The Only True God Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah Eric H.H. Chang “The Only True God” Edisi PDF B uku yang ditulis oleh Eric H.H. Chang ini, aslinya diterbitkan sebagai buku cetak (Borobudur Publishing ISBN 978-979-252709-4), sekarang dirilis sebagai ebook PDF gratis. Sekalipun gratis, ebook ini masih dilindungi hak cipta, dan belum dilepas ke domain umum. Oleh karena itu, ebook ini tidak boleh didistribusikan kecuali dengan ketentuan berikut: (i) tidak dikenakan biaya; (ii) file PDF-nya tidak diubah dengan cara apapun dari bentuk aslinya seperti yang dirilis oleh website Cahaya Pengharapan Ministries. Untuk mengunduh salinan resmi yang terbaru, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/ (Di website ini, Anda akan menemukan materi Alkitabiah yang lain.) Edisi PDF ini, untuk sementara waktu, mengandung hanya Bab 1 sampai Bab 6 dari buku asli. Bab-bab selanjutnya (7-10), yang mengkaji Yohanes 1:1,14 dengan rinci, masih ditahap pengerjaan dan akan dirilis nanti. Para pembaca yang ingin mendapatkan edisi lengkap ini bisa mengecek website kami dari waktu ke waktu, atau meninggalkan alamat email di [email protected]. Para pembaca yang merasa tidak nyaman membaca dari komputer tablet atau laptop, bisa membeli edisi cetaknya dari website ini. Buku ini dirilis ke publik dengan kerinduan yang sama yang selalu dimiliki Eric Chang, yaitu demi kemuliaan Allah dan pembangunan umat-Nya dalam Yesus Kristus. Cahaya Pengharapan Ministries Juni 2016 Catatan Editor E book PDF ini mengandung teks yang sama seperti buku cetak yang asli, dengan beberapa perubahan: (i) font dan format yang baru; (ii) penerjemahan yang lebih jelas; (iii) beberapa kesalahan pengetikan telah diperbaiki; (iv) bookmark PDF telah ditambahkan. Selain perbaikan umum yang disebut di atas, terdapat juga tiga perbaikan khusus yang dilakukan untuk menyelaraskannya dengan subjek buku, yaitu monoteisme Alkitabiah. Hal ini dilakukan demi menghindari salah paham. Yang pertama menyangkut terjemahan kata Lord untuk Yesus. Kata bahasa Inggris Lord yang sering dipakai untuk menyapa Yesus, yang sekaligus menjadi gelar kehormatan Yesus seperti dalam “the Lord Jesus Christ”, merupakan terjemahan dari kata Yunani kurios. Siapa saja yang mengenal bahasa Inggris dan bahasa Yunani akan tahu bahwa kata Lord dan kurios memiliki makna yang luas dan paling tepat diterjemahkan sebagai “Tuan”, tetapi “Tuhan” bukanlah salah satu maknanya. “Tuan” merupakan sebuah kata yang bebas diterapkan kepada manusia biasa dalam bahasa apa pun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti utama bagi “Tuhan” adalah sesuatu yg diyakini, dipuja dan disembah oleh manusia sebagai yg Mahakuasa, Mahaperkasa, dsb. Arti sekundernya didefinisikan sebagai sesuatu yg dianggap sbg Tuhan. Ini bukan maknanya Lord dalam bahasa Inggris maupun kurios dalam bahasa Yunani. Padanan Yunani untuk definisi yang diberikan oleh KBBI adalah theos bukan kurios. Dengan kata lain, kurios adalah salah satu gelar yang dipakai bagi theos tetapi itu tidak berarti semua yang disebut kurios itu adalah “Tuhan”. Atas pertimbangan ini, dan juga demi keselarasan dengan isi dan maksud buku ini, kata “Tuhan” yang diterapkan pada Yesus dalam Alkitab Indonesia akan ditulis sebagai “Tu[h]an”. Yang kedua menyangkut pronomina untuk Yesus. Demi membedakan Yesus dari Allah, semua pronomina untuk Yesus akan ditulis dalam huruf kecil sesuai dengan tulisan penulis dan juga kutipan-kutipan dari Alkitab. Hanya pronomina untuk Allah saja yang akan ditulis dalam huruf besar. Akan tetapi, apabila buku ini mengutip dari buku-buku karya orang lain, tidak ada perubahan akan dilakukan pada pronominanya. Terakhir, nama “Yahweh” akan dikembalikan kepada kutipan Perjanjian Lama yang mengandung tetragramaton, YHWH. Semua kutipan Kitab Suci dalam buku ini diambil dari ALKITAB © LAI 2001 (TB) atau Perjanjian Baru TB Edisi 2 © LAI 1998 (TBR), kecuali dinyatakan lain. Selain TB dan TBR, Alkitab yang banyak juga dikutip ialah Kitab Suci Indonesian Literal Translation (KS-ILT Edisi-2). Kutipan dari Alkitab ini akan ditandai dengan (ILT). Alkitab ini mengandung beberapa ciri khas, dan salah satunya ialah pemakaian kata Ibrani yang tidak diterjemahkan, tetapi ditransliterasikan, Elohim. Mengingat kata Elohim masih terdengar asing di telinga masyarakat, kami menghindar dari memakai istilah tersebut dengan mengutip Alkitab versi ini yang tersedia di program SABDA Version 4.30 sebagai Modified Indonesian Literal Translation. Kutipan dari program SABDA ini akan ditandai dengan (MILT). Chuah SC 20 Juni 2016 Buku Sekuel “The Only Perfect Man” adalah lanjutan dan pasangan dari karya Eric H.H. Chang yang sebelumnya, “The Only True God”. Sementara karya yang sebelumnya berpusat pada Yahweh sebagai “satusatunya Allah yang benar” (Yoh.17:3), karya baru ini berpusat pada Yesus Kristus, Anak Allah dan satu-satunya manusia sempurna yang pernah hidup di muka bumi ini. Lebih dari itu, Allah telah meninggikan dia di sebelah kanan-Nya sebagai wakilmutlak-Nya. Oleh karena itu, sub judul buku ini, “Kemuliaan Allah pada Wajah Yesus Kristus” (2Kor.4:6). Untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang buku ini, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/id/toko-buku/. Anda dapat membaca Pratinjau buku di situ. The Only True God: Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah Eric H.H. Chang Copyright © 2011, 2016 Eric H.H. Chang dan Christian Disciples Church Edisi 1.0 adalah edisi cetak 2011 yang asli yang diterbitkan oleh Borobudur Publishing Edisi 1.1 adalah edisi ebook PDF Juli 2016 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan ISBN: 978-979-25-2709-4 Desain Sampul by Chris Chan Pemberitahuan Hak Cipta untuk Edisi 1.0 Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penulis/penerbit sesuai dengan Undang-undang Hak Cipta. Pemberitahuan Hak Cipta untuk Edisi 1.1 Dilarang memodifikasi atau mengubah ebook PDF ini dalam cara apa pun dari bentuk aslinya yang dirilis oleh website Cahaya Pengharapan Ministries. Dilarang mendistribusi file PDF ini kecuali dengan ketentuan berikut: (i) tidak dikenakan biaya; (ii) file PDF-nya ada dalam bentuk asli. Untuk mengunduh salinan resmi yang terbaru, silakan mengunjungi http://cahayapengharapan.org/. Foto halaman berikut: Lake Memphremagog, Quebec, Canada DEDIKASI Hormat dan kemuliaan sampai selamalamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak nampak dan yang esa! (1Timotius 1.17) Ucapan Terima Kasih D engan rasa penghargaan dan terima kasih yang mendalam, saya ingin mengakui kelimpahan dorongan (secara langsung atau tidak langsung) dari ratusan rekan sekerja dalam jemaat-jemaat kami di seluruh dunia. Meskipun mereka terheran-heran dan malah terkagum-kagum ketika saya mulai menguraikan Kitab Suci di dalam cahaya monoteisme Alkitabiah, mereka tetap berpandangan terbuka dan suportif, serta bertekad bulat mencari kebenaran menurut Kitab Suci. Keterbukaan pikiran yang demikian, atau apa yang dapat digambarkan sebagai “keterbukaan hati”, sungguhsungguh bukan sesuatu yang boleh dianggap enteng, khususnya di antara mereka (termasuk diri saya) yang sejak semula telah diasuh dalam trinitarianisme. “Keterbukaan hati” di sini berarti: saya melihat di dalam diri mereka bukan hanya keterbukaan pikiran secara mental atau intelektual saja, tetapi juga suatu keterbukaan rohaniah yang lebih dalam terhadap firman Allah dan, di atas segalanya, Allah yang hidup. Bagi saya, kiranya tidak ada keterangan memadai atas sikap luar biasa ini, kecuali kenyataan bahwa anugerah satu-satunya Allah yang benar melimpah ke atas mereka dan memenuhi mereka dengan kasih supernal (dari atas) kepada Dia dan kebenaran-Nya. Saya berhutang terima kasih juga kepada Bentley Chan. Ia merupakan salah satu contoh dari orang-orang yang saya rujuk di atas. Dengan tidak tanggung-tanggung ia mencurahkan segenap tenaganya selama proses penerbitan buku saya yang terdahulu, Becoming a New Person. Sekarang, lebih dari semua itu, sekali lagi saya diberi kehormatan memperoleh partisipasinya yang cakap dan kompeten dalam mempersiapkan buku ini untuk penerbit. Dengan senang hati ia menerima tugas sulit ini, yang antara lain, terdiri dari: pengoreksian bacaan, pengaturan format, pemberian saran-saran bermanfaat, dan penyusunan Indeks Kitab Suci. Siapakah yang dapat sepenuhnya membalas dia kecuali Tuhan sendiri? Atas permintaan saya, dua rekan sekerja saya, Agnes S.L. Lim dan Lee Sen Siou, dengan senang hati menerima tugas sulit memeriksa setiap pemunculan kata “Memra” (“Firman”) dalam Targum-targum Aram dari Pentateukh (“kelima kitab Musa”). Atas jerih-payah mereka, saya ingin menyatakan rasa penghargaan yang sepenuh hati. Bahasa Aram merupakan bahasa yang digunakan di Tanah Suci pada masa Yesus dan jemaat awal. Oleh karena itu, penting untuk kita mengetahui bagaimana orang-orang zaman itu mengerti kata “Firman” supaya kata “Firman” yang terdapat dalam Yohanes 1:1,14 bisa dimengerti dengan lebih baik. Kedua ayat ini amat kritis untuk kajian kita ini. Namun, karena seluruh hasil penelitian itu terlalu besar untuk dicakupkan sepenuhnya dalam buku ini, hanya kitab Kejadian dan Keluaran saja yang dimasukkan. Itupun harus dengan mengeluarkan teks asli Aramnya. Karya mereka ditemukan dalam Lampiran 12. Bentley menyumbangkan bagian pendahuluannya yang mudah diikuti dan informatif. Adalah sebuah kealpaan jika saya tidak memaktubkan rasa terima kasih dan penghargaan atas dukungan ketabahan doa istri saya hari demi hari. Saya kira hanya di alam baka saja saya baru akan mengetahui seberapa besar hutang budi saya atas doa syafaat yang ia panjatkan dengan tiada putus. Tentu saja, dukungan ini diberikan dengan limpah dalam kehidupan rumah-tangga kami sehari-hari, antara lain, dalam hal menyiapkan makanan. Ketika waktunya makan, seringkali saya hanya dapat datang setelah makanannya dingin, oleh karena upaya merampungkan sebagian naskah. Namun, tidak sekali pun ia menunjukkan kejengkelan karena harus menghangatkan makanan itu kembali. Saya bersyukur karena anugerah-Nya yang ditampakkan dalam kehidupan istri saya bagi kemuliaan-Nya. Akhirnya, seluruh proses penulisan buku ini, dari awal hingga akhir, telah menjadi suatu pengalaman luar biasa akan Allah yang hidup. Hari demi hari, sesudah dianugerahi tidur yang lelap dan segera setelah terjaga (terkadang dimulai sebelum sepenuhnya terjaga), saya akan diberi sesuatu yang dapat digambarkan sebagai “sebuah aliran pemikiran” tentang apa yang harus saya tulis pada hari itu. Selanjutnya, saya akan menghabiskan sebagian besar sisa hari itu untuk menuangkannya ke dalam tulisan. Hal seperti ini tidak terjadi setiap hari, tetapi saya rasa benar terjadi 50% atau lebih selama masa penulisan yang sekitar satu tahun lamanya ini. Di samping itu, pada beberapa kesempatan saya dituntun pada penemuan materi yang penting bagi karya ini (yang membawa sukacita besar bagi saya), materi yang tanpa saya sadari telah tersedia sebelumnya. Meskipun saya telah dianugerahi kehormatan khusus mengalami Allah berulang-kali dalam pelbagai situasi dalam kehidupan saya, proses penulisan buku ini, meskipun seringkali melelahkan secara mental dan fisik (saya juga masih harus melaksanakan tanggung jawab administratif selama periode itu), terutamanya telah menjadi suatu pengalaman yang sungguhsungguh unik akan Allah yang hidup. Kepada Dia, TUHAN Allah, saya di sini ingin memaktubkan pujian dan pemujaan sepenuh hati. Teks Alkitab Terjemahan Baru (TB) © LAI 1974 dan Teks Perjanjian Baru (TB) Edisi 2 © LAI 1997 merupakan versi yang paling banyak dipakai dalam buku ini. Bila ada versi lain yang dipakai, versinya akan tercantum. Versi yang dipakai dalam Lampiran 12 adalah Kitab Suci Indonesian Literal Translation (ILT). ILT – Indonesian Literal Translation (Edisi 2) MILT – Modified Indonesian Literal Translation 2008 KSKK – Kitab Suci Komunitas Kristiani 2002 BIS – Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari 1985 ITL – Alkitab Terjemahan Lama 1958 Daftar Isi Ucapan Terima Kasih Prakata Pendahuluan 10 16 18 Bab 1 Monoteisme Yesus dan Rasul-rasulnya yang Eksplisit 72 Bab 2 Hanya Manusia Sempurna Dapat Menjadi Juruselamat Dunia 196 Bab 3 Menilai Kembali Pemahaman Kristen akan Manusia 281 Bab 4 Penuhanan Trinitaris akan Kristus 349 Bab 5 Yahweh dalam Alkitab Ibrani 451 Bab 6 Kekristenan telah Kehilangan Akar Yahudinya – Konsekuensi Serius 517 Bab 7 Asal Usul “Firman” dalam Yohanes 1:1 dari Perjanjian Lama - Bab 8 “Firman” adalah “Memra” - Bab 9 Memandang Lebih Dekat Yohanes 1:1 - Bab 10 Yahweh “turun” dan “tinggal di - antara kita” di dalam Kristus Lampiran 1 Pentingnya Mazmur 2 guna memahami gelar “Anak Allah” - Lampiran 2 Yohanes 8:58 - Lampiran 3 Apakah Paulus menolak Hukum Taurat dan kebenarannya? - Lampiran 4 Beberapa pengamatan tentang Targum - Lampiran 5 Catatan eksegesis atas Yohanes 12:41 - Lampiran 6 “Firman Allah” dalam Wahyu 19:13 - Lampiran 7 Kesejajaran antara “Firman itu adalah Allah” dengan 2Korintus 3:17 - Lampiran 8 Filipi 2:6,7 – Lebih banyak bukti dari Alkitab Ibrani - Lampiran 9 Mazmur 107:19,20 - Lampiran 10 Beberapa pemikiran tentang kelahiran Yesus dari Perawan - Lampiran 11 Konflik Kristologis di antara umat Trinitarian - Lampiran 12 Memra dalam Targum - Indeks Ayat 546 Prakata B uku ini ditulis bagi pembaca umum. Oleh sebab itu, istilahistilah teologis dan teknis sedapat mungkin dihindari. Tujuan karangan ini adalah untuk mengkaji monoteisme dalam Alkitab, dengan perhatian khusus kepada ayat-ayat atau teks-teks yang digunakan untuk menyangga doktrin trinitaris, guna melihat apa sebenarnya yang dikatakan oleh teks-teks ini bila tidak memasukkan gagasan-gagasan ataupun memaksakan doktrin-doktrin kedalamnya. Untuk mengerjakan hal ini dengan baik, biasanya kita perlu mengkaji Kitab Suci dalam bahasa-bahasa aslinya, dan bukan hanya melalui berbagai terjemahan saja, karena sebuah terjemahan tidak dapat sepenuhnya mengeluarkan makna dan nuansa teks asli. Ketika membahas teks asli dalam bahasa Ibrani dan Yunani, setiap upaya akan dilakukan untuk menolong para pembaca yang tidak terbiasa dengan bahasa tersebut supaya dapat memahami alur pembahasannya. Kata-kata Ibrani dan Yunani akan ditransliterasikan (kecuali jika kata-kata itu ada dalam teks karya referensi yang dikutip dalam buku ini) sehingga sang pembaca mempunyai sedikit gambaran tentang pelafalannya. Namun, eksegesis yang bersifat teknis sejauh mungkin akan dihindari bila hal itu dipandang sulit diikuti oleh pembaca umum. Namun, hal ini kadang-kadang tidak dapat dihindari karena para sarjana, dan orang lain yang lebih memahami Kitab Suci, juga memerlukan materi yang relevan untuk melihat keabsahan eksegesis yang disajikan. Sebagian dari materi ini barangkali terlalu teknis bagi pembaca biasa, yang mungkin mau melompati bagian-bagian ini dan membaca bagian selanjutnya. Catatan kaki akan dibuat seminimal mungkin. Bagi mereka yang memiliki wawasan yang lebih luas dalam bidang Studi Alkitab, mungkin berguna jika saya menyatakan bahwa pada umumnya saya sependapat dengan karya Prof. James D.G. Dunn dari Durham, Inggris. Komitmennya kepada akurasi dalam eksegesis, bersama dengan penolakannya untuk membiarkan dogma menguasai eksegesis, merupakan komitmen saya juga. Oleh sebab itu, tidak heran jika kesimpulan saya sering kali tidak jauh berbeda dari kesimpulannya. Meskipun saya belum membaca semua buku karangannya, materi yang relevan untuk buku ini dapat ditemukan terutamanya dalam karangannya Christology in the Making dan The Theology of Paul the Apostle. Akan tetapi, pernyataan di atas sematamata menyangkut metodologi, dan sama sekali tidak bermaksud menyiratkan persetujuan total dalam intisari. Prof. Dunn tidak melihat naskah ini sebelum diterbitkan. Ketika frekuensi statistik dari kata tertentu diberikan, statistik tersebut selalu berdasarkan bahasa Ibrani atau Yunani dari teks aslinya, dan bukan terjemahan Inggrisnya. Akhirnya, penulis ini menganggap kajian ini sebuah kajian atas Alkitab sebagai Firman dari Allah, bukan kajian tentang gagasan dan pendapat dari para pengarang keagamaan zaman purba sematamata. Oleh sebab itu, keyakinannya adalah: Allah berbicara kepada umat manusia melalui orang-orang yang dipilih-Nya, yang dengan setia menyampaikan pesan dan kebenaran-Nya. Dan hal ini bersandar pada keyakinan (yang berakar dari pengalaman pribadi) bahwa Allah itu nyata, dan bahwa Ia terlibat secara pribadi dan aktif dalam ciptaan-Nya. Keterlibatan dan kegiatan-Nya yang personal terungkapkan dengan sepenuhnya dan secara unik di dalam Yesus Kristus, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Pendahuluan S ebelum kita mulai mengkaji lebih lanjut monoteisme dalam Alkitab, baiklah kiranya dinyatakan dari awal bahwa monoteisme merupakan hal yang sentral di dalam hati dan pikiran Yesus–monoteismelah yang diajarkan Yesus, monoteismelah yang mendasari ajarannya. Sebenarnya, kata “monoteisme” muncul dalam Alkitab dari perkataan Yesus sendiri, yang ia ucapkan dalam doanya kepada Allah, sang Bapa, “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh.17:3). Kata “monoteisme” terdiri dari dua kata Yunani: “monos” (“hanya, sendiri”, dan sebagaimana dijelaskan dalam Leksikon YunaniInggris BDAG: “dengan fokus sebagai satu-satunya”), dan “theos” (“Allah”). Kedua kata inilah yang ditemukan dalam perkataan Yesus yang diucapkan kepada Bapa, “satu-satunya (monos) Allah (theos) yang benar”. Penting pula diperhatikan dengan seksama bahwa perkataan Yesus di Yohanes 17:3 bertalian dengan hidup kekal, dan hal ini Pendahuluan 19 mencakup dua komponen penting: (1) “bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar” dan (2) “Yesus Kristus yang telah Engkau utus”. Memiliki hidup kekal bukanlah sekadar perkara “percaya pada Yesus”, seperti yang sering dikatakan oleh banyak penginjil. Yesus sendiri mengatakan bahwa seseorang pertama-tama harus mengenal satu-satunya Allah yang benar, dan berikutnya mengenal dia (Yesus) juga sebagai yang diutus oleh satu-satunya Allah itu. Perhatikan pula, Yesus tidak berkata apa-apa tentang soal “percaya” (yang oleh banyak penginjil didefinisikan dengan bebas sesuka hati mereka). Kata yang dipakai adalah “mengenal”, yang mengandung makna jauh lebih kuat daripada “percaya”. Secara statistik, kata “mengenal” (ginōskō) merupakan kata kunci dalam Injil Yohanes (muncul 58 kali), hampir tiga kali lebih banyak daripada Injil Matius (20 kali), hampir lima kali lebih banyak daripada Injil Markus (12 kali), dan lebih dari dua kali lipat lebih banyak daripada Injil Lukas (28 kali). Leksikon Perjanjian Baru Yunani-Inggris standar (BDAG) memberi definisi primer atas ginōskō sebagai berikut: “sampai kepada pengetahuan akan seseorang atau sesuatu, tahu, tahu tentang, berkenalan dengan.” Berkenalan dengan seseorang berarti menjalin suatu hubungan personal dengan orang itu. Berapa banyakkah orang Kristen yang bisa berkata bahwa mereka memiliki hubungan semacam ini dengan satu-satunya Allah yang benar, dan dengan Yesus Kristus? Menurut perkataan Yesus, hidup kekal bergantung sepenuhnya kepada hal ini. Oleh karena itu, “percaya” (kata kunci lain dalam Injil Yohanes) harus didefinisikan dalam istilah “mengenal” Allah dan Yesus Kristus. Demikian pula, orang-orang yang mengira bahwa monoteisme Alkitabiah tidak esensial untuk keselamatan sebaiknya membaca kembali Yohanes 17:3 dengan lebih teliti. Perkataan Yesus begitu terang hingga tidak perlu dijelaskan dengan menggunakan teknik-teknik linguistik yang rumit. Yesus menyatakan dengan gamblang bahwa hanya ada satu Allah, yang dia 20 The Only True God panggil “Bapa”, dan dia menyuruh murid-muridnya memanggil Dia dengan cara yang sama (“Bapa kami di surga”). Yesus mengakui dirinya sebagai orang yang diutus oleh “satu-satunya Allah yang benar”. Oleh karena itu, seharusnya jelas nyata kepada siapa saja yang betul-betul mendengarkan ucapan Yesus bahwa jika sang Bapa adalah satu-satunya Allah yang benar, maka tidak ada yang lain yang dapat eksis sebagai Allah di samping-Nya. Dari perkataan Yesus seharusnya jelas nyata bahwa ia secara pasti mengecualikan dirinya dari klaim keilahian (deity) melalui kata “monos” atau “satu-satunya” yang merujuk kepada sang Bapa. Namun kita dicegah dari mendengarkan dia karena kita telah terbenam dalam trinitarianisme seumur hidup kita. Umat Kristen sudah mencapai kondisi rohani di mana kita memanggil Yesus “Tu[h]an, Tu[h]an” tetapi tidak mendengar ataupun melakukan apa yang dikatakannya (Luk.6:46, bdk. Mat.7:21,22). Kita sudah menjadi terbiasa memaksakan doktrin-doktrin kita sendiri ke dalam ajarannya, dan ketika doktrindoktrin tersebut tidak sesuai dengan perkataan Yesus, kita mengabaikan saja apa yang dikatakan olehnya. Namun, suka atau tidak, monoteisme merupakan bagian paling akar dari kehidupan dan pengajaran Yesus. Itulah kenyataannya, dan kita akan mempertimbangkan hal ini dengan lebih matang dalam bagian berikut. Yesus (di Mrk.12:29) juga secara eksplisit mengesahkan deklarasi yang sentral kepada iman bangsa Israel: “Dengarlah, hai orang Israel: Yahweh itu Allah kita, Yahweh itu esa!” (Ul.6:4). Perkataan ini mengungkapkan monoteisme iman Israel yang tidak mengenal kompromi tersebut. Ini segera diikuti oleh perintah, “Kasihilah Yahweh, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Ul.6:5). Kata “segenap” rangkap tiga ini mencakup pengabdian total manusia terhadap Allah, menjadikan Dia satu-satunya sasaran penyembahan dan cinta kasih. Menariknya, di bibir Yesus, kata “segenap” itu menjadi Pendahuluan 21 rangkap empat: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Mrk.12:30); “dengan segenap akal budimu” ditambahkan, dengan demikian mempertinggi intensitas pengabdian terhadap Yahweh Allah. Yesus menggambarkan perintah ini (Ul.6:4,5) sebagai perintah yang “terutama” atau “paling penting” (Mrk.12:29,31). Perintah ini menjadikan Yahweh satusatunya sasaran pengabdian total. Memang, dalam prakteknya, kita tidak mungkin mengasihi lebih dari satu pribadi dengan keseluruhan diri kita. Konsisten dengan hal ini, hendaknya dicatat bahwa dalam ajaran Yesus, ia tidak pernah menjadikan dirinya sendiri fokus pengabdian yang maha-melingkupi, sebab itu akan bertentangan dengan ajarannya bahwa hanya Yahweh saja yang patut diberi dedikasi tunggal. Kehidupan Yesus sendiri sepenuhnya mengikhtisarkan dan meneladankan pengabdian yang total terhadap Yahweh. Kehidupannya selalu konsisten dengan pengajarannya. Yesus pasti kecewa dan sedih karena para pengikutnya yang kemudian telah gagal menghayati teladan dan ajarannya, dan justru malah menjadikan dia pusat peribadahan dan penyembahan, dan mengira dengan berbuat demikian mereka telah menghormati dan menyenangkan hatinya. Monoteisme Yesus juga diungkapkan dengan jelas di Yohanes 5:44, “Bagaimana kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah (theos) yang Esa (monos)?” Para penulis Perjanjian Baru, sebagai murid-murid Yesus yang sejati, dengan setia menegaskan monoteismenya. Demikian Rasul Paulus berkata di 1Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah (theos) yang kekal, yang tidak nampak dan yang esa (monos)! Amin.” Roma 16:27, “bagi Dia, satu-satunya (monos) Allah (theos) yang penuh hikmat, melalui Yesus Kristus: Segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” 22 The Only True God Demikian pula dalam surat Yudas: “Allah (theos) yang esa (monos), Juruselamat kita melalui Yesus Kristus, Tu[h]an kita, bagi Dialah kemuliaan, kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selama-lamanya. Amin.” (Yud.1:25) Jemaat awal mengungkapkan iman monoteistiknya dalam doksologidoksologi yang amat indah, atau dalam puji-pujian di muka umum yang dipersembahkan kepada Allah. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa Alkitab sama sekali bersifat monoteistik, dan hal yang terutamanya signifikan bagi umat Kristen adalah fakta bahwa Yesus sendiri hidup dan mengajar sebagai seorang monoteis. Meskipun musuh-musuhnya berusaha keji menghancurkannya dengan tuduhan palsu bahwa ia telah berhujat (yang mendatangkan hukuman mati di Israel) oleh karena mengklaim kesetaraan dengan Allah, fakta yang tercantum dalam kisah-kisah Injil adalah: tidak sekali pun ia pernah mengklaim dirinya setara dengan Allah. Sesungguhnya, bukti Injil menunjukkan bahwa musuh-musuhnya mengalami kesulitan besar membuat Yesus secara terbuka mengakui dirinya sebagai Mesias, yaitu raja Mesianik yang dinanti-nantikan itu, apalagi sebagai Allah! Sebagaimana dinyatakan di Filipi 2:6, ia “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas” (MILT). Namun anehnya, inilah tepatnya yang dilakukan oleh para trinitarian atas nama Yesus! Kita bersikeras memaksakan kepadanya apa yang ia sendiri tolak! Namun, masalah dasariah yang ditimbulkan dengan mengangkat Yesus ke tingkat keilahian adalah terciptanya situasi di mana paling sedikit ada dua pribadi yang sama-sama Allah; ini membawa trinitarianisme ke dalam konflik dengan monoteisme Alkitab. Perkara untuk monoteisme Alkitabiah itu seteguh batu karang dan tidak memerlukan pembelaan sama sekali. Trinitarianismelah yang berada dalam posisi bagaikan telur di ujung tanduk, sehingga tidak heran apabila buku demi buku bersubjek Trinitas telah Pendahuluan 23 diterbitkan dalam usaha untuk menemukan semacam pembenaran dari Kitab Suci. Untuk memeras doktrin trinitaris dari Alkitab monoteistik, para trinitarian membutuhkan sebanyak mungkin peranti hermenetis (sebagaimana dapat dilihat dari buku-buku itu), karena itu merupakan suatu usaha membuat Alkitab mengatakan apa yang tidak dikatakannya. Saya tahu—saya sudah melakukan hal ini hampir sepanjang hidup saya oleh karena trinitarianisme yang telah ditanamkan ke dalam diri saya sejak masa bayi rohani, yang telah saya telan mentah-mentah. Berikut ini kita akan memeriksa argumen-argumen trinitaris yang utama di dalam cahaya Kitab Suci. Lebih penting lagi, kita akan melihat apakah ajaran trinitaris telah mengakibatkan hilangnya ajaran Alkitabiah yang benar tentang Allah dan keselamatan manusia, sebab kekeliruan selalu dipertahankan dengan mempertaruhkan kebenaran. Hanya setelah kita melepaskan apa yang batil barulah kita dapat mulai melihat apa yang benar. Tentang buku ini S ebagian besar dari kajian ini tersita oleh pembahasan Injil Yohanes, karena Injil tersebut merupakan Injil yang paling diandalkan oleh trinitarianisme untuk mendukung argumenargumennya. Hal ini benar terutamanya untuk bagian teks yang oleh para pakar dianggap sebagai himne yang tertanam dalam Prolog Injil Yohanes (Yoh.1:1-18), secara khusus ayatnya yang pertama (Yoh.1:1). Nas lain dalam Perjanjian Baru yang oleh beberapa sarjana juga dianggap sebagai kidung tentang Kristus, dan berkepentingan dengan trinitarianisme ditemukan dalam Filipi 2 (ay.6-11). Kolose 1 (terutamanya ay.13-20) dan Ibrani 1 merupakan nas lain yang banyak digunakan oleh para trinitarian. Nas-nas ini dan lainnya akan dibahas lebih singkat karena penafsiran trinitaris atas semua nas-nas ini bergantung secara langsung atau tidak 24 The Only True God langsung pada penafsiran Yohanes 1:1. Sekali Yohanes 1:1 terlihat jelas tidak mendukung penafsiran trinitaris, maka akan segera jelas pulalah bahwa teks-teks lainnya pun tidak mendukung trinitarianisme. Namun, kita akan memeriksa beberapa teks bukti kunci, sebelum mengkaji Yohanes 1:1 dengan lebih mendalam dan rinci, untuk menyingkapkan kekeliruan interpretatif dan eksegetisnya. Mengenai Yohanes 1:1, perkara trinitarisnya bersandar pada asumsi bahwa “Firman itu” adalah Yesus Kristus (Firman = Yesus Kristus), dan, karena itu, pra-keberadaan Firman berarti prakeberadaan Yesus. Anehnya, tak seberkas bukti pun yang disodorkan dari Injil Yohanes untuk membuktikan persamaan atau identifikasi ini. Setelah diteliti lebih dekat, ternyata kegagalan serius dalam menyediakan bukti bagi persamaan tersebut tidaklah mengherankan, sebab memang tidak ada bukti semacam itu, karena tidak terdapat persamaan antara Firman itu dengan Yesus Kristus dalam Injil Yohanes. Persamaan tersebut merupakan sebuah asumsi belaka. Adalah sebuah kejutan besar untuk menyadari bahwa dogma yang selama ini kita genggam dengan begitu erat sebagai trinitarian, sebenarnya bersandar pada sebuah asumsi tak berdasar. Sesungguhnya, di luar Yohanes 1:1 dan 1:14, “Firman itu” tidak lagi disebut dalam Injil Yohanes, sedangkan “Yesus Kristus” tidak disebutkan sampai 1:17 pada akhir Prolog (ay.1-18). Satu-satunya kaitan antara “Firman itu” dengan Yesus Kristus ditarik dari Yohanes 1:14, “Firman itu telah menjadi manusia (“daging”), dan tinggal di antara kita”. “Daging” dalam Alkitab merupakan suatu cara menggambarkan hidup manusia. Firman itu masuk ke dalam hidup manusia (“menjadi daging”) dan berdiam di antara kita. Namun, hal yang tidak dikatakan oleh ayat ini adalah: “Yesus Kristus menjadi manusia (“daging”)”; dan inilah tepatnya hal yang begitu saja diasumsikan oleh penafsiran trinitaris. Tentu saja, kita tahu bahwa “Yesus” merupakan nama yang diberikan kepadanya pada Pendahuluan 25 saat kelahirannya (Mat.1:21), tetapi, apakah dasarnya untuk berasumsi bahwa “Kristus yang pra-eksisten telah menjadi daging”? Gagasan “Kristus yang pra-eksisten” ini didasari oleh asumsi bahwa Yesus Kristus dan Firman yang pra-eksisten itu satu dan sama; namun faktanya adalah tidak di manapun dalam Injil Yohanes Firman itu disamakan dengan Yesus. Dengan kata lain, Yesus dan Firman itu tidak satu dan sama. Apakah atau siapakah Firman yang pra-eksisten itu? Inilah pertanyaan yang perlu kita kaji dengan cermat. Jika Yohanes bermaksud mengidentifikasikan Firman itu sebagai Yesus, lalu kenapa ia tidak melakukan identifikasi tersebut? Satu jawaban untuk pertanyaan ini dapat ditemukan dari tujuan yang dipaparkan dalam Injil Yohanes. Injil ini (berbeda dengan trinitarianisme) tidak bertujuan untuk membuat orang mempercayai Yesus sebagai Firman yang pra-eksisten, tetapi sebagai “Kristus”. Hal ini dapat dipastikan dengan mudah karena Injil ini merupakan satu-satunya Injil yang tujuan penulisannya dicatat dengan jelas: “tetapi hal-hal ini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya, kamu memperoleh hidup dalam namanya” (Yoh.20:31). Gelar “Kristus” adalah padanan Yunani untuk “Mesias”, sebuah gelar yang amat signifikan bagi orang Yahudi, tetapi sayangnya, hampir tidak berarti apa-apa bagi orang non-Yahudi. “Anak Allah” “Anak Allah” adalah gelar mesianik lain yang diturunkan dari Mazmur 2 (khususnya ay.7,12), di mana raja Daud yang dijanjikan akan dianugerahi suatu hubungan dengan Allah seperti hubungan antara seorang anak dengan ayahnya. Tepatnya, hubungan yang intim antara Yesus dengan Allah dalam Injil Yohanes memberi bukti yang tak bisa dipungkiri akan dirinya sebagai Mesias; dan memper- 26 The Only True God cayai Yesus sebagai Kristus/Mesias, “Juruselamat dunia” (Yoh.4:42) artinya “memiliki hidup dalam namanya”. Dengan demikian, dari pernyataan tujuan yang dipaparkan dalam Injil Yohanes, jelas sekali bahwa mempercayai Yesus sebagai Firman yang pra-eksisten itu bukanlah tujuan Injil ini. Jadi, kita harus mempertimbangkan dengan seksama apa yang dimaksud dengan “Firman itu”, dan mengapa Injil Yohanes dimulai dengan merujuk kepadanya. Seseorang mungkin bertanya, “Jika Injil Yohanes ditulis bagi orang-orang non-Yahudi, lalu mengapa istilah seperti ‘Mesias (Kristus)’ dan ‘Anak Allah’ dipakai?” Pertanyaan ini menyatakan asumsi lain, yakni, Injil ini ditulis bagi orang-orang non-Yahudi. Bahkan dengan mengasumsikan tanggal penulisan Injil Yohanes yang jauh kemudian (setelah th. 90 M), hendaknya diingat bahwa jemaat yang bermula sebagai jemaat Yahudi (baca bagian pertama kitab Kisah Para Rasul), secara predominan masih berciri Yahudi menjelang akhir abad pertama, khususnya dalam cara pemikiran mereka yang monoteistik. Pada suatu waktu, walaupun jauh lebih awal dari akhir abad pertama, Rasul Paulus perlu memperingatkan orang beriman bukan Yahudi di Galatia agar tidak disunat (Gal.5:24, dsb.)! Paulus harus mengingatkan mereka bahwa sunat berkaitan dengan ikatan perjanjian Allah yang terdahulu dengan umat Yahudi, dan oleh karenanya, tidak relevan kepada orang-orang non-Yahudi dan ikatan perjanjian yang baru. Para penginjil pertama yang memberitakan kabar baik kepada orang-orang kafir adalah orang Yahudi, sama seperti Rasul Paulus. Jadi, mereka pasti sudah pernah menjelaskan arti istilah seperti “Mesias/Kristus” kepada para pendengarnya. Seperti Yohanes, mereka pun pasti pernah menjelaskannya dengan istilah “Juruselamat dunia” (Yoh.4:42), pemberi air hidup (Yoh.4:14) dsb., yang dapat dipahami dengan mudah, baik oleh orang Yahudi maupun non-Yahudi. Namun, sejalan dengan waktu dan dengan meluasnya jemaat-jemaat ke seluruh penjuru dunia, dan jemaat Pendahuluan 27 Kristen hampir secara eksklusif telah menjadi jemaat bukan Yahudi, arti konsep-konsep kunci seperti “Mesias” mulai menjadi kabur, atau malah terlupakan. Banyak orang beriman non-Yahudi, malah sebagian besar dari mereka, menganggap “Kristus” hanya sebagai nama-diri lain dari Yesus. Tiga abad kemudian, gelar Mesianik “anak Allah” itu dibalik sehingga menjadi gelar ilahi “Allah-Anak”, sebuah istilah yang sama sekali asing kepada Yohanes atau Paulus atau setiap penulis Perjanjian Baru lainnya! Hanya dalam sekitar seratus tahun setelah kematian dan kebangkitan Kristus, pertumbuhan pesat jemaat di dunia telah menghasilkan satu hal yang tidak diinginkan: gereja tidak lagi mempertahankan pertaliannya dengan akar-akar Yahudinya. Akibatnya, arti istilah-istilah dan konsep-konsep yang dahulu amat dikenal baik oleh orang beriman Yahudi mula-mula, sekarang menjadi kabur atau malah tidak lagi dikenal oleh rata-rata orang Kristen. Selain istilah umum seperti “Kristus”, yang sulit dijelaskan artinya oleh rata-rata orang Kristen dewasa ini, asal-usul dan arti “Firman itu” kelihatannya telah menghilang dengan cepat. “Firman itu” H al ini mengakibatkan spekulasi yang nyaris tidak habishabisnya tentang “Firman itu” (Yunani: “Logos”) dan tentang apakah Yohanes (atau siapa saja yang menulis himne yang digabungkan ke dalam Prolog Injil itu) mengambilnya dari filsafat Yunani atau ajaran Yahudi. Namun, para sarjana trinitarian mendapati semuanya itu tidak menolong, karena baik dari sumber Yahudi maupun Yunani tidak ditemukan "Firman” atau "Logos” sebagai tokoh ilahi personal yang sesuai dengan "Allah-Anak”. Akhirnya, sebagian sarjana pergi sejauh untuk mengusulkan bahwa Yohanes sendirilah yang telah menciptakan gagasan adanya suatu Logos personal; usul ini dibuat bermartabat dengan diberi istilah 28 The Only True God cukup keren “sintesis Yohanein” (“the Johannine synthesis”), tetapi tanpa mampu memberi bukti apa-apa atas keabsahannya. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku tafsir atas Injil Yohanes. Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kita tidak perlu mengambil tindakan putus asa sampai mengarang-ngarang asal-usul Firman Yohanein seperti ini. Langkah pertama yang perlu kita lakukan adalah dengan mendapatkan sedikit pengetahuan akan jemaat induk berbahasa Aram tempat Yohanes dan para rasul mulamula berasal. Kita perlu mempelajari fakta-fakta dasar, antara lain, bahasa Aram merupakan bahasa ibu yang dipakai oleh Yesus, yaitu bahasa yang umum dipakai di Palestina pada masa Kristus, dan dipakai untuk waktu yang cukup lama, baik sebelum dan sesudah masa Yesus. Itu sebabnya mengapa banyak kata Aram masih ditemukan di dalam Injil (Mrk.5:41 merupakan satu contoh terkenal). Dapat dipastikan bahwa Yesus, dan para rabi pada umumnya, dapat membaca Alkitab Ibrani; tetapi tidak diketahui apakah ia berbahasa Yunani. Dengan beberapa pengecualian, rata-rata orang Yahudi di Palestina pada masa Yesus tidak berbahasa Ibrani. Alkitab Ibrani harus diterjemahkan ke dalam bahasa Aram (bahasa yang serumpun dengan bahasa Ibrani tetapi berbeda darinya) sewaktu didaraskan di depan orang-orang yang berkumpul di sinagoga setiap minggu. Kata bahasa Aram untuk “terjemahan” adalah “targum”. Hal yang penting bagi kita adalah fakta bahwa “Firman” merupakan istilah yang dikenal baik oleh rakyat Israel pada masa Kristus, karena “Firman” adalah "Memra” dalam bahasa Aram, dan kata ini sering muncul dalam terjemahan-terjemahan (atau targum-targum) Aram, yang rutin mereka dengar di sinagoga. Kita akan meneliti kata “Memra” dengan cukup rinci untuk melihat kepentingannya dalam mengerti pesan dari Injil Yohanes. Yang paling penting, kita akan melihat bahwa sesungguhnya tidak ada cara lain untuk memahami arti “Firman itu” (Logos) Pendahuluan 29 dengan tepat (yaitu, jika kita tidak berbelok ke filsafat Yunani ataupun versi Yahudi dari filsafat Yunani oleh Filo), selain daripada menemukan artinya dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama) dan terjemahan Aramnya, yaitu Targum. Jika kita meneliti Kitab Suci kita akan mendapati bahwa “Firman” di Yohanes 1:1, "Firman” dalam Perjanjian Lama seperti di Mazmur 33:6, Hikmat dalam kitab Amsal (khususnya Ams.8:30), dan Firman (Memra) dalam Targum, semua pada intinya memiliki arti yang sama—sebagaimana bisa diduga dari ciri Kitab Suci yang konsisten sebagai Firman Allah. Kitab Suci tidak membiarkan kita dibingungkan oleh arti-arti yang bertentangan dan tidak sepadan. Kitab-kitab Suci Mengenai “Kitab Suci” atau “Kitab-kitab Suci”, penting untuk dipahami bahwa kata-kata ini adalah istilah yang digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk kepada Alkitab Ibrani, yang disebut “Perjanjian Lama” oleh umat Kristen. Bisa dimaklumi bila kaum Yahudi merasa keberatan Alkitab mereka disebut demikian karena kata “lama” cenderung menyiratkan sesuatu yang antik, dan karena itu kelewahan atau usang. Tentu saja, “lama” bisa juga bermakna “berasal dari zaman purba” dan karena itu harus diperlakukan dengan hormat, akan tetapi ini tidak mengesampingkan makna “lama” lainnya yang lebih kentara. Saya memakai istilah “lama” di sini dengan kesadaran penuh bahwa istilah tersebut memang tidak memadai dan tidak pantas. Saya hanya menggunakannya karena inilah istilah yang secara universal dimengerti oleh umat Kristen, dan juga karena fakta bahwa pada saat ini tidak ada istilah lain yang umum diterima di antara umat Kristen sebagai penggantinya. Jika istilah “Alkitab Ibrani” digunakan tanpa disertai penjelasan lanjutan maka istilah ini bisa dipahami sebagai Alkitab dalam bahasa Ibrani. Dewasa ini istilah “Kitab-kitab Suci” (baik dalam bentuk tunggal 30 The Only True God maupun jamak) dipahami mencakup “Perjanjian Lama” dan “Baru”. Jadi, sebelum ditemukannya terminologi baru, seperti “Kitab-kitab Suci terdahulu” dan “Kitab-kitab Suci kemudian” (yang akan digunakan sekali-sekali dalam buku ini), untuk sementara ini saya terpaksa harus terus mengggunakan terminologi tersebut yang diterima secara umum di antara umat Kristen; dan saya mohon kesabaran para pembaca Yahudi. Menggunakan istilah “Kitab-kitab Suci Yahudi” pun tidak banyak menolong karena “Perjanjian Lama” dan juga sebagian besar dari Perjanjian Baru (kecuali Lukas dan Kisah Para Rasul) ditulis oleh orang Yahudi; ini merupakan sesuatu yang mudah dilupakan oleh orang Kristen. Jadi, ketidak-pantasan penggunaan istilah “Perjanjian Lama” bukan hanya karena istilah ini tidak bisa diterima oleh umat Yahudi, tetapi juga karena ini bukan cara para penulis Perjanjian Baru merujuk kepada Alkitab Ibrani. Dalam “Perjanjian Baru”, yang “Lama” selalu dirujuk sebagai “Kitab Suci” (mis. Mrk.12:10; Yoh.2:22; Rm.4:3; 1Ptr.2:6; atau “Kitab-kitab Suci”, mis. Mat.21:42; Rm.1:2); istilah ini muncul tidak kurang dari 50 kali. Perlu diingat bahwa “Kitab Suci” merupakan satu-satunya Alkitab yang dimiliki gereja awal. Kitab-kitab Injil dan surat-suratnya baru pertama kali digabungkan ke dalam satu jilid dan dipakai oleh gereja-gereja sekitar 150 tahun setelah masa pelayanan Kristus di muka bumi. Salah satu dari koleksi paling mula-mula ini tercantum dalam Kanon Muratorian (th. 170-180 M), yang masih belum mencakup seluruh karangan Perjanjian Baru seperti yang kita miliki saat ini. Para sarjana (terutamanya sarjana PL) sudah lama menyadari adanya masalah dengan istilah “Perjanjian Lama”. Jadi, apa yang saya katakan di sini bukanlah sesuatu yang orisinal. Namun hal ini penting sehubungan dengan tema-tema yang akan dibahas karena itu adalah penunjuk lain atas penyimpangan Kekristenan dari akarakar Alkitabiah dan Yahudinya. Seorang sarjana Kristen yang berpandangan keras akan hal ini adalah Garry Willis, Professor of Pendahuluan 31 History Emeritus di Northwestern University, yang dalam bukunya yang terbaru, What Paul Meant, menulis, “Bagi Paulus tidak ada yang namanya ‘Perjanjian Lama’. Seandainya ia tahu kalau karangan-karangannya akan digabungkan menjadi sesuatu yang disebut Perjanjian Baru, ia tidak akan mengakuinya jika sekiranya itu dimaksudkan untuk menolak, atau mengsubordinasikan satusatunya Kitab Suci yang ia tahu, satu-satunya firman Allah yang ia kenal, Alkitabnya.” (What Paul Meant, Penguin Books, 2006, hlm. 127 dyb.) Tema-tema dalam kajian ini B uku ini membahas tiga tema utama dalam Alkitab yang paling berkepentingan bagi umat manusia: (1) Ada satu, dan hanya satu, Allah yang benar, yang adalah Pencipta segala yang ada. Penyataan diri dari Allah ini tercatat bagi kita pertama-tama dalam Alkitab Ibrani (yang disebut “Perjanjian Lama” oleh umat Kristen), dan berikutnya dalam Perjanjian Baru. Jemaat Kristen lahir di Yerusalem, dan kelahirannya dilukiskan dalam kitab Kisah Para Rasul. Jemaat itu adalah jemaat Yahudi, dan oleh karenanya, bersifat monoteistik yang tidak mengenal kompromi. Namun, jemaat Kristen non-Yahudi, yang tidak mempunyai komitmen demikian kepada monoteisme, dan yang sejak sekitar pertengahan abad ke-2 telah lepas dari induk Yahudinya, mulai mengembangkan suatu doktrin yang menyatakan bahwa ada lebih dari satu pribadi yang adalah Allah. Gereja non-Yahudi telah mengambil langkah pertama yang besar untuk menjauhi monoteisme ketika di Nikea pada 325 M mereka mendeklarasikan bahwa doktrin ini mewakili iman gerejanya. Buku ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa, baik dalam Perjanjian Lama maupun 32 The Only True God Baru, sama sekali tidak ada dasar untuk kompromi ini dengan politeisme, yang menyamar sebagai semacam “monoteisme”. (2) “Satu-satunya Allah yang benar”, sebagaimana Yesus memanggil Dia (Yoh.17:3), merupakan Allah yang sangat mempedulikan ciptaan-Nya, khususnya manusia dan kesejahteraannya. Ia menciptakan umat manusia dengan suatu rencana kekal. Oleh karena itu, sejak awal penciptaan manusia kita melihat Dia terlibat secara intim dengan manusia. Keterlibatan-Nya yang luar biasa dalam penyelamatan satu umat yang terjerat dalam kesengsaraan perbudakan di Mesir; dan pemeliharaan-Nya akan segala kebutuhan mereka selama 40 tahun mengembara di padang gurun Sinai yang mengerikan, merupakan sebuah kisah yang diceritakan berulangulang, bukan saja di Israel tetapi di seluruh dunia. Dalam kisah tersebut kita juga mendapati Allah sendiri tinggal bersama dengan umat Israel, hadirat-Nya diam di antara mereka dalam kemah yang lebih dikenal dengan sebutan “tabernakel” (atau “Kemah Suci”) (bdk. Yoh.1:14, “berdiam”, “berkemah”). Ia hadir bersama mereka dan memimpin mereka melewati padang gurun dalam tiang awan pada siang hari dan tiang api pada waktu malam. Melalui semua ini Ia telah menunjukkan bahwa Ia bukan Allah yang transenden dalam arti Ia menjaga jaraknya dari manusia, tetapi sebaliknya melibatkan diri-Nya secara sangat “bersahaja” (down to earth). Tentu saja, Allah sebagai Pencipta seluruh umat manusia tidak hanya peduli dengan bangsa Israel tetapi dengan seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, terdapat isyarat-isyarat penting, terutamanya diberikan melalui nabi-nabi Perjanjian Lama, bahwa Allah akan datang pada suatu saat sedemikian rupa sehingga “seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama” (Yes.40:15). Bahkan lebih mengagumkan lagi, Ia akan datang ke dunia dalam rupa seorang manusia. Ini tampak jelas terungkapkan dalam pernyataan profetis yang dimasyhurkan oleh kartu-kartu Natal Pendahuluan 33 (Yesaya 9:5, “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”). Namun anehnya, gereja non-Yahudi trinitarian telah memutuskan bahwa Ia yang datang ke dunia ini bukanlah Dia yang disebut “satu-satunya Allah yang benar” oleh Yesus (Yoh.17:3), dan yang secara konsisten dipanggilnya “Bapa”, melainkan seorang pribadi lain yang disebut “Allah-Anak”—sebuah istilah yang tidak dapat ditemukan di manapun dalam Alkitab. Tujuan buku ini adalah untuk menunjukkan bahwa sejumlah kecil ayat dalam Perjanjian Baru yang dikemukakan para trinitarian untuk mendukung doktrin mereka itu tidak memberikan bukti eksistensi “Allah-Anak”, atau bahwa Yesus Kristus adalah Allah-Anak. Tidak diragukan sama sekali bahwa para penulis Perjanjian Baru adalah orang-orang monoteis, dan karena itu tidak ada cara yang benar untuk menghasilkan doktrin trinitaris dari karangan-karangan monoteistik—kecuali dengan memaksakan penafsiran secara tidak benar ke dalam teks. (3) Rencana Allah untuk menyelamatkan manusia dari kesengsaraan (karena kegagalannya mengakui Dia sebagai Allah, Roma 1:21) bukanlah sebuah rencana yang dirancang secara mendadak tanpa dipikirkan dahulu, melainkan sesuatu yang telah terpadu ke dalam rencana kekal-Nya bagi seluruh ciptaan menurut pra-pengetahuanNya. Ini berarti rencana-Nya untuk menyelamatkan manusia sudah ada “sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9). Dalam rencana ini tokoh kuncinya ialah seorang manusia yang telah dipilih-Nya yang diberikan-Nya nama “Yesus” (Mat.1:21; Luk.1:31). Nama ini penting karena artinya “Yahweh menyelamatkan” atau “Yahweh adalah keselamatan”. Orang Kristen berbicara seolah-olah Yesus sendiri adalah penyelamat, tetapi 34 The Only True God sebenarnya ia adalah penyelamat karena “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Yesus sendiri terus mengulangi hal ini dengan berbagai cara dalam Injil Yohanes, yakni, segala sesuatu yang ia katakan dan perbuat sebenarnya dilakukan oleh “sang Bapa” di dalam dia (Yoh.14:10, dsb.). Hal itu dikarenakan Allah hidup di dalam Yesus dengan cara yang belum pernah dilakukan-Nya dalam sejarah manusia. Inilah yang membuat Yesus betul-betul unik dibanding siapa pun yang pernah hidup di muka bumi ini, dan itu juga sebabnya mengapa ia menikmati suatu hubungan spiritual yang intim dan unik dengan Allah seperti hubungan seorang anak dengan ayahnya. Itulah sebabnya ia disebut “anak Allah”, yang dalam Alkitab tidak pernah berarti “Allah-Anak”. Oleh karena hubungannya yang unik dengan sang Bapa, tiga kali dalam Injil Yohanes ia disebut “satu-satunya Anak Allah” atau “Anak Allah yang unik” (Yoh.1:14; 3:16,18). Dalam hubungan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini, atas ikhtiar Yesus sendiri, ia hidup dalam ketaatan penuh kepada Allah sebagai Bapa, dan memilih menjadi “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8). Melalui “ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar” (Rm.5:19), yang berarti bahwa dia menyelesaikan keselamatan manusia melalui kematiannya di kayu salib. Dengan cara inilah Allah mendamaikan segalanya dengan diri-Nya melalui Kristus. Lagi pula, oleh karena ketaatannya kepada Allah, Allah “sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah Tu[h]an,’ bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp.2:9-11). Allah mengaruniakan kepada Yesus hormat setinggi-tingginya. Itulah sebabnya kita menyebut dia “Tu[h]an”. Pendahuluan 35 Pergeseran fokus yang serius dalam Gereja non-Yahudi Akan tetapi, gereja non-Yahudi yang kemudian, telah gagal (sengaja atau tidak) untuk membedakan perbedaan yang signifikan antara kata “Tu[h]an” (“Lord”) yang disandangkan kepada Yesus dan “TU[H]an” (“LORD”) yang disandangkan kepada Allah (sama seperti kata “lord” dalam bahasa Inggris, kata Yunani kurios digunakan dalam kedua kasus), meskipun dalam bahasa Yunani (seperti bahasa Inggris) kata kurios mempunyai beberapa tingkatan makna: bisa digunakan sebagai gelar kesopanan yang artinya kirakira “tuan”; itulah caranya seorang budak memanggil majikannya, atau seorang istri memanggil suaminya, atau seorang murid gurunya (seperti dalam bahasa Inggris “master” untuk “schoolmaster”), sedangkan dalam Perjanjian Lama Yunani (LXX) kata ini biasa digunakan untuk memanggil Allah. Dengan demikian, gereja nonYahudi yang kemudian dengan mudah beralih dari berbicara tentang Yesus sebagai “Tu[h]an” menjadi Yesus sebagai “Allah”. Inilah salah satu alasan utama mengapa gereja non-Yahudi pada abad ke-4 tidak mengalami banyak kesulitan dalam memproklamirkan Yesus Kristus sebagai “Allah-Anak”, pribadi kedua dalam “Ke-Allahan” (“Godhead”). Dengan demikian, lahirlah “trinitarianisme” sebagaimana dikenal dewasa ini. Dari sudut pandang Alkitabiah, konsekuensi yang amat serius dari semua ini adalah bahwa Allah (sang Bapa) telah dikesampingkan atau dipinggirkan oleh penyembahan kepada Yesus sebagai Allah, hal yang telah mendominasi gereja. Sekilas pandang buku-buku pujian Kristiani modern langsung menyingkapkan siapakah sasaran utama dari doa dan penyembahan Kristiani. “Sang Bapa” telah dibiarkan memegang peranan yang relatif sampingan. Yesus telah menggantikan Bapa dalam kehidupan Kristiani sebab, bagi mereka, Yesuslah Allah itu. Rasul Paulus, yang dalam suratsuratnya berulang-kali menulis tentang “Allah dan Bapa Tu[h]an 36 The Only True God kita, Yesus Kristus” (Rm.15:6; 2Kor.1:3, dsb.), akan gemetar dengan pemikiran bahwa gereja Kristen masa depan akan mengganti “Allah Tu[h]an kita Yesus Kristus” sebagai sasaran penyembahan yang utama, dengan menyembah Yesus sendiri sebagai Allah, malah dengan mengutip (atau lebih tepatnya, salah mengutip) suratsuratnya (khususnya Flp.2:6 dyb.)