konsep pengembangan sumberdaya wilayah pantai jawa timur

advertisement
1
SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
WILAYAH PESISIR & LAUTAN JAWA TIMUR
Oleh:
Dr Ir Sahri Muhammad, M.S.
Prof Dr.Ir. Soemarno, M.S.
Hingga sekarang pembangunan di Jawa Timur telah banyak menjangkau daerah pesisir.
Peningkatan penduduk, kebutuhan ekspor dan konsumsi hasil laut menyebabkan pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut meningkat cepat. Produksi ikan laut Jawa Timur pada tahun 1999
adalah 288.816 ton yang berarti telah melampaui potensi sebesar 287.987 ton hasil maksimum
yang boleh ditangkap (MSY). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa pemanfaatan
sumberdaya ikan laut telah memasuki tahapan yang kritis.
Selama ini sebagian besar masyarakat pesisir belum memperoleh manfaat yang besar dari
pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan desa-desa di kawasan pesisir Jawa
Timur perlu semakin lebih memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan
setempat. Di pihak lain, status sumberdaya di wilayah pesisir Jawa Timur juga menunjukkan
kondisi lingkungan dengan tingkat pencemaran yang makin meningkat, sumberdaya habitat
hutan mangrove dan terumbu karang yang menunjukkan tingkat kerusakan yang makin serius.
Propinsi Jawa Timur memiliki tidak kurang dari 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di
wilayah Madura Kepulauan. Jumlah tersebut merupakan 0,44% jumlah pulau di Indonesia
yang mencapai 17.000 buah. Secara ekologi, pulau-pulau kecil sangat rentan, sebagian
belum didiami penduduk, dan memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi.
Wilayah perairan laut Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima tipikal wilayah sumberdaya, yaitu
(a) Wilayah Utara yang merupakan perairan Laut Jawa, dengan tipikal sumberdaya ikan yang
didominasi ikan layang (Decapterus spp.)dan ikan kuningan (Upenius spp.); (b) Wilayah
Madura Kepulauan, dengan tipikal sumberdaya ikan karang, (c) Wilayah Selat Madura dengan
tipikal ikan kurisi (Nemeptherus spp.), (d) Wilayah Laut Muncar dengan tipikal mono-species
ikan lemuru (Sardinella spp.) dan (e) Wilayah Selatan dengan tipikal sumberdaya ikan tongkol
dan tuna (Thunnus spp.). Pengawasan laut yang relatif lemah membuat kesulitan dalam
mengatasi pelanggaran dalam pengaturan penangkapan ikan.
Keadaan seperti di atas membutuhkan penanganan daerah pesisir dan laut yang lebih baik,
khususnya mencakup aspek wawasan, strategi, keterpaduan, penegakan hukum, pengelolaan
dan pengendalian sumberdaya serta penguatan kelembagaan, sehingga pemanfaatan
sumberdaya diharapkan dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan secara
berkelanjutan.
Adapun beberapa kegiatan prioritas untuk mengatasi masalah di atas meliputi :
A. Perencanaan dan Pengembangan Terpadu Coastal Zones.
B. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Coastal Zones.
C. Pengelolaan Sumberdaya Secara Berkelanjutan.
D. Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat.
2
E. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan.
F. Keamanan dan Pemanfaatan Sumberdaya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE).
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya laut dan pesisir di Jawa Timur telah memberikan penghasilan kepada
masyarakat, khususnya mereka yang tinggal dan atau berusaha di daerah pesisir dan pulaupulau kecil dengan cara memanfaatan dan menjual produk laut yang bernilai tinggi.
Bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan pasar hasil laut telah memacu peningkatan
dan tekanan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berlebihan.
Selama 30 tahun PJP I telah banyak dilakukan penelitian untuk melakukan evaluasi
potensi dan prospek pengembangan sumberdaya laut Jawa Timur. Banyak penelitian dan
program pengembangan, khususnya yang memperoleh dukungan dana internasional, seperti
World Bank, ADB, dan FAO. Pada periode lima tahun terakhir, 1995 – 2000 beberapa
program penelitian untuk penataan wilayah pesisir dan kelautan yang mendapat dukungan
lembaga internasional seperti CORMEP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project)
oleh Word Bank dan MREP (The Marine Resouce Evaluation and Planning Project) oleh
ADB, disamping dukungan anggaran APBN dan APBD untuk pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat pesisir Jawa Timur.
Sekalipun telah banyak lembaga-lembaga pemerintah dan LSM yang menangani
masalah laut dan pesisir, namun masih banyak pula permasalahan yang timbul dari kegiatan
praktek-praktek pembangunan yang kurang memahami arti pembangunan berkelanjutan.
Beberapa permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan Jawa Timur dapat
diketengahkan sebagai berikut :
1. Penambangan batu karang yang merusak, diperkirakan tinggal 15%, yang menghancurkan
terumbu karang dan lingkungannya;
2. Penggunan potasium sianida (KCN) yang mengakibatkan beberapa jenis ikan karang
musnah;
3. Penggunaan alat tangkap ikan yang menguras sumberdaya yang mengakibatkan
pemanfaatan ikan laut secara berlebih (over fishing);
4. Konversi hutan mangrove di Jawa Timur, diperkirakan tinggal 10-15%, menjadi wilayah
pertambakan tanpa memperhatikan kaidah pengelolaan sumberdaya pesisir yang
berkelanjutan;
5. Peningkatan sedimen limbah dan bahan kimia beracun di wilayah pesisir, sebagai akibat
modernisasi pertanian dan industri yang tidak ramah lingkungan.
6. Belum tersedianya suatu mekanisme dan sistem perencanaan dan pemantauan serta
pendataan yang benar dan akurat, sehingga cadangan sumberdaya ikan di laut telah
terkuras tanpa kendali;
7. Rendahnya penghasilan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, banyak nelayan yang masih
miskin, baik karena struktur sosial yang tidak adil (kemiskinan struktural), kukltural
maupun karena lingkusan pesisir yang kumuh karena belum tersedianya perencanaan dan
pengembangan wilayah pesisir secara terpadu dan berkesinambungan.
1.2. Perencanaan Strategis
Atas dasar permasalahan pengelolaan tersebut diatas, maka visi, misi, dan tujuan
penyelesaian permasalahan pengelolaan kawasan perairan laut dan pesisir di Jawa Timur
dirumuskan sebagai berikut :
3
1.2.1. Visi
Wilayah laut dan pesisir beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung
di dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang dapat
dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dalam
mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri.
1.2.2. Misi
Atas dasar visi tersebut, untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju
dan mandiri,maka misi pengelolaan terpadu sumberdaya pesisr dan laut disusun sebagai berikut
:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
penataan & perencanaan terpadu;
memperkuat kelembagaan;
memperkuat pemantauan dan keterlibatan masyarakat;
meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
pembangunan wilayah kepulauan terpencil
menjamin pengelolaan dan pengamanan wilayah dan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan;
1.2.3. Tujuan
Tujuan pengelolaan terpadu sumberdaya dan lingkungan coastal zones di Jawa
Timur adalah sebagai berikut :
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
keterpaduan dalam pembuatan perencanaan pengelolaan coastal zone;
memperkuat kemampuan institusi;
pengendalian sumberdaya perikanan pada tingkat MSY;
pemberdayaan masyarakat;
pemanfaatan pulau kecil sebatas keperluan masyarakat lokal; dan
optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan wilayah ZEE Selatan Jawa Timur.
II. POTENSI COASTAL ZONE JAWA TIMUR
Coastal zone Jawa Timur mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan
masyarakat pedesaan pantai dan pembangunan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Wilayah
ini mengandung berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi seperti aneka jenis ikan, obyek
wisata dan potensi geografis yang mendukung jalur lalulintas angkutan laut. Selain daripada
itu wilayah perairan pantai ini secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka terhadap
berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh manusia.
Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki kawasan laut hampir empat kali luas
daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Propinsi Iawa Timur memiliki kawasan
pesisir dan lautan yang luas beserta kandungan kekayaan sumberdaya hayati laut yang
melimpah, seperti ikan, rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan biota lainnya.
Sumberdaya hayati laut ini merupakan sumber pangan masa depan yang wajib dikembangkan
dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi penunjang utama bagi kesejahteraan masyarakat.
Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya hayati laut berperan ganda. Selain
meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat nelayan, penyediaan pangan khusus
protein hewani, dan juga dapat meningkatkan pendapatan negara. Berbagai permasalahan dapat
muncul oleh pemanfaatan pesisir dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip linkungan. Laut
sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah industri dan limpasan bahan kimia
4
pertanian. Ekaploitasi wilayah pesisir dan laut kian meluas, sehingga mempunyai dampak
negatif terhadap sumberdaya hayati laut.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai
sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu ekosistem
lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah tempat berbagai kegiatan
sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, industri, perhubungan, dan areal produksi pertambakan. Sebagai suatu kawasan yang penting, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya
pesisir hanya dimungkinkan dapat dicapai jika pengelolaan pesisir didasarkan pendekatan
pengelolaan lingkungan secara ramah dan terpadu.
Pendekatan tersebut memerlukan pemahaman terhadap karakteristik dari struktur,
fungsi, dan dinamika lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan harus diarahkan pada pencapaian
keseimbangan antara potensi dan daya dukung sumberdaya alam, dipadukan dengan kebutuhan
sosial dan mengakomodasikan kegiatan kehidupan yang ada.
Pada hakekatnya pembangunan perikanan merupakan kegiatan untuk meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pengelolaan sumberdaya alam
dengan faktor produksi berupa tenaga kerja manusia, teknologi dan modal. Oleh karena itu
pembangunan perikanan diarahkan untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal
secara berkelanjutan yang berarti mengandung muatan teknologi, ekonomis, ekologis dan
sosiokultural. Aspek teknologi menunjang adanya efisiensi dan produktifitas, aspek eknomis
menghendaki adanya niali tambah yang selalu meningkat. Sementara itu aspek ekologis
mensyaratkan pembangunan sekaligus memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan aspek sosiokultural menunjang pemerataan yang menekankan pada pengembangan
sumberdaya manusia (SDM) dan kelembagaannya yang mengakomodasikan sepenuhnya
kebutuhan dan keterlibatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Nelayan Jawa Timur berdasarkan pada jangkauan daerah penangkapannya dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) nelayan yang bekerja di pantai; 2) lepas pantai, dan
3) laut lepas (samudera). Daerah-daerah penangkapan ini pada kenyataannnya tidak dapat
dipisahkan secara tegas. Pengelompokan ini berkaitan erat dengan kedalaman perairan, yang
kemudian mempengaruhi jenis ikan yang diburu pada masing-masing unit kerja, alat tangkap
yang dipakai, armada penangkapan dan modal kerja yang diperlukan. Disampin itu daerahdaerah penangkapan ini, sampai saat ini masih didominasi oleh usaha nelayan skala kecil.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources), sehingga berlaku rejim open acces management artinya, siapa saja boleh
memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan. Setiap pengguna ingin memanfaatkan
secara maksimal dan sukar dilakukan pengendalian. Sifat dari kepemilikan bersama ini juga
menyebabkan pengguna (users) menjadi kurang peduli terhadap status sumberdaya, dan
cendrung menggunakan cara-cara yang disktruktif demi keuntungan jangka pendek. Sehingga
sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat dari tragedi bersama (tragedy of the
mommon).
Dengan karakteristik wilayah pesisir dan lautan seperti di atas, maka jelas bahwa
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud
jika pengelolaannya dilakukan secara teradu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainabble development principles) dan pendekatan pembangunan secara
berhati-hati (precauntionary approarch). Secara spesifik permasalahan wilayah pesisir dan
lautan adalah sebagai berikut:
(1) Kerusakan fisik ekosistem wilayah pesisir dan laut umumnya terjadi pada
ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hilangnya mangrove
dan rusaknya sebagian terumbu karang telah mengakibatkan terjadinya erosi
pantai. Erosi ini diperburuk lagi oleh perencanaan dan pengembangan wilayah
yang tidak tepat;
(2) Over-eksploitasi sumberdaya hayati laut. Banyaknya sumberdaya alam wilayah
opesisir dan lautan telah mengalami over-eksploitasi. Beberapa stok sumberdaya
ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing). Kondisi over fishing
5
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi
sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut
sebagai habitat ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan
degradasi fisik hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang
merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan (nursery ground)
sebagian besar biota laut;
Pencemaran. Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut pada saat
ini telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama
pencemaran pesisir dan laut biasanya berasal dari kegiatan di darat (land based
pollotion sources), yaitu: kegiatan industri, kegiatan rumah tangga dan kegiatan
pertanian. Bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah tdari ketiga
sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan
sampah;
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM). Sejumlah faktor yang menjadi
pembatas dari aspek sumberdaya manusia adalah kurangnya pendekatan terpadu
dan interdisipliner dalam pendidikan dan latihan. Tidak adanya program yang
khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pengembangan tenaga ahli
dan tenaga teknis, pengembangan masyarakat pesisir sebagi subyek dan obyek
dari pembangunan sangat lemah. Sementara itu banyak maslaha yang khas
dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut yang belam dapat dipecahkan
karena keterbatasan sumberdaya masian. Hal ini disebabkan secara tradisional
pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus diarahkan untuk pembangunan yang
berbasis di darat;
Kemiskinan masyarakat pesisir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat
pesisir masih diliit kemiskinan. Berbagai fomena keruskan lingkungan pesisir
dan laut bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali
diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena terpaksa (ketiadaan alternatif
mata pencaharian) haurs mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut yang
secara ekologis rentan (seperti terumbu karang, daerah asuhan dan pemijahan
ikan) atau dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan
bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan;
Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembanugan (stake holder)
kawasan pesisir. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku
pembangunan dan sekaligus pengelola di kawasan pesisir, yaitu pemerintah,
swasta dan masyarakat. Kurangnya koordinasi antar pelaku pengelola terlihat
dalam berbagai kegiatan pembangunan pembangunan di kawasan pesisir masih
dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak;
Koflik penggunaan ruang. Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan
laut sering terjadi karena belum adanya tata ruang untuk kawasan ini yang dapat
dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Beberapa kegiatan
yang berpotensi menimbulkan koflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan
laut adalah pertanian dan kegiatan di daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan
laut, pemukiman, pertambangan dan energi, perhubungan dan pariwisata.
Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karean tidak adanya aturan yang
jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan
pesisir dan lautan;
Lemahnya penegakan hukum. Hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut
meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi
oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan manusia dengan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan adanya undang-undang
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan seharusnya maslaha
perbaikan lingkungan pesisir menjadi fokus utama dalam pengelolaan suatu
6
kawasan atau wilayah pesisir. Tetapi pada kenyataannya kerusakan wilayah
pesisir dan degradasi habitat selalu terjadi dan terus berlangsung. Hal ini karena
lemahnya penegakan hukum (law enforcement);
2.1. Potensi Pengembangan
2.1.1. Nilai Sosial-ekonomi
Kehutanan. Hutan mangrove tersebar di berbagai titik lokasi pantai. Nilai ekonomi
dan nilai ekologi dari hutan mangrove ini telah banyak dirasakan oleh masyarakat sekitarnya
dan secara tidak langsung juga oleh perekonomian wilayah. Dalam rangka untuk melestarikan
hutan mangrove ini harus dilaksanakan berbagai program khusus seperti penghijauan kawasan
hutan mangrove yang telah rusak.
Perikanan tangkap dan aqua-kultur. Hasil tangkapan ikan di perairan pantai ini
berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi perikanan tambak, termasuk udang,
menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Obyek wisata. Beberapa obyek wisata pantai mempunyai potensi yang cukup besar
untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagian potensi wisata pantai dan wisata bahari masih
belum dikembangkan.
Pemukiman nelayan. Perkampungan di kawasan pantai dihuni oleh para nelayan
penangkap ikan, petani tambak, dan pendatang.
Industri. Sejumlah aktivitas industri kecil dan rumahtangga berlokasi di kawasan
pantai. Nilai keunggulan lokasi pantai ini adalah kemudahan akses terhadap angkutan laut dan
ketersediaan bahan baku ikan dalam jumlah besar.
2.1.2. Nilai Ekosistem Pantai
Ekosistem pantai (Tambak ikan dan udang, Pesisir, estuartia, terumbu karang,
mangrove, hamparan pasir pantai, dan lainnya) menyediakan habitat bagi organisme yang
berhubungan dengan laut, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, tempat bersarang dan
bereproduksi, atau keperluan lainnya. Hutan mangrove dan estuaria mempunyai signifikansi
ekologis yang spesifik sebagai spawning grounds, nursing, dan feeding grounds bagi berbagai
jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Terumbu karang mengkonsentrasikan hara untuk
mendukung ekosistem produktif dan produksi ikan yang tinggi di perairan sekitarnya. Dune,
hutan mangrove dan terumbu karang juga menjadi penyangga alamiah terhadap gelombang
laut, erosi dan badai. Kondisi ekologis zone pantai juga sangat penting bagi kegiatan wisata.
Sektor ekonomi ini sangat tergantung pada lingkungan alami yang tidak terganggu.
2.1.3. Beberapa problem dan issue pembangunan kawasan pantai
Problem utama dalam pembangunan wilayah pantai adalah kerusakan sumberdaya
pantai oleh destruksi, over-eksploitasi, dan penggunaan yang tidak ekonomis; serta problematik
yang berhubungan dengan aktivitas pembangunan di sepanjang kawasan pantai yang
mengakibatkan berbagai dampak buruk terhadap sumberdaya pantai. Sumberdaya pantai,
seperti hutan mangrove, pesisir, terumbu karang, dan perairan pantai, mengalami kemerosotan
kualitas atau degradasi dan memerlukan penanganan yang serius. Sebagian hutan mangrove
dikonversi dan sebagian lainnya mengalami degradasi akibat over-eksploitasi. Statistik
menunjukkan bahwa luas hutan mangrove ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dari
tahun ke tahun. Kawasan hutan mangrove ini dibuka untuk pemukiman, lokasi industri,
budidaya tambak, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ini secara tidak langsung juga berdampak
pada penurunan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Selain itu, meningkatnya kebutuhan kayu bakar juga mendorong over-eksploitasi hutan mangrove, aktivitas penanaman
kembali sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini habitata dasar dan fungsi ekologisnya akan
hilang dan kehilangan ini seringkali nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai yang
dihasilkan oleh aktivitas substitutenya.
7
Terumbu karang di beberapa lokasi menunjukkan gangguan akibat siltasi dan
sedimentasi atau penurunan kualitas air laut akibat aktivitas aktivitas yang membuang limbah
ke perairan pantai. Beberapa spesies karang yang eksotik dipanen untuk pasar akuarium.
Kunjungan wisata ke ekosistem terumbu karang ini juga dapat berdampak buruk kalau
melampaui batas kongestinya. Perkembangan perkampungan nelayan, indutri, wisata pantai,
pelabuhan dan dermaga di sepanjang pantai secara langsung dan tidak langsung juga mempu
nyai sumbangan terhadap penurunan kualitas ekosistem pantai. Pencemaran terutama dapat
disebabkan oleh pembuangan limbah domestik cair dan padat dari daratan.
2.1.4. Beberapa prinsip pengelolaan
Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya PESISIR-pantai mengandung makna
mengembangkan, mengorganisir, dan mengendalikan penggunaan sumberdaya pantai untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan.
