1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nyeri

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyeri merupakan alah satu gangguan yang sering dialami oleh banyak
orang didunia. Sekitar 50 juta orang Amerika terganggu aktivitasnya karena nyeri
(Dipiro dkk.,2005). Pembiayaan pada penanganan kasus nyeri di Amerika
meningkat hingga 635 juta dolar Amerika pada tiap tahunnya (IOM, 2011).
Hingga saat ini obat pengurang rasa nyeri atau yang sering disebut
analgetik merupakan obat yang paling sering digunakan di seluruh dunia.
Masyarakat dengan sangat mudah bisa mendapatkan obat-obatan tersebut baik di
warung maupun apotek tanpa menggunakan resep dokter. Akan tetapi, obatobatan analgetik tersebut belum tentu aman, terlebih jika digunakan dalam jangka
waktu panjang. Di Amerika sekitar 21% angka kejadian toksisitas obat merupakan
akibat dari penggunaan obat-obat golongan analgetik non narkotik (Gracia, 2012).
Pada saat ini salah satu obat analgetik-antipiretik yang sering digunakan adalah
asetaminofen/parasetamol. Parasetamol juga sering digunakan untuk mengatasi
nyeri sentral. Menurut Burian dan Geisslinger (2005), dosis NSAID yang
dibutuhkan untuk mengatasi nyeri sentral cukup besar. Dosis parasetamol oral
yang digunakan untuk mengatasi nyeri sentral adalah 1000 mg. Salah satu efek
samping dari parasetamol adalah hepatotoksik. Apalagi jika digunakan dalam
dosis besar, potensi efek hepatotoksik yang terjadi juga akan semakin besar.Oleh
karena itu, penemuan obat analgetik yang relatif aman perlu dilakukan
1
2
Senyawa MH2011 {1-(4-aminofenil)-3-(4-hidroksifenil)urea} merupakan salah
satu senyawa modifikasi parasetamol yang telah didaftarkan ke ditjen HAKI
dengan NPP P00201200964 dengan Inventor Drs. Hari Purnomo, M. S., Apt dan
Maulana Tegar A. N dan memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibanding
parasetamol. Berdasarkan molecullar docking, aktivitas analgetik ini dapat
diketahui dari kestabilan ikatan senyawa MH2011 dengan reseptor COX-2.
Reseptor COX-2 ini berperan aktif dalam pembentukan prostaglandin sebagai
mediator nyeri dari asam arakidonat. Peran dari reseptor COX-2 adalah pada saat
pembentukan prostaglandin, native ligand akan berikatan dengan reseptor COX-2
sehingga akan mengaktifkan pembentukan prostaglandin.
Dilaporkan bahwa senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi
parasetamol dengan memodifikasi gugus alkil yang terikat pada C karbonil.
Gugus alkil (CH3) yang terikat pada C karbonil digantikan oleh gugus amina yang
terikat pada aminofenil. Jika dilihat dari hasil molecullar docking senyawa
MH2011, senyawa ini memiliki potensi daya analgetik yang kuat, sehingga tidak
mustahil jika dilakukan penelitian mengenai efeknya pada susunan syaraf pusat
sebagai analgetik sentral. Jika dilihat dari struktur kimia senyawa MH2011 lebih
non polar dibandingkan parasetamol dan diketahui nilai log P dari MH2011 lebih
besar dibandingkan parasetamol, yaitu masing-masing 2,73 dan 0,28 sehingga
kemungkinan besar daya analgetik sentralnya juga lebih baik dibandingkan
parasetamol. Hal ini dikarenakan, semakin non polar sebuah senyawa maka
kelarutannya dalam darah akan semakin baik dan semakin mudah menembus
3
sawar otak. Daya analgetik sentral MH2011 pada nyeri kali ini dievaluasi dengan
menggunakan rangsang panas yaitu dengan metode hot-plate.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam
pengembangan MH2011 sebagai obat analgetik baru. Tidak mustahil, senyawa
baru ini juga mampunyai efek lain selain sebagai analgetik, sehingga perlu
dilakukan pengembangan penelitian mengenai efek farmakologi dari senyawa
modifikasi parasetamol ini.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
Apakah MH2011 mempunyai daya analgetik sentral dan berapa ED50 MH2011
sebagai analgetik pada mencit jantan galur Balb/C dengan metode hot-plate?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya analgetik sentral dari
senyawa MH2011 dengan metode hot-platedan mengetahui berapakah nilai ED50
MH2011 sebagai analgetik sentral pada mencit jantan galur Balb/C. Setelah
diketahui ED50 pada hewan uji, kemudian dosis ED50 tersebut bisa dikonversikan
ke dosis manusia.
