masalah pemerintahan dan
prosedur administrasi, termasuk peran pemerintah dalam perekonomian; baik
fiskal maupun moneter.
Menurut Azmi, perbedaan utama dari dua buku tersebut adalah ketika
membahas aspek-aspek administrasi keuangan. Dalam hal ini Abu Ya‟la lebih
banyak mengutip pendapat-pendapat dari mazhabnya sendiri, yakni Hanbali;
sedangkan Al-Mawardi tidak hanya merujuk pada mazhabnya sendiri (Syafi‟i),
namun juga dari mazhab Hanafi dan Maliki. Lebih jauh, dalam pembahasannya
Mawardi menyebutkan rujukan-rujukan yang ia gunakan, sehingga bukunya sudah
menggunakan gaya penulisan seperti buku-buku ilmiah saat ini.
18
Tabel
Karya-Karya Awal tentang Kebijakan Publik Islam
Judul
Kitab
AlKharaj
Penyusun
Latar belakang
Corak/gaya
Kandungan
Abu
Yusuf
Memenuhi
permintaan
Khalifah Harun
al-Rasyid (w.
809).
Banyak mengemukakan
fatwa atau nasehat
mengenai adab
kepemimpinan
Yahya ibn
Adam
Pedoman umum
dasar-dasar
keuangan publik
Islam
Konter terhadap
kritik para katib
(kolektor dan
administrator
pajak)
Refleksi seorang
ulama sekaligus
praktisi hukum
(qadi)
Buku syarah atas
Kitab al-amwal
karya Abu
Ubayd
Mengangkat
praktek
perpajakan yang
berlaku pada
saat itu
Pedoman umum
dasar-dasar
keuangan publik
Islam
Judicialoriented
Sangat
pragmatis
dan bercorak
fiqih.
Compilationoriented
Qudamah
ibn Ja‟far
Abu
Ubayd
Kitab
alAmwal
AlAhkam
alSulthaniyyah
Abu
Humaid
ibn
Zanjawaih
Abu Ja‟far
ibn Nashr
alDawudi.
Abu alHasan alMawardi
(w. 1058)
Abu Ya‟la
al-Farra‟
(w. 1065).
Sda
Judicialoriented
Diskriptif
Lebih banyak
mengemukakan haditshadits tentang keuangan
publik
Mengemukakan
berbagai pendapat
ulama tentang keuangan
publik
Historis
Normatif
Legal
reasoning
Normatif
Legal
reasoning
buku yang sistematis
dan komprehensif
mengenai keuangan
publik
Norma-norma
kepemimpinan Islami;
Keuangan publik Islam
Empirik
Legal
reasoning
Keuangan publik dari
perspektif mazhab
Maliki
Legal
reasoning
(Komparatif
mazhab)
Keuangan publik; pajak,
pengelolaan tanah;
pembelanjaan publik
dsb. Pemerintahan dan
prosedur administrasi
Sda
Legal
reasoning
(Hanbaliah)
19
Kerangka Umum Kebijakan Publik
Pendekatan
yang
lazim
digunakan
untuk
menjelaskan
persoalan
penerimaan dan belanja negara dalam ekonomi Islam terkait dengan tujuan Islam
dalam membangun masyarakat, khususnya dalam tujuan sosio-ekonominya.
Prinsip yang paling pokok adalah tercapainya tujuan keadilan sosial ekonomi yang
terbebas dari segala penindasan. Dalam kaidah hukum prinsip tersebut
dirumuskan sebagai:
32
“Penyelenggaraan
kemaslahatan.”
‫غ تاٌّصٍحح‬ِٕٛ ‫ اٌشعيح‬ٍٝ‫ذصشّف االِاَ ع‬
pemerintahan
didasarkan
kepada
pertimbangan
Menengok terminologi ekonomi, keadilan seorang penguasa berarti,
pertama, ia akan memungut sesuatu dari masyarakat sesuai dengan prinsip
keadilan, misalnya cukai dan pajak. Kedua, berkaitan dengan masalah distribusi,
kebijakan yang adil adalah jika pemerintah mengalokasikan belanja negara pada
para pihak-pihak yang berhak.33 Ibn Taimiyyah sangat menghormati keadilan
sebagai sesuatu yang fundamental dan krusial. Tanpa kondisi tersebut, setiap
manusia tidak akan dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.34 Berdasarkan
keadilan itu juga yang menjadi tujuan utama pemegang otoritas.35
Untuk menegakkan fungsi negara, Ibn Taimiyyah mengaitkannya dengan
institusi hisbah. Dalam pembahasannya tentang hisbah, pertama-tama ia
mengungkap sisi historis kemunculan lembaga ini. Selanjutnya, ia mengaitkan
bahasannya dengan masalah-masalah ekonomi yang terus relevan dengan saat ini.
Sebagai contoh persoalan tentang pengembangan intervensi negara terhadap usaha
privat dan pembatasan atas hak-hak individual.36 Dengan keadilan yang
32
Jalal ad-Din „Abd al-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazair,
(Semarang: Taha Putra, t.t.), hal. 83
33
Ibid.
34
Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal
95. Juga, Ibn Taimiyyah, al-Siyasah a-Syar‟iyyah fi Islah al-Ra‟iy wa al-Ra‟iyyah, (Mesir: Dār alKitab al-„Arabiy, 1969), hal. 178
35
Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah, hal. 42.
36
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 188-9
20
merupakan prinsip dasar bagi kebijakan ekonomi pemerintah, Ibn Taimiyyah
mengembangkan gagasan-gagasan normatifnya tentang sistem ekonomi Islam.
Sementara itu dalam ekonomi konvensional, bagi kaum Libertian (sebelum
Keynes), setiap orang mempunyai hak absolut untuk bebas dari agresi pihak lain.
Ini berarti, sebagaimana halnya dalam teori Adam Smith, kaum Libertian
menentang campur tangan negara atas hak-hak milik setiap orang atas mekanisme
ekonomi pasar bebas. Mereka membela mati-matian hak atas milik pribadi tanpa
batas dan juga membela perdagangan bebas di antara para pelaku ekonomi.
Karena itu, sistem yang mereka kehendaki adalah kapitalisme laissez-faire.37
Kondisi pasar bebas tersebut ditengarai Keynes akan melahirkan pasar
monopoli dan adanya barang publik.38 Akibat dari kegagalan pasar ini secara
langsung akan mengganggu tingkat kesempatan kerja,39 ia menulis,
The outstanding faults of the economic society in which we life are its
failure to provide for full employment and its arbitrary and inequitable
distribution of wealth and income...I believe that there is social
psychological justification for significant inequalities of income and
wealth, but not for such large disparities as exist today.40
Menurut Keynes, di samping secara ekonomi makro mekanisme pasar
tidak menjamin stabilitas ekonomi, ketidakseimbangan antara rencana investasi
dan rencana tabungan mengakibatkan fluktuasi kegiatan ekonomi yang
menyebabkan pengangguran. Menurutnya, pemerintah dapat berperan positif
untuk menyetabilkannya, terutama dengan kebijaksanaan fiskal.
Meskipun Ibn Taimiyyah menekankan pentingnya peranan pemerintah
dalam ekonomi makro, tetapi tidak seperti Keynes, ia tetap menganjurkan pasar
37
A. Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, (Yogyakarta: Kanisius,
1996), hal. 172
38
Alec Cairncross, Introduction to Economics, (London: Butterworth & Co. Ltd., 1944),
hal 395. Juga, Faried Wijaya M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987), hal. 246
39
Respek Keynes terhadap kondisi full employment ini sebenarnya sudah tercermin dari
judul bukunya yang pada hakekatnya berbicara tentang pendapatan dan kesempatan kerja. Lihat,
“Prakata” Sumitro Djojohadikusumo dalam John Maynard Keynes, Teori Umum Mengenai
Kesempatan Kerja, Bunga, dan Uang, terj. Willem H. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1991), hal. xxvii
40
John Maynard Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money,
(London: Macmillan, 1936), hal. 372-4
21
bebas.41 Kebebasan ekonomik individual tersebut harus tetap dibatasi untuk
menghindari unsur-unsur monopoli.42 Dengan demikian, Ibn Taimiyyah
menghendaki bekerjanya mekanisme pasar secara bebas, tetapi di saat yang sama
ia juga mengijinkan campur tangan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan
ekonominya.
Dari uraian di atas, ternyata Ibn Taimiyyah dan Keynes berangkat dari
filosofi-ideologi yang berbeda. Ibn Taimiyyah ingin menciptakan suatu sistem
perekonomian yang adil bagi rakyat, sementara bagi Keynes tujuan utama yang
ingin dipecahkan adalah mengurangi pengangguran yang berlebihan di masanya
(yang dalam bahasanya disebut sebagai full employment).
Ibn Taimiyyah merupakan salah satu ulama klasik yang pemikirannya
masih banyak dikaji sampai saat ini. Banyaknya kajian terhadap pemikiranpemikiran Ibn Taimiyyah dengan sendirinya menunjukkan kontribusinya yang
tinggi terhadap keilmuan Islam. Hal tersebut sekaligus juga menunjukkan urgensi
studi ini. Sejumlah buku kontemporer yang mendiskusikan pemikiran Ibn
Taimiyyah akan dikemukakan berikut ini:

Muhammad Amin menulis karya berjudul Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam
Bidang Fikih Islam.

Tulisan Abdul Azim Islahi yang berjudul Economic Concepts of ibn
Taimiyah.

Tulisan Qomarrudin Khan berjudul The Political Thought of Ibnu
Taimiyah.43

Karya Muhammad Abu Zahrah; „Usbu‟u al-Fiqh al-Islami wa Mihrajan
ibn Taimiyah.

Karya H. Laoust berjudul Nadariyyat Ibn Taimiyah fi al-Siyasah wa alIjtima‟
41
Dalam menjelaskan definisi kebebasan ekonomi yang dimaksudkan, Ibn Taimiyyah
secara meyakinkan menyatakan bahwa individu-individu berhak menyimpan harta milik mereka
dan tidak seorangpun berhak mengambil semua atau sebagian daripadanya, tanpa persetujuan
mereka secara bebas, kecuali dalam hal-hal tertentu, di mana mereka diwajibkan untuk melepaskan
hak-hak tersebut.
42
Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 25
22

Karya Muhammad al-Mubarrak berjudul Arau ibn Taimiyah fi ad-Daulah
wa Maza Tadakhuliha fi al-Majal al-Iqtisadi,

Khalid Ibrahim Jindan dengan karyanya The Theory of Government
According to Ibn Taimiyyah. 44

Victor E. Makari, Ibn Taimiyya‟s Ethics: The Social Factors

Rasyad Salim dengan bukunya Al-Gazali Versus ibnu Taimiyah

Ahmadie
Thaha
dengan
bukunya
Ibnu
Taimiyah,
Hidup
dan
Pemikirannya.
Sedangkan penulisan dalam bentuk disertasi dan tesis, baik yang dilakukan di
dalam maupun luar negeri; baik yang telah dipublikasikan (dalam bentuk buku)
maupun tidak, antara lain;

Ibn Taimiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation
in Islam, karya Nurcholis Madjid

Epistemologi Hukum Islam (Suatu Telaah Tentang Sumber Illat dan
Tujuan Hukum Islam) karya Juhaya S. Praja

Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, karya Muhammad Amin
Suma

The Principles of Ibn Taimiyya‟s Qur‟anic Interpretation karya Didin
Syafruddin.

Realisme Ibnu Taimiyyah, karya M. Nur

Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, karya Zainun Kamal

Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf, karya A. Wahib Mu‟thi

Studi Ibnu Taimiyyah dan Pemikiran (Sebuah Studi tentang Pemikiran
Sumber Hukum Islam) karya Kamsi

Pandangan Ibnu Taimiyyah tentang Tasawuf, karya Syafan Nur

Etika Intervensi Negara (Perspektif Etika Politik Ibn Taimiyyah) karya M.
Arskal Salim,