! Jika Yesus dapat menjadi sasaran penyembahan, lalu mengapa tidak ibunya, Maria, yang dideklarasikan menjadi “bunda Allah” oleh gereja non-Yahudi, dan yang benar-benar disembah oleh sebagian besar gereja Kristen? Sebab, jika Yesus adalah Allah, maka Maria bisa sepantasnya disebut “bunda Allah”. Meskipun Maria belum dideklarasikan menjadi Allah, kelihatannya ini tidak diperlukan mengingat fakta bahwa sebagai “bunda Allah” ia tampak berkedudukan di atas Allah. Di dalam gereja Maria biasanya digambarkan sedang memangku bayi Yesus; gambaran yang mengusulkan bahwa sang ibu lebih besar daripada bayinya, sekalipun bayi itu adalah Allah! Tidak heran bila begitu banyak orang Kristen berdoa kepada Maria sebagai orang yang memiliki pengaruh yang amat besar selaku ibu atas anaknya. Tujuan buku ini adalah untuk memberi peringatan bahwa gereja Kristen telah menyimpang dari kebenaran yang ditemukan dalam firman Allah, yakni Alkitab. Semua orang yang mengasihi Allah dan kebenaran-Nya akan membaca kembali Kitab-kitab Suci dengan seksama untuk mencari kebenaran bagi diri mereka sendiri, dan dengan demikian kembali kepada “Allah Penyelamat kita”, “yang telah menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan anugerah-Nya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9). Oleh sebab inilah kita menghormati Yesus sebagai “Tu[h]an”— tetapi selalu sedemikian rupa "bagi kemuliaan Allah, Bapa kita” (Flp.2:11). Prof. Hans Küng mengatakan hal yang sama dengan Pendahuluan 37 memakai istilah teologis, “kristosentrisitas Paulus tetap berasaskan pada dan mencapai puncaknya lagi dalam teosentrisitas keras” (Christianity, hlm.93 dyb., huruf tebal darinya). Kesimpulan S ebagai kesimpulannya, maksud tujuan buku ini adalah untuk menangkap makna ajaran Alkitabiah yang terangkum di 1Timotius 3:16 (ILT), yakni, “Dia telah dinyatakan dalam daging” dalam pribadi “manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5). Bahwa rujukan di sini adalah pada Allah yang telah menyatakan diri-Nya di dalam daging terlihat jelas dari fakta berikut: Untuk mengatakan bahwa seorang manusia telah “dinyatakan” dalam daging tidaklah terlalu masuk di akal. Lagipula, Kristus tidak disebut dalam kedua ayat sebelum ini, tetapi Allah disebut dua kali dalam ayat sebelumnya. Jadi, siapa lagi “Dia” di 1Timotius 3:16 kalau bukan Allah? Jika memang Allah yang telah dinyatakan dalam daging, maka ini dengan tepat dapat digambarkan sebagai sebuah “rahasia agung”, seperti yang dikatakan ayat itu. Tepatnya rahasia inilah bahwa Allah “tinggal di antara kita” (Yoh.1:14) “dalam Kristus” (istilah yang sering sekali muncul dalam karangan Paulus—73 kali, tidak termasuk “dalam dia”, dst., lebih dari 30 kali), sama seperti ketika Ia tinggal di antara umat Israel, yang perlu kita pertimbangkan dengan seksama. Allah melakukan ini “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Tentu saja, trinitarianisme pun percaya bahwa Allah “telah dinyatakan dalam daging”, tetapi Allah yang telah dinyatakan itu adalah “Allah-Anak”, tanpa mempedulikan fakta bahwa tidak ada pribadi seperti ini di manapun dalam Alkitab. Akibatnya, mereka telah mengesampingkan satu-satunya Allah yang benar, yang oleh Yesus dipanggil “Bapa”, sebagai Dia yang datang ke dunia “dalam Kristus” demi keselamatan kita. Atau, dengan 38 The Only True God menggunakan istilah-istilah teologis Prof. Küng, trinitarianisme telah menggantikan “teosentrisitas” Alkitabiah dengan “kristosentrisitas” mereka. Namun apakah pengertian “Allah (Yahweh) telah dinyatakan di dalam daging” itu benar-benar tepat? Ini betul-betul sebuah pernyataan mengguncang yang amat menakjubkan, dan sebuah pernyataan yang perlu kita periksa dengan rinci dalam halaman-halaman berikut. Apakah kita sungguh-sungguh monoteis? Kita semua adalah orang-orang monoteis: umat Kristen menganggap dirinya orang monoteis. Kekristenan mengklaim dirinya iman yang monoteistik. Namun kenapa? Bagaimana mungkin agama yang tidak menaruh imannya semata-mata dan secara eksklusif pada satu Allah yang personal, tetapi mempercayai tiga pribadi yang semuanya sama-sama Allah, masih mengklaim dirinya iman yang monoteistik? Dari definisinya, “monoteisme” bermakna “kepercayaan pada Allah yang tunggal: kepercayaan bahwa hanya ada satu Allah” (Encarta Dictionary). Definisi ini sama dalam setiap kamus. Namun, kepercayaan pada tiga pribadi ilahi yang setara bukanlah kepercayaan pada “Allah yang tunggal”, ataupun bahwa “hanya ada satu Allah”. Sebagaimana telah kita catat, kata “monoteisme” berasal dari kata Yunani “monos” (satu) dan “theos” (Allah). Allah yang telah menyatakan diri-Nya dalam Alkitab Ibrani telah menyatakan diriNya dengan Nama agung “YHWH”, yang disetujui oleh para pakar pada umumnya dengan pelafalan “Yahweh”. Makna Nama-Nya selalu menjadi pokok pembahasan, tetapi maknanya kira-kira “Aku adalah Aku”, atau “Aku akan menjadi siapa Aku akan menjadi” (Lih. Kel.3:14), atau menurut PL Yunani (LXX) nama itu mengandung makna “Yang Sudah Ada” (ho ōn), yang mengemukakan bahwa Ia Pendahuluan 39 ada secara abadi dan bahwa Ia adalah sumber segala yang ada. Perjanjian Lama mengakui adanya satu Allah yang personal saja, yaitu Yahweh, sebagai satu-satunya Allah yang benar. Nama-Nya yang muncul 6828 kali itu adalah sentral kepada keseluruhan Alkitab Ibrani. Namun, kebanyakan umat Kristen tampaknya sama sekali tidak menyadari kenyataan sederhana ini. Yahweh mutlak adalah satu-satunya (monos) Allah (theos) yang dinyatakan dalam Alkitab. Barangkali ada “banyak ilah dan banyak tuhan” yang dipercayai orang (1Kor.8:5,6), tetapi sejauh wahyu Alkitabiah, Yahweh adalah, menurut Yesus, “satu-satunya Allah yang benar”. Yesus sudah pasti mengajarkan monoteisme, tetapi pertanyaannya adalah: apakah kita sebagai murid-muridnya sungguh-sungguh orang monoteis? Perlu dipahami dengan jelas bahwa monos bukan kata yang dapat direntangkan maknanya menjadi sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa pribadi, suatu kumpulan yang terdiri dari beberapa entitas, atau suatu golongan yang terdiri dari sejumlah tokoh. Berikut definisi monos menurut Kamus PB Yunani-Inggris BDAG yang berwenang: “1. sebagai satu-satunya entitas dalam suatu golongan, satu-satunya, sendiri kata sifat a. dengan fokus sebagai satu-satunya. 2. penanda batasan, satu-satunya, sendiri, [monon] jenis netral, dipergunakan sebagai kata keterangan.” Kata “Allah” dan istilah “satu-satunya Allah” dalam Perjanjian Baru, tanpa dapat disangsikan selalu merujuk kepada Allah dari PL, Yahweh. Lalu mengapa nama “Yahweh” tidak muncul dalam PB seperti dalam Alkitab Ibrani? Jawaban kepada pertanyaan ini terletak pada dua kenyataan penting: (1) Dampak yang meluluh-lantakkan dari Pembuangan ke atas Israel sebagai sebuah bangsa akhirnya membuat mereka insaf. Bangsa Israel mulai menyadari bahwa alasan dari pembuangan dahsyat itu dan kehancuran mereka sebagai sebuah bangsa bersandar pada fakta 40 The Only True God bahwa selama ini mereka telah melakukan perzinahan rohaniah dengan bersikeras menyembah ilah-ilah lain di samping Yahweh (salah satunya yang paling dikenal ialah Ba’al). Mereka telah melawan peringatan yang diberikan berulang kali oleh nabi-nabi Yahweh, yang secara jelas menyatakan bahwa Yahweh akan mengirim mereka ke pembuangan karena pemberontakan mereka terhadap-Nya dan penyembahan mereka kepada berhala. Setelah mengalami fakta bahwa Yahweh telah menepati janji-Nya, dan melihat dengan mata mereka sendiri apa yang Ia katakan akan terjadi memang telah terjadi, dan setelah merasakan kerasnya hukuman Allah, mereka kembali ke keruntuhan tanah Israel pasca masa pembuangan sebagai umat terhukum yang mulai saat itu dan seterusnya tidak akan lagi menyembah Allah lain selain Yahweh saja. Mereka menjadi begitu takut akan Dia sehingga mereka menahan diri dari mengucapkan Nama-Nya yang agung. Sejak saat itu mereka menyebut-Nya dengan memakai gelar “Tu[h]an” (adonai). Lagipula, umat Yahudi tidak akan pernah lagi menyembah Allah lain selain Adonai Yahweh, sekalipun jika Allah itu disebut “Anak” Yahweh (yang tidak disebut di manapun dalam PL), ataupun jika Allah itu disebut “Roh” Yahweh, yang disebut beberapa kali dalam PL tetapi tidak pernah dianggap sebagai pribadi terpisah di samping Yahweh. Itu sebabnya kita bisa memastikan bahwa para penulis PB berkebangsaan Yahudi tidak mungkin orang trinitarian; kita sudah melihat sejumlah contoh dalam PB tentang semangat monoteisme mereka yang begitu berapi-api. 1 Untuk alasan ini juga, umat Yahudi sejak berabad-abad yang lalu hingga kini tidak menganggap umat trinitarian sebagai orang-orang monoteis sejati meskipun mereka mencoba untuk sedapat mungkin bersikap damai. (Sebuah contoh bagus dari sikap damai mereka ditunjukkan dalam buku Christianity in Jewish Terms (diedit oleh Tikva Frymer-Kensky dst., Westview Press, 2000), yang berupa dialog antara para pakar Yahudi dan Kristen. Sulit untuk membayangkan dialog damai yang serupa antara pakar Muslim dan Kristen 1 Pendahuluan 41 (2) Selama 70 tahun masa pembuangan (disebut Penawanan Babilonia) ke negeri asing yang penduduknya berbahasa Aram, generasi orang Yahudi yang berikut berbahasa Aram setempat, bukan bahasa Ibrani (sama seperti umat Yahudi yang hidup di AS atau Eropa saat ini berbahasa setempat dan pada umumnya tidak bisa berbahasa Ibrani). Para ahli Taurat, para pakar Alkitab, masih membaca Alkitab Ibrani (sama seperti kebanyakan rabi di seluruh dunia saat ini), dan mengajar Alkitab di sinagoga, tetapi kebanyakan orang awam tidak lagi memahami bahasa Ibrani, jadi bagian-bagian Alkitab yang didaraskan di sinagoga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Aram. Berikut penjelasan Encarta, “Ketika Penawanan Babilonia berakhir pada abad ke-6 sM, bahasa Aram telah menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa percakapan umum, maka timbul kebutuhan untuk menjelaskan makna bacaan-bacaan dari Kitab Suci.” (Microsoft Encarta Reference Library 2005. © 19932004 Microsoft) Untuk kajian kita ini, penting untuk mencamkan fakta bahwa dalam targum-targum (terjemahan-terjemahan) Aram dari Alkitab Ibrani, Nama Allah yang kudus “Yahweh”, oleh karena rasa takzim, telah diganti dengan istilah “Memra”, yang dalam bahasa Aram bermakna “Firman”. Dengan demikian, setiap orang Yahudi Palestina tahu bahwa “Memra” adalah rujukan metonimik (kata yang digunakan ganti orang atau hal yang dimaksudkan sesungguhnya) untuk “Yahweh”. Memra seringkali muncul dalam Targum Aram, sebagaimana dapat dilihat dari Lampiran 12 pada akhir buku ini. dalam iklim keagamaan saat ini.) 42 The Only True God Monoteisme dalam Alkitab Monoteisme Alkitab mutlak tidak mengenal kompromi. Saya tidak tahu seorang pun sarjana Alkitab yang menyangkali fakta ini. Oleh sebab itu, kita tidak perlu membenarkan diri sewaktu mengajarkan monoteisme Alkitabiah. Orang yang mempergunakan Alkitab untuk mengajarkan sesuatu selain daripada monoteismelah yang perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Umat Kristen trinitaris cenderung mendudukkan diri di antara umat Yahudi dan Muslim sebagai orang monoteis. Masalahnya adalah, baik Yudaisme maupun Islam tidak mengakui Kekristenan trinitaris sebagai agama yang betul-betul monoteistik, tanpa menghiraukan klaim-klaim Kristiani. Apapun artinya “monoteisme” Kristiani itu, baik umat Yahudi maupun Muslim tidak menerima agama tersebut sebagai monoteistik menurut Kitab Suci mereka. Apakah mereka bersikap keterlaluan? Bagaimana buku ini ditulis B uku ini bukan hasil dari sebuah rencana untuk meniadakan atau menggelincirkan trinitarianisme. Ia mengambil bentuk sebagai hasil dari keprihatian penginjilan yang sungguh-sungguh untuk membawa Injil keselamatan kepada semua bangsa dan kerinduan untuk Tuhan datang kembali. Kedua hal itu dikaitkan dalam perkataan Yesus di Matius 24:24, “Injil Kerajaan ini akan diberitakan di seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah tiba kesudahannya.” “Kedatangan yang kedua” dan “akhir zaman” dikaitkan bersama di Matius 24:3, dan kedua peristiwa ini dikaitkan dengan pemberitaan Injil secara universal. Fakta yang tak terbantahkan adalah bahwa sebagian besar dari dunia belum terjangkau oleh Injil. Umat Muslim saja terdiri lebih dari 1,000,000,000 (satu miliar) orang. Lagipula, Islam adalah agama yang paling pesat bertumbuh di dunia, jadi angka ini akan terus Pendahuluan 43 bertambah di tahun-tahun mendatang. Sebuah laporan BBC pada Desember 2007 mengatakan bahwa pemeluk agama Islam bertambah tiga kali lipat di Eropa selama 30 tahun terakhir. Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah artikel di koran Church of England yang mengungkapkan pandangan bahwa pada tingkat pertumbuhan Islam pada saat ini, tidak lama lagi Inggris akan menjadi negara Muslim. Apa artinya semua ini? Bukankah ini berarti Matius 24:14 tidak hanya tidak digenapi, tetapi harapan penggenapannya menjadi semakin jauh, dan bersamanya harapan Kedatangan Kedua juga menjadi semakin pudar? Bukankah ini jelas-jelas berarti bahwa bukan saja gereja telah gagal menggenapi Amanat Agung, tetapi kemungkinan akan penggenapannya juga semakin lama semakin berkurang (oleh karena perkembangan peristiwa-peristiwa di dunia)? Ditambah lagi dengan fakta sejarah bahwa, berkenaan dengan Islam, Kekristenan telah gagal secara menyedihkan untuk membuat dampak injili ke atas Islam selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun semenjak lahirnya agama tersebut. Dimulai pada abad ke-7 dan ke-8, terkejar oleh meluasnya kekuatan-kekuatan Islam, Kekristenan mundur dan kehilangan pusat-pusat pentingnya di seluruh Afrika Utara, Timur Tengah (termasuk Yerusalem dan Tanah Suci), dan yang kini disebut negara Turki (yang sekali waktu adalah pusat Kekristenan yang penting), dan juga daerah-daerah luas ke arah timurnya. Diperhadapkan dengan realitas yang keras ini, bagaimanakah Amanat Agung (Mat.28:18-20) dapat digenapi? Ditambah lagi dengan pertengkaran internal di antara umat Kristen, baik sepanjang sejarah gereja maupun saat ini. Sebagian umat Kristen merasa seolah-olah adalah urusan mereka untuk mencap orang lain yang tidak sepaham dengan pandangan doktrinal mereka sebagai “orang sesat” atau “bidah”, malah untuk hal-hal seperti “sekali selamat, selalu selamat”, atau “jaminan keselamatan kekal”, seringkali dengan pengertian yang sangat kabur tentang pokok ajaran Kitab Suci atau 44 The Only True God yang berhubungan dengannya. Kita diingatkan akan peristiwa pengepungan Yerusalem, yang bahkan ketika tentara Romawi tengah memperketat cengkeraman besinya atas kota itu pada th. 70 sM, sekelompok orang Yahudi di dalam kota itu masih saling bertengkar, saling berkelahi, malah saling membunuh satu sama lain oleh karena perselisihan pendapat yang begitu runcing atas pelbagai topik, sampai akhirnya prajurit Romawi menerjang masuk dan membakar kota tersebut, dan Bait Suci tempat Yesus dahulu mengajar pun hangus dilalap api! Jadi, situasi yang ada di dunia dan di dalam gereja saat ini menyisakan rasa optimisme yang sangat kecil akan penggenapan perkataan Yesus di Matius 24:14, jika semuanya dibiarkan tetap berjalan seperti ini. Tepatnya dalam usaha mencari jawaban atas kegagalan gereja untuk menjangkau umat Muslim dengan kabar baik inilah timbul suatu kebutuhan untuk menanyakan apa yang bisa diperbuat, dan juga apakah ada sesuatu yang salah dengan cara kita memahami dan menyajikan kabar baik selama ini. Riwayat Pribadi S aya menulis sebagai seorang yang dahulunya seorang trinitarian sejak menjadi seorang Kristen di usia 19 tahun—suatu periode yang menjangkau lebih dari lima puluh tahun lamanya. Selama hampir empat dasawarsa melayani sebagai gembala, pemimpin gereja, dan guru banyak orang yang telah melayani purna waktu, saya mengajarkan doktrin trinitaris dengan semangat berapi-api, sebagaimana dapat disaksikan oleh orang-orang yang mengenal saya. Trinitarianismelah yang saya minum bersama dengan susu rohani ketika saya masih seorang bayi rohani. Selanjutnya, dalam studi-studi Alkitabiah dan teologis, minat saya terfokus pada Kristologi yang saya kejar dengan intensitas yang cukup tinggi. Hidup saya terpusat pada Yesus Kristus. Saya mempelajari dan Pendahuluan 45 berupaya mempraktekkan pengajarannya dengan pengabdian sedalam-dalamnya. Artinya, dalam praktek saya merupakan seorang monoteis yang mengabdi kepada suatu monoteisme yang mana Yesus adalah Tuhan dan Allah saya. Pengabdian yang intens kepada Yesus seperti ini mau tidak mau menyisakan sedikit ruang baik untuk sang Bapa maupun Roh Kudus. Jadi, meskipun dalam teorinya saya percaya akan adanya tiga pribadi, dalam prakteknya sebenarnya hanya ada satu pribadi saja yang sungguh-sungguh penting: Yesus. Saya memang menyembah satu Allah, dan satu Allah itu adalah Yesus. Satu-satunya Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama, yaitu Yahweh, dalam prakteknya telah digantikan oleh Allah-Yesus Kristus, Allah-Anak. Sebagian besar umat Kristen berbuat hal yang serupa, jadi mereka dengan mudah dapat memahami apa yang saya katakan. Sekitar tiga tahun yang lalu saya merenungkan pertanyaan ini: Bagaimanakah kabar baik dapat diperkenalkan kepada umat Muslim? Saya mendapati bahwa iman Kristiani saya disertai oleh semacam prasangka terhadap umat Muslim, yang harus diatasi jika saya ingin memahami dan menjangkau mereka. Namun, segera sesudah itu saya pun menyadari bahwa begitu saya mengatakan sesuatu tentang Trinitas, atau mengatakan bahwa Yesus itu adalah Allah, semua komunikasi dengan orang Muslim akan terputus seketika. Tentu saja, hal yang sama juga berlaku kepada umat Yahudi. Jadi bagaimanakah mereka bisa dijangkau? Kita sudah melihat kata-kata Yesus, “Injil kerajaan ini harus diberitakan dahulu ke seluruh dunia sebagai kesaksian bagi semua bangsa, dan kemudian akan datang kesudahannya...” (Mat.24:14). Kita hanya perlu memandang situasi di dunia untuk melihat betapa sulitnya memberitakan kabar baik ke negara-negara Muslim yang banyak jumlahnya. Hal yang sama juga benar untuk bangsa Israel. Ini berarti bahwa berdasarkan kata-kata Yesus di Matius 24, akhir 46 The Only True God zaman tidak bisa datang dan Yesus tidak bisa kembali, karena Injil tidak bisa dikabarkan kepada bangsa-bangsa tersebut. Kebanyakan orang Kristen tampak nyaris tidak menyadari sama sekali, atau pun mempedulikan hal-hal demikian. Oleh sebab itu, nyaris tidak ada keprihatinan untuk menjangkau umat Muslim. Kebanyakan orang Kristen tidak tahu apa-apa tentang agama Islam, selain itu juga tidak tertarik dengan mereka dan keselamatan mereka. Pada umumnya hanya ada sedikit semangat atau nyala api spiritual dalam gereja-gereja. Apakah ada masalah rohaniah yang lebih mendalam di dalam gereja itu sendiri yang terletak pada akarnya? Jika kita mempertimbangkan hubungan antara Islam dengan Kekristenan dalam sejarah, kita ingat bahwa hanya tiga ratus tahun setelah Syahadat Nikea ditetapkan dalam gereja (yang memproklamirkan Allah terdiri dari tiga pribadi alih-alih satu), Islam tampil ke atas pentas sejarah dunia. Sekali lagi Islam memproklamirkan monoteisme radikal yang telah diproklamirkan dalam Alkitab Ibrani. Sejak saat itu dan seterusnya, Kekristenan yang telah tersebar luas dengan cepat ke segala penjuru dunia selama tiga abad pertama, sekarang terdorong mundur ketika berhadapan dengan kekuatankekuatan Islam monoteistik. Adakah pesan rohaniah untuk kita di sini? Jika ada, dapatkah kita melihatnya? Saya mulai sadar bahwa saya perlu menilai kembali apakah kita orang Kristen sungguh-sungguh adalah orang monoteis. Apakah kita benar-benar telah setia kepada wahyu Alkitabiah? Banyaknya buku-buku yang dikarang oleh para teolog Kristen yang berusaha untuk menerangkan dan membenarkan “monoteisme Kristiani” menandakan adanya persoalan: Mengapa begitu banyak upaya dibutuhkan untuk menerangkan atau membenarkan “monoteisme” macam ini? Pada saat saya sedang memikirkan kembali pertanyaan “monoteisme Kristiani” ini saya membaca ulang sebuah monograf akademis yang saya miliki. Monograf ini adalah koleksi esai para Pendahuluan 47 teolog trinitarian baik yang Protestan maupun Katolik mengenai monoteisme. Saya segera melihat bahwa para penulis tersebut memiliki satu persamaan: mereka jelas sekali terlihat tidak nyaman dengan monoteisme; beberapa diantaranya bahkan mengkritik secara terbuka. Ketika saya memeriksa pemikiran saya sendiri, saya pun menginsafi bahwa trinitarianisme yang dianuti saya pada dasarnya tidak kompatibel dengan monoteisme Alkitabiah. Maka saya merasa perlu memeriksa kembali perkara ini. Bila kita mempercayai tiga pribadi yang terpisah, berbeda dan setara satu dengan yang lain, yang masing-masing adalah Allah sepenuhnya, yang bersama-sama membentuk “Ke-Allahan” (Godhead), bagaimana mungkin kita masih dapat berbicara tentang iman pada “Allah yang secara radikal monoteistik” (Yahweh) yang dinyatakan dalam Alkitab Ibrani— kecuali jika kita menggunakan istilah “Allah yang secara radikal monoteistik” dengan arti yang berbeda dari arti yang ditemukan dalam Alkitab? (Istilah “Allah yang secara radikal monoteistik” dipinjam dari artikelnya Profesor David Tracy dari Chicago dalam bukunya Christianity in Jewish Terms, 2000, Westview Press, hlm.8283; buku ini terdiri dari tulisan para sarjana Yahudi dan Kristen.) Sampai saat itu dengan penuh keyakinan saya percaya bahwa saya mampu mempertahankan trinitarianisme berdasarkan teks-teks Perjanjian Baru yang begitu saya kenal baik. Namun, pertanyaan yang lebih mendesak sekarang adalah: Bagaimanakah caranya teksteks ini diterangkan kepada umat Muslim yang tulus ingin mengenal Isa (sebutan mereka untuk Yesus) dan yang bahkan bersedia membaca Injil, yang telah disahkan oleh Al-Qur’an? Yang mengejutkan saya adalah: sekali saya mulai menyisihkan prasangka serta pra-konsepsi dan menilai kembali setiap teks guna melihat apa yang sesungguhnya dikatakan di situ, dan bukan dengan interpretasi kita sebagai seorang trinitarian, pesan yang muncul dari teks itu ternyata tidak sama dengan perkiraan saya. Hal ini terutamanya 48 The Only True God benar untuk Yohanes 1:1. Oleh karena trinitarianisme saya yang tertancap dalam, proses ini berakhir dengan pergumulan panjang (yang disertai kerja sangat keras) untuk mencari kebenaran pesan Alkitabiah. Beberapa dari hasil upaya itu tertuang dalam buku ini. Biarlah setiap pembaca menilainya sendiri dengan seksama, dan kiranya Allah mengaruniakan terang-Nya kepada kita, yang tanpanya kita tidak dapat melihat. Ketika saya pertama-tama menghadapi tantangan menilai kembali trinitarianisme dalam terang Alkitab, dan kemudian membagikan terang itu kepada siapa saja yang sudi menerimanya, saya pikir saya seorang diri mengambil pendirian ini. Namun, ketika saya sedang mempersiapkan penerbitan naskah ini, saya terkejut ketika secara kebetulan menemukan karya teolog terkenal Hans Küng, dan mendapati bila ia sudah terlebih dahulu menyatakan bahwa doktrin Trinitas itu “tidak alkitabiah” dalam karyanya yang berjudul Christianity: Essence, History, and Future, yang diterbitkan pada tahun 1994. Sekarang saya tahu bahwa ia bukan satu-satunya teolog dogmatis Katolik terkemuka yang membuat penegasan ini. Teolog sistematis K-J Kuschel, dalam kajian mendalam berjudul Born Before All Time? The Dispute over Christ’s Origin yang diterbitkan pada tahun 1992, telah menyatakan hal yang sama. Tentu saja, dengan ditemukannya dukungan yang tidak diduga, terutamanya dari sarjana yang memiliki kualitas dan keberanian yang luar biasa ini, sangatlah membesarkan hati. Dan meskipun pengerjaan naskah saat itu sudah hampir rampung, saya mendapatkan buku-buku tersebut tepat pada waktunya sehingga masih sempat menyisipkan sejumlah kutipan dari buku-buku mereka ke dalam buku ini. Mengenai Trinitas, misalnya, dalam satu bagian teks yang berjudul “Tidak ada doktrin Trinitas dalam Perjanjian Baru”, Prof. Küng dengan tegas menyatakan “Walaupun memang benar di seluruh Perjanjian Baru ada kepercayaan pada Allah sang Bapa, pada Pendahuluan 49 Yesus sang Anak dan Roh Kudus Allah, tetapi tidak terdapat doktrin tentang satu Allah dalam tiga pribadi (wujud), tidak ada doktrin tentang ‘Allah Tritunggal’, ‘Trinitas’.” (Christianity, hlm.95) Rintangan-rintangan yang menghadapi kita ketika mempertimbangkan Monoteisme Alkitabiah (1) Perlunya membereskan setumpukan prakonsepsi yang disebabkan oleh indoktrinasi: Misalnya, kita yang berbahasa Inggris berbicara tentang Roh dengan memakai kata ganti “he”, karena ketika kita membaca Perjanjian Baru kita mendapati Roh disebut seperti itu. Kebanyakan orang Kristen, karena tidak mengenal bahasa Yunani, tidak mengetahui bahwa kata untuk Roh, pneuma, adalah kata yang berjenis netral, dan oleh sebab itu harus diterjemahkan dengan kata ganti “it”. Bahkan setelah mempelajari bahasa Yunani pun kita masih tetap berbicara tentang Roh sebagai “he” karena menurut doktrin trinitaris, Roh itu adalah pribadi yang terpisah dan berbeda, yang setara dengan kedua pribadi lainnya dalam Trinitas, yaitu Bapa dan Anak. Inilah sebabnya mengapa semua terjemahan Inggris menerjemahkan kata pneuma yang berjenis netral sebagai “he”. Hal ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan tatabahasa yang tepat tetapi berkaitan sepenuhnya dengan dogma Kristiani. Hal yang sama juga berlaku untuk gagasan “Trinitas”. Di India terdapat sejumlah besar dewa, tetapi ada tiga dewa yang menduduki tempat teratas. Ketiga dewa itu saling berbagi “hakikat” kedewaan yang sama; kalau tidak mereka tidak akan dianggap dewa sama sekali. Jika orang-orang di India yang menyembah ketiga dewa tertinggi ini disebut orang politeis oleh umat Kristen, lalu dalam hal apa konsep trinitaris Kristiani berbeda dari konsep trinitaris orang India? Apakah hanya karena ketiga pribadi dalam Trinitas Kristiani itu lebih dekat hubungannya satu sama lain, misalnya, antara “Bapa” 50 The Only True God dan “Anak” (bagaimana dengan “Roh”)? Indoktrinasi memiliki pengaruh kuat yang membuat kita bersikeras bahwa trinitarianisme mewakili monoteisme—sesuatu yang ditolak oleh orang-orang monoteis sejati seperti umat Yahudi dan umat Muslim. Jika dalam diri kita masih tersisa sedikit akal logis kita akan segera melihat bahwa seandainya Allah-Bapa, Allah-Anak, dan Allah-Roh itu ada, maka menurut dogma ini jelas nyata ada tiga Allah. Akan tetapi, tampaknya kita tidak mampu menghadapi fakta gamblang ini secara jujur! Di sini kita melihat daya indoktrinasi dan kemampuannya untuk mengalahkan pemikiran logis. Bagi mereka yang pernah melihat cara kerja indoktrinasi, ini bukanlah hal baru. Hal seperti ini sudah terjadi bahkan dalam sejarah baru-baru ini: idealisme gila seperti Nazisme dan impiannya untuk membangun sebuah utopia seribu tahun, yaitu sebuah citacita yang antara lain mewajibkan pembasmian bangsa Yahudi, yang dianggap sebagai sampah kemanusiaan yang menjangkiti ras manusia, atau paling tidak ras Arya. Hanya indoktrinasi melalui propaganda besar-besaran yang dapat membujuk orang berpikir segila itu. Banyak pula orang yang pernah mengalami proses cuci-otak yang diperkenalkan oleh komunisme Stalin. Mereka hanya diperbolehkan berpikir dengan pola yang sudah ditetapkan sebelumnya; yang lain akan mendatangkan hukuman berat, termasuk pengurungan dan hukuman mati. Ketika berbicara tentang membatasi pikiran bebas, gereja sendiri mempunyai sejarah panjang yang gelap. Begitu gereja menetapkan doktrinnya, seperti Syahadat Nikea dan Khalkedon pada abad ke-4, perbedaan pendapat tidak diperbolehkan dan akan diganjar dengan ekskomunikasi, yang sebenarnya berarti mengutuk orang itu ke dalam neraka. Tidak ada yang lain lebih serius dari itu, kematian jasmaniah pun tidak. Penindasan gerejawi macam ini berkembang menjadi penyiksaan badani yang kejam, kerapkali berpuncak pada Pendahuluan 51 kematian, selama masa Inkuisisi yang dikenakan gereja kepada orang-orang yang telah dikutuk sebagai bidat. Bahkan dewasa ini pun tidak sedikit orang Kristen yang mengira bila mereka memiliki semacam hak ilahi untuk mencap orang Kristen yang tidak sepaham dengan pandangan doktrinal mereka dengan sebutan “sesat”, “sekte” atau, seperti sebelumnya, “bidat”. Dengan demikian, orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai pembela iman ini melanjutkan tradisi panjang gereja non-Yahudi dengan konflik-konflik doktrinal yang saling mematikan, yang di mata dunia nyaris bukan demi kemuliaan Allah, belum lagi bagaimana Allah memandang semua ini. Namun terlepas dari tekanan-tekanan luar yang memaksa kita menuruti dogma tertentu adalah kenyataan bahwa kita sendiri telah diyakinkan bahwa doktrin itu benar. Sepanjang kehidupan Kristen kita, kita telah belajar untuk membaca Alkitab dengan cara tertentu yang diyakini sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk memahaminya. Jadi, sekarang Alkitab dipahami hanya dengan cara itu dan, sebaliknya, apa saja yang kita baca semakin meyakinkan kita bahwa cara yang diajarkan kepada kita itu adalah cara yang tepat. Dengan demikian, kita sendiri telah memperkuat iman kepercayaan kita ke dalam doktrin tertentu itu, terutamanya di saat kita sendiri menjadi guru dan mengajarkan doktrin itu kepada orang lain, malah dengan berusaha mencari keterangan yang lebih meyakinkan ketimbang keterangan yang sudah diajarkan kepada kita. Di sini saya berbicara dari pengalaman pribadi sebagai seorang guru. Akibat dari semua ini adalah ketika saya membaca Perjanjian Baru, mau tidak mau saya membaca setiap nas dengan cara yang sudah diajarkan kepada saya, yang selanjutnya diperkuat dengan argumen-argumen baru yang telah saya kembangkan sendiri. Sebagaimana seorang guru yang rajin, saya berusaha membuat perkara trinitaris ini semeyakinkan mungkin. Saya sudah mempelajari dan mengajarkan Alkitab sebagai sebuah kitab 52 The Only True God trinitaris; jadi bagaimanakah mungkin saya sekarang memahaminya di dalam cahaya monoteisme? Ambillah, sebagai contoh, Filipi 2:6-11, teks terkenal yang selalu digunakan oleh trinitarian untuk membuktikan bahwa Kristus adalah Allah-Anak. Prof. M. Dods merangkum teks itu sebagai berikut: “Kristus digambarkan [dalam nas ini] meninggalkan kemuliaan yang semula dinikmatinya dan kembalinya setelah tugasnya di bumi selesai dan sebagai buah hasil kerja itu” (The Gospel of John, The Expositor’s Greek NT, hlm.841). “Kemuliaan” yang ditinggalkan oleh Kristus itu adalah “kemuliaan ilahi”, sebagaimana dinyatakan dalam kalimat Dods yang berikut. Itulah caranya kita semua memahami teks ini sebagai trinitarian. Tidak pernah terpikirkan oleh kita bahwa interpretasi ini adalah hasil dari terlalu banyak membacakan ke dalam teks apa yang tak tertulis di situ. Kata “kemuliaan”, misalnya, tidak muncul di manapun dalam teks ini (atau bahkan dalam pasal ini) sehubungan dengan Kristus, apalagi istilah “kemuliaan ilahi”. Istilah “kemuliaan ilahi” di sini bukan berarti kemuliaan Allah Bapa (lih. Flp 2:11), melainkan “Allah-Anak”, suatu istilah yang tidak muncul di manapun dalam Kitab Suci. Sekali lagi, kata-kata kunci seperti “meninggalkan” dan “kembali” juga tidak ada dalam nas tersebut, tetapi dibacakan kedalamnya. Untuk mengatakan Yesus “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas”, seperti dikatakan di Filipi 2:6 (MILT), sama sekali berbeda dari mengatakan “meninggalkan kemuliaan ilahi”nya. Lagipula, nas di Filipi 2:6-11 itu sama sekali tidak berkata apa-apa tentang Kristus yang “kembali” kepada “kemuliaan yang semula dinikmatinya” (Dods). Yang dikatakan adalah sesuatu yang sangat berbeda, yang seharusnya dapat dilihat sendiri: “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama” (Flp.2:9). Di sini sama sekali tidak ada gagasan Pendahuluan 53 kalau ia hanya sekadar menerima kembali apa yang pernah dimilikinya semula; untuk berkata demikian artinya membuat tidak bermakna fakta bahwa ia “sangat ditinggikan” Allah. Dengan demikian rangkuman Dods atas teks Filipi ini benarbenar tidak memuat apapun yang berasal dari teks itu sendiri! Tanpa malu-malu trinitarianisme telah dibacakan ke dalamnya. Namun sebagai orang trinitarian kita tidak memperhatikan ketidaksesuaian yang serius antara penafsiran kita dengan teks-teks Alkitabiah yang semestinya kita tafsirkan. Ini dikarenakan kita tidak tahu cara membaca teks selain dengan cara yang telah diajarkan kepada kita. Di sini kita tidak akan mengkaji Filipi 2 dengan rinci, tetapi beberapa poin yang terdapat dalam nas terkenal ini akan dipakai sebagai contoh dari fakta bahwa membaca Alkitab dengan kacamata trinitaris telah menjadi kebiasaan kita. Terlepas dari tugas sulit mempelajari kembali cara membaca Alkitab di dalam cahaya yang baru, yaitu cahaya monoteisme, ada lagi faktor lain yang menurunkan motivasi, yaitu faktor tekanantekanan luar seperti dijuluki “bidat”, hal yang menakutkan bagi kebanyakan orang Kristen. Hanya karena menyatakan bahwa Alkitab bersifat monoteistik karena Alkitab adalah firman dari “satusatunya Allah yang benar” orang lantas bisa dijuluki “bidat” oleh gereja menunjukkan betapa jauhnya gereja telah menyimpang dari firman Allah. Hanya keberanian dari Allah untuk menghadapi kebenaran, sesungguhnya, untuk mencintai kebenaran di atas segala-galanya, yang akan memampukan kita mengenal Dia yang disebut “Allah yang benar”. Dengan demikian, saya akan mengakhiri bagian ini dengan kata-kata dari Yesaya 65:16, “Siapa yang memberkati dirinya sendiri di bumi, akan memberkati dirinya sendiri dalam Allah yang benar, dan siapa yang dilaknat di bumi, akan di ambil sumpah oleh Allah yang benar, karena kesesakan yang dahulu telah dilupakan, dan karena mereka telah disembunyikan dari mata-Ku.” (MILT) 54 The Only True God (2) Terlepas dari masalah-masalah serius dari indoktrinasi dan tekanan sebaya, ada masalah lain yang tak kalah seriusnya, yakni, kita tidak lagi memiliki gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dikenal baik oleh orang-orang yang pertama membaca PB: konsepkonsep umum seperti Logos atau Memra, Syekinah, dan terutamanya Nama Allah, Yahweh. Semuanya itu telah menjadi asing bagi kebanyakan orang Kristen. Untuk memahami Alkitab, konsep-konsep ini perlu dipelajari dan bagi kebanyakan orang hal itu sendiri merupakan sebuah tantangan. Dewasa ini hanya sedikit orang Kristen yang tahu akan hal semendasar seperti fakta bahwa Nama Allah dalam Alkitab Ibrani adalah “Yahweh”, yang dibacakan “Adonai” oleh orang Yahudi karena rasa takzim, yang artinya “Tuan”. Biasanya kata ini diterjemahkan sebagai “LORD” dalam kebanyakan Alkitab Inggris (dengan pengecualian New Jerusalem Bible, yang memakai “Yahweh”). Nyaris tak satu pun orang Kristen yang tahu berapa kali Nama “Yahweh” muncul dalam Alkitab Ibrani. Mereka terkejut ketika diberitahu bahwa Nama itu muncul 6828 kali. Bila bentuk pendek dari Nama itu juga dihitung (seperti kata Haleluyah, di mana ‘Yah’ mewakili Yahweh dan Haleluyah berarti “Puji Yahweh”), jumlah pemunculannya melonjak menjadi sekitar 7000 kali. Tidak ada nama lain yang menyaingi frekuensi pemunculan ini dalam Alkitab. Jelas sekali ini menunjukkan bahwa Yahweh melingkupi baik pusat maupun lingkar Alkitab; pada hakekatnya, Ia adalah “semua dalam semuanya” (1Kor.15:28). Perlu pula dicatat bahwa kata “Yahweh” juga ditemukan dalam PB, terutamanya dalam pelbagai tempat yang mengutip PL. Kata “Adonai” (metonim Yahudi untuk “Yahweh”) muncul 144 kali dalam Complete Jewish Bible. Dalam Salkinson-Ginsburg Hebrew New Testament, “Yahweh” muncul 207 kali. Pendahuluan 55 Namun, perkaranya jauh melampaui frekuensi statistik Nama Yahweh dalam Alkitab. Keindahan karakter Yahweh yang luar biasa sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab merupakan hal yang teramati oleh sedikit orang Kristen. Keindahan karakter-Nya yang terlihat dari belas kasihan-Nya, hikmat-Nya, dan kuasa-Nya yang dipakai untuk keselamatan manusia, sudah dinyatakan dalam kitab Kejadian, di mana kita dapat mengamati tingkat keintiman yang mengejutkan dari interaksi-Nya dengan Adam dan Hawa, yang tampaknya dikunjungi-Nya secara teratur “pada waktu hari sejuk” (Kej.3:8) di Taman Eden, yang telah Ia “buat” (Kej.2:8) untuk mereka. Setelah mereka berbuat dosa, Ia malah membuatkan pakaian untuk menutupi mereka (Kej.3:7,21). Kasih sayang dan kuasa penyelamatan Yahweh terlihat dalam skala besar ketika Ia menyelamatkan orang Israel dari perbudakan di Mesir. Ia memimpin sekitar 2.000.000 orang Israel melalui padang gurun yang mengerikan hingga tiba di tanah Kanaan, dan menyediakan segala kebutuhan mereka selama 40 tahun. Kita akan mempertimbangkan hal-hal tersebut dengan lebih menyeluruh dalam bab 5; di sini kita hanya menyebutkan bahwa kualitas-kualitas yang sama dari karakter Yahweh dinyatakan lagi dalam Injil melalui kehidupan dan perbuatan Yesus Kristus, yang dalam dirinya seluruh kepenuhan Yahweh diam. (Kol.1:19; 2:9) (3) Berbicara tentang “Allah” pun malah menjadi persoalan karena bagi orang trinitarian kata itu bisa merujuk kepada salah satu dari ketiga pribadi, atau ketiganya sekaligus. Dengan demikian, Allah itu tiga serangkai, yaitu, sebuah kelompok yang terdiri dari tiga entitas atau pribadi. Kita bahkan tidak bisa berbicara tentang Allah sebagai Bapa tanpa disertai asumsi trinitarian bahwa kita sedang berbicara tentang sepertiga dari Trinitas yang dipanggil “Allah Bapa”, atau bahkan tentang Yesus sebagai “Bapa”, karena banyak orang Kristen juga menyandangkan gelar ini kepadanya. Lantas, bagaimana 56 The Only True God caranya kita bisa berbicara tentang “satu-satunya Allah yang benar” tanpa disalah-pahami oleh orang trinitarian? Tampaknya jalan keluar satu-satunya ialah dengan memakai nama yang diwahyukan oleh-Nya sendiri: “Yahweh”, atau bahkan dengan “Yahweh Allah” (YHWH Elohim), istilah yang muncul 817 kali dalam PL. Beberapa fakta sejarah yang penting A dalah fakta sejarah bahwa Syahadat trinitaris Nikea ditetapkan pada tahun 325 M (dan Syahadat Konstantinopel pada tahun 381 M), yaitu sekitar 300 tahun setelah masa Kristus. Ini berarti trinitarianisme menjadi syahadat resmi gereja tiga abad sesudah masa Yesus Kristus. Begitu juga adalah fakta sejarah bahwa Yesus dan para rasulnya semua adalah orang Yahudi, dan bahwa jemaat awal yang didirikan di Yerusalem (dikisahkan dalam kitab Kisah Para Rasul) adalah jemaat Yahudi. Ini berarti jemaat yang paling mula-mula itu semuanya terdiri dari orang-orang monoteis. Para sarjana dengan jujur mengakui “monoteisme PB yang keras (dalam Injil Yohanes, lih. khususnya 17:3)”, meminjam kata-kata H.A.W. Meyer (Critical and Exegetical Handbook to the Gospel of John, hlm.68). Ini berarti ketika kita memahami PB secara monoteistik, atau menjelaskannya dengan cara itu, kita berbuat demikian sesuai dengan ciri sejatinya. Begitulah caranya PB semestinya dimengerti dan diuraikan. Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang Yohanes 1:1 atau bagian lain dari PB dalam pengertian monoteistik, kita sama sekali tidak perlu membenarkan apa-apa, dan tidak ada perkara yang perlu dibela sama sekali. PB bukanlah sebuah dokumen politeistik ataupun trinitaris yang perlu diterangkan secara monoteistik. Jika ini yang kita lakukan maka kita harus membuat pembenaran atas tindakan kita serta membela perkara kita. Namun, kebalikannyalah yang benar. Pendahuluan 57 Berkenaan dengan PB, trinitarianismelah yang sedang disidangkan: ia harus menjelaskan mengapa ia telah menginterpretasikan Firman Allah yang monoteistik secara politeistik, sehingga sama sekali memutar-balikkan ciri dasariahnya. Namun apakah umat trinitarian bukan orang monoteis? Sebagai trinitarian kita berargumen bahwa kita adalah orang monoteis, bukan orang politeis, karena kita percaya pada satu Allah dalam tiga pribadi. Kita menutup mata (dan telinga) terhadap fakta yang seharusnya nyata-nyata jelas: Jika Bapa adalah Allah, dan Anak adalah Allah, dan Roh adalah Allah, dan ketiganya setara dan kekal bersama, maka kesimpulan yang tak dapat dipungkiri adalah: ada tiga Allah. Jadi, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa kita masih percaya pada satu Allah? Hanya dengan satu jalan: definisi kata “Allah” harus diganti—dari “Pribadi” menjadi “Hakikat” (atau “Kodrat”) ilahi, yang dibagi bersama oleh ketiga pribadi tersebut. Akan tetapi, fakta sederhananya adalah bahwa Allah dalam Alkitab itu sebenarnya suatu Jatidiri yang sangat personal dan bukan sekadar “hakikat”, tidak peduli sehebat apa hakikat itu. Namun, trinitarianisme telah mengubah konsep Alkitabiah akan Allah dengan secara lancang memperkenalkan politeisme ke dalam gereja dengan berkedok sebagai “monoteisme”. Dengan berbuat demikian mereka telah mengubah makna kata “Allah”. Pergeseran Halus dari Monoteisme ke Triteisme Trinitaris Kita sudah memperhatikan fakta sejarah bahwa sejak masa Kristus hingga ke masa Syahadat Nikea terdapat selang waktu 300 tahun lamanya. Selama tiga abad itu gereja mengalami perubahan fundamental yang lambat tetapi pasti, yaitu perpindahan dari monoteisme ke politeisme. Alasan historis bagi perubahan ini tidak sulit dipahami. Ketika jemaat awal, dengan kuasa Roh Allah, memproklamirkan Injil yang monoteistik secara dinamis ke seluruh 58 The Only True God dunia Yunani-Romawi yang politeistik dan banyak orang datang kepada Tuhan, banyak orang beriman non-Yahudi yang datang ke gereja tidak sepenuhnya menanggalkan cara berpikir mereka yang politeistis. Dengan berkembangnya jemaat di seluruh dunia, orang non-Yahudi mulai menguasai gereja, hingga akhirnya orang Yahudi hanya menjadi kaum minoritas di kebanyakan gereja di luar Palestina. Menjelang paro abad ke-2, ketika Kekristenan berpisah dengan Yudaisme, perpisahan dengan monoteisme Alkitabiah menjadi kenyataan dalam faktanya jika bukan dalam namanya. Menjelang awal abad ke-3 M sulit menemukan satu saja nama orang Yahudi di antara para pemimpin gereja daerah (waktu itu disebut “uskup”). Gereja sekarang kokoh berada di bawah kepemimpinan orang-orang non-Yahudi. Para pemimpin ini telah bertumbuh dalam lingkungan agama dan budaya di mana terdapat “banyak ilah dan banyak tuhan” (1Kor.8:5), dan “ilah-ilah” serta “tuhan-tuhan” agama orang Yunani dan Romawi pada dasarnya adalah manusia-manusia yang diagungkan oleh orang banyak sebagai pahlawan. “Jadi, jiwa-jiwa yang lebih baik akan melewati masa peralihan dari manusia menjadi pahlawan dan dari pahlawan menjadi setengah dewa; dan dari setengah dewa, beberapa di antaranya, setelah jangka pemurnian yang panjang, akan sepenuhnya saling berbagi dalam keilahan” (Plutarch [c. 46-120 M], dikutip dalam Greek-English Lexicon, BDAG, θεότης). Aleksander Agung dan beberapa kaisar Romawi dihormati sebagai ilah. 2 Dalam kenyataannya, sebagaimana dikenal luas, sebagian orang Romawi juga tidak keberatan memasukkan Yesus sebagai satu ilah di antara banyak ilah di kuil Romawi. Hal yang membuat mereka marah ialah penolakan orang Kristen mula-mula untuk mengakui kaisar sebagai ilah. Hal ini berakibat kepada beberapa peristiwa penganiayaan terhadap orang Kristen, karena penolakan mereka untuk menyembah kaisar dianggap sebagai bukti ketidaksetiaan kepada pemerintahan Romawi. Namun, di pihak mereka, orang Kristen sudah tentu, tidak terlalu merasa senang dengan sebagian orang 2 Pendahuluan 59 Apapun alasan-alasan lain yang menyebabkan gereja secara berangsur menyimpang dari monoteisme (bdk. Jews and Christians: the parting of the ways AD 70 to 135, ed. James D.G. Dunn), dengan diresmikannya Syahadat Nikea dan Syahadat Konstantinopel tiga abad sesudah masa Kristus, jelaslah bahwa Kristus sekarang dinyatakan sebagai Allah, setara dan kekal bersama dengan dua pribadi lain dalam Ke-Allahan (Godhead). Allah bukan lagi satu Jatidiri yang personal tetapi sebuah kelompok yang terdiri dari tiga pribadi yang sama-sama setara. Ini berarti makna kata “Allah” telah berubah dari satu Pribadi ilahi menjadi tiga pribadi ilahi yang berbagi satu “hakikat” ilahi (Latin, substantia; Yunani: hupostasis; juga, ousia 3). Oleh sebab itu, proklamasi Alkitabiah yang fundamental untuk iman Alkitabiah baik dalam PL maupun PB, yang diungkapkan dengan jelas dalam kata-kata: “Dengarlah hai Israel, TUHAN (Yahweh) Allah kita, TUHAN (Yahweh) itu Esa” (Ul.6:4; Mrk.12:29) pada hakikatnya telah diubah menjadi: “Dengarlah, hai Gereja, Tuhan Allahmu itu TIGA.” Dengan adanya perubahan ini maka seluruh ciri dari Monoteisme Alkitabiah, yang menyatakan satu Allah yang personal, berubah menjadi suatu “monoteisme” yang mana “Allah” bukan lagi satu pribadi melainkan suatu “hakikat” yang dibagi bersama oleh tiga pribadi. Roma yang tidak keberatan memuliakan Yesus sebagai ilah di samping ilahilah mereka yang lain. Dan jika para pemuja berhala saja rela mengakui keagungan Yesus dengan memberikannya tempat di antara ilah-ilah mereka, mengapa orang Kristen (non-Yahudi) tidak rela memuliakan dia dengan cara yang sama, yaitu, sebagai Allah? Hal ini membantu membuka jalan untuk trinitarianisme. 3 “Hupostasis dan ousia pada mulanya adalah sinonim, kata yang pertama Stoa dan yang terakhir Platonis, yang artinya, eksistensi nyata atau esensi, dari suatu benda.” J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm.129. 60 The Only True God Sejak permulaan abad ke-3, Origenes, “bapa” terkemuka Gereja Yunani dan guru di sekolah katekismus di Aleksandria, sudah mendeklarasikan, “Kami tidak takut berbicara tentang dua Allah dalam satu pengertian, dan satu Allah dalam pengertian lain” (J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm.129). “Kami tidak takut berbicara... tentang dua Allah”: Betapa beraninya, atau mestikah kita berkata, betapa lancangnya?! Pintu air politeisme (dibalik samaran selubung tipis “monoteisme trinitaris”) sekarang telah terbuka lebar. Dalam kurun waktu kurang dari 200 tahun semenjak masa Kristus, gereja non-Yahudi dengan berani telah menentang monoteisme Alkitabiah, dan memulai tradisi panjang menggunakan gaya bahasa ambigu (bermakna-ganda, taksa): “dalam satu pengertian... dalam pengertian lain”. Pengertian yang mana? Allah orang Kristen nonYahudi, dari segi pribadi, ada dua (atau tiga, resmi sejak 381 M); dari segi hakikat: satu. Namun, biarlah dipahami dengan jelas bahwa sejauh menyangkut penyingkapan Alkitabiah, entah dalam Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, tidak ada dua Allah (atau tiga) dalam pengertian apa pun. Orang-orang yang peduli dengan kebenaran Alkitabiah akan menolak gaya bicara trinitaris yang ambigu, karena merasakan adanya kebohongan di situ. Hanya ada satu Allah yang benar, dan Nama-Nya adalah Yahweh! Siapa saja yang mengabarkan Allah lain di samping Dia pasti harus mempertangggung-jawabkan perbuatannya pada Hari itu. Meskipun sengaja mengubah cara kata “Allah” didefinisikan dan difahami merupakan perkara yang teramat serius, keseriusan perkara itu tidak berakhir di situ. Dalam kenyataannya, deklarasi trinitaris itu sama sekali bertolak-belakang dengan pernyataan ilahi bahwa “Yahweh (TUHAN) itu ESA”, Ul.6:4. Yahweh adalah satu Jatidiri, satu Entitas, satu Pribadi, sebagaimana jelas terlihat dalam Alkitab Ibrani; dan dalam Perjanjian Baru pun tidak ada bedanya, sebagaimana akan kita lihat. Oleh sebab itu, makna keesaan Allah Pendahuluan 61 dalam Alkitab bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar atau dikompromikan. Makna keesaan Yahweh didefinisikan dengan kejelasan mutlak, dan tidak menerima kompromi yang mengusulkan bahwa keesaanNya adalah “kesatuan di dalam keragaman” yang membuka kemungkinan mencakup satu atau dua pribadi lain di samping Yahweh. Kitab Suci dengan tegas menyatakan: “Tuhanlah Allah; tidak ada yang lain kecuali Dia” (Ul.4:35). Atau, dengan kata-kata Yahweh sendiri, “tidak ada Allah selain dari pada-Ku, Allah yang adil dan Juruselamat; tidak ada yang lain kecuali Aku. Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah, dan tidak ada yang lain” (Yes.45:21,22). Dalam dua ayat ini saja “tidak ada yang lain” diulang sebanyak tiga kali. Frasa itu diulang berkali-kali lagi di bagian lain Kitab Suci; kita akan memiliki kesempatan untuk kembali kepada nas-nas tersebut dalam kajian ini. Paling khususnya, deklarasi trinitaris ini mentah-mentah membantah penegasan Yesus sendiri atas Ulangan 6:4 bahwa Yahweh itu esa. Pada kesempatan ketika seorang ahli Taurat bertanya, “Perintah manakah yang paling utama?” Yesus menjawab, “Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk.12:28-30) Siapa yang diacu sebagai “Tuhan Allahmu” benarbenar jelas; dalam Perjanjian Lama frasa yang muncul lebih dari 400 kali itu merupakan bentuk rujukan standar kepada Yahweh. Akan tetapi, kelompok pemimpin gereja di Nikea itu, yang agaknya mengakui Yesus sebagai “Tu[h]an”, tidak takut (seperti dinyatakan oleh Origenes sebelumnya) menentang tuan mereka dan menuntut gereja harus percaya bahwa Allah itu lebih dari satu pribadi. Ini mengingatkan kita akan kata-kata Yesus, “Dan mengapa 62 The Only True God kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46) Bila sang guru mengajarkan bahwa Allah itu esa, bagaimanakah semestinya tanggapan murid-muridnya yang sejati? Dan jika kita tidak melakukan apa yang ia katakan, tidakkah kita akan mendengar ia berkata, “Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapanku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!” (Mat.7:23). Atau, apakah kita mengira ia akan merasa senang karena kita telah mengangkatnya hingga setara dengan Yahweh, sama seperti orang-orang yang ingin memahkotai dia dan menjadikannya raja dengan paksa di Yohanes 6:15: “Karena Yesus tahu bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa dia dengan paksa untuk menjadikan dia raja, ia menyingkir lagi ke gunung, seorang diri”? Sebagai umat trinitarian kita meninggikan Yesus hingga setara dengan Yahweh walaupun ia sendiri tidak sekalipun pernah mengklaim sebagai Allah, seperti dinyatakan di Filipi 2:6 bahwa ia “tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas.” (MILT) Menariknya, kata yang diterjemahkan sebagai “dirampas” dalam ayat ini merupakan kata yang sama yang diterjemahkan sebagai “membawa dengan paksa” (harpazo) di Yohanes 6:15 yang dikutip di atas. Yesus tidak pernah berusaha merebut dengan paksa, atau merampas, kesetaraan dengan Allah. Kita akan kembali ke Filipi 2 dalam kajian ini. Trinitarianisme juga bersikeras menjadikan Roh Tuhan (Yahweh) pribadi yang terpisah dan berbeda dari Yahweh. Siapapun yang mengenal Perjanjian Lama dengan baik akan mendapati hal ini agak aneh. Umat Yahudi pasti bertanya-tanya apakah umat Kristen sungguh-sungguh memahami Alkitab atau tidak. Untuk memperdebatkan bahwa Roh Yahweh, adalah pribadi yang berbeda dan terpisah dari-Nya adalah sama seperti memperdebatkan bahwa “roh manusia” (1Kor.2:11; Ams.20:27; Pkh.3:21; Za.12:1) adalah Pendahuluan 63 individu yang terpisah dan berbeda yang hidup di dalam dia, atau hidup dengan dia sebagai pribadi yang lain! Sayangnya, ini bisa dipandang benar untuk orang yang menderita penyakit skizofrenia, tetapi untuk mengemukakan bila demikian halnya dengan Allah adalah kegilaan, atau lebih parahnya, penghujatan. “Allah itu Roh” (Yoh.4:24) sebagaimana dikatakan Yesus, akan tetapi, tanpa ragu kita menyatakan bahwa Roh Allah, Roh Tuhan, Roh Kudus itu sebenarnya adalah pribadi yang berbeda dari-Nya. Malangnya, sebagai orang trinitarian, kita telah begitu terbiasa dengan pengajaran seperti ini sehingga tidak lagi mampu melihat kekonyolannya (absurdity). Kita meyakinkan diri sendiri bahwa kita tentu tidak sebodoh itu. Masalahnya bukan kebodohan melainkan kebutaan—dan kita mengira hanya orang Yahudi sajalah yang mengalami kebutaan (Ef.4:18; Rm.11:25, khususnya berkenaan dengan Yesus sebagai Mesias)! Oleh karena Alkitab itu nyata-nyata bersifat monoteistik (sehingga sebuah uraian secara monoteistik atasnya tidak memerlukan pembenaran apapun), maka berikut ini adalah sebuah upaya untuk mempelajari bagaimana memahami Kitab Suci dengan semestinya: secara monoteistik. Ini bukan tugas yang mudah untuk seorang yang telah berkecimpung dalam trinitarianisme seperti diri saya. Akan tetapi, hal ini harus dilaksanakan oleh anugerah Allah, demi menangkap kebenaran-Nya. Sudah saatnya kita “menyelidiki dan memeriksa hidup kita, dan berpaling kepada TUHAN (Yahweh)” (Rat.3:40). “Monoteisme” Trinitaris “M onoteisme” trinitaris hanya dapat memenuhi syarat sebagai monoteisme dengan mengubah definisi kata “monoteisme”. Ini kurang lebih sama dengan mengatakan kalau malaikat adalah manusia, dengan mengubah makna kata “manusia” sehingga 64 The Only True God juga mencakup malaikat. Ini ibarat mengubah peraturan permainan dengan menaruh tiang-tiang gawangnya lebih jauh sehingga kita bisa mencetak angka. Ini tidak bisa diterima oleh mereka, seperti umat Yahudi (dan umat Muslim), yang tahu bahwa argumentasi semacam ini merupakan sebuah penyangkalan akan monoteisme radikal dalam Firman Allah, yang tidak mengenal kompromi. Jadi, bagaimana mungkin trinitarianisme yang mengklaim bahwa Allah itu bukan satu pribadi tetapi tiga pribadi yang sama-sama setara, tetap mengklaim dirinya monoteistik? Jawaban sederhananya adalah dengan mengubah makna kata “monoteisme” sedemikian rupa sehingga satu Allah itu tidak lagi dipahami sebagai satu Pribadi tetapi sebagai satu “hakikat”, hakikat keilahian atau “ke-allahan” (“godhead”). Kamus Encarta mendefinisikan “godhead” dengan “keadaan sebagai Allah atau ilah; kodrat atau esensi sebagai yang ilahi; juga disebut ‘kualitas ilahi’”. Setiap ilah dalam politeisme adalah ilah karena mereka saling berbagi “keadaan sebagai ilah”, yakni, “hakikat” kualitas ilahi. Jika tidak demikian, bagaimana lagi mereka bisa menjadi ilah? Begitu juga, kita adalah manusia karena kita saling berbagi kualitas manusiawi; kita berbagi “hakikat” kemanusiaan. Jika tidak demikian, bagaimana lagi kita bisa menjadi manusia? Jadi, apa yang telah diperbuat oleh trinitarianisme adalah mengurangi arti kata “Allah” dari sebuah rujukan kepada TUHAN Allah dalam Alkitab menjadi suatu kelompok yang terdiri dari tiga tokoh yang saling berbagi “hakikat” ilahi, agak seperti tiga orang manusia yang saling berbagi “hakikat” manusiawi (“keadaan menjadi manusia”, Encarta). Kata “Allah” dikurangi artinya menjadi suatu “keberadaan diri”, bukan suatu pribadi. Allah yang dinyatakan dalam Alkitab telah dikurangi (de-personalized) menjadi “hakikat” ilahi untuk membuka jalan bagi dua pribadi ilahi lain untuk berbagi dalam “satu hakikat” itu. Satu hakikat, atau satu kodrat inilah yang dimaksud dengan “monoteisme” trinitaris. Pendahuluan 65 Entah sang trinitarian menyadarinya atau tidak (besar kemungkinan tidak), ketika ia berdoa kepada “Allah” ia tidak berdoa kepada suatu pribadi khusus tetapi kepada suatu “keberadaan diri” yang dipercayainya terdiri dari tiga pribadi. Tidak heran kalau tidak banyak orang yang berdoa kepada Bapa, dan kebanyakannya barangkali berdoa kepada Yesus (seperti yang saya lakukan dahulu), dan banyak juga yang berdoa kepada Roh Kudus (seperti yang dilakukan oleh kaum karismatik). Lantas, dari mana datangnya konsep monoteisme yang telah disimpangkan ini? Para trinitarian sudah tentu mengklaim konsep itu berasal dari Perjanjian Baru. Yohanes 1:1 merupakan ayat tunggal paling penting yang mereka gunakan untuk membela perkara mereka. Itu sebabnya kita akan mengkaji ayat ini dengan sangat rinci. Jika ayat ini tidak bisa dipergunakan untuk mengesahkan trinitarianisme, maka perkara dengan dogma ini akan runtuh. Ayat-ayat lain dalam PB yang diandalkan oleh trinitarianisme juga akan kita selidiki. Ayat-ayat tersebut termasuk satu bagian kecil dari Filipi 2, sebagian dari Kolose 1, beberapa ayat di Ibrani 1 dan kitab Wahyu. Namun, penafsiran trinitaris atas nasnas ini sangat bergantung pada penafsiran atas Yohanes 1:1, jadi sesudah makna ayat ini menjadi jelas, makna dari nas-nas lainnya pun akan relatif lebih mudah dimengerti. Karya ini memiliki tujuan yang jauh lebih penting daripada sekadar menggugurkan dogma trinitaris. Pengguguran trinitarianisme itu akan membersihkan jalan kepada pewartaan sebuah pewahyuan indah yang telah disamarkan oleh doktrin trinitaris, yakni, satu-satunya Allah yang benar itu—yang menyatakan Dirinya dengan Nama Yahweh (YHWH), “Aku adalah Aku” (Kel.3:14), yang melalui nabi agung Yesaya menyatakan bahwa Ia akan datang kepada umat-Nya (Yes.40), dan yang melalui nabi PL terakhir Maleakhi, menyatakan bahwa Ia dengan tiba-tiba (tanpa terduga) akan datang ke bait-Nya—Ia memang telah datang di dalam pribadi 66 The Only True God Yesus Kristus sebagaimana dinyatakan dalam kitab-kitab Injil. Penyataan yang mengejutkan inilah yang telah disamarkan oleh trinitarianisme. Pribadi yang pertama (dan satu-satunya) itulah yang telah datang ke dunia dalam Kristus, bukan “pribadi kedua” sebagaimana yang dibayangkan. Kita akan melihat semua ini dengan lebih lengkap setelah penafsiran trinitaris atas Kitab Suci dievaluasi. Mengapa orang Kristen percaya adanya Trinitas? Seandainya dalam Alkitab terdapat satu ayat saja yang dengan gamblang dan eksplisit menyatakan “Yesus Kristus adalah Allah” maka seluruh masalah ini akan langsung diselesaikan, dan diskusi lebih lanjut tidak lagi dibutuhkan. Namun, faktanya adalah: tidak ada pernyataan semacam itu dalam Kitab Suci. Kalau begitu, mengapa kita tidak tutup saja perkara ini oleh karena tidak cukup bukti? Yah, hal tersebut tidak sesederhana itu; tradisi gerejawi yang panjang dan rumit berperan di balik semua ini. Mengapa umat Katolik Roma percaya pada Trinitas? Mereka mempercayainya karena itu adalah doktrin resmi Gereja Katolik. Bagi umat Katolik Roma gereja adalah suara Allah di muka bumi. Jika Anda berharap untuk diselamatkan, Anda harus menelan mentah-mentah apa yang diajarkan oleh gereja. Bahwa pemimpin-pemimpin gereja Katolik adalah wakil-wakil Allah di muka bumi, dan bahwa mereka berkuasa menjalankan apa yang mereka anggap sebagai kehendak Allah dalam segala hal yang berkenaan dengan iman dalam gereja, sudah berlangsung lama dalam tradisi dan sejarah gerejawi. Oleh sebab itu, sekelompok pemimpin gereja (disebut “uskup”) berkumpul di Nikea pada tahun 325 M yang didanai oleh kaisar Roma Konstantinus (yang mengklaim sudah menjadi seorang Kristen tetapi baru dibaptis menjelang kematiannya). Konstantinus memberikan kepada mereka tugas yang mengandung signifikansi historis terbesar, yaitu Pendahuluan 67 membuat ketetapan atas pandangan-pandangan tentang Yesus Kristus yang berbeda-beda dan saling bertentangan itu serta menentukan bagaimana relasinya dengan Allah, yang menjadi topik hangat dalam gereja saat itu dan mengancam kesatuan dan ketentraman yang diharapkan oleh Konstantinus dalam kekaisarannya. Akhirnya para pemimpin gereja (yang sempat saling bersitegang) di Nikea membuat ketetapan yang kita kenal sebagai Syahadat Nikea yang mendeklarasikan bahwa keilahian (deity) Yesus wajib dipercayai oleh umat Kristen. Atas dasar apa deklarasi ini dibuat? Inilah pertanyaan penting yang perlu ditanyakan. Apakah didasari oleh Alkitab, atau paling tidak oleh PB? Tidak, syahadat ini tidak mengandung satu rujukan pun kepada Alkitab. Jadi, berdasarkan wewenang dari siapa? Dari para pemimpin gereja ini, yang menganggap diri mereka bertindak demi Nama Allah untuk gerejaNya. Wewenang gereja semacam ini baru pertama kali ditantang beberapa ratus tahun yang lalu (pada abad ke-16) oleh Martin Luther, yang sendiri seorang Katolik Roma, yang juga seorang biarawan Agustinian. Betapa lancangnya seorang biarawan rendahan bangkit melawan kekuatan lembaga Katolik yang besar! Luther berani melakukan hal ini atas dasar Perjanjian Baru yang telah ia pelajari dengan tekun. Ketika tengah membaca surat-surat Paulus matanya menangkap kata-kata “dibenarkan oleh iman”. Ia menyadari bahwa hal ini bertentangan dengan ajaran gereja Katolik pada masa itu yang mengajarkan orang untuk mencari “pahala” demi memperoleh pengampunan dosa. Berdasarkan kebenaran ini, yaitu dibenarkan oleh iman, Luther mengambil pendirian yang berani melawan seluruh kekuatan gereja; dan dari pendirian yang berani ini lahirlah Reformasi. Meskipun frasa “dibenarkan oleh iman” hanya muncul beberapa kali dalam surat-surat Paulus (Rm.3:28; 5:1; Gal.2:16; 3:24), gagasan 68 The Only True God yang dikemukakan oleh kata-kata itu mempunyai dasar yang lebih luas dalam ajaran Paulus tentang keselamatan, dan juga dalam ajaran Perjanjian Baru. Pendirian Luther yang berani ini mengandung signifikansi yang amat besar, yaitu sejak saat itu ajaran-ajaran gereja bisa ditantang berdasarkan Kitab Suci, yaitu firman Allah. Gereja dan para pemimpinnya tidak lagi bisa menyombongkan diri dengan wewenang mengajarkan segala hal yang berkenaan dengan iman tanpa perlu mempertanggungjawabkannya dengan firman Allah. Sayangnya, situasi di Gereja Katolik sampai saat ini tetap belum berubah, karena wewenang gereja (yaitu para pemimpin dan tradisinya) masih lebih diutamakan daripada Kitab Suci. Seluruh perhatian Luther telah tersita dengan perkara “dibenarkan oleh iman”. Mengingat komitmennya kepada Kitab Suci sebagai wewenang tertinggi untuk gereja, kita hanya bisa bertanya-tanya apa yang kira-kira muncul dalam benaknya atas pertanyaan yang mengawali bagian ini—“Mengapa orang Kristen percaya pada Trinitas”—bila tidak di manapun dalam Kitab Suci frasa “Yesus adalah Allah” dapat ditemukan? Tanpa pernyataan-pernyataan eksplisit yang menyatakan Yesus sebagai Allah, gereja hanya dapat mengggunakan ayat-ayat yang tampaknya menyiratkan keilahian Yesus untuk merangkai doktrin Trinitas. Di atas dasar yang rapuh inilah doktrin tersebut dibangun, dan ayat-ayat inilah yang perlu kita selidiki dalam kajian ini. Lagipula, apa yang biasanya tidak diketahui oleh rata-rata orang Kristen adalah bahwa tidak ada kekompakan di antara para sarjana mengenai makna dari banyak ayat kunci yang digunakan oleh trinitarianisme. Bahasan-bahasan intelektual ini sering ditemukan dalam buku-buku pintar dan artikel-artikel yang pada umumnya tidak terjangkau dan/atau sebagian besarnya tidak dipahami oleh orang awam. Kebanyakan orang Kristen menganggap bila perkara trinitarianisme ini sudah “siap dipakai”, sudah dituntaskan sejak Pendahuluan 69 dahulu kala dan tidak dapat diragukan lagi. Dengan demikian, mereka akan terkejut bila membaca pernyataan berikut dalam Greek-English Lexicon oleh Thayer: “Entah Kristus disebut Allah harus ditentukan dari Yoh.1:1; 20:28; 1Yoh.5:20; Rm.9:5; Tit.2:13; Ibr.1:8 dyb., dst.; masalah ini masih diperdebatkan di antara para teolog.” (Greek-English Lexicon, θεός, sec.2). Namun, jika frasa “dibenarkan oleh iman” ini tertera secara eksplisit dalam surat Roma dan Galatia sebagaimana dilihat oleh Luther, maka pernyataan “TUHAN itu esa” tentunya tidak kurang eksplisit, dan frasa itu bergema di seluruh Perjanjian Lama dan Baru. Yesus menyebutnya perintah yang “terutama” atau “yang paling penting” (Mrk.12:29). Kesimpulannya: Perbedaan dasariah antara trinitarianisme dan monoteisme S ambil kita melanjutkan kajian Kitab Suci dalam buku ini, penting sekali untuk dipahami dengan baik bahwa apa yang sedang kita lakukan di sini bukan semata-mata sebuah kajian tentang penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda tetapi tentang perbedaan dasariah dalam cara berpikir di tingkat rohaniah, perbedaan sudut pandang yang total dalam melihat Kitab Suci, dan sesungguhnya, dalam melihat segala sesuatu. Kita bisa memandang segalanya secara monoteistik, yakni dari kebenaran bahwa segala sesuatu berasal dari satu-satunya Allah yang benar dan kembali kepada-Nya sedemikian rupa Ia menjadi titik pusat dan lingkar dari segala yang ada—sehingga Ia menjadi titik fokus kehidupan kita; atau, kita memandang segalanya secara politeistik, yakni, dari sudut pandang bahwa ada lebih dari satu Allah atau lebih dari satu pribadi yang adalah Allah. Lalu pertanyaannya adalah: yang mana satu menjadi fokus kehidupan kita? Oleh karena kita tidak bisa berpegang baik kepada lebih dari satu titik fokus, maka tidak peduli 70 The Only True God titik fokus mana yang kita pilih, titik fokus itu tidak akan bisa menjadi satu-satunya yang kita pilih, karena itu tidak pernah bisa sesuai dengan monoteisme Alkitabiah. Trinitarianisme berbicara tentang tiga pribadi yang semuanya sama-sama Allah, kemudian mengklaim suatu tempat dalam monoteisme dengan mengubah definisi Allah menjadi “kodrat ilahi”, “hakikat” atau “Ke-Allahan” (“Godhead”) yang dibagi oleh ketiga pribadi itu; yang artinya tentu saja bahwa “Ke-Allahan” ini sama sekali tidak identik dengan satu-satunya Allah yang personal dalam Alkitab. Di mana ada kepercayaan kepada lebih dari satu pribadi sebagai Allah, itulah politeisme menurut definisi. Hal yang perlu kita sadari adalah bahwa pada hakikatnya trinitarianisme adalah iman yang berbeda dari monoteisme Alkitabiah. Jadi di sini kita bukan tengah berurusan dengan masalah penafsiran Alkitabiah yang relatif sederhana, tetapi dengan masalah iman Alkitabiah yang jauh lebih dalam. Dengan kata lain, yang menjadi taruhan di sini adalah iman yang sejati atau palsu, bukan semata-mata penafsiran Alkitab yang benar atau salah. Iman sejati atau palsu, menurut Kitab Suci, adalah perkara hidup atau mati. Jika pengalaman umat Israel dijadikan sebagai titik acuan, maka transisi dari politeisme dan pemberhalaan ke monoteisme bukanlah suatu hal yang mudah. Ini jelas melibatkan apa yang oleh Rasul Paulus disebut “pembaruan pikiran” (Rm.12:1,2). Hal ini bukan sesuatu yang dapat dicapai hanya dengan mengubah cara berpikir di tingkat rasional atau intelektual. Yang harus terjadi adalah sebuah perubahan di tingkat rohaniah, dan ini hanya bisa dilakukan oleh pekerjaan Allah sendiri di dalam diri kita. Kita tahu dari pengalaman betapa sulitnya mengubah sebuah kebiasaan. Sebagai trinitarian kita telah dilatih untuk memahami setiap nas dalam Alkitab dari sudut pandang trinitaris, yaitu satusatunya sudut pandang yang kita ketahui. Kita sudah terbiasa melihat setiap ayat dari sudut pandang penafsiran trinitaris. Pendahuluan 71 Sekalipun pada akhirnya kita dapat melihat bahwa penafsiran yang berbeda itu yang lebih tepat, itu sendiri tidak menyelesaikan persoalan yang lebih mendalam akan jenis iman yang memberi ungkapan kepada penafsiran tersebut. Jadi, sekali lagi, persoalannya bukan semata-mata penafsiran mana yang tepat, tetapi yang mana satu iman yang sejati. Dalam bab-bab berikut penafsiran trinitaris atas teks-teks tertentu akan diambil dari karya-karya referensi trinitaris yang berwenang. Kita akan menemukan bahwa penafsiran atas teks-teks itu mau tidak mau dikendalikan oleh iman kepercayaan dari para penulis. Dengan kata lain, bukan Kitab Suci yang mengendalikan kepercayaan atau dogma, tetapi dogma yang mengendalikan penafsiran. Hal ini biasanya dilakukan hampir tanpa disadari (sebagaimana saya ketahui dari pengalaman) oleh karena kepercayaan bahwa hal itu harus dipahami secara demikian, yakni, kita percaya bila ini merupakan satu-satunya cara yang tepat untuk memahaminya. Tentu saja tidak ada niat sama sekali untuk menyesatkan diri sendiri ataupun orang lain; iman kitalah yang menetapkan cara kita memahami segala sesuatu. Oleh sebab itu, pada dasarnya ini adalah persoalan iman. Bab 1 Monoteisme Yesus Kristus dan Para-Rasul yang Eksplisit “Syema” dalam ajaran Yesus: Markus 12:29 Jawab Yesus: “Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa.” D i sini Yesus mengutip Syema (dari kata Ibrani shama, mendengar) dari Ulangan 6:4, yang didaraskan oleh umat Yahudi setiap hari. Akan tetapi, bagaimanakah kata-kata “Tuhan itu esa” seharusnya dimengerti? Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 73 Saya akan mengutip diskusi dari karya referensi Theological Wordbook of the Old Testament (TWOT) dengan entri אֶ חַ ד, (’ehad, satu): “Sebagian sarjana merasa bahwa, meskipun kata ‘satu’ berbentuk tunggal (’ehad memiliki bentuk jamak, ’ahadim, mis. Kel.12:49; bdk. Bil.15:16), pemakaian kata itu memperbolehkan adanya doktrin Trinitas. Sementara benar bahwa doktrin ini dipertandakan dalam PL, ayat itu berpusat kepada kenyataan bahwa ada satu Allah dan Israel berhutang kesetiaan secara eksklusif kepada dia (Ul.5:9; Ul.6:5). PB pun bersifat monoteistik keras sementara pada saat yang sama mengajarkan keragaman di dalam kesatuan (Yak.2:19; 1Kor.8:5-6). “Berbagai kesulitan leksikal dan sintaktis dari Ulangan 6:4 dapat dilihat dari banyaknya terjemahan yang diajukan untuk ayat ini dalam NIV. Pilihan ‘the LORD is our God, the LORD alone’ mendapat dukungan baik dari konteks luas kitab itu maupun konteks langsung. Ulangan 6:4 berfungsi sebagai mengantar untuk menyemangati bangsa Israel agar mematuhi perintah untuk “mengasihi (Tuhan)” (ay.5). Gagasan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Allah Israel sesuai sekali dengan perintah itu (bdk. Kid.6:8 dyb.). Lagipula, kedua gagasan ini, yakni, hubungan unik antara Tuhan dengan bangsa Israel, dan kewajiban Israel untuk mengasihi dia, merupakan keprihatinan utama dari amanat-amanat Musa dalam kitab itu (bdk. Ul.5:9 dyb.; Ul.7:9; Ul.10:14 dyb., 20 dyb., Ul.13:6; Ul.30:20; Ul.32:12). Akhirnya, Zakharia menggunakan teks tersebut dengan arti berikut ini, dan menerapkannya secara universal sehubungan dengan eskaton: “Maka TUHAN akan menjadi Raja atas seluruh bumi; pada waktu itu TUHAN adalah satu-satunya dan nama-Nya satu-satunya’ (Za.14:9).” 74 The Only True God Dalam paragraf pertama dari TWOT yang dikutip di atas, “sebagian sarjana” (tidak semuanya, atau mungkin malah tidak banyak) “merasa” (apakah ini soal perasaan pribadi?) bahwa kata “satu” dalam bentuk tunggal “memperbolehkan adanya doktrin Trinitas berdasarkan keragaman di dalam kesatuan” (disebut dalam paragraf TWOT yang terdahulu). Persoalannya adalah PL sama sekali tidak menyebutkan adanya keragaman apapun di dalam Yahweh. Jadi, atas dasar apakah persisnya perasaan dari “sebagian sarjana” itu? TWOT selanjutnya membuat pernyataan “sementara benar bahwa doktrin ini (yaitu, doktrin Trinitas) dipertandakan dalam PL”, tetapi tak satu ayat pun diberikan sebagai bukti atas pernyataan tersebut. Faktanya, jangankan mempertandakan trinitarianisme dalam PL, menemukan bayang-bayang saja pun sulitnya setengah mati! Saya sendiri sudah berupaya menemukan bayang-bayang tersebut! Para trinitarian telah mencoba menunjuk kepada istilahistilah seperti Syekinah, memra, dst. yang seringkali muncul dalam sastra Alkitabiah Yahudi, tetapi mengabaikan fakta bahwa istilahistilah itu bukanlah hypostasis-hypostasis atau pribadi-pribadi dalam sastra tersebut; dengan demikian semuanya ini hanyalah soal membacakan trinitarianisme ke dalam gagasan-gagasan dan namanama itu (satu lagi contoh eisegesis). Eisegesis trinitaris jugalah yang harus digunakan jika kita ingin menemukan “keragaman di dalam kesatuan” (yaitu keserbaragaman pribadi di dalam satu Allah) di Yakobus 2:19 dan 1Korintus 8:5-6 (yang dikutip oleh TWOT dalam paragraf pertama), bahkan dengan sambil mengakui “PB pun bersifat monoteistik keras”. Tidaklah mengherankan bila TWOT tidak berusaha menerangkan bagaimana PB bisa dibilang bersifat monoteistik “keras” jikalau ia mengajarkan keserbaragaman pribadi di dalam Ke-Allahan. TWOT menyadari bahwa sebagian besar para pembacanya adalah orang trinitarian yang toh tidak akan meminta keterangan! Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 75 Bagaimana sebenarnya Yakobus 2:19 (“engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja”, εἷς ἐστιν ὁ θεός), yang jelas-jelas sekali menunjuk kepada Ulangan 6:4 (κύριος εἷς ἐστιν), justru bisa digunakan sebagai bukti untuk “keragaman di dalam kesatuan” dalam diskusi Ulangan 6:4 agak sulit untuk dimengerti. Untuk mengharapkan bahwa “satu” bukan berarti “satu” secara harfiah, tetapi sesuatu yang menyerupai “kesatuan”, yang didalamnya bisa terdapat keragaman atau keserbaragaman pribadi, sungguh-sungguh adalah harapan yang sia-sia. Kata “kesatuan” itu sendiri sudah menyiratkan keserbaragaman; jika hanya ada satu negara-bagian (state) saja kita tidak bisa menyebut “United States” (atau Amerika Serikat, yang terdiri dari banyak negara-bagian yang dipersatukan). Lagipula, persoalannya dengan trinitarianisme adalah bahwa kita akan mengalami kesulitan menemukan bahkan satu pertanda dalam PL atas keserbaragaman pribadi di dalam Yahweh Sendiri, karena Ulangan 6:4 berbicara tentang Yahweh (“LORD” dengan huruf kapital dalam kebanyakan terjemahan bahasa Inggris, dan “TUHAN” dalam terjemahan Indonesia); dan jika tidak ada keserbaragaman seperti itu, maka tidak ada gunanya berbicara tentang “kesatuan”. TWOT juga mengutip 1Korintus 8:6 (ἀλλ’ ἡμῖν εἷς θεὸς ὁ πατὴρ, ‘namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa’) yang, sama seperti Yakobus 2:19, menggemakan Ulangan 6:4 dan, oleh sebab itu, tidak bisa dikutip secara sah sebagai bukti untuk mendukung apa yang disebut “mengajarkan keragaman di dalam kesatuan” (TWOT paragraf pertama), atau akan menjadi debat kusir. Di sisi lain, TWOT tidak memberi tahu pembacanya bahwa pesan dari Ulangan 6:4 juga digemakan dalam ayat-ayat PB yang lain, misalnya, Galatia 3:20 (ὁ δὲ θεὸς εἷς ἐστιν, ‘sedangkan Allah adalah satu’), Roma 3:30 (εἴπερ εἷς ὁ θεὸς, ‘Allah memang satu’), dan 1Timotius 2:5 (εἷς γὰρ θεός, ‘karena Allah itu esa’). Namun ayat- 76 The Only True God ayat ini memang menegaskan pernyataan yang diakui TWOT bahwa PB itu bersifat “monoteistik keras”. Untuk bersikap adil terhadap TWOT, setelah menyatakan bahwa doktrin Trinitas dipertandakan dalam PL, TWOT mengenyampingkan doktrin itu dengan kata “sementara”, yang menunjukkan bahwa doktrin itu tidak ada kaitannya dengan arti Ulangan 6:4, dan menyatakan sebaliknya bahwa “ayat itu berpusat kepada kenyataan bahwa ada satu Allah”. Pernyataan ini selanjutnya dikembangkan dalam paragraf TWOT berikutnya yang memilih terjemahan untuk Ulangan 6:4 yang berbunyi, “the LORD is our God, the LORD alone (TUHAN itu Allah kita, TUHAN sendiri)”. Yaitu, ungkapan “the LORD is one (TUHAN itu satu)” dimengerti sebagai “the LORD alone (TUHAN sendiri)”. “TUHAN sendiri” tentunya adalah terjemahan yang tepat karena “TUHAN itu esa” sudah pasti tidak berarti “satu dari sekian banyak” ataupun, seperti yang telah kita lihat, suatu kesatuan dari keserbaragaman pribadi, karena memang tidak ada “keragaman” semacam itu yang tersirat dalam PL. “TUHAN sendiri” cocok sekali dengan konteks ayat ini yang intinya adalah bahwa Yahweh, TUHAN, adalah satu-satunya Pribadi yang kepada-Nya “Israel berhutang kesetiaan secara eksklusif” (TWOT paragraf pertama di atas yang juga mengutip Ul.5:9 dan 6:5 sebagai pendukung). “Gagasan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Allah Israel sesuai sekali dengan perintah itu (bdk. Kid.6:8 dyb.)” (TWOT paragraf kedua). TWOT layak dipuji karena dalam kesempatan ini, alih-alih kecondongannya pada pemahaman trinitaris, TWOT mencari eksegesis yang setia kepada konteks Ulangan 6:4. Namun, ada sebuah kesalahan fundamental yang melekat pada seluruh diskusi yang diberikan dalam TWOT, dan dalam diskusi oleh para trinitarian pada umumnya, yaitu kegagalan dalam melihat apa sebenarnya yang dinyatakan oleh Ulangan 6:4: “TUHAN Allah kita, TUHAN itu esa”. Keprihatinan trinitarian adalah apakah Allah Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 77 dapat dimengerti sebagai “esa” dalam arti kesatuan multi-pribadi. Akan tetapi, kata “esa” dalam Syema menerangkan kata “Yahweh” (TUHAN), bukan kata “Allah”. Apakah trinitarianisme ingin memperdebatkan Yahweh sebagai Jatidiri yang terdiri atas tigapribadi? Jika demikian, Yahweh itu bukan hanya Bapa saja, tetapi juga tiga-tiganya di dalam Trinitas! Dengan demikian, ketiga pribadi itu semuanya adalah penjelmaan dari satu Yahweh (yang dalam teologi disebut “Modalisme” atau “Sabelianisme”). Atau, apakah para trinitarian ingin tetap bersikeras bahwa Yahweh dalam Alkitab Ibrani adalah jatidiri yang multi-pribadi, bertentangan dengan Alkitab sendiri? Jika tidak, lalu apa maksud seluruh diskusi panjang lebar tentang “kesatuan” dan “keragaman” sehubungan dengan yang “esa” di Ulangan 6:4? Argumen palsu bahwa "satu" berarti "kesatuan" I ni merupakan argumen yang sering digunakan di kalangan trinitarian, yang saya gunakan juga di masa lalu, setelah menerimanya tanpa memeriksanya dengan teliti. Argumen ini terdengar mengesankan bagi orang Kristen rata-rata karena disebut didasarkan pada makna kata Ibrani untuk “satu” (אֶ חַ ד, ’ehad) yang membuatnya kedengaran sarjanawi, dan karena ia tidak mengenal bahasa Ibrani, ia tidak dapat mengecek keabsahannya. Sebagaimana telah kita lihat di atas, TWOT menyiratkan pengartian ini ketika mengatakan bahwa ia “memperbolehkan” gagasan “keragaman dalam kesatuan”; tetapi TWOT tidak memberikan bukti leksikal apa pun untuk pernyataan ini. Oleh karena pentingnya argumen tersebut bagi banyak trinitarian, di sini saya akan melukiskan fitur-fitur yang menonjol dari argumen ini. Inti dari argumen ini adalah seperti berikut: 78 The Only True God Dalam penggunaan bahasa Ibrani kata ’ehad menyiratkan kesatuan bukan penunggalan (singularity) karena “satu” mengandung lebih dari satu unsur di dalamnya, misalnya, “Jadilah petang dan jadilah pagi, satu hari” (Kej.1:5, NASB; tetapi “satu hari” lebih baik diterjemahkan sebagai “hari pertama”, seperti dalam kebanyakan terjemahan yang lain). Ayat yang sangat penting untuk argumen ini adalah Kejadian 2:24 ketika Adam dan Hawa bersama-sama membentuk “satu daging” (tetapi bdk. 1Kor.6:16,17 yang menerapkannya kepada kesatuan rohaniah antara orang beriman dengan Tuhan). Kemah itu dibuat menjadi sebuah struktur terpadu oleh sejumlah pengait: Keluaran 36:18, “Dibuat oranglah lima puluh kaitan tembaga untuk menyambung tenda-tenda kemah itu, sehingga menjadi satu.” Contoh lain dapat ditemukan dalam nubuat Yehezkiel tentang penyatuan kerajaan utara dan selatan menjadi satu (Yeh.37:15-22). Jadi kesimpulannya adalah mengatakan tentang Allah sebagai “satu” menyiratkan Ia adalah kesatuan lebih dari satu pribadi, dan bahwa Yesus Kristus, “Allah-Anak”, tercakup dalam kesatuan itu, menurut penafsiran trinitaris atas PB. Pada dasarnya, itulah argumen untuk Trinitas dari kata 'ehad. Kelihatannya cukup mengesankan—sampai kita memeriksa rincian leksikalnya. Kata Ibrani untuk “satu” ini dipakai sebanyak 971 kali dalam Alkitab Ibrani, jadi ada banyak bahan yang tersedia untuk menilai argumen trinitarisnya. Bila kita melakukan hal ini maka dalam waktu singkat kita akan menemukan bahwa semua argumen tadi sebenarnya semu; satu lagi kasus pembelaan palsu yang menyesatkan—mengumpulkan bukti yang mendukung argumen sendiri dan mengabaikan bukti kuat yang bertentangan. Kita tidak perlu melihat setiap satu dari 971 pemunculan itu karena hanya dengan memeriksa beberapa ayat saja akan segera terlihat bahwa kata 'ehad dengan pasti digunakan dalam arti “ketunggalan” Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 79 (“singleness”). Satu cara yang cepat untuk melihat sendiri fakta ini adalah dengan mencari kata “single” dalam terjemahan Inggris seperti ESV dan kemudian melihat kata dalam bahasa Ibraninya yang diterjemahkan sebagai “single”. Dalam banyak kesempatan akan terlihat bahwa kata 'ehad-lah yang diterjemahkan sebagai “single”, tanpa menyiratkan adanya gagasan kesatuan. Berikut ini adalah beberapa contoh: Keluaran 10:19, “Not a single locust was left in all the country of Egypt.” Atau “tidak ada satu belalangpun yang tinggal di seluruh daerah Mesir.” Keluaran 25:36, “the whole of it a single piece of hammered work of pure gold”; atau “semuanya itu haruslah dibuat dari sepotong emas tempaan yang murni”. Ulangan 19:15, “A single witness shall not suffice” atau “Satu orang saksi saja tidak dapat menggugat”. 1Samuel 26:20, “the king of Israel has come out to seek a single flea”; atau, “raja Israel datang untuk membunuh seekor kutu” (BIS). Tidak satu pun dari contoh-contoh di atas memunculkan gagasan kesatuan dalam kata ’ehad; sebaliknya, sebuah singularitas (“singularity”) yang sederhanalah yang diungkapkan. Ada banyak contoh lain dari kata ’ehad yang mengungkapkan singularitas tetapi terjemahannya tidak memakai kata “single”, misalnya, Kej.27:38; 40:5; Kel.14:28; Yos.23:10; Hak.13:2; 1Taw.29:1; 1Raj.4:22 (5:2 dalam beberapa versi); Yes.34:16, dsb. Apa yang muncul dari kajian leksikal ini adalah bahwa kata ’ehad dapat dipakai untuk merujuk kepada sebuah struktur komposit (cth. kemah suci) dan juga kepada sebuah singularitas sederhana (cth. seorang saksi). Gagasan “kesatuan” tidak melekat pada kata itu sendiri tetapi ditentukan oleh konteks. Jadi, 80 The Only True God pemeriksaan atas pemakaiannya dalam bahasa Ibrani menunjukkan bahwa kata “’ehad” tidak berbeda dari pemakaiannya dalam bahasa Inggris (atau berbagai bahasa lain). Dengan demikian, “satu” dalam bahasa Indonesia bisa dipakai dalam pengertian kolektif seperti dalam “satu keluarga”, atau sebagai singularitas sederhana seperti dalam “satu individu”. Baik dalam bahasa Ibrani, bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, gagasan keserbaragaman atau singularitas tidak melekat pada kata “satu”; itu ditentukan dari konteks atau cara kata “satu” dipakai. Lagipula, sementara kata “satu” dapat dipakai dalam arti kolektif seperti “satu keluarga” atau “satu perusahaan”, hal itu sendiri tidak menyiratkan kesatuan dalam keluarga atau perusahaan itu. Sebuah keluarga bisa mengalami perselisihan, dan sebuah perusahaan malah dapat hancur karena perpecahan; jadi, istilah kolektif seperti “satu keluarga” atau “satu perusahaan” dengan sendirinya tidak membuktikan adanya kesatuan. Jika kata ’ehad tidak membuktikan kesatuan bahkan ketika dipakai sebagai istilah kolektif, maka ini semakin memperjelas bahwa gagasan kesatuan tidak melekat pada kata ’ehad ketika dipakai sendirian (seperti di Ul.6:4), tetapi harus diberikan oleh kata-kata lain baik secara eksplisit ataupun implisit. Misalnya, dalam kalimat “mereka disatukan sebagai satu orang”, kesatuan dinyatakan secara eksplisit oleh kata “disatukan”, bukan oleh kata “satu”, yang di sini mengungkapkan singularitas. Gagasan kesatuan yang sama dapat diungkapkan secara implisit dengan mengatakan “seluruh bangsa itu bangun sebagai satu orang” (Hak.20:8 ESV), di mana gagasan kesatuan diungkapkan oleh keserbaragaman dari “seluruh bangsa” yang bergabung bersama dengan sehati sepikir seperti “satu orang”. Dalam kedua kesempatan di atas kata “satu” mengungkapkan ketunggalan, sedangkan gagasan kesatuan harus diberikan oleh kalimat itu secara keseluruhan. Seharusnya jelas sekarang bahwa kita tidak boleh memperdebatkan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 81 adanya semacam gagasan kesatuan yang melekat pada kata Ibrani ’ehad. Oleh karena itu, adalah sebuah kesalahan besar untuk membangun sebuah teologi berdasarkan kata ’ehad yang diartikan secara keliru sebagai kesatuan. Memperdebatkan “Ke-Allahan” sebagai sebuah kesatuan entitas (terdiri lebih dari satu pribadi) berdasarkan ciri leksikal 'ehad adalah argumen yang palsu. Sayangnya, trinitarianisme didirikan di atas argumen yang palsu seperti ini. Di Ulangan 6:4 Yahweh dinyatakan sebagai ’ehad, dan baik konteks langsung maupun konteks umum PL menunjukkan dengan jelas bahwa Yahweh adalah “satu” dalam arti singularis sebagai satu-satunya Allah. Di dalam PL orang sulit menemukan bahkan bayangan dari individu ilahi lain yang dikatakan eksis dalam “hakikat” (menggunakan istilah trinitaris) yang sama dari satusatunya Allah—yang tentu saja merupakan istilah yang bertentangan: Jika ada pribadi lain dalam “hakikat”-Nya, maka Ia bukan satu-satunya Allah. Sekali lagi di sini kita melihat kemustahilan dari usaha mengekstrak trinitarianisme dari monoteisme sejati. Ulangan 6:5 meniadakan apa saja selain monoteisme Bahwa Yahweh saja merupakan satu-satunya Allah telah dinyatakan dengan tegas di Ulangan 6:4. Namun, apa yang umumnya diabaikan, terutama oleh trinitarian, adalah bahwa perintah yang dikeluarkan segera sesudah penegasan itu semakin memperkuat penegasan tersebut sedemikian rupa sehingga meniadakan semua pilihan lain selain monoteisme “radikal” yang ditegaskan tanpa kompromi. Ulangan 6:5, “Kasihilah Yahweh, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” 82 The Only True God Kata “segenap” yang diulang tiga kali ini, yang meliputi diri manusia secara keseluruhan, tidak lagi menyisakan apa-apa untuk mengasihi ilah yang lain. Perhatikan bahwa perintah ini tidak memungkinkan trinitarianisme untuk berfungsi, karena seberapa pun besarnya usaha kita, kita tidak mungkin dapat mengasihi tiga pribadi yang berbeda dengan “segenap” kita secara serentak. Kita memang bisa mengasihi banyak orang, tetapi tidak dalam cara yang dituntut di sini. Itu sebabnya kenapa kebanyakan orang trinitarian yang paling bersungguh-sungguh (seperti saya dahulu) akhirnya mengasihi Yesus secara intens dan terkonsentrasi, menjadikan dia sasaran utama dari pengabdian dan doa kita. Adalah mustahil dalam praktek untuk memberikan pengabdian yang sama besarnya kepada Bapa dan kepada Roh. Dengan demikian, tanpa disadari kita telah hidup dalam ketidaktaatan kepada perintah terutama dari pengajaran Kitab Suci, karena Yesus sang Mesias bukanlah “Yahweh Allahmu”, yang sendiri seharusnya menjadi satu-satunya sasaran pengabdian kita. Saya tidak tahu akan adanya sarjana Alkitab yang menegaskan, atau mau menegaskan, bahwa Yesus adalah Yahweh. Lebih penting lagi, ketiga Injil Sinoptik semuanya mencatat bahwa Yesus sendiri mengajarkan Ulangan 6:5 sebagai perintah agung dan terutama dari “hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mat.22:40): Matius 22:37; Markus 12:30; Lukas 10:27. Namun, bukannya mengasihi “Yahweh Allahmu”, kita memilih untuk mengasihi Yesus sebagai sasaran utama dari pengabdian kita, tanpa menghiraukan pengajarannya. Tidakkah ini seharusnya membuat kita merenungkan kembali kata-katanya, “Mengapa kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46) Kira-kira apa konsekuensinya dari ketidaktaatan semacam itu? Yesus tidak membiarkan para pendengarnya berada dalam kegelapan: “Banyak orang akan berkata kepadaku pada hari itu: Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 83 Tu[h]an, Tu[h]an, bukankah dalam namamu kami telah bernubuat, dan dalam namamu kami mengusir setan, dan dalam namamu kami melakukan banyak mukjizat? Dan pada waktu itu aku akan menyatakan kepada mereka: Aku tidak pernah mengenal kamu, enyahlah dari padaku, kamu yang mengerjakan kedurhakaan!” (Mat.7:22,23 ILT) Bukankah mereka yang tidak menaati perintah sentral yang agung dari Ulangan 6:4,5 secara akurat dilukiskan sebagai “yang mengerjakan kedurhakaan”, yakni, mereka yang tidak mengindahkan perintah atau hukum Allah, khususnya perintah yang digambarkan oleh Yesus sebagai “yang terutama” (Mrk.12:29)? Syema K ita telah melihat bahwa Yesus sepenuhnya mengesahkan Syema. Yang menarik adalah bagaimana ahli taurat yang bercakap-cakap dengan Yesus memahami apa yang dikatakan Yesus, “Tepat sekali, Guru, benar katamu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.” (Mrk.12:32) Perhatikan dengan baik: “Benar katamu itu bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia.” Perhatikan juga, “Dia esa” disamakan dengan “tidak ada yang lain kecuali Dia”; pernyataan yang satu menjelaskan pernyataan yang satunya lagi. Yesus sama sekali tidak membantah interpretasi ahli taurat itu atas apa yang dikatakannya. Sebaliknya, ia memuji ahli taurat tersebut, “Engkau tidak jauh dari kerajaan Allah!” (ay.34). Mengapa ahli taurat itu masih belum berada di dalam kerajaan? Karena ia masih belum percaya bahwa Yesus adalah sang Mesias; tanpa iman ini ia tidak dapat diselamatkan (Yoh.20:31). Kata-kata ahli taurat di Markus 12:32 menggemakan Ulangan 4:35: “TUHANlah (Yahweh) Allah; tidak ada yang lain kecuali Dia”. Bandingkan: 84 The Only True God Yesaya 45:5, “Akulah Yahweh dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah.” Yesaya 45:14, “tidak ada yang lain; di samping Dia tidak ada Allah!” Yesaya 45:18, “Akulah Yahweh dan tidak ada yang lain.” Yesaya 45:21b,22, “Siapakah yang mengabarkan hal ini dari zaman purbakala, dan memberitahukannya dari sejak dahulu? Bukankah Aku, Yahweh? Tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku! Allah yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain kecuali Aku! Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain.” Yesaya 46:9, “Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah, dan tidak ada yang seperti Aku”. Yesaya 46:5, “Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami sama?” Yesaya 40:25, “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus.” Keluaran 8:10, “tidak ada yang seperti Yahweh, Allah kami.” Keluaran 9:14, “bahwa tidak ada yang seperti Aku di seluruh bumi.” 1Samuel 2:2, “Tidak ada yang kudus seperti Yahweh, sebab tidak ada yang lain kecuali Engkau.” Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 85 Yeremia 10:6, “Tidak ada yang sama seperti Engkau, ya Yahweh! Engkau besar dan nama-Mu besar oleh keperkasaan.” Daftar referensi yang panjang (meskipun tidak lengkap) ini dengan tegas meneguhkan dua hal: (1) Yahweh adalah satu-satunya Allah yang benar; tidak ada Allah selain Dia; (2) Ia tidak ada bandingannya dan tidak ada yang menyamai. Bandingkan kedua peneguhan ini dengan deklarasi trinitaris yang sama sekali bertentangan bahwa ada dua pribadi ilahi lain selain Yahweh, dan keduanya setara dengan Dia. Lancang benar, orang-orang politeis trinitarian dari gereja nonYahudi! Tentu saja, penegasan-penegasan keras dalam Alkitab Ibrani ini awalnya ditujukan terhadap penyembahan berhala yang menjamur di Israel, yang akhirnya membawa mereka kepada pemusnahan sebagai sebuah bangsa pada masa Pembuangan. Akan tetapi, gereja non-Yahudi jelas-jelas tidak belajar apa-apa dari bencana yang menimpa Israel. Namun, gereja non-Yahudi tidak bisa berdalih mengingat banyaknya pernyataan-pernyataan monoteistik dalam PB, termasuk pengajaran eksplisit dari Yesus sendiri ( Mrk.12:29 dyb.; Yoh.5:44; 17:3). Dialog antara Yesus dengan ahli taurat tentang “perintah yang paling utama” (Mrk.12:28 dyb.) merupakan dialog khas antara seorang Yahudi dengan seorang Yahudi, dan nas ini adalah salah satu dari sekian banyak dalam Injil yang menegaskan pernyataan Martin McNamara bahwa Yesus adalah “seorang Yahudi tulen. Bahasa dan alam pikirannya adalah Yahudi.” (Targum and Testament, hlm.167), dan tidak ada usaha dari kita dalam menampilkan dirinya sebagai Kristus berambut pirang dan bermata biru, atau apa saja, dapat mengubah fakta tersebut. Sebagaimana terlihat dari dialog dengan ahli taurat itu, Syema’ mewakili unsur utama dari iman Yahudi. Dalam kalimat pembuka 86 The Only True God dari artikel “Syema” dalam Jewish Encyclopedia kita membaca bahwa Syema’ “didaraskan sebagai pengakuan iman Yahudi”—itulah pengakuan iman mereka. Pengakuan iman ini harus didaraskan setiap hari oleh setiap orang Yahudi baik pada pagi hari maupun pada petang hari. Seberapa pokoknya Syema’ ini untuk iman Yahudi dilukiskan dalam Jewish Encyclopedia seperti berikut: ‘Itulah seruan-perang dari imam yang memanggil bangsa Israel untuk mengangkat senjata melawan musuh (Ul xx.3; Sotah 42a). Itulah kata terakhir dari orang sekarat dalam pengakuan imannya. Syema’ ada di bibir orang-orang yang menderita dan disiksa demi Taurat. R. Akiba dengan tabah menahan siksaan sementara dagingnya dicabik-cabik oleh sisir besi, dan tewas sambil mendaraskan “Syema’”. Ia menyuarakan kata terakhir dari kalimat itu, “Ehad” (satu) dengan hembusan nafas terakhirnya (Ber. 61b). Dalam setiap penganiayaan dan pembunuhan masal, dari masa Inkuisisi sampai pembantaian Kishinef, “Syema’ Yisrael” telah menjadi kata-kata terakhir di bibir orang-orang yang sekarat. “Syema’ Yisrael” adalah kata sandi yang membuat seorang Yahudi mengenali seorang Yahudi lainnya di setiap belahan bumi.’ Sekali gereja non-Yahudi beranjak dari unsur utama iman Alkitabiah ini—yakni monoteisme Alkitab Ibrani—dengan secara resmi memasang Allah yang multi-personal dalam Syahadat Nikea pada tahun 325 M, di mana “Allah” bukan lagi satu Pribadi tetapi sekarang menjadi suatu “hakikat” (ousios)—sebuah pelukisan untuk Allah yang sama sekali asing bagi Alkitab—dengan cara demikian gereja telah menyangkal Syema’, yaitu, “bahwa Dia esa, dan tidak ada yang lain kecuali Dia”. Dengan demikian, mereka pun telah menyangkal ajaran Yesus. Apakah mereka yang menyangkal ajaran tuannya dapat disebut murid-muridnya? Oleh sebab itu, barangkali Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 87 tidak terlalu mengejutkan bila dewasa ini tidak banyak orang Kristen yang menyebut dirinya murid-murid Yesus. Syema’ (Ul.6:4) mendeklarasikan: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN [Yahweh] itu Allah kita, TUHAN [Yahweh] itu esa!” Di pihak lain, trinitarianisme mendeklarasikan: “Dengarlah hai Gereja, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu tiga.” (Makna dasar kata “Trinitas: 1. tiga: sebuah kelompok yang terdiri dari tiga. 2. ketigaan (Threeness): kondisi keberadaan sebagai tiga pribadi atau tiga benda [abad ke-13, Melalui bahasa Perancis Kuno trinite, dari Latin trinitas, dari trinus ‘lipat tiga’]” Encarta Dictionary, demikian juga The Concise Oxford Dictionary, dsb.) Ini merupakan dua pernyataan yang sama sekali berbeda, secara fundamental tidak kompatibel, dan saling eksklusif. Kesesuaian macam apa yang mungkin ada antara sebuah syahadat yang di satu sisi berbicara tentang kesatuan sebuah kelompok yang terdiri dari tiga pribadi yang sama-sama setara, sama-sama kekal dalam KeAllahan, dan di sisi lain, sebuah deklarasi bahwa Yahweh adalah satu-satunya Allah tanpa ada yang menyamai? Orang yang bersikeras akan adanya kesesuaian antara syahadat yang bertentangan tentang Allah ini pasti sudah kehilangan kemampuan berpikirnya. Mengapa Syema’ itu begitu relevan bagi kita? Pertama, karena itu adalah deklarasi monoteisme yang fundamental, dan kedua, karena jemaat Allah yang sejati adalah perwujudan “Israel milik Yahweh” (Gal.6:16); “Lagipula, jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan ahli waris menurut janji Allah.” (Gal.3:29); “Sebab orang Yahudi sejati bukanlah orang yang lahiriah Yahudi dan sunat sejati bukanlah sunat yang dilakukan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah orang yang tidak tampak keyahudiannya dan sunat sejati ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah. Pujian bagi orang seperti ini datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.” (Rm.2:28,29) 88 The Only True God Perintah Pertama Keluaran 20:3 “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.” “Ku” yang berbicara di sini diperkenalkan di dua ayat pertama: Keluaran 20:1, Lalu Allah mengucapkan segala firman ini, “Akulah Yahweh Allahmu”. 2 Seandainya, menurut para trinitarian, Yesus adalah Allah dan Roh Kudus adalah Allah, dan keduanya adalah pribadi sama seperti Bapa (Yahweh), maka mereka mengakui dua pribadi lain sebagai Allah di samping Yahweh. Ini jelas-jelas melanggar Perintah Pertama. Kita sudah melihat bahwa Yesus dengan tegas mengesahkan Syema yang mencakup semua perintah termasuk, tentunya, Perintah Pertama. Namun Yesus tidak hanya menegaskan monoteisme yang tercantum dalam Syema secara terbuka, monoteisme Yesus tidak diungkapkan dengan lebih kuat di manapun juga selain dalam doanya kepada Bapa di Yohanes 17: “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (ay.3) A pakah Matius 28:19 bertentangan dengan monoteisme Yesus? Teks ini digunakan seolah-olah teks ini adalah sebuah rumus trinitaris. Itulah caranya kita sebagai orang trinitarian diajar untuk berpikir, dan kita seringkali mendengarnya dipakai dalam berbagai upacara penting, seperti dalam upacara pernikahan dan kematian, tetapi terutamanya dalam upacara baptisan, sebab ayat itu berbunyi, “Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Kata-kata yang segera menyusul di ayat berikutnya, “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu” (ay.20), biasanya tidak terlalu banyak diperhatikan, paling tidak komitmen Yesus kepada monoteisme yang tercantum dalam Syema. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 89 Namun, apakah Yesus bertentangan dengan dirinya sendiri di Matius 28:19? Kita akan melihat dalam bagian selanjutnya bahwa para sarjana trinitarian pun tidak berani berkata demikian. Matius 28:19 sebagai teks-bukti untuk trinitarianisme “19 Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, 20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.” (Matius 28:19-20) H .A.W. Meyer dalam buku tafsirnya Critical and Exegetical Handbook of the Gospel of Matthew membahas ayat ini dengan panjang lebar. Ia mengklaim bahwa meskipun Nama itu berbentuk tunggal, kita “tentu saja” harus membaca kelanjutannya sebagai “dan dalam nama Anak, dan dalam nama Roh Kudus.” Akan tetapi, argumen Meyer ini sebenarnya luar biasa kosong. Untuk sekadar menyatakan bahwa “εἰς τό ὄνομα (eis to onoma, ke dalam Nama), tentu saja, harus dipahami berada juga di depan του υἱοῦ (tou huiou, sang Anak) dan ἁγίου πνεύματος (hagiou pneumatos, sang Roh Kudus)”, adalah serampangan. Bagaimana mungkin sebuah pernyataan penting dibenarkan hanya dengan sebuah “tentu saja”? Apa yang dibuktikan oleh “tentu saja” itu? Tidak apa-apa pun. Namun, ada satu alasan untuk “tentu saja” ini—sebab ini adalah “tentu saja” sejauh menyangkut trinitarianisme, jadi “tentu saja” ini berasal dari dogma trinitaris. Bahkan seorang eksegete seperti Meyer (perhatikan kata “Exegetical” di judul buku tafsirnya) di sini mengizinkan dogma untuk menentukan karyanya, yang saya akui telah saya lakukan juga di masa lalu. Begitulah kuatnya cengkeraman dogma atas kita. 90 The Only True God Dalam upaya untuk menyediakan rujukan silang yang menyangga argumentasinya, Meyer mengutip Wahyu 14:1 (“namanya dan nama Bapanya”), akan tetapi, tampaknya ia tidak melihat bahwa ayat ini adalah bukti yang persis bertolak-belakang dengan kesimpulan yang ingin ia buat, karena “namanya” dan “nama Bapanya” disebut secara terpisah di Wahyu 14:1, sedangkan hanya satu nama yang disebut di Matius 28:19. Demikian juga, jika Yesus berniat untuk ketiga nama itu semuanya diucapkan dalam pernyataan baptisan maka ia akan mengatakannya secara eksplisit (seperti di Why.14:1), “dalam nama Bapa, dan dalam nama Anak, dan dalam nama Roh Kudus” (sebagaimana dilakukan di beberapa gereja), atau lebih singkat, “In the names of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit”. Argumen Meyer ditolak oleh The Expositor’s Greek Testament: “Tidak dikatakan dalam nama-nama, dsb., ataupun dalam nama Bapa, dan nama Anak, dan nama Roh Kudus.—Maka mungkin bisa disimpulkan adanya gagasan ketritunggalan yang membentuk sebuah Kesatuan Ilahi di waktu yang bersamaan. Namun, ini barangkali membacakan terlalu banyak ke dalam kata-kata itu daripada yang dimaksudkan.” (Bagian tafsir ini ditulis oleh A.B. Bruce, yang ketika itu menjabat sebagai professor of apologetics, Free Church College, Glasgow, Skotlandia.) Komentar Bruce yang jujur ini (yang saya cetak miring) patut dihargai, karena ia pun seorang trinitarian, akan tetapi dengan jujur ia meragukan bila ayat ini dapat digunakan sebagai argumen untuk gagasan Trinitas itu. Untuk bersikap adil terhadap Meyer, ia akhirnya mengakui bahwa ayat ini tidak boleh digunakan sehubungan dengan doktrin Trinitas. Ia menulis, “Kita harus berhati-hati dalam memanfaatkan bentuk tunggal ini untuk digunakan secara dogmatis sebagai argumentasi baik untuk mendukung (Basilides, Jerome, Teofilakt) atau menentang (pengikut-pengikut Sabellius) doktrin Trinitas yang Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 91 ortodoks.” Ia pun menolak pandangan trinitaris sarjana Jerman yang bernama Gess: Kita harus sama-sama mewaspadai pandangan Gess, yang berpendapat bahwa Kristus abstain dari menggunakan katakata “dari Allah Bapa,” dst. [yaitu, Allah-Anak dan Allah-Roh Kudus] karena ia menganggap gelar Allah itu juga milik Anak dan Roh Kudus. Mengapa Meyer menolak interpretasi Gess, padahal itu adalah penafsiran lazim dalam ajaran trinitaris? Itu karena sebagai seorang eksegete Meyer menyadari bahwa dalam pengajaran Yesus, “Ia tidak pernah diketahui mengklaim nama θεός (theos, Allah) baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Roh Kudus” (kutipan ini diambil dari catatan kaki 1, hlm.302, cetak miring dari dia, transliterasi dan terjemahan dalam kurung dari saya). Pengamatan Meyer yang terakhir ini: “Ia (Yesus) tidak pernah diketahui mengklaim nama θεός, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk Roh Kudus”, merupakan pengamatan yang sangat penting untuk memahami Yesus dan ajarannya dengan tepat. Fakta inilah yang akhirnya mencegah Meyer dari mempergunakan Matius 28:19 sebagai argumen untuk Trinitas. Lalu apakah pemahaman Meyer sendiri atas Trinitas sehubungan dengan Matius 28:19? Pandangannya adalah “Nama” (tunggal) itu “dimaksudkan untuk menunjukkan kodrat hakiki dari Pribadipribadi atau Jatidiri-jatidiri yang berkaitan dengan baptisan” (hlm.303); tetapi ia juga mengatakan bahwa “Pribadi-pribadi atau Jatidiri-jatidiri” itu tidak setara dalam kedudukan mereka relatif satu sama lain, karena Anak tunduk kepada Bapa, dan Roh tunduk kepada Bapa dan Anak. Jadi mereka berbagi “kodrat hakiki” yang sama (yang juga disebut “hakikat” pada abad ke-3 dan ke-4 dan selanjutnya) tetapi mereka tidak setara. Pandangan ini diungkapkan di berbagai bagian dari keterangan Meyer dalam buku tafsirnya. 