BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Analisis Metode Z-Score Altman Metode z-score merupakan salah satu model analisis kebangkrutan multivariate. Secara garis besar, analisis kebangkrutan dapat dilakukan dengan menggunakan 2 model, yaitu dengan model univariate atau model multivariate. Model univariate memiliki keterbatasan, yaitu setiap rasio diuji secara terpisah. Oleh karena itu, dikembangkanlah model-model analisis multivariate. Metode z-score dikembangkan oleh Edward I Altman di New York. Toto (2008) menjelaskan model z-score paling awal sampai dengan model yang terakhir yang pernah dikembangkan oleh Altman, sebagai berikut: 1. Z-Score Z-score orisinal pertama kali dirumuskan oleh Altman dengan kondisi latar belakang, antara lain: a. Sampel diambil dari perusahaan manufaktur publik b. Perusahaan berlokasi di Amerika c. Dirumuskan tahun 1968 d. Jumlah sampel 66 perusahaan, terdiri dari 33 perusahaan bangkrut dan 33 perusahaan tidak bangkrut e. Jumlah rasio yang dipilih untuk ditest adalah 22 buah 5 f. Dari jumlah tersebut kemudian hanya dipilih 5 rasio yang paling kuat secara bersama berkorelasi dengan kebangkrutan Rumus Z-Score adalah sebagai berikut: Z = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5 Dimana: X1 = Working Capital/Total Asset X2 = Retained Earning/Total Asset X3 = EBIT/Total Asset X4 = Market Value of Equity/Book Value of Debt X5 = Sales/Total Asset Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut: a. Jika nilai Z-Score > 2,99, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan sehat, tidak mengalami kebangkrutan. b. Jika nilai Z-Score berada di antara 1,81 – 2,99, perusahaan berada di daerah abu-abu, artinya perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan, namun masih ada kemungkinan perusahaan dapat terselamatkan. c. Jika nilai Z-Score < 1,81, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kebangkrutan. 2. Z'-Score Karena keterbatasan dari penggunaan Z-Score yang hanya dapat digunakan untuk perusahaan publik dan manufaktur, kemudian Altman mengembangkan dua varian 6 dari Z-Score, yaitu Z'-Score dan Z”-Score. Z'-Score ditujukan untuk perusahaan non publik (private) dengan cara merumuskan kembali rasio yang digunakan, yaitu menghilangkan market value of equity dan menggantinya dengan book value of equity. Perumusan yang berubah dan sampel yang berbeda membuat hasil akhir rumus Z'-Score menjadi berbeda dengan Z-Score orisinal. Rumusnya: Z = 0,717 X1 + 0,847 X2 + 3,107 X3 + 0,420 X4 + 0,998 X5 Dimana: X1 = Working Capital/Total Asset X2 = Retained Earning/Total Asset X3 = EBIT/Total Asset X4 = Book Value of Equity/Book Value of Debt X5 = Sales/Total Asset Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut: a. Jika nilai Z-Score > 2,90, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan sehat, tidak mengalami kebangkrutan. b. Jika nilai Z-Score berada di antara 1,23 – 2,90, perusahaan berada di daerah abu-abu, artinya perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan, namun masih ada kemungkinan perusahaan dapat terselamatkan. c. Jika nilai Z-Score < 1,23, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kebangkrutan. 3. Z”-Score 7 Varian terakhir adalah Z”-Score. Pada model terakhir ini rasio sales to total asset dihilangkan dengan harapan industry effect, dalam pengertian ukuran perusahaan terkait dengan aset atau penjualan dapat dihilangkan. Sampel yang digunakan kemudian diganti dengan perusahaan dari negara berkembang (emerging market), yaitu Mexico. Rumusnya: Z = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1,05 X4 Dimana: X1 = Working Capital/Total Asset X2 = Retained Earning/Total Asset X3 = EBIT/Total Asset X4 = Book Value of Equity/Book Value of Debt Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut: a. Jika nilai Z-Score > 2,60, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan sehat, tidak mengalami kebangkrutan. b. Jika nilai Z-Score berada di antara 1,1 – 2,60, perusahaan berada di daerah abu-abu, artinya perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan, namun masih ada kemungkinan perusahaan dapat terselamatkan. c. Jika nilai Z-Score < 1,1, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kebangkrutan. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan Z”-Score sebagai alat analisis, karena menurut Toto (2008), Z”-Score relatif serbaguna dan paling memadai 8 untuk digunakan di negara Indonesia dibandingkan dengan Z-Score dan Z'-Score. Agnes (2005) menjelaskan lebih rinci mengenai masing-masing rasio yang terdapat dalam analisis diskriminan Z”-Score, sebagai berikut: 1. Rasio X1 = Modal Kerja/Total Aktiva, mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva likuid bersih dengan total aktiva. Aktiva likuid bersih atau modal kerja didefinisikan sebagai total aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun 2. Rasio X2 = Laba Ditahan/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan kumulatif dari perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif. Bias yang menguntungkan perusahaan-perusahaan yang lebih berumur ini tidak mengherankan, karena pemberian tingkat kegagalan yang tinggi kepada perusahaan yang lebih muda merupakan hal yang wajar. Bila perusahaan mulai merugi, tentu saja nilai dari total laba ditahan mulai turun. Bagi banyak perusahaan, nilai laba ditahan dan rasio X2 akan menjadi negatif. 3. Rasio X3 = EBIT/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan, yaitu tingkat pengembalian dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar 9 produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman. 4. Rasio X4 = Modal Sendiri/Total Utang, merupakan kebalikan dari rasio utang per modal sendiri (DER) yang lebih terkenal. Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya. Umumnya perusahaanperusahaan yang gagal mengakumulasi lebih banyak utang dibandingkan modal sendiri. Rismawaty (2012) menyebutkan bahwa model Z-score memiliki akurasi mencapai 95% jika menggunakan data 1 tahun sebelum kondisi financial distress, dan memiliki akurasi mencapai 83% jika menggunakan data 2 tahun sebelum financial distress. Menurut BAPEPAM (2005) dalam Ibrah (2012), kelebihan dari hasil Z-Score antara lain: a. Menggabungkan berbagai resiko keuangan secara bersama-sama b. Menyediakan koefisien yang sesuai untuk mengkombinasikan variabelvariabel independen c. Mudah dalam penerapan Masih menurut BAPEPAM (2005) dalam Ibrah (2012), kelemahan dari hasil Z-Score antara lain: a. Nilai Z-Score bisa direkayasa atau dibiaskan melalui prinsip akuntansi yang 10 salah atau rekayasa keuangan lainnya. b. Formula Z-Score kurang tepat untuk perusahaan baru yang labanya masih rendah atau bahkan masih merugi. Nilai Z-Score biasanya akan rendah. c. Perhitungan Z-Score secara triwulan pada suatu perusahaan dapat memberikan hasil yang tidak konsisten jika perusahaan tersebut mempunyai kebijakan untuk menghapus piutang di akhir tahun secara sekaligus. 2.2. Analisis Metode Springate Analisis metode Springate merupakan analisis kebangkrutan yang dikembangkan oleh Springate pada tahun 1978. Dalam penelitiannya, Springate menggunakan metode yang sama dengan Altman (1968) yaitu Multiple Discriminant Analysis (MDA). Rismawaty (2012) menyebutkan, analisis metode Springate dirumuskan oleh Springate dengan kondisi latar belakang sebagai berikut: a. Sampel yang digunakan berjumlah 40 perusahaan yang berlokasi di Kanada b. Jumlah rasio awal yang digunakan untuk ditest adalah 19 rasio c. Springate memilih 4 rasio yang dipercaya bisa membedakan antara perusahaan yang mengalami distress dan yang tidak distress Rumus analisis metode Springate (S-Score) adalah sebagai berikut: S = 1,03A+3,07B+0,66C+0,4D dimana: A = Working Capital/Total Asset B = Net Profit Before Interest and Taxes/Total Asset 11 C = Net Profit Before Taxes/Current Liabilities D = Sales / Total Asset Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut: a. Jika nilai S-Score > 0,862, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan sehat, tidak mengalami kebangkrutan. b. Jika nilai S-Score < 0,862, perusahaan