analisis pencapaian stabilitas inflasi dengan pendekatan harga di

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Moneter
2.1.1 Konsep Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indoensia dalam mewujudkan
stabilitas ekonomi makro terdiri dari kerangka strategis dan kerangka operasional.
Kerangka strategis umumnya terkait dengan pencapaian tujuan akhir kebijakan
moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja)
serta strategi untuk mencapainya (exchange Rate targeting, monetary targeting,
Inflation targeting, implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan Solikin, 2004).
Kerangka operasional kebijakan moneter terdiri dari instrumen, sasaran-operasional,
dan sasaran-antara yang digunakan untuk mencapai sasaran akhir. Sasaran-antara
diperlukan karena adanya time lag antara pelaksanaan kebijakan moneter dengan
hasil pencapaian sasaran akhir, sehingga untuk meninjau keefektifan suatu kebijakan,
maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat dilihat dengan segera. Untuk mencapai
sasaran antara ini, diperlukan adanya sasaran operasional agar proses transmisi dapat
berjalan sesuai rencana. Kriteria dari sasaran-operasional ini adalah memiliki
kestabilan hubungan dengan sasaran antara, dapat dikendalikan oleh bank sentral, dan
informasi tersedia lebih awal dari pada sasaran-antara. Sedangkan instrumen moneter
merupakan instrumen yang dimiliki bank sentral yang dapat mempengaruhi sasaran
operasional yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Sejak tahun 2000, Bank Indonesia menerapkan pola kebijakan moneter yang
diformulasikan dalam rangka mencapai sasaran tingkat inflasi yang ditargetkan.
Landasan hukum kebijakan Bank Indonesia ini adalah UU no 23 tahun 2004 tentang
Bank Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diungkapkan bahwa sasaran laju
inflasi merupakan sasaran akhir kebijakan moneter Indonesia. Pola kebijakan ini
dikenal juga dengan nama Inflation Targeting Framework.
2.1.2 Inflation Targeting Framework (ITF)
Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan suatu kerangka kerja
kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari
bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan
moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan
mengumumkan target inflasi kepada publik. Perlunya mencapai dan menjaga tingkat
inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Warjiyo dan Solikin, 2004),
yaitu adanya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya
laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam
jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap
inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan
tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan
ekonomi dalam jangka pendek.
Inflation Targeting Framework merupakan sebuah kerangka kebijakan
moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi
Universitas Sumatera Utara
yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan
bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan
moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia
sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting Lite Countries". Alasan
pemilihan Inflation Targeting Framework sebagai berikut :
1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter Inflation Targeting didasarkan atas
beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a. Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).
b.Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3/2004.
c. Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
d.Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan
Inflation
Targeting
Framework
berhasil
menurunkan
inflasi
tanpa
meningkatkan volatilitas output.
e. Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi
melalui
komitmen pencapaian target.
2. Penerapan Inflation Targeting Framework bukan berarti bahwa bank sentral
hanya menaruh perhatian pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan
pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara
keseluruhan. Inflation Targeting Framework bukanlah suatu kaidah yang kaku
(rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan
Universitas Sumatera Utara
dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa
perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
3. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti
dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga
jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi.
Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun.
Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi
asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah
sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti
inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
Enam elemen mendasar dalam langkah-langkah penguatan kerangka kerja
kebijakan moneter yang baru mulai Juli 2005 agar konsisten dengan penerapan
Inflation Targeting Framework (ITF):
1. Penggunaan suku bunga (disebut BI Rate) sebagai reference Rate dalam
pengendalian moneter, sebagai pengganti sasaran operasional uang primer.
2. Penguatan proses perumusan kebijakan moneter dengan strategi antisipatif
(forward looking strategi) dalam mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini
untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
Universitas Sumatera Utara
3. Strategi komunikasi yang lebih transparan untuk memperkuat sinyal kebijakan
moneter kepada pasar dan upaya pembentukan ekspektasi inflasi.
4. Penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah untuk meminimalkan tekanan
inflasi dari kenaikan administered prices dan volatile foods maupun untuk sinergi
kebijakan ekonomi secara keseluruhan.
5. Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan Inflation Targeting Framework
(ITF) sebagai kerangka kebijakan Moneter.
6. Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja kebijakan
moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi beberapa tahun ke depan yang secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.
Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan Inflation Targeting
Framework (ITF) :
1. Memiliki sasaran utama yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai prioritas
pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) kebijakan moneter.
2. Bersifat antisipatif (preventive atau forward looking) dengan mengarahkan respon
kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3. Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu dalam
menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter (constrained discretion).
4. Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu
berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.1 Pendekatan Harga
Sejak tahun 2000, dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 BI telah
menentukan dan mengumumkan sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan
moneter. Dengan amandemen UU Bank Indonesia No. 3 Tahun 2004, Pemerintah
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi IHK untuk tahun 2005, 2006, dan 2007. BI telah menempuh sejumlah
langkah dalam memperkuat persyaratan untuk penerapan Inflation Targeting
Framework (ITF), termasuk: Pengembangan indikator, riset, pemodelan ekonomi
untuk dasar analisis, prakiraan, dan perumusan kebijakan. Rapat Dewan Gubernur
(RDG) sebagai proses perumusan kebijakan moneter. Pengembangan laporan dan
strategi komunikasi untuk transparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter kepada
publik. Dalam hal ini BI menggunakan pendekatan harga untuk mencapai sasaran
inflasi yang telah ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Pendekatan Harga
Berdasarkan
kerangka
kerja
pendekatan
harga,
instrumen-instrumen
kebijakan moneter seperti operasi pasar terbuka (open market operation), fasilitas
diskonto (discount facility), cadangan minimum (reserve requirement), intervensi
nilai tukar (foreign exchange intervension) akan mempengaruhi tingkat bunga
(interes Rate) sebagai target operasionalnya. Setelah target operasional tercapai maka
akan mempengaruhi kapasitas dan aktivitas perekonomian yang pada akhirnya akan
berdampak terhadap perubahan inflasi.
Universitas Sumatera Utara
Sebelum Juli 2005, operasi moneter masih menggunakan uang primer (base
money) sebagai sasaran operasional. Cara ini dirasakan semakin tidak sejalan dengan
penerapan kebijakan moneter dengan Inflation Targetting Framework (ITF), terutama
karena:
1. Hubungan antara uang primer dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi semakin
tidak stabil dan mengalami hubungan terbalik.
2. Sinyal kebijakan moneter kepada pasar dan masyarakat kurang efektif,
3. Respon kebijakan moneter cenderung mengarah ke belakang (backward looking)
dan lebih sulit dilakukan.
4. Uang primer lebih sulit dikendalikan oleh bank sentral karena perilaku
permintaan uang kartal masyarakat di Indonesia.
5. Sejak 1999-sebelum Juli 2005, dalam literature, Indonesia dikategorikan sebagai
negara yang menerapkan Inflation Targetting Lite.
Dengan melihat perbandingan pendekatan dalam pengendalian inflasi, bisa
disimpulkan bahwa pendekatan price based approach secara empiris lebih efektif
digunakan untuk mengendalikan inflasi dari pada metode metode pendekatan
kuantitas. Hal ini, menurut hemat penulis bisa dijadikan sebagai pendukung empiris
dari pemilihan pendekatan ini dalam kerangka kebijakan moneter untuk pengendalian
inflasi (Inflation Targetting Framework). Namun, yang perlu dijadikan pertimbangan
adalah instrumen-instrumen kebijakan moneter yang dipilih untuk mempengaruhi
sasaran operasionalnya. Tampaknya, BI patut mengembangkan instrumen-instrumen
yang memberikan pengaruh yang lebih efektif untuk keberhasilan transmisi efek yang
Universitas Sumatera Utara
diinginkan. Sehingga akhirnya akan terbentuk sebuah kerangka kebijakan yang
efektif dalam rangka mencapai sasaran akhir pengendalian inflasi menuju stabilitas
moneter dalam perekonomian nasional.
2.1.3 Indikator dan Respon Kebijakan Moneter
Indikator kebijakan moneter dilakukan dengan berbagai pertimbangan sebagai
berikut :
1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan
analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya
prakiraan
inflasi,
pertumbuhan
ekonomi,
besaran-besaran
moneter
dan
perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkahlangkah kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah. Langkah-langkah
koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat
dan ditingkatkan.
3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk
mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran
inflasi yang telah ditetapkan.
Respon kebijakan moneter selalu berorientasi kepada kebijakan sebagai dasar
dan tujuan kebijakan moneter sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:
a. Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan
inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi
yang telah ditetapkan (konsistensi).
b.Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak
berubahnya BI Rate.
c. Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan
bertahap.
