1 SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN WILAYAH PESISIR & LAUTAN JAWA TIMUR Oleh: Dr Ir Sahri Muhammad, M.S. Prof Dr.Ir. Soemarno, M.S. Hingga sekarang pembangunan di Jawa Timur telah banyak menjangkau daerah pesisir. Peningkatan penduduk, kebutuhan ekspor dan konsumsi hasil laut menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut meningkat cepat. Produksi ikan laut Jawa Timur pada tahun 1999 adalah 288.816 ton yang berarti telah melampaui potensi sebesar 287.987 ton hasil maksimum yang boleh ditangkap (MSY). Keadaan tersebut mengisyaratkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan laut telah memasuki tahapan yang kritis. Selama ini sebagian besar masyarakat pesisir belum memperoleh manfaat yang besar dari pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu, pembangunan desa-desa di kawasan pesisir Jawa Timur perlu semakin lebih memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan setempat. Di pihak lain, status sumberdaya di wilayah pesisir Jawa Timur juga menunjukkan kondisi lingkungan dengan tingkat pencemaran yang makin meningkat, sumberdaya habitat hutan mangrove dan terumbu karang yang menunjukkan tingkat kerusakan yang makin serius. Propinsi Jawa Timur memiliki tidak kurang dari 79 pulau-pulau kecil yang terpusat di wilayah Madura Kepulauan. Jumlah tersebut merupakan 0,44% jumlah pulau di Indonesia yang mencapai 17.000 buah. Secara ekologi, pulau-pulau kecil sangat rentan, sebagian belum didiami penduduk, dan memiliki keanekaragaman hayati yang perlu dilindungi. Wilayah perairan laut Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima tipikal wilayah sumberdaya, yaitu (a) Wilayah Utara yang merupakan perairan Laut Jawa, dengan tipikal sumberdaya ikan yang didominasi ikan layang (Decapterus spp.)dan ikan kuningan (Upenius spp.); (b) Wilayah Madura Kepulauan, dengan tipikal sumberdaya ikan karang, (c) Wilayah Selat Madura dengan tipikal ikan kurisi (Nemeptherus spp.), (d) Wilayah Laut Muncar dengan tipikal mono-species ikan lemuru (Sardinella spp.) dan (e) Wilayah Selatan dengan tipikal sumberdaya ikan tongkol dan tuna (Thunnus spp.). Pengawasan laut yang relatif lemah membuat kesulitan dalam mengatasi pelanggaran dalam pengaturan penangkapan ikan. Keadaan seperti di atas membutuhkan penanganan daerah pesisir dan laut yang lebih baik, khususnya mencakup aspek wawasan, strategi, keterpaduan, penegakan hukum, pengelolaan dan pengendalian sumberdaya serta penguatan kelembagaan, sehingga pemanfaatan sumberdaya diharapkan dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan secara berkelanjutan. Adapun beberapa kegiatan prioritas untuk mengatasi masalah di atas meliputi : A. Perencanaan dan Pengembangan Terpadu Coastal Zones. B. Pemantauan dan Perlindungan Lingkungan Coastal Zones. C. Pengelolaan Sumberdaya Secara Berkelanjutan. D. Pemberdayaan dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat. 2 E. Pembangunan Kepulauan Kecil Secara Berkelanjutan. F. Keamanan dan Pemanfaatan Sumberdaya Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya laut dan pesisir di Jawa Timur telah memberikan penghasilan kepada masyarakat, khususnya mereka yang tinggal dan atau berusaha di daerah pesisir dan pulaupulau kecil dengan cara memanfaatan dan menjual produk laut yang bernilai tinggi. Bertambahnya jumlah penduduk dan permintaan pasar hasil laut telah memacu peningkatan dan tekanan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berlebihan. Selama 30 tahun PJP I telah banyak dilakukan penelitian untuk melakukan evaluasi potensi dan prospek pengembangan sumberdaya laut Jawa Timur. Banyak penelitian dan program pengembangan, khususnya yang memperoleh dukungan dana internasional, seperti World Bank, ADB, dan FAO. Pada periode lima tahun terakhir, 1995 – 2000 beberapa program penelitian untuk penataan wilayah pesisir dan kelautan yang mendapat dukungan lembaga internasional seperti CORMEP (Coral Reef Rehabilitation and Management Project) oleh Word Bank dan MREP (The Marine Resouce Evaluation and Planning Project) oleh ADB, disamping dukungan anggaran APBN dan APBD untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat pesisir Jawa Timur. Sekalipun telah banyak lembaga-lembaga pemerintah dan LSM yang menangani masalah laut dan pesisir, namun masih banyak pula permasalahan yang timbul dari kegiatan praktek-praktek pembangunan yang kurang memahami arti pembangunan berkelanjutan. Beberapa permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan kelautan Jawa Timur dapat diketengahkan sebagai berikut : 1. Penambangan batu karang yang merusak, diperkirakan tinggal 15%, yang menghancurkan terumbu karang dan lingkungannya; 2. Penggunan potasium sianida (KCN) yang mengakibatkan beberapa jenis ikan karang musnah; 3. Penggunaan alat tangkap ikan yang menguras sumberdaya yang mengakibatkan pemanfaatan ikan laut secara berlebih (over fishing); 4. Konversi hutan mangrove di Jawa Timur, diperkirakan tinggal 10-15%, menjadi wilayah pertambakan tanpa memperhatikan kaidah pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan; 5. Peningkatan sedimen limbah dan bahan kimia beracun di wilayah pesisir, sebagai akibat modernisasi pertanian dan industri yang tidak ramah lingkungan. 6. Belum tersedianya suatu mekanisme dan sistem perencanaan dan pemantauan serta pendataan yang benar dan akurat, sehingga cadangan sumberdaya ikan di laut telah terkuras tanpa kendali; 7. Rendahnya penghasilan dan kesejahteraan masyarakat pesisir, banyak nelayan yang masih miskin, baik karena struktur sosial yang tidak adil (kemiskinan struktural), kukltural maupun karena lingkusan pesisir yang kumuh karena belum tersedianya perencanaan dan pengembangan wilayah pesisir secara terpadu dan berkesinambungan. 1.2. Perencanaan Strategis Atas dasar permasalahan pengelolaan tersebut diatas, maka visi, misi, dan tujuan penyelesaian permasalahan pengelolaan kawasan perairan laut dan pesisir di Jawa Timur dirumuskan sebagai berikut : 3 1.2.1. Visi Wilayah laut dan pesisir beserta segenap sumberdaya dan jasa-jasa yang terkandung di dalamnya, merupakan sumber penghidupan dan sumber pembangunan yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dalam mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri. 1.2.2. Misi Atas dasar visi tersebut, untuk mewujudkan masyarakat pesisir yang sejahtera, maju dan mandiri,maka misi pengelolaan terpadu sumberdaya pesisr dan laut disusun sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) (5) (6) penataan & perencanaan terpadu; memperkuat kelembagaan; memperkuat pemantauan dan keterlibatan masyarakat; meningkatkan kesejahteraan masyarakat; pembangunan wilayah kepulauan terpencil menjamin pengelolaan dan pengamanan wilayah dan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan; 1.2.3. Tujuan Tujuan pengelolaan terpadu sumberdaya dan lingkungan coastal zones di Jawa Timur adalah sebagai berikut : (1) (2) (3) (4) (5) (6) keterpaduan dalam pembuatan perencanaan pengelolaan coastal zone; memperkuat kemampuan institusi; pengendalian sumberdaya perikanan pada tingkat MSY; pemberdayaan masyarakat; pemanfaatan pulau kecil sebatas keperluan masyarakat lokal; dan optimalisasi pemanfaatan dan pengamanan wilayah ZEE Selatan Jawa Timur. II. POTENSI COASTAL ZONE JAWA TIMUR Coastal zone Jawa Timur mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat pedesaan pantai dan pembangunan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Wilayah ini mengandung berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi seperti aneka jenis ikan, obyek wisata dan potensi geografis yang mendukung jalur lalulintas angkutan laut. Selain daripada itu wilayah perairan pantai ini secara ekologis sangat kompleks dan rumit serta peka terhadap berbagai macam gangguan alam dan gangguan oleh manusia. Jawa Timur merupakan propinsi yang memiliki kawasan laut hampir empat kali luas daratannya dengan garis pantai kurang lebih 2.916 km. Propinsi Iawa Timur memiliki kawasan pesisir dan lautan yang luas beserta kandungan kekayaan sumberdaya hayati laut yang melimpah, seperti ikan, rumput laut, hutan mangrove, terumbu karang, dan biota lainnya. Sumberdaya hayati laut ini merupakan sumber pangan masa depan yang wajib dikembangkan dan dilestarikan agar dapat tetap menjadi penunjang utama bagi kesejahteraan masyarakat. Usaha peningkatan pendayagunaan sumberdaya hayati laut berperan ganda. Selain meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat nelayan, penyediaan pangan khusus protein hewani, dan juga dapat meningkatkan pendapatan negara. Berbagai permasalahan dapat muncul oleh pemanfaatan pesisir dan lautan yang mengabaikan prinsip-prinsip linkungan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah, limbah industri dan limpasan bahan kimia 4 pertanian. Ekaploitasi wilayah pesisir dan laut kian meluas, sehingga mempunyai dampak negatif terhadap sumberdaya hayati laut. Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai sifat yang kompleks, dinamis, dan unik karena pengaruh dari dua ekosistem, yaitu ekosistem lautan dan daratan. Di lain pihak wilayah pesisir merupakan wilayah tempat berbagai kegiatan sosial dan ekonomi, antara lain, pemukiman, industri, perhubungan, dan areal produksi pertambakan. Sebagai suatu kawasan yang penting, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir hanya dimungkinkan dapat dicapai jika pengelolaan pesisir didasarkan pendekatan pengelolaan lingkungan secara ramah dan terpadu. Pendekatan tersebut memerlukan pemahaman terhadap karakteristik dari struktur, fungsi, dan dinamika lingkungan wilayah pesisir. Pendekatan harus diarahkan pada pencapaian keseimbangan antara potensi dan daya dukung sumberdaya alam, dipadukan dengan kebutuhan sosial dan mengakomodasikan kegiatan kehidupan yang ada. Pada hakekatnya pembangunan perikanan merupakan kegiatan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan melalui pengelolaan sumberdaya alam dengan faktor produksi berupa tenaga kerja manusia, teknologi dan modal. Oleh karena itu pembangunan perikanan diarahkan untuk mendapatkan hasil guna dan daya guna yang optimal secara berkelanjutan yang berarti mengandung muatan teknologi, ekonomis, ekologis dan sosiokultural. Aspek teknologi menunjang adanya efisiensi dan produktifitas, aspek eknomis menghendaki adanya niali tambah yang selalu meningkat. Sementara itu aspek ekologis mensyaratkan pembangunan sekaligus memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan aspek sosiokultural menunjang pemerataan yang menekankan pada pengembangan sumberdaya manusia (SDM) dan kelembagaannya yang mengakomodasikan sepenuhnya kebutuhan dan keterlibatan masyarakat nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Nelayan Jawa Timur berdasarkan pada jangkauan daerah penangkapannya dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: 1) nelayan yang bekerja di pantai; 2) lepas pantai, dan 3) laut lepas (samudera). Daerah-daerah penangkapan ini pada kenyataannnya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Pengelompokan ini berkaitan erat dengan kedalaman perairan, yang kemudian mempengaruhi jenis ikan yang diburu pada masing-masing unit kerja, alat tangkap yang dipakai, armada penangkapan dan modal kerja yang diperlukan. Disampin itu daerahdaerah penangkapan ini, sampai saat ini masih didominasi oleh usaha nelayan skala kecil. Wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sehingga berlaku rejim open acces management artinya, siapa saja boleh memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan. Setiap pengguna ingin memanfaatkan secara maksimal dan sukar dilakukan pengendalian. Sifat dari kepemilikan bersama ini juga menyebabkan pengguna (users) menjadi kurang peduli terhadap status sumberdaya, dan cendrung menggunakan cara-cara yang disktruktif demi keuntungan jangka pendek. Sehingga sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat dari tragedi bersama (tragedy of the mommon). Dengan karakteristik wilayah pesisir dan lautan seperti di atas, maka jelas bahwa pemanfaatan wilayah pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara teradu, menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainabble development principles) dan pendekatan pembangunan secara berhati-hati (precauntionary approarch). Secara spesifik permasalahan wilayah pesisir dan lautan adalah sebagai berikut: (1) Kerusakan fisik ekosistem wilayah pesisir dan laut umumnya terjadi pada ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hilangnya mangrove dan rusaknya sebagian terumbu karang telah mengakibatkan terjadinya erosi pantai. Erosi ini diperburuk lagi oleh perencanaan dan pengembangan wilayah yang tidak tepat; (2) Over-eksploitasi sumberdaya hayati laut. Banyaknya sumberdaya alam wilayah opesisir dan lautan telah mengalami over-eksploitasi. Beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing). Kondisi over fishing 5 (3) (4) (5) (6) (7) (8) ini bukan hanya disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melampaui potensi sumberdaya perikanan, tetapi juga disebabkan karena kualitas lingkungan laut sebagai habitat ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan degradasi fisik hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan (nursery ground) sebagian besar biota laut; Pencemaran. Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut pada saat ini telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut biasanya berasal dari kegiatan di darat (land based pollotion sources), yaitu: kegiatan industri, kegiatan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Bahan utama yang terkandung dalam buangan limbah tdari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah; Rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM). Sejumlah faktor yang menjadi pembatas dari aspek sumberdaya manusia adalah kurangnya pendekatan terpadu dan interdisipliner dalam pendidikan dan latihan. Tidak adanya program yang khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pengembangan tenaga ahli dan tenaga teknis, pengembangan masyarakat pesisir sebagi subyek dan obyek dari pembangunan sangat lemah. Sementara itu banyak maslaha yang khas dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut yang belam dapat dipecahkan karena keterbatasan sumberdaya masian. Hal ini disebabkan secara tradisional pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus diarahkan untuk pembangunan yang berbasis di darat; Kemiskinan masyarakat pesisir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih diliit kemiskinan. Berbagai fomena keruskan lingkungan pesisir dan laut bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh penduduk miskin yang karena terpaksa (ketiadaan alternatif mata pencaharian) haurs mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut yang secara ekologis rentan (seperti terumbu karang, daerah asuhan dan pemijahan ikan) atau dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun untuk menangkap ikan; Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembanugan (stake holder) kawasan pesisir. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar pelaku pembangunan dan sekaligus pengelola di kawasan pesisir, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Kurangnya koordinasi antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan pembangunan di kawasan pesisir masih dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak; Koflik penggunaan ruang. Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut sering terjadi karena belum adanya tata ruang untuk kawasan ini yang dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Beberapa kegiatan yang berpotensi menimbulkan koflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut adalah pertanian dan kegiatan di daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, pemukiman, pertambangan dan energi, perhubungan dan pariwisata. Penyebab utama dari konflik tersebut, adalah karean tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan; Lemahnya penegakan hukum. Hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan adanya undang-undang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan seharusnya maslaha perbaikan lingkungan pesisir menjadi fokus utama dalam pengelolaan suatu 6 kawasan atau wilayah pesisir. Tetapi pada kenyataannya kerusakan wilayah pesisir dan degradasi habitat selalu terjadi dan terus berlangsung. Hal ini karena lemahnya penegakan hukum (law enforcement); 2.1. Potensi Pengembangan 2.1.1. Nilai Sosial-ekonomi Kehutanan. Hutan mangrove tersebar di berbagai titik lokasi pantai. Nilai ekonomi dan nilai ekologi dari hutan mangrove ini telah banyak dirasakan oleh masyarakat sekitarnya dan secara tidak langsung juga oleh perekonomian wilayah. Dalam rangka untuk melestarikan hutan mangrove ini harus dilaksanakan berbagai program khusus seperti penghijauan kawasan hutan mangrove yang telah rusak. Perikanan tangkap dan aqua-kultur. Hasil tangkapan ikan di perairan pantai ini berfluktuasi dari tahun ke tahun. Sedangkan produksi perikanan tambak, termasuk udang, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Obyek wisata. Beberapa obyek wisata pantai mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebagian potensi wisata pantai dan wisata bahari masih belum dikembangkan. Pemukiman nelayan. Perkampungan di kawasan pantai dihuni oleh para nelayan penangkap ikan, petani tambak, dan pendatang. Industri. Sejumlah aktivitas industri kecil dan rumahtangga berlokasi di kawasan pantai. Nilai keunggulan lokasi pantai ini adalah kemudahan akses terhadap angkutan laut dan ketersediaan bahan baku ikan dalam jumlah besar. 2.1.2. Nilai Ekosistem Pantai Ekosistem pantai (Tambak ikan dan udang, Pesisir, estuartia, terumbu karang, mangrove, hamparan pasir pantai, dan lainnya) menyediakan habitat bagi organisme yang berhubungan dengan laut, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, tempat bersarang dan bereproduksi, atau keperluan lainnya. Hutan mangrove dan estuaria mempunyai signifikansi ekologis yang spesifik sebagai spawning grounds, nursing, dan feeding grounds bagi berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Terumbu karang mengkonsentrasikan hara untuk mendukung ekosistem produktif dan produksi ikan yang tinggi di perairan sekitarnya. Dune, hutan mangrove dan terumbu karang juga menjadi penyangga alamiah terhadap gelombang laut, erosi dan badai. Kondisi ekologis zone pantai juga sangat penting bagi kegiatan wisata. Sektor ekonomi ini sangat tergantung pada lingkungan alami yang tidak terganggu. 