dikategorikan sebagai perusahaan yang sedang mengalami kebangkrutan. Lebih lanjut, Rismawati (2012) menjelaskan bahwa metode Springate memiliki akurasi 92.5% dalam tes yang dilakukan Springate. Beberapa orang lain juga telah menguji model ini dan menemukan tingkat akurasi yang berbeda-beda. Penelitian yang telah dilakukan menggunakan sampel perusahaan yang berbeda-beda nilai assetnya. Botheras (1979) menguji model ini atas 50 perusahaan yang nilai assetnya rata-rata US$ 2,5 juta dan menemukan tingkat akurasi 88%. Sands (1980) menguji model ini pada 24 perusahaan yang rata-rata assetnya US$ 63,4 juta dan menemukan tingkat akurasi 83,3%. 2.3. Kebangkrutan 2.3.1. Pengertian Financial Distress Kebangkrutan diawali dengan adanya kondisi financial distress. Ahmad dan Herni (2010) menyebutkan beberapa macam pengertian financial distress berdasarkan dari penelitian-penelitian terdahulu, antara lain dapat diartikan sebagai berikut: 1. Jika beberapa tahun perusahaan mengalami laba bersih operasi ( net operating income) negatif, digunakan oleh Hofer (1980) dan Whitaker (1999). 12 2. Adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden, digunakan oleh Lau (1987) dan Hill, et al. (1996) 3. Arus kas hasil operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban perusahaan, digunakan oleh Karen Wruck (1990) 4. Rendahnya Interest Coverage Ratio, atau EBITDA negatif, digunakan oleh Asquith, et.al. (1991) dan Pindando, et.al. (2006) 5. Perubahan harga ekuitas atau EBIT negatif, digunakan oleh John, et.al (1992) dalam Platt (2004) 6. Stock -based insolvency yaitu kekayaan bersih negatif dan nilai asset kurang dari nilai hutang dan flow -based insolvency yaitu arus kas yang berjalan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban, digunakan oleh Altman (1993) 7. Adanya arus kas yang lebih kecil dari hutang jangka panjang saat ini digunakan oleh Whitaker (1999) 8. Perusahaan diberhentikan operasinya atas wewenang pemerintah dan perusahaan tersebut dipersyaratkan untuk melakukan perencanaan restrukturisasi, digunakan oleh Tirapat dan Nittayagasetwat (1999) 9. Negatif EBITDA Interest Coverage, Negatif EBIT, Negatif Net Income digunakan oleh Platt (2004) 10. Beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operating income negatif) dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden, digunakan oleh Almilia dan Kristijadi (2003) 11. Perusahaan mengalami delisted akibat laba bersih dan nilai buku ekuitas 13 negatif berturut-turut, serta perusahaan tersebut telah dimerger, digunakan oleh Almilia (2004) 12. Perusahaan yang selama dua tahun berturut-turut mengalami laba bersih (net income) negatif dan nilai buku ekuitas negatif, digunakan oleh Almilia (2006) Rico dan Rudy (2004) menyebutkan bahwa tanda-tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesulitan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan keuangan antara lain adalah sebagai berikut: a. Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan. b. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi. c. Harga pasar saham menurun secara signifikan. d. Penurunan total aktiva. e. Kemungkinan gagal yang besar dalam industri (nature dari industri), atau industri dengan risiko yang tinggi. f. Young company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami kesulitan di tahun-tahun awal operasinya, sehingga kalau tidak didukung sumber permodalan yang kuat akan dapat mengalami kesulitan keuangan yang serius dan berakhir dengan kebangkrutan. g. Pemotongan yang signifikan dalam dividen. 2.3.2. Penyebab Financial Distress Ahmad dan Herni (2010) menyebutkan bahwa ada tiga keadaan yang dapat menyebabkan financial distress jika ditinjau dari aspek keuangan, yaitu: 1. Faktor ketidakcukupan modal atau kekurangan modal. 14 Ketidakseimbangan aliran penerimaan uang yang bersumber pada penjualan atau penagihan piutang dengan pengeluaran uang untuk membiayai operasi perusahaan tidak mampu menarik dana untuk memenuhi kekurangan dana tersebut, maka perusahaan akan berada pada kondisi tidak liquid. 