92 The Only True God Saya mengutip karya Meyer di sini karena, meskipun ia termasuk ke dalam generasi sarjana yang lebih awal, penguasaannya akan Perjanjian Baru Yunani dan pengetahuannya berkenaan dengan Perjanjian Baru Yunani secara umum nyaris tidak dapat disamai. Buku-buku tafsir eksegetisnya sebanyak 20 jilid atas Perjanjian Baru Yunani (aslinya ditulis dalam bahasa Jerman dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris) tersedia dalam edisi cetak ulang baru-baru ini. Masih banyak karya referensi lain yang bisa dikutip dan dibahas, tetapi itu akan melampaui ruang lingkup buku ini. Namun jika, seperti yang ditunjukkan oleh Prof. A.B. Bruce, lebih banyak yang dibacakan ke dalam Matius 28:19 oleh trinitarian daripada yang dimaksudkan, lalu apa arti yang dimaksud Yesus dalam mengajarkan bahwa murid-murid baru harus dibaptis dalam satu Nama Allah itu? Untuk pertanyaan ini Bruce tidak memberi jawaban. Namun, apakah Tu[h]an membiarkan kita tanpa jawaban? Sama sekali tidak, jawabannya tersedia jika kita menyimak perkataannya dengan saksama, karena itu berkaitan dengan karakter dasariah dari pelayanannya. Lalu kenapa kita dibaptis ke dalam satu Nama itu? Satu Nama itu dalam Kitab Suci, hanya bisa merujuk kepada Nama Yahweh, yang oleh Yesus secara konsisten dipanggil “Bapa”. Alasan mengapa Yesus hanya menyebut satu Nama di Matius 28:19 mulai terlihat dengan terang ketika kita mulai memahami intisari dari pengajarannya. Pertimbangkan nas-nas berikut: Yohanes 5:43, “Aku datang dalam nama Bapaku dan kamu tidak menerima aku; jikalau orang lain datang atas namanya sendiri, kamu akan menerima dia.” Di sini Yesus menyatakan secara kategoris bahwa ia tidak datang dalam namanya sendiri. Yohanes 10:25, Yesus menjawab mereka: “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang kulakukan dalam nama Bapaku, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 93 itulah yang memberikan kesaksian tentang aku.” Yesus tidak melakukan pekerjaan-pekerjaannya (termasuk mujizatmujizat, dst.) dalam namanya sendiri, tetapi dalam nama Bapa. Yohanes 12:13, mereka mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong dia sambil berseru-seru: “Hosana! Terpujilah dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (Katakata ini muncul dalam keempat Injil) Yohanes 12:28, “Bapa, muliakanlah nama-Mu!” Lalu terdengarlah suara dari surga: “Aku telah memuliakannya, dan Aku akan memuliakannya lagi!” Memuliakan nama Bapa adalah tujuan seluruh hidup dan pelayanan Yesus. Yohanes 17:6, “Aku telah menyatakan nama-Mu kepada semua orang yang Engkau berikan kepadaku dari dunia. Mereka itu milik-Mu dan Engkau telah memberikan mereka kepadaku dan mereka telah menuruti firman-Mu.” Kehidupan dan pekerjaan Yesus adalah untuk mengenalkan Yahweh Allah (“menyatakan nama-Mu”) kepada murid-muridnya. Yohanes 17:11, “Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan aku datang kepadaMu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku, supaya mereka menjadi satu sama seperti Kita. 4 Yesus yang menjadi “satu” dengan Bapa di sini dikaitkan dengan penerimaan “nama-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku”. Yang sama berlaku untuk murid-muridnya; sebab bagaimana lagi mereka bisa “dipelihara dalam nama-Mu” kecuali jika mereka ada di bawah Nama-Nya atau menyandang Nama-Nya (kurang lebih seperti istri yang menyandang nama suaminya)? Menerima Nama-Nya berarti menerima “kemuliaan”-Nya [untuk persamaan antara “nama” dan “kemuliaan”, bdk. mis. Mzm.102:15; Yes.42:8; 4 94 The Only True God Yohanes 17:11 menunjukkan dengan tajam kebenaran menyolok yang diungkapkan dalam ayat ini: bahwa Bapa telah memberikan Nama-Nya, atau wewenang-Nya, kepada Yesus; ia bertindak dalam Nama Bapa, bukan dalam namanya sendiri. “Nama” di sini merujuk kepada wewenang Bapa, bukan kepada sebuah gelar. Oleh kuasa dari wewenang itulah para murid dilindungi. Yohanes 17:12, “Selama aku bersama mereka, aku memelihara mereka dalam nama-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku;” Kata-kata ini menekankan kembali apa yang telah dikatakan di ayat sebelumnya. Yohanes 17:26, “dan aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepadaku ada di dalam mereka dan aku di dalam mereka.” Yesus tidak memberitakan dirinya sebagai pokok utama dari pesannya, tetapi dengan setia memproklamirkan Bapa kepada mereka. Ia menyatakan bahwa ia akan terus melakukan hal ini (yaitu sesudah kematian dan kebangkitannya) supaya kasih Bapa untuk Yesus akan dicurahkan ke dalam hati murid-muridnya (bdk. Rm 5:5). Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa seluruh pelayanan Yesus berpusat pada melakukan segala sesuatu dalam nama Bapanya, bukan dalam namanya sendiri. Ia tidak pernah meninggikan dirinya, tetapi selalu meninggikan Bapanya. Oleh karena inilah (“Aku 43:7; 48:11; 59:19; Yer.13:11; dst.]; Yesus menerima kemuliaan Bapa (Nama) dan juga memberikannya kepada murid-muridnya: “Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu” (Yoh.17:22). Ini penting untuk pemahaman kita atas Matius 28:19, karena untuk dibaptis dalam, atau ke dalam, Nama Bapa artinya datang di bawah Nama-Nya sebagai milik kepunyaan-Nya (1Ptr.2:9), dipersatukan dengan-Nya, dan dengan demikian berada di bawah pemeliharaan “Nama-Mu (Nya)”. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 95 senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya”, Yoh.8:29) Bapa memuliakan Yesus, menjadikan dia objek dari iman bagi keselamatan, dan tidak memberikan nama lain yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kis.4:12); dan Bapa berkenan menjawab doadoa yang dipanjatkan dalam nama Yesus (Yoh.15:16; 16:23-26). Oleh karena Yesus datang dalam Nama Bapa sebagai orang yang diutus Bapa, dan oleh karena ia selalu berfungsi dalam Nama Bapa, tidak dalam namanya sendiri, maka sudah dapat diduga bila Yesus memerintahkan agar baptisan dilakukan dalam Nama Bapa. Oleh karena Anak (dan Roh, bdk. Yoh.14:26, dst.) melakukan pekerjaannya dalam Nama Bapa, maka, dalam terang pengajaran Yesus, jelaslah mengapa hanya satu Nama saja yang disebut di Matius 28:19. Bahwa Yesus datang dalam nama Tuhan (Yahweh) disebut dua kali dalam Injil Matius (Mat.21:9; 23:39), dan sekali dalam masing-masing dari ketiga Injil lainnya. Dalam Matius jugalah Yesus mengajar murid-muridnya untuk berdoa, “Bapa kami yang di surga, Dikuduskanlah nama-Mu” (Mat.6:9). Jika demikian halnya, yaitu baptisan itu pertama dan terutama adalah ke dalam Nama Bapa, sedangkan Anak dan Roh digolongkan di bawah Nama yang satu itu, maka bukankah kita juga dibaptis ke dalam Anak dan Roh Kudus karena kedua-duanya disebutkan dalam ayat ini? Namun tidak di manapun dalam PB disebutkan lagi bahwa kita “dibaptis ke dalam Roh Kudus” (βαπτίσειν ἐις πνεύματι ἁγίῳ). Preposisi ἐν (en, dalam) di ἐν πνεύματι (en pneumati) di 1Korintus 12:13 tentu saja berkasus instrumental dalam makna dan paling tepat diterjemahkan sebagai “oleh Roh” atau “melalui Roh”; kemungkinan besar itulah artinya juga di Matius 3:11 dan beberapa kutipannya dalam PB. Akan tetapi, PB secara pasti menegaskan bahwa kita “dibaptis ke dalam Kristus”: Rm.6:3; Gal.3:27: dan dengan demikian kita disatukan dengan dia dalam kematian dan kehidupannya. 96 The Only True God Di kitab Kisah Para Rasul ada beberapa rujukan kepada baptisan “dalam nama Yesus Kristus” (Kis.2:38; 8:16; 10:48; 19:5). Ini sudah tentu bukan berarti orang dibaptis hanya ke dalam nama Yesus saja, dengan secara terang-terangan mengabaikan perintah Yesus untuk membaptiskan dengan deklarasi triadik seperti yang diberikan di Matius 28:19. Bahkan sampai hari ini pun saya belum mengetahui adanya gereja yang membaptis orang dalam nama Yesus saja. Di kitab Kisah Para Rasul, rumus “dalam nama” (mis. Kis.3:6; 9:27,28; 16:18) artinya bertindak dalam atau di bawah wewenang seseorang, dalam hal ini, bertindak dalam wewenang Yesus untuk melakukan baptisan seperti yang ia perintahkan kepada murid-muridnya. “Dalam nama” merupakan istilah kunci di kitab Kisah Para Rasul; dan sama seperti Yesus yang selalu hidup dan bekerja dalam Nama Bapa, demikian pula murid-muridnya selalu berfungsi dalam nama Yesus, yang olehnya mereka hidup di bawah nama Bapa: “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tu[h]an Yesus, sambil mengucap syukur melalui dia kepada Allah, Bapa kita” (Kol.3:17); “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tu[h]an kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” (Ef.5:20). Pemikiran lanjutan tentang Matius 28:19 B egitu terlepas dari “pesona” (Gal.3:1, “Siapa yang telah mempesonakan kamu?”) trinitarianisme, kita bertanya-tanya bagaimana orang bisa sampai mengira bila ayat ini, Matius 28:19, memberi dukungan kepada Anak sebagai “sama-sama setara dengan Bapa”. Kita hanya perlu menanyakan: Apa yang mendahului pernyataan dalam ayat ini? Ayat 18 menyatakan “Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu, pergilah…” “Segala kuasa” diberikan kepada Anak oleh siapa? Tentu saja oleh Bapa. Lalu bagaimana mungkin ia yang bertindak dengan otoritas Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 97 yang diberikan kepadanya oleh pribadi lain dinyatakan setara dengan yang memberikan otoritas itu? Seandainya ia setara, maka ia dapat menjalankan otoritasnya sendiri dan tidak perlu bergantung kepada otoritas yang diberikan itu. Semuanya ini seharusnya sudah cukup jelas. Namun, bukankah dalam keadaan “terpesona” seseorang tidak bisa melihat apa yang jelas? Oleh karena otoritas itu datangnya dari Bapa, maka jelaslah bahwa ia yang berfungsi dalam otoritas itu berfungsi dalam nama dari otoritas yang olehnya ia berwenang untuk berfungsi, dan dalam kasus ini nama Bapa. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila satu nama saja yang disebut, dan mengingat ayat yang mendahuluinya nama itu pasti adalah Nama Bapa. Ini berarti Anak dan Roh berfungsi di bawah Nama Bapa, karena satu nama berarti satu pribadi, bukan tiga. Yesus menjelaskan dengan gamblang bahwa ia tidak datang dalam namanya sendiri (Yoh.5:43; 10:25), dan bahwa Roh datang dari Bapa (Yoh.15:26); dengan demikian mereka berfungsi di bawah satu Nama, yaitu Nama Bapa (Yahweh). Berkenaan dengan Matius 28:19, apa yang telah dibahas semestinya sudah konklusif. Namun, kita bisa mempertimbangkan pokok berikut untuk memperlihatkan kelalaian yang disengaja dari argumentasi trinitaris. Berkaitan dengan hal ini, pertimbangkan kutipan dari Mishnah ini: “Rabi Yehuda berkata, ‘Belajarlah dengan seksama, karena kesalahan yang tidak disadari dalam pembelajaran akan diperhitungkan sebagai pelanggaran sembrono’”. (Aboth 4:13). H. Danby, editor Mishnah berkata (dalam catatan kaki) bahwa Rabi Yehuda adalah “guru yang paling sering disebut (sekitar 650 kali) dalam Mishnah”, menunjukkan bahwa perkataannya dianggap bijak dan berbobot, dan karena itu harus diperhatikan. Trinitarian seharusnya faham bahwa jika Matius 28:19 ingin dipakai sebagai bukti yang sah untuk Trinitas, mereka pertama-tama perlu membuktikan dengan jelas bahwa “Anak” dalam Injil Matius adalah nama ilahi. Jika tidak, sekalipun dua dari Pribadi itu ilahi 98 The Only True God tetapi tidak bisa dibuktikan bahwa yang ketiga juga ilahi, maka jelaslah tidak ada dukungan perkara yang bisa dibuat untuk Trinitas. Lagipula, hanya istilah “Anak” yang ringkas saja yang muncul dalam ayat ini; dapatkah diasumsikan begitu saja bahwa yang dimaksud adalah “Anak Allah”, bukan “Anak Manusia”? Pertanyaan ini penting pertama-tama karena Yesus tidak pernah berbicara tentang dirinya sebagai Anak Allah; sebab meskipun istilah “Anak Allah” muncul 10 kali dalam Injil Matius, di mana 9 kalinya merujuk kepada Yesus, tetapi tidak satu pun dari pemunculan itu dipakai oleh Yesus untuk merujuk kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk menduga bila ia memakai gelar itu untuk dirinya sendiri di Matius 28:19. Istilah “Anak Manusia”, yang muncul 28 kali dalam Injil Matius, merupakan gelar yang dipilih oleh Yesus untuk merujuk kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, bukankah wajar inilah yang dimaksudkan dengan “Anak” di Matius 28:19? Sekalipun jika kita berasumsi bahwa yang dimaksud Yesus adalah Anak Allah, bertentangan dengan pemakaian konsistennya di Matius, kita masih perlu membuktikan bahwa “Anak Allah” itu sebuah gelar ilahi. Dengan meneliti bukti dalam Matius, paling banyak dapat ditunjukkan bahwa itu adalah sebuah gelar kehormatan dan pengagungan rohani. Kita sama sekali tidak dapat membuktikan keilahian gelar “Anak Allah” dalam arti merujuk kepada Allah atau kepada pribadi lain yang setara dengan Dia. Di Ucapan Bahagia Yesus menyatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat.5:9). Perhatikan bahwa dari sembilan contoh, di mana gelar “Anak Allah” dikenakan kepada Yesus, dua contoh yang pertama adalah perkataan Iblis yang terkenal “jika engkau adalah Anak Allah” yang diucapkan pada waktu Pencobaan (Mat.4:3,6); contoh yang berikutnya diucapkan oleh dua laki-laki yang kerasukan setan di Matius 8:29; tiga contoh lainnya dipakai dalam bentuk cemoohan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 99 di bibir musuh-musuhnya (26:63; 27:40,43). Hanya dua kali gelar itu keluar dari bibir murid-muridnya (14:33; 16:16); dan terakhir, dari mulut kepala pasukan pada saat penyaliban Yesus (27:54). Yesus tidak pernah memakai gelar ini untuk dirinya sendiri dalam Injil Matius; dan dari total sepuluh kali hanya dua yang diterapkan pada Yesus oleh murid-muridnya, yang tampaknya menunjukkan bahwa gelar ini bukan gelar pilihannya. Di Matius 14:33 para pengikutnya menyatakan bahwa ia adalah anak Allah setelah peristiwa meredakan badai; Petrus mengakui dia sebagai “Mesias, Anak Allah yang hidup” (16:16) di mana “Anak Allah” merujuk kepada “Mesias”, sebagaimana halnya dengan nas paralel di Lukas 9:20; imam besar mendesak Yesus untuk menyatakan di bawah sumpah apabila ia adalah “Mesias, Anak Allah” (26:63), tetapi Yesus tetap menolak memberikan jawaban langsung, menyebut dirinya seperti biasa dengan gelar “Anak Manusia” (ay.64); dua kali Yesus diejek sebagai “Anak Allah” sementara ia tergantung di atas kayu salib (27:40,43). Contoh terakhir keluar dari mulut kepala pasukan Romawi dan beberapa prajuritnya ketika mereka mengalami gempa bumi pada saat kematian Yesus dan mengakui dia sebagai sang (atau, seorang) Anak Allah (Mat.27:54). Apakah yang dimaksudkan oleh para prajurit Romawi dengan istilah itu? Nas paralelnya di Injil Lukas memberikan sebuah jawaban: “Ketika kepala pasukan melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: “Sungguh, orang ini adalah orang benar” (Luk.23:47). Dengan demikian, kesimpulan dari survei dalam Injil Matius ini tidak memberikan bukti bahwa Anak Allah merujuk kepada suatu makhluk ilahi yang berada pada kedudukan yang setara dengan Allah. Pertimbangan yang seksama atas bukti yang ada menunjukkan tidak adanya dasar untuk mengklaim bahwa Matius 28:19 mendukung doktrin Trinitas. 100 The Only True God Hal yang jelas ditunjukkan oleh rumus pembaptisan itu adalah bahwa Bapa merupakan sumber keselamatan kita, dan Anak adalah dia yang melaluinya keselamatan dibuat tersedia bagi umat manusia dan, yang ketiga, Roh Allah Yahweh terlibat di dalam seluruh proses keselamatan kita. Analisa ini didasari oleh prinsip fundamental yang dinyatakan dengan gamblang di 1Korintus 8:6, “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa kita, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tu[h]an saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui dia segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena dia kita hidup.” Semuanya berasal dari Bapa, melalui Anak, oleh Roh Allah. Inilah prinsip yang terlihat di seluruh PB. 2Korintus 13:13 Hal yang sama berlaku untuk 2Korintus 13:13: “Anugerah Tu[h]an Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian”. Dalam penulisan Paulus, “Tu[h]an Yesus Kristus” bukanlah sebuah gelar yang menempatkan dia setara dengan Allah, tetapi berbeda dari “satu Allah” itu sebagaimana terlihat di 1Korintus 8:6, di mana ia menyatakan bahwa bagi kita hanya ada “satu Allah saja, yaitu Bapa, dan satu Tu[h]an saja, yaitu Yesus Kristus” atau, dengan memakai kata-kata dari 1Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus”. 2Korintus 13:13 tidak bernilai untuk trinitarianisme karena baik “Bapa” maupun “Anak” tidak disebut. Fakta bahwa Yesus disebut sebelum Allah menunjukkan bahwa “anugerah” dan “kasih” di sini ada hubungannya dengan keselamatan, karena tak seorang pun datang kepada Bapa kecuali melalui Kristus (Yoh.14:6); karena Allah dalam hikmat-Nya yang kekal telah memutuskan bahwa “di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 101 yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis.4:12). Dalam pengalaman keselamatan, kita datang kepada Kristus terlebih dulu, dan melalui dia kita mengalami kasih Allah, dan kemudian barulah kita mengalami Roh-Nya bekerja dalam hidup kita. Lagipula, Paulus tidak tahu apa-apa tentang trinitarianisme; penegasannya tentang “satu Allah” (Rm.16:27; Rm.3:30; 1Kor.8:6; 8:4; Ef.1:3; 3:14; 4:6; 1Tim.1:17; 2:5, dst.) membuktikan bahwa imannya dengan teguh berakar dalam monoteisme PL yang tak kenal kompromi. Yesaya 45 merupakan salah satu pasal yang menyatakan monoteisme yang tak kenal kompromi ini. Sewaktu berhadapan dengan pemujaan berhala bangsa Israel, Yahweh mendeklarasikan sebanyak tiga kali dalam dua ayat (ay.21,22) bahwa Ia adalah satu-satunya Allah yang ada: “Berhimpunlah dan datanglah, tampillah bersama-sama, hai kamu sekalian yang terluput di antara bangsa-bangsa! Tiada berpengetahuan orang-orang yang mengarak patung dari kayu dan yang berdoa kepada allah yang tidak dapat menyelamatkan. 21 Beritahukanlah dan kemukakanlah alasanmu, ya, biarlah mereka berunding bersama-sama: Siapakah yang mengabarkan hal ini dari zaman purbakala, dan memberitahukannya dari sejak dahulu? Bukankah Aku, TUHAN? Tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku! Allah yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain kecuali Aku! 22 Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain.” 20 102 The Only True God Keakraban Rasul Paulus dengan pasal ini tercermin dari surat-suratnya: Kol.2:3 – Yes.45:3; Rm.9:20 – Yes.45:9; 1Kor.14:25 – Yes.45:14; Rm.11:33 – Yes.45:15; dan Rm.14:11; Flp.2:10-11 – Yes.45:23. Gelar “Tu[h]an Yesus Kristus” G elar ini cukup dipastikan berasal dari pengajaran gereja paling mula-mula. Gelar ini muncul dalam pesan yang dikhotbahkan oleh Petrus setelah Pentakosta di Kisah Para Rasul 2:36, “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus.” Perhatikan ketiga kata dalam huruf miring yang jika digabungkan membentuk gelar “Tu[h]an Yesus Kristus”. Jadi gelar ini bukanlah ciptaan Paulus tetapi merupakan salah satu anugerah yang telah ia “terima” (1Kor.15:3). Dari Kisah 2:36 kita melihat bahwa Allahlah yang membuat Yesus menjadi “Tu[h]an”; oleh karena itu tidak ada soal tentang kesetaraan hakiki dengan Allah. Oleh sebab itu, 2Korintus 13:13 tidak bisa dipakai untuk menyangga doktrin Trinitas. Hal yang ditegaskan secara konsisten dalam surat-surat Paulus adalah bahwa Allah mengerjakan penebusan kita di dalam dan melalui Kristus, dan mengerjakan pengudusan kita di dalam dan melalui Roh. Yesus tidak pernah mengklaim gelar “Allah” untuk dirinya sendiri S ebelumnya kita telah mencatat pernyataan yang dibuat oleh Dr. H.A.W. Meyer: “Ia (Yesus) tidak pernah diketahui mengklaim nama θεός (theos, Allah) baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk Roh Kudus”. Tidak ada sarjana Alkitab yang mempertanyakan kebenaran dari ketegasan ini, karena ia dengan tepat mencerminkan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 103 kebenaran Alkitabiah tentang perkara ini. Kebenaran ini sangat penting untuk dengan tepat memahami Yesus dan pengajarannya. Namun jika Yesus sendiri tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Allah, umat Kristen tetap saja bersikeras memanggilnya “Allah” sekalipun hal ini bertentangan dengan sikap dan pengajaran Yesus sendiri, dan khususnya bertentangan dengan monoteisme Yesus sendiri. Seperti orang-orang di Yohanes 6 yang ingin menjadikan Yesus raja secara paksa, umat Kristen menjadikan dia Allah secara paksa. Ini tidak dilakukan oleh Yohanes atau oleh “komunitas Yohanein”. Ketika membahas pesan Yesus dalam Injil Yohanes, teolog sistematik Jerman Karl-Josef Kuschel bertanya, “Apakah Yesus mengabarkan bahwa ia adalah Allah? Apakah murid-murid Yesus menuhankan pahlawan mereka?” Atas pertanyaan-pertanyaan ini ia menjawab: ‘Pertama, tidak mungkin ada pertanyaan apakah teks menunjukkan bahwa Yesus menuhankan dirinya sendiri di sini. Yesus tidak pernah menyatakan dirinya sebagai “Allah”, tetapi sebaliknya dimengerti oleh komunitas pasca Paskah, dalam “Roh”, sebagai firman Allah dalam sebuah pribadi… Yang kedua, para murid Yesus pun tidak pernah mengklaim bahwa Yesus adalah Allah; mereka juga tidak menuhankan pahlawan mereka. Tidak di manapun juga Kristus Yohanein pernah muncul sebagai Allah kedua di samping Allah. Dalam Injil Yohanes pun, dapat dianggap pasti bahwa Allah (ho theos) adalah sang Bapa, dan sang Anak adalah yang telah ia utus, pewahyu-Nya: “Bapa lebih besar daripada Aku” (Yoh.14:28). Pengakuan Tomas yang terkenal, “Tu[h]anku dan Allahku” (Yoh.20:28), juga harus dipahami dalam pengertian ini; yang mencerminkan bahasa doa (!), yang dengan jelas merujuk kepada Kristus yang telah bangkit dan yang mengandaikan pengutusan Roh (Yoh.20:22). Isinya tidak 104 The Only True God menyatakan perubahan apapun atas pernyataan-pernyataan kristologis yang sebelumnya (yang mengarah kepada, misalnya, penuhanan Kristus atau penggantian Allah oleh Kristus), melainkan sebuah konfirmasi atas apa yang diperkenalkan dalam prolog dan yang juga akan dinyatakan di bagian akhir dari surat 1Yohanes (5:20), bahwa “Allah sungguh-sungguh telah menjadi kelihatan dalam rupa Yesus” (H.Strathmann), bahwa “Yesus itu transparan kepada sang Bapa sebagai pewahyu-Nya” (Rahner dan Thuesing, A New Christology, 180. Tentang Yohanes 1:1, Thuesing (ibid.) dengan meyakinkan menyatakan bahwa “Logos” di sini bukan mode subsistensi kedua dari Trinitas, tetapi firman Allah yang memberi pewahyuan’.)’ (K-J Kuschel, Born Before All Time? hlm.387 dyb.) Namun Yesus bukan saja tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Allah, ia malah enggan berbicara tentang dirinya sebagai Mesias di depan umum. Fakta ini jelas nyata dalam kitab-kitab Injil. Sarjana Jerman Wrede menyebutnya “rahasia Mesianik” (“the Messianic secret”), dan “rahasia” ini menjadi topik dari begitu banyak diskusi terpelajar dalam buku-buku dan artikel-artikel. Hal yang perlu kita perhatikan di sini adalah jika Yesus menolak mengakui kemesiasannya di depan umum, terlebih lagi ia tidak akan membuat klaim apapun sebagai Allah! Namun orang Kristen, sementara mengakui bahwa Yesus tidak pernah menerapkan kata “Allah” kepada dirinya sendiri, memperdebatkan bahwa beberapa ucapannya mengandung klaim implisit terhadap keilahian. Satu pernyataan seperti itu yang mereka petik ialah: “Aku dan Bapa adalah satu”. Jika kita setia kepada sikap Yesus yang menolak mengklaim status ilahi, maka jelaslah bila setiap interpretasi atas kata-kata Yesus harus mengesampingkan klaim implisit atau klaim halus sebagai Allah. Jika kita dapat sekali saja melepaskan kebiasaan membacakan penafsiran trinitaris kita ke dalam teks yang Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 105 kita baca dalam kitab-kitab Injil, kita akan melihat bahwa “kesatuan” dengan Allah yang dibicarakan oleh Yesus bukanlah kesatuan eksklusif antara dia dengan Bapa, tetapi suatu kesatuan yang mencakup semua orang beriman; dan justru kesatuan yang inklusif dari semua orang beriman dengan dirinya dan dengan Allah inilah yang didoakan oleh Yesus di Yohanes 17:11,22: “supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.” Jika kesatuan dengan Allah berkaitan dengan menjadi Allah, maka semua orang beriman akan menjadi Allah melalui kesatuan ini! Antikristus: satu-satunya pribadi di Perjanjian Baru yang mengklaim dirinya sebagai Allah Yesus tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Allah; hanya ada satu pribadi saja yang disebut dalam Perjanjian Baru yang akan membuat klaim ini: antikristus, si “manusia durhaka” (“Man of Lawlessness”). Mengapa umat trinitarian bersikeras mengatakan bahwa Yesus mengklaim dirinya sebagai Allah (konon dengan pernyataanpernyataan “Akulah”, yang akan kita bahas di bawah ini), padahal ia sama sekali tidak membuat klaim seperti itu? Di 2Tesalonika 2:3,4 dikatakan tentang “manusia durhaka” (ay.3), bahwa ia akan “menyatakan diri sebagai Allah”—seorang manusia yang memproklamirkan dirinya sebagai Allah adalah tanda utama yang digunakan oleh mereka yang sudah pernah diajar untuk mengenali dia (ay.4). Apakah kita sungguh-sungguh ingin mengklaim bahwa sebenarnya inilah yang dilakukan oleh Kristus sendiri, dan “manusia durhaka” itu akan menirunya? Jika Kristus tidak pernah membuat klaim semacam itu, maka kepalsuan klaim dari “manusia durhaka” itu akan dengan mudahnya terekspos. Namun, jika orang banyak sudah menerima klaim trinitaris bahwa Yesus mengklaim dirinya sebagai Allah (atau sekalipun jika ia tidak membuat klaim tersebut, bagaimanapun juga 106 The Only True God dalam kenyataannya ia adalah Allah), maka tidaklah mengherankan bila banyak orang akan beranggapan bahwa antikristus ini, yang pada akhir zaman mengklaim dirinya sebagai Allah, bisa jadi adalah Kristus yang telah datang kembali, dan oleh karenanya ditipu oleh antikristus. Harus diingat bahwa antikristus jelas tidak akan menyatakan dirinya sebagai “manusia durhaka” atau “pembinasa keji”, melainkan sebagai Kristus sejati, sang juruselamat dunia, yang membawa “perdamaian dan keamanan” (1Tes.5:3) ke dunia ini. Sekarang mari kita lihat lagi 2Tesalonika 2:4: “yaitu lawan yang meninggikan diri di atas segala yang disebut atau yang disembah sebagai Allah hingga ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah.” Perhatikan bahwa antikristus menentang semua allah lain, sehingga meninggikan dirinya sebagai satu-satunya sasaran penyembahan yang benar—sekali lagi hal yang tidak pernah dilakukan oleh Yesus, tetapi sebaliknya, pada waktu pencobaan ia sudah menyatakan (Mat.4:10), “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!’ (Ul.6:13)”. Betapa besar perbedaannya dengan antikristus! Perhatikan juga bahwa “ia duduk di Bait Allah” (ay.4) yang, tentu saja, menegaskan klaimnya sebagai Allah; karena jika ia adalah Allah maka di mana lagi tempat duduknya kalau bukan di dalam bait Allah? Dari semua ini kita bisa melihat dengan mudah bahwa jika Kristus mengklaim dirinya sebagai Allah, dan antikristus pun berbuat hal yang sama seperti dia, maka tanda pengenal utama dari antikristus akan hilang. Lalu bagaimana antikristus bisa dikenali bila ia datang, terutamanya bila kedatangannya akan disertai oleh “tanda-tanda dan mujizat-mujizat” yang dahsyat? 2Tesalonika 2:9: “Kedatangan si pendurhaka itu adalah pekerjaan Iblis, dan akan disertai berbagai perbuatan ajaib, tanda-tanda dan mujizat-mujizat palsu”. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 107 Musuh-musuh Yesus menuduhnya mengklaim kesetaraan dengan Allah Ada dua nas utama dalam Injil, keduanya di Injil Yohanes, yang mencatat bahwa musuh-musuh Yesus menuduhnya telah secara tidak langsung mengklaim kesetaraan dengan Allah. Keduanya merupakan “nas konflik” yang mengungkapkan sikap permusuhan dari para musuh Yesus dengan membuat tuduhan serius bahwa Yesus menyiratkan bila ia memiliki kesetaraan dengan Allah. Tentu saja, itu adalah tuduhan sebesar tuduhan menghujat, yang menurut Hukum Yahudi diganjar dengan hukuman mati. Begitulah besarnya permusuhan mereka terhadap dia karena tidak menaati hukum Taurat sesuai pandangan mereka, khususnya aturan hari Sabat, sehingga mereka berupaya mencari jalan untuk membunuhnya. Inilah konteks tuduhan penghujatan yang dilemparkan kepadanya. Kita sudah berulangkali memperhatikan bahwa Yesus tidak pernah mengklaim kesetaraan dengan Allah. Sebaliknya, ia sangat menekankan ketergantungan dan ketundukannya kepada Allah. Tidak ada Injil yang menonjolkan pengajarannya tentang hal ini dengan lebih kuat selain Injil Yohanes. Maka seharusnya jelas bagi siapa saja yang tanpa prasangka membaca Injil Yohanes bahwa tuduhan menyetarakan dirinya dengan Allah, yang merupakan penghujatan, adalah tuduhan yang nyata-nyata palsu yang dirancang untuk memastikan kematiannya sebagaimana dinyatakan dengan gamblang di Yohanes 5, bahwa para musuhnya “makin berusaha untuk membunuhnya” (ay.18). Namun hal yang paling anehnya, dari sudut pandang eksegesis Alkitabiah, para trinitarian menganggap tuduhan palsu itu benar! Bagaimanapun juga, inilah yang dituntut oleh dogma trinitaris. Mereka tidak terlalu peduli apakah Yesus sendiri menerima tuduhan itu atau tidak. Jawabannya atas tuduhan tersebut cukup jelas untuk dilihat oleh semua orang. 108 The Only True God Yohanes 5 15 Orang itu keluar, lalu menceriterakan kepada para pemuka Yahudi, bahwa Yesuslah yang telah menyembuhkan dia. 16 Karena itu, para pemuka Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat. 17 Tetapi ia berkata kepada mereka: “Bapaku bekerja sampai sekarang, maka akupun bekerja juga.” 18 Sebab itu, para pemuka Yahudi makin berusaha untuk membunuhnya, bukan saja karena ia melanggar peraturan Sabat, tetapi juga karena ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapanya sendiri dan dengan demikian menyamakan dirinya dengan Allah. 19 Lalu (oun, ‘oleh karena itu’) Yesus menjawab mereka, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.” Lalu apa tanggapan Yesus atas gugatan yang dituduhkan kepadanya bahwa ia “menyamakan dirinya dengan Allah” (ay.18)? Hanya kebutaanlah yang menghalangi kita dari melihat bahwa jawabannya adalah penolakan mentah-mentah atas tuduhan kesetaraan karena, sebaliknya, “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri”; ia mengikuti Bapa dengan sepenuhnya, sebab ia melakukan “hanya” “apa yang dikerjakan Bapa”. Bagaimanakah mungkin suatu penolakan atas tuduhan kesetaraan dapat dibuat lebih kuat dari ini? Berhubungan dengan Allah sebagai Bapa sesungguhnya adalah unsur utama dalam kehidupan dan pengajaran Yesus. Sejak awal dalam pelayanannya ia mengajari murid-muridnya untuk berbicara kepada Allah sebagai “Bapa”, mengajari mereka untuk berdoa, “Bapa kami di surga”. Ini juga bukan sesuatu yang sama sekali unik untuk Yesus seolah-olah itu suatu bentuk panggilan yang belum dikenal Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 109 untuk Allah; frasa ini muncul dalam PL: Yesaya 64:8, “Tetapi sekarang, ya TUHAN (Yahweh), Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu”, dan “Aku telah menjadi bapa Israel”, Yer.31:9; bdk. Mal.1:6. Dan Israel berkali-kali disebut sebagai “anak” Allah (Kel.4:22,23; Ul.14:1 “anak-anak” dalam teks Ibrani dan Yunani; demikian juga Yes.1:2). Allah adalah “Bapa kami” secara kolektif, maka Ia pun “Bapaku” secara individu; karena bagaimana mungkin Dia dapat disebut “Bapa kami” jika Dia bukan “Bapaku”? Jadi, Yesus yang menyebut Allah sebagai “Bapanya” seharusnya tidak menjadi isu untuk orang Yahudi, selain daripada anggapan bila ia terlalu menekankan bentuk sapaan untuk Allah ini dalam cara yang bagi mereka dirasakan terlalu intim sehingga tidak takzim. Namun, ini tidak layak disebut mengklaim kesetaraan dengan Allah, yang berarti penghujatan. Ini semua menunjukkan dengan amat nyata bahwa seluruh episode ini adalah suatu usaha dari para pemimpin bangsa itu untuk dengan segala cara mengarang tuduhan palsu terhadap Yesus agar ia dijatuhkan hukuman mati, dan mengenyahkan orang yang mereka anggap pembuat keonaran besar, sebuah duri dalam daging. Yohanes 10 27 Domba-dombaku mendengarkan suaraku dan aku mengenal mereka dan mereka mengikut aku, 28 dan aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tanganku. 29 Bapaku, yang memberikan mereka kepadaku, lebih besar dari pada siapapun, dan seorangpun tidak dapat merebut mereka dari tangan Bapa. 30 Aku dan Bapa adalah satu.” 110 The Only True God Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. 32 Kata Yesus kepada mereka: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapaku yang kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari aku?” 33 Jawab orang-orang Yahudi itu: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah dan karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menjadikan dirimu Allah.” 34 Kata Yesus kepada mereka: “Bukankah ada tertulis dalam kitab Tauratmu: Aku telah berfirman: Kamu adalah allah? [Mzm.82:6] 35 Jikalau mereka, kepada siapa firman itu disampaikan, disebut allah sedang Kitab Suci tidak dapat dibatalkan, 36 masihkah kamu berkata kepada dia yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia: Engkau menghujat Allah! Karena aku telah berkata: Aku Anak Allah? 37 Jikalau aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapaku, janganlah percaya kepadaku, 38 tetapi jikalau aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepadaku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam aku dan aku di dalam Bapa.” 31 Usaha yang kedua kalinya ini untuk mendakwakan tuduhan penghujatan terhadap Yesus berangkat dari kegagalan mereka dalam memahami kata-kata Yesus “Aku dan Bapa adalah satu” (ay.30). Seperti para trinitarian, entah bagaimana, mereka membaca adanya klaim kesetaraan dengan Allah di dalam kata-kata ini, meskipun Yesus telah mengatakan segera sebelum itu bahwa “Bapaku lebih besar daripada siapapun” (ay.29). Apakah kita mengira “siapapun” di sini tidak termasuk Yesus sendiri? Bukankah maknanya cukup Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 111 jelas: Tak ada seorang pun yang lebih besar daripada Bapaku? Atau dengan memakai kata-kata Paulus, Bapa adalah Allah “yang ada di atas segala sesuatu, yang harus dipuji sampai selama-lamanya” (Rm.9:5). Dengan menyatakan bahwa “Bapa”, bukan Anak, “lebih besar daripada siapapun” berarti Yesus telah menutup segala klaim terhadap kesetaraan. Ia menaruh perkara ini di tempat yang tidak bisa diperdebatkan lagi ketika menyatakan, “Bapa lebih besar daripada aku” (Yoh.14:28). Perhatikan bahwa seluruh isu dalam bagian teks ini dari Yohanes 10 berkisar seputar penghujatan: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari engkau, melainkan karena engkau menghujat Allah, karena engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menjadikan dirimu Allah” (ay.33); dan lagi, “Engkau menghujat Allah” (ay.36), semuanya itu dengan niat yang dinyatakan di depan umum untuk melempari dia dengan batu sampai mati. Yesus menolak tuduhan mereka justru karena, bertentangan dengan tuduhan mereka, ia tidak pernah membuat klaim kesetaraan dengan Allah. Yesus menjelaskan apa yang dimaksud dengan “Aku dan Bapa adalah satu” dengan kata-kata berikut, “supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam aku dan aku di dalam Bapa” (ay.38). Namun, penjelasan ini barangkali kurang terang untuk mereka, setidaknya sampai mereka mendengar pengajarannya di Yohanes 15:1 dyb. berkenaan dengan kesatuan hidup dengan Bapa yang mencakup para murid. Yesus juga menjelaskan bahwa dengan mengatakan “Aku adalah Anak Allah” ia menunjuk kepada dirinya sebagai dia “yang dikuduskan oleh Bapa dan yang telah diutus-Nya ke dalam dunia” (ay.36) dan hal ini, sebagaimana ditunjukkan olehnya, tidak bisa didakwa sebagai penghujatan. Sebab dalam sejarah Israel ada orangorang lain yang juga telah dikuduskan dan diutus oleh Allah kepada umat-Nya, terutamanya Musa. Akan tetapi, hukum Taurat bahkan 112 The Only True God menyebut para pemimpin yang lebih kecil daripada Musa sebagai “para allah” karena mereka bertindak sebagai wakil Allah di bawah wewenang firman-Nya. Dengan demikian Yesus menunjukkan dengan jelas dan tajam bahwa tuduhan mereka sama sekali tidak berdasar. ”Anak Allah” I stilah “anak Allah” bukanlah hal baru bagi umat Yahudi. Istilah ini ditemukan dalam PL, di mana Israel disebut “anak” Allah (Kel.4:2,23; Yes.1:2; Yer.31:9; Hos.11:1, bdk. Mat.2:15). Jadi, apa sebenarnya maksud tuduhan yang dibuat-buat ini? Sederhananya begini: Yesus dituduh telah memakai istilah “anak Allah” bukan menurut pengertian konvensional tetapi sebagai klaim kesetaraan dengan Allah—klaim yang menghujat dan ganjarannya adalah hukuman mati menurut hukum Taurat (Yoh.19:7). Luar biasanya, trinitarianisme sependapat dengan musuh-musuh Yesus bahwa ia membuat klaim tersebut! Berdasarkan tuduhan palsu inilah Yesus dihukum mati melalui penyaliban (Yoh.19:6, juga ay.15 dyb. Mrk.14:64; Mat.26:65,66). Namun menurut trinitarianisme, tuduhan terhadap Yesus yang mengklaim kesetaraan dengan Allah itu benar; jika memang demikian, maka menurut hukum Yahudi ia pantas disalib, karena klaim Yesus tidak memberikan pilihan lain kepada Sanhedrin (yakni Mahkamah Agama, badan hukum tertinggi di Israel) selain menghukum mati Yesus. Namun cerita-cerita Injili tentang pengadilan Yesus jelas menunjukkan bahwa Yesus dihukum dan dieksekusi atas dasar tuduhantuduhan palsu yang dibuat oleh saksi-saksi palsu. Kitab-kitab Injil tidak ada yang menegaskan bila Sanhedrin berbuat hal yang benar menurut hukum Taurat. Matius menyatakan hal tersebut dengan sangat jelas: Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 113 Imam-imam kepala, malah seluruh Mahkamah Agama mencari kesaksian palsu terhadap Yesus, supaya ia dapat dihukum mati, 60 tetapi mereka tidak memperolehnya, walaupun tampil banyak saksi dusta. (Mat.26:59,60a) 59 Seharusnya jelas nyata bagi setiap orang yang perseptif bahwa jika Yesus memang telah mengklaim kesetaraan dengan Allah, maka apa gunanya mencari bukti palsu dan saksi-saksi palsu? Bahkan saksisaksi palsu tidak berhasil mengarang suatu perkara yang meyakinkan sebagaimana ditunjukkan oleh Matius 26:60 dyb. Akhirnya, karena frustasi tidak bisa menemukan tuduhan sah atas Yesus, mereka menuduhnya telah menghujat oleh karena klaimnya sebagai Mesias—yang di bawah hukum Taurat tidak diganjar dengan hukuman mati! Berikut ini adalah adegannya sebagaimana dilukiskan dalam Injil Matius (pasal 26): Lalu Imam Besar itu berdiri dan berkata kepadanya: “Tidakkah engkau memberi jawaban atas tuduhan-tuduhan saksi-saksi ini terhadap engkau?” 63 Tetapi Yesus tetap diam. Lalu kata Imam Besar itu kepadanya: “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak.” 64 Jawab Yesus: “Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.” 65 Imam Besar itu mengoyakkan pakaiannya dan berkata: “Ia menghujat Allah. Untuk apa kita perlu saksi lagi? Sekarang telah kamu dengar hujatnya. 66 Bagaimana pendapat kamu?” Mereka menjawab: “Ia harus dihukum mati!” 62 Perhatikan bahwa Yesus diminta untuk mendeklarasikan di bawah sumpah apakah ia “Kristus”, yaitu Mesias, Anak Allah (ini adalah 114 The Only True God gelar lain untuk Mesias, yang akan dibahas dengan lebih menyeluruh berikut ini). Mengapa imam besar itu tidak menanyakan saja kepadanya apakah ia mengklaim kesetaraan dengan Allah, yang memang telah dituduhkan kepadanya di depan umum? Jawabannya mudah, sebagaimana telah kita lihat, mereka tidak bisa melemparkan tuduhan ini kepada Yesus meskipun dengan memakai saksi-saksi palsu; jadi jelaslah bahwa ia tidak pernah membuat klaim semacam itu, dan akan menyangkalnya lagi jika ditanyai. Luar biasanya, bahkan untuk pertanyaan apakah ia Mesias Yesus pun menolak memberikan jawaban langsung, menjawab hanya dengan “Engkau telah mengatakannya”, yakni, itu adalah katakatamu, bukan kata-kataku. Dan berpaling dari gelar “Anak Allah” ia malah merujuk dirinya dengan gelar yang lebih disukainya, yaitu “Anak Manusia” (ay.64), yang menunjuk kepada nubuatan mesianik di Daniel 7:13: “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia”. Bagaimana tepatnya ini bisa menjadi hujatan di bawah Hukum Yahudi tidak jelas sama sekali, dan berjilid-jilid diskusi terpelajar tentang pengadilan Yesus tersedia bagi mereka yang ingin mengejar perkara ini lebih jauh. Namun yang jelas Sanhedrin bertekad untuk membunuh Yesus dengan atau tanpa bukti yang diperlukan. Hal yang penting untuk tujuan kita adalah menunjukkan dari cerita-cerita Injili bahwa dakwaan-dakwaan yang dituduhkan kepada Yesus bahwa ia mengklaim kesetaraan dengan Allah tidak bisa bertahan sekalipun dalam persidangan yang bersikap sangat bermusuhan dengannya, yakni Sanhedrin. Di dalam cahaya kisahkisah Injil, tidak bisa dimengerti bagaimana para trinitarian bisa mengabaikan bukti dari kitab-kitab Injil dan bersikeras bahwa Yesus memang mengklaim kesetaraan dengan Allah. Tentu saja Yesus mengklaim keintiman istimewa dengan Allah sebagai Bapa karena Logos Allah berinkarnasi di dalam dia Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 115 (Yoh.1:14); tetapi yang menjadi tujuannya, baik melalui kehidupan ataupun kematiannya, adalah untuk membawa murid-muridnya ke dalam keintiman (atau kesatuan) yang serupa dengan Bapa, sehingga mereka pun akan mengenal Dia sebagai Bapa dan hidup dalam hubungan Bapa-anak dengan-Nya; ini adalah unsur sentral pengajaran Yesus dalam Injil Yohanes. Pelayanan Yesus dimaksudkan untuk membawa para murid (“yang Bapa berikan kepadaku”) ke dalam hubungan yang serupa: “Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku [kemuliaan apa lagi selain kemuliaan keputraan?], supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu: Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna,” Yoh.17:22,23; bdk.14:20). Pelukisan hubungan rohaniah yang begitu mendalam dalam arti menjadi satu dengan Allah dipakai untuk menjebaknya dengan tuduhan menyetarakan dirinya dengan Allah. Arti “Anak Allah” yang diterapkan kepada Yesus K ita sudah melihat bahwa Yesus tidak pernah mengklaim sebagai Allah dalam semua kitab Injil, dan kata “Allah” tidak dipakai untuk mengacu kepadanya di bagian PB selebihnya (kecuali dalam beberapa terjemahan modern, dalam dua atau tiga ayat, kata “Allah” mengacu kepada Yesus; kita akan memeriksa terjemahanterjemahan itu nanti). Kita pun telah melihat bahwa istilah trinitaris “Allah-Anak” tidak ditemukan di manapun juga dalam Alkitab. Jadi, dari mana datangnya istilah ini? Jawaban singkatnya, tentu saja, istilah ini sebuah ciptaan trinitaris. Istilah ini menjadi populer karena kemiripannya yang menyesatkan dengan gelar “anak Allah” yang memang muncul dalam PB; dalam benak orang-orang yang tidak terlalu tajam pemikirannya, kedua istilah ini dapat dengan mudah menjadi rancu dalam bahasa Inggris. “God the son” (“Allah- 116 The Only True God Anak”) membalikkan “the son of God” (“anak Allah”) dengan membuang kata “of”. Perubahan-perubahan penting ini kelihatannya sepele, terutama untuk bahasa (seperti bahasa Mandarin) yang sintaksisnya memerlukan pembalikan susunan kata dalam proses penerjemahan. Hal ini mungkin juga terjadi dalam bahasa Inggris jika “the son of God” diterjemahkan sebagai “God’s son”; itulah caranya istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin. Namun semirip-miripnya “God’s son” dengan “God the son”, makna keduanya sama sekali berbeda. Tepatnya perbedaan inilah yang dengan mudahnya dilewatkan (terutama oleh orang Kristen ratarata), sehingga menghasilkan kesalahan serius. Apa arti “Anak Allah” di dalam PB? Sekilas pandang bukti Alkitabiah menunjukkan bahwa itu adalah sebuah gelar Mesias, Raja Israel yang dinanti-nantikan, yang juga akan menjadi “juruselamat dunia” (Yoh.4:42; 1Yoh.4:14). Ini sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan gagasan trinitaris akan suatu tokoh ilahi yang disebut “Allah-Anak”. Gelar Alkitabiah ini diturunkan dari mazmur Mesianik penting, Mazmur 2, di mana (ay.7) Yahweh berbicara kepada raja Davidik, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan (yaitu Aku telah menjalin suatu hubungan denganmu seperti hubungan antara Bapa dengan anak; dan semenjak saat itu RajaMesias akan bertakhta di bumi dalam Nama Yahweh untuk menaklukkan musuh-musuh kebenaran, bdk. Mzm.2:9; 110:1; 1Kor.15:25-28) pada hari ini (hari pengurapan dan penobatan)”. Frasa Mesianik “Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini” menandakan asal mula frasa “Anak Tunggal Allah” (Yoh.1:18; 3:16) yang sering dikutip oleh trinitarian tanpa mempedulikan asal mulanya, dengan memaksakan makna dogmatis mereka sendiri kedalamnya. Faktanya adalah Mazmur 2:7 berulang-kali diterapkan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru: Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 117 Kisah 13:33, “telah digenapi Allah kepada kita, keturunan mereka, dengan membangkitkan Yesus, seperti yang tertulis dalam mazmur kedua: Engkaulah Anak-Ku! Aku telah menjadi Bapamu pada hari ini.” Yang menarik dan signifikan tentang ayat ini adalah bahwa kebangkitan Yesus dari antara orang mati dilihat sebagai titik penggenapan Mazmur 2:7, titik di mana ia “diperanakkan” sebagai “anak”, ketika ia diurapi dan dinobatkan sebagai raja. Menariknya, ayat yang sama diterapkan kepada Yesus di Ibrani 5:5 sehubungan dengan penunjukannya sebagai Imam Besar supaya, seperti Melkisedek (Ibr.7:1), ia menjadi raja dan juga imam: Ibrani 5:5, Demikian pula Kristus tidak memuliakan dirinya sendiri dengan menjadi Imam Besar, tetapi dimuliakan oleh Dia yang berfirman kepadanya: “Engkaulah Anak-Ku! Engkau telah menjadi Anak-Ku pada hari ini”… Dari semua ini jelaslah bahwa “Anak Allah” merupakan sebuah gelar dari sang Mesias dalam Alkitab, dan jangan dirancukan dengan “Allah-Anak” trinitaris itu. Beberapa referensi tambahan sudah cukup untuk menetapkan fakta ini: Yohanes 1:34, “Aku telah melihatnya dan memberi kesaksian: Ia inilah Anak Allah.” Apa maksud Yohanes Pembaptis dengan gelar ‘Anak Allah’? Dari ayat 41 (“Kami telah menemukan Mesias (artinya: Kristus)” muridmuridnya jelas sekali memahami siapa yang dimaksudkannya. Yohanes 1:49, Kata Natanael kepadanya: “Rabi, Engkau Anak Allah, engkau Raja orang Israel!” 118 The Only True God Kata-kata di atas menunjukkan bahwa untuk Natanael (dan umat Yahudi umumnya), ‘Anak Allah’ berarti ‘Raja orang Israel’, satu lagi gelar lain dari Mesias. Kaitan antara Raja keturunan Daud yang dijanjikan itu, sang Mesias, dengan gelar “Anak Allah” juga terlihat jelas dari nas berikut ini di Matius 27: Demikian juga imam-imam kepala bersama-sama ahli-ahli Taurat dan tua-tua mengolok-olokkan dia dan mereka berkata: 42 “Orang lain ia selamatkan, tetapi dirinya sendiri tidak dapat ia selamatkan! Jika ia Raja Israel, baiklah ia turun dari salib itu, maka kami akan percaya kepadanya. 43 Ia mempercayakan dirinya pada Allah: Biarlah Allah menyelamatkan dia sekarang, jikalau Allah berkenan kepadanya! Karena ia telah berkata: Aku Anak Allah.” 41 Hendaknya diingat bahwa nas di atas terdapat dalam Injil Matius, bukan Injil Yohanes, jadi ‘Anak Allah’ di sini tidak mengandung konotasi yang sama dengan yang terdapat dalam Injil Yohanes, dan tentunya dalam Injil Matius sama sekali tidak ada pernyataan klaim kesetaraan dengan Allah. Oleh sebab itu, kita harus menanyakan apa yang dipahami oleh para imam kepala dan ahli Taurat dengan istilah tersebut, dan mengapa mereka mengaitkannya secara sengaja dengan ‘Raja Israel’, meskipun dalam ejekan? Sekali lagi, jawabannya adalah: ‘Anak Allah’ dan ‘Raja Israel’ keduanya adalah gelar mesianik. Namun, mereka menolak Yesus sebagai Mesias Israel; mereka melihat dia sebagai Mesias palsu, dan karena itu, mereka menganggap dia sangat berbahaya secara politik, sebagaimana ditunjukkan oleh sambutan meriah orang banyak ketika Yesus memasuki Yerusalem. Pemerintahan Romawi juga selalu takut akan pemberontakan politik, jadi para pemimpin Yahudi memanfaatkan rasa takut itu, dan mendesak mereka untuk menyalibkan Yesus. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 119 Markus 15:32, “Baiklah Mesias (Kristus), Raja Israel itu, turun dari salib itu, supaya kita lihat dan percaya.” Bahkan kedua orang yang disalibkan bersama-sama dengan dia mencela dia juga. Anak Allah, raja Mesianik Israel B ahwa gelar “anak Allah” merupakan gelar yang terkenal bagi sang Mesias terlihat dari ayat-ayat berikut yang menunjukkan bahwa kedua gelar “Kristus” (atau “Mesias”) dan “anak Allah” kerapkali dipakai bersama: Mat.16:16; 26:63; Mrk.1:1 (“anak Allah” tidak ditemukan dalam dua teks Yunani purba yang penting, yang disebut unsial); Luk.4:41; Yoh.11:27; 20:31; Rm.1:4; 1Kor.1:9; 2Kor.1:19; Gal.2:20; Ef.4:13; 1Yoh.5:20; 2Yoh.1:3,9—semuanya 14 kali (atau 13 jika Mrk 1:1 tidak termasuk). Dari ayat-ayat ini, terutama ayat-ayat Injil di mana “Kristus” dan “anak Allah” diucapkan bersama-sama sebagai dua bagian dari satu gelar yang sama, semestinya amat jelas sekarang bahwa sang Mesias disebut “anak Allah”, berdasarkan “anak-Ku engkau” di Mazmur 2:7 yang diucapkan kepada raja keturunan Daud. Mengenai ayat ini, Robert Alter, Professor of Hebrew and Comparative Literature dari University of California, Berkeley, baru-baru ini menulis, “adalah hal biasa di Timur Dekat purba, hal yang mudah diadopsi oleh bangsa Israel, untuk membayangkan raja sebagai anaknya Allah” (The Book of Psalms, A Translation with Commentary, Norton, 2007; tentang Mzm.2 sehubungan dengan gelar “anak Allah” lihat pembahasan lebih lengkap di Lampiran 1). Untuk mempertimbangkan arti gelar “anak Allah” dengan lebih seksama, saya mengutip dari artikel James Stalker dalam International Standard Bible Encyclopedia (ISBE): 120 The Only True God Dalam Kitab Suci gelar itu diberikan kepada bermacam orang untuk pelbagai alasan. Pertama, gelar itu diterapkan kepada para malaikat, seperti di Ayub 2:1 dikatakan “datanglah anakanak Allah menghadap Yahweh”; mereka boleh jadi disebut demikian karena mereka adalah makhluk ciptaan Allah, atau karena, sebagai makhluk rohani, mereka menyerupai Allah yang adalah roh. Yang kedua, di Lukas 3:38 gelar itu diterapkan kepada manusia pertama; dan dari perumpamaan Anak yang Hilang bisa diperdebatkan kalau gelar itu berlaku kepada semua orang. Yang ketiga, gelar itu diterapkan kepada bangsa Ibrani, seperti di Kel.4:22, Yahweh berkata kepada Firaun, “Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung,” alasannya karena Israel adalah sasaran dari kasih dan pilihan Yahweh yang istimewa. Yang keempat, gelar itu diterapkan kepada raja-raja Israel, sebagai perwakilan dari bangsa yang terpilih. Dengan demikian, di 2Sam.7:14, Yahweh berkata tentang Salomo, “Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku”; dan, di Mzm.2:7, penobatan seorang raja diumumkan dalam sebuah ramalan dari surga, yang berkata, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” Akhirnya, dalam Perjanjian Baru, gelar tersebut diterapkan kepada semua orang kudus, seperti di Yoh.1:12, “Tetapi semua orang yang menerimanya diberinya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namanya;” Karena gelar itu memiliki jangkauan aplikasi seluas ini, maka jelaslah bahwa Keilahian Kristus tidak dapat disimpulkan hanya dari fakta bahwa ia diterapkan kepada Yesus’ (Penebalan huruf ditambahkan demi kejelasan; cetak miring dari saya). Akan tetapi, sebagai seorang trinitarian, Stalker tidak akan bersedia untuk mengakui apa yang dinyatakan di kalimat terakhir dari petikan ini. Sesungguhnya, sebagaimana dapat diduga, ia tidak akan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 121 menyimpulkan artikelnya sampai ia bisa menemukan jalan untuk membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Untuk mencapai hal ini, banyak argumentasi semu yang menyertainya. Dalam paragraf berikutnya, Stalker menulis (agaknya dengan sedikit nada tidak setuju) “adalah wajar untuk berasumsi bila penerapan gelar itu kepada Yesus berasal dari salah satu pemakaiannya [empat] di Perjanjian Lama; dan yang hampir secara universal ditetapkan oleh kesarjanaan modern sebagai pemakaian yang keempat yang disebut di atas—yaitu kepada raja-raja Yahudi.” Namun, apakah Stalker bersedia mengambil pendirian (yang mustahil baginya) bahwa gelar “anak Allah” sebagaimana diterapkan kepada Yesus tidak berakar dalam PL? Karena terburu-buru ingin membuktikan keilahian Kristus ia tidak memberitahu kita! Sebagai contoh argumentasi semu saya hanya akan mengutip yang berikut: “Ketika Yesus membangkitkan pengakuan besar dari kedua belas muridnya di Filipi Kaisaria, pengakuan itu diberikan dalam bentuk sederhana oleh dua penulis Sinoptik, ‘Engkaulah Mesias!’ (Mrk.8:29; Luk.9:20); tetapi Matius menambahkan, ‘Anak Allah yang hidup’ (Mat.16:16). Kerapkali dikatakan bahwa paralelisme Ibrani memaksa kita menganggap kata-kata ini hanya sebagai padanan untuk gelar ‘Mesias.’ Namun, ini bukan sifat dari paralelisme, yang umumnya memasukkan ke dalam istilah kedua dari istilah paralelnya sesuatu yang melebihi apa yang diungkapkan dalam istilah pertama. Adalah cukup sesuai dengan sifat paralelisme jika istilah kedua menyediakan alasan untuk istilah pertama. Artinya, Yesus adalah sang Mesias oleh karena Ia adalah Anak Allah.” Argumentasi Stalker terdiri dari dua langkah. Pertama, ia membuat pernyataan, “Kerapkali dikatakan bahwa paralelisme Ibrani 122 The Only True God memaksa kita menganggap kata-kata ini hanya sebagai padanan untuk gelar ‘Mesias’”. Stalker menerima paralelisme ini, tetapi itu tidak membawanya terlalu jauh. Ia ingin mengatakan bahwa “Anak Allah” berarti lebih dari “Mesias”. Seberapa lebihnya? Jelas, ia ingin mengatakan bahwa gelar itu artinya “Allah-Anak”; dan sekalipun ia tidak memakai istilah trinitaris ini, ia berulang-kali berbicara tentang “keilahian” Kristus. Jadi, bagaimana membuat “Anak Allah” berarti lebih dari “Mesias (Kristus)”? Itulah langkahnya yang berikut. Langkah Stalker yang kedua adalah mengklaim secara dogmatis bahwa paralelisme Ibrani “umumnya memasukkan ke dalam istilah kedua dari istilah paralelnya sesuatu yang melebihi apa yang diungkapkan dalam istilah pertama”, tetapi gagal memperlengkapi pembacanya dengan setidaknya satu referensi Alkitabiah untuk memperkuat pernyataan tersebut. Bagaimanapun juga, ini adalah sebuah “ensiklopedi”, jadi, tidaklah terlalu berlebihan untuk mengharapkan adanya sebuah referensi pendukung. Kita harus mempertanyakan keabsahan pemahaman Stalker akan “sifat paralelisme (Ibrani)”. Pertama, dua gelar yang disebut secara berturutan (seperti di Mat.16:16) tidak dengan sendirinya membentuk “paralelisme”. Paralelisme adalah sebuah fitur dalam puisi Ibrani, dan untuk membentuk paralelisme puitis memerlukan lebih dari sekadar menempatkan dua gelar secara berturutan. Stalker ternyata tidak pernah berkonsultasi kepada karya standar atas subjek ini, seperti karya E.W. Bullinger, Figures of Speech used in the Bible (hlm.349-362), yang dapat menyelamatkan dia dari konsepsi-konsepsi yang salah tentang paralelisme Alkitabiah. Namun, sekalipun tanpa mempelajari contoh-contoh dari paralelisme PL, seandainya saja Stalker mengecek bukti PB akan gelar-gelar Yesus bila digunakan secara berturutan, ia akan melihat bahwa tidak ada “istilah kedua” yang melebihi “istilah pertama” untuk dibicarakan: Dalam surat-surat Paulus, misalnya, gelar “anak Allah” disebut Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 123 sebelum gelar “Mesias (Kristus)”. Lihat contohnya di 2Korintus 1:19 (bdk. 1Kor.1:9; Ef.4:13), “Anak Allah, Yesus Kristus (Mesias)”; di sini “Yesus sang Mesias” merupakan “istilah kedua”, yang menurut Stalker mengungkapkan “sesuatu yang melebihi apa yang diungkapkan dalam istilah pertama”, sehingga dengan demikian, (menurut argumennya) akan berlawanan dengan Matius 16:16! Artinya, berdasarkan argumen Stalker, Yesus sang Mesias berarti sesuatu yang lebih dari dirinya sebagai “Anak Allah”! Barangkali kita bisa dimaafkan karena mengakui sudah cukup jenuh dengan argumentasi tak berdasar yang konyol seperti ini, yang sayangnya, cukup mencirikan trinitarianisme. Saya menyertakannya di sini sebagai contoh untuk menunjukkan bagaimana trinitarian biasanya memperdebatkan perkara mereka. Akan tetapi, apa yang tidak bisa dipungkiri oleh Stalker adalah adanya persamaan yang nyata antara gelar “Anak Allah” dan “Mesias (Kristus)” dalam Kitab Suci. Namun, ia berupaya sekuat tenaga membuat “anak Allah” berarti sesuatu yang lebih daripada “Mesias”, barangkali karena pemahaman yang tidak memadai akan gelar “Mesias” dalam Kitab Suci, tetapi terlebih lagi karena ia ingin berusaha membuat “anak Allah” berarti “Allah-Anak” sesuai dengan dogma trinitaris. Akan tetapi, ia seharusnya bisa melihat bahwa sekalipun jika benar bahwa istilah kedua dalam sebuah paralelisme mengungkapkan “lebih” (daripada apa yang ada dalam istilah pertama), yang “lebih” itu tidak akan pernah dapat membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Namun, sayangnya, eksegesis dibuat takluk kepada dogma dan ditekan untuk berbicara bahasa trinitarianisme. Dengan demikian, segala cara dihalalkan demi mencari bukti. Seorang sarjana lain, James Crichton, dalam artikelnya tentang “Mesias” di International Standard Bible Encyclopedia menulis, 124 The Only True God “Tidak diragukan bahwa ‘Anak Allah’ dipakai sebagai sebuah gelar Mesianik oleh umat Yahudi pada masa Tu[h]an kita. Imam besar di hadapan Sanhedrin mengenalinya sebagai itu (Mat.26:63). Gelar itu diterapkan juga dalam arti resminya kepada Yesus oleh murid-muridnya: Yohanes Pembaptis (Yoh.1:34), Natanael (Yoh.1:49), Maria (Yoh.11:27), Petrus (Mat.16:16, meskipun tidak dalam paralel). Pemakaian Mesianik ini berdasarkan Mzm.2:7; bandingkan 2Sam.7:14.” Crichton, seperti Stalker, adalah seorang trinitarian (kalau tidak artikelnya tidak akan diterbitkan oleh ISBE) dan, sebagaimana dapat diduga, mempertahankan bahwa Yesus “setara dengan Bapa”, tetapi ia melihat bahwa bukti PB mengharuskan pengakuan bahwa “anak Allah” merupakan sebuah gelar Mesianik. Untuk menyimpulkan dan meringkas bagian ini, saya mengutip kesimpulan pembahasan Dr. Karl-Joseph Kuschel, seorang teolog sistematis Jerman, mengenai hubungan antara gelar “anak Allah” dan gagasan Kristus yang pra-eksisten atau ilahi. Kuschel menulis: “Sekarang apa artinya semua ini untuk pertanyaan mengenai hubungan antara menjadi Anak Allah dan pra-eksistensi Kristus? Di sini kita juga dapat menetapkan sebuah konsensus di luar batasan pengakuan [denominasi]. “1. Sepadan dengan asal-usul Yahudinya (ideologi kerajaan) gelar “Anak Allah” tidak pernah dikaitkan dengan keberadaan surgawi sebelum kala atau dengan keilahian. “2. Yesus tidak berbicara tentang dirinya sebagai Anak Allah, ataupun mengatakan sesuatu tentang keputraan yang praeksisten. Andaikanlah, komunitas pasca-Paskah berbahasa Aram paling awal mengakui Yesus sebagai Anak Allah, tetapi sejalan dengan Perjanjian Lama mereka tidak memasukkan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 125 pernyataan apa pun tentang pra-eksistensi ke dalam pengakuan ini. “3. Fondasi dasar dari pembicaraan pasca-Paskah tentang Yesus sebagai Anak Allah tidak terletak pada ‘kodrat ilahi’ Yesus, pada suatu keputraan ilahi yang pra-eksisten, tetapi pada praktek dan pengajaran Yesus sendiri semasa di bumi: dalam hubungannya yang unik dengan Allah, yang biasa disapanya sebagai ‘Abba’, dalam suatu keakraban yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Terakhir tapi bukan yang akhir, seperti sudah kita dengar, di Israel gelar “anak Allah” sebagian besar merujuk kepada martabat dan kuasa yang unik dari penguasa politik tertinggi.” Born Before All Time?, hlm.238. Akhirnya, patut dicatat bahwa walaupun Al Qur’an memang berbicara tentang Yesus (Isa) sebagai Mesias (Masih), Al Qur’an mutlak menolak gelar Mesianik PB “anak Allah”. Alasannya mudah dilihat dari artikel-artikel ISBE ini yang menghalalkan segala cara untuk membalikkan “anak Allah” menjadi “Allah-Anak”. Akibat yang menyedihkan dari semua ini adalah umat Muslim menolak PB secara keseluruhan, dan dengan demikian menolak pesan keselamatan yang ada dalam sang Mesias (Kristus). Jika mereka bisa diyakinkan bahwa “anak Allah” dalam PB adalah sebuah gelar Mesias (Masih) dan tidak berarti “Allah-Anak”, mereka tidak mempunyai alasan untuk menolaknya. Kita pun harus diingatkan lagi bahwa tidak di manapun dalam PB kepercayaan pada keilahian Kristus diperlukan untuk keselamatan; itu adalah sesuatu yang dipaksakan oleh dogma Kristiani, bukan oleh firman Allah. Dengan bersikeras bahwa Yesus adalah “Allah-Anak”, orang Kristen telah menutup pintu keselamatan bagi orang Muslim melalui iman pada Kristus, sebagai sang Mesias atau “anak Allah” menurut arti Mesianik yang tepat (Yoh.20:31). Apakah umat Kristen dapat 126 The Only True God berkata pada umat Muslim pada Hari itu, “aku bersih dari darah siapa pun juga” (Kis.20:26)? Injil-injil Sinoptik P embaca PB yang jeli mau tidak mau akan memperhatikan bahwa dalam tiga Injil pertama (disebut “Injil-injil Sinoptik” karena ketiganya memiliki sudut pandang yang sama akan pribadi dan pekerjaan Yesus) hampir tidak ada apapun yang bermanfaat bagi trinitarianisme. Seharusnya menjadi keprihatinan serius bagi trinitarian bahwa tiga dari empat Injil yang ada tidak dapat digunakan untuk mendukung argumen keilahian Kristus yang begitu sentral bagi dogma mereka. Banyak di antara kita melihat fakta ini sebagai trinitarian, dan meskipun agak dibingungkan olehnya, dan sekalipun tidak dapat memberikan jawaban memuaskan kepada pertanyaan mengapa hal yang begitu penting (bagi kita) seperti keilahian Kristus diabaikan begitu saja oleh Sinoptik, kita tidak bisa berbuat banyak selain mengangkat bahu. Maka, Injil Yohanes menjadi Injil kesayangan trinitarian, karena kita mengira kita bisa menggali teks-teks bukti dari Injil ini sepuas hati kita. Itulah sebabnya kita akan memfokuskan sebagian besar dari kajian kita kepada Injil Yohanes. Kita akan melihat bahwa sekalipun benar bahwa perspektif Injil Yohanes berbeda dari perspektif Sinoptik, pada intinya tidak terdapat perbedaan apa-apa sehubungan dengan pribadi Yesus dan pekerjaannya. Mengenai soal perspektif, ajaran Yesus dalam Injilinjil Sinoptik berpusat pada “Kerajaan Surga” (Injil Matius) atau “Kerajaan Allah” (Lukas); jelas sekali Injil Matius ditujukan kepada khalayak Yahudi, jadi kata “surga” dipakai untuk merujuk kepada “Allah”, yakni, Yahweh. Di Yohanes, ajaran Yesus menyatakan “hubungannya yang unik dengan Allah”, dan juga bagaimana melalui dia kita juga dapat menjalin sebuah hubungan yang hidup Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 127 dengan Allah. Namun kebenaran ini juga muncul pada suatu bagian dalam Injil Matius: “Semua telah diserahkan kepadaku oleh Bapaku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya” (Mat.11:27; 28:18; bdk. Yoh.3:35; 5:21-27; 13:3; 17:2; juga Yoh.10:15; 14:9). Matius 11:27 telah digambarkan ibarat “petir Yohanein di siang bolong”. Di sini kita melihat cara familier Yesus menyapa Allah sebagai “Bapaku” seperti di Injil Yohanes. Di sini juga kita lihat keintiman yang mendalam dari pengenalan timbal-balik yang ditunjukkan dengan menyebut Allah sebagai “Bapa” (atau Abba). Sebab, kecuali jika ada pengenalan timbal-balik, maka tidak ada keintiman yang dapat dibicarakan. Ketika Yesus mewahyukan Bapa kepada kita, kita dengan demikian ditarik ke dalam pengenalan timbal-balik itu yang memperkenankan kita memanggil Allah sebagai “Bapa kami” (sebagaimana diajarkan Yesus kepada muridmuridnya, Mat.6:9), bukan sekadar formalitas, tetapi dalam keintiman sebuah hubungan Bapa-anak. Ayat Matius ini berperan untuk menegaskan bahwa tidak ada perbedaan esensial antara Sinoptik dan Injil Yohanes berkenaan dengan perihal siapa Yesus. Ucapan-ucapan “Akulah” (“I am”) —Apakah Yesus mengklaim sebagai Allah? S ebagai trinitarian kita menggunakan ucapan-ucapan “Akulah” (“I am”) di Injil Yohanes sebagai senjata ampuh untuk “membuktikan” keilahian Kristus, yaitu, bahwa Yesus adalah Allah. Kita gagal secara menyedihkan untuk melihat bahwa ini merupakan salah satu argumen paling dungu yang bisa dikembangkan. Mengapa? Karena hanya ada dua cara untuk memahami ucapan “Akulah” dari Yesus ini: 128 The Only True God (1) Yesus sedang memakai istilah itu secara biasa seperti yang digunakan dalam percakapan sehari-hari (mis. “Aku adalah seorang pelajar”, “Aku adalah orang Indonesia”, dst.), dan dengan demikian ia sedang membuat pernyataan tentang dirinya sebagai sang Mesias, sang Juruselamat, atau (2) Yesus sedang memakai “Akulah” dalam arti khusus, yaitu merujuk kepada Keluaran 3:14 di mana ia tampil sebagai gelar bagi Yahweh; dan jika demikian halnya, maka entah Yesus sedang mengklaim sebagai Yahweh, atau Yahwehlah yang sedang berbicara melalui dia. Apakah “Akulah” dipahami sebagai (1) atau (2), tak satu pun dari alternatif ini menyediakan bukti bahwa Yesus adalah Allah (yaitu Allah-Anak) karena, menurut pemakaian (1), cara biasa, ia berbicara selaku “manusia Kristus Yesus”, dan menurut pemakaian (2), rujukan khusus itu adalah untuk Yahweh, Allah Bapa. Oleh karena itu, ucapan-ucapan “Akulah” Yesus sama sekali tidak menyodorkan bukti apa-apa tentang keilahian Yesus sebagai Allah-Anak dalam skema trinitaris. Sekarang kita akan mempertimbangkan (1) dan (2) dengan lebih teliti dalam terang bukti Injil. Namun kita juga akan mengingat kemungkinan Yesus memakai “Akulah” pada beberapa kesempatan dalam arti biasa atau umum dan pada kesempatan lain dalam arti khusus. Bagaimana memahami dengan tepat pemakaian “Akulah” oleh Yesus? (1) “Akulah” sebagaimana dipakai dalam artinya yang normal atau biasa dalam percakapan sehari-hari, di mana Yesus berbicara sebagai seorang manusia sejati, tetapi secara khususnya sebagai “sang Kristus”, yang berarti “sang Mesias.” Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 129 Untuk menempatkan perkara ke dalam konteks yang tepat kita harus memperhitungkan sekian banyak ayat ketika Yesus sebagai “Anak” mengungkapkan ketergantungan dan ketundukan totalnya kepada Bapa (Yoh.3:35; 5:22,27,36; 6:39; 12:49; 13:3; 17:2,7,8, dst.). Dalam semua ayat ini kata didōmi (‘memberi’) digunakan untuk mengungkapkan fakta bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh Anak, ia terima dari sang Bapa yang memberikan semua ini kepadanya. “Akulah” (egō eimi, tensa kini) muncul 24 kali dalam Injil Yohanes, di mana 23 kali dipakai oleh Yesus dan sekali oleh orang buta yang disembuhkan Yesus (Yoh.9:9). Jadi, sebenarnya bukan 7 “Akulah” (yang diketahui oleh kebanyakan orang Kristen), tetapi 23 yang mengacu kepada Yesus. Secara statistik, frekuensi “Akulah” menunjukkan bahwa frasa itu termasuk kosakata khusus dalam Injil Yohanes, jika dibandingkan dengan kitab-kitab lain: Matius 5 kali; Markus: 3; Lukas: 4; Kisah Para Rasul: 7; Wahyu: 5: jumlahnya = 24, jumlah yang sama dengan Injil Yohanes. Dengan kata lain, separuh dari seluruh pemunculan egō eimi dalam Perjanjian Baru ada di Injil Yohanes. Lalu, apa tujuan dari sekian banyak “Akulah” dalam Injil Yohanes? Jawabannya tentu saja ada pada pernyataan tujuan Injil itu, “tetapi hal-hal ini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya kamu memperoleh hidup dalam namanya” (Yoh.20:31). Bukankah bentuk persona ke-3 dari “Akulah” ialah “Dialah”? Jadi, tujuannya adalah untuk mengumumkan bahwa “dialah”, yaitu, dia (Yesus) ialah sang Kristus, Anak Allah itu. Namun, ketika Yesus berbicara, “dialah” tentu saja harus ada dalam bentuk “akulah”. Kata “Kristus” (Yunani untuk “Mesias”) muncul 18 kali dalam Injil Yohanes, tetapi hanya keluar sekali dari mulut Yesus sendiri, dan itu ada dalam doanya kepada Bapa di Yohanes 17:3. Ketika diminta di Yohanes 10:24 untuk menyatakan secara gamblang 130 The Only True God apakah ia Kristus, ia menjawab, “Aku telah mengatakannya kepada kamu, tetapi kamu tidak percaya; pekerjaan-pekerjaan yang kulakukan dalam nama Bapaku, itulah yang memberikan kesaksian tentang aku” (ay.25). Ia memang telah mengatakannya kepada mereka, tetapi tanpa memakai gelar “Kristus”; ia membiarkan mukjizat-mukjizat “memberikan kesaksian tentang aku”. Lagipula, alih-alih gelar “Kristus”, ia menggambarkan pelayanan Kristus, sang Mesias, dengan istilah-istilah metaforis seperti “gembala”, “terang dunia”, dst., masing-masing diawali dengan “Akulah”. Namun yang jelas adalah ia memang mengakui bahwa ia adalah Kristus, meskipun pada umumnya ia menolak menyatakannya secara eksplisit. “Sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa akulah dia (egō eimi), kamu akan mati dalam dosamu” (Yoh.8:24). Alasannya mengapa perlu mempercayai bahwa dia adalah Mesias/Kristus yang dijanjikan itu adalah “supaya karena percaya kamu memperoleh hidup dalam namanya” (Yoh.20:31)—hal ini penting untuk keselamatan. Namun, mempercayai bahwa Yesus adalah Allah bukan syarat untuk keselamatan di manapun juga dalam Perjanjian Baru. Trinitarianisme telah memaksakan kepada jemaat suatu persyaratan untuk keselamatan tanpa pembenaran dari Firman Allah, dan ini merupakan hal yang sangat serius. Dalam nas berikut di Yohanes 8 kita dapat melihat cara Yesus yang khas dalam memakai “Akulah” (egō eimi), biasanya diterjemahkan sebagai “I am he” (“akulah dia”) sebagaimana diharuskan oleh kaidah linguistik Inggris: “Karena itu tadi aku berkata kepadamu bahwa kamu akan mati dalam dosamu; sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa akulah dia (egō eimi), kamu akan mati dalam dosamu.” 24 Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 131 Lalu kata mereka kepadanya: “Siapakah engkau?” Jawab Yesus kepada mereka: “Apa yang telah kukatakan kepadamu sejak semula? 26 Banyak yang harus kukatakan dan kuhakimi tentang kamu; akan tetapi Dia yang mengutus aku, adalah benar, dan apa yang kudengar dari Dia, itulah yang kukatakan kepada dunia.” 27 Mereka tidak mengerti bahwa ia berbicara kepada mereka tentang Bapa. 28 Maka kata Yesus: “Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu bahwa akulah dia (egō eimi), dan bahwa aku tidak berbuat apa-apa dari diriku sendiri, tetapi aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepadaku.” 25 Perhatikan baik-baik, Yesus mengatakan kepada orang Yahudi bahwa mereka harus percaya bahwa “akulah (dia)” jika mereka tidak mau mati dalam dosa-dosa mereka. Maka, sebagaimana bisa kita duga, mereka segera menanyakan dia, “Siapakah engkau?” (ay.25) tetapi, sekali lagi, ia menolak memberi jawaban eksplisit atas pertanyaan tersebut, dengan kata lain, dia menolak untuk berkata “Akulah Mesias” atau “Akulah Anak Allah”. Ia hanya menyatakan “apa yang kudengar dari Dia (Bapa, ay.27), itulah yang kukatakan kepada dunia” (ay.26). Di sini, seperti di bagian lain dalam Injil Yohanes, Yesus menekankan subordinasinya yang total kepada Bapa, sampai-sampai ia tidak berkata apa-apa selain apa yang disampaikan Bapa kepadanya (ay.28). Akan tetapi, di ayat 28 Yesus sekali lagi merujuk kepada dirinya sebagai “akulah (dia)”, tetapi kali ini ia berbicara tentang dirinya sebagai “Anak Manusia”. Dalam bahasa Yunani gelar tersebut tidak ditulis dengan huruf kapital; huruf kapital diberikan oleh para penerjemah, tentu saja dengan niat supaya istilah tersebut dipahami sebagai sebuah gelar mesianik. “Anak manusia” merupakan gelar 132 The Only True God yang lebih disukai oleh Yesus untuk dirinya sendiri dalam keempat Injil (semuanya 74 kali: Mat:27 kali; Mrk:14; Luk:22; Yoh:11). Baik dalam bahasa Aram maupun bahasa Ibrani (juga Ibrani modern) “anak manusia” adalah istilah lazim untuk “manusia” (bdk. Ef.3:5). Hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang Kristen, sehingga mereka beranggapan bila itu semestinya semacam gelar istimewa, dalam hal ini, sebuah gelar mesianik. Sebenarnya, secara linguistik sudah cukup tepat jika Yohanes 8:28 diterjemahkan seperti berikut, “Apabila kamu telah meninggikan Manusia itu (atau, manusia), barulah kamu tahu, bahwa akulah dia (egō eimi)”. Entah “anak manusia” itu sebuah gelar mesianik atau bukan dibahas dalam sejumlah besar buku dan artikel, tetapi hal itu tidak berkaitan secara langsung dengan kajian ini. Yang perlu kita camkan di sini adalah bahwa Yesus jelas menginginkan para pendengarnya (yang kebanyakan, seperti dirinya, berbicara bahasa Aram sebagai bahasa ibu) memperhatikan dia menyatakan dirinya sebagai “sang manusia”, atau “sang Manusia”. Yang ingin saya tekankan berdasarkan nas ini di Yohanes 8, dan juga pemakaian lain dari “Akulah” dalam ucapan Yesus, adalah bahwa “Akulah” dalam Injil Yohanes dengan sendirinya adalah sebuah pernyataan mesianik justru karena itu menggemakan “dialah” dari Yohanes 20:31: “tetapi hal-hal ini telah dicatat, supaya kamu percaya bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya karena percaya kamu memperoleh hidup dalam namanya”—Dialah Kristus. Dengan demikian, “akulah” = “dialah”. Jadi, di Yohanes 8:28, misalnya, Yesus adalah Kristus/Mesias terlepas dari apakah “anak manusia itu” dimengerti sebagai sebuah gelar mesianik atau bukan. Oleh karena itu, di Yohanes 8 ini, seperti juga dalam nas-nas lain, “Akulah” merupakan sebuah penegasan mesianik yang implisit, bukan sebuah klaim terhadap gelar milik Yahweh. Tentu saja adalah sebuah kesalahan untuk segera berasumsi bahwa setiap pemunculan dari ke-23 “Akulah” dalam Injil Yohanes Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 133 harus dimengerti secara mesianik. Prinsip dasar yang menguasai semua eksegesis adalah bahwa konteks merupakan faktor penentu dalam menetapkan arti dari nas yang sedang dipertimbangkan. “Akulah” di Yohanes 14:6 Ketundukan Kristus kepada Bapa menonjol dengan kejelasan yang sempurna di seluruh Injil Yohanes. Dalam retrospeksi saya sekarang menginsafi betapa aneh untuk Yohanes 14:6 (“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup”), misalnya, dikutip oleh trinitarian sebagai bukti atas keilahian dan kesetaraan Kristus dengan Allah Bapa. Orang tidak perlu menjadi pemikir yang mendalam atau luar biasa perseptif untuk melihat bahwa “jalan” adalah sarana untuk mencapai tempat tujuan, bukan tempat tujuan itu sendiri; jalan adalah cara untuk sampai ke tujuan, bukan akhir dari tujuan itu sendiri. Sewaktu kita dalam perjalanan, apakah kita begitu terpikat dengan jalan itu sampai kita tidak bisa melihat ke mana jalan itu membawa kita? Dan ke manakah Kristus, Jalan itu, membawa kita? Ayat yang sama (Yoh.14:6) memberi jawabannya: Membawa kita kepada Bapa, karena “tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku.” Kristuslah Jalan itu—‘melalui aku”— tempat tujuannya adalah “Bapa”: “Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya ia membawa kita kepada Allah” (1Ptr.3:18). “Jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh.14:6): dalam Injil Yohanes ketiga unsur ini—jalan, kebenaran, dan hidup—adalah aspek-aspek dari satu realitas. Firman itu datang ke dalam Kristus (Yoh.1:14) untuk membawa kita kepada Allah; oleh sebab itu, dia adalah jalan yang melaluinya kita datang kepada Allah. Firman menyelesaikan misi ini karena ia adalah kebenaran, seperti kata Yesus, “Firman-Mu adalah kebenaran” (Yoh.17:17). Melalui “firman kebenaran” (Ef.1:13) ini yang diwartakan sebagai kabar baik kita diselamatkan. 134 The Only True God Atau, dalam istilah kelahiran kembali, “Ia (Allah) memilih untuk melahirkan kita melalui firman kebenaran” (Yak.1:18, diterjemahkan dari NIV; terjemahan ini didukung oleh BDAG). Kristus, yang di dalamnya logos berinkarnasi (Yoh.1:14), mewujudkan “firman kebenaran” yang telah disediakan Allah demi keselamatan kita. Demikian juga dengan “hidup”, sebagaimana diterangkan dengan jelas di 1Yoh.1:1, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman (logos) hidup—itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” Logos hidup itu telah menjadi kelihatan dan nyata di dalam pribadi Kristus; Firman telah datang ke dunia untuk menjadi Jalan kepada Bapa, sesungguhnya satu-satunya jalan, sebab “tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku” (Yoh.14:6), maka dia adalah “jalan itu”. Kebenaran dan hidup, seperti jalan, bukanlah tempat tujuan atau akhir dari tujuan itu sendiri; mereka adalah sarana yang digunakan oleh Allah untuk membawa kita kepada diri-Nya Sendiri. Ini bisa diungkapkan melalui kata-kata Paulus, “Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui Kristus (jalan, dan kebenaran dan hidup)” (2Kor.5:19). Melalui Firman itulah Allah, dalam cinta kasih-Nya, menyediakan bagi kita kebenaran dan hidup dari “keselamatan yang abadi” (Ibr.5:9) dalam Kristus. Justru karena itulah Allah adalah sasaran utama dari pujian dan penyembahan dalam Alkitab. Namun mengapa setiap kali kita melihat atau mendengar pernyataan Yesus dalam bentuk “Akulah jalan…” kita menganggap bahwa ia sedang menegaskan, atau mengklaim, keilahian? Apakah bukan karena kita telah begitu dipenuhi dengan ajaran trinitaris sehingga kita tidak dapat memahami kata-kata tersebut dengan cara lain? Jika Yesus sekadar ingin mengatakan bahwa ia adalah jalan kepada Allah, apakah ada cara lain untuk mengatakannya selain dari Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 135 “Akulah (egō eimi) jalan”? Jika saya berkata “Akulah orang Cina”, apakah “Akulah” dalam kalimat ini menyiratkan bahwa saya sedang membuat klaim keilahian? Di Yohanes 9:9, ketika orang-orang memperdebatkan apakah orang buta itu benar-benar orang yang disembuhkan oleh Yesus, ia sendiri memastikan fakta tersebut dengan kata-kata “Akulah (egō eimi)”, yaitu mengatakan secara tegas, “Akulah orangnya dan bukan orang lain.” Adalah lucu jika ada yang mengemukakan bahwa dengan mengatakan “Akulah” orang yang dulunya buta itu sedang membuat klaim implisit sebagai Allah! Memang benar bahwa dalam bahasa Yunani, “Akulah” dalam Injil Yohanes mengandung ciri penegas, yang menegaskan bahwa Yesus merupakan satu-satunya jalan; sama seperti “Akulah pintu” (Yoh.10:7,9) berarti “akulah orangnya, bukan orang lain, yang adalah pintu.” Namun, pintu, seperti jalan, merupakan sarana yang digunakan orang untuk keluar masuk rumah atau lapangan berpagar. Pintu bukanlah rumah; jika tidak ada rumah atau lapangan berpagar, maka tidak perlu ada pintu. Demikian juga, bila tidak ada tempat tujuan, tidak perlu ada jalan. Mengingat pembahasan di atas, tidak perlu diragukan lagi bahwa “Akulah” dalam “Akulah jalan” dari Yohanes 14:6 berciri mesianik, sama seperti Yohanes 8:24 dan 28; dan tentunya bukan klaim terhadap keilahian. “Akulah kebangkitan dan hidup” (Yohanes 11:25) Trinitarian tidak akan ragu mengutip kata-kata tersebut sebagai “bukti” bahwa Yesus adalah Allah. Namun, seperti biasanya, mereka tidak mau repot-repot melihat konteksnya. Kata-kata itu diucapkan kepada Marta, dan ketika Yesus menanyakan apakah ia mempercayai pernyataannya ini dan juga pernyataan-pernyataan mengejutkan lain yang diucapkan segera sesudahnya, ia berkata: “siapa saja yang percaya kepadaku, ia akan hidup walaupun ia sudah 136 The Only True God mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepadaku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?” Jawaban Marta bukanlah, “Ya, aku percaya engkaulah Allah” tetapi “Ya, Tu[h]an, aku percaya, bahwa engkaulah Mesias, Anak Allah, yang akan datang ke dalam dunia.” (Yoh.11:25-27). Dengan kata lain, Marta tidak melihat perkataan Yesus sebagai suatu klaim terhadap keilahian melainkan sebuah pernyataan mesianik yang diiyakannya. Sebagai seorang Yahudi Marta tahu, tidak seperti kebanyakan orang non-Yahudi yang tidak tahu, bahwa “Anak Allah” bukanlah sebuah gelar ilahi dalam Alkitab tetapi sebuah gelar Mesias yang didasari oleh Mazmur 2:7. Namun bukankah Yesus mengatakan ini pada peristiwa kebangkitan Lazarus? Tentu saja. Akan tetapi, jika pertanyaan ini menyiratkan bahwa membangkitkan orang mati adalah bukti dirinya sebagai Allah, maka ini memperlihatkan ketidaktahuan yang luar biasa akan Alkitab. Itu bukan satu-satunya peristiwa dalam Alkitab tentang orang mati dibangkitkan. Sebenarnya ini bukan kali pertama Yesus membangkitkan orang mati. Jauh sebelum masa Yesus, Elia juga membangkitkan seorang anak yang sudah mati dan tidak satu pun orang Yahudi yang pernah menganggap hal itu bisa digunakan sebagai bukti bahwa Elia adalah tokoh ilahi! Kisah tentang perbuatan Elia itu tercatat di 1Raj.17:17 dst., dan mengandung kesamaan dengan kisah Yesus membangkitkan anak seorang janda di kota Nain sebagaimana dilukiskan di Lukas 7:1117. Poin-poin utama dari kesamaan adalah: (1) kedua peristiwa itu ada hubungannya dengan kehilangan seorang janda; (2) kematian dari anak satu-satunya; (3) kata-kata pada akhir kisah Injil Lukas setelah orang mati itu dihidupkan kembali, “Yesus menyerahkannya kepada ibunya” (Luk.7:15), menggemakan apa yang dilakukan Elia setelah anak itu dibangkitkan: ia membawanya turun dari kamar atas, tempat di mana ia membawa anak itu dan berdoa kepada Yahweh, dan mengembalikannya kepada ibunya. Mungkin saja kata- Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 137 kata di Lukas artinya tidak lebih daripada Yesus mengembalikan anak itu kepada sang ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan bila Lukas juga memang berniat menyiratkan suatu rujukan kepada nabi besar Elia itu. Kemungkinan ini menjadi lebih besar sambil kita membaca kisahnya, sebab segera setelah pernyataan di Lukas 7:15 kita membaca, “Semua orang itu ketakutan dan mereka memuliakan Allah, sambil berkata: ‘Seorang nabi besar telah muncul di tengahtengah kita,’ dan ‘Allah telah datang untuk menyelamatkan umatNya’”. Intinya peristiwa kebangkitan anak muda itu dari kematian tidak menyebabkan orang Yahudi menganggapnya sebagai bukti keilahian Yesus, melainkan sebagai bukti bahwa “seorang nabi besar (seperti Elia) telah muncul di tengah-tengah kita” dan bahwa “Allah telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya”, sama seperti ketika Ia menyelamatkan Israel dari penyembahan berhala melalui Elia, khususnya melalui peristiwa terkenal di atas gunung Karmel. Sebagaimana akan kita lihat berkali-kali dalam kajian ini, trinitarian terus-menerus memasukkan klaim keilahian ke dalam ucapanucapan dan tindakan-tindakan Yesus padahal ia sama sekali tidak bermaksud seperti itu dan orang-orang yang hadir waktu itu pun tidak menarik kesimpulan itu. Akan tetapi, orang banyak yang menyaksikan Yesus membangkitkan orang mati itu memang mengakui bahwa di dalam Yesus “Allah telah datang untuk menyelamatkan umat-Nya”. Kata yang diterjemahkan sebagai “datang untuk menyelamatkan” atau “melawat” (ILT) di Lukas 7:15, adalah episkeptomai yang bisa berarti melawat orang sakit (mis. Mat.25:36,43), jelas bukan saja sebagai kunjungan kesopanan tetapi dengan niat untuk menolong sedapat mungkin; secara signifikan, kata ini juga digunakan dalam arti “mengawasi, tampil untuk menolong” (BDAG) di Keluaran 3:16 (segera sesudah penampakan diri Yahweh kepada Musa sebagai “AKU ADALAH AKU” di 3:14), ketika Musa diperintahkan untuk menyampaikan 138 The Only True God pesan ini: “Pergilah dan kumpulkanlah semua pemimpin Israel. Umumkanlah kepada mereka bahwa Aku, Yahweh, Allah nenek moyang mereka, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, sudah menampakkan diri kepadamu. Beritahukanlah mereka bahwa Aku sudah datang kepada (episkeptomai) mereka dan sudah melihat bagaimana mereka diperlakukan oleh bangsa Mesir” (BIS, lih. pula Kel.4:31). Keluaran adalah suatu kejadian yang berkepentingan besar untuk pemahaman pesan Injil Yohanes, sebagaimana akan kita lihat. Adalah juga salah bila mengemukakan bahwa Yesus mengklaim keilahian dengan kata-kata “Akulah kebangkitan dan hidup”, karena klaim seperti itu akan berlawanan sama sekali dengan pengajaran Yesus sendiri yang eksplisit dan tegas tentang monoteisme (Mrk.12:29; Yoh.5:44), dan fakta bahwa baginya sang Bapa adalah “satu-satunya Allah yang benar” (Yoh.17:3). Lagipula, ia membuatnya segamblang mungkin bahwa “apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaanNya” (Yoh.14:10). Diterapkan kepada Yohanes 11:25, apa lagi artinya kalau bukan sang Bapalah yang tinggal di dalam Kristus, dan bahwa sang Bapa merupakan sumber dan kuasa dari “kebangkitan dan hidup” yang datang melalui Kristus? Apakah “Akulah” dipakai dalam arti khusus (yaitu, merujuk kepada Yahweh) dalam beberapa ucapan Yesus? Yesus berulang-kali menegaskan bahwa Bapa adalah sumber dari segala sesuatu yang dilakukannya. Ia tidak mengerjakan dan mengatakan “apapun dari dirinya sendiri”. Apa lagi artinya itu kalau bukan perbuatan dan perkataannya adalah apa yang Bapa, yang tinggal di dalam dia, ungkapkan melalui dia? Ini dinyatakan di Yohanes 5:19: ‘Lalu Yesus menjawab mereka, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 139 jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.”’ Juga Yohanes 5:30, “Aku tidak dapat berbuat apa-pun dari diriku sendiri”. Yohanes 8:28, “Aku tidak berbuat apa-apa dari diriku sendiri, tetapi aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepadaku.” Ucapan-ucapan ini jelas berarti bahwa sang Bapa Allah, Yahweh, bertindak dan berbicara melalui Yesus. Apakah ada buktinya dalam perkataan Yesus? Barangkali pernyataan berikut adalah satu contohnya: John 8.58: ‘Jesus said to them, “Truly, truly, I say to you, before Abraham was, I am.”’ Yohanes 8:58, Kata Yesus kepada mereka: “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, sebelum Abraham ada, [akulah].” Untuk memahami ayat ini, ada dua pilihan: (1) Mengambil “akulah” dalam ayat ini sebagai rujukan kepada Keluaran 3:14 atau kepada Yesaya 43:10,11. Kita harus menyadari bahwa ini berarti kita mengatakan bahwa Yesus mengklaim dirinya sebagai Yahweh— yaitu sebuah klaim yang tidak ingin dibuat oleh trinitarian, karena jika Yahweh memiliki kedudukan dalam Trinitas, maka kedudukannya adalah sebagai “Allah Bapa”, bukan “Anak”. (2) Mengambilnya dalam arti Yahweh berinkarnasi di dalam “manusia Kristus Yesus”, dan di sini Ia dengan gamblang tengah berbicara di dalam Yesus dan melalui Yesus. Secara eksegetis pilihan yang terakhir ini tentu saja tidak mustahil; tetapi tetap saja akan berlawanan dengan trinitarianisme. Mengapa kita mengatakan bahwa pilihan alternatiflah yang mungkin, yaitu, bahwa Yahwehlah Dia yang sedang berbicara melalui Yesus dengan kata-kata, “Sebelum Abraham ada, akulah”? Hal ini dimungkinkan karena dua alasan terkait: 140 The Only True God (1) Sang Bapa “diam” atau “tinggal” di dalam Kristus, tergantung pada terjemahan mana yang Anda baca. Kata-kata tersebut pada dasarnya mengandung makna yang sama, dan menerjemahkan kata Yunani menō. “Tidak percayakah engkau bahwa aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku? Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya.” (Yoh.14:10) (2) Yesus menegaskan dengan berbagai cara bahwa “firman yang kamu dengar itu bukanlah dari aku, melainkan dari Bapa yang mengutus aku” (Yoh.14:24); “Sebab aku berkata-kata bukan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus aku, Dialah yang memerintahkan aku untuk mengatakan apa yang harus aku katakan dan aku sampaikan.” (Yoh.12:49) Dengan menggabungkan kedua poin di atas, tentu bukan mustahil bila Yohanes 8:58 merupakan sebuah contoh di mana sang Bapa, Yahweh, berbicara melalui Yesus dengan kata-kata “Akulah”. Dan Ia tentu ada sebelum Abraham dalam pengertian apa pun dari kata “sebelum”. 5 Contoh lain di mana kita mungkin dapat mendengarkan suara Yahweh berbicara melalui Yesus adalah Yohanes 10:11,14 “Akulah gembala yang baik”, yang dengan jelas mencerminkan kata-kata masyhur dari Mazmur ke-23, “TUHAN (Yahweh) adalah gembalaku”. Sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa sebuah identifikasi yang disengaja memang dimaksudkan, sebuah identifikasi yang diperkuat oleh ayat terkenal dan indah yang lain: “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hatihati.” (Yes.40:11) 5 Mengenai Yohanes 8:58 baca juga Lampiran 2. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 141 Yohanes 2:19 tampaknya menyediakan contoh lain dari Bapa yang sedang berbicara melalui Yesus. Di sini “aku adalah” bukan dalam bentuk kala masa kini tetapi dalam bentuk kala masa depan “aku akan”. Ayat itu berbunyi: ‘Jawab Yesus kepada mereka: “Runtuhkan Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”’ Maknanya dijelaskan dalam dua ayat berikutnya, “Tetapi yang dimaksudkannya dengan Bait Allah ialah tubuhnya sendiri” (Yoh.2:21). Nah, fakta pentingnya adalah bahwa Kitab Suci dengan suara bulat menyatakan bahwa sang Bapalah, Allah, yang membangkitkan Yesus dari antara orang mati. Hal ini dinyatakan berkali-kali di Kisah Para Rasul (2:24,32; 3:15,26; 4:10; 5:30; 10:40; 13:30,37 dst.); dan di Roma 10:9, iman yang percaya bahwa Allah telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati adalah suatu keharusan untuk keselamatan (lih. lebih lanjut 1Kor.6:14; Gal.1:1; Kol.2:12; 1Ptr.1:21, dst.). Dalam PB ada banyak rujukan kepada kebangkitan Yesus, tetapi tak satu pun yang berbicara tentang Yesus membangkitkan dirinya sendiri dari antara orang mati; itu adalah perbuatan Allah. Hal ini dituntaskan dengan meyakinkan oleh fakta bahwa di dalam nas ini juga—tepat pada ayat berikutnya—ditegaskan bahwa Bapalah yang membangkitkan Yesus: Yohanes 2:22 “Jadi kemudian, sesudah Yesus dibangkitkan dari mati, teringatlah pengikut-pengikutnya bahwa hal itu pernah dikatakannya. Maka percayalah mereka kepada apa yang tertulis dalam Alkitab dan kepada apa yang dikatakan oleh Yesus” (BIS). Frasa “Yesus dibangkitkan” menerjemahkan ēgerthē, yaitu aoristus pasif dari egeirō, yang menegaskan bahwa Allahlah yang membangkitkan dia dari antara orang mati. Semua ini membawa kepada kesimpulan yang tak terelakkan bahwa “Aku” dalam frasa “Aku akan mendirikannya kembali” adalah sebuah contoh penting dari Bapa, Yahweh, yang berbicara di dalam dan melalui Yesus. 142 The Only True God Kekeliruan penggunaan trinitaris “Akulah” sebagai bukti keilahian Yesus Haruslah diingat bahwa untuk mengatakan bahwa Yahweh, sang Bapa, berbicara melalui Yesus yang Ia diami, adalah sangat berbeda dari pemakaian “Akulah” oleh trinitarian untuk memperjuangkan keilahian Yesus. Trinitarian harus mengerti bahwa Jika dengan “Akulah” Yesus mengklaim dirinya sebagai Allah, maka secara khusus ia mengklaim dirinya sebagai Yahweh! Klaim trinitaris bahwa “Akulah” dalam Injil Yohanes harus dimengerti sebagai klaim Yesus sebagai Allah, berhadapan dengan banyak masalah. Apakah mereka ingin mengatakan bahwa Yesus, alih-alih Bapa, adalah Yahweh? Atau, apakah mereka ingin mengatakan bahwa ada tiga (atau dua?) pribadi yang adalah Yahweh? Ini melanggar pernyataan monoteis PL. Namun, bukan itu saja, ini akan membuat perkataan Yesus sendiri dalam Injil Yohanes menjadi tidak berarti, misalnya, “Bapa lebih besar daripada aku” (Yoh.14:28), jika “aku” dimengerti sebagai “Akulah” yang ilahiah itu. Sesuai konteks Yohanes 14 kita harus percaya pada Allah dan juga pada Yesus (14:1, bdk. ay.10,11); dan Yesus ingin kita mengerti bahwa, sebagai objek dari iman dan kepercayaan kita, sang Bapa lebih besar daripada dia. Apa lagi maksudnya kalau bukan itu? Mengenai Yohanes 14:28, Dr. Kuschel mengutip karya seorang teolog Jerman, W. Thuesing: “W. Thuesing, ‘Die Erhoehung der Verherrlichung’ [‘The Exaltation of Glorification’], hlm.206-14, kh. 210, [di mana ia] sudah mengatakan semua yang perlu dikatakan: ‘Apa maksud klausa “sebab Bapa lebih besar daripada aku?” Itu harus ditafsirkan dari segi hubungan antara Bapa dan Anak yang dilukiskan di bagian lain dari Injil itu; dibandingkan dengan Anak, Bapa adalah sosok yang selalu memberi, yang Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 143 memegang inisiatif, yang mengeluarkan perintah. Anak selalu mendengarkan dan menerima dari Bapa; ia memenuhi kehendak Bapa, ia menyelesaikan apa yang dimulai oleh Bapa—tetapi tidak sebaliknya. Frasa “lebih besar” juga muncul di bagian lain dalam Perjanjian Baru, tetapi bukan sebagai perbedaan metafisik atau kualitatif, melainkan sebagai pengungkapan suatu hubungan superordinasi dan subordinasi.” (K-J Kuschel, Born Before All Time? Bagian Dua, B, VII, catatan kaki 74, hlm.637, kata-kata dalam tanda kurung siku ditambahkan). Trinitarianisme, yang berkeras secara dogmatis akan kesetaraan dari ‘pribadi-pribadi’ ilahi itu, telah membuatnya sangat sulit bagi kita untuk menerima pengajaran yang sangat gamblang dan eksplisit dalam Injil Yohanes tentang subordinasi Anak kepada Bapa. Kita dibuat merasa telah mempermalukan atau menghina Anak jika kita mengakui bahwa ia adalah subordinat Bapa—meskipun Anak itu sendiri yang menegaskan subordinasinya; dengan mengsubordinasikan Yesus, sebenarnya bukan kami yang lancang. Akhirnya, trinitarian sepertinya tidak dapat memutuskan apakah Yesus mengklaim sebagai Yahweh (sekalipun ia bahkan tidak menyatakan dirinya sebagai Mesias secara terbuka) atau sebagai anak Yahweh (“anak Allah”). Banyak trinitarian yang begitu bingung dengan persoalan ini sehingga dalam kekaburan mereka kelihatannya ingin mengambil semacam perpaduan dari keduanya! Sekalipun tidak sesuai dengan Kitab Suci, dogma trinitaris sebenarnya rutin memanjakan gaya bicara ganda seperti ini, yang sekarang menyatakan Yesus adalah Allah dan juga kemudian menyatakan ia adalah Anak Allah—hal ini, tentu saja, adalah hal yang kami kenal baik karena kami sendiri sebagai trinitarian juga telah melakukannya. 144 The Only True God Siapakah tepatnya “Bapa” yang sangat kerap dibicarakan oleh Yesus dalam Injil Yohanes? “B apa”, yang mengacu secara khusus kepada Allah, termasuk kosa kata khusus dari Yohanes; kata itu adalah sebuah kata kunci dalam pengajaran Yesus. Statistik menyatakan hal ini dengan jelas: “Bapa” muncul dalam Injil Matius: 23 kali (dalam 21 ayat); Markus: 3 kali (termasuk “Abba” di 14:36); Lukas: 12 kali (dalam 9 ayat); dan Yohanes: 114 kali (dalam 97 ayat). 6 Dari angka-angka tersebut segera terlihat bahwa pemunculannya dalam Injil Yohanes sekitar 5 kali lebih banyak daripada Injil Matius, dan Matius adalah kitab yang lebih panjang daripada Yohanes. Jelaslah, “Bapa”, yang merujuk pada Yahweh Allah, selalu ada dalam ucapan Yesus, dan juga di dalam hati dan pikirannya. Di sini kita tidak bisa memeriksa kesemua 114 referensi kepada “Bapa” dalam Injil Yohanes, tetapi kita akan merangkum beberapa poin utama. Siapakah “Bapa” dalam pengajaran Yesus menjadi jelas dari nasnas berikut: (1) Ialah Allah Israel, Yahweh, yang disembah dalam Bait Suci di Yerusalem, tetapi akan disembah secara universal “dalam roh dan kebenaran”. Yohanes 4: 21 Kata Yesus kepadanya (perempuan Samaria): “Percayalah kepadaku, hai perempuan, saatnya akan tiba bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. 22 Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Statistik yang diberikan di sini adalah berdasarkan referensi yang diberikan dalam Modern Concordance to the New Testament, Michael Darton, editor, Doubleday, 1976, yang pada dasarnya bisa diandalkan. 6 Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 145 Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa mencari orang-orang yang menyembah Dia secara demikian. 23 Semua ayat ini adalah tentang penyembahan; Bapa sendiri adalah objek penyembahan baik bagi orang Yahudi maupun orang Samaria; Ia disembah di Yerusalem, yaitu, di Bait Suci. Jadi, rujukan itu tanpa diragukan adalah kepada Allah Israel, Yahweh. Yesus pun berbicara tentang Dia sebagai “Allah Bapa” (Yoh.6:27). Berikut beberapa lagi pengamatan kunci mengenai “sang Bapa”: (2) Ia adalah “Yang ada dengan sendirinya” (“self-existent One”), sang Pencipta, yang telah menganugrahkan kepada Yesus kuasa untuk melaksanakan kehendak-Nya baik dalam kebangkitan maupun penghakiman: Yohanes 5:26, “Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam dirinya sendiri.” “Bapa” adalah sumber hidup, karena Dialah satu-satunya yang “mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri”. Secara signifikan, itulah artinya deskripsi Nama Yahweh di Keluaran 3:14 sebagai “AKU ADALAH AKU” (sebagaimana tercermin dalam LXX, ho ōn). Ia tidak memperoleh hidup dari siapa pun juga, tetapi semua yang hidup menerima hidupnya dari Dia; karena Ia adalah sang Pencipta, sang Absolut sehubungan dengan segala yang ada. Ia telah memilih menurut kedaulatan kehendak-Nya untuk mengaruniakan kepada Anak untuk mempunyai hidup dalam dirinya dan untuk menyalurkan hidup kepada setiap orang yang mendengarkan suaranya (Yoh.5:25). Penting untuk diperhatikan bahwa Yesus 146 The Only True God menjelaskan bahwa hidup yang ada padanya itu telah diberikan (didōmi) kepadanya oleh Bapa; bukan sesuatu yang dimilikinya sendiri. Tentu saja, ini bertentangan dengan Kristologi trinitaris. Poin penting ini, yaitu, bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh Yesus ia terima dari sang Bapa, diulangi lagi di ayat berikutnya: Yohanes 5:27, “Ia telah memberikan kuasa kepadanya untuk menghakimi, karena ia adalah Anak Manusia.” Di sini, kata “memberikan” (didōmi) dipakai lagi, sekarang dengan mengacu kepada otoritas atau kuasa (exousia) yang dianugrahkan kepadanya oleh Bapa untuk menjalankan penghakiman. Kedua kata ini, “memberikan” dan “kuasa” adalah dua kata yang sama persis dalam teks Yunani yang muncul di Matius 28:18: “Yesus mendekati mereka dan berkata: ‘Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi.’” Konteks di Yohanes 5 (ay.24-29) adalah tentang kebangkitan yang akan datang (ay.29) dan penghakiman (ay.27). Ayat-ayat tersebut dapat juga berfungsi sebagai konteks dari Matius 28:18. Pernyataan-pernyataan Yesus dengan jelas menegaskan fakta bahwa semua yang ada padanya itu diberikan kepadanya dengan murah hati oleh sang Bapa. Pernyataan yang maha-melingkupi di Yohanes 5:30 mengalir secara logis dari penegasan itu: “Aku tidak dapat berbuat apa pun dari diriku sendiri; aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku.” Sungguh sulit untuk dimengerti bagaimana orang yang mendengarkan perkataan Yesus dalam ayat-ayat ini bisa memaksakan kalau Yesus mengklaim kesetaraan dengan sang Bapa. (3) Sang Bapa telah mengutus Yesus sebagai “juruselamat dunia” (Yoh.4:42) agar umat manusia tidak dihukum pada hari Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 147 penghakiman melainkan menerima hidup kekal. Yesus melaksanakan hal ini dengan (1) menyatakan sang Bapa kepada semua orang yang mencari Dia (Yoh.14:9), dan (2) menjadi “anak domba Allah”, anak domba yang disediakan oleh Bapa Sendiri sebagai korban untuk dosa, untuk “menghapus dosa dunia” (Yoh.1:29). Sebagaimana bisa dilihat di Yohanes 5:30, “Aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku”, Yesus berbicara tentang Bapa yang mengutus dia untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah dipercayakan kepadanya. Bahwa Allah yang mengutus dia adalah suatu hal yang diulang berkali-kali oleh Yesus dalam Injil Yohanes. Yesus hidup dengan kesadaran yang mendalam akan misi yang telah dipercayakan Bapa kepadanya. (4) Poin-poin di atas digabungkan dalam doa Yesus di Yohanes 17:3: “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” Dasar bagi seluruh pengajaran Yesus dalam Injil adalah penegasan bahwa Bapa ialah “satu-satunya Allah yang benar”. Namun, “Allah-Bapa” (Yoh.6:27, yakni, Yahweh) yang dibicarakan oleh Yesus tidak boleh dirancukan dengan “Allah-Bapa” trinitaris, yang bukan “satu-satunya Allah yang benar”, tetapi hanya satu dari tiga pribadi, dan dengan demikian membentuk sepertiga dari “Ke-Allahan” trinitaris. Trinitarianisme memakai istilah-istilah yang sama dengan istilah-istilah yang dipakai dalam Alkitab tetapi sering kali dengan makna yang sama sekali berbeda. Pengaburan makna sedemikian atas istilah-istilah penting ini dapat mengakibatkan pemikiran yang keruh. Oleh karena itu, kita perlu mengecek dengan seksama makna yang tepat dari istilah-istilah yang sedang digunakan ketika membahas trinitarianisme. 