IKAN TUNA SEBAGAI SUMBER PROTEIN Dosen Pengampu : Arie Febrianto, STP,MP Disusun oleh : Yustinus Yunindra 135100300111072 blog.ub.ac.id/yustinusyunindra Dewi Ayu Ndadari 135100307111031 blog.ub.ac.id/dewiayun Widhi Sullistya 135100307111025 blog.ub.ac.id/sulistya Dina Setyo E.L 135100307111037 blog.ub.ac.id/dinasetyo Venta Hasanah M 135100307111041 blog.ub.ac.id/ventahasanah Amalia Tri O 135100307111053 blog.ub.ac.id/amaliatrioctavia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 1. Luas Areal Indonesia merupakan negara maritim dengan potensi perikanan yang sangat besar.Sekitar 70% dari luas wilayah adalah lautan, dengan cakupan area mencapai sekitar 5,8 juta km2, yang membuat garis pantai sepanjang 81.000 km dan mengelilingi lebih dari 18.000 pulau. Didukung oleh iklim dan keadaan geografisnya, Indonesia memiliki keanekaragaman dan produktivitas biota laut yang tinggi. Dari berbagai komoditas yang potensinya yang telah berhasil diidentifikasi, diperkirakan perairan Indonesia mampu memproduksi 6,4 juta ton ikan pertahun. Di antara komoditas-komoditas tersebut, banyak di antaranya yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi, misalnya tuna.Apabila dikelola dengan baik, komoditas-komoditas tersebut mampu menopang peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional secara signifikan.Selama kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir, penawaran maupun permintaan tuna cenderung terus menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan produksi tuna 2,78% .Sementara itu, permintaan komoditas tuna tersebut mengalami peningkatan masing-masing sebesar 3,02%. Komoditas Tuna (termasuk cakalang) adalah salah satu komoditas unggulan di sector perikanan. Tingkat produksi Tuna masih sangat mungkin untuk ditingkatkan meskipun pengembangan komoditas ini harus dilakukan dengan selektif karena data menunjukkan bahwa usaha penangkapan sejumlah jenis tuna, khususnya tuna besar telah menunjukkan penurunan. Daerah-daerah penagkapan tuna yang penting di Indonesia terutama di perairan kawasan timur Indonesia seperti wilayah pengelolaan perikanan Selat Makassar dan Laut Flores, wilayah pengelolaan perikanan Sulawesi Utara dan Samudera Pasifik, sedang di perairan kawasan barat Indonesia terutama di wilayah pengelolaan perikanan Samudera Hindia.Di lautan Pasifik tuna terdapat mulai dari utara Irian Jaya dan timur Australia hingga pantai Amerika. Di lautan Atlantik meluas dari pantai Amerika hingga benua Afrika. Di perairan Nusantara tuna terdapat di laut dalam seperti Laut Bali, Laut Flores, Laut Arafura, Laut Banda dan Laut Sawu serta di kedua lautan yang mengelilingi kepulauan. Di perairan Indonesia tuna jenis madidihang dan tuna mata besar didapatkan di perairan pada daerah antara 15 0 LU - 150 LS, dan melimpah pada daerah antara 0- 150 LS seperti daerah pantai selatan Jawa dan barat Sumatera. Potensi ikan pelagis besar (termasuk tuna) secara nasional mencapai 1.165,36 ribu ton.Sumberdaya tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dimasa mendatang bagi kepentingan pembangunan perikanan nasional. Dari 9 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia, semua WPP -selain WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa- sebagian besar masih memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan. Di WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa, tingkat pemanfatan sudah melebihi potensi yang ada(overfishing). Potensi ikan pelagis besar di WPP Selat Malaka mencapai 27,67 ribu ton sedangkan tingkat produksinya telah mencapai 36,27 ribu ton. Begitu pula halnya yangterjadi di WPP Laut Jawa, produksi ikan pelagis besar mencapai 137,82 ribu ton sedangkan potensinya hanya sekitar 55 ribu ton. Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industry pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru-Jakarta, Pelabuhan Ratu–Jawa Barat, Cilacap-Jawa Tengah, Benoa–Bali dan Bitung–Sulawesi Utara. Industri pengolahan dimaksud pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted); produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin) dan steak (frozen steak); dan produk dalam kaleng (canned tuna).Konsumsi tuna pada tahun 2006 sebesar 629.782 ton, diproyeksikan meningkat menjadi 694.943 ton pada tahun 2009. Sedangkan ekspor tuna pada tahun 2006 sebesar 113.293 ton, pada tahun 2009 meningkat menjadi 134.673 ton. Dengan demikian,permintaan total tuna pada tahun 2006 diproyeksikan sebesar 743.460 ton, dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 829.616 ton (Habibi,2011). 2. Kandungan Gizi Pada Ikan Tuna Ikan tuna dikenal sebagai ikan yang mempunyai kandungan protein tinggi. Sehingga wajar bila harga ikan tuna lebih mahal dibanding dengan harga ikan yang lain. Ikan tuna memiliki kadar protein yang lebih besar dari telur yaitu sebesar 43,40 g sedangkan telur hanya10,45 g (Dente, 2004 ). Selain tinggi protein, ikan tuna juga terkenal karena kandungan omega-3 yang baik untuk tubuh. Dalam 100 g ikan tuna mengandung 26 gr lemak ( termasuk omega-3) (Rasyak, 1992). Omega-3 merupakan asam lemak essensial yaitu lemak yang dibutuhkan oleh tubuh tapi tidak dapat diproduksi sendiri oleh tubuh. Omega-3 bermanfaat dalam tumbuh kembang anak, menurunkan resiko penyakit jantung dan radang pada sendi.Disamping itu, ikan tuna juga kaya akan vitamin dan mineral. Bedasarkan penelitian, dalam 100 gr ikan tuna sirip biru cukup untuk memenuhi 43,6% kebutuhan vitamin A dalam tubuh. Kadar vitamin A yang tinggi tersebut dapat membantu menjaga kesehatan mata sehingga dapat mengurangi resiko timbulnya penyakit mata. Selain mengandung vitamin A, ikan tuna juga memiliki kadar vitamin B yang tinggi. Bahkan, Vitamin B pada ikan tuna dikategorikan terbaik dengan nutrient density sebesar 6,7 dengan batas kategori sangat baik sebesar 3,4- 6,7 (Ghuffron, 2010 ). Vitamin B dan asam folat yang ada pada ikan tuna dapat menurunkan level homoseistan yaitu pemicu timbulnya penyakit jantung. Didalam ikan tuna juga terdapat zat-zat mineral berupa salenium, iodium dan kalium. Salenium bermanfaat untuk melindungi tubuh dari radikal bebas sedangakan kalium berguna untuk memeperlancar pengiriman oksigen ke otak. Ikan tuna memiliki kadar iod 28 kali lebih besar daripada ikan air tawar lainnya . Iod yang cukup dapat mencegah tubuh dari penyakit gondok. Selain itu, ikan tuna juga mengandung calsium sebanyak 4% dan fosfor sebanyak 2.5% (Rasyak, 1992 ). Bagian tuna yang banyak mengandung kalsium dan fosfor adalah tulang. Biasanya tulang tersebut dimanfaatkan menjadi tepung sehingga bisa dengan mudah dikonsumsi oleh manusia. Kalsium dan fosfor diperlukan tubuh untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi, menjaga keseimbangan asam basa serta memastikan bekerjanya fungsi otot dan saraf dalam tubuh. 