BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik Indeks glikemik

advertisement
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Indeks Glikemik
Indeks glikemik pangan merupakan indeks (tingkatan) pangan menurut
efeknya dalam meningkatkan kadar gula darah. Pangan yang mempunyai IG tinggi
bila dikonsumsi akan meningkatkan kadar gula dalam darah dengan cepat dan tinggi.
Sebaliknya, seseorang yang mengonsumsi pangan ber-IG rendah maka peningkatan
kadar gula dalam darah berlangsung lambat dan puncak kadar gulanya rendah
(Widowati, 2008).
Konsep Indeks Glikemik (IG) pertama-tama dikembangkan tahun 1981 oleh
Dr. David Jenkins, seorang Professor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk
membantu menentukan pangan yang paling baik bagi penderita diabetes. Pada masa
itu, diet bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini
menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang
sama pada kadar gula darah. Jenkins adalah salah seorang peneliti pertama yang
mempertanyakan hal ini dan menyelidiki bagaimana sebenarnya pangan bekerja di
dalam tubuh (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Kecepatan pencernaan karbohidrat berpengaruh penting dalam pemahaman
peran karbohidrat bagi kesehatan. Konsep IG menjelaskan bahwa tidak setiap
karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. IG memberikan cara yang lebih mudah
dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar gula darah (Widowati, 2008).
Konsep indeks glikemik dikembangkan untuk memberikan klasifikasi
numerik pangan sumber karbohidrat. Makanan yang memiliki indeks glikemik
8
Universitas Sumatera Utara
9
rendah dapat meningkatkan rasa kenyang dan menunda lapar, sedangkan makanan
yang memiliki indeks glikemik tinggi mampu meningkatkan kadar glukosa darah
dengan cepat (Aston, 2006 dalam Rimbawan dan Nurbayani, 2013).
Konsep indeks glikemik disusun untuk semua orang yaitu orang yang sehat,
penderita obesitas, penderita diabetes dan atlet. Indeks glikemik membantu penderita
diabetes dalam menentukan jenis pangan karbohidrat yang dapat mengendalikan
kadar glukosa darah. Diketahuinya indeks glikemik pangan akan membantu
penderita diabetes memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah
secara drastis sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman.
Indeks glikemik juga membantu atlet dalam memilih makanan untuk menunjang
penampilan dan daya tahan tubuhnya. Makanan dengan indeks glikemik rendah akan
dicerna dengan lambat dan akan menyimpan glikogen otot secara perlahan sehingga
glukosa ekstra akan tersedia sampai akhir pertandingan. Dengan cara ini, pangan
ber-IG rendah akan meningkatkan daya tahan olahragawan (Rimbawan dan Siagian,
2004).
Berdasarkan respon IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok,
yaitu pangan ber IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang
(intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang
nilai IG >70 (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.1
Faktor-faktor yang Memengaruhi Indeks Glikemik Pangan
Beberapa faktor yang dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan
adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan
amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar
lemak dan protein, serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004).
a.
Proses Pengolahan
Jenis pangan yang sama belum tentu memiliki nilai indeks glikemik yang
sama pula jika proses pengolahannya berbeda. Rimbawan dan Siagian (2004) dalam
Rimbawan dan Nurbayani (2013) menyebutkan bahwa proses pengolahan dapat
menyebabkan nilai indeks glikemik pangan meningkat karena melalui proses
pengolahan, struktur pangan menjadi lebih mudah dicerna dan diserap sehingga
dapat mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat dengan cepat.
Hasil penelitian oleh Amalia, et al. (2011) yang menganalisis nilai indeks
glikemik beberapa jenis pengolahan jagung manis, yaitu rebus, tumis dan bakar
menunjukkan bahwa jagung manis yang ditumis memiliki nilai IG yang paling
rendah. Hal tersebut diduga disebabkan karena faktor lain yang memengaruhi nilai
IG, yaitu kadar lemak pangan. Pada proses pengolahan jagung manis tumis
menggunakan lemak dalam hal ini margarin. Menurut Rimbawan dan Siagian
(2004),
pangan
berkadar
lemak
tinggi
cenderung
memperlambat
proses
pengosongan lambung sehingga menyebabkan laju pencernaan makanan di usus
halus juga diperlambat.