Tafsir Surat al-Ikhlas karya Ibnu Taimiyyah (Sebuah Kajian Pemikiran)
43
44
Dua buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
23
karya Muhammad.
Deretan panjang karya dan penelitian terhadap pemikiran Ibn Taimiyyah tersebut
di atas hanyalah sebagian kecil saja. Berbagai buku dan penelitian lainnya masih
banyak yang belum disebutkan dalam daftar tersebut, termasuk tulisan-tulisan
dalam bentuk artikel.
Selanjutnya tokoh kedua dalam kajian buku ini adalah John Maynard
Keynes. Ia merupakan seorang tokoh ilmuwan ekonomi yang melejit dengan
karyanya The General Theory of Employment, Interest and Money.45 Buku ini
merupakan karya Keynes yang paling banyak menimbulkan kontroversi
dibandingkan dengan buku-buku lain yang ditulis oleh pakar ekonomi pada
generasinya. Isinya membedah semua kesimpulan-kesimpulan Gordian mengenai
siklus perdagangan dan mengemukakan suatu pendekatan untuk menentukan
tingkat kegiatan ekonomi, problem kesempatan kerja dan pengangguran, sebabsebab inflasi, strategi kebijakan keuangan. Perdebatan mengenai buku ini berlanjut
hingga ia meninggal, bahkan hingga kini. Meskipun karyanya ditulis seperempat
abad yang lalu, Keynes dan bukunya tetap menjadi perdebatan di kalangan
ekonomi klasik, neo-klasik dan modern.
Dari tulisan-tulisan yang telah penyusun ungkapkan di atas, buku ini
memiliki posisi tersendiri di antara karya-karya yang telah mengkaji pemikiran
ekonomi Ibn Taimiyyah dan Keynes. Tulisan ini membahas secara khusus
mengenai kebijakan fiskal Ibn Taimiyyah, kemudian dikaitkan dengan pemikiran
modern yang digagas oleh John Maynard Keynes.
Metode Penulisan Buku
Buku ini dimaksudkan sebagai kajian sejarah pemikiran ekonomi Islam.
Dengan demikian, penekanannya adalah pada perkembangan pemikiran ekonomi,
khususnya mengungkap bagaimana ibn Taimiyyah merespon persoalan-persoalan
yang ada pada zamannya. Dengan pendekatan ini diharapkan kita memperoleh
45
Diterbitkan oleh Cambridge University Press, 1936, Telah banyak diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa antara lain Jerman, Jepang, dan Prancis. Dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan oleh Willem W. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991)
24
gagasan yang jelas mengenai tahap-tahap awal perkembangan teori kebijakan
publik Islam dan sekaligus mengakui sumbangan yang diberikan oleh para
pemikir ekonomi Muslim. Setidaknya, kita bisa menjawab tesis Great Gap
Schumpeter.
Tesis missing link tersebut di satu sisi dapat dipahami mengingat masih
sangat sedikitnya informasi yang sampai kepada kita mengenai wujud dan
perkembangan ekonomi Islam atau sistem perekonomian di dunia Islam. Di sisi
lain, secara internal, umat Islam sendiri masih belum banyak mengeksplorasi
pemikiran-pemikiran ekonomi para pendahulunya, ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa banyak literatur dalam bidang ini yang tidak sampai ke tangan
kita.
Berdasarkan sifat kajiannya, buku ini seluruhnya berdasarkan atas kajian
pustaka atau studi literatur. Oleh karena itu sifat penelitiannya adalah penelitian
kepustakaan (library research). Data yang dikumpulkan dan dianalsis sepenuhnya
berasal dari literatur maupun bahan dokumentasi lain, seperti tulisan di jurnal
maupun di media yang lain, yang relevan dengan masalah yang dikaji.
Data yang dikumpulkan dalam studi ini adalah dua jenis data, yaitu data
yang bersifat primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang berkait
dengan pemikiran Keynes dan Ibn Taimiyyah dalam aspek kebijakan pemerintah
dalam bidang ekonomi. Sumber data primer dari pemikiran Ibn Taimiyyah adalah
tulisannya: al-Hisbah fi al-Islam, as-Siyasah asy-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa
ar-Ra‟iyyah dan Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah.
Sedangkan data primer Keynes adalah karya-karyanya: The General
Theory of Employment, Interest, and Money, Tract on Monetary Reform, dan A
Treatise on Money. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa karya monumental
Keynes General Theory diakui oleh banyak pihak sebagai karya yang sulit dicerna,
bahkan oleh ahli ekonomi sekalipun.46)
46
Dengan demikian, dalam buku ini
Pengakuan tentang hal ini ditulis oleh H. W. Arndt dalam pengantar buku Keynes, oleh
Soemitro dalam pengantar buku terjemahan The General Theory, oleh Deliarnov dalam
Perkembangan Pemikiran Ekonomi, hal. 165, dan lain-lain. Menyadari akan hal ini, beberapa
bulan setelah penerbitan The General Theory, para pakar berupaya menerbitkan buku maupun
25
penyusun banyak merujuk pada sumber-sumber data sekunder untuk membantu
pemahaman penulis.
Data yang bersifat sekunder merupakan data yang berkait dengan ekonomi
makro yang dikemukakan oleh para ilmuan lain, baik ekonom muslim maupun
umum (positif). Data sekunder ini terdiri dari dua kategori, yaitu pertama: karyakarya yang secara langsung mendiskusikan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah
dan John Maynard Keynes, dan kedua, karya-karya yang tidak secara langsung
mendiskusikan pemikiran kedua tokoh yang dikaji dalam buku ini, namun
pembahasannya masih dalam lingkup kebijakan publik. Data-data sekunder ini
digunakan sebagai bahan penunjang dan pelengkap analisis.
Data-data kepustakaan ini dibahas dengan pendekatan analisis diskriptif
dan komparatif. Dengan cara deskriptif, dimaksudkan untuk menemukan
pandangan kedua tokoh yang memliki latar belakang berbeda tersebut yang
berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah, yaitu dalam hal ini kebijaksanaan
fiskal.
Sedangkan
dengan
metode
komparatif
dimaksudkan
untuk
membandingkan pemikiran Keynes dengan Ibn Taimiyyah. Pembandingan ini
selanjutnya digunakan untuk menemukan aktualitas, melacak relevansi yang
menunjuk pada keterhubungan yang bersifat fungsional tertentu dengan dimensi
yang dipertanyakan.
Akhirnya, dengan metode pendekatan analisis tersebut, penulis berusaha
menelaah pemikiran kedua tokoh. Cara yang digunakan adalah analisis isi (content
analysis), yaitu menganalisis konsep dari pemikiran berbagai tulisan yang berkait
dengan kebijakan fiskal, terutama yang dikemukakan oleh Ibn Taimiyyah dan
Keynes, serta kemungkinan kontribusi pemikiran tentang kebijaksanaan
pemerintah yang Islami. Kajian ini membahas aturan-aturan Islam dalam bidang
ekonomi, sehingga ia melibatkan diri dalam justifikasi hukum dan ideologiknya,
dengan tidak mengabaikan signifikansi dan implikasi ekonomiknya. Pandangan
artikel untuk menyampaikannya dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti, seperti yang
dilakukan oleh Hicks, Hansen, Wilson, Joan Robinson, Klein dan lain-lain.
26
Keynes dihadapkan dengan gagasan-gagasan Ibn Taimiyyah dalam kerangka
hukum. Hukum dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai Islami.47
Sistematika Buku
Kerangka pembahasan dari studi ini dituangkan dalam lima bab yang
saling terkait satu dengan lainnya secara sistematis.
Bab satu memuat tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam buku ini, kerangka umum
kebijakan publik, metode dan sistematika buku.
Pada bab dua, penyusun mendiskripsikan latar belakang kehidupan
masing-masing tokoh. Hal ini penting diketahui, mengingat pemikiran seorang
tokoh tidak akan terlepas dari latar belakang sosio-historis yang melingkupinya.
Kondisi pemikiran maupun praktek ekonomi makro sebelum kedua tokoh juga
dikemukakan sebagai pijakan untuk memahami gagasan kedua tokoh, yang
merupakan kelanjutan dan perkembangan dari pemikiran sebelumnya. Dengan
mengenal lebih dekat seting sejarah kedua tokoh, diharapkan kita bisa menemukan
pola-pola tertentu yang mempengaruhi bangunan pemikiran mereka
Memasuki bab ketiga, dikemukakan pemikiran Ibn Taimiyyah tentang
peranan pemerintah dalam kebijaksanaan ekonomi dengan memberi penekanan
kepada kebijakan fiskal, juga disinggung tentang regulasi pasar dengan institusi
hisbahnya.
Sedangkan pemikiran ekonomi makro Keynes dikemukakan pada bab
selanjutnya. Pada bab ini dikemukakan gagasan Keynes tentang urgensi intervensi
pemerintah terhadap perekonomian suatu negara, yaitu dengan kebijakan fiskal
yang bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja penuh.
Setelah diuraikan konsep-konsep kebijakan ekonomi Ibn Taimiyyah dan
Keynes, kemudian diakhiri dengan bab lima. Pada bab ini diuraikan tentang
analisis komparatif pemikiran kedua tokoh, lalu dianalisa dengan kacamata
konsep sistem ekonomi Islam, untuk dicari persamaan-persamaan dan
47
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991),
hal. 5
27
perbedaannya serta menemukan alternatif terbaik dari keduanya.
28
Bab 2
MENGENAL LEBIH DEKAT TOKOH EKONOMI MAKRO
(IBN TAIMIYYAH DAN JOHN MAYNARD KEYNES)
Ibn Taimiyyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiu al-Din Ahmad Abu al-Abbas
Ibn al-Syaikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim Ibn al-Syaikh Majd alDin Abi al-Barakat Abd al-Salam Ibn Abi Muhammad Abdullah Ibn Abi al-Qasim
al-Khadri Ibn Muhammad Ibn al-Khadri Ibn Ali Ibn Abdillah.48 Ia lahir pada hari
Senin, 10 Rabi‟ul Awwal 661 H atau 22 Januari 1262 M di Harran49, sebuah kota
kecil di bagian utara Mesopotamia, dekat Urfa, di bagian tenggara Turki sekarang.
Para Ulama berbeda pendapat tentang sandaran penasaban Ibn Taimiyah.
Satu pendapat mengatakan bahwa Kakek dari Ibn Taimiyah pernah mengadakan
perjalanan haji dan dalam perjalanan bertemu dengan seorang anak yang bernama
Taimiyah, dan sekembalinya dari perjalannannya itu ia menemukan putrinya telah
melahirkan seorang bayi dan kemudian bayi itu dinamakan Ibn Taimiyah.
Sedangkan versi lain mengatakan bahwa penasaban Ibn Taimiyah adalah
mengambil dari nama Ibu dari kakeknya yaitu Taimiyah.50
Masa-masa dilahirkannya ibn Taimiyah merupakan masa yang penuh
dengan gejolak politik, dan merupakan titik balik sejarah bagi dunia Islam. Hal ini
karena pada masa ini (yaitu menjelang abad ke-7 H, awal abad ke 8 H), dunia
Islam dihadapkan pada situasi kemerosotan dan kemunduran. Kaum muslim
terpecah-pecah ke dalam berbagai negara kecil. Raja-raja tersebut saling
memandang raja lainnya lebih sebagai musuh daripada sebagai saudara seiman.
48
Moh. Ben Chener, “Ibn Taimiya”, dalam First Encyclopaedia of Islam, M. Houstsma,
A. J. Weinsinch, T. W. Arnold, W. Hefening, E. Levi Provencal, ed., (Leiden: E. J. Brill, t.t.), hal.
421.
49
H. R. Gibb dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, dalam Shorter Encyclopaedia of Islam,
Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed., (Leiden: E. J. Brill, 1961), hal. 151
50
Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyah Hayatuhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Bairut :
Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.), hal.17.
29
Situasi yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya serbuan pasukan
Mongol yang menyapu dunia Islam, mulai dari India sampai ke Mesir. Mereka
merampok dan membunuh serta menghancurkannya. Bagdad sebagai pusat
peradaban Arab pada waktu itu juga tidak luput dari serbuan Mongol, bahkan
penduduknya banyak yang disembelih. Untuk menyelamatkan diri, keluarga Ibn
Taimiyyah mengungsi dari tempat kelahirannya ke Damaskus pada tahun 1270 M
(menjelang kedatangan pasukan Mongol).51 Pada saat itu usia Ibn Taimiyyah baru
7 tahun. Selanjutnya, keluarga Ibn Taimiyyah menetap di kota Siria itu.
Selain serangan bangsa Tartar dari timur itu, dari barat umat Islam juga
harus menghadapi serangan tentara Salib, dari dalam Islam sendiri digerogoti oleh
permusuhan di antara para penguasa dan sekte-sekte Islam sendiri.52 Dengan
demikian, di mana-mana terjadi kekacauan dan kebekuan, di samping itu
kerusakan budi dan moral juga dalam sitasi yang amat parah. Sejumlah kecil
universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan, dan tak diacuhkan.
Pemerintah juga menjadi despotis, kadang-kadang terjadi anarki dan berbagai
upaya pembunuhan.53 Ketidakpastian juga menghantui para penguasa muslim
yang kebanyakan meninggal secara tidak wajar. Merekapun jarang menduduki
jabatan efektif lebih dari tiga tahun. Seorang pegawai pemerintahan sering
diangkat dan diberhentikan hingga berkali-kali selama hidupnya, meskipun ia
memiliki kemampuan dan kompetensi.54
Setting Akademik Masa Ibn Taimiyyah
Keluarga Taimiyyah dikenal berpendidikan tinggi yang sangat kental
dengan tradisi Hanabilah55. Ayahnya, „Abdul Halim, pamannya Fahr ad-Din dan
kakeknya Majd ad-Din merupakan ulama besar dari mazhab Hanbali. Dalam
51
H. R. Gibb dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, hal. 23.
Qamaruddin Khan, The Political Thought of Ibn Taimiyyah, (Delhi: Adam Publiser &
Distributors, 1992), hal. 39-41
53
L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit Dunia
Baru Islam, 1966), hal. 29.
54
Brockelmaan, History of Islamic Peoples, (New York: G. P. Putnam‟s Sons, 1944), hal.
237
55
Ignaz Goldziher, “Ibn Taimiyyah” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, James
52
30
suasana keluarga yang secara turun temurun merupakan tokoh-tokoh Hanbali
seperti itulah ibn Taimiyah memperoleh pendidikan. Dengan demikian, latar
belakang pendidikan Ibn Taimiyyah secara esensial berpijak pada teologi dan
pemikiran hukum mazhab Hanbali. Tetapi pengetahuannya tentang mazhab
Hanbali justru mendorongnya untuk juga mendalami berbagai pikiran mazhab
lain.
Meskipun banyak pemikir menisbatkan Ibn Taimiyyah dengan mazhab
Hanbaliah, namun dalam banyak hal sebenarnya ia memiliki pemikiran yang
berbeda dengan imam Hanbali. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Amin
menunjukkan bahwa kesamaan usul al-fiqh antara keduanya sesungguhnya
terletak pada kesamaan sikap antara keduanya dalam menerima hadis sebanyak
mungkin, di samping juga memandang atsar as-sahabah dan fatawa at-tabi‟in
sebagai bagian dasar hukum.56)
Secara formal, Ibn Taimiyyah memulai belajar di sekolah Dar al-Hadis asSukkariyyah yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.57 Ia juga belajar pada para
ulama terkemuka lain di kota Damaskus yang pada masa itu –di samping Mesir–
merupakan pusat pengetahuan dan kebudayaan Islam serta pusat berkumpulnya
para ulama besar berbagai mazhab Islam.58
Guru-guru Ibn Taimiyyah berjumlah kurang lebih 200 orang.59 Di antara
gurunya tersebut adalah,
1. Syams ad-Din al-Maqdisi, mufti pertama dari mazhab Hanbali di
Suriah.
2. Ibn „Abd al-Qalawy, seorang ahli hadis, fiqh, nahwu dan pengarang.
Salah satu karyanya adalah kitab al-Furuq.
3. Ibn „Abd ad-Da‟im (577-678), guru Ibn Taimiyyah di bidang hadis.
Hastings, ed., (Eddinburgh: T. & T. Clark, 1990), VII, hal. 72.
56
Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991),
hal. 138
57
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah: Hayatuhu wa Asruhu Ara‟uhu wa Fiqhuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 17.
58
Qamaruddin Khan, The Political, hal. 11-12.
59
Laoust, Henry. “Ibn Taymiyya” dalam Encyclopaedia of Islam, B. Lewis, V. L. Menage,
Ch. Pellat, dan J. Schacht, ed., (London: Luzac & Co., 1971), vol. III, hal. 951.
31
4. Al-Munaja‟ ibn Usman at-Tanuki (611-695), guru Ibn Taimiyyah
bidang fiqh selain mengajar, ia juga seorang mufti, mufassir dan ahli
nahwu.60
Ibn Taimiyyah mempunyai kecerdasan dan kekuatan hafalan yang luar
biasa.61 Sadar akan kemampuan ini, ia berusaha untuk memanfaatkannya sebaik
mungkin. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah tidak membatasi studinya hanya pada
guru-gurunya saja, tapi di luar itu ia menelaah berbagai buku dalam berbagai
disiplin ilmu yang berbeda secara otodidak. Literatur-literatur itulah yang nantinya
lebih banyak membentuk wawasan dan analisisnya yang tajam. Ia juga
memperkaya
pengetahuannya
dengan
literatur-literatur
masa
kini
(heresiographical literature), misalnya secara khusus tentang filasafat dan
sufisme, seperti karya-karya al-Farabi, ibn Sina, ibn Rusyd, al-Ghazali, ibn „Arabi,
dan lain-lain. Ia mempunyai pengetahuan yang luas mengenai Yunani seperti
karya-karya Plato, Aristoteles dan sejarah Islam. Juga berbagai buku agama dari
dua pokok di atas (Yunani dan Islam), hal ini dapat dibuktikan dari berbagai buku
yang ditulisnya.
Ibn Taimiyah telah menyelesaikan studi keagamaannya secara formal
sebelum melewati usia 17 tahun. Pada saat itu ia telah mulai mengarang kitab.
Kemudian, ia menjadi mufti pada usia 20 tahun. Sewaktu ayahnya wafat tahun
682 H/1284 M, ibn Taimiyah yang saat itu ia baru berusia 21 tahun telah
menggantikan jabatan penting ayahnya.
Pada tanggal 2 Muharam 683 H/1284 M ia mulai mengajar fiqh di
Madrasah yang dipimpinnya. Setahun kemudian, 10 Saffar 684 H/1285 M, ia
mulai memberi kuliah umum tafsir al-Qur‟an di Masjid Raya Damaskus sekaligus
menjadi khatib. Masih pada tahun yang sama, ia menggantikan ayahnya sebagai
guru besar hadis dan fiqh Hanbali di beberapa Madrasah terkenal yang ada di
60
Guru-guru yang lain misalnya, ibn Abi al-Yusr, al-Kamal ibn „Abd al-Majid ibn „Asakir,
Yahya ibn asy-Syairafi, dan Ahmad ibn Abu al-Khair.
61
Sebagai contoh, diriwayatkan bahwa suatu ketika salah seorang guru Ibn Taimiyyah
mendiktekan 11 matan hadis kepadanya. Kemudian setelah dibacanya sekali, ia telah menghafal
seluruh matan hadis tersebut. Kelak, setelah ia menjadi guru hadis, banyak para ulama yang
menyanjung dan memuji kehebatannya dengan mengatakan, “Kalau ada hadis yang tidak diketahui
32
Damaskus. Dalam waktu yang singkat, namanya menjadi termasyhur melebihi
ahli-ahli hadis yang lain yang terkemuka pada masa itu, seperti ibn Daqaiq al-‟Id,
Kamal ad-Din az-Zimlikani dan Syams ad-Din az-Zahabi,62 sehingga ia tampil
sebagai tokoh utama mazhab Hanbali.
Kedudukannya yang baru tersebut menandai permulaan karirnya yang
kontroversial dalam kehidupan masyarakat sebagai teolog yang aktif. Namanya
mulai dikenal sebagai seorang pemikir, memiliki ketajaman intuisi, berpikir dan
bersikap bebas, setia kepada kebenaran, piawai dalam berpidato, dan lebih dari itu
penuh keberanian dan ketekunan. Ia memiliki semua persyaratan yang
mengantarkannya kepada pribadi yang luar biasa.63
Perbedaan pendapat berdasar mazhab sebenarnya telah dimulai sejak abad
4H, yaitu antara mazhab Syafi‟iyyah dengan Hanafiah. Perbedaan pendapat
tersebut kemudian meruncing sampai masa Hanabilah. Hal ini menunjukkan
adanya keterbatasan wawasan berpikir dan kecenderungan fanatisme mazhab.
Selain itu terjadi pula perbedaan pendapat antara Mu‟tazilah dengan Asy‟ariyyah
dan al-Maturidiyyah. Fanatisme dan perbedaan-perbedaan pendapat tersebut terus
berlanjut sampai masa Ibn Taimiyyah. Namun hal itu tidak mempengaruhi pola
pikir Ibn Taimiyyah. Ia tidak melihat siapa yang berpendapat, tapi ia
berkonsistensi kepada dalil yang didasarkan pada pendapat sendiri. Jika terdapat
konsistensi argumen, maka demikianlah yang ia ikuti, jika tidak ia menolaknya.
Banyak pemikiran Ibn Taimiyyah yang dinilai “keterlaluan”, karena sering
menyalahi pendapat yang secara umum telah dipegangi para fuqaha sebelumnya.
Bahkan, ibn Batutah menilainya sebagai orang gila.64 Hasil pemikiran-pemikiran
oleh Ibn Taimiyyah, maka itu bukan hadis.”
62
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah, hal. 94.
63
Muhammad Abu Zahrah, Usbu‟ al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibn
Taimiyyah, (Kairo: Matu'at al-Majlis al-A‟la li Ri‟ayat al-Funun wa al-Adab wa al-‟Ulum alIjtima‟iyyah, t.t.), hal. 691-4
64
Donald P. Little, “Did Ibn Taimiyya Have a Screw Loose?” dalam Studia Islamica, no.
42, 1975, hal. 95. Dengan pendekatan sosio-historis, secara kritis Little menunjukkan hal yang
sebaliknya. Pada bagian akhir dari tulisannya tersebut, ia merekomendasikan, “If we want to
understand the nature of the Ibn Taimiyyan phenomenon, by which I mean the full impact of his
activities and his writings on the development of Islam, we must surely start with the nature of man
himself.”
33
Ibn Taimiyyah yang jauh meninggalkan pola pikir pada masanya itu antara lain,
1. Seseorang diperkenankan untuk bertayamun meskipun ada air, demi
mengejar keutamaan shalat berjamaah.
2. Diperkenankan mengqasar salat dan membatalkan puasa wajib bagi orang
dalam perjalanan yang merasa kesulitan, meskipun belum mencapai jarak
minimal yang telah disepakati para fuqaha.
3. Sa‟i cukup sekali bagi haji tamattu‟, sebagaimana juga cukup sekali sa‟i
bagi haji qiran dan ifrad.65
Pandangan-pandangan ibn Taimiyah tersebut dinilai sangat aneh pada
masanya mengingat kajian ilmiah di masanya cenderung memihak dan membawa
fanatisme golongan atau mazhab. Masing-masing melihat bahwa akidah itu ada
imamnya (dari orang yang terdahulu) dan diikuti oleh orang-orang sesudahnya.
Mereka berkeyakinan bahwa hanya pendapat mereka sajalah yang benar,
sementara orang di luar mereka adalah salah.
Kajian hukum Islam pada masa Ibn Taimiyyah tidak lebih baik dari kalam
dan filsafat. Iqbal menggambarkan bahwa fuqaha di kala itu cenderung untuk
memberikan penghormatan keliru terhadap masa lalu, dengan meyakini finalitas
mazhab-mazhab serta meyakini tertutupnya pintu ijtihad. Berbagai khurafat
didukung secara legal oleh ijma. Akibatnya, para ulama menjadi tidak lagi toleran,
seperti pada kasus Mihnah al-Makmun yang menunjukkan ketiadaan toleransi
perbedaan pendapat.66 Dalam hal ini Ibn Taimiyyah berupaya menyuarakan
pentingnya penerapan hukum Islam dalam kehidupan individu dengan menjadikan
negara dan pemerintah sekedar sebagai alat untuk merealisasikan hukum Islam
tersebut.67
Dalam bidang tasawuf, Ibn Taimiyyah menekankan penentangannya
65
Untuk contoh dan pembahasan lebih jauh, lihat, Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah
dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991), hal. 136-7
66
Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi:
Kitab Bhavan, 1981), hal. 67
67
Hal ini terlihat dalam karyanya as-Siyasah asy-Syar‟iyyah dan al-Hisbah. Pembahasan
lebih lanjut terdapat pada bab III.
34
terhadap tiga hal. Pertama, faham ittihad,68 kedua, kritik atau klaim mereka yang
menyatakan bahwa barang siapa yang sampai pada puncak
“kecintaan pada
Allah” maka bagi mereka maksiat dan taat menjadi sama. Ketiga, adanya assu‟buzah (kepercayaan mistik) yang disertai dengan tarikat-tarikat yang muncul
pada zamannya.69
Gagasan-gagasan dan pemikiran Ibn Taimiyyah berupaya mencari potensi
pemikiran orisinal yang berkesinambungan hingga Nabi Muhammad SAW.
Dampaknya terlihat terutama di bidang akidah, seperti ia tulis dalam risalahnya
kepada penduduk Hammah berjudul al-Risalah al-Hamawiyyah.
Kondisi Sosial-Politik
Antara tahun 693/1294 sampai 728/1328, Ibn Taimiyyah telah 6 kali keluar
masuk penjara. Keseluruhan waktu yang dihabiskannya di bui adalah 6 tahun
lebih.70) Ketika berusia 32 tahun, Ibn Taimiyah pertama kali berurusan dengan
penguasa Mamluk. Ketika itu ia melancarkan protes di Damaskus menentang
seorang pendeta yang dituduh menghina Nabi Muhammad. Sekalipun katib
Kristen itu kemudian ditahan dan dihukum, namun Ibn Taimiyah akhirnya juga
ikut dicekal dengan tuduhan menghasut rakyat.71 Namun, justru di dalam penjara
itu Ibn Taimiyyah memanfaatkan waktunya untuk menulis sebuah karya berjudul
As-Salim al-Maslul „ala Syatim ar-Rasul.72
68
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan. Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), hal. 82
69
H. A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, (Princeton: Princeton University
Press, 1982), hal. 212-13
70
Donald P. Little, “The Historical and Historiographical Significance of the Detention of
Ibn Taimiyyah” dalam International Journal of Middle East Study (IJMES), IV, 1973, hal. 313.
Dalam artikel tersebut, secara umum Donald menyimpulkan sebab pemenjaraan Ibn Taimiyyah
adalah; berkaitan dengan kedudukannya sebagai ulama penasehat agama sultan yang menimbulkan
adanya “kecemburuan” ulama lain; adanya perselisihan pendapat dengan fuqaha lain; pertentangan
dengan kaum sufi; dan karirnya yang menonjol di tengah-tengah masyarakat.
71
Gubernur Siria pada saat itu menawarkan dua pilihan bagi pendeta tersebut, yaitu:
dihukum mati atau dimaafkan, jika mau masuk Islam. Tentu saja Asaf memilih menjadi muslim.
Namun Ibn Taimiyyah tetap berkeras agar ia tetap dihukum mati meskipun telah menjadi muslim,
sebab hukuman itu pantas bagi siapa saja yang menghina Nabi, baik ia Islam atau tidak.
72H
enry Laoust. “Ibn Taymiyya”, hal. 951.
35
Ibn Taimiyyah juga pernah dipanggil Sultan di Mesir berkaitan dengan
tuduhan memiliki sifat anthropomorfik (sifat manusia yang dikaitkan dengan
bukan manusia). Ia tiba di Kairo pada tanggal 7 April 1306. Ia tidak diberi
kesempatan yang layak untuk menjelaskan permasalahannya dan langsung
dijebloskan ke dalam penjara. Setelah mendekam selama satu setengah tahun, ia
dibebaskan pada 25 September 1307. Setelah dibebaskan, Ibn Taimiyyah
memutuskan untuk tinggal beberapa hari di Kairo. Ia berusaha memulihkan
keimanan penduduk sekitar, serta memperbaiki pandangan hidup mereka. Salah
satu upaya tersebut adalah dengan memberikan kritik yang pedas terhadap
beberapa pemikiran sufisme yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, juga
mencela beberapa praktek bid‟ah yang merajalela. Ternyata Sultan Baibar alJasankir yang berkuasa saat itu sangat mendukung kaum sufi, karena itu Ibn
Taimiyyah diasingkan ke Alexandria dan dikenakan tahanan rumah. Setelah
sekitar tujuh bulan dalam pengasingan, ia dipanggil ke Kairo untuk dijadikan
sebagai penasehat pribadi oleh Sultan Nasir Muhammad ibn Qalawun, yang
berhasil memulihkan tahtanya pada tanggal 4 Maret 1310.73
Pengalaman dua kali dipenjara tidak menyurutkan nyali Ibn Taimiyyah
untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan empat mazhab hukum yang
terkenal, bahkan dengan mazhab yang dianut pemerintah. Salah satu contohnya
adalah keputusan hukum tentang perceraian. Ibn Taimiyyah berpandangan bahwa
ucapan talak tiga kali sekaligus hanya dianggap sebagai talak satu. Selain itu,
ucapan talak yang disampaikan dalam keadaan terpaksa hukumnya tidak sah.
Pendapat ini bertentangan dengan pendapat mazhab Hanbali yang dianut Sultan,
oleh karena itu ia dipenjarakan lagi di Damaskus selam lima setengah bulan, dan
dibebaskan pada 9 Februari 1321 atas keputusan sultan Nasir.74
Pengalaman di penjara untuk terakhir kalinya dirasakan oleh Ibn
Taimiyyah karena fatwanya yang menentang praktek ziarah kubur pada saat itu,
termasuk ke makam Rasulullah. Setelah terjadi perdebatan sengit dengan para
73
74
4
Ibid., hal. 952
Ibn Kasir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, 1981), IV, hal. 123-
36
ulama di masanya, akhirnya ia dijebloskan ke penjara Damaskus bersama
beberapa muridnya.75 Di penjara inilah tokoh reformasi itu menghembuskan nafas
terakhir pada tanggal 20 Zulqa‟idah 728 H / 27 Setember 1328 M, setelah
mendapat perlakuan yang kasar selama lima bulan.
Berbagai kegiatan dan peristiwa yang dialami tersebut, sedikit banyak telah
memberi warna bagi pandangan-pandangan politiknya. Di samping itu, sebagai
seorang sunni, pandangan politiknya juga masih menunjukan trauma “fitnah
besar” yang pertama, yaitu pembunuhan Usman ibn „Affan yang diikuti oleh
peperangan antara kelompok pendukung „Ali ibn Abi Talib dan kelompok
pendukung Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan, dan yang masih diteruskan dengan
peristiwa pembunuhan Husain ibn „Ali oleh kelompok Mu‟awiyah pimpinan
Yazid ibn Mu‟awiyah. “Trauma Fitnah” yang menjadi ciri pandangan politik
IbnTaimiyah itu nampak pada pegangan eratnya pada hadis yang mengatakan
bahwa kaum muslimin harus bersabar atas kejahatan para penguasa mereka dan
sama sekali dilarang memberontak. Sebab menurutnya, hal itu adalah perkara yang
paling memberikan maslahat untuk kehidupan duniawi dan akhirat.22
Kematiannya disambut dengan derai air mata ratusan ribu para
pengagumnya. Mereka yang menghantar jenazahnya ke pemakaman itu bahkan
menyajikan berbagai ragam tanda kehormatan yang sebenarnya perbuatan itu
ditentang oleh Ibn Taimiyyah sendiri karena dianggap bid‟ah.
Karya-Karya Ibn Taimiyyah
Sebagai seorang ulama dan tokoh Islam terkemuka, ibn Taimiyah termasuk
salah seorang yang sangat produktif. Berbagai kitab telah banyak ditulisnya,
hampir mengenai setiap aspek dari Islam. Namun, dari karya-karya yang
dihasilkan tersebut, ternyata tidak seluruhnya dapat tersimpan dengan baik.
Banyak karya-karya yang hilang dan tidak mungkin ditemukan kembali. Hal ini
75
Ibid., XIV, hal. 123-4
Nurcholish Madjid, “Argumen untuk Keterbukaan, Moderasi dan Toleransi (Beberapa
Pokok Pandangan Ibnu Taimiyah)”, dalam Islam: Antara Visi, Tradisi, dan Hegemoni dan bukan
Muslim, Mochtar Prabottinggi, ed., (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hal. 130.
22
37
setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang paling dominan adalah;
pertama, ketidaksukaan ulama-ulama Islam yang tidak menyetujui pemikirannya
dan yang pernah menerima kritikannya, seperti golongan Sunni, Rawafid, Mistik
dan Ahl al-bid‟ah; faktor kedua, tekanan-tekanan politik yang dialaminya.23
Sekalipun demikian, seperti dituturkan Chener, setidaknya terdapat 500
karya yang telah dihasilkan oleh ibnTaimiyah yang bisa diselamatkan.24 Usaha
untuk mengumpulkan karya-karya Ibn Taimiyyah tersebut dilakukan oleh „Abd arRahman ibn Muhammad ibn Qasim dengan bantuan putranya Muhammad ibn
„Abd ar-Rahman. Sebagian karya itu kini telah terhimpun dalam Majmu‟ Fatawa
yang berjumlah 37 jilid.76 Dari karya-karyanya ini, menurut Qamaruddin Khan,
kebanyakan merupakan reaksi terhadap kondisi yang melanda kaum muslimin
pada waktu itu.25
Karya-karya Ibn Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuan seperti
tafsir, hadis, fiqh dan usul fiqh, akhlaq tasawuf, mantiq, filsafat, kalam, dan
politik. Sebagian dari tulisannya, seperti Kitab ar-Radd „ala al-Mantiqiyyun,
Ma‟arij al-Wusul, Minhaj as-Sunnah, dan Kitab Bugyah al-Murtad, tampak
bersifat polemis dan bernada keras. Hal ini disebabkan karena karya-karya
tersebut ditulis sebagai koreksi dan kritik terhadap berbagai praktek dan pemikiran
pada saatnya yang dinilai tidak benar.
Sesuai dengan pembahasan dalam buku ini, maka karyanya yang banyak
berbicara mengenai obyek masalah ini dapat disebutkan antara lain: as-Siyasah
Syar‟iyyah. Buku ini terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menguraikan
tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya tentang penunjukan
dan pengangkatan para pejabat negara, pengelolaan kekayaan negara dan harta
benda rakyat. Bagian kedua membahas tentang pelaksanaan hukum-hukum
pidana, hak Tuhan dan hak sesama manusia, kemudian ditutup dengan dua pasal
masing-masing tentang musyawarah dan tentang pentingnya suatu pemerintahan.
23
Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal. 1.
Moh. Ben Chener, “Ibn Taimiya”, hal. 422.
76
Ahmad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah, hal. 32.
25
Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal.1.
24
38
Sesuai dengan pernyataannya sendiri, buku ini hanya berisi uraian singkat yang
memuat garis-garis besarnya saja tanpa rincian yang mendetail. Selain itu, karya
lain yang sejalan dengan pembahasan ini adalah al-Hisbah fi al-Islam dan Majmu‟
Fatawa yang merupakan kumpulan dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyyah yang terdiri
dari 30 jilid. Karena sebagai kumpulan dari fatwa-fatwanya, maka secara lengkap
karya ini kemudian diberi judul Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam.
Karyanya yang lain antara lain Manasik al-Haj. Karya ini disusun sepulang
Ibn Taimiyyah dari menunaikan ibadah haji pada tahun 1293 M. Ketika
menunaikan haji tersebut, ia menyaksikan banyak praktek bid‟ah yang dilakukan
para hujjaj. Sebagai protes kemudian disusunlah risalah tersebut. Karya Ibn
Taimiyyah yang lain yang juga merupakan usaha penghapusan terhadap praktek
bid‟ah adalah Risalah Ziyarah al-Qubur wa al-Istinjad bi al-Maqbur. Tulisan ini
merupakan jawaban kepada orang-orang yang meminta fatwa kepadanya tentang
ziyarah kubur, termasuk kuburan Nabi Muhammad saw.
Ketika Ibn Taimiyyah terlibat dalam aksi protes tindakan Gubernur Syiria
yang membebaskan „Assaf dari hukuman mati karena menghina Nabi
Muhammad. Ibn Taimiyyah memprotes sikap gubernur dengan menulis kitab asSarim al-Maslul „ala Syatim ar-Rasul.77 Dalam karya ini, antara lain ia
menyatakan bahwa masuknya seseorang ke dalam agama Islam tidak dapat
membebaskannya dari hukuman atas kejahatan yang telah dilakukannya.
Pada tahun 1299 M, Ibn Taimiyyah menulis sebuah risalah yang berjudul
al-Fatawa al-Hamawiyah. Risalah ini ditulisnya sebagai jawaban terhadap
pertanyaan orang-orang Hammah yang menanyakan kepadanya tentang sifat-sifat
Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an. Karangan tersebut berisi tentang kritik-kritik
Ibn Taimiyyah terhadap kesalahan akidah Jamiyyah, Mu‟tazilah, dan Asy‟ariyyah,
dan memicu timbulnya perdebatan panjang dan sengit dengan para fuqaha,
terutama qadi Jalal ad-Din al-Hanafi. Para lawannya menuduh Ibn Taimiyyah
dengan sifat anthropomorfik.78
77H
78
enry Laoust,. “Ibn Taymiyya”, hal. 951.
Ibid. hal. 952.
39
Karya Ibn Taimiyyah yang lain adalah Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah
fi Naqd al-Kalam asy-Syi‟ah wa al-Qadariyyah. Kitab ini ditulisnya sebagai
sanggahan terhadap teori pemerintahan imamah yang dikembangkan oleh kaum
Syi‟i. Ia menilai konsep imamah sebagai gagasan yang tidak sesuai dengan ajaranajaran islam.79
Buah pena Ibn Taimiyyah yang lain, Iqtida as-Sirat al-Mustaqim
menjelaskan keharusan kaum muslim mempertahankan identitas mereka di
tengah-tengah masyarakat, dan harus berhati-hati agar tidak terhanyut dalam tata
cara dan adat istiadat umat lain. Nasehat ini terutama dikhususkan untuk golongan
minoritas islam.80
Kebijakan Fiskal Dinasti Mamluk
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh megenai pemikiran
ekonomi makronya, maka kita perlu mengetahui praktek kebijakan negara yang
terjadi pada masanya, yaitu dinasti Mamluk. Daerah kekuasaan dinasti Mamluk
terbagi menjadi beberapa wilayah, seperti Tripoli, Gaza, Karak, Safad, Damascus,
Hamah, Aleppo, Iskandariah, dan Kairo. Asal usul dinasti ini adalah dari para
budak yang dididik militer. Selama abad 13 dan 14, budak-budak tersebut semula
diambil dari Turki, kemudian pada abad
berikutnya diambil dari Kaukasus.
Mereka berasal dari berbagai ras, suku dan agama.81
Dalam strata sosial, generasi budak inilah yang menempati kelas pertama.
Para elit penguasa dan penentu kebijakan negara berasal dari golongan ini. Kelas
kedua adalah ahl al-imamah, yakni mereka yang bekerja dalam pemerintahan
sebagai pegawai birokrasi, hakim, juru tulis, ilmuwan, ulama dan sebagainya.
Lapisan terakhir adalah para pedagang dan bisnisman yang mempunyai kedudukan
ekonomi cukup mapan. Di bawah mereka adalah lapisan terbawah yang terdiri
dari para petani, tukang-tukang, tenaga kasar dan sebagainya. Kelas terakhir inilah
79
Qamaruddin Khan, The Political Thought, hal. 7.
Ibid., hal. 36-7
81
Carl F. Petry, “A Paradox of Patronage during the Later Mamluk Periode”, dalam The
Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983, hal. 184
80
40
yang paling menderita, terlebih para petani, sebab mempunyai kewajiban pajak di
luar batas kewajaran.82 Gambaran secara lebih lengkap tentang sistem perpajakan
pada masa ini akan diuraikan pada bab ini.
a. Sumber Pemasukan
Sumber pemasukan dinasti Mamluk berasal dari pajak atas tanah, pajak
atas barang tambang, perikanan dan industri, bea cukai, jizyah, zakat, harta
warisan yang tidak mempunyai pewaris, pajak atas hiburan dan tontonan, serta
kewajiban pembayaran untuk menyokong kepentingan militer, peperangan, dan
kesejahteraan sultan.
Pemasukan dari bidang pajak terdapat tiga macam yaitu pajak dari
penduduk non muslim untuk mendapat perlindungan, pajak perdagangan dan
pertukangan, serta pajak hasil produksi tanah.83
Sektor pertanian memperoleh prioritas pertama pada masa dinasti ini,
sehingga dipertimbangkan sebagai sumber utama kesejahteraan masyarakat. Hal
ini bisa dipahami, mengingat kehidupan masyarakat asli saat itu tergantung kepada
hasil produksi pertanian.84
Sejak sebelum pemerintah dinasti Mamluk, seluruh tanah di Mesir dibagi
menjadi 24 bagian. Empat bagian milik Sultan, 10 bagian berada di tangan
gubernur (amir), dan 10 bagian lainnya diperuntukkan bagi anggota pasukan
militer. Tanah-tanah tersebut dibagi-bagikan kepada para amir dan prajurit
menurut sistem Iqta‟.
85)
Sistem tersebut masih berlanjut hingga masa
pemerintahan dinasti Mamluk. 86)
Pada saat Sultan Lajin (1296-1298) berkuasa, ia telah melakukan
82
Jalal ad-Din „Abd ar-Rahman As-Suyuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa alQahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1968), hal. 95
83
Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books, 1992), hal.
136-7
84
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic
Foundation, 1988), hal. 33
85
Sitem iqta‟ adalah pemberian hak kelola tanah oleh negara dengan tujuan untuk
didayagunakan.
86
Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk li Ma‟rifah Duwal al-Muluk, Mustafa
Ziyada dan Said „Abd al-Fattah, ed., (Kairo: Lajnah at-Ta'lif wa at-Tarjamah, 1973), II, hal. 841
41
perombakan sistem pemilikan tanah. Hal yang melatarbelakangi upaya
perombakannya tersebut adalah untuk mengatasi perbuatan curang para amir yang
mengambil tanah iqta‟ milik prajurit yang telah kehilangan hak pakainya, dengan
dalih untuk dilindungi. Untuk maksud tersebut, ia mengeluarkan perintah
pengukuran tanah. Kebijakan Sultan Lajin yang lebih dikenal dengan istilah
“Husami Rawk” ini selain bertujuan menghapuskan proteksi tanah oleh amir, juga
memilih seluruh tanah Mesir menjadi empat bagian untuk Sultan, 10 bagian untuk
amir bersama prajurit, satu bagian disiapkan untuk mereka yang mengadu, dan
sembilan bagian lainnya merupakan cadangan tanah iqta‟ bagi calon tentara yang
baru. 87)
Kebijakan sultan ini mengundang reaksi kurang puas di kalangan militer.
Akibatnya, pemerintah Sultan Lajin dikudeta. Tampaknya, “Husami Rawk” itu
dipandang tidak membawa manfaat apapun. Sebab, di satu sisi, tak seorang pun
yang memperoleh tanah lebih luas dari sebelumnya. Di sisi lain sebagian besar
tanah masih tersisa menganggur dan tidak terkelola.
Belajar dari pengalaman program “Husami Rawk” yang gagal, Sultan AnNasir ibn Qalawun, yang naik tahta untuk kedua kalinya menggantikan Lajin pada
tahun 1298, dengan segera mengajukan program reformasi yang berbeda dari
