SIKAP HIDUP WANITA PENGHAYAT ALIRAN KEBATINAN DALAM MENGHADAPI MUSIBAH BENCANA ALAM Mulyana dan Suwardi Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana sikap batin penghayat aliran kebatinan dalam menghadapi musibah bencana alam. Sikap batin ini diperlukan sebagai landasan sikap hidup Jawa dalam menghadapi musibah bencana alam yang dahsyat, khususnya gempa bumi yang terjadi di DIY tahun 2006. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian etnografi. Alasan dipilihnya masalah dan metode ini mengingat bahwa musibah alam dalam berbagai wujud, termasuk gempa bumi, yang menimpa manusia diyakini sebagai suatu “takdir” Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Artinya, bagi penghayat aliran kebatinan, apapun yang menimpa hidupnya diyakini sebagai keputusan Tuhan yang pasti memiliki hikmah dan nilai positif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita penghayat aliran kebatinan, yang terbukti memiliki sikap hidup yang relatif lebih pasrah dalam menghadapi segala ujian hidup, musibah alam yang dialaminya justru menjadikannya sebagai wanita penghayat menjadi lebih taat, lebih pasrah, dan lebih eling. Sebenarnya, sejumlah sikap hidup yang dimiliki dan memancar dari jiwa wanita penghayat bukan muncul begitu saja tanpa sebab akibat. Mereka, dalam komunitas aliran penghayat hidup dalam bingkai latihan spiritual yang lekat dengan dasar kepasrahan. Dari sinilah segala sesuatu, termasuk ujian terberat, semisal musibah gempa tetap dihadapinya dengan sikapsikap spiritualitas yang sangat mantap. Sikap hidup wanita penghayat kebatinan yang muncul dalam menghadapi musibah alam, khususunya gempa bumi, lesus, dan sejenisnya, yang paling kental mendasarinya adalah: eling, pasrah, sabar, prihatin, ikhlas. Eling dan sabar, menjadikan mereka selalu ingat apa yang sebenarnya terjadi: tidak ada yang menjadikan sesuatu selain Gusti Allah (Tuhan). Jiwa yang selalu ingat menjadikan mereka sabar dalam menghadapi apapun. Sabar artinya pasrah. Tidak ngundamana (menyalahkan Tuhan). Sabar dan ikhlas adalah bagian dari sikap hidup yang hendak mengantarkan manusia lebih tenang menghadapi nasibnya. Kesabaran menerima musibah dengan penuh ikhlas diharapkan justru menyebabkan hidup lebih tenang. Hidup mereka menjadi lebih tentram ketika menerima keadilan Tuhan, apapun bentuknya. FBS, 2008 (PEND. BHS DAERAH)