8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik Indeks glikemik pangan merupakan indeks (tingkatan) pangan menurut efeknya dalam meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang mempunyai IG tinggi bila dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam darah dengan cepat dan tinggi. Sebaliknya, seseorang yang mengonsumsi pangan ber-IG rendah maka peningkatan kadar gula dalam darah berlangsung lambat dan puncak kadar gulanya rendah (Widowati, 2008). Konsep Indeks Glikemik (IG) pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins, seorang Professor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar gula darah. Jenkins adalah salah seorang peneliti pertama yang mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan bekerja di dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004). Kecepatan pencernaan karbohidrat berpengaruh penting dalam pemahaman peran karbohidrat bagi kesehatan. Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008). Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi numerik pangan sumber karbohidrat. Makanan yang memiliki indeks glikemik 8 Universitas Sumatera Utara 9 rendah dapat meningkatkan rasa kenyang dan menunda lapar, sedangkan makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi mampu meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat (Aston, 2006 dalam Rimbawan dan Nurbayani, 2013). Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat, penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik membantu penderita diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Diketahuinya indeks glikemik pangan akan membantu penderita diabetes memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pangan ber IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70 (Rimbawan dan Siagian, 2004). Universitas Sumatera Utara 10 2.1.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Indeks Glikemik Pangan Beberapa faktor yang dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). a. Proses Pengolahan Jenis pangan yang sama belum tentu memiliki nilai indeks glikemik yang sama pula jika proses pengolahannya berbeda. Rimbawan dan Siagian (2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013) menyebutkan bahwa proses pengolahan dapat menyebabkan nilai indeks glikemik pangan meningkat karena melalui proses pengolahan, struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga dapat mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat dengan cepat. Hasil penelitian oleh Amalia, et al. (2011) yang menganalisis nilai indeks glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis, yaitu rebus, tumis dan bakar menunjukkan bahwa jagung manis yang ditumis memiliki nilai IG yang paling rendah. Hal tersebut diduga disebabkan karena faktor lain yang memengaruhi nilai IG, yaitu kadar lemak pangan. Pada proses pengolahan jagung manis tumis menggunakan lemak dalam hal ini margarin. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pangan berkadar lemak tinggi cenderung memperlambat proses pengosongan lambung sehingga menyebabkan laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Jagung manis rebus memiliki nilai indeks glikemik yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung manis tumis. Proses pengolahan yang menggunakan air Universitas Sumatera Utara 11 dalam waktu yang cukup lama diduga menyebabkan peningkatkan daya cerna pati yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai IG (Thornburn, et al., 1986 dalam Amalia, et al., 2011). Sedangkan tingginya nilai indeks glikemik jagung manis bakar dibandingkan dengan dua olahan lainnya disebabkan karena proses pengolahannya menggunakan panas yang cukup tinggi dan dalam waktu yang lama. Proses pengolahan seperti itu diperkirakan menyebabkan komponen karbohidrat pada jagung manis bakar lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga menyebabkan respon glikemik yang lebih tinggi (Amalia, et al., 2011). Menurut Cameron (1985) dalam Amalia, et al. (2011), pemasakan dengan metode panas kering, seperti pembakaran, menyebabkan karbohidrat pecah dan membentuk warna gelap (reaksi maillard). Hal ini mengindikasikan pecahnya pati sehingga membentuk dekstrin, bentuk yang lebih mudah dicerna. Tingkat gelatinisasi pati dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan karena proses gelatinisasi pati yang terjadi saat pemasakan dapat menyebabkan granula pati mengembang. Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dengan cepat (Rimbawan dan Siagian, 2004). Ukuran partikel juga memengaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004). Universitas Sumatera Utara 12 b. Kadar Amilosa dan Amilopektin Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak bercabang. Oleh karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit dicerna tubuh. Sedangkan amilopektin merupakan struktur pati gula sederhana yang bercabang, memiliki struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar, sehingga dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan amilosa lebih banyak (Maulana, 2012). Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) yang mengutip pendapat para ahli (Miller, et al. 1992; dan Behall, et al. 1988), penelitian terhadap pangan yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya, bila kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa, respon gula darah lebih tinggi. c. Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikmik pangan tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun strukturnya. Gula meja (sukrosa) memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri dari satu glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam Universitas Sumatera Utara 13 hati. Kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa di dalam hati. Oleh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil (IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi setengah glukosa (Rusilanti, 2008 dalam Izzati, 2015). Daya osmotik pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa tampaknya makin tinggi keasaman dan daya osmotik (jumlah molekul per milliliter larutan), makin rendah IG-nya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa buah yang memiliki IG rendah, seperti ceri (IG=22), sedangkan buah lainnya memiliki IG relatif tinggi, seperti semangka (IG=72). d. Kadar Serat Pangan Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia sehingga akan sampai di usus besar dalam keadaan utuh. Kandungan serat dapat memengaruhi nilai indeks glikemik karena dapat memperlambat respon glikemik. Pengaruh serat terhadap indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, nilai indeks glikemik akan cenderung lebih rendah (Araya, 2002 dalam Rimbawan dan Nurbayani, 2013). Menurut Sulistijani (1999) yang mengutip hasil penelitian Jenkins (1976), penambahan serat larut air pada diet penderita diabetes melitus ringan dapat menurunkan kadar gula darah dan menyebabkan respon terhadap insulin semakin menurun. Serat tersebut dapat memperlambat penyerapan glukosa dalam usus halus Universitas Sumatera Utara 14 dan meningkatkan kekentalan isi usus yang secara tidak langsung dapat menurunkan kecepatan difusi permukaan mukosa usus halus. Akibatnya, kadar gula dalam darah mengalami penurunan secara perlahan, sehingga kebutuhan akan insulin juga berkurang. e. Kadar Lemak dan Protein Pangan Jumlah zat gizi seperti lemak dan protein yang terkandung dalam pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan. Lemak yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan meninggalkan lambung secara lambat, sehingga akan memberikan rasa kenyang. Hal tersebut akan memperlambat laju pengosongan lambung sehingga memperlambat timbulnya rasa lapar (Rimbawan dan Nurbayani, 2013). Jagung manis dan kacang hijau diketahui memiliki kadar lemak masingmasing sebanyak 1 g dan 1,2 g. Menurut Wolever dan Bolognesi (1996) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), lemak dalam jumlah besar (50 g lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa kadar lemak yang rendah pada jagung manis dan kacang hijau diduga tidak berperan besar dalam memperlambat laju pengosongan lambung yang berpengaruh terhadap penurunan repon glukosa darah. Pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berlemak rendah. Namun, manusia memerlukan makanan berkadar lemak rendah, bukan berkadar lemak tinggi. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana (Rimbawan dan Siagian, 2004). Universitas Sumatera Utara 15 Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM (2003) yang mengutip penelitian Jenkins, et al. menyatakan bahwa lemak dan protein memiliki hubungan yang negatif (-) dengan indeks glikemik, artinya masukan protein yang besar kemungkinan dapat membuat kadar glukosa darah lebih rendah karena protein dapat menstimulasi sekresi insulin. Namun, menurut Rimbawan dan Siagian (2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), tidak semua pangan yang memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah. Menurut Chen, et al. (2010) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), protein dan lemak pada makanan yang dikonsumsi umumnya tidak memengaruhi respon indeks glikemik, sehingga pengaruh kadar protein terhadap nilai indeks glikemik diabaikan. f. Kadar Anti-Gizi Pangan Secara alamiah, beberapa pangan mengandung zat yang dapat menyebabkan keracunan bila jumlahnya besar. Zat ini disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi akan tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada bijibijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya, IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004). Beberapa kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, merupakan sumber zat anti-gizi yang terdiri dari inhibitor enzim, lektin, saponin, phytat dan tanin. Inhibitor amilase dapat tetap hidup walau melalui proses pemasakan dan dapat mengurangi daya cerna pati dan respon glukosa darah. Demikian pula phytat, anti amilosa dan anti sukrosa (Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM, 2003). Universitas Sumatera Utara 16 2.1.2 Perhitungan Indeks Glikemik Metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subyek, dan perhitungan IAUC merupakan beberapa metodologi harus dilakukan dalam pengukuran IG (Simila, 2012 dalam Sundari, 2014). Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subyek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subyek. Porsi makanan yang diuji dalam pengukuran indeks glikemik harus mengandung 50 g karbohidrat. Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50 g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut (FAO, 1998 dalam Sundari, 2014). Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan & Siagian (2004), luas daerah Universitas Sumatera Utara 17 dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar. Menurut Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014), pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut: Dimana, Keterangan: IG IAUC food IAUC glucose Wt = = 1, dengan demikian, : Indeks Glikemik : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan) : Berat (g) Prosedur penentuan nilai indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut (Miller, et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian ,2004): a. Subyek yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya), dilakukan pengukuran kadar gula darah puasa, lalu diberikan pangan tunggal (uji) yang akan ditentukan indeks glikemiknya dan mengandung 50 g karbohidrat. Universitas Sumatera Utara 18 b. Selama dua jam pasca-pemberian pangan uji, sampel darah sebanyak 50 μL – finger-prick capillary blood samples method– diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent. c. Pada waktu yang berlainan (minimal 3 hari setelah perlakuan pertama), hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50 g glukosa murni atau white bread) kepada relawan. d. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y). e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan. 2.2 Jagung Manis Jagung manis (sweet corn) merupakan komoditas palawija dan termasuk dalam keluarga (famili) rumput-rumputan (Gramineae) genus Zea dan spesies Zea mays saccharata. Ciri-ciri yang dimiliki jagung manis berupa endosperm berwarna bening, kulit biji tipis, kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji akan berkerut (Koswara , 2009 dalam Harianja, 2015). Jagung manis tergolong tanaman monokotil yang berumah satu (monoecious) yang artinya, benang sari (tassel) dan putik (tongkol) terletak pada bunga yang berbeda, tetapi dalam satu tanaman yang sama. Berdasarkan tipe bunga tersebut, maka penyerbukannya bersifat menyerbuk silang. Penyerbukan dibantu oleh angin Universitas Sumatera Utara 19 dan gaya gravitasi. Penyerbukan juga dapat dipengaruhi oleh suhu dan varietas jagung manis dan dapat berakhir setelah 3 – 10 hari. Rambut tongkol biasanya muncul 1 – 3 hari setelah serbuk sari mulai tersebar dan siap diserbuki ketika keluar dari kelobot (Syukur dan Rifianto, 2013). Menurut Iskandar (2011) dalam Harianja (2015), taksonomi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Monocotyledone (berkeping satu) Ordo : Graminae (rumput-rumputan) Familia : Graminaceae Genus : Zea Species : Zea mays saccharata Koswara (1986) dalam Herianto (2014) menyebutkan bahwa sifat manis pada jagung manis disebabkan oleh gen su-1 (sugary), bt-2 (britlle) ataupun sh-2 (shrunken). Gen ini dapat mencegah perubahan gula menjadi pati pada endosperma sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dari jagung biasa. Pertumbuhan jagung manis yang paling baik yaitu pada musim panas, tetapi sebagian besar areal pengolahan jagung manis berada di daerah yang dingin. Jagung manis dapat tumbuh hampir di semua tipe tanah dengan pengairan yang baik. Kondisi pH tanah yang paling cocok untuk pertumbuhan jagung manis berkisar 6,0 – Universitas Sumatera Utara 20 6,5. Tanaman ini peka terhadap tanah masam dan tidak toleran terhadap embun beku (Syukur dan Rifianto, 2013). Gambar 2.1 Jagung Manis (Zea mays saccharata) 2.2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis Jagung manis mengandung