“Husami Rawk”. An-Nasir memilah tanah masih menjadi 24 bagian. Sepuluh
bagian di antaranya ditetapkan sebagai tanah iqta‟ yang diperuntukkan secara
ekslusif kepada Sultan. Sisanya sebanyak 14 bagian diserahkan dalam bentuk
iqta‟ pula kepada para amir dan prajurit. Selanjutnya prajurit yang tua dan yang
cacat tidak diikutsertakan dalam kepemilikan tanah iqta‟ tersebut. Akan tetapi,
sebagai ganti tanah iqta‟, mereka memperoleh gaji pensiun sebesar 3000 dirham
setiap tahunnya.
Reformasi An-Nasir ini berlangsung sukses dan membawa perubahan
besar dalam sistem pertanahan di Mesir.88 Program Nasir ini dilakukan dua kali,
87
Ibid., hal. 841
Amalia Levanoni, A Turning Point in Mamluk History (The Third Reign of al-Nasir
Muhammad ibn Qalawun 1310-1341), (Leiden: E. J. Brill, 1995), hal. 142
88
42
yaitu di Syria pada tahun 713/1313 dan di Mesir pada tahun 715/1315.89 Dalam
rangkaian program reformasi tersebut, Sultan mendirikan sejumlah diwan untuk
menjamin lancarnya pelayanan terhadap pelaksanaan keuangan publik.
Dengan beberapa paket kebijakan ekonominya, Sultan Nasir dapat
menaikkan pendapatan negara. Upaya untuk mendongkrak pemasukan negara juga
dilakukan dengan meningkatkan perbaikan-perbaikan sarana bidang pertanian,
sebab pemasukan dari bidang ini sangat besar. Nasir juga menaikkan pembayaarn
iqta‟at dan al-khass dari 4/24 menjadi 10/24 dari seluruh tanah pertanian. 90
Pada masa Mamluk, zakat dan kharaj secara umum tidak dikenakan pada
barang tertentu. Tetapi mereka seringkali mengenakan zakat pada barang-barang
yang semestinya dibebaskan pengenaannya oleh syari‟at. Mereka juga tidak
membatasi prosentase zakat yang harus dibayarkan misalnya dua setengah persen
dari nilai barang atau sepuluh persen untuk hasil pertanian dan seterusnya.
Demikian juga dalam pemungutan pajak.91 Untuk menambah pemasukan,
pemerintah juga memungut pajak yang diambil dari tontonan dan hiburan, bahkan
dari praktek prostitusi.92
Secara umum, praktek-praktek penyimpangan dalam pemasukan dan
pengeluaran keuangan publik sebagaimana tergambar di atas, selalu terulang
setiap pengangkatan sultan baru. Hal ini disebabkan pandangan para sultan
Mamluk yang menganggap seluruh harta dan kekayaan negara sebagai miliknya.93
dan selalu mendapat kritikan dari para ulama pada waktu itu, termasuk Ibn
Taimiyyah.
Ibn Taimiyah sangat mencela sistem perpajakan yang tidak adil dan
sumber penerimaan yang ilegal, di masanya. Alasannya, ia yakin bahwa kebijakan
yang dilakukan pejabat yang berwenang saat itu tidak jujur dan berbeda dengan
89
Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk , II, hal. 127
Ibid.
91
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd arRahman ibn Qasim al-‟Asimi an-Najdi al-Hanbali, ed., (Riyad: Matabi‟ ar-Riyad, 1398 H ), XXX,
hal. 343-44
92
Ibid., XXIX, hal. 591
93
Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, (Cambridge: Massachussetts,
1967), hal. 35-6
90
43
petunjuk syariat. Dalam bukunya Iqtida‟ as-Sirat al-Mustaqim, ia menilai bahwa
sejumlah pejabat melakukan berbagai tipe kebijakan berbeda yang tak adil untuk
meningkatkan penerimaan dana yang tidak sah. Menurutnya, seharusnya mereka
hanya mengumpulkan penerimaan dari cara yang adil dan menggunakannya secara
layak, dan mereka tak perlu melaksanakan pungutan dan cukai yang ilegal.94
Ibn Taimiyyah menambahkan, dalam praktek pelaksanaan penarikan pajak
pada masa tersebut banyak sumber pemasukan pajak yang dinilai tidak legal
(haram), karena nilai bebannya yang terlampau tinggi dan tidak disesuaikan
dengan kemampuan para wajib pajak. Misalnya pajak yang dikenakan kepada
penduduk berdasarkan pada jumlah binatang ternak yang mereka miliki, atau
berdasarkan jumlah pohon yang mereka miliki. Penarikan pajak atas barang
kebutuhan pokok yang seharusnya dibebaskan dari pajak. Pemungutan pajak
kepada warga penduduk kota tertentu oleh gubernur secara spontan ketika pasukan
datang, juga penarikan pajak untuk keperluan pesta resepsi sultan atau peringatan
ulang tahun kerajaan, dan sebagainya. Penarikan pajak kepada penduduk yang
sedang mengadakan perjalanan untuk berdagang, tengah menunaikan kewajiban
haji, dan sebagainya.95
b. Pola Pembelanjaan
Seperti
juga administrasi
hasil pendapatan, secara umum, pola
pembelanjaan para penguasa dari Dinasti Mamluk, kebanyakan tak sesuai dengan
aturan dan petunjuk syariat. Untuk pembayaran para menteri, gubernur, wazir,
hakim dan pejabat agama lain dikeluarkan oleh bait al-mal. Juga pengeluarkan
untuk pembangunan dam, kanal dan jalan. Tetapi, penerimaan terbesar negara
dikeluarkan untuk kebutuhan istana sultan dan militer. Sebagian besar pajak
dialokasikan untuk kepentingan Sultan, gubernur, para elit birokrasi dan militer.
Sebagai contoh, pada tahun 1315 M, satu setengah bagian pajak diperuntukkan
94
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibn Taimiyyah tentang
Pemerintahan, terj. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hal. 46
95
Ibn Taimiyyah, Majmu' Fatawa, XXX, hal. 337-8.
44
bagi kepentingan Sultan.96
Elit penguasa dan para petinggi militer mendapat pemasukan yang
diperoleh dari iqta‟, gaji, bonus, dan uang sogokan yang jumlahnya secara
fantastis melebihi pendapatan golongan masyarakat yang tinggal di kota. Para
amir yang berkedudukan tinggi menerima gaji tetap 20.000 dinar atau lebih per
tahun di tengah-tengah masyarakat di mana golongan rendahnya belum tentu dapat
melihat emas dalam waktu setahun.97)
Pengawas lapangan (muqta‟) dan gubernur memperoleh gaji kurang lebih
100.000 dinar per tahun. Sebagian besar pendapatan ini dihambur-hamburkan
untuk kehidupan yang mewah. Sebagian digunakan untuk kepentingan seni dan
arsitektur. Mereka mengeluarkan banyak biaya untuk memenuhi selera dan hobi
dalam mengoleksi barang-barang mewah seperti keramik, baju yang mahal,
barang pecah belah, dan perkakas dari logam.98)
Pemerintahan Mamluk juga memberikan perhatian khusus pada industri
pembuatan kapal. Sebab kapal dan perahu sangat berguna untuk pengangkutan
barang-barang produksi dan pertanian dari dalam ke luar negeri. Terlebih penting
lagi, kapal perang memiliki fungsi penting untuk mendukung ketahanan negara,
seperti ketika menghadapi serangan pasukan Salib di Laut Tengah.
Mengingat besarnya sumber pemasukan dinasti Mamluk dari pertanian,
pemerintah menyediakan anggaran cukup besar untuk sarana dan prasarana
pertanian. Misalnya, pada masa pemerintahan Sultan Nasir, sejumlah besar
bendungan berskala besar dan kecil dibangun. Juga sejumlah kanal pengairan
kanal digali.99 Pemerintah juga menyediakan sejumlah besar bibit pertanian
berkualitas. Sejak itu jumlah produksi pertanian mampu melebihi kebutuhan
negeri itu, bahkan mampu menyuplai sejumlah besar padi untuk rakyat rakyat
96
Kenyataan ini terbukti dengan adanya jabatan Nazir al-Khas yang bertanggungjawab
atas penyediaan segala kebutuhan pangan dan sandang istana, kepala-kepala jawatan, para
gubernur, qadi-qadi dan keuangan pribadi sultan. Lihat Sayuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr
wa al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, tt.), II, hal. 84
97
Carl F. Petry, “A Paradox of Patronage During The Later Mamluk Period”, dalam The
Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983, hal. 189
98
Ibid.
99
Ahmad ibn „Ali al-Maqrizi, Kitab as-Suluk, II, hal. 130
45
Suriah dan Hijaz.100 Selain itu, negara juga mampu menampung surplus produksi
sebagai cadangan di musim paceklik.101
Pemerintah Mamluk juga memberikan perhatian pada kepentingan agama.
Sebanyak 171 bangunan di Damascus didirikan untuk tujuan-tujuan keagamaan,
selain itu mereka juga merenofasi bangunan-bangunan yang telah tua.102
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan pengeluaran negara pada
masa ini masih sangat jauh dari nilai-nilai keadilan. Ibn Taimiyah menggambarkan
penyimpangan penggunaan keuangan publik tersebut,
ً‫ِص‬ٚ ,‫ ِا يشيذ‬ٍٝ‫ا ِضاعذج ٌٗ ع‬ٙٔ‫ إ‬:‫ي‬ٛ‫يم‬ٚ .‫ وً ِذج‬,ٖ‫ن ِٓ أً٘ تٍذ‬ٌٍّٛ‫ا تعط ا‬ٙ‫ ذجث‬ٝ‫ ِصً اٌجثاياخ اٌر‬ٚ
,ُٙ‫ٔٗ ٌجيض‬ٛ‫ْ ِا يجّع‬ٛ‫ُ جيضا لادِيٓ يجّع‬ٙٔٛ‫ إِا ٌى‬:‫ْ ساذثا‬ٛ‫الج أحيأا ِٓ غيش أْ يى‬ٌٛ‫ِا يطٍثٗ ا‬
.‫ رٌه‬ٛ‫ٔح‬ٚ ,ٌٗ‫ٌذ‬ٚ ‫ز‬ٚ‫حذ‬ٚ‫َ اٌضٍطاْ أ‬ٚ‫ ومذ‬:‫اسض‬ٛ‫ْ ٌثعط اٌع‬ٛ‫ُ يجّع‬ٙٔٛ‫إِاٌى‬ٚ
103
ّ ‫ْ أخز تالح‬ٛ‫ فمذ يى‬,‫ األخز‬ٌٝ‫اتإٌضثح إ‬ٌٙ‫إّٔا يخرٍف حا‬ٚ ...
.ً‫ْ أخز تثاغ‬ٛ‫لذ يى‬ٚ ,‫ك‬
John Maynard Keynes
John Maynard Keynes, yang juga sering disebut dengan Lord Keynes
dilahirkan pada tanggal 5 Juni 1883 di Cambridge, dan meninggal pada tanggal 21
April 1946.104 Ia merupakan anak dari pasangan John Neville Keynes (18521949), seorang ahli ekonomi dan Florence Ada Brown, salah seorang wanita
pertama yang menjadi mahasiswi.105 Setelah lulus dari Universitas Cambridge,
ibunya menjadi wali kota Cambridge.106
Keynes betul-betul cerminan seorang cendikiawan tulen. Selain ahli dalam
bidang ekonomi, yang didukung oleh kepiawaiannya dalam ilmu matematik, ia
100
Abdul Azim Islahi, Economic Concepts, hal. 33
Khalil ibn Syahin Az-Zahir, Zubdah Kasyf al-Mamalik, (Kairo: Matba‟ah alJumhuriyyah, 1984), hal. 122
102
Ira M. Lapidus, Muslim Cities, hal. 199
103
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXX, hal. 338-9
104
Hyman P. Minsky, "Keynes, John Maynard", dalam Encyclopedia Americana, Bernard
S., dkk. ed., vol. 16, (Danbury: Grolier Incorporated, 1983), hal. 412.
105
David McCord Wright, The Keynesian System, (New York: Fordham U.P., 1962), hal.
ix
106
George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi., (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.
158
101
46
juga mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang politik, falsafah, dan
bahkan juga sangat mengerti dengan dunia sastra, seni lukis teater, drama dan
bahkan
tari
balet
klasik.
Kesukaannya
pada
seni
tari
inilah
yang
mempertemukannya dengan seorang penari balet, Lydia Lopokova, yang kelak
menjadi istrinya. Kepiawaian istrinya dalam seni tari dibuktikan dengan
penghargaan yang disandangnya: Diaghilev‟s Ballet Russes.107
Keynes juga sangat menggemari pesta, acara makan-makan bersama,
rekreasi, dan menonton pertunjukan seni. Kesenangan dan perhatian Keynes
terhadap dunia seni dan sastra tidak hilang meskipun ia mulai sibuk dengan
pekerjaan-pekerjaannya
di
Cambridge.
Bahkan
untuk
mendukung
dan
mengembangkan perkembangan seni ia banyak mengeluarkan biaya, tenaga dan
waktu demi terbentuknya Cambridge Theater.108
Keynes mula-mula memperoleh pendidikan di Eton. Sebagai seorang
murid yang pintar, ia banyak memenangkan berbagai hadiah dan penghargaan
dalam bidang matematik, bahasa Inggris, dan seni klasik. Kemudian Keynes
melanjutkan pendidikan ke King‟s College, Cambridge. Selama di universitas ini
ia memperoleh nilai terbaik dalam bidang utama matematik. Di cambridge, selain
matematik, ia juga memperdalam falsafah dari gurunya Alfred Whitehead.
Sedangkan pelajaran-pelajaran ekonomi ia peroleh di bawah bimbingan Alfred
Marshall dan Arthur C. Pigou.109 Namun, Keynes sering mendapatkan nilai rendah
untuk mata kuliah ekonomi, sebab ia sering mempunyai pemikiran yang berbeda
dengan guru-gurunya. Menanggapi hal ini ia berkata, “I evidently know more
about economics than my examiners !”110
Karena bermaksud untuk menjadi pegawai negeri sipil dalam bidang
keuangan, Keynes berupaya membekali diri dengan pengetahuan ekonomi. Setelah
lulus sebagai juara dua dalam saringan tersebut, ia ditempatkan di kantor urusan
107
Longman, “Keynes”, dalam Dictionary of 20th Century Biography, Alan Isaacs dan
Elizabeth Martin, ed.., (Harlow: Market House Books Ltd., 1985), hal. 279.
108
Gerhard W. Ditz, “Smith and Keynes: Religious Differences in Economic Philosophy”
dalam Bijdragen:Tijdschrift voor Filosofie en Theologie, tahun 1988, hal. 69
109
George Soule, Pemikiran Para Pakar, hal. 278.
110
Sebagaimana dikutip dari R. F. Harrod, The Life of John Maynard Keynes oleh
47
India. Di sana banyak waktu luang yang ia manfaatkan untuk membaca koran.
Merasa sayang dengan waktunya yang banyak terbuang, Keynes mulai
mempersiapkan diri untuk menyusun tesis dalam bidang ekonomi, dengan harapan
dapat diangkat sebagai tenaga peneliti di Universitas Cambridge. Meskipun
akhirnya keinginan itu gagal, namun Marshall melihat bakat yang terpendam
dalam diri Keynes. Kemudian ia diangkat sebagai asistennya. Tahun berikutnya,
setelah merevisi tesisnya, ia diterima sebagai tenaga pengajar.
Selain sebagai staf pengajar di Cambridge, atas dukungan Marshall,
Keynes menjadi editor sebuah jurnal ilmiah yang cukup ternama, yaitu Economic
Journal. Pada tahun 1913 ia diangkat menjadi anggota komisi untuk urusan mata
uang dan keuangan India. Dalam komisi itu ia terlihat menonjol karena
mempunyai kemampuan yang bagus untuk mengkombinasikan pengetahuan
teoritis dengan hal-hal praktis.
Di sela-sela kesibukannya Keynes masih menyempatkan diri untuk
mengumpulkan buku-buku tua (langka), juga menjadi seorang businessman, yaitu
dengan memenej investasinya di pagi hari sebelum sarapan, dan menjadi anggota
diskusi The Bloomsbury Group.111 Dari grup ini Keynes kenal dengan tokoh-tokoh
seperti Lytton Strachey dan Leonard Woolf.112
Dalam usia yang sangat muda (sekitar 26 tahun) Keynes telah menjadi
anggota tim delegasi Inggris untuk melakukan perundingan perdamaian Versailes
pada tahun 1919. Keynes yang saat itu sebagai pejabat Kementrian Keuangan
meminta berhenti dari jabatannya, sebab tidak sependapat dengan kebijakan
penetapan pampasan perang bagi Jerman yang menurutnya terlalu tinggi. Mulai
saat itulah namanya mulai dikenal sebagai ahli ekonomi-politik.
Sebagai seorang ahli ekonomi politik, kepentingan utamanya adalah
pembahasan mengenai hubungan antara pemerintah dengan ekonomi. Namun
baginya ilmu ekonomi lebih penting daripada ilmu politik. Ia berpendapat bahwa
jika seorang politikus menjalankan tugasnya dengan benar; sesuai dengan ilmu
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.148.
111
Longman, "Keynes”, hal. 63
112
Michael Stewart, Keynes and After, (Harmondsworth: Penguin Books, 1967), hal. 14
48
ekonomi, maka semua problem ekonomi dalam negara akan dapat diselesaikan
dengan baik.113
Masa setelah pengunduran dirinya, yakni tahun 1920-an, merupakan suatu
masa yang sangat makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pesatnya
pembangunan pada saat ini digambarkan oleh William J. Boyes,
The 1920s was a period of generally high prosperity and economic
growth. GNP in constants dollar increased by 42 percent between 1920
and 1929. Construction was booming. The automobile was revolutionizing
life styles. Everyone seemed optimistic and prosperous as was reflected in
clothing styles and the popular dance, the Charleston. Soaring stock
prices mirrored America‟s optimize in regarding the future. Popular
opinion was that growth and prosperity would continue forever...114
Namun, kemakmuran tersebut tidak berumur panjang. Sejak “The Black
Thursday,” 24 Oktober 1929, perekonomian mulai terguncang. Dalam waktu yang
singkat terjadilah pengangguran besar-besaran, yang dikenal dengan “Great
Depression”.
Dalam situasi seperti itu, ia diangkat sebagai anggota Panitia Macmillan
untuk Keuangan dan Perindustrian (tahun 1930). Dan pada tahun itu juga Keynes
menerbitkan The Treatise on Money yang disusun sebagai upaya untuk
melancarkan kecaman tajam atas keputusan pemerintah untuk kembali ke standar
emas. Banyak saran Keynes yang dimasukkan ke dalam program New Deal
Presiden Franklin D. Rosevelt yang dibentuk pada tahun 1930.
Keynes bertugas untuk yang keduakalinya dalam Kementrian Keuangan
selama perang dunia kedua, dan memikul tanggung jawab bagi perundingan
dengan Amerika Serikat mengenai perjanjian Lend-Lease.115 Ia memegang
peranan utama dalam Perjanjian Bretton International IMF (International
Monetary Fund) di Bretton Woods pada tahun 1944.116 Atas jasa-jasanya yang
sangat besar tersebut, ia kemudian diangkat sebagai “Baron”, suatu gelar
113
Ibid., hal. 61.
William J. Boyes, Macroeconomics: The Dinamics of Theory and Policy, (Ohio: South
Western Publishing Co., 1982), hal. 60
115
Longman, "Keynes”, hal. 278
116
Hyman P. Minsky, "Keynes, John Maynard ", hal. 413
114
49
kebangsawanan yang sangat tinggi dalam masyarakat Eropa.
Setelah Perang Dunia II, kebijaksanaan Keynes mengenai bebas
pengangguran diterima oleh AS, dan banyak negara lain. Pandangan Keynes
sering dianggap sebagai dasar kebijakan ekonomi modern. Dikatakan David
bahwa, “We are all Keynessian today,” sebab semua ahli ekonomi modern
menggunakan teori Keynes sebagai pendekatan terhadap kebijakan ekonomi.117
Ketenarannya dalam bidang ekonomi dapat disejajarkan dengan Adam Smith dan
Karl Marx.118 Ia banyak melakukan pembaharuan dan perumusan ulang doktrindoktrin klasik. Ia sering dijuluki sebagai “Bapak Ekonomi Pembangunan”, Bapak
Ekonomi Makro”119, sebab kalau dulu dalam tradisi klasik maupun neo-klasik
analisis-analisis ekonomi lebih banyak bersifat mikro, sejak Keynes analisis
ekonomi juga memperhatikan makro, yaitu dengan melihat hubungan di antara
variabel-variabel ekonomi secara agregatif.
Keynes sering dibandingkan dengan John Stuart Mill. Keduanya memang
sama-sama menolak teori klasik, dan berani menempuh perjalanan yang berbeda
dengan pendahulunya. Perbedaannya J.S. Mill gagal membangun teori baru yang
berbeda dengan pakar-pakar pendahulunya (terutama oleh Rocardo). Sedangkan
Keynes berhasil menemukan jalan keluar dari masa lalu, yaitu dari tradisi laissez
faire yang dianut oleh para ahli ekonomi klasik dan neo-klasik, seperti gurunya
sendiri Alfred Marshall. Keynes kemudian berhasil membentuk suatu teori
ekonomi baru, sehingga terjadi revolusi.
Apa yang dilakukan Keynes dalam mengembangkan teori-teori baru dapat
dijelaskan sebagai reaksi intelektual terhadap masalah-masalah yang dihadapi
pada masanya. Ia ingin mengetahui kekuatan-kekuatan yang telah menyebabkan
terjadinya pengangguran besar-besaran di Inggris pada tahun 1920-an dan depresi
besar-besaran tahun 1930-an. Prosentase pengangguran pada saat itu mencapai
117
David McCord Wright, The Keynesian, hal. x
Michael Stewart, Keynes and After, hal. 13
119
Pengertian “makro dan “mikro” itu sendiri sebenarnya bukan bersumber dari Keynes,
tetapi dikembangkan kemudian oleh Ragnar Frish, seorang tokoh ekonomi berkebangsaan
Norwegia.
118
50
20%.120 Teori-teori yang telah mengakar pada saat itu dinilai tidak mampu
menjelaskan gejala unemployment yang berkepanjangan ini.
Karya-Karya Keynes
Sebagai seorang pakar ekonomi ulung, ia telah banyak menulis buku. Pada
tahun 1913 ia menulis Indian Currency and Finance, yang memperlihatkan
ketertarikannya pada masalah-masalah moneter. Tulisan berikutnya adalah The
Economic Consequences of the Peace, yang terbit pada tahun 1919, yang berisi
tentang problem-problem utama yang dihadapi dunia politik dan perekonomian
pada saat itu. Dalam buku ini, ia banyak mengkritik cara-cara yang digunakan oleh
negara-negara yang menang perang dalam Perang Dunia Pertama dalam menekan
negara-negara yang kalah perang. Walaupun dalam perjanjian Versailes ia
mewakili pemerintah Inggris, namun tidak urung ia mengkritik cara-cara yang
digunakan negara-negara menang tersebut dalam menekan Jerman dengan syarat
pembayaran utang perang yang sangat berat. Pada buku tersebut ia memperkirakan
bahwa tekanan-tekanan tersebut akan menumbuhkan rasa dendam dan marah dari
masyarakat Jerman.121
The Economic Consequences of the Peace merupakan sebuah karya yang
sangat kritis,122 dan menjadi best seller pada saat itu, sehingga mampu
mengangkat nama Keynes ke taraf internasional.123 Kemudian pada tahun 1922 ia
menulis A Revision of The Treaty. Kedua buku yang disebutkan terakhir ini
disusun sehubungan dengan pengalamannya dalam delegasi perdamaian
Versailles. pada tahun 1923 ia menulis Tract on Monetary Reform.
Karya Keynes yang lain ialah A Treatise on Money (1930) yang terdiri
dari dua volume. Buku ini memperlihatkan keprihatinannya terhadap perubahan
daya beli uang pada tahun 1930-an. Volume pertama khusus menyajikan teori120
Michael Stewart, Keynes, hal. 9
Dua puluh tahun kemudian, apa yang menjadi perkiraan Keynes tersebut menjadi
kenyataan, di mana Jerman yang kalah pada Perang Dunia I, melakukan balas dendam dengan
memprakarsai Perang Dunia II di bawah komando Hitler.
122
E. G. Rupp, “Keynes”, dalam Encyclopaedia Britanica, vol. 13, Warren E. Preece,
dkk., ed, London: William Benton Publisher, 1965, hal. 320
121
51
teori tentang arti dan peran uang dalam perekonomian secara murni, dan dalam
volume kedua dijelaskan bagaimana teori-teori murni tentang uang tersebut
diterapkan dalam perekonomian.124
Problem utama perekonomian yang dihadapi sejak tahun 1930-an, adalah
meluasnya pengangguran kerja, di mana menurut teori klasik, seharusnya
pengangguran itu dapat terhapus sedikit demi sedikit dengan pemahaman teori
“invisible hand”-nya. Namun setelah beberapa tahun teori ini tidak terbukti
menyelesaikan problem unemployment, Keynes mulai meninggalkan teori ini. Ia
mencoba menawarkan pendekatan baru terhadap masalah itu dengan menerbitkan
bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money.
Teori klasik, dalam pendangan Keynes, mengandung banyak kelemahan,
dan karena itu perlu diperbaiki dan disempurnakan, sebagaimana ia tulis di awal
bukunya,
I have called this book The General Theory of Employment, Interest, and
Money, placing the emphasize on the prefix general. The object of such a
title is to contrast the character of my arguments and conclusions with
those of the classical theory of the subject, upon which I was brought up
and which dominates the economic thought, both practical and theoretical,
of the governing and academic classes of this generation, as it has for a
hundred years past.125
(Saya memberi judul buku ini dengan Teori Umum mengenai Kesempatan
Kerja, Bunga dan Uang, dengan memberi penekanan pada kata umum.
Maksud dan tujuan dari pemberian judul itu adalah untuk membedakan
antara argumen-argumen dan kesimpulan saya dengan teori Klasik
mengenai persoalan tersebut, sebuah teori yang saya dibesarkan di
dalamnya dan telah menguasai pemikiran ekonomi, baik praktis maupun
teoritis dari kalangan pemerintahan maupun dunia akademik pada saat ini,
sebagaimana seratus tahun yang lalu).
Aliran Ekonomi Klasik
Aliran ekonomi klasik dipelopori oleh Adam Smith (1723-1780). Sistem
123
Michael Stewart, Keynes, hal 16
Sebelum terbitnya The General Theory tahun 1936, Keynes masih mengikuti alur
pemikiran klasik dan neo-klasik.
125
John Maynard Keynes, General Theory of Employment, Interest and Money, (London:
124
52
baru yang diperkenalkan melalui karyanya The Wealth of Nations tersebut,
dimaksudkan untuk menentang sistem ekonomi merkantilisme yang membenarkan
adanya campur tangan pemerintah dalam seluruh sistem perekonomian. Dalam hal
ini, Smith mengkampanyekan peran minimal pemerintah yang terbatas pada
fungsi pemeliharaan ketertiban dan kesejahteraan hidup masyarakat, perlindungan
hukum, dan fungsi keamanan serta ketahanan negara. Jadi, sistem ekonomi ini
lebih mempercayakan aktivitas ekonomi negara kepada mekanisme pasar. Smith
yakin bahwa cara ini akan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan yang
lebih luas bagi negara.
Para teoretisi aliran klasik mempunyai harapan untuk
menciptakan
masyarakat yang adil. Menurut mereka, tatanan seperti itu hanya bisa dicapai bila
kegiatan individu diberi kebebasan untuk mengelola kepentingannya sendiri.
Setiap individu paling mengerti tentang apa yang terbaik bagi dirinya. Oleh karena
itu harus ada kebebasan dan otonomi bagi individu dalam kegiatan bermasyarakat.
Tiap individu berhak untuk mencari bidang usaha untuk menghasilkan barang atau
jasa yang dikehendakinya tanpa ada pembatasan.
Smith menyatakan bahwa pelarangan terhadap sejumlah besar orang yang
ingin menggunakan seluruh daya dan upayanya sesuai dengan cara yang mereka
anggap menguntungkan mereka, merupakan suatu bentuk pelanggaran atas hakhak kebebasan kodrati dan keadilan.126 Kritik mereka terhadap monopoli dan
sistem ekonomi merkantilisme merupakan penjabaran dari pendapatnya tersebut.
Sistem Laissez faire (pasar bebas) dianggap sebagai sistem yang dapat
menciptakan keadaan persaingan yang sempurna. Sebagai konsekuensi dari
pemikiran ini, diserukan kepada negara untuk memberlakukan pasar bebas dan
persaingan secara leluasa.
Menurut pendapat ahli-ahli ekonomi klasik dalam suatu perekonomian
yang diatur oleh mekanisme pasar maka tingkat penggunaan tenaga kerja penuh
akan selalu tercapai. Pandangan ini didasarkan kepada kenyakinan bahwa di dalam
Macmillan, 1936), hal. 1
126
Adam Smith, An Inquiry into the Nature and the Wealth of Nations, Edwin Cannan,
ed., (New York: The Modern Library, 1985), hal. 141, 308
53
perekonomian tidak akan terdapat kekurangan permintaan. Apabila para produsen
menaikkan produksi mereka atau menciptakan jenis-jenis barang yang baru maka
di dalam perekonomian akan selalu terdapat pemintaan terhadap barang tersebut.
Maka di dalam perekonomian pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan
permintaan.127 Dengan kata lain penawaran yang bertambah akan secara otomatis
menciptakan pertambahan permintaan.
Kenyakinan ahli-ahli ekonomi klasik bahwa penawaran akan
selalu
menciptakan permintaan dapat dengan jelas terlihat dari pandangan Jean Babtiste
Say (1767-1832), seorang ahli ekonomi klasik bangsa Prancis yang mengatakan:
“Supply creates its own demand”. Menurut pendapatnya dalam setiap
perekonomian akan jarang sekali terjadi masalah kelebihan produksi. Apabila
terjadi masalah kelebihan produksi, maka hal itu hanya bersifat sementara.
Mekanisme pasar akan membuat penyesuaian-penyesuaian sehingga akhir jumlah
produksi akan turun di sektor-sektor yang mengalami kelebihan produksi dan akan
naik di sektor-sektor di mana permintaan terhadap produksi mereka sangat
berlebihan.
Dari harga tiap produk yang terjual, akan diperoleh imbalan jasa berupa
upah, bunga laba, dan sewa tanah. Imbalan jasa itu dalam keseluruhannya akan
memadai jumlahnya untuk pembelian barang yang bersangkutan. Memang
terdapat kemungkinan sebagian khalayak umum akan menabungkan sebagian dari
pendapatannya. Namun demikian, tabungan yang dimaksud pada suatu saat akan
disalurkan sebagai investasi. Hal ini akan membawa pada pengeluaran yang
berdampat pada meningkatnya pendapatan
proses produksi.
bagi mereka yang terlibat dalam
128)
Kaum klasik juga percaya bahwa dalam tingkat keseimbangan, semua
sumber daya, termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (fullyemployed). Dengan demikian di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme
pasar tidak ada pengangguran. Dengan demikian di bawah sistem yang didasarkan
127
John Maynard Keynes, The General Theory, hal. 32-4
Agus Miftahus Surur, “Pasar, Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi”,
dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.-Des.1999, hal. 6
128
54
pada mekanisme pasar tidak ada pengangguran. Tenaga kerja bersedia bekerja
dengan tingkat upah yang lebih rendah, sebagai akibat dari turunnya harga (upah)
karena supply tenaga kerja yang berlebih. Kesediaan untuk bekerja dengan tingkat
upah lebih rendah ini akan lebih menarik perusahaan untuk mempekerjakan
mereka lebih banyak, karena demand akan tenaga kerja akan meningkat seiring
dengan turunnya upah tenaga kerja.129
Jadi, dalam pasar persaingan sempurna mereka yang mau bekerja pasti
akan memperoleh pekerjaan. Perkecualian berlaku bagi mereka yang “pilih-pilih”
pekerjaan, atau tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang diatur oleh pasar.
Kedua jenis penganggur ini oleh kaum klasik tidak digolongkan pada penganggur,
melainkan disebut sebagai voluntary unemployment (pengangguran sukarela).130
Apabila asumsi-asumsi yang dinyatakan oleh para pemikir ekonom klasik
di atas benar, maka perekonomian negara akan berjalan lancar dengan sendirinya.
Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap pasar.
Peran ideal pemerintah hanya dibatasi pada hal-hal tertentu untuk menghindari
terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu.
Mengenai peran ideal negara ini, Adam Smith menganjurkan tiga tugas
kekuasaan negara, yaitu; untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan serbuan
komunitas lain, melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan menegakkan
kepastian sektor publik dan institusi publik yang bebas dari kepentingan individu.
Sehingga, anggapan bahwa prinsip tidak ikut campur merupakan suatu doktrin
mutlak dari pasar bebas merupakan suatu kekeliruan dalam membaca ajaran
Smith.131
Smith memberikan tempat yang sentral bagi peran pemerintah justru demi
menegakkan keadilan dan demi terjaganya hak-hak individu. Dengan kata lain,
dalam kondisi normal negara bersikap pasif, namun ketika terjadi pelanggaran
terhadap individu maka negara mempunyai legitimasi moral untuk melakukan
129
John Maynard Keynes, The General Theory, hal. 112
Ibid., hal. 6-8
131
Sonny Keraf, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik
Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 179
130
55
intervensi secara, minimal-efektif sebagaimana diungkapkan Sonny Keraf.132
Artinya, pemerintah hanya diperkenankan untuk ikut campur tangan secara
minimal, khususnya dengan alasan demi tegaknya keadilan. Sedangkan campur
tangan berlebihan yang bersifat distorsif dianggap sebagai pelanggaran atas
keadilan.
Aliran klasik kemudian dikembangkan oleh tokoh-tokoh neo klasik. Di
antara mereka adalah Robert E. Lucas Jr., Thomas J. Sargent, Edward C. Prescott,
Finn E. Kidland, John Long, Charles Plosser, dan Irving Fisher.133 Dari sekian
banyak tokoh Neo Klasik, yang dianggap sebagai tokoh paling utama adalah
Alfred Marshall (1842-1924), salah satu guru Keynes. Marshall dianggap sangat
berjasa dalam memperbarui asas dan postulat pandangan-pandangan ekonomi
yang dikemukakan pakar klasik dan neo klasik sebelumnya.
Menurut Marshall, pertemuan antara permintaan dan penawaran yang
menentukan harga yang terbentuk di pasar. Kalau harga yang terbentuk di pasar
lebih besar dari biaya-biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang, berarti
perusahaan dalam jangka pendek memperoleh keuntungan. Tetapi dalam jangka
panjang keadaan akan kembali normal. Sebab, keuntungan yang dinikmati
perusahaan tersebut akan menarik perusahaan-perusahaan lain masuk pasar.
Makin banyak perusahaan masuk pasar berarti semakin banyak pula produksi dan
penawaran. Kelebihan penawaran atas permintaan akan memaksa harga-harga
turun, dan keadaan kembali pada situasi semula. Dengan demikian, apa yang
dikemukakan oleh Marshall tetap dalam kerangka pemikiran klasik; bahwa
mekanisme pasar bebas akan menjamin kestabilan ekonomi.
Perbedaan antara Marshall dengan kaum klasik ialah dalam pendekatan
penelitian. Kalau kaum klasik lebih banyak menggunakan metode induktif,
Marshall mengkombinasikan metode induktif dengan metode deduktif. Selain itu,
kelebihan
132
Marshall
dari
ekonom-ekonom
lain ialah bahwa ia sangat
Sonny Keraf, “Keadilan, Pasar Bebas, dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika Politik
Ekonomi Adam Smith”, dalam PRISMA, 9 Sept. 1995, hal. 11
133
Michael Parkin and Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc.,
1992), hal.16
56
memperhatikan nasib orang miskin. Bagi Marshall ilmu ekonomi merupakan alat
dan sarana untuk memperbaiki kesejahteraan ummat manusia.
Selain Marshall, tokoh neo klasik yang terkenal adalah Arthur Cecil Pigou
(1877-1959). Pigou merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep real
balance effect, yang kemudian lebih dikenal dengan dampak Pigou. Dampak
Pigou adalah suatu stimulasi kesempatan kerja yang disebabkan oleh
meningkatnya nilai riil dari kekayaan likuid sebagai konsekuensi dari turunnya
harga-harga. Sewaktu nilai kekayaan riil naik maka konsumsi akan naik, yang
berdampak terhadap peningkatan pendapatan dan terbukanya kesempatan kerja
baru.134 Pandangan ini merupakan salah satu dasar mengapa kaum klasik dan neo
klasik percaya bahwa keseimbangan kesempatan kerja penuh (full-employment
equilibrium) dapat dicapai sebagai hasil penurunan dalam tingkat upah.
Karya Pigou tentang teori moneter, kesempatan kerja dan pendapatan
nasional yang mengikuti tradisi klasik telah membawanya pada kontroversi
dengan Keynes. Walaupun mereka sering berdebat, tetapi Pigou dan Keynes
beserta Joan Robinson banyak memperbaiki konsep Marshall, terutama dari segi
permintaan.
134
George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, (Yogyakarta: Kanisius,
1994), hal. 154
57
Bab 3
PEMIKIRAN KEBIJAKAN PUBLIK IBN TAIMIYYAH
Perkembangan Awal Kebijakan Publik Islam
Sistem administrasi pemerintahan pada masa Nabi belum begitu kompleks.
Ini dapat dipahami karena Beliau hidup di negara kecil Madinah yang baru berdiri,
dan dengan kebijakan ekonomi yang masih sangat sederhana. Sepeninggal Beliau,
negara Islam mulai menembus batas semenanjung Arabia, terlebih pada masa
pemerintahan Umar. Kompleksitas dalam pengelolaan administrasi negara di
wilayah taklukan menuntut perlunya sebuah sistem pemerintahan yang lebih
profesional dan efisien. Khalifah Umar merupakan salah seorang sahabat Nabi
yang memiliki pemahaman paling kritis.
Pada masa Khulafa al-Rasyidun, pendapatan negara yang sebagian besar
diperoleh dari hasil perluasan wilayah dan rampasan perang masih sangat
mencukupi untuk kebutuhan-kebutuhan negara. Dengan cara pembelanjaan harta
yang cermat dan efisien serta memegang teguh prinsip amanah, kondisi keuangan
negara berlangsung dengan baik.135
Sebagai gambaran, maksimalisasi institusi Bait al-Mal (menjadi lembaga
reguler dan permanen) pada masa Khalifah Umar adalah dilatarbelakangi dengan
kedatangan Abu Hurairah yang menjabat sebagai Gubernur Bahrain, yang
membawa dana pemungutan pajak kharaj sebesar 500.000 dirham. Sejak saat itu,
untuk pertamakalinya dalam sejarah Islam, Umar memutuskan untuk tidak
menghabiskan pendapatan pajak tersebut, namun dicadangkan untuk kepentingan
negara.136 Kebijakan ini jelas merupakan suatu kebijakan yang tidak populer pada
masanya. Meskipun ketika memutuskannya Khalifah telah mengumpulkan para
tokoh Sahabat untuk mendiskusikannya, tidak urung keputusan itu tetap menjadi
135
Banyak kisah keteladanan yang menggambarkan kejujuran dan keamanahan Khulafa
al-Rasyidun. Di antaranya adalah kisah-kisah tentang bagaimana mereka berpakaian, fasilitas yang
diperoleh sebagai khalifah, bagaimana mereka menjalankan tugas, memilah harta pribadi dengan
kekayaan negara, dan sebagainya.
136
Sebagaimana dikutip Adiwarman Karim Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
(Jakarta: Rajagrafinso Persada), hlm. 59.
58
polemik di kalangan mereka. Salah seorang sahabat yang tidak sepakat dengan
kebijakan ini adalah Imam Ali.
Selanjutnya pada masa Khalifah Utsman, pajak tanah (kharaj) dari Irak,
Mesir, Afrika, Cyrenaica, Syprus yang diterima negara adalah sebesar
200.492.000 dirham atau senilai 20 juta dinar. Jumlah tersebut belum termasuk
kharaj dari Arabia, Siria, Armenia, Azerbaijan dan Persia.137 Sedangkan perolehan
negara dari pajak jizyah Irak adalah sekitar 15,4 juta dirham atau 1,54 juta dinar;
dari Mesir sebesar 4 juta dinar atau 40 juta dirham; dan dari Siria 0,5 juta dinar.
Total pendapatan jizyah pada masa itu apabila dikurskan adalah setara dengan
420,02 juta dolar U.S.138 Ini menggambarkan betapa besar pemasukan negara pada
masa Utsman tersebut.
Kompleksitas persoalan fiskal yang semakin besar dengan semakin
mapannya daulah Muslim menjadi alasan mengapa tidak semua sumber
pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan nash-nash syar‟i,
melainkan harus diputuskan dengan ijtihad, dengan mempertimbangkan
kontekstualitas.139 Orang pertama yang dinilai berani melakukan kontekstualisasi
ini adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Berdasarkan ijtihadnya, misalnya, ia
adalah yang pertama menetapkan obyek-obyek zakat baru yang sebelumnya tidak
dikenakan;140 memutuskan untuk tidak menyerahkan tanah taklukan kepada para
tentara, namun tetap dimiliki pemilik awal dengan kewajiban membayar pajak dan
jizyah;141 ia juga menetapkan pungutan „usyur kepada penduduk Manbij
(Hierapolis).142
137
Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” dalam Sayed Afzal
Peerzade, Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam Publisher, 1996), hlm. 108
138
Ibid.
139
„Abd Wahhab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar‟iyyah, hlm. 102-103
140
Misalnya zakat untuk kuda, war (rumput herbal untuk bahan kosmetika), karet, hasil
laut dan sebagainya. Lihat Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, bab 6. Abu Ubayd, tokoh utama
yang dikaji dalam penelitian Ugi, dipandang sebagai ulama yang banyak mendukung dan
mengikuti gagasan-gagasan Khalifah Umar.
141
Abu Yusuf menceritakan kisah Khalifah Umar ini; bagaimana ia bermusyawarah
tentang pembagiannya, bagaimana tanggapan para tokoh, dan sebagainya di berbagai tempat dalam
Kitab al-Kharaj, hlm. 23-27, 35, 68-69, dan 140-141. Lihat juga Abu Ubayd, Kitab al-Amwal
(Beirut: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 65
142
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 26-27.
59
Dalam
sejarah
Islam,
sebagaimana
dicontohkan
Nabi
sendiri,
sesungguhnya tidak ada halangan untuk mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam
atau yang telah ada selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam.
Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu agar sejalan dengan
maqashid al-syari‟ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah
Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi
ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar
menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan
umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharaj,143 atas
tanah tersebut.
Lebih jauh, tidak hanya mengadopsi dan mengadaptasi sistem pajak
peradaban lain, Khalifah Umar bahkan juga merasa perlu merekontekstualisasikan
beberapa kebijakan keuangan publik yang telah diberlakukan masa Nabi
Muhammad SAW. Contoh jelas dari upaya ijtihad tersebut adalah kebijakan
pembagian tanah ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari
penaklukan dengan perang akan dibagikan seperlima kepada negara dan
kebutuhan sosial (bagian ini dikenal dengan sebutan khums), serta sisanya
dibagikan untuk mereka yang ikut berperang. Ketentuan pembagian ini didasarkan
pada Q.S. Al-Anfal (8): 41;
             
