BAB VII Sistem Pengembangan Usaha Perikanan

advertisement
7
7.1
SISTEM PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP
DI PROVINSI RIAU
Komponen yang Berperan dan Keterkaitannya dalam Pengembangan
Usaha Perikanan Tangkap
Langkah akhir setelah melakukan kajian terhadap tiga topik penelitian, yaitu
(1) perkembangan usaha perikanan tangkap sebelum dan setelah pemekaran di
perairan Provinsi Riau (Bab 4), yang mencakup kondisi perikanan tangkap
Provinsi Riau sebelum dan setelah berpisahnya Kepulauan Riau, (2) evaluasi
sumberdaya ikan unggulan (Bab 5), yang mencakup alokasi hasil tangkapan,
sumber daya ikan unggulan yang dapat dikembangkan, jenis teknologi pilihan
untuk menangkap sumber daya ikan unggulan, alokasi optimum terhadap alat
penangkapan ikan, dan (3) faktor konflik dalam pengembangan perikanan tangkap
(Bab 6), yang mencakup identifikasi terhadap tipologi konflik, menganalisis
konflik yang terjadi dan faktor-faktor penyebabnya serta melakukan evaluasi
terhadap kelembagaan yang menangani konflik, adalah menyusun sistem
pengembangan perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau.
Kajian terhadap tiga topik dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan dalam menyusun sistem pengembangan perikanan tangkap di perairan
Provinsi Riau khususnya dan perairan lain pada umumnya dengan penyesuaian
berdasarkan kondisi masing-masing.
Dahuri (2002) mengemukakan bahwa penciptaan perikanan berkelanjutan
harus mencakup tiga hal, yaitu ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial. Charles
(2001) menyatakan hal yang lebih konservatif, bahwa unsur kelembagaan yang
terlibat sangat diperlukan untuk melengkapi ketiga unsur tersebut agar sumber
daya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Fauzi dan Anna (2005) juga menyatakan bahwa pembangunan perikanan
tangkap harus didekati dengan pendekatan menyeluruh (holistic) yang
menyangkut beberapa aspek, seperti: ekologi (tingkat eksploitasi, keragaan
rekruitmen, perubahan ukuran tangkap, dan sebagainya), ekonomi (tingkat
subsidi, kontribusi perikanan terhadap GDP, penyerapan tenaga kerja dan
sebagainya), sosial (pertumbuhan komunitas, status konflik, tingkat pendidikan,
dan sebagainya), teknologi (produktivitas alat, selektivitas alat, ukuran kapal, dan
sebagainya), dan etik (illegal fishing, mitigasi terhadap habitat dan ekosistem,
sikap terhadap limbah dan bycatch, dan sebagainya). Dari setiap aspek tersebut,
ada beberapa atribut yang harus dipenuhi, karena merupakan indikator
keberhasilan pembangunan perikanan tangkap dan juga sekaligus menjadi
indikator keberlanjutannya.
Monintja (2001) modifikasi dari Kesteven (1973) mengemukakan bahwa
komponen-komponen utama dari sistem perikanan tangkap adalah sumber daya
ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat (nelayan), prasarana pelabuhan, sarana
penunjang (galangan kapal, bahan alat tangkap ikan, dan mesin kapal), unit
pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen tersebut sangat
menentukan dalam upaya mewujudkan perikanan tangkap bertanggungjawab.
Pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab pada dasarnya ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya nelayan, memenuhi
kebutuhan pangan, dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan beserta
lingkungannya.
Pengembangan usaha perikanan tangkap di Perairan Provinsi Riau sudah
seharusnya diarahkan untuk pembangunan perikanan tangkap bertanggungjawab
yang akan terwujud jika setiap komponen utama dari sistem perikanan tangkap
dapat berjalan secara optimum dan terintegrasi. Belum adanya perencanaan yang
terintegrasi dalam pengembangan komponen-komponen usaha perikanan tangkap
di Perairan Provinsi Riau menyebabkan komponen-komponen tersebut tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga aktivitas pengembangan usaha
perikanan tangkap belum optimum.
Komponen yang berperan dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di
perairan Provinsi Riau, adalah :
1)
Sumber daya ikan
Perubahan wilayah administrasi yang terjadi di Provinsi Riau memberikan
dampak terhadap penurunan jumlah produksi hasil tangkapan di provinsi ini.
