Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Anak Penderita Infeksi

advertisement
Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Anak Penderita
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Atas di Instalasi
Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara
ARTIKEL
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Oleh
UMATUS SHOLIHAH
NIM. 050112A090
PROGRAM STUDI FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
JULI, 2016
Kerasionalan Penggunaan Antibiotik pada Anak Penderita Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Atas di Instalasi Rawat Jalan RSIA
Kumalasiwi Jepara
Umatus Sholihah
Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran,
Email : [email protected]
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan masalah
kesehatan utama yang banyak ditemukan di Indonesia dan paling sering terjadi
pada anak. Penggunaan antibiotik menjadi kebiasaan rutin untuk pengobatan
penyakit infeksi anak. Pemakaian antibiotika irasional dapat membunuh kuman
yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Bahkan, berbagai penelitian
menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini berisiko menimbulkan alergi di
kemudian hari. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
mengenai kerasionalan penggunaan antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas.
Metode : Jenis penelitian ini termasuk penelitian survey deskriptif menggunakan
pendekatan retrospektif, dengan jumlah sampel 85 yang diambil secara simple
random sampling. Analisis data menggunakan program Statistic Package for the
Social Science (SPSS). Analisis univariat dengan distribusi frekuensi.
Hasil : Jenis antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA sudah tepat
(94,1%), kombinasi antibiotik sudah tepat (100%), bentuk sediaan antibiotik
sudah tepat (100%), dosis antibiotik sudah tepat (45,9%), frekuensi pemberian
antibiotik sudah tepat (57,6%), lama pemberian antibiotik berdasarkan buku
pedoman dari Depkes “Pharmaceutical Care untuk Infeksi Saluran Pernafasan”
tidak tepat (100%), tetapi berdasarkan Standart Operational Procedure (SOP)
Rumah Sakit sudah tepat (100%). Mayoritas penggunaan antibiotik pada
pengobatan ISPA bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara
tidak rasional (56,5%).
Simpulan : Penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA bagian atas di Instalasi
Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara tidak rasional (56,5%), dilihat dari
ketidaktepatan dari dosis (54,1%) dan frekuensi (42,4%).
Saran : Diharapkan dosis pada bentuk sediaan serbuk terbagi ditulis dalam
bentuk milligram agar dosis yang diberikan lebih tepat dibandingkan bila ditulis
dalam bentuk per tablet yang digunakan.
Kata kunci : Kerasionalan, Antibiotik pada Anak, Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) Bagian Atas
Kepustakaan : 55 (2002-2015)
ABSTRACT
Background : Acute Respiratory Infections (ARI) is a major health problem that
is commonly found in Indonesia and most often occurs in children. The use of
antibiotics becomes a regular habit for the treatment of pediatric infectious
disease. Irrational use of antibiotics can kill good and useful germs that exist
within our bodies. In fact, various studies show that giving antibiotics at an early
age may create risk of allergies later in life. Objectives : This study aimed to get
description of the rational use of antibiotics in children with upper Acute
Respiratory Infection (ARI).
Method : This study was a descriptive survey using a retrospective approach,
with the samples of 85 taken by simple random sampling. Data analysis used
Statistic Package for the Social Science (SPSS) for windows. Univariate analysis
used frequency distribution.
Results : The type of antibiotic given to treat ARI is correct (94,1%), the
combination of antibiotics is correct (100%), the dosage form of antibiotics is
correct (100%), the dose of antibiotics is correct (45.9%), the frequency of
antibiotics is correct (57.6%), the duration of antibiotic treatment based on
guidebook of Depkes "Pharmaceutical Care for Respiratory Infection" is not
correct (100%), but based on the Standart Operational Procedure (SOP) Hospital
is correct (100%). The majority of antibiotic use in the treatment of upper acute
respiratory infection in Outpatient Installation of RSIA Kumalasiwi Jepara is
irrational (56.5%).