2.1.3. Beberapa problem dan issue pembangunan kawasan pantai Problem utama dalam pembangunan wilayah pantai adalah kerusakan sumberdaya pantai oleh destruksi, over-eksploitasi, dan penggunaan yang tidak ekonomis; serta problematik yang berhubungan dengan aktivitas pembangunan di sepanjang kawasan pantai yang mengakibatkan berbagai dampak buruk terhadap sumberdaya pantai. Sumberdaya pantai, seperti hutan mangrove, pesisir, terumbu karang, dan perairan pantai, mengalami kemerosotan kualitas atau degradasi dan memerlukan penanganan yang serius. Sebagian hutan mangrove dikonversi dan sebagian lainnya mengalami degradasi akibat over-eksploitasi. Statistik menunjukkan bahwa luas hutan mangrove ini menunjukkan kecenderungan yang menurun dari tahun ke tahun. Kawasan hutan mangrove ini dibuka untuk pemukiman, lokasi industri, budidaya tambak, dan lainnya. Aktivitas-aktivitas ini secara tidak langsung juga berdampak pada penurunan produksi perikanan tangkap dan budidaya. Selain itu, meningkatnya kebutuhan kayu bakar juga mendorong over-eksploitasi hutan mangrove, aktivitas penanaman kembali sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini habitata dasar dan fungsi ekologisnya akan hilang dan kehilangan ini seringkali nilainya lebih besar dibandingkan dengan nilai yang dihasilkan oleh aktivitas substitutenya. 7 Terumbu karang di beberapa lokasi menunjukkan gangguan akibat siltasi dan sedimentasi atau penurunan kualitas air laut akibat aktivitas aktivitas yang membuang limbah ke perairan pantai. Beberapa spesies karang yang eksotik dipanen untuk pasar akuarium. Kunjungan wisata ke ekosistem terumbu karang ini juga dapat berdampak buruk kalau melampaui batas kongestinya. Perkembangan perkampungan nelayan, indutri, wisata pantai, pelabuhan dan dermaga di sepanjang pantai secara langsung dan tidak langsung juga mempu nyai sumbangan terhadap penurunan kualitas ekosistem pantai. Pencemaran terutama dapat disebabkan oleh pembuangan limbah domestik cair dan padat dari daratan. 2.1.4. Beberapa prinsip pengelolaan Pengelolaan dan pengembangan sumberdaya PESISIR-pantai mengandung makna mengembangkan, mengorganisir, dan mengendalikan penggunaan sumberdaya pantai untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. (a). Coastal Zone adalah unik dan mempunyai kebutuhan khusus untuk managemen dan perencanaan. Bentuk-bentuk pengelolaan tradisional berbasis-lahan dan berbasis-laut harus dimodifikasi menjasdi bentuk pengelolaan yang efektif bagi daerah transisi antara laut dan darat. (b). Air merupakan gaya integrator utama dalam sistem sumberdaya pesisir-pantai. Setiap aspek dari kegiatan pengelolaan pantai berhubungan dengan air, sehingga memerlukan tatanan kelembagaan yang spesifik dan rumit. (c). Penggunaan lahan dan air di zone pantai harus dilakukan secara terpadu. (d). Pembangunan sumberdaya pesisir-pantai secara berkelanjutan merupakan tujuan utama dari pengelolaan pantai. Sumberdaya renewable harus dikelola untuk menyediakan benefit sosial-ekonomi yang optimum. (e). Manfaat ganda dari sumberdaya pesisir-pantai yang renewable diperoleh dengan jalan perencanaan & manajemen yang baik. (f). Fokus dari pengelolaan pesisir-pantai adalah pada sumberdaya common-property. 2.1.5. Wilayah Pedesaan Pantai dengan Sistem Perikanan Tangkap Hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu strategi pembangunan selama ini bertumpu kepada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas nasional. Berbagai sarana fisik penunjang perekonomian telah berhasil dibangun dan diharapkan akan mampu mendorong akselari pencapaian tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik secara menyeluruh. Beberapa aktivitas pembangunan yang dapat berdampak buruk terhadap eko-sistem pantai adalah sbb: Tipe Ekosistem: 8 Aktivitas pembangunan Pertanian/perikanan Kehutanan Aqua-kultur dan Marikultur Penangakapan ikan Pengerukan Pelabuhan Pelayaran Pembangkit listrik Industri Pertambangan Minyak & gas bumi Pemukiman Pembuangan limbah Pemanfaatan air Manajemen garis pantai Penggunaan sumberdaya pantai Rawa - Delt a - - Estu -aria - Bakau = - Peternakan Trbu karng - - - - - - - = = = = - Seagrass Pesisir - Pulau kecil - - - - - - - - - - - - - - - - - - Keterangan: Marago et al. (1983). - : dampak besar; = : dampak sangat besar Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dapat dipahami bahwa permasalahan yang ada di wilayah pedesaan pantai sangat rumit, melibatkan banyak faktor yang saling kait-mengkait satu sama lain. Wilayah pedesaan pantai dipandang sebagai suatu sistem yang secara struktural terdiri atas lima komponen (sub-sistem) yang saling berinteraksi secara dinamis . Perilaku interaksi dari subsistem-subsistem ini bersifat dinamis dan menghasilkan output-output tertentu. Output-output inilah yang pada hakekatnya merupakan tujuan dan sasaran dari upaya- upaya pembinaan/pengembangan wilayah pedesaan pantai. Dua macam sasaran akhir dari upaya-upaya pembinaan yang seringkali dikemukakan adalah kesejahteraan masyarakat nelayan dan kelestarian sumberdaya perairan pantai. Sistem Pedasaan Pantai, khususnya di wilayah Jawa Timur memepunyai lima macam komponen utama (subsistem), yaitu : (1). Komponen sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan pantai; (2). Komponen sumberdaya Manusia (Nelayan); (3). Komponen Sosialbudaya dan Kelembagaan pedesaan; (4). Komponen Perekonomian Pedesaan; dan (5). Komponen Sarana dan Prasarana Fisik. Perilaku komponen-komponen tersebut di atas, baik secara sendirian maupun interaksinya dengan komponen lain, hingga batas-batas tertentu dapat dikendalikan/ dikelola oleh "manusia" untuk mendapatkan output yang diinginkan. Upaya pengelolaan ini dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu (i) dengan memanipulasi input-input pengolaan, baik yang berupa input material/teknologi, input kebijakan; (ii) dengan merekayasa kelembagaan yang mengatur interaksi antar komponen tersebut sehingga perilakunya dapat lebih baik memanfaatkan input yang ada, dan (iii) kombinasi antara (i) dan (ii). A. Sub-sistem Perairan Pantai dan Pesisir Dalam sistem wilayah pedesaan pantai, sumberdaya perairan pantai dan lingkungan hidup pedesaan mempunyai peranan ganda, yaitu sebagai produsen input bagi sub-sistem ekonomi, produsen jasa amenitas bagi manusia, dan sebagai tempat pembuangan limbah. Dalam ketiga hal ini potensi dan kemampuan sumberdaya alam ditentukan oleh karakteristik dan kualitas. B. Sub-sistem Ekonomi Wilayah Pedesaan 9 C. D. E. Perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh kemampuannya menghasilakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domistiknya dan/atau dipasarkan keluar daerah dengan keuntungan kompetitif. Sehubungan dengan hal ini maka kegiatan ekonomi dapat dibedakan menjadi kegiatansektor bisnis yang menghasilakan produk untuk pasar domistik. Di wilayah pedesaan pantai umumnya kegiatan ekonomi di sektor basis sangat dominan, produk-produk dari kegiatan ekonomi di sektor ini berupa komoditi primer dan sekunder dari perikanan tangkap yang dipasarkan ke luar daerah. Dengan demikian pembinaan pada sektor ini diharapkan dapat mengangkat sub-sistem perekonomian secara kesluruhan. Permasalahan yang sering di jumpai adalah rendahnya keunggulan kompetitif produk dipasaran bebas, dan rendahnya nilai tambah yang dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan pantai. Tiga ciri penting dari kegiatan ekonomi sektor basis di pedesaan pantai adalah (i) kegiatan penangkapan memperlakukan yang mahal dan biaya operasi yang banyak, (ii) operasi penangkapan memerlukan tenaga kerja yang banyak dan koperatif, dan (iii) hasil tangkapan harus dipasarkan ke luar daerah dalam bentuk segar dan/atau olahan. Ketiga ciri ini akan menentukan perilaku sektor basis dan pada akhirnya akan berdampak pada bentuk kelembagaan non-formal yang berkembang di pedesaan pantai. Sub-sistem Kelembagaan Sosial Sebagaimana disinggung sebelumnya, diwilayah pedesaan pantai telah berkem-bang kelembagaan non-formal yang spesifik sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang ada. Suatu teladan bentuk kelembagaan non-formal ini dapat ditemukan dalam hal penangkapan dengan purse-seine atau penangkapan dengan payang. Kelembagaan armada penangkapan ini ditandapi oleh eratnya hubungan antara nelayan pendega, juragan laut, juragan darat, pengolah ikan dan pedagang ikan (dari dalam atau luar daerah). Kelembagaan operasional penagkapan ini ternyata berdampak pada kelembagaan bagi hasil yang berlaku, dan selanjutnya akan menentukan distribusi pendapatan dalam masyarakat pedesaan pantai. Hingga batas-batas tertentu kelembagaan seperti di atas bersama dengan kelembagaankelembagaan lainnya akan menentukan peluang- peluang transformasi struktural di wilayah pedesaan pantai. Besarnya peluang tersebut ditentukan oleh kesiapan kelembagaan yang ada (formal dan non-formal) untuk mengakomodasikan gaya- gaya perubahan yang berasal dari dari dalam dan luar. Selanjutnya tingkat kesiapan tersebut oleh (i) efektifitas mekanisme kerja kelembagaan untuk menggalang partisipasi segenap masyarakat secara proporsional sesuai dengan kepentingannya. Sub-sistem Sarana dan Prasarana Fisik Sub-sistem ini secara langsung berkaitan dengan sub-sistem kelembagaan sosial (formal dan non-formal). Secara fungsional sub-sistem ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (i) sarana dan prasaran ekonomi, (ii) sarana dan prasarana penunjang aktivitas kehidupan manusia. Sarana dan prasarana produksi menjadi salah satu prasyarat penting dalam menentukan perilaku sub-sistem ekonomi. Pada kenyataannya tingkat penguasaan sarana produksi ini akan menentukan posisi dalam kelembagaan bagi hasil dalam penangkapan. Sub-sistem Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia di wilayah pedesaan pantai menjadi subyek/pelaku yang mengendalikan sebagian besar perilaku sistem wilayah, dan sekaligus menjadi objek/sasaran dari perilaku tersbut. Sebagai subyek, manusia lebih berperan sebagai produsen, sehingga kualitas ditentukan oleh (i) peubah-peubah skill managerial, dan (ii) peubah-peubah skill ketebaga-kerjaan. Sebagai objek manusia lebih berperan sebagai konsumen, yang kualitasnya ditentukan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan fisik minum. Hal ini selanjutnya ditentukan oleh (i) produktivitas tenagakerja, dan (ii) perilaku komsumtifnya. Tampaknya pola perilaku monsumtif di kalangan masyarakat pedesaan 10 pantai menjadi salah satu ciri budaya yang serius dalam rangka pola pembinaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pedesaan pantai. 11 III. COASTAL ECOSYSTEM 3.1. Ekosistem Perikanan Pantai (Sistem Penangkapan) 3.1.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Wilayah Pantai/Pesisir Panjang pantai di Jawa Timur sekitar 1600 km, dimana 850 km ditumbuhi mangrove, 450 km berupa hutan belukar, dan sekitar 300 km berupa tempat pemukiman nelayan. Pantai utara hingga ke timur keadaannya melandai, sedangkan pantai selatan umumnya terjal. Kedalaman laut Jawa antara 20-90 m dengan dasar perairan umumnya lumpur berpasir. Samudera Indonesia mempunyai kedalaman lebih 1000 m pada jarak 50 meter dari pantai, dasar lautnya berbatu dan berkarang dan pantainya banyak mempunyai teluk. Perairan selat Madura bagian barat kedalamannya 20-90 meter, dan sebelah timur mencapai kedalaman 140 meter dan dasar lautnya berlumpur. Perairan selat Bali mempunyai kedalaman 20-545 m dan dasarnya terdiri lumpur, pasir dan karang-karang. A. Perkembangan Produksi. Salah satu tujuan pokok pembangunan perikanan adalah meningkatkan produksi perikanan dan produktifitas usaha perikanan dan meningkatkan kebutuhan bahan pangan yang lebih merata dalam rangka perbaikan gizi dan menciptakan lingkungan yang sehat. Pembangunan perikanan pada hakekatnya adalah memanfaatkan sumberdaya yang ada tanpa merusak sumberdaya perikanan itu sendiri. Oleh karena itu inventarisasi dan identifikasi jenis dan potensi sumberdaya alam sangat diperlukan. Dengan memperhatikan data produksi perikanan tahun 1990 maka tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah dikelola secara keseluruhan baru mencapai sekitar 40%. Sumberdaya perairan laut ternyata masih belum sepenuhya dimanfaatkan ; karenanya pengelolaan perairan laut diutamakan pada daerah-daerah pantai selatan terutama peningkatan pemanfaatan ZEE dan perairan kepulauan Madura. Pada cabang usaha penangkapan , diversiifikasi komoditas diarahkan untuk menghasilkan jenis-jenis ikan yang disukai pasar manca negara antara lain jenis ikan tuna, cakalang maupun udang barang (Lobster), yang dihasilkan dikawasan laut selatan Jawa Timur. Seiring dengan pengembangan kegiatan penangkapan ikan tuna dan cakalang, maka kebutuhan ikan bandeng umpan menjadi semakin meningkat. B. Penangkapan Ikan di laut Penangkapan ikan di laut diarahkan pada pemilihan daerah penangkapan baru yang masih potensial yaitu Selat Madura, serta rintisan pemindahan nelayan dari daerah padat tangkap ke daerah yang potensial semisal dengan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas armada perikanan di Pantai Selatan. C. Budidaya Laut Budidaya laut diarahkan pada rintisan pengembangan terhadap komoditi hasil perikanan yang sesuai dengan selera pasar dan sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri maupun pasar luar negeri. Dari berbagai jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomis seperti Gracilaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp, dan Euchema sp. Di Selat Madura, Jawa Timur memiliki perairan laut yang potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut. Potensi tersebut tersebar di sepanjang Pantai Madura Kepulauan dan Bawean Kepulauan. Potensi perairan laut yang tersebar terdapat di Kabupaten Sumenep yaitu Kecamatan Dungkek, Gapura, Giligenting, Seronggi Raas, Sapekan dan Pulau Kangean sekitar ± 750 Ha. 12 3.1.2. Kondisi Sistem Perikanan Pantai Usaha penangkapan ikan di laut dilakukan di perairan pantai Pacitan-TrenggalekTulungagung, umumnya nelayan mendaratkan ikannya di wilayah sendiri, dan kemudian pemasarannya sampai Jawa Tengah. Ada sekitar 50 jenis ikan yang dapat ditangkap nelayan di perairan selat Madura, Jawa Timur, di antaranya adalah Jenis Ikan Tongkol kembung, Tembang, Layang, Lemuru, dan Teri. Biasanya musim ikan terjadi selama bulan September hingga Desember. A. Aspek Sosial-Ekonomi Nelayan Pendega Tingkat pendidikan pendega sangat heterogen. Pendidikan pendega yang umum dijumpai pada seluruh wilayah umumnya lulusan SD dan SLP. Namun tingkat pendidikan di wilayah Lekok (Pasuruan) dan di Tlanakan (Pamekasan) pendidikan sangat rendah banyak yang buta huruf ataupun tidak lulus SD. B. Mata Pencaharian Utama dan Sambilan Keluarga Pendega Nelayan pendega pada umumnya menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan dan umumnya tidak mempunyai pekerjaan sambilan. Kegiatan isteri umumnya pada urusan rumah tangga dan jarang sekali para isteri pendega yang bekerja. Begitu pula kegiatan anak pada umumnya tidak dilibatkan dalam membantu ekonomi keluarga. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka usaha peningkatan keluarga pendega, dapat juga ditempuh melalui usaha memberikan kegiatan produktif pada isteri pendega. C. Pemilikan Lahan Pertanian Umumnya keluarga pendega tidak memiliki lahan pertanian, baik berupa sawah, tegal maupun tambak. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketergantungan keluarga pendega pada sektor perikanan sangat tinggi. D. Curahan Hari Kerja dan Pendapatan dari Sektor Penangkapan Ikan Pendapatan nelayan pendega berfluktuasi menurut keadaan musim ikan. Pada musim paceklik pendega sangat rendah sebaliknya pada musim raya ikan pendapatan pendega cukup tinggi. Keadaan ini menuntut adanya usaha tradisi menabung pada musim raya ikan. Ditinjau dari segi lokasi penelitian, tidak tampak adanya variasi pendapatan antar wilayah penelitian. Namun ditinjau dari segi alat tangkap yang digunakan tampaknya purse seine yang pendapatannya tertinggi dibandingkan dengan pendapatan dari alat tangkap lainnya. Sedangkan jenis alat tangkap lainnya ditinjau dari segi pendapatan pendega tidak tampak menyolok perbedaannya. E. Pendapatan Pendega Berdasarkan Sumbernya Pendapatan pendega umumnya sebagian besar (+ 90%) bersumber dari sektor perikanan (usaha penangkapan ikan), sedangkan sisanya umumnya adalah hasil kekayaan (istrinya) yang umumnya pedagangan kecil (baik dagang ikan atau hasil pertanian) dari berburuh baik dari buruh industri pengolahan ikan atau komoditi lainnya. F. Penyuluhan Teknologi dan Perkreditan Penyuluhan teknologi dan perkreditan untuk pengembangan ekonomi keluarga pendega menunjukkan hasil beragam dan menghadapi banyak kendala. Tampaknya penyuluhan teknologi dan perkreditan pada pendega jarang dilakukan. Berdasarkan hasil observasi di lapang menunjukkan bahwa tampaknya pendega bukan merupakan sasaran penyuluhan. Disamping itu terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh menjadi pembatas tidak efektifnya pelaksanaan penyuluhan. Berdasarkan kenyataan bahwa pendega merupakan golongan nelayan yang berstatus ekonomi paling rendah, maka di masa datang per tahun pendega menjadi salah satu sasaran penyuluhan untuk pengembangan usahanya. Sementara ini pendega belum banyak mengem- 13 bangkan usahanya, akibatnya kehidupannya sangat tergantung pada pemilik perahu (juragan) yang diikutinya. Kalau keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka dimasa datang pendega menjadi kelompok yang tertinggal. G. Respon Pendega terhadap Pengembangan Usaha Respon pendega terhadap usaha pengembangan pertanian, peternakan dan pembuatan jaring sangat rendah. Hal ini disebabkan pendega umumnya tidak memiliki lahan pertanian, sedangkan responya terhadap pengembangan usaha pembuatan jaring yang rendah disebabkan segi permintaannya sangat sedikit. Respon pendega yang cukup tinggi terhadap usaha pengembangan pengolahan ikan untuk keluarganya umumnya rendah. Sedangkan respon terhadap pengembangan usaha penangkapan ikan secara berkelompok umumnya pendega cukup respon. 3.1.3. Proses-proses degradasi Dinamika ekosistem pantai secara langsung dan tidak langsung sangat dikendalikan oleh aktivitas sosial-ekonomi masyarakat nelayan, baik aktivitas penangkapan di laut , aktivitas penunjang di daratan, maupun aktivitas lain dalam kehidupan sehari-hari di pemukiman penduduk. Kegiatan-kegiatan manusia ini bersama-sama dengan proses alamiah akan menimbulkan proses-proses degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup pantai yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat keragaan ekosistem pantai. Beberapa proses degradasi ekosistem pantai yang penting adalah: (1). Penangkapan ikan di perairan pantai yang terus meningkat kepadatannya, sehingga pada saat sekarang ini (terutama di perairan pantai utara Jawa Timur dan Selat Madura) telah megarah kepada eksploitasi yang berlebihan. Pada saat-saat tertentu penagkapan ikan diperkiurakan telah mendekati atau melampaui batas Maximum Sustainable Yield (MSY). Hal seperti ini dikhawatirkan dapat mengganggu dinamika populasi ikan-ikan di perairan pantai. (2). Kegiatan masyarakat sehari-hari di pemukiman nelayan akan menghasilkan berbagai jenis limbah, baik limbah domestik maupoun limbah proses produksi/pengolahan ikan. Limbah ini semuanya pada akhirnya akan dibuang ke perairan pantai yang pada gilirannya juga akan menurunkan kualitas air, terutama di sekitar pemukiman nelayan yang padat. (3). Kegiatan industri dan aktivitas produktif lain yang memerlukan lahan dan meng-hasilkan limbah. 