Pemulihan
terhadap
kondisi
ini
perlu
dilakukan
upaya-upaya
untuk
mengembalikan kondisi produksi perikanan tangkap seperti semula, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pemilihan terhadap sumber daya
181
ikan yang memiliki nilai ekonomis penting dengan ketersedian yang cukup untuk
dapat dikembangkan secara lestari dan berkelanjutan.
Pengembangan perikanan tangkap tidak dapat dipisahkan dari daya dukung
(carrying capacity) komponen penyusun perikanan tangkap. Daya dukung sumber
daya perikanan tangkap merupakan faktor penting diperhatikan karena sumber
daya perikanan sangat rentan terhadap perubahan. Khususnya sumber daya ikan,
karena merupakan sumber daya hayati yang dipengaruhi oleh perubahan yang
terjadi di dalam maupun di luar ekosistem banyak dipengaruhi oleh perubahanperubahan eksternal dan internal, sebagai akibat perubahan lingkungan biotik dan
abiotik.
Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumber daya perikanan pada
kondisi yang seimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya tidak melebihi kemampuan
sumber daya untuk memperbaharui diri. Tingkat pemanfaatan masing-masing
sumber daya perikanan berbeda bergantung pada ukuran masiong-masing sumber
daya perikanan. Informasi mengenai sumberdaya ikan sangat diperlukan dalam
merencanakan pengembangan perikanan tangkap bertanggungjawab di suatu
wilayah perairan. Penyediaan informasi sumberdaya ikan dalam bentuk kuantitatif
seperti angka perkiraan potensi sangat ditentukan oleh ada tidaknya data dasar.
Tingkat eksploitasi sumber daya ikan di Perairan Provinsi Riau perlu
dikendalikan agar kelestarian sumber daya ikan tersebut dapat dijaga dan
dipertahankan. Pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik antara stakeholder
(nelayan, pemilik armada penangkapan dan pemerintah) dapat mengendalikan
tingkat eksploitasi sumber daya dan meningkatkan efisiensi, manfaat dan
keuntungan aktivitas penangkapan.
Sumber daya ikan di Provinsi Riau dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan dari
dalam provinsi maupun dari luar, seperti dari Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi
Jambi bahkan nelayan dari luar Indonesia, seperti Malaysia, Singapura dan
Thailand.
King (1995) mengemukakan bahwa agar penangkapan suatu jenis ikan
tertentu dan yang berlangsung di perairan tertentu dapat berlangsung terus
menerus maka status sumber daya ikan tersebut harus dikaji untuk menentukan
kemampuan rekrutmen sumber daya ikan tersebut. Di samping estimasi stok yang
182
tepat, faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan strategi pengelolaan.
Hasil analisis terhadap sumber daya ikan unggulan untuk menduga potensi
lestari dengan metode Schaefer menunjukkan bahwa secara teoritis pemanfaatan
sumber daya ikan di perairan Provinsi Riau relatif masih baik. Hal ini terlihat
dengan masih adanya peluang peningkatan pemanfaatan yang cukup besar.
Pemilihan terhadap sumber daya ikan unggulan pada Bab 5 berdasarkan
pada analisis pasar dapat diketahui jenis-jenis komoditi yang mempunyai potensi
untuk pasar lokal, pasar antar daerah maupun pasar internasional atau pasar dunia.
Sumber daya ikan unggulan di perairan Provinsi Riau berdasarkan aspek
pemasaran untuk perairan Selat Malaka Kabupaten Bengkalis adalah ikan kurau,
malung, senangin, bawal putih dan udang putih, sedangkan sumber daya ikan
unggulan untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah ikan
kurau, udang mantis, bawal putih, malung dan tenggiri.
Pengelolaan sumber daya ikan dalam pengembangan perikanan tangkap di
Provinsi Riau dapat berupa pembatasan hasil tangkapan dan tingkat upaya
penangkapan, pengaturan mesh size dan menentukan teknologi penangkapan
pilihan.
2)
Teknologi penangkapan pilihan
Pemanfaatan sumber daya ikan yang dilakukan oleh masyarakat, umumnya
menggunakann berbagai jenis alat tangkap dengan berbagai tingkatan teknologi
penangkapan ikan. Penggunaan teknologi penangkapan ikan memiliki variasi
pada setiap jenis alat tangkap
dan sangat bergantung pada skala usaha
penangkapan ikan, karena semakin kompleks teknologi yang digunakan, maka
semakin besar juga modal yang dibutuhkan. Tingkatan penggunaan teknologi
penangkapan ikan juga akan meningkatkan produktivitas suatu jenis alat tangkap
ikan, dengan demikian jumlah dan jenis alat tangkap yang dioperasikan akan
menentukan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan dan pada akhirnya akan
berdampak terhadap potensi sumber daya ikan.