Conclusion : The use of antibiotics in the treatment of upper respiratory infection
in Outpatient Installation of Kumalasiwi Mother and Children Hospital Jepara is
irrational (56.5%), seen from inaccuracy the parameter of dose (54.1%) and
frequency (42.4%).
Suggestion: It is expected that doses in powder dosage forms are divided written
in the form of milligram so that the dose given is more correctly than when it is
written in the form of a tablet used.
Keywords : Rationality, Antibiotics in Children, Upper Acute Respiratory
Infections (ARI)
Biliographies : 55 (2002-2015)
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi
akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai
dari hidung hingga alveoli, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
ISPA masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di
Indonesia dan merupakan penyebab kematian paling tinggi pada anak balita
(Rustandi, 2011). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan
penyakit yang sering terjadi pada anak (Rudan dkk., 2008). Menurut WHO
(2007), ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan
membunuh ± 4 juta anak setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut
terdapat di negara berkembang. Menurut Anonim (2013) pada data riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2012, di Indonesia kasus ISPA di
masyarakat diperkirakan sebanyak 10% dari populasi. Periode prevalensi
ISPA di Indonesia sebanyak 25% dan provinsi Jawa Tengah menjadi urutan
ISPA tertinggi ke-6 yaitu sebanyak 26,6%.
Penggunaan antibiotik menjadi kebiasaan rutin untuk pengobatan
penyakit infeksi anak. Antibiotik untuk populasi anak perlu memperoleh
perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan
(Darmansjah, 2008). Pemakaian antibiotika irasional dapat membunuh
kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Pemberian
antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak
terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten (Anonim,
2009). Bahkan, berbagai penelitian menunjukkan, pemberian antibiotik pada
usia dini berisiko menimbulkan alergi di kemudian hari (Nakita &
Hilmansyah, 2009).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 17 – 18 Maret
2016 di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara, didapatkan data
jumlah anak yang menderita Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) bagian atas
pada bulan Januari 2015 sampai dengan bulan Desember 2015 sebanyak 905
anak sedangkan data penderita Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) bagian
atas pada bulan Januari sampai dengan bulan Februari 2016 sebanyak 132
anak.
Meskipun kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian
atas di Jepara tidak menempati urutan pertama terbanyak di Jawa Tengah
namun belum pernah dilakukan evaluasi mengenai kerasionalan penggunaan
antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
bagian atas di Jepara khususnya di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi
Jepara sehingga penulis tertarik untuk meneliti masalah kerasionalan
penggunaan antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara dilihat
dari jenis antibiotik, kombinasi antibiotik, bentuk sediaan, dosis, frekuensi
dan lama pemberian antibiotik.
2. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai
kerasionalan penggunaan antibiotik pada anak penderita Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas di Instalasi Rawat Jalan
RSIA Kumalasiwi Jepara.
b. Tujuan Khusus
Mengetahui ketepatan jenis antibiotik, kombinasi antibiotik, bentuk
sediaan antibiotik, dosis antibiotik, frekuensi antibiotik, dan lama
pemberian antibiotik yang digunakan pada anak penderita Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas di Instalasi Rawat Jalan
RSIA Kumalasiwi Jepara.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini termasuk penelitian survey deskriptif dengan
pendekatan retrospektif, untuk mengetahui kerasionalan penggunaaan
antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian
atas yang dilihat berdasarkan data masa lampau (periode bulan Januari sampai
dengan bulan Desember 2015).
Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang menderita (Infeksi
Saluran Pernafasan Akut) ISPA bagian atas yang tercatat pada rekam medis di
Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara pada periode bulan Januari
2015 sampai dengan bulan Desember 2015 yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi yaitu sebanyak 711 anak. Berikut kriteria inklusi dan eksklusi :
1. Kriteria Inklusi
a. Rekam medis anak usia 1-10 tahun rawat jalan pada periode JanuariDesember 2015
b. Pasien anak usia 1-10 tahun rawat jalan yang menjalani pengobatan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagian atas dan mendapat
antibiotik.