2. Besarnya beban hutang dan bunga. Apabila perusahaan mampu menarik dana dari luar, misalnya mendapatkan kredit dari bank untuk menutup kekurangan dana, maka masalah likuiditas perusahaan dapat teratasi untuk sementara waktu. Tetapi kemudian timbul persoalan baru yaitu adanya keterikatan kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga kredit. Walaupun demikian hal ini tidak membahayakan perusahaan dan masih memberikan keuntungan bagi perusahaan apabila tingkat bunga lebih rendah dari tingkat investasi harta ( Return on Asset ) dan perusahaan melakukan apa yang disebut dengan manajemen resiko atas hutang yang diterimanya. Manajemen resiko atas hutang ini sangat penting terutama apabila hutang yang diterima tidak dalam mata uang yang sama dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan. Keitdakmampuan perusahaan melakukan manajemen resiko atas hutangnya dapat mengakibatkan perusahaan harus mendapatkan resiko menderita kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi. 3. Menderita Kerugian Pendapatan yang diperoleh perusahaan harus mampu menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dan menghasilkan laba bersih. Besarnya laba bersih sangat 15 penting bagi perusahaan untuk melakukan reinvestasi, sehingga akan menambah kekayaan bersih perusahaan dan meningkatkan ROE ( Return on Equity ) untuk menjamin kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan harus selalu berupaya meningkatkan pendapatan dan mengendalikan tingkat biaya. Ketidakmampuan perusahaan mempertahankan keseimbangan pendapatan dengan biaya, niscaya perusahaan akan mengalami financial distress. 2.3.3. Pengertian Kebangkrutan Kebangkrutan (bankcruptcy) merupakan “kondisi di mana perusahaan tidak mampu lagi untuk melunasi kewajibannya” (Toto, 2008 : 177). Toto (2008) menambahkan bahwa dengan common sense, seorang analis mengetahui bahwa perusahaan yang sehat dapat dikenali dengan beberapa indikasi, antara lain: a. Laba yang tinggi, apapun ukuran labanya b. Likuiditas yang memadai c. Utang yang tidak membebani d. Arus kas yang sehat Dalam Hafiz & Dicky (2012), disebutkan bahwa beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab kebangkrutan suatu perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Faktor umum a. Sektor ekonomi Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku bunga dan 16 devaluasi atau revaluasi uang dalam hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri. b. Sektor sosial Faktor sosial yang sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan cenderung pada perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan berhubungan dengan karyawan. Faktor sosial lain yang berpengaruh yaitu kekacauan di masyarakat. c. Sektor teknologi Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang ditanggung perusahaan membengkak terutama untuk pemeliharaan dan implementasi yang tidak terencana, sistemnya tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang profesional. d. Sektor pemerintah Kebijakan pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang yang berubah, kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain. 2. Faktor eksternal perusahaan a. Sektor pelanggan Perusahaan harus mengidentifikasi sifat konsumen, kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan untuk menghindari peluang, menemukan konsumen baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah konsumen 17 berpaling ke pesaing. b. Sektor pemasok Perusahaan dan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik karena kekuatan pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan pembelinya tergantung pada seberapa besar pemasok ini berhubungan dengan perdagangan bebas. c. Sektor pesaing Perusahaan juga jangan melupakan persaingan karena kalau produk pesaing lebih diterima di masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan konsumen dan hal tersebut akan berakibat menurunnya pendapatan perusahaan. 