              
      
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
ghanimah, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil], jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba kami
(Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Ketika banyak daerah yang ditaklukkan, Khalifah Umar memutuskan
143
Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 65.
60
untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan dalam Q.S
Al-Anfal (8): 41. Tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh para pemilik
semula dengan kompensasi membayar kharaj dan jizyah. Dengan demikian,
tanah-tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah fay‟.144
Pendekatan Ibn Taimiyah
Sebelum membicarakan tentang pemikiran kebijakan fiskal Ibn Taimiyyah,
terlebih dahulu perlu diungkapkan pemikiran politiknya. Hal ini perlu, sebab
pembicaraan tentang kebijakan-kebijakan negara merupakan bagian dari
pembahasan politik ekonomi.
Argumen rasional Ibn Taimiyyah atas perlunya pembentukan negara
terletak pada kebutuhan untuk menegakkan syariat agama. Menurutnya, nilai-nilai
dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak akan dapat dibangun tanpa
adanya tata sosial yang terorganisir (yakni negara).145) Supremasi syari‟at harus
terlihat dalam kehidupan umum dan dijamin secara hukum. Hal inilah menurut
Syafi‟i Ma‟arif, yang menjadi inti doktrin politik Ibn Taimiyyah. Dan dari sinilah,
maka perlu diciptakan sistem pengaturan politik untuk merealisasikan cita-cita
syari‟at.146) Selain itu Ibn Taimiyyah menambahkan bahwa secara universal,
semua manusia butuh untuk bergabung, bekerja sama dan menikmati berbagai
manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut suatu agama atau
tidak. Ia memperkuat argumen ini antara lain dengan sabda Nabi berikut,
147
ُ٘‫ا أحذ‬ٚ‫ صفش فٍيؤ ِّش‬ٝ‫إرا خشض شالشح ف‬
“Bila tiga orang melakukan perjalanan (bersama-sama), maka salah satu
hendaklah menjadi pemimpinnya.”
144
Menurut definisi Yahya ibn Adam, ghanimah adalah segala sesuatu yang diperoleh
dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay‟
(yaitu berupa kharaj dan jizyah). Lihat kitabnya, Al-Kharaj, hlm. 121.
145
Ibn Taimiyyah, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyyah, (Mesir:
Dar al-Kitab al-‟Arabi, 1969), hal. 162
146
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan
Masalah Keagamaan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 33
147
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), III, hal. 381. Hadis no. 2608
diriwayatkan dari Abi Sa‟id al-Khudriy.
61
Hadis yang diriwayatkan dari jalur lain menyatakan,
148
‫ صٍّح فأٔد أِيشٔا‬ٝ‫ لاي ٔافع فمٍٕا ألت‬,ُ٘‫ا أحذ‬ٚ‫إرا واْ شالشح في صفش فٍيؤ ِّش‬
“Bila tiga orang berada dalam perjalanan (bersama-sama), maka salah satu
hendaklah menjadi pemimpinnya. Nafi‟ berkata, “Kami menyatakan
kepada Abi Salmah, “Engkaulah pemimpin kami.”
Hadis-hadis Nabi tersebut menekankan perlunya pembentukan sebuah
pemerintahan yang harus dianggap sebagai kewajiban agama. Dengan demikian
pendirian sebuah negara merupakan sarana untuk menegakkan nilai-nilai dan
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah. Ia menulis:
ّ ،‫ْ وٍّد هللا ٘ي اٌعٍيا‬ٛ‫أْ ذى‬ٚ ،‫ْ اٌذيٓ وٍّٗ ّّلل‬ٛ‫د٘ا أْ يى‬ٛ‫ اإلصالَ ِمص‬ٝ‫اليد ف‬ٌٛ‫إْ جّيع ا‬
ّ
ْ‫فئ‬
‫ي‬ٛ‫عٍيٗ جا٘ذ اٌّشص‬ٚ ,‫ي‬ٛ‫تٗ أسصً اٌّشص‬ٚ ،‫تٗ أٔزي اٌىراب‬ٚ ،‫ إّّٔا خٍك اٌخٍك ٌزاٌه‬ٌٝ‫ذعا‬ٚ ٗٔ‫هللا صثحا‬
149
ِْٕٛ‫اٌّؤ‬ٚ
Tujuan tertinggi pembentukan suatu negara adalah untuk menegakkan
aturan-aturan Allah. Maka seorang pemimpin negara
yang dipilih untuk
memegang kendali negara harus menjalankan fungsi dan kebijakan-kebijakan
negara sesuai hukum-hukum Allah. Seorang pemimpin yang baik, menurut Ibn
Taimiyyah adalah yang mengikuti petunjuk dan teladan Rasulullah SAW dan para
sahabat penggantinya. Ia berpikir bahwa kekayaan negara harus digunakan untuk
kemanfaatan penduduk, mempermudah setiap orang menegakkan ajaran agama
dan memenuhi kebutuhan duniawi mereka. Penguasa tipe ini tergolong sangat
saleh, ia hanya menghimpun uang sesuai dengan hak negara, bersikap dewasa,
mengelola keuangan negara dengan penuh kebijaksanaan dan mengeluarkan
anggaran bagi mereka yang membutuhkan, melaksanakan seluruh kewajiban dan
menolak melaksanakan segala sesuatu yang dilarang.150)
Lebih jauh ia menyatakan, bahwa kewajiban untuk mengajak berbuat baik
dan mencegah perbuatan jahat (amr ma‟ruf nahy munkar) merupakan tugas setiap
148
Ibid., Hadis no. 2609 diriwayatkan dari Abi Hurairah.
Ibn Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal. 2
150
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 61. Pembahasan mengenai kewajiban-kewajiban seorang
penguasa, Ibn Taimiyyah membahasnya secara khusus dalam Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam
Ahmad Ibn Taimiyyah, „Abd ar-Rahman Ibn Qasim al-‟Asimi an-Najdi al-Hanbali, ed., (Riyad:
149
62
muslim.151) Tugas ini tidak akan terwujud tanpa adanya kekuatan (quwwah) dan
otoritas kepemimpinan (imarah). Pelaksanaan yang sama dari kewajiban agama,
seperti jihad, mewujudkan keadilan, menunaikan ibadah haji dan ibadah wajib
yang lain, membantu orang yang lemah dan menjamin terlaksananya hukum
pidana sesuai dengan ketentuan-ketentuannya (iqamah al-hudud).152) Semua tugas
itu tak mungkin ditangani dengan baik tanpa adanya pemerintahan dan kekuasaan.
Karena itu institusi pemerintahan dan negara sangat dibutuhkan dalam pandangan
agama. Bahkan Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa wilayah pengaturan terhadap
urusan-urusan manusia adalah salah satu kewajiban yang terbesar di dalam
agama.153)
Campur Tangan Negara dalam Perekonomian
Dari pembahasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Ibn
Taimiyyah, sebuah negara berperan sebagai suatu mekanisme untuk melaksanakan
hukum-hukum al-Qur‟an dan Sunnah. Karena itu kebijakan-kebijakan dalam suatu
negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nilai-nilai Islam.
Bagi Ibn Taimiyyah, tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mencapai
kesejahteraan ummat manusia. Kesejahteraan ummat manusia ini dapat dicapai
bila seluruh sistem hukum dan ekonomi, termasuk fiskal, dilakukan, demi
mewujudkan amanat rakyat dan dengan mempertimbankan segi keadilan.154) Dua
prinsip utama ini menjadi pembahasan sentral dalam karyanya as-Siyasah.
Prinsip pertama, keadilan. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politikekonomi, keadilan merupakan esensi dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pembangunan ekonomi sebuah pemerintahan.155) Keadilan dalam terminologi Ibn
Taimiyyah mempunyai arti yang sangat luas. Pada tingkat tertentu mengacu pada
Matabi‟ ar-Riyad, 1398H ), XXVIII, hal. 260-8
151
Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 6
152
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 161
153
Ibid., hal. 156
154
Ibid., hal. 11, 48
155
Mengenai hal ini, Ibn Taimiyyah mengungkapkan bahwa Allah akan menolong
pemerintahan yang adil sekalipun kafir, tetapi tidak menolong pemerintahan yang zalim meskipun
muslim. Lihat, al-Hisbah, hal. 3, 81.
63
pemecahan masalah kepincangan ekonomi. Teori ini paling tidak mempunyai dua
unsur pokok, yakni pertama, suatu teori pasar mengenai keadilan distributif dan
suatu teori kepentingan bersama bagi kebijaksanaan kesejahteraan sosial.
Menurutnya, pembagian barang dan jasa ekonomi harus dialokasikan melalui
mekanisme pasar, yakni mengikuti hukum supply dan demand.156) Dengan
penyediaan kesempatan yang sama bagi semua orang pasar akan bekerja, melalui
mekanisme “Tangan Gaib” yang dijalankan oleh Allah.157) untuk kepentingan
tidak saja bagi yang kaya melainkan juga bagi si miskin. Dalam keadaan normal,
artinya dengan dibukanya peluang untuk semua pihak sebesar dan seluas mungkin,
semua orang akan memperoleh kepentingan tertentu, tanpa merugikan orang lain,
dan dengan demikian perekonomian negara akan berkembang sesuai kehendakNya. Sejalan dengan itu, pemerintah tidak dibenarkan untuk melakukan tas‟ir
(campur tangan ke dalam mekanisme pasar). Pematokan harga (ilzam) oleh
pemerintah berarti melanggar hak-hak para pelaku pasar.158) Sejauh tidak ada
monopoli, hak istimewa, perlindungan dan dukungan politik, pasar akan
mendistribusikan semua barang ekonomi sedemikian rupa sehingga tidak
merugikan siapapun.
Pemberlakuan non-intervensi pemerintah bagi Ibn Taimiyyah tidak berlaku
mutlak. Pada kasus-kasus tertentu, jika pasar gagal menjalankan fungsi fair
competitive-nya karena beberapa alasan yang tidak dibenarkan secara hukum
maupun moral, seperti: penjualan di bawah harga umum, ihtikar, dan talaqqi assila‟,159) maka dalam hal-hal seperti ini, negara dibenarkan untuk melakukan
campur tangan demi merealisasikan maslahat al-‟ammah. Fungsi ini dilakukan
oleh lembaga al-hisbah.
Sedangkan prinsip yang kedua; amanah, berarti keharusan mengelola
156
Essid mencatat ada dua elemen penawaran menurut Ibn Taimiyyah, yaitu barang
produksi lokal (ma yukhlaq)dan barang produksi impor (ma yujlab), dan ada tiga elemen
permintaan, yaitu barang (al-mal), jumlah para produsen; dengan keinginannya (ar-ragba), dan
kepentingan (al-hajat). Pembahasan lebih lanjut lihat Yassine Essid, A Critique of the Origins of
Islamic Economic Thoughts, (Leiden: E.J. Brill, 1995), hal. 166.
157
Ibn Taimiyyah telah membahas tentang mekanisme pasar dan tentang non-intervensi
pemerintah terhadap pasar, kurang lebih 4 abad sebelum teori invisible hand Adam Smith.
158
Ibn Taimiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, hal. 16
64
kekayaan negara secara proporsional dan bertanggung jawab untuk kemaslahatan
rakyat yang sebesar-besarnya.160) Dua hal yang menjadi orientasi pemikiran politik
ekonomi Ibn Taimiyyah tersebut didasarkan pada firman Allah:
                
           
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”161
Menurut Ibn Taimiyyah, ayat tersebut ditujukan kepada para pemimpin
negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi, hendaknya mereka
menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil
dalam mengambil keputusan. Dengan diwajibkannya para pemimpin negara untuk
menyampaikan amanat kepada para pihak yang berhak dan untuk berlaku adil
dalam mengambil keputusan tersebut, maka akan terjadi perpaduan antara
kebijakan politik yang adil dan pemerintahan yang baik.
Munawir mencatat bahwa amanat bagi Ibn Taimiyyah memuat dua macam
manifestasi, yaitu: pertama, dalam penunjukan dan pengangkatan pejabat negara;
kedua, dalam pengelolaan kekayaan negara dan pengurusan serta perlindungan
atas harta benda dan pengurusan serta perlindungan atas harta benda dan hak milik
rakyat.162)
Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa pemimpin negara bukanlah seorang
“pemilik”, sehingga tidak pada tempatnya jika ia menghambur-hamburkan
kekayaan negara. Kemudian Ibn Taimiyyah mengutip perkataan „Umar ra.,
“Perumpamaanku di depan rakyat adalah bagaikan suatu kaum yang berada dalam
perjalanan. Kemudian, mereka semuanya mengumpulkan harta kekayaan yang
159
Yassine Essid, A Critique, hal. 154-61
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 12, dan Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 257-8
161
Q. S. An-Nisa‟ (4): 58
162
Munawir Sjadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
160
65
mereka miliki dan menyerahkannya kepada seseorang untuk mendistribusikannya
kepada mereka. Maka halalkah orang yang diserahi tersebut untuk seenaknya
membagikan harta itu kepada yang disukai ?” 163)
Untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal, di sisi lain warga negara
diharuskan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, seperti
membayar zakat, dan pajak. Bahkan dengan tegas Ibn Taimiyyah menyatakan,
164)
‫إْ واْ ظٍّا‬ٚ ,‫ق‬ٛ‫ا اٌضٍطاْ ِا يجة دفعٗ ِٓ اٌحم‬ٛ‫ُ أْ يّٕع‬ٌٙ ‫ال‬ٚ
“Dan mereka (warga negara] tidak berhak untuk menolak Penguasa atas
hak-hak yang wajib dipenuhi, walaupun ia zalim.”
Pernyataan Ibn Taimiyyah yang terkesan ekstrim dan keras ini ditafsirkan
Munawir sebagai refleksi kekhawatirannya terhadap kemungkinan terjadinya
gangguan terhadap stabilitas politik di negara pada masanya yang masih sangat
rentan dengan kerawanan.165)
Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menjelaskan masalah ini dengan
memberikan contoh tentang pembayaran pajak mazalim al-musytarakah (pajak
kolektif yang tak adil atau sewenang-wenang). Meskipun pajak ini merupakan
bentuk pemaksaan yang tidak adil, namun rakyat dilarang untuk menolak.
Alasannya adalah jika setiap orang mengelak untuk membayar pajak yang menjadi
bagiannya, maka kewajiban yang menjadi bagiannya itu akan menjadi beban bagi
orang lain.166) Di sinilah letak kezaliman itu.
Namun, pada kesempatan yang lain Ibn Taimiyyah menyatakan, jika apa
yang diperintahkan oleh penguasa menyimpang dari agama, maka rakyat tidak
perlu lagi memberikan ketaatan kepada pemimpin.167) Apa yang dikemukakan
oleh Ibn Taimiyyah ini, dinilai Arskal sebagai kegagalannya dalam menggali
prinsip-prinsip tersebut. Sikap tersebut menunjukkan bahwa ia adalah seorang
UI-Press, 1993), hal. 84
163
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 29
164
Ibid., hal. 30
165
Munawir S., Islam dan Tata Negara, hal. 89
166
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXX, hal. 340
167
Ibid.,IV, hal. 444
66
tokoh yang cenderung berpikiran realistik-pragmatis.168)
Hemat penulis, pernyataan kedua Ibn Taimiyyah di atas adalah
dimaksudkan sebagai pengecualian terhadap bentuk perintah yang mengarah pada
penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam. Bukan dalam hal kebijakankebijakan negara, sebab sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah, persoalan
kebijakan suatu negara merupakan hak prerogratif seorang penguasa, dan dapat
berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini, seorang kepala negara
tidak boleh sewenang-wenang. Ia harus tetap berada dalam batas-batas syari‟ah
dan melalui suatu saluran demokrasi dari “konsultasi” (syura). Ibn Taimiyyah
menambahkan, diterapkannya prinsip syura sebagaimana dituntut oleh al-Qur‟an
(42:
38)
merupakan
sebuah
keharusan,
bukan
pilihan.169)
Hal
ini
mengimplikasikan pendapat Ibn Taimiyyah dengan jelas bahwa tidak ada alasan
dalam syari‟ah yang mendukung despotisme, kediktatoran, dan otokrasi.
Hubungan pemerintah-masyarakat versi Ibn Taimiyyah tersebut, dikatakan
Goldberg, mirip dengan tradisi kontrak sosialnya Pencerahan Scottish,170) di mana
tradisi ini mengakui bahwa tanpa mekanisme penjaga-penjaga yang layak, maka
elit politik serta warga biasa akan cenderung pada egoisme yang berbahaya.
Dengan pandangan hidup yang secara esensial kontraktual, maka kepatuhan
kepada negara didasarkan atas tanggung jawab sosial masyarakat.
Kebijakan Fiskal Ibn Taimiyyah
Kebijakan fiskal merupakan suatu instrumen manajemen permintaan yang
berusaha mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian
pemasukan dan pengeluaran publik. Pemerintah dapat melakukan berbagai
kebijakan perpajakan atau pungutan lain untuk mengatur agar perekonomian tetap
berjalan pada tingkat keseimbangan. Penerimaan dan pengeluaran negara saling
berkaitan satu sama lain dalam pengertian fiskal.171
168
M. Arskal Salim G. P., Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu
Taimiyyah, (Jakarta: LOGOS, 1999), hal. 60-1
169
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 135
170
Sebagaimana dikutip oleh Robert W. Hefner, Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi Lokal,
Kapitalisme, dan Demokrasi, terj. Amirudin dan Asyhabudin, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 271
171
Michael Parkin dan Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice Hall, 1992),
67
Para fuqaha masa awal, para perencana keuangan, para wazir yang
bertanggung jawab atas perpajakan dan pembelanjaan publik, merupakan pionir
dalam pengembangan pemikiran keuangan publik Islam. Mereka mencoba
memahami persoalan-persoalan keuangan publik yang muncul di masa mereka,
khususnya setelah meluasnya wilayah-wilayah taklukan, dengan mencari landasan
dari al-Qur‟an dan Sunnah, serta merujuk pada praktik para khalifah maupun
pendapat-pendapat fuqaha sebelumnya.
Dalam perjalanan sejarah Islam telah dikenal beberapa sumber pendapatan
dan keuangan negara (al-mawarid al-maliyyah li al-dawlah). Berdasarkan
perolehannya, sumber-sumber pendapatan negara tersebut menurut Wahhab
Khalaf dapat dikategorikan menjadi dua, yakni yang bersifat rutin (dawriyyah) dan
pendapatan insidental (ghayr dawriyyah). Pendapatan rutin negara terdiri dari
zakat, kharaj (pajak bumi), jizyah (pajak jaminan keamanan atas non-Muslim),
dan „usyur (pajak ekspor dan impor). Sedangkan pendapatan tidak rutin adalah
pemasukan tak terduga seperti dari ghanimah dan fay‟ (harta rampasan perang),
ma‟adin (seperlima hasil tambang) dan rikaz (harta karun), harta peninggalan dari
pewaris yang tidak mempunyai ahli waris, harta temuan dan segala bentuk harta
yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya.172
Sabahuddin Azmi membuat klasifikasi sumber-sumber pendapatan yang
agak berbeda dengan Khalaf. Ia membedakan sumber pendapatan negara
berdasarkan tujuan alokasinya; 1) Pendapatan ghanimah, 2) Pendapatan shadaqah,
dan 3) Pendapatan fay‟.173 Klasifikasi yang mengikuti pendapat Abu Yusuf ini
menurut Azmi menjadi sangat penting karena alokasi dari setiap kategori
pendapatan telah ditentukan, dan tidak boleh dicampuradukkan.
Ibn Taimiyyah mengikuti klasifikasi Abu Yusuf. Ia menggarisbawahi
bahwa sumber penerimaan keuangan negara terdiri dari tiga kategori, yaitu
hal. 163.
172
„Abd al-Wahhab Khalaf, al-Siyasah al-Syar‟iyyah (al-Munirah: Matba‟ah alTaqaddum, 1977), hal. 114.
173
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought (New
Delhi: Goodword Books, 2004), Bab IV
68
ghanimah, sadaqah dan fai‟.174) Dalam mengklasifikasikan seluruh sumber
penerimaan
tersebut,
Ibn
Taimiyyah
mempertimbangkan
asal-usul
dari
penerimaan yang dihimpun dari berbagai sumber dan kebutuhan anggaran
pengeluarannya, termasuk seluruh sumber pendapatan di luar ghanimah dan zakat,
dengan nama fai‟.
Berbagai istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk menyebut sumbersumber keuangan publik Islam antara lain adalah fay‟, ghanimah, anfal, khums
dan jizyah. Penyebutan istilah-istilah tersebut pada umumnya terkait dengan
perang (jihad, qital, ghazwah) dan penaklukan (futuh). Dengan demikian bisa
dipahami bila beberapa istilah tersebut hanya muncul sekali dalam al-Qur‟an;
seperti anfal dalam Q.S. al-Anfal (8): 1, khums dalam Q.S. al-Anfal (8): 41, dan
jizyah dalam Q.S. al-Taubah (9): 29.
1) Ghanimah
Ghanimah merupakan harta kekayaan yang dirampas dari orang-orang
non-muslim setelah perang usai.175) Selain ghanimah, al-Qur‟an menamakan harta
perolehan perang ini dengan anfal, karena harta itu merupakan harta lebih yang
dimiliki oleh kaum muslim dari sekian banyak harta mereka yang lain. Ketentuan
mengenai ghanimah telah diatur dalam Q.S. al-Anfal (8): 1.
               