2. Kriteria Eksklusi
a. Rekam medis dan resep pasien anak usia 1-10 tahun rawat jalan pada
periode Januari-Desember 2015 tidak lengkap meliputi keluhan yang
tidak ada maupun tidak dapat terbaca jelas
b. Pasien anak usia 1-10 tahun rawat jalan yang menjalani pengobatan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagian atas dengan komplikasi.
Perhitungan sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus
perhitungan Minimal Sample Size atau Lemeshow S didapatkan jumlah
sampel sebanyak 85 (Nursalam, 2013). Kemudian sampel di ambil secara acak
dari rekam medik rawat jalan yang disebut dengan metode simple random
sampling (Sugiyono, 2011).
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2016 di RSIA Kumalasiwi
Jepara. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data berupa Lembar
Pengumpul Data (LPD).
Analisis data dalam penelitian ini yaitu analisis univariat tentang
kerasionalan penggunaaan antibiotik pada anak penderita Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) bagian atas dengan distribusi frekuensi dan
persentase dari tiap variabel.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Jenis Antibiotik
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan
Antibiotik Menurut Jenis Antibiotik
Jenis Antibiotik
Tidak Tepat
Tepat
Total
Frekuensi
8
77
85
Prosentase (%)
9.4
90.6
100.0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas jenis antibiotik yang
digunakan sudah tepat (94,1%). Untuk pengobatan sinusitis mayoritas
diberikan amoksisillin sedangkan untuk pengobatan faringitis mayoritas
diberikan cefadroxil, hal ini sesuai dengan buku pedoman yang diacu yaitu
buku pedoman dari Depkes (2005) berjudul “Pharmaceutical Care Untuk
Pasien Infeksi saluran Pernafasan”.
Tabel 2. Pola Penggunaan Antibiotik Menurut Jenis Antibiotik
Jenis Antibiotik
Amoxicillin
Cefadroxil
Kloramfenikol
Cefixim
Kotrimoksasol
Jumlah
Frekuensi
49
27
5
3
1
Prosentase (%)
57,65
31,76
5,88
3,53
1,18
85
100
Amoksisilin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya
sudah terbukti khususnya pada anak serta harga yang terjangkau (Anonim,
2005). Hal ini diperkuat dengan penelitian Isnawati, dkk (2002), bahwa total
resistensi dari amoksisilin ditemukan paling rendah, yakni 1,5% dibandingkan
dengan antibiotik lainnya seperti kotrimoksazol dan eritromisin.
Meskipun demikian, masih terdapat penggunaan jenis antibiotik yang
tidak tepat sebanyak 5,9% karena penggunaan kloramfenikol pada pasien
sinusitis dan cefixim pada pasien faringitis yang tidak sesuai dengan buku
pedoman yang diacu yaitu buku pedoman dari Depkes (2005) berjudul
“Pharmaceutical Care untuk Pasien Infeksi Saluran Pernafasan”. Karena
dalam buku pedoman yang diacu dijelaskan bahwa antibiotik golongan
sefalosporin yang digunakan adalah generasi satu atau dua. Generasi ketiga,
seperti Sefoperazon, sefotaksim, seftizoksim, seftriaxon, sefotiam, sefiksim,
sefpodoksim, dan sefprozil, umunya kurang efektif dibandingkan dengan
generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap
Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Di antara sediaan
golongan ini ada yang aktif terhadap P. aeruginosa (Anonim, 2008). Cefixim
banyak digunakan untuk mengobati faringitis di Instalasi Rawat Jalan RSIA
Kumalasiwi Jepara karena tidak dilakukan pengkulturan bakteri sebelum
terapi sehingga pasien dengan kondisi yang lebih berat diberikan terapi
antibiotik dengan potensi yang lebih tinggi untuk mempercepat proses
penyembuhan.
Meskipun demikian, Cefixim berdasarkan buku panduan dari Dipiro
dkk (2008) yang berjudul Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach,
dapat digunakan untuk pengobatan sinusitis dan faringitis.