3. Faktor internal perusahaan Faktor-faktor ini biasanya merupakan hasil dari keputusan dan kebijakan yang tidak tepat di masa yang lalu dan kegagalan menajemen untuk berbuat sesuatu pada saat yang diperlukan. Seperti terlalu besarnya kredit yang diberikan pelanggan dan manajemen yang tidak efisien. 2.3.4. Manfaat Informasi Kebangkrutan Mamduh dan Abdul (2007) menjelaskan bahwa informasi kebangkrutan bisa bermanfaat bagi beberapa pihak seperti berikut ini: 1. Pemberi Pinjaman (seperti pihak Bank). Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman, dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada. Toto (2008) menyebutkan bahwa risiko kreditor dapat dibagi terkait dengan utangnya, 18 yaitu: a. Tidak terbayarnya bunga b. Tidak kembalinya pokok utang 2. Investor. Investor saham atau obligasi yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan tentunya akan sangat berkepentingan melihat adanya kemungkinan bangkrut atau tidaknya perusahaan yang menjual surat berharga tersebut. Investor yang menganut strategi aktif akan mengembangkan model prediksi kebangkrutan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Toto (2008), investor menghadapi risiko lebih tinggi, mengingat mereka mempunyai klaim residual, yaitu lebih akhir dari kreditor. 3. Pihak Pemerintah. Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (misal sektor perbankan). Juga pemerintah mempunyai badan-badan usaha (BUMN) yang harus selalu diawasi. Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda kebangkrutan lebih awal supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal. 4. Akuntan. Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan. 5. Manajemen. Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian 19 menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai 11-17% dari nilai perusahaan. Contoh biaya kebangkrutan yang langsung adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedangkan contoh biaya kebangkrutan yang tidak langsung adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan oleh pengadilan. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan ini lebih awal, maka tindakan-tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari. 2.3.5. Masalah dalam Kebangkrutan Mamduh dan Abdul (2007) menjelaskan bahwa kesehatan suatu perusahaan bisa digambarkan dari titik sehat yang paling ekstrem sampai ke titik tidak sehat yang paling ekstrem sebagai berikut: Kesulitan keuangan (likuiditas) Tidak solvabel (hutang jangka pendek (technical insolvency) lebih besar dibanding aset) Lebih lanjut, Mamduh dan Abdul (2007) menjelaskan bahwa ada beberapa alternatif perbaikan berdasarkan besar kecilnya permasalahan keuangan yang dihadapi oleh perusahaan: A. Pemecahan secara informal 1. Dilakukan apabila masalah belum begitu parah 20 2. Masalah perusahaan hanya bersifat sementara, prospek masa depan masih bagus cara: a. Perpanjangan (Extention): dilakukan dengan memperpanjang jatuh tempo hutang-hutang b. Komposisi (Composition): dilakukan dengan mengurangi besarnya tagihan, misal klaim hutang diturunkan menjadi 70%. Kalau hutang besarnya 1.000, maka nilai hutang yang baru adalah 0.7 x 1.000 = 700 B. Pemecahan secara formal Dilakukan apabila masalah sudah parah, kreditur ingin mempunyai jamina keamanan cara: 1. Apabila nilai perusahaan diteruskan > nilai perusahaan dilikuidasi Reorganisasi: dengan merubah struktur modal menjadi struktur modal yang layak 2. Apabila nilai perusahaan diteruskan < nilai perusahaan dilikuidasi Likuidasi: dengan menjual aset-aset perusahaan 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ibrah (2012) melakukan penelitian mengenai analisis prediksi kebangkrutan pada perusahaan perbankan go public di Bursa Efek Indonesia (dengan menggunakan model Altman Z-Score). Penelitian ini dilakukan terhadap 20 perusahaan perbankan yang berada pada urutan teratas dalam perusahaan perbankan di Bursa 21 Efek Indonesia pada tahun 2008-2010. Hasilnya adalah model Altman Z-Score dapat digunakan untuk memprediksi keadaan perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia. 2. Gunardiansya (2011) melakukan analisis untuk memprediksi kebangkrutan industri baja di BEI dengan menggunakan metode z-score. Ada 4 perusahaan yang dijadikan sampel dengan menggunakan data laporan keuangan dari tahun 2004-2008. Dari hasil z-score yang diperoleh, Gunardiansya (2011) membandingkan dengan keadaan perusahaan sesungguhnya, dan diperoleh kesimpulan bahwa nilai z-score 4 perusahaan tersebut tepat mencerminkan keadaan perusahaan sesungguhnya. 