2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan yaitu :
a. BI Rate adalah suku bunga instrument signaling Bank Indonesia yang
ditetapkan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) triwulan untuk berlaku selama
triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh Rapat Dewan
Gubernur (RDG) bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, ratarata tertimbang hasil lelang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) pada setiap kali
lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh stakeholders sebagai sinyal
kebijakan moneter Bank Indonesia.
b.BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat Dewan
Gubernur (RDG) sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan
tegas) dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
c. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian
moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen liquidity
Universitas Sumatera Utara
adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1 bulan
diharapkan mempengaruhi suku bunga pasar uang (SBPU) dan suku bunga
jangka panjang.
3. Proses penetapan respon kebijakan moneter sebagai berikut :
a. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur
(RDG) triwulanan.
b.Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
c. Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek
tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
d.Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat
dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan.
4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan
a. BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar
tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan
terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap)
dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan
indikator lainnya.
b. BI
Rate
ditetapkan
oleh
Dewan
Gubernur
secara
diskresi
dengan
mempertimbangkan:
1) Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam
model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan
Universitas Sumatera Utara
2) Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi
anekdotal, variabel informasi, expert opinion, assesmen faktor risiko dan
ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
5. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1
bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps).
Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar
terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan
lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.
2.1.4 Operasi Pengendalian Moneter
Operasional pengendalian moneter memiliki 3 prinsip dasar sebagai berikut :
Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran
operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal
kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh
pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkatkan
efektivitas kebijakan moneter. Kemudian pengendalian moneter dilakukan dengan
menggunakan instrumen: (i) Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas
otomatis (standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib
minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion). Pengendalian moneter
diarahkan pula agar perkembangan suku bunga pasar uang (PUAB) berada pada
koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan
moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
2.1.5 Mekanisme Transmisi Alur Tingkat Bunga dan Harga
Mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat berpengaruh terhadap aktivitas
ekonomi dan bisnis melalui alur tingkat bunga atau interest rate channel dan alur
harga aktiva atau asset price channel. Mekanisme transmisi alur tingkat bunga dari
ekspansi moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan
ekspektasi inflasi dan penurunan tingkat bunga riil. Penurunan tingkat bunga riil akan
meningkatkan investasi dan menurunkan biaya modal dalam proses produksi
sehingga output agregat naik. Mekanisme transmisi alur harga aktiva dari ekspansi
moneter adalah peningkatan permintaan agregat sebagai akibat peningkatan
ekspektasi inflasi, nilai perusahaan dan kekayaan individu. Peningkatan ekspektasi
inflasi akan menurunkan tingkat bunga riil sehingga nilai tukar mata uang depresiasi,
ekspor neto naik dan kemudian meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tingkat bunga merupakan kunci mekanisme transmisi moneter dalam model
IS, model LM, model AD dan model AS. Peningkatan stok uang akan menurunkan
tingkat bunga riil dan biaya modal serta meningkatkan investasi bisnis. Peningkatan
investasi akan meningkatkan permintaan agregat. Penurunan tingkat bunga riil juga
akan meningkatkan pengeluaran untuk pembelian rumah dan barang tahan lama. Oleh
sebab itu penurunan tingkat bunga akibat ekspansi moneter akan meningkatkan
belanja atau konsumsi dan permintaan agregat. Pada tingkat bunga nominal yang
Universitas Sumatera Utara
sangat rendah, ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi tingkat harga dan
inflasi, akibatnya tingkat bunga riil turun. Penurunan tingkat bunga riil akan
menurunkan biaya modal dan biaya memegang uang, kemudian menstimulasi
pengeluaran bisnis dan konsumen. Peningkatan pengeluaran bisnis dan konsumen
pada akhirnya akan mingkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur
tingkat bunga dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu :
m ↑→ r ↓ → i↑ → y ↑
m ↑→ p ↑ → r ↓ → i ↑ → y ↑
(2.1)
(2.2)
dimana:
m = stok uang nominal,
r = tingkat bunga riil,
p = ekspektasi tingkat harga,
i = investasi riil, dan
y = output riil agregat.
Mekanisme transmisi alur harga aktiva terdiri dari efek nilai tukar atau
exchange Rate effect, Tobin’s q theory dan efek kekayaan atau wealth effect.