(a). Coastal Zone adalah unik dan mempunyai kebutuhan khusus untuk managemen dan
perencanaan. Bentuk-bentuk pengelolaan tradisional berbasis-lahan dan berbasis-laut
harus dimodifikasi menjasdi bentuk pengelolaan yang efektif bagi daerah transisi antara
laut dan darat.
(b). Air merupakan gaya integrator utama dalam sistem sumberdaya pesisir-pantai. Setiap
aspek dari kegiatan pengelolaan pantai berhubungan dengan air, sehingga memerlukan
tatanan kelembagaan yang spesifik dan rumit.
(c). Penggunaan lahan dan air di zone pantai harus dilakukan secara terpadu.
(d). Pembangunan sumberdaya pesisir-pantai secara berkelanjutan merupakan tujuan utama
dari pengelolaan pantai. Sumberdaya renewable harus dikelola untuk menyediakan
benefit sosial-ekonomi yang optimum.
(e). Manfaat ganda dari sumberdaya pesisir-pantai yang renewable diperoleh dengan jalan
perencanaan & manajemen yang baik.
(f). Fokus dari pengelolaan pesisir-pantai adalah pada sumberdaya common-property.
2.1.5. Wilayah Pedesaan Pantai dengan Sistem Perikanan Tangkap
Hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan
bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu strategi pembangunan selama ini bertumpu kepada
Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas nasional.
Berbagai sarana fisik penunjang perekonomian telah berhasil dibangun dan diharapkan akan
mampu mendorong akselari pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik
secara menyeluruh.
Beberapa aktivitas pembangunan yang dapat berdampak buruk terhadap
eko-sistem pantai adalah sbb:
Tipe Ekosistem:
8
Aktivitas
pembangunan
Pertanian/perikanan
Kehutanan
Aqua-kultur
dan
Marikultur
Penangakapan ikan
Pengerukan
Pelabuhan
Pelayaran
Pembangkit listrik
Industri
Pertambangan
Minyak & gas bumi
Pemukiman
Pembuangan limbah
Pemanfaatan air
Manajemen
garis
pantai
Penggunaan
sumberdaya pantai
Rawa
-
Delt
a
-
-
Estu
-aria
-
Bakau
=
-
Peternakan
Trbu
karng
-
-
-
-
-
-
-
=
=
=
=
-
Seagrass
Pesisir
-
Pulau
kecil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan: Marago et al. (1983). - : dampak besar; = : dampak sangat besar
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat dipahami bahwa
permasalahan yang ada di wilayah pedesaan pantai sangat rumit, melibatkan banyak faktor
yang saling kait-mengkait satu sama lain. Wilayah pedesaan pantai dipandang sebagai suatu
sistem yang secara struktural terdiri atas lima komponen (sub-sistem) yang saling berinteraksi
secara dinamis . Perilaku interaksi dari subsistem-subsistem ini bersifat dinamis dan
menghasilkan output-output tertentu. Output-output inilah yang pada hakekatnya merupakan
tujuan dan sasaran dari upaya- upaya pembinaan/pengembangan wilayah pedesaan pantai. Dua
macam sasaran akhir dari upaya-upaya pembinaan yang seringkali dikemukakan adalah
kesejahteraan masyarakat nelayan dan kelestarian sumberdaya perairan pantai. Sistem
Pedasaan Pantai, khususnya di wilayah Jawa Timur memepunyai lima macam komponen
utama (subsistem), yaitu : (1). Komponen sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup
pedesaan pantai; (2). Komponen sumberdaya Manusia (Nelayan); (3). Komponen Sosialbudaya dan Kelembagaan pedesaan; (4). Komponen Perekonomian Pedesaan; dan (5).
Komponen Sarana dan Prasarana Fisik.
Perilaku komponen-komponen tersebut di atas, baik secara sendirian maupun
interaksinya dengan komponen lain, hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan/ dikelola
oleh "manusia" untuk mendapatkan output yang diinginkan. Upaya pengelolaan ini dapat
dilakukan melalui tiga cara, yaitu (i) dengan memanipulasi input-input pengolaan, baik yang
berupa input material/teknologi, input kebijakan; (ii) dengan merekayasa kelembagaan yang
mengatur interaksi antar komponen tersebut sehingga perilakunya dapat lebih baik
memanfaatkan input yang ada, dan (iii) kombinasi antara (i) dan (ii).
A. Sub-sistem Perairan Pantai dan Pesisir
Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup
pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai produsen input bagi sub-sistem
ekonomi, produsen jasa amenitas bagi manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah.
Dalam ketiga hal ini potensi dan kemampuan sumberdaya alam ditentukan oleh
karakteristik dan kualitas.
B. Sub-sistem Ekonomi Wilayah Pedesaan
9
C.
D.
E.
Perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh kemampuannya menghasilakan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan domistiknya dan/atau dipasarkan keluar daerah dengan
keuntungan kompetitif. Sehubungan dengan hal ini maka kegiatan ekonomi dapat
dibedakan menjadi kegiatansektor bisnis yang menghasilakan produk untuk pasar
domistik.
Di wilayah pedesaan pantai umumnya kegiatan ekonomi di sektor basis sangat dominan,
produk-produk dari kegiatan ekonomi di sektor ini berupa komoditi primer dan sekunder
dari perikanan tangkap yang dipasarkan ke luar daerah. Dengan demikian pembinaan
pada sektor ini diharapkan dapat mengangkat sub-sistem perekonomian secara
kesluruhan. Permasalahan yang sering di jumpai adalah rendahnya keunggulan kompetitif
produk dipasaran bebas, dan rendahnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh
masyarakat pedesaan pantai.
Tiga ciri penting dari kegiatan ekonomi sektor basis di pedesaan pantai adalah (i) kegiatan
penangkapan memperlakukan yang mahal dan biaya operasi yang banyak, (ii) operasi
penangkapan memerlukan tenaga kerja yang banyak dan koperatif, dan (iii) hasil
tangkapan harus dipasarkan ke luar daerah dalam bentuk segar dan/atau olahan. Ketiga
ciri ini akan menentukan perilaku sektor basis dan pada akhirnya akan berdampak pada
bentuk kelembagaan non-formal yang berkembang di pedesaan pantai.
Sub-sistem Kelembagaan Sosial
Sebagaimana disinggung sebelumnya, diwilayah pedesaan pantai telah berkem-bang
kelembagaan non-formal yang spesifik sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang ada.
Suatu teladan bentuk kelembagaan non-formal ini dapat ditemukan dalam hal
penangkapan dengan purse-seine atau penangkapan dengan payang. Kelembagaan armada
penangkapan ini ditandapi oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut,
juragan darat, pengolah ikan dan pedagang ikan (dari dalam atau luar daerah).
Kelembagaan operasional penagkapan ini ternyata berdampak pada kelembagaan bagi
hasil yang berlaku, dan selanjutnya akan menentukan distribusi pendapatan dalam
masyarakat pedesaan pantai.
Hingga batas-batas tertentu kelembagaan seperti di atas bersama dengan kelembagaankelembagaan lainnya akan menentukan peluang- peluang transformasi struktural di
wilayah pedesaan pantai. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh kesiapan
kelembagaan yang ada (formal dan non-formal) untuk mengakomodasikan gaya- gaya
perubahan yang berasal dari dari dalam dan luar. Selanjutnya tingkat kesiapan tersebut
oleh (i) efektifitas mekanisme kerja kelembagaan untuk menggalang partisipasi segenap
masyarakat secara proporsional sesuai dengan kepentingannya.
Sub-sistem Sarana dan Prasarana Fisik
Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelembagaan sosial (formal
dan non-formal). Secara fungsional sub-sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i)
sarana dan prasaran ekonomi, (ii) sarana dan prasarana penunjang aktivitas kehidupan
manusia.
Sarana dan prasarana produksi menjadi salah satu prasyarat penting dalam menentukan
perilaku sub-sistem ekonomi. Pada kenyataannya tingkat penguasaan sarana produksi ini
akan menentukan posisi dalam kelembagaan bagi hasil dalam penangkapan.
Sub-sistem Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia di wilayah pedesaan pantai menjadi subyek/pelaku yang
mengendalikan sebagian besar perilaku sistem wilayah, dan sekaligus menjadi
objek/sasaran dari perilaku tersbut. Sebagai subyek, manusia lebih berperan sebagai
produsen, sehingga kualitas ditentukan oleh (i) peubah-peubah skill managerial, dan (ii)
peubah-peubah skill ketebaga-kerjaan. Sebagai objek manusia lebih berperan sebagai
konsumen, yang kualitasnya ditentukan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan fisik minum.
Hal ini selanjutnya ditentukan oleh (i) produktivitas tenagakerja, dan (ii) perilaku
komsumtifnya. Tampaknya pola perilaku monsumtif di kalangan masyarakat pedesaan
10
pantai menjadi salah satu ciri budaya yang serius dalam rangka pola pembinaan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pedesaan pantai.
11
III. COASTAL ECOSYSTEM
3.1. Ekosistem Perikanan Pantai (Sistem Penangkapan)
3.1.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Wilayah Pantai/Pesisir
Panjang pantai di Jawa Timur sekitar 1600 km, dimana 850 km ditumbuhi mangrove,
450 km berupa hutan belukar, dan sekitar 300 km berupa tempat pemukiman nelayan. Pantai
utara hingga ke timur keadaannya melandai, sedangkan pantai selatan umumnya terjal.
Kedalaman laut Jawa antara 20-90 m dengan dasar perairan umumnya lumpur berpasir.
Samudera Indonesia mempunyai kedalaman lebih 1000 m pada jarak 50 meter dari pantai,
dasar lautnya berbatu dan berkarang dan pantainya banyak mempunyai teluk.
Perairan selat Madura bagian barat kedalamannya 20-90 meter, dan sebelah timur
mencapai kedalaman 140 meter dan dasar lautnya berlumpur. Perairan selat Bali mempunyai
kedalaman 20-545 m dan dasarnya terdiri lumpur, pasir dan karang-karang.
A. Perkembangan Produksi.
Salah satu tujuan pokok pembangunan perikanan adalah meningkatkan produksi
perikanan dan produktifitas usaha perikanan dan meningkatkan kebutuhan bahan pangan yang
lebih merata dalam rangka perbaikan gizi dan menciptakan lingkungan yang sehat.
Pembangunan perikanan pada hakekatnya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa
merusak sumberdaya perikanan itu sendiri. Oleh karena itu inventarisasi dan identifikasi jenis
dan potensi sumberdaya alam sangat diperlukan. Dengan memperhatikan data produksi
perikanan tahun 1990 maka tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah dikelola
secara keseluruhan baru mencapai sekitar 40%.
Sumberdaya perairan laut ternyata masih belum sepenuhya dimanfaatkan ; karenanya
pengelolaan perairan laut diutamakan pada daerah-daerah pantai selatan terutama peningkatan
pemanfaatan ZEE dan perairan kepulauan Madura. Pada cabang usaha penangkapan ,
diversiifikasi komoditas diarahkan untuk menghasilkan jenis-jenis ikan yang disukai pasar
manca negara antara lain jenis ikan tuna, cakalang maupun udang barang (Lobster), yang
dihasilkan dikawasan laut selatan Jawa Timur. Seiring dengan pengembangan kegiatan
penangkapan ikan tuna dan cakalang, maka kebutuhan ikan bandeng umpan menjadi semakin
meningkat.
B. Penangkapan Ikan di laut
Penangkapan ikan di laut diarahkan pada pemilihan daerah penangkapan baru yang
masih potensial yaitu Selat Madura, serta rintisan pemindahan nelayan dari daerah padat
tangkap ke daerah yang potensial semisal dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas
armada perikanan di Pantai Selatan.
C. Budidaya Laut
Budidaya laut diarahkan pada rintisan pengembangan terhadap komoditi hasil
perikanan yang sesuai dengan selera pasar dan sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri
maupun pasar luar negeri. Dari berbagai jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis
seperti Gracilaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp, dan Euchema sp. Di Selat Madura, Jawa Timur
memiliki perairan laut yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut. Potensi
tersebut tersebar di sepanjang Pantai Madura Kepulauan dan Bawean Kepulauan. Potensi
perairan laut yang tersebar terdapat di Kabupaten Sumenep yaitu Kecamatan Dungkek,
Gapura, Giligenting, Seronggi Raas, Sapekan dan Pulau Kangean sekitar ± 750 Ha.
12
3.1.2. Kondisi Sistem Perikanan Pantai
Usaha penangkapan ikan di laut dilakukan di perairan pantai Pacitan-TrenggalekTulungagung, umumnya nelayan mendaratkan ikannya di wilayah sendiri, dan kemudian
pemasarannya sampai Jawa Tengah. Ada sekitar 50 jenis ikan yang dapat ditangkap nelayan di
perairan selat Madura, Jawa Timur, di antaranya adalah Jenis Ikan Tongkol kembung,
Tembang, Layang, Lemuru, dan Teri. Biasanya musim ikan terjadi selama bulan September
hingga Desember.
A. Aspek Sosial-Ekonomi Nelayan Pendega
Tingkat pendidikan pendega sangat heterogen. Pendidikan pendega yang umum
dijumpai pada seluruh wilayah umumnya lulusan SD dan SLP. Namun tingkat pendidikan di
wilayah Lekok (Pasuruan) dan di Tlanakan (Pamekasan) pendidikan sangat rendah banyak
yang buta huruf ataupun tidak lulus SD.
B. Mata Pencaharian Utama dan Sambilan Keluarga Pendega
Nelayan pendega pada umumnya menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan
dan umumnya tidak mempunyai pekerjaan sambilan. Kegiatan isteri umumnya pada urusan
rumah tangga dan jarang sekali para isteri pendega yang bekerja. Begitu pula kegiatan anak
pada umumnya tidak dilibatkan dalam membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan kenyataan
tersebut, maka usaha peningkatan keluarga pendega, dapat juga ditempuh melalui usaha
memberikan kegiatan produktif pada isteri pendega.
C. Pemilikan Lahan Pertanian
Umumnya keluarga pendega tidak memiliki lahan pertanian, baik berupa sawah, tegal
maupun tambak. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketergantungan keluarga pendega pada
sektor perikanan sangat tinggi.
D. Curahan Hari Kerja dan Pendapatan dari Sektor Penangkapan Ikan
Pendapatan nelayan pendega berfluktuasi menurut keadaan musim ikan. Pada musim
paceklik pendega sangat rendah sebaliknya pada musim raya ikan pendapatan pendega cukup
tinggi. Keadaan ini menuntut adanya usaha tradisi menabung pada musim raya ikan. Ditinjau
dari segi lokasi penelitian, tidak tampak adanya variasi pendapatan antar wilayah penelitian.
Namun ditinjau dari segi alat tangkap yang digunakan tampaknya purse seine yang
pendapatannya tertinggi dibandingkan dengan pendapatan dari alat tangkap lainnya. Sedangkan
jenis alat tangkap lainnya ditinjau dari segi pendapatan pendega tidak tampak menyolok
perbedaannya.
E. Pendapatan Pendega Berdasarkan Sumbernya
Pendapatan pendega umumnya sebagian besar (+ 90%) bersumber dari sektor
perikanan (usaha penangkapan ikan), sedangkan sisanya umumnya adalah hasil kekayaan
(istrinya) yang umumnya pedagangan kecil (baik dagang ikan atau hasil pertanian) dari
berburuh baik dari buruh industri pengolahan ikan atau komoditi lainnya.
F. Penyuluhan Teknologi dan Perkreditan
Penyuluhan teknologi dan perkreditan untuk pengembangan ekonomi keluarga
pendega menunjukkan hasil beragam dan menghadapi banyak kendala. Tampaknya
penyuluhan teknologi dan perkreditan pada pendega jarang dilakukan. Berdasarkan hasil
observasi di lapang menunjukkan bahwa tampaknya pendega bukan merupakan sasaran
penyuluhan. Disamping itu terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh menjadi pembatas
tidak efektifnya pelaksanaan penyuluhan.
Berdasarkan kenyataan bahwa pendega merupakan golongan nelayan yang berstatus
ekonomi paling rendah, maka di masa datang per tahun pendega menjadi salah satu sasaran
penyuluhan untuk pengembangan usahanya. Sementara ini pendega belum banyak mengem-
13
bangkan usahanya, akibatnya kehidupannya sangat tergantung pada pemilik perahu (juragan)
yang diikutinya. Kalau keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka dimasa datang pendega
menjadi kelompok yang tertinggal.
G. Respon Pendega terhadap Pengembangan Usaha
Respon pendega terhadap usaha pengembangan pertanian, peternakan dan pembuatan
jaring sangat rendah. Hal ini disebabkan pendega umumnya tidak memiliki lahan pertanian,
sedangkan responya terhadap pengembangan usaha pembuatan jaring yang rendah disebabkan
segi permintaannya sangat sedikit.
Respon pendega yang cukup tinggi terhadap usaha pengembangan pengolahan ikan
untuk keluarganya umumnya rendah. Sedangkan respon terhadap pengembangan usaha
penangkapan ikan secara berkelompok umumnya pendega cukup respon.
3.1.3. Proses-proses degradasi
Dinamika ekosistem pantai secara langsung dan tidak langsung sangat dikendalikan
oleh aktivitas sosial-ekonomi masyarakat nelayan, baik aktivitas penangkapan di laut , aktivitas
penunjang di daratan, maupun aktivitas lain dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman
penduduk. Kegiatan-kegiatan manusia ini bersama-sama dengan proses alamiah akan
menimbulkan proses-proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pantai yang
pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat keragaan ekosistem pantai.
Beberapa proses degradasi ekosistem pantai yang penting adalah:
(1). Penangkapan ikan di perairan pantai yang terus meningkat kepadatannya, sehingga pada
saat sekarang ini (terutama di perairan pantai utara Jawa Timur dan Selat Madura) telah
megarah kepada eksploitasi yang berlebihan. Pada saat-saat tertentu penagkapan ikan
diperkiurakan telah mendekati atau melampaui batas Maximum Sustainable Yield
(MSY). Hal seperti ini dikhawatirkan dapat mengganggu dinamika populasi ikan-ikan di
perairan pantai.
(2). Kegiatan masyarakat sehari-hari di pemukiman nelayan akan menghasilkan berbagai jenis
limbah, baik limbah domestik maupoun limbah proses produksi/pengolahan ikan.
Limbah ini semuanya pada akhirnya akan dibuang ke perairan pantai yang pada
gilirannya juga akan menurunkan kualitas air, terutama di sekitar pemukiman nelayan
yang padat.
(3). Kegiatan industri dan aktivitas produktif lain yang memerlukan lahan dan meng-hasilkan
limbah.
3.1.4. Kebijakan Pembangunan/Pengelolaan perikanan pantai
Proses pembangunan ekonomi diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan
struktur kelembagaan disuatu wilayah, serta perubahan perilaku kultural dari masyarakatnya.
Peningkatan rataan pendapatan setiap kapita biasanya dibarengi dengan berkurangnya pangsa
relatif (pendapatan dan kesempatan kerja) dari sektor primer, dan meningkatanya pangsa reltif
dari sektor sekumder dan tersier. Dilingkungan pedesaan pantai dapat diantisipasi bahwa
perubahan strukturakl dan kultural tersebut diatas akan terjadi dalam proporsi yang berbedabeda. Perubahan kultural akan ditentukan oleh ciri budaya yang telah ada, terutama dalam hal
perilaku masyarakat pedesaan pantai sebagai konsumen. Apabila pendapatan meningkat maka
diantisipasi akan terjadi pergeseran perilaku ke arah pola konsuntif yang ditandai oleh semakin
besarnya proporsi konsumsi non-pangan, termasuk kosumsi jasa amenitas dalam makna yang
positif maupun yang negatif. Dengan demikian permintaan terhadap produk-produk sekunder
dan tersier dari luar daerah dapat manjadi semakin besar. Semakin besarnya kebutuhan
penurunan investasi masyarakat di sektor produktif sehingga akan muncul fenomena involusi.