3. Pohon Industri Ikan Tuna Ikan Kaleng Ikan IkanKaleng Beku Daging Hati Minyak Ikan Ikan Kaleng Tepung Ikan Ikan Kaleng Farmasi Ikan Kaleng Sirip Makanan Dari Sirip Minyak Goreng TUNA Kepala Silase Kulit Tepung Ikan Pakan Ternak Pakan Ternak Kulit Semak Barang Kulit Gelatin Farmasi Tulang Kerajinan Tulang Emulsifier 4. Perubahan Pada Ikan Tuna Menjadi Minyak Ikan 4.1 Perubahan Pasca Mortem Terdapat beberapa kelas utama penangkapan ikan di dunia, diantaranya adalah spesies domersal (ikan yang tinggal di bawah laut); spesies pelagik kecil (ikan-ikan kecil yang berenang di permukaan); spesies pelagik besar (ikan besar yang berenang di permukaan); spesies anadromus (ikan-ikan yang berpindah dari laut ke air tawar untuk bertelur); spesies crustacea (seperti udang dan kepiting); jenis moluska (seperti kerang); jenis cephalopoda (seperti cumicumi); dan jenis-jenis lainnya seperti ubur-ubur dan krill. Sementara ikan tuna termasuk ke dalam spesies pelagik besar dikarenakan ikan tuna termasuk jenis ikan besar yang berenang di permukaan. Kira-kira 2/3 dari hasil penangkapan keseluruhan digunakan sebagai konsumsi yang dibagi menjadi bahan pangan dalam segar, dikalengkan, dikeringkan dan diasinkan. Sementara sisanya yang 1/3 digunakan sebagai tepung ikan untuk pakan ternak dan pembuatan minyak ikan (Buckle, 2010). Segera setelah ikan tertangkap lalu mati, maka akan terjadi perubahan biokimia pasca mortem pada ikan. Perubahan-perubahan ini dapat terlihat pada daging ikan. Secara fisik daging ikan mula-mula akan kehilangan glastisitasnya kemudian akan kejang, kaku lalu menjadi lemas kembali. Fase pasca mortem ini dibagi menjadi tiga fase yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor (Muchtadi, 2010). Pada fase pre rigor konsentrasi ATP masih cukup tinggi dan energi yang terbentuk masih rendah, tidak cukup untuk mengakibatkan terjadinya penggabungan antara protein aktin dan protein miosin menjadi aktomiosin, sehingga daging ikan menjadi lunak dan lentur (Muchtadi, 2010). Pada fase rigor mortis daging menjadi keras, (kaku atau rigrid) hal ini terjadi setelah 1-7 jam ikan mati, dan apabila dibekukan maka fase ini terjadi setelah 3-120 jam. Daging ikan yang kaku ini disebabkan terjadinya kontraksi hasil interaksi protein aktin dan protein miosin membentuk aktomiosin. Dengan terbentuknya aktomiosin ini ukuran sarkomer akan menjadi lebih pendek sehingga daging mengkerut dan menjadi kaku, sedangkan relaksasi merupakan kebalikannya (Muchtadi, 2010). Pada ikan yang masih hidup, kontraksi dan relaksasi dipengaruhi oleh konsentrasi ion-ion kalsium yang terdapat pada sarkoplasma retikulum. Selain besarnya ion kalsium, fase rigor mortis ini dipengaruhi oleh suhu, pH ikan, pergerakan ikan sebelum mati dan penanganan setelah mati. Apabila suhu tinggi, maka proses rigor mortis akan terjadi lebih cepat dan jika suhu rendah maka proses rigor mortis akan menjadi lebih lambat. Daya penghambat dan pemacu yang diberikan oleh suhu ini sebenarnya secara tidak langsung, yaitu karena suhu dapat mempengaruhi kecepatan reaksi biokimia (Muchtadi, 2010). Tingginya pH akhir daging ikan juga merupakan salah satu penyebab dari kerusakan. Biasanya pH akhir daging ikan berkisar antara 6,4 - 6,6 yang disebabkan karena rendahnya cadangan glikogen dalam daging ikan. Lagipula, ikan sukar ditangkap dalam jumlah besar tanpa pergulatan yang selanjutnya mengakibatkan turunnya cadangan glikogen (Buckle, 2010). Ikan yang setelah ditangkap kemudian langsung dibunuh, maka proses rigor mortis akan berjalan lebih lambat dibandingkan dengan ikan yang mati dengan sendirinya. Ikan yang menggelepar menyebabkan kekurangan oksigen dan glikogen otot rendah, maka perubahan glikogen menjadi asam laktat menjadi sedikit dan akibatnya penurunan pH tidak besar sehingga lebih cepat mengalami kebusukan. Keadaan asam akan menghambat pertumbuhan bakteri (Muchtadi, 2010). Walaupun demikian, ikan tidak akan mengalami kerusakan karena bakteri sampai rigor mortis (kekejangan mati) selesai. Pendinginan segera setelah penangkapan akan memperlambat berlangsungnya rigor dan akibat lanjutannya, oleh karena