Tahap awal penelitian untuk menentukan jenis teknologi penangkapan
pilihan adalah menentukan alat tangkap yang dominan menangkap sumber daya
unggulan untuk dikembangkan. Bab 5 memaparkan, di perairan Selat Malaka
183
Kabupaten Bengkalis terdapat empat alat tangkap dominan yaitu rawai (longline),
jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring atom (trammel net) dan jaring apollo
(trammel net), untuk perairan Laut Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir adalah
rawai (longline), jaring kurau (bottom drift gillnet), jaring insang (gillnet), jaring
udang (trammel net).
Penentuan teknologi pilihan untuk menangkap sumber daya ikan unggulan
berdasarkan aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan di perairan Selat
Malaka Kabupaten Bengkalis menempatkan jaring kurau pada urutan pertama
diikuti rawai, jaring atom dan jaring apollo. Munculnya konflik di perairan ini
yang disebabkan oleh beroperasinya jaring kurau (dijelaskan secara rinci pada
Bab 6) menyebabkan dalam pengembangan perikanan tangkap di perairan
Kabupaten Bengkalis alat ini tidak disarankan. Teknologi pilihan di perairan Laut
Cina Selatan Kabupaten Indragiri Hilir secara berurutan adalah jaring insang,
rawai, jaring udang dan jaring kurau.
Garcia et al. (2001) mengemukakan bahwa pada tahap awal dalam
pemanfaatan sumber daya perikanan yang stoknya masih berlimpah, penekanan
pengembangan
umumnya
dengan
pertimbangan
sektor
ekonomi
saja.
Bertambahnya pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya akan
mengancam status stok sumber daya tersebut, pada tahap ini pemanfaatan sumber
daya perikanan harus memperhatikan unsur sosial dan lingkungan agar
pemanfaatan sumber daya tersebut berkelanjutan.
Salah satu sarana penting dalam rangka memanfaatkan sumberdaya ikan di
laut adalah unit penangkapan ikan berupa kapal dan alat penangkap ikan.
Pengaturan terhadap jumlah optimum dari unit penangkapan ikan dilakukan untuk
mewujudkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang optimal dan
berkelanjutan.
3)
Masyarakat (nelayan)
Salah satu faktor yang dapat mendukung upaya pengembangn perikanan
tangkap di Provinsi Riau adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang
memenuhi kualitas dan kuantitas, yaitu nelayan, pengusaha di bidang perikanan
dan instituai lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam
pengembangan.
184
Pengelolaan sumber daya manusia memegang peranan penting karena
kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang dilakukan oleh manusia, sehingga menurut Nikijuluw
(2002), selain perubahan-perubahan alamiah, faktor manusia merupakan variabel
penting yang menentukan status eksploitasi dan potensi sumber daya perikanan.
Sayangnya, faktor manusia seringkali tidak diperhitungkan secara serius atau
diremehkan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, karena seringkali manusia
diposisikan sebagai subyek pengelolaan. Pengelolaan sumber daya ikan pada
hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaatkan sumber
daya ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku
mereka dalam hal eksploitasi dan pengelolaan sumber daya.
Pengembangan sumber daya manusia dalam suatu kegiatan pembangunan
adalah upaya-upaya yang dilaksanakan untuk pengembangan kemampuan diri
dalam penguasaan teknologi dalam pemanfaatan sumber daya ikan secara efisien
dan efektif guna menghasilkan suatu output/produk yang ekonomis dan
mempunyai nilai dan daya saing yang tinggi. Pemberdayaan nelayan diupayakan
untuk memberikan alternatif terbaik bagi nelayan untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan sumber daya
manusia khususnya nelayan adalah :
(1)
Melakukan pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan untuk
meningkatkan kinerja usaha nelayan
(2)
Penyediaan sarana prasarana yang dapat meningkatkan potensi nelayan
Jumlah signifikan nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan di
perairan Provinsi Riau (Bab 4), beragamnya jenis alat tangkap yang dapat
menangkap satu jenis ikan dan kebijakan tata ruang masing-masing kabupaten
yang ada di provinsi ini perlu mendapat perhatian besar dalam menentukan sistem
pengembangan perikanan tangkap. Jika beberapa aspek diabaikan dalam
pengelolaan bersama sumber daya perikanan maka konflik akan muncul karena
berbedanya kepentingan masing-masing pihak.
Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu tujuan
pembangunan perikanan dan kelautan, selama ini dilaksanakan dengan upaya
185
peningkatan produksi, namun berdasarkan hasil kajian-kajian peningkatan
produksi tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan. Hal ini
dikarenakan sebagian keuntungan dimiliki oleh unit usaha lain yang bergerak di
bidang pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Arah pengembangan perikanan
tangkap sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan dilaksanakan melalui
upaya meningkatkan nilai tambah hasil perikanan baik melalui usaha penanganan
dan pengolahan hasil serta terlibat secara langsung dalam pemasaran hasil
perikanan (perikanan tangkap terintegrasi), sehingga keuntungan yang tadinya
dimiliki oleh pihak lain (tauke) dapat kembali lagi pada masyarakat nelayan.
Untuk itu pengembangan perikanan tangkap tidak terlepas dengan upaya
pengembangan sumberdaya manusia nelayan itu sendiri dan pengembangan
kelembagaan masyarakat nelayan guna meningkatkan posisi tawar dari
masyarakat nelayan dengan kelembagaannya.
Upaya lain yang dilaksanakan untuk pengembangan kelembagaan
masyarakat
nelayan adalah penumbuhan usaha
kemitraan
yang saling
menguntungkan antara nelayan dengan pihak pengusaha perikanan, kegiatan ini
dimaksudkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya konflik antara
nelayan dengan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan
dengan pihak pemerintah sebagai fasilitatornya.
4)
Kelembagaan
Pengelolaan sumber daya ikan perlu dilandasi oleh dukungan data dan
informasi serta teknologi sebagai bahan penyusunan berbagai formulasi rencana
kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut, maka diperlukan adanya
aransemen institusional yang bisa
menata kelembagaan yang tepat guna.
Aransemen institusional disini dapat berupa instansi pemerintah, lembaga
penelitian, lembaga pendidikan, swasta, masyarakat yang kesemuanya berada
dalam satu kerangka kerja kelembagaan.
Kelembagaan merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan
berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat adalah penguatan untuk melahirkan
kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat diperkuat implementasi
hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila
dibarengi dengan implementasi hukum yang kuat. Ketersediaan kelembagaan
186
dalam pengembangan perikanan tangkap sangat diperlukan terutama dalam
penentuan kebijakan dan upaya menciptakan perikanan yang berkelanjutan.
Peningkatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan diyakini akan
memperlancar jalannya berbagai fungsi kelembagaan, baik fungsi-fungsi di
bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, hukum maupun
lingkungan hidup. Berjalannya fungsi-fungsi kelembagaan dalam bidang tersebut
secara optimal dipahami akan mampu mengentaskan lembaga-lembaga yang ada
dari krisis multidimensi. Fungsi-fungsi kelembagaan tersebut secara statik ada di
dalam tata kelembagaan (institutional arrangement) dan secara dinamik ada di
dalam mekanisme kelembagaan (institutional framework) (Purwaka 2008).
Kapasitas kelembagaan terdiri atas (Purwaka 2008) :
1)
Kapasitas potensial kelembagaan (potencial capacity), yaitu kemampuan
terpendam sumber daya manusia dari suatu organisasi kelembagaan yang
siap untuk digunakan secara optimal guna melaksanakan tugas pokok dan
fungsi organisasi kelembagaan.
2)
Daya dukung kelembagan (carrying capacity), yaitu kemampuan sumber
daya manusia untuk menanggung beban atau melaksanakan sejumlah
pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang terkandung di dalam
posisi tersebut.
3)
Daya tampung kelembagan atau daya lentur (absorptive capacity), yaitu
kemampuan untuk mengantisipasi perubahan sehingga tidak mempengaruhi
keberadaan atau eksistensi kelembagaan dari organisasi kelembagaan dan
hasil pekerjaannya
Kapasitas kelembagaan yang terlibat dalam pengembangan perikanan
tangkap di Provinsi Riau perlu ditingkatkan guna memenuhi kualitas dan kuantitas
yang diperlukan dalam pengembangan. Terutama dalam pengelolaan konflik
pemanfaatan sumber daya yang telah terjadi di perairan Kabupaten Bengkalis dan
sebagai
upaya
pencegahan
terjadinya
konflik
pemanfaatan.