3.1.4. Kebijakan Pembangunan/Pengelolaan perikanan pantai Proses pembangunan ekonomi diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan struktur kelembagaan disuatu wilayah, serta perubahan perilaku kultural dari masyarakatnya. Peningkatan rataan pendapatan setiap kapita biasanya dibarengi dengan berkurangnya pangsa relatif (pendapatan dan kesempatan kerja) dari sektor primer, dan meningkatanya pangsa reltif dari sektor sekumder dan tersier. Dilingkungan pedesaan pantai dapat diantisipasi bahwa perubahan strukturakl dan kultural tersebut diatas akan terjadi dalam proporsi yang berbedabeda. Perubahan kultural akan ditentukan oleh ciri budaya yang telah ada, terutama dalam hal perilaku masyarakat pedesaan pantai sebagai konsumen. Apabila pendapatan meningkat maka diantisipasi akan terjadi pergeseran perilaku ke arah pola konsuntif yang ditandai oleh semakin besarnya proporsi konsumsi non-pangan, termasuk kosumsi jasa amenitas dalam makna yang positif maupun yang negatif. Dengan demikian permintaan terhadap produk-produk sekunder dan tersier dari luar daerah dapat manjadi semakin besar. Semakin besarnya kebutuhan penurunan investasi masyarakat di sektor produktif sehingga akan muncul fenomena involusi. Upaya-upaya yang disarankan untuk memutuskan siklus involusi tersebut adalah (i) pemindahan sebagai tenaga kerja dari sektor primer dan sektor-sektor sekunder dan tersier untuk lebih memperbesar produktivitas tenagakerja, (ii) pembinaan kelembagaan (terutama non-formal) yang dapat mendorong gairah menabung dan perilaku produktif lainya dikalangan 14 masyarakat pantai, (iii) pembinaan prilaku masyarakat untuk tidak terlalu mengarah kepada prilaku konsuntif. Upaya pembanguan ekonomi pedesaan pantai melalui keterkaitan antara sektor primer (penangkapan) dan sektor-sektor sekunder (industri pengolahan hasil perikanan). Dengan demikian kebijakan pembinaan pantai harus bertumpu "kedua unsur pokok", yaitu (i). industrialisasi pedesaan untuk mengolah hasil-hasil ikan tangkapan, dan (ii). inovasi teknologi penangkapan untuk memperbesar hasil tangkapan. Akan tetapi dua unsur pokok ini saja masih belum bisa menjamin keberhasilan pemabanguan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosial masyarakat pedesaan pantai. Tiga macam "unsur penunjang" yang dipersyaratkan adalah : (i). pembenahan kelambagaan perkreditan dan bagi hasil, (ii). renovasi sistem pemasaran yang mampu mengalokasikan nilai tambah yang lebih besar kepada masyarakat pedesaan pantai, dan (iii). Pembinaan perilaku masyarakat dan kelembagaan sosial yang ada untuk dapat menjaga keseimbangan antara perilaku konsuntif dan produktif. (1). Industrialisasi Pedesaan Pantai Proses industrialisasi pedesaan yang mengarah kepada kemajuan masyarakat pada mulanya merupakan masalah psikis atau mental (Alfian, 1991). Masyarakat pedesaan pantai akan dapat menjadi maju dan sejahtera hidupnya apabila mempunyai sikap mental yang mampu mendorong kje arah kemajuan tersebut. Dengan demikian beberapa macam sikap mental dan prilaku kultural tertentu di kalangan masyarakat pedesaan pantai yang dapat menjadi kendala bagi keberhasilan proses industrialisasi perlu dibina dan dibenahi sehingga sesuai dengan kebijakan dan strategi pembanguanan yang telah direncanakan. Pada tingkat mampu proses industrialisasi pedesaan ini diharapkan oleh diversifi-kasi sumber pendapatan masyarakat dari berbagai aktivitas pengolahanhasil perikanan dan perdagangan produk-produk olahan. Dampak sosial ekonomis yang diharapkan ialah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan kerja yang ada, memperbesar pendapatan masyarakat, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup masyarakat pedesaan secara kualitas manuasia dan tarah hidup masyarakat pedesaan secara keseluruhan. Proses-proses transformasi tersebut beserta dampak sosial-ekonominya hanya mungkin terjadi kalau didukung oleh tersedianya bahan baku yang memadahi. Dengan demiian inovasi dan teknologi penangkapan merupakan prasyarat pokok bagi berkembangnya industri pengolahan di pedesaan pantai. (2). Inovasi Teknologi Penangkapan Inovasi teknologi penangkapan ikan pada dasarnya mengarah pada perbaikan efisiensi teknis dan ekonomis. Nelayan sebagai pelaku perbaikan teknologi ini akan semakin maju apabila mempunayai sikap mental kebaharian yang terampil, yaitu mengejar dan memburu ikan kemanapun daerah penangkapan bergerak dan berubah. Dengan demikian beberapa sikap menta; perilaku kultural bahari merupakan sebuah karharusan. Kultural bahari saat ini masih mengahadapi kultural tertentu (misalnya one-day fishing) yang dapat menjadi kendala dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan perlu dibina sejalan dengan strategi dan sasaran inovasi tersebut. Pada tahap selanjutnya, proses inovasi teknologi ini diharapkan mampu melakukan tranformasi teknologi penangkapan ikan yang tradisional menjadi modern yang ditandai dengan penerapan teknologi yang efisien dan mampu mengatasi hambatan gelombang laut dan dapat menjelajahi kelutan Nusantara dan zone ekonomi eksklusif. Dengan demikian inovasi teknologi di sini mencakup teknologi perkapalan, mesin, alat penangkapan (jaring dan pancing) alat pembantu penangkapan antara lain seperti penggunaan lampu listrik, fish-finder dan sarana komunikasi modern. Kesemuanya itu jelas membutuhkan bukan hanya sekedar mental bahari, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi tertentu. Dampak sosial ekonomi yang diharapkan adalah terbukanya lapangan kerja baru dan perluasan kesempatan 15 kerja yang ada, meningkatkan pendapatan nelayan pendaga, perbaikan kualitas manusia dan taraf hidup keluarga nelayan secara keseluruhan. Proses tranformasi tersebut pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses industrialisasi pedesaan pantai secara keseluruhan. Dalam proses inovasi teknologi penangkapan ikan terkait erat dengan tersedianya input dan sarana pembantu lainya, yang biasanya ased modal. Pada saat ini hampir di seluruh pedesaan pantai yang diteliti telah berkembang suatu sistem penyediaan modal maupun kredit bagi-hasil yang beroprasi secara informal, yaitu untuk "memotori" perubahan dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang telah ada sampai sekarang. Sistem permodalan bagi hasil tersbut ternyata telah menjadi unsur penunjang inovasi teknologi penangkapan memerlukan unsur penunjang permodalan dan pemasaran yang "built in" seperti kelembagaan perkreditan bagi hasil jika mental kebaharian telah tumbuh yang memungkinkan kehidupan sebagian terbesar di laut. (3). Pembenahan Kelembagaan Perkreditan dan Bagihasil Upaya pengkapan kelembagaan perkreditan di wilayah pedesaan pantai harus diarahkan pada empat sasaran pokok, yaitu (i) kemantapan koperasi nelayan (KUD nalayam), (ii) pengembangan usaha penangkapan ikan oleh nelayan kecil, (iii) pengembangan usaha pasca tangkap (industri pengolahan) ikan yang berskala kecil oleh masyarakat pedesaan pantai, dan (iv) pembinaan kegiatan menabung di kalangan nelayan. Berdasarkan pengalaman adanya ketidak-berhasilan kredit motor/perahu pada masa lalu, maka sistem perkreditan dengan model "angsuran kredit" patut dibenahi dan bila dipandang perlu dapat ditinggalkan. Pembenahan sistem kredit bagi nelayan dalam rangka usaha penangkapan ikan perlu diarahkan pada "sistem bagi hasil" antara sekelompok nelayan dengan lembaga pemberi kredit. Model ini akan menciptakan usaha nelayan berkongsi dengan sistem bagihasil. 3.2. EKOSISTEM HUTAN MANGROVE 3.2.1. Makna Ekonomis dan Ekologis Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh pada tanah aluvial di pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan dicirikan oleh jenis-jenis pohon Avicenia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Exoecaria, Xyloccarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Dengan demikian, ekosistem bakau ialah ekosistem pantai yang komponen tumbuhannya ialah hutan, beserta fauna dan habitatnya yang khas. Lokasi ekosistem bakau ini umumnya adalah pantai-pantai dengan teluk dangkal, estuari, delta, bagian terlindung dari tanjung, selat yang terlindung dari ombak serta tempat-tempat lain yang serupa. Tanahnya bervariasi dari lumpur, lempung, gambut dan pasir. Ekosistem hutan bakau sangat unik dan sangat potensial. Secara ekonomis, hutan bakau merupakan penghasil berbagai bahan baku industri, kayu bakar, arang, bahan penyamak, mendukung upaya budidaya perikanan, dan lain-lain. Secara ekologis hutan bakau mempunyai fungsi penting karena menjadi tempat lindung bagi banyak jenis flora maupun fauna. Hal ini sering membawa pada pertentangan kepentingan dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, dan Jawa Timur khususnya, sesungguhnya pertentangan ini dapat terhindarkan apabila semua pihak dapat menyadari peran lindung hutan bakau tersebut sesunggunya juga mencakup perlindungan terhadap kualitas lingkungan yang menjamin kelestarian usaha-usaha produksi seperti hasil hutan, tambak dan perikanan pada umumnya. Secara rinci peran lindung hutan bakau adalah sebagai berikut: 16 (a). Bersifat khas dan strategis untuk menyangga kelestarian kehidupan biota darat dan perairan baik laut maupun tawar. (b). Sebagai penyangga produktivitas wilayah usaha perairan pantai dan laut. (c). Berperanan besar untuk melindungi pantai dan menghambat lepasnya butir-butir tanah ke lautan bebas serta mempercepat pengendapan pantai. Secara teoritis daya regenerasi hutan bakau cukup kuat, sehingga sering dapat dengan lebih mudah dipulihkan apabila mengalami kerusakan, terutama bila dibandingkan dengan kawasan ekologis lainnya seperti terumbu karang. Namun demikian, apabila sampai muncul kerusakan di kawasan hutan bakau hal yang mungkin sulit dikembalikan adalah hilangnya beberapa jenis flora maupun fauna langka dari kawasan hutan yang rusak tersebut. Selain dari itu, sesuai dengan perannya seperti tersebut di atas, kerusakan hutan bakau umumnya berpengaruh luas terhadap ekosistem lainnya yang terkait dengannya. 3.2.2. Hutan Mangrove dan Proses Degradasinya Pada dasarnya kondisi ekosistem pantai di Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan atas ciri-ciri fisik pantainya. Kelompok pertama umumnya berada di kawasan pantai selatan Jawa Timur yang mempunyai pantai terjal, berbatu dengan ombak yang besar menghantam pantai setiap saat. Kelompok kedua umumnya berada di sepanjang pantai utara Jawa timur yang relatif landai, berlumpur dengan ombak yang relatif tenang dan arus air lambat. Kondisi fisik seperti inilah yang menjadi alasan mengapa kawasan bakau lebih banyak di pantai utara dibandingkan pantai selatan Jawa Timur. Berdasarkan atas nilai indeks sensitivitas lingkungan yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Lingkungan Hidup (Anonymous, 1987), dengan kriteria fisik seperti tersebut, pantai utara dapat dianggap lebih sensitif terhadap pengaruh faktor pencemaran dibandingkan pantai selatan. Pada hal justru pantai utara Jawa Timur yang mempunyai perkembangan sosialekonomi pesat. Dari sini dapat dipahami mengapa banyak kawasan bakau di pantai utara Jawa Timur yang telah rusak, dan berubah fungsi seiring dengan pesatnya perkembangan sosialekonomi. Data tahun 1991 yang berhasil dikumpulkan oleh Marsoedi, et al., menunjukkan bahwa dari kurang lebih 859 km hutan bakau sepanjang pantai Jawa Timur, 230 ha dinyatakan rusak berat dan dari 700 ha rusak ringan. Selanjutnya dari hasil survei kasar, dengan pemilihan tempat secara acak, di kawasan pantai utara Jawa Timur tidak dijumpai hutan bakau (Sumitro, 1992). Hasil pengamatan visual menunjukkan pohon-pohon bakau pada umumnya hanya terdapat pada galengan tambak atau saluran irigasi atau dalam bentuk gerumbul-gerumbul kecil di sekitar pemukiman penduduk. Hasil penelitian Fandeli (1992) juga menunjukkan hal yang serupa. hasil pengamatannya di kawasan pantai Probolinggo dan sekitarnya menunjukkan bahwa umumnya hutan mangrove merupakan jalur sempit sejajar dengan jalan raya SurabayaBanyuwangi yang terputus-putus di berbagai tempat oleh karena pemukiman atau peruntukkan lainnya. Lebar areal hutan paling panjang adalah 175m, dan umumnya berkisar antara 50-60 m. Secara umum kawasan hutan bakau tersebut tidak lagi sebagai hutan lindung melainkan telah bergeser ke fungsi produksi. Hal ini tentu tidak bersesuaian lagi dengan status mereka yang merupakan kawasan hutan lindung milik perum perhutani. Hal serupa juga di jumpai di kawasan Blambangan-Banyuwangi (Soebiantoro, 1992). Tampaknya kawasan pantai utara Jawa Timur sudah tidak lagi mempunyai kawasan hutan bakau perawan kecuali di kawasankawasan konservasi seperti Baluran. Usaha penanaman kembali pohon bakau ternyata telah banyak dilakukan di sepanjang pantai utara dan pantai madura termasuk madura kepulauan (Marsoedi, et al., 1991). Umumnya penghijauan dilakukan oleh instansi di bawah departemen kehutanan, termasuk Perhutani, dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam Daerah (BKSDA). Lokasi penghijauan meliputi beberapa daerah di kabupaten-kabupaten Banyuwangi, Jember, Situbondo, Malang, Blitar, Pacitan, Trenggalek, Sumenep dan Bangkalan. Namun demikian, usaha penanaman kembali sering tidak bertujuan untuk menghutankan kembali kawasan bakau, tetapi sekedar menghijaukan kawasan bakau, dan sering dikaitkan dengan kepentingan pertambakan baik 17 yang modern maupun tradisional. Menurut hasil sigi di Jawa Timur, total usaha penghijauan di luar usaha konservasi dan pengamanan hutan bakau tersebut telah dilakukan pada kawasan bakau seluas kurang lebih 1250 ha (Marsoedi, et al., 1991). Hasil penelitian Marsoedi et al. (1991) tersebut juga menanpakan secara jelas sekali besarnya pengaruh laju tekanan pemukiman penduduk, pertumbuhan budidaya tambak, perindustrian dan lain-lain kegiatan ekonomi terhadap laju penyusutan kawasan bakau ini di sepanjang pantai utara Jawa Timur dan Madura. Sayangnya, data rinci dalam skala yang lebih teliti mengenai laju perluasan wilayah tambak dan penyusutan hutan bakau di Jawa Timur sampai saat ini amat sulit didapatkan, meskipun dari hasil kuwesener dan wawancara terhadap instansi terkait seperti, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah (BAPPEDA) setempat, mereka umumnya mengkategorikan masalah penyusutan luasan hutan bakau dan usaha penghijauan kembali kawasan bakau sebagai masalah yang mendesak untuk ditangani. Data hasil inventarisasi kasar yang telah dilakukan di beberapa kawasan pantai Jawa Timur, (Sumitro, 1992) menunjukkan ada dua puluh tujuh jenis tumbuhan bakau. Umumnya dari genus Rhizophora, Avicenia, Exoecaria, dan Acanthus. Selain itu juga dapat dengan mudah terlihat, di kawasan pantai utara yang landai, adanya kemunculan lahan atau daratan baru seiiring dengan laju sedimentasi di daerah estuari. Suksesi ekosistem bakau di lahan baru ini terlihat sering terganggu oleh aktivitas perambahan untuk tujuan-tujuan pertambakan atau ladang pembuatan garam. Seperti halnya laju penyusutan hutan bakau, data akurat mengenai laju pertambahan daratan baru serta aktivitas perambahan oleh penduduk tidak pernah ada. 3.2.3. PERMUDAAN BUATAN TANAMAN BAKAU (Rhizophora mucronata L.) Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi dengan formasi khas daerah tropika dan terdapat di pantai rendah yang tenang serta berlumpur sedikit berpasir dengan pengaruh pasang surut air laut. Hutan mangrove juga berperanan penting sebagai penunjang ekosistem wilayah pesisir terutama bagi kesejahteraan masyarakatnya. Fungsi mangrove dilihat dari fungsi fisik, mampu berperan menahan gempuran ombak dan angin, serta intrusi air laut ke daratan dan fungsi kimia berperan menghasilkan bahan organik melalui dekomposisi orga nisme tanah mangrove. Sedang secara ekologis mampu menunjang kehidupan organisme-organisme yang secara langsung maupun tidak langsung hidupnya tergantung dari mangrove, karena mangrove mampu sebagai jembatan antara daratan dan lautan. Nybakken (1988) menyatakan bahwa ekosistem mangrove meru pakan suatu kawasan ekosistem rumit karena terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luarnya. Secara ekonomis mampu menunjang kesejahteraan masyarakat sekitar pantai disebabkan mangrove bisa dimanfaatkan dalam hal kayu dan non kayunya. Sayangnya mangrove terma suk kawasan yang labil sehingga dikenal sebagai "fragile ecosystem" bila terjadi perubahan pengaruh pe-nunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Sehingga banyak kawasan -kawasan yang rusak akibat eksploitasi yang berlebihan tanpa mengetahui keseimbangan antara perkembangan regenerasi dan pemanenan. Maka sebagai usaha pelestariannya adalah dengan peremajaan atau penanaman kembali atau yang dikenal dibidang kehutanan dengan istilah permudaan buatan bagi hutan mangrove. Permudaan buatan adalah suatu kegiatan dalam usaha memperoleh hasil yang dikehendaki dengan penggu naan jenis bibit yang sesuai zone pertumbuhan dan jarak tanam yang dikehendaki. Sedang di satu sisi bahwa pelaksanaan permudaan buatan sering kali mengalami kegagalan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu penelitian dari usaha permudaan buatan tersebut dengan pengukur beberapa variabel yang terkait. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui prosentase tumbuh dan keberhasilan permudaan buatan jenis R. mucronata L. Menurut hasil kajian Arifin Arief dan Agus Sugianto (1998), luas areal penelitian 30,81 ha dengan jarak tanam 3 x 2 m merupakan hasil penanaman sejak 12 Januari 1996 pada daerah bertopografi datar sedikit bergelombang dan beriklim tipe E klasifikasi Schmidt- 18 Ferguson. Curah hujan daerah pene litian rata-rata mencapai 1000-1500 mm dengan jenis tanah regusol dan gromosol kelabu, dengan bahan endapan pasir dan liat. Didalam pemilihan biji dipilih pada buah yang telah mengalami perubahan warna kuning pada bagian antara biji dengan hipokotil serta sesuai dari zone pertumbuhannya. Diameter yang didapatkan secara rata-rata di seluruh petak ukur adalah 1,73 cm dan terbesar adalah 2,21 pada petak ukur 6 dengan ketebalan sedi-mentasi 10,02 cm. Salinitas pada petak ukur didapatkan rata-rata sebesar 2,83 persen, hal ini disebabkan terjadinya curah hujan yang selalu berubah. Untuk salinitas sebenarnya tidak dibutuhkan terlalu tinggi bagi pertumbuhan tanaman tetapi bila terjadi salinitas yang tinggi, maka tanaman akan beradaptasi karena sifatnya yang halophyt. Proses ini melalui perakaran disekresikan serta disalurkan ke bagian-bagian tubuh tanaman terutama bagian daun-daun tua, karenanya pada daun tua ditemui kadar garam yang relatif tinggi. Sesuai Soeroyo (1993) bahwa mangrove mampu memin dahkan garam dengan cara menyim pannya dalam daun yang lebih tua, karenanya konsentrasi kadar garam pada daun tua lebih tinggi. Kemiringan permukaan tanah ternyata mempengaruhi lamanya dan perluasan genangan. Pasang surut pada daerah genangan membawa serasah dan tebal sedimentasi yang berdampak bisa tumbuh dan berkem bangnya mangrove. Faktor physio graphy berpengaruh terhadap zonasi terutama dalam hal salinitas air dan serasah (Anonimous, 1995). Kemi-ringan lahan sangat berpengaruh juga terhadap ketebalan sedimentasi yang terbawa air pasang dan aliran sungai. Pada petak ukur didapatkan genang an air setinggi 21,72 yang berpengaruh terhadap pertumbuhan permudaan buatan dengan rata-rata diameter 1,73 cm dan tinggi semai tanaman rata-rata 43,16 cm. Sehingga kawasan mang-rove dengan empang parit yang mampu menahan genangan ketika terjadi surut, mampu membuat tanah selalu dalam kondisi lunak. Terdapat korelasi antara jenis tegakandengan pasang surut dan lamanya genangan air (Soemodihardjo, 1979), sebab semakin ke atas daratan arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur dengan bahan organik tanah yang tinggi (Marsono dan Setyono, 1993). Dimana kondisi lunak akan merangsang organisme tanah untuk membuat lubang-lubang tanah sebagai penunjang aerasi udara bagi perna-fasan akar-akar mangrove. Lubang-lubang ini membawa oksigen ke bagaian akar tegakan mangrove (Ewuisie, 1980). Kondisi tanah dengan analisis fisik secara mekanik diperoleh tanah bersifat lempung liat berpasir (33,3 %) serta banyak ditemui orga nisme jenis kepiting, grifil dan cacing pantai yang beraktifitas membuat lubang-lubang tanah. Jenis tanah ini secara umum sangat disukai oleh organisme tanah pantai disebabkan sangat mudah untuk ditem bus. Disamping itu, bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sendiri jenis organisme ini sangat menunjang karena proses dekomposisi dan hasil endapan serta seresah terjadi pada jenis tanah ini. Organisme tanah yang disebut makrobentos sangat berpe-ranan dalam proses penghancuran seresah dan dekomposisi. Makro-bentos mampu mencerna daun segar dan memproduksi hingga membantu eksport unsur hara (Sukardjo, 1993). Hasil proses ini akan mengha silkan bahan organik tanah sebagai penunjang pertumbuhan dan perkem bangan mangrove permudaan buatan. Daun mangrove yang mulai membu suk mengandung 3,1 persen protein dan setelah 12 bulan meningkat sampai 21 persen (Heald, 1971). Berarti bisa dipastikan bahwa hasil prosentase pertumbuhan diperoleh rata-rata sebesar 82,57 salah satu sebab adanya proses tersebut. Sehingga R. mucronata sangat sesuai tumbuh dan berkembang pada daerah zone dengan keadaan di atas yang bersifat salinitas, tanah dan pasang surut serta sedimentasi yang terjadi. Menurut Arief dan Sugianto (1998), Rhizophora mucronata L. mampu mengalami pertumbuhan dan perkembangan sebesar 83 persen dalam suasana lingkungan dengan salinitas sebesar 5,1 persen, sedimentasi setebal 11,5 cm dan tinggi genangan 29 cm. 3.2.4. Pengelolaan Bakau SEBAGAI HABITAT KEPITING Beberapa tindakan pengelolaan yang diperlukan a.l. (a). Pengendalian pembukaan tambak udang, penebangan kayu bakau, dan lainnya (b). Menjaga topografi dan karakter substrat hutan bakau dan saluran suplai air tawar 19 (c). Menjaga pola alamiah temporer dan spatial dari salinitas air permukaan dan groundwater (d). Mempertahankan pola alamiah dan siklus aktivitas pasang surut dan run-off air hujan / air tawar (e). Menjaga keseimbangan alamiah antara abrasi, erosi, dan sedimentasi. Pengelolaan hutan bakau harus diarahkan agar segala pendayagunaann sosioekonomisnya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga tetap dapat menjamin kemanfaatannya bagi generasi mendatang. Hal ini berarti pula bersesuaian dengan deklarasi World Conservation Startegy (WCS) tahun 1979, dan Strategi Konservasi Alam Indonesia, Agenda no. 21 Global Biodiversity Strategy (GBS) tahun 1992, dan Strategi Nasional Pengelolaan keanekaragaman hayati. Setiap upaya pengelolaan seharusnya mempunyai makna: a. Perlindungan terhadap proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan dalam ekosistem bakau. b. Pelestarian sumberdaya bakau dan keanekaragaman sumber plasma nutfah yang terkandung di dalamnya. c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya bakau dan lingkungannya. d. Konsistensi pengelolaan dan penanganan keanekaragaman hayati dan masalah ekologis hutan bakau. e. Mencermati aliran perdagangan flora maupun fauna langka di hutan bakau. Suatu hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum kelemahan menejemen hutan bakau menyangkut banyak hal, meliputi sistem silvikultur, sumberdaya manusia, perencanaan pengorganisasian/pelembagaan, pelaksanaan program kerja, dan pengawasannya. Ciri dari kelemahan menejemen tersebut antara lain adalah data luasan kawasan hutan bakau yang tidak akurat. Di Jawa Timur data luasan hutan bakau tersebut sering bervariasi menyolok antar instansi terkait satu dengan lainnya. Hal ini tentu amat menyulitkan dalam pelaksanaan tata ruang, pemanfaatan maupun rehabilitasinya. Selain dalam hal menejemen, permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan bakau di Jatim diduga juga berhubungan dengan terjadinya degradasi hutan bakau akibat pencurian kayu, perambahan yang tidak terkendali serta pemanfaatan yang melebihi daya dukung. Permasalahan terakhir ini lebih terkait dengan kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan bakau yang belum sepenuhnya mendukung pengelolaan hutan bakau secara lestari. Dari sini terlihat bahwa pengelolaan hutan bakau secara lestari harus terkait dengan pendidikan kesadaran berkonservasi, peningkatan lapangan kerja, kesempatan kerja, peningkatan akses untuk memperoleh informasi, modal kerja dan sarana produksi bagi penduduk di sekitar kawasan bakau. 3.3. EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN PENGELOLAANNYA 3.3.1. Pendahuluan Beranekaragam tipe ekosistem khas dijumpai di wilayah pesisir-pantai Pasir putih dan sekitarnya, seperti hutan mangrove, terumbu karang, rumput laut, estuarin, delta dan rawa pantai non bakau. Selain menyediakan berbagai sumberdaya alam, tatanan lingkungan ini berfungsi sebagai penyangga kehidupan. Terumbu karang merupakan ekosistem khas, yang didalamnya terkandung keanekaragaman biota laut yang unik dan menarik. Produktivitas dan kekayaan jenis terumbu karang boleh dikata sebanding dengan hutan hujan tropika (Anonimous, 1992). Sebagai salah satu ekosistem di dunia yang secara ekologis paling produktif dan beragam, serta seringkali merupakan daerah yang paling cantik bentuknya. Hal lain yang menarik perhatian dari ekosistem terumbu karang terutama adalah besarnya kelimpahan dan keragaman biota yang berasosiasi. 20 Sebagai ekosistem perairan yang memiliki produktivitas tinggi, terumbu karang juga merupakan habitat dari berbagai jenis organisme laut. Terumbu karang berfungsi sebegai pelindung fisik, tempat tinggal, mencari makan, berpijah dan berkembang biak berbagai biota laut. Diperkirakan sekitar 260 jenis ikan hias hidup di perairan terumbu karang, dan sepertiga seluruh jenis ikan kehidupannya bergantung pada lestarinya terumbu karang. Disisi lain terumbu karang dapat dijadikan sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan farmasi. Di perairan laut Indonsia diperkirakan luas terumbu karang mencapai 6.800 km2, membentang sepanjang 17.500 km (Anonimous, 1992). Sebagian sudah ditetapkan menjadi taman nasional luat, antara lain di daerah Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Bunaken Sulawesi Utara yang terkenal sebagai Taman Nasional Laut, disamping itu juga perairan laut Madura Kepulauan terdapat terumbu karang yang lamam dikenal oleh nelayan dan merupakan daerah perburuan /penangkapan ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti ikan kerapu, kakap dan ikan hias. Dalam dekade terakhir ini terumbu karang baik langsung maupun tidak langsung telah dimanfaatkan oleh manusia secara optimal tanpa kendali, antara lain usaha penangkapan ikan karang baik sebagai ikan hias maupun sebagai konsumsi secara besar-besaran yang menggunakan racun "potassium cyanida (KCN)", pengambilan karang untuk bahan bangunan dan tidak kalah pesatnya pemanfaatan daerah terumbu karang sebagai taman laut dijadikan objek wisata bahari. Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun. Penelitian tentang kondisi ekologi terumbu karang di Indonesia tergolong masih sedikit, pada hal perairan laut Indonesia demikian luasnya dan sangat kaya akan sumberdaya terumbu karangnya. Sementara itu eksploitasi terhadap terumbu karang untuk berbagai tujuan terus berlangsung tanpa memperhatikan keadaan ekologisnya. Hal ini apabila terjadi terus menerus akan mengakibatkan kepunahan terumbu karang yang ada. Sebagai salah satu ekosistem yang secara ekologis merupakan habitat berbagai jenis organisme laut, maka sangatlah perlu dijaga kelisteriannya. Berdasarkan pemikiran di atas upaya konservasi dan pengelolaan terumbu karang sebagai sumberdaya sangat penting dan berdimensi ganda, pendekatan bioekologi terumbu karang serta alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat tangkap long line pot dan usaha budidaya laut harus dilakukan secara terintegrasi. 3.3.2. Pertimbangan Konservasi Konservasi dan pengelolaan terumbu karang secara lestari dan berkembang sangat penting artinya. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang yang sangat produktif dapat mendukung kehidupan nelayan setempat. Jika habitat terumbu karang dapat berfungsi secara optimal, maka produksi ikan-ikan karang akan dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan dan akan memberikan keuntungan secara sosial dan ekonomi bagi masyarakat, untuk masa kini dan masa yang akan datang. Konservasi dan pengelolaan terumbu karang haruslah secara menyeluruh baik ekosistem terumbu karang itu sendiri maupun sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, serta melibatkan masyarakat pengguna dengan memperbaiki terumbu karang yang telah rusak melaui pembuatan terumbu karang buatan. Disamping itu mencari alternatif pemanfaatan sumberdaya ikan-ikan karang melalui paket teknologi alat tangkap yang ramah lingkungan serta pengalihan usaha ke budidaya laut, yang layak dan memberikan prosfek yang cerah untuk meningkatkan pendapatan khususnya nelayan setempat. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini adalah 14 % dalam kondisi kritis, 46 % telah mengalami kerusakan, 33 % kondisi masih bagus dan kira-kira hanya 7 % yang kondisinya sangat bagus. Bertambahnya berbagai aktivitas manusia yang berorientasi di daerah terumbu karang akan menambah tekanan dan sebagai dampaknya adalah turunnya kualitas terumbu karang. Jika kegiatan yang berhubungan dengan 21 terumbu karang tidak segera dilakukan dengan baik maka prosentas terumbu karang dengan kriteria kritis akan bertambah dengan cepat (Anonymous, 1992). Di beberapa bagian perairan laut saat ini berlansung perusakan terumbu karang sudah pada tingkat yang menghawatirkan, sebagai akibat pengeksploitasiannya yang tidak terkendali, antara lain Teluk Ambon (Yusron dan Syahaetua, 1987) dan di pantai Lombok Barat, Nusa Tenggara (Sutarna dkk., 1987) serta Kepulauan Seribu. Keadaan serupa terjadi pula pada daerah terumbu karang di perairan Pasir Putih Selat Madura, terutama pengambilan karang sebagai hiasan dan bahan bangunan serta usaha penangkapan berbagai jenis ikan hias yang menggunakan bahan racun pada kadar tertentu dengan tujuan agar supaya ikan tertangkap dalam keadaan pingsan. Hal ini jelas akan berpengaruh terhadap ekosistem teumbu karang yang ada disekitarnya. Terumbu karang berfungsi sebagai daerah perlindungan, tempat berkembang biak, mencari makan dan berpijah bagi berbagai jenis biota laut, mempunyai kestabilan, anekaragam spesies dan ekosistem beradaptasi secara baik melalui simbiose internal dan intra komunitas. Akan tetapi tidak kebal terhadap gangguan aktivitas manusia dan mudah sekali diserang oleh faktor-faktor perusak (ekosistem yang fragile) (Odum, 1971). Di sisi lain terumbu karang sebagai sumberdaya dieksploitasi sebagai bahan bangunan, bahan baku industri pupuk dan farmasi tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ekologi. Adanya kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan pula perubahan keragaman organisme penghuni terumbu karang Menurut Risk (1972) di perairan terumbu karang terdapat indikasi adanya hubungan antara keragaman spesies ikan dengan kompleksitas substrat. Daerah yang mempunyai keragaman spesies karang yang lebih banyak akan lebih bervariasi populasi ikannya. Makin kompleks populasi karang akan memberikan pula relung (niche) ekologi yang lebih banyak bagi ikan-ikan karang. Mengingat terumbu karang mempunyai arti penting baik ditinjau dari segi ekologi sebagai penyangga kehidupan maupun segi potensi ekonomi berupa usaha perikanan, industri dan pariwisata, perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. 3.3.3. Ekosistem Terumbu Karang A. Daerah Penyebaran Terumbu Karang Luas daerah terumbu karang di dunia sedikitnya mencapai 600,000 km2, yang tersebar di daerah antara 30o LU dan 30o LS, dengan beberapa kekecualian, terutama mendominasi perairan dangkal daerah tropis. Kekecualian tersebut terdapat di daerah lintang tinggi yang mendapat aliran arus hangat, sebagai contoh yaitu dijumpainya terumbu karang di perairan Indo-Pasifik pada daerah 35o LU, di dekat Kepulauan Jepang, dan pada 32 o LS, di Laut Tasmania (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983; White, 1987). Oleh karena itu terumbu karang digolongkan sebagai salah satu ekosistem khas yang terdapat di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropis (Odum, 1971); Nybakken, 1983). Walaupun begitu di daerah tropis tidak akan terdapat terumbu karang bila suhu air laut, salinitas dan penetrasi cahayanya berada pada kondisi kritis bagi kehidupan terumbu karang. Sebagai contoh di daerah pantai Samudra Hindia bagian utara, Teluk Persia bagian utara dan pantai di sekitar Hongkong tidak dijumpai terumbu karang karena merupakan daerahdaerah yang memiliki kekeruhan, suhu dan pengenceran oleh air tawar yang melampaui batas toleransi bagi pembentukan dan pertumbuhan terumbu karang. Demikian juga halnya di daerah pantai tropis yang mendapat aliran arus dingin, seperti pantai Barat Afrika dan sebagian besar pantai Barat Amerika Utara dan Selatan (Sheppard, 1983 dalam Berwick, 1983). Penyebaran geografis terumbu karang dipengaruhi oleh suhu dan hampir semuanya hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 o C (Barnes, 1980; Ditlev, 1980; Nybakken, 1983; Berwick, 1983). Menurut Berwick (1983) dan Nybakken (1983), tidak ada terumbu karang yang berkembang pada perairan yang suhu minimum tahunannya di bawah 18o C. Perkembangan optimal untuk terumbu karang adalah pada perai- 22 ran yang suhu rata-rata tahunannya (23o - 25o) C, sedangkan suhu maksimum yang dapat ditoleransi oleh terumbu karang adalah (36o - 40o) C (Nybakken, 1983). Menurut Berwick (1983) suhu optimum bagi terumbu karang berkisar antara (25o - 29o) C, sedangkan suhu maksimumnya berkisar antara (35o - 38o) C, tergantung pada jenisnya. Penetrasi cahaya matahari memainkan peranan penting dalam pembentukan terumbu karang, karena cahaya matahari menentukan berlangsungnya proses fotosintesa bagi alga yang bersimbiosa di dalam jaringan karang (Berwick, 1983). Oleh karena itu distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk. Barnes (1980) menyatakan bahwa terumbu karang dapat hidup sampai kedalaman 60 m, menurut Ditlev (1980) pada perairan yang jernih di se-kitar samudera terumbu karang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 m, menurut Vaughan dalam Sukarno (1981) kedalam maksimum untuk terumbu karang adalah 45 m. Nybakken (1983) menyatakan bahwa terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari (50 - 70) m dan kebanyakan terumbu karanmg tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Terumbu karang, terutama karang hermatipik merupakan organisme laut sejati dan kebanyakan spesies sangat sensitif terhadap perubahan salinitas yang lebih tinggi atau lebih rendah dari salinitas normal air laut ( 30 - 35 ) o/oo Nybakken, 198; Berwick, 1983). Faktorfaktor pembatas bagi kehidupan, distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang adalah suhu, cahaya matahari, salinitas, kejernihan air, arus (pergerakan) air, dan substrat (Barnes, 1980; Nybakken, 1983; Bewick, 1983). Untuk hidupnya terumbu karang memerlukan air laut yang bersih dan jernih, apabila terjadi kekeruhan pada air laut akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga laju pertumbuhan dan produksi terumbu karang (Berwick, 1983). Arus diperlukan oleh terumbu karang, tersedianya aliran suplai makanan berupa plankton dan oksigen serta terhindarnya karang dari timbunan endapan (Sukarno, 1981). Selanjutnya dinyatakan bahwa substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk membentuk koloni baru. B. Bahan Pembentuk Terumbu Karang Terumbu karang merupakan endapan (deposit) padat kalsium (CaCO 3), yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous alga) dan organisme-organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (CaCO3) yang berperan dalam pembentukan terumbu karang modern, karang batu (Scleractinia) merupakan penyusunan yang paling penting (Barnes, 1980). Walaupun penyusun utama ekosistem terumbu karang adalah karang batu, tetapi peran karang lunak juga tidak kalah penting dalam penyusunan fisik terumbu karang (Manuputty, 1986). Karang terdiri dari dua kelompok, yaitu karang her-matipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang mengahsilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan di daerah tropis. Sedangkan karang ahermatipik adalah karang yang tidak menghasilkan terumbu dan kelompok karang ini tersebar luas di seluruh dunia. Yang menjadi perbedaan utamaantara karang hermatipik dengan karang ahermatipik adalah adanya simbiose mutualisme antara karang dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga unisular ( dinof- lagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut, sedangkan karang ahermatipik tidak (Ditlev, 1980; Nybakken, 1983). Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae. Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang demikian eratnya hingga sangat menentukan metabolisme hewan terse- but, kemampuannya untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di terumbu karang sehingga memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken, 1983; Nontji, 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan 23 tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari tidak diragukan lagi adalah untuk zooxanthellae (Nybakken, 1983; Suharsono, 1984). Goreau (1961, dalam Nybakken, 1983) menyatakan bahwa zooxanthellae meningkatkan laju proses kalsifikasi (pembentuk kapur) yang dilakukan oleh karang dan laju pertumbuhan koloni karang. Namun mekanisme zooxan-thellae meningkatkan laju pertumbuhan kerangka karang sampai saat ini belum diketahui secara jelas. Tetapi Barnes (1980) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berukut : Ca(HCO3)2 <===> CaCO3 + H2CO3 <===> H2O + CO2 Fotosintesa oleh alga yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira- kira 10 kali lebih cepat dari pada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae (Ditlev, 1980). C. Klasifikasi, menurut Ditlev (1980) adalah : Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub kelas : Zooantharia Ordo : Scleractinia Sub ordo : Atrocoeniina Famili : Pocilloporiidae, Acroporidae Sub ordo : Agariciidae, Thamnasteriidae, Fungiidae,Siderastredae, Poritidae Sub ordo : Faviina Famili : Faviidae, Trachyphyllidae, Merulinidae, Oculinidae, Mussidae, Meandrinidae, Pectinidae. Sub ordo : Caryophylliina, Famili : Caryophylliidae Sub ordo : Dendrophylliina, Famili : Dendrophylliidae Sub kelas : Octocorallia Ordo : Stolonifera, Famili : Tubiporidae Ordo : Coenothecalia, Famili : Helioporidae Kelas : Hydrazoa Ordo : Milleporina, Famili : Milleporidae Ordo : Stylasterina, Famili : Stylasteridae D. Anatomi Terumbu Karang Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter, Individu karang (koral) disebut polyp, yang terdiri dari bagian yang lunak dan bagian yang keras berbentuk kerangka kapur. Organ mulutnya terletak di bagian atas yang sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentry dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh terumbu karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus) dan sejumlah nematokis (nematocyst). Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agaragar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken, 1982; Suharsono, 1984), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose berada di dalam jaringan gastroderm. Umumnya ukuran diameter polyp 24 karang yang berbentuk koloni 1 - 3 mm, sedangkan beberapa jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm. Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polyp. Proses sekresi ini menghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polyp karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating cacareous septa). Disamping memberikan tempat hidup bagi polyp karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polyp memjadi kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes, 1980). Karang merupakan hewan karnivora, seperti pada sebagian besar anggota filumnya. Karang memiliki tentakel yang dipenuhi oleh kapsul-kapsul berduri (nematoksis) yang dipergunakan untuk menyengat dan menangkap mangsa (Nybakken, 1983). Menurut Barnes (1980) karang memangsa ikan-ikan kecil sampai zooplankton, tergantung dari ukuran polyp karang. Umumnya berkontraksi. Selain mendapatkan makanan dari luar tubuhnya karang juga mendapatkan bahan makanan dari alga zooxanthellae yang bersimbiose dengannya. Hal ini dibuktikan oleh Frazisket (1969, dalam Nybakken, 1983), bila karang tidak menperoleh makanan, zooxanthellae menyediakan makanan. E. Tipe Terumbu Karang Bentuk umum struktur terumbu karang dapat digolongkan tiga tipe yaitu atol, terumbu penghalang (barrier reef) dan terumbu tepi (fringing reef). Atol merupakan terumbu yang berbentuk cincin yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan. Terumbu penghalang dan terumbu tepi keduanya berdekatan dengan daratan, terumbu penghalang dibatasi oleh jarak lebih besar dan perairan lebih dalam dibandingkan dengan terumbu tepi (Nontji, 1987). Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi berbagai jenis ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik. Masing- masing kompoenen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat antara satu dengan yang lain (Sukarno, 1981). F. Ekologi Ikan-Ikan Karang Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan biota yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya. Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kelompok biota dari berbagai tingkat tropik. Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken, 1988). Dari gambaran di atas tampak jelas bahwa ikan-ikan tersebut memberikan andil besar terhadap ekosistem terumbu karang. Jenis-jenis ikan ekonomis penting tertentu memiliki asosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Hasil perikanan dari perairan terumbu karang dan perairan dangkal di sekitar berkisar antara 2.5 - 5 ton/km2/tahun dengan potensi perikanan karang seluruhnya mencapai 2.7 juta metrik ton/tahun (Berwick, 1983) atau diduga sekitar 9 -12 % dari total hasil perikanan dunia yang bernilai 70 juta ton/tahun (White, 1987 dalam Aktani 1988). Menurut Salm (1984) hasil tangkapan ikan di perairan terumbu karang dan sekitarnya dapat mencapai 5.000 kg/nelayan/tahun. 25 Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan bahwa daerah pusat indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indonesia yang kaya akan keragaman jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies ikan dan jumlah tersebut menurun pada daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung (niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak (berakomodasi) di dalam area tertentu. Maka sebagai akibatnya ikan-ikan karan terbatas dan terlokalisasi di area tertentu pada terumbu karang( Nybakken, 1988). Fisiografi dasar perairan adalah faktor utama yang menentukan distribusi dan kelimpahan ikan-ikan karang. Oleh karena itu keberadaan ikan-ikan karang juga sangat dipengaruhi oleh kondisi atau kesehatan terumbu karang, yang biasanya ditujukan oleh prosentase penutupan karang hidup (life coverage). Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan-ikan. Oleh karena itu interaksi intra dan inter spesies berperan penting dalam penentuan perwilayahan (spacing, sehingga banyak ikan-ikan yang menempati wilayah tertentu. Dua kelompok ikan yang secara aktif memangsa koloni karang, yaitu jenis yang memakan karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae) dan jenis omnivora yang mencabut polyp karang untuk mendapatkan algae yang berlindung di dalaam rangka karang (famili Acnthuridae, Scaridae). Ikan yang omnivora jumlahnya mencapai 50 70 %, hampir meliputi semua ikan di terumbu karang (famili Tetra-odontidae, Monocanthidae, Balistidae, chaetodontidae). Kelompok ke dua sekitar 15 % adalah ikan herbivora dan pem-angsa karang. Hanya beberapa spesies saja yang planktivora (Clupeidae, Atherinidae) dan karnivora. 26 Piskovora Besar (hiu, kerapu, karangida, barakuda Pemangsa ikan kecil (kerapu, seranida kecil, karangida) Piskovora perairan tengah (karangida) - Pemangsa karang (ikan buntal, ikan kakatua) Pemangsa invertebrata bentik (ikan kepe-kepe kerapu kecil) - - Karang Pemangsa invertebrata perairan tengah (ikan betok laut, klupeida Zooplankton Herbivora ikan pakol,ikan bibir, belosoh - Algae bentik Pemangsa detritus (belanak) Invertebrata bentik Detritus Fitoplankton Gambar 3.3. Hubungan trofik pada ikan-ikan karang (Sumber: Connel, 1977 dalam Nybakken, 1988) 3.4. RUMPUT LAUT 3.4.1. Pendahuluan Inventarisasi rumput laut di beberapa tempat di Indonesia telah dilakukan sejak lama. Diantara jenis-jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia, Heyne pada tahun 1922 mencatat 21 jenis rumput laut yang bermanfaat. Daftar jenis-jenis rumput laut tersebut telah ditambah dan diperluas oleh Zaneveld pada tahun 1955 dengan memasukkan jenis-jenis yang ekonomis dari kawasan Asia Tenggara. Dari berbagai jenis rumput laut yang bermanfaat di Indonesia, Kelas Rhodophyceae dapat menghasilkan agar-agar dan karaginan. Indonesia dan Filipina merupakan negara penghasil Eucheuma terbesar dengan produksi sebesar 85 % dari jumlah total tanaman tersebut di dunia. Produksi tersebut didapatkan dari hasil budidaya yang dimulai pada tahun delapan puluhan (Risjani, 1999). Pada 27 saat ini produksi dan nilai ekspor Eucheuma dari Indonesia ke beberapa negara naik seiring dengan fluktuasi nilai dolar Amerika. Negara produsen Gracilaria yang terbesar adalah Chili dengan produksi mencapai sekitar 47 ribu ton berat kering per tahun, sedangkan Indonesia menghasilkan sekitar 2 ribu ton berat kering per tahun pada kurun waktu lima tahun terakhir. Eucheuma alvarezii atau yang disebut dalam dunia perdagangan dengan Eucheuma cottonii adalah rumput laut yang mempunyai banyak kegunaan, mengandung karaginan yang banyak dibutuhkan oleh dunia industri. Seiring dengan adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997 yang lalu, dan dengan menurunnya nilai rupiah terhadap beberapa mata uang asing telah membuat terpuruknya beberapa usaha komoditas tertentu. Sebaliknya komoditas yang mempunyai pasaran ekspor seperti Eucheuma alvarezii, dalam kenyataannya menambah nilai ekspor dan devisa negara. Rumput laut tumbuh hampir di seluruh hidrosfir sampai batas kedalaman kurang dari 300 meter, suatu kedalaman dimana masih dapat ditembus oleh cahaya matahari. Cahaya matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh tanaman laut guna melakukan fotosintesa. Rumput laut hidup sebagai filobentos dengan menancapkan atau melekatkan dirinya pada substrat pasir, karang, fragmen karang mati, kulit kerang, batu ataupun kayu. Faktor-faktor oseanografis (fisika, kimiawi, dan dinamika) dan macam-macam substrat sangatlah menentukan terhadap pertumbuhan rumput laut. Iklim dan letak geografis menentukan pula jenis-jenis rumput laut yang tumbuh. Rhodophyceae mengandung bahan yang disebut agar-agar dan karaginan. Zat-zat tersebut adalah fikoloid berbentuk polysacharida. Algin dapat diekstrak dari Phaeophyta. Agaragar, Karaginan, dan Algin adalah produk hasil olahan rumput laut dan merupakan zat yang cukup penting dalam dunia perdagangan dan industri. Kadar agar-agar, karaginan dan algin yang dikandung oleh rumput laut tidaklah sama. Tinggi rendahnya kandungan tersebut tergantung pada jenis rumput lautnya, bahkan juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi kadarnya.(Soegiarto et al., 1978; Perez et al., 1992) Rumput laut jenis Gelidium spp. Gracilaria spp. dan Hypnea spp. merupakan bahan dasar pokok untuk pembuatan agar-agar di Indonesia, baik oleh perusahaan ataupun industri rumah. Jenis rumput laut yang belum diolah tetapi cukup penting adalah Eucheuma spp. terutama mengandung bahan karaginan, jenis ini umumnya diekspor. Menurut Perez, et al. (1992) ada empat jenis karaginan, yaitu iota, yang dihasilkan oleh Eucheuma spinosum, lambda yang dihasilkan dari Chondrus crispus dan betha yang dihasilkan dari Eucheuma gelatinae, sedangkan Eucheuma alvarezii menghasilkan karaginan jenis kappa. Dalam dunia industri karaginan berbentuk garam dengan Sodium, Calcium dan Potasium. Aplikasi Karaginan hasil ekstraksi Eucheuma dipakai dalam berbagai industri, yaitu: ï‚· Idustri pangan : Karaginan digunakan sebagai gel, penebal, suspensi dan stabilisator. Aplikasi zat ini dapat dijumpai pada produk-produk coklat, puding, es krim, susu evaporasi, keju, jelly rendah kalori dan makanan hewan piaraan. ï‚· Industri konsumsi rumah tangga : Zat ini digunakan sebagai agen tambahan pada produk seperti pasta gigi, shampo, kosmetik, dan produk farmasi. Agar atau dalam bahasa populernya agar-agar yang dikandung rumput laut jenis ini merupakan produk hasil olahan rumput laut dan zat yang cukup penting dalam dunia perdagangan dan industri. Menurut Perez, et al. (1992) agar biasa dipakai dengan menggunakan kode E 407. Aplikasi agar hasil ekstraksi Gracilaria dipakai dalam berbagai industri, yaitu: ï‚· Idustri pangan, selain yang dikenal sebagai 'agar-agar', zat ini digunakan sebagai gel, penebal, suspensi dan stabilisator. ï‚· Industri kosmetik, farmasi dan bioteknologi. Disamping mengandung bahan atau zat yang seperti tersebut diatas, rumput laut juga memiliki kandungan-kandungan lain. Kandungan air, lemak, protein, karbohidrat, serat kasar dalam beberapa jenis rumput laut juga berbeda bergantung jenisnya. 28 Budidaya rumput laut dapat diterapkan secara generatif melalui perkembangan spora dan vegetatif melalui pekembangan stek thallus. Cara pertama masih belum dikembangkan khususnya untuk rumput laut jenis Eucheuma dan Gracilaria, kecuali beberapa jenis dari golongan Phaeophyceae. Di Indonesia telah dikenal sistem budidaya berdasarkan sifat reproduksi vegetatif yang dapat dilakukan dengan mudah. Sistem ini dilakukan berdasarkan kemampuan setiap potong thallus untuk tumbuh dan membuat percabangan baru. Berdasarkan sifat reproduksi vegetatif ini dikenal dua metode yang sudah banyak diterapkan yaitu metode lepas dasar dan metode rakit. Metoda lepas dasar biasanya diterapkan pada perairan terumbu karang dengan dasar perairan yang terdiri dari pasir bercampur pecahan karang dan kedalaman waktu surut antara 30-60 cm. Biasanya thallus tanaman diikatkan pada seuatas tali yang direntangkan dalam air dengan bantuan patok kayu atau bambu yang ditancapkan kedasar pasir. Metode ini sering ditemukan di daerah pantai Nusa Penida, Bali, dan di perairan sesuai dengan kondisi lingkungannya yang mendukung metode lepas dasar. Metode ini diterapkan berdasarkan metode yang dilakukan di perairan Filipina, sehingga Perez, et al (1992) menyebut metode ini dengan metode/sistem Filipina. Metode rakit yang banyak diterapkan di Jawa Timur ini praktis dilakukan pada perairan dengan kedalaman air pada saat surut lebih dari 60 cm. Rakit biasanya terbuat dari bambu berupa petak atau persegi panjang yang ukurannya dibuat sesuai keinginan petani. 3.4.2. Permasalahan Inventarisasi dan penilaian potensi sumberdaya rumput laut merupakan salah satu langkah awal dalam perencanaan pengembangan potensi sumberdaya perikanan. Inventarisasi usaha dan sumberdaya rumput laut di Jawa Timur belum dilakukan dan kurangnya informasi tentang hal ini menyebabkan sulitnya memperoleh data-data yang dibutuhkan bagi setiap institusi, lembaga, pengusaha dan nelayan. Seperti telah disebutkan diatas, di Jawa Timur terdapat berbagai spesies yang ekonomis penting dan dapat dikembangkan, tetapi pada kenyataanya di Indonesia pada umumnya dan di Jawa timur pada khususnya hanya 2 jenis yang banyak dikenal oleh masyarakat pantai dan telah dibudidaya, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Pengembangan sumberdaya spesies lain yang potensial belum dilakukan dan banyak spesies lain yang belum dikenal. Disamping itu data statistik Perikanan, khususnya tentang sumberdaya rumput laut, dianggap masih belum lengkap dan masih memerlukan penyempurnaan dalam penyajiannya. Mengingat pentingnya informasi sumberdaya ini, dan sedikit serta terbatasnya informasi sumberdaya rumput laut di Jawa Timur, maka penelitian tentang potensi sumberdaya rumput laut di Jawa Timur perlu dilakukan. 3.4.3. Sumberdaya Rumput Laut di Jawa Timur Inventarisasi jenis-jenis rumput laut di Jawa Timur bagian Selatan telah dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Universitas Brawijaya pada tahun 1993. Di daerah tersebut berbagai jenis rumput laut tumbuh di daerah pantai berkarang dan telah ditemukan lebih dari 30 jenis, yang terdiri dari klass-klass Phaeophyceae, Rhodophyceae dan Chlorophyceae. Diantara jenisjenis yang ditemukan di bagian selatan Jawa Timur, jenis-jenis dari golongan Rhodophyceae dan Phaeophyceae yang dominan. Adapun jenis-jenis yang bernilai ekonomis di daerah tersebut tersaji pada Tabel 3.4.1. 29 Tabel 3.4.1. Jenis-jenis rumput laut ekonomis. No 1 2 3 4 5 6 Rumput laut Gelidium spp. Gelidiella spp. Gracilaria spp. Eucheuma spinosum Eucheuma cottonii Hypnea spp. Disamping jenis jenis yang tumbuh secara alami, terdapat pula jenis-jenis yang telah dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, diantaranya: Eucheuma Eucheuma yang banyak dijumpai di Indonesia adalah Eucheuma cottonii atau alvarezii dan Eucheuma spinosum yang merupakan jenis rumput laut bermanfaat karena menghasilkan karaginan yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dengan sistematika (Dawson, 1946) termasuk klas Rhodophyceae (alga merah), Ordo Ceramiales dan Famili Solieriaceae. Jenis rumput laut ini mengandung karaginan yang merupakan fikoloid berbentuk polysacharida. Kadar zat ini yang dikandung oleh genus Eucheuma berbeda satu dengan lainnya. Tinggi rendahnya kandungan tersebut tergantung pada jenis (varietas) rumput lautnya, juga daerah dan iklim ikut mempengaruhi kadarnya. Gracilaria Selain Eucheuma yang menghasilkan karaginan, jenis lain seperti Gracilaria juga bermanfaat karena menghasilkan agar yang dipakai oleh industri. Jenis ini adalah jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang menurut sistematika Dawson (1946) berada dibawah ordo Gigartinales. 3.5. PERIKANAN Air Payau 1. Iklim Temperatur berkisar antara 15 - 30oC, dan kisaran optimumnya 18-20oC. Curah hujan tidak menjadi masalah jika sumber air tawar (sungai) tersedia. 2. Tanah Persyaratan kebutuhan tanah untuk pencetakan tambak adalah : kedalaman tanam minimum 75 cm, permeabilitas sedang, drainase agak cepat hingga agak baik, tingkat kesuburan tanah sedang, tekstur pasir berlempung hingga liat (tipe 1:1) dengan reaksi tanah (pH ) antara 5.2 8.5 dan kisaran optimumnya 6.0-7.0. 