Imam S. Ernawi Dirjen Penataan Ruang, Kementerian PU Gerakan Kota Lingkungan Hijau: Merespon Perubahan Iklim dan Pelestarian Imam S. Ernawi adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 10 Mei 1955, Imam menyelesaikan pendidikan dasar hingga lulus SMA di Probolinggo pada tahun 1973. Ia kemudian melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan lulus tahun 1979. Pada tahun 1991, ia mengambil studi pasca sarjana program Construction Management, dan program Engineering Policy, di Washington University St. Louis, Amerika Serikat. Bergabung dengan Kementerian PU pada tahun 1980, Imam pun mulai terlibat dalam berbagai proyek penting di Kementerian tersebut. Selama hampir 30 tahun menata karir di institusi tersebut, ia telah memegang jabatan-jabatan antara lain Staf Ahli Menteri PU Bidang Keterpaduan Pembangunan (2005-2007); Kepala Pusat Kajian Kebijakan Dep. PU (2003-2005); Direktur Bina Teknik, Ditjen. Perumahan dan Permukiman, Dep. Kimpraswil (2001-2003); Kepala Biro Perencanaan dan Informasi Publik, Dep. Kimbangwil (1999-2001); Direktur Bina Program Ditjen. Cipta Karya Dep. PU (1998-1999); dan Kepala Subdit Tata Bangunan Ditjen. Cipta Karya Dep. PU (1994-1998). Di luar itu, ia juga aktif dalam berbagai keanggotaan profesi, antara lain Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Himpunan Ahli Manajemen Konstruksi Indonesia (HAMKI), Society of American Value Engineers (SAVE), dan Construction Management Association of America (CMAA). Sebagai inisiator Gerakan Kota Hijau, ia memandang penataan kota yang merujuk pada konsep “green city” atau kota hijau, tidak sekadar mengedepankan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), melainkan juga merencanakan dan menata ulang kota secara sehat dan ekologis. Visi-misi dan harapan beliau akan realisasi Kota Hijau di Indonesia yang dampaknya dapat dirasakan seluruh masyarakat, diuraikan pada wawancara berikut ini. Apa latar belakang Kementerian PU menerapkan konsep Kota Hijau (Green Cities)? Inisiatif mewujudkan kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau. Beberapa tahun terakhir, permasalahan perkotaan semakin berat karena hadirnya fenomena perubahan iklim, yang menuntut kita semua untuk memikirkan secara lebih seksama. dan mengembangkan gagasan cerdas yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif sekaligus realistis sebagai solusi perubahan iklim. Apa visi dan misi pengembangan Kota Hijau (Green Cities) secara umum? Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya sekedar „menghijaukan‟ kota. Lebih dari itu, kota hijau dengan visinya yang lebih luas dan komprehensif, yaitu Kota yang Ramah Lingkungan, memiliki misi antara lain memanfaatkan secara efektif dan efisien sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, dan Mensinergikan lingkungan alami dan buatan, berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomi secara seimbang. Kota Hijau dapat diwujudkan apabila didukung oleh green building infrastructure dan partisipasi masyarakat (green community). Bagaimana kontribusi dua hal tersebut terhadap konsep Kota Hijau? Menurut saya, terdapat beberapa atribut untuk mewujudkan kota hijau. Yang pertama adalah perencanaan dan perancangan kota (Green Planning and Design), yang bertujuan meningkatkan kualitas rencana tata ruang dan rancang kota yang lebih sensitif terhadap agenda hijau, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Kemudian yang ke dua adalah pembangunan ruang terbuka hijau (Green Open Space) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH sesuai dengan karakteristik kota/kabupaten, dengan target RTH 30%. Selanjutnya yang ke tiga adalah Green Community, yaitu pengembangan jaringan kerjasama pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang sehat. Yang ke empat adalah pengurangan dan pengolahan limbah dan sampah (Green Waste), dengan menerapkan zero waste. Yang ke lima adalah pengembangan sistem transportasi berkelanjutan (Green Transportation) yang mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik ramah lingkungan, serta berjalan kaki dan bersepeda dalam jarak pendek. Yang ke enam adalah peningkatan kualitas air (Green Water) dengan menerapkan konsep ekodrainase dan zero runoff. Lalu yang ke tujuh adalah Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Dan yang terakhir, ke delapan, adalah Green Building, yaitu penerapan bangunan hijau yang hemat energi.Green waste, green transportation, green water, green energy, dan green building merupakan atribut yang sering kita sebut sebagai green insfrastructure. Keseluruhan atribut kota hijau tersebut tidak berdiri sendiri, namun merupakan satu kesatuan yang integral, termasuk dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi lokal sebagai dampak ikutan dari perwujudan masing-masing