2. Kombinasi Antibiotik
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan
Antibiotik Menurut Kombinasi
Kombinasi Antibiotik
Tidak Tepat
Tepat
Total
Frekuensi
0
85
85
Prosentase (%)
0
100.0
100.0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotik yang digunakan sudah
tepat (100%) karena penggunaan antibiotik tunggal pada pengobatan ISPA
bagian atas. Hal ini sesuai dengan buku pedoman yang diacu yaitu buku
pedoman dari WHO (2003) berjudul “Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah
Sakit Kecil Negara Berkembang” yang menyebutkan bahwa terapi antibiotik
untuk pengobatan ISPA diberikan dalam antibiotik tunggal.
3. Bentuk Sediaan
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan
Antibiotik Menurut Bentuk Sediaan
Bentuk Sediaan
Tepat
Tidak Tepat
Jumlah
Frekuensi
85
0
85
Prosentase (%)
100.0
0
100.0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua bentuk sediaan antibiotik
yang digunakan sudah tepat (100%) karena diberikan dalam bentuk sirup dan
serbuk terbagi. Menurut Ansel (2005), pada umumnya bentuk cair lebih
disukai daripada bentuk padat karena pemberiannya lebih mudah, aman, dan
keluwesan dalam pemberian dosis terutama untuk anak-anak.
Tabel 5. Pola Penggunaan Antibiotik Menurut Bentuk Sediaan
Bentuk Sediaan
Serbuk Terbagi
Sirup
Jumlah
Frekuensi
76
9
85
Prosentase (%)
89,41
10,59
100
Rute pemberian obat adalah jalur obat masuk ke dalam tubuh. Rute
yang salah dapat berakibat obat yang diberikan tidak efektif. Jika obat
diberikan tidak untuk kepentingan yang darurat, obat harus diberikan secara
oral (Priyanto dkk., 2010). Antibiotika oral menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat digunakan antibiotika
parenteral (Anonim, 2011c).
4. Dosis Antibiotik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas dosis antibiotik yang
digunakan tidak tepat (54,1%), dimana pada penggunaan Amoxicillin paling
banyak tepat dosis sebanyak 45,9%, antibiotik Cefadroxil, Kloramfenikol, dan
Kotrimoksazol paling banyak underdose yaitu Cefadroxil (28,2%),
Kloramfenikol (5,9%), dan Kotrimoksazol (1,2%). Pemakaian Cefixim paling
banyak ditemui overdose sebanyak 3,5%.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan
Antibiotik Menurut Dosis
Dosis
Tidak Tepat
Tepat
Total
Frekuensi
46
39
85
Prosentase (%)
54.1
45.9
100.0
Tabel 7. Pola Penggunaan Antibiotik Menurut Dosis
Jenis Antibiotik
Amoxicillin
Cefadroxil
Kloramfenikol
Cefixim
Kotrimoksazol
Keterangan
Underdose
Tepat Dosis
Overdose
Underdose
Tepat Dosis
Overdose
Underdose
Tepat Dosis
Overdose
Underdose
Tepat Dosis
Overdose
Underdose
Frekuensi
8
39
3
24
-
Prosentase (%)
9,4
45,9
3,5
28,2
2,4
5,9
3,5
1,2
Tepat Dosis
Overdose
2
5
3
1
-
Total
85
100
-
Dosis antibiotik tersebut sesuai dengan perhitungan dosis berdasarkan
berat badan setiap anak dikali dengan dosis yang ditentukan dalam buku
pedoman yang diacu. Menurut buku pedoman yang diacu yaitu buku pedoman
dari Depkes (2005) berjudul “Pharmaceutical Care untuk Pasien Infeksi
Saluran Pernafasan”, dosis yang digunakan untuk amoksisillin sebagai
pengobatan sinusitis pada pasien anak yaitu 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3
dosis dan kotrimoksazol sebagai pengobatan sinusitis pada pasien anak 6-12
mg TMP/30-60 mg SMX terbagi dalam 2 dosis sedangkan untuk cefadroxil
pada pengobatan faringitis adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis dan
dosis cefixim pada pengobatan faringitis adalah 8 mg/kg/hari dalam dosis
tunggal ataupun terbagi dalam 2 dosis.