Pertumbuhan ekonomi internasional dan nilai tukar fleksibel telah meningkatkan
peranan kebijakan moneter internasional dalam penentuan nilai tukar mata uang suatu
negara. Ekspansi moneter pada awalnya akan menurunkan tingkat bunga riil domestik
dan kemudian mengakibatkan deposit mata uang luar negeri naik. Peningkatan nilai
Universitas Sumatera Utara
deposit mata uang luar negeri terhadap deposit mata uang domestik akan
mengakibatkan apresiasi nilai tukar matauang luar negeri dan depresiasi nilai tukar
mata uang domestik. Depresiasi nilai tukar mata uang domestik mengakibatkan harga
relatif produk atau ekspor lebih murah sehingga ekspor Neto naik dan akhirnya
meningkatkan permintaan agregat. Mekanisme transmisi alur efek nilai tukar
dirumuskan sebagai berikut:
m ↑→ r ↓ → e ↓ → x ↑ → y ↑
(2.3)
dimana:
e = Nilai tukar mata uang, dan
x = Ekspor riil neto.
Tobin telah mengembangkan teori bagaimana kebijakan moneter dapat
mempengaruhi
penilaian
saham,
yang
disebut
Tobin’s
q
theory.
Tobin
mendefinisikan q sebagai rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian
modal. Jika q tinggi maka rasio harga pasar perusahaan dengan biaya penggantian
modal tinggi, dan sebaliknya jika q rendah maka rasio harga pasar perusahaan dengan
biaya penggantian modal rendah. Ekspansi moneter akan meningkatkan ekspektasi
harga saham perusahaan dan akibatnya rasio harga pasar perusahaan dengan biaya
penggantian modal naik. Peningkatan q ini akan meningkatkan pengeluaran untuk
peralatan dan pabrik baru atau investasi.
Peningkatan pengeluaran investasi perusahaan akan meningkatkan permintaan
agregat. Mekanisme transmisi alur Tobin’s q theory dirumuskan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
(2.4)
m ↑→ s ↑ → q ↑ → i ↑→ y ↑
dimana:
s = Ekspektasi harga saham, dan
q = Rasio harga pasar saham dengan biaya penggantian modal.
i = Investasi
Mekanisme transmisi moneter juga mempengaruhi kekayaan masyarakat.
Keputusan pengeluaran dari konsumen mungkin akan mempengaruhi neraca
konsumen. Modigliani menggunakan hipotesis siklus hidup atau life cycle hypotheses
dari konsumsi barang tahan lama dan jasa-jasa untuk menjelaskan efek kekayaan.
Premis utama dari Modigliani adalah bahwa konsumsi tidak konstan dalam periode
jangka panjang. Hal ini terutama disebabkan oleh kekayaan keuangan dari konsumen,
seperti saham, obligasi dan deposit tidak konstan selama hidup. Ekspansi moneter
akan meningkatkan harga aktiva keuangan sehingga kekayaan keuangan naik.
Peningkatan kekayaan keuangan akan meningkatkan sumberdaya ekonomi selama
hidup konsumen dan pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi dan permintaan
agregat. Mekanisme transmisi alur efek kekayaan dirumuskan sebagai berikut:
m ↑→ s ↑ → w ↑ → c ↑→ y ↑
(2.5)
dimana:
w = kekayaan keuangan atau neraca konsumen
c = konsumsi riil rumahtangga
Universitas Sumatera Utara
2.2 Inflasi dan Jenis Inflasi
Pada dasarya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara
umum. Hera, M. Ikhsan dan Widyanti (2000) mendefinisikan inflasi sebagai
“kenaikan harga umum secara terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian.”
sedangkan Mankiw (2006) menyatakan ”Economist use the term inflation to describe
a situation in which the economy’s overall price level is rising” Sedangkan untuk
mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan tiga indikator (Ikhsan dan
Widyanti,2000), yaitu:
1. Perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Biaya Hidup (IBH)
2. Perubahan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
3. Perubahan Deflator GDP/GDY.
Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang
utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan kebutuhan
dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan untuk
mengukur inflasi ini adalah IHK.
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus, Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono,
2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.
Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan harga
yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan , 2008). Bahkan mungkin
Universitas Sumatera Utara
dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum
barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang
yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar,
bukanlah merupakan inflasi, (Nopirin, 2000). Atau dapat dikatakan, kenaikan harga
barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan
inflasi.
Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan dimana terjadi
kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian
secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus menerus dari
barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut
definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai Inflasi.
Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebabnya, parah dan
tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya (Nopirin, 2000). Menurut
sifatnya Inflasi digolongkan dalam tiga kategori yaitu
inflasi merayap, inflasi
menengah dan inflasi tinggi. Inflasi merayap adalah kenaikan harga terjadi secara
lambat, dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di
bawah 10% per tahun). Inflasi menengah adalah kenaikan harga yang cukup besar
dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat
akselerasi. Inflasi tinggi adalah kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 atau 6 kali.
Masyarakat tidak lagi berkeinginan menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan
tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, sehingga
harga naik secara akselerasi.
Universitas Sumatera Utara
Menurut sebabnya inflasi digolongkan dalam dua kategori yaitu demand pull
inflation dan cost push inflation. Demand pull inflation adalah inflasi yang bermula
dari adanya kenaikan permintaan total (agregat demand). Sedangkan produksi telah
berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati kesempatan
kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full employment) telah tercapai,
penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja (sering
disebut dengan inflasi murni). Apabila kenaikan permintaan ini menyebabkan
keseimbangan GNP berada di atas/melebihi GNP pada kesempatan kerja penuh maka
akan terdapat adanya inflationary gap. Inflationary gap inilah yang akan
menyebabkan inflasi. Cost push inflation, inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga
serta turunnya produksi. Jadi inflasi yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul
dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total (agregat supply) sebagai
akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan
turunnya produksi. Serikat buruh yang menuntut kenaikan upah, manajer dalam pasar
monopolistis yang dapat menentukan harga (yang lebih tinggi), atau kenaikan harga
bahan baku, misalnya krisis minyak adalah faktor yang dapat menaikkan biaya
produksi, atau terjadi penawaran total (aggregate supply) sebagai akibat kenaikan
biaya produksi. Jika proses ini berlangsung terus maka timbul cost push inflation.
Berdasarkan parah tidaknya inflasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi
empat kategori yaitu, inflasi ringan (dibawah 10% setahun), inflasi sedang (antara
10%-30% setahun), inflasi berat (antara 30%-100% setahun) dan hiperinflasi (diatas
100% setahun).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Model Inflasi Statis Klasik
Misalkan dalam model klasik pertumbuhan penduduk dan kemajuan teknologi
tidak ada sehingga pertumbuhan stok uang naik secara konstan sebesar Θ pada
periode [t], yaitu:
Δ ln(M t ) = Θ
(2.6)
Netralitas uang dalam model klasik menyatakan bahwa tingkat harga [Pt] juga
naik sebesar pertumbuhan stok uang [Θ]. Penyelesaian model klasik akan
menghasilkan tingkat bunga nominal [R], dimana tingkat bunga nominal merupakan
fungsi dari output agregat ditambah tingkat inflasi, yaitu:
Rt = Ω( yt ) + π t
(2.7)
Persamaan (2.7) menjelaskan bahwa tingkat bunga nominal adalah tingkat
inflasi ditambah dengan output riil agregat. Berdasarkan persamaan 2.7 maka suku
bunga nominal mempunyai hubungan positif dengan inflasi. Apabila inflasi
meningkat maka suku bunga nominal juga akan mengalami peningkatan.
Konsekuensinya, keseimbangan pada kondisi steady-state adalah π = Θ atau
pertumbuhan output agregat tidak ada. Nilai Rt ditentukan oleh perpotongan skedul
IS, yaitu Rt = Ω(yt) + πt dan y = y*, sehingga peranan dari skedul LM hanya
menentukan saldo kas riil [M⁄P] pada tingkat y dan R tertentu. Oleh sebab itu tingkat
pertumbuhan P adalah konstan sebesar Θ pada keseimbangan steady-state. Dengan
kata lain steady-state inflation menjelaskan pertumbuhan harga-harga atau inflasi
Universitas Sumatera Utara
sama dengan pertumbuhan stok uang nominal sehingga semua variabel ekonomi riil
tidak berubah.