Jagung manis rebus memiliki nilai indeks glikemik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jagung manis tumis. Proses pengolahan yang menggunakan air
Universitas Sumatera Utara
11
dalam waktu yang cukup lama diduga menyebabkan peningkatkan daya cerna pati
yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai IG (Thornburn, et al., 1986 dalam
Amalia, et al., 2011). Sedangkan tingginya nilai indeks glikemik jagung manis bakar
dibandingkan dengan dua olahan lainnya disebabkan karena proses pengolahannya
menggunakan panas yang cukup tinggi dan dalam waktu yang lama. Proses
pengolahan seperti itu diperkirakan menyebabkan komponen karbohidrat pada
jagung manis bakar lebih mudah dicerna dan diserap oleh tubuh sehingga
menyebabkan respon glikemik yang lebih tinggi (Amalia, et al., 2011). Menurut
Cameron (1985) dalam Amalia, et al. (2011), pemasakan dengan metode panas
kering, seperti pembakaran, menyebabkan karbohidrat pecah dan membentuk warna
gelap (reaksi maillard). Hal ini mengindikasikan pecahnya pati sehingga membentuk
dekstrin, bentuk yang lebih mudah dicerna.
Tingkat gelatinisasi pati dapat memengaruhi nilai indeks glikemik pangan
karena proses gelatinisasi pati yang terjadi saat pemasakan dapat menyebabkan
granula pati mengembang. Granula yang mengembang dan molekul pati yang bebas
sangat mudah dicerna karena enzim pencerna pati di dalam usus halus mendapatkan
permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini
mengakibatkan meningkatnya kadar gula darah dengan cepat (Rimbawan dan
Siagian, 2004).
Ukuran partikel juga memengaruhi indeks glikemik. Semakin kecil ukuran
partikel menyebabkan struktur pangan menjadi halus sehingga pangan tersebut
mudah dicerna dan diserap di dalam tubuh dan mengakibatkan kadar gula darah naik
dengan cepat (Rimbawan & Siagian 2004).
Universitas Sumatera Utara
12
b.
Kadar Amilosa dan Amilopektin
Amilosa merupakan struktur pati gula sederhana yang tidak bercabang. Oleh
karena itu, struktur tersebut akan terikat kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan sulit
dicerna tubuh. Sedangkan amilopektin merupakan struktur pati gula sederhana yang
bercabang, memiliki struktur molekul yang terbuka, dan berukuran lebih besar,
sehingga dapat dicerna lebih baik dibanding pangan yang memiliki kandungan
amilosa lebih banyak (Maulana, 2012).
Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) yang mengutip pendapat para ahli
(Miller, et al. 1992; dan Behall, et al. 1988), penelitian terhadap pangan yang
memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar glukosa
darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengkonsumsi pangan berkadar
amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi. Sebaliknya, bila kadar
amilopektin pangan lebih tinggi daripada kadar amilosa, respon gula darah lebih
tinggi.
c.
Kadar Gula dan Daya Osmotik Pangan
Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi indeks glikmik pangan
tersebut. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004), pengaruh gula yang secara alami
terdapat dalam pangan (laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa) dalam berbagai
proporsi, terhadap respon glukosa darah sangat sulit diprediksi. Hal ini dikarenakan
pengosongan lambung diperlambat oleh peningkatan konsentrasi gula, apapun
strukturnya.
Gula meja (sukrosa) memiliki IG 65, hal ini dikarenakan disakarida terdiri
dari satu glukosa dan satu molekul fruktosa. Fruktosa diserap dan masuk ke dalam
Universitas Sumatera Utara
13
hati. Kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa di dalam hati.
Oleh karena itu, respon glukosa darah terhadap fruktosa murrni sangat kecil
(IG=23). Artinya, dengan mengkonsumsi sukrosa, kita hanya mengkonsumsi
setengah glukosa (Rusilanti, 2008 dalam Izzati, 2015).