Begitu juga menurut Drug Information Handbook (2009), bahwa dosis
amoksisillin untuk anak yaitu 20-40 mg/kg/hari terbagi dalam 3 dosis , dosis
kotrimoksazol untuk anak 6-12 mg TMP/30-60 mg SMX terbagi dalam 2
dosis, dosis cefadroxil adalah 30 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis sedangkan
untuk dosis cefixim adalah 8 mg/kg/hari dalam dosis tunggal ataupun terbagi
dalam 2 dosis.
Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat
menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat
menimbulkan bahaya seperti resistensi yaitu tidak terganggunya sel mikroba
oleh antibiotik yang merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup.
Ini dapat terjadi apabila antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang
terlalu rendah atau masa terapi yang tidak tepat, atau menimbulkan bahaya
lain seperti suprainfeksi yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan
terhadap infeksi primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang
timbul berbeda dengan infeksi primer (Tjay & Rahardja, 2007).
Penggunaan antibiotik dengan dosis yang lebih dari dosis lazim pada
anak dapat mengakibatkan toksisitas dan penggunaan antibiotik dengan dosis
yang kurang dapat mengakibatkan resistensi pada jenis antibiotik yang
diberikan.
5. Frekuensi Pemberian Antibiotik
Tabel 8. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan
Antibiotik Menurut Frekuensi Pemberian
Frekuensi Pemberian
Tidak Tepat
Tepat
Total
Frekuensi
36
49
85
Prosentase (%)
42.4
57.6
100.0
Tabel 9. Pola Penggunaan Antibiotik Menurut Frekuensi Pemberian
Jenis Antibiotik
Amoksisillin
Cefadroxil
Kloramfenikol
Cefixim
Kotrimoksazol
Frekuensi Pemberian
2 x sehari
3 x sehari
2 x sehari
3 x sehari
2 x sehari
3 x sehari
2 x sehari
3 x sehari
2 x sehari
3 x sehari
Jumlah
Frekuensi
Prosentase (%)
49
27
5
3
1
85
57,6
31,8
5,9
3,5
1,2
100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas frekuensi pemberian
antibiotik sudah tepat (57,6%). Frekuensi pemberian amoksisilin adalah 3 kali
sehari (setiap 8 jam). Hal ini sesuai dengan buku pedoman yang diacu yaitu
buku pedoman dari Depkes (2005) berjudul “Pharmaceutical Care Untuk
Pasien Infeksi saluran Pernafasan”.
Meskipun demikian, masih terdapat frekuensi pemberian antibiotik
yang tidak tepat sebanyak 42,4% karena frekuensi pemberian dari
kotrimoksazol, cefadroxil, cefixim, dan kloramfenikol yang tidak sesuai
(diberikan 3 kali sehari / setiap 8 jam). Padahal seharusnya, frekuensi
pemberian untuk kotrimoksazol, cefadroxil, dan cefixim diberikan 2 kali
sehari (setiap 12 jam), sedangkan untuk kloramfenikol diberikan 4 kali sehari
(setiap 6 jam).
Begitu juga menurut Drug Information Handbook (2009), bahwa
amoxicillin diberikan 3 kali sehari (setiap 8 jam), kloramfenikol diberikan 4
kali sehari (setiap 6 jam), kotrimoksazol, cefadroxil, dan cefixim diberikan 2
kali sehari (setiap 12 jam).
Penisilin dan sefalosporin merupakan golongan antibiotik dengan pola
bunuh Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan
daya bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar
Hambat Minimal (KHM) kuman. Sehingga pada Instalasi Rawat Jalan RSIA
Kumalasiwi Jepara antibiotik tersebut diberikan 3 kali sehari untuk
mempertahankan kadarnya cukup lama di atas KHM.