3. Hasil Produksi ikan tambak yang diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen belum diperoleh data yang akurat. Persyaratan penggunaan lahan untuk: PERIKANAN AIR PAYAU Persyaratan penggunaan/ Kelas kesesuaian lahan: Karakteristik lahan S1 S2 S3 N Temperatur (tc) Temperatur rataan (oC) 12-24 27-30 > 30 24-27 30 Ketersediaan air (wa) Sumber air tawar Amplitudo pasang surut (m) Ketersediaan oksigen (oa) Oksigen Tanah (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut: Ketebalan (cm( + dg sisipan/pengkayaan Kematangan Bahaya sulfidik (cm): Kedalaman sulfidik (cm) 10-12 8-10 <8 berlimpah 1-2 cukup 2-3 Kurang 0.5-1 3-3.5 Tdk ada <0.5 >3.5 Banyak Cukup Agk kurang Kurang h, s <15 >100 ah 15-35 75-100 Ak 35-55 40-75 k >55 <40 <50 <50 Saprik+ 50-100 50-150 Saprik Hemik+ 100-150 150-200 Hemik Febrik+ >150 >200 Fibrik >100 75-100 50-75 <50 <= 16 35-50 5.4-5.6 7.6-8.5 0.8-1.2 F1 <35 <5.4 >8.5 <0.8 F2 >F3 1-2 5-15 5-15 2-3 15-40 15-25 >3 >40 >25 Retensi hara (nr) KTK liat (cmol) >16 Kejenuhan basa (%) >50 PH (H2O) 5.6-7.6 C-organik (%) >1.2 Bahaya banjir (fh): F0 Genangan Penyiapan lahan (lp) Lereng (%) <1 Batuan di permukaan (%) <5 Singkapan batuan (%) <5 Keterangan: Tekstur: h = halus; ah= agak halus; s = sedang; bahan mineral. ak = agak kasar. + : gambut dengan sisipan/pengkayaan IV. PENDEKATAN DAN KERANGKA KONSEP: ANALISIS POTENSI & PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR 4.1. Pendahuluan Aktivitas pembangunan tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup. Kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk menunjang kebutuhan pembangunan bersifat tidak tak-terbatas. Hal ini mengandung makna bahwa sejalan dengan peningkatan kebutuhan pembangunan, mau tidak mau tingkat kelangkaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup akan semakin nyata. Dalam hubungan ini, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dalam bernegara telah menggariskan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk sebesar-besar kemakmuran seluruh masyarakat. Dalam melaksanakan pembangunan, penggunaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan hidup harus sebijaksana mungkin sehingga tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dapat mengancam kelestariannya. Penggunaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam proses pembangunan harus memperhatikan konservasi dan upaya rehabilitasi untuk melestarikannya, keseimbagan alam harus dijaga, dan timbulnya dampak negatif harus dikendalikan seminimum mungkin. Dalam hubungan ini maka penting diketahui secara tepat potensi dan kondisi sumber-daya alam dan lingkungan hidup yang ada sekarang serta kecenderungan-kecenderungan di masa mendatang. Selain itu juga perlu diperhitungkan kerusakan dan degradasi lingkungan hidup 31 akibat eksploitasi sumberdaya alam. Untuk itu perlu diketahui berbagai metode untuk menilai potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai dasar bagi penyusunan kebijakan pengelolaannya. Kegiatan pembangunan memerlukan modal dasar sumber daya alam untuk me-wujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Hal ini berkonsekuensi pada tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang cukup tinggi, yang dapat mengarah kepada eksplotasi sumberdaya alam dan pada akhirnya dapat mengurangi ketersediaan sumber daya alam. Sehubungan dengan hal ini maka optimasi penggunaan sumberdaya alam harus dapat dicapai dengan keterpaduan pertimbangan aspek-aspek ekonomi dan keles-tarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. 4.2. Karakteristik dan Batasan Sumberdaya alam kelautan dapat meliputi semua benda hidup dan mati yang ada di laut. Namun demikian penggunaan istilah "sumberdaya alam" secara tradisional menunjuk kepada sumberdaya dan sistem-sistem yang terdapat secara alamiah dan berguna bagi manusia atau dapat dimanfaatkan oleh manusia pada tingkat teknologi, ekonomi dan sosial-budaya yang ada. Akan tetapi pada jaman sekarang pengertian tersebut harus diperluas untuk dapat mencakup sistem-sistem lingkungan dan sistem-sistem ekologi (ekosistem). Penggunaan sumberdaya alam mencakup konsumsi langsung seperti ikan hasil tangkapan, hasil tambak air-payau, wisata-bahari, garam, dan kayu bakau. Dalam beberapa kasus ternyata sumberdaya alam dapat bersifat multi-guna. Beberapa cadangan sumberdaya alam bersifat dapat diperbarui (renewable) oleh proses alamiah atau dibantu manusia, sedangkan sumberdaya alam lainnya tidak dapat diperbarui (non-renewable). Radiasi surya, angin, enerji pasang-surut, budidaya perikanan, dan air permukaan dianggap sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbarui; sedangkan bijih mineral dan bahan bakar fosil dianggap tidak dapat diperbarui. Sifat dapat-pulih ini seringkali sangat tergantung pada metode pengelolaan non-destruktif yang diterapkan, karena beberapa macam perubahan sumberdaya alam sifatnya tidak dapat balik (irreversible). 4.3. Isu-isu pokok tentang sumberdaya alam kelautan (1). (2). (3). (4). "Lokasi cadangan/potensi sumberdaya yang tersebar". Potensi ikan/hasil tangkapan dianggap sangat banyak dan setiap tahun senantiasa diketemukan potensi baru, tetapi lokasi cadangan tersebut tersebar luas dan tidak sama dengan lokasi pusat konsumsinya. Hal ini akan mendatangkan berbagai implikasi, terutama dalam konteks hubungan antara produsen dan konsumen. "Pergeseran historis dari ketergantungan pada sumberdaya alam dapat pulih ke arah ketergantungan pada sumberdaya yang tidak dapat pulih". Sebagai teladan adalah pergeseran konsumsi bahan bakar, mulai dari kayu bakar beralih ke batu-bara, minyak dan gas bumi, dan kemudian mengarah kepada enerji nuklir. Dalam bidang perikanan telah terjadi pergeseran dari penggunaan bahan pakan alami ke arah enerji mekanik dan pakan sintetik . Evaluasi kontemporer tentang "kebijakan masa lalu tentang penggunaan sumberdaya alam". Berbagai kejadian membuktikan adanya eksploitasi sumberdaya alam kelautan secara tidak bijaksana yang mengakibatkan degradasi. Kebijakan-kebijakan yang keliru ini telah menimbulkan berbagai bencana dan eksternalitas lingkungan. "Peranan dan pentingnya sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan hidup kelautan" sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi . 32 Kebanyakan analisis mengenai sebab-sebab pertumbuhan ekonomi telah menempatkan perhatiannya pada perkembangan teknologi dan perbaikan sumberdaya manusia, tetapi sangat sedikit memperhatikan peranan jasa lingkungan kelautan sebagai media pembuangan limbah. (5). (6). "Semakin berkembangnya ketergantungan kepada cadangan sumberdaya alam yang semakin inferior". Bukti-bukti menunjukkan bahwa kualitas dan produksi /hasil tangkapan semakin rendah dibandingkan dengan hasil-hasil pada masa lalu. "Peranan yang harus diberikan kepada proses dan mekanisme pasar" dalam menentukan bagaimana sumberdaya alam harus dikelola pada masa-masa mendatang. Secara historis telah terbukti bahwa mekanisme pasar memainkan peranan penting dalam menentukan aktivitas eksplorasi dan laju penggunaan sumberdaya alam kelautan. Inovasi teknologi telah secara meyakinkan mengakibatkan perubahan harga-harga relatif sumberdaya alam. 4.4. Cadangan, Tingkat Penggunaan, dan Eksplorasi Istilah "cadangan, reserves" secara klasik dapat digunakan untuk menyatakan kuantitas dan kualitas sumberdaya tertentu yang telah diketahui keberadaannya. Walaupun demikian data sumberdaya seringkali berubah dan masih dihantui oleh ketidak-pastian. Beberapa alasannya adalah (1) belum adanya penggunaan secara baku istilah-istilah "sumberdaya, sumberdaya dasar dan cadangan sumberdaya"; (2) ketidak-pastian geologis: deskripsi dan inventarisasi kuantitas, kualitas, dan lokasi yang menjadi subyek kesalahan pendugaan; (3) konsep tentang cadangan sumberdaya yang secara sosial sesuai seringkali tergantung pada lingkungan teknologi dan ekonomi. 4.5. Kelangkaan Sumberdaya Pertanyaan sederhana yang sangat merisaukan adalah apakah tingkat "kelangkaan sumberdya alam" semakin meningkat atau menurun?. Untuk menjawab pertanyaan krusial tersebut perlu dipahami lebih dahulu bagaimana konsepsi tentang "kelangkaan". Beberapa pakar ekonomi sumberdaya berpendapat bahwa "sesuatu komoditi yang mempunyai harga positif dalam pasar kompetitif adalah langka". Fisher (1978) menyatakan bahwa suatu indeks yang ideal bagi "kelangkaan" harus mampu mengukur "sacrify" langsung dan tidak langsung yang dilakukan untuk mendapatkan suatu unit sumberdaya. Berbagai indeks "kelangkaan" telah diusulkan, beberapa di antaranya adalah (1) harga komoditi sumberdaya alam, (2) "rental atau royalty" untuk lahan yang mengandung sumberdaya, (3) biaya ekstraksi fisik (tidak termasuk 'royalty'), dan (4) ukuranukuran yang menyatakan sampai dimana kapital dan tenagakerja dapat disubstitusikan untuk menggantikan masukan sumberdaya alam dalam suatu proses produksi. Barnett dan Morse (1963) mengusulkan tiga macam hipotesis tentang "kelangkaan", yaitu (1) bahwa biaya riil satuan produksi telah meningkat dengan waktu, (2) biaya produksi komoditi ekstraktif telah meningkat relatif terhadap biaya produksi dari semua komoditi nonekstraktif, dan (3) bahwa harga-harga riil komoditi ekstraktif telah meningkat relatif terhadap harga-harga riil komoditi non-ekstraktif. 33 4.6. Faktor yang mempengaruhi kelangkaan a. Perubahan teknologi Kemajuan teknologi telah memungkinkan terjadinya hal-hal penting yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kelangkaan sumberdaya alam, yaitu: (a) peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; (b) peningkatan 'recovery' sumberdaya alam, baik dengan jalan meminimumkan limbah ataupun dengan meng-gunakan bahan mentah yang kualitasnya lebih rendah; (c) memungkinkan penggunaan sumberdaya alam yang semula belum dapat digunakan; (d) memungkinkan penciptaan produk baru untuk mendukung fungsi dari produk yang lama. b. Substitusi sumberdaya Sumberdaya yang kualitasnya kurang baik menggantikan sumberdaya yang kualitasnya lebih baik. Misalnya, substitusi dalam proses produksi pakan ternak terjadi antara tepung ikan dan tepung non-ikan. Substitusi dalam sektor konsumsi, misalnya konsumsi ikan hasil tangkapan dna ikan hasil budidaya. c. Perdagangan atau pertukaran Perbaikan sarana dan prasarana transportasi telah mengakibatkan sumberdaya alam yang lokasinya jauh menjadi lebih kompetitif secara ekonomis. Misalnya penggunaan hasilhasil tangkapan oleh masyarakat yang jauh dari pantai. d. Penemuan ("Discovery") Perluasan metode-metode eksplorasi tradisional untuk menemukan deposit baru. Penyempurnaan teknik eksplorasi, seperti metode geo-fisik dan geo-kimia, pengamatan dengan satelit, dan lainnya. 4.7. Prinsip Pengembangan Potensi Sumberdaya Alam Para pengelola sumberdaya mempunyai tugas yang sulit menyelesaikan konflikkonflik pandangan dan permintaan sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya memerlukan keterampilan dan keahlian dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu, pengelolaan ini merupakan aktivitas politik yang melibatkan pengaturan-pengaturan dari berbagai minat dan kepentingan. Pola agensi, peraturan perundangan dan kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan isu-isu sumberdaya dan lingkungan tertentu lazim disebut "struktur kelembagaan". Struktur kelembagaan ini merupakan kendaraan yang dapat digu-nakan untuk melakukan kegiatan. Struktur ini biasanya terdiri atas berbagai agensi, publik dan privat, aktor-aktor dan peraturanperundangan. Para aktor perlu dikomando di dalam suatu perwakilan agar supaya dapat melakukan sesuatu secara profesional dan permanen. Selanjutnya agensi-sgensi ini memerlukan otorita legal untuk dapat bertindak. Mereka memerlukan otorita legal untuk dapat menggunakan anggaran yang tersedia, sedangkan peraturan-perundangan menetapkan kegiatan-kegiatan apa yang dapat dilakukannya. Agensi-agensi ini bukan merupakan organisasi impersonal yang robotik, tetapi mereka tersusun atas individu-individu dari latar-belakang yang berbeda-beda dan mempunyai hak dan tanggung-jawab sendiri-sendiri. Para aktor ini mengadministrasikan, membuat dan mengamankan pelaksa-naan kebijakan yang relevan. Dalam mendefinisikan suatu problem untuk pengelolaan sumberdaya ada dua thema yang sangat menarik: (1) bagaimana minat sumberdaya atau lingkungan dimasukkan ke dalam agenda kegiatan, atau bagaimana situasi sumberdaya dan lingkungan menjadi isu penting; dan (2) teknik-teknik survei dan inventarisasi yang membantu mendefinisikan tingkat isu. Dalam rangka penentuan apa yang dilakukan terhadap problem, ada dua perangkat teknik, yaitu (1) teknik-teknik yang membantu proses pemilihan antara dua atau lebih kebijakan atau kegiatan, dan (2) teknik-teknik yang membantu menetapkan konteks untuk evaluasi kebijakan atau kegiatan . 34 (a). Identifikasi Problematik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Banyak aspek dari pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat politis, termasuk juga identifikasi problem dan isu-isu lingkungan. Anthony Downs (1972) telah mengemukakan suatu idea tentang "stress" sebagai suatu "trigger" bagi kegiatan yang akan memasuki prespektif yang luas dan lama dengan mende-finisikan konsep "issue attention cycle" yang terdiri atas lima fase. Fase Pra-Problem Fase Pasca Problem Alarmed discovery & Euphoric enthusiasm Penurunan minat publik secara bertahap Perhitungan biaya perkem bangan situasi lingkungan. Gambar 4.1. Model Issue-Attention Cycle (Downs, 1972) Dalam fase pra-problem, hanya ada sedikit orang yang berminat dan tertarik pada suatu situasi tertentu. Belum tampak jelas adanya respon dari pengelola sumberdaya dan pembuat kebijakan. Orang yang tertarik ini dapat memperluas opininya melalui media massa, sehingga mampu membangkitkan minat masyarakat, dan munculnya tanda-tanda adanya "perhatian = stress" terhadap isu yang ada, sehingga penentu kebijakan dipaksa untuk bertindak. Kalau tidak ada tindakan nyata maka "stress" tersebut akan berlangsung terus. Kalau ada kebijakan baru yang diambil, Downs berpendapat bahwa minat masyarakat secara bertahap akan bergeser ke arah konsekwensi dari kebijakan-kebijakan baru tersebut, biayabiayanya dan efektivitasnya. Hal ini akan melibatkan perhitungan biaya dan manfaat, atau kerugian-kerugiannya. Perkembangan selanjutnya adalah menolak atau menerima kebijakan tersebut. Akhirnya isu masyarakat akan memasuki fase Pasca-problem, sehingga hanya beberapa orang yang tertarik untuk terus memantau perkembangan situasi. Bagaimana cara munculnya problem dapat membantu menjelaskan isu macam apa yang dapat menarik perhatian serta tindakan apa yang mempunyai peluang yang bagus untuk berhasil dilakukan. Isu-isu yang mempunyai gejala yang jelas cenderung untuk bertahan lama dan mendapat perhatian masyarakat secara luas. (b) Inventarisasi dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Inventarisasi sumberdaya alam merupakan prasyarat bagi program penge-lolaan yang efektif. Dalam rangka untuk menduga ketersediaan sumberdaya, daya dukungnya dan kesesuaiannya bagi pembangunan, analis sumberdaya memerlukan informasi yang memadai untuk menjelaskan situasi sumberdaya yang ada. Para analis sumberdaya alam dapat membujuk pemerintah untuk melengkapi instrumentasi dengan generasi satelit mutakhir untuk menyempurnakan data yang tersedia dari foto 35 LANDSAT. Harus disadari bahwa satelit pertama yang pernah diluncurkan telah dirancang secara khusus untuk menyediakan data sumberdaya bumi masih merupakan satelit percobaan. Dua satelit LANDSAT berikutnya sangat berguna bagi peneliti untuk meman tau bencana alam, polusi dan perubahan tataguna lahan. Sedangkan LANDSAT-4 dan generasi satelit yang lebih baru akan meningkatkan resolusi gambarnya sehingga kualitas informasinya lebih baik. (c) Analisis klasifikasi dan kapabilitas Inventarisasi potensi sumberdaya alam kelautan hanya merupakan fase pertama dalam suatu proses yang melibatkan analisis bagi tujuan-tujuan kebijakan pengembangannya. Klasifikasi data sumberdaya menyediakan landasan bagi penyusunan rencana tataruang laut sebelum dirancang proyek-proyek yang detail. Zonasi ke dalam "kategori-kategori" penggunaannya sangat berguna bagi para pengelola sumberdaya dalam menghadapi tekanan dari berbagai ekegiatan tradisional dan eksploitasi untuk keperluan enerji, mineral dan kepentingan industri. Suatu teladan dari proses analisis ini adalah pemetaan dan evaluasi potensi wilayah pesisir-pantai dalam rangka pengembangan wilayah . (d) Analisis Daya Dukung Daya dukung merupakan produk dari keputusan pengelolaan, dan lebih merupakan konsepsi pengambilan keputusan dari pada konsep ilmiah. Daya dukung suatu ekosistem merupakan kemampuannya untuk mendukung pemanfaatan / konsumsi hingga batas-batas tertentu. Kalau batas-batas ini terlampaui, "deminishing return" akan mulai terjadi dan akhirnya mengarah kepada eksploitasi yang berlebihan yang mengakibatkan degradasi ekosistem . Batas-batas kapabilitas mengalami perubahan, kapabilitas fisik terus direvisi sesuai dengan perkembangan teknologi dan regulasi pengelolaan, sedang konsumen menilai-kembali prioritas sumberdayanya dalam kaitannya dengan lingkungan budayanya. Aplikasi yang paling general dari konsep "Daya Dukung" berkaitan dengan filosofi "Limits to Growth". Pendekatan New-Malthusian terhadap isu ketidak-seimbangan populasi-sumberdaya ini telah menarik perhatian banyak pihak terhadap bahaya-bahaya over-eksploitasi ekosistem dan sumberdaya kelautan. Akan tetapi umumnya respons terhadap argumentasi daya dukung ini cenderung untuk bersifat "technical fix". Kebanyakan penelitian daya dukung kelautan telah dipusatkan pada perencanaan sistem produksi perikanan, kehutanan (bakau) dan wisata-bahari. Para peneliti mengukur kemampuan sumberdaya untuk mampu menahan tingkat penggunaan dan mengkaji bagaimana konsumen menerima daya dukung. (e) Teknik evaluasi proyek Penggunaan kajian inventarisasi, potensi dan kapabilitas serta evaluasi sangat penting bagi pengelola sumberdaya untuk menetapkan kerangka-kerja selanjutnya yaitu evaluasi proyek dan review kebijakan. Akan tetapi pada fase ini alternatif usulan proyek dievaluasi dengan menggunakan tekik-teknik khusus , seperti analisis biaya-manfaat proyek, pendugaan dampak lingkungan, pendugaan resiko, dan lainnya. (1) Analisis Biaya-Manfaat (Benefit-Cost Analysis) Salah satu prosedur yang pertama kali diadopsi sebagai alat bantu obyektif dalam pengelolaan sumberdaya adalah analisis biaya-manfaat (ABM). Perhitungan suatu nisbah dengan jalan membagi estimasi manfaat dengan biaya-biaya untuk mendapatkan satu unit manfaat per unit biaya terbukti sangat berguna dalam menjawab tiga tipe pertanyaan. Apakah proyek layak? Apakah proyek mempunyai ukuran otimum, yang kalau dilampaui 36 akan meningkatkan skala dis-ekonomiknya? Manakah di antara beberapa proyek yang harus dipilih?. ABM dapat membantu dalam menetapkan kelayakan program atau memilih salah satu di antaranya. Kelemahan dari analisis ini terletak pada pemilihan peubah yang dimasukkan dalam ABM dan dalam prosedur perhitungan yang diadopsi untuk mengkonversi peubah-peubah menjadi satuan moneter. Beberapa peubah seperti kehidupan alami yang akan dilindungi sebagai akibat dari tindakan pengendalian pembangunan merupakan manfaat yang intangible. Dan berapa nilai moneter yang harus diberikan kepadanya?. ABM akan dapat bekerja sebagai alat bantu yang efektif hanya apabila landasan hukum dan prosedur diterapkan secara jujur oleh seluruh pihak yang terlibat dalam proses keputusan politik. (2) Pendugaan Dampak Lingkungan Minat terhadap efek pembangunan ekonomi dan dominasi nilai-nilai materialistik tumbuh dengan pesatnya sejak tahun 1970-an. Hal ini telah diikuti oleh berbagai bentuk regulasi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan hidup di berbagai sektor pembangunan. Salah satu dari regulasi tersebut adalah Pendugaan Dampak Lingkungan, yang pada hakekatnya ingin mengetahui sampai sejauh mana suatu kegiatan pembangunan menimbulkan dampak negatif terhadap sumberdaya alam, ekosistem dan kualitas lingkungan