Daya osmotik pangan juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik
pangan. Rimbawan dan Siagian (2004) menyatakan bahwa tampaknya makin tinggi
keasaman dan daya osmotik (jumlah molekul per milliliter larutan), makin rendah
IG-nya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa buah yang memiliki IG rendah, seperti
ceri (IG=22), sedangkan buah lainnya memiliki IG relatif tinggi, seperti semangka
(IG=72).
d.
Kadar Serat Pangan
Serat pangan atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin
yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia sehingga akan sampai di
usus besar dalam keadaan utuh. Kandungan serat dapat memengaruhi nilai indeks
glikemik karena dapat memperlambat respon glikemik. Pengaruh serat terhadap
indeks glikemik pangan tergantung pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat
bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, nilai indeks
glikemik akan cenderung lebih rendah (Araya, 2002 dalam Rimbawan dan
Nurbayani, 2013).
Menurut Sulistijani (1999) yang mengutip hasil penelitian Jenkins (1976),
penambahan serat larut air pada diet penderita diabetes melitus ringan dapat
menurunkan kadar gula darah dan menyebabkan respon terhadap insulin semakin
menurun. Serat tersebut dapat memperlambat penyerapan glukosa dalam usus halus
Universitas Sumatera Utara
14
dan meningkatkan kekentalan isi usus yang secara tidak langsung dapat menurunkan
kecepatan difusi permukaan mukosa usus halus. Akibatnya, kadar gula dalam darah
mengalami penurunan secara perlahan, sehingga kebutuhan akan insulin juga
berkurang.
e.
Kadar Lemak dan Protein Pangan
Jumlah zat gizi seperti lemak dan protein yang terkandung dalam pangan
juga memiliki pengaruh terhadap nilai indeks glikemik pangan. Lemak yang
terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan meninggalkan lambung secara
lambat, sehingga akan memberikan rasa kenyang. Hal tersebut akan memperlambat
laju pengosongan lambung sehingga memperlambat timbulnya rasa lapar
(Rimbawan dan Nurbayani, 2013).
Jagung manis dan kacang hijau diketahui memiliki kadar lemak masingmasing sebanyak 1 g dan 1,2 g. Menurut Wolever dan Bolognesi (1996) dalam
Rimbawan dan Nurbayani (2013), lemak dalam jumlah besar (50 g lemak) dapat
menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Berdasarkan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa kadar lemak yang rendah pada jagung manis dan kacang
hijau diduga tidak berperan besar dalam memperlambat laju pengosongan lambung
yang berpengaruh terhadap penurunan repon glukosa darah.
Pangan berkadar lemak tinggi mempunyai IG lebih rendah daripada pangan
sejenis yang berlemak rendah. Namun, manusia memerlukan makanan berkadar
lemak rendah, bukan berkadar lemak tinggi. Pangan berkadar lemak tinggi, apapun
jenisnya dan ber-IG rendah atau tinggi harus dikonsumsi secara bijaksana
(Rimbawan dan Siagian, 2004).
Universitas Sumatera Utara
15
Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM (2003)
yang mengutip penelitian Jenkins, et al. menyatakan bahwa lemak dan protein
memiliki hubungan yang negatif (-) dengan indeks glikemik, artinya masukan
protein yang besar kemungkinan dapat membuat kadar glukosa darah lebih rendah
karena protein dapat menstimulasi sekresi insulin. Namun, menurut Rimbawan dan
Siagian (2004) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), tidak semua pangan yang
memiliki kadar protein tinggi, nilai indeks glikemiknya rendah. Menurut Chen, et al.
(2010) dalam Rimbawan dan Nurbayani (2013), protein dan lemak pada makanan
yang dikonsumsi umumnya tidak memengaruhi respon indeks glikemik, sehingga
pengaruh kadar protein terhadap nilai indeks glikemik diabaikan.
f.
Kadar Anti-Gizi Pangan
Secara alamiah, beberapa pangan mengandung zat yang dapat menyebabkan
keracunan bila jumlahnya besar. Zat ini disebut zat anti-gizi. Beberapa zat anti-gizi
akan tetap aktif walaupun sudah melalui proses pemasakan. Zat anti-gizi pada bijibijian dapat menghambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Akibatnya,
IG pangan menurun (Rimbawan dan Siagian, 2004).