Komponen
kelembagaan memegang peranan penting dalam pengembangan perikanan
tangkap, karena kemajuan teknologi alat penangkapan ikan yang terjadi di
Kabupaten Bengkalis justru menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber
daya ikan. Kemajuan teknologi dan kebutuhan konsumsi ikan yang meningkat
187
belum dikuti dengan
mekanisme pengaturan yang
sistematis terhadap
pemanfaatan sumber daya ikan.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pengembangan perikanan
tangkap di Perairan Provinsi Riau dilakukan melalui: 1) intensifikasi penangkapan
ikan,
2)
pengaturan
penambahan/rasionalisasi
armada
penangkapan,
3)
penanganan/pasca panen dan pengendalian mutu hasil tangkapan, 4) pelaksanaan
standarisasi
mesin
kapal
dan
alat
tangkap,
5)
pengaturan
penambahan/rasionalisasi armada penangkapan, dan 6) pengendalian pemanfaatan
sumber daya perikanan dilakukan dengan sistem pengawasan oleh masyarakat
(community based fisheries management) dan pemberdayaan PPNS dan aparat
pengawas lainnya.
Intensifikasi
penangkapan
ikan
dilakukan
untuk
pemanfaatan sumber daya ikan unggulan yang tersedia
mengoptimalkan
dengan cara-cara
penangkapan yang bertanggung jawab, di antaranya; (1) pembentukan
kelembagaan nelayan dan koperasi primer nelayan (2) meningkatkan peran
masyarakat khususnya tokoh masyarakat dalam penyelesaian konflik yang terjadi,
(3) terbangunnya pranata sosial masyarakat nelayan yang menerapkan prinsipprinsip penangkapan ikan yang bertanggung jawab, (4) meningkatkan fungsi
lembaga pengawasan yang melibatkan SNKB, Lembaga Non Pemerintah, Dinas
Perikanan dan Kelautan dan pengusaha perikanan dalam pemanfaatan sumber
daya ikan di perairan Provinsi Riau.
Berdasarkan analisis terhadap komponen yang terdapat pada usaha
perikanan tangkap dan mendapatkan solusi optimum dari setiap komponen yang
dikaji pada Bab 4 sampai dengan Bab 6 maka dapat dibangun pola pengembangan
usaha perikanan tangkap di perairan Provinsi Riau, seperti yang disajikan pada
Gambar 38.
5)
Regulasi/Kebijakan
Kebijakan akan dilakukan dengan bertolak pada dasar hukum dan peraturan
yang berlaku. Hukum tidak akan terlepas dengan roda pemerintahan baik dalam
menjalankan kebijakan maupun dalam pengambilan keputusan.
188
Kebijakan pengelolaan (policy management) untuk pengembangan usaha
perikanan tangkap di Provinsi Riau mengacu pada upaya yang merupakan suatu
bentuk tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk dapat menangani
isu kebijakan dari awal hingga akhir, termasuk di dalamnya isu-isu yang dapat
menimbulkan konflik dalam pengembangan usaha perikanan tangkap.
Pengembangan jenis teknologi di Provinsi Riau diarahkan sesuai dengan
ketentuan dalam UU No. 45 Tahun 2009, tujuan pembangunan perikanan harus
disepakati
dengan
syarat-syarat
pengembangan
teknologi
yang
dapat
menyediakan kesempatan kerja, menjamin pendapatan nelayan, menjamin stok
produksi, menghasilkan produksi yang bermutu dan tidak merusak lingkungan
khususnya sumberdaya ikan. Pengelompokan skala usaha perikanan, jenis alat
tangkat pancing dan jaring insang merupakan alat tangkap yang umum digunakan
oleh rakyat yang skalanya sangat kecil, sarana dan prasarananyapun terbatas, hal
ini disebabkan karena keterbatasan modal usaha. Kegiatannyapun bersifat
tradisional hal ini akan berdampak pada rendahnya produksi sehingga akan
mempengaruhi daya saing.
