Quo Vadis Pengalihan Quasi Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK: Rekomendasi Kebijakan dan Evaluasi Oleh Beny Trias Oktora, pegawai Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan* Pengalihan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK) menjadi amanat Pasal 108 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Permintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Tujuannya adalah untuk memurnikan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang hanya melaksanakan urusan daerah menjadi urusan pemerintah pusat. Setelah sekian lama pelaksanaan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, BPK RI dalam pelaksanaan audit atas pelaksanaan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan menemukan bahwa masih ada dana pemerintah pusat yang membiayai urusan daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam rekomendasinya, BPK RI menekankan untuk mengalihkan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang masih melaksanakan urusan daerah ke DAK (kegiatan DAK). Dengan pijakan legal tersebut, ada kekeliruan bersama dalam merencanakan, mengalokasikan dan mengimplementasikan urusan pemerintahan sehingga masih terjadi tumpang tindih urusan yang pada akhirnya terjadi inefisiensi dan inefektivitas keuangan publik. Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi otonomi daerah/desentralisasi mengungkapkan data dan fakta yang cukup mengejutkan semua pemangku kepentingan dari sisi keuangan negara dan memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah terancam keberlangsungannya karena urusan-urusan yang harusnya dilaksanakan oleh daerah (daerah enggan melaksanakan) justru dilaksanakan oleh pusat serta yang lebih ironis adalah adanya urusan daerah tersebut dikembalikan ke pusat. Dari sisi keuangan negara jelas berakibat inefisiensi jika ada urusan daerah yang dilaksanakan oleh pusat (dibiayai APBN) dan daerah juga menganggarkan melalui APBD. Dicermati lebih jauh atas RKA-KL tertentu terungkap bukan hanya dengan skema pendanaan melalui dekonsentrasi dan tugas pembantuan untuk membiayai urusan daerah tapi juga melalui skema pembiayaan melalui kantor pusat kementerian/lembaga yang membiayai dan melaksanakan urusan daerah. Identifikasi urusan daerah terhadap kegiatan kementerian/lembaga dengan menggunakan data RAK-KL TA 2012 menyimpan kelemahan dan moral hazzard. Hal ini bisa terjadi karena hasil identifikasi atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah pada TA 2012 tidak direncanakan dan tidak dianggarkan kembali oleh kementerian/lembaga. Yang dimaksud dengan indikasi moral hazzard adalah untuk menghindari kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah hasil identifikasi kementerian/lembaga menghilangkan kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan mengganti kegiatan lain. Mulai dari hulu yaitu dalam proses perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berpotensi untuk menjadikan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah. Sebagai akibat minimnya pengetahuan atas pembagian urusan di legislatif dan eksekutif (dalam hal ini adalah kementerian/lembaga) berimplikasi pada tumbuh suburnya pemikiran yang sifatnya sektoral tanpa mengindahkan pembagian urusan yang diatur dalam PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap bahwa walaupun penanggungjawab semua urusan pada akhirnya adalah pemerintah pusat, kementerian/lembaga terikat dengan kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah. Kementerian/lembaga akan kehilangan jumlah dana untuk program/kegiatan yang melaksanakan urusan daerah. Dengan kondisi seperti ini yang terjadi adalah sebaliknya dimana pemerintah berkomitmen untuk menjaga pelaksanakan desentraslisasi fiskal mengalami situasi yang serba sulit karena alokasi anggaran untuk pendanaan desentraslisasi fiskal menjadi terbatas karena walaupun dengan prinsip kewenangan mengikuti fungsi kementerian/lembaga memandang pendanaan atas program/kegiatan yang merlaksanakan urusan daerah dialihkan ke DAK tidak mengurangi besaran pagu anggaran. Capaian otonomi daerah/desentralisasi, yang sudah menginjak usia 10 tahun, memang masih jauh dari yang diharapkan. Tesis yang paling mahsyur tentang adanya pemerintah lokal (dibentuk dengan prinsip demokrasi) yang menciptakan kedekatan untuk menyediakan barang publik yang sesuai preferensi publik lokal (baca rakyat di daerah) sehingga menciptakan efisiensi penyediaan barang publik dan pada akhirnya adalah kesejahteraan menjadi antitesis untuk beberapa contoh kasus di Indonesia. Sebagai contoh yang cukup menguncang adalah adanya kasus gizi buruk di daerah yang dengan tesis tersebut di atas bisa langsung diatasi langsung oleh pemerintah daerah hasil dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta itu, menjadi kekhawatiran jika terjadi pengalihan besar-besaran atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Jangka waktu pengalihkan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu dimulai 2 tahun sejak tahun 2008 sudah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan BOS nya. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara optimal sehingga ada indikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta kembali pengelolaan Dana BOS. Pengambilalihan urusan daerah oleh kementerian/lembaga yang diikat dengan kontrak kinerja antara kementerian/lembaga dengan presiden dengan maksud untuk efektifitas jika dicermati bisa tetap dengan skema seperti itu dengan mengedepankan prinsip sinergi dimana kementerian/lembaga menjadi dewan komisaris yang menetapkan rencana, target dan sasaran sedangkan daerah adalah CEO yang mengimplementasikan visi dan misi. Kinerja untuk masingmasing dapat di ukur dari masing-masing tanggungjawab. Kementerian/lembaga diukur dari sisi penyusunan perencanaan, cara yang ditetapkan serta bimbingan teknis dan evaluasi yang dilaksanakan. Ukuran kinerja daerah adalah dengan pencapaian sasaran dan target yang dibebankan. Mencari solusi yang berkaitan dengan teknis memang tidak semudah untuk merubah pada tataran makro atau teori karena menyangkut dengan aturan yang berkonsekuensi atau berdampak nyata. Solusi yang tepat adalah dengan penguatan aturan DAK dengan mencari balance yang sesuai antara aspirasi daerah, prioritas nasional, target yang tercapai, akuntabilitas, kemampuan keuangan negara, sinergi pusat dan daerah serta efisiensi dan efektivitas. Rekomendasi Kebijakan Dengan kompleksitas yang tinggi dari proses pengalihan ini karena melibatkan tujuan agar Indonesia yang lebih terdesentralisasi mengingat kemajemukan yang ada, legislatif pusat dan daerah, eksekutif pusat dan daerah dan perangkat aturan yang kompleks maka rekomendasi kebijakan yang disusun adalah kebijakan yang sifatnya makro-holistik, dan mikro-teknis. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK: 1. Yang mutlak harus segera dilaksanakan adalah penyusunan kembali ataupun penegasan kembali pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah. Ini cukup beralasan karena dengan belum rampungnya pembagian urusan maka masalah tumpang tindih perencanaan, pelaksanaan urusan dan pendanaan masih terus terjadi. 2. Pengukuran kinerja atas kontrak kinerja antara kementerian dengan presiden atas urusan yang merupakan urusan daerah dapat diselesaikan dengan pembagian tugas yang spesifik sehingga ada kejelasan siapa mengerjakan apa dan ukuran kinerja dapat diukur. Sebagai contoh kementerian/lembaga menyusun rencana target urusan dan melakukan evaluasi atas pencapaian yang menjadi ukuran kinerja. Kemudian daerah mengeksekusi rencana sampai mencapai target yang ditentukan. Setelah pengalihan yang harus juga dilaksanakan adalah pendampingan ke daerah untuk melakukan bimbingan teknis dan penguatan aparatur. 3. Sinkronisasi dengan proses revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang tengah berlangsung dengan maksud agar diketahui apakah memang sudah ada alternatif solusi kemana arah pengalihan kegiatan dekonsentrasi yang sifatnya berbeda dengan kegiatan sifat kegiatan DAK serta ketentuan dana pendamping dalam skema DAK. Apakah dimungkinkan adanya DAK yang bersifat non fisik untuk menampung kegiatan dekonsentrasi yang bersifat non fisik. 4. Dari serangkaian proses pengalihan, juga terindikasi perlu adanya proses penertiban kegiatan kementerian/lembaga apakah masih melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah yang melibatkan Kemenkeu, Kemenneg PPN/Bappenas dan Kemendagri dengan alat PP No. 38/2007. 5. Yang menjadi catatan adalah untuk kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah namun tidak dapat dialihkan ke DAK karena terbentur aturan bidang DAK yang dibatasi maka dapat disimpulkan jika sudah merupakan urusan daerah maka daerah didorong untuk membiayai kegiatan tersebut yang apabila memungkinkan dapat disinkronkan dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar dana desentraslisasi. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan merupakan sikap instansi dimana penulis bekerja.