3. Adriana, Azwir, & Rusli (2013) melakukan analisis prediksi kebangkrutan menggunakan metode Springate pada perusahaan Foods and Beverages yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2006-2010. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 12 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Springate dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kondisi dan kinerja suatu dan atau beberapa perusahaan. 4. Ida & Sandy (2011) melakukan analisis kebangkrutan dengan menggunakan metode Springate. Penelitian dilakukan terhadap perusahaan Gozco Plantation Tbk dan PT Bakrie Sumatra Plantation Tbk, dengan membandingkan hasil analisis rasio keuangan dan hasil analisis Springate. Dari analisis rasio keuangan yang dilakukan PT Bakrie Sumatra Plantation selama kurun waktu 2007-2009 menyatakan bahwa perusahaan terus mengalami penurunan kinerja yang 22 signifikan. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil analisis kebangkrutan model Springate yang menyatakan bahwa PT Bakrie Sumatra Plantation Tbk pada tahun 2009 berada dalam keadaan tidak sehat/menuju kebangkrutan. Dari analisis rasio keuangan yang dilakukan pada Gozco Plantation Tbk selama kurun waktu 20072009 memperlihatkan bahwa perusahaan mengalami perbaikan kinerja. Perbaikan kinerja ini diperkuat oleh hasil analisis kebangkrutan model Springate yang menyatakan bahwa Gozco Plantation Tbk pada tahun 2007 berada dalam keadaan tidak sehat/menuju kebangkrutan. Namun keadaan ini kembali membaik pada tahun 2008-2009. 5. Hafiz & Dicky (2012) melakukan analisis kebangkrutan pada perusahaan industri property dengan menggunakan model Altman Z-Score & Springate. Sampel yang digunakan adalah 6 perusahaan properti yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari periode 2005-2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil pengujian kebangkrutan perusahaan antara model Altman dan model Springate. 6. Syamsul & Atika (2011) melakukan penelitian untuk menganalisis prediktor delisting terbaik, dengan melakukan perbandingan antara The Zmijewski Model, The Altman Model, dan The Springate Model. Penelitian ini mengambil semua data delisting BEI tahun 2003-2007 kecuali data delisting bank dan juga sampel perusahaan non-delisting secara acak dengan jumlah yang sama banyak untuk kategori yang sama sebagai pembanding. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa model prediksi Altman merupakan prediktor terbaik dibandingkan dengan 23 model Zmijewski dan model Springate, tetapi selisih antara model Altman dan Springate tidak terlalu jauh. Model Springate masih memberikan hasil prediksi yang lebih baik dibandingkan dengan model Zmijewski. 7. Mila (2012) melakukan penelitian untuk menganalisis prediktor delisting terbaik, dengan melakukan perbandingan antara The Zmijewski Model, The Altman Model, dan The Springate Model.Penelitian ini menggunakan data perusahaan yang delisted di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003-2009, sebanyak 30 perusahaan. Dan sebagai pembanding atas perusahaan delisted, digunakan perusahaan yang masih terdaftar di BEI dalam jumlah yang sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa model Zmijewski lebih akurat dalam memprediksi perusahaan delisting dibandingkan dengan model Altman yang direvisi dan model Springate. 8. Rismawaty (2012) melakukan analisis perbandingan model prediksi financial distress Altman, Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Zmijewski adalah model yang paling sesuai diterapkan untuk perusahaan manufaktur di Indonesia, karena tingkat keakuratannya paling tinggi dibandingkan model prediksi lainnya. 24