atribut. Dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai Kota Hijau, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) saat ini merintis Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Apa saja hambatan dan tantangan dalam mewujudkan Program Pengembangan Kota Hijau tersebut? Hambatan dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kota hijau di Indonesia dapat dicermati dalam beberapa aspek, yaitu aspek Turbinlakwas, ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola, dan spasial. Dalam aspek Turbinlakwas, ada masalah pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan yang harus diperhatikan. Pengaturan P2KH sebenarnya sudah cukup lengkap, namun masih perlu dilengkapi dengan peraturan turunan yang lebih detail, seperti Juknis, sehingga lebih mudah dalam operasionalisasinya. Lalu dalam pembinaan, P2KH terkendala karena belum optimalnya kapasitas kelembagaan dalam rangka perwujudan kota hijau di Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Rencana Tata Ruang belum sepenuhnya digunakan sebagai acuan pembangunan serta rendahnya keterlibatan stakeholders dalam penyelenggaraan RTH. Sedangkan masalah pengawasan adalah kurang optimalnya pengawasan oleh aparat. Bagaimana dengan tantangan pada aspek ekonomi, sosial dan lingkungan? Pada aspek ekonomi, P2KH menghadapi tantangan, yaitu tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30% dari luas kota. Dalam aspek sosial, P2KH menghadapi masalah antara lain kecenderungan perilaku masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif, serta kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya aspek lingkungan sehingga peran masyarakat dalam perwujudannya kota hijau rendah. Sedangkan dalam aspek lingkungan P2KH menghadapi tantangan, yaitu peningkatan jumlah penduduk perkotaan dari waktu ke waktu yang menyebabkan meningkatnya beban yang harus didukung oleh lingkungan, serta pembangunan yang cenderung berorientasi pada aspek ekonomi dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Tadi bapak menyebutkan juga ada tantangan dalam aspek tata kelola. Apa saja yang termasuk? Dalam aspek tata kelola, P2KH menghadapi masalah yaitu masih rendahnya kerjasama dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian yang terakhir, dalam aspek spasial, tantangan P2KH adalah perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang tidak terkendali, alihfungsi kawasan pertanian subur di pinggiran kota dan meningkatnya ketergantungan pada kendaraan bermotor, serta kurangnya lahan perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH. Konsep perkotaan Indonesia ke depan, “Competitive Green City” adalah suatu terobosan. Akan tetapi yang diperlukan Indonesia, terutama pada awal pelaksanaan, harus dapat membangun daya tahan (resilience) masyarakat dan pemerintah di tingkat lokal. Bagaimana menurut bapak? Menurut saya, ketahanan kota lebih tepat dikaitkan dengan kota hijau dalam konteks mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perubahan iklim dapat dilihat sebagai sebuah tantangan serius bagi kota-kota di seluruh dunia, terutama di negara berkembang, dimana urbanisasi terjadi sangat cepat. Perubahan iklim ini menimbulkan ancaman yaitu meningkatkan kerentanan, menghancurkan keuntungan ekonomi, dan menghalangi pembangunan sosial dan ekonomi. Masyarakat miskin kota akan menerima dampak paling berat, karena mereka tinggal dan bekerja di permukiman informal yang lebih terpapar oleh bahaya tersebut. Kota yang tangguh adalah kota yang mempersiapkan diri terhadap dampak iklim di masa kini dan masa mendatang dengan membatasi kekuatan dan keparahan dampak tersebut. Meskipun dampaknya tetap terjadi, sebuah kota yang tangguh mampu menanggapi dengan cepat dan efektif, dengan cara yang tepat dan efisien. Untuk itu, membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim menjadi prioritas utama bagi kota. Selain mitigasi, yang kegiatannya sebagian besar terfokus pada masa lalu, kota-kota sekarang harus memainkan peran yang lebih besar dalam adaptasi. Apa yang perlu dipersiapkan menurut bapak? Membangun ketahanan tidak hanya memerlukan pengambilan keputusan yang cepat oleh pihak berwenang, tetapi juga jaring hubungan institusional dan sosial yang kuat dan mampu menyediakan jaring pengaman bagi warga yang rentan. Melalui kegiatan perencanaan formal dan persiapan informal, kota dapat membangun kekuatannya untuk menyesuaikan diri secara efektif pada dampak iklim di saat sekarang dan di masa depan, sembari bereksperimen dan berinovasi dalam pembuatan dan perencanaan kebijakan. Kota-kota dapat menggiring kita menuju sebuah Masa Depan Hijau. Bagaimana pendapat bapak? Kota hijau masa depan (future green cities) dapat terwujud jika kota-kota yang saat ini tengah kita inisiasi sebagai kota hijau dapat mengakomodasi