     
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan
Rasul[593], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah
perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya
jika kamu adalah orang-orang yang beriman."
Selain ayat tersebut, Ibn Taimiyyah juga mengutip hadis riwayat BukhariMuslim, dan Ahmad, di mana dari dalil-dalil tersebut, Ibn Taimiyyah
174
175
Ibid., hal. 32
Ibid.
69
menyimpulkan bahwa pembagian ghanimah ditentukan seperlimanya kepada
kelompok yang telah ditentukan dalam ayat yaitu untuk kepentingan Rasul dan
sanak kerabatnya, anak yatim, orang miskin dan ibn sabil. Sementara sisanya
dibagikan di antara anggota pasukan yang turut berperang.
Ghanimah yang berupa harta bergerak dibagi menjadi lima bagian. Empat
bagian harus dibagikan secara merata untuk mereka yang ikut berperang, baik
yang ikut terjun langsung dalam perang maupun tidak. Pengertian inilah yang
dipegangi oleh para fuqaha sebelumnya. Pelebihan proporsi untuk salah satu
pasukan (karena pertimbangan kepemimpinannya, nasab atau status sosialnya)
tidak dapat dibenarkan.
Berbeda dengan pendapat umum tersebut, Ibn Taimiyyah memberikan
pemahaman baru terhadap pembagian ghanimah. Ia membenarkan pelebihan
pembagian bagi pasukan, dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti
besarnya pengorbanan yang diberikan oleh seorang pasukan karena berhasil
menyusup ke benteng pertahanan musuh. Dalam hal ini, keputusan akhir dari
masing-masing bagian diputuskan oleh pemimpin atau komandan perang
berdasarkan pertimbangan kepentingan bersama.176)
Setelah dibagikan kepada para pasukan, sisanya (seperlima) diberikan
untuk negara. Mereka yang berhak menerima seperlima itu disebutkan dalam alQur‟an:
             
             
       
“Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul,
kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika
kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada
hamba kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 177
176
177
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 35.
Q. S. Al-Anfal (8): 41
70
Yang dimaksud dengan hak Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut
bukan berarti bahwa bagian itu dijadikan sebagai kekayaan pribadi utusan-Nya,
tetapi sebagai bagian yang bisa dibelanjakan untuk kepentingan publik. Dalam hal
ini Ibn Taimiyyah menyatakan:
‫ ٌيش‬,ٌٗٛ‫سص‬ٚ ‫ٌٗ فاٌّشاد تٗ ِا يجة أْ يصشف في غاعح هللا‬ٛ‫سص‬ٚ ‫ هللا‬ٌٝ‫زا واْ اٌّاي حيس أظيف إ‬ٌٙٚ
178
‫زٖ اٌّصاتح‬ٙ‫اي ت‬ِٛ‫ لاْ جّيع األ‬:‫لذسا‬ٚ ‫وا ّلل خٍما‬ٍِّٛ ٗٔٛ‫اٌّشاد تٗ و‬
Sedangkan untuk harta tidak bergerak, Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa
pendistribusiannya
diserahkan
mempertimbangkan
kemaslahatan
kepada
kebijakan
ummat,179)
seperti
negara
pemberian
dengan
iqta‟.
Pembahasan mengenai iqta‟ mendapat perhatian cukup banyak dari Ibn
Taimiyyah.
Pada masa Nabi, iqta‟ merupakan pemberian hak pengelolaan tanah (tanpa
hak memilikinya) yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang ikut
berperang untuk membantu mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya.
Setelah mengalami perubahan-perubahan dalam pelaksanaannya, Ibn Taimiyyah
membedakan iqta‟ menjadi dua model, yaitu iqta‟ at-tamlik dan iqta‟ al-istighlal.
Iqta‟ at-tamlik merupakan hadiah kepemilikan tanah yang diberikan oleh negara
kepada orang yang ikut berpartisipasi dalam perang, atau kepada seseorang tanpa
sebab tertentu, dengan tujuan agar tanah tersebut dapat produktif (ihya al-mawat).
Sedangkan iqta‟ al-istighlal merupakan hadiah untuk mengambil manfaat dari
tanah (bukan kepemilikannya). Dengan demikian, seorang yang mendapat iqta‟
tidak berhak untuk memiliki, menjual, memberikan atau mewariskannya kepada
orang lain.180) Iqta‟ jenis kedua inilah yang berlaku pada masa Ibn Taimiyyah.
Menurut Ibn Taimiyyah, seorang muqta‟ (penerima iqta‟) harus diijinkan
untuk memperoleh keuntungan dari tanah tersebut, baik dengan cara bagi hasil
178
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, X, hal. 280
Ibid., XXVIII, hal. 273
180
Pada masa Ibn Taimiyyah, jenis iqta‟ yang kedua inilah yang berlaku. Lihat: Abdul A.
Islahi, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1988), hal. 164
179
71
atau dengan sewa. Jika ia diharuskan mengelola tanah sendiri dan dilarang untuk
menyewakannya, maka ia akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan tugas
utamanya sebagai seorang anggota militer.181)
Ibn Taimiyyah menganggap sistem iqta‟ sebagai suatu kebutuhan sosial.
Jika iqta‟ dilarang di zaman itu, negara akan mengalami kesulitan untuk
menyiapkan uang tunai untuk membayar mereka, karena memang tidak ada
persediaan.
Di
samping menegaskan
iqta‟
untuk
kesejahteraan tentara dan
keluarganya, Ibn Taimiyyah juga sangat menekankan pentingnya anggaran negara
untuk pemeliharaan alat-alat perang dan militer. Bahkan untuk kepentingan ini,
Ibn Taimiyyah menyatakan negara dapat menganggarkannya dari zakat, ghanimah
dan fai‟. Untuk tujuan keamanan negara ini pula, Ibn Taimiyyah juga
membenarkan alokasi fai‟ digunakan sebagai gaji para penjaga batas (wilayah)
negara.182)
Besarnya alokasi pembelanjaan negara untuk pertahanan (militer) dalam
perhitungan Ibn Taimiyyah tersebut, merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini
disebabkan karena kondisi politis pada saatnya yang menuntut ketahanan negara
dalam menghadapi ancaman dan serangan dari Mongol dan Tentara Salib. Di
masa modern pun, anggaran pembelanjaan negara untuk tujuan itu sangat tinggi,
seperti yang dilakukan oleh Amerika dan negara-negara besar lainnya.
2) Zakat
Pembahasan mengenai zakat mendapat perhatian yang paling banyak di
antara berbagai sumber pendapatan negara yang disebutkan Ibn Taimiyyah. Hal ini
dimungkinkan,
mengingat pembelanjaan sosial ini menempati posisi sentral
dalam ajaran Islam. Oleh karena itu, pembahasan tentang zakat juga akan
mendapat tempat yang lebih banyak dalam bab ini.
Dalam Fatawa, Ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa yang dimaksudkan
181
182
Ibn Taimiyyah, al-Hisbah, hal. 36
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 51
72
zakat adalah sadaqah yang dikenakan atas harta bersih seseorang, dan dibayarkan
tiap tahun. Zakat juga dikenakan terhadap kekayaan produktif, baik produktif
karena jenis kekayaannya itu sendiri, seperti binatang ternak dan tanaman, ataupun
produktif karena diubah fungsinya atau nilai tukarnya, seperti emas, perak dan
barang dagangan.183)
Prosentase zakat telah ditetapkan dalam al-Qur‟an. Prosentasi zakat dari
semua harta bersih, seperti binatang ternak unta, domba, sapi, zakat atas barang
dagangan dan zakat atas emas dan perak adalah sebesar 2,5%. Kecuali untuk hasil
pertanian biji-bijian atau buah-buahan, yang presentasinya adalah sepersepuluh
(„usr) atau separuh dari sepersepuluh (nisf al-‟usr) tergantung pada apakah tanah
pertanian yang bersangkutan diairi dengan air hujan ataukah dengan upaya tangan
pengolahnya.184)
Sebagaimana para fuqaha lain, suatu negara menurut Ibn Taimiyyah
mempunyai hak memaksa bagi mereka yang enggan membayar zakat. Ia
menyatakan:
,‫ٌإلِاَ أْ يٍزَ تزٌه‬ٚ .‫اجة‬ٚ ‫ أِش‬ٝٔ‫اٌضىا‬ٚ ‫اٌٍثاس‬ٚ َ‫ اٌطعا‬ٍٝ‫ُ ٌثعط ع‬ٙ‫األصً أْ إعأح إٌاس تعع‬ٚ
ُٕٙ‫اٌّاي ألجً ٘ذايح إٌاس في دي‬ٚ ‫ فيٗ اٌّخاغشج تإٌفش‬ٜ‫اد اٌز‬ٙ‫ْ رٌه ظٍّا تً إيجاب اٌشاسع ٌٍج‬ٛ‫ال يى‬ٚ
185)
Dalam hal ini, Ibn Taimiyyah menekankan bahwa kewajiban zakat tidak
berbeda dengan kewajiban untuk menunaikan ibadah-ibadah wajib yang lain
seperti shalat,186) dan kewajiban memenuhi nafkah untuk kebutuhan keluarga.187)
Dengan demikian, dasar kewajiban zakat adalah kesadaran untuk melaksanakan
kewajiban.
Sahl bin Abi Salih mendapat fatwa dari beberapa sahabat, yaitu Sa‟ad bin
Abi Waqqas, Ibn „Umar, Abu Hurairah, dan Abu Sa‟id al-Khudri, agar harta yang
sudah mencapai satu nisab, zakatnya diserahkan kepada sultan (kepala negara),
183
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 8
Ibid., XXVIII, hal. 567
185
Ibid., XXIX, hal. 194
186
Ibn Taimiyyah, Kitab at-Tawasul wa al-Wasilah, (Mesir: Matba‟ah al-Manar, tt.), hal.
184
50
187
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 64
73
dan dikabarkan tidak ada seorang pun yang menentang pendapat ini.188) Bahkan,
ibn „Abidin menegaskan bahwa pengumpulan zakat adalah hak dan kewajiban
para penguasa untuk melindungi rakyat. Dengan demikian, hukum asal bagi
pelaksanaan dan pembagian zakat tidak dilakukan sendiri oleh si wajib zakat,189)
Namun, kata Ibn Taimiyyah, jika penguasa sebagai pengelola zakat tidak
menyalurkan zakat pada pos-pos yang telah ditentukan, atau menyalurkan kepada
mereka dengan tidak mempertimbangkan sisi keadilan, maka masyarakat
diperbolehkan untuk menolak penyerahan pengelolaan zakat kepada negara.
Mereka disarankan untuk menyerahkan secara langsung kepada pihak-pihak yang
berhak sesuai dengan ketentuan al-Qur‟an. 190)
Sebagai lembaga keagamaan yang bersifat pokok, zakat telah diatur
sedemikian rupa sehingga telah jelas bagi setiap muslim tentang siapa subyek
zakat, apa yang menjadi obyek zakat, serta siapa-siapa yang berhak menerima, dan
kapan zakat harus dikeluarkan, serta juga telah jelas pula aturan pelaksanaannya.
Jadi, pembelanjaan zakat menurut Ibn Taimiyyah, tidak boleh menyimpang dari
ketentuan yang telah tercantum dalam al-Qur‟an surat at-Taubah ayat 60, yaitu:191)
1. Untuk orang-orang fakir (fuqara).
2. Orang-orang miskin (masakin).
Kaum fakir dan miskin mempunyai kesamaan dalam taraf kehidupan
mereka. Perbedaan antara keduanya adalah, yang satu terpaksa menjadi
peminta-minta, sedang yang kedua tidak.192)
3. Para pengelola zakat („amilin).
Adalah orang-orang yang bertugas untuk menarik, menjaga dan menulis
serta membagikan harta zakat.
4. Orang-orang yang masih lemah hatinya (mu‟allafat qulubuhum).
188
Yusuf Qardawi, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Dar al-Irsyad, tt.), II, hal. 754
Ibn „Abidin Muhammad Amin, Radd al-Mukhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar (Hasyiyah
Ibn „Abidin), (Mesir: Matba‟ah al-‟Amirah, 1376), III, hal. 27
190
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 81. Penolakan penyerahan kepada negara
ini hanya berlaku untuk zakat. Untuk jenis kewajiban pajak atau pungutan yang lain, warga negara
tidak diperbolehkan menentang negara, meskipun penguasa tersebut tidak adil. Lihat juga, Ibn
Taimiyyah, Siyasah hal. 163 dan pembahasan sebelumnya.
191
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 567-8
189
74
Yang tergolong kelompok ini adalah orang-orang yang diharapkan
dapat mendekatkan hatinya kepada Islam, baik mereka telah memeluk
Islam atau belum, kaya atau miskin. Sepintas, pemberian zakat kepada
orang kaya merupakan tindakan yang tidak bijaksana, namun menurut
Ibn Taimiyyah, hal itu dapat dibenarkan demi kemaslahatan masyarakat
yang lebih luas dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyarakat
dari ancaman dan gangguan dalam negeri.193)
5. Para budak (ar-riqab)
Yakni untuk membantu mereka memerdekakan dirinya ataupun juga
untuk membebaskan para tawanan perang.
6. Orang-orang yang berhutang (garimin).
Yakni mereka yang terhimpit banyak hutang dan tidak mampu untuk
melunasinya.
7. Untuk menegakkan agama Allah (fi sabilllah)
Yakni para pejuang yang tengah berjihad di jalan Allah dan bekal yang
mereka miliki tidak mencukupi lagi.
8. Seseorang yang dalam perjalanan (ibn as-sabil).
Adalah mereka yang tengah melakukan perjalanan dari kota ke kota,
dan orang seperti itu meskipun sebenarnya kaya tetapi kekurangan
bekal untuk melanjutkan perjalanannya.
Ibn Taimiyyah memberi catatan pada ayat tentang zakat, bahwa dalam
lapangan praktis, zakat tidak diharuskan dibagi secara merata kepada delapan
golongan tersebut. Menurutnya, pembagian zakat ditentukan berdasarkan tingkat
kepentingan dan kebutuhan masing-masing pihak. 194)
Penekanan Ibn Taimiyyah dalam kewajiban zakat adalah –meminjam
istilah Dawam– adanya transfer of consumption, transfer of income, transfer of
192
Ibid., XXVIII, hal. 570
Orang-orang kaya dan berpengaruh yang masih lemah hatinya (imannya) terhadap
Islam dikhawatirkan akan mengganggu atau membahayakan umat Islam dari dalam. Dengan
diberikannya bagian zakat, diharapkan mereka akan lebih simpati terhadap Islam. Lihat Siyasah,
hal. 53
194
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 576-7
193
75
wealth, transfer of invest, ataupun redistribution.195) Maksudnya adalah bahwa
hendaknya dengan pengelolaan zakat yang benar dapat dirasakan secara langsung
oleh golongan-golongan miskin, dengan cara mengurangi kekuatan golongan kaya
secara relatif dan meningkatkan kekuatan golongan yang paling membutuhkan.196)
Dalam hal ini pengalihan kemampuan dan kekuatan berjalan seiring dengan
pengalihan kekayaan, pendapatan, konsumsi dan investasi secara langsung.
Dalam hal seperti itu zakat merupakan “pajak langsung” yang dikenakan pada si
wajib zakat. Penyelenggaraannya juga dituntut untuk langsung dirasakan oleh
pihak penerima, baik dengan barang sejenis (dengan barang yang dizakatkan),
maupun dalam bentuk uang dengan nilai yang sama.197)
Mekanisme zakat seperti itu akan menjadi pendorong investasi, sebab jika
kekayaan itu tidak digunakan dalam produksi dan menyimpannya tanpa
diinvestasikan,
tetap
akan
dikenakan
zakat
sehingga
akan
kehilangan
seperempatnya dalam waktu kurang dari 12 tahun.198) Dengan demikian, zakat
akan menghukum uang (harta) yang hanya ditimbun, tidak produktif dan sumbersumber produksi yang tidak dijalankan. Dalam hal ini zakat dikenakan terhadap
sumber-sumber yang ditimbun dan berupaya memasukkannya kembali ke dalam
arus putaran kegiatan ekonomi sebagai kapasitas atau permintaan yang meningkat
dalam konsumsi.
Batas tingkat minim sangat rendah yang dibebaskan dari kewajiban
membayar zakat memiliki arti penting yang sangat besar untuk mendorong
investasi yang produktif yang dilakukan oleh zakat itu. Pada akhirnya, kewajiban
membayar zakat membantu mendorong setiap bagian harta untuk dilibatkan dalam
kegiatan produktif dengan ditingkatkannya hukuman bagi harta yang ditimbun itu
195
M. Dawam Rahardjo, “Fungsionalisasi zakat dalam Pencapaian Kesejahteraan Sosial”,
dalam Islam dan Kemiskinan, Putut Widjanarko, ed., (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 48
196
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XIX, hal. 257-8
197
Ibid., XXV, hal. 8
198
Karena itu Nabi menghimbau umatnya untuk menginvestasikan harta anak yatim
dengan memperingatkan bahwa zakat pada akhirnya akan memakan harta seorang, bila harta (milik
anak yatim tersebut) itu tidak diinvestasikan secara produktif Penegasan Nabi ini mendapatkan
perhatian banyak penulis Muslim sejak tahun 1940-an Lihat, Monzer Kahf, Ekonomi Islam:
Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), hal. 80
76
sehingga ia berubah menjadi harta yang produktif.
Islahi menilai bahwa tingkat zakat yang tetap akan mendorong seseorang
untuk bekerja, sehingga iklim investasi akan terpacu. Karena itu sejumlah besar
angkatan kerja bisa terserap dalam dunia kerja dan kemudian memperoleh
penghasilan. Jadi, jika pekerjaan itu hanya memerlukan tenaga kerja sedikitdikitnya pada saat seseorang mencari kekayaan, dalam kasus seperti itu prosentase
yang besar dikenakan, misalnya seperlima dari seluruh hasil.
3) Fai’
Fai‟ merupakan barang yang diperoleh dari rampasan orang-orang yang
tidak beriman yang takluk dalam peperangan. Fai‟ termasuk sumber penerimaan
dari negara Islam dan sumber pembiayaan negara, seperti digambarkan dalam ayat
al-Qur‟an yang turun pada tahun ke empat setelah hijrah Nabi. Penggunaan fai‟
secara umum telah diatur oleh Rasulullah yaitu sebagai harta negara dan
dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat umum, seperti fungsi
kelima dari penggunaan ghanimah. Dalam pandangan Ibn Taimiyyah, alokasi dari
pembagian fai‟ dapat berbeda-beda dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain,
tergantung kepada kebijaksanaan masing-masing kepala negara, dengan
memperhatikan kondisi sosial yang melingkupinya.199)
Ibn Taimiyyah menggolongkan seluruh penerimaan negara selain
ghanimah dan zakat sebagai fai‟. Tujuan utama pembelanjaan negara dari fai,
adalah pertama, untuk memelihara kehidupan sosial masyarakat menghadapi
serangan dan ancaman baik dari dalam maupun luar negeri, dan kedua, untuk
mengembangkan kualitas kehidupan sosial.200) Berikut ini akan dikemukakan
berbagai jenis penerimaan negara yang dikategorikan sebagai fai‟, yaitu jizyah,
kharaj, bea cukai dan berbagai pendapatan lain.
a) Jizyah
199
200
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXV, hal. 46
Abdul Azim Islahi, Economics Concepts, hal. 216
77
Satu-satunya ayat yang menyebut jizyah terdapat dalam Q.S. al-Taubah (9): 29:
              
            
 