itu kerusakan oleh mekanisme ini akan terhambat dan berakibat memperlambat pertumbuhan bakteri. Perbedaan ikan segar dan ikan busuk secara kasat mata adalah sebagai berikut (Buckle, 2010): Segar Busuk atau rusak Kulit dan warna cerah Warna buram dan pucat Sisik melekat dan kuat Sisik lepas Mata jernih, tidak terbenam atau Mata buram, berkerut, masuk berkerut Daging keras, lentur, tekanan oleh jari Dagingnya kendur dan lunak, tekanan tidak tinggal oleh jari tinggal Bau: segar pada bagian luar dan insang Bau: busuk atau asam terutama insang Sedikit lendir pada kulit Kulitnya berlendir Tubuh kaku atau diam Tubuh lunak dan mudah melengkung Ikan tenggelam dalam air Ikan terapung jika sudah busuk sekali Pengawetan ikan bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan. Macam-macam teknik pengawetan atau penanganan pasca mortem (panen) yang biasa digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pengalengan Proses pemanasan yang cukup membuat ikan dalam kaleng steril komersial dilakukan dengan cara yang sama seperti pada produk-produk lain. Ikan dapat dikalengkan dalam minyak, saus, air asin atau tanpa campuran dan tentu saja stabil dan tidak rusak untuk jangka waktu tak terbatas (Buckle, 2010). 2. Penggaraman Penggaraman merupakan teknik pengawetan kuno tetapi masih banyak digunakan sampai sekarang. Umunya ada dua cara penggaraman yang digunakan yaitu (Buckle, 2010): Penggaraman kering Garam dihamburkan antara lapisan ikan yang telah diambil isi perutnya dan dibersihkan. Cairan yang keluar dibiarkan terbuang. Perbandingan garam terhadap ikan bervariasi antara 10 sampai 35%. Garam yang meresap menyebabkan air tertarik sehingga terjadi denaturasi protein. Daging menjadi berwarna keruh (opaque), tidak lengket serta mudah hancur. Proses ini memakan waktu selama 14 - 16 hari, kadar garam dalam daging naik menjadi kira-kira 20 dan ikan kehilangan 30% dari berat semula. Produk ikan yang digarami disebut green cure kemudian dikeringkan sampai keras dengan alat pengering buatan ataupun di udara terbuk. Penggaraman basah (wet atau pickle curing) Ikan yang telah diambil isi perutnya dan dibersihkan diletakkan dalam tong berisi larutan yang terdiri dari garam dan cairan ikan. Proses ini selesai kira-kira dalam 20 hari. Kedua jenis ikan asin ini dapat bertahan dalam kondisi baik selama 2 - 3 bulan pada suhu dibawah 10°C. Pada suhu diatas 15°C kerusakan terjadi agak cepat. Ikan asin dapat stabil karena tiga faktor, yaitu (Buckle, 2010): Kerja langsung dari sodium khlorida pada jenis-jenis organisme pembusuk protein (putrefractive). Hilangnya oksigen dari jaringan yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Gangguan sodium khlorida terhadap kegiatan enzim proteolitik dalam daging. 3. Pengasapan Pengasapan meliputi empat pengolahan dasar yakni pengasinan, pengeringan, pengasapan dan pemanasan. Pengeringan, pemanasan dan pengasapan dilakukan di ruang asap. Proses pengasapan mengakibatkan turunnya kadar air, naiknya kadar garam dan tertinggalnya bahanbahan pembentuk asap pada permukaan ikan. Suatu kulit atau lapisan tipis juga terbentuk dari protein yang sudah terdenaturasi pada bagian luar ikan. Daya simpannya bermacam-macam tergantung pada pelaksanaan keempat proses dasar tersebut (Buckle, 2010). Pengeringan dan pengasinan dapat mengawetkan ikan dengan cara mengurangi aktivitas air. Bahan-bahan asap seperti formadehida, aseton dan fenol mempunyai sifat-sifat membunuh bakteri, sementara asam yang mudah menguap dalam asap menurunkan pH pada permukaan ikan dan memperlambat pertumbuhan mikroorganisme. Panas selama pengasapan juga bersifat antibakteri. Bahan dalam pengasapan juga memberikan cita rasa yang khas pada ikan yang diasap (Buckle, 2010). 