2.3 Teori Suku Bunga
Menurut teori klasik suku bunga terjadi berdasarkan kekuatan permintaan
dana (tabungan) dipasar uang. Timbulnya penawaran dana disebabkan adanya
masyarakat yang kelebihan pendapatan untuk dikonsumsi sehingga mereka berhasrat
untuk menabung. Dilain pihak terdapat masyarakat yang memerlukan dana untuk
kegiatan investasi. Harga yang harus dibayar oleh pihak yang memerlukan dana
untuk keperluan investasi yaitu tingkat bunga.
Pada hakekatnya, Suku Bunga adalah pembayaran yang harus dilakukan
untuk penggunaan uang. Suku Bunga adalah jumlah bunga yang dibayarkan per unit
waktu. Dengan kata lain, masyarakat harus membayar peluang untuk meminjam
uang. Biaya untuk meminjam uang, diukur dalam rupiah per tahun untuk setiap
rupiah yang dipinjam, atau dalam persen pertahun, adalah suku bunga. Masyarakat
mau membayar bunga karena dana yang dipinjam membantu mereka untuk membeli
barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan konsumsi mereka atau membuat
investasi yang menguntungkan.
Makin tinggi tingkat suku bunga, keinginan untuk melakukan investasi juga
makin kecil. Alasan seseorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya
apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi semakin besar dari tingkat bunga
Universitas Sumatera Utara
yang harus dia bayar untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos-ongkos
penggunaan dana (Cost of capital). Makin rendah tingkat bunga, maka pengusaha
akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga
makin kecil. Tingkat bunga dalam keadaan keseimbangan (tidak ada dorongan untuk
naik atau turun) akan tercapai apabila keinginan menabung masyarakat sama dengan
keinginan pengusaha untuk melakukan investasi. Secara grafik keseimbangan tingkat
bunga tersebut digambarkan sebagai berikut :
Tingkat Bunga
Tabungan
i1
I1
i0
I0
S0
S1
Loanable Fund
Gambar 2.2 Hubungan Tingkat Bunga dan Tabungan
Dari gambar 2.2 dapat diketahui bahwa keseimbangan tingkat bunga (i)
berada pada titik I0 dimana jumlah tabungan sama dengan investasi. Apabila tingkat
bunga di atas i0 maka jumlah tabungan melebihi keinginan pengusaha untuk
melakukan investasi. Para penabung akan saling bersaing untuk meminjamkan
dananya dan persaingan ini akan menekan tingkat bunga turun ke posisi i0, sebaliknya
apabila tingkat bunga dibawah i0, para pengusaha akan saling bersaing untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh dana yang jumlahnya relatif lebih kecil dan persaingan ini akan
mendorong tingkat bunga naik lagi ke i0.
Kenaikan efisiensi produksi misalnya, akan mengakibatkan keuntungan yang
diharapkan naik, sehingga pada tingkat bunga yang sama pengusaha bersedia
meminjam dana lebih besar untuk membiayai investasinya atau untuk dana investasi
yang sama jumlahnya, pengusaha bersedia membayar pada tingkat bunga yang lebih
tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar di atas, ditunjukkan dengan
bergesernya kurva permintaan investasi kekanan atas dan keseimbangan tingkat
bunga yang baru pada titik Iı.
2.4 Produk Domestik Bruto dan Inflasi
Produk Domestik Bruto (PDB), adalah pendapatan total dan pengeluaran total
nasional atas output barang dan jasa dalam periode tertentu. PDB ini dapat
mencerminkan kinerja ekonomi, sehingga semakin tinggi PDB sebuah negara,
dapat dikatakan semakin bagus pula kinerja ekonomi di negara tersebut. Karena
begitu pentingnya peran PDB di dalam suatu perekonomian, maka perlu kiranya
untuk menganalisa faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi PDB.
Sebenarnya ada banyak sekali faktor, baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut teori Keynes, PDB terbentuk dari empat faktor yang secara positif
mempengaruhinya, keempat faktor tersebut adalah konsumsi (C), investasi (I),
pengeluaran pemerintah (G), dan ekspor neto (NX). Keempat faktor tersebut
kembali dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, antara lain dipengaruhi oleh
Universitas Sumatera Utara
faktor-faktor seperti tingkat pendapatan, tingkat harga, suku bunga, tingkat inflasi,
money supply, nilai tukar.