Upaya-upaya yang disarankan untuk memutuskan siklus involusi tersebut adalah (i)
pemindahan sebagai tenaga kerja dari sektor primer dan sektor-sektor sekunder dan tersier
untuk lebih memperbesar produktivitas tenagakerja, (ii) pembinaan kelembagaan (terutama
non-formal) yang dapat mendorong gairah menabung dan perilaku produktif lainya dikalangan
14
masyarakat pantai, (iii) pembinaan prilaku masyarakat untuk tidak terlalu mengarah kepada
prilaku konsuntif. Upaya pembanguan ekonomi pedesaan pantai melalui keterkaitan antara
sektor primer (penangkapan) dan sektor-sektor sekunder (industri pengolahan hasil perikanan).
Dengan demikian kebijakan pembinaan pantai harus bertumpu "kedua unsur pokok", yaitu (i).
industrialisasi pedesaan untuk mengolah hasil-hasil ikan tangkapan, dan (ii). inovasi teknologi
penangkapan untuk memperbesar hasil tangkapan.
Akan tetapi dua unsur pokok ini saja masih belum bisa menjamin keberhasilan
pemabanguan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat pedesaan
pantai. Tiga macam "unsur penunjang" yang dipersyaratkan adalah :
(i). pembenahan kelambagaan perkreditan dan bagi hasil,
(ii). renovasi sistem pemasaran yang mampu mengalokasikan nilai tambah yang lebih
besar kepada masyarakat pedesaan pantai, dan
(iii). Pembinaan perilaku masyarakat dan kelembagaan sosial yang ada untuk dapat
menjaga keseimbangan antara perilaku konsuntif dan produktif.
(1).
Industrialisasi Pedesaan Pantai
Proses industrialisasi pedesaan yang mengarah kepada kemajuan masyarakat pada
mulanya merupakan masalah psikis atau mental (Alfian, 1991). Masyarakat pedesaan pantai
akan dapat menjadi maju dan sejahtera hidupnya apabila mempunyai sikap mental yang
mampu mendorong kje arah kemajuan tersebut. Dengan demikian beberapa macam sikap
mental dan prilaku kultural tertentu di kalangan masyarakat pedesaan pantai yang dapat
menjadi kendala bagi keberhasilan proses industrialisasi perlu dibina dan dibenahi sehingga
sesuai dengan kebijakan dan strategi pembanguanan yang telah direncanakan.
Pada tingkat mampu proses industrialisasi pedesaan ini diharapkan oleh diversifi-kasi
sumber pendapatan masyarakat dari berbagai aktivitas pengolahanhasil perikanan dan perdagangan produk-produk olahan. Dampak sosial ekonomis yang diharapkan ialah terbukanya
lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang ada, memperbesar pendapatan
masyarakat, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup masyarakat pedesaan secara kualitas
manuasia dan tarah hidup masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Proses-proses transformasi
tersebut beserta dampak sosial-ekonominya hanya mungkin terjadi kalau didukung oleh
tersedianya bahan baku yang memadahi. Dengan demiian inovasi dan teknologi penangkapan
merupakan prasyarat pokok bagi berkembangnya industri pengolahan di pedesaan pantai.
(2).
Inovasi Teknologi Penangkapan
Inovasi teknologi penangkapan ikan pada dasarnya mengarah pada perbaikan efisiensi
teknis dan ekonomis. Nelayan sebagai pelaku perbaikan teknologi ini akan semakin maju
apabila mempunayai sikap mental kebaharian yang terampil, yaitu mengejar dan memburu ikan
kemanapun daerah penangkapan bergerak dan berubah. Dengan demikian beberapa sikap
menta; perilaku kultural bahari merupakan sebuah karharusan. Kultural bahari saat ini masih
mengahadapi kultural tertentu (misalnya one-day fishing) yang dapat menjadi kendala dalam
proses inovasi teknologi penangkapan ikan perlu dibina sejalan dengan strategi dan sasaran
inovasi tersebut.
Pada tahap selanjutnya, proses inovasi teknologi ini diharapkan mampu melakukan
tranformasi teknologi penangkapan ikan yang tradisional menjadi modern yang ditandai
dengan penerapan teknologi yang efisien dan mampu mengatasi hambatan gelombang laut dan
dapat menjelajahi kelutan Nusantara dan zone ekonomi eksklusif. Dengan demikian inovasi
teknologi di sini mencakup teknologi perkapalan, mesin, alat penangkapan (jaring dan pancing)
alat pembantu penangkapan antara lain seperti penggunaan lampu listrik, fish-finder dan sarana
komunikasi modern. Kesemuanya itu jelas membutuhkan bukan hanya sekedar mental bahari,
tetapi juga pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi tertentu. Dampak sosial
ekonomi yang diharapkan adalah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan
15
kerja yang ada, meningkatkan pendapatan nelayan pendaga, perbaikan kualitas manusia dan
taraf hidup keluarga nelayan secara keseluruhan.
Proses tranformasi tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari proses industrialisasi pedesaan pantai secara keseluruhan. Dalam proses inovasi teknologi
penangkapan ikan terkait erat dengan tersedianya input dan sarana pembantu lainya, yang
biasanya ased modal. Pada saat ini hampir di seluruh pedesaan pantai yang diteliti telah
berkembang suatu sistem penyediaan modal maupun kredit bagi-hasil yang beroprasi secara
informal, yaitu untuk "memotori" perubahan dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang
telah ada sampai sekarang. Sistem permodalan bagi hasil tersbut ternyata telah menjadi unsur
penunjang inovasi teknologi penangkapan memerlukan unsur penunjang permodalan dan
pemasaran yang "built in" seperti kelembagaan perkreditan bagi hasil jika mental kebaharian
telah tumbuh yang memungkinkan kehidupan sebagian terbesar di laut.
(3).
Pembenahan Kelembagaan Perkreditan dan Bagihasil
Upaya pengkapan kelembagaan perkreditan di wilayah pedesaan pantai harus
diarahkan pada empat sasaran pokok, yaitu (i) kemantapan koperasi nelayan (KUD nalayam),
(ii) pengembangan usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil, (iii) pengembangan usaha
pasca tangkap (industri pengolahan) ikan yang berskala kecil oleh masyarakat pedesaan pantai,
dan (iv) pembinaan kegiatan menabung di kalangan nelayan.
Berdasarkan pengalaman adanya ketidak-berhasilan kredit motor/perahu pada masa
lalu, maka sistem perkreditan dengan model "angsuran kredit" patut dibenahi dan bila
dipandang perlu dapat ditinggalkan. Pembenahan sistem kredit bagi nelayan dalam rangka
usaha penangkapan ikan perlu diarahkan pada "sistem bagi hasil" antara sekelompok nelayan
dengan lembaga pemberi kredit. Model ini akan menciptakan usaha nelayan berkongsi dengan
sistem bagihasil.
3.2. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE
3.2.1. Makna Ekonomis dan Ekologis
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di pantai dan sekitar
muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon
Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus,
Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Dengan demikian, ekosistem bakau ialah ekosistem pantai
yang komponen tumbuhannya ialah hutan, beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi
ekosistem bakau ini umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian
terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain yang serupa.
Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir.
Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis, hutan
bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar, arang, bahan penyamak,
mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-lain. Secara ekologis hutan bakau mempunyai
fungsi penting karena menjadi tempat lindung bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini
sering membawa pada pertentangan kepentingan dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, dan
Jawa Timur khususnya, sesungguhnya pertentangan ini dapat terhindarkan apabila semua pihak
dapat menyadari
peran lindung hutan bakau tersebut sesunggunya juga mencakup
perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha produksi
seperti hasil hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci peran lindung hutan
bakau adalah sebagai berikut:
16
(a). Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota darat dan
perairan baik laut maupun tawar.
(b). Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut.
(c). Berperanan besar untuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-butir tanah ke
lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai.
Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehingga sering dapat
dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusakan, terutama bila dibandingkan
dengan kawasan ekologis lainnya seperti terumbu karang. Namun demikian, apabila sampai
muncul kerusakan di kawasan hutan bakau hal yang mungkin sulit dikembalikan adalah
hilangnya beberapa jenis flora maupun fauna langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut.
Selain dari itu, sesuai dengan perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau
umumnya berpengaruh luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya.
3.2.2. Hutan Mangrove dan Proses Degradasinya
Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua
kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok pertama umumnya berada di
kawasan pantai selatan Jawa Timur yang mempunyai pantai terjal, berbatu dengan ombak yang
besar menghantam pantai setiap saat. Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai
utara Jawa timur yang relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air
lambat. Kondisi fisik seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih banyak
di pantai utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur.
Berdasarkan atas nilai indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh Kantor
Menteri Lingkungan Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik seperti tersebut, pantai
utara dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor pencemaran dibandingkan pantai
selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur yang mempunyai perkembangan sosialekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami mengapa banyak kawasan bakau di pantai utara Jawa
Timur yang telah rusak, dan berubah fungsi seiring dengan pesatnya perkembangan sosialekonomi. Data tahun 1991 yang berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et al., menunjukkan
bahwa dari kurang lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 ha dinyatakan
rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survei kasar, dengan pemilihan
tempat secara acak, di kawasan pantai utara Jawa Timur tidak dijumpai hutan bakau (Sumitro,
1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan pohon-pohon bakau pada umumnya hanya
terdapat pada galengan tambak atau saluran irigasi atau dalam bentuk gerumbul-gerumbul kecil
di sekitar pemukiman penduduk. Hasil penelitian Fandeli (1992) juga menunjukkan hal yang
serupa. hasil pengamatannya di kawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya menunjukkan
bahwa umumnya hutan mangrove merupakan jalur sempit sejajar dengan jalan raya SurabayaBanyuwangi yang terputus-putus di berbagai tempat oleh karena pemukiman atau peruntukkan
lainnya. Lebar areal hutan paling panjang adalah 175m, dan umumnya berkisar antara 50-60 m.
Secara umum kawasan hutan bakau tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan telah
bergeser ke fungsi produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan status mereka yang
merupakan kawasan hutan lindung milik perum perhutani. Hal serupa juga di jumpai di
kawasan Blambangan-Banyuwangi (Soebiantoro, 1992). Tampaknya kawasan pantai utara
Jawa Timur sudah tidak lagi mempunyai kawasan hutan bakau perawan kecuali di kawasankawasan konservasi seperti Baluran.
Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan di sepanjang
pantai utara dan pantai madura termasuk madura kepulauan (Marsoedi, et al., 1991). Umumnya
penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah departemen kehutanan, termasuk Perhutani, dan
Badan Konservasi Sumberdaya Alam Daerah (BKSDA). Lokasi penghijauan meliputi
beberapa daerah di kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Jember, Situbondo, Malang, Blitar,
Pacitan, Trenggalek, Sumenep dan Bangkalan. Namun demikian, usaha penanaman kembali
sering tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar
menghijaukan kawasan bakau, dan sering dikaitkan dengan kepentingan pertambakan baik
17
yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa Timur, total usaha penghijauan di
luar usaha konservasi dan pengamanan hutan bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan
bakau seluas kurang lebih 1250 ha (Marsoedi, et al., 1991).
Hasil penelitian Marsoedi et al. (1991) tersebut juga menanpakan secara jelas sekali
besarnya pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan budidaya tambak,
perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju penyusutan kawasan bakau ini di
sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Madura. Sayangnya, data rinci dalam skala yang lebih
teliti mengenai laju perluasan wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur
sampai saat ini amat sulit didapatkan, meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap
instansi terkait seperti, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah
(BAPPEDA) setempat, mereka umumnya mengkategorikan masalah penyusutan luasan hutan
bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai masalah yang mendesak untuk
ditangani.
Data hasil inventarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan pantai Jawa
Timur, (Sumitro, 1992) menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis tumbuhan bakau. Umumnya
dari genus Rhizophora, Avicenia, Exoecaria, dan Acanthus. Selain itu juga dapat dengan
mudah terlihat, di kawasan pantai utara yang landai, adanya kemunculan lahan atau daratan
baru seiiring dengan laju sedimentasi di daerah estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru
ini terlihat sering terganggu oleh aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau
ladang pembuatan garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat mengenai
laju pertambahan daratan baru serta aktivitas perambahan oleh penduduk tidak pernah ada.
3.2.3. PERMUDAAN BUATAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora mucronata L.)
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam
fungsi dengan formasi khas daerah tropika dan terdapat di pantai rendah yang tenang serta
berlumpur sedikit berpasir dengan pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga
berperanan penting sebagai penunjang ekosistem wilayah pesisir terutama bagi kesejahteraan
masyarakatnya. Fungsi mangrove dilihat dari fungsi fisik, mampu berperan menahan
gempuran ombak dan angin, serta intrusi air laut ke daratan dan fungsi kimia berperan
menghasilkan bahan organik melalui dekomposisi orga nisme tanah mangrove. Sedang
secara ekologis mampu menunjang kehidupan organisme-organisme yang secara langsung
maupun tidak langsung hidupnya tergantung dari mangrove, karena mangrove mampu sebagai
jembatan antara daratan dan lautan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa ekosistem mangrove
meru pakan suatu kawasan ekosistem rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan
ekosistem lepas pantai di luarnya. Secara ekonomis mampu menunjang kesejahteraan
masyarakat sekitar pantai disebabkan mangrove bisa dimanfaatkan dalam hal kayu dan non
kayunya. Sayangnya mangrove terma suk kawasan yang labil sehingga dikenal sebagai
"fragile ecosystem" bila terjadi perubahan pengaruh pe-nunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga banyak kawasan -kawasan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan
tanpa mengetahui keseimbangan antara perkembangan regenerasi dan pemanenan. Maka
sebagai usaha pelestariannya adalah dengan peremajaan atau penanaman kembali atau yang
dikenal dibidang kehutanan dengan istilah permudaan buatan bagi hutan mangrove.
Permudaan buatan adalah suatu kegiatan dalam usaha memperoleh hasil yang
dikehendaki dengan penggu naan jenis bibit yang sesuai zone pertumbuhan dan jarak tanam
yang dikehendaki. Sedang di satu sisi bahwa pelaksanaan permudaan buatan sering kali
mengalami kegagalan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu penelitian dari usaha permudaan
buatan tersebut dengan pengukur beberapa variabel yang terkait. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui prosentase tumbuh dan keberhasilan permudaan buatan jenis R. mucronata
L.
Menurut hasil kajian Arifin Arief dan Agus Sugianto (1998), luas areal penelitian
30,81 ha dengan jarak tanam 3 x 2 m merupakan hasil penanaman sejak 12 Januari 1996
pada daerah bertopografi datar sedikit bergelombang dan beriklim tipe E klasifikasi Schmidt-
18
Ferguson. Curah hujan daerah pene litian rata-rata mencapai 1000-1500 mm dengan jenis tanah
regusol dan gromosol kelabu, dengan bahan endapan pasir dan liat. Didalam pemilihan biji
dipilih pada buah yang telah mengalami perubahan warna kuning pada bagian antara biji
dengan hipokotil serta sesuai dari zone pertumbuhannya.
Diameter yang didapatkan secara rata-rata di seluruh petak ukur adalah 1,73 cm dan
terbesar adalah 2,21 pada petak ukur 6 dengan ketebalan sedi-mentasi 10,02 cm. Salinitas
pada petak ukur didapatkan rata-rata sebesar 2,83 persen, hal ini disebabkan terjadinya curah
hujan yang selalu berubah. Untuk salinitas sebenarnya tidak dibutuhkan terlalu tinggi bagi
pertumbuhan tanaman tetapi bila terjadi salinitas yang tinggi, maka tanaman akan beradaptasi
karena sifatnya yang halophyt. Proses ini melalui perakaran disekresikan serta disalurkan ke
bagian-bagian tubuh tanaman terutama bagian daun-daun tua, karenanya pada daun tua ditemui
kadar garam yang relatif tinggi. Sesuai Soeroyo (1993) bahwa mangrove mampu memin
dahkan garam dengan cara menyim pannya dalam daun yang lebih tua, karenanya konsentrasi
kadar garam pada daun tua lebih tinggi.
Kemiringan permukaan tanah ternyata mempengaruhi lamanya dan perluasan
genangan. Pasang surut pada daerah genangan membawa serasah dan tebal sedimentasi yang
berdampak bisa tumbuh dan berkem bangnya mangrove. Faktor physio graphy berpengaruh
terhadap zonasi terutama dalam hal salinitas air dan serasah (Anonimous, 1995). Kemi-ringan
lahan sangat berpengaruh juga terhadap ketebalan sedimentasi yang terbawa air pasang dan
aliran sungai. Pada petak ukur didapatkan genang an air setinggi 21,72 yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan permudaan buatan dengan rata-rata diameter 1,73 cm dan tinggi semai
tanaman rata-rata 43,16 cm. Sehingga kawasan mang-rove dengan empang parit yang mampu
menahan genangan ketika terjadi surut, mampu membuat tanah selalu dalam kondisi lunak.
Terdapat korelasi antara jenis tegakandengan pasang surut dan lamanya genangan air
(Soemodihardjo, 1979), sebab semakin ke atas daratan arus pasang surut semakin kecil dan
kandungan lumpur dengan bahan organik tanah yang tinggi (Marsono dan Setyono, 1993).
Dimana kondisi lunak akan merangsang organisme tanah untuk membuat lubang-lubang
tanah sebagai penunjang aerasi udara bagi perna-fasan akar-akar mangrove. Lubang-lubang ini
membawa oksigen ke bagaian akar tegakan mangrove (Ewuisie, 1980). Kondisi tanah
dengan analisis fisik secara mekanik diperoleh tanah bersifat lempung liat berpasir (33,3 %)
serta banyak ditemui orga nisme jenis kepiting, grifil dan cacing pantai yang beraktifitas
membuat lubang-lubang tanah. Jenis tanah ini secara umum sangat disukai oleh organisme
tanah pantai disebabkan sangat mudah untuk ditem bus. Disamping itu, bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sendiri jenis organisme ini sangat menunjang karena proses
dekomposisi dan hasil endapan serta seresah terjadi pada jenis tanah ini. Organisme tanah yang
disebut makrobentos sangat berpe-ranan dalam proses penghancuran seresah dan dekomposisi.
Makro-bentos mampu mencerna daun segar dan memproduksi hingga membantu eksport unsur
hara (Sukardjo, 1993). Hasil proses ini akan mengha silkan bahan organik tanah sebagai
penunjang pertumbuhan dan perkem bangan mangrove permudaan buatan. Daun mangrove
yang mulai membu suk mengandung 3,1 persen protein dan setelah 12 bulan meningkat
sampai 21 persen (Heald, 1971). Berarti bisa dipastikan bahwa hasil prosentase pertumbuhan
diperoleh rata-rata sebesar 82,57 salah satu sebab adanya proses tersebut. Sehingga R.
mucronata sangat sesuai tumbuh dan berkembang pada daerah zone dengan keadaan di atas
yang bersifat salinitas, tanah dan pasang surut serta sedimentasi yang terjadi.
