Kecerdasan Dzikrul Maut Oleh Muhbib Abdul Wahab Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adakah hubungan antara perbuatan korupsi dengan kecerdasan seseorang? Fakta empirik menunjukkan bahwa para koruptor itu umumnya berpendidikan tinggi. Artinya, mereka itu tergolong orang yang cerdas. Kalau tidak cerdas, mana mungkin mereka bisa ngakali, ngapusi, dan ngemplang uang negara atau uang rakyat. Namun jenis kecerdasan apakah yang membuat mereka itu menjadi korup? Boleh jadi, mereka itu cerdas secara intelektual, tetapi tidak cerdas secara spiritual sekaligus tidak cerdas dzikrul maut-nya. Akal yang digunakan untuk merencanakan korupsi itu adalah “akal bulus”, akal yang dijajah oleh hawa nafsu. Menurut pengamatan saya, ada satu kecerdasan “baru” yang selama ini kurang dibincangkan, yaitu kecerdasan dzikrul maut (ingat mati, mengingat kematian), padahal Rasulullah SAW sejak empat belas abad lalu sudah mengisyaratkan jenis kecerdasan ini. Kecerdasan ini sangat penting dimiliki oleh siapapun, karena semua manusia tidak ada yang bisa mengelak dari kematian. Melalui kematian, manusia melakukan “mudik ke kampung Ilahi”. Abdullah ibn „Umar ra. meriwayatkan bahwa pada suatu hari ia bersama Rasulullah Saw, lalu ada seorang sahabat Anshar datang dan mengucapkan salam kepada beliau. Setelah Rasul menjawab salam, orang itu bertanya: “Ya Rasulullah, siapa di antara orang mukmin yang terbaik itu?” Beliau menjawab: “Mukmin yang paling baik akhlaknya”. Lalu orang itu bertanya lagi: ”Siapa orang yang paling cerdas”. Beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap mempersiapkan diri setelah kematian. Mereka itulah orang yang paling cerdas”. (HR. Ibn Majah) Ternyata puncak kecerdasan yang harus dimiliki Mukmin adalah kecerdasan dzikrul maut, bukan kecerdasan intelegensi, emosi, matematika, spatial, intrapersonal, sosial, musikal, natural, dan sebagainya, seperti yang dicetuskan oleh Howard Gardner dengan teori multiple intelegencies-nya. Namun, kecerdasan dzikrul maut seringkali diabaikan, padahal kematian itu sebuah kepastian. “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya (pasti). Itulah yang dahulu hendak kamu hindari.” (QS. Qaf [50]: 19) Dalam konteks itu, Allah Swt juga berfirman: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran [3]: 185). Selagi kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Swt, maka kehidupan dunia ini semestinya tidak memperdayai kecerdasan dzikrul maut, sehingga kita lebih bersiap-siap menemui-Nya melalaui perjalanan ”pulang” yang disebut kematian. Peristiwa kematian merupakan pelajaran paling berharga. Orang yang menggunakan kecerdasan dzikrul maut-nya akan segera mendapat ”sinyal dekatnya” waktu untuk pulang menuju kampung Ilahi, sehingga jalan kehidupan yang ditempuhnya hanyalah jalan takwa dan ketaatan, bukan jalan kemunkaran dan kemaksiatan, termasuk korupsi. Kalau seseorang itu ingat mati dengan segala konsekuensinya, mestinya tidak akan pernah mencoba korupsi, apalagi menjadikannya sebagai hobi dan budaya. Jika kematian sudah menjadi ”lampu terang” yang menyinari jalan hidupnya, pastilah seseorang tidak akan pernah berpikir untuk korupsi. Oleh karena itu, kecerdasan dzikrul maut idealnya selalu dicamkan dalam diri kita, sehingga dapat menginsafkan dan menyadarkan diri kita semua bahwa kehidupan dunia ini sangat sebentar, tidak abadi, dan tidak jarang membuat banyak orang terpedaya olehnya. Menurut Syeikh ad-Daqqaq, siapa yang banyak mengingat kematian, maka Allah SWT akan memuliakannya dengan tiga hal, yaitu: menyegerakan diri untuk bertaubat, memiliki hati yang qanâ’ah (merasa cukup dan bersyukur atas rahmat dan karunia-Nya), dan menggiatkan amal ibadahnya. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki kecerdasan dzikrul maut atau melupakan dan meremehkan kematian, maka Allah akan menghukumnya dengan tiga hal, yaitu: menunda-nunda taubat, tidak mensyukuri dan tidak ridha terhadap pemberian Allah yang sedikit, dan bermalas-malasan dalam beribadah. Kecerdasan dzikrul maut juga merupakan salah satu kunci kebahagiaan hidup, karena orang yang selalu mengingat kematian pasti berupaya semaksimal mungkin untuk mengingat Allah Swt (dzikrullah). Karena itu, sungguh relevan nasehat seorang sufi bahwa jika engkau ingin merengkuh kebahagiaan sejati, ingatlah dua hal dan lupakanlah dua hal lainnya. Dua hal yang harus terus diingat adalah berdzikir kepada Allah Swt (dzikrullah) dan mengingat kematian (dzikrul maut). Sedangkan dua hal yang harus dilupakan adalah perbuatan atau jasa baik yang pernah diberikan kepada orang lain dan perlakuan buruk orang lain kepada kita. Dzikrullah dan dzikrul maut menghidupkan hati untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan merindukan surga-Nya. Sedangkan melupakan kebaikan kita kepada orang lain melatih diri kita untuk selalu ikhlas, ridha, dan bermurah hati. Melupakan keburukan orang lain terhadap kita mendidik kita untuk menjadi pemaaf, penyabar, dan penyayang, bukan pendendam dan pemarah, sehingga egoisitas dan emosionalitas menjadi tidak terkendali. Dengan demikian, melejitkan kecerdasan dzikrul maut merupakan salah satu kunci kebahagiaan dan kenikmatan spiritual yang dapat mengantarkan kita kepada husnul khâtimah. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib –karramallahu wajhah—pernah berpesan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bahwa kalian cenderung memperturutkan hawa nafsu (ittibâ’ al-hawa) dan banyak berangan-angan. Memperturutkan hawa nafsu dapat menghalanginya dari kebenaran, sedangkan panjang angan-angan itu dapat melupakan akhirat.” “Ketahuilah, lanjut Ali, bahwa dunia itu berjalan mundur, sedangkan akhirat itu berjalan maju. Masing-masing dari keduanya mempunyai warga. Karena itu, jadilah kalian warga akhirat, dan janganlah kalian menjadi warga dunia belaka. Sebab, hari ini adalah amal tanpa hisâb (perhitungan). Sedangkan esok (akhirat) adalah hisâb tanpa amal.” Ketika kematian sudah tiba, harta, keluarga, dan tahta tidak pernah dibawa ke alam baka. Yang menyertai kita semua menuju alam kubur adalah investasi amal kebaikan kita. Sudahkah kita melatih dan melejitkan kecerdasan dzikrul maut kita, sehingga kapan pun dan di manapun kita sudah bersiap diri menghadap-Nya dengan husnul khâtimah? Jika demikian, masih tertarikkah kita untuk korupsi?? Sungguh cerdas orang selalu mempersiapkan diri dengan investasi amal shalih, bukan amal salah dan salah amal, lebih-lebih korupsi, guna menemui Allah SWT dengan husnul khâtimah. Selagi masih diberikan kesempatan menghirup udara segar, kita tentu harus selalu memohon hidayah-Nya agar selalu diberikan kecerdasan dzikrul maut, sehingga kita tidak “lupa daratan” sekaligus dapat berpulang kelak ke Rahmatullah dengan husnul khâtimah. Semoga! Sumber: artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah, edisi 16-31 Mei 2014