4. Pengeringan Pengeringan ikan baik yang dilaksanakan pada temperature ruang maupun dengan menggunakan alat pengering buatan bertujuan untuk mengurangi kadar air dari 80% sampai kirakira 10% dan bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan. Pada daerah yang beriklim dingin, ikan kering dapat bertahan selama beberapa tahun dimana pencegahan kerusakan disebabkan oleh terkendalinya pertumbuhan mikroorganisme dan kegiatan enzim karena rendahnya kadar air (Buckle, 2010). 5. Pendinginan dan Pembekuan Suhu sangat berperan penting dalam hubungannya dengan gejala rigor mortis, sedangkan aktivitas enzimatik, bacterial dan kimiawi terhadap perubahan organoleptik, terhadap daya awet ikan basah maupun produk-produk hasil perikanan (Muchtadi, 2010). Proses refrigrasi umumnya terdiri atas tahap pendinginan (chilling) yakni penurunan suhu mencapai 00C dan tahap pembekuan (freezing) yakni penurunan suhu dari 00C sampai jauh dibawah 00C (Muchtadi, 2010). Pendinginan dengan memanfaatkan suhu 0 0C hanya dapat menunda kerusakan dan ikan yang dikemas dalam es kesegarannya tidak akan tahan lebih dari 12-14 hari meskipun dengan pengolahan yang paling baik (Buckle, 2010). Proses pendinginan dapat dibedakan menurut metode berikit (Muchtadi, 2010): a. Pengesan (icing) ikan setelah ditangkap segera dicuci dengan air bersih, diselubungi dengan es curah dalam ruangan yang berinsulasi. Metode ini memiliki keuntungan seperti tingginya panas spesifik es, campuran ikan dan es menghasilkan pendinginan yang cepat dan es yang meleleh akan menghanyutkan bakteri, darah dan lender ikan. Sementara kelemahan metode ini adalah cenderung melukai dan melecetkan daging ikan; menghanyutkan komponen cita rasa, mineral dan protein yang larut air serta memucatkan warna ikan; kurang ekonomis. b. Pendinginan dalam udara dingin (chilling in cold air), ikan segera didinginkan dalam ruangan yang direfrigerasi dan harus segera diberi sedikit es diatas ikan. Metode ini kurang menguntungkan karena laju pendinginan lebih lambat; ikan mengalami kekeringan (dehidrasi) sehingga penampakan kurang menarik dan kehilangan berat; tidak memberikan efek pencucian untuk menghanyutkan darah, lender dan bakteri. c. Pendinginan dalam air (chilling in water), kelebihan dari metode ini adalah penarikan napas dari tubuh ikan berlangsung cepat tanpa merusak kondisi fisik. Sementara kekurangannya adalah sulit dalam teknik penanganannya. d. Metode pendinginan super (super chilling), pendinginan ikan basah dimana suhu pada pusat produk berada pada deret titik beku ikan (-1.1 sampai -2.20C) dan terkadang lebih rendah lagi. Metode ini dapat menambah perpanjangan agar awet ikan sampai mencapai 10 hari lagi dan mencegah proteolisis dari isi rongga perut tanpa merusak mutu proteinnya. Namun praktek ini dianggap kurang baik karena sebagian ikan mengalami pembekuan lambat. Proses pembekuan menyangkut penyimpanan ikan pada suhu jauh dibawah 00C. Untuk menghambat tumbuhnya bakteri dalam jangka waktu yang lama, diperlukan suhu -10 sampai 120C, tetapi perubahan-perubahan lain yang tidak dikehendaki seperti denaturasi protein dan ketengikan lemak hanya dapat diatasi dengan penggunaan suhu serendah -20 sampai -300C. Suhu ini akan mengawetkan ikan hampir tanpa perubahan selama lebih dari 12 bulan dan jika pembekuannya cepat, hampir tak dapat dibedakan dari ikan segar. Perosalan-persoalan kerusakan karena enzim, denaturasi protein dan oksidasi lemak dapat dihindari dengan kondisi-kondisi penyimpanan ini (Buckle, 2010). Kekeringan pada ikan