Menurut Arief dan Sugianto (1998), Rhizophora mucronata L. mampu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sebesar 83 persen dalam suasana lingkungan dengan
salinitas sebesar 5,1 persen, sedimentasi setebal 11,5 cm dan tinggi genangan 29 cm.
3.2.4. Pengelolaan Bakau SEBAGAI HABITAT KEPITING
Beberapa tindakan pengelolaan yang diperlukan a.l.
(a). Pengendalian pembukaan tambak udang, penebangan kayu bakau, dan lainnya
(b). Menjaga topografi dan karakter substrat hutan bakau dan saluran suplai air tawar
19
(c). Menjaga pola alamiah temporer dan spatial dari salinitas air permukaan dan groundwater
(d). Mempertahankan pola alamiah dan siklus aktivitas pasang surut dan run-off air hujan / air
tawar
(e). Menjaga keseimbangan alamiah antara abrasi, erosi, dan sedimentasi.
Pengelolaan hutan bakau harus diarahkan agar segala pendayagunaann sosioekonomisnya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan
kemampuannya sehingga tetap dapat menjamin kemanfaatannya bagi generasi mendatang. Hal
ini berarti pula bersesuaian dengan deklarasi World Conservation Startegy (WCS) tahun 1979,
dan Strategi Konservasi Alam Indonesia, Agenda no. 21 Global Biodiversity Strategy (GBS)
tahun 1992, dan Strategi Nasional Pengelolaan keanekaragaman hayati.
Setiap upaya pengelolaan seharusnya mempunyai makna:
a. Perlindungan terhadap proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam ekosistem
bakau.
b. Pelestarian sumberdaya bakau dan keanekaragaman sumber plasma nutfah yang
terkandung di dalamnya.
c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya bakau dan lingkungannya.
d. Konsistensi pengelolaan dan penanganan keanekaragaman hayati dan masalah ekologis
hutan bakau.
e. Mencermati aliran perdagangan flora maupun fauna langka di hutan bakau.
Suatu hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kelemahan menejemen hutan
bakau menyangkut banyak hal, meliputi sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan
pengorganisasian/pelembagaan, pelaksanaan program kerja, dan pengawasannya. Ciri dari
kelemahan menejemen tersebut antara lain adalah data luasan kawasan hutan bakau yang tidak
akurat. Di Jawa Timur data luasan hutan bakau tersebut sering bervariasi menyolok antar
instansi terkait satu dengan lainnya. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam pelaksanaan tata
ruang, pemanfaatan maupun rehabilitasinya. Selain dalam hal menejemen, permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan kawasan bakau di Jatim diduga juga berhubungan dengan
terjadinya degradasi hutan bakau akibat pencurian kayu, perambahan yang tidak terkendali
serta pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Permasalahan terakhir ini lebih terkait dengan
kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan bakau yang belum sepenuhnya
mendukung pengelolaan hutan bakau secara lestari. Dari sini terlihat bahwa pengelolaan hutan
bakau secara lestari harus terkait dengan pendidikan kesadaran berkonservasi, peningkatan
lapangan kerja, kesempatan kerja, peningkatan akses untuk memperoleh informasi, modal kerja
dan sarana produksi bagi penduduk di sekitar kawasan bakau.
3.3. EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN PENGELOLAANNYA
3.3.1. Pendahuluan
Beranekaragam tipe ekosistem khas dijumpai di wilayah pesisir-pantai Pasir putih dan
sekitarnya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, estuarin, delta dan rawa
pantai non bakau. Selain menyediakan berbagai sumberdaya alam, tatanan lingkungan ini
berfungsi sebagai penyangga kehidupan.
Terumbu karang merupakan ekosistem khas, yang didalamnya terkandung
keanekaragaman biota laut yang unik dan menarik. Produktivitas dan kekayaan jenis terumbu
karang boleh dikata sebanding dengan hutan hujan tropika (Anonimous, 1992). Sebagai salah
satu ekosistem di dunia yang secara ekologis paling produktif dan beragam, serta seringkali
merupakan daerah yang paling cantik bentuknya. Hal lain yang menarik perhatian dari
ekosistem terumbu karang terutama adalah besarnya kelimpahan dan keragaman biota yang
berasosiasi.
20
Sebagai ekosistem perairan yang memiliki produktivitas tinggi, terumbu karang juga
merupakan habitat dari berbagai jenis organisme laut. Terumbu karang berfungsi sebegai
pelindung fisik, tempat tinggal, mencari makan, berpijah dan berkembang biak berbagai biota
laut. Diperkirakan sekitar 260 jenis ikan hias hidup di perairan terumbu karang, dan sepertiga
seluruh jenis ikan kehidupannya bergantung pada lestarinya terumbu karang. Disisi lain
terumbu karang dapat dijadikan sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan
farmasi.
Di perairan laut Indonsia diperkirakan luas terumbu karang mencapai 6.800 km2,
membentang sepanjang 17.500 km (Anonimous, 1992). Sebagian sudah ditetapkan menjadi
taman nasional luat, antara lain di daerah Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa,
Bunaken Sulawesi Utara yang terkenal sebagai Taman Nasional Laut, disamping itu juga
perairan laut Madura Kepulauan terdapat terumbu karang yang lamam dikenal oleh nelayan
dan merupakan daerah perburuan /penangkapan ikan-ikan karang yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, kakap dan ikan hias.
Dalam dekade terakhir ini terumbu karang baik langsung maupun tidak langsung telah
dimanfaatkan oleh manusia secara optimal tanpa kendali, antara lain usaha penangkapan ikan
karang baik sebagai ikan hias maupun sebagai konsumsi secara besar-besaran yang
menggunakan racun "potassium cyanida (KCN)", pengambilan karang untuk bahan bangunan
dan tidak kalah pesatnya pemanfaatan daerah terumbu karang sebagai taman laut dijadikan
objek wisata bahari. Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan
sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun.
Penelitian tentang kondisi ekologi terumbu karang di Indonesia tergolong masih
sedikit, pada hal perairan laut Indonesia demikian luasnya dan sangat kaya akan sumberdaya
terumbu karangnya. Sementara itu eksploitasi terhadap terumbu karang untuk berbagai tujuan
terus berlangsung tanpa memperhatikan keadaan ekologisnya. Hal ini apabila terjadi terus
menerus akan mengakibatkan kepunahan terumbu karang yang ada. Sebagai salah satu
ekosistem yang secara ekologis merupakan habitat berbagai jenis organisme laut, maka
sangatlah perlu dijaga kelisteriannya.
Berdasarkan pemikiran di atas upaya konservasi dan pengelolaan terumbu karang
sebagai sumberdaya sangat penting dan berdimensi ganda, pendekatan bioekologi terumbu
karang serta alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat
tangkap long line pot dan usaha budidaya laut harus dilakukan secara terintegrasi.
3.3.2. Pertimbangan Konservasi
Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat
penting artinya. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat
mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi secara
optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan
dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat, untuk masa kini
dan masa yang akan datang. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang haruslah secara
menyeluruh baik ekosistem terumbu karang itu sendiri maupun sumberdaya ikan yang
berasosiasi dengan terumbu karang, serta melibatkan masyarakat pengguna dengan
memperbaiki terumbu karang yang telah rusak melaui pembuatan terumbu karang buatan.
Disamping itu mencari alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket
teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan serta pengalihan usaha ke budidaya laut, yang
layak dan memberikan prosfek yang cerah untuk meningkatkan pendapatan khususnya nelayan
setempat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini
adalah 14 % dalam kondisi kritis, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % kondisi masih bagus
dan kira-kira hanya 7 % yang kondisinya sangat bagus. Bertambahnya berbagai aktivitas
manusia yang berorientasi di daerah terumbu karang akan menambah tekanan dan sebagai
dampaknya adalah turunnya kualitas terumbu karang. Jika kegiatan yang berhubungan dengan
21
terumbu karang tidak segera dilakukan dengan baik maka prosentas terumbu karang dengan
kriteria kritis akan bertambah dengan cepat (Anonymous, 1992). Di beberapa bagian perairan
laut saat ini berlansung perusakan terumbu karang sudah pada tingkat yang menghawatirkan,
sebagai akibat pengeksploitasiannya yang tidak terkendali, antara lain Teluk Ambon (Yusron
dan Syahaetua, 1987) dan di pantai Lombok Barat, Nusa Tenggara (Sutarna dkk., 1987) serta
Kepulauan Seribu. Keadaan serupa terjadi pula pada daerah terumbu karang di perairan Pasir
Putih Selat Madura, terutama pengambilan karang sebagai hiasan dan bahan bangunan serta
usaha penangkapan berbagai jenis ikan hias yang menggunakan bahan racun pada kadar
tertentu dengan tujuan agar supaya ikan tertangkap dalam keadaan pingsan. Hal ini jelas akan
berpengaruh terhadap ekosistem teumbu karang yang ada disekitarnya.
Terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan, tempat berkembang biak,
mencari makan dan berpijah bagi berbagai jenis biota laut, mempunyai kestabilan, anekaragam spesies dan ekosistem beradaptasi secara baik melalui simbiose internal dan intra
komunitas. Akan tetapi tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali
diserang oleh faktor-faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971). Di sisi lain
terumbu karang sebagai sumberdaya dieksploitasi sebagai bahan bangunan, bahan baku
industri pupuk dan farmasi tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologi.
Adanya kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan pula perubahan keragaman
organisme penghuni terumbu karang Menurut Risk (1972) di perairan terumbu karang terdapat
indikasi adanya hubungan antara keragaman spesies ikan dengan kompleksitas substrat. Daerah
yang mempunyai keragaman spesies karang yang lebih banyak akan lebih bervariasi populasi
ikannya. Makin kompleks populasi karang akan memberikan pula relung (niche) ekologi yang
lebih banyak bagi ikan-ikan karang. Mengingat terumbu karang mempunyai arti penting baik
ditinjau dari segi ekologi sebagai penyangga kehidupan maupun segi potensi ekonomi berupa
usaha perikanan, industri dan pariwisata, perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
3.3.3. Ekosistem Terumbu Karang
A. Daerah Penyebaran Terumbu Karang
Luas daerah terumbu karang di dunia sedikitnya mencapai 600,000 km2, yang
tersebar di daerah antara 30o LU dan 30o LS, dengan beberapa kekecualian, terutama
mendominasi perairan dangkal daerah tropis. Kekecualian tersebut terdapat di daerah lintang
tinggi yang mendapat aliran arus hangat, sebagai contoh yaitu dijumpainya terumbu karang di
perairan Indo-Pasifik pada daerah 35o LU, di dekat Kepulauan Jepang, dan pada 32 o LS, di
Laut Tasmania (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983; White, 1987). Oleh karena itu terumbu
karang digolongkan sebagai salah satu ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis dan sering
digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropis (Odum, 1971); Nybakken,
1983).
Walaupun begitu di daerah tropis tidak akan terdapat terumbu karang bila suhu air
laut, salinitas dan penetrasi cahayanya berada pada kondisi kritis bagi kehidupan terumbu
karang. Sebagai contoh di daerah pantai Samudra Hindia bagian utara, Teluk Persia bagian
utara dan pantai di sekitar Hongkong tidak dijumpai terumbu karang karena merupakan daerahdaerah yang memiliki kekeruhan, suhu dan pengenceran oleh air tawar yang melampaui batas
toleransi bagi pembentukan dan pertumbuhan terumbu karang. Demikian juga halnya di
daerah pantai tropis yang mendapat aliran arus dingin, seperti pantai Barat Afrika dan sebagian
besar pantai Barat Amerika Utara dan Selatan (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983).
Penyebaran geografis terumbu karang dipengaruhi oleh suhu dan hampir semuanya
hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 o C (Barnes,
1980; Ditlev, 1980; Nybakken, 1983; Berwick, 1983). Menurut Berwick (1983) dan Nybakken
(1983), tidak ada terumbu karang yang berkembang pada perairan yang suhu minimum
tahunannya di bawah 18o C. Perkembangan optimal untuk terumbu karang adalah pada perai-
22
ran yang suhu rata-rata tahunannya (23o - 25o) C, sedangkan suhu maksimum yang dapat
ditoleransi oleh terumbu karang adalah (36o - 40o) C (Nybakken, 1983). Menurut Berwick
(1983) suhu optimum bagi terumbu karang berkisar antara (25o - 29o) C, sedangkan suhu
maksimumnya berkisar antara (35o - 38o) C, tergantung pada jenisnya.
Penetrasi cahaya matahari memainkan peranan penting dalam pembentukan terumbu
karang, karena cahaya matahari menentukan berlangsungnya proses fotosintesa bagi alga yang
bersimbiosa di dalam jaringan karang (Berwick, 1983). Oleh karena itu distribusi vertikal
terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk. Barnes (1980)
menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup sampai kedalaman 60 m, menurut Ditlev
(1980) pada perairan yang jernih di se-kitar samudera terumbu karang dapat mencapai
kedalaman lebih dari 80 m, menurut Vaughan dalam Sukarno (1981) kedalam maksimum
untuk terumbu karang adalah 45 m. Nybakken (1983) menyatakan bahwa terumbu karang tidak
dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari (50 - 70) m dan kebanyakan terumbu
karanmg tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang.
Terumbu karang, terutama karang hermatipik merupakan organisme laut sejati dan
kebanyakan spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari salinitas normal air laut ( 30 - 35 ) o/oo Nybakken, 198; Berwick, 1983). Faktorfaktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah
suhu, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus (pergerakan) air, dan substrat (Barnes,
1980; Nybakken, 1983; Bewick, 1983). Untuk hidupnya terumbu karang memerlukan air laut
yang bersih dan jernih, apabila terjadi kekeruhan pada air laut akan mempengaruhi penetrasi
cahaya matahari sehingga laju pertumbuhan dan produksi terumbu karang (Berwick, 1983).
Arus diperlukan oleh terumbu karang, tersedianya aliran suplai makanan berupa plankton dan
oksigen serta terhindarnya karang dari timbunan endapan (Sukarno, 1981). Selanjutnya
dinyatakan bahwa substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk membentuk
koloni baru.
B. Bahan Pembentuk Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan endapan (deposit) padat kalsium (CaCO 3), yang
dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous alga) dan
organisme-organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (CaCO3) yang berperan dalam
pembentukan terumbu karang modern, karang batu (Scleractinia) merupakan penyusunan yang
paling penting (Barnes, 1980). Walaupun penyusun utama ekosistem terumbu karang adalah
karang batu, tetapi peran karang lunak juga tidak kalah penting dalam penyusunan fisik
terumbu karang (Manuputty, 1986).
Karang terdiri dari dua kelompok, yaitu karang her-matipik dan karang ahermatipik.
Karang hermatipik adalah karang yang mengahsilkan terumbu dan penyebarannya hanya
ditemukan di daerah tropis. Sedangkan karang ahermatipik adalah karang yang tidak
menghasilkan terumbu dan kelompok karang ini tersebar luas di seluruh dunia. Yang menjadi
perbedaan utamaantara karang hermatipik dengan karang ahermatipik adalah adanya simbiose
mutualisme antara karang dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga unisular ( dinof- lagellata
unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang.
Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut, sedangkan karang ahermatipik tidak
(Ditlev, 1980; Nybakken, 1983).
Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan
zooxanthellae. Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang demikian eratnya hingga
sangat menentukan metabolisme hewan terse- but, kemampuannya untuk membentuk kerangka
dan sebaran vertikalnya. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di terumbu karang sehingga memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat
penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1983; Nontji, 1984). Oleh karena itu
karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan
23
tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan
cahaya matahari tidak diragukan lagi adalah untuk zooxanthellae (Nybakken, 1983; Suharsono,
1984). Goreau (1961, dalam Nybakken, 1983) menyatakan bahwa zooxanthellae meningkatkan
laju proses kalsifikasi (pembentuk kapur) yang dilakukan oleh karang dan laju pertumbuhan
koloni karang. Namun mekanisme zooxan-thellae meningkatkan laju pertumbuhan kerangka
karang sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Tetapi Barnes (1980) menjelaskan bahwa
adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat
dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berukut :
Ca(HCO3)2 <===> CaCO3 +
H2CO3 <===> H2O + CO2
Fotosintesa oleh alga yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu
menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira- kira 10 kali lebih
cepat dari pada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose
dengan zooxanthellae (Ditlev, 1980).
C. Klasifikasi, menurut Ditlev (1980) adalah :
Filum : Cnidaria
Kelas : Anthozoa
Sub kelas : Zooantharia
Ordo : Scleractinia
Sub ordo : Atrocoeniina
Famili : Pocilloporiidae, Acroporidae
Sub ordo : Agariciidae, Thamnasteriidae,
Fungiidae,Siderastredae,
Poritidae
Sub ordo : Faviina
Famili : Faviidae, Trachyphyllidae,
Merulinidae, Oculinidae,
Mussidae, Meandrinidae,
Pectinidae.
Sub ordo : Caryophylliina, Famili : Caryophylliidae
Sub ordo : Dendrophylliina, Famili : Dendrophylliidae
Sub kelas : Octocorallia
Ordo : Stolonifera, Famili : Tubiporidae
Ordo : Coenothecalia, Famili : Helioporidae
Kelas : Hydrazoa
Ordo : Milleporina, Famili : Milleporidae
Ordo : Stylasterina, Famili : Stylasteridae
D. Anatomi Terumbu Karang
Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter, Individu karang (koral) disebut polyp,
yang terdiri dari bagian yang lunak dan bagian yang keras berbentuk kerangka kapur. Organ
mulutnya terletak di bagian atas yang sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk
dicerna oleh filamen mesentry dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh
terumbu karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan
terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah nematokis (nematocyst).
Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agaragar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi
zooxanthellae (Nybakken, 1982; Suharsono, 1984), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose berada di dalam jaringan gastroderm. Umumnya ukuran diameter polyp
24
karang yang berbentuk koloni 1 - 3 mm, sedangkan beberapa jenis yang soliter ada yang
mencapai 25 cm.
Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis
yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini menghasilkan rangka cawan
(skeletal cup), dimana polyp karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang
mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada
bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating cacareous septa).
Disamping memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama
sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp memjadi kecil dan
berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes,
1980). Karang merupakan hewan karnivora, seperti pada sebagian besar anggota filumnya.
Karang memiliki tentakel yang dipenuhi oleh kapsul-kapsul berduri (nematoksis) yang
dipergunakan untuk menyengat dan menangkap mangsa (Nybakken, 1983). Menurut Barnes
(1980) karang memangsa ikan-ikan kecil sampai zooplankton, tergantung dari ukuran polyp
karang. Umumnya berkontraksi.
Selain mendapatkan makanan dari luar tubuhnya karang juga mendapatkan bahan
makanan dari alga zooxanthellae yang bersimbiose dengannya. Hal ini dibuktikan oleh
Frazisket (1969,
dalam Nybakken, 1983), bila karang tidak menperoleh makanan,
zooxanthellae menyediakan makanan.
E. Tipe Terumbu Karang
Bentuk umum struktur terumbu karang dapat digolongkan tiga tipe yaitu atol, terumbu
penghalang (barrier reef) dan terumbu tepi (fringing reef). Atol merupakan terumbu yang
berbentuk cincin yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Terumbu penghalang
dan terumbu tepi keduanya berdekatan dengan daratan, terumbu penghalang dibatasi oleh jarak
lebih besar dan perairan lebih dalam dibandingkan dengan terumbu tepi (Nontji, 1987).
Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan
produktivitas biologinya. banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat
tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai jenis ikan
dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan
sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang
meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik. Masing- masing kompoenen
dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat antara satu dengan yang lain
(Sukarno, 1981).
F. Ekologi Ikan-Ikan Karang
Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman
produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat
tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan biota yang
ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang
hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kelompok biota
dari berbagai tingkat tropik. Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai
ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken, 1988). Dari gambaran di atas
tampak jelas bahwa ikan-ikan tersebut memberikan andil besar terhadap ekosistem terumbu
karang.
Jenis-jenis ikan ekonomis penting tertentu memiliki asosiasi dengan ekosistem
terumbu karang. Hasil perikanan dari perairan terumbu karang dan perairan dangkal di sekitar
berkisar antara 2.5 - 5 ton/km2/tahun dengan potensi perikanan karang seluruhnya mencapai
2.7 juta metrik ton/tahun (Berwick, 1983) atau diduga sekitar 9 -12 % dari total hasil perikanan
dunia yang bernilai 70 juta ton/tahun (White, 1987 dalam Aktani 1988). Menurut Salm (1984)
hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000
kg/nelayan/tahun.
25
Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan
bahwa daerah pusat indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indonesia yang kaya akan keragaman
jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies ikan dan jumlah tersebut menurun pada
daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas
spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di
terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung
(niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak
(berakomodasi) di dalam area tertentu. Maka sebagai akibatnya ikan-ikan karan terbatas dan
terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang( Nybakken, 1988).
Fisiografi dasar perairan adalah faktor utama yang menentukan distribusi dan
kelimpahan ikan-ikan karang. Oleh karena itu keberadaan ikan-ikan karang juga sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau kesehatan terumbu karang, yang biasanya ditujukan oleh
prosentase penutupan karang hidup (life coverage). Perbedaan habitat terumbu karang dapat
mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan-ikan. Oleh karena itu interaksi intra dan inter
spesies berperan penting dalam penentuan perwilayahan (spacing, sehingga banyak ikan-ikan
yang menempati wilayah tertentu.
Dua kelompok ikan yang secara aktif memangsa koloni karang, yaitu jenis yang
memakan karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae) dan
jenis omnivora yang mencabut polyp karang untuk mendapatkan algae yang berlindung di
dalaam rangka karang (famili Acnthuridae, Scaridae). Ikan yang omnivora jumlahnya
mencapai 50 70 %, hampir meliputi semua ikan di terumbu karang (famili Tetra-odontidae,
Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae). Kelompok ke dua sekitar 15 % adalah ikan
herbivora dan pem-angsa karang. Hanya beberapa spesies saja yang planktivora (Clupeidae,
Atherinidae) dan karnivora.
26
Piskovora Besar
(hiu, kerapu, karangida, barakuda
Pemangsa ikan kecil
(kerapu, seranida
kecil, karangida)
Piskovora perairan
tengah (karangida)
-
Pemangsa karang
(ikan buntal,
ikan kakatua)
Pemangsa invertebrata
bentik (ikan kepe-kepe
kerapu kecil)
-
-
Karang
Pemangsa invertebrata
perairan tengah (ikan
betok laut, klupeida
Zooplankton
Herbivora
ikan pakol,ikan
bibir, belosoh
-
Algae bentik
Pemangsa detritus
(belanak)
Invertebrata
bentik
Detritus
Fitoplankton
Gambar 3.3. Hubungan trofik pada ikan-ikan karang (Sumber: Connel, 1977
dalam Nybakken, 1988)
3.4. RUMPUT LAUT
3.4.1. Pendahuluan
Inventarisasi rumput laut di beberapa tempat di Indonesia telah dilakukan sejak lama.
Diantara jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia, Heyne pada tahun 1922 mencatat
21 jenis rumput laut yang bermanfaat. Daftar jenis-jenis rumput laut tersebut telah ditambah
dan diperluas oleh Zaneveld pada tahun 1955 dengan memasukkan jenis-jenis yang ekonomis
dari kawasan Asia Tenggara. Dari berbagai jenis rumput laut yang bermanfaat di Indonesia,
Kelas Rhodophyceae dapat menghasilkan agar-agar dan karaginan.
Indonesia dan Filipina merupakan negara penghasil Eucheuma terbesar dengan
produksi sebesar 85 % dari jumlah total tanaman tersebut di dunia. Produksi tersebut
didapatkan dari hasil budidaya yang dimulai pada tahun delapan puluhan (Risjani, 1999). Pada
27
saat ini produksi dan nilai ekspor Eucheuma dari Indonesia ke beberapa negara naik seiring
dengan fluktuasi nilai dolar Amerika. Negara produsen Gracilaria yang terbesar adalah Chili
dengan produksi mencapai sekitar 47 ribu ton berat kering per tahun, sedangkan Indonesia
menghasilkan sekitar 2 ribu ton berat kering per tahun pada kurun waktu lima tahun terakhir.
Eucheuma alvarezii atau yang disebut dalam dunia perdagangan dengan Eucheuma
cottonii adalah rumput laut yang mempunyai banyak kegunaan, mengandung karaginan yang
banyak dibutuhkan oleh dunia industri. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak 1997 yang lalu, dan dengan menurunnya nilai rupiah terhadap beberapa mata
uang asing telah membuat terpuruknya beberapa usaha komoditas tertentu. Sebaliknya
komoditas yang mempunyai pasaran ekspor seperti Eucheuma alvarezii, dalam kenyataannya
menambah nilai ekspor dan devisa negara.
Rumput laut tumbuh hampir di seluruh hidrosfir sampai batas kedalaman kurang dari
300 meter, suatu kedalaman dimana masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Cahaya
matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh tanaman laut guna melakukan
fotosintesa. Rumput laut hidup sebagai filobentos dengan menancapkan atau melekatkan
dirinya pada substrat pasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu ataupun kayu.
Faktor-faktor oseanografis (fisika, kimiawi, dan dinamika) dan macam-macam substrat
sangatlah menentukan terhadap pertumbuhan rumput laut. Iklim dan letak geografis
menentukan pula jenis-jenis rumput laut yang tumbuh.
Rhodophyceae mengandung bahan yang disebut agar-agar dan karaginan. Zat-zat
tersebut adalah fikoloid berbentuk polysacharida. Algin dapat diekstrak dari Phaeophyta. Agaragar, Karaginan, dan Algin adalah produk hasil olahan rumput laut dan merupakan zat yang
cukup penting dalam dunia perdagangan dan industri. Kadar agar-agar, karaginan dan algin
yang dikandung oleh rumput laut tidaklah sama. Tinggi rendahnya kandungan tersebut
tergantung pada jenis rumput lautnya, bahkan juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi
kadarnya.(Soegiarto et al., 1978; Perez et al., 1992)
Rumput laut jenis Gelidium spp. Gracilaria spp. dan Hypnea spp. merupakan bahan
dasar pokok untuk pembuatan agar-agar di Indonesia, baik oleh perusahaan ataupun industri
rumah. Jenis rumput laut yang belum diolah tetapi cukup penting adalah Eucheuma spp.
terutama mengandung bahan karaginan, jenis ini umumnya diekspor.
Menurut Perez, et al. (1992) ada empat jenis karaginan, yaitu iota, yang dihasilkan
oleh Eucheuma spinosum, lambda yang dihasilkan dari Chondrus crispus dan betha yang
dihasilkan dari Eucheuma gelatinae, sedangkan Eucheuma alvarezii menghasilkan karaginan
jenis kappa. Dalam dunia industri karaginan berbentuk garam dengan Sodium, Calcium dan
Potasium. Aplikasi Karaginan hasil ekstraksi Eucheuma dipakai dalam berbagai industri, yaitu:
ï‚· Idustri pangan : Karaginan digunakan sebagai gel, penebal, suspensi dan
stabilisator. Aplikasi zat ini dapat dijumpai pada produk-produk coklat, puding, es
krim, susu evaporasi, keju, jelly rendah kalori dan makanan hewan piaraan.
ï‚· Industri konsumsi rumah tangga : Zat ini digunakan sebagai agen tambahan pada
produk seperti pasta gigi, shampo, kosmetik, dan produk farmasi.
Agar atau dalam bahasa populernya agar-agar yang dikandung rumput laut jenis ini
merupakan produk hasil olahan rumput laut dan zat yang cukup penting dalam dunia
perdagangan dan industri. Menurut Perez, et al. (1992) agar biasa dipakai dengan
menggunakan kode E 407. Aplikasi agar hasil ekstraksi Gracilaria dipakai dalam berbagai
industri, yaitu:
ï‚· Idustri pangan, selain yang dikenal sebagai 'agar-agar', zat ini digunakan sebagai
gel, penebal, suspensi dan stabilisator.
ï‚· Industri kosmetik, farmasi dan bioteknologi.
Disamping mengandung bahan atau zat yang seperti tersebut diatas, rumput laut juga
memiliki kandungan-kandungan lain. Kandungan air, lemak, protein, karbohidrat, serat kasar
dalam beberapa jenis rumput laut juga berbeda bergantung jenisnya.
28
Budidaya rumput laut dapat diterapkan secara generatif melalui perkembangan spora
dan vegetatif melalui pekembangan stek thallus. Cara pertama masih belum dikembangkan
khususnya untuk rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria, kecuali beberapa jenis dari
golongan Phaeophyceae. Di Indonesia telah dikenal sistem budidaya berdasarkan sifat
reproduksi vegetatif yang dapat dilakukan dengan mudah. Sistem ini dilakukan berdasarkan
kemampuan setiap potong thallus untuk tumbuh dan membuat percabangan baru. Berdasarkan
sifat reproduksi vegetatif ini dikenal dua metode yang sudah banyak diterapkan yaitu metode
lepas dasar dan metode rakit.
Metoda lepas dasar biasanya diterapkan pada perairan terumbu karang dengan dasar
perairan yang terdiri dari pasir bercampur pecahan karang dan kedalaman waktu surut antara
30-60 cm. Biasanya thallus tanaman diikatkan pada seuatas tali yang direntangkan dalam air
dengan bantuan patok kayu atau bambu yang ditancapkan kedasar pasir. Metode ini sering
ditemukan di daerah pantai Nusa Penida, Bali, dan di perairan sesuai dengan kondisi
lingkungannya yang mendukung metode lepas dasar. Metode ini diterapkan berdasarkan
metode yang dilakukan di perairan Filipina, sehingga Perez, et al (1992) menyebut metode ini
dengan metode/sistem Filipina.
Metode rakit yang banyak diterapkan di Jawa Timur ini praktis dilakukan pada
perairan dengan kedalaman air pada saat surut lebih dari 60 cm. Rakit biasanya terbuat dari
bambu berupa petak atau persegi panjang yang ukurannya dibuat sesuai keinginan petani.
3.4.2. Permasalahan
Inventarisasi dan penilaian potensi sumberdaya rumput laut merupakan salah satu
langkah awal dalam perencanaan pengembangan potensi sumberdaya perikanan. Inventarisasi
usaha dan sumberdaya rumput laut di Jawa Timur belum dilakukan dan kurangnya informasi
tentang hal ini menyebabkan sulitnya memperoleh data-data yang dibutuhkan bagi setiap
institusi, lembaga, pengusaha dan nelayan.
Seperti telah disebutkan diatas, di Jawa Timur terdapat berbagai spesies yang
ekonomis penting dan dapat dikembangkan, tetapi pada kenyataanya di Indonesia pada
umumnya dan di Jawa timur pada khususnya hanya 2 jenis yang banyak dikenal oleh
masyarakat pantai dan telah dibudidaya, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Pengembangan
sumberdaya spesies lain yang potensial belum dilakukan dan banyak spesies lain yang belum
dikenal.
Disamping itu data statistik Perikanan, khususnya tentang sumberdaya rumput laut,
dianggap masih belum lengkap dan masih memerlukan penyempurnaan dalam penyajiannya.
Mengingat pentingnya informasi sumberdaya ini, dan sedikit serta terbatasnya informasi
sumberdaya rumput laut di Jawa Timur, maka penelitian tentang potensi sumberdaya rumput
laut di Jawa Timur perlu dilakukan.
3.4.3. Sumberdaya Rumput Laut di Jawa Timur
Inventarisasi jenis-jenis rumput laut di Jawa Timur bagian Selatan telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti dari Universitas Brawijaya pada tahun 1993. Di daerah tersebut berbagai
jenis rumput laut tumbuh di daerah pantai berkarang dan telah ditemukan lebih dari 30 jenis,
yang terdiri dari klass-klass Phaeophyceae, Rhodophyceae dan Chlorophyceae. Diantara jenisjenis yang ditemukan di bagian selatan Jawa Timur, jenis-jenis dari golongan Rhodophyceae
dan Phaeophyceae yang dominan.
Adapun jenis-jenis yang bernilai ekonomis di daerah tersebut tersaji pada Tabel 3.4.1.
29
Tabel 3.4.1. Jenis-jenis rumput laut ekonomis.
No
1
2
3
4
5
6
Rumput laut
Gelidium spp.
Gelidiella spp.
Gracilaria spp.
Eucheuma spinosum
Eucheuma cottonii
Hypnea spp.
Disamping jenis jenis yang tumbuh secara alami, terdapat pula jenis-jenis yang telah
dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diantaranya:
Eucheuma
Eucheuma yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Eucheuma cottonii atau
alvarezii dan Eucheuma spinosum yang merupakan jenis rumput laut bermanfaat karena
menghasilkan karaginan yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae) dengan sistematika (Dawson, 1946) termasuk klas Rhodophyceae (alga
merah), Ordo Ceramiales dan Famili Solieriaceae. Jenis rumput laut ini mengandung karaginan
yang merupakan fikoloid berbentuk polysacharida. Kadar zat ini yang dikandung oleh genus
Eucheuma berbeda satu dengan lainnya. Tinggi rendahnya kandungan tersebut tergantung pada
jenis (varietas) rumput lautnya, juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi kadarnya.
Gracilaria
Selain Eucheuma yang menghasilkan karaginan, jenis lain seperti Gracilaria juga
bermanfaat karena menghasilkan agar yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput
laut merah (Rhodophyceae) yang menurut sistematika Dawson (1946) berada dibawah ordo
Gigartinales.
3.5. PERIKANAN Air Payau
1. Iklim
Temperatur berkisar antara 15 - 30oC, dan kisaran optimumnya 18-20oC. Curah hujan tidak
menjadi masalah jika sumber air tawar (sungai) tersedia.
2. Tanah
Persyaratan kebutuhan tanah untuk pencetakan tambak adalah : kedalaman tanam minimum 75
cm, permeabilitas sedang, drainase agak cepat hingga agak baik, tingkat kesuburan tanah
sedang, tekstur pasir berlempung hingga liat (tipe 1:1) dengan reaksi tanah (pH ) antara 5.2 8.5 dan kisaran optimumnya 6.0-7.0.
3. Hasil
Produksi ikan tambak yang diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen belum
diperoleh data yang akurat.
Persyaratan penggunaan lahan untuk: PERIKANAN AIR PAYAU
Persyaratan penggunaan/
Kelas kesesuaian lahan:
Karakteristik lahan
S1
S2
S3
N
Temperatur (tc)
Temperatur rataan (oC)
12-24
27-30
> 30
24-27
30
Ketersediaan air (wa)
Sumber air tawar
Amplitudo pasang surut (m)
Ketersediaan oksigen (oa)
Oksigen
Tanah (rc)
Tekstur
Bahan kasar (%)
Kedalaman tanah (cm)
Gambut:
Ketebalan (cm(
+ dg sisipan/pengkayaan
Kematangan
Bahaya sulfidik (cm):
Kedalaman sulfidik (cm)
10-12
8-10
<8
berlimpah
1-2
cukup
2-3
Kurang
0.5-1
3-3.5
Tdk ada
<0.5
>3.5
Banyak
Cukup
Agk kurang
Kurang
h, s
<15
>100
ah
15-35
75-100
Ak
35-55
40-75
k
>55
<40
<50
<50
Saprik+
50-100
50-150
Saprik
Hemik+
100-150
150-200
Hemik
Febrik+
>150
>200
Fibrik
>100
75-100
50-75
<50
<= 16
35-50
5.4-5.6 7.6-8.5
0.8-1.2
F1
<35
<5.4 >8.5
<0.8
F2
>F3
1-2
5-15
5-15
2-3
15-40
15-25
>3
>40
>25
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol)
>16
Kejenuhan basa (%)
>50
PH (H2O)
5.6-7.6
C-organik (%)
>1.2
Bahaya banjir (fh):
F0
Genangan
Penyiapan lahan (lp)
Lereng (%)
<1
Batuan di permukaan (%)
<5
Singkapan batuan (%)
<5
Keterangan:
Tekstur: h = halus; ah= agak halus; s = sedang;
bahan mineral.
ak = agak kasar. + : gambut dengan sisipan/pengkayaan
IV. PENDEKATAN DAN KERANGKA KONSEP:
ANALISIS POTENSI & PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
4.1. Pendahuluan
Aktivitas pembangunan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan hidup. Kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk
menunjang kebutuhan pembangunan bersifat tidak tak-terbatas. Hal ini mengandung makna
bahwa sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembangunan, mau tidak mau tingkat
kelangkaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup akan semakin nyata. Dalam
hubungan ini, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara telah menggariskan
bahwa pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh
masyarakat. Dalam melaksanakan pembangunan, penggunaan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan hidup harus sebijaksana mungkin sehingga tidak mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang dapat mengancam kelestariannya.
Penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan
harus memperhatikan konservasi dan upaya rehabilitasi untuk melestarikannya, keseimbagan
alam harus dijaga, dan timbulnya dampak negatif harus dikendalikan seminimum mungkin.
Dalam hubungan ini maka penting diketahui secara tepat potensi dan kondisi sumber-daya
alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang serta kecenderungan-kecenderungan di masa
mendatang. Selain itu juga perlu diperhitungkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup
31
akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk itu perlu diketahui berbagai metode untuk menilai
potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan
pengelolaannya.
Kegiatan pembangunan memerlukan modal dasar sumber daya alam untuk me-wujudkan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Hal ini berkonsekuensi pada tingkat
pemanfaatan sumberdaya alam yang cukup tinggi, yang dapat mengarah kepada eksplotasi
sumberdaya alam dan pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumber daya alam.
Sehubungan dengan hal ini maka optimasi penggunaan sumberdaya alam harus dapat
dicapai dengan keterpaduan pertimbangan aspek-aspek ekonomi dan keles-tarian
sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
4.2. Karakteristik dan Batasan
Sumberdaya alam kelautan dapat meliputi semua benda hidup dan mati yang ada di laut.
Namun demikian penggunaan istilah "sumberdaya alam" secara tradisional menunjuk
kepada sumberdaya dan sistem-sistem yang terdapat secara alamiah dan berguna bagi
manusia atau dapat dimanfaatkan oleh manusia pada tingkat teknologi, ekonomi dan
sosial-budaya yang ada. Akan tetapi pada jaman sekarang pengertian tersebut harus
diperluas untuk dapat mencakup sistem-sistem lingkungan dan sistem-sistem ekologi
(ekosistem).
Penggunaan sumberdaya alam mencakup konsumsi langsung seperti ikan hasil
tangkapan, hasil tambak air-payau, wisata-bahari, garam, dan kayu bakau. Dalam beberapa
kasus ternyata sumberdaya alam dapat bersifat multi-guna.