karbohidrat, lemak, protein, dan beberapa mineral yang bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan zat gizi dalam biji jagung manis per 100 g dapat dilihat pada tabel 2.1. Universitas Sumatera Utara 21 Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis setiap 100 g Bahan Zat Gizi Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Sumber : Iskandar (2011) dalam Harianja (2015) Jumlah 96,0 3,5 1,0 22,8 3,0 111,0 0,7 400,0 0,45 12,0 4,27 Nilai IG pada jagung manis dengan standar glukosa diketahui adalah 60 (sedang). Sedangkan nilai indeks glikemik jagung manis dengan standar roti putih adalah 86 (tinggi) (Foster-Powell, et al., 2002). Sementara itu, nilai indeks glikemik jagung manis dengan beberapa pengolahan seperti jagung rebus, tumis dan bakar masing-masing adalah 41.22 (rendah), 31.088 (rendah) dan 55.31 (sedang) (Amalia, et al., 2011). 2.3 Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang banyak dibudidayakan di Indonesia, seperti halnya kacang tanah dan kedelai, akan tetapi pembudidayaannya masih terbatas. Padahal, pembudidayaan kacang hijau lebih mudah dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, karena mempunyai daya adaptasi yang tinggi, umur yang relatif pendek, dan cocok ditanam di lahan yang kurang air. Kacang hijau menduduki urutan ketiga dari jenis tanaman kacang-kacangan di Indonesia, setelah kacang tanah dan kedelai (Sumarji, 2013). Universitas Sumatera Utara 22 Nama daerah untuk kacang hijau antara lain retek hijo (Aceh), ritik ertak (Batak), harita ndrawa (Nias), kacang hejo, kacang herang (Sunda), kacang ijo (Jawa), artak (Madura), atak wilis, kacang wilis (Bali), hue moidomo (Gorontalo), buwe kope, buwe baicu, reni (Bugis), taqmelo (Ternate, Tidore). Sementara nama asingnya adalah mung bean (Inggris), atau sering juga disebut golden gram, green gram, mungo dan green beans (Purwono dan Purnamawati, 2007). Tanaman kacang hijau sudah lama dikenal dan ditanam oleh masyarakat tani di Indonesia. Asal usul tanaman kacang hijau diduga dari kawasan India. Penyebaran kacang hijau meluas, ditanam ke berbagai daerah atau negara di Asia beriklim panas (tropis). Kacang hijau dibawa masuk ke wilayah Indonesia pada awal abad ke-17, oleh pedagang Cina dan Portugis. Pusat penyebaran kacang hijau pada mulanya terpusat di Pulau Jawa dan Bali, tetapi pada tahun 1920-an mulai berkembang di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. Daerah sentrum produksi kacang hijau adalah provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta (Rukmana, 1997). Menurut Purwono dan Hartono (2005), kedudukan tanaman kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup) Classis : Dicotyldonae (biji berkeping dua) Ordo : Leguminales Universitas Sumatera Utara 23 Family : Leguminoceae (Papilionaceae) Genus : Vigna Sub Genus : Ceratotropis Species : Vigna radiata Susunan tubuh tanaman (morfologi) kacang hijau terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Perakaran tanaman kacang hijau bercabang banyak dan membentuk bintil-bintil (nodula) akar. Semakin banyak nodula akar, maka akan semakin tinggi kandungan nitrogen (N), sehingga tanah menjadi semakin subur (Rukmana, 1997). Purwono dan Purnamawati (2005) menyebutkan bahwa kacang hijau tumbuh tegak. Batang kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Ukuran batangnya kecil, berbulu, berwarna hijau kecokelatan atu kemerahan. Tanaman ini bercabang banyak. Daunnya tumbuh majemuk dan terdiri dari tiga helai anak daun setiap tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan bagian ujung lancip dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Letak daun berseling. Tangkai daun lebih panjang daripada daunnya sendiri. Bunga kacang hijau berkelamin sempurna (hermaphrodite), berbentuk kupukupu dan berwarna kuning. Bunganya muncul di ujung percabangan pada umur 30 hari. Munculnya bunga dan pemasakan polong pada tanaman kacang hijau tidak serempak sehingga panen dilakukan beberapa kali (Purwono dan Purnamawati, 2007). Buah berpolong dengan panjang antara 6 cm – 15 cm. Setiap polong berisi 6 – 16 butir biji. Biji kacang hijau berbentuk bulat kecil dengan berat tiap butir 0,5 mg Universitas Sumatera Utara 24 – 0,8 mg, dan berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g. Biji kacang hijau berwarna hijau sampai hijau mengilap (Rukmana, 1997). Gambar 2.2 Biji Kacang Hijau (Vigna radiata) Kacang hijau adalah tanaman tropis dataran rendah yang dapat dibudidayakan pada ketinggian 5–700 mdpl. Penanaman kacang hijau di daerah dengan ketinggian di atas 750 mdpl akan mengakibatkan produksi kacang hijau menurun. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada suhu udara optimal antara 25–27oC . Keasaman tanah yang diperlukan untuk tumbuh optimal, yaitu pH tanah antara 5,8– 6,5. Tanaman ini menyukai daerah yang memiliki kelembaban udara antara 50–89% . Daerah yang memiliki curah hujan antara 50–200 mm/bulan merupakan daerah yang baik untuk budidaya tanaman ini. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanaman mudah rebah dan terserang penyakit (Purwono dan Purnamawati, 2007). Universitas Sumatera Utara 25 2.3.1 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung varietas, faktor genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen bahan kering kacang hijau terbesar (lebih dari 55%), yang terdiri dari pati, gula dan serat. Pati kacang hijau memiliki daya cerna yang sangat tinggi yaitu 99,8% sehingga sangat baik dijadikan bahan makanan bayi dan anak balita yang sistem pencernaannya belum sesempurna orang dewasa (Astawan, 2009). Pati kacang hijau terdiri dari amilosa 28,8% dan amilopektin 71,2% (Balittan, 2007 dalam Pandiangan, 2008). Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan nutrisi penyusun utama kedua kacang hijau setelah karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25 % protein. Protein pada kacang hijau mentah memiliki daya cerna sekitar 77%. Daya cerna yang tidak terlalu tinggi tersebut disebabkan oleh adanya zat antigizi, seperti antitripsin dan tanin (polifenol). Untuk meningkatkan daya cerna protein tersebut, kacang hijau harus diolah terlebih dahulu melalui proses pemasakan, seperti perebusan, pengukusan dan sangrai (Astawan, 2009). Kandungan lemak kacang hijau relatif sedikit (1–1,2%). Keadaan ini menguntungkan sebab dengan kandungan lemak yang rendah, kacang hijau dapat disimpan lebih lama dibandingkan kacang-kacangan lainnya. Menurut The University of Sydney, nilai indeks glikemik kacang hijau yang direndam selama 12 jam atau disimpan di tempat yang lembab selama 24 jam ataupun yang diuapkan selama 1 jam adalah 38, termasuk kategori rendah. Komposisi zat gizi kacang hijau dapat dilihat pada tabel berikut. Universitas Sumatera Utara 26 Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau setiap 100 g Bahan Zat Gizi Jumlah Energi (kkal) 345 Protein (g) 22,2 Lemak (g) 1,2 Karbohidrat (g) 62,9 Kalsium (mg) 125 Fosfor (mg) 320 Besi (mg) 7 Vitamin A (SI) 157 Vitamin B (mg) 0,64 Vitamin C (mg) 6 Sumber :Direktorat Gizi, Depkes RI (1992) dalam Astawan (2009) 2.4 Kerangka Konsep Penelitian Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bubur memiliki arti makanan lembek dan berair yang dibuat dari beras, kacang-kacangan, dan sebagainya yang direbus. Berdasarkan salah satu faktor yang dapat memengaruhi nilai IG, yaitu cara pengolahan, maka dengan tekstur bubur jagung yang lembek dan mudah dicerna memungkinkan untuk menghasilkan nilai IG yang tinggi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini bubur jagung akan dicampur dengan kacang hijau yang memiliki indeks glikemik rendah (38), sehingga diharapkan dengan mencampur kedua pangan tersebut akan menghasilkan bubur jagung kacang hijau yang memiliki IG rendah dan secara tidak langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Bubur jagung manis kacang hijau bukan merupakan hal baru dalam dunia kuliner masyarakat Indonesia. Banyak para pebisnis franchise maupun pedagang keliling yang telah menjual produk bubur jagung dengan berbagai macam campuran lainya, seperti durian, kacang hijau, ketan hitam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mengingat cukup banyaknya peminat bubur jagung manis kacang hijau, penulis tertarik untuk meneliti nilai indeks glikemik dari pangan campuran tersebut, apakah Universitas Sumatera Utara 27 lebih mendekati nilai indeks glikemik jagung manis atau kacang hijau. Sehingga dengan diketahuinya nilai indeks glikemik makanan tersebut, dapat diketahui apakah bubur jagung manis kacang hijau dapat disarankan atau harus dihindari oleh penderita DM dan obesitas. Jagung Manis (Zea mays saccharata) Bubur jagung manis kacang hijau - Kacang Hijau (Vigna radiata) - Kandungan Gizi (Air, Abu, Lemak, Protein, Serat kasar dan Karbohidrat) Nilai Indeks Glikemik Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka konsep diatas, jagung manis dan kacang hijau akan diolah menjadi bubur campuran jagung manis kacang hijau (perbandingan 1:1). Sebelum mengukur nilai indeks glikemik, bubur jagung manis kacang hijau terlebih dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar dan kandungan karbohidratnya. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya, relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan bubur jagung kacang hijau yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0 (sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan pangan acuan. Universitas Sumatera Utara