beku dapat mengakibatkan kebakaran beku (freezer burn), terbentuknya bercah-bercah yang memutih, mengeras dan berkerut pada permukaan ikan. Hal ini dapat dihindari dengan pembungkusan yang baik atau melapisi ikan dengan es. Lapisan es ini dapat patah-patah tetapi dapat diatasi sampai tingkat tertentu dengan menggunakan pectin dan gelatin dalam lapisan es tersebut (Buckle, 2010). Beberapa metode pembekuan (freezing) dapat dibedakan menjadi (Muchtadi, 2010): a. Sharp freezing; produk yang dibekukan disimpan diatas lilitan pipa evaporator (refrigerated coli). Pembekuan ini termasuk pembekuan lambat, karena itu tidak dianjurkan, kecuali pada wada kecil. b. Air-blast freezing; produk yang dibekukan disimpan dalam ruangan yang ditiupkan udara beku di dalamnya dengan blower yang kuat. Pembekuan ini dianjurkan karena pembekuan cepat. c. Contact-plate freezing; membekukan diantara rak-rak yang direfrigerasikan. Pembekuan ini dianjurkan karena berlangsung cepat. d. Immersion freezing; membekukan produk dalam air (larutan garam) yang direfrigerasi. Pembekuan berlangsung cepat, sering dipraktekkan di kapal penangkap (udang dan tuna). e. Cryogenic freezing; membekukan produk dengan menggunakan semprotan bahan kriogen, misalnya karbon dioksida cair dan nitrogen cair. Pembekuan berlangsung sangat cepat. Hanya dipraktekkan untuk udang. 4.2 Perubahan Saat Proses a. Denaturasi Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul protein. Akibat dari suatu denaturasi adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu protein. Salah satu penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur, dan juga perubahan pH. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi adalah detergent, radiasi zat pengoksidasi atau pereduksi, dan perubahan jenis pelarut. Denaturasi dapat bersifat reversibel, jika suatu protein hanya dikenai kondisi denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika protein dikembangkan kelingkungan alamnya, hal ini untuk memperoleh kembali struktur lebih tingginya yang alamiah dalam suatu proses yang disebut denaturasi. Denaturasi umumnya sangat lambat atau tidak terjadi sama sekali (Gaman, 1992). Pada saat proses pembuatan minyak ikan terdapat proses degumming dimana pada proses tersebut dilakukan penambahan NaOH yang dapat mengubah pH menjadi basa, selanjutnya dilakukan pemanasan dengan suhu 60 oC. Setelah proses degumming dilanjutkan proses netralisasi pH minyak ikan. Perubahan pH dan pemanasan pada proses pembuatan minyak ikan dapat mempengaruhi perubahan sifak kimia minyak ikan seperti terjadi perubahan pada sifat-sifat struktur protein yang terkandung didalam minyak ikan (denaturasi). Pemanasan dapat memicu terjadi denaturasi dikarenakan panas akan menaikkan energi kinetik molekul semakin bertambah sehingga dapat mengacaukan ikatan Hidrogen (H) dan ikatan protein menjadi tidak beraturan. Salah satu ciri denaturasi ditinjau dari sifat fisiknya yakni, protein yang terdenaturasi biasanya mengalami pembukaan lipatan pada bagian-bagian tertentu. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Lapisan molekul yang bagian hidrofobik akan mengalami perubahan posisi dari dalam ke luar, begitupun sebaliknya. Hal ini akan membuat perubahan kelarutan (Alais, 1990). Selain itu, proses degumming dan netralisasi dapat mempengaruhi sifat fisik seperti bau dan rasa minyak ikan. Sketsa denaturasi proses pembuatan minyak ikan (Alais, 1990) b. Koagulasi Koagulasi adalah menurunnya kemampuan protein untuk mengikat air sehingga mengakibatkan protein tidak larut dalam air. Koagulasi dapat ditimbulkan dengan pemanasan, penambahan asam dan perlakuan