Beberapa cadangan sumberdaya alam bersifat dapat diperbarui (renewable) oleh
proses alamiah atau dibantu manusia, sedangkan sumberdaya alam lainnya tidak dapat
diperbarui (non-renewable). Radiasi surya, angin, enerji pasang-surut, budidaya perikanan,
dan air permukaan dianggap sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbarui; sedangkan bijih
mineral dan bahan bakar fosil dianggap tidak dapat diperbarui. Sifat dapat-pulih ini seringkali
sangat tergantung pada metode pengelolaan non-destruktif yang diterapkan, karena beberapa
macam perubahan sumberdaya alam sifatnya tidak dapat balik (irreversible).
4.3. Isu-isu pokok tentang sumberdaya alam kelautan
(1).
(2).
(3).
(4).
"Lokasi cadangan/potensi sumberdaya yang tersebar". Potensi ikan/hasil tangkapan
dianggap sangat banyak dan setiap tahun senantiasa diketemukan potensi baru, tetapi
lokasi cadangan tersebut tersebar luas dan tidak sama dengan lokasi pusat
konsumsinya. Hal ini akan mendatangkan berbagai implikasi, terutama dalam konteks
hubungan antara produsen dan konsumen.
"Pergeseran historis dari ketergantungan pada sumberdaya alam dapat pulih ke arah
ketergantungan pada sumberdaya yang tidak dapat pulih". Sebagai teladan adalah
pergeseran konsumsi bahan bakar, mulai dari kayu bakar beralih ke batu-bara, minyak
dan gas bumi, dan kemudian mengarah kepada enerji nuklir. Dalam bidang perikanan
telah terjadi pergeseran dari penggunaan bahan pakan alami ke arah enerji mekanik
dan pakan sintetik .
Evaluasi kontemporer tentang "kebijakan masa lalu tentang penggunaan sumberdaya
alam". Berbagai kejadian membuktikan adanya eksploitasi sumberdaya alam kelautan
secara tidak bijaksana yang mengakibatkan degradasi. Kebijakan-kebijakan yang
keliru ini telah menimbulkan berbagai bencana dan eksternalitas lingkungan.
"Peranan dan pentingnya sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup
kelautan" sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi .
32
Kebanyakan
analisis
mengenai
sebab-sebab
pertumbuhan
ekonomi
telah
menempatkan perhatiannya pada perkembangan teknologi dan perbaikan sumberdaya
manusia, tetapi sangat sedikit memperhatikan peranan jasa lingkungan kelautan
sebagai media pembuangan limbah.
(5).
(6).
"Semakin berkembangnya ketergantungan kepada cadangan sumberdaya alam yang
semakin inferior". Bukti-bukti menunjukkan bahwa kualitas dan produksi /hasil
tangkapan semakin rendah dibandingkan dengan hasil-hasil pada masa lalu.
"Peranan yang harus diberikan kepada proses dan mekanisme pasar" dalam
menentukan bagaimana sumberdaya alam harus dikelola pada masa-masa mendatang.
Secara historis telah terbukti bahwa mekanisme pasar memainkan peranan penting
dalam menentukan aktivitas eksplorasi dan laju penggunaan sumberdaya alam
kelautan. Inovasi teknologi telah secara meyakinkan mengakibatkan perubahan
harga-harga relatif sumberdaya alam.
4.4. Cadangan, Tingkat Penggunaan, dan Eksplorasi
Istilah "cadangan, reserves" secara klasik dapat digunakan untuk menyatakan
kuantitas dan kualitas sumberdaya tertentu yang telah diketahui keberadaannya. Walaupun
demikian data sumberdaya seringkali berubah dan masih dihantui oleh ketidak-pastian.
Beberapa alasannya adalah (1) belum adanya penggunaan secara baku istilah-istilah
"sumberdaya, sumberdaya dasar dan cadangan sumberdaya"; (2) ketidak-pastian geologis:
deskripsi dan inventarisasi kuantitas, kualitas, dan lokasi yang menjadi subyek kesalahan
pendugaan; (3) konsep tentang cadangan sumberdaya yang secara sosial sesuai seringkali
tergantung pada lingkungan teknologi dan ekonomi.
4.5. Kelangkaan Sumberdaya
Pertanyaan sederhana yang sangat merisaukan adalah apakah tingkat "kelangkaan
sumberdya alam" semakin meningkat atau menurun?. Untuk menjawab pertanyaan krusial
tersebut perlu dipahami lebih dahulu bagaimana konsepsi tentang "kelangkaan". Beberapa
pakar ekonomi sumberdaya berpendapat bahwa "sesuatu komoditi yang mempunyai harga
positif dalam pasar kompetitif adalah langka".
Fisher (1978) menyatakan bahwa suatu indeks yang ideal bagi "kelangkaan" harus
mampu mengukur "sacrify" langsung dan tidak langsung yang dilakukan untuk mendapatkan
suatu unit sumberdaya. Berbagai indeks "kelangkaan" telah diusulkan, beberapa di antaranya
adalah (1) harga komoditi sumberdaya alam, (2) "rental atau royalty" untuk lahan yang
mengandung sumberdaya, (3) biaya ekstraksi fisik (tidak termasuk 'royalty'), dan (4) ukuranukuran yang menyatakan sampai dimana kapital dan tenagakerja dapat disubstitusikan untuk
menggantikan masukan sumberdaya alam dalam suatu proses produksi.
Barnett dan Morse (1963) mengusulkan tiga macam hipotesis tentang "kelangkaan",
yaitu (1) bahwa biaya riil satuan produksi telah meningkat dengan waktu, (2) biaya produksi
komoditi ekstraktif telah meningkat relatif terhadap biaya produksi dari semua komoditi nonekstraktif, dan (3) bahwa harga-harga riil komoditi ekstraktif telah meningkat relatif terhadap
harga-harga riil komoditi non-ekstraktif.
33
4.6.
Faktor yang mempengaruhi kelangkaan
a. Perubahan teknologi
Kemajuan teknologi telah memungkinkan terjadinya hal-hal penting yang secara
langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kelangkaan sumberdaya alam, yaitu: (a)
peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; (b) peningkatan 'recovery' sumberdaya
alam, baik dengan jalan meminimumkan limbah ataupun dengan meng-gunakan bahan mentah
yang kualitasnya lebih rendah; (c) memungkinkan penggunaan sumberdaya alam yang semula
belum dapat digunakan; (d) memungkinkan penciptaan produk baru untuk mendukung fungsi
dari produk yang lama.
b.
Substitusi sumberdaya
Sumberdaya yang kualitasnya kurang baik menggantikan sumberdaya yang
kualitasnya lebih baik. Misalnya, substitusi dalam proses produksi pakan ternak terjadi antara
tepung ikan dan tepung non-ikan. Substitusi dalam sektor konsumsi, misalnya konsumsi ikan
hasil tangkapan dna ikan hasil budidaya.
c. Perdagangan atau pertukaran
Perbaikan sarana dan prasarana transportasi telah mengakibatkan sumberdaya alam
yang lokasinya jauh menjadi lebih kompetitif secara ekonomis. Misalnya penggunaan hasilhasil tangkapan oleh masyarakat yang jauh dari pantai.
d. Penemuan ("Discovery")
Perluasan metode-metode eksplorasi tradisional untuk menemukan deposit baru.
Penyempurnaan teknik eksplorasi, seperti metode geo-fisik dan geo-kimia, pengamatan dengan
satelit, dan lainnya.
4.7. Prinsip Pengembangan Potensi Sumberdaya Alam
Para pengelola sumberdaya mempunyai tugas yang sulit menyelesaikan konflikkonflik pandangan dan permintaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya memerlukan
keterampilan dan keahlian dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, pengelolaan ini merupakan
aktivitas politik yang melibatkan pengaturan-pengaturan dari berbagai minat dan kepentingan.
Pola agensi, peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan
isu-isu sumberdaya dan lingkungan tertentu lazim disebut "struktur kelembagaan". Struktur
kelembagaan ini merupakan kendaraan yang dapat digu-nakan untuk melakukan kegiatan.
Struktur ini biasanya terdiri atas berbagai agensi, publik dan privat, aktor-aktor dan peraturanperundangan. Para aktor perlu dikomando di dalam suatu perwakilan agar supaya dapat
melakukan sesuatu secara profesional dan permanen. Selanjutnya agensi-sgensi ini
memerlukan otorita legal untuk dapat bertindak. Mereka memerlukan otorita legal untuk dapat
menggunakan anggaran yang tersedia, sedangkan peraturan-perundangan menetapkan
kegiatan-kegiatan apa yang dapat dilakukannya. Agensi-agensi ini bukan merupakan organisasi
impersonal yang robotik, tetapi mereka tersusun atas individu-individu dari latar-belakang
yang berbeda-beda dan mempunyai hak dan tanggung-jawab sendiri-sendiri. Para aktor ini
mengadministrasikan, membuat dan mengamankan pelaksa-naan kebijakan yang relevan.
Dalam mendefinisikan suatu problem untuk pengelolaan sumberdaya ada dua thema
yang sangat menarik: (1) bagaimana minat sumberdaya atau lingkungan dimasukkan ke dalam
agenda kegiatan, atau bagaimana situasi sumberdaya dan lingkungan menjadi isu penting; dan
(2) teknik-teknik survei dan inventarisasi yang membantu mendefinisikan tingkat isu. Dalam
rangka penentuan apa yang dilakukan terhadap problem, ada dua perangkat teknik, yaitu (1)
teknik-teknik yang membantu proses pemilihan antara dua atau lebih kebijakan atau kegiatan,
dan (2) teknik-teknik yang membantu menetapkan konteks untuk evaluasi kebijakan atau
kegiatan .
34
(a). Identifikasi Problematik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan
Banyak aspek dari pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat politis, termasuk
juga identifikasi problem dan isu-isu lingkungan. Anthony Downs (1972) telah mengemukakan
suatu idea tentang "stress" sebagai suatu "trigger" bagi kegiatan yang akan memasuki
prespektif yang luas dan lama dengan mende-finisikan konsep "issue attention cycle" yang
terdiri atas lima fase.
Fase
Pra-Problem
Fase
Pasca
Problem
Alarmed
discovery &
Euphoric
enthusiasm
Penurunan
minat publik
secara bertahap
Perhitungan
biaya perkem
bangan situasi
lingkungan.
Gambar 4.1. Model Issue-Attention Cycle (Downs, 1972)
Dalam fase pra-problem, hanya ada sedikit orang yang berminat dan tertarik pada
suatu situasi tertentu. Belum tampak jelas adanya respon dari pengelola sumberdaya dan
pembuat kebijakan. Orang yang tertarik ini dapat memperluas opininya melalui media massa,
sehingga mampu membangkitkan minat masyarakat, dan munculnya tanda-tanda adanya
"perhatian = stress" terhadap isu yang ada, sehingga penentu kebijakan dipaksa untuk
bertindak. Kalau tidak ada tindakan nyata maka "stress" tersebut akan berlangsung terus.
Kalau ada kebijakan baru yang diambil, Downs berpendapat bahwa minat masyarakat secara
bertahap akan bergeser ke arah konsekwensi dari kebijakan-kebijakan baru tersebut, biayabiayanya dan efektivitasnya. Hal ini akan melibatkan perhitungan biaya dan manfaat, atau
kerugian-kerugiannya. Perkembangan selanjutnya adalah menolak atau menerima kebijakan
tersebut. Akhirnya isu masyarakat akan memasuki fase Pasca-problem, sehingga hanya
beberapa orang yang tertarik untuk terus memantau perkembangan situasi.
Bagaimana cara munculnya problem dapat membantu menjelaskan isu macam apa
yang dapat menarik perhatian serta tindakan apa yang mempunyai peluang yang bagus untuk
berhasil dilakukan. Isu-isu yang mempunyai gejala yang jelas cenderung untuk bertahan lama
dan mendapat perhatian masyarakat secara luas.
(b)
Inventarisasi dan Pengembangan Potensi Sumberdaya
Inventarisasi sumberdaya alam merupakan prasyarat bagi program penge-lolaan yang
efektif. Dalam rangka untuk menduga ketersediaan sumberdaya, daya dukungnya dan
kesesuaiannya bagi pembangunan, analis sumberdaya memerlukan informasi yang memadai
untuk menjelaskan situasi sumberdaya yang ada.
Para analis sumberdaya alam dapat membujuk pemerintah untuk melengkapi instrumentasi
dengan generasi satelit mutakhir untuk menyempurnakan data yang tersedia dari foto
35
LANDSAT. Harus disadari bahwa satelit pertama yang pernah diluncurkan telah
dirancang secara khusus untuk menyediakan data sumberdaya bumi masih merupakan
satelit percobaan. Dua satelit LANDSAT berikutnya sangat berguna bagi peneliti untuk
meman tau bencana alam, polusi dan perubahan tataguna lahan. Sedangkan LANDSAT-4
dan generasi satelit yang lebih baru akan meningkatkan resolusi gambarnya sehingga
kualitas informasinya lebih baik.
(c)
Analisis klasifikasi dan kapabilitas
Inventarisasi potensi sumberdaya alam kelautan hanya merupakan fase pertama dalam
suatu proses yang melibatkan analisis bagi tujuan-tujuan kebijakan pengembangannya.
Klasifikasi data sumberdaya menyediakan landasan bagi penyusunan rencana tataruang
laut sebelum dirancang proyek-proyek yang detail. Zonasi ke dalam "kategori-kategori"
penggunaannya sangat berguna bagi para pengelola sumberdaya dalam menghadapi
tekanan dari berbagai ekegiatan tradisional dan eksploitasi untuk keperluan enerji, mineral
dan kepentingan industri.
Suatu teladan dari proses analisis ini adalah pemetaan dan evaluasi potensi wilayah
pesisir-pantai dalam rangka pengembangan wilayah .
(d)
Analisis Daya Dukung
Daya dukung merupakan produk dari keputusan pengelolaan, dan lebih merupakan
konsepsi pengambilan keputusan dari pada konsep ilmiah. Daya dukung suatu ekosistem
merupakan kemampuannya untuk mendukung pemanfaatan / konsumsi hingga batas-batas
tertentu. Kalau batas-batas ini terlampaui, "deminishing return" akan mulai terjadi dan
akhirnya mengarah kepada eksploitasi yang berlebihan yang mengakibatkan degradasi
ekosistem .
Batas-batas kapabilitas mengalami perubahan, kapabilitas fisik terus direvisi sesuai
dengan perkembangan teknologi dan regulasi pengelolaan, sedang konsumen menilai-kembali
prioritas sumberdayanya dalam kaitannya dengan lingkungan budayanya. Aplikasi yang paling
general dari konsep "Daya Dukung" berkaitan dengan filosofi "Limits to Growth". Pendekatan
New-Malthusian terhadap isu ketidak-seimbangan populasi-sumberdaya ini telah menarik
perhatian banyak pihak terhadap bahaya-bahaya over-eksploitasi ekosistem dan sumberdaya
kelautan. Akan tetapi umumnya respons terhadap argumentasi daya dukung ini cenderung
untuk bersifat "technical fix".
Kebanyakan penelitian daya dukung kelautan telah dipusatkan pada perencanaan sistem
produksi perikanan, kehutanan (bakau) dan wisata-bahari. Para peneliti mengukur
kemampuan sumberdaya untuk mampu menahan tingkat penggunaan dan mengkaji
bagaimana konsumen menerima daya dukung.
(e)
Teknik evaluasi proyek
Penggunaan kajian inventarisasi, potensi dan kapabilitas serta evaluasi sangat penting
bagi pengelola sumberdaya untuk menetapkan kerangka-kerja selanjutnya yaitu evaluasi
proyek dan review kebijakan. Akan tetapi pada fase ini alternatif usulan proyek dievaluasi
dengan menggunakan tekik-teknik khusus , seperti analisis biaya-manfaat proyek, pendugaan
dampak lingkungan, pendugaan resiko, dan lainnya.
(1)
Analisis Biaya-Manfaat (Benefit-Cost Analysis)
Salah satu prosedur yang pertama kali diadopsi sebagai alat bantu obyektif dalam
pengelolaan sumberdaya adalah analisis biaya-manfaat (ABM). Perhitungan suatu nisbah
dengan jalan membagi estimasi manfaat dengan biaya-biaya untuk mendapatkan satu unit
manfaat per unit biaya terbukti sangat berguna dalam menjawab tiga tipe pertanyaan.
Apakah proyek layak? Apakah proyek mempunyai ukuran otimum, yang kalau dilampaui
36
akan meningkatkan skala dis-ekonomiknya? Manakah di antara beberapa proyek yang
harus dipilih?. ABM dapat membantu dalam menetapkan kelayakan program atau
memilih salah satu di antaranya. Kelemahan dari analisis ini terletak pada pemilihan
peubah yang dimasukkan dalam ABM dan dalam prosedur perhitungan yang diadopsi
untuk mengkonversi peubah-peubah menjadi satuan moneter. Beberapa peubah seperti
kehidupan alami yang akan dilindungi sebagai akibat dari tindakan pengendalian
pembangunan merupakan manfaat yang intangible. Dan berapa nilai moneter yang harus
diberikan kepadanya?.
ABM akan dapat bekerja sebagai alat bantu yang efektif hanya apabila landasan
hukum dan prosedur diterapkan secara jujur oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses
keputusan politik.
(2)
Pendugaan Dampak Lingkungan
Minat terhadap efek pembangunan ekonomi dan dominasi nilai-nilai materialistik tumbuh
dengan pesatnya sejak tahun 1970-an. Hal ini telah diikuti oleh berbagai bentuk regulasi
pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup di berbagai sektor pembangunan. Salah
satu dari regulasi tersebut adalah Pendugaan Dampak Lingkungan, yang pada hakekatnya
ingin mengetahui sampai sejauh mana suatu kegiatan pembangunan menimbulkan dampak
negatif terhadap sumberdaya alam, ekosistem dan kualitas lingkungan hidup.
Pada umumnya ada lima unsur yang harus tercakup dalam proses pendugaan dampak
lingkungan, yaitu:
(i)
Dampak lingkungan dari kegiatan/proyek yang diusulkan,
(ii)
Efek buruk terhadap lingkungan yang tidak dapat dihindarkan kalau proyek
dilaksanakan,
(iii) Alternatif dari proyek yang diusulkan,
(iv) Hubungan antara penggunaan lingkungan hidup lokal jangka pendek dengan
pemeliharaan dan perbaikan produktivitas jangka panjang, dan
(v)
Sumberdaya irreversibel yang akan dilibatkan dalam usulan proyek.
Berbagai metode pendugaan dampak telah dikembangkan dan masih terus diusahakan
untuk disempurnakan sejalan dengan kompleksitas perilaku lingkungan hidup dan kebutuhan
pembangunan. Salah satunya adalah Metode Matriks Leopold, yang merupakan matriks
interaksi antara peubah-peubah lingkungan hidup dan kegiatan proyek. Matriks ini lazim
digunakan untuk identifikasi dampak yang diakibatkan oleh kegiatan proyek. Problem serius
yang dihadapi oleh metode ini ialah bahwa evaluator harus mampu menerapkan indeks yang
sama bagi besaraan dan kepentingan dampak lingkungan dari kasus-kaus yang identik atau
serupa. Bagaimana tingkat jeleknya dampak lingkungan yang dapat diberi skor maksimum 10
? Bagaimana penyekalaan dan skoring dapat dijamin konsisten?
