geng : Maskulinitas Remaja Pria

advertisement
geng : Maskulinitas Remaja Pria
Triyono Lukmantoro
Tidak ada hal yang lebih menakutkan bagi kaum remaja pria kecuali ketika
mereka dituding sebagai banci atau perempuan. Bersikap lembut dan penuh
belas kasih terhadap pihak lain menjadi perilaku terlarang. Feminitas pun
dipandang sebagai tabu tidak terampunkan.
Tidak terlalu mengagetkan jika kehidupan remaja pria diwarnai segala macam
kekerasan. Kompensasi lain untuk menunjukkan kelelakian mereka adalah
membentuk kelompok teman sebaya. Fenomena itulah yang menjadikan geng
tumbuh subur dalam kehidupan remaja pria.
Kehadiran geng bukan sekadar untuk berkumpul dengan remaja pria lain, tetapi
juga sebagai aktualisasi nilai-nilai kelelakian yang dianggap paling sejati. Dalam
geng itulah maskulinitas mendapatkan ruang paling diistimewakan.
Kita dapat menyimak gejala itu dengan pemberian nama geng yang terkesan
beringas dan mengandalkan sikap tegas. Struktur organisasi geng sengaja
diambilkan dari konsep militer. Kedudukan, kepangkatan, atau satuan
institusional, seperti "panglima", "jenderal", atau "brigade", makin mempertegas
sifat maskulin yang diharapkan. Geng motor adalah salah satu fenomena
kehidupan remaja pria dengan dunia yang harus serba menonjolkan maskulinitas.
Maskulinitas merupakan karakter jender yang secara sosial memang dianggap
layak dilekatkan dengan sosok laki-laki. Semakin maskulin seorang remaja pria,
semakin mudah ia diterima dalam kelompoknya. Sebagai produk konstruksi
sosial, maskulinitas bahkan telah ditanamkan sangat kokoh dalam lingkup
keluarga inti. Figur bapak dan ibu sudah sejak dini melakukan indoktrinasi.
Orangtua merupakan kekuatan paling dominan dalam melakukan penanaman
nilai-nilai maskulinitas terhadap anak-anak lelaki. Misalnya, anak laki-laki tidak
boleh menangis karena rengekan dan air mata hanya diizinkan bagi anak
perempuan.
Penanaman dan pertumbuhan pesat maskulinitas semakin menjadi-jadi dalam
interaksi di lembaga pendidikan (sekolah). Remaja pria yang mampu menjalankan
1/3
geng : Maskulinitas Remaja Pria
peran-peran maskulin mengalami inklusi, yakni mudah dilibatkan dalam
pergaulan. Begitu pula sebaliknya.
Bukankah seorang remaja pria ingin diterima kawan-kawan lelakinya yang lain?
Di situlah sebenarnya penanaman nilai maskulinitas tidak dijalankan sukarela,
tetapi melalui pemaksaan (compulsory) dan tekanan (pressure).
Remaja pria manakah yang berhasil keluar dari kungkungan represif nilai-nilai
maskulin itu? Sebagaimana dikemukakan UNESCO—Organisasi Pendidikan,
Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (New Delhi, 2006)—dalam risalah
panjang berjudul Masculinity for Boys, remaja pria yang tidak mampu mengadopsi
maskulinitas berarti: (1) akan ditolak kelompok sebayanya, (2) akan dilecehkan
teman sebaya, dan (3) akan dipandang sebagai sosok laki-laki yang lebih lemah.
Sebagai moralitas
Proses yang terjadi kemudian adalah maskulinitas diposisikan sebagai moralitas
yang menjadi tolok ukur kepantasan dalam pergaulan. Konsekuensinya,
maskulinitas bukan lagi sebagai kebiasaan yang layak diikuti, melainkan sebagai
norma yang berisi ajaran mengenai kebaikan versus keburukan. Maskulinitas
menjadi dogma yang tidak mungkin mampu terbantahkan. Menentang
maskulinitas berarti melanggar moralitas. Mematuhi maskulinitas bermakna
meraih superioritas.
Tragisnya, mengikuti pemikiran Lawrence Kohlberg (1927-1987), remaja
menjalani kehidupan dalam tahap perkembangan moral konvensional. Kesetiaan
pada norma etis ditentukan oleh loyalitas pada kelompok yang melingkupinya.
Jika ditanyakan mengapa remaja pria melakukan kekerasan atau bersedia begitu
saja masuk dalam kehidupan geng, pasti jawabannya adalah karena perbuatan
itulah yang dikehendaki teman-teman sebaya.
Identifikasi terhadap normalitas etis yang mengepungnya selalu diupayakan untuk
dipenuhi. Meskipun perekrutan anggota geng dijalankan dengan cara brutal, pasti
remaja pria bersedia mematuhinya. Mereka tidak berkeberatan ketika diminta
tampil hanya mengenakan celana dalam, ditampar, ditendang, atau diadu secara
fisik. Ini semua dianggap masa orientasi yang wajib dijalani.
Fenomena kemunculan dan merebaknya geng motor tidak hanya harus dilihat
sebagai persoalan ketertiban sosial. Aspek penting lain yang juga layak
2/3
geng : Maskulinitas Remaja Pria
dikemukakan adalah eksistensi geng motor atau berbagai jenis geng remaja pria
tidak terlepas dari internalisasi nilai peran jender yang berlangsung dalam domain
keluarga dan sekolah.
Jika maskulinitas dianggap sebagai keluhuran yang tidak terbantahkan, maka
yang terjadi adalah kehidupan remaja pria memang harus disesuaikan dengan
budaya kekerasan. Jalanan menjadi ruang yang dianggap terbaik bagi realisasi
hasrat maskulinitas. Mengendarai kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi
atau berkelahi untuk menunjukkan dominasi sosok lelaki tidak lain manifestasi
dogma maskulinitas.
Atau, jika meminjam konsep pemikiran Pierre Bourdieu (1930-2002), dogma
maskulinitas telah menjadi doxa, yakni keyakinan fundamental yang tertanam
secara mendalam yang mengarahkan gagasan dan tindakan remaja pria dalam
jalinan interaksi sosial. Perilaku tidak toleran, kebut-kebutan, atau aksi kekerasan
dinilai sebagai cara terbaik bagi remaja pria dalam membuktikan kelelakiannya.
Triyono Lukmantoro Pengajar FISIP Universitas Diponegoro
3/3
Download