Monintja (2005) menyatakan apabila pengembangan perikanan di suatu
wilayah perairan ditekankan pada perluasan kesempatan kerja, maka teknologi
yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat
menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan yang memadai. Selain itu untuk
menyediakan produksi perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting maka
akan lebih baik jika di pilih unit penangkapan yang produktivitasnya tinggi namun
ramah terhadap lingkungan. Usaha perikanan tangkap merupakan bentuk dari
suatu industri perikanan kompetatif. Industri ini memiliki ciri tersendiri yakni
tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, tepat tempat dan
tepat hukum
Nikijuluw (2002) mengatakan bahwa rezim pengelolaan akan selalu
berubah sesuai dengan sifat khasnya yang tidak ditemukan pada sumberdaya lain.
Kekhasan sifat tersebut dalam pengelolaan terdapat tiga bentuk sifat utama (1)
sifat ekskludabilitas, (2) sifat substraktabilitas, dan (3) indivisibilitas. Sifat yang
dimiliki pemerintah adalah sifat yang terkait dengan pengendalian dan
pengawasan terhadap akses sumberdaya (sifat ekskludabilitas). Oleh karena itu
189
pemerintah harus membuat suatu kebijakan yang mampu mengendalikan dan
mengatur serta melakukan pengawasan yang melibatkan masyarakat. Intervensi
atau keterlibatan pemerintah dalam suatu kegiatan ekonomi adalah kepentingan
umum yang pada akhirnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki
proses yang berbeda dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda pula
dalam implementasinya.
Pengembangan usaha perikanan tangkap di Provinsi Riau akan dilakukan
secara selektif dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia
secara optimal dan berkelanjutan, guna mewujudkan usaha perikanan yang
bertanggungjawab sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries
(CCRF) di bidang penangkapan.
Dalam kerangka ini dilakukan reorientasi
terhadap tujuan pengembangan usaha perikanan tangkap yang semula lebih ke
arah produksi menjadi ke arah pendapatan usaha, disertai dengan penyediaan
pelabuhan perikanan/Pangkalan Pendaratan Ikan, standarisasi unit penangkapan,
perekayasaan teknologi, diversifikasi usaha nelayan dan rehabilitasi sumberdaya
ikan.
Upaya pengembangan usaha perikanan tangkap
sekaligus untuk
mengantisipasi isu yang berkembang di bidang penangkapan ikan yaitu adanya
pemahaman bahwa sumberdaya ikan seolah-olah tidak terbatas, sumber daya ikan
merupakan milik suatu wilayah perairan serta isu lainnya yang dapat
menimbulkan konflik dalam pemanfaatan sumber daya ikan pada suatu perairan.
190
Sumber daya ik an
unggulan di perairan
Provinsi Riau
Kabupaten Bengkalis
:Ikan kurau, malung,
senangin,bawal p utih dan
udang p utih
Kabupaten Indragiri
Hilir : Ikan kurau, udang
mantis, bawal p utih,
malung dan tenggiri
Junlah Tangk apan yang
di Bolehk an (JTB) (ton)
Jenis tek nologi
penangk apan pilihan
Kabupaten Bengk alis :
Ikan kurau 1876,5; malung
1189; senangin 1021.1;
bawal putih 5237.8 dan
udang putih 4449.4
Kabupaten Bengk alis :
jaring kurau, rawai, jaring
atom, jaring apollo
Kabupaten Indragiri Hilir
: Ikan kurau 1014.1; udang
mantis 2602.1; bawal putih
3617.7; malung 1091.4; dan
tenggiri 4558.98
Resolusi k onflik pemanfaatan
Jumlah alok asi optimum
tek nologi penangk apan
Kabupaten Bengkalis 6482
unit dengan alok asi: jaring
kurau 208 unit, rawai 3211
unit, jaring atom 2862 unit,
jaring apollo 314 unit
Kabupaten Indragiri
Hilir : jaring insang,
rawai, jaring udang dan
jaring kurau
Kabupaten Indragiri Hilir
5910 unit dengan alok asi :
jaring insang 3039 unit, rawai
844 unit, jaring udang 1942
unit dan jaring kurau 131 unit
sumber daya perik anan tangk ap
ya
Tipologi Konflik : alokasi internal dan yurisdiksi
Faktor konflik : perbedaan teknologi penangkapan dan perebutan daerah
penangkapan
Penahapan konflik : prakonflik (tahun 1970-1981); konfrontasi (tahun
1983-1997); krisis (tahun 1998-1999; 2001-2004); akibat (tahun 2000);
pascakonflik (2005-sekarang)
Resolusi konflik : penguatan terhadap fungsi SNKB dan pengakuan secara
formal terhadap hal ulayat, peningkatan pengawasan terpadu, diversikasi
usaha, mekanisme pengaturan yang sistematis
Bentuk kelembagan yang sesuai karena sudah mencakup mekanisme
pengelolaan konflik adalah community based management dalam bentuk
kelembagaan mediasi
terjadi
konflik?