Untuk mengatasi sebagian dari kelemahan ini, telah dikembangkan suatu sistem
rasional untuk estimasi indeks dampak lingkungan yang mencakup berbagai tipe degradasi
lingkungan. Sebagai teladan adalah kasus kualitas air, pendekatan yang konsisten untuk
estimasi dampak dapat dicapai dengan menggunakan model khusus. Air bersih mempunyai
BOD kurang dari 2 ppm, kalau air mengandung BOD lebih dari 2 ppm maka ia tergolong air
yang tidak bersih, sedikit tercemar, atau sangat tercemar. Kurva dapat diturunkan dengan
menggunakan metode estimasi Delphi (expert systems). Beberapa pakar dalam bidangnya
yang relevan diminta untuk menggambarkan pandangannya terhadap bentuk kurva tersebut.
Kalau semua opini pakar tersebut bersesuaian maka model hubungan dapat diterima sebagai
hal yang dianggap benar. Cara-cara seperti ini hanya dapat dilakukan kalau pengetahuan atau
informasi tentang perilaku lingkungan telah tersedia.
(3)
Analisis resiko
Penggunaan analisis resiko dalam evaluasi proyek cenderung untuk memperluas analisis
biaya-manfaat konvensional (menambahkan dimensi resiko) dan pendugaan dampak
37
lingkungan (mengevaluasi alternatif lokasi dengan alasan keamanan). Teknik analisis
resiko telah berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan instalasi- instalasi
yang mengadung bahaya potensial, seperti pusat pembangkit bertenaga nuklir, fasilitas
enerji gas cair dan industri pengolahan.
Pada saat sekarang salah satu metode untuk menentukan peluang terjadinya bencana
ialah dengan "analisis fault-tree atau event-tree, analisis pohon kejadian". Teknik analisis
"fault-tree" ini digunakan untuk meramalkan perkiraan kegagalan sistem kalau pengalaman
aktual dari kegagalan tersebut sangat rendah. Agar supaya teknik ini dapat diaplikasikan,
tingkat kegagalan dari komponen-komponen sistem harus diketahui. Sedangkan teknik analisis
pohon-kejadian digunakan untuk kondisi yang sebaliknya. Misalkan saja, seseorang
mengasumsikan bahwa suatu kejadian initial telah terjadi dan cabang-cabang dari kejadian ini
dilacak melalui sistem. Dari analisis sifat ini maka peluang terjadinya "peristiwa" dihitung
bersama dengan konsekwensi-konsekwensinya. Dalam kasus pusat pembangkit tenaga nuklir
dan fasilitas gas cair, penyebaran spatial polutan-polutan-nya diukur dengan melalui
pemodelan kondisi cuaca pada berbagai waktu dalam setahun.
Komparatif analisis resiko dan analisis biaya manfaat merupakan prosedur utama yang
lazim digunakan untuk menduga akseptabilitas suatu resiko. Hingga sekarang para
pembuat kebijakan lebih cenderung untuk menerima bahwa benefit-benefit dibarengi
dengan tingkat resiko yang rendah dibandingkan dengan resiko dalam kehidupan seharihari.
Tabel 4.1. Proses pendugaan resiko
Fase-fase
Identifikasi
bahaya
Estimasi
resiko
Tujuan
Pengenalan adanya bahaya
alam/ buatan manusia
Pengukuran peluang
terjadinya bahaya dan estimasi
Konsekwensinya
Evaluasi
resiko
Pengambilan
keputusan
Judgement tentang aseptabilatas
resiko
Penerimaan; penolakan
atau modifikasi resiko
Metodologi
Persepsi sensori; pengalaman; investigasi ilmiah
Probabilistic risk assesment (PRA); teknik delphi
Pengalaman orang bijak
atau pendekatan intuitif
Analisis komparatif resiko
analisis biaya manfaat.
Regulasi; pengamanan;
pemantauan melalui
review umum
4.8. Penggunaan Sumberdaya Alam Secara Optimal
Melalui berbagai cara telah dapat dibuktikan bahwa ketersediaan sumberdaya alam
akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Informasi tentang sektor-sektor
ekonomi penghasil komoditi sumberdaya alam sangat diperlukan untuk (1) lebih memahami
ide-ide tentang pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimum secara sosial, (2) bagaimana
mekanisme pasar kompetitif mendekati pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimallestari, dan (3) menentukan hubungan yang ada antara harga komoditi sumberdaya alam, biaya
produksi, dan biaya kelangkaan dengan kelangkaan fisik.
Meskipun karakterisasi dari pola penggunaan sumberdaya alam secara optimum-sosial
masih sangat abstrak, namun ia mampu menyediakan peringatan terhadap keragaan dari
berbagai macam struktur pasar. Dengan adanya gejala-gejala meningkatnya harga-harga
produk ikan, dan diikuti oleh kekhawatiran tentang ketersediaan sumberdaya kelautan dapat
habis, maka telah muncul berbagai keraguan tentang konsep bahwa "free enterprise di dalam
tatanan pasar bebas" akan mampu mewujudkan pola pemanfaatan sumberdaya alam dapat-
38
habis secara optimum-sosial. Harus dibedakan antara kebutusan-keputusan jangka pendek dan
jangka panjang. Sangatlah logis bahwa kecenderungan jangka panjang akan mencerminkan
pola pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam banyak hal tentang kelautan
kita tertarik dalam masalah jangka panjang, dan kita ingin mengkaji bagaimana mekanisme
pasar diharapkan dapat bekerja mengalokasikan sumberdaya kelautan atas waktu yang
panjang. Bagaimana pasar realistis menentukan pola penggunaan sumberdaya alam
dibandingkan dengan pola penggu naan optimum teoritis. Pasar-pasar ini juga akan
menghasilkan data yang dapat kita kaji, data tentang harga komoditi sumberdaya alam, rentabilitas kelangkaan, biaya ekstraksi, kuantitas yang diproduksi, dan kuantitas yang diperkirakan
ada dalam cadangan. Apa yang dapat kita kaji dari data ini tentang efektivitas mekanisme
pasar aktual? Dapatkah kita mendeteksi kapan perekonomian nasional atau global akan
mengalami krisis sumberdaya alam? Dan akhirnya dapatkah kita mempermasalahkan
kemanfaatan beberapa variabel sebagai indeks kelangkaan sumberdaya alam.
4.9.
Faktor-faktor Untuk Mengatasi Kelangkaan Sumberdaya Alam
Kondisi ketersediaan sumberdaya alam mempengaruhi potensial produktif dari suatu
sistem ekonomi di suatu wilayah melalui berbagai cara. Kita juga menyadari bahwa perubahan
IPTEK dalam bidang produksi komoditi / sumberdaya alam dapat membantu mengatasi
kecenderungan kenaikan harga sumberdaya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelangkaan
sumberdaya alam dapat berdampak kepada kenaikan biaya-biaya produk sumberdaya alam dan
degradasi lingkungan.
(a)
Inovasi Teknologi
Menurut Rossenberg (1972), bagian penting dari historis proses inovasi merupakan respon
dari kelangkaan sumberdaya alam.
(b)
Proses Penemuan Potensi Sumberdaya Alam
Penemuan potensi/cadangan baru telah menjadi faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi dan industrialisasi di suatu negara. Sebagai teladan adalah penemuan cadangan
minyak bawah tanah dan bawah laut. Keberhasilan penemuan cadangan baru tersebut
ternyata berkaitan erat dengan kemajuan teknologi penemuan dan pendugaan cadangan
sumberdaya alam seperti berikut ini.
(1). Teknik Penginderaan jauh. Teknologi ini menyediakan catatan informasi yang lengkap
dan rinci tentang terrain untuk mengenali ciri-ciri permukaan dan bawah permukaan.
Dapat digunakan sebagai peta dasar atau diintegrasikan dengan foto-mosaik stereoskopik.
Kegunaan pokok meliputi (a) bidang geologi, (b) pemetaan dan survei kelautan , (c)
survei vegetasi, dan (d) survei penggunaan kawasan pesisir-pantai. Perkembangan
mutahir telah terjadi dalam teknologi fotografi satelit.
(2). Teknik Survei Kelautan. Teknik-teknik ini sangat vital bagi para insinyur dalam
mengevaluasi konstruksi dan tapak jalan raya, pencarian bahan mineral tambang (bahan
galian), mengevaluasi potensi , dan perencanaan pemukiman. Beberapa metode dan
teknik modern yang dikenal adalah (a) metode geofisik: elektrik, gravimetrik, magnetik,
dan seismik; (b) metode geo-kimia: analisis logam mulia.
(4). Survei dan Pemetaan Potensi Sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya secara rasional
memerlukan data dan informasi tentang lokasi, komposisi, kondisi, dan tingkat
pemanfaatan. Penyediaan data dan informasi ini memerlukan dukungan teknologi yang
tepat, seperti penginderaan jauh, sampling statistik, dan observasi lapangan lainnya.
39
V. BIDANG PRIORITAS
5.1. PERENCANAAN dan PENGEMBANGAN Terpadu Coastal Zones
5.1.1. Dasar Pertimbangan
Jawa Timur adalah propinsi dengan jumlah 79 buah pulau kecil, dengan garis pesisir
sepanjang kira-kira 1.600 Km dan luas lautan kira-kira 110.000 Km2 yang merupakan sekitar
60% dari seluruh wilayah propinsi. Pada umumnya sepanjang pantai utara keadaannya
melandai dengan kedalaman 1-5 meter, sedangkan di semenanjung Blambangan dan sebelah
selatan pantainya terjal.. Pantai di daerah kepulauan antara pulau Bawean dan pulau di sebelah
Timur pulau Madura, banyak terdapat karang-karang , pada saat air laut surut merupakan
jurang pantai.
Selat Madura di bagian barat mempunyai kedalaman 20- 90 m, sebelah Timur
mempunyai kedalaman sampai 140 m, dasar laut berlumpur. Adapun perairan Jawa Timur di
wilayah Selat Bali mempunyai kedalaman 20 – 245 m, dasar laut berlumpur campur pasir dan
berkarang. Di perairan Samudera Indonesia mempunyai kedalaman lebih dari 1000 m. Pada
jarak 50 m dari pantai Selatan, dasar laut berbatu karang, pantai banyak berteluk. Banyak
terumbu karang yang telah rusak berat, beberapa lokasi terumbu karang tertinggal sekitar 10 –
20%.
Pada umumnya pantai Jawa Timur, dari perkiraan panjang pantai 1600 Km terdapat
sekitar 850 Km ditumbuhi tanaman mangrove, sekitar 400 Km masih berupa hutan belukar dan
terdapat tumbuhan mangrove yang sebagian besar banyak yang ditebang. Beberapa lokasi
menunjukkan kondisi hutan mangrove yang memprihatinkan, karena luasan tinggal sekitar
10%, yang berarti dibawah luasan minimal yang seharusnya sekitar 30%
Pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir pada masa PJP I yang tidak terkendali telah
berakibat penurunan kualias lingkungan seperti pengrusakan fisik terumbu karang, hutan
mangrove dan lingkungan lainnya yang makin menunjukkan telah berada pada tingkat yang
membahayakan daya dukung laut dan pesisir. Disamping itu, pengembangan wilayah laut dan
pesisir tersebut masih meninggalkan keadaan masyarkat pantai yang miskin dan melakukan
eksploitasi sumberdaya laut dengan cara-cara yang merusak seperti penggunaan dinamit dan
pengambilan karang sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk makan.
Ancaman lainnya, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Selatan Jawa
Timur adalah pelanggaran daerah penangkapan oleh nelayan asing, bahkan penyelundupan
melalui tempat pendaratan di pantai Selatan., karena lemahnya kemampuan monitoring,
pengawasan dan penegakan peraturan (MCS) , dan juga lemahnya patroli laut karena
kurangnya prasarana dan personil yang handal.
Sesungguhnya telah banyak undang-undang dan peraturan daerah menyangkut
pengelolaan sumberdaya laut di Jawa Timur agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan,
hanya saja terbentur pada tahapan pelaksanaan, seperti penegakan sanksi yang masih lemah,
kurangnya koordinasi dan banyaknya program dan proyek yang berorientasi pada kepentingan
sektoral, top-down dan tidak ramah lingkungan Akibatnya pengelolaan sumberdaya laut dan
pesisir menjadi tidak terkendali, bahkan menjadi kantong-kantong lingkungan rumahtangga
yang kumuh dengan genangan polutan.
5.1.2 Tujuan Program
Pada Pembangunan Jangka Panjang tahap ke II (PJP II) diharapkan sumberdaya
pesisir dan laut dapat dikelola secara berkelanjutan, mengingat potensi dan peluang
pengembangan sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur yang sangat besar. Mengingat
banyak kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, maka pengelolaan
dan pengendaliannya selanjutnya harus dilakukan secara terpadu. Dengan demikian arah dan
40
tujuan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya laut dan pesisir dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Memperbaiki sistem perencanaan dan pengelolaan secara terpadu;
2. Memperkuat kemampuan kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan
pengendalian dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir;
3. Memperkuat peran serta masyarakat dalam dproses perencanaan pembangunan wilayah
pesisir secara optimal dan efisien, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
sumbangan terhadapa PAD, ekspor, penyerapan tenaga kerja dan mengentaskan nelayan
dari kemiskinan dengan wawasan lingkungan secara berkelanjutan (sustainable)
4. Mengembangkan sistem penyediaan dan penggunaan informasi (data) dalam proses
perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengendalian sumberdaya
laut dan pesisir Jawa Timur.
5. Menjalin kerjasama regional, nasional maupun internasional untuk memperkuat
pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
5.1.3. Rencana Strategis
1. Pertama : menata dan memeperbaiki perencanaan sistem pengelolaan dan pengendalian
sumberdaya laut dan pesisir secara terpadu dan berkesinambungan;
2. Ke dua : memperkuat kemampuan kelembagaan perencaan yang melibatkan masyarakat
pesisir;
3. Ke tiga : rehabilitasi, restocking dan konservasi ekosistem kelautan dan perikanan, serta
penataan wilayah pengelolaan sesuai karaktersitik biofisik wilayah perikanan;
4. Ke empat : pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan dan perikanan secara
optimal, efisien dan berkelanjutan;
5. Ke lima : pemberdayaan masyarakat pesisir yang berorientasi pada budaya pembangunan
berkelanjutan;
6. Ke enam : penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya berbasis pada kearifan tradisional,
disamping penegakan hukum untuk pelaku bisnis perikanan professional;
7. Ke tujuh : mengembangkan sistem informasi (data base) sumberdaya, pengembangan
teknologi dan pasar domestik maupun internasional;
8. Ke delapan : pengembangan IPTEK dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir
secara professional dan ramah lingkungan;
9. Ke sembilan : menanamkan wawasan kelautan kepada seluruh stakeholders pembangunan
kelautan Jawa Timur.
5.2. Pemantauan & Perlindungan Coastal Zones
5.2.1. Dasar Pertimbangan
Masalah lingkungan pesisir dan laut Jawa Timur telah menjadi keprihatian kita
bersama, mengingat : (a) diperkiran 60% penduduk Jawa Timur tinggal atau bermukim dekat
kawasan pantai; (b) kebutuhan pangan penduduk yang makin meningkat telah meningkatkan
tekanan eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir secara berlebihan, kecuali di selatan Jawa
Timur yang kurang mendapat perhatian;
(c) pencemaran limbah industri yang
membanjiri laut dan kawasan pesisir;
(d) kawasan industri di Jawa Timur terpusat di
pantai; (e) budidaya perairan di walayah pesisir (tambak) telah ikut menghancurkan lingkungan
hutan mangrove, penggunaan obat dan limbah pertambakan yang tidak ramah lingkungan; dan
(f) kerusakan habitat laut, terumbu karang dan hutan mangrove di pesisir bukan saja akan
merusak lingkungan lokal maupun regional, tapi juga akan berdampak pada keseimbangan
lingkungan global.
41
5.2.2. Tujuan Program
Secara umum, arah dan tujuan perlindungan pesisir dan laut ini adalah meningkatkan
upaya dan kemampuan perlindungan lingkungan pesisir dan laut untuk menjamin kelestarian
dan keberlanjutan pembangunan. Secara khusus, arah dan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut :
1. mencegah, mengurangi dan mengendalikan kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang
ditimbulkan oleh bermacam kegiatan yang berbasis di daratan maupun di laut;
2. melindungi lingkungan pesisir dan laut yang secara ekonomi dan ekologis merupakan
habitat kritis;
3. memperkuat kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam proses pelestarian lingkungan
pesisr dan laut.
5.2.3. Rencana Strategis
Bertitik tolak pada potensi potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan serta arah
perlindungan pesisir dan laut secara berkelanjutan, maka rencana strategis pada PJP II
perlindungan pesisir sebagai berikut :
1. Pertama : menetapkan tata-ruang peruntukan lingkungan pesisir untuk berbagai
kepentingan dalam memanfaatakan dan melindungi kawasan pesisir untuk kemanan
produksi berbagai spesies ikan, industri manufaktur perikanan dan jasa lingkungan
pesisr;
2. Ke dua : menata dan memanfaatakan keindahan dan kenyamanan serta memperbaiki serta
rehabilitasi lingkungan pesisir yang kumuh dan laut dari kerusakan;
3. Ke tiga : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan
melindungi lingkungan pesisir dari pengrusakan dan atau penggunaan alat-alat perusak
lingkaungan hutan mangrove dan terumbu karang;
4. Ke empat : memonitor mutu air dan lingkungan agar pesisir terlindung dari pencemaran
limbah cair atau gas buang yang merusak lingkungan;
5. Ke lima : penegakan aturan perlindungan kawasan pesisir dan laut;
6. Ke enam : menanamkan kesadaran perlindungan atas keindahan dan kenyamanan
kepada seluruh pengguna/ stakeholders pembangunan kawasan industri maritim di
lingkungan pesisir.
7. Ke tujuh : mengembangkan industri maritim untuk meningkatkan wawasan persatuan dan
kesatuan bangsa serta memperkuat daya saing global.
5.3. Pengelolaan SUMBERDAYA Secara Berkelanjutan
5.3.1 Dasar Pertimbangan
Lingkungan laut Jawa Timur merupakan bagian integral dari lingkungan perairan laut
tropis dengan keanekaragaman fauna dan plora (multi-species) yang tidak mudah dipisahkan
atas dasar administrasi Kabupaten atau Kota.. Beberapa jenis ikan pelagis (permukaan) seperti
ikan layang, lemuru dan kembung di Laut Jawa bergerak dari waktu ke waktu bahkan melintasi
antar propinsi. Demikian juga ikan tongkol atau tuna di Samudera Indonesia di wilayah
Selatan Jawa Timur, bahkan bergerak antar negara.
Semula orang menduga bahwa fauna dan flora laut tersedia dalam jumlah yang tidak
terbatas. Namun perkembangan teknologi penangkapan ikan telah menunjukkan bahwa
cadangan ikan di laut adalah terbatas, tergantung pada daya dukung lingkungan, sehingga
kelestarian sumberdaya laut dan pesisir sangat tergantung pada keberhasilan kita
42
mengelolanya. Apa yang telah dilakukan nelayan sekarang ini dalam pemanfaatan sumberdaya
laut telah menunjukkan akibat kerusakan lingkungan dan menipisnya sumberdaya.