prinsipprinsip kota hijau, contohnya dengan diakomodasinya target pencapaian RTH sebesar 30% dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kotanya. Kota hijau yang kita cita-citakan ini adalah kota masa depan milik generasi penerus. Hal ini sejalan dengan harapan kita semua untuk mulai mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Keberhasilan upaya ini mensyaratkan adanya pendekatan kolaboratif, bukan sendiri-sendiri. bagaimana keterlibatan semua stakeholders khususnya pemerintah daerah? Prakarsa P2KH merupakan tahapan yang lebih maju dalam siklus pelaksanaan penataan ruang yang tidak berhenti pada tataran perencanaan, namun telah bergulir pada tataran implementasi rencana dalam bentuk aksi-aksi nyata pada skala kota/kabupaten sebagai satu entitas yang utuh. P2KH juga bukan sekedar himpunan sektoral, melainkan suatu program sinergis dan kolaboratif dengan inisiatif utama dari pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah pusat. Karena itu, P2KH berbasis pada Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang berlandaskan penataan ruang sebagai „panglima‟ pengembangan wilayah, paradigma kota berkelanjutan, pentingnya kemandirian daerah, peran koordinasi provinsi dan fasilitasi pusat, dan intervensi program yang berkelanjutan. Secara politis, inisiatif tersebut telah mendapat respon yang sangat positif dari pemerintah kabupaten/kota. Pada Peringatan Puncak Hari Tata Ruang 2011 pada tanggal 7-8 November yang lalu, telah dilakukan penandatanganan Piagam Komitmen Kota Hijau dan penyematan daun hijau pada pohon Kantajaura (Kanopi Kota Hijau Nusantara) oleh 60 Bupati/Walikota, sebagai bentuk komitmen bersama untuk mewujudkan kota hijau. Hal yang patut mendapatkan apresiasi ini merupakan sebuah loncatan besar bagi pemerintah daerah yang secara konkrit akan mewujudkan kota yang berkelanjutan. Apa upaya-upaya yang harus dilakukan? Perwujudan kota hijau membutuhkan dukungan dan keterlibatan sektor lain dalam rangka memenuhi tercapainya dua atribut kota hijau. Atribut yang pertama adalah sektor perhubungan dalam rangka menciptakan Green Transportation, yaitu Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, misalnya transportasi publik, jalur sepeda, dsb. Yang ke dua adalah sektor pengembangan permukiman yang meliputi Green Waste, yaitu usaha untuk melaksanakan prinsip 3R (mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah), Green Water, yaitu efisiensi pemanfaatan sumberdaya air, dan Green Building, atau bangunan hemat energi. Aspek lain yang tak kalah penting adalah sektor energi dalam rangka Green Energy, yaitu pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. Aksi kolaboratif tersebut tentunya tidak hadir secara mekanistik semata, namun memerlukan proses yang konsisten dan sistematis, mulai dari sosialisasi, mobilisasi, persuasi, hingga implementasi, sehingga gerakan kolektif yang sebenarnya dapat terbangun. Apa harapan bapak mengenai perwujudan Kota Hijau di Indonesia? Kembali kepada judul besarnya tadi, kota hijau itu harus menjadi gerakan. Artinya semua pihak harus berperan. Tetapi gerakan itu harus bisa menjadi gerakan yang penjurunya adalah pemerintah daerah kabupaten/kota karena merekalah yang sebetulnya mendapatkan tugas dan kewenangan sesuai dengan otonomi daerah untuk mengurus kota atau wilayahnya. Sementara stakeholder atau pemangku kepentingan yang lain harus mendorong, mempercepat, meningkatkan atau memperluas. Apa kunci terciptanya Kota Hijau? Saya kira kunci sukses untuk daerah sebagai penjuru gerakan ini adalah pertama leadership daerah tersebut harus baik. Jadi walikota harus pro green. Yang ke dua, politik anggaran di daerah tersebut harus berpihak ke arah ini, apakah lewat rencana program kerja pemerintah daerah tahunan, atau dengan kepandaian/kecerdasan mereka untuk bisa mengundang masyarakat dan dunia usaha. Yang terakhir adalah adanya green community dalam upaya menciptakan critical mass. Jadi konsep Kota Hijau di sini bukan semata masalah RTH? Hijau di sini memang berarti peningkatan luasan RTH, tapi bukan semata-mata untuk memenuhi syarat 30% (sesuai UU Penataan Ruang) atau beautification, tetapi untuk mewujudkan kinerja hijau yang dapat menjawab fungsi ekologi. Memang gerakan ini perlu perjuangan. Jadi kita perlu mengedukasi agar daerahdaerah merasa butuh, konsisten dan berkomitmen untuk mengalokasikan sumber dayanya, sehingga dampak gerakan ini semakin besar. Perwujudan Kota Hijau ini harus dimulai dari mana? Yang harus dilakukan adalah mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil-kecil, dan mulai dari diri sendiri. Masyarakat merubah perilakunya untuk lebih ramah lingkungan, hemat energi, tidak konsumtif terhadap energi. Lalu pemerintah daerah (kabupaten/kota) mendukung terwujudnya kota hijau melalui prakarsa P2KH.