Beberapa ekonom berpendapat bahwa kecenderungan naik bagi output perkapita
saja tidak cukup, tetapi kenaikan output harus bersumber dari proses intern
perekonomian tersebut. Dengan kata lain proses pertumbuhan ekonomi harus
bersifat self generating, yang mengandung arti menghasilkan kekuatan bagi
timbulnya kelanjutan pertumbuhan dalam jangka panjang (periode-periode
selanjutnya).
Dalam
penawaran
agregat terdapat tiga model penawaran agregat yaitu
model harga kaku, model upah kaku, dan model informasi tak sempurna. Ketiga
model ini dapat diringkas kedalam persamaan sebagai berikut :
−
Y = Y + α (P − P e )
( 2.8 )
Persamaan ini menyatakan bahwa penyimpangan output dari tingkat alamiah
dikaitkan dengan penyimpangan tingkat harga dari tingkat harga yang diharapkan.
Jika tingkat harga lebih tinggi dari tingkat harga yang diharapakan, output akan naik
melebihi tingkat alamiah. Jika tingkat harga lebih rendah dari tingkat harga yang
diharapakan output turun lebih rendah dari tingkat alamiah.
Pada kurva penawaran agregat jangka pendek output menyimpang dari tingkat
alamiahnya Y jika tingkat harga P menyimpang dari tingkat harga yang diharapkan.
Sementara itu pada kondisi steady-state, tingkat inflasi adalah selisih antara tingkat
pertumbuhan uang [Θ] dengan elastisitas permintaan uang terhadap output riil agregat
Universitas Sumatera Utara
[α1] dikali tingkat pertumbuhan output riil agregat [v]. Dengan mengambil logaritme
natural model permintaan uang, model inflasi steady-state adalah
ln(M t ) − ln( Pt ) = α 0 + α1 ln( yt ) + α 2 ln( Rt )
( 2.9 )
Δ ln(M t ) − Δ ln( Pt ) = α1Δ ln( yt ) + α 2 Δ ln( Rt )
(2.10)
Θ − Δ ln( Pt ) = α1 v + α 2 Δ ln( Rt )
(2.11)
Δ ln( Pt ) = Θ − α1 v − α 2 Δ ln( Rt )
(2.12)
Persamaan (2.12) menjelaskan bahwa tingkat inflasi [Δln(Pt)] pada kondisi
steady-state adalah Θ - α1 v, dimana pertumbuhan tingkat bunga [Δln(Rt)] sama
dengan nol atau tingkat bunga nominal tidak berubah pada kondisi steady-state.
Selama tingkat bunga nominal masih berubah maka kondisi perekonomian belum
mencapai steady state.
2.5 Penelitian Terdahulu
Wijoyo dan Santoso (2007) Kebijakan Moneter dengan Inflation Targetting
(Konsiderasi kemungkinan penerapan inflation targeting di Indonesia). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengujian empiris dengan menggunakan vector
autoregression dan Granger causality test versi Hsiao menunjukkan bahwa kebijakan
moneter dengan Inflation Targetting dapat digunakan di Indonesia khususnya setelah
era sistem nilai tukar fleksibel. Pengendalian moneter dalam kerangka Inflation
Targetting dapat dilakukan dengan menggunakan suku bunga PUAB overnight
sebagai kandidat utama sasaran operasional dan MCI sebagai sasaran antara,
Universitas Sumatera Utara
sementara underlying inflation sebagai sasaran akhir tunggal. Sementara penggunaan
MCI sebagai sasaran antara tidak dilakukan secara kaku (policy rules) tetapi
dimungkinkan terjadinya discretionary policy sepanjang shock terhadap inflasi dan
nilai tukar berasal dari supply shock dan bersifat sementara. Disamping itu, masih
kuatnya hubungan langsung antara monetary aggregates dengan inflasi maka
pengalihan kebijakan moneter dari quantity targetting ke price targetting bukan
merupakan substitusi penuh. Monetary aggregates masih tetap digunakan sebagai
variabel indikator untuk mendeteksi tekanan terhadap inflasi.
Darwanto (2007) dengan judul penelitian Kejutan Pertumbuhan Nilai Tukar
Riil Terhadap Inflasi, Pertumbuhan Output Dan Pertumbuhan Neraca Transaksi
Berjalan di Indonesia. Dengan pendekatan VAR. Hasil penelitian menyebutkan
bahwa pertama kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah memiliki kontribusi dalam
menjelaskan variasi fluktuasi variable inflasi dan pertumbuhan output dengan
magnitude yang sangat besar. Kedua sumber kejutan terbesar yang mempengaruhi
variasi pertumbuhan nilai tukar riil rupiah bersumber dari kejutan pertumbuhan nilai
tukar riil rupiah itu sendiri. Ketiga respon inflasi dan pertumbuhan output akibat
kejutan pertumbuhan nilai tukar riil rupiah menunjukkan adanya pergerakan yang
konvergen.