Ketidaktepatan frekuensi pemberian antibiotik akan berpengaruh
terhadap kadar obat dalam darah. Jika frekuensi antibiotik yang diberikan
kurang dari ketentuan dalam buku pedoman yang diacu maka akan
menyebabkan kurang efektifnya terapi yang diberikan. Begitu juga, jika
frekuensi pemberiannya berlebihan maka akan menyebabkan terjadinya
toksisitas.
6. Lama Pemberian Antibiotik
Tabel 10. Penggunaan Antibiotik Menurut Lama Pemberian
Jenis Antibiotik
Amoksisillin
Cefadroxil
Kloramfenikol
Cefixim
Kotrimoksazol
Lama Pemberian
3 Hari
4 Hari
7 Hari
3 Hari
4 Hari
7 Hari
3 Hari
4 Hari
7 Hari
3 Hari
4 Hari
7 Hari
3 Hari
4 Hari
7 Hari
Jumlah
Frekuensi
45
2
2
26
1
5
3
1
85
Prosentase (%)
52,9
2,4
2,4
30,6
1,2
5,9
3,5
1,2
100
Tabel 11. Distribusi Frekuensi Ketepatan Penggunaan Antibiotik
Menurut Lama Pemberian
Lama Pemberian
Tidak Tepat
Tepat
Total
Frekuensi
85
0
85
Prosentase (%)
100.0
0
100.0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pemberian antibiotik pada
semua pasien ISPA bagian atas tidak tepat (100%), karena antibiotik diberikan
selama 3 hari sampai 7 hari dengan rincian pada antibiotik amoksisilin,
cefadroxil, cefixim dan kotrimoksazol mayoritas diberikan selama 3 hari
sedangkan pada antibiotik kloramfenikol semua diberikan selama 7 hari . Hal
ini tidak sesuai dengan buku pedoman yang diacu yaitu buku pedoman dari
Depkes (2005) berjudul “Pharmaceutical Care untuk Pasien Infeksi Saluran
Pernafasan” yang menyebutkan bahwa terapi sinusitis meliputi pemberian
antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali bila menggunakan
azitromisin. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika
dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi, sedangkan lama terapi dengan
antibiotika oral untuk pengobatan faringitis rata-rata selama 10 hari untuk
memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari.
Sinusitis jika disebabkan oleh virus, biasanya akan sembuh dengan
sendirinya dalam 10 hari (Anonim, 2012b). Faringitis bakteri yang tidak
diobati dapat sembuh dengan sendirinya dalam 3-7 hari (Merlina, 2012).
Sehingga pasien yang sudah merasa sembuh tidak kontrol kembali ke Rumah
Sakit untuk melanjutkan terapi antibiotik.
Begitu juga menurut buku pedoman dari Dipiro (2008) yang berjudul
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, juga disebutkan bahwa
terapi antibiotik untuk sinusitis direkomendasikan dalam 10-14 hari atau
setidaknya 7 hari setelah tanda dan gejala sudah terkontrol sedangkan durasi
terapi untuk faringitis karena streptococcus grup A adalah 10 hari untuk
memaksimalkan eradikasi bakteri. Meskipun demikian, terapi jangka pendek
lebih dianjurkan untuk membantu mengatasi masalah kepatuhan yang
menyebabkan kegagalan terapi. Terapi 6 hari dengan amoksisilin
menunjukkan hasil yang menjanjikan. Di samping itu, studi terbaru dengan
agen spektrum luas yang lebih baru (misalnya, azithromycin, cefuroxime,
cefprozil, cefdinir, cefixime, cefpodoxime, dan telitromisin) telah
menunjukkan hasil yang efektif hanya dengan terapi selama 5 hari. Sehingga
berdasarkan buku pedoman dari Dipiro (2008) lama pemberian antibiotik di
Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara masih masuk dalam range
lama pemberian yang dianjurkan.
Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang
seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. Pemberian obat yang
terlalu singkat dapat menyebabkan kurang maksimalnya terapi yang diberikan
dan dapat memicu terjadinya resistensi terhadap antibiotik yang diberikan.