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam keadaan tunduk.”
Ayat ini turun ketika terjadi Perang Tabuk, yakni pertempuran terakhir yang
diikuti Rasulullah.201 Latar belakang perang tersebut adalah pertikaian antara Dar
al-Islam dengan Dar al-Harb. Memanfaatkan situasi ini, maka setelah wahyu
turun Nabi menghimbau para pemimpin dan raja non-Muslim untuk memeluk
Islam atau membayar jizyah. Pilihan bagi yang tidak mau menerima tawaran itu
adalah perang.202
Istilah shahirun dalam ayat jizyah tersebut pada umumnya diartikan
dengan “ketundukan.” Pengartian ini menurut Abdul Mannan didasarkan kepada
dua alasan, pertama, karena semua Muslim baik laki-laki, perempuan, maupun
anak-anak dibebaskan dari jizyah. Kedua, penggunaan kekuatan (pemaksaan)
untuk mengkonversi keberagamaan seseorang tidak diperbolehkan dalam alQur‟an.203
Berdasarkan kondisi sosio-ekonomik saat itu, pengenaan pajak jizyah
kepada kaum non-Muslim merupakan bentuk kompensasi atas perlindungan dan
rasa aman yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka. Selain itu, jizyah juga
dapat dipahami sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada mereka atas
ketundukannya (sahirun) kepada hukum Islam. Dengan demikian, seorang warga
201
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Istanbul: Dar Qahraman wa al-Tawzi‟, 1984),
4:75
202
Menurut Abu Ubayd Nabi mengirim beberapa surat kepada para raja/pemimpin
Zoroaster, Oman, Yaman, Bizamtium, Persia dan Absinia.
203
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, hlm. 250.
78
negara hanya dapat dikategorikan sebagai dzimmy bila ia telah menundukkan diri
kepada aturan-aturan pemerintah Islam. Secara ekonomik, kategori ini lebih
menguntungkan bagi mereka dibandingkan dengan kondisi mereka bila tidak mau
menundukkan diri pada hukum yang berlaku.
Al-Qur‟an tidak menetapkan jumlah yang baku mengenai penarikan jizyah.
Sementara itu, al-Sunnah menyebutkan berbagai besaran yang bervariasi. Pada
prinsipnya, besarnya pungutan didasarkan pada “kemampuan untuk membayar”,
atau tidak memberatkan bagi wajib pajak (ahl al-dzimmah).204 Salah satu wujud
penerapan prinsip tersebut adalah bahwa anak-anak dan wanita tidak diwajibkan
membayar jizyah.
Pada masa „Umar ra., „Usman dan „Ali, tarif tahunan yang dikenakan bagi
orang kaya adalah 48 dirham, bagi golongan menengah 24 dirham, dan bagi orang
miskin yang mampu memenuhi kebutuhannya adalah 12 dirham.205)
Berbeda dengan praktek masa awal Islam tersebut, Ibn Taimiyyah
berpendapat bahwa jizyah tidak hanya dikenakan kepada orang-orang non-Arab
yang tinggal di Arabia saja, namun juga bagi penduduk pribumi. Ia berargumen
bahwa aturan syari‟at secara umum berlaku bagi semua orang dan tidak ada
perbedaan antara orang Arab dengan non-Arab.206)
Dalam lingkungan sosio-ekonomik masa awal Islam, pengenaan jizyah
hanya kepada non-muslim merupakan upaya untuk menunjukkan superioritas
Islam atas agama-agama lain. Pendapat yang dikemukakan Ibn Taimiyyah
merupakan upaya pembacaan terhadap perubahan kondisi yang terjadi pada
masanya. Kondisi negara pada masanya menuntut setiap warga negara untuk ikut
serta membayar kewajiban guna pemeliharaan keamanan dalam negeri dan
melindungi negara dari serbuan dari luar. Pada bab sebelumnya telah disebutkan
bahwa Mamluk menghadapi ancaman serangan dari Mongol, Tentara Salib, dan
dari dalam negeri sendiri.
204
Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam, 115
Muhammad Abdul Mannan, Islamic Economic: Theory and Practice, terj. M.
Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993), hal. 249
206
Ibn Taimiyyah, „Idah ad-Dalalah fi Umum ar-Risalah, (Mesir: Idarah at-Taba‟ah al205
79
b) Kharaj
Secara literal, kharaj adalah “mengeluarkan dari tempatnya.” Dalam
pengertian fiqh, ibn Manzur menyatakan:
ٍَٛ‫َس ِع‬
ٍ ‫ُ تمَذ‬ٌٙ‫ َُ في اٌ َّضَٕ ِح ِِٓ ِا‬ٛ‫ شيء ي ُْخ ِشجُٗ اٌم‬ٛ٘ٚ ‫اح ٌذ‬ٚ ‫اٌخَ َشا ُض‬ٚ ‫اٌ َخشْ ُض‬ٚ
“Sesuatu yang dikeluarkan tiap tahun oleh umat dari harta benda mereka, dengan
takaran yang telah diketahui.”207
Dengan demikian, kharaj mencakup semua jenis pajak seperti jizyah, khums, usyr,
dan lain-lain. Namun pada awalnya kata kharaj lebih dimaksudkan untuk pajak
yang dibebankan kepada tanah-tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yang
dibiarkan tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya.208 Ringkasnya, kharaj
merupakan pajak negara yang diambil dari para pemilik tanah.209
Kharaj dalam arti pajak tanah ini dikenakan atas semua tanah di daerah
taklukan dan tidak dibagikan kepada pasukan, namun diberikan kepada pemilik
awal atau dialokasikan kepada petani non muslim. Kharaj seperti ini
diperkenalkan oleh Nabi setelah perang Khaibar. Pada saat itu, orang-orang
Yahudi diperbolehkan memiliki tanah-tanah mereka dengan syarat membayar
kharaj separuh dari hasil panenannya. Sejak saat itu kharaj menjadi sumber
penerimaan utama dari negara Islam.
Sebelum Ibn Taimiyyah, Abu Yusuf telah berpendapat bahwa suatu negara
(Islam) diperbolehkan untuk menaikkan atau menurunkan beban kharaj dengan
mempertimbangkan kemampuan anggaran dan belanja negara.210 Dasar penaikan
atau penurunan ini adalah apa yang telah dilakukan oleh khalifah „Umar, „Ali dan
„Umar ibn „Abd al-‟Aziz, di mana mereka diriwayatkan telah menekankan bahwa
pajak harus dipungut dengan cara yang adil. Yakni tidak boleh membebani rakyat
Muniriyyah, tt.), hal.12
207
Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.), III: 66.
208
Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta:
PSZ STIS, 2004), hlm. 4.
209
Sabahuddin Azmi, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought hlm.
30
210
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, (Kairo: al-Matba‟ah as-Salafiah wa Maktabatuha, tt.), hal.
85
80
di luar kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok.211)
Ibn Taimiyyah membedakan kharaj menjadi dua jenis. Pertama, pajak
proporsional, dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian,
misalnya seperempat, seperlima dan sebagainya. Yang kedua pajak tetap atas
tanah. Pajak proporsional itu tidak tetap tergantung hasil dan harga setiap jenis
hasil pertanian. Sedangkan kharaj yang tetap dikenakan setahun sekali212)
Pemerintah berkewajiban untuk memenuhi dua kondisi, pertama, hasil
kharaj
harus
digunakan
oleh
pemerintah
dengan
penuh
amanat
dan
mengeluarkannya dengan hati-hati dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan
perpajakan.213) Kedua, pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara
merata kepada semua yang membayar pajak.214)
c) ‘Usyr
Suku-suku Arab pra-Islam telah biasa menarik pungutan atau retribusi dari
kafilah-kafilah dagang sebagai imbalan atas perlindungan yang mereka berikan di
saat melintas di wilayah mereka, atau sebagai kompensasi karena melewatinya.
Upeti (ju‟alah) ini merupakan pungutan yang mengandung paksaan dan tekanan
dengan jumlah tertentu (biasanya 10%).215
Retribusi atau pungutan ini menjadi salah satu unsur pengeluaran yang
harus dipersiapkan oleh eksportir untuk keberlangsungan hidup mereka, bahkan
untuk mempertahankan hidup. Jika ada kafilah dagang yang tidak mau membayar
pungutan tersebut maka ia akan dicegat, dirampas, dan bahkan dibunuh meskipun
kafilah itu adalah utusan raja.216
Sebagaimana dikisahkan bahwa Kisra Anusyahwan (Penguasa Persia)
mengirim rombongan kafilah yang mengangkut kayu sebagai bahan baku
211
Ibid., hal. 14,16, dan 86.
Ibid., hal. 52
213
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 11
214
Ibid., hal. 48
215
Pungutan ini juga disebut dengan al-maks. Beberapa hadits Nabi mengisahkan
kecaman Nabi terhadap praktek pemungutan upeti ini. Misalnya hadits riwayat Imam Muslim
(III/1323), dan Abu Dawud (III/132).
216
Khalil Abdul Karim, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As‟ad (Yogyakarta:
212
81
persenjataan panah untuk salah satu administraturnya di Yaman. Di Bani Tamim
kafilah ini dipungut sejumlah upeti (ju‟alah) oleh pihak lain (karena adanya
kolusi) sehingga dapat meneruskan perjalanan dengan aman sampai ke Yaman.
Mendengar adanya kolusi ini Bani Tamim mengejar kafilah tersebut dan
kemudian merampas serta membunuh sebagian dari mereka.217 Kisah tersebut
menginformasikan kepada kita bahwa bentuk pungutan upeti atau retribusi yang
sifatnya memaksa terhadap para pedagang saat melintas di wilayah suku tertentu
merupakan tradisi yang telah berlangsung lama, sebelum peradaban Islam muncul.
Setelah Islam hadir, Nabi mengambil kebijakan untuk menghapuskan
pajak ju‟alah antar provinsi yang masuk dalam wilayah kekuasaan dan termasuk
dalam wilayah perjanjian yang disepakati dengan suku-suku yang tunduk di bawah
kekuasaannya. Kebijakan ini, menurut Adiwarman dimaksudkan Nabi sebagai
upaya untuk menggairahkan perdagangan.218 Namun, sebagian ulama menilai
bahwa pelarangan itu terkait dengan adanya unsur kezaliman (pemaksaan dan
vandalisme) dalam ju‟alah atau al-maks.219
Penulis lebih cenderung menganggap kecaman Nabi itu sebagai respon
Nabi untuk mencegah bentuk-bentuk kezaliman (kekerasan, pemerasan dan
gangguan keamanan) dalam praktek-praktek pemungutan upeti sebelumnya.
Banyak hadits yang mengisahkan keengganan sejumlah orang untuk diangkat
sebagai asyir karena merasa bertentangan dengan hati nuraninya. Di antaranya
adalah riwayat dari ibn Sirin, katanya “Mereka ingin mempekerjakanku untuk
menarik upeti sepersepuluh atas Ablah, sebuah negeri di pesisir Dijlah, tetapi aku
menolak. Seorang lalu datang kepadaku dan berkata: “Mengapa anda tidak mau
mengerjakan sesuatu yang dikerjakan oleh Umar...?” 220
Setelah beberapa waktu retribusi ini dibekukan dalam Islam, kemudian
muncul pemikiran Khalifah Umar ibn Khaththab untuk menerapkannya kembali
LkiS, 2003), hal 66.
217
Sebagaimana dikutip oleh Khalil Abdul Karim, Ibid., hlm. 67.
218
Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 70
219
Munawar Iqbal, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah: IRTI,
2004), hal. 53
220
Dalam Abu Yusuf, Al-Kharaj, hlm. 148.
82
sebagai salah satu sumber pemasukan keuangan publik,221 namun dengan istilah
yang berbeda, yakni „usyr. Latar belakang penetapan kembali pajak retribusi yang
secara literal berarti “sepersepuluh” ini adalah adanya permohonan dari kaum
harby Manbij untuk melakukan perdagangan di negara Islam dengan membayar
sepersepuluh dari nilai barang.222 Setelah berkonsultasi dengan para sahabat,
Umar mengabulkan permintaan mereka.
Latar belakang lain (yang lebih populer) atas dimunculkannya kembali
ju‟alah adalah kasus khusus yang diangkat oleh Abu Musa al-Asy‟ary yang
melaporkan kepada Umar bahwa pedagang-pedagang Muslim dikenakan pajak
sepersepuluh di wilayah asing (ardl al-harby). Khalifah menanggapi laporan itu
dengan menetapkan pajak usyur kepada mereka dengan tingkat prosentase yang
berbeda. Teks Khalifah Umar tertulis:
ِٓ ٓ‫ِٓ اٌّضٍّي‬ٚ ,‫خز ِٓ أً٘ اٌزِح ٔصف اٌعشش‬ٚ ,ٓ‫ْ ِٓ ذجاس اٌّضٍّي‬ٚ‫ُ وّا يأخز‬ِٕٙ ‫خز أٔد‬
)‫ ستع اٌعشش‬ٜ‫وً استعيٓ دسّ٘ا(ا‬
“Ambillah olehmu dari mereka (ahl al-harb) sebesar pungutan yang
mereka ambil dari pedagang Muslim (yakni 10%). Ambil dari ahl aldzimmah separuhnya (yakni 5%), sementara untuk orang-orang Islam
ambillah satu dirham dari setiap kelipatan 40 (yaitu 2,5%).”223
Riwayat inilah yang diambil Ibn Taimiyyah untuk menetapkan prosentase pajak
bea cukai bagi non-muslim.224)
Secara umum, semua jenis komoditas perdagangan yang masuk ke negara
Islam merupakan objek usyur. Ketentuan-ketentuan dasar mengenai usyur yang
digariskan oleh Abu Yusuf dalam kitabnya adalah sebagai berikut.225
1. Barang-barang wajib pajak adalah yang dimaksudkan sebagai komoditas
perdagangan.
2. Bila pedagang adalah seorang Muslim, maka besarnya pajak adalah 2,5
persen (pajak dihitung berdasarkan jumlah total komoditas).
221
Abu Yusuf, Kharaj, hlm. 134
Ibid. Penggalan surat permohonan itu berbunyi: …‫ذعششٔا‬ٚ ‫دعٕا ٔذخً أسظه ذجاسا‬
223
Ibid., hlm. 135.
224
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 40
225
Ahmad Oran dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” hlm. 126.
222
83
3. Bila pedagang adalah seorang dzimmy, besarnya pajak adalah 5 persen.
4. Bila pedagang adalah orang asing, besarnya pajak adalah 10 persen.
5. Pajak boleh dibayarkan dalam bentuk uang cash maupun barang.
6. Batas minimal barang wajib pajak adalah sama dengan ketentuan nishab
dalam zakat, yaitu senilai dengan 200 dirham.
7. Bila pedagang tinggal selama lebih dari satu tahun, maka komoditasnya
akan dikenakan pajak lagi.
8. Pedagang Muslim dan dzimmy hanya dikenakan sekali pajak untuk
komoditas yang sama.
9. Bila pedangang asing telah pulang ke negaranya dan kemudian kembali
lagi, maka dikenakan pajak lagi.
10. Bukti pembayaran pajak harus menyebutkan jumlah pajak yang
dibayarkan, nilai barang kena pajak, dan tanggal.
11. Pajak dikenakan untuk perdagangan antar propinsi di negara Islam.
12. Besar kecilnya beban pajak mempertimbangkan kebijakan yang berlaku di
negara-negara lain.
13. Barang-barang yang dinilai hanya sedikit dibebaskan dari pajak
14. Barang-barang kebutuhan pokok dibebaskan dari pajak atau dibebani pajak
dengan pertimbangan lain.
Dari ketentuan-ketentuan umum di atas, terlihat bahwa salah satu faktor
penentu
tingkat
pajak
adalah
status
para
pedagang,
yakni
status
kewarganegaraannya dan agamanya. Pembedaan tersebut adalah sesuatu yang
wajar untuk realitas sosio-politik saat itu, bahkan sangat fair. Kenyataannya para
pedagang dzimmy memang lebih banyak membutuhkan perlindungan dari para
perampok dibandingkan dengan kaum Muslim. Di samping itu juga harus
dipertimbangkan bahwa pedagang Muslim harus membayar zakat untuk
komoditas mereka, sedangkan dzimmy hanya berkewajiban membayar usyr ketika
mengadakan aktifitas perdagangan lintas batas saja.
Terlepas dari zakat, yang mungkin dapat dinilai sebagai kewajiban religius,
pajak yang lebih besar yang diberlakukan untuk pedagang asing dibandingkan
84
pajak untuk warga negara sendiri mengindikasikan adanya bisnis “nasional.”
Dalam sistem kebijakan publik modern, sistem usyr sangat mirip dengan
kebijakan subsidi. Lebih jauh, penggunaan pajak insentif, dalam arti memberikan
peluang yang lebih besar kepada kalangan pedagang nasional untuk tumbuh lebih
cepat serta melindungi mereka dari kompetitor asing, merupakan implikasi nyata
dari sistem usyr periode klasik.
Al-usyr, dalam pengertiannya sebagaimana dipraktekkan pada masa awal,
bisa jadi akan kehilangan relevansinya dengan kontek kebijakan ekonomi saat ini,
terutama bila dilihat dari sisi persaudaraan universal Islam (ukhuwah Islamiyah).
Abdul Mannan menilai usyr sebagai kendala bagi perdagangan internasional dan
bertentangan dengan norma Islam yang tidak mengenal diskriminasi dalam
perdagangan.226 Namun menurutnya dari sisi lain, yakni melihat kondisi negaranegara Islam yang miskin dan sedang berkembang, praktek modern bea cukai
dapat diterima sejauh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam
kenyataannya, “versi modern” dari usyr ini masih banyak diterapkan oleh berbagai
negara untuk melindungi produksi dalam negeri.
d) Denda Berupa Uang
Tujuan denda menurut Ibn Taimiyyah adalah untuk mengurangi kejahatan,
bukan untuk menambah pemasukan negara. Jika denda digunakan untuk
meningkatkan anggaran, maka dikhawatirkan justru akan menaikkan tingkat
kejahatan.227) Dengan demikian, pendapat Ibn Taimiyyah tentang denda ini lebih
dekat kepada denda dalam pengertian modern yang tujuan utamanya adalah
sebagai punishment. Hukuman dan denda dalam kriminologi lebih dimaksudkan
sebagai upaya untuk mencegah terulangnya perbuatan serupa, baik bagi pelakunya
maupun bagi masyarakat.
e) Berbagai sumber pendapatan lain
226
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1993), hlm. 250.
227
Ibid., hal. 73
85
Termasuk dalam hal ini adalah upeti yang dibayar oleh musuh, harta benda
atau simpanan atau barang rampasan yang pemilik sebenarnya tidak diketahui lagi,
dan karena itu tidak bisa dikembalikan dan harta benda pewaris yang tidak
memiliki ahli waris.228) Ibn Taimiyyah tidak membahas secara rinci sumbersumber pemasukan negara yang terdaftar di atas dengan alasan sederhana, bahwa
sumber-sumber tersebut telah dikenal oleh pemerintah pada saat itu.229) Ibn
Taimiyyah lebih menekankan perhatiannya pada pada prinsip-prinsipnya saja.
228
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXVIII, hal. 568-9
Ibn Taimiyyah, Siyasah, hal. 37
229
86
Bab 4
PEMIKIRAN EKONOMI MAKRO
JOHN MAYNARD KEYNES
Pendekatan Keynes
Pemikiran ekonomi Keynes berangkat dari kritiknya terhadap pandangan
ekonomi klasik yang telah diyakini kebenarannya pada saat itu. Pandangan ahliahli ekonomi klasik tersebut bertumpu pada masalah-masalah mikro.230) Sebagai
contoh, pandangan yang menyatakan bahwa di dalam perekonomian tidak akan
terdapat kekurangan permintaan. Apabila para produsen menaikkan produksi
mereka atau menciptakan jenis-jenis barang yang baru maka di dalam
perekonomian akan selalu terdapat pemintaan terhadap barang tersebut. Maka di
dalam perekonomian pada umumnya tidak pernah berlaku kekurangan permintaan.
Dengan kata lain penawaran yang bertambah akan secara otomatis menciptakan
pertambahan permintaan.
Analisis tersebut mengabaikan faktor-faktor di luar lingkup masalah
produksi, ceteris paribus. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana menghasilkan
barang-barang dan jasa sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah-rendahnya
dengan memilih alternatif kombinasi faktor-faktor produksi yang terbaik. Dengan
cara memilih alternatif terbaik atau paling efisien perusahaan akan memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena yakin bahwa tiap barang yang
diproduksi akan selalu diiringi oleh permintaan,231) maka setiap perusahaan
berlomba-lomba untuk menghasilkan barang-barang dan jasa sebanyak230
Mikro ekonomi merupakan cabang dari ilmu ekonomi yang mempelajari perilaku
konsumen dan perusahaan, penentuan harga-harga pasar, kuantitas faktor input, serta barang dan
jasa yang diperjualbelikan. Lihat, Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, (Jakarta; Raja
Grafindo Persada, 1996), hal. 4-5. Dengan demikian, analisis ekonomi mikro menyelidiki
bagaimana sumber-sumber daya ekonomi yang langka dialokasikan di antara alternatif akhir dan
berusaha untuk menentukan faktor-faktor penentu strategis dari suatu penggunaan sumber-sumber
daya secara efisien dan optimal.
231
Teori inilah yang kemudian dikenal sebagai Hukum Say, yang mengatakan: “supply
creates it‟s own demand”. Bahwa memproduksi dan menawarkan produk-produk pada hakikatnya
identik dengan meminta produk-produk lain. Sehingga permintaan total senantiasa harus seimbang,
dengan begitu over produksi dan pengangguran secara umum tidak mungkin terjadi. Lihat, P. A.
Samuelson, Economics an Introductory Analysis, (New York: McGraw Hill, 1958), hal. 391
87
banyaknya.
Keadaan seperti inilah yang terjadi pada tahun 1930-an, di mana
perusahaan berlomba-lomba berproduksi tanpa kendali. Di pihak lain daya beli
masyarakat terbatas. Akibatnya banyak stok menumpuk. Sebagian perusahaan
terpaksa mengurangi produksi, dan sebagian bahkan melakukan rasionalisasi,
yaitu mengurangi produksi dengan mengurangi jumlah pekerja. Sejak saat itu
mulailah pengangguran besar-besaran di kebanyakan negara.232)
Tindakan rasionalisasi dari pihak perusahaan akan memaksa sebagian
pekerja menganggur. Orang yang menganggur jelas tidak memperoleh
pendapatan, dan sebagai konsekuensinya pendapatan masyarakat turun. Turunnya
pendapatan masyarakat menyebabkan daya beli semakin rendah, dan akibatnya
barang-barang tidak laku sehingga kegiatan produksi terhenti. Puncak dari
kemerosotan ekonomi terjadi pada tahun 1930, di mana hampir di seluruh negaranegara industri terjadi depresi secara besar-besaran (great depression).
Analisis-analisis yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi klasik tidak
dapat memberikan penjelasan mengenai sebab-sebab Great Depression.
Keyakinan mereka bahwa di dalam perekonomian akan selalu terdapat permintaan
yang cukup besar, sehingga akan selalu menjamin terwujudnya tingkat
penggunaan tenaga kerja penuh, menyebabkan mereka mengabaikan analisis
terhadap permintaan agregat dalam suatu perekonomian. Mereka sama sekali tidak
membuat analisis tentang faktor-faktor yang menentukan tingkat permintaan
agregat kepada (I) tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai, dan (ii) penggunaan
232
Untuk mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai masalah ini, perlu
diidentifikasi latar belakang depresi 1930-an. Faktor yang melatarbelakangi depresi era ini adalah
demam spekulasi dari seluruh perekonomian A. S. pada tahun 1929. Demam spekulasi ini
tidak hanya terbatas di Wall Street, tetapi menjalar ke seluruh negeri. Keinginan untuk cepat kaya
menghilangkan kewaspadaan perusahaan dan bank. Obligasi-obligasi yang spekulatif dan tidak
meyakinkan dijual oleh bank kepada para penanam modal. Selain itu, struktur investment trust dan
holding company dibangun di atas perusahaan-perusahaan yang berproduksi. Semua kegiatan
manipulasi trust mempersiapkan jalan bagi depresi. Akhirnya, setelah pasar modal benar-benar
hancur, saat itu pula struktur kredit juga ambruk. Para penanam modal yang meminjamkan uang
untuk membeli surat-surat berharga terpaksa dijual untuk menutup hutang. Bank-bank yang penuh
dengan surat-surat berharga akhirnya menjadi insolvent. Lihat, Agus Miftahus Surur, “Pasar,
Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori Ekonomi”, dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.Des.1999, hal. 11
88
tenaga kerja. Ahli-ahli ekonomi klasik lebih menumpukan perhatian kepada
analisis mengenai masalah produksi, yaitu mereka terutama menerangkan tentang
cara menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas (analisis segi penawaran)
itu dengan efisien.233
Sejak terjadinya depresi besar-besaran, orang curiga bahwa ada sesuatu
yang salah dengan teori klasik; sesuatu yang dianggap berlaku umum selama ini.
Terdapatnya perbedaan di antara keyakinan ahli-ahli ekonomi klasik dengan
kenyataan yang terjadi dalam perekonomian mendorong Keynes untuk menelaah
kembali kebenaran-kebenaran dari teori mereka. Kenyataan bahwa suatu
perekonomian dapat mengalami pengangguran dan kemerosotan perekonomian
yang sangat buruk menimbulkan keragu-raguan terhadap kebenaran keyakinan
ahli-ahli ekonomi klasik yang berpendapat bahwa perekonomian selalu mencapai
tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Keadaan yang sebaliknya muncul pada
waktu itu, yaitu kemampuan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barangbarang dan jasa-jasa adalah lebih besar dari permintaan masyarakat yang
seharusnya. Dengan perkataan lain, kekurangan permintaan agregat dalam
perekonomian
merupakan
sumber
dari
pengangguran
dan
kemunduran
perekonomian yang sangat buruk tersebut.
Ketika menghadapi situasi buruk itu, pemerintah Inggris (dan kebanyakan
negara-negara lain), tetap mempertahankan kepercayaan kepada hukum ekonomi
klasik yang telah lama mengakar, bahwa perekonomian akan memperbaiki dirinya
secara otomatis. Pembuat kebijakan (pemerintah) dan para ahli ekonomi
mengemukan pernyataan bahwa apa yang terjadi pada saat itu merupakan hal yang
wajar, alamiah dan masuk akal. Sistem akan segera memperbaiki keadaan ini
secara otomatis. Menanggapi hal ini Keynes menulis dalam Economic
Consequences of the Peace dengan pernyataan sebaliknya, bahwa keadaan seperti
itu, “...unusual, unstable, complicated, unreliable, temporary”.234)
233
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, hal. 75
J. M. Keynes, Economic Consequences of the Peace, hal. 233 sebagaimana dikutip oleh
Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation, 1995), hal.
54
234
89
Keynes berpendapat bahwa sistem ekonomi pasar bebas tidak dapat
diharapkan untuk memperbaiki keadaan dengan invisible hand-nya. Ia menyebut
teori laissez faire sebagai “Breakdown Theory”. Depresi yang telah terjadi akan
tetap berlangsung berlarut-larut tanpa penyelesaian.235) Tidak ada seorangpun yang
akan sabar menunggu jangka panjang, sebab kata Keynes, “...in the long run, we
are all dead.”236) Karena itulah Keynes memunculkan gagasan mengenai
pentingnya peranan pemerintah dalam menghapuskan kurangnya permintaan
agregat ~sebagai penyebab pengangguran~ melalui defisit pembelanjaan untuk
memperbaiki depresi.
Teori yang mengatakan bahwa “penawaran akan menciptakan permintaan
sendiri”, dikritik oleh Keynes sebagai sesuatu yang keliru. Alasannya, sebagian
dari pendapatan yang diterima masyarakat akan ditabung, tidak semuanya
dikonsumsi. Dengan demikian, permintaan efektif biasanya lebih kecil dari total
produksi. Kalaupun kekurangan ini bisa dieliminir dengan menurunkan hargaharga, maka pendapatan tentu akan turun, dan sebagai akibatnya tetap saja
permintaan lebih kecil dari penawaran. Karena
konsumsi lebih kecil dari
pendapatan, berarti tidak semua produksi akan diserap masyarakat.237
Menurut
Keynes,
kebenaran
Hukum
Say hanya
berlaku
untuk
perekonomian tertutup sederhana yang terdiri dari sektor rumah tangga dan
perusahaan saja.238 Pada tingkat perekonomian seperti ini semua pendapatan yang
diterima pada suatu periode biasanya langsung dikonsumsi, tanpa ada yang
235
Kenneth K. Kurihara, “Distribution, Employment and Secular Growth”, dalam Post
Keynesian Economics, Kenneth K. Kurihara, ed., (New Jersey: Rutgers University Press, 1954),
hal. 264
236
J. M. Keynes, Tract on Monetary Reform, (London: Macmillan, 1950), hal. 88.
Pernyataan ini juga menyiratkan arti bahwa teori-teori yang dikemukakan oleh Keynes juga tidak
akan sesuai untuk masa sesudahnya. “Revolusi” Keynes muncul dan tumbuh dari perimbanganperimbangan keadaan depresi yang terjadi pada masanya. Pada awal dasawarsa 70-an bukan lagi
depresi, deflasi dan pengangguran masal yang menjadi pokok permasalahan, melainkan justru
suatu keadaan yang sebaliknya. Pada masa itu kegiatan ekonomi berada pada tingkat tinggi,
kapasitas produksi terpasang dan digunakan sampai hampir pada batasnya, perdagangan
internasional sudah sangat meluas, dan inflasi yang semakin meningkat. Dalam keadaan seperti ini,
terlihatlah keterbatasan, kekurangan dan kelemahan pada sistem pemikiran Keynes.
237
J. M. Keynes, The General Theory of Employment, Interest and Money, (London:
Macmillan, 1936), hal. 55
238
J. M. Keynes, General Theory, hal. 11, 265
90
ditabung. Dalam arti, tabungan yang dimiliki oleh masyarakat akan segera
dibelanjakan lagi untuk melakukan investasi dalam dunia usaha. Dalam keadaan
seperti ini, permintaan akan selalu sama dengan penawaran agregat.
Keynes menentang asumsi tersebut. Dalam perekonomian yang lebih maju,
di mana masyarakatnya sudah mengenal tabungan, maka sebagian dari pendapatan
akan mengalami kebocoran (leakage) yakni disimpan dalam bentuk tabungan,
sehingga pengeluaran tidak lagi sama dengan arus pendapatan.239) Seorang yang
menyisihkan pendapatannya untuk ditabung belum tentu dimaksudkan untuk
investasi, masing-masing mempunyai motivasi yang berbeda.240) Demikian juga,
bisa saja seseorang mengkonsumsikan uang yang diperolehnya lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan untuk investasi, dan sebaliknya.
Pengusaha melakukakan investasi didorong oleh keinginan untuk
mendapatkan laba yang sebesar-besarnya, sedang sektor rumah tangga melakukan
penabungan didorong oleh berbagai motif yang sangat berbeda. Termasuk di
dalamnya
ialah motif berjaga-jaga (pre-cautionary motives), misalnya untuk
menghadapi kecelakaan, penyakit, untuk memenuhi hajat (memperingati
kelahiran, pekawinan, kematian) dan sebagainya.241) Perbedaan dalam motif ini
menyebabkan jumlah tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi.
Kalaupun jumlahnya sama, menurut Keynes itu hanya merupakan kebetulan
belaka, bukan suatu keniscayaan.242
Menurut Keynes, bunga merupakan jasa imbalan yang harus dibayar
kepada si penabung (“penyebab kebocoran”) agar ia bersedia melepaskan bagian
dari tabungannya yang ditahan dalam bentuk dana likuiditas tadi untuk selanjutnya
dicairkan dalam bentuk investasi.243) Dengan kata lain, tingkat bunga adalah harga
yang harus dibayar agar dana likuiditas itu itdak disimpan, melainkan dilepaskan
untuk investasi.
239
Shigeto Tsuru, “Keynes versus Marx: The Methodology of Agregrates”, dalam Post
Keynesian, Kenneth K. Kurihara, ed., hal. 321
240
J. M. Keynes, General Theory, hal. 65, 90
241
Samuelson, Macroeconomics, hal. 283
242
J. M. Keynes, General Theory, hal. 180-5.
243
Myron J. Gordon, Finance, Invesment, and Macroeconomics: The Neoclassical and
91
Campur Tangan Negara dalam Perekonomian
Karena Keynes mengamati bahwa umumnya investasi lebih kecil dari
jumlah tabungan, maka ia menyimpulkan bahwa permintaan agregat juga lebih
kecil dari penawaran agregat. Kekurangan ini, apabila tidak diantisipasi, akan
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dalam perekonomian. Karena
sebagian produksi tidak terserap oleh masyarakat, stok akan meningkat, dan pada
periode-periode berikutnya terpaksa harus dibatasi. Apa yang menjadi inti pokok
dari pendapat Keynes di atas ialah bahwa perekonomian yang berjalan menurut
mekanisme pasar biasanya mencapai keseimbangan pada titik di bawah fullemployment.
Selain perilaku tabungan masyarakat, faktor yang juga berpengaruh
terhadap tingkat kesempatan kerja penuh adalah harga dan upah.244) Mengenai hal
ini, Keynes menunjukkan kelemahan yang dikemukakan oleh ahli-ahli ekonomi
klasik mengenai peranan dari penurunan tingkat upah di dalam menciptakan
penggunaan tenaga kerja penuh.
Keynes mengemukakan beberapa hal yang membuat harga bereaksi
lamban bila terjadi kelebihan permintaan dan penawaran. Pertama, para karyawan
dan buruh perusahaan umumnya terikat dengan suatu kontrak jangka panjang.
Dengan demikian, sepanjang masa berlakunya kontrak, baik perusahaan maupun
karyawan bersepakat pada tingkat upah sesuai yang tercantum dalam perjanjian.
Kedua, harga-harga dari berbagai barang dan jasa seringkali diatur dan ditentukan
oleh pemerintah, seperti tarif kendaraan biaya rekening listrik, telepon, dan
minyak. Untuk mengubah harga-harga tersebut diperlukan proses formalitas yang
panjang. Ketiga, banyak perusahaan yang kurang responsif terhadap kondisi pasar.
Misalnya, perusahaan (para pemegang saham) harus bersidang dalam suatu panitia
besar untuk mengambil suatu keputusan mengenai perubahan harga penting. 245)
Menurut Keynes, letak kesalahan kaum klasik dalam seluruh masalah di
Post Keynesian Solution, (Aldershot: Elgar Adward Pub., 1994), hal. 3-4
244
Samuelson, Macroeconomics, hal. 358-60
245
J.M. Keynes, General Theory, hal. 257, 266
92
atas bersumber dari penggunaan partial equilibrium analysis
(analisis
keseimbangan sebagian).246 Apabila tingkat upah turun maka tingkat pendapatan
akan menjadi bertambah rendah, dan daya beli dalam masyarakat berkurang. Oleh
sebab itu pengeluaran masyarakat akan menurun. Pengeluaran yang bertambah
rendah ini akan menurunkan harga-harga, dan apabila keadaan itu terjadi, maka
tingkat penggunaan tenaga kerja penuh tidak akan tercapai.
Dari hasil pengamatan tentang kejadian depresi ekonomi pada awal 1930an dan kritiknya terhadap teori klasik, Keynes merekomendasikan agar
perekonomian tidak diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Tingkat
kesempatan kerja dan tingkat inflasi dalam suatu perekonomian dapat dipengaruhi
dengan cara mempengaruhi permintaan dan pengeluaran agregat. Menurut
Keynes, pemerintahlah yang dapat melakukan tugas itu.247 Dalam situasi di mana
terjadi gerak gelombang naik turunnya kegiatan ekonomi, pemerintah dapat
menjalankan
kebijaksanaan
pengelolaan
pengeluaran
dan
pengendalian
permintaan efektif dalam bentuk “kontra siklis” atau “anti siklis”.248)