4
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Nyeri
Nyeri dapat didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan. Baik nyeri akut maupun
kronis merupakan fungsi pertahanan (survival function), yaitu dengan cara
mengarahkan tubuh untuk memberikan refleks dan sikap protektif terhadap
jaringan yang rusak sehingga sembuh.Nyeri timbul bilamana jaringan sedang
tertusuk (Guyton, 1994) .
Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan kimiawi, mekanis,
kalor dan listrik, yang dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan
dan melepaskan mediator-mediator nyeri. Mediator-mediator penting yang terlibat
pada proses terjadinya nyeri adalah histamin, serotonin (5-HT), plasmakinin
(antara lain bradikinin) dan prostaglandin. Senyawa-senyawa ini kemudian akan
merangsang reseptor nyeri (nosiseptor) yang terletak pada ujung-ujung saraf bebas
di kulit, selaput lendir, dan jaringan-jaringan (organ-organ) lain (Tjay dan
Rahardja, 2002) .
Secara klinis, nyeri dapat dikatakan sebagai nyeri nosiseptif jika proses
nyeri dipengaruhi oleh adanya aktivasi sistem nosiseptif karena adanya kerusakan
jaringan. Menurut Dipiro dkk. (2005) ada 4 tahap terjadinya nyeri, yaitu :
a. Stimulasi
Sensasi nyeri dimulai dari perangsangan reseptor nyeri oleh rangsangan
mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan tersebut (noxious stimuli) akan
merangsang pelepasan mediator-mediator nyeri antara lain bradikinin, leukotrien,
5
serotonin, histamin, prostaglandin, K+,dan substansi P (Dipiro dkk., 2005).
Pelepasan satu atau lebih mediator-mediator tersebut tidak hanya akan
merangsang ujung saraf nyeri kemosensitif tetapi juga sangat menurunkan
ambang untuk stimulasi reseptor nyeri mekanosensitif dan termosensitif (Guyton,
1994).
Ambang
rasa
nyeri
adalah
intensitas
rangsang
terkecil
yang
akanmenimbulkan sensasi nyeri bila rangsang tersebut dikenakan untuk waktu
yang lama (Guyton, 1994).
b.
Transmisi
Adanya mediator-mediator nyeri akan mengubah permeabilitas membran
neuronal, menyebabkan influks natrium dan efluks (mengeluarkan) kalium,
sehingga terjadi depolarisasi membran. Impuls elektrik tersebut kemudian
ditransmisikan ke medula spinalis melalui dua macam serabut saraf yaitu serabut
A bermielin dan serabut C tidak bermielin.
Serabut saraf A bermielin sering terlibat dalam impuls elektrik yang
disebabkan oleh rangsang mekanis dan panas. Impuls akan ditransmisikan dari
medula spinalis ke bagian
dorsal horn. Serabut A akan melepaskan
neurotransmiter berupa asam amino seperti glutamat, yang akan mengaktifkan
reseptor α-amino-3-hidroksi-5-metilisoxazo-1,4-asam propionat (AMPA) yang
berada di dalam medula spinalis (Koda-Kimble dan Young, 2001). Transmisi
pada serabut ini kemudian menghasilkan sensasi nyeri yang tajam dan akan
memberi sinyal terhadap adanya bahaya atau luka. Respon dari sinyal ini berupa
reflek seperti menarik tangan atau kaki untuk menghindari luka yang lebih
parah.Serabut C tidak bermielin dan ukurannya lebih kecil daripada A .
6
Serabut C
sering berperan dalam proses menghantarkan impuls
rangsang mekanis, panas dan kimia. Serabut C juga berakhir di dorsal horn,
melepaskan neurotransmiter berupa asam amino glutamat dan aspartat. Selain itu
serabut C ini juga melepaskan peptida lain yaitu substansi P, neurokin A,
somatostatin, galakin dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Transmisi
impuls melalui serabut C akan menghasilkan nyeri lemah, aching, rasa seperti
terbakar dan lokasi nyeri susah ditentukan. Jenis nyeri ini dikenal sebagai nyeri
kedua karena muncul setelah nyeri pertama (Koda-Kimble dan Young, 2001).