T i dak
tidak
Puas?
ya
implementasi sistem
pengembangan usaha
perik anan tangk ap
Gambar 38 Pola pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi konflik di perairan Bengkalis
Provinsi Riau.
191
7.2
Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap
Charles (2001) menyatakan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah
kesatuan dari 3 komponen utama yaitu : (1) sistem alam (natural system) yang
mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan fisik; (2) sistem manusia (human
system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan
konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial,
ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan
perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan
dan peencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan
dan riset perikanan (Gambar 39). Dalam menggunakan perspektif informal, sistem
dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut dapat
diketahui dengan bail sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu,
definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang
terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah
unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut.
NATURAL
ECOSYSTEM
MANAGEMENT
SYSTEM
Policy
Manage
ment
Developm
ent
Reserach
Fish population
Aquatic environment
External forces
(e.g. Climate change)
External forces
(e.g. Government
downizing)
Harvesters
community
HUMAN
SYSTEM
Post
harvest
External forces
(e.g. Macroeconomics policy)
Gambar 39 Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001).
Keragaman sistem perikanan bersumber dari beberapa hal, Charles (2001)
menggambarkan sebagai the sources of complexity in fishery systems, yaitu (1)
192
banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2)
banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3)
banyaknya kelompok nelayan beserta interaksina dengan sektor rumah tangga dan
komunitas; (4) banyaknya
jenis alat tangkap dan interaksi teknologi antar
mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya trhadap perikanan; (6) dinamika
informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antar sumber daya
perikanan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing
komponen sistem perikanan; dan lain-lain.
Sumber daya perikanan tangkap merupakan suatu sistem sehingga di antara
komponen dalam sumber daya perikanan tangkap akan saling mempengaruhi
sebagai suatu kegiatan ekonomi. Sifat sebagai suatu kegiatan ekonomi, sumber
daya perikanan tangkap pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap siapa
yang memanfaatkan, yaitu pasar. Komponen yang menyusun sumber daya
perikanan tangkap adalah sumber daya ikan, teknologi penangkapan ikan dan
sumber daya manusia selaku operator maupun konsumen, serta faktor lingkungan
yang mempengaruhinya, baik terhadap sumber daya ikan dan proses
pengoperasian alat tangkap.
Sistem yang diterapkan dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap di
perairan Provinsi Riau berdasarkan Charles (2001) melalui analisis optimasi pada
setiap komponennya, maka dapat disintesis menjadi bentuk umum dari sistem
pengembangan usaha perikanan tangkap pada suatu wilayah tertentu. Sistem
pengembangan dimulai dengan melakukan evaluasi potensi sumber daya dari
komoditas ikan unggulan berbasis pasar. Selanjutnya, ditentukan jumlah optimum
dari setiap jenis unit penangkapan ikan unggulan yang ada berdasarkan aspek
teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan serta adanya analisis terhadap konflik
yang terjadi di perairan Bengkalis Provinsi Riau. Walaupun setiap komponen
utama ini memiliki fungsi dan peran tersendiri, namun setiap komponen usaha
perikanan tangkap tidak dapat berdiri sendiri, karena adanya saling keterkaitan
antara satu dengan lainnya. Terwujudnya pengelolaan usaha perikanan tangkap
berbasis resolusi konflik juga memerlukan dukungan aspek kelembagaan. Lebih
jelasnya disajikan pada Gambar 40.
193
Gambar 40 Sistem pengembangan usaha perikanan tangkap berbasis resolusi
konflik (SIPUTREFIK).
194
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam sistem pengembangan usaha perikanan
tangkap berbasis resolusi konflik (SIPUTREFIK) adalah :
1)
Potensi sumber daya perikanan tangkap unggulan masih layak untuk
dikembangkan
2)
Nilai
parameter
dan
koefisiennya
dapat
diketahui
secara
pasti
(deterministik)
3)
Pelaku dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap
memiliki keinginan untuk melakukan pengembangan usaha perikanan
tangkap di wilayahnya
195
Download