hidup. Pada umumnya ada lima unsur yang harus tercakup dalam proses pendugaan dampak lingkungan, yaitu: (i) Dampak lingkungan dari kegiatan/proyek yang diusulkan, (ii) Efek buruk terhadap lingkungan yang tidak dapat dihindarkan kalau proyek dilaksanakan, (iii) Alternatif dari proyek yang diusulkan, (iv) Hubungan antara penggunaan lingkungan hidup lokal jangka pendek dengan pemeliharaan dan perbaikan produktivitas jangka panjang, dan (v) Sumberdaya irreversibel yang akan dilibatkan dalam usulan proyek. Berbagai metode pendugaan dampak telah dikembangkan dan masih terus diusahakan untuk disempurnakan sejalan dengan kompleksitas perilaku lingkungan hidup dan kebutuhan pembangunan. Salah satunya adalah Metode Matriks Leopold, yang merupakan matriks interaksi antara peubah-peubah lingkungan hidup dan kegiatan proyek. Matriks ini lazim digunakan untuk identifikasi dampak yang diakibatkan oleh kegiatan proyek. Problem serius yang dihadapi oleh metode ini ialah bahwa evaluator harus mampu menerapkan indeks yang sama bagi besaraan dan kepentingan dampak lingkungan dari kasus-kaus yang identik atau serupa. Bagaimana tingkat jeleknya dampak lingkungan yang dapat diberi skor maksimum 10 ? Bagaimana penyekalaan dan skoring dapat dijamin konsisten? Untuk mengatasi sebagian dari kelemahan ini, telah dikembangkan suatu sistem rasional untuk estimasi indeks dampak lingkungan yang mencakup berbagai tipe degradasi lingkungan. Sebagai teladan adalah kasus kualitas air, pendekatan yang konsisten untuk estimasi dampak dapat dicapai dengan menggunakan model khusus. Air bersih mempunyai BOD kurang dari 2 ppm, kalau air mengandung BOD lebih dari 2 ppm maka ia tergolong air yang tidak bersih, sedikit tercemar, atau sangat tercemar. Kurva dapat diturunkan dengan menggunakan metode estimasi Delphi (expert systems). Beberapa pakar dalam bidangnya yang relevan diminta untuk menggambarkan pandangannya terhadap bentuk kurva tersebut. Kalau semua opini pakar tersebut bersesuaian maka model hubungan dapat diterima sebagai hal yang dianggap benar. Cara-cara seperti ini hanya dapat dilakukan kalau pengetahuan atau informasi tentang perilaku lingkungan telah tersedia. (3) Analisis resiko Penggunaan analisis resiko dalam evaluasi proyek cenderung untuk memperluas analisis biaya-manfaat konvensional (menambahkan dimensi resiko) dan pendugaan dampak 37 lingkungan (mengevaluasi alternatif lokasi dengan alasan keamanan). Teknik analisis resiko telah berkembang dalam hubungannya dengan perkembangan instalasi- instalasi yang mengadung bahaya potensial, seperti pusat pembangkit bertenaga nuklir, fasilitas enerji gas cair dan industri pengolahan. Pada saat sekarang salah satu metode untuk menentukan peluang terjadinya bencana ialah dengan "analisis fault-tree atau event-tree, analisis pohon kejadian". Teknik analisis "fault-tree" ini digunakan untuk meramalkan perkiraan kegagalan sistem kalau pengalaman aktual dari kegagalan tersebut sangat rendah. Agar supaya teknik ini dapat diaplikasikan, tingkat kegagalan dari komponen-komponen sistem harus diketahui. Sedangkan teknik analisis pohon-kejadian digunakan untuk kondisi yang sebaliknya. Misalkan saja, seseorang mengasumsikan bahwa suatu kejadian initial telah terjadi dan cabang-cabang dari kejadian ini dilacak melalui sistem. Dari analisis sifat ini maka peluang terjadinya "peristiwa" dihitung bersama dengan konsekwensi-konsekwensinya. Dalam kasus pusat pembangkit tenaga nuklir dan fasilitas gas cair, penyebaran spatial polutan-polutan-nya diukur dengan melalui pemodelan kondisi cuaca pada berbagai waktu dalam setahun. Komparatif analisis resiko dan analisis biaya manfaat merupakan prosedur utama yang lazim digunakan untuk menduga akseptabilitas suatu resiko. Hingga sekarang para pembuat kebijakan lebih cenderung untuk menerima bahwa benefit-benefit dibarengi dengan tingkat resiko yang rendah dibandingkan dengan resiko dalam kehidupan seharihari. Tabel 4.1. Proses pendugaan resiko Fase-fase Identifikasi bahaya Estimasi resiko Tujuan Pengenalan adanya bahaya alam/ buatan manusia Pengukuran peluang terjadinya bahaya dan estimasi Konsekwensinya Evaluasi resiko Pengambilan keputusan Judgement tentang aseptabilatas resiko Penerimaan; penolakan atau modifikasi resiko Metodologi Persepsi sensori; pengalaman; investigasi ilmiah Probabilistic risk assesment (PRA); teknik delphi Pengalaman orang bijak atau pendekatan intuitif Analisis komparatif resiko analisis biaya manfaat. Regulasi; pengamanan; pemantauan melalui review umum 4.8. Penggunaan Sumberdaya Alam Secara Optimal Melalui berbagai cara telah dapat dibuktikan bahwa ketersediaan sumberdaya alam akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Informasi tentang sektor-sektor ekonomi penghasil komoditi sumberdaya alam sangat diperlukan untuk (1) lebih memahami ide-ide tentang pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimum secara sosial, (2) bagaimana mekanisme pasar kompetitif mendekati pola-pola pemanfaatan sumberdaya alam yang optimallestari, dan (3) menentukan hubungan yang ada antara harga komoditi sumberdaya alam, biaya produksi, dan biaya kelangkaan dengan kelangkaan fisik. Meskipun karakterisasi dari pola penggunaan sumberdaya alam secara optimum-sosial masih sangat abstrak, namun ia mampu menyediakan peringatan terhadap keragaan dari berbagai macam struktur pasar. Dengan adanya gejala-gejala meningkatnya harga-harga produk ikan, dan diikuti oleh kekhawatiran tentang ketersediaan sumberdaya kelautan dapat habis, maka telah muncul berbagai keraguan tentang konsep bahwa "free enterprise di dalam tatanan pasar bebas" akan mampu mewujudkan pola pemanfaatan sumberdaya alam dapat- 38 habis secara optimum-sosial. Harus dibedakan antara kebutusan-keputusan jangka pendek dan jangka panjang. Sangatlah logis bahwa kecenderungan jangka panjang akan mencerminkan pola pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Dalam banyak hal tentang kelautan kita tertarik dalam masalah jangka panjang, dan kita ingin mengkaji bagaimana mekanisme pasar diharapkan dapat bekerja mengalokasikan sumberdaya kelautan atas waktu yang panjang. Bagaimana pasar realistis menentukan pola penggunaan sumberdaya alam dibandingkan dengan pola penggu naan optimum teoritis. Pasar-pasar ini juga akan menghasilkan data yang dapat kita kaji, data tentang harga komoditi sumberdaya alam, rentabilitas kelangkaan, biaya ekstraksi, kuantitas yang diproduksi, dan kuantitas yang diperkirakan ada dalam cadangan. Apa yang dapat kita kaji dari data ini tentang efektivitas mekanisme pasar aktual? Dapatkah kita mendeteksi kapan perekonomian nasional atau global akan mengalami krisis sumberdaya alam? Dan akhirnya dapatkah kita mempermasalahkan kemanfaatan beberapa variabel sebagai indeks kelangkaan sumberdaya alam. 4.9. Faktor-faktor Untuk Mengatasi Kelangkaan Sumberdaya Alam Kondisi ketersediaan sumberdaya alam mempengaruhi potensial produktif dari suatu sistem ekonomi di suatu wilayah melalui berbagai cara. Kita juga menyadari bahwa perubahan IPTEK dalam bidang produksi komoditi / sumberdaya alam dapat membantu mengatasi kecenderungan kenaikan harga sumberdaya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kelangkaan sumberdaya alam dapat berdampak kepada kenaikan biaya-biaya produk sumberdaya alam dan degradasi lingkungan. (a) Inovasi Teknologi Menurut Rossenberg (1972), bagian penting dari historis proses inovasi merupakan respon dari kelangkaan sumberdaya alam. (b) Proses Penemuan Potensi Sumberdaya Alam Penemuan potensi/cadangan baru telah menjadi faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi di suatu negara. Sebagai teladan adalah penemuan cadangan minyak bawah tanah dan bawah laut. Keberhasilan penemuan cadangan baru tersebut ternyata berkaitan erat dengan kemajuan teknologi penemuan dan pendugaan cadangan sumberdaya alam seperti berikut ini. (1). Teknik Penginderaan jauh. Teknologi ini menyediakan catatan informasi yang lengkap dan rinci tentang terrain untuk mengenali ciri-ciri permukaan dan bawah permukaan. Dapat digunakan sebagai peta dasar atau diintegrasikan dengan foto-mosaik stereoskopik. Kegunaan pokok meliputi (a) bidang geologi, (b) pemetaan dan survei kelautan , (c) survei vegetasi, dan (d) survei penggunaan kawasan pesisir-pantai. Perkembangan mutahir telah terjadi dalam teknologi fotografi satelit. (2). Teknik Survei Kelautan. Teknik-teknik ini sangat vital bagi para insinyur dalam mengevaluasi konstruksi dan tapak jalan raya, pencarian bahan mineral tambang (bahan galian), mengevaluasi potensi , dan perencanaan pemukiman. Beberapa metode dan teknik modern yang dikenal adalah (a) metode geofisik: elektrik, gravimetrik, magnetik, dan seismik; (b) metode geo-kimia: analisis logam mulia. (4). Survei dan Pemetaan Potensi Sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya secara rasional memerlukan data dan informasi tentang lokasi, komposisi, kondisi, dan tingkat pemanfaatan. Penyediaan data dan informasi ini memerlukan dukungan teknologi yang tepat, seperti penginderaan jauh, sampling statistik, dan observasi lapangan lainnya. 39 V. BIDANG PRIORITAS 5.1. PERENCANAAN dan PENGEMBANGAN Terpadu Coastal Zones 5.1.1. Dasar Pertimbangan Jawa Timur adalah propinsi dengan jumlah 79 buah pulau kecil, dengan garis pesisir sepanjang kira-kira 1.600 Km dan luas lautan kira-kira 110.000 Km2 yang merupakan sekitar 60% dari seluruh wilayah propinsi. Pada umumnya sepanjang pantai utara keadaannya melandai dengan kedalaman 1-5 meter, sedangkan di semenanjung Blambangan dan sebelah selatan pantainya terjal.. Pantai di daerah kepulauan antara pulau Bawean dan pulau di sebelah Timur pulau Madura, banyak terdapat karang-karang , pada saat air laut surut merupakan jurang pantai. Selat Madura di bagian barat mempunyai kedalaman 20- 90 m, sebelah Timur mempunyai kedalaman sampai 140 m, dasar laut berlumpur. Adapun perairan Jawa Timur di wilayah Selat Bali mempunyai kedalaman 20 – 245 m, dasar laut berlumpur campur pasir dan berkarang. Di perairan Samudera Indonesia mempunyai kedalaman lebih dari 1000 m. Pada jarak 50 m dari pantai Selatan, dasar laut berbatu karang, pantai banyak berteluk. Banyak terumbu karang yang telah rusak berat, beberapa lokasi terumbu karang tertinggal sekitar 10 – 20%. Pada umumnya pantai Jawa Timur, dari perkiraan panjang pantai 1600 Km terdapat sekitar 850 Km ditumbuhi tanaman mangrove, sekitar 400 Km masih berupa hutan belukar dan terdapat tumbuhan mangrove yang sebagian besar banyak yang ditebang. Beberapa lokasi menunjukkan kondisi hutan mangrove yang memprihatinkan, karena luasan tinggal sekitar 10%, yang berarti dibawah luasan minimal yang seharusnya sekitar 30% Pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir pada masa PJP I yang tidak terkendali telah berakibat penurunan kualias lingkungan seperti pengrusakan fisik terumbu karang, hutan mangrove dan lingkungan lainnya yang makin menunjukkan telah berada pada tingkat yang membahayakan daya dukung laut dan pesisir. Disamping itu, pengembangan wilayah laut dan pesisir tersebut masih meninggalkan keadaan masyarkat pantai yang miskin dan melakukan eksploitasi sumberdaya laut dengan cara-cara yang merusak seperti penggunaan dinamit dan pengambilan karang sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk makan. Ancaman lainnya, khususnya di Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Selatan Jawa Timur adalah pelanggaran daerah penangkapan oleh nelayan asing, bahkan penyelundupan melalui tempat pendaratan di pantai Selatan., karena lemahnya kemampuan monitoring, pengawasan dan penegakan peraturan (MCS) , dan juga lemahnya patroli laut karena kurangnya prasarana dan personil yang handal. Sesungguhnya telah banyak undang-undang dan peraturan daerah menyangkut pengelolaan sumberdaya laut di Jawa Timur agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, hanya saja terbentur pada tahapan pelaksanaan, seperti penegakan sanksi yang masih lemah, kurangnya koordinasi dan banyaknya program dan proyek yang berorientasi pada kepentingan sektoral, top-down dan tidak ramah lingkungan Akibatnya pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir menjadi tidak terkendali, bahkan menjadi kantong-kantong lingkungan rumahtangga yang kumuh dengan genangan polutan. 5.1.2 Tujuan Program Pada Pembangunan Jangka Panjang tahap ke II (PJP II) diharapkan sumberdaya pesisir dan laut dapat dikelola secara berkelanjutan, mengingat potensi dan peluang pengembangan sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur yang sangat besar. Mengingat banyak kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, maka pengelolaan dan pengendaliannya selanjutnya harus dilakukan secara terpadu. Dengan demikian arah dan 40 tujuan pengelolaan dan pengembangan sumberdaya laut dan pesisir dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Memperbaiki sistem perencanaan dan pengelolaan secara terpadu; 2. Memperkuat kemampuan kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam kegiatan pengendalian dan pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir; 3. Memperkuat peran serta masyarakat dalam dproses perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara optimal dan efisien, yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sumbangan terhadapa PAD, ekspor, penyerapan tenaga kerja dan mengentaskan nelayan dari kemiskinan dengan wawasan lingkungan secara berkelanjutan (sustainable) 4. Mengembangkan sistem penyediaan dan penggunaan informasi (data) dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan dan pengendalian sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur. 5. Menjalin kerjasama regional, nasional maupun internasional untuk memperkuat pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. 5.1.3. Rencana Strategis 1. Pertama : menata dan memeperbaiki perencanaan sistem pengelolaan dan pengendalian sumberdaya laut dan pesisir secara terpadu dan berkesinambungan; 2. Ke dua : memperkuat kemampuan kelembagaan perencaan yang melibatkan masyarakat pesisir; 3. Ke tiga : rehabilitasi, restocking dan konservasi ekosistem kelautan dan perikanan, serta penataan wilayah pengelolaan sesuai karaktersitik biofisik wilayah perikanan; 4. Ke empat : pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan dan perikanan secara optimal, efisien dan berkelanjutan; 5. Ke lima : pemberdayaan masyarakat pesisir yang berorientasi pada budaya pembangunan berkelanjutan; 6. Ke enam : penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya berbasis pada kearifan tradisional, disamping penegakan hukum untuk pelaku bisnis perikanan professional; 7. Ke tujuh : mengembangkan sistem informasi (data base) sumberdaya, pengembangan teknologi dan pasar domestik maupun internasional; 8. Ke delapan : pengembangan IPTEK dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan pesisir secara professional dan ramah lingkungan; 9. Ke sembilan : menanamkan wawasan kelautan kepada seluruh stakeholders pembangunan kelautan Jawa Timur. 5.2. Pemantauan & Perlindungan Coastal Zones 5.2.1. Dasar Pertimbangan Masalah lingkungan pesisir dan laut Jawa Timur telah menjadi keprihatian kita bersama, mengingat : (a) diperkiran 60% penduduk Jawa Timur tinggal atau bermukim dekat kawasan pantai; (b) kebutuhan pangan penduduk yang makin meningkat telah meningkatkan tekanan eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir secara berlebihan, kecuali di selatan Jawa Timur yang kurang mendapat perhatian; (c) pencemaran limbah industri yang membanjiri laut dan kawasan pesisir; (d) kawasan industri di Jawa Timur terpusat di pantai; (e) budidaya perairan di walayah pesisir (tambak) telah ikut menghancurkan lingkungan hutan mangrove, penggunaan obat dan limbah pertambakan yang tidak ramah lingkungan; dan (f) kerusakan habitat laut, terumbu karang dan hutan mangrove di pesisir bukan saja akan merusak lingkungan lokal maupun regional, tapi juga akan berdampak pada keseimbangan lingkungan global. 41 5.2.2. Tujuan Program Secara umum, arah dan tujuan perlindungan pesisir dan laut ini adalah meningkatkan upaya dan kemampuan perlindungan lingkungan pesisir dan laut untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan pembangunan. Secara khusus, arah dan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 1. mencegah, mengurangi dan mengendalikan kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang ditimbulkan oleh bermacam kegiatan yang berbasis di daratan maupun di laut; 2. melindungi lingkungan pesisir dan laut yang secara ekonomi dan ekologis merupakan habitat kritis; 3. memperkuat kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam proses pelestarian lingkungan pesisr dan laut. 5.2.3. Rencana Strategis Bertitik tolak pada potensi potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan serta arah perlindungan pesisir dan laut secara berkelanjutan, maka rencana strategis pada PJP II perlindungan pesisir sebagai berikut : 1. Pertama : menetapkan tata-ruang peruntukan lingkungan pesisir untuk berbagai kepentingan dalam memanfaatakan dan melindungi kawasan pesisir untuk kemanan produksi berbagai spesies ikan, industri manufaktur perikanan dan jasa lingkungan pesisr; 2. Ke dua : menata dan memanfaatakan keindahan dan kenyamanan serta memperbaiki serta rehabilitasi lingkungan pesisir yang kumuh dan laut dari kerusakan; 3. Ke tiga : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam menjaga dan melindungi lingkungan pesisir dari pengrusakan dan atau penggunaan alat-alat perusak lingkaungan hutan mangrove dan terumbu karang; 4. Ke empat : memonitor mutu air dan lingkungan agar pesisir terlindung dari pencemaran limbah cair atau gas buang yang merusak lingkungan; 5. Ke lima : penegakan aturan perlindungan kawasan pesisir dan laut; 6. Ke enam : menanamkan kesadaran perlindungan atas keindahan dan kenyamanan kepada seluruh pengguna/ stakeholders pembangunan kawasan industri maritim di lingkungan pesisir. 7. Ke tujuh : mengembangkan industri maritim untuk meningkatkan wawasan persatuan dan kesatuan bangsa serta memperkuat daya saing global. 