alkali, Umumnya protein mengalami denaturasi dan koagulasi pada rentang suhu sekitar 55-75 C (Gaman, 1992). Pada pembuatan minyak ikan terdapat proses pemanasan pada suhu 60 oC maka juga terjadi koagulas hal ini dibuktikan dengan sifat minyak ikan yang tidak dapat larut dalam air. 4.3 Perubahan Setelah Proses Minyak ikan adalah salah satu zat gizi yang mengandung asam lemak kaya manfaat, karena mengandung sekitar 25% asam lemak jenuh dan 75% asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated fatty acid/PUFA) di dalamnya akan membantu proses tumbuh kembang otak (kecerdasan), serta perkembangan indra penglihatan dan sistem kekebalan tubuh bayi dan balita. Minyak ikan juga mengandung vitamin A dan D, dua jenis vitamin yang larut dalma lemak dengan jumlah tinggi. Manfaat vitamin A yaitu membantu perkembangan mata, sedangkan vitamin D untuk membantu pertumbuhan dan pembentukan tulang yang kuat. Kadar vitamin ini dalam tubuh ikan akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Umumnya kadar vitamin A dalam minyak ikan berkisar antara 1.000-1.000.000 SI (Standar Internasional) per gram, sementara vitamin D sekitar 50-30.000 SI per gram (Suzuki, 2011). Sifat fisik atau perubahan fisik setelah proses pembuatan minyak ikan dari ikan tuna (Winarno, 2004) : No. Karakteristik Value / Nilai 1. Bentuk Cair 2. Warna Kuning Bening 3. Kadar Minyak (%) 4,3 – 40 % 4. Fat : a. saturated 25 % b. polyunsaturated 75 % 5. Densitas campuran 967,96 kg/m 6. Yodine 170 7. Penyabunan 188 8. Indeks bias pada 25 C 1,4785 9. Unsaponifiable matter 0,1 % 3 o Komposisi asam minyak ikan yang dihasilkan (Winarno, 2004): No. Jenis Asam Lemak Konsentrasi (%-b) 1 Asam Palmitat 60 2 Asam Stearat 40 3 Asam Oleat 55 4 Asam Linoleat 45 a. Kegunaan minyak ikan Survey extensive tentang penggunaan minyak ikan untuk proses industri dan produk diumumkan pada tahun 1993 oleh Stansby. Dimana penggunaan utama dari minyak ikan dalam industri antara lain (Suzuki, 2011) : a. Bahan untuk penyamak kulit (tanning of leather) b. Protective coating (paint & varnish) c. Pharmaeutical uses d. Pelumas (Lubricating oil) e. Soap f. Insecticidal sprays g. Pelindung permukaan logam (protecting metal surface) Selain penggunaan minyak ikan yang telah disebutkan diatas, minyak ikan juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan bahan kimia lain, sofiening agent, textile finishing, kosmetik, dan tinta print. DAFTAR PUSTAKA Alais, C. dan G. Linden. 1991. Food Biochemistry. Ellis Horwood Limited: England. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 2010. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Dente, G dan Hopkins, KJ. 2004. Macrobolic Nutrition : Priming Your Body to Build Muscle and Burn Body. Laguna Beach : World Wrestling Entertainment, Inc. Gaman, P. M dan K. B. Sherrington. 1992. ILMU PANGAN, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi kedua. Diterjemahkan Oleh: Murdijati G., Sri N., Agnes M. dan Sardjono. UGM Press, Yogyakarta. Ghuffron, M Kordi. 2010. A to Z Budidaya Akuatik untuk Pangan, Kosmetik dan Obat Obatan. Yogyakarta: Andi Offset. Habibi, dkk. 2011. Perikanan Tuna-Panduan Penangkapan Dan Penanganan. Seri Panduan Perikanan Skala Kecil ISBN 978-979-1461-10-8. WWF-Indonesia. Indonesia. Muchtadi, Tien R. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. IPB Press. Bogor. Rasyak, Muhammad. 1992. Seputar Makanan Ayam Kampung. Yogyakarta: Kanisius. Suzuki, T. and S. Watabe. 2011. New processing technology of small pelagic fish protein. Food Rev. Inter., 2(3):271-307. Winarno, F.G. 2004. Kimia pangan dan gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.