7. Kerasionalan Penggunaan Antibiotik Pada Anak Penderita Infeksi
Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas di Instalasi Rawat Jalan RSIA
Kumalasiwi Jepara
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kerasionalan Penggunaan Antibiotik
Kerasionalan Penggunaan Antibiotik
Tidak Rasional
Rasional
Total
Frekuensi
48
37
85
Prosentase (%)
56.5
43.5
100.0
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penggunaan antibiotik
pada pengobatan ISPA bagian atas di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi
Jepara tidak rasional (56,5%) hal ini karena dosis antibiotik yang digunakan
tidak tepat (54,1%), meskipun jenis antibiotik yang digunakan sudah tepat
(94,1%), kombinasi antibiotik yang digunakan sudah tepat (100%), bentuk
sediaan antibiotik yang digunakan sudah tepat (100%), dan frekuensi
pemberian antibiotik sudah tepat (56,5%).
Pemakaian antibiotika irasional dapat membunuh kuman yang baik dan
berguna yang ada didalam tubuh kita. Pemberian antibiotika yang berlebihan
akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan
menjadi kuman yang resisten (Anonim, 2009). Ada beragam efek yang
mengancam bila anak mengonsumsi antibiotik secara irasional, di antaranya
kerusakan gigi, demam, diare, muntah, mual, mulas, ruam kulit, gangguan
saluran cerna, hingga gangguan napas. Bahkan, berbagai penelitian
menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini berisiko menimbulkan alergi
di kemudian hari. Pemberian antibiotik spektrum luas tanpa indikasi yang tepat
dapat mengganggu perkembangan flora normal usus karena dapat mematikan
bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman anaerob, serta jamur yang
digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan makanan dalam tubuh
(Nakita & Hilmansyah, 2009).
Menurut Ozkurt (2005) dan Berild (2002), penggunaan antibiotik yang
irasional akan memberikan dampak negatif, salah satunya adalah meningkatnya
kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Untuk itu, penggunaan antibiotik
yang rasional diharapkan dapat memberikan dampak positif antara lain
mengurangi morbiditas, mortalitas, kerugian ekonomi, dan mengurangi
kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik. Menurut Rudolph (2003),
penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun cara
pemberian dapat merugikan penderita dan dapat memudahkan terjadinya
resistensi terhadap antibiotik serta dapat menimbulkan efek samping. Hal-hal
yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak-anak, cara
pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan dengan
memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat
memperkecil efek samping yang akan terjadi.
Penggunaan antibiotik pada pasien anak yang terdiagnosis ISPA
perlu mendapat perhatian agar tidak terjadi ketidakrasionalan penggunaan
antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menyebabkan
masalah resistensi dan menambah biaya pengobatan.
D. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Kerasionalan Penggunaan
Antibiotik pada Anak Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Bagian Atas Di Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara periode
Januari - Desember 2015, dapat disimpulkan bahwa:
1. Jenis antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA sudah tepat
(94,1%).
2. Kombinasi antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA sudah tepat
(100%).
3. Bentuk sediaan antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA sudah
tepat (100%).
4. Dosis antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA sudah tepat
(45,9%).
5. Frekuensi pemberian antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA
sudah tepat (57,6%).
6. Lama pemberian antibiotik yang diberikan untuk mengobati ISPA
berdasarkan buku pedoman dari depkes “Pharmaceutical Care untuk
Infeksi Saluran Pernafasan” tidak tepat (100%), tetapi berdasarkan
Standart Operational Procedure (SOP) Rumah Sakit sudah tepat (100%).
7. Mayoritas penggunaan antibiotik pada pengobatan ISPA bagian atas di
Instalasi Rawat Jalan RSIA Kumalasiwi Jepara tidak rasional (56,5%).