Beberapa kacang-kacangan, termasuk kacang hijau, merupakan sumber zat
anti-gizi yang terdiri dari inhibitor enzim, lektin, saponin, phytat dan tanin. Inhibitor
amilase dapat tetap hidup walau melalui proses pemasakan dan dapat mengurangi
daya cerna pati dan respon glukosa darah. Demikian pula phytat, anti amilosa dan
anti sukrosa (Pusat Diabetes dan Lipid RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSUPNCM,
2003).
Universitas Sumatera Utara
16
2.1.2 Perhitungan Indeks Glikemik
Metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan
acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan
jenis subyek, dan perhitungan IAUC merupakan beberapa metodologi harus
dilakukan dalam pengukuran IG (Simila, 2012 dalam Sundari, 2014).
Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan
adalah roti putih atau glukosa murni. Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam
pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subyek yang sama
untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk
mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan
untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subyek.
Porsi makanan yang diuji dalam pengukuran indeks glikemik harus mengandung 50
g karbohidrat. Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50 g karbohidrat dalam
pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk
memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut (FAO,
1998 dalam Sundari, 2014).
Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam
pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah
digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data
indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di
bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah
konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan
aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan & Siagian (2004), luas daerah
Universitas Sumatera Utara
17
dibawah kurva dianggap menggambarkan jumlah total respon glikemik, tidak hanya
satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik
menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang
menggambarkan respon glukosa darah secara benar.
Menurut Monro dan Shaw (2008) dalam Sundari (2014), pengukuran nilai
indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
Dimana,
Keterangan:
IG
IAUC food
IAUC glucose
Wt
=
= 1, dengan demikian,
: Indeks Glikemik
: Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam
terhadap pangan uji
: Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam
terhadap glukosa murni (pangan acuan)
: Berat (g)
Prosedur penentuan nilai indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut
(Miller, et al., 1996 dalam Rimbawan dan Siagian ,2004):
a.
Subyek yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar
pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya), dilakukan pengukuran kadar
gula darah puasa, lalu diberikan pangan tunggal (uji) yang akan ditentukan
indeks glikemiknya dan mengandung 50 g karbohidrat.
Universitas Sumatera Utara
18
b.
Selama dua jam pasca-pemberian pangan uji, sampel darah sebanyak 50 μL –
finger-prick capillary blood samples method– diambil setiap 15 menit pada jam
pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua yaitu berturut-turut pada menit ke
0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar
glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase
peroxidase reagent.
c.
Pada waktu yang berlainan (minimal 3 hari setelah perlakuan pertama), hal yang
sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50 g glukosa murni atau
white bread) kepada relawan.
d.
Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua
sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).
e.
Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah
kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan.
2.2
Jagung Manis
Jagung manis (sweet corn) merupakan komoditas palawija dan termasuk
dalam keluarga (famili) rumput-rumputan (Gramineae) genus Zea dan spesies Zea
mays saccharata. Ciri-ciri yang dimiliki jagung manis berupa endosperm berwarna
bening, kulit biji tipis, kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji akan berkerut
(Koswara , 2009 dalam Harianja, 2015).
Jagung manis tergolong tanaman monokotil yang berumah satu (monoecious)
yang artinya, benang sari (tassel) dan putik (tongkol) terletak pada bunga yang
berbeda, tetapi dalam satu tanaman yang sama. Berdasarkan tipe bunga tersebut,
maka penyerbukannya bersifat menyerbuk silang. Penyerbukan dibantu oleh angin
Universitas Sumatera Utara
19
dan gaya gravitasi. Penyerbukan juga dapat dipengaruhi oleh suhu dan varietas
jagung manis dan dapat berakhir setelah 3 – 10 hari. Rambut tongkol biasanya
muncul 1 – 3 hari setelah serbuk sari mulai tersebar dan siap diserbuki ketika keluar
dari kelobot (Syukur dan Rifianto, 2013).