Keynes menawarkan agar pemerintah menempuh kebijakan fiskal.249)
Kebijakan
fiskal
merupakan
instrumen
kebijakan
pemerintah
untuk
mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi melalui pengendalian pajak dan
pengeluaran pemerintah. Teori kebijakan fiskal Keynes ini diterima secara luas
oleh negara-negara Barat untuk mengatasi masalah resesi ekonomi tahun 1930-an.
Dan semenjak itu, kebijakan ini dipakai sebagai alat yang utama dalam usaha
246
Analisis ini menganggap bahwa apabila upah turun, maka penurunan itu tidak akan
mempengaruhi kurva produk marginal. P. A. Samuelson, Economics,hal. 446-52
247
Sebagai contoh, dalam masalah pengangguran, pemerintah dapat memperbesar
pengeluarannya untuk proyek-proyek padat karya sehingga sebagian tenaga kerja yang menganggur
bisa bekerja, yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Jika harga-harga naik
cepat, pemerintah bisa menarik jumlah uang beredar dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi,
sehingga inflasi yang tak terkendali tidak sampai terjadi.
248
Samuelson, Macroeconomics, hal. 346
249
Keynes lebih menonjolkan kebijakan fiskal, karena pada masanya kebijakan fiskal
dirasa lebih efektif untuk mempengaruhi perekonomian seperti yang diinginkan. Hal ini disebabkan
oleh tingkat kompleksitas masalah moneter yang masih sederhana dibanding masa sekarang. Pada
masa sekarang, kebijakan fiskal ini masih dapat diterapkan dengan efektif di negara-negara yang
sedang berkembang. Sedangkan di negara-negara yang sudah maju, kebijakan moneter akan terasa
lebih dominan, karena derajat monetisasi (penggunaan jasa keuangan perbankan) di negaranegara tersebut sudah sangat tinggi.
93
perbaikan perekonomian untuk mencapai penggunaan tenaga kerja secara penuh
dan mengontrol tingkat inflasi (suatu hal yang merupakan tujuan dari setiap
pembangunan ekonomi). Dari berbagai kebijaksanaan yang dapat diambil oleh
pemerintah, Maynard lebih mengandalkan anggaran ekspansif, jika perlu defisit,
untuk mengatasi kebuntuan ekonomi pada saat itu.
Kebijakan Fiskal Keynes
Elemen utama dalam kebijakan fiskal ialah belanja negara untuk barang
dan jasa, serta pajak atau pungutan lain. Dalam model Keynes kedua elemen
utama tersebut dapat diubah-ubah untuk mempengaruhi tingkat pengeluaran.
Selama masih ada sumber daya yang belum dimanfaatkan, perubahan pengeluaran
agregat akan mengakibatkan perubahan output suatu bangsa.250
Pengeluaran pemerintah akan merangsang kenaikan pendapatan nasional
serta produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat
kesempatan kerja penuh karena pengeluaran tersebut akan menaikkan permintaan
agregatif. Hal itu juga berlaku bagi subsidi-subsidi yang dikeluarkan pemerintah.
Meskipun subsidi tersebut tidak menaikkan output secara langsung, namun akan
menaikkan pengeluaran konsumsi agregatif mereka secara berantai dan berganda.
Secara singkat, pengeluaran pemerintah secara langsung akan menaikkan produksi
bila perekonomian belum mencapai keadaan kesempatan kerja penuh karena
pengeluaran tersebut menaikkan permintaan agregatif didasarkan pada anggapan
bahwa pengeluaran pemerintah tidaklah pada proyek-proyek yang menghalangi
atau menggantikan investasi sektor swasta.251
Kenaikan pajak akan berarti bahwa masyarakat akan memiliki pendapatan
disposabel yang lebih rendah, hal ini berarti masyarakat terpaksa harus
mengurangi pengeluaran untuk konsumsi. Jika pembelanjaan untuk investasi dan
pembelanjaan pemerintah tetap pada jumlah yang sama, maka pengeluaran jumlah
konsumsi masyarakat berikutnya akan menurunkan produk nasional bruto dan
250
J.M. Keynes, General Theory, hal. 94-5
251
Faried Wijaya M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987), hal. 135.
94
penggunaan tenaga kerja.252) Dengan demikian dalam model Keynes, apabila
output berada di bawah titik potensial, maka pajak yang lebih tinggi tanpa
tambahan belanja negara akan terus menekan output lebih rendah lagi dibanding
titik potensial.253)
Keynes
tidak
menawarkan
gagasan
mengenai
kriteria
untuk
mengalokasikan pengeluaran sektor publik ~sebagai prioritas yang harus dipenuhi.
Penyembuhan utama dalam resepnya adalah mempertahankan permintaan agregat
pada level full employment. Pemerintah dapat melakukan hal ini dengan
menambah atau
mengurangi pengeluaran untuk kepentingan belanja apapun,
seperti pertahanan, pembangunan infrastruktur fisik, pendidikan, kesehatan dan
kesejahteraan.
Keynes
tidak
menyinggung
masalah
prioritas.
Dalam
pandangannya, pemerintahan saat itu hanya gagal dalam penyelesaian menangani
problem pengangguran, namun pemerintah dipandang telah benar dalam
mengatasi problem alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan. Dengan begitu
Keynes mengkhususkan hanya pada suatu modifikasi kecil dalam sistem
perekonomian klasik untuk mempertahankan full employment.254)
Perlu dikemukakan di sini bahwa, kebijakan yang digunakan untuk
mengatasi pengangguran pada akhirnya akan membawa kepada inflasi. Dan
sebaliknya,
kebijakan
untuk
mengatasi
inflasi
akan
membawa
kepada
pengangguran. Penurunan permintaan akan menurunkan inflasi, tetapi akan
meningkatkan pengangguran255) Dengan demikian, strategi Keynes telah
menimbulkan dilema tanpa penyelesaian masalah pengangguran dan inflasi. Dari
sinilah maka dituntut adanya kemampuan dalam mempermainkan instrumeninstrumen
kebijakan
fiskal,
yaitu
mengendalikan
perimbangan
antara
252
Ibid.
Samuelson, Macroeconomics, hal. 398
254
Lawrence R. Klein, The Keynesian Revolution, (New York: Mac Millan, 1954), hal.
253
165-87
255
J. M. Keynes, General Theory, hal. 281. Sekarang, kebenaran analisis seperti ini (yang
ditunjukkan dengan kurva philips) mulai dipertanyakan. Pengalaman stagflasi terakhir (sejak tahun
1970-an) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi ternyata dibarengi dengan tingkat
inflasi yang tinggi pula, dengan demikian trade-off yang tetap antara inflasi dan pengangguran
tidak berlaku lagi. Lihat, Karl E. Case dan Ray C. Fair, Principles of Economics, (New York:
Prentice Hall International, 1997), hal. 780-783
95
pengangguran dan inflasi.
Dalam mengambil kebijakan fiskal, pemerintah menetapkan sejauh mana
akan meningkatkan pajak, sejauh mana akan menurunkan pajak, dan juga sejauh
mana akan meningkatkan atau menurunkan pengeluarannya. Sehingga, setiap
kenaikan tingkat inflasi ataupun penurunan kesempatan kerja akibat kebijakan
fiskal yang diambil masih tetap terjaga pada kisaran limit yang bisa ditolerir bagi
perekonomian negara secara keseluruhan.
Meskipun Keynes lebih menekankan pentingnya kebijakan fiskal, hal ini
tidak berarti menafikan kebijakan moneter. Kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal tidak bisa dilepaskan karena apabila pemerintah berniat mempengaruhi
tingkat permintaan masyarakat, maka akan berhubungan dengan hasrat untuk
berkonsumsi masyarakat (Marginal Propensity to Consume atau MPC) dan juga
hasrat untuk menabung masyarakat (Marginal Propensity to Save atau MPS).256
Untuk menurunkan tingkat konsumsi dan menaikkan tabungan masyarakat dalam
rangka mengatasi inflasi, pemerintah dapat menggunakan kombinasi kebijakan
fiskal dan moneter, yaitu menaikkan pajak dan menaikkan tingkat bunga sehingga
MPC akan turun dan MPS akan naik. Untuk meningkatkan kesempatan kerja,
pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya dan menurunkan tingkat bunga
sehingga MPC akan naik dan MPS akan turun. Lebih tingginya keinginan untuk
berkonsumsi dan juga lebih rendahnya tingkat bunga kredit akan mendorong lebih
tingginya tingkat investasi dalam masyarakat dan terbukanya kesempatan kerja.
256
Victoria Chik, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General
Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983), hal. 317. Lihat juga, Boediono, Ekonomi Makro,
ed. 4, (Yogyakarta: BPFE, 1999), hal. 36-8
96
Bab 5
PRINSIP-PRINSIP KEBIJAKAN FISKAL:
RELEVANSI
Konsep Kebijakan Publik Islam
Koordinasi
ekonomi
memerlukan
konsep
dasar
yang
dapat
mengakomodasi berbagai kepentingan, terutama kepentingan-kepentingan para
pelaku ekonomi. Untuk itu diperlukan tuntunan menyangkut aspek historiskonstitusional, moral-ideologis dan operasional praktis yang disebut sebagai
sistem perekonomian. Di dalam sistem itu seluruh lembaga ekonomi
diselenggarakan bertujuan untuk mencapai suatu tujuan kolektif. Dalam hal ini
sistem ekonomi (politik) menjadi semacam pedoman, aturan atau kaidah yang
digunakan oleh seseorang atau masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonominya, yaitu dalam melakukan produksi, distribusi dan konsumsi terhadap
barang dan jasa.257
Dalam realitasnya, mekanisme pasar tidak dapat bekerja sendiri (laissezfaire)
sebagaimana
diyakini
dalam
teori-teori
ekonomi.
Kondisi
ini
mengisyaratkan perlunya campur tangan pemerintah, terutama menyangkut
kebijakan publik. Mekanisme koordinasi penyediaan barang-barang dan jasa
dilaksanakan melalui hirarki yang dilakukan berdasarkan perintah dan kontrol
oleh pemegang otoritas dan kewenangan. Dengan demikian kebijakan publik pada
dasarnya merupakan rencana-rencana kelembagaan (ekonomi) yang menentukan
seperangkat pilihan individu maupun publik.
Pengertian lembaga ekonomi seringkali juga diartikan sebagai produk
tertulis seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Ketetapan MPR, Perda,
AD ART suatu organisasi dan lain-lain. Di samping itu, lembaga juga dapat
diartikan sebagai produk tidak tertulis seperti kebiasaan, adat istiadat, cara-cara
257
Paul R. Gregory dan Robert C Stuart, Comparative Economic System (Boston:
Houghton Muffin Company, 1981), hal. 16.
97
yang biasa dilakukan oleh suatu masyarakat dalam melaksanakan produksi,
distribusi dan konsumsi. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka
perbedaan sistem ekonomi suatu negara dengan lainnya adalah terletak pada
faktor-faktor meta ekonomis seperti pandangan hidup suatu bangsa, nilai-nilai
yang dijunjung tinggi, kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat.
Sistem perekonomian menurut Frans Seda bisa terbentuk melalui berbagai
cara, di antaranya adalah; pertama, terbentuk dari tradisi secara turun temurun,
yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat. Cara
kedua, sistem ekonomi terbentuk dari hasil pemikiran seseorang. Sebagai contoh,
sistem kapitalis digagas oleh Adam Smith dan para pendukung dari mazhab
Klasik, kemudian sistem sosialis atau komunis dirancang oleh Karl Marx,
Friedrich Engels, Lenin, dan sebagainya. Cara ketiga, sistem ekonomi dibentuk
melalui “pembaharuan”, baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar. Cara
keempat, sistem ekonomi diciptakan secara terrencana dalam bentuk “cetak biru”
sebagai kerangka pola tindakan guna menghadapi berbagai masalah sosial,
ekonomi, dan politik yang timbul di masyarakat.258 Cara terakhir ini menegaskan
bahwa pembicaraan tentang ekonomi, terutama tentang sistem ekonomi sangat
ditentukan oleh faktor politik.
Dalam pembahasan ekonomi politik, berbagai keputusan menyangkut
kebijakan publik (public policies) yang terdiri dari serangkaian pilihan yang saling
berhubungan, dilaksanakan oleh pemerintah sesuai institusi ekonomi dan politik
yang ada. Kebijakan tersebut diformulasikan dalam berbagai bidang isu yang
bermuara pada kesejahteraan terkait dengan nilai-nilai ekonomi, sosial, politik dan
budaya.259
Bentuk dari suatu kebijakan sangat ditentukan oleh pola keterlibatan
pelaku kebijakan (policy stakeholders), yaitu individu-individu atau kelompok
individu yang mempunyai akses dalam perumusan kebijakan. Para pelaku
258
Frans Seda, Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru
Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1992).
259
William M. Dunn , Pengantar Analisis Keuangan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1999), hal. 110.
98
kebijakan (kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen
pemerintah, pemimpin terpilih, para analis kebijakan dan lain-lain) memiliki
persepsi yang berbeda terhadap informasi yang sama mengenai lingkungan
kebijakan.
Lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan suatu konteks
khusus di mana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi. Dengan
demikian, lingkungan ini mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan publik.
Dalam hubungan yang bersifat dialektis tersebut, dimensi obyektif dan subyektif
dari pembuatan kebijakan menjadi tidak dapat dipisahkan di dalam prakteknya.
Dalam diskursus ekonomi
Islam,
campur tangan negara dalam
perekonomian merupakan suatu keniccayaan. Karena alasan inilah beberapa ulama
menyebut negara Islam (ideal) dengan sebutan Daulah Ri‟ayah (negara yang
mengurusi kehidupan rakyat). Menurut Chapra, Intervensi tersebut diperlukan
untuk menjamin keselarasan perekonomian dengan norma-norma Islam.260 Dalam
hal ini, pemerintah berperan menyediakan berbagai barang publik untuk
mendorong
pembangunan
dan
perkembangan
kesejahteraan
masyarakat,
khususnya pada hal-hal yang dinilai sebagai kewajiban layanan publik atau PSO
(Public Service Obligation), yakni sektor pendidikan, kesehatan, dan inftrastruktur
(jalan, jembatan, listrik, air, telepon, dan lainnya).
Sistem kebijakan adalah produk subyektif manusia yang terbentuk melalui
pilihan-pilihan sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas
obyektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut
konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan.
Dalam ekonomi Islam tiga komponen itu baik pelaku kebijakan, lingkungan
kebijakan maupun kebijakan publik itu sendiri harus selalu berpedoman pada
syariah.
Secara historis, kompleksitas persoalan keuangan publik yang semakin
besar dengan semakin mapannya daulah Islam menjadi alasan mengapa tidak
260
M. Umer Chapra, Masa depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001), hal. 63.
99
semua sumber pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan nashnash syar‟i. Dalam hal ini banyak persoalan yang harus diputuskan dengan ijtihad,
dengan mempertimbangkan kontekstualitas.261 Orang pertama yang dinilai berani
melakukan kontekstualisasi ini adalah Khalifah Umar bin Khaththab. Berdasarkan
ijtihadnya, ia adalah yang pertama menetapkan pos-pos pemasukan keuangan
publik baru yang sebelumnya tidak dikenakan;262 memutuskan untuk tidak
menyerahkan tanah taklukan kepada para tentara, namun tetap di tangan pemilik
awal dengan kewajiban membayar pajak dan jizyah;263 ia juga menetapkan
pungutan „usyur kepada penduduk Manbij (Hierapolis).264
Dalam
sejarah
Islam,
sebagaimana
dicontohkan
Nabi
sendiri,
sesungguhnya mengadopsi tradisi dan praktik pra-Islam atau yang telah ada tidak
menjadi persoalan selama tidak bertentangan dengan ketentuan dasar Islam.
Praktik yang ada bisa diadopsi dengan modifikasi tertentu agar sejalan dengan
maqashid al-syari‟ah. Berdasarkan pertimbangan itu, bisa dipahami bila Khalifah
Umar menerima sistem perpajakan tanah masa Sasaniyah setelah merevisi
ketetapan tingkat pajak, pengumpulan dan administrasinya. Karena itu, Umar
menyerahkan tanah kepada para penyewa dan menjadikannya sebagai pemilikan
umum umat Islam dan menetapkan pajak, yang kemudian disebut kharaj,265 atas
tanah tersebut.
Lebih jauh, tidak hanya mengadopsi dan mengadaptasi sistem pajak
peradaban lain, Khalifah Umar bahkan juga merasa perlu merekontekstualisasikan
beberapa kebijakan publik yang telah diberlakukan masa Nabi Muhammad SAW.
Contoh jelas dari upaya ijtihad tersebut adalah kebijakan pembagian tanah
261
„Abd Wahhab Khalaf, Al-Siyasah al-Syar‟iyyah, hlm. 102-103.
Misalnya dalam bidang zakat (sebagai salah satu sumber pemasukan negara saat itu)
untuk kuda, war (rumput herbal untuk bahan kosmetika), karet, hasil laut dan sebagainya. Lihat
Ugi Suharto, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak (Yogyakarta: PSZ STIS,
2004), bab 6. Abu Ubayd, tokoh utama yang dikaji dalam penelitian Ugi, dipandang sebagai ulama
yang banyak mendukung dan mengikuti gagasan-gagasan Khalifah Umar.
263
Abu Yusuf menceritakan kisah Khalifah Umar ini; bagaimana ia bermusyawarah
tentang pembagiannya, bagaimana tanggapan para tokoh, dan sebagainya di berbagai tempat dalam
Kitab al-Kharaj, hlm. 23-27, 35, 68-69, dan 140-141. Lihat juga Abu Ubayd, Kitab al-Amwal
(Beirut: Dar al-Kutub, 1986), hlm. 65
264
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 26-27.
265
Abu Ubayd, Kitab al-Amwal, hlm. 65.
262
100
ghanimah. Pada masa Rasul tanah yang diperoleh dari penaklukan dengan perang
akan dibagikan seperlima kepada negara dan kebutuhan sosial (bagian ini dikenal
dengan sebutan khums), serta sisanya dibagikan untuk mereka yang ikut
berperang.266
Ketika
banyak
daerah
yang ditaklukkan, Khalifah Umar
memutuskan untuk tidak membagi-bagikan tanah tersebut sebagaimana ditentukan
dalam Q.S Al-Anfal (8): 41. Tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap dimiliki oleh
para pemilik semula dengan kompensasi membayar kharaj dan jizyah. Dengan
demikian, tanah-tanah tersebut diperlakukan sebagaimana tanah fay‟.267
Nabhani menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi Islam, kebijakan
ekonomi publik harus menggunakan jizyah dan kharaj sebagai sumber pemasukan
negara. Jizyah merupakan pungutan yang ditetapkan bagi penduduk kuffar sebagai
kewajiban mereka terhadap pemerintah. Pajak ini tidak akan dikenakan lagi bila
mereka telah memeluk Islam.268 Ketentuan mengenai jizyah tersebut berbeda
dengan kharaj. Kharaj ditetapkan kepada semua warga negara (baik Muslim
maupun non-Muslim) yang tinggal di tanah taklukan (ekspansi wilayah) baik
melalui perang maupun perjanjian damai.269 Dalam hal ini, warga negara
diwajibkan membayar pajak kharaj dengan asumsi bahwa mereka telah
menempati tanah milik negara.
Persoalan besar dalam diskusi tentang relevansi kebijakan fiskal dalam
Islam dengan pajak dalam ekonomi modern tentu hanya bisa dilakukan dalam
bingkai prinsip-prinsip kebijakan publik secara umum. Pembatasan ini harus
dilakukan mengingat adanya rentang waktu yang sangat panjang. Bahkan bila
tidak dilakukan pembatasan ini, maka diskusi tentang keuangan publik Islam
justru akan kehilangan relevansinya.
Sebagai ilustrasi, pada masa awal Islam, pendapatan pemerintah dari
sektor ghanimah, fay dan jizyah adalah menjadi sumber pemasukan negara yang
266
Ketentuan pembagian ini didasarkan pada Q.S. Al-Anfal (8): 41
Menurut definisi Yahya ibn Adam, ghanimah adalah segala sesuatu yang diperoleh
dari musuh dengan cara perang, sedangkan yang diperoleh dengan cara damai disebut dengan fay‟
(yaitu berupa kharaj dan jizyah). Lihat kitabnya, Al-Kharaj, hlm. 121.
268
Taqy al-Din al-Nabhani, The Economic System of Islam, hal. 228-229
269
Ibid., hal. 230
267
101
sangat urgen. Demikian juga, pengeluaran pemerintah untuk keperluan perluasan
wilayah dan menjaga perbatasan sangat besar. Bila pembahasan kita saat ini masih
berkisar pada persoalan-persoalan tersebut, dengan pendekatan legal reasoning
atau judicial oriented, dan bukannya dengan pendekatan historis, maka sudah
tentu diskusi tersebut hanya berhenti pada tataran teoritis.
Namun bila kita menggunakan kerangka pendekatan epistemologis,
sesungguhnya konsep dan praktek perpajakan di zaman modern tidak berbeda
dengan apa yang disinggung dalam kitab-kitab tentang kebijakan publik periode
awal Islam. Abu Yusuf dan Qudamah ibn Ja‟far dan Ibn Taimiyyah misalnya,
lebih dari seribu tahun yang lalu telah menjelaskan teori dan praktek jizyah dan
usyr dalam suatu pemerintahan Islam, dengan konsep yang sangat mirip dengan
teori modern “kapasitas fiskal” yang mencakup “keadilan horizontal dan vertikal.”
Literatur konvensional tentang kebijakan publik banyak memberikan
perhatian pada kriteria keadilan dalam kebijakan pajak. Kriteria ini menyatakan
bahwa masing-masing pembayar pajak harus memberikan bagian yang adil dari
kepemilikannya untuk pembiayaan pemerintah. “Bagian yang adil” tersebut,
dalam ekonomi konvensional, pada umumnya diukur dengan dua cara. Pertama,
pengukuran yang mengacu kepada prinsip manfaat dan kedua, mengacu kepada
prinsip kemampuan membayar.270 Sedangkan prinsip manfaat menyatakan bahwa
setiap pembayar pajak memberikan kontribusi senilai dengan manfaat yang akan
diterimanya dari layanan publik.271
Lebih jauh, prinsip kemampuan membayar dalam ekonomi konvensional
menyatakan
bahwa
masyarakat
harus
memberikan
sumbangan
terhadap
pengeluaran pemerintah sesuai dengan kemampuan mereka untuk membayar.272
Berdasarkan prinsip ini, maka warga negara wajib pajak yang memiliki
kemampuan yang sama dalam membayar pajak harus membayar dengan jumlah
yang sama pula. Demikian juga, warga yang memiliki kemampuan lebih harus
270
R.A. Musgrave dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice
(Singapura: McGraw Hill, 1987), hlm. 228-229.
271
Ibid., hlm. 229.
272
Ibid.
102
membayar lebih.
Struktur sistem pajak dalam ekonomi Islam masa awal, sebagaimana
digagas oleh para tokoh, menfokuskan pada kriteria kesamaan dan penekanan
utama mereka adalah pada prinsip kemampuan untuk membayar. Untuk
menegaskan kembali, Ibn Taimyyah yang didahului oleh Abu Yusuf, menyatakan
bahwa penguasa memiliki wewenang untuk mengurangi atau meningkatkan pajak
sesuai dengan kemampuan (produktifitas) tanah dan kemampuan pembayar
pajak.273 Demikian juga, tingkat beban jizyah (dan pajak lainnya) tidak ditetapkan
di awal. Tingkatan tersebut mempertimbangkan situasi dan kondisi pembayar
pajak.
Abu Yusuf menyebut prinsip pemungutan pajak yang didasarkan kepada
nilai yang tidak tetap dengan istilah muqasamah.274 Menurutnya, tingkat pajak
semestinya tidak ditetapkan di awal dengan nilai yang pasti,275 namun harus
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan prosentase penghasilan (pajak
proporsional). Sistem ini menuntut adanya pembedaan tingkat pajak menurut
pendapatan mereka.
Sebagai
contoh
kasus
penerapan
sistem
tersebut,
Abu
Yusuf
mengemukakan sistem pajak yang berlaku di Sawad pada masa Khalifah Umar.
Sebelum menetapkan prosentase pajak, Khalifah telah membentuk sebab dewan
yang ditugaskan untuk mengukur luas tanah Sawad serta meneliti kapasitas
finansialnya. Dari survei yang dilakukan, luas tanah tersebut adalah 36000000
acre.276 Berdasarkan masukan dewan, Khalifah menetapkan besarnya pajak adalah
satu dirham untuk setiap jarib (ukuran tanah) dan satu qafiz gandum atau barley
(sejenis gandum) untuk daerah (tanah) yang dilalui sungai. Jumlah ini merupakan
sepertiga dari jumlah pajak yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas
kekuasaan sebelumnya.277
273
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hlm. 85
Abu Yusuf membahas persoalan itu secara khusus dalam sub-bab yang
berjudul “Apa yang Seharusnya Dilakukan di Sawad.”
275 Sistem perpajakan yang telah ditetapkan nilainya disebut dengan wazifah
274
276
Abu Yusuf, Kharaj, hal. 36
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam, hlm. 84 dan Adi Warman Karim,
Sejarah Pemikiran, 68
277
103
Dengan menganalisis sistem pajak yang diterapkan di Sawad, Abu Yusuf
berpendapat bahwa sistem yang seharusnya diberlakukan adalah sistem
muqasamah.278 Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang digunakan dalam penetapan
pajak di Sawad adalah:279
1) Tingkat produktifitas tanah
2) Elastisitas income demand terhadap tanah pertanian
3) Biaya irigasi
4) Situasi tanah terkait dengan pasar
Beberapa abad setelah pandangan itu dikeluarkan, Adam Smith juga
menetapkan bahwa perlindungan pemerintah untuk masyarakat dalam menutupi
beban umum harus sesuai dengan kemampuan dan ketentuan. Ukuran tersebut
didasarkan pada tingkat pemasukan, dan inilah yang dimaksud bahwa kewajiban
membayar pajak harus disesuaikan dengan kemampuan finansial.280
Selain penekanan pada “kemampuan membayar,” Abu Yusuf juga
menyarankan penerapan prinsip kemanfaatan umum dalam pembiayaan layanan
publik. Lagi-lagi, gagasan ini mengingatkan kepada teori pengacuan pada
“kemanfaatan” dalam ekonomi konvensional sebagaimana telah disinggung di
atas. Seperti telah kita lihat sebelumnya, kewajiban seorang dzimmy membayar
usyr adalah dikatikan dengan manfaat yang akan mereka peroleh, yaitu demi
keamanan atau “ijin gangguan.” Asas yang sama, menurut Abu Yusuf, juga
diterapkan untuk proyek-proyek pembangunan. Para petani misalnya, yang telah
mengambil manfaat langsugn dari proyek irigasi, maka harus berpartispasi secara
proporsional dalam pembiayaan proyek tersebut.281
Ibn Taimiyyah vis a vis J.M. Keynes
Dengan memperhatikan konsep ekonomi makro Ibn Taimiyyah, dapat
278
279
Ibid., hlm 48.
M. Sarra Nezhad, “Tribute (Kharaj) as a Tax on Land is Islam,” dalam International
Journal of Islamic Financial Services, Vol. 5, No. 1.
280
Gazi Inayah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan dan
N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995), hlm. 44-45.
281
Ibid., hlm. 109-110.
104
ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya Ibn Taimiyyah tidak menempatkan
peranan negara dalam bentuk intervensi yang memukul dasar komitmen kepada
kapitalisme laissez-faire. Ia juga bukan dalam bentuk negara sejahtera sekular. Ia
adalah suatu tugas „amr ma‟ruf nahy munkar. Yakni, peranan positif kewajiban
moral untuk membantu mewujudkan kesejahteraan bagi semua orang dengan
memantapkan
keseimbangan
antara
kepentingan
pribadi
dan
sosial,
mempertahankan sistem ekonomi agar tetap selaras dengan garis kebijakan yang
telah disepakati, mencegah penyelewengan demi mengejar kepentingan pribadi.
Semakin besar motivasi yang dimiliki rakyat untuk mengamalkan nilainilai Islam, dan semakin efektif institusi-institusi sosio-ekonomi dalam
menciptakan suatu keseimbangan antara sumber-sumber daya dan penggunaannya
dalam mewujudkan maqashid, maka akan semakin kecil peranan negara dalam
perekonomian. Tetapi menurut Ibn Taimiyyah, bagaimanapun perannya, negara
tidak boleh bertindak sewenang-wenang; ia harus tetap berada dalam batas-batas
syari‟ah. Sebab baginya tujuan pembentukan negara adalah untuk menegakkan
supremasi syari‟ah.
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, esensi pemikiran Keynes adalah
penolakan terhadap konsep klasik yang menyatakan bahwa tingkat full
employment dijamin secara otomatis. Keynes memunculkan gagasan mengenai
pentingnya peranan pemerintah untuk mengatasi depresi yang terjadi pada
masanya, Dasar filsafatnya adalah bahwa kesejahteraan individu merupakan
tujuan yang sangat penting, yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi
kekuatan pasar. Upaya Keynes telah berhasil memperkenalkan pendekatan
ekonomi yang lebih luas dan meruntuhkan keyakinan kaum klasik akan keagungan
laissez-faire.
Dalam pemikiran Ibn Taimiyyah, kebijakan fiskal diharapkan dapat
melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam suatu negara. Proses
pengalokasian penggunaan sumber daya, distribusi dan redistribusi pendapatan
dan kekayaan, serta penggunaan kebijakan anggaran belanja sebagai alat stabilitas
harga, kesempatan kerja yang tinggi, harus memberi suatu manifestasi
105
keprihatinan sosial dan moral yang jelas, di samping kesejahteraan material.
Gagasan fiskal Ibn Taimiyyah yang didasarkan atas prinsip keadilan dan
pemerataan distribusi ini, memungkinkan suatu negara untuk memecahkan
masalah fungsi fiskal dengan cara yang relatif mudah.
Sifat mementingkan kesejahteraan manusia dalam keuangan publik ini
diperoleh dari gagasan zakat,
yang mengandung potensi menuju perbaikan
masyarakat untuk kepentingan si miskin dan lapisan masyarakat yang memerlukan
bantuan. Zakat yang dipungut dari kaum muslimin dapat juga digunakan untuk
kesejahteraan golongan non muslim. Selain itu, Ibn Taimiyyah menekankan
bahwa pembayaran zakat bagi kaum muslimin bukan saja sebagai kewajiban
terhadap negara, namun juga sebagai pelaksanaan kewajiban keagamaan. Jadi,
pungutan zakat mempunyai dimensi ganda.
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, pemikiran full-employment Keynes tidak
ia maksudkan sebagai tindakan moral ataupun agama.282) Baginya kesejahteraan
hanya akan dapat dicapai dengan filsafat materialis. Ia menyatakan, “We were
immoralists... recognized no moral obligation... no inner sanction to conform or
obey... the prime objects in live are love, the creation and enjoyment of aesthetic
experience and the pursuit of the knowledge... morals are unnecessary.”283)
Dengan demikian, latar belakang pemikirannya adalah kenyataan bahwa kaum
pengangguran secara tidak langsung akan menjadi beban, sehingga merugikan
kesejahteraan ekonomi makro.
Gagasan Keynes lebih menekankan konsumsi dan pemilikan materi
sebagai sumber kebahagiaan manusia. Keynes tidak mengindahkan peranan nilai
moral reformasi individu maupun sosial, dan terlalu berlebihan menekankan
peranan negara. Ia tidak memiliki komitmen kepada persaudaraan dan keadilan
sosio-ekonomi.284) Pandangan yang bersifat duniawi ini tidak memberikan suatu
282
E. F. Schumacher, Kecil itu Indah; Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil,
terj. S. Supomo, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 29
283
Sebagaimana dikutip oleh Gerhard W. Ditz, “Smith and Keynes, Religious Differences
in Economic Philosophy”, dalam Bijdragen Tijdschrift voor Filosofie en Theologie No. 49, tahun
1988, hal. 80
284
Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1995), hal. 7
106
dasar rasional apapun selain materialisme. Dalam kerangka kerja ini tidak ada
motivasi untuk memenuhi kepentingan sosial kecuali bila ia secara otomatis
merupakan hasil tidak langsung dari tujuan utama mereka.
Dengan mengambil stuktur perpajakan Islam menurut pemikiran Ibn
Taimiyyah, maka akan terlihat bahwa suku tertinggi (khums) adalah untuk barangbarang mineral, barang rampasan perang, barang-barang perhiasan yang berharga
dan sebagainya. Dalam bidang pertanian yang tergantung dari curah hujan, tingkat
pajak panenan („usyr) adalah sepuluh persen Dalam bidang pertanian irigasi,
tingkat pajak adalah nisf al-‟usyr, yakni lima persen. Selain itu, terhadap aset-aset
lainnya baik akumulasi-akumulasi kekayaan, maupun simpanan (tabungantabungan) yang tidak diinvestasikan, tingkatnya justru paling rendah, yakni 2,5%
per annum. Dengan demikian, tampak bahwa tingkat pajak itu lebih tinggi
manakala unsur kesempatan produktifnya (element of change) lebih besar.
Sebaliknya; tingkat pajak akan lebih rendah jika kontribusi tenaga kerjanya lebih
banyak. Lebih jauh, lembaga zakat telah mendorong orang menggunakan
simpanan atau tabungan-tabungan mereka untuk meningkatkan pertumbuhan
sampai lebih dari 2% atau 2,5% per annum; atau jika belum mencapai empat
puluh tahun, pemilik asset-asset ini akan memiliki passiva atau hutang
terakumulasi (accumulated liabilities). Atas dasar deduktif kumulatif tahunan ini,
penurunan harga tahunan (depresiasi) seperti itu akan memerlukan waktu yang
kurang dari empat puluh tahun.285 Dengan demikian, kita melihat bahwa di bawah
sistem pembelanjaan sebagaimana diuraikan Ibn Taimiyyah, mobilisasi tabungan
tidak akan berpengaruh secara merugikan.
Menurut Keynes, kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi tingkat
permintaan masyarakat akan terkait dengan marginal propensity to consume
(MPC) dan juga marginal propensity to save (MPS).286 Untuk meningkatkan
kesempatan
285
kerja,
pemerintah
dapat
meningkatkan
pengeluarannya
dan
Muhammad Uzair, “Dasar-Dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan Keuangan
Islam”, dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian
Islam, Achmad, Amrullah dkk,. ed., (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 129.
286
Victoria Chik, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General
107
menurunkan tingkat bunga sehingga MPC akan naik dan MPS akan turun. Lebih