E. UCAPAN TERIMA KASIH
Seluruh civitas akademika STIKES Ngudi Waluyo Ungaran, Ketua
Program Studi Farmasi STIKES Ngudi Waluyo Ungaran Drs. Jatmiko Susilo,
Apt., M.Kes, Dosen Pembimbing I Richa Yuswantina S. Farm., Apt., M. Si.,
Dosen Pembimbing II Dian Oktianti S.Far., Apt., M.Sc., RSIA Kumalasiwi
Jepara serta seluruh karyawan RSIA Kumalasiwi Jepara, Bapak Ibu saya
tercinta serta kakak-kakak saya.
F. DAFTAR PUSTAKA
1. Rustandi, 2011. ISPA Gangguan Pernafasan pada Anak, Panduan bagi
Tenaga Kesehatan dan Umum. Nuha Medika. Yogyakarta.
2. Rudan, dkk., 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia.
Bulletin World Health Organization. USA.
3. WHO, 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Geneva. Alih Bahasa: Trust Indonesia. Diakses dari
:http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_CDS_EPR_2007_8
bahasa.pdf. [Sitasi Tanggal 15 Maret 2016]
4. Anonim, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
5. Darmansjah, Iwan, 2008. Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Anak.
Majalah Kedokteran Indonesia Edisi 58. Jakarta.
6. Anonim, 2009. Pemberian Antibiotika Berebihan Pada Anak. Diakses dari
:https://klinikanakonline.com/2009/02/16/pemberian-antibiotika-berlebihanpada-anak/ [Sitasi Tanggal 09 Mei 2016]
7. Nakita & Hilmansyah, 2009. Dampak Penggunaan Antibiotik yang
Irasional.http://bola.kompas.com/read/2009/09/17/11223219/Dampak.Pen
ggunaan.Antibiotik.yang.Irasional [Sitasi Tanggal 09 Mei 2016]
8. Nursalam, 2013. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
9. Sugiyono, 2011. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung.
10. Anonim, 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Saluran
Pernapasan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
11. Isnawati dkk., 2002. Pola Sensitifitas Kuman dari Isolat Hasil Usap
Tenggorok Penderita Tonsilo-Faringitis Akut Terhadap Beberapa
Antimikroba Di Puskesmas Jakarta Pusat. Diakses dari :
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFile/2121/
1169 [Sitasi Tanggal 04 Juni 2016]
12. Anonim, 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
13. Dipiro, J.T., dkk, 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,
Seventh Edition. Mc-Graw Hill.
14. WHO, 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
15. Ansel, H.C., 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. UI
Press. Jakarta.
16. Priyanto dkk., 2010. Farmakologi dasar. Leskonfi. Depok.
17. Anonim, (2011c). Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Terapi
Antibiotik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
18. Aberg, J.A., Lacy,C.F, Amstrong, L.L, Goldman, M.P, and Lance, L.L.,
2009. Drug Information Handbook, 17th edition. Lexi-Comp for the
American Pharmacists Association. USA.
19. Tjay, T. H., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi ke VI. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.
20. Anonim,
(2012b).
Sinusitis.
Diakses
dari
:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sinusitis [Sitasi Tanggal 09 Juli 2016]
21. Merlina, Q.A., 2012. Pola Penggunaan Antibiotika Dalam
Penatalaksanaan Faringitis Akut di RSUD Sleman Yogyakarta Tahun
2009-2011 [Skripsi]. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.
22. Ozkurt Z, Erol S, Kadanali A, Ertek M, Ozden K, Tasyaran MA, 2005.
Changes In Antibiotic Use, Cost And Consumption After An Antibiotic
Restriction Policy Applied By Infectious Disease Specialists. Jpn J Infect
Dis. USA.
23. Berild D, Ringertz SH, Aabyholm G, Lelek M, Fosse B, 2002. Impact Of
An Antibiotic Policy On Antibiotic Use In A Paediatric Department.
Individual Based Follow-Up Shows That Antibiotics Were Chosen
According To Diagnoses And Bacterial Findings. International Journal of
Antimicrobial Agents. USA.
24. Rudolph AM., 2003. Rudolph's Pediatrics, 21st edition. McGraw-Hill.
New York.
Download