Menurut Iskandar (2011) dalam Harianja (2015), taksonomi tanaman jagung
manis (Zea mays saccharata) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae (rumput-rumputan)
Familia
: Graminaceae
Genus
: Zea
Species
: Zea mays saccharata
Koswara (1986) dalam Herianto (2014) menyebutkan bahwa sifat manis pada
jagung manis disebabkan oleh gen su-1 (sugary), bt-2 (britlle) ataupun sh-2
(shrunken). Gen ini dapat mencegah perubahan gula menjadi pati pada endosperma
sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dari jagung biasa.
Pertumbuhan jagung manis yang paling baik yaitu pada musim panas, tetapi
sebagian besar areal pengolahan jagung manis berada di daerah yang dingin. Jagung
manis dapat tumbuh hampir di semua tipe tanah dengan pengairan yang baik.
Kondisi pH tanah yang paling cocok untuk pertumbuhan jagung manis berkisar 6,0 –
Universitas Sumatera Utara
20
6,5. Tanaman ini peka terhadap tanah masam dan tidak toleran terhadap embun beku
(Syukur dan Rifianto, 2013).
Gambar 2.1 Jagung Manis (Zea mays saccharata)
2.2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis
Jagung manis mengandung karbohidrat, lemak, protein, dan beberapa
mineral yang bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan zat gizi dalam biji jagung
manis per 100 g dapat dilihat pada tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
21
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Jagung Manis setiap 100 g Bahan
Zat Gizi
Energi (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (SI)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Sumber : Iskandar (2011) dalam Harianja (2015)
Jumlah
96,0
3,5
1,0
22,8
3,0
111,0
0,7
400,0
0,45
12,0
4,27
Nilai IG pada jagung manis dengan standar glukosa diketahui adalah 60
(sedang). Sedangkan nilai indeks glikemik jagung manis dengan standar roti putih
adalah 86 (tinggi) (Foster-Powell, et al., 2002). Sementara itu, nilai indeks glikemik
jagung manis dengan beberapa pengolahan seperti jagung rebus, tumis dan bakar
masing-masing adalah 41.22 (rendah), 31.088 (rendah) dan 55.31 (sedang) (Amalia,
et al., 2011).
2.3
Kacang Hijau
Kacang hijau (Vigna radiata) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan
yang banyak dibudidayakan di Indonesia, seperti halnya kacang tanah dan kedelai,
akan tetapi pembudidayaannya masih terbatas. Padahal, pembudidayaan kacang
hijau lebih mudah dibandingkan dengan kacang-kacangan lainnya, karena
mempunyai daya adaptasi yang tinggi, umur yang relatif pendek, dan cocok ditanam
di lahan yang kurang air. Kacang hijau menduduki urutan ketiga dari jenis tanaman
kacang-kacangan di Indonesia, setelah kacang tanah dan kedelai (Sumarji, 2013).
Universitas Sumatera Utara
22
Nama daerah untuk kacang hijau antara lain retek hijo (Aceh), ritik ertak
(Batak), harita ndrawa (Nias), kacang hejo, kacang herang (Sunda), kacang ijo
(Jawa), artak (Madura), atak wilis, kacang wilis (Bali), hue moidomo (Gorontalo),
buwe kope, buwe baicu, reni (Bugis), taqmelo (Ternate, Tidore). Sementara nama
asingnya adalah mung bean (Inggris), atau sering juga disebut golden gram, green
gram, mungo dan green beans (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Tanaman kacang hijau sudah lama dikenal dan ditanam oleh masyarakat tani
di Indonesia. Asal usul tanaman kacang hijau diduga dari kawasan India.
Penyebaran kacang hijau meluas, ditanam ke berbagai daerah atau negara di Asia
beriklim panas (tropis). Kacang hijau dibawa masuk ke wilayah Indonesia pada awal
abad ke-17, oleh pedagang Cina dan Portugis. Pusat penyebaran kacang hijau pada
mulanya terpusat di Pulau Jawa dan Bali, tetapi pada tahun 1920-an mulai
berkembang di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia bagian Timur.
Daerah sentrum produksi kacang hijau adalah provinsi Sulawesi Selatan, Jawa
Timur, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
DI Yogyakarta (Rukmana, 1997).