tingginya keinginan untuk berkonsumsi dan juga lebih rendahnya tingkat bunga
kredit akan mendorong lebih tingginya tingkat investasi dalam masyarakat dan
terbukanya kesempatan kerja.
Ibn Taimiyyah tidak memperkenankan campur tangan pemerintah untuk
mempengaruhi tingkat permintaan masyarakat seperti gagasan Keynes tersebut.
Dalam kerangka pemikiran ekonomi Ibn Taimiyyah, tingkat investasi yang tinggi
dapat terbentuk dengan institusi zakat. Zakat akan mempengaruhi perilaku
tabungan dan investasi. Untuk menghindari “hukuman” zakat terhadap harta yang
tidak dijalankan, orang akan cenderung; (1) Meningkatkan propensity to consume,
atau (2) Menggunakan tabungannya untuk investasi, yang berarti menurunkan
propensity to save.287) Selain itu, tidak dibenarkannya pengenaan bunga dalam
Islam mestinya memberi dorongan yang lebih besar bagi deposit untuk
memobilisasikan investasi dalam kerangka bagi hasil.288)
Dalam hal output, Ibn Taimiyyah mensyaratkan pengeluaran sebagai dasar
pertimbangan utama untuk mengatur pemasukan. Hal ini berdasarkan persyaratan
yang telah ditentukan bahwa suatu negara (Islam) harus menyediakan kebutuhan
minimum pokok bagi semua warga negaranya, bahkan kewajiban ini juga
dibebankan kepada setiap warga negara.289) Oleh karena itu, bila penghasilan
zakat belum memenuhi persediaan pokok bagi si miskin, selalu terdapat
kemungkinan lain untuk perpajakan tambahan di luar zakat, asal saja digunakan
dengan cara yang benar.
Apa yang dikemukakan Ibn Taimiyyah tersebut sangat berbeda dengan
pendapat Keynes. Ia tidak menawarkan gagasan mengenai kriteria untuk
pengeluaran sektor publik. Penyembuhan utama dalam resepnya adalah
Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983), hal. 317
287
F. R. Faridi, “Zakat and Fiscal Policy”, dalam Readings in Islamic Fiscal Policy, Sayed
Afzal Peerzade, ed., (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1996), hal. 77. Lihat juga Monzer
Kahf, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), hal. 77-8.
288
Umer Chapra, Al-Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hal. 194
289
Ibn Taimiyyah, Majmu‟ Fatawa, XXIX, hal. 194
108
mempertahankan permintaan agregat pada level full employment. Pemerintah
dapat melakukan hal ini dengan menambah atau mengurangi pengeluaran untuk
kepentingan bermacam-macam belanja, seperti pertahanan dan infrastruktur fisik,
pendidikan, kesejahteraan maupun kesehatan. Keynes tidak menyinggung masalah
prioritas. Yang terpenting baginya adalah bahwa pengeluaran publik (dalam
bentuk apapun) akan mengangkat daya beli masyarakat, sehingga akan
merangsang sektor produksi dan investasi, dan pada gilirannya akan meningkatkan
pendapatan nasional (yang berarti akan menghapus pengangguran).
Walaupun gagasan sistim fiskal Ibn Taimiyyah sebagaimana dikemukakan
di atas masih sederhana, namun dapat ditunjukkan bahwa sistem pajak itu bersifat
elastis dan dinamis. Misalnya, golongan harta benda yang terkena zakat (dan
pajak) tidak dipertahankan secara kaku. Ia menyetujui kebijakan untuk melakukan
sejumlah perubahan sistem zakat, berdasarkan pertimbangan maslahah suatu
negara.290 Baginya, zakat merupakan cara untuk mencapai tujuan, bukan tujuan itu
sendiri.
Sedangkan dalam gagasan Keynes, secara singkat dapat dikatakan bahwa
sikap ekonominya lebih mementingkan cara daripada tujuan. Maka, sebagaimana
dikatakan Keynes sendiri, hal ini akan melenyapkan kebebasan dan kemampuan
manusia untuk memilih tujuan ideal yang benar-benar dikehendaki, karena
perkembangan cara akan menentukan pilihan tujuan.
Tujuan paling umum dari pembangunan ekonomi menurut Keynes adalah
untuk memaksimalkan pendapatan nasional atau tingkat pertumbuhan ekonomi.
Untuk tujuan ini, ia menetapkan suatu peranan yang lebih besar bagi pemerintah
dalam suatu manajemen permintaan efektif terutama melalui kebijakan fiskal.
Dalam hal ini, Keynes menganjurkan anggaran defisit.
Keadilan yang Lebih Luas
Keadilan telah diartikan secara beragam. Ibn Hazm misalnya, keadilan
adalah terjaminnya kebutuhan minimum pokok bagi semua warga negara. Untuk
290
Lihat misalnya penafsirannya tentang mu‟allafat qulubuhum pada bab III, hal. 72.
109
tujuan inilah zakat dan fai‟ dialokasikan. Jika keduanya tidak mencukupi, maka
tugas itu menjadi tanggungjawab pemerintah.291 Abu Yusuf menambahkan bahwa
jizyah yang dikenakan kepada zimmi harus dialokasikan untuk kepentingan
perlindungan bagi harta kekayaan dan usaha mereka. Oleh karena itu, wanita,
anak-anak, dan orang tua tidak dikenakan jizyah.292
Dari apa yang mereka ungkapkan, dapat ditarik benang merah bahwa
keadilan (dalam kebijakan pemerintah) berarti adanya timbal balik antara hak dan
kewajiban.
Lebih
tegas
lagi,
al-Gazali
menyatakan
bahwa
pemerintah
berkewajiban menolong warga negara yang menderita kesusahan karena masa
paceklik, kelangkaan barang, dan tingginya harga-harga kebutuhan pokok.
Pemerintah berkewajiban mengeluarkan pembiayaan untuk mereka yang diambil
dari bait al-mal.293 Pandangan al-Gazali tersebut sejalan dengan pandangan yang
dikemukakan oleh Jassas ketika menafsirkan surat Yusuf.294
Dalam kerangka kajian ini, suatu perekonomian dikatakan telah mencapai
taraf keadilan jika barang dan jasa yang dihasilkan didistribusikan sedemikian
rupa, sehingga kebutuhan semua orang terpenuhi secara memuaskan, dan terdapat
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, serta tidak memberikan
pengaruh yang merugikan terhadap kesempatan kerja, motivasi usaha, tabungan
dan investasi.
Pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap pemerataan pendapatan maupun
kesempatan kerja memiliki keistimewaan tertentu yang membedakannya dengan
pendekatan yang diterapkan dalam sistem ekonomi Keynesian. Keistimewaan
yang paling menonjol adalah bahwa pendekatan Ibn Taimiyyah terhadap
pemberantasan kemiskinan merupakan sebuah kewajiban yang bersifat ganda
(perintah agama dan kewajiban sebagai warga negara).295
291
Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba‟ah an-Nahdah, 1347), VI, hal. 156.
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, hal. 272-3. Demikian juga pendapat yang dikemukakan
oleh Imam asy-Syafi‟i, dalam al-Umm, V, hal. 50.
293
Abu Hamid al-Gazali, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba‟ah
Khairiyyah, tt. ), hal. 94.
294
Jassas, Ahkam al-Qur‟an, (Kairo: Matba‟ah Salafiah, 1395), III, hal. 176
295
Ibn Taimiyyah, Al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah, 1976), hal
95. Lihat juga, Ibn Taimiyyah, as-Siyasah as-Syar‟iyyah fi Islah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟iyyah, (Mesir:
292
110
Kebijakan fiskal diharapkan memainkan peranan yang penting dalam
upaya pemberantasan kemiskinan dan menjaga agar pendapatan dan kekayaan
yang adil terpelihara dalam batasan-batasan yang diterima oleh perekonomian
Islam. Al-Qur‟an dan as-Sunnah tidak menetapkan suatu sistem keuangan yang
kaku. Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah sebagaimana dikemukakan pada bab III
telah menunjukkan hal ini. Islam tidak mengikat negara dengan ukuran pajak
tertentu, suatu negara bisa saja mempunyai kebijakan yang berlainan dengan
negara lain. Dalam hal ini ia menekankan akan pentingnya memperhatikan realitas
sosial yang melingkupinya.296) Penekanan yang utama sebagaimana disinyalir Ibn
Taimiyyah adalah pada tanggung jawab negara untuk memberikan penyelamatan
pada kaum fakir miskin, dan dalam konteks inilah maka pengumpulan dan
pendistribusian zakat pada setiap bagian negara merupakan suatu kewajiban.
Meskipun Ibn Taimiyyah menekankan bahwa pajak maupun zakat
seharusnya dibebankan dan didistribusikan dengan mempertimbangkan nilai-nilai
keadilan,297) namun harus disadari bahwa keduanya tidak akan memperkaya kaum
miskin. Paling tidak, pajak dan zakat diharapkan dapat berfungsi untuk
menghapus ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Data dari negara-negara
tertentu menunjukkan, zakat (tidak termasuk pajak) memiliki potensi untuk
mengalihkan 3% sampai 4% hasil kotor domestik setiap tahun kepada penduduk
miskin.298)
Dari bahasan-bahasannya, jelas sekali bahwa Ibn Taimiyyah sangat
menekankan agar berbagai kebijakan yang digunakan oleh suatu negara
berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan sosial. Menurutnya, hal ini hanya
dapat dicapai bila pemerintahan bersikap adil dan menganggap kepemimpinannya
sebagai kepercayaan (amanat) yang diberikan oleh rakyat. Oleh karena itu dalam
Dār al-Kitab al-„Arabiy, 1969), hal. 178
296
Lihat bab III, hal. 75
297
Ibn Taimiyyah, As-Siyasah, hal. 11, 46
298
Ziauddin Ahmad, Al-Qur‟an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj. Ratri
Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 51. Lihat juga, Sahri Muhammad,
“Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas Brawijaya” dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, no.
9, vol. II, 1991 M/1411 H, hal. 97. Meskipun masih dalam lingkup yang sangat terbatas,
eksperimen ini menunjukkan suatu hasil yang menjanjikan.
111
suatu perekonomian Islam, semua kebijakan dapat diambil asal tetap berpegang
pada fungsi tersebut. Dalam hal ini, anggaran defisit sebagaimana dianjurkan
Keynes, bisa saja diterima, dengan catatan jika data-data menunjukkan terjadinya
peningkatan hasil dari negara peminjam dan ada kemampuan untuk membayar
hutang itu.299)
Namun, hemat penyusun, pemakaian defisit anggaran harus diperhitungkan
dengan cermat. Sebab, sekali suatu negara menggunakan anggaran defisit (yang
berarti bergantung pada bantuan asing), maka sangat sulit untuk keluar dari
ketergantungan tersebut.300 Sebab, kebijakan pemotongan pengeluaran yang
tinggi, atau penaikan pajak yang berlebihan yang dituntut oleh pengembalian
selalu tidak dapat diterima secara politis maupun publik.301) Banyak negara
penerima bantuan hanya involve sedikit dalam proyek-proyek yang didanai dengan
hutang luar negeri. Menurut Sritua Arief, terakumulasinya hutang luar negeri ini
terjadi karena dua hal, pertama, nilai cicilan plus bunga yang lebih besar dari nilai
hutang baru yang diterima, kedua, merosotnya nilai tukar (terms of trade) produkproduk ekspor dari negara-negara ini ke negara-negara maju.302
Penghasilan dari pajak tidak bisa ditingkatkan seiring dengan pengeluaran,
karena dasar-dasar perpajakan yang terbatas dan ketidakefisienan serta korupsi
administrasi perpajakan yang biasanya terjadi di negara-negara berkembang
seperti indonesia. Selain itu, pajak yang terlalu tinggi akan merusak dunia
299
Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The Islamic Foundation,
1995), hal. 303.
300
Kenyataan empiris menunjukkan, jumlah hutang negara sedang berkembang naik dari
U.S. $ 49 billion (1970) menjadi U.S. $ 157 billion (1976), lalu menjadi U.S. $ 816 (1982),
melambung ke angka U.S. $ 908 billion di tahun 1984, berlipat menjadi U.S. $ 1216 (1986), dan
membengkak lagi menjadi U.S. $ 1662 billion di tahun 1992. Lihat, Munrokhim Misanam,
“Hutang Luar Negeri dan Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, makalah pada
Saresehan Politik Pendidikan Islam dan Ekonomi Islam, PPs. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
tgl. 27 Feb. 2000, hal. 3.
301
Indonesia merupakan contoh yang paling konkrit untuk menerangkan hal ini. Walaupun
pengeluaran pemerintah disusun berdasarkan anggaran berimbang, namun secara substansial selalu
defisit. Lebih buruk lagi, alokasi dari anggaran itu tak begitu efektif untuk menstimulasi
perekonomian karena menghadapi berbagai persoalan pelik seperti kultur birokrasi yang korup,
dan sumber pendanaan yang diperoleh dari utang. Akibatnya, upaya pemerintah untuk
menstimulasi kebutuhan ekonomi selalu dibarengi dengan akumulasi hutang. Di samping itu,
dampak lanjutan (multiplier effect) dari kebijakan tersebut tidak maksimal.
302
Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998), hal.
112
investasi dan output, sehingga pada akhirnya menyebabkan lambannya
pertumbuhan ekonomi.303)
Untuk mengatasi keadaan ini, pemerintah tidak
mungkin lagi menggunakan resep Keynes, karena persoalan yang mendasarinya
sama sekali telah berbeda dengan konteks sekarang. Sebagaimana sering
ditekankan oleh Keynes sendiri, bahwa persoalan ekonomi adalah persoalan
jangka pendek.
Kritik yang sering dilontarkan terhadap teori Keynes adalah bahwa ia
mempostulasikan
investasi
semata-mata
berfungsi
sebagai
alat
untuk
memperbesar permintaan efektif. Keynes tidak banyak mempersoalkan kandungan
suatu investasi. Banyak negara berkembang yang mendukung teori Keynes, Pihak
pengambil keputusan ekonomi nasional di negara-negara tersebut melakukan
upaya-upaya yang efektif untuk mengarahkan investasi ke sektor-sektor yang
produktif. Apa yang terjadi adalah kegiatan investasi yang mendukung rentier
consumption.304 Semakin besar dana investasi disalurkan untuk tujuan investasi
seperti ini, maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan persediaan barang
modal yang dapat digunakan untuk tujuan reproduksi.
Keseluruhan perangkat kebijaksanaan Keynes kendati mengandung tujuantujuan pemerataan dan perluasan kerja, masih dianggap oleh banyak pihak sebagai
perangkat kebijakan ekonomi yang sangat berorientasi kepada pertumbuhan.
Redistribusi dijalankan melalui pertumbuhan, bukan bersama pertumbuhan.
Sementara itu banyak kalangan yang melontarkan pendapat bahwa kebijaksanaankebijaksanaan yang telah dijalankan untuk menghadapi gejolak-gejolak eksternal
yang berpengaruh negatif terhadap ekonomi Indonesia dianggap sebagai
kebijaksanaan yang hanya bersifat stop-gap measures. Sebagai stop-gap measures
kebijaksanaan-kebijaksanaan ini kurang mengandung bobot strategis untuk jangka
panjang
sehingga
dikhawatirkan
tujuan-tujuan
jangka
panjang
proses
238
303
Abdelhameed Bashir dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies, and
Economic Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam Economic Growth and Human
Resource Development in an Islamic Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International
Institute of Islamic Thought, 1993), hal. 99
304
Sritua Arief, Teori dan Pengantar, hal. 8
113
pembangunan menjadi semakin jauh dari jangkauan. Dikhawatirkan strategi
perdagangan luar negeri yang pragmatis dapat menjadi lebih dominan dalam
wawasan pembangunan disubordinasikan terhadap strategi perdagangan luar
negeri bukan sebaliknya.
Pemakaian kebijakan fiskal sebagai teknik stabilisasi jangka pendek pada
prakteknya menghadapi masalah, yakni kurang efektif. Perubahan tingkat pajak,
khususnya perubahan pajak pendapatan, adalah tidak praktis dan memakan waktu
yang lama; demikian juga halnya dengan proporsi yang besar dari pengeluaran
pemerintah untuk, misalnya, pembangunan sekolah, jalan, rumah sakit dan
pertahanan nasional, menggambarkan komitmen ekonomi dan sosial jangka
panjang dan perubahannya tidak mudah dilakukan tanpa melalui prosedur
formalitas perundingan politik yang cukup panjang. Demikian juga perubahan
dalam pajak atau pengeluaran mengakibatkan efek pengganda (multiple effect),305
tetapi untuk jangka waktu panjang yang tidak dapat ditentukan.
Selain itu, penggunaan kebijakan fiskal untuk mempertahankan agar
perekonomian tetap berjalan pada tingkat permintaan agregat yang tinggi untuk
mencapai penggunaan tenaga kerja penuh sering mengarah pada inflasi yang
disebabkan oleh permintaan (demand-pull inflation).
Karena suatu kebijaksanaan pajak agaknya kurang efektif dalam
mempromosikan keadilan dan kesamaan sosial, maka dalam konteks masyarakat
yang berorientasi kepada kemakmuran, seperti masyarakat Islam, perencanaan
perekonomian dan kebijaksanaan pembelanjaan jangka menengah yang memberi
prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat menjadi sangat penting. Yang penulis
maksudkan dengan kebijaksanaan jangka menengah di sini adalah kebijakan yang
menetapkan serangkaian target untuk kebutuhan pinjaman sektor publik (publicsector borrowing requirement). Dengan demikian, tujuan dari kebijakan ini adalah
untuk memberi kesempatan lebih bagi sektor swasta dalam kancah perekonomian.
Prioritas luas bagi pembelanjaan masyarakat ini harus sejalan dengan
305
Yaitu perubahan semula dari pengeluaran akan bertambah dan menyebar dalam
ekonomi secara keseluruhan.
114
seluruh tuntutan untuk menjamin keadilan sosial baik statis maupun dinamis.
Implikasi langsung dari pernyataan ini adalah bahwa, akan harus ada suatu
pembagian yang adil antara kebutuhan konsumsi langsung dengan kebutuhan
pembentukan modal (investasi).
Secara umum belanja masyarakat haruslah mencerminkan kenyataan
bahwa dalam perekonomian Islami, negara harus memainkan peranan penting,
tidak hanya sebagai satu katalis melainkan juga sebagai agen perubahan yang
aktif, dalam proses dinamis menggerakkan perekonomian ke arah cita-cita Islam.
Di bidang kebijaksanaan stabilitasi, negara juga akan terlibat dalam proyek-proyek
untuk menciptakan kesempatan kerja di daerah-daerah minus dan juga untuk
membangkitkan permintaan efektif pada saat depresi.
Meskipun negara memainkan peran yang penting, namun harus dijaga
jangan sampai kebijakannya menafikan peran swasta. Hal ini akan berakibat
pengebirian kreativitas swasta dalam menciptakan output. Selain itu, pemerintah
hendaknya juga dapat mengelola fungsi zakat dengan baik, sebab sebagaimana
uraian sebelumnya, zakat mempunyai potensi yang luar biasa untuk menciptakan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
115
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
Abu Ubayd, Kitab al-Amwal (Beirut: Dar al-Kutub, 1986)
Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj, (Kairo: al-Matba‟ah as-Salafiah wa Maktabatuha, tt.)
Ahmad, Ziauddin, Al-Qur‟an, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, terj.
Ratri Pirianita, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998)
al-Faruqi, Isma‟il Raji, Tawhid: Its implications for Thought and Life,
(Pensylvania: The International Institut of Islamic Thoughts, 1982.
al-Gazali, Abu Hamid, at-Tibr al Masbuk fi Nasaikh al-Muluk, (Kairo: Matba‟ah
Khairiyyah, tt. ).
al-Maqrizi, Ahmad ibn „Ali, Kitab as-Suluk li Ma‟rifah Duwal al-Muluk, Mustafa
Ziyada dan Said „Abd al-Fattah, ed., (Kairo: Lajnah at-Ta'lif wa atTarjamah, 1973)
Al-Mawardi , Abu Hasan „Ali ibn Muhammad, Al-Ahkam as-Sultaniyyah, (Kairo:
„Isa al-Babi al-Halabi, 1969)
Amin, Ahmad, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fikih Islam, (Jakarta: INIS,
1991)
Amin, Ibn „Abidin Muhammad, Radd al-Mukhtar „ala ad-Durr al-Mukhtar
(Hasyiyah Ibn „Abidin), (Mesir: Matba‟ah al-‟Amirah, 1376)
Arief, Sritua, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, (Jakarta: CIDES, 1998)
As-Suyuti, Jalal ad-Din „Abd ar-Rahman, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa
al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1968)
Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought
(New Delhi: Goodword Books, 2004)
Azwar, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta:
Rajagrafinso Persada)
Az-Zahir, Khalil ibn Syahin, Zubdah Kasyf al-Mamalik, (Kairo: Matba‟ah alJumhuriyyah, 1984)
Bashir, Abdelhameed dan Ali F. Darrat, “Human Capital, Government Policies,
and Economic Growth: Some Evidence for Muslim Countries” dalam
Economic Growth and Human Resource Development in an Islamic
Perspective, Ehsan Ahmed, ed., (Herndon: The International Institute of
Islamic Thought, 1993)
Boediono, Ekonomi Makro, ed. 4, (Yogyakarta: BPFE, 1999)
Boyes, William J., Macroeconomics: The Dinamics of Theory and Policy, (Ohio:
South Western Publishing Co., 1982)
116
Brockelmaan, History of Islamic Peoples, (New York: G. P. Putnam‟s Sons, 1944)
Cairncross, Alec, Introduction to Economics, (London: Butterworth & Co. Ltd.,
1944)
Case, Karl E. dan Ray C. Fair, Principles of Economics, (New York: Prentice Hall
International, 1997)
Chapra M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The
Islamic Foundation, 1995)
__________________, Al-Qur‟an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj.
Lukman Hakim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997).
Chener, Moh. Ben, “Ibn Taimiya”, dalam First Encyclopaedia of Islam, M.
Houstsma, A. J. Weinsinch, T. W. Arnold, W. Hefening, E. Levi
Provencal, ed., (Leiden: E. J. Brill, t.t.).
Chik, Victoria, Macro Economic after Keynes: a Reconsideration of the General
Theory, (Oxford: Philip Allan Publisher, 1983)
Ditz, Gerhard W., “Smith and Keynes, Religious Differences in Economic
Philosophy”, dalam Bijdragen Tijdschrift voor Filosofie en Theologie No.
49, tahun 1988
Dunn, William M., Pengantar Analisis Keuangan Publik (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1999)
Essid, Yassine, A Critique of the Origins of Islamic Economic Thoughts, (Leiden:
E.J. Brill, 1995)
Faridi, F. R., “Zakat and Fiscal Policy”, dalam Readings in Islamic Fiscal Policy,
Sayed Afzal Peerzade, ed., (Delhi: Adam Publisher & Distributors, 1996)
Ghiffari, Noor Muhammad, Book of Finance (Islamabad: Institute of Islamic
Studies).
Gibb H. A. R., Studies on the Civilization of Islam, (Princeton: Princeton
University Press, 1982), hal. 212-13
__________________, dan J. H. Kramers, “Ibn Taimiyyah”, dalam Shorter
Encyclopaedia of Islam, Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed.,
(Leiden: E. J. Brill, 1961).
Goldziher, Ignaz, “Ibn Taimiyyah” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics,
James Hastings, ed., (Eddinburgh: T. & T. Clark, 1990)
Gordon, Myron J., Finance, Invesment, and Macroeconomics: The Neoclassical
and Post Keynesian Solution, (Aldershot: Elgar Adward Pub., 1994)
Gregory, Paul R. dan Robert C Stuart, Comparative Economic System (Boston:
Houghton Muffin Company, 1981)
Harrod, R. F., The Life of John Maynard Keynes oleh Deliarnov, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995)
117
Hefner, Robert W., Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan
Demokrasi, terj. Amirudin dan Asyhabudin, (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Hourani, Albert, A History of the Arab Peoples, (New York: Warner Books, 1992)
Humpreys, Ian J., Understand Economics, terj. Kencanawati Tamiran dan Giato
Widianto, (Jakarta: ARCAN, 1989)
Ibn Hazm, al-Muhalla, (Mesir: Matba‟ah an-Nahdah, 1347)
Ibn Kasir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, 1981)
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Istanbul: Dar Qahraman wa al-Tawzi‟,
1984)
Ibn Manzur, Lisan al-Araby (Kairo: Dar al-Mishriyyah, t.t.).
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar‟iyah fi Islah al-Ra‟i wa al-Ra‟iyah, (Kairo: Dar
al-Kitab al-‟Arabi, 1969).
_________________, „Idah ad-Dalalah fi Umum ar-Risalah, (Mesir: Idarah atTaba‟ah al-Muniriyyah, tt.).
_________________, al-Hisbah fi al-Islam, (Beirut: Dār al-Kutub al-Arabiyyah,
1976)
_________________, Kitab at-Tawasul wa al-Wasilah, (Mesir: Matba‟ah alManar, tt.),
_________________, Majmu‟ Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibn Taimiyyah,
„Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-„Asimiy, (ed.) (Riyad:
Matabi‟ al-Riyad, 1398H).
Inayah, Gazi, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, terj. Zainudin Adnan
dan N. Falah (Yogya: Tiara Wacana, 1995)
Iqbal, Munawar, Financing Public Expenditure: An Islamic Perspective (Jeddah:
IRTI, 2004).
Iqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New
Delhi: Kitab Bhavan, 1981)
Isaacs, Alan dan Elizabeth Martin, (ed.), Dictionary of 20th Century Biography
(Harlow: Market House Books Ltd., 1985)
Islahi, Abdul Azim, Economic Concepts of Ibn Taimiyyah,
Islamic Foundation, 1988)
(Leicester: The
Jalal ad-Din „Abd al-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuti, Al-Asbah wa al-Nazair,
(Semarang: Taha Putra, t.t.)
Jassas, Ahkam al-Qur‟an, (Kairo: Matba‟ah Salafiah, 1395).
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam, terj. Masrohin, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995)
118
Kahf, Monzer, Ekonomi Islam: Analisis Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj.
Machnun Husein, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
Karim, Khalil Abdul, Sejarah Perkelahian Makna, terj. Kamran As‟ad
(Yogyakarta: LkiS, 2003), hal 66.
Keraf, Sonny, “Keadilan, Pasar Bebas, dan Peran Pemerintah: Telaah atas Etika
Politik Ekonomi Adam Smith”, dalam PRISMA, 9 Sept. 1995
________________, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah: Telaah atas
Etika Politik Ekonomi Adam Smith, (Yogyakarta: Kanisius, 1996)
Keynes J. M. Keynes, Tract on Monetary Reform, (London: Macmillan, 1950)
_______________, Teori Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga, dan Uang,
terj. Willem H. Makaliwe, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1991)
_______________, The General Theory of Employment, Interest and Money,
(London: Macmillan, 1936).
Khalaf, „Abd al-Wahhab, al-Siyasah al-Syar‟iyyah (al-Munirah: Matba‟ah alTaqaddum, 1977)
Khan, Qamaruddin, The Political Thought of Ibn Taimiyyah, (Delhi: Adam
Publiser & Distributors, 1992)
Klein, Lawrence R., The Keynesian Revolution, (New York: Mac Millan, 1954)
Kurihara, Kenneth K., “Distribution, Employment and Secular Growth”, dalam
Post Keynesian Economics, Kenneth K. Kurihara, ed., (New Jersey:
Rutgers University Press, 1954)
Laoust, Henry. “Ibn Taymiyya” dalam Encyclopaedia of Islam, B. Lewis, V. L.
Menage, Ch. Pellat, dan J. Schacht, ed., (London: Luzac & Co., 1971), vol.
III, hal. 951.
Lapidus, Ira M., Muslim Cities in the Later Middle Ages, (Cambridge:
Massachussetts, 1967)
Levanoni, Amalia, A Turning Point in Mamluk History (The Third Reign of alNasir Muhammad ibn Qalawun 1310-1341), (Leiden: E. J. Brill, 1995)
Little Donald P., “The Historical and Historiographical Significance of the
Detention of Ibn Taimiyyah” dalam International Journal of Middle East
Study (IJMES), IV, 1973
________________, “Did Ibn Taimiyya Have a Screw Loose ?” dalam Studia
Islamica, no. 42, 1975, hal. 95.
Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Islam dan
Masalah Keagamaan, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Madjid, Nurcholish, “Argumen untuk Keterbukaan, Moderasi dan Toleransi
(Beberapa Pokok Pandangan Ibnu Taimiyah)”, dalam Islam: Antara Visi,
119
Tradisi, dan Hegemoni dan bukan Muslim, Mochtar Prabottinggi, ed.,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986)
Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: PSEI STIS,
2003)
Mannan, Muhammad Abdul, Islamic Economic: Theory and Practice, terj. M.
Nastangin, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993).
Meera, Ahamed Kameel Mydin dan Syed Nazmul Ahsan, “Al-Kharaj and Related
Issues: A Comparative Study of Early Islamic Scholarly Thoughts and
Their Reception by Western Economists,” dalam Abulhasan M. Sadeq dan
Aidit Ghazali (ed.), Readings in Islamic Economic Thought (Kuala
Lumpur: Longman Malaysia, 1992).
Minsky, Hyman P., "Keynes, John Maynard", dalam Encyclopedia Americana,
Bernard S., dkk. ed., vol. 16, (Danbury: Grolier Incorporated, 1983)
Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1995)
Muhammad, Sahri, “Eksperimen Zakat Masjid Raden Fatah, Universitas
Brawijaya” dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, no. 9, vol. II, 1991 M/1411 H
Musgrave, R.A. dan P.B. Musgrave, Public Finance in Theory and Practice
(Singapura: McGraw Hill, 1987)
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983)
Oran, Ahmad dan Salim Rashid, “Fiscal Policy in Early Islam,” dalam Sayed
Afzal Peerzade, Readings in Islamic Fiscal Policy (Delhi: Adam
Publisher, 1996)
Parkin Michael dan Robin Bade, Macroeconomics, (New Jersey: Prentice-Hall,
Inc., 1992)
Petry, Carl F., “A Paradox of Patronage during the Later Mamluk Periode”, dalam
The Muslim World, vol. LXXIII, Januari 1983
Qardawi, Yusuf, Fiqh az-Zakah, (Beirut: Dar al-Irsyad, tt.)
Rahardjo, M. Dawam, “Fungsionalisasi zakat dalam Pencapaian Kesejahteraan
Sosial”, dalam Islam dan Kemiskinan, Putut Widjanarko, ed., (Bandung:
Pustaka, 1988).
Rupp, E. G., “Keynes”, dalam Encyclopaedia Britanica, vol. 13, Warren E.
Preece, dkk., ed, London: William Benton Publisher, 1965, hal. 320
Salim, M. Arskal G. P., Etika Intervensi Negara: Perspektif Etika Politik Ibnu
Taimiyyah, (Jakarta: LOGOS, 1999).
Samuelson, P. A., Economics an Introductory Analysis, (New York: McGraw
Hill, 1958)
Sayuti, Husn al-Muhadarah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, (Kairo: Dar Ihya al-
120
Kutub al-Arabiyah, tt.)
Schumacher, E. F., Kecil itu Indah; Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat
Kecil, terj. S. Supomo, (Jakarta: LP3ES, 1983)
Seda, Frans, Frans Seda-Simfoni Tanpa Henti- Eknomi Politik Masyarakat Baru
Indonesia (Jakarta: Grasindo, 1992).
Shemesh, A. Ben, Taxation in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1965).
Sjadjali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-Press, 1993)
Smith, Adam, An Inquiry into the Nature and the Wealth of Nations, Edwin
Cannan, ed., (New York: The Modern Library, 1985)
Soule, George, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994)
Stewart, Michael, Keynes and After, (Harmondsworth: Penguin Books, 1967)
Stoddard, L., Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., (Jakarta: Panitia Penerbit
Dunia Baru Islam, 1966).
Suharto, Ugi, Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak
(Yogyakarta: PSZ STIS, 2004)
Sukirno, Sadono, Pengantar Teori Makroekonomi, (Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 1996)
Sumarsono, “Pendapatan dan Belanja Negara dan Deregulasi Ekonomi dalam
Ekonomi Islam” dalam Berbagai Aspek Ekonomi Islam, M. Rusli Karim,
ed., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992)
Surur, Agus Miftahus, “Pasar, Negara, Manusia: Membedah Anatomi Teori
Ekonomi”, dalam GERBANG, Vol 05, no. 02, Okt.-Des.1999
Tsuru, Shigeto, “Keynes versus Marx: The Methodology of Agregrates”, dalam
Kenneth K. Kurihara, (ed.), Post Keynesian,
Uzair, Muhammad, “Dasar-Dasar Sosio Ekonomi Sistem Kebijaksanaan
Keuangan Islam”, dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan
Prospek Gerakan Perekonomian Islam, Achmad, Amrullah dkk,. ed.,
(Yogyakarta: PLP2M, 1985)
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991)
Ward, Richard A., The Economic and Financial System, (Scranton: International
Texbook Company, 1970)
Wijaya, Faried M., Ekonomikamakro, ed. 3, (Yogyakarta: BPFE, 1987)
Wright, David McCord, The Keynesian System, (New York: Fordham U.P., 1962)
Zahrah, Muhammad Abu, Ibn Taimiyah Hayatuhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Bairut :
121
Dar al-Fikr al-Arabi, t.t.).
________________, Ibn Taimiyyah: Hayatuhu wa Asruhu Ara‟uhu wa Fiqhuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
________________, Usbu‟ al-Fiqh al-Islami wa Mahrajan al-Imam Ibn
Taimiyyah, (Kairo: Matu'at al-Majlis al-A‟la li Ri‟ayat al-Funun wa alAdab wa al-‟Ulum al-Ijtima‟iyyah, t.t.)
122
Indeks
Great Gap
Isma‟il Raji
Monzer Kahf
maqashid al-syari‟ah
Abu Yusuf
Abu Ubaid
al-Mawardi
ibn Khaldun
Al-Ghazali
ibn Taimiyah
John Maynard Keynes
Qudamah ibn Ja‟far
invisible hand
kebijakan fiskal
al-kharaj
al-amwal
al-ahkam al-sulthaniyyah
Mu‟awiyah ibn Ubaid Allah
al-Mahdi
Qudamah ibn Ja‟far
Abu Zakariyya Yahya ibn Adam
Qudamah ibn Ja‟far
Abu Ubayd
Abu Humaid ibn Zanjawaih
Abu Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi
keuangan publik
Abu Yusuf
Thomas Aquinas
Yahya ibn Adam
Qudamah ibn Ja‟far
Humaid ibn Zanjawaih
Ja‟far ibn Nashr al-Dawudi
Abu al-Hasan al-Mawardi
Abu Ya‟la al-Farra‟
Abu Ya‟la
Hanbali
Al-Mawardi
Syafi‟i
Abu Ya‟la al-Farra‟
Hanafi
Maliki
Khalifah Harun al-Rasyid
katib (kolektor dan administrator pajak)
123
Adam Smith
Libertian
campur tangan negara
ekonomi pasar
perdagangan bebas
laissez-faire
pasar monopoli
barang publik
full employment
John Maynard Keynes
Download