5.3. Pengelolaan SUMBERDAYA Secara Berkelanjutan 5.3.1 Dasar Pertimbangan Lingkungan laut Jawa Timur merupakan bagian integral dari lingkungan perairan laut tropis dengan keanekaragaman fauna dan plora (multi-species) yang tidak mudah dipisahkan atas dasar administrasi Kabupaten atau Kota.. Beberapa jenis ikan pelagis (permukaan) seperti ikan layang, lemuru dan kembung di Laut Jawa bergerak dari waktu ke waktu bahkan melintasi antar propinsi. Demikian juga ikan tongkol atau tuna di Samudera Indonesia di wilayah Selatan Jawa Timur, bahkan bergerak antar negara. Semula orang menduga bahwa fauna dan flora laut tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas. Namun perkembangan teknologi penangkapan ikan telah menunjukkan bahwa cadangan ikan di laut adalah terbatas, tergantung pada daya dukung lingkungan, sehingga kelestarian sumberdaya laut dan pesisir sangat tergantung pada keberhasilan kita 42 mengelolanya. Apa yang telah dilakukan nelayan sekarang ini dalam pemanfaatan sumberdaya laut telah menunjukkan akibat kerusakan lingkungan dan menipisnya sumberdaya. Berdasarkan kondisi biofisik dan lingkungan perairan laut, Jawa Timur dapat dibagi menjadi lima wilayah pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir, yaitu : (a) Laut Utara, Laut Jawa; (b) Laut Madura Kepulauan, Bagian Timur; (c) Selat Madura; (d) Laut Muncar. Selat Bali; dan (e) Laut Selatan, Samudera Indonesia. Komposisi jenis ikan ekonomis penting di masing-masing wilayah adalah sebagai berikut : 1. Utara : ikan layang; 2. Kepulauan : ikan layangdan ikan karang; 3. Selat Madura : ikan dasar seperti ikan kurisi ; 4. Muncar : ikan lemuru; dan 5. Selatan : ikan tongkol/ tuna dan layang. 6. Jawa Timur (total) : ikan lemuru, layang dan tongkol Perkembangan produksi ikan menurut jenis ikan dan wilayah tersebut dapat ditunjukkan hal sebagai berikut : 1. Ikan layang : mendominasi di perairan Utara dan Madura Kepulauan. Di Selat Madura pernah mencapai produksi sekitar 25.000 ton ikan layang, yaitu pada tahun 1989, namun kemudian turun kembali. Fluktuasi produksi ikan layang selama tahun 1979 – 1999 cenderung stabil; 2. Ikan lemuru : mendominasi di perairan Muncar dan Selatan Jawa Timur. Produksi ikan lemuru nampak sangat fluktuatif, dari tahun 1979 – 1999, produksinya cenderung terus meningkat; 3. Ikan tembang : mendominasi di perairan Selat Madura Jawa Timur. Ada kecenderungan produksi dengan trend menurun; 4. Ikan tongkol : mendominasi di perairan Madura Kepulauan, Selat Madura, Muncar dan Selatan Jawa Timur. Di semua wilayah menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi; Pada tahun 1989 terjadi produksi puncak di Selat Madura; 5. Ikan teri : mendominasi di perairan Utara dengan fluktuasi produksi yang tinggi. Di Selat Madura cukup dominanan dan berkembang relatif stabil. 6. Ikan kembung : mendominasi di perairan Selat Madura dan Wilayah Utara Jawa Timur. Ada kecenderungan trend yang meningkat; 7. Ikan peperek : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura dengan kecenderungan produksi yang terus meningkat; 8. Udang : mendominasi di perairan Utara dan Selat Madura. Produksi sangat berfluktuasi dan ada kecenderungan menurun; 9. Ikan cucut : mendominasi di perairan Selatan dan Utara Jawa Timur. Ada kecenderungan produksi yang makin menurun; 10. Ikan kakap : mendominasi di Madura Kepulauan dan Selat Madura. Ada kecenderungan produksi makin menurun. 5.3.2. Tujuan Program Dengan memperhatikan status pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Jawa Timur , maka arah dan tujuan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Memperbaiki system pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hayati laut dan pesisir yang efisien untuk mendapatkan keuntungan nelayan secara berkelanjutan; 2. Melestarikan keanekaragaman hayati atas dasar genetik, spesies dan ekosistem per wilayah pengelolaan; 3. Memperkuat peranserta dan kelembagaan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi ramah lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya berkelanjutan; 43 4. Mengembangkan wisata bahari dan alternatif pekerjaan untuk meningkatkan sumber penghasilan nelayan di luar melaut (off-fishing) di wilayah lebih tangkap; 5. Mengembangkan teknologi, mutu SDM dan prasarana pelabuhan perikanan modern untuk menumbuhkan kawasan industri pemanfaatan sumberdaya hayati Laut Selatan. 5.3.3. Rencana Strategis Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir Jawa Timur secara berkelanjutan, maka rencana strategis pada PJP II adalah sebagai berikut : 1. Pertama : menata dan memperbaiki program pengelolaan (action plan) di lima wilayah pengelolaan perikanan laut dan pesisir di lima wilayah Laut di Jawa Timur; 2. Ke dua : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas (PSBK); 3. Ke tiga : rehabilitasi, restocking dan konservasi wilayah pengelolaan secara berkelanjutan; 4. Ke empat : pengembangan kawasan industri maritim dan alternatif lapangan kerja di laut dan pesisir untuk meningkatkan pendapatan masyarakat; 5. Ke lima : melakukan pendugaan stok ikan dan hasil laut lainnya secara lebih akurat, teratur dan berkelanutan di masing-masing wilayah pengelolaan; 6. Ke enam : pengembangan paket teknologi ramah lingkungan untuk pengelolaan sumberdaya secara lestari; 7. Ke tujuh : menanamkan wawasan pengelolaan berkelanjutan dan penegakan hukum bagi pelanggar secara ajek. 5.4. PEMBERDAYAAN dan PENGUATAN KELEMBAGAAN 5.4.1. Dasar Pertimbangan Propinsi Jawa Timur dengan luas perairan laut mencapai 64% dengan panjang pantai sekitar 1.600 Km, maka jangkauan perencanaan dan pengawasan pengelolaan begitu kompleks, sehingga strategi pembangunan yang top-down akan makin terasa tidak efektif. Dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah, maka peranserta daerah Kabupaten dan Kota dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir menjadi lebih besar. Pada tiga dekade pembangunan selama ini, aktifitas pembangunan yang berkembang di wilayah pesisir, seperti kawasan industri, tambak intensif, wisata dan pertanian intensif kesemuanya telah membawa dampak positif dan negatif. Pembangunan yang dilaksanakan di wilayah laut dan pesisir selama ini ternyata masih belum banyak dirasakan oleh masyarakat pesisir, sedangkan penduduk dan lembaga yang berada di luar kawasan lebih menikmati manfaatnya. Masyarakat pesisir Jawa Timur pada umumnya sebagian masih banyak tertinggal dan menghadapi dampak negatif derap pembangunan, seperti lingkungan yang kumuh dengan genangan polutan hasil industri. Dari data Direktorat Jenderal Perikanan diketahui bahwa dari 22.917 (34%) desa miskin di Indonesia, sejumlah 4.377 (19,1%) merupakan desa pesisir. Masalah yang muncul pada desa pesisir yang miskin, pada umumnya adalah 1. Perumahan padat dengan tingkat pendidikan RT. nelayan dibawah standard; 2. Kondisi ketimpangan ekonomi yang mencolok; 3. Kesadaran komunitas dalam pengelolaan sumberdaya sangat lemah; 4. Peluang lapangan kerja alternatif sangat terbatas; 5. Pekerjaan melaut dilakukan dengan teknologi kapal dan alat tangkap skala kecil, dengan jangkauan wilayah penangkapan yang terbatas dan terkonsentrasi di perairan pantai yang padat tangkap. 44 Sesungguhnya telah banyak program dan paket teknologi yang dikembangkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat pesisr. Hanya saja terbentur pada alternatif lapangan kerja di pedesaan pantai yang sangat terbatas, sehingga selalu terjadi tambahan nelayan miskin dengan teknologi skala kecil dan sederhana yang memasuki wilayah laut dan pesisir, sehingga makin meningkatkan tekanan pengurasan sumberdaya pantai yang semakin padat. Akibatnya berlangsungnya lingkaran setan kemiskinan masyarakat pesisir menjadi tidak terhindarkan. 5.4.2. Tujuan Program Pada Pembangunan Jangka Panjang tahap ke II diharapkan SDM pesisir dan kelautan dapat ditingkatkan, mengingat potensi dan peluang pengembangan sumberdaya laut dan pesisir masih sangat besar. Mengingat jangkauan pemanfaatan sumberdaya laut makin jauh dari pantai, maka syarat pengembangan teknologi dan mutu SDM yang makin professional menjadi suatu keharusan. Dengan demikian arah dan tujuan pemberdayaan masyarakat pesisir dan kelautan memrlukan senergi pendekatan struktural, kultural dan lingkungan, yang selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Pendekatan struktural : memperkuat akses nelayan dalam peningkatan teknologi, permodalan, informasi pasar, lapangan kerja baru , koperasi dan kemitraan usaha dan infrastruktur (pelabuhan dan kelengkapannya) yang modern di pedesaan pantai; 2. Pendekatan kultural : meningkatkan keterampilan SDM, penegakan hukum, peran serta wanita, LSM, sistem insentif bagi hasil yang berkeadilan dan memperkuat budaya lokal; 3. Pendekatan lingkungan : rehabilitasi lingkungan, kesehatan dan kebersihan, keindahan dan kenyamanan lingkungan, pengaturan polutan menurut baku mutu lingkungan dan pengaturan tata ruang pemukiman yang tertata rapi dan nyaman. 5.4.3. Rencana Strategis Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah pemberdayaan masyarakat pesisir secara berkelanjutan di Jawa Timur, maka rencana strategis adalah sebagai berikut : 1. Pertama : memperbaiki teknologi, meperkuat akses permodalan dan informasi pasar masyarakat pesisir; 2. Ke dua : memeprkuat kemampuan kemandirian kelembagaan, penegakan peraturan dan keterlibatan masyarakat pesisir dalam penataan kawasan industri di pedesaan pantai; 3. Ke tiga : memperkuat prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan keterampilan msyarakat pesisir, dan menyiapkannya untuk mengembangkan pemanfaatan sumberdaya lepas pantai secara professional dan budaya modern; 4. Ke empat : membentuk kemitraan antara koperasi dan pengusaha di kawasan industri perikanan lokal; 5. Ke lima : melakukan penataan dan rehabilitasi lingkungan dan tempat tinggal yang bersih, indah, nyaman dan aman; 6. Ke enam : menanamkam wawasan dan kesadaran teknologi ramah lingkungan, ketrampilan professional dan lingkungan yang bersih, indah dan nyaman kepada seluruh stakeholders pembangunan kelautan dan pesisir di Jawa Timur. 5.5. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KEPULAUAN KECIL SECARA 5.5.1. Dasar Pertimbangan Propinsi Jawa Timur memiliki 83 pulau kecil, diantaranya berada di Madura Kepulauan sebanyak 79 buah dengan potensi sumberdaya ikan maksimum mencapai sekitar 57.000 ton. Dengan luasnya wilayah jangkauan perairan laut di kawasan kepulauan, maka 45 dengan perbaikan teknologi tingkat yang lebih maju, maka potensi sumberdaya tersebut masih dapat ditingkatkan. Teknologi yang dimiliki nelayan lokal saat ini masih mampu mengekploitasi sumberdaya lokal dibawah potensi sumberdaya yang tersedia. Di wilayah ini juga menyediakan sumberdaya alam gas alam yang cukup besar. Gugusan pulau kecil tersebut sebagian belum dihuni penduduk, sebagian dijadikan cagar alam dan sebagian lagi menjadi puas penangkapan ikan di bagian Timur Jawa Timur. Beberapa bagian wilayah kepauan ini merupakan wilayah terumbu karang yang sebagian besar mulai dirusak oleh perilaku bisnis masyarakat lokal. Keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada Madura Kepulauan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan sebagai berikut : 1. Jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi, sehingga tertinggal baik teknologi dan akses informasi pasar; 2. Secara ekologi amat rentan; 3. Tersedia varietas yang dilindungi namun sangat mudah dihancurkan oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab, karena jauh dari pengawasan dari pemerinmtah daerah, sementara kelembagaan dan partisipasi masyarakat lokal untuk perlindungan sumberdaya sangat rendah dan lemah; 4. Persediaan air bersih yang sangat terbatas; 5. Belum terintegrasi dengan pengelolaan pesisir; 6. Menjadi ssaran operasi penangkapan armada perikanan yang lebih maju dengan nelayan lokal, sehingga sering menimbulkan konflik yang berkepanjangan. 5.5.2. Tujuan Program Untuk menghindari penghancuran sumberdaya lingkungan pulau-pulau kecil, maka diperlukan penyamaan persepsi, tujuan dan arah pembangunan pulau kecil sebagai berikut : 1. Dimensi ekologi : diperlukan tata guna dan tata ruang pemnfaatan kepulauan sebagai satu sistem lingkungan, agar limbah fisik maupun sosial diminimumkan dan sumberdaya jangan dikelola diatas daya dukung regenerasi sumberdaya lokal; 2. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya : menjangkau penyediaan kebutuhan dasar manusis dalam rangka regenrerasi ekosistem asli; 3. Dimensi sosial politik : memperkuat kelembagaan dan peranserta masyarakat lokal dalam pengembilan keputusan pembangunan kepulauan; 4. Dimensi kelembagaan : meningkatkan apresiasi pemerintah daerah dalam mengintegrasi dan mengkoordinasi pembangunan kepulauan kecil yang didukung dengan peraturan daerah yang menjamin pelaksanaan partisipasi masyarakat lokal. 5.5.3. Rencana Strategis Bertitik tolak pada potensi, peluang dan permasalahan serta tujuan dan arah pembangunan wilayah kepulauan kecil di Jawa Timur secara berkelanjutan, maka rencana strategis pada PJP II adalah sebagai berikut : 1. Pertama : mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal dan pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk sebesar-besarnya manfaat masyarakat lokal; 2. Ke dua : memperkuat kelembagaan dan partisipasi masyarakat kepulauan dalam pembangunan wilayahnya secara berkelanjutan; 3. Ke tiga : mengembangkan sistem komunikasi dan tranportasi yang mengintegrasikan Madura Kepulauan dengan pembangunan wilayah pesisir daratan; 4. Ke empat : melakukan identifikasi, pemetaan dan eksplorasi untuk memastikan cadangan sumberdaya alam, habitat, perubahan cuaca, dampak lingkungan, kondisi sosial masyarakat yang dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai kawasan konservasi, kawasan lindung maupun kawasan produksi yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. 46 5.6. KEAMANAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ZEE 5.6.1. Dasar Pertimbangan Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasarkan UNCLOS (The UN Convention on the Law of the Sea), maka perairan Indonesia diakui pada tahun 1982. Pengakuan ini menjadikan Indonesia mempunyai kedaulatan terhadapa sumberdaya alam pada kawasan kepulauan tersebut. Konvensi LOS juga mengakui hak-hak ekslusif atas sumberdaya alam termasuk yang hidup maupun yang mati, tambang di dasar laut maupun daratan dalam batas 200 mil Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pengakuan secara legal tersebut memberikan Indonesia dasar hukum bagi pembangunan berkelanjutan terhadap sumberdaya laut, termasuk semua kekayaan yang terkandung didalamnya. Eksploitasi dan penggunaan sumberdaya kelautan oleh negara asing dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral. Propinsi Jawa Timur bagian Selatan adalah berbatasan dengan wilayah perairan Samudera Indonesia dan batas laut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang harus dikelola secara sungguh-sungguh dan professional. Berdasarkan aturan internasional, jika kita tidak memanfaatkan secara baik, maka ada hak negara lain (asing) untuk memanfaatkannya. Pengelolaan sumberdaya di wilayah ini masih berada dalam tingkat under-fishing. Permasalahan dan tantangan masa depan, antara lain kemampuan armada milik nelayan yang kecil dan teknologi sederhana, sehingga daya jangkaunya untuk memanfaatkan wilayah ZEEI sangat terbatas, juga rendahnya prasarana patroli laut untuk memelihara keamanan di wilayah tersebut, baik dalam menghadapi gangguan yang bersumber dari unsur internal maupun eksternal, seperti penyelundupan melalui laut Selatan ataupun pelanggaran wilayah kedaul;atan. Khususnya di ZEEI Selatan Jawa, kapal barang asing maupun penangkapan ikan sering menggunakan wilayah ZEEI sebagai lalu lintas saja. Mengingat pengawasan yang lemah membuat kesulitan dalam mengatasi pelanggaran. 5.6.2. Tujuan Program Pada PJP II diharapkan sumberdaya ZEEI dapat dikelola sekaligus diamankan, mengingat potensi dan peluang pengembangnannya sangat besar. Dengan demikian pemanfaatan dan pemeliharaan keamanan ZEEI Selatan Jawa Timur dapat diarahkan: 1. Memperkuat armada penangkapan ikan untuk skala perikanan samudera; 2. Memperkuat sistem pengawasan wilayah ZEEI; 3. Mengembangkan peranserta masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya ZEEI; 4. Menjalin kerjasama nasional dan internasional untuk memperkuat pemanfaatan sumberdaya Laut Selatan secara berkelanjutan; 5.6.3. Rencana Strategis 1. Pertama : menata dan memperbaiki sistem pengawasan dan pemantauan wilayah ZEEI Selatan Jawa Timur; 2. Ke dua : memperkuat armada perikanan rakyat dan kawasan industri perikanan di wilayah Selatan Jawa Timur; 3. Ke tiga : memperkuat kemampuan kelembagaan dan peranserta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan kapal asing dalam pemanfaatan sumberdaya Laut Selatan; 4. Ke empat : mengembangkan sistem informasi pemanfaatan sumberdaya perikanan samudera; 47 5. Ke lima : penyebarluasan IPTEK pemanfaatan perikanan samudera untuk perikanan rakyat; 6. Ke enam : memperkuat kerjasama nasional dan internasional dalam pemanfaatan dan pengawasan ZEEI. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Y.J. 1982. Coastal Tourism. UNEP Nairobi. Brower, D.J. dan D.S. Carol. 1984. Coastal Zone Management as Land Use Planning. National Planning Association. Washington D.C. Chapman, V.J. (ed.). 1977. Wet Coastal Ecosystems. Elsevier Scientific Publishing Co., New York. Ecosystems of the World. Vol. 1. Clark, J.R. 1976. Coastal Ecological Considerations for Management of the Coastal Zone. The Conservation Foundation. Washington D.C. Clark, J.R. 1983. Coastal Ecosystem Management: A Technical Manual for the Conservation of Coastal Zone Resources. The Conservation Foundation. Florida, USA. Clark, J.R. 1985. Coastal Resources Management: Development Case Studies. Research Planning Institute. South Carolina. Clark,J.R., J.Bantz, dan J.A.Zinn. 1980. Coastal Environmental Management: Guidelines for Conservation of Resources and Protection Against Storm Hazards. Washington, D.C. Dahl, A.l. 1978. Coral Reef Monitoring Handbook. South Pacific Commission, Noumea, New Caledonia. Dinas Perikanan Prop. Jawa Timur (1979-1999) : Laporan Statistik Perikanan Jawa Timur Tahun 1979 – 1999. FAO. 1982. Management and Utilization of Mangroves in Asia and Pasific Region. Environmen Paper #3. Rome. FAO. Hamilton, L. S. and S.C. Snedaker (eds.). 1984. Handbook for Mangrove Area Management. EW Environment and Policy Institute, Honolulu, Hawaii. Hilborn, Ray and Carl J. Walters (1992) : Quantitive Fisheries Stock Assessment. Chapman and Hall. London. Ilyas Baker dan Pramuk Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. The UNESCO MAB and COMAR Programmes. Regional Office for Science and Technology for Southeast Asia, Jakarta 10002, Indonesia. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1996) : Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Knox, G.A. dan T.Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in Southeast Asia. UNESCO and East-WestCentre, Hawaii. 48 Odum, W.E. 1976. Ecological Guidelines for Tropical Coastal Development. IUCN. Snedaker,S.C. dan C.D. Getter. 1985. Coastal Resources Management Guidelines, Coastal Publication No.2. Research Planning Institute, Inc. In Cooperation with NPS, USDI, USAID, Washington D.C.. Sorenson, J.C., S.T. McCreary, dan M.J. Hersman. 1984. Institutional Arrangements for Management of Coastal Resources. Coastal Publication No. 1. Washington D.C.