Menurut Purwono dan Hartono (2005), kedudukan tanaman kacang hijau
dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisio
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Classis
: Dicotyldonae (biji berkeping dua)
Ordo
: Leguminales
Universitas Sumatera Utara
23
Family
: Leguminoceae (Papilionaceae)
Genus
: Vigna
Sub Genus
: Ceratotropis
Species
: Vigna radiata
Susunan tubuh tanaman (morfologi) kacang hijau terdiri atas akar, batang,
daun, bunga, buah dan biji. Perakaran tanaman kacang hijau bercabang banyak dan
membentuk bintil-bintil (nodula) akar. Semakin banyak nodula akar, maka akan
semakin tinggi kandungan nitrogen (N), sehingga tanah menjadi semakin subur
(Rukmana, 1997).
Purwono dan Purnamawati (2005) menyebutkan bahwa kacang hijau tumbuh
tegak. Batang kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Ukuran batangnya
kecil, berbulu, berwarna hijau kecokelatan atu kemerahan. Tanaman ini bercabang
banyak. Daunnya tumbuh majemuk dan terdiri dari tiga helai anak daun setiap
tangkai. Helai daun berbentuk oval dengan bagian ujung lancip dan berwarna hijau
muda hingga hijau tua. Letak daun berseling. Tangkai daun lebih panjang daripada
daunnya sendiri.
Bunga kacang hijau berkelamin sempurna (hermaphrodite), berbentuk kupukupu dan berwarna kuning. Bunganya muncul di ujung percabangan pada umur 30
hari. Munculnya bunga dan pemasakan polong pada tanaman kacang hijau tidak
serempak sehingga panen dilakukan beberapa kali (Purwono dan Purnamawati,
2007). Buah berpolong dengan panjang antara 6 cm – 15 cm. Setiap polong berisi 6
– 16 butir biji. Biji kacang hijau berbentuk bulat kecil dengan berat tiap butir 0,5 mg
Universitas Sumatera Utara
24
– 0,8 mg, dan berat per 1000 butir antara 36 g – 78 g. Biji kacang hijau berwarna
hijau sampai hijau mengilap (Rukmana, 1997).
Gambar 2.2 Biji Kacang Hijau (Vigna radiata)
Kacang hijau
adalah
tanaman tropis
dataran rendah
yang dapat
dibudidayakan pada ketinggian 5–700 mdpl. Penanaman kacang hijau di daerah
dengan ketinggian di atas 750 mdpl akan mengakibatkan produksi kacang hijau
menurun. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada suhu udara optimal antara 25–27oC .
Keasaman tanah yang diperlukan untuk tumbuh optimal, yaitu pH tanah antara 5,8–
6,5. Tanaman ini menyukai daerah yang memiliki kelembaban udara antara 50–89%
. Daerah yang memiliki curah hujan antara 50–200 mm/bulan merupakan daerah
yang baik untuk budidaya tanaman ini. Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan
tanaman mudah rebah dan terserang penyakit (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Universitas Sumatera Utara
25
2.3.1 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau
Komposisi kimia kacang hijau sangat beragam, tergantung varietas, faktor
genetik, iklim, maupun lingkungan. Karbohidrat merupakan komponen bahan kering
kacang hijau terbesar (lebih dari 55%), yang terdiri dari pati, gula dan serat. Pati
kacang hijau memiliki daya cerna yang sangat tinggi yaitu 99,8% sehingga sangat
baik dijadikan bahan makanan bayi dan anak balita yang sistem pencernaannya
belum sesempurna orang dewasa (Astawan, 2009). Pati kacang hijau terdiri dari
amilosa 28,8% dan amilopektin 71,2% (Balittan, 2007 dalam Pandiangan, 2008).
Berdasarkan jumlahnya, protein merupakan nutrisi penyusun utama kedua
kacang hijau setelah karbohidrat. Kacang hijau mengandung 20-25 % protein.
Protein pada kacang hijau mentah memiliki daya cerna sekitar 77%. Daya cerna
yang tidak terlalu tinggi tersebut disebabkan oleh adanya zat antigizi, seperti
antitripsin dan tanin (polifenol). Untuk meningkatkan daya cerna protein tersebut,
kacang hijau harus diolah terlebih dahulu melalui proses pemasakan, seperti
perebusan, pengukusan dan sangrai (Astawan, 2009).