Setelah dorsal horn teraktivasi, kemudian impuls diteruskan ke talamus lalu ke
bagian korteks otak dan daerah otak lain untuk diproses.
c. Persepsi Nyeri
Merupakan persepsi terhadap transmisi impuls nyeri. Pada tahap ini
sesorang akan merasakan nyeri atau sakit. Otak mungkin hanya menerjemahkan
beberapa jenis signal nyeri, namun perlu diingat bahwa persepsi nyeri tidak hanya
melibatkan proses nociceptive tetapi juga proses emosional dan psikologis
(Dipiro dkk., 2005).
d. Modulasi
Modulasi informasi nyeri terjadi sangat cepat. Neuron dari talamus dan
otak akan melepaskan neurotransmiter inhibitori, seperti norepinefrin, serotonin,
GABA, glisin, endorfin, dan enkefalin, yang akan mengeblok neurotransmiter
eksitatori seperti substansi P (Koda-Kimble dan Young, 2001).
7
a). Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan durasinya, nyeri dibagi menjadi :
1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus nosiseptif karena
perlakukan atau proses penyakit atau fungsi abnormal dari otot atau visera.
Biasanya nyeri ini mudah dideteksi, lokasinya jelas, dan sebatas kerusakan
jaringan.
Sensasi nyeri akut akan segera hilang atau berkurang jika penyebabnya
dihilangkan. Namun terkadang dalam kasus-kasus tertentu (operasi dan trauma)
nyeri yang tidak diobati atau pengobatan yang tidak adekuat dapat menyebabkan
takikardi, takipnea, peningkatan tekanan darah, dan penurunan kapasitas paruparu (Koda-Kimble dan Young, 2001), sehingga hal tersebut akan mempengaruhi
kenyamanan penderita.
2. Nyeri kronis
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari satu bulan atau
diatas waktu yang seharusnya perlukaan mengalami penyembuhan. Yang
termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten yaitu nyeri yang menetap untuk
waktu yang lama atau nyeri kambuhan yaitu nyeri yang kambuh dengan interval
tertentu. Sensasi nyeri berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyebab nyeri ini
mungkin neurogenik, nociceptic, psikis, atau idiopatik. Seringkali nyeri ini tetap
dirasakan penderita meskipun penyebabnya sudah dihilangkan.
Nyeri kronis seringkali menyebabkan penurunan kualitas hidup,
keterbatasan fungsional, penurunan spiritual, psikologis, dan kenyamanan juga
8
seringkali menimbulkan gangguan nafsu makan, tidur, bahkan depresi. Penderita
sering kali merasakan hidupnya tidak bebas dari rasa sakitnya dan mungkin terus
terjadi hingga meninggal (Koda-Kimble dan Young, 2001).
b). Mengatasi nyeri dengan obat
Untuk mengatasi nyeri dengan obat, terdapat beberapa jalur yang
kemungkinan dapat ditempuh antara lain sebagai berikut (Mutschler, 1991) :
1) Mencegah stabilisasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis
prostaglandin dengan analgetika yang bekerja secara perifer.
2) Mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai
anestesi permukaan atau anestesi infiltasi.
3) Menghambat penghantaran rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan
anestesi konduksi.
4) Meringankan atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat
atau dengan obat narkosis.
5) Mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilisia,
neuroleptika, antidepresan).
2. Analgetik
Analgetik adalah obat atau senyawa yang digunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yakni
analgetik non-narkotik (misalnya: parasetamol,asetosal) dan analgetik narkotika
(misalnya:morfin). Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa
nyeri.Rasa nyeri ini diakibatkan oleh terlepasnya mediator nyeri seperti:
9
bradikinin, prostaglandin, dll dari jaringan yang rusak kemudian merangsang
reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun di tempat lain.
Penggunaan analgetika yang berlebihan, terutama ketika dipakai dalam
periode waktu yang lama, bisa menyebabkan masalah kesehatan seperti penyakit
ginjal dan hati (Wilmana, 1995).
a.