Berdasarkan kondisi biofisik dan lingkungan perairan laut, Jawa Timur dapat dibagi
menjadi lima wilayah pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, yaitu : (a) Laut Utara, Laut
Jawa; (b) Laut Madura Kepulauan, Bagian Timur; (c) Selat Madura; (d) Laut Muncar. Selat
Bali; dan (e) Laut Selatan, Samudera Indonesia. Komposisi jenis ikan ekonomis penting di
masing-masing wilayah adalah sebagai berikut :
1. Utara : ikan layang;
2. Kepulauan : ikan layangdan ikan karang;
3. Selat Madura : ikan dasar seperti ikan kurisi ;
4. Muncar : ikan lemuru; dan
5. Selatan : ikan tongkol/ tuna dan layang.
6. Jawa Timur (total) : ikan lemuru, layang dan tongkol
Perkembangan produksi ikan menurut jenis ikan dan wilayah tersebut dapat ditunjukkan hal
sebagai berikut :
1. Ikan layang : mendominasi di perairan Utara dan Madura Kepulauan. Di Selat Madura
pernah mencapai produksi sekitar 25.000 ton ikan layang, yaitu pada tahun 1989, namun
kemudian turun kembali. Fluktuasi produksi ikan layang selama tahun 1979 – 1999
cenderung stabil;
2. Ikan lemuru : mendominasi di perairan Muncar dan Selatan Jawa Timur. Produksi ikan
lemuru nampak sangat fluktuatif, dari tahun 1979 – 1999, produksinya cenderung terus
meningkat;
3. Ikan tembang : mendominasi di perairan Selat Madura Jawa Timur. Ada kecenderungan
produksi dengan trend menurun;
4. Ikan tongkol : mendominasi di perairan Madura Kepulauan, Selat Madura, Muncar dan
Selatan Jawa Timur. Di semua wilayah menunjukkan kecenderungan peningkatan
produksi; Pada tahun 1989 terjadi produksi puncak di Selat Madura;
5. Ikan teri : mendominasi di perairan Utara dengan fluktuasi produksi yang tinggi. Di Selat
Madura cukup dominanan dan berkembang relatif stabil.
6. Ikan kembung : mendominasi di perairan Selat Madura dan Wilayah Utara Jawa Timur.
Ada kecenderungan trend yang meningkat;
7. Ikan peperek : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura dengan kecenderungan
produksi yang terus meningkat;
8. Udang : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura. Produksi sangat berfluktuasi
dan ada kecenderungan menurun;
9. Ikan cucut : mendominasi di perairan Selatan dan Utara Jawa Timur. Ada kecenderungan
produksi yang makin menurun;
10. Ikan kakap : mendominasi di Madura Kepulauan dan Selat Madura. Ada kecenderungan
produksi makin menurun.
5.3.2. Tujuan Program
Dengan memperhatikan status pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Jawa
Timur , maka arah dan tujuan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya laut dan pesisir Jawa
Timur dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Memperbaiki system pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hayati laut dan pesisir yang
efisien untuk mendapatkan keuntungan nelayan secara berkelanjutan;
2. Melestarikan keanekaragaman hayati atas dasar genetik, spesies dan ekosistem per wilayah
pengelolaan;
3. Memperkuat peranserta dan kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi
ramah lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya berkelanjutan;
43
4. Mengembangkan wisata bahari dan alternatif pekerjaan untuk meningkatkan sumber
penghasilan nelayan di luar melaut (off-fishing) di wilayah lebih tangkap;
5. Mengembangkan teknologi, mutu SDM dan prasarana pelabuhan perikanan modern untuk
menumbuhkan kawasan industri pemanfaatan sumberdaya hayati Laut Selatan.
5.3.3. Rencana Strategis
Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah
pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur secara berkelanjutan, maka rencana
strategis pada PJP II adalah sebagai berikut :
1. Pertama : menata dan memperbaiki program pengelolaan (action plan) di lima wilayah
pengelolaan perikanan laut dan pesisir di lima wilayah Laut di Jawa Timur;
2. Ke dua : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya berbasis komunitas (PSBK);
3. Ke tiga : rehabilitasi, restocking dan konservasi wilayah pengelolaan secara berkelanjutan;
4. Ke empat : pengembangan kawasan industri maritim dan alternatif lapangan kerja di laut
dan pesisir untuk meningkatkan pendapatan masyarakat;
5. Ke lima : melakukan pendugaan stok ikan dan hasil laut lainnya secara lebih akurat, teratur
dan berkelanutan di masing-masing wilayah pengelolaan;
6. Ke enam : pengembangan paket teknologi ramah lingkungan untuk pengelolaan
sumberdaya secara lestari;
7. Ke tujuh : menanamkan wawasan pengelolaan berkelanjutan dan penegakan hukum bagi
pelanggar secara ajek.
5.4. PEMBERDAYAAN dan PENGUATAN KELEMBAGAAN
5.4.1. Dasar Pertimbangan
Propinsi Jawa Timur dengan luas perairan laut mencapai 64% dengan panjang pantai
sekitar 1.600 Km, maka
jangkauan perencanaan dan pengawasan pengelolaan begitu
kompleks, sehingga strategi pembangunan yang top-down akan makin terasa tidak efektif.
Dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah, maka peranserta daerah Kabupaten dan Kota
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir menjadi lebih besar.
Pada tiga dekade pembangunan selama ini, aktifitas pembangunan yang berkembang
di wilayah pesisir, seperti kawasan industri, tambak intensif, wisata dan pertanian intensif
kesemuanya telah membawa dampak positif dan negatif. Pembangunan yang dilaksanakan di
wilayah laut dan pesisir selama ini ternyata masih belum banyak dirasakan oleh masyarakat
pesisir, sedangkan penduduk dan lembaga yang berada di luar kawasan lebih menikmati
manfaatnya.
Masyarakat pesisir Jawa Timur pada umumnya sebagian masih banyak tertinggal
dan menghadapi dampak negatif derap pembangunan, seperti lingkungan yang kumuh dengan
genangan polutan hasil industri. Dari data Direktorat Jenderal Perikanan diketahui bahwa dari
22.917 (34%) desa miskin di Indonesia, sejumlah 4.377 (19,1%) merupakan desa pesisir.
Masalah yang muncul pada desa pesisir yang miskin, pada umumnya adalah
1. Perumahan padat dengan tingkat pendidikan RT. nelayan dibawah standard;
2. Kondisi ketimpangan ekonomi yang mencolok;
3. Kesadaran komunitas dalam pengelolaan sumberdaya sangat lemah;
4. Peluang lapangan kerja alternatif sangat terbatas;
5. Pekerjaan melaut dilakukan dengan teknologi kapal dan alat tangkap skala kecil, dengan
jangkauan wilayah penangkapan yang terbatas dan terkonsentrasi di perairan pantai yang
padat tangkap.
44
Sesungguhnya telah banyak program dan paket teknologi yang dikembangkan untuk
memberdayakan ekonomi masyarakat pesisr. Hanya saja terbentur pada alternatif lapangan
kerja di pedesaan pantai yang sangat terbatas, sehingga selalu terjadi tambahan nelayan miskin
dengan teknologi skala kecil dan sederhana yang memasuki wilayah laut dan pesisir, sehingga
makin meningkatkan tekanan pengurasan sumberdaya pantai yang semakin padat. Akibatnya
berlangsungnya lingkaran setan kemiskinan masyarakat pesisir menjadi tidak terhindarkan.
5.4.2. Tujuan Program
Pada Pembangunan Jangka Panjang tahap ke II diharapkan SDM pesisir dan kelautan
dapat ditingkatkan, mengingat potensi dan peluang pengembangan sumberdaya laut dan
pesisir masih sangat besar. Mengingat jangkauan pemanfaatan sumberdaya laut makin jauh
dari pantai, maka syarat pengembangan teknologi dan mutu SDM yang makin professional
menjadi suatu keharusan. Dengan demikian arah dan tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir
dan kelautan memrlukan senergi pendekatan struktural, kultural dan lingkungan, yang
selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Pendekatan struktural : memperkuat akses nelayan dalam peningkatan teknologi,
permodalan, informasi pasar, lapangan kerja baru , koperasi dan kemitraan usaha dan
infrastruktur (pelabuhan dan kelengkapannya) yang modern di pedesaan pantai;
2. Pendekatan kultural : meningkatkan keterampilan SDM, penegakan hukum, peran serta
wanita, LSM, sistem insentif bagi hasil yang berkeadilan dan memperkuat budaya lokal;
3. Pendekatan lingkungan : rehabilitasi lingkungan, kesehatan dan kebersihan, keindahan dan
kenyamanan lingkungan, pengaturan polutan menurut baku mutu lingkungan dan
pengaturan tata ruang pemukiman yang tertata rapi dan nyaman.
5.4.3. Rencana Strategis
Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah
pemberdayaan masyarakat pesisir secara berkelanjutan di Jawa Timur, maka rencana strategis
adalah sebagai berikut :
1. Pertama : memperbaiki teknologi, meperkuat akses permodalan dan informasi pasar
masyarakat pesisir;
2. Ke dua : memeprkuat kemampuan kemandirian kelembagaan, penegakan peraturan dan
keterlibatan masyarakat pesisir dalam penataan kawasan industri di pedesaan pantai;
3. Ke tiga : memperkuat prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan keterampilan
msyarakat pesisir, dan menyiapkannya untuk mengembangkan pemanfaatan sumberdaya
lepas pantai secara professional dan budaya modern;
4. Ke empat : membentuk kemitraan antara koperasi dan pengusaha di kawasan industri
perikanan lokal;
5. Ke lima : melakukan penataan dan rehabilitasi lingkungan dan tempat tinggal yang bersih,
indah, nyaman dan aman;
6. Ke enam : menanamkam wawasan dan kesadaran
teknologi ramah lingkungan,
ketrampilan professional dan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman kepada seluruh
stakeholders pembangunan kelautan dan pesisir di Jawa Timur.
5.5.
PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN
KEPULAUAN
KECIL
SECARA
5.5.1. Dasar Pertimbangan
Propinsi Jawa Timur memiliki 83 pulau kecil, diantaranya berada di Madura
Kepulauan sebanyak 79 buah dengan potensi sumberdaya ikan maksimum mencapai sekitar
57.000 ton. Dengan luasnya wilayah jangkauan perairan laut di kawasan kepulauan, maka
45
dengan perbaikan teknologi tingkat yang lebih maju, maka potensi sumberdaya tersebut masih
dapat ditingkatkan. Teknologi yang dimiliki nelayan lokal saat ini masih mampu
mengekploitasi sumberdaya lokal dibawah potensi sumberdaya yang tersedia. Di wilayah ini
juga menyediakan sumberdaya alam gas alam yang cukup besar.
Gugusan pulau kecil tersebut sebagian belum dihuni penduduk, sebagian dijadikan
cagar alam dan sebagian lagi menjadi puas penangkapan ikan di bagian Timur Jawa Timur.
Beberapa bagian wilayah kepauan ini merupakan wilayah terumbu karang yang sebagian besar
mulai dirusak oleh perilaku bisnis masyarakat lokal.
Keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada Madura Kepulauan menghadapi
berbagai permasalahan dan tantangan sebagai berikut :
1. Jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi, sehingga tertinggal baik teknologi dan akses
informasi pasar;
2. Secara ekologi amat rentan;
3. Tersedia varietas yang dilindungi namun sangat mudah dihancurkan oleh masyarakat yang
tidak bertanggung jawab, karena jauh dari pengawasan dari pemerinmtah daerah, sementara
kelembagaan dan partisipasi masyarakat lokal untuk perlindungan sumberdaya sangat
rendah dan lemah;
4. Persediaan air bersih yang sangat terbatas;
5. Belum terintegrasi dengan pengelolaan pesisir;
6. Menjadi ssaran operasi penangkapan armada perikanan yang lebih maju dengan nelayan
lokal, sehingga sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
5.5.2. Tujuan Program
Untuk menghindari penghancuran sumberdaya lingkungan pulau-pulau kecil, maka
diperlukan penyamaan persepsi, tujuan dan arah pembangunan pulau kecil sebagai berikut :
1. Dimensi ekologi : diperlukan tata guna dan tata ruang pemnfaatan kepulauan sebagai satu
sistem lingkungan, agar limbah fisik maupun sosial diminimumkan dan sumberdaya jangan
dikelola diatas daya dukung regenerasi sumberdaya lokal;
2. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya : menjangkau penyediaan kebutuhan dasar manusis
dalam rangka regenrerasi ekosistem asli;
3. Dimensi sosial politik : memperkuat kelembagaan dan peranserta masyarakat lokal dalam
pengembilan keputusan pembangunan kepulauan;
4. Dimensi kelembagaan : meningkatkan apresiasi pemerintah daerah dalam mengintegrasi
dan mengkoordinasi pembangunan kepulauan kecil yang didukung dengan peraturan daerah
yang menjamin pelaksanaan partisipasi masyarakat lokal.
5.5.3. Rencana Strategis
Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah
pembangunan wilayah kepulauan kecil di Jawa Timur secara berkelanjutan, maka rencana
strategis pada PJP II adalah sebagai berikut :
1. Pertama : mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dan pengembangan teknologi
ramah lingkungan untuk sebesar-besarnya manfaat masyarakat lokal;
2. Ke dua : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat kepulauan dalam
pembangunan wilayahnya secara berkelanjutan;
3. Ke tiga : mengembangkan sistem komunikasi dan tranportasi yang mengintegrasikan
Madura Kepulauan dengan pembangunan wilayah pesisir daratan;
4. Ke empat : melakukan identifikasi, pemetaan dan eksplorasi untuk memastikan cadangan
sumberdaya alam, habitat, perubahan cuaca, dampak lingkungan, kondisi sosial
masyarakat yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai
kawasan konservasi, kawasan lindung maupun kawasan produksi yang dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan.
46
5.6. KEAMANAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ZEE
5.6.1. Dasar Pertimbangan
Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasarkan UNCLOS (The UN Convention
on the Law of the Sea), maka perairan Indonesia diakui pada tahun 1982. Pengakuan ini
menjadikan Indonesia mempunyai kedaulatan terhadapa sumberdaya alam pada kawasan
kepulauan tersebut. Konvensi LOS juga mengakui hak-hak ekslusif atas sumberdaya alam
termasuk yang hidup maupun yang mati, tambang di dasar laut maupun daratan dalam batas
200 mil Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Pengakuan secara legal tersebut memberikan Indonesia dasar hukum bagi
pembangunan berkelanjutan terhadap sumberdaya laut, termasuk semua kekayaan yang
terkandung didalamnya. Eksploitasi dan penggunaan sumberdaya kelautan oleh negara asing
dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral.
Propinsi Jawa Timur bagian Selatan adalah berbatasan dengan wilayah perairan
Samudera Indonesia dan batas laut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang harus dikelola secara
sungguh-sungguh dan professional. Berdasarkan aturan internasional, jika kita tidak
memanfaatkan secara baik, maka ada hak negara lain (asing) untuk memanfaatkannya.
Pengelolaan sumberdaya di wilayah ini masih berada dalam tingkat under-fishing.
Permasalahan dan tantangan masa depan, antara lain kemampuan armada milik nelayan yang
kecil dan teknologi sederhana, sehingga daya jangkaunya untuk memanfaatkan wilayah ZEEI
sangat terbatas, juga rendahnya prasarana patroli laut untuk memelihara keamanan di wilayah
tersebut, baik dalam menghadapi gangguan yang bersumber dari unsur internal maupun
eksternal, seperti penyelundupan melalui laut Selatan ataupun pelanggaran wilayah
kedaul;atan.
Khususnya di ZEEI Selatan Jawa, kapal barang asing maupun penangkapan ikan
sering menggunakan wilayah ZEEI sebagai lalu lintas saja. Mengingat pengawasan yang
lemah membuat kesulitan dalam mengatasi pelanggaran.
5.6.2. Tujuan Program
Pada PJP II diharapkan sumberdaya ZEEI dapat dikelola sekaligus diamankan,
mengingat potensi dan peluang pengembangnannya sangat besar. Dengan demikian
pemanfaatan dan pemeliharaan keamanan ZEEI Selatan Jawa Timur dapat diarahkan:
1. Memperkuat armada penangkapan ikan untuk skala perikanan samudera;
2. Memperkuat sistem pengawasan wilayah ZEEI;
3. Mengembangkan peranserta masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan
pemanfaatan sumberdaya ZEEI;
4. Menjalin kerjasama nasional dan internasional untuk memperkuat pemanfaatan sumberdaya
Laut Selatan secara berkelanjutan;
5.6.3. Rencana Strategis
1. Pertama : menata dan memperbaiki sistem pengawasan dan pemantauan wilayah ZEEI
Selatan Jawa Timur;
2. Ke dua : memperkuat armada perikanan rakyat dan kawasan industri perikanan di wilayah
Selatan Jawa Timur;
3. Ke tiga : memperkuat kemampuan kelembagaan dan peranserta masyarakat dalam
pemantauan dan pengawasan kapal asing dalam pemanfaatan sumberdaya Laut Selatan;
4. Ke empat : mengembangkan sistem informasi pemanfaatan sumberdaya perikanan
samudera;
47
5. Ke lima : penyebarluasan IPTEK pemanfaatan perikanan samudera untuk perikanan
rakyat;
6. Ke enam : memperkuat kerjasama nasional dan internasional dalam pemanfaatan dan
pengawasan ZEEI.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Y.J. 1982. Coastal Tourism. UNEP Nairobi.
Brower, D.J. dan D.S. Carol. 1984. Coastal Zone Management as Land Use Planning. National
Planning Association. Washington D.C.
Chapman, V.J. (ed.). 1977. Wet Coastal Ecosystems.
Elsevier Scientific Publishing Co., New York.
Ecosystems of the World. Vol. 1.
Clark, J.R. 1976. Coastal Ecological Considerations for Management of the Coastal Zone. The
Conservation Foundation. Washington D.C.
Clark, J.R. 1983. Coastal Ecosystem Management: A Technical Manual for the Conservation of
Coastal Zone Resources. The Conservation Foundation. Florida, USA.
Clark, J.R. 1985. Coastal Resources Management: Development Case Studies. Research
Planning Institute. South Carolina.
Clark,J.R., J.Bantz, dan J.A.Zinn. 1980. Coastal Environmental Management: Guidelines for
Conservation of Resources and Protection Against Storm Hazards. Washington, D.C.
Dahl, A.l. 1978. Coral Reef Monitoring Handbook. South Pacific Commission, Noumea, New
Caledonia.
Dinas Perikanan Prop. Jawa Timur (1979-1999) : Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur
Tahun 1979 – 1999.
FAO.
1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and Pasific Region.
Environmen Paper #3. Rome. FAO.
Hamilton, L. S. and S.C. Snedaker (eds.). 1984. Handbook for Mangrove Area Management. EW Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawaii.
Hilborn, Ray and Carl J. Walters (1992) : Quantitive Fisheries Stock Assessment. Chapman
and Hall. London.
Ilyas Baker dan Pramuk Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and
Management for Thailand. The UNESCO MAB and COMAR Programmes. Regional
Office for Science and Technology for Southeast Asia, Jakarta 10002, Indonesia.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1996) : Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional
Untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Knox, G.A. dan T.Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in
Southeast Asia. UNESCO and East-WestCentre, Hawaii.
48
Odum, W.E. 1976. Ecological Guidelines for Tropical Coastal Development. IUCN.
Snedaker,S.C. dan C.D. Getter. 1985. Coastal Resources Management Guidelines, Coastal
Publication No.2. Research Planning Institute, Inc. In Cooperation with NPS, USDI,
USAID, Washington D.C..
Sorenson, J.C., S.T. McCreary, dan M.J. Hersman. 1984. Institutional Arrangements for
Management of Coastal Resources. Coastal Publication No. 1. Washington D.C.
Download