Kandungan lemak kacang hijau relatif sedikit (1–1,2%). Keadaan ini
menguntungkan sebab dengan kandungan lemak yang rendah, kacang hijau dapat
disimpan lebih lama dibandingkan kacang-kacangan lainnya. Menurut The
University of Sydney, nilai indeks glikemik kacang hijau yang direndam selama 12
jam atau disimpan di tempat yang lembab selama 24 jam ataupun yang diuapkan
selama 1 jam adalah 38, termasuk kategori rendah. Komposisi zat gizi kacang hijau
dapat dilihat pada tabel berikut.
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 2.2 Kandungan Zat Gizi Kacang Hijau setiap 100 g Bahan
Zat Gizi
Jumlah
Energi (kkal)
345
Protein (g)
22,2
Lemak (g)
1,2
Karbohidrat (g)
62,9
Kalsium (mg)
125
Fosfor (mg)
320
Besi (mg)
7
Vitamin A (SI)
157
Vitamin B (mg)
0,64
Vitamin C (mg)
6
Sumber :Direktorat Gizi, Depkes RI (1992) dalam Astawan (2009)
2.4
Kerangka Konsep Penelitian
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, bubur memiliki arti makanan lembek dan
berair yang dibuat dari beras, kacang-kacangan, dan sebagainya yang direbus.
Berdasarkan salah satu faktor yang dapat memengaruhi nilai IG, yaitu cara
pengolahan, maka dengan tekstur bubur jagung yang lembek dan mudah dicerna
memungkinkan untuk menghasilkan nilai IG yang tinggi. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini bubur jagung akan dicampur dengan kacang hijau yang memiliki
indeks glikemik rendah (38), sehingga diharapkan dengan mencampur kedua pangan
tersebut akan menghasilkan bubur jagung kacang hijau yang memiliki IG rendah dan
secara tidak langsung berarti mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam.
Bubur jagung manis kacang hijau bukan merupakan hal baru dalam dunia
kuliner masyarakat Indonesia. Banyak para pebisnis franchise maupun pedagang
keliling yang telah menjual produk bubur jagung dengan berbagai macam campuran
lainya, seperti durian, kacang hijau, ketan hitam, dan lain sebagainya. Oleh karena
itu, mengingat cukup banyaknya peminat bubur jagung manis kacang hijau, penulis
tertarik untuk meneliti nilai indeks glikemik dari pangan campuran tersebut, apakah
Universitas Sumatera Utara
27
lebih mendekati nilai indeks glikemik jagung manis atau kacang hijau. Sehingga
dengan diketahuinya nilai indeks glikemik makanan tersebut, dapat diketahui apakah
bubur jagung manis kacang hijau dapat disarankan atau harus dihindari oleh
penderita DM dan obesitas.
Jagung Manis
(Zea mays saccharata)
Bubur jagung manis kacang
hijau
-
Kacang Hijau
(Vigna radiata)
-
Kandungan Gizi (Air,
Abu, Lemak, Protein,
Serat kasar dan
Karbohidrat)
Nilai Indeks Glikemik
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep diatas, jagung manis dan kacang hijau akan
diolah menjadi bubur campuran jagung manis kacang hijau (perbandingan 1:1).
Sebelum mengukur nilai indeks glikemik, bubur jagung manis kacang hijau terlebih
dahulu dianalisis profil gizinya yaitu kadar air, kadar abu, protein, lemak, serat kasar
dan kandungan karbohidratnya. Setelah diketahui kandungan karbohidratnya,
relawan yang bersedia menjadi subyek penelitian diberikan bubur jagung kacang
hijau yang mengandung 50 gram karbohidrat kemudian diukur nilai indeks
glikemiknya dengan melihat rata-rata kenaikan kadar glukosa darah pada menit ke 0
(sebelum diberi pangan uji), 15, 30, 45, 60, 90, 120 yang dibandingkan dengan
pangan acuan.
Universitas Sumatera Utara
Download