Analgetik narkotik
Senyawa-senyawa golongan ini memiliki daya analgetik yang kuat
sekali dengan titik kerja di susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya
mengurangi kesadaran (sifat yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan
perasaan
nyaman
(euforia),
mengakibatkan
toleransi
dan
habituasi,
ketergantungan fisik dan psikis dengan gejala-gejala abstinensi bilapenggunaan
dihentikan (Tjay dan Rahardja, 2002).
Berdasarkan
mekanisme
kerjanya,
analgetika
narkotik
dapat
digolongkan menjadi tiga macam yaitu (Tjay dan Rahardja, 2002):
1) Agonis opiat, dapat menghilangkan rasa nyeri dengan cara mengikat reseptor
opioid pada sistem saraf. Contoh: morfin, kodein, heroin, metadon, petidin, dan
tramadol.
2) Antagonis opiat, bekerja dengan menduduki salah satu reseptor opioid pada
sistem saraf. Contoh: nalokson, nalorfin, pentazosin, buprenorfin dan nalbufin.
3) Kombinasi, berkerja dengan mengikat reseptor opioid, tetapi tidak
mengaktivasi kerjanya dengan sempurna.
10
b. Analgetik Non-narkotik
Obat-obat ini sering disebut golongan obat analgetika-antipiretik atau Non
Steroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) (Siswandono dan Soekardjo, 1995)
juga dinamakananalgetika perifer, karena tidak mempengaruhi susunan saraf
pusat, tidak menurunkankesadaran, ataupun mengakibatkan ketagihan. Semua
analgetika perifer memiliki sifat antipiretik yaitu penurunan panas pada kondisi
demam. Sebagian besar efek samping dan efek terapinya berdasarkan atas
mekanisme penghambatan biosintesis prostaglandin. Mekanisme kerjanya sebagai
analgetik yaitu dengan jalan menghambat secara langsung dan selektif enzimenzim yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin, seperti siklooksigenase
sehingga mampu mecegah stimulasi reseptor nyeri.
Obat-obat golongan analgetika ini dapat dibagi menjadi 4 kelompok yaitu :
1).Golongan salisilat
:
natrium
salisilat,
asetosal,
salisilamid,
dan
benorilat.
2).Turunan p-aminofenol
: fenasetin dan parasetamol.
3).Turunan pirazolon
: antipirin, aminofenol, dipiron, dan asam difluminat
4).Turunan antranilat
: glafenin, asam mefenamat, dan asam difluminat
(Tjay dan Rahardja, 2002)
3.
Parasetamol
Parasetamol dengan nama kimia N-4-hidroksifenil asetamida bersifat
mudah larut dalam air, sangat larut dalam air panas. Larut dalam methanol, etanol,
dimetilformamida, etilen diklorida, aseton, etil asetat. Kelarutan baik dalam eter.
Praktis tidak larut dalam petroleum eter, pentana, benzena.
11
Parasetamol mempunyai aktivitas sebagai analgetik dan antipiretik
dengan sedikit efek anti-inflamasi (Chaerun, 2005). Parasetamol bekerja dengan
jalan menghambat sintesis prostaglandin pada susunan saraf pusat. Hal ini
menerangkan efek analgetik dan antipiretiknya. Efeknya kurang terhadap
siklooksigenase perifer, yang mengakibatkan aktivitas anti-inflamasinya lemah.
Parasetamol memiliki rumus struktur seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
BM 151, 16
Gambar 1. Struktur Kimia Parasetamol
Parasetamol merupakan obat yang tidak selektif pada penghambatan
siklooksigenase 1 dan 2 karena obat ini tidak memiliki aktivitas anti-inflamasi dan
tidak termasuk NSAID (Davies, 2004). Obat ini menghambat siklooksigenase 3.
Enzim siklooksigenase 3 ini lebih berperan pada proses stimulasi nyeri dan
kenaikan suhu tubuh, sehingga obat-obat analgetik-antipiretik cenderung
menhambat siklooksigenase 3 (Candrasekharan, 2002). Meskipun tidak tergolong
NSAID, beberapa penelitian membuktikan bahwa Parasetamol memiliki efek
antinosiseptif, akan tetapi mekanisme seluler efek antinosiseptifnya juga belum
diketahui pasti (Mallet dkk., 2008).