Rika Kumala Dewi (2006) dengan judul penelitian Analisa Komparatif
Pendekatan Kuantitas dan Pendekatan Harga Dalam Rangka Mencapai Stabilitas
Inflasi. Pengujian empiris dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pilihan
pendekatan harga (Price Based Approach) dalam implementasi kebijakan operasional
Universitas Sumatera Utara
BI lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan kuantitas (Quantity Based
Approach). Karena itu, pilihan yang dijatuhkan BI kepada pendekatan PBA (Price
Based Approach) dalam kerangka kebijakan ITF (Inflation Targetting Framework)
diharapkan mampu memberikan kinerja yang lebih baik dari pada metode QBA
(Quantity Based Approach). Variabel yang memiliki pengaruh paling besar terhadap
pengendalian inflasi pada pendekatan harga adalah suku bunga jangka pendek (ovr),
sedangkan variabel informasi (IRLR), pengaruhnya terhadap inflasi jauh lebih kecil
dari pada pengaruh ovr. Karena berfokus pada pencapaian target inflasi tertentu,
maka Bank Indonesia sebagai bank sentral harus mengembangkan formula yang
ampuh untuk dapat memprediksi tingkat inflasi secara tepat.
Akhis R. Hutabarat (2005) dengan judul penelitian Determinan Inflasi
Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan utama inflasi adalah
ekspektasi inflasi yang terkait dengan pola pembentukan ekspektasi inflasi yang
masih didominasi oleh inflasi masa lalu (ekspektasi adaptif). Perilaku ini
menimbulkan persistensi inflasi karena riwayat inflasi Indonesia yang banyak dipicu
oleh inflasi cost push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, seperti
kejutan harga minyak, kenaikan harga BBM, devaluasi dan fluktuasi berlebihan nilai
tukar Rupiah. Karakteristik inflasi tersebut tidak mengalami perbaikan pada pasca
krisis, baik secara time series, distribusi lintas komoditi pembentuk inflasi, maupun
perbandingan dengan negara lain. Persistensi inflasi tersebut juga dipengaruhi oleh
besarnya tekanan kenaikan harga barang administered khususnya harga BBM dan
listrik, depresiasi nilai tukar, dan kenaikan upah minimum yang bersifat over-
Universitas Sumatera Utara
inflation indexation. Dalam kondisi tersebut maka pada dasarnya inflasi hanya dapat
turun jika terjadi favorable supply shocks atau karena pengetatan moneter yang
mentolerir dampak resesi ekonomi. Dalam kondisi ekspektasi inflasi yang tinggi dan
dengan kebijakan moneter yang belum kredibel, disinflasi akan menghasilkan
pengorbanan pertumbuhan ekonomi yang besar.
2.6 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan landasan teoritis dan hasil penelitian terdahulu, maka kerangka
pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Suku Bunga
Pasar Uang
BIRate
Domestik
Demand
Net Eksternal
Demand
Inflasi
Indeks
Harga
Impor
Indeks
Harga
Ekspor
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
2.7 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan kajian empiris yang telah dilakukan
sebelumnya, dapat ditarik hipotesis yaitu :
1. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga
Ekspor dan Indeks Harga Impor berkontribusi terhadap Inflasi di Indonesia.
2. SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor,
Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap BI Rate di Indonesia.
3. BI Rate, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor,
Indeks Harga Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap SBPU di Indonesia.
4. BI Rate, SBPU, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga
Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Domestik di Indonesia.
5. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Indeks Harga Ekspor, Indeks Harga Impor
dan Inflasi berkontribusi terhadap Permintaan Eksternal Neto di Indonesia.
6. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga
Impor dan Inflasi berkontribusi terhadap Indeks Harga Ekspor di Indonesia.
7. BI Rate, SBPU, Permintaan Domestik, Permintaan Eksternal Neto, Indeks Harga
Ekspor dan Inflasi berkontribusi terhadap Indeks Harga Impor di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Download