Parasetamol cepat diabsorpsi dalam saluran cerana. Metabolisme lintas
pertama yang bermakana terjadi pada sel lumen usus dan hepatosit. Pada kondisi
normal, parasetamol dikonjugasi di hati menjadi bentuk glukoronida atau
12
metabolit sulfat yang tidak aktif. Parasetamol dan metabolitnya diekskresikan ke
dalam urin. Parasetamol dimetabolisme di hati melalui reaksi fase II (reaksi
konjugasi glukoronidasi dan sulfatasi) dengan persentase metabolisme 60-90%
yang lebih besar pada fase ini dibandingkan pada fase I (enzim sitokrom P-450,
isoenzim CYP2E1).
4. MH2011{1-(4-aminofenil)-3-(4-hidroksifenil)urea}
Senyawa MH2011 {1-(4-aminofenil)-3-(4-hidroksifenil)urea} merupakan
salah satu senyawa modifikasi parasetamol dan berdasarkan molecullar docking
memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibanding parasetamol.
Gambar2.Struktur senyawa 1-(4-aminofenil)-3-(4-hidroksifenil)urea
Wujud
Warna
Bau
Rasa
Titik lebur
: Kristal
: hitam mengkilap
: tidak berbau
: Pahit
: 208-209°C
Diketahui bahwa senyawa MH2011 memilki ikatan yang lebih stabil
berikatan dengan COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, hal ini terlihat dari
score docking bahwa senyawa MH2011 memiliki nilai yang lebih rendah yaitu
13
(-95,396) daripada parasetamol (-67,4556) untuk berikatan dengan COX2
sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa MH2011 lebih mudah berikatan dengan
COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, dengan kata lain memiliki aktivitas
sebagai analgetika yang lebih poten (Purnomo dan Tegar, 2012)
Aktivitas analgetik yang lebih poten ini dapat dilihat dari kestabilan
ikatan senyawa MH2011 dengan reseptor COX-2. Reseptor COX-2 ini berperan
aktif dalam pembentukan prostaglandin sebagai mediator nyeri dari asam
arakidonat. Pada saat mengalami luka, dinding sel akan rusak sehingga fosfolipid
oleh enzim Fosfolipase-A2 dapat diubah menjadi asam arakidonat sebagai
perkursor terbentuknya prostaglandin. Peran dari reseptor COX-2 adalah pada saat
pembentukan prostaglandin, native ligand akan berikatan dengan reseptor COX-2
sehingga akan mengaktifkan pembentukan prostaglandin. Prostaglandin inilah
yang akan menjadi mediator nyeri (Neal, 2006).
Tabel I. Perbandingan score docking antara parasetamol dengan senyawa MH2011
Score Docking
Parasetamol
1-(4-aminofenil)-3-(4hidroksifenil)urea
COX-1 (1EQH)
-65.6195
COX-2 (3PGH)
-71.0422
COX-2 (6COX)
-67.4556
-90.3254
-94.1493
-95.396
Aktivitas senyawa MH2011 sebagai analgetika juga diperkuat dengan
melihat interaksi antara senyawa MH2011dengan COX-2 (6COX). Dengan virtual
screening dapat diketahui jumlah ikatan senyawa MH2011 dengan asam amino
yang terdapat pada protein COX-2. Pada gambar 3 dan gambar 4 terlihat bahwa
senyawa MH2011 memiliki jumlah ikatan asam amino yang lebih banyak (6
14
ikatan) dibandingkan parasetamol (5 ikatan) dalam interaksinya terhadap COX-2.
Sehingga dengan kata lain senyawa MH2011 memiliki ikatan yang lebih kuat dan
lebih stabil dibandingkan parasetamol dalam aktivitasnya sebagai inhibitor
kompetitif COX-2. Semakin kuat ikatan antara obat dan reseptor,akan
meningkatkan aktivitas obat terhadap reseptor.
Gambar 3. Interaksi MH2011 dengan COX-2 (6COX) di MOE
Gambar 4. Interaksi parasetamol dengan COX-2 (6COX) di MOE
5.
Metode dan penetapan daya analgetik
Skrining untuk menetapkan aktivitas analgetik suatu senyawa baru sangat
penting dilakukan, tidak hanya untuk mengetahui seberapa besar aktivitas
15
senyawa tersebut tetapi juga memungkinkan ditemukannya aktivitas lain,
sehingga metode yang digunakan sangat mempengaruhi hasil dan dapat
membantu menentukan jenis analgetika pada senyawa tersebut, apakah termasuk
golongan narkotik atau non-narkotik.
Beberapa metode yangdigunakan untuk pengujian daya analgetik
a. Metode Hot-plate
Metode ini merupakan metode yang seringkali digunakan untuk
mengevaluasi daya analgetika sebuah senyawa. Metode hot-plate pertama kali
dikenalkan oleh Eddy dan Leimbach (1953). Rangsang nyeri yang digunakan pada
metode ini berupa hot-plate yang panas dengan suhu suhu 55 ± 0,5 ºC dimana
kaki mencit diletakkan ke atas hot-plate, maka nanti mencit akan merasakan nyeri
panas yang ditandai dengan mencit mengangkat kakinya atau lari diatas hot-plate
dan menjilati kakinya (Eddy dan Leimbach, 1953).Respon yang diamati adalah
lamanya waktu latensi yaitu waktu yang diperlukan sejak mencit diletakkan diatas
hot-plate sampai menggetarkan, menjilati, atau sampai melompat.
b. Metode Rangsang Kimia
Metode ini
merupakan metode pengujian daya analgetik yang
disebabkan oleh rangsang kimia. Pada metode ini rangsang kimia akan
memberikan rasa nyeri yang disebabkan karena adanya pemberian zat kimia. Zat
kimia yang sering digunakan untuk menginduksi respon nyeri adalah senyawa
asam, misalnya asam asetat glasial. Metode ini cukup peka untuk pengujian
analgetika menggunakan senyawa dengan daya analgetik lemah. Pemberian
senyawa analgetik akan mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri sehingga
16
respon nyeri akan berkurang. Respon nyeri dari hewan uji ditandai dengan geliat.
Frekuensi geliat dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakan.
Senyawa pembanding yang biasa digunakan dalam metode ini adalah analgetik
non narkotik, yaitu asetosal atau sodium asetil asetat (Mutschler, 1991).
c.
Metode Rangsang Mekanis
Metode ini sering digunakan, adalah metode Randall-Sellito. Alat yang
digunakan adalah analgesimeter yang dirangsang untuk menjalankan uji obat-obat
analgesik secara tepat dan cepat pada telapak kaki tikus normal atau yang terkena
radang. Alat ini mempunyai prinsip kerja memberikan penambahan tekanan pada
kecepatan konstan. Tekanan dikenakan pada telapak kaki tikus. Besarnya tekanan
dicatat pada saat tikus merasakan nyeri akibat rangsang tekanan tersebut, yang
ditandai dengan tikus menarik telapak kaki untuk melepaskan diri dari penekan
(Mutschler, 1991).
E. LANDASAN TEORI
Senyawa MH2011 merupakan salah satu modifikasi parasetamol yang
memiliki aktivitas analgetik yang lebih poten dibandingkan parasetamol. Aktivitas
analgetik ini dapat diketahui dari kestabilan ikatan senyawa MH2011 dengan
reseptor COX-2. Sedangkan Parasetamol sendiri telah banyak digunakan sebagai
analgetik-antipiretik, dan beberapa penelitian menyebutkan Parasetamol memiliki
efek antinosiseptif meskipun dengan dosis yang lebih besar.
Diketahui bahwa senyawa MH2011 memilki ikatan yang lebih stabil
berikatan dengan COX-2 dibandingkan dengan parasetamol, hal ini terlihat dari
score docking bahwa senyawa MH2011 memiliki energi yang lebih rendah yaitu
17
(-95,396) daripada parasetamol (-67,4556) untuk berikatan dengan COX-2
sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa MH2011 membutuhkan energi yang
lebih kecil dibandingkan parasetamol untuk berikatan dengan COX-2, dengan
kata lain memiliki aktivitas sebagai analgetika yang lebih poten. Selain itu sifat
kepolaran dari senyawa MH2011 rendah, dengan demikian kemungkinan senyawa
tersebut untuk menembus sawar otak akan lebih tinggi dan aktivitas sebagai
analgetik sentral juga akan muncul.
F.
HIPOTESIS
MH2011 mempunyai daya analgetik sentral dengan metode hot-plate pada
mencit jantan galur Balb/C.
Download