148 The Only True God Allah dan Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus “Allah dan Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus” merupakan sebuah bentuk rujukan penting kepada Allah yang ditemukan di Rm.15:6; 2Kor.1:3; 11:31; Ef.1:3; 1Ptr.1:3. Kelima referensi tersebut menunjukkan bahwa frasa ini merupakan sebuah deskripsi Allah yang terkenal di gereja PB dan bahwa Allah yang mereka sembah itu memang adalah “Allah dan Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus”. Bagi kita yang dibesarkan dalam trinitarianisme, sang “Bapa” langsung dihubungkan dengan “Allah-Anak”, sedangkan dalam PB “Bapa” adalah istilah yang dimengerti sehubungan dengan “anak Allah”, gelar sang Mesias atau Kristus. Gelar ini selanjutnya digabungkan ke dalam gelar “Tu[h]an Yesus Kristus”, yang bagi seorang berbahasa Ibrani adalah “Tu[h]an Yesus sang Mesias” (lih. mis. Salkinson-Ginsburg Hebrew NT). Bagi orang-orang yang tidak berbahasa Ibrani, gelar “Kristus” itu telah menjadi semacam nama keluarga sehingga signifikansi aslinya telah hilang. “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus” (Kis.2:36) dan setidaknya justru karena alasan ini Ia adalah keduanya “Allah dan Bapa dari Tu[h]an kita Yesus”. Hal ini membuat jelas bahwa gereja awal tidak memandang kata “Tu[h]an” sebagai gelar ilahi dalam pengertian trinitaris. Betapa berbedanya keadaan dewasa ini karena orang Kristen tidak bisa memikirkan Yesus sebagai “Tu[h]an” kecuali dalam pengertian bahwa ia adalah Allah. Hal ini menunjukkan bagaimana pemikiran trinitaris telah menjadikannya hampir mustahil bagi kita membaca PB kecuali di dalam bahasa dan kategori trinitaris. Umat Kristen sudah terikat untuk membaca PB melalui kacamata trinitaris. Kecuali jika kita, oleh anugerah Allah, dibebaskan dari belenggu ini, kita tidak akan pernah dapat memahami firman Allah dengan tepat, selain dengan istilah-istilah yang telah disimpangkan secara serius. Seberapa besarkah dampaknya kondisi yang menyedihkan dan berbahaya ini atas kondisi rohaniah gereja saat ini, bila gereja tidak Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 149 lagi bisa memahami firman Allah sebagaimana mestinya? Mereka menyembah tiga pribadi alih-alih satu, dan kebanyakannya hanya satu—Yesus. Bertolak-belakang tajam dengan ini, dalam PB jemaat menyembah “Allah dan Bapa Tu[h]an kita, Yesus Kristus”. Atau sebagaimana dikatakan oleh sang Rasul, “aku sujud kepada Bapa” (Ef.3:14). Akan tetapi, bagaimana kita dapat mendamaikan, di satu sisi, gagasan trinitaris bahwa Yesus setara dengan Yahweh, dan di sisi lain, fakta bahwa Yahweh adalah Allahnya Yesus? Apakah sekali lagi dengan memakai gaya bicara ganda (double-talk): yang terakhir berlaku kepada Yesus sebagai manusia, bukan sebagai Allah (jika tidak Yahweh akan menjadi Allahnya Allah!)? Dengan kata lain, trinitarianisme mengharuskan Yesus dibagi dua bila menyangkut eksegesis ayat-ayat dalam Kitab Suci: Di satu tempat sesuatu dikatakan yang berlaku kepada Yesus sebagai manusia, dan di tempat lain sesuatu dikatakan yang berlaku kepadanya sebagai Allah. Dengan cara meloncat bolak-balik seperti inilah dogma itu dipertahankan. Akan tetapi, pemisahan Allah dengan manusia di dalam Kristus trinitaris sebenarnya tidak diizinkan oleh syahadat trinitaris itu sendiri, karena pemisahan Allah dengan manusia di dalam Kristus seperti inilah yang dikutuk sebagai bidat dengan nama “Nestorianisme”, yang mengakibatkan pengucilan. “Eutikianisme dan Nestorianisme akhirnya dikutuk di Konsili Khalkedon (451 M), yang mengajarkan satu Kristus dalam dua kodrat dipersatukan dalam satu pribadi atau hypostasis, tetapi tetap ‘tanpa kerancuan, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan!’” (Evangelical Dictionary of Theology, W.A. Elwell, Baker, Art. tentang Kristologi, hlm.225; cetak miring ditambahkan). Dengan demikian, sifat pertentangan-diri dari trinitarianisme terungkap oleh gaya bicara bertentangan (double-talk) trinitaris. Karena seandainya Allah dan manusia dalam Kristus dapat dipisahkan dengan mengatakan ayat ini berlaku kepada Yesus 150 The Only True God sebagai manusia tetapi ayat itu berbicara tentang Yesus sebagai Allah, maka ia bukan lagi satu pribadi melainkan dua, dan ini bertentangan dengan dogma trinitaris bahwa Yesus adalah keduanya “Allah sejati, manusia sejati” dalam satu pribadi. Namun, teori itu satu hal, prakteknya lain lagi. Diperhadapkan dengan masalahmasalah yang tak teratasi dalam terang Alkitab monoteistik yang tak kenal kompromi, trinitarian terpaksa bermain sulap interpretatif untuk menyangga dogma mereka. Mari kita ambil satu poin penting yang fundamental sebagai contoh. Satu hal yang sangat sering dinyatakan tentang Yesus adalah kematian penebusannya. Namun seandainya Yesus adalah Allah, maka ia tidak bisa mati; jika ia bisa mati, maka ia bukan Allah. Karena satu kebenaran dasariah tentang Allah dalam Alkitab ialah bahwa Dia itu abadi, kekal dan tidak takluk kepada maut (Ul.33:27; Mzm.90:2, dst.); hal ini tidak diragukan sama sekali sejauh Alkitab mencatat. Paulus berbicara tentang Allah sebagai “satu-satunya yang tidak takluk kepada maut” (1Tim.6:16). Segala sesuatu akan berlalu, tetapi Allah tetap selamanya, “tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan” (Mzm.102:25-27). Jadi trinitarianisme diperhadapkan dengan pertanyaan: Bagaimana mungkin Yesus mati tetapi dia juga Allah? Untuk itu tidak ada jawaban lain selain mengatakan: Yesus mati sebagai manusia, bukan sebagai Allah. Inilah gaya bicara ganda yang tak terelakkan. Lalu, apa jadinya dengan syahadat trinitaris yang dinyatakan di Khalkedon: “Satu Kristus dalam dua kodrat (perhatikan bagaimana Allah disebut dengan istilah “kodrat”) dipersatukan dalam satu pribadi… tanpa pembagian, tanpa pemisahan”? Jelaslah, dogma ini benar-benar mustahil untuk dipertahankan dalam terang wahyu Alkitab tentang Allah. Lagipula, seandainya Yesus adalah Allah, maka istilah “Allah Tu[h]an kita Yesus Kristus” berarti bahwa Allah adalah Allah dari Allah! Aduh, trinitarianisme! Karena, mau tidak mau, ini akan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 151 membangkitkan pertanyaan: “Allah” macam apa Yesus trinitarianisme ini? Karena Allah memang dikenal sebagai “Allah segala allah” (Ul.10:17; Mzm.136:2; Dan.2:47; 11:36), tetapi siapa “segala allah” ini harus kita biarkan untuk ditemukan jawabannya oleh para trinitarian. Allah sebagai Allah dan Bapanya Yesus—dan kita; Yohanes 20:17 Istilah “Allah dan Bapa” muncul 12 kali dalam PB; 6 berkaitan dengan Kristus, dan 6 yang sisa berkaitan dengan orang-orang beriman. Semua referensi tersebut dikutip lengkap di sini: Allah sebagai Allah Tu[h]an kita Yesus Kristus, atau “Allahnya”: Roma 15:6, “sehingga dengan satu hati dan satu suara kamu memuliakan Allah dan Bapa Tu[h]an kita, Yesus Kristus.” 2Korintus 1:3, “Terpujilah Allah, Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh kemurahan dan Allah sumber segala penghiburan”. 2Korintus 11:31, “Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tu[h]an kita, yang terpuji sampai selama-lamanya [bdk. Rm.9:5], tahu, bahwa aku tidak berdusta.” Efesus 1:3, “Terpujilah Allah dan Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam surga”. 1Petrus 1:3, “Terpujilah Allah dan Bapa Tu[h]an kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah membuat kita lahir kembali melalui kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada hidup yang penuh pengharapan”. 152 The Only True God Wahyu 1:6, “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapanya, bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.” Allah sebagai Allah dan Bapa kita: Galatia 1:4, “yang telah menyerahkan dirinya karena dosadosa kita, untuk melepaskan kita dari dunia jahat yang sekarang ini, menurut kehendak Allah dan Bapa kita”. Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan melalui semua dan di dalam semua.” Filipi 4:20, “Dimuliakanlah Allah dan Bapa kita selamalamanya! Amin.” 1Tesalonika 1:3, “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tu[h]an kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita”. 1Tesalonika 3:11, “Kiranya Dia, Allah dan Bapa kita, dan Yesus, Tu[h]an kita, membukakan bagi kami jalan kepadamu”. 1Tesalonika 3:13, “Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tu[h]an kita, dengan semua orang kudus-Nya.” Para sarjana Muslim telah menuduh Paulus sebagai orang yang menuhankan manusia Yesus dengan menjadikan dia Allah-Anak, dan dengan demikian, Paulus menjadi pendiri sejati agama Kristen seperti yang ada hari ini. Namun, terlepas dari fakta bahwa istilah “Allah-Anak” tidak pernah dipakai oleh Paulus, dari daftar ayat-ayat di atas tentang “Allah dan Bapa” akan segera terlihat dengan jelas Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 153 bahwa kebanyakan dari rujukan kepada Allah sebagai “Allah Yesus Kristus” itu ditemukan dalam surat-surat Paulus (4 dari 6 ayat), dan ia menulis dengan cara yang persis sama tentang Allah sebagai Allah kita (seluruh 6 ayat). Yesus berbicara tentang Allah sebagai “Allahku” (Yoh.20:17; Mat.27:46 = Mrk.15:34); kata-kata ini menggemakan Mzm.22:1, tetapi tidak dengan demikian kehilangan signifikansinya. Di Yohanes 20:17, Yesus berkata kepada Maria Magdalena, “Janganlah engkau memegang aku terus, sebab aku belum naik kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudaraku dan katakanlah kepada mereka bahwa sekarang aku akan pergi kepada Bapaku dan Bapamu, kepada Allahku dan Allahmu.” Hal ini tercermin dengan kuatnya di Wahyu 3:12 ketika Kristus yang telah bangkit itu berbicara tentang “Allahku” sebanyak empat kali dalam satu ayat ini: “Siapa yang menang, ia akan kujadikan tiang di dalam Bait Suci Allahku, dan ia tidak akan keluar lagi dari situ; dan padanya akan kutuliskan nama Allahku, nama kota Allahku, yaitu Yerusalem baru, yang turun dari surga dari Allahku, dan namaku yang baru.” Arti ayat ini pada hakikatnya tidak akan terpengaruh jika alih-alih “Allahku” cukup dibaca “Allah” saja. Jadi, apa yang ditampilkan dengan jelas sekali adalah penegasan dari Kristus bahwa Allah adalah Allahnya dalam cara yang paling personal yang dapat dinyatakan. Hal ini sangat penting untuk memahami Kristologi kitab Wahyu (bdk. pula 3:2). Sebagai trinitarian kita berpendapat bahwa frasa “Bapaku dan Bapamu”, “Allahku dan Allahmu”, membedakan Yesus dari kita karena ia tidak berkata “Bapa kita”, “Allah kita”. Namun kita mengabaikan kenyataan bahwa dalam kalimat yang sama ia juga berkata “pergilah kepada saudara-saudaraku”; apakah ia dengan demikian juga membedakan dirinya dari mereka? Jika demikian, bagaimana? 154 The Only True God Tidakkah ia juga yang berkata bahwa semua orang yang melakukan kehendak Allah adalah saudara-saudaranya (Mat.12:48,49; Mrk.3:34,35; Luk.8:21), yang berarti semua orang yang melakukan kehendak Allah akan mengalami Allah sebagai Bapa? Bahwa Yesus menggenapi kehendak Bapa secara lebih sempurna daripada saudara-saudaranya tidak diperselisihkan, tetapi apakah itu membuat Allah menjadi Bapanya dengan cara yang berbeda? Namun di sini, sebagaimana di bagian lain, kita membacakan trinitarianisme kita ke dalam teks itu, dan dogma kita menuntut adanya pembedaan antara kemanusiaan kita dan kemanusiaan Kristus, karena Kristus bukan manusia sama seperti kita: ia adalah Allah-manusia, Allah dan manusia di dalam satu pribadi. Ini berarti ia bukan sungguh-sungguh manusia seperti kita. Selanjutnya ini berarti dalam mentalitas trinitaris Yesus itu cenderung lebih dipandang sebagai Allah daripada sebagai manusia; kemanusiaannya dibayangi oleh keilahiannya. Ini menimbulkan pertanyaan apakah Yesus trinitaris itu hanyalah sekadar sebuah tubuh manusia yang kepribadiannya digerakkan oleh kodrat ilahinya. Kristus trinitaris adalah Allah, tetapi dapatkah dikatakan dengan jujur bahwa ia itu “benar-benar manusia”? Allah-manusia, dalam kasus seperti ini, bukanlah seorang manusia seperti kita. Jadi trinitarianisme harus mengubah definisi Alkitab dari “Allah” dan “manusia” untuk memuat Yesus yang mereka tuhankan! Jika kita memberi kebebasan kepada diri kita sendiri untuk mendefinisikan istilah-istilah Alkitab dengan cara apa saja sesuai dengan tuntutan dogma kita, maka kita telah memilih untuk memperlakukan Alkitab semau kita. Namun apa lagi yang bisa diharapkan bila dasar batu karang monoteisme Alkitabiah itu, di mana Yahweh adalah satu-satunya Allah, telah ditolak demi tiga pribadi yang berbagi dalam satu hakikat ilahi? Sebagai akibatnya, “eksegesis” trinitaris atas Yohanes 20:17 menengarai bahwa “Bapa” juga harus dimengerti dalam arti yang berbeda-beda; jadi ketika Yesus berkata “Bapaku”, ia diduga sengaja Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 155 membedakan hubungannya dengan Bapa dari hubungan muridmuridnya dengan Bapa dengan istilah “Bapamu”. Logika macam apa ini! Namun pembacaan teks secara gamblang (tanpa kacamata trinitaris) menunjukkan bahwa justru kebalikannyalah yang benar: apa yang dimaksudkannya adalah bahwa mulai saat ini, oleh kuasa kebangkitan dan oleh Roh Kudus yang akan segera disalurkannya kepada mereka (Yoh.20:22), murid-muridnya akan tahu bahwa “Bapaku” adalah “Bapamu”. Ini mengingatkan kita akan kata-kata indah di Kitab Rut, ketika Rut berkata kepada Naomi, “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.” (Rut 1:16) Ini membawa kita kepada “jantung” dari pelayanan Yesus, yang tujuannya digambarkan oleh Rasul Petrus sebagai “membawa kita kepada Allah” (1Ptr.3:18). Untuk mencapai hal ini, Yesus melakukan dua hal yang menuntut sebuah respon: pertama, Yesus memanggil pendengarnya untuk “marilah kepadaku” (Mat.11:28; Yoh.1:39; 5:40; 6:44,65) dan, kedua, ia memanggil kita dengan kata-kata, “ikutlah aku” (Mat.10:38; Mrk.8:34; Yoh.10:27, dst.); atau sederhananya, “datanglah ke mari dan ikutlah aku” (Mat.19:21; Luk.18:22). Sering kali “ikutlah aku” sudah menyiratkan “marilah kepadaku”; dan “ikutlah aku” kerap kali muncul dalam keempat Injil (Mat: 6 kali; Mrk: 4; Luk: 4; Yoh: 6 = 20 kali dalam Injil). Kedua langkah tersebut mendefinisikan sifat pemuridan dalam Perjanjian Baru. Ucapan Rut kepada Naomi secara tepat dipandang mengungkapkan hakikat dan karakter dari pemuridan. Hasil dari dibawa kepada Allah melalui Yesus adalah bahwa kita mengenal Allah sebagai Bapa kita dengan cara yang sama seperti Yesus mengenal Allah sebagai Bapa. Setiap orang Kristen telah mempelajari doa “Bapa Kami” (Mat.6:9-13) sejak masa kanak-kanak. Doa ini sering didaraskan dalam ibadah gereja. Namun, berapa 156 The Only True God banyak orang yang benar-benar mengenal Allah sebagai Bapa? Apa artinya “membawa kita kepada Allah” kalau bukan membawa kita untuk mengenal Allah, agar kita memanggil-Nya “Abba, Bapa” dari hati kita (Gal.4:6; Rm.8:15), persis seperti Yesus yang juga memanggil-Nya “Ya Abba, ya Bapa” (Mrk.14:36)? Ia datang untuk menyelamatkan kita, dan inilah arti “diselamatkan”. “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yoh.17:3) Kata “mengenal” (ginōskō) adalah kata kunci dalam tulisan Yohanes; kata ini muncul dalam Injil Yohanes dan Pertama Yohanes jauh lebih sering daripada kitab PB lainnya (Yoh: 57 kali; Mat: 20; Mrk: 12; Luk: 28; Kis: 16; Rm: 9; 1Yoh: 25). Thayer’s Greek Lexicon memuat artikel yang panjang dan instruktif untuk kata ginōskō (kenal) yang dimulai dengan, “Khususnya γινώσκω [ginōskō] berkenalan dengan, mengenal, digunakan dalam PB untuk pengetahuan tentang Allah dan Kristus, dan tentang hal-hal yang berkaitan dengan mereka atau yang keluar dari mereka; a. τόν Θεόν [ton theon], satu Allah yang sejati itu, berlawanan dengan politeisme orang kafir: Rm.1:21; Gal.4:9; juga Yoh.17:3”. Dalam membahas berbagai kata Yunani untuk kata “kenal”, Thayer membuat sebuah pengamatan yang penting tentang arti ginōskō: “pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadi” (huruf miring ditambahkan). Persoalan pelik tentang “dua kodrat” dalam pribadi Kristus, sang “Allah-manusia” D alam teologi Kristen, topik yang mengandung kepentingan khusus adalah “Kristologi”, yang terutama berkaitan dengan persoalan pelik tentang bagaimana harus memahami Yesus Kristus yang memiliki dua “kodrat”, Allah dan manusia, di dalam satu pribadi. Masalah ini tidak berasal dari Perjanjian Baru tetapi sejak Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 157 Yesus dituhankan sebagai Allah oleh gereja non-Yahudi; hanya setelah itu masalah ini menjadi genting bagi Kekristenan. Mau tidak mau, penuhanan Yesus menjadi Allah telah menciptakan sebuah situasi di mana sekarang ada lebih dari satu pribadi yang disebut Allah, dan hal ini membawa konsekuensi serius: yaitu kesangsian terhadap monoteisme. Gereja non-Yahudi menyadari sepenuhnya fakta bahwa Alkitab itu monoteistik, jadi bagaimana gereja masih dapat mempertahankan suatu bentuk monoteisme, sementara di saat yang bersamaan keilahian Kristus sebagai Allah-Anak? Sebagian pemimpin gereja memiliki kepedulian yang lebih besar terhadap monoteisme; sebagian lainnya bersikeras pada kedudukan Kristus sebagai Allah. Sebagai akibatnya, sejarah Kristologi ditandai oleh, sebagaimana dapat diduga, konflik, perpecahan, dan pengucilan (bahkan uskup-uskup saling mengucilkan satu sama lain!) Akhirnya, pandangan bahwa Yesus adalah Allah keluar sebagai pemenang dalam gereja non-Yahudi. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi di jemaat Yahudi awal. Lalu, bagaimana dengan monoteisme? Yah, Allah dikurangkan dari satu Pribadi menjadi satu “hakikat”. Hal ini muncul cepat sekali di gereja non-Yahudi, tidak lama setelah gereja kehilangan pertalian dengan gereja induk Yahudinya. “Bapa” Latin terkemuka, Tertulianus (th. 155-220 M), menaruh perkara itu seperti berikut, “Allah adalah nama dari hakikat itu, yaitu, keilahian” (J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrines, hlm.114). Pengaruh Tertulianus dapat dilihat dari pengamatan Kelly, “Paus [Dionysius] mungkin telah menyimpulkan, atas dasar-dasar etimologi yang meyakinkan, bahwa hypostasis adalah padanan kata Yunani untuk substantia, yang dipelajarinya dari Tertulianus, menandakan kenyataan konkret yang tak terpisahkan dari ke-Allahan” (Kelly, Doctrines, hlm.136). Tanpa membahas lebih jauh akan kerumitan, dan liku-liku dari sejarah Kristologi, cukup untuk diketahui bahwa posisi doktrinal gereja dewasa ini pada intinya tetap sama seperti Tertulianus, yaitu, “ketiga 158 The Only True God pribadi Ke-Allahan saling berbagi hakikat yang sama” (W.A. Elwell, Evangelical Dictionary of Theology, “Substance”) Mengapa trinitarian berbicara tentang Yesus sebagai “Allahmanusia”? Karena mereka mengklaim bahwa ia memiliki dua “kodrat”, satu ilahi dan satu manusiawi: Bagaimana kedua kodrat itu berhubungan satu sama lain di dalam dia? Jawaban yang diberikan pada Konsili Khalkedon (451 M) menyatakan bahwa kedua kodrat itu eksis bersama “tanpa kerancuan, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa pemisahan” di dalam satu pribadi. Ini seakanakan menunjukkan adanya perpaduan dua kodrat yang sama sekali berbeda dan terpisah di dalam pribadi Yesus. Bagaimana “pribadi” seperti ini, yang pada dasarnya adalah dua pribadi, dapat berfungsi sama sekali tidak dijelaskan, dan tak pelak, tidak dapat dijelaskan. Jadi, ini dimasukkan ke dalam alam “misteri” teologis—sesuatu yang efektif menghentikan orang dari bertanya lebih lanjut. Rupanya pribadi Yesus ini harus begitu saja diterima sebagai sebuah enigma. Pribadi yang ada di tengah-tengah iman trinitaris itu harus tetap dalam keadaan tak terpahami, setidaknya berkenaan dengan bagaimana ia dapat bertindak sebagai pribadi yang disebut Allah dan manusia sekaligus. Pernyataan Khalkedon memang tidak dapat dipahami jika pernyataan tersebut dianggap memberi referensi yang berarti kepada suatu pribadi nyata. Apa adanya, pernyataan itu tidak lebih daripada sebuah tuntutan dogmatis yang dibuat oleh sebuah majelis gereja di Khalkedon pada abad ke-5. Tuntutan itu sama sekali tidak memiliki dasar yang kuat dari Kitab Suci, akan tetapi dinyatakan oleh gereja trinitarian sebagai batu ujian dari ortodoksi Kristen. Namun pertanyaan yang dapat dan harus diajukan adalah apakah ini pengajaran yang Alkitabiah ataukah hasil dari kebingungan manusia karena tidak memahami pewahyuan Alkitabiah? Dari abad ke abad, banyak trinitarian merasa tidak puas percaya pada “suatu” Kristus yang pada dasarnya tak terpahami, sebuah Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 159 enigma. Banyak yang lebih menyukai gagasan Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi di dalam tubuh seorang manusia. Setidaknya pandangan ini kelihatannya masuk akal. Dalam pandangan mereka tentang Kristus, Allah (Anak, bukan Bapa) telah mengambil-alih kedudukan dalam konstitusi manusia yang biasanya ditempati oleh “roh manusia”. Gagasan ini didukung oleh apa yang dalam teologi dikenal sebagai “Kristologi Aleksandria” 7. Menurut gagasan ini, Yesus mempunyai tubuh daging sama seperti kita, tetapi pribadi yang bertindak di dalamnya adalah Allah-Anak (kalau tidak maka ada dua pribadi yang bertindak di dalam satu pribadi itu—mirip dengan skizofrenia!); di dalam Kristus “Allah-Anak” telah mengambil alih (apapun artinya, atau, dari sudut pandang lain, menggantikan) roh manusia. Dengan demikian, ia sama seperti kita di tingkatan daging, tetapi “Allah-Anak”lah yang hidup di dalam daging itu. Dengan cara ini ia bisa dianggap “Allah sejati dan manusia sejati”. Di sini kita tidak akan membahas soal “Allah sejati”, tetapi dapatkah seseorang yang dibentuk seperti itu disebut “manusia sejati” sekalipun jika ia memiliki tubuh manusia yang nyata? Tentunya tidak sulit untuk dilihat oleh siapapun (kecuali jika kita sengaja bersikap buta) bahwa tidak ada manusia yang juga sekaligus Allah dapat sungguh-sungguh disebut manusia tanpa mendefinisi ulang istilah “manusia” menjadi sesuatu yang berbeda dari arti sebenarnya. Kita mungkin tidak tahu banyak, tetapi kita adalah manusia, jadi sekalipun jika kita tidak tahu apa-apa, setidaknya kita tahu betul seperti apa manusia itu. Itulah sebabnya kita tahu apa pun Allahmanusia itu, ia bukan manusia seperti kita, ia sama sekali bukan salah satu dari kita. Untuk diskusi yang lebih lengkap tentang konflik trinitaris antara aliran Aleksandria dan Antiokhia, lihat Lampiran 11. 7 160 The Only True God Berbicara tentang Allah dan manusia dalam istilah “kodrat” bukanlah cara yang tepat untuk melanjutkan pemeriksaan kristologis. Namun, tidak sulit untuk memahami mengapa trinitarian terpaksa memakai istilah ini. Sebenarnya Allah dan manusia hanya pantas dibicarakan dalam istilah “pribadi”. Berbicara tentang manusia dengan istilah “kodrat” berarti berbicara tentang ciri-ciri dan kualitasnya, bukan tentang dirinya sebagai suatu “pribadi”. Namun pemikiran trinitaris tentang Kristus sebagai “Allah-manusia” menjadikannya mustahil untuk berbicara tentang Allah dan manusia dalam istilah “pribadi” karena, jika tidak, Kristus akan menjadi dua pribadi: Allah dan manusia! Namun berbicara tentang Allah sebagai “hakikat” atau “kodrat” sebenarnya merupakan penghinaan terhadap Allah, dan mereka yang berbuat demikian tanpa disadari sedang bermain-main dengan “api yang menghanguskan” (Ul.4:24; 9:3; Yes.33:14; Ibr.12:29). Di dalam Alkitab, Allah jelas bukan sekadar “kodrat” atau “hakikat”. Lagipula, memiliki “kodrat ilahi” tidak menjadikan Allah, jika tidak, maka berdasarkan 2Petrus 1:4 kita pun adalah ilahi. Begitu juga, sekadar memiliki “kodrat” atau “esensi” manusia tidak menjadikan seseorang manusia; melainkan, oleh karena kita adalah manusia (atau pribadi) maka kita memiliki kodrat manusia. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kodrat”? Agaknya ini merujuk kepada hal-hal seperti sifat intrinsik, temperamen, atau kualitas esensial. “Kualitas-kualitas” seperti itu dalam manusia berasal dari kemanusiaannya, tetapi keadaannya sebagai manusia tidak berasal dari kualitas-kualitas tersebut. Dengan demikian, mendahulukan “kodrat” daripada manusianya sama saja dengan “mendahulukan kereta daripada kudanya”. Seekor binatang bisa saja memperlihatkan ciri-ciri atau perilaku manusia (“nyaris manusia”) tetapi itu tidak menjadikannya manusia. Apa yang dimaksud dengan “kodrat ilahi” di 2Petrus 1:4 sangat jelas dari konteksnya, yang menjelaskan bahwa kualitas-kualitas moral dan spiritual Allah Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 161 tersedia bagi kita (bdk. “buah Roh”, Gal.5:22) sebagai akibat dari menjadi manusia baru dalam Kristus (2Kor.5:17). Dengan demikian, mengatakan bahwa Yesus memiliki kodrat ilahi tidak sama dengan mengatakan bahwa ia adalah Allah. Jelas sekali, apa yang disebut “kodrat” oleh trinitarian adalah sesuatu yang lebih menyerupai “hakikat”. Namun, sekali lagi, Allah bukanlah sebuah hakikat, demikian juga manusia. Seseorang itu lebih daripada sekadar “hakikat”nya, apapun itu. Bisa dikatakan bahwa seseorang itu lebih daripada jumlah hakikat-hakikat, atau kodrat-kodrat, atau sifat-sifatnya. Dengan terminologi-terminologi yang kabur seperti “kodrat” dan “hakikat”, tidaklah mengherankan bila doktrin dua-kodrat Kristus menjadi masalah berduri dalam gereja sejak masa Nikea dan seterusnya, yang berakibat pada kerancuan, perselisihan, konflik dan perpecahan. Adakah jalan keluar untuk masalah yang diciptakan oleh gereja itu sendiri? Kitab Suci berbicara tentang “Roh Allah” dan juga “roh manusia” (Ams.20:27; Pkh.3:21; Za.12:1, dst.). Dapatkah kita berbicara tentang “roh” dalam istilah “kodrat”? Jika ya, maka “roh manusia” akan sama dengan “kodrat” manusia, sebagai satu unsur dasariah dari konstitusi manusia. Akan tetapi, sebagaimana diketahui setiap orang, dalam konstitusi setiap manusia juga terdapat “daging”, dan “daging” ini pun merupakan unsur penting dari konstitusi manusia. Daging begitu mendefinisikan manusia, dan begitu dasariah terhadap karakter dan sifat manusia, sehingga Alkitab berbicara tentang eksistensi manusia cukup dengan istilah “daging” (mis. Yes.40:6; Yoh.1:14). Namun jika “daging” mendefinisikan kehidupan manusia, dan jika manusia juga memiliki “roh” yang juga integral kepada “kodrat”nya sebagai manusia, maka manusia memiliki dua “kodrat”: daging dan roh. Jika memang demikian halnya, ini berarti Yesus sebagai Allah-manusia memiliki tiga “kodrat”: daging dan roh manusia ditambahkan kepadanya sebagai Allah-Anak! Ini nyaris 162 The Only True God tidak bisa dianggap sebagai manusia sejati tanpa mengubah definisi dari makna menjadi “manusia”. Satu solusi adalah dengan menyarankan bahwa Allah-Anak, sebagai Roh, telah menggantikan roh manusia di dalam Yesus. Akan tetapi ini tidak benar-benar menuntaskan masalah, karena sekarang manusia itu minus “roh” manusia, dan dengan demikian, tetap bukan manusia sungguh-sungguh, bukan “manusia sejati”. Dari semua ini jelas bahwa trinitarianisme, dengan menuhankan Kristus sebagai Allah, telah menciptakan sebuah masalah yang jelas-jelas tidak ada jalan keluarnya. Allah dan manusia tidak dapat dipersatukan atau digabungkan seperti yang dibayangkan oleh trinitarianisme dalam gagasan “Allah-manusia”. Seandainya mereka tidak menciptakan masalah ini, maka tidak ada yang perlu mencari solusi. Ini bukanlah masalah Perjanjian Baru melainkan sebuah masalah yang diciptakan oleh gereja non-Yahudi. Jika Yesus adalah Allah, lalu bagaimana dengan keselamatan manusia? M asalahnya bahkan lebih rumit daripada itu: Seandainya Yesus adalah Allah, maka mustahil untuk dia berbuat dosa, karena Allah bahkan tidak bisa dicobai untuk berbuat dosa (Yak.1:13), apalagi berbuat dosa. Bagaimana mungkin dia yang tidak mampu berbuat dosa beridentik dengan orang-orang berdosa dan menjadi perwakilan mereka? Hanya dia yang mampu berbuat dosa (seperti Adam) tetapi tidak melakukannya—yang tanpa dosa bukan karena tidak dapat berbuat dosa, melainkan tidak berbuat dosa, yang berhasil sedangkan Adam gagal—hanya pribadi seperti itulah yang dapat mati bagi orang-orang berdosa. “Melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar” (Rm.5:19), tetapi jika ia taat karena ia tidak dapat dicobai, atau berbuat dosa, maka tidak ada artinya berbicara tentang “ketaatannya”. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 163 Justru hal yang menakjubkan tentang Yesus sebagai Juruselamat kita adalah ini: ia bisa saja berbuat dosa, tetapi ia tidak; ia bisa saja tidak menaati Bapa, tetapi ia tetap taat dalam segala keadaan. Jika itu bukan hal yang paling menakjubkan, lantas apa? Siapa saja yang pernah dengan serius menghadapi tantangan dalam menjalani kehidupan yang berkenan kepada Allah pasti akan dibuat kagum dengan keajaiban kehidupan Yesus yang sempurna. Bahkan seorang dengan tingkat kerohanian seperti Paulus mengakui, “Bukan seolaholah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya” (Flp.3:12). Apakah ada jawaban dalam Kitab Suci untuk masalah ini? Petunjuk pertama dapat ditemukan di Yohanes 1:18 “di pangkuan Bapa” yang mengungkapkan keakraban yang sangat dalam dengan Yahweh; dibandingkan dengan keakraban ini, Yohanes yang ada “di pangkuan” Yesus (Yoh.13:23) hanyalah cerminan redup. Ada suatu kedalaman dari kesatuan dengan Yahweh yang diungkapkan lewat ucapan: “Engkau di dalam aku dan aku di dalam Engkau”. Sebagian orang percaya pernah mengecap sedikit dari kenyataan yang diungkapkan oleh, “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia” (1Kor.6:17), karena hal ini bukan sekadar status melainkan sebuah realitas pengalaman (sama seperti menjadi “satu daging” melalui pernikahan bukan sekadar status melainkan sebuah realitas yang dialami). Namun kita tidak sepenuhnya memahami seperti apa kesatuan macam itu dalam kesempurnaannya. Akan tetapi, dalam hal Yesus kesatuan rohaniah dengan Yahweh ini menghasilkan suatu kedinamisan dalam kehidupannya yang dibuktikan oleh kehidupannya yang sempurna tanpa cacat. Seandainya gereja non-Yahudi mengerti bahwa realitas dalam Kristus itu bukan semacam kesatuan metafisik lewat penggabungan dua “hakikat” atau “kodrat” dalam Kristus (“kesatuan hipostatik” menurut terminologi trinitaris), dan seandainya mereka dapat dibe- 164 The Only True God baskan dari pemikiran politeistis (“tiga Pribadi”) dan filosofis Yunani, dan menangkap kedalaman dan kuasa dari kesatuan rohaniah (“satu roh”, 1Kor.6:17), maka mereka pasti akan dapat memahami kebenaran Kitab Suci tentang pribadi Kristus dan kesatuannya dengan sang Bapa. Kata-kata indah dari Ulangan 33:12 berlaku kepada Yesus pada kedalaman yang tidak berlaku kepada siapa pun, “Kekasih Yahweh … diam di antara bahu-bahu-Nya.” (NAU) Sesungguhnya itulah artinya berada “di pangkuan Bapa”! Hidup “di dalam Dia” menurut ajaran Yesus. Kristologi trinitaris: masalah yang jauh lebih serius untuk dipikirkan N amun masih ada sebuah masalah yang jauh lebih serius yang ditimbulkan oleh kristologi trinitaris: penyatuan antara Allah dan manusia yang sedemikian rupa sehingga Allah benar-benar menjelma ke dalam sebuah tubuh manusia secara permanen, dan dengan demikian menjadi seorang manusia, sehingga Allah dapat disebut sebagai manusia—seorang manusia tertentu bernama Yesus Kristus. Trinitarianisme disajikan sedemikian rupa sehingga Anselmus dapat berbicara tentang Allah yang menjadi manusia (dalam bukunya yang terkenal Cur Deus Homo?). Ini jauh melampaui antropomorfisme. Adalah satu hal untuk berkata bahwa Allah tampil dalam bentuk manusia di Perjanjian Lama, tetapi untuk berkata bahwa Allah menjadi seorang manusia seperti yang dipikirkan oleh trinitarianisme, adalah hal yang sama sekali berbeda. Ada baiknya kita mempertimbangkan apakah kita telah melangkah terlalu jauh dengan dogma Kristiani kita, sampai-sampai melanggar sifat Allah yang transenden; dan apakah imanensi-Nya telah diseret ke level sehingga para teolog tidak ragu-ragu berbicara tentang Allah yang tak takluk maut itu disalibkan dan mati di atas Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 165 kayu salib (bdk. J. Moltmann, The Crucified God). Sayangnya, trinitarianisme telah memungkinkan cara bicara seperti ini tentang Allah. Batas yang memisahkan Allah dan manusia bukan saja telah dikaburkan tetapi telah diruntuhkan. Ada beberapa hal yang tidak bisa dibenarkan betapa pun besarnya rasa takzim kita. Siapa saja yang sungguh-sungguh telah menangkap jiwa pewahyuan Allah dalam Perjanjian Lama pasti akan gemetar berbicara tentang Allah yang disalibkan dan mati layaknya manusia fana. Namun trinitarianisme telah membuat kita begitu mati rasa sampai kita berani berbicara seperti itu bahkan tentang Allah, yang menurut Kitab-kitab Suci dianggap penghujatan. Kita berani menginjak tempat yang tidak berani didekati oleh malaikat (bdk. surat Yudas). Karena karya ini berciri eksegetis dan ekspositoris, dan tidak dimaksudkan sebagai risalah teologis, pertanyaan di atas akan saya tinggalkan sebagai bahan renungan. Kesatuan rohaniah—bentuk kesatuan yang tertinggi K arena tidak rohaniah, kita lamban menyadari bahwa kesatuan rohaniah adalah bentuk kesatuan yang paling tinggi; tidak ada yang lebih tinggi. Malah, sejak abad ke-5 (Konsili Khalkedon, 451 M) dan seterusnya, gereja non-Yahudi secara resmi menuntut keyakinan pada sebuah syahadat yang menyatakan “penyatuan dua kodrat (dyo physes), yakni kodrat keilahian dan kodrat kemanusiaan, ke dalam satu hypostasis atau pribadi Yesus Kristus” (“Hypostatic Union”, Evangelical Dictionary of Theology, W.A. Elwell, Ed.). Perhatikan bahwa apa yang ditegaskan secara eksplisit adalah penyatuan Allah dan manusia melalui penyatuan “kodrat keilahian dan kodrat kemanusiaan”. Seandainya maksudnya adalah untuk menyatakan penyatuan Allah (sekali pun jika yang dimaksud adalah “Pribadi Kedua”) dengan manusia dalam Kristus, kenapa tidak dinyatakan saja dengan 166 The Only True God gamblang? Kenapa memakai istilah “dua kodrat”? Karena seharusnya jelas bahwa “kodrat” dari suatu pribadi bukanlah pribadi itu seutuhnya. Dan jika yang dimaksud adalah pribadi itu seutuhnya, kenapa berbicara hanya tentang “kodrat”nya? Di 2Petrus 1:4 kita pun dinyatakan sebagai orang-orang yang “mengambil bagian dalam kodrat ilahi (physis, kata yang sama dengan “kodrat” dalam syahadat itu)”. Apakah memiliki “kodrat ilahi” menjadikan kita Allah atau setara dengan Allah, atau menjadi bagian dari “Trinitas”? Tentu saja tidak. Lalu kenapa memiliki “kodrat” ilahi mengangkat Kristus menjadi Allah, atau menunjukkan bahwa ia adalah salah satu anggota dari “Ke-Allahan”? Dan karena “kodrat” tidak sama dengan pribadi itu seutuhnya, maka bukankah penyatuan dari “dua kodrat” dalam satu pribadi semacam ini akan menghasilkan suatu pribadi yang bukan sungguhsungguh Allah dan juga bukan sungguh-sungguh manusia? Akan tetapi, dengan cara demikian trinitarianisme ingin menandaskan bahwa ia itu “sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia”! Bagaimana gereja bisa berakhir dalam keadaan yang begitu membingungkan? Ini disebabkan oleh kegagalan dalam memahami kebenaran Kitab Suci bahwa kesatuan rohaniah (“satu roh”, 1Kor.6:17) merupakan bentuk kesatuan yang paling tinggi dan mendalam; yang menyebabkan mereka mencari semacam kesatuan “hakikat” atau “kodrat” secara metafisis dalam pribadi Kristus, sehingga terciptalah istilah “kesatuan hipostatik”, yang mereka anggap sebagai kesatuan yang lebih tinggi. Namun, sebagaimana telah kita lihat, kesatuan dari “dua kodrat”, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia, hanya berarti pribadi yang bersangkutan memiliki atribut-atribut yang diwakili oleh “kodrat-kodrat” itu. Akan tetapi, apa yang ingin ditegaskan oleh syahadat Khalkedon melalui doktrin “kesatuan hipostatik” adalah bahwa Allah dan manusia sungguh-sungguh dipersatukan di dalam Kristus sehingga Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 167 “kodrat manusia secara tidak terpisahkan bersatu untuk selamalamanya dengan kodrat ilahi di dalam satu pribadi Yesus Kristus, tetapi masing-masing kodrat itu tetap berdiri sendiri, utuh, dan tidak berubah, tanpa campuran atau kerancuan sehingga pribadi yang satu itu, Yesus Kristus, sungguh-sungguh Allah dan sungguhsungguh manusia” (“Hypostatic Union”, Evangelical Dictionary of Theology, W.A. Elwell, Ed.). Bagaimana mungkin seseorang memiliki kodrat yang “seutuhnya” tanpa memiliki pribadi yang seutuhnya? Apa yang gagal dilihat oleh trinitarian adalah bahwa hanya dalam hal kesatuan rohaniah sajalah Allah dan manusia bisa bersatu sedemikian rupa sehingga tetap “berdiri sendiri, utuh, dan tidak berubah, tanpa campuran atau kerancuan” dalam satu pribadi: 1Korintus 6:17 “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.” Lagipula, gagasan “kesatuan kodrat” yang metafisis semacam ini (apapun artinya itu) mau tidak mau mengkompromikan kemanusiaan Kristus, dan ini menimbulkan konsekuensi soteriologis yang paling serius. Akan tetapi, Gereja bersikeras dengan dogmanya, dan mengabaikan fakta bahwa doktrin Alkitabiah tentang keselamatan telah dikompromikan, tetapi kebanyakan orang Kristen tidak menyadari hal ini. Adalah penting untuk kita menyadari bahwa seorang Kristus yang bukan sungguh-sungguh manusia tidak dapat menyelamatkan mereka yang sungguh-sungguh manusia. Justru karena Kristus Yesus ialah sungguh-sungguh manusia maka ia dapat sungguhsungguh menyelamatkan kita. Tak seorang pun yang “sungguhsungguh Allah” dapat menjadi “sungguh-sungguh manusia”. Itu juga sebabnya setiap bahasan tentang makna Logos di Yohanes 1 harus mempertimbangkan kebenaran ini, dan tidak membiarkan dirinya terbawa oleh gagasan-gagasan dan opini-opini metafisis. 168 The Only True God Gagasan Allah-manusia dikenal baik oleh bangsa Yunani yang mitologinya sarat dengan dewa-dewi yang dulunya adalah laki-laki atau perempuan. Tidak heran kalau bangsa Yunani, atau kaum terpelajar Yunani, para pimpinan gereja non-Yahudi bisa mencetuskan gagasan kesatuan kodrat ilahi dan manusiawi dalam satu pribadi Yesus Kristus. Mereka hanya merumuskan ajaran Alkitabiah dari segi pemikiran budaya Yunani, yang telah menjadi kebiasaan mereka dalam berpikir dan dalam mengungkapkan diri mereka. Tampaknya kebanyakan dari mereka masih belum cukup mendalami ajaran Alkitabiah untuk dapat menghayati jiwanya dan berpikir menurut polanya, bertolak-belakang dengan orang percaya Yahudi mula-mula. Semakin gereja dipenuhi oleh bangsa non-Yahudi akibat dari penyebaran Injil yang efektif ke seluruh dunia, dunia pun menyebar ke dalam gereja, dan pada saat Konsili Nikea pada tahun 325 M dunia (khususnya dalam bentuk Kaisar Konstantinus) mulai mengambil kendali secara efektif atas gereja. Konstantinuslah yang menjadikan agama Kristen agama utama dari Kekaisaran Romawi, dan dialah yang mengundang Konsili Nikea. “Rahasia Kristus” A pa maksud kita ketika berbicara tentang Yesus sebagai “Allah sejati dan manusia sejati”? Apa sebenarnya yang sedang kita bicarakan? Kita tentu tidak bermaksud mengatakan bahwa ia adalah sebagian Allah dan sebagian manusia. Akan tetapi, apa lagi artinya kalau bukan itu? Bahwa ia adalah semuanya Allah dan semuanya manusia, seutuhnya Allah dan seutuhnya manusia, 100% Allah dan 100% manusia (sehingga jumlahnya 200%!)? Namun, itu bukan sebuah kemungkinan ontologis (maupun logis). Lantas, apa artinya “Allah sejati dan manusia sejati”? Sebagaimana bisa diduga, satusatunya jalan keluar adalah dengan bersurut ke alam “misteri”. Akan Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 169 tetapi, itu tentu bukan maksud Paulus ketika ia berbicara tentang “misteri Kristus” (Ef.3:4; Kol.4:3), sebab dengan istilah ini ia tidak merujuk kepada semacam teka-teki logis ataupun ontologis, melainkan kepada rencana keselamatan Allah yang tersembunyi berabadabad yang lalu tetapi kini dinyatakan dalam Kristus dan digenapi melalui kematian dan kebangkitannya. Namun masalahnya bukan saja terletak pada pengangkatan Yesus ke tingkatan “Allah”, tetapi juga pada konsekuensi dari menyembah dia sebagai Allah, yang telah menurunkan “Allah Bapa kita” ke tempat sekunder di dalam hati dan pikiran kebanyakan umat Kristen. “Pribadi pertama” dari “Ke-Allahan” dalam kenyataannya telah menjadi “pribadi kedua”, sekalipun Ia masih dibiarkan memegang gelar kehormatan “Pribadi Pertama”—yang ditulis dengan huruf kapital supaya kelihatan lebih sedap dipandang. Sang Anak telah menggantikan sang Bapa sebagai pusat pengabdian umat Kristen. Paulus, sebagaimana juga semua penulis PB lainnya, akan dibuat ngeri dengan kondisi seperti ini. Saya sekarang mulai menginsafi bahwa Kristus sendiri akan merasa jijik dengan hal ini. Ajarannya telah diselewengkan menjadi sesuatu yang tidak diajarkan olehnya. Orang-orang pilihan sudah disesatkan (bdk. Mat.24:24). Sekarang kita bisa mengerti mengapa penghakiman akan dimulai dari rumah Allah (1Ptr.4:17). Begitu gereja mengambil posisi dogmatis bahwa Kristus adalah Allah dan dengan demikian setara dengan Allah dalam segala hal, maka kesimpulannya adalah menyembah Kristus adalah sama dengan menyembah Allah, Bapa kita. Dari menyembah dia beserta sang Bapa, tanpa sepengetahuan kita tergelincir ke dalam penyembahan kepada Yesus alih-alih sang Bapa. Lagipula, sekalipun ketika kata “Bapa” dipakai dalam doa, sebenarnya Kristuslah yang dimaksud dengan istilah itu. Pembenaran atas hal ini diklaim dari kitab Yesaya (Yes 9:5, “Bapa Yang Kekal”), sedangkan perintah Yesus untuk tidak menyebut seorang pun selain Allah sendiri 170 The Only True God sebagai “Bapa” (Mat.23:9: “karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga”), seperti biasanya, tidak diindahkan. “Misteri Kristus”, Berkat atau Kutuk—bergantung pada sikap seseorang Sebenarnya ada berbagai aspek dari misteri Kristus; sebuah realitas yang rumit dan tidak sederhana. Satu aspek melibatkan prinsip bahwa realitas yang sama itu dapat menjadi berkat atau kutuk bergantung pada sikap seseorang terhadap realitas itu. Jadi, 2Korintus 2:15-16, “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa. Bagi yang terakhir kami adalah bau kematian yang mematikan dan bagi yang pertama bau kehidupan yang menghidupkan”—aroma Kristus yang sama membawa hidup kepada seseorang dan kematian kepada yang lain. Di Lukas 20:17 batu penjuru tersebut (di ay.18) menjadi penyebab kehancuran bagi mereka yang menolaknya dan mereka yang jatuh di bawah penghakiman. Dengan cara yang sama “misteri Kristus” termasuk kenyataan luar biasa bahwa ia dapat menjadi keselamatan bagi sebagian orang dan kebinasaan bagi yang lain. Oleh karena itu, konsekuensi dari menyalahtafsirkan “misteri” tersebut adalah sangat serius; ini adalah soal hidup dan mati. Prinsip umum bahwa berkat dapat menjadi kutuk juga terlihat dari prinsip, “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut” (Luk.12:48). Banyak diberi adalah suatu berkat, tetapi menyalahgunakan berkat akan mendatangkan penghakiman. Dan semakin besar berkatnya, semakin berat penghakimannya jika berkat itu disalahgunakan. Berkat paling besar yang pernah diberikan kepada manusia adalah “karunia-Nya yang tak terkatakan itu” (2Kor.9:15)—Kristus. Menyalahgunakan karunia Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 171 ini juga akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang tak terkatakan. Kitab Suci menerangkan bahwa Yesus adalah jalan kepada Allah, bukan destinasi, yaitu Allah Sendiri. Yesus adalah sarana, bukan sasaran. Jika sekarang kita menjadikan dia sasaran ketimbang sarana, maka kita telah menyimpangkan tujuan Allah, dan berkat Kristus akan menjadi kutuk. Dengan menjadikan Kristus setara dengan sang Bapa dalam pengertian trinitaris, dengan menjadikan dia “sekutu” Allah, berarti menganut dwiteisme atau triteisme, dan dengan demikian pemujaan berhala, yang mengakibatkan terkena kutukan Allah. TUHAN telah memberi peringatan, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan {atau di samping}-Ku” (Kel.20:3; Ul.5:7); kita mengabaikannya dengan harga kekal yang tinggi. Yesus sendiri mengajar murid-muridnya untuk mengabdi sepenuhnya kepada “Allah yang Esa” (Yoh.5:44; Mrk.12:29,30), tetapi kita (umat Kristen) memilih untuk menyembah Yesus sebagai Allah! Siapa saja yang mempelajari ajaran Yesus dengan cermat akan menyadari bahwa hal itu akan membuatnya merasa sangat ngeri. Jika kita berpegang pada monoteisme Alkitabiah dan menyembah hanya Allah saja maka kita akan sejalan dengan ajaran Yesus, dan kita pasti tidak akan berada di jalan yang salah dan menuju ke arah yang salah, ke arah bencana rohani. Semua ini berarti bahwa dalam hikmat dan maksud Allah, Kristus adalah sarana yang dipakai Allah untuk memisahkan domba dari kambing, orang percaya yang sejati dari yang palsu. Sebenarnya, di Perumpamaan Domba dan Kambing, Kristus menjadi patokan yang dipakai untuk memisahkan domba dan kambing dan sekaligus orang yang memisahkan mereka berdasarkan patokan itu (Mat.25:31-46). Perumpamaan tersebut berbicara dari segi tindakantindakan praktis, tetapi intinya iman adalah “iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6) dan bukan hanya suatu keyakinan intelektual atau abstrak. 172 The Only True God Sesuatu yang sangat menggelisahkan H al yang sangat menggelisahkan saya adalah dalam trinitarianisme, kita telah mengambil apa yang dengan sendirinya sangat baik, yaitu pribadi dan karya Yesus Kristus, dan dengan itu menggeser sang kebaikan mutlak, yakni, Tuhan Allah Yahweh Sendiri sebagai tumpuan iman dan penyembahan kita. Tak pelak, hal ini dilakukan karena kita telah tertipu oleh si Jahat, dan bukan oleh niat yang disengaja untuk berbuat jahat. Namun, bagaimanapun juga, memakai kebaikan untuk melawan sang Kebaikan tertinggi dengan menggantikan yang terakhir dengan yang terdahulu, merupakan puncak kejahatan. Hal itu merupakan kejahatan halus yang berfungsi sebagai metode penipuan paling efektif yang dirancang untuk memikat mereka yang mengejar kebaikan, yakni, “orang-orang kudus”. Tampaknya Yesus sendiri telah melihat hal ini sebelumnya secara profetis ketika ia berkata, “Mengapa kaukatakan aku baik? Tak seorangpun yang baik selain Allah saja” (Mrk.10:18; Luk.18:19). Tentu saja ia tidak menyangkal bahwa ia baik, tetapi ia tidak ingin digunakan untuk menggantikan Dia yang sendiri adalah Kebaikan absolut, dan dia pun tidak pernah mengklaim dirinya sebagai Kebaikan absolut itu. Yesus dengan tegas menyatakan bahwa “kebaikan” merupakan kualitas yang hanya dimiliki oleh Allah Yahweh saja dan tidak dimiliki oleh yang lain (oudeis, “tak seorangpun”, BDAG). Semuanya yang sungguh-sungguh baik berasal dari Dia. Dalam keadaan gereja yang suram saat ini, niscaya sudah saatnya untuk mengeluarkan seruan untuk menghimpun seperti yang dilakukan Musa ketika orang Israel berpaling dari Yahweh dan membuat allah mereka sendiri: ‘maka berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan itu serta berkata: “Siapa yang memihak kepada TUHAN (Yahweh) datanglah kepadaku!” Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi’ (Kel.32:26). Kita tidak lagi hidup di Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 173 zaman Musa, jadi perintah di ayat berikutnya untuk “Baiklah kamu masing-masing mengikatkan pedangnya pada pinggangnya dan berjalanlah kian ke mari melalui perkemahan itu dari pintu gerbang ke pintu gerbang…” tentunya bukan berarti menggunakan pedang secara harfiah, tetapi hari ini berarti pedang Roh, Firman Allah (Ef.6:17; Ibr.4:12). Bahaya penyembahan berhala Surat Yohanes yang Pertama (1Yohanes) diakhiri secara mengejutkan dan mendadak dengan peringatan: “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala” (1Yoh.5:21). Akhir surat yang mendadak dan singkat ini tampaknya dirancang untuk menanamkan peringatan yang serius ini di dalam hati dan pikiran kita. Namun, menurut kita, orang Kristen “sejati” tidak mungkin jatuh ke dalam “dosa yang mendatangkan maut” (1Yoh.5:16,17), yakni penyembahan berhala, dan kalau hal ini tidak mungkin terjadi, maka peringatan itu berlebih-lebihan. Namun Allah lebih mengenal kita daripada kita mengenal diri kita sendiri, itulah sebabnya Ia mengeluarkan peringatan keras ini melalui hamba-Nya. Tidak mengacuhkan peringatan itu sama artinya dengan binasa. Justru karena penyembahan berhalalah Israel binasa sebagai sebuah bangsa ketika mereka dikirim ke Pembuangan. Kisah bagaimana Israel membiarkan dirinya tergoda oleh penyembahan berhala membentuk sebagian besar dari Perjanjian Lama. Israel telah “dipesonakan” (Gal.3:1) oleh ilah-ilah lain dan para penyembahnya sampai-sampai mereka bukan saja menutup telinga mereka terhadap himbauan-himbauan dan peringatan-peringatan Yahweh yang mendesak melalui para nabi-Nya, tetapi juga membungkamkan suara mereka dengan membunuh mereka (bdk. Mat.23:34,35; dst.). Ciri penyembahan berhala, pertama-tamanya, adalah ia dibuat oleh manusia, dan bertentangan dengan apa yang diwahyukan oleh 174 The Only True God Allah. Akan tetapi, orang bisa mengambil sesuatu yang telah diwahyukan, misalnya Alkitab, dan menjadikannya sasaran penyembahan. Ini disebut “bibliolatri” (penyembahan Alkitab). Namun, hal ini relatif jarang terjadi, karena biasanya unsur penting kedua dari penyembahan berhala adalah ciri antropoidnya (menyerupai manusia), yaitu, allah buatan manusia pada umumnya memiliki ciri-ciri manusia, sehingga memudahkan manusia untuk beridentifikasi dengannya. Dalam kasus Yesus, sesuatu yang sangat halus dan berbahaya bisa terjadi (dan sudah terjadi). Jika ia adalah sekaligus Allah dan manusia, maka ini berarti bahwa ia bukan saja manusia, tetapi ia lebih daripada Allah, sebab Allah itu “hanya” Allah, sedangkan Yesus itu keduanya Allah dan manusia. Jelas akan lebih sulit untuk beridentifikasi dengan Allah yang sepenuhnya transenden, tidak kelihatan, dan tidak terjangkau; tetapi jika Yesus adalah Allah yang memiliki tubuh manusiawi yang nyata seperti yang kita miliki, beridentifikasi dengan dia akan jauh lebih mudah. Tidak heran kalau ia dapat dengan mudahnya menggantikan Bapa dalam doa dan penyembahan kita. Kita nyaris tidak perhatikan bahwa kita telah melakukan sesuatu yang teramat serius, yakni, kini kita melihat Allah sebagai “hanya” Allah, tetapi Yesus sebagai Allah tambah manusia. Kesempurnaan Allah, bagi kita, tidak dipandang sempurna karena kekurangan kualitas manusiawinya. Namun kekurangan ini ditemukan dalam kesempurnaan Kristus, yang adalah Allah sekaligus manusia dalam satu pribadi. Trinitarianisme (tanpa disadari tentunya) telah menciptakan sebuah super-berhala, bahkan lebih hebat daripada Allah sendiri, karena doktrin ini menyiratkan, hampir tak kentara, bahwa Allah “disempurnakan” (dari sudut pandang manusiawi) oleh penambahan kualitas manusiawi itu! Ini merupakan hasil yang tak terelakkan dari sebuah doktrin yang bersikukuh bahwa Kristus itu 100% Allah (“Allah sejati”) dan 100% manusia (“manusia sejati”) Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 175 (200% (!), berlawanan dengan Allah yang 100%, Allah “saja”— seberapa dekatnya semua ini dengan penghujatan? Masih adakah rasa “takut akan Allah” di dalam hati manusia?). Efeknya adalah Allah Bapa, yang sebenarnya menjadi jantung dan pusat dari segala sesuatu, telah dikesampingkan dalam Kekristenan trinitaris. Dalam menegaskan bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati, trinitarianisme rupanya tidak mempertimbangkan sama sekali apakah pernyataan yang tidak masuk akal seperti itu, mungkin atau tidak. Apakah umat Kristen sungguh-sungguh merasa puas memperlakukannya sebagai “misteri” yang tak terjangkau oleh akal manusia? Adalah menyedihkan bagi kebenaran jika sesuatu yang tidak masuk akal begitu saja diklasifikasikan sebagai “misteri”. Ini jelas-jelas bukan definisi kata “misteri” sebagaimana dipakai dalam Perjanjian Baru. Namun bagi orang yang berhenti sejenak untuk memikirkan hal ini, absurditas logis dari klaim bahwa suatu pribadi bisa menjadi “100%” manusia dan juga “100%” Allah, akan terlihat jelas dari fakta bahwa “pribadi” semacam itu akan menjadi 200%, dan dengan demikian, menjadi dua pribadi, bukan satu! 100% (sebagai padanan matematis untuk “sejati”) tidak dimaksudkan dalam istilah yang murni kuantitatif, tetapi sebagai cara untuk mencakup apa saja yang dibutuhkan oleh kata “sejati”. Sebab, jika seseorang bukan 100% manusia, bagaimana mungkin ia disebut manusia sejati? Seekor simpanse dikatakan memiliki kira-kira 98% DNA manusia, tetapi apakah itu memenuhi syarat sebagai manusia? Selain kekurangan 2% DNA manusia, tentu saja simpanse juga kekurangan “roh manusia”. Siapa saja yang tidak memiliki roh manusia bukanlah manusia, dan ini jauh lebih penting daripada DNA. Pada akhirnya, dogma trinitaris mewakili kegagalan dalam memahami keduanya Allah dan manusia. Allah itu mutlak sempurna dalam diri-Nya dan tidak ada apa-apa yang dapat ditambahkan kepada kesempurnaan-Nya. Sedangkan mengenai 176 The Only True God Yesus sebagai Allah-manusia, “Allah sejati dan manusia sejati”, jika kita berbicara memakai metafora matematis dalam bentuk persentase, dan mengakui fakta bahwa ketika berbicara tentang menjadi satu “pribadi”—bukan performanya—tak seorang pun bisa menjadi lebih dari 100%, maka bukankah ini berarti ia hanya bisa menjadi 50% Allah dan 50% manusia? Dan itu juga berarti ia tidak bisa menjadi sungguh-sungguh Allah ataupun manusia, bila Allah dan manusia dimengerti menurut terminologi Alkitabiah. Namun, seperti yang telah kita lihat, gagasan Allah-manusia merupakan hal yang lazim dalam pemikiran Yunani yang mendominasi budaya orang kafir. Dewa-dewi Yunani dan Romawi adalah manusiamanusia yang didewakan dan dimuliakan; mereka telah menjadi entitas mitologis, dan persyaratan kebenaran dan logika tidak berlaku pada mitologi. Tak seorang pun dapat membaca sastra klasik Yunani tanpa menjumpai nama-nama dari “ilah-ilah” mereka yang sekian banyak, persis seperti yang digambarkan oleh Paulus (1Kor.8:5). Orang-orang yang dibesarkan dalam budaya semacam ini tidak akan sulit mempercayai Yesus sebagai Allah-manusia. Disesatkan oleh ide-ide religius dan filosofis Yunani Kita tidak menyadari bahwa kita telah disesatkan oleh “hikmat” atau sofistri teologis Yunani, dan sebagai akibatnya, dijauhkan dari hikmat pewahyuan Alkitabiah (kedua hikmat yang berbeda dan bertentangan ini dibahas di 1Kor.1:17-2:13). Dalam Alkitab, misalnya, Allah (Yahweh) bukanlah suatu “hakikat”. Adakah orang yang pernah menyodorkan sepotong bukti Alkitabiah untuk membenarkan pandangan bahwa kita bisa berbicara tentang Allah dengan istilah “hakikat”? Namun para pemimpin Yunani gereja tampaknya tidak ragu menggunakan istilah ini. Setiap teolog seharusnya sadar bahwa definisi Allah sebagai suatu “hakikat” ini, di mana tiga pribadi eksis bersama, merupakan produk dari sofistri Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 177 teologis Yunani—sofistri yang disahkan dengan memanfaatkan sekumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci, dan yang telah berhasil menyesatkan kita semua. Spekulasi-spekulasi filosofis Yunani telah menjauhkan kita dari firman Allah. Namun ada hal yang lebih serius untuk dipertimbangkan: Pernahkah terlintas dalam pikiran kita bahwa berbicara tentang Allah sebagai “hakikat” bisa jadi adalah perbuatan menghujat? Apakah mungkin pikiran dan roh kita telah menjadi begitu mati rasa oleh karena “aklimatisasi” kultural sehingga kita telah menjadi terbiasa dengan istilah tersebut sampai-sampai kita tidak lagi memperhitungkan kemungkinan tersebut? Bukankah ini kurang lebih seperti orang yang terbiasa mengumpat dan tidak menyadari betapa kasar perkataannya? Akankah Allah menuntut pertanggungjawaban dari kita karena telah menggambarkan Dia sebagai “hakikat”, atau “zat” (Latin ‘Substantia’; Yunani Hupostasis atau ousia) dari tiga pribadi ilahi? Sedangkan untuk pemikiran Yunani, Garry Wills (Professor of History Emeritus di Northwestern University) menguraikannya dengan ringkas tetapi jelas, “Paulus tidak pernah menampilkan Yesus sebagai Allah orang Yunani, sebagai Hikmat dari Plato, sebagai Penggerak yang Tidak Digerakkan dari Aristoteles” (What Paul Meant, Penguin Books, 2006, hlm.127). Pencarian teks-teks bukti oleh trinitarian Apa psikologi di balik tekad kita untuk membuktikan “Yesus Kristus” itu mutlak setara dalam segala hal dengan “Allah Bapa kita”? Di dalam mengejar tujuan ini dengan penuh semangat kita tidak berhenti untuk mempertimbangkan fakta bahwa tidak satu kitab pun dalam PB yang memiliki tujuan tersebut, sehingga kita mendapati diri kita tidak sejalan dengan PB. Sebenarnya, tidak dapat diperlihatkan kalau kata “Allah” (dalam pengertian trinitarisnya, 178 The Only True God yakni, tokoh yang setara bersama dengan Bapa) pernah diterapkan kepada Kristus dalam PB. Jadi, usaha untuk membuktikan keilahian Kristus harus bergantung pada gelar-gelar yang telah kita lihat di atas, seperti, “anak Allah”. Untuk saya pribadi, saya mengakui sekali lagi bahwa dalam hal Kristologi, saya telah membiarkan trinitarianisme menguasai eksposisi saya di masa lalu. Saya menyelidiki Kitab-kitab Suci untuk menemukan teks-teks bukti untuk keilahian Kristus. Saya masih memiliki Alkitab tua yang ditandai pada setiap tempat yang memuat teks semacam itu, yang disertai oleh banyak catatan. Sekarang saya merasa agak geli atau bahkan lucu ketika mendengar orang mengutip teks-teks yang sama itu kepada saya untuk mendukung trinitarianisme mereka. Konsekuensi-konsekuensi praktis dari Trinitarianisme Apakah konsekuensi-konsekuensi dari Kristologi trinitaris? Dengan menuhankan Kristus menjadi setara dengan Allah, “Kristus” dan “Allah” sekarang memiliki arti yang sama. Akibatnya, berdoa dan menyembah Yesus adalah berdoa dan menyembah Allah. Allah Bapa dikurangi menjadi salah satu dari tiga, dan itu pun bukan yang utama. Begitu sang Bapa dipinggirkan, terbukalah pintu untuk menjadikan pribadi-pribadi lain sebagai sasaran utama dari doa dan pengabdian kita. Akibatnya, Yesus menjadi sentral dalam Protestanisme “aliran utama”; dalam Pantekostalisme pula Roh menjadi yang utama; sedangkan untuk sebagian besar Katolikisme Roma, Perawan Maria menggantikan ‘pribadi-pribadi’ ilahi tersebut, setelah diangkat statusnya ke tingkatan yang serupa. Seandainya mereka diminta berhenti berdoa dan beribadah kepada sosok-sosok yang telah mereka tuhankan itu, mereka akan merasa begitu bingung sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Tampaknya jelas bahwa, setelah disesatkan oleh trinitarianisme, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 179 mereka nyaris tidak tahu bagaimana harus berdoa dan beribadah seandainya mereka harus berhenti menyembah allah pilihan mereka sendiri. Mereka telah begitu disesatkan sehingga mereka akan merasa kesulitan berdoa kepada sang Bapa, sebab itu akan terasa seperti berdoa kepada sosok yang asing. Ajaran Perjanjian Baru sama sekali berbeda. PB jelas mengajarkan bahwa Allah Bapa (bukan dalam arti trinitaris) selalu menjadi sasaran utama dari doa dan ibadah kita. Begitulah persisnya cara Yesus berdoa, dan ia mengajar murid-muridnya untuk berbuat hal serupa. Ia selalu mengajar kita untuk berdoa kepada Bapa, yang seharusnya sudah jelas dari “Doa Bapa Kami”. Tujuan utama dari pelayanannya adalah untuk membawa kita kepada suatu hubungan langsung dengan Bapa yang dikenal dan dikasihi olehnya. Ia ingin kita berdoa kepada “Abba, Bapa” sama seperti yang ia lakukan. Ini terlihat dari ajarannya, dari kematiannya (untuk membuka jalan kepada perdamaian dengan Dia), dan dari pengutusan Roh guna menginspirasi serta menguatkan kita untuk berdoa kepada Abba. Kristus sudah pasti akan merasa ngeri melihat ajarannya dicampakkan oleh sebuah doktrin yang meminggirkan sang Bapa atas namanya. Alih-alih mengikuti ajaran dan teladannya, muridmuridnya telah menaruh dia di tengah-tengah, dan dengan demikian telah memindahkan sang Bapa dari kedudukan yang jelas dimiliki-Nya dalam PB secara keseluruhan—dan lagi pula, semuanya ini dilakukan dengan mengabaikan ajaran Yesus sendiri. “Mengapa kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46; bdk. Mat.7:21-23) Jadi apakah menjadi soal jika kita terus berpegang pada doktrin Trinitas? Akankah hal itu mempengaruhi keselamatan kita? Tidak— jika tidak menjadi soal apakah kita mendengarkan dan menaati ajaran Yesus. Barangkali kita tidak pernah mengira bahwa kata-kata Yesus di Matius 7:21-23 mungkin berlaku kepada kita. Namun alangkah baiknya kalau kita mencamkan nasihat Paulus untuk 180 The Only True God mengerjakan “keselamatanmu dengan takut dan gentar”, sesuatu yang diyakinkan kepada kita oleh gereja Injili bahwa hal itu tidak perlu. Kata mereka, “takut dan gentar” (2Kor.7:15; Flp.2:12) mencerminkan kurangnya iman yang, menurut mereka, sebagai iman yang berjalan dalam keberanian kudus! Paulus bisa mendapatkan sebuah pelajaran iman dari para pengkhotbah yang berani ini! Mungkinkah kita juga “mendengar tetapi tidak mengerti”? Apakah hati kita telah dikeraskan karena kita telah berada di bawah kuasa penipuan? Dapatkah kita melihat ajaran Yesus dalam keempat Injil itu dan tidak menangkap maksudnya? “Kerajaan Allah”, sebagaimana kita seharusnya sudah tahu sekarang, adalah unsur utama dalam pengajaran Yesus. Kerajaan itu pertama dan terutama adalah kerajaan milik Allah, sang Allah yang disapa oleh Yesus sebagai “Bapa”. Namun, kita ditipu oleh trinitarianisme yang mengatakan kepada kita bahwa itu adalah kerajaan milik Yesus, karena ia adalah Allah. Nah, memang benar bahwa dalam arti tertentu itu adalah kerajaan Yesus. Dalam arti apa? Dalam arti bahwa Allah telah mengangkat dia sebagai raja dalam kerajaan-Nya, dalam arti yang sama seperti ketika Daud, bapa Yesus (“anak Daud” merupakan gelar yang disandangkan kepada Yesus dalam Injil), diurapi menjadi raja Israel yang, sebagai kerajaan teokrasi, adalah kerajaan milik Allah. Campuran kebenaran dan kepalsuan macam inilah yang dimanfaatkan oleh trinitarianisme untuk mencengkram orang. Akan tetapi, setiap orang yang membaca Inijl tanpa prasangka niscaya akan tahu bahwa ketika Yesus mengumumkan Kerajaan itu, ia sedang mengumumkan kerajaan Allah, bukan kerajaannya sendiri. Unsur pokok lainnya dalam pelayanan Yesus, mengingat dekatnya Kerajaan tersebut (ditekankan dalam Sinoptik), adalah membawa orang ke dalam suatu hubungan yang menyelamatkan dengan Allah yang harus berpangkal dari pertobatan. Begitu ada Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 181 pertobatan, Yesus memanggil mereka ke langkah berikutnya: sebuah hubungan yang penuh kepercayaan dan akrab dengan Bapa sebagai “Abba”. Di Injil Yohanes, Yesus mengajarkan murid-muridnya bahwa keakraban ini didasari oleh keberdiaman timbal-balik (“aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku”, Yoh.17:23, dst.). Dari semuanya ini seharusnya mutlak jelas, terutamanya dari pengajaran Yesus dalam Injil Yohanes, bahwa Bapa adalah yang utama dalam pelayanan Yesus. Sentralitas sang Bapa dalam Injil Yohanes (dan juga dalam tulisan Paulus dan sisa PB) membuat kita berhenti sejenak dan merenungkan doktrin umum tentang Allah (“theology proper”) dalam teologi Kristiani dewasa ini, dan semenjak abad ke-4. Allah diajarkan pertama dan terutama sebagai suatu Sosok transenden, di mana transendensi berarti “eksistensi di atas dan terpisah dari dunia material” (Encarta). Allah Bapa, dalam doktrin trinitaris, sudah tentu adalah transenden; sedangkan Anak Allah sepertinya adalah imanen, setidaknya berkaitan dengan pelayanan bumiahnya. Dalam doktrin ini Bapa dan Anak benar-benar berfungsi dalam ranah yang berbeda. Hal yang perlu dipahami adalah bahwa doktrin transendensi ini berasal dari filsafat Yunani (Plato dan Aristoteles) dan bukan dari Alkitab Ibrani. Gagasan Yunani tentang transendensi ilahiah ini dihancurkan oleh pengajaran Yesus di Injil Yohanes, ketika ia menjelaskan bahwa sang Bapa terlibat secara intim dalam setiap aspek kehidupan dan pekerjaannya (Yesus), dan dalam seluruh karya keselamatan umat manusia. Hal ini juga muncul dalam ketiga Injil Sinoptik, di mana Kerajaan Allah bukan sesuatu yang ada di surga semata-mata atau hanya di masa depan, tetapi sesuatu yang sudah beroperasi di dunia sekarang ini dan, pada akhirnya, akan menang atas segala kuasa musuh di bumi. Hal ini juga diajarkan oleh Paulus; dan perspektifnya hampir sama dengan perspektif Yohanes. Kitab Wahyu menaruhnya demi- 182 The Only True God kian, “Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tu[h]an kita dan dia yang diurapi-Nya, dan ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya” (Why.11:15). Namun, gagasan Yunani tentang Allah, sang Bapa, sebagai sepenuhnya transenden dan tidak peduli dengan urusan-urusan dunia, adalah tidak sesuai dengan Kitab Suci, dan secara efektif mengasingkan Dia dari kita sebagai Sosok yang jauh dan sulit didekati. Tidak heran, kita tidak benar-benar beridentifikasi dengan 1Yohanes 1:3, “Dan persekutuan kami adalah persekutuan dengan Bapa dan dengan Anak-Nya, Yesus Kristus”. Mengingat jauhnya Bapa seperti yang tersirat dalam ajaran Kristen yang telah kita terima, bagaimana kita dapat bersekutu dengan sang Bapa? Oleh karena itu, hampir seluruh umat Kristen Injili sekarang ini bersekutu dengan sang Anak sambil sesekali berbasa basi (pay lip service) dengan Bapa sebagai sikap sopan terhadap Dia. Semuanya ini lahir dari kegagalan kita dalam memahami ajaran Kitab Suci tentang imanensi Bapa dan keterlibatan-Nya yang mendalam di dalam keselamatan kita. Akibatnya, kehidupan rohaniah kita tidak lagi seimbang dan malah menyimpang bila dinilai dalam terang firman Allah. Jika suatu hari nanti kita, berkat kasih-karunia, dianugrahi kehormatan diizinkan masuk Surga, barangkali kita akan langsung menuju kepada Yesus, dan menyembah dia dengan rasa syukur dan pujian, dan tidak akan (seperti seluruh kumpulan orang banyak surgawi yang berulang-kali dilukiskan dalam Kitab Wahyu) menyembah Bapa yang duduk di atas takhta. Betapa tidak sesuainya kita dengan seluruh kumpulan orang banyak itu di surga—termasuk Tu[h]an kita Yesus Kristus! Dan apa tujuan dari salib, yaitu, kematian Yesus? Apakah tujuan utama Yesus untuk mendamaikan dunia dengan dirinya? Apakah pengorbanan “Anak Domba Allah” itu untuk mendamaikan umat manusia dengan Anak Domba alih-alih dengan Allah? Menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu sama saja seperti menjawabnya, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 183 setidaknya bagi orang yang memiliki sedikit pemahaman akan Kitab Suci. Lantas, apa yang begitu membutakan kita sehingga apa yang seharusnya sangat jelas menjadi tidak jelas? Semoga Tuhan memberikan rahmat. Yesus sebagai Tu[h]an S ituasi dengan trinitarianisme bukan soal sederhana yang bisa diterima atau ditolak begitu saja, yaitu, tidak jadi soal apakah Anda ingin tetap berpegang kepadanya atau meninggalkannya. Sekarang semestinya jelas nyata bahwa dogma ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap firman Allah, karena secara harfiah telah “jauh melampaui” (“melanggar”) firman-Nya. Tidak di mana pun dalam khotbah rasuli di Kisah Para Rasul, dan dalam ajaran PB, kepercayaan pada Yesus sebagai Allah menjadi syarat untuk keselamatan. Begini caranya sang rasul merangkum iman yang dibutuhkan untuk keselamatan, “Sebab jika engkau mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tu[h]an, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan dia dari antara orang mati, maka engkau akan diselamatkan” (Rm.10:9). Petrus sudah menjelaskan arti kata “Tu[h]an” dalam pesannya yang pertama (pesan pertama yang diwartakan sesudah Pantekosta) di Kisah Para Rasul 2: “Sebab bukan Daud yang naik ke surga, malahan Daud sendiri berkata: Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: 35 ‘Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuhmusuh-Mu menjadi tumpuan kaki-Mu.’ [Mzm.110:1] 36 Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat (poieō) Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus.” 34 184 The Only True God Peninggian Yesus sebagai “Tu[h]an dan Kristus” berkaitan secara langsung dengan dirinya yang telah “dibangkitkan” pada kebangkitannya oleh Allah (Kis.2:31-32). Makna “Tu[h]an” diuraikan dengan jelas dalam nas ini. Kata itu tidak dimaksudkan untuk dibaca sebagai “pribadi kedua dari Trinitas”. Berbuat demikian artinya tidak menghiraukan, dan dengan demikian melanggar, firman Allah. Petrus membuatnya jelas bahwa “Tu[h]an dan Kristus” harus dipahami menurut latar Mzm.110:1 yang mengacu kepada raja Daud Mesianik yang dijanjikan, yang sekarang telah datang dalam Kristus. Akan tetapi, trinitarianisme menyatakan dengan tegas bahwa jika Anda tidak percaya bahwa Yesus adalah Allah menurut definisi mereka, maka Anda adalah seorang bidat, dan orang bidat tidak akan diselamatkan. Akan tetapi anehnya, para penginjil yang memanggil orang-orang untuk bertobat dan menerima keselamatan dalam Kristus biasanya tidak menyebutkan bahwa Anda harus percaya kepada Yesus sebagai Allah sebelum Anda dapat diselamatkan. Sebagian dari mereka hanya mengatakan kalau ia harus diterima sebagai Juruselamat, dan sebagian lagi memaksa kalau ia harus diterima juga sebagai Tu[h]an. Apakah mereka berasumsi bahwa orang-orang non-Kristen (mis. di Asia) sudah seharusnya tahu bahwa mereka diharapkan untuk percaya bahwa Yesus adalah Allah? Lalu, mengapa keilahian Kristus tidak selalu dinyatakan secara eksplisit dalam penginjilan? Apakah tujuannya untuk membuat orang-orang itu membuat sebuah “keputusan untuk Kristus” dulu dan sesudahnya baru diberitahukan bahwa mereka harus percaya kepada Yesus sebagai Allah-Anak? Apakah ini jujur? Atau, apakah para penginjil itu tidak sepenuhnya yakin bila doktrin ini dibutuhkan untuk keselamatan? Pemugaran terhadap monoteisme Alkitabiah akan tercapai bila sang Bapa dipuja sebagai pusat dari kehidupan Jemaat sesuai dengan ajaran Yesus, yang diakui orang Kristen sebagai “Tu[h]an”. Yaitu, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 185 bila semua orang yang mengaku sebagai murid-murid Tu[h]an Yesus Kristus meneladani contoh Tuan mereka dalam berdoa kepada Bapa dan melakukan kehendak-Nya. Kristus menguatkan murid-muridnya melalui Roh Allah untuk melakukan apa yang tidak mampu mereka lakukan secara alamiah. Jika pemuridan berarti mengikuti Yesus, maka pengikutan itu harus merujuk kepada ajarannya dan teladan hidupnya yang mutlak mengabdi kepada Yahweh Allah, sang Bapa, yang disapanya dengan penuh kasih sebagai “Abba”. Yesus masih melakukan hal ini sekarang juga, menurut Kitab Suci, karena dialah pengantara bagi semua orang yang beriman dan yang mengikuti dia; sebab bukankah tertulis bahwa, “ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang melalui dia datang kepada Allah. Sebab ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka” (Ibr.7:25)? Ini menunjukkan betapa penting pelayanannya sebagai Pengantara untuk kita saat ini di hadapan Bapa demi keselamatan kita. Namun apakah dia akan menjadi pengantara untuk mereka yang memanggil dia “Tu[h]an, Tu[h]an” tetapi tidak menaati dia? Sebaliknya, Yesus memperingatkan orang-orang seperti itu untuk berharap mendengar kata-kata ini dari dia “pada hari terakhir”: “Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari hadapanku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!” (Mat.7:23, lih. ay.21-23) Menariknya, pernyataan terakhir menggemakan Mazmur 119:115 di mana sang Pemazmur mengungkapkan komitmennya untuk mematuhi Allah dan firman-Nya: “Menjauhlah dari padaku, hai penjahat-penjahat; aku hendak memegang perintah-perintah Allahku.” Yesus berulangkali berbicara tentang memegang perintah-perintah Allah: Yohanes 10:18; 12:49; 15:10; juga 14:31. Perhatikan pula, Yesus memakai istilah “Allahku” juga sesudah kebangkitannya (Yoh.20:17; bdk. Mat.27:46); namun apa yang jarang diperhatikan adalah bahwa dalam Kitab Wahyu, Kristus yang telah dimuliakan itu tetap 186 The Only True God berbicara tentang Yahweh Allah sebagai “Allahku” (Why.3:2,12). Doa syafaat dari seorang imam besar seperti dia (Ibr.7:24,25) sudah pasti akan didengar. Alkitab itu Allah-sentris (God-centered) U ntuk memahami apa saja dalam Kitab Suci dengan tepat, kita harus memulai dengan memahami bahwa Kitab Suci itu Allahsentris, yang diungkapkan dengan jelas di Efesus 4:6, “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan melalui semua dan di dalam semua”; perhatikan keempat “semua”. “Bapa dari semua” dalam konteks ini berbicara tentang Allah sebagai Bapa semua orang beriman. “Di atas semua” (epi pantōn) sama persis dengan yang ada di Roma 9:5 (itu sebabnya Roma 9:5 berlaku kepada “satu Allah dan Bapa”, bukan kepada Yesus sebagaimana diinginkan oleh trinitarian) dan berbicara tentang supremasi dan kekuasaan-Nya di atas semua; “melalui semua” “mengungkapkan hadirat(Nya) yang menyeliputi, menghidupkan, dan menguasai” (The Expositor’s Gk Testament); “di dalam semua” hadirat-Nya berdiam oleh Roh-Nya. J.A. Robinson mengatakannya seperti berikut, “Mahatinggi di atas segalanya, Ia bergerak melalui segala sesuatu, dan diam di dalam segala sesuatu” (Commentary on Efesus, Exposition of the Greek Text). Singkatnya, Ia adalah segalanya atau semuanya dalam setiap hal yang dapat dibayangkan—Ia mutlak segalanya. Kesegalaan (Allness) ini diungkapkan dengan cara lain di Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” “Dari”, “oleh”, dan “kepada”—yang melingkupi segalanya. Maksud dari semuanya ini adalah bahwa mutlak tidak ada apapun dan siapapun yang berada di luar kesegalaan Allah. Apa saja yang ada, ada bagi Dia (“yang bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan”, Ibr.2:10), oleh karena Dia, dan bergantung kepada Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 187 hadirat-Nya yang menopang. Itu berarti, segala sesuatu dan setiap makhluk, besar atau kecil, ada sehubungan dengan Dia, relatif kepada Dia yang sendiri adalah absolut. Tidak ada dua (apa lagi tiga) absolut. Semuanya ini berarti bahwa, sejauh penyataan Kitab Suci, Kristus haruslah dipahami sehubungan dengan “satu Allah dan Bapa dari semua” (Ef.4:6), sekalipun jika hubungannya dengan Dia ada pada tingkatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Berbicara tentang Kitab Suci sebagai “Kristus-sentris” adalah keliru jika ini berarti Kristus merupakan yang absolut dalam dirinya sendiri, yaitu Allah. Tidak mungkin ada dua absolut, kalau tidak, dua-duanya tidak absolut. Untuk alasan yang sama, keabsolutan tidak dapat dibagi antara dua pribadi atau lebih. Dalam Kitab Suci, tidak ada contoh yang memperlihatkan adanya satu “Allah” (entah disebut “Anak” atau “Roh”) yang eksis secara independen dari “Allah dan Bapa yang satu itu” dan setara dengan-Nya. Segala makhluk ada hanya sehubungan dengan Dia, dan secara mutlak tidak mempunyai eksistensi atau fungsi terlepas dari Dia. Mengingat fakta-fakta ini, pembahasan tentang siapa Yesus dalam dirinya sendiri adalah percuma karena jawabannya hanya bisa ditemukan sehubungan dengan “satu Allah dan Bapa dari semua” (Ef.4:6). Maksudnya, Kristologi itu hal mustahil terlepas dari doktrin umum akan Allah (theology proper), dan tidak ada artinya terlepas dari itu. Hal ini terlihat dari gelar-gelar yang dipakai untuk Kristus dalam PB. Gelar Yesus yang tertinggi, ‘Tu[h]an’ dan ‘Kristus’, keduanya dianugrahkan kepadanya oleh Allah, sebagaimana dibuat jelas dalam pesan pertama yang dikhotbahkan sesudah Pantekosta dan pencurahan Roh (Kis.2:36). Gelar lain pun tidak terkecuali. Ini merupakan sebuah kenyataan yang bukan saja diakui oleh Yesus sendiri tetapi juga dirangkulnya dengan senang hati dan sukacita. Ia selalu menegaskan ketergantungannya, penundukannya, dan komitmennya yang total kepada sang Bapa (sebagaimana terlihat dengan 188 The Only True God jelas dalam Injil Yohanes), sambil terus-menerus mengajar muridmuridnya untuk mengikuti dia dalam melakukan hal serupa. Pernyataan dari kebenaran-kebenaran Alkitabiah ini sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkan Yesus, tetapi untuk mengoreksi perspektif-perspektif yang telah disimpangkan oleh trinitarianisme. Allah telah memilih untuk meninggikan Yesus di atas segalanya, memuliakan dia oleh karena penyangkalan-dirinya yang total di atas salib (Flp.2:6-11), dan kita tidak boleh (ataupun ingin) mengurangi satu iota pun kemuliaan yang telah diberikan Allah. Di sisi lain, kita tidak boleh memberikan kepada Kristus kemuliaan yang hanya menjadi milik Allah dan Bapa yang esa itu sendiri. Besarnya kemuliaan yang dikaruniakan Allah ke atas Yesus diungkapkan dengan hebatnya di Efesus 1:19-23: dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya yang besar, 20 yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan dia dari antara orang mati dan mendudukkan dia di sebelah kanan-Nya di surga, 21 jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja, melainkan juga di dunia yang akan datang. 22 Segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. 23 Jemaat yang adalah tubuhnya, yaitu kepenuhan dia yang memenuhi semua dan segala sesuatu (bdk. 4:10).” 19 Tujuan abadinya dinyatakan di 1Korintus 15, Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 189 Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kakinya. Tetapi kalau dikatakan bahwa "segala sesuatu telah ditaklukkan," maka teranglah bahwa Ia sendiri yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus itu tidak termasuk di dalamnya. Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan dirinya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawahnya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1Kor.15:27,28) Monoteisme Yesus berakar pada monoteisme Perjanjian Lama yang tidak kenal kompromi M onoteisme PL dinyatakan dengan begitu jelas sehingga sama sekali tidak memberi ruang untuk berargumen atau bersengketa. Teks-teks Alkitab dengan jelas menyatakannya sendiri: “Tidak ada allah lain” Ulangan 4:35 Engkau diberi melihatnya untuk mengetahui, bahwa Yahwehlah Allah, tidak ada yang lain kecuali Dia. Ulangan 4:39 Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Yahwehlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. Keluaran 34:14, Sebab janganlah engkau sujud menyembah kepada allah lain, karena Yahweh, yang nama-Nya Cemburuan, adalah Allah yang cemburu. 1Raja-Raja 8:60, supaya segala bangsa di bumi tahu, bahwa Yahwehlah Allah, dan tidak ada yang lain, 190 The Only True God Yesaya 45:5 Akulah Yahweh dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah. Yesaya 45:18 Sebab beginilah firman Yahweh, yang menciptakan langit, Dialah Allah yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya, dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami : "Akulah Yahweh dan tidak ada yang lain.” Yesaya 45:21,22 Bukankah Aku, Yahweh? Tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku! Allah yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain kecuali Aku! Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujungujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. Mari kita perhatikan baik-baik bahwa semua ayat yang terdaftar di atas menyatakan bukan saja hanya ada satu Allah, tetapi Allah yang satu ini adalah Yahweh, dan “tidak ada yang lain selain Dia”. Ini membuatnya mustahil untuk berbicara tentang Allah sebagai suatu “hakikat” yang dibagi tiga pribadi. Tak seorang pun yang berakal sehat akan memperdebatkan bahwa Yahweh adalah suatu hakikat, atau ada tiga pribadi yang disebut Yahweh. Konsekuensi daripada menyembah dan mempersembahkan kurban kepada allah lain selain Yahweh dinyatakan dengan mutlak jelas: Keluaran 22:20, “Siapa yang mempersembahkan korban kepada allah kecuali kepada Yahweh sendiri, haruslah ia ditumpas.” Sekali lagi, tidak ada ruang untuk memperdebatkan makna dari “sendiri” (Ibrani: bd; Yunani: monos). Di mana terdapat dua atau tiga pribadi, maka tidak ada individu dalam bilangan itu bisa dikatakan sendiri. Kata yang sama, “sendiri”, sebagaimana dipakai di Keluaran 22:20 kerap kali dipakai untuk Allah: Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit Ulangan 32:12, demikianlah Yahweh sendiri menuntun dia, dan tidak ada allah asing menyertai dia. 2Raja-raja 19:15, Hizkia berdoa di hadapan Yahweh dengan berkata: “Ya Yahweh Allah Israel, yang bertakhta di atas kerubim! Hanya Engkau sendirilah Allah segala kerajaan di bumi; Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi (juga Yes.37:16). 2Raja-raja 19:19, “Maka sekarang, ya Yahweh, Allah kami, selamatkanlah kiranya kami dari tangannya, supaya segala kerajaan di bumi mengetahui, bahwa hanya Engkau sendirilah Allah, ya Yahweh.” (juga Yes 37:20) Nehemia 9:6, Engkau sendirilah, ya Yahweh, hanya Engkau! Engkau yang telah menjadikan langit, langit segala langit dengan segala bala tentaranya, bumi dengan segala yang ada di atasnya, dan laut dengan segala yang ada di dalamnya, dan Engkau memelihara kehidupan mereka semua. Dan bala tentara langit sujud menyembah-Mu. (ILT) Mazmur 4:9, Dalam damai aku akan berbaring dan tidur bersama-sama, karena Engkau sendiri, ya Yahweh, yang membuat aku berdiam dengan aman. (ILT) Mazmur 72:18, Terpujilah Yahweh, Allah Israel, yang melakukan perbuatan yang ajaib seorang diri! Mazmur 83:19, Dan biarlah mereka mengetahui, bahwa Nama-Mu adalah Yahweh; bahwa Engkau sendirilah Yang Mahatinggi atas seluruh bumi. (ILT) Mazmur 148:13, Biarlah mereka memuji Nama Yahweh, karena hanya Nama-Nya yang layak ditinggikan, keagunganNya ada atas bumi dan langit. (ILT) 191 192 The Only True God Yesaya 2:11, Mata manusia yang angkuh akan direndahkan, dan kesombongan manusia akan ditundukkan, dan hanya Yahweh sendiri yang akan ditinggikan pada hari itu. (ILT) (juga Yes.2:17). Yesaya 44:24, Beginilah Yahweh yang menebusmu dan membentukmu sejak dari kandungan, berfirman, “Akulah Yahweh yang menjadikan segala sesuatu, yang membentangkan langit, Aku sendiri yang menghamparkan bumi, siapakah bersama dengan-Ku?” (ILT) Yesus sepenuhnya mengesahkan monoteisme yang dinyatakan dengan kuat dan jelas ini sebagaimana bisa dilihat dari pernyataan berikut: Matius 4:10, Lalu berkatalah Yesus kepadanya: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah (monos) engkau berbakti!” {Ul.6:13} (juga Luk.4:8) Hal yang mencolok tentang kutipan Yesus dari Ulangan 6:13 menjadi jelas ketika kita membandingkannya dengan ayat tersebut: Ulangan 6:13, Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah. Kata “hanya… saja” (monos) tidak muncul baik dalam teks Ibrani maupun teks Yunani dari ayat ini kendati, mengingat ayat-ayat PL sebelumnya dan konteks PL secara keseluruhan, kata itu memang tersirat. Apa yang dilakukan Yesus ialah menyatakan secara eksplisit dan otoritatif apa yang tersirat dengan menyisipkan kata kritis “hanya… saja” (monos) ke dalam ayat ini. Dengan demikian, monoteisme Yesus dibuat sangat jelas. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 193 Hal yang sama juga terjadi di Lukas 4:8, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa kata “hanya… saja” (monos) ditambahkan oleh Matius karena Injilnya lebih berciri “Yahudi” dibandingkan dengan Injil-injil lain. Lukas 4:8, Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah (monos) engkau berbakti!” Harus diperhatikan juga bahwa “Tuhan, Allahmu” baik dalam Injil Matius maupun Lukas adalah “TUHAN (Yahweh) Allahmu” dalam Kitab Ulangan. Yesus memilih sebuah ayat yang tidak sekadar berbicara tentang melayani Allah saja, tetapi ayat yang secara khusus berbicara tentang melayani hanya Yahweh saja. Fakta ini, diambil bersama dengan penegasan monoteistik kuat dari Yesus di Yohanes 5:44 di mana ia berbicara tentang Allah sebagai “Allah yang Esa”, dan sapaannya kepada Bapa sebagai “satu-satunya Allah yang benar” di Yohanes 17:3, berarti Yesus tidak sekadar menganut semacam monoteisme yang dapat berpikir tentang Allah hanya sebagai “hakikat”, tetapi ia berkomitmen teguh kepada monoteisme Yahweh, sebuah monoteisme di mana Yahweh sendiri adalah Allah “dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” (Luk.4:8). Ini, sebenarnya, adalah monoteisme Alkitabiah sejati; monoteisme Alkitabiah adalah monoteisme Yahweh. Hal penting lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa pernyataanpernyataan monoteistik dari Yesus ini semuanya berciri “situasional”, artinya semua itu tidak diucapkan sebagai bagian dari pengajarannya di depan umum melainkan diucapkan dalam situasi tertentu, dialamatkan pada peristiwa khusus. Orang Yahudi adalah monoteis yang berapi-api; Yesus tidak perlu mengkhotbahkan monoteisme kepada mereka. Jadi pernyataan-pernyataan situasional dari Yesus ini mengatakan kepada kita tentang monoteismenya sendiri, ketimbang monoteisme orang Yahudi pada umumnya. 194 The Only True God Untuk alasan inilah pernyataan-pernyataan itu sangat penting. Pernyataan yang pertama, di mana ia mengutip Ulangan 6:13, adalah ketika ia berhadapan dengan pencobaan, dan kita telah melihat bahwa Yesus memilih untuk menambahkan kata “hanya” (monos), yang sering muncul dalam teks-teks PL yang lain sehubungan dengan Yahweh, tetapi tidak dalam teks yang ini. Yohanes 5:44 adalah sebuah dialog dengan pendengar yang tidak reseptif: “Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?” Dua ayat sebelumnya ia berkata, “Tetapi tentang kamu, memang aku tahu bahwa di dalam hatimu kamu tidak mempunyai kasih terhadap Allah” (Yoh.5:42), bukti dari tuduhan ini adalah mereka mencari pujian dari manusia, bukan dari Allah. Dengan kata lain, manusia, bukan Allah, adalah fokus kehidupan mereka; mereka berorientasi kepada manusia, bukan kepada Allah. Ini mengatakan sesuatu yang sangat penting kepada kita tentang monoteismenya Yesus. Bagi dia, monoteisme bukan sekadar suatu dogma keagamaan yang dianuti seseorang, tetapi melibatkan sebuah gaya hidup yang sepenuhnya berorientasi kepada Allah, bukan manusia. Ini melibatkan komitmen untuk melakukan kehendak-Nya, senantiasa berusaha untuk hidup berkenan kepadaNya. Bagi Yesus, mengakui monoteisme Yahweh tetapi hidup dengan berpusatkan kepada diri sendiri merupakan hal yang tak terpikirkan dan tak dapat ditoleransi; itu adalah puncak kemunafikan. Celaannya yang keras dalam Matius 23 ditujukan kepada para pemuka agama yang pengakuan monoteismenya tidak diragukan, tetapi kehidupan dan tingkah-laku mereka bukan saja meragukan, tetapi lebih buruk dari itu. Monoteisme sejati harus diungkapkan melalui kehidupan yang menghormati Yahweh, yang digerakkan oleh kasih untuk-Nya. Bab 1 — Monoteisme Yesus yang Eksplisit 195 Hal ini muncul dengan kuat dalam situasi lain, yang disebut dalam ketiga Injil Sinoptik, ketika Yesus ditanyai tentang hukum mana yang paling penting. Jawab Yesus: “Perintah yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhanlah Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Perintah yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada perintah lain yang lebih utama daripada kedua perintah ini” (Mrk.12:29-31). Yesus menggarisbawahi fakta bahwa pengakuan monoteistik itu (“Tuhan itu esa”) terikat secara tak terpisahkan dengan kasih yang sepenuhnya berkomitmen kepada Allah, yaitu, kasih yang melibatkan keseluruhan diri orang itu, dan yang juga melibatkan kasih terhadap sesama. Ini berarti monoteisme bukan sekadar sebuah pengakuan yang keluar dari mulut saja, tetapi sebuah pengakuan yang dibuat dengan hati dan yang menguasai seluruh pribadi dan gaya hidup orang itu. Ini dicontohkan dengan sempurna dalam kehidupan Yesus sendiri. Bab 2 Hanya Manusia Sempurna Dapat menjadi Juruselamat Dunia Ajaran Alkitabiah tentang Satu Allah Sejati dan Satu Manusia Sempurna B eberapa tahun yang lalu, ketika saya dan istri saya sedang menjelajahi India (karena didorong oleh kepedulian untuk menginjili negeri yang besar itu), kami terkesan dengan begitu banyaknya patung dewa-dewi yang ada di sana; meski hanya beberapa saja yang menjadi sasaran penyembahan yang lebih menonjol. Kuil-kuil besar dan kecil terlihat di mana-mana, dan sering kali dikerumuni banyak pemuja. Mau tidak mau, sebuah pertanyaan memasuki benak kami: Apakah perlunya Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 197 keanekaragaman dewa-dewi tersebut? Seandainya ada satu Allah maha-mencukupi yang dapat memenuhi semua kebutuhan, bukankah itu akan membuat semua dewa-dewi lain mubazir? Bukankah karena manusia masih belum menemukan satu Allah yang maha-mencukupi itu sehingga mereka harus berpaling kepada pelbagai dewa yang beranekaragam itu demi memenuhi pelbagai kebutuhan mereka? Jika memang ada satu Allah personal yang maha-mencukupi seperti itu, maka pribadi ilahi kedua atau ketiga tidak lagi dibutuhkan. Namun tampaknya Allah itu tidak dikenal manusia, sehingga timbullah kebutuhan untuk mencari yang lain. Hal ini mengingatkan kita pada kata-kata Paulus di Atena tentang “Allah yang tidak dikenal” (Kis.17:23). Untuk seseorang seperti Paulus yang mengenal Allah Israel, Yahweh, yang mengagumkan, kebutuhan akan ilah-ilah lain sangat tidak masuk akal. Apa yang akan dipikirkannya tentang trinitarianisme yang sampai mengatributkan ajaran tentang pribadi ilahi yang kedua dan malah yang ketiga selain Yahweh itu kepada dirinya (Paulus)? Semakin orang memahami PL dengan 6828 rujukan kepada Yahweh tanpa rujukan apapun kepada pribadi ilahi lain di samping Dia, dan semakin orang memahami pengajaran Paulus tentang keselamatan, semakin mereka akan menyadari bahwa usulan apapun bahwa ia telah mengajarkan Kristus sebagai pribadi ilahi kedua yang setara dengan Yahweh akan menyulut murka besar darinya. Lebih parah lagi, ini akan menyulut murka besar dari Yahweh sendiri (Kel.32:10 dyb.). Namun hal yang mungkin tidak diduga oleh trinitarian adalah, oleh karena pengajaran mereka secara dasariah bertentangan dengan pengajaran Yesus sendiri, mereka akan menemukan pada Hari besar dan terakhir itu bukan “Yesus yang lemah lembut”, yang dilukiskan dengan syahdunya dalam sebuah lagu Kristiani terkenal, tetapi “murka Anak Domba” yang mengerikan (Why.6:16; bdk. 14:10). 198 The Only True God Kekristenan non-Yahudi dewasa ini tidak lagi mengetahui kalau “Kekristenan Yahudi selalu mempertahankan fakta historis bahwa Mesias dan Tu[h]an Yesus dari Nazaret itu bukanlah wujud ilahi, Allah kedua, melainkan seorang manusia di antara umat manusia” (Hans Küng, Christianity, hlm.97). Tidak membutuhkan satu lagi Allah, tetapi satu manusia sempurna A pakah intisari dari ajaran PB tentang keselamatan pada umumnya, khususnya ajaran Paulus, yang begitu penting bagi kesejahteraan abadi umat manusia? Seluruh ajaran Perjanjian Baru tentang keselamatan terikat pada konsep manusia sempurna, yang tanpanya tidak akan ada keselamatan. Apakah manusia sempurna itu? Ia adalah seorang manusia yang, tidak seperti Adam, tak bercela dan tak bersalah (“anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat”, 1Ptr.1:19), dan yang karena alasan itu dapat menjadi juruselamat dunia. Manusia tidak membutuhkan tambahan Allah (Yahweh sudah lebih dari mencukupi), jadi manusia tidak membutuhkan Yesus sebagai Allah, tetapi yang sangat dibutuhkannya adalah seorang manusia sempurna jika dia berharap untuk diselamatkan. Wujud Allah tidak menjadikan dia manusia sempurna; sebaliknya, wujud Allah tidak akan menjadikan dia manusia sejati sama sekali terlepas dari memiliki tubuh manusia. Bukankah ini sesuatu yang seharusnya sangat jelas? Atau, apakah trinitarianisme telah mengaburkan pikiran kita sampai-sampai kita tidak dapat melihat bahkan apa yang jelas? Yang dipertaruhkan di sini adalah: Jika Yesus bukan seorang manusia seperti Adam—atau seperti kita— maka seluruh harapan untuk keselamatan akan lenyap begitu saja. Kita tidak memahami hal ini karena kita masih belum memahami prinsip dasariah dari keselamatan menurut pewahyuan Alkitabiah. Singkat kata, agar kita dapat diselamatkan, Allah harus menyediakan Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 199 seorang manusia sempurna yang dapat membatalkan dampak mematikan dari dosa Adam (dan dosa manusia). Bagaimanakah caranya Allah menyelamatkan kita melalui manusia sempurna ini? Paulus mengatakannya dengan ringkas seperti berikut: “Jadi, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar.” (Roma 5:19) Ayat yang satu ini merangkum doktrin keselamatan Perjanjian Baru secara gamblang dan singkat. Memahami ayat ini secara menyeluruh berarti memahami jalan keselamatan itu dengan sepenuhnya. Sejumlah besar materi rohaniah telah dikemas dan dipadatkan ke dalam ayat ini. “Ketaatan satu orang” ini, yang olehnya “banyak orang menjadi orang benar” merupakan sesuatu yang dicapai “melalui penderitaan”: Ibrani 2:10, Sebab memang sepantasnya Allah [yaitu Bapa] yang bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan — juga menyempurnakan Perintis [Kristus, sang Anak] yang memimpin mereka kepada keselamatan melalui penderitaan. Ibrani 5:8-9, Sekalipun ia adalah Anak, ia telah belajar taat dari apa yang telah dideritanya dan sesudah ia disempurnakan, ia menjadi sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepadanya. Ibrani 7:28, Anak, yang telah dijadikan sempurna sampai selama-lamanya. Ayat-ayat penting di atas merupakan masalah serius bagi trinitarianisme karena trinitarian telah terindoktrinasi untuk membaca “Allah- 200 The Only True God Anak” ke dalam setiap referensi kepada “Anak”. Dengan demikian, ide bahwa sang Anak itu tidak sempurna, dan bahwa sang Bapa harus menyempurnakan dia—khususnya melalui penderitaan— merupakan hal yang tidak tercernakan secara teologis oleh trinitarian. Setiap argumen yang mengatakan hal ini mengacu kepada Anak sebagai manusia harus berhadapan dengan permasalahan Kristologis yang serius: dalam memisahkan “kedua kodrat” itu untuk membuat mereka bertindak secara mandiri, bagaimana mungkin kedua kodrat itu disebut “bersatu tanpa pemisahan”? Dan jika kedua kodrat itu tidak bisa dipisahkan sehingga dapat lolos dari ketajaman pernyataan-pernyataan dalam kitab Ibrani ini, hal itu membangkitkan pertanyaan tajam tentang Anak ilahi: anak macam apa ini yang masih belum belajar untuk taat kepada bapanya? Bahwa seorang anak manusia, yang baik sekalipun, perlu belajar taat kepada ayahnya dapat dimengerti; dan kebaikan anak itu terlihat justru dari ketaatannya. Namun bagaimana kita menerangkan perkara Anak yang pra-eksisten dan kekal yang masih belum belajar untuk taat kepada sang Bapa, dan baru mempelajarinya ketika ia datang ke bumi?! Perhatikan juga ayat-ayat dalam Surat Ibrani ini secara konsisten menyatakan bahwa Allah Bapalah, Yahweh, yang menyempurnakan Anak; bukan Anak menyempurnakan dirinya sendiri sehingga rujukan kepada “dua kodrat” itu tidak relevan. Jadi di Ibrani 2:10 kata “menyempurnakan” dalam bahasa Yunaninya berbentuk aktif, karena Allah Yahwehlah yang aktif dalam menyempurnakan sang Anak. Dalam dua ayat lainnya, “dijadikan sempurna” berbentuk pasif karena sang Anak, bukan sang Bapa, merupakan subyek kalimat. Penyempurnaan Kristus adalah kehendak Bapa, dan diprakarsai oleh Dia demi keselamatan umat manusia. Dalam surat Ibrani, sebagaimana dalam Perjanjian Baru secara keseluruhan, sang “Anak” merujuk kepada gelar mesianik “Anak Allah” atau “Anak Manusia”, tetapi tidak pernah merujuk kepada Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 201 istilah trinitaris “Allah-Anak” untuk alasan sederhana bahwa gelar “Allah-Anak” tidak ditemukan baik dalam Perjanjian Baru maupun Lama. Pentingnya ketiga nas dalam kitab Ibrani yang dikutip di atas, ditemukan dalam kenyataan bahwa ketiga nas itu menerangi kebenaran bahwa Allah menjadikan sang Anak, Mesias Yesus, sempurna melalui proses penderitaan agar ia dapat menjadi “Perintis yang memimpin mereka kepada keselamatan” (Ibr.2:10). Ini berarti penyempurnaan “manusia Kristus Yesus” mutlak esensial untuk keselamatan manusia. Hanya Mesias sebagai manusia sempurnalah yang dapat menjadi “juruselamat dunia” (Yoh.4:42; 1Yoh.4:14). Memakai istilah persembahan, hanya hewan yang “tidak bercela”, yaitu sempurna, dapat dipersembahkan kepada Allah. Tidak ada hewan yang tidak sempurna, dengan cacat sekecil apapun, dapat dipersembahkan. Hal ini berulang-kali ditekankan dalam Taurat Perjanjian Lama. Bahkan orang yang tidak berbahasa Ibrani pun dapat melihat sendiri bahwa frasa “tidak bercela” muncul dalam 17 ayat di kitab Imamat dan 17 ayat juga di kitab Bilangan berkenaan dengan hewan-hewan yang dipersembahkan sebagai kurban. Dalam beberapa ayat frasa itu muncul lebih dari sekali: misalnya Bilangan 6:14, “dan ia harus mempersembahkan sebagai persembahannya kepada TUHAN (Yahweh) seekor domba jantan berumur setahun yang tidak bercela untuk korban bakaran dan seekor domba betina berumur setahun yang tidak bercela untuk korban penghapus dosa dan seekor domba jantan yang tidak bercela untuk korban keselamatan”. Sesuai dengan itu, Tu[h]an Yesus Kristus, Manusia Sempurna itu, dapat mempersembahkan dirinya untuk keselamatan dunia. Dalam kata-kata Ibrani 9:14, “terlebih lagi (daripada kurban-kurban hewan, ay.13) darah Kristus, yang melalui Roh yang kekal telah mempersembahkan dirinya sendiri kepada Allah sebagai persem- 202 The Only True God bahan yang tidak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup”, dan 1Ptr.1:18,19, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” Keunikan sang Manusia Sempurna, Yesus Kristus Manusia sempurna adalah seorang manusia yang sempurna dalam ketaatannya kepada Allah. Manusia seperti itu belum pernah ada dalam sejarah dunia. Hal inilah yang ditekankan oleh Rasul Paulus di Roma 3:10, “seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorang pun tidak’”, ayat yang sering kali disalahgunakan untuk memperdebatkan “kebejatan total” manusia, tanpa mengindahkan fakta bahwa Paulus mengakui adanya orang-orang yang saleh dan baik di dunia ini, sebagaimana terlihat dari pernyataan berikut, “Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati.” (Roma 5:7) Walaupun mungkin ada “orang-orang baik” di dunia ini, tetapi belum pernah ada seorang manusia yang sempurna yang diukur menurut standar Allah Yahweh. Akan tetapi, seorang manusia sempurna seperti itulah yang diperlukan untuk keselamatan manusia. Hanya jika Yesus menjadi manusia seperti itu barulah ia dapat menyelamatkan kita. Seandainya saja para teolog trinitarian memahami soteriologi Alkitabiah (doktrin keselamatan) dengan lebih baik, mereka akan menghindari kesalahan terus-terusan berbicara tentang Yesus sebagai Allah. Perjanjian Baru sama sekali tidak menyatakan bila kepercayaan pada Yesus sebagai Allah diperlukan Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 203 untuk keselamatan. Namun, adalah esensial untuk percaya bahwa “manusia Kristus Yesus” merupakan satu-satunya perantara yang ditunjuk Allah untuk keselamatan kita (1Tim.2:5,6); ialah satusatunya manusia sempurna yang pernah tampil di atas muka bumi ini; Allah telah melakukan sesuatu yang baru demi keselamatan umat manusia. Kesempurnaan Yesus terdiri justru dari ketundukan dan ketaatannya yang total kepada Allah Bapa, Yahweh. Justru karena inilah subordinasinya kepada kehendak Bapa itu dengan begitu terus-menerus, hampir berulang-ulang, ditekankan oleh Yesus sendiri sebagaimana dilukiskan secara ekstensif dalam Injil Yohanes, hal yang akan kita kaji nanti dalam karya ini. Hal ini menyebabkan kita mempertimbangkan pertanyaan: Apakah yang tersirat dalam istilah “manusia sempurna”? Kita harus memahami bahwa kesempurnaan dalam arti mutlak merupakan sebuah atribut Allah, bukan manusia (“Bapamu yang di surga sempurna” Mat.5:48). Dengan demikian, dijadikan sempurna artinya menjadi seperti Dia; memperoleh karakter-Nya. Namun, apakah penderitaan itu sendiri, sekalipun diperlukan dalam proses penyempurnaan, dapat menjadikan seseorang sempurna? Penderitaan, bagaimanapun juga, merupakan hal yang dialami oleh sebagian besar umat manusia, dan banyak yang memikulnya dengan martabat dan bahkan dengan heroisme yang luar biasa, tetapi apakah itu akan menjadikan mereka manusia sempurna seperti yang disebut di Kitab Ibrani? Beberapa orang yang pernah menderita barangkali bisa mencapai tingkat keunggulan moral yang tinggi; tetapi mencapai kesempurnaan Kristus tidak berada dalam alam jangkauan manusia. Kesempurnaan Kristus bersandar pada keterlibatan ilahiah yang unik dalam pribadinya sebagai orang yang didiami Firman (Memra) (Yoh.1:14); “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam dia” (Kol.1:19); “Sebab dalam dialah berdiam secara 204 The Only True God jasmaniah seluruh kepenuhan keilahian” (Kol.2:9). Ini berarti kesempurnaan Kristus dicapai melalui hadirat dan kuasa Allah yang secara unik berdiam di dalam dirinya. Yahweh Allah membangun sebuah kesatuan dengan Kristus pada bagian terdalam dari dirinya (“Aku dan Bapa adalah satu”, Yoh.10:30); dalam kesatuan ini Kristus diberdayakan untuk mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh manusia dengan sendirinya. Oleh karena itulah ia disebut “anak tunggal” (Yoh.1:14; 3:16,18; 1Yoh.4:9); inilah yang membedakan dia dari Adam, manusia “dari debu tanah”, sebagai manusia “dari surga” (yaitu dari Allah)” (1Kor.15:47). Tanpa hadirat Yahweh yang berdiam secara unik di dalam Kristus, kesempurnaan yang diperlukan itu tidak mungkin akan tercapai. Manusia sempurna ialah manusia yang didiami oleh kepenuhan Yahweh secara jasmani di bumi ini, di antara manusia, untuk menyelesaikan keselamatan umat manusia. Namun perlu ditekankan bahwa kesempurnaan Kristus sebagai manusia tidak menjadikan Kristus sekadar peserta pasif. Karena Ibrani 5:8 berkata, “Sekalipun ia adalah Anak, ia telah belajar taat dari apa yang telah dideritanya.” Kata “belajar” berbentuk aktif dalam bahasa Yunani. Ini bukan sekadar sikap tunduk yang pasif, melainkan ketaatan yang sepenuh hati kepada Bapa; Yesus mengungkapkannya seperti ini, “aku senantiasa berbuat apa yang berkenan kepada-Nya” (Yoh.8:29). Ia dapat sepenuhnya merasakan sentimen sang Pemazmur, “aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku” (Mzm.40:8); ia dapat berbicara tentang kehendak Allah sebagai makanannya (Yoh.4:34), berarti ia tentu tahu maknanya “nikmatkanlah dirimu pada Yahweh” (Mzm.37:4; Yes.58:14, ILT). Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 205 Manusia sempurna sebagai guru sempurna Kita sering kali berbicara tentang “ajaran Yesus” tanpa mencatat fakta bahwa ajarannya berasal dari Bapa, bukan dari dirinya sendiri. Apa yang diajarkan oleh Yesus adalah ajaran sang Bapa sebagaimana ditegaskannya sendiri di Yohanes 7:16, “Ajaranku tidak berasal dari diriku sendiri, tetapi dari Dia yang telah mengutus aku.” Bapalah yang berbicara kepada kita dalam seluruh ajaran Yesus. Yesus mengulangi hal ini berkali-kali. Selain Yohanes 7:16, ada lagi yang berikut: 3:34, Sebab siapa yang diutus Allah, dialah yang menyampaikan firman Allah, karena Allah mengaruniakan Roh-Nya dengan tidak terbatas. 12:49, Sebab aku berkata-kata bukan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang mengutus aku, Dialah yang memerintahkan aku untuk mengatakan apa yang harus aku katakan dan aku sampaikan. 14:10, Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya. 14:24, Siapa saja yang tidak mengasihi aku, ia tidak menuruti firmanku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari aku, melainkan dari Bapa yang mengutus aku. 17:8, Sebab segala firman yang Engkau sampaikan kepadaku telah kusampaikan kepada mereka. Yesus adalah manusia sempurna juga karena alasan ini, yakni, ia selalu “menyampaikan firman Allah” (Yoh.3:34), dan, oleh karena itu, sempurna dalam perkataan. Sebagaimana tertulis di Yakobus 3:2, “Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; siapa tidak 206 The Only True God bersalah dalam perkataannya, ia orang yang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya.” Tanpa Yesus kita tidak akan memiliki ajaran Bapa; oleh karena itu kita bersyukur kepada Bapa dari lubuk hati kita karena Yesus. Namun kita tidak boleh lupa bahwa pesan Yesus adalah Firman Allah, Allah yang berulang-kali disapa Yesus sebagai “Bapa”. Firman yang dikabarkan Yesus adalah kebenaran dan hidup justru karena itu adalah Firman Allah, sang Bapa. Firman Allah adalah pewahyuan-diri Allah, yang menjadi sarana untuk menarik semua orang kepada-Nya. Sang Bapa menarik kita melalui firmanNya. Hal ini konsisten dengan apa yang telah kita lihat sebelumnya, yakni, Yesus sebagai perwujudan firman Allah merupakan Jalan kepada sang Bapa. Memakai gambaran lain, ia adalah Roti yang diturunkan Bapa agar orang dapat memperoleh hidup melalui proses “memakan”nya. Semua metafora yang lain dengan cara yang sama melukiskan Yesus sebagai alat karya keselamatan Bapa. Hal ini muncul dengan kuat khususnya dalam Injil Yohanes, di mana kebenaran bahwa Yesus adalah dia yang diutus oleh sang Bapa, dan yang bertindak dalam subordinasi dan ketergantungan total kepada Bapa, ditekankan lebih kuat di sini daripada di bagian lain dalam PB. Sekarang kita akan mempertimbangkan bukti atas pernyataan ini. Penegasan Yesus bahwa ia diutus Bapa dan oleh karena itu bertindak di bawah wewenang Bapa T entang Bapa mengutus Yesus, sekilas pandang kepada statistik akan segera menyatakan pentingnya hal ini dalam Injil Yohanes. Dua kata Yunani diterjemahkan sebagai “mengutus”: apostellō Matius: 3 (jika 21:37, dalam sebuah perumpamaan, dihitung) Markus: 2 (jika 12:6, dalam sebuah perumpamaan, dihitung) Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 207 Lukas: 4 Yohanes: 17 pempō Sinoptik: 0 Yohanes: 24 Apostellō dan pempō, berkenaan dengan Bapa mengutus Anak, semuanya dijumlahkan menjadi 41 kali dalam Injil Yohanes. Penegasan ini mencolok. Hal lain yang mencolok juga adalah kedua kata itu bukan saja muncul dalam Injil Yohanes, tetapi setiap referensi ada dalam ajaran Yesus sendiri di dalam Injil tersebut. Dan seolah-olah ingin memastikan agar kita tidak melewatkan poin ini, Yesus berkata di Yohanes 13:16, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu: seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada orang yang mengutusnya”; oleh karena itu, “Bapa lebih besar daripada aku” (14:28). Jumlah yang sangat besar ini (41 kali) menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan jantung dan intisari dari ajarannya. Kajian terhadap setiap ucapan itu akan memberikan rincian ajaran Yesus dalam Injil Yohanes. Namun hal itu ada di luar lingkup buku ini. Di sini saya tidak akan berusaha menganalisa perbedaanperbedaan semantis (jika ada) antara apostellō dan pempō, kecuali menyediakan sebuah kutipan dari A Treasury of New Testament Synonyms (Stewart Custer, Bob Jones University Press, Inc., 1975) di mana ia memberikan ringkasan dari pembahasannya tentang kedua kata tersebut sebagai berikut, “Kata ἀποστέλλω (apostellō) menandai ‘aku mengutus dengan sebuah amanat’ atau ‘aku mengutus secara resmi.’ Πέμπω (pempō) adalah istilah umum untuk ‘aku mengutus.’ Dalam beberapa konteks kata itu sudah pasti berarti ‘aku mengutus secara resmi,’ tetapi tidak selalu demikian; konteks yang harus memutuskan.” 208 The Only True God Namun kajian Custer lebih kuat dilandasi oleh bahasa Yunani klasik daripada bahasa Yunani PB di mana perbedaan antara kedua kata itu tidak tampak begitu jelas, meskipun beberapa perbedaan seperti yang diberikan oleh Custer masih bisa diterima. Misalnya, apostellō dan pempō keduanya muncul di Yohanes 20:21, di mana perbedaannya tidak tampak terlalu jelas; perbedaan tersebut lenyap sama sekali dalam berbagai terjemahan. Namun apakah kedua kata yang berbeda itu digunakan hanya untuk variasi sastra? Atau, apakah mungkin Yesus (di Yoh.20:21) tidak mau pengutusan murid-muridnya itu ditempatkan setingkat dengan pengutusan dirinya ke dalam dunia oleh Bapa, dan dengan demikian, sekali lagi menghormati sang Bapa sebagai yang lebih besar daripada dirinya? Ketergantungan Yesus yang sepenuhnya kepada Bapa sebagaimana terlihat dalam ajarannya O rang yang mengutus jelas lebih besar daripada orang yang diutus olehnya. Oleh sebab itu, “diutus” dengan sendirinya mengungkapkan subordinasi orang yang diutus kepada orang yang mengutusnya (Yoh.13:16). Namun Yesus menegaskan lebih daripada itu: Ia mengungkapkan dirinya sebagai orang yang bergantung sepenuhnya kepada sang Bapa. Yohanes 6:57 “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus aku dan aku hidup oleh Bapa, demikian juga siapa saja yang memakan aku, akan hidup oleh aku.” Hubungan kita dengan Yesus, ketergantungan kita kepada Yesus untuk hidup, mencerminkan ketergantungan Yesus kepada sang Bapa untuk hidup. Menurut pengajaran Yesus sendiri di Yohanes 6:57, sama seperti kita tidak dapat hidup tanpa Yesus, demikian pula Yesus tidak dapat hidup tanpa sang Bapa. C.K. Barrett (The Gospel According to St. John, Commentary and Notes on the Greek Text, SPCK) mengatakannya demikian, “Hidup sang Anak sepenuhnya Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 209 bergantung pada sang Bapa (διὰ τὸν πατέρα) [dia ton patera], ia tidak memiliki hidup ataupun wewenang yang mandiri, dan oleh karena ia tinggal di dalam Bapa, dengan demikian manusia dapat hidup dengan tinggal di dalam dia” (hlm.248, atas Yoh.6:57; cetak miring dari saya). M. Dods pula berkata, “Bapa adalah sumber hidup yang absolut; Anak adalah pembawa hidup itu kepada dunia; bdk. 5:26, yang mengungkapkan ketergantungan yang sama dari Anak pada Bapa untuk hidup” (Expositor’s Greek Testament, atas Yoh 6:57; cetak miring dari saya). Yohanes 5:26: “Sebab sama seperti Bapa mempunyai hidup dalam diri-Nya sendiri, demikian juga diberikan-Nya Anak mempunyai hidup dalam dirinya sendiri.” Sang Anak mempunyai hidup dalam dirinya sendiri, tetapi hanya karena sang Bapa telah memberikan (ἔδωκεν, edōken aor. dari didōmi) hidup itu kepada Anak. Dan oleh karena Bapa telah memberikan hidup kepada Anak, maka Anak pun dapat memberikannya kepada orang lain: “Sebab sama seperti Bapa membangkitkan orang-orang mati dan menghidupkannya, demikian juga Anak menghidupkan siapa saja yang dikehendakinya” (Yoh.5:21). Sang Anak telah dianugrahi wewenang penuh untuk meneruskan hidup yang telah diberikan oleh Sang Bapa kepadanya. Didōmi dalam Injil Yohanes Secara statistik kata didōmi (memberi) merupakan kata signifikan yang lain dalam Injil Yohanes; kata ini lebih kerap muncul dalam Injil Yohanes daripada kitab-kitab lain di PB (Yoh: 75 kali; Mat: 56; Mrk: 39; Luk: 60); kata ini pun acap muncul dalam Apokalypsis Yohanes, yakni, Kitab Wahyu (58 kali). Bagi kebanyakan orang Kristen, barangkali contoh yang paling dikenal dalam Injil Yohanes ditemukan di 3:16, “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan (didōmi) Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya 210 The Only True God kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Inilah yang digambarkan oleh Paulus sebagai “karunia-Nya yang tak terkatakan itu” (2Kor.9:15). Allahlah yang memberikan Yesus kepada kita, tidak lain dan tidak bukan karena Ia mengasihi kita. Untuk orang-orang yang egois seperti kita ini, adalah cukup sulit untuk dipahami apabila seseorang mengasihi kita dengan sangat mendalam dan tulus, tetapi kenyataan bahwa Allah mempunyai alasan untuk mengasihi kita adalah hal yang hampir tidak dapat dimengerti. Namun ayat ini tidak hanya menyatakan bahwa Allah mengasihi kita, tetapi Ia mengasihi kita sampai-sampai memberikan Anak-Nya. Ungkapan terima kasih seperti apa yang bisa kita balaskan kepada sang Bapa? Kita mengasihi sang Anak (sudah semestinya), tetapi kita meminggirkan sang Bapa seolah-olah Ia kurang terlibat di dalam keselamatan kita. Yesus menegaskan ketaatannya kepada sang Bapa “K ata Yesus kepada mereka: ‘Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi aku, sebab aku datang dari Allah dan sekarang aku ada di sini. Lagi pula aku datang bukan atas kehendakku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus aku’” (Yoh.8:42). Seperti telah kita lihat, Yesus bukan saja menekankan subordinasinya kepada Bapa sebagai orang yang diutus oleh-Nya, tetapi juga ketergantungannya kepada Bapa untuk hidup. Di ayat ini (Yoh.8:42) ia menggarisbawahi ketaatannya pada Bapa: bahwa kedatangannya ke dunia ini bukan atas pilihan atau inisiatifnya sendiri, melainkan karena ketaatan pada kehendak Bapa. Tentang ayat ini C.K. Barrett (The Gospel According to St. John) mengulas, “Sekali lagi misi Yesus dikosongkan dari segala sugesti akan kehendak-diri atau kepentingan-diri. Ini adalah tekanan Yohanein yang sangat umum dan esensial; lih. terutamanya 5:19-30. Yesus tidak datang ke dunia atas kemauannya sendiri; ia datang karena Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 211 diutus. Pelayanannya bersignifikansi bukan karena hikmat atau kebajikan dari dirinya sendiri, tetapi karena fakta bahwa ia adalah duta dari Allah sendiri.” Jelas melalui kata-kata “aku datang bukan atas kehendakku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus aku” (Yoh.8:42), Yesus tegas-tegas menyatakan bahwa kedatangannya merupakan sebuah tindakan ketaatan pada Bapa, bukan tindakan dari kehendaknya sendiri. Ia bisa saja tidak menaati, dan melalui tindakan ketidaktaatan itu (seperti Adam) mencengkeram kesetaraan dengan Allah. Akan tetapi, bukankah kita membaca Filipi 2:6 seakan-akan kedatangannya itu atas inisiatifnya sendiri, sebuah tindakan dari kehendaknya sendiri? Pemahaman seperti itu ternyata salah, dan mendistorsikan pengertian kita atas nas yang penting itu. Roma 5:19, “Jadi sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar.” Ketaatan harus melibatkan pilihan. Yesus berulang-kali menegaskan bahwa ia telah membuat pilihan untuk menaati Bapa: Yohanes 4:34, “Makananku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya”; kehendak Bapa itu ibarat makanan baginya, ia hidup darinya. Yohanes 5:30, “Aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku.” Yohanes 6:39, “Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepadaku jangan ada yang hilang, tetapi supaya kubangkitkan pada akhir zaman.” Subordinasi dan ketergantungannya Yohanes 14:10, “Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya.” 212 The Only True God Yohanes 5:19, Lalu Yesus menjawab mereka, katanya: “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.’” Yohanes 12:49, “Sebab aku tidak berbicara dari diriku sendiri, melainkan Dia yang telah mengutus aku; Bapa sendiri telah memberikan (didōmi) perintah (entolē) kepadaku, apa yang harus kuucapkan, dan apa yang harus kukatakan.” (ILT) Dalam ayat terakhir di atas Yesus menerangkan bahwa ia selalu hidup menurut perintah-perintah (entolē) yang telah diberikan (didōmi) oleh Bapa kepadanya. Kita seharusnya dapat menduga bahwa, kata “perintah” (entolē) lebih sering muncul dalam Injil Yohanes dibanding Injil-injil Sinoptik (Yoh: 10 kali; Mat: 6; Mrk: 6; Luk: 4). Yesus berulang-kali merujuk pada perintah-perintah Bapa: Yohanes 10:18, “Tidak seorang pun mengambilnya dari aku, melainkan aku memberikannya menurut kehendakku sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah perintah yang kuterima dari Bapaku.” Yohanes 15:10, “Jikalau kamu menuruti perintahku, kamu akan tinggal di dalam kasihku, seperti aku menuruti perintah Bapaku dan tinggal di dalam kasih-Nya.” Bandingkan ini dengan ayat berikut: Yohanes 14:31, “tetapi dunia harus tahu bahwa aku mengasihi Bapa dan bahwa aku melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan (entellomai) Bapa kepadaku.” Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 213 Yesus selalu melakukan kehendak Bapa Kehendak (thelēma) sang Bapa adalah kata kunci lain dalam Injil Yohanes, lagi-lagi lebih sering muncul dalam Injil ini daripada Injilinjil lain (Yoh: 11 kali; Mat: 6; Mrk: 1; Luk: 4). Di sini kita mengutip hanya ayat-ayat yang secara langsung relevan dengan apa yang sedang dibahas di bagian ini. Selain Yohanes 4:34 yang dikutip sebelumnya, ada ayat-ayat berikut: Yohanes 5:30, “Aku tidak dapat berbuat apa pun dari diriku sendiri; aku menghakimi sesuai dengan apa yang aku dengar, dan penghakimanku adil, sebab aku tidak menuruti kehendakku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku.” Yohanes 6:38, “Sebab aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendakku, melainkan kehendak Dia yang telah mengutus aku.” Yohanes 7:17, “Siapa saja yang mau melakukan kehendakNya, ia akan tahu entah ajaranku ini berasal dari Allah, entah aku berkata-kata dari diriku sendiri.” Hanya orang-orang yang hidup menurut kehendak Allah akan dianugerahi untuk mengenal Yesus—yang mengajar dan hidup menurut kehendak Allah. Firman Allah dan kehendak Allah tidak bisa dipisah. Kita mencatat bahwa Yesus tidak sekadar mengatakan secara dogmatis: Jika kamu ingin diselamatkan, kamu harus percaya kepadaku dan menerima apapun yang aku katakan dan ajarkan (inilah caranya gereja Kristen biasanya berbicara). Bagaimana kita tahu apakah seseorang (atau Gereja) sungguh-sungguh tengah memberitakan firman Allah? Ini sebuah pertanyaan yang adil. Jawaban Yesus adalah: Jika kamu sungguh-sungguh ingin hidup dengan sepenuhnya dan tanpa kompromi sesuai dengan kehendak Allah, 214 The Only True God maka Allah pasti akan menunjukkan kepadamu apakah aku—dan ajaranku—benar atau tidak. Mengetahui kebenaran bukanlah soal teori atau dogma, melainkan soal hidup (atau mati)—dan hidup bukanlah teori atau dogma belaka. Jika kita hidup dalam terang dengan melakukan kehendak Allah dengan setia, Ia akan mengaruniakan kepada kita untuk melihat terang-Nya, sebagaimana tertulis di Mazmur 36:9, “Sebab pada-Mu ada sumber hayat, di dalam terang-Mu kami melihat terang.” Injil Yohanes ditulis dengan gaya yang jelas dan tidak rumit. Jika kendati fakta ini kita masih tidak bisa memahami pesan yang terkandung di dalamnya, maka kita harus memeriksa kondisi rohani kita (“hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri”, 1Kor.11:28). Mereka yang mengorek-ngorek Injil ini untuk mencari teks-teks bukti, yang mereka pindahkan dari konteks asli untuk menyangga gagasan dan doktrin mereka yang tidak Alkitabiah, harus mempertimbangkan konsekuensinya yang serius: “Inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat” (Yoh.3:19). “Perbuatan-perbuatan mereka jahat” tidak semestinya berarti mereka itu perampok atau pezinah, tetapi mereka hidup menurut kehendak mereka sendiri, ketimbang hidup sepenuhnya dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Dalam pengajaran Yesus, melakukan atau tidak melakukan kehendak Bapalah yang mendefinisikan kebaikan atau kejahatan; bagaimana setiap orang hidup sehubungan dengan kehendak Allah itulah yang menentukan apakah akan dinilai baik atau jahat, apakah membawa kepada kehidupan atau kematian. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 215 Kemanusiaan Kristus yang sejati dan lengkap adalah esensial bagi keselamatan manusia A da pengamatan penting lain yang perlu kita camkan mengingat poin-poin di atas: Jika kemanusiaan Kristus dengan cara apa pun dipertanyakan atau dikompromikan, kita pun mengkompromikan keselamatan kita, sebab sebagaimana telah kita catat, jika Kristus bukan sungguh-sungguh manusia maka ia tidak bisa menjadi juruselamat kita. Namun justru itulah yang telah dilakukan oleh trinitarianisme; mengkompromikan kemanusiaan Kristus dengan menandaskan secara dogmatis bahwa Kristus itu keduanya “sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah”. Jika kita belum dibutakan oleh logika trinitarianisme yang sinting, kita tidak perlu waktu lebih dari sekejap untuk melihat bahwa ini adalah logika nonsens. Fakta gamblangnya adalah tak seorang pun yang dapat menjadi sungguh-sungguh manusia yang adalah sungguh-sungguh Allah. Tidak ada yang dapat menjadi 100% manusia dan juga 100% Allah, karena jumlahnya akan menjadi 200%—dua pribadi. Adakah sesuatu yang mustahil bagi Allah? Jawabannya ‘Ya’, jika yang terlibat adalah kontradiksi logis atau nonsens. Ini sama seperti menanyakan: apakah Allah bisa membuat sesuatu menjadi 100% hitam dan 100% putih semuanya sekaligus? Dapatkah 100% garam juga menjadi 100% gula? Intinya nonsens yang bukan-bukan tidak pernah bisa diatributkan kepada Allah; Ia adalah Allah kebenaran, bukan Allah irasional dan dusta. Akan tetapi, Kristologi yang bertentangan-diri macam inilah tepatnya yang mengakibatkan orang-orang Kristen berkata “Yesus adalah Allah”; pada umumnya orang-orang Kristen ini memiliki konsep yang lemah tentang kemanusiaan Yesus. Faktanya adalah kita tidak bisa memegang dengan seimbang dua pemikiran tentang Yesus yang saling bertolak-belakang tanpa yang satu mendominasi 216 The Only True God yang lainnya, dan karena Allah harus menjadi yang mendominasi itu, maka kemanusiaan Kristus dipudarkan oleh dominasi itu. Juga, gagasan Allah-manusia yang dogmatis ini mengakibatkan orang Kristen harus terlibat dalam seni gaya bicara ganda (doublespeak): di satu saat kita berbicara tentang dia sebagai Allah dan di lain saat kita berbicara tentang dia sebagai manusia, bahkan tanpa menyadari kontradiksi yang terlibat. Kita nyaris tidak menyadari bahwa kita sedang berayun ke sana kemari, karena sudah kebal dengan kontradiksi-diri di dalam suatu alam pikiran di mana kebenaran dan kepalsuan, yang rasional dan irasionalitas, dipaksakan ke dalam koeksistensi. “Prestasi” mental ini harus dibayar dengan harga yang amat tinggi: kita hanya perlu memandang ke sekeliling dunia dan melihat bahwa, jauh dari menjadi “terang dunia” (Mat.5:14), gereja telah menjadi tidak relevan, karena gereja sendiri telah jatuh ke dalam kegelapan kepalsuan. Bagaimanakah gereja dapat berfungsi sebagai terang kecuali jika ia dilepaskan dari belenggu kepalsuan? Mengingat jahatnya kepalsuan, relevansi dari kata-kata yang diajarkan Yesus kepada murid-muridnya untuk berdoa, “lepaskanlah kami dari yang jahat”, mulai menjadi jelas secara mencolok. Mari kita ambil sebuah contoh: pencobaan Kristus di Matius 4 dan Lukas 4. Bagaimana trinitarianisme menjelaskan nas ini dalam cahaya prinsip yang tercantum di Yakobus 1:13, “Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat”? Ini berarti jika Yesus betul-betul tidak bisa dicobai, maka ia bukan seorang manusia; dan jika ia bisa dicobai, ia bukan Allah. Untuk memperdebatkan bahwa ia dapat dicobai sebagai manusia, tetapi tidak sebagai Allah, dengan memakai gaya bicara ganda (double-talk) yang lazim dilakukan oleh trinitarian tanpa rasa malu, artinya mengubah apa yang masuk akal menjadi tidak masuk akal, dan kebenaran menjadi kepalsuan, sebab ketika berbicara tentang pencobaan, ia bukan Allah—tetapi jika ia adalah Allah, maka ia tidak dapat dicobai dan pencobaan Kristus akan Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 217 menjadi suatu latihan yang tidak berarti. Apa sudah terjadi dengan klaim bahwa ia adalah 100% Allah (Allah sejati) dan 100% manusia sekaligus di waktu yang bersamaan? Bagaimana kita dapat menafsirkan Kitab Suci dengan tepat dan secara bertanggung jawab dengan pengajaran seperti ini? Trinitarianisme ingin mendapatkan keduanya: Yesus, sang Allahmanusia, adalah satu pribadi tetapi secara fungsional ia sebenarnya adalah dua pribadi sekaligus, yaitu Allah dan manusia. Jadi berkenaan dengan hal menghadapi pencobaan, Yesus yang adalah Allah, sekejap mata beralih menjadi manusia. Beralih bolak-balik sesuai dengan tuntutan situasi seperti ini adalah cara Kristus trinitaris berfungsi. Akan tetapi hal itu sendiri menunjukkan bahwa ia tidak dapat menjadi keduanya Allah dan manusia sekaligus. Sebab, tak seorang pun bisa dicobai dan sekaligus tidak dapat dicobai, karena itu mustahil secara logis dan faktual, dan untuk tetap berpendapat bahwa hal itu mungkin adalah bersikeras untuk berbicara omong kosong. Apakah memang begitu sulit untuk melihat bahwa pernyataan apa pun yang kurang lebih mengatakan bahwa Yesus bisa dicobai tetapi di saat yang sama tidak bisa dicobai merupakan hal yang tidak masuk akal? Akan tetapi, gaya bicara ganda (double talk) seperti inilah yang harus dipakai trinitarian dalam memperdebatkan doktrin Allah-manusia. “Ya” mereka adalah “tidak”, dan “tidak” mereka adalah “ya” (bdk. Mat.5:37; 2Kor.1:17,19; Yak 5:12)—apa saja yang sesuai dengan tujuan mereka guna membela sebuah dogma yang pada akhirnya terbukti tidak bisa dipertahankan baik oleh Kitab Suci maupun oleh logika. Asal-usul Trinitarianisme D alam terang Kitab Suci, asal-usul dan perkembangan kekeliruan trinitaris dapat dianalisa dalam tiga langkah: 218 The Only True God (1) “Firman itu” disalahtafsirkan untuk merujuk kepada “AllahAnak”, yang tidak ditemukan dalam Kitab Suci (atau di tempat lain), tetapi diciptakan oleh trinitarianisme sebagai akibat dari penafsiran yang keliru, khususnya mengenai Yohanes 1:1. Oleh karena pentingnya hal ini dan seriusnya konsekuensinya terhadap jemaat, perhatian yang seksama akan diberikan untuk memeriksa hal ini dalam babbab berikut. (2) “Inkarnasi” ditafsirkan sebagai dua pribadi yang berbeda dan terpisah, yang satu disebut “Allah”—yakni, “Allah-Anak”—dan manusia yang bernama Yesus, secara harfiah dimampatkan atau dipadatkan menjadi satu pribadi, satu individu. Dua pribadi dibuat menjadi satu pribadi! Ini tidak dimaksudkan sebagai penyatuan metaforis seperti penyatuan suami dan istri yang menjadi “satu daging” (Kej.2:24; Mat.19:5, dst.), tetapi sungguh-sungguh menjadi satu pribadi! Melalui doktrin ini dua pribadi terpadu menjadi satu— tanpa mempedulikan apakah hal ini mungkin secara logis atau faktual. Namun ini menimbulkan masalah bahwa “pribadi” seperti itu akhirnya menjadi sesuatu yang bukan benar-benar manusia ataupun ilahi, yaitu menjadi semacam kombinasi dari keduanya. Namun, terburuk dari semua, Kitab Suci sama sekali tidak mengandung dasar apapun untuk hal ini. Ini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah sebuah pemalsuan trinitaris yang tersesat. Akan tetapi, doktrin macam inilah yang dituntut untuk dipercayai oleh umat Kristen! (3) Gereja Barat telah gagal melihat bahwa Yahweh Allahlah yang ada “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya” (2Kor.5:19, ILT) kendati fakta bahwa, sebagaimana Yesus sendiri telah menyatakannya dengan jelas, sang Bapa, Yahweh, adalah “satusatunya Allah yang benar” (Yoh.17:3), “Allah yang Esa” (Yoh.5:44); siapa lagi kalau bukan Dia yang ada “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia”? Akan tetapi, teologi Barat telah menutup Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 219 pilihan ini karena, di bawah pengaruh filosofi Helenistik (Yunani) yang berpendapat bahwa Allah itu transenden, mereka telah membuatnya mustahil untuk berpikiran bahwa Yahweh bisa datang ke dunia di dalam Kristus. Tampaknya, “Firman itu” justru dianggap kurang transenden, barangkali sebagai sejenis wujud menengah (seperti dalam Filo); jika tidak, bagaimana Firman itu bisa menghindari larangan buatan manusia atas kedatangan Allah ke dunia oleh karena “transendensi”-Nya? Kelihatannya trinitarian tidak menyadari bahwa mengecualikan Firman dari larangan itu dengan sendirinya menyangsikan klaim mereka tentang keilahian Firman itu, karena itu akan menjadi pengakuan bahwa Firman itu tidak transenden dari semula. Pengajaran Yesus sendiri P ernyataan “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19 MILT) bukanlah ciptaan Paulus (Paulus sering salah dituduh sebagai pencetus doktrin-doktrin Kristen yang kemudian); tak pelak, itu adalah ajaran Yesus sendiri. Seperti yang akan kita lihat sewaktu mengkaji pengajaran Yesus dalam Injil Yohanes, secara konsisten Yesus menegaskan bahwa Bapalah, yang merupakan kuasa dinamis yang bekerja di dalam dia, yang memampukan dia menggenapi misinya untuk menyelesaikan keselamatan umat manusia. Ini bisa dilihat dengan jelas dalam kata-kata berikut: “Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yoh.14:10). Dalam pengajaran Yesus tidak terdapat gagasan kalau transendensi Yahweh menghalangi-Nya datang ke dunia di dalam Kristus; Yesus bahkan dapat berbicara secara metaforis tentang bumi sebagai “tumpuan” kaki Yahweh (Mat.5:35)—kaki-Nya berdiri kokoh di bumi yang Ia ciptakan! Filosofi apa pun, Yunani atau 220 The Only True God sebaliknya, tidak akan diizinkan melarang Dia datang ke dunia ciptaan-Nya. Dengan demikian, dalam terang pengajaran Yesus dengan mudah dapat dilihat bahwa ketiga poin yang menjadi dasar dogma trinitaris tidak menemukan dukungan di dalam pengajarannya. Berkenaan dengan poin pertama, “Firman itu” sebagai sebuah metonim untuk “Yahweh” merupakan sesuatu yang akrab kepada Yesus dan orangorang Yahudi pada zamannya karena itu berakar dalam PL dan Alkitab Aram (Targum) yang umum dipakai di sinagoga di Israel. Hal ini akan dibahas dengan lebih rinci dalam bab-bab berikut. Berkenaan dengan poin yang kedua, bahwa di dalam Yesus, Allah dan manusia “dipadatkan” menjadi satu (bagaimana lagi kita menggambarkan dua pribadi yang dikurangi menjadi satu?!), gagasan seperti itu sama sekali asing dalam ajaran Yesus, malah tidak kompatibel dengan ajarannya. Setelah kita mulai memahami sedikit dari inti-inti dasariah dalam ajaran Yesus, kita mulai merasa mual dengan gagasan trinitaris yang mengurangi Allah dan manusia menjadi satu pribadi; yang tampaknya berbatasan dengan menghujat. Bagaimana lagi kita dapat mengatasi kepalsuan ini tanpa menyebutkannya? Anehnya, sebagai trinitarian, kita tidak merasa keberatan dengan dogma yang menggabungkan Allah dan manusia menjadi satu pribadi ini. Barangkali ini dikarenakan sedikit dari kita yang betul-betul menyadari apa sesungguhnya arti dan dampak dari penggabungan seperti itu; konsepnya terlalu kabur bagi kita, sehingga implikasinya tidak memukul kita. Namun alasan lain adalah karena kebanyakan orang mempunyai konsep Allah yang terlalu dangkal; keagungan yang membangkitkan rasa hormat terhadap Allah yang hidup itu sangat asing dalam pemikiran kebanyakan orang tentang Dia. Jadi, kita benar-benar tidak pernah terpikir bahwa kita mungkin tengah mengatakan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan Dia. Lagipula, jika seseorang mempercayai sesuatu tentang Allah, biasanya adalah gagasan bahwa Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 221 tidak ada yang mustahil bagi Allah, dan ini menjadikannya mungkin untuk berbicara bahkan tentang absurditas seolah-olah hal yang absurd juga mungkin bagi Allah. Yesus memperingatkan kita tentang cara kita merujuk kepada Allah. Berikut ini, misalnya, adalah alasan di balik peringatannya untuk tidak bersumpah: “Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun. Jika ya, hendaklah kamu katakan: Ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: Tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat” (Mat.5:34-37). Apa yang mencolok dari perkataan Yesus di sini adalah peringatannya bahwa meskipun rujukan langsung kepada Allah dihindari ketika bersumpah “demi langit”, atau “demi bumi”, dll, sumpah Anda tetap bereferensi kepada Allah, sehingga Anda tetap harus mempertanggung-jawabkannya di hadapan Dia, dan Anda bisa jadi “dihukum” atau bahkan dibuang ke “neraka yang menyalanyala” (Mat.5:22) jika itu “berasal dari si jahat” (Mat.5:37). Inilah derajat penghormatan kepada Allah dalam kehidupan dan percakapan sehari-hari yang jauh melampaui konsep kebanyakan orang Kristen, dan yang nyaris tak terpikirkan olehnya. Oleh karena itu, sulit untuk membayangkan apa yang akan dipikirkan Yesus tentang penggabungan Allah dengan manusia ke dalam satu pribadi sebagaimana didefinisikan secara dogmatis oleh trinitarianisme! Pengurangan trinitaris dari dua pribadi menjadi satu ini sama sekali tidak mewakili apa yang dimaksud oleh Yesus dengan menjadi “satu” dengan sang Bapa, dan kita yang menjadi satu dengan dia dan 222 The Only True God Bapa melalui penyatuan yang serupa. Penyatuan ini selalu dibicarakan dalam istilah “tinggal” atau “diam” di dalam satu sama lain, bukan semacam penyerapan kuasi-fisik ke dalam satu sama lain. Identitas diri masing-masing pribadi sepenuhnya dipastikan dalam penyatuan ini, dan malah diperkaya dan ditingkatkan olehnya. Yesus tidak pernah terlibat dalam ‘gaya bicara ganda’, yaitu, kadang berbicara sebagai manusia dan kadang sebagai Allah. Siapapun yang berbuat demikian sudah sewajarnya dianggap menderita schizofrenia, jika bukan sesuatu yang lebih buruk. Di sepanjang Injil Yohanes, secara konsisten ia berbicara sebagai “anak” yang hidup dalam kasih dan ketaatan total kepada Bapanya. Namun trinitarianisme, dalam tekadnya untuk mempertahankan gagasan yang tidak dapat dipertahankan secara Alkitabiah (dan secara logis) tentang Yesus sebagai ‘Allah sejati dan manusia sejati’, mendapati bahwa mereka tidak dapat berbuat demikian tanpa menengarai bahwa dalam satu situasi Yesus berbicara sebagai Allah tetapi dalam situasi lain sebagai manusia (mis. “Aku haus”, Yoh.19:28). Dengan demikian, mereka mengakui bahwa ia berfungsi secara schizofrenis; dan hal ini memang tidak dapat dielakkan, oleh karena kodrat rangkapnya. Injil sama sekali tidak memberikan dasar untuk gagasan semacam itu. Hendaknya diingat baik-baik bahwa, dari sudut pandang keselamatan umat manusia, keilahian Kristus tidak menjadi soal, tetapi realitas dari kemanusiaan Kristus merupakan hal yang paling penting. Jika kita tidak ingin disesatkan, kita harus mengingat hal ini: Tidak di manapun juga dalam PB iman pada keilahian Kristus diwajibkan untuk keselamatan. Fakta ini akan menjadi lebih jelas bagi pembaca seraya kita melanjutkan kajian ini. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 223 Manusia Sempurna sebagai Pengantara “Karena Allah itu esa dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5). M usa melayani secara efektif sebagai seorang pengantara antara Israel dan Yahweh. Dalam beberapa kesempatan Israel yang memberontak diselamatkan dari murka Allah melalui perantaraan Musa. Namun siapakah yang berdiri di antara umat manusia dan Allah? “Semua orang telah berbuat dosa” (Rm.3:23), semua orang tidak menaati Allah, semua orang ada dalam cengkeraman maut dan hukuman; siapakah yang akan berbicara atas nama umat manusia sama seperti yang dilakukan Musa untuk bangsa Israel? Perlunya pelayanan Kristus sebagai “pengantara yang esa” menjadi nyata di sini. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau Kristus dibandingkan dengan Musa sebagai pengantara (Gal.3:19-22). Bahkan dalam Prolog Yohanes terdapat rujukan kepada Musa (Yoh.1:17), sebab melalui dia Firman (logos) Allah datang kepada Israel dalam bentuk Hukum Taurat. Surat kepada Orang Ibrani membahas dengan rinci peranan perantaraan Yesus sebagai imam agung yang besar. Fungsi imam agung dijelaskan di Ibrani 5:1 (LAI-TL), “Karena setiap Imam Besar yang dipilih dari antara manusia, ditetapkan untuk mewakili manusia dalam hubungan mereka dengan Allah [yaitu bertindak sebagai pengantara]. Ia bertugas untuk mempersembahkan berbagai persembahan dan kurban oleh karena dosa.” “Dan tidak seorangpun yang mengambil kehormatan itu bagi dirinya sendiri, melainkan dipanggil oleh Allah untuk itu” (ay.4). “Demikian pula Kristus tidak memuliakan dirinya sendiri dengan menjadi Imam Besar, tetapi dimuliakan oleh Dia yang berfirman kepadanya, “Engkaulah AnakKu! Engkau telah menjadi Anak-Ku pada hari ini” [Mzm.2:7]” (ay.5). “Sebab Kristus tidak masuk ke Ruang Suci buatan manusia, 224 The Only True God yang hanya melambangkan Ruang Suci yang sebenarnya. Kristus masuk ke surga sendiri; di sana ia sekarang menghadap Allah untuk kepentingan kita (huper hēmōn)” (Ibr.9:24, BIS). “Untuk kepentingan kita” membentuk karakter dari peranan sang pengantara, khususnya peranan imam besar sebagai pengantara. Namun “untuk kepentingan kita” hanyalah salah satu terjemahan dari huper hēmōn, yang secara harfiah berarti: “untuk kita”. Frasa ini muncul berkali-kali sehubungan dengan pekerjaan Kristus sebagai imam besar dan juruselamat; ada terlalu banyak referensi untuk dikaji di sini, tetapi berikut ini adalah ayat-ayat yang muncul dalam Kitab Roma: “Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.” (5:6) “Akan tetapi, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita.” (5:8) “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersamasama dengan dia?” (8:32) “Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: Yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?” (8:34) Dari referensi-referensi di atas penting untuk diperhatikan bahwa Allah Yahweh-lah yang menyediakan pengantara itu dengan menetapkan Yesus sebagai imam besar (Ibr.5:5), dan Ia jugalah yang menyediakan kurban penebus dosa dengan menyerahkan Anak-Nya sendiri (Rm.8:32), sehingga “Kristus telah mati untuk kita” (Rm.5:8). Itulah alasannya mengapa Yahweh disebut “Allah Juruselamat kita” Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 225 (1Tim.1:1; 2:3; dst.). Penyediaan untuk keselamatan manusia ini mengingatkan kita pada kejadian pengurbanan Ishak oleh Abraham. Ketika Ishak menanyakan ayahnya di mana hewan kurban itu, Abraham, “bapa semua orang percaya” (Rm.4:11), menjawab, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagiNya, anakku.” (Kej.22:8). Hal ini mengisyaratkan iman yang percaya pada Yahweh yang akan menyediakan “Anak Domba Allah” (Yoh.1:29,36; dan, di kitab Wahyu, “Anak Domba”); frasa itu berarti: seekor Anak Domba yang disediakan oleh Allah Sendiri—untuk memungkinkan keselamatan umat manusia. Yang juga penting untuk kita ketahui adalah “untuk kita” (huper hēmōn, dan dengan demikian, “untuk kamu”, huper sou) berakar dalam bahasa penebusan di PL. Berikut ini adalah sebuah contoh dari Yesaya 43: Sebab Akulah Yahweh, Allahmu, Yang Mahakudus, Allah Israel, Juruselamatmu. Aku menebus engkau dengan Mesir, dan memberikan Etiopia dan Syeba sebagai gantimu [LXX, huper sou, “untuk kamu”]. 4 Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu [LXX, huper sou], dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu. 3 Nas di atas menjelaskan beberapa poin penting: (1) Yahweh adalah Penebus umat-Nya. Ini merupakan sebuah tema penting dalam Alkitab Ibrani, tetapi diberikan penekanan khusus di kitab Yesaya. “Dari tiga puluh tiga nas dalam Perjanjian Lama di mana gō’ēl [penebus] diterapkan kepada Allah, sembilan belas nas muncul dalam Kitab Yesaya… Dalam merohaniahkan istilah gō’ēl, Yesaya (Yes.49:26; bdk. Mzm.19:14) menempatkannya setaraf dengan ‘juruselamat’”. (Unger’s Bible Dictionary, “Penebus”) 226 The Only True God (2) Penebusan melibatkan pembayaran “tebusan”. Dalam hal ini, karena Mesir juga kepunyaan Allah, Ia memilih untuk memberikannya sebagai tebusan untuk membebaskan umat-Nya dari perbudakan yang mengikat mereka. Tebusan adalah “harga” (timē) yang dibayar untuk menebus seorang budak. Oleh karena itu, Paulus menulis kepada jemaat di Korintus, “kamu bukan milik kamu sendiri, sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!” (1Kor.6:19,20; juga 7:23) (3) Tebusan adalah sesuatu yang diberikan untuk ditukar dengan tawanan atau budak yang telah ditebus dengan bayaran itu. Maka, ketika kita membaca di Roma 5:6 bahwa “Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka”, kita mengerti bahwa melalui kematiannya ia telah memberikan nyawanya sebagai tebusan untuk kita sehingga memastikan jiwa kita selamat. Ia memberikan dirinya sendiri untuk ditukar dengan kita. Yesus sendiri mengatakannya demikian, “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat.20:28) Yesus adalah tebusan itu yang menyerahkan dirinya dengan sukarela bagi kita (Gal.2:20). Namun, tidak seperti Paulus, kita biasanya mengabaikan fakta bahwa Allah Yahwehlah yang memberikan Anak-Nya sebagai tebusan itu; “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkannya bagi kita semua” (Rm.8:32). Dengan kata lain, Allah Yahweh adalah sang Juruselamat-Penebus, dan Yesus adalah tebusan yang dibayar Allah untuk kita. Indahnya sang pengantara adalah karena ia merupakan kurban-tebusan yang rela. Indahnya Yahweh adalah karena Ia rela “menyerahkan” “anak terkasih”-Nya demi keselamatan-kemerdekaan kita dari dosa dan kematian. Dari kerelaan Yesus memberi dirinya kita dapat menghargai mengapa ia adalah “anak terkasih” Yahweh. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 227 Rasul Petrus mengatakannya seperti ini, “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus [oleh Allah] dari cara hidupmu yang siasia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” (1Ptr.1:18,19) Mengapa ia berbicara tentang darah Kristus sebagai sesuatu yang “mahal”? Bukankah karena darah itu adalah darah “Anak terkasih” Allah (2Ptr.1:17; Mat.3:17; 17:5, dst.)? Perhatikan juga bahwa, “darah” di sini berbicara tentang Yesus sebagai manusia, dan “yang tak bernoda dan tak bercacat” menggambarkan dirinya sempurna; dengan demikian melukiskan dia sebagai sang manusia sempurna. (4) Mereka yang telah ditebus menjadi milik pihak yang menebus. Ini dinyatakan dengan indah sekali di Yesaya 43:1, “Tetapi sekarang, beginilah firman Yahweh yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: "Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku.” Sentimen ini sudah diungkapkan jauh sebelumnya di Ulangan 14:1,2: “Kamulah anakanak Yahweh, Allahmu… sebab engkaulah umat yang kudus bagi Yahweh, Allahmu, dan engkau dipilih Yahweh untuk menjadi umat kesayangan-Nya dari antara segala bangsa yang di atas muka bumi.” Demikian pula di Ulangan 26:18, “Dan Yahweh telah menerima janji dari padamu pada hari ini, bahwa engkau akan menjadi umat kesayangan-Nya.” Sentimen yang sama ini diterapkan kepada jemaat dalam Perjanjian Baru, seperti di 1Petrus 2:9,10: Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada 228 The Only True God terang-Nya yang ajaib: kamu, yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan. Untuk alasan ini pulalah jemaat disebut “jemaat Allah” (7 kali dalam PB). Dalam trinitarianisme “Kristosentris” kita selalu berbicara tentang “jemaat Yesus Kristus”. Betapa terkejutnya saya ketika mendapati istilah “jemaat Kristus” tidak dapat ditemukan dalam Perjanjian Baru! Ini mengingatkan saya akan Matius 22:29: “Yesus menjawab mereka: Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!”—dan saya telah berasumsi kalau saya mengenal keduanya itu dengan cukup baik!—sebuah pelajaran kerendahan hati yang menyakitkan tetapi sangat diperlukan! Dalam kasih sayang Allah Ia menebus kita melalui Kristus dan menjadikan kita milik-Nya. Namun, hal yang telah kita lupakan (atau yang kita pilih untuk diabaikan?) sebagai trinitarian adalah bahwa bukan hanya kita saja yang menjadi milik-Nya, tetapi Kristus Yesus Tu[h]an kita juga adalah milik Yahweh sendiri, seperti yang dinyatakan oleh sang Rasul dengan begitu jelas, “Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (1Kor.3:23). Akhirnya saya memahami apa yang selama ini tidak saya pahami oleh karena Kristologi trinitaris saya: Kristus bukanlah seorang pengantara mandiri yang berdiri di antara Allah dan manusia; ia adalah milik Allah. Dengan kata lain, ia bukan pihak ketiga yang datang untuk bertindak sebagai seorang penengah atau perunding antara Allah dan manusia. Ia memang seorang pengantara, tetapi hanya dalam arti sebagai seorang yang diutus Allah dan diangkat oleh-Nya sebagai imam agung dan juga sebagai kurban; karena Allah Sendirilah yang ada “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19). “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkannya bagi kita semua” Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 229 (Rm.8:32) untuk memastikan penebusan kita. Allah Yahwehlah yang memprakarsai semuanya ini sejak awal; Dia sendirilah yang menyediakan pengantaranya. Akhirnya, saya mulai memahami apa yang dimaksud oleh sang Rasul di Galatia 3:20. Dapat dimaklumi bila setiap terjemahan berusaha mengartikan kalimat yang begitu padat ini, tetapi tampaknya nyaris tidak ada yang berhasil. Terjemahan harfiah kata demi katanya berbunyi, “Nah, seorang pengantara bukan dari satu; tetapi Allah itu satu.” Apa artinya ini? Sebagaimana telah kita lihat, keselamatan umat manusia ini sepenuhnya diprakarsai oleh Allah sendiri; manusia tidak ada bagian sama sekali, ia tidak memberi sumbangsih apapun; semuanya datang hanya dari Allah yang satu itu—tidak ada pihak lain yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan dari keselamatan manusia, keselamatan itu adalah semata-mata anugerah Allah. Jadi di Galatia 3:20, meskipun Paulus sependapat bahwa biasanya seorang pengantara tidak disediakan oleh satu pihak saja, akan tetapi, dalam perkara keselamatan manusia, Kristus sang pengantara memang disediakan oleh satu pihak saja: Allah yang satu itu. “Allah itu satu” menggemakan Ulangan 6:4 dan Markus 12:29; diterapkan di sini secara khusus kepada soal keselamatan. “Yeshua”, nama yang diberikan Allah kepada Yesus S eperti umum diketahui, nama Ibrani Yesus adalah Yeshua. Nama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Jesus”, mengikuti bentuk Yunaninya, bukan Ibrani. “Yeshua” berarti “Yahweh menyelamatkan” atau “Yahweh adalah Juruselamat”. Akan sangat aneh jika orang yang nama-dirinya memberitakan Yahweh sebagai Juruselamat menggantikan Dia sebagai juruselamat! Sebenarnya, bukan saja aneh tetapi palsu, dan bahkan jahat. 230 The Only True God Nama “Yeshua” jelas berarti Yahweh akan menyelamatkan kita di dalam dan melalui orang yang diberi nama itu. Pada berbagai kesempatan dalam sejarah Israel Yahweh menyelamatkan umat-Nya melalui para penebus atau penyelamat yang dibangkitkan oleh-Nya. Contohnya: Nehemia 9:27, “Engkau menyerahkan kembali mereka ke dalam tangan musuh-musuh mereka yang menindas mereka. Dalam penindasan mereka, mereka berseru kepada-Mu, dan Engkau mendengarkan mereka dari surga, sehingga oleh kemurahan-Mu yang berlimpah ruah. Engkau mengirim penyelamat yang membebaskan mereka dari para penindas mereka.” (KSKK) Obaja 1:21, “Penyelamat-penyelamat akan naik ke atas gunung Sion untuk menghukumkan pegunungan Esau; maka Tuhanlah yang akan empunya kerajaan itu.” Yesus pun adalah seorang Penyelamat yang diutus dari Allah, seperti tertulis di 1Yohanes 4:14, “Dan kami telah melihat dan bersaksi, bahwa Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia.” Lagipula, Yesus terus-menerus menegaskan bahwa Bapalah yang bekerja melalui dia: “Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yoh.14:10; bdk. Yoh.5:19); “Pekerjaan-pekerjaan-Nya” secara khusus adalah segala yang perlu dilakukan demi keselamatan umat manusia. “Allah Juruselamatku” (atau “Allah Keselamatanku” dalam terjemahan lain) kerap muncul dalam PL. Kata “Allah” (elohim) dan “selamat” (Yasha, akar Ibrani yang membentuk nama “Yeshua”) muncul bersama-sama tidak kurang dari 70 kali dalam PL; dan kata “Yahweh” muncul bersama-sama dengan “selamat” sebanyak 131 kali. Akhirnya, tidak ada penyelamat lain selain Yahweh: “Tidak ada Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 231 Allah selain dari pada-Ku! Allah yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain kecuali Aku!” (Yes.45:21). Kemuliaan Kristus—sebagai manusia K emuliaan Kristus tidak terdiri dari dugaan bahwa dia adalah “Allah”, melainkan dia sebagai “Adam yang akhir” (1Kor.15:45), yaitu puncak dari ciptaan Allah: manusia baru. Manusia baru Yesus ini adalah “buah sulung” (1Kor.15:23) yang juga buah terakhir, puncaknya, sang “manusia sempurna” (Ef.4:13). Itulah sebabnya ia adalah “yang awal dan yang akhir” (Why.1:17; 2:8), permulaan dan puncak dari ciptaan baru. Efesus 4:13 memerlukan penguraian lebih lengkap. Demikian bunyi ayat ini menurut MILT: “hingga kita semua telah sampai pada kesatuan iman dan pengenalan penuh akan Putra Allah, sebagai manusia sempurna, sesuai ukuran kedewasaan kepenuhan Kristus”. Sekilas pandang kepada terjemahan-terjemaham lain akan menunjukkan bahwa kebanyakannya menerjemahkan “manusia sempurna” sebagai “manusia dewasa” atau “kedewasaan penuh”. Kata yang terdapat dalam teks bahasa Yunaninya adalah dua kata “anēr” dan “teleios”. Makna dasar dari anēr adalah “seorang pria dewasa, lakilaki, suami” (BDAG); jadi kata itu bukan anthrōpos, kata yang berarti manusia. Lantas, mengapa kata khusus untuk pria dewasa dipakai di sini, dan bukannya kata untuk manusia dalam arti umum? Jawabannya cukup jelas: “manusia sempurna” di sini mengacu secara khusus kepada Kristus, yang ditegaskan oleh kalimat berikutnya: “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus”. Sedangkan untuk “teleios”, makna utamanya adalah “1. tentang mencapai standar tertinggi, sempurna”, tetapi bisa juga berarti “2. tentang hal menjadi dewasa, tumbuh menjadi besar, matang, dewasa” (kedua kutipan ini diambil dari BDAG). Maksud dari Efesus 4:13 tentu saja bukannya kita mesti bertumbuh kepada 232 The Only True God kedewasaan dalam arti umum, tetapi secara khusus untuk bertumbuh kepada kedewasaan kepenuhan Kristus sebagai “manusia sempurna”. Hal lain yang mencolok dari ayat ini adalah cara istilah “Anak Allah” dipahami. “Anak Allah” itu tidak lain dan tidak bukan adalah sang “manusia sempurna”! Kedua frasa itu jelas berkaitan satu dengan yang lain di ayat ini, dan tidak dapat dipahami dengan tepat secara terpisah. Manusia sempurna itu bukan sekadar boneka manusia, tetapi seorang yang dalam ketaatan dan pengabdian penuh kepada Yahweh melaksanakan tujuan penyelamatan-Nya dalam sukacita ketundukan (“yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi dia”, Ibr.12:2). Kita bisa berseru dari hati, “Sungguh seorang penyelamat!” Terlebih lagi ketika kita memahami bahwa adalah tidak mustahil bagi dia untuk dicobai dan jatuh sama seperti Adam (hal yang mustahil seandainya ia adalah Allah), tetapi ia “menang atas mereka” (Kol.2:15; bdk. Why.5:5) dalam ketabahan ketaatannya kepada sang Bapa yang tinggal di dalam dia, yang memelihara dia, yang terus-menerus memberdayakannya di dalam segala sesuatu yang ia katakan dan lakukan, dengan demikian memastikan kemenangannya. Pandangan yang negatif terhadap manusia dalam Kekristenan D egradasi manusia oleh Augustinus dan Kalvinus sehingga ia dipandang tidak lebih daripada seorang berdosa yang hina dan “bejat”, membuat Yesus tampak tidak layak sebagai manusia “semata-mata”. (Ia tidak mungkin seorang malaikat atau penghulu malaikat, atau akan dikatakan bahwa manusia diselamatkan oleh seorang malaikat!) Dan jika Kristus—begitulah logikanya—harus lebih daripada manusia dan lebih daripada malaikat, bagaimana ia Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 233 bisa kurang daripada Allah? Pengajaran Paulus tentang manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7) disingkirkan oleh dogmatisme Kristen semacam ini yang secara selektif mengutip ayat-ayat seperti yang ditemukan di Roma 3:10-18, yang merupakan sekumpulan ayat-ayat PL yang melukiskan tingkat kekejian yang telah dipilih oleh sebagian orang. Namun mengemukakan bahwa limbah dari kemanusiaan adalah representatif dari seluruh umat manusia adalah tidak sesuai dengan kenyataan (seperti banyak contoh dari orang seperti pemadam kebakaran, yang sekalipun bukan Kristen, mempertaruhkan nyawa mereka, dan bahkan tewas, demi menyelamatkan orang lain di saat bencana), dan juga tidak sesuai dengan pernyataan Paulus tentang manusia sebagai (bentuk waktu ini) “kemuliaan Allah” (1Kor.11:7)—sebuah pernyataan yang agak kuat, bukan? Lantas, mengapa berbicara tentang Kristus sebagai manusia dianggap merendahkannya? “Kemuliaan” dalam Injil Yohanes: Yesus tidak menerima kemuliaan dari manusia Orang yang menjadikan kehendak Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup, sama sekali tidak peduli dengan kemuliaan dari manusia. Yesus memulai pelayanan pengajarannya dengan Ucapan Bahagia (Matius 5); yang melukiskan cara fungsi orang yang hidup menurut kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari. Orang seperti inilah yang menjadi sasaran berkat-berkat Allah. Di bagian terakhir Ucapan Bahagia Yesus berkata: “10 Berbahagialah orang yang dianiaya karena melakukan kehendak Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga. 11 Berbahagialah kamu, jika karena aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. 234 The Only True God Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” 12 Orang-orang yang mencari pahala atau kemuliaan yang datang dari Allah sendiri, tidak peduli dengan permusuhan dari manusia, sebab hasrat mereka satu-satunya adalah hidup untuk Allah dan menyenangkan Dia. Dicela dan dianiaya menjadi sebab untuk “bersukacita dan bergembira”. Pada bagian akhir Injil pembaca akan melihat bahwa bukan saja para nabi yang dianiaya, tetapi di atas segalanya, Yesus sendiri; dan demikian juga dengan semua orang yang melakukan kehendak Bapa dan mencari kemuliaan-Nya. “Kemuliaan” (doxa, δόξα) adalah sebuah kata kunci yang secara statistik signifikan dalam Injil Yohanes di mana kata ini muncul 19 kali, dibanding 13 kali dalam Injil Lukas (20% lebih panjang), Matius 7 kali, dan Markus hanya 3 kali. Satu-satunya kitab dalam PB di mana kata doxa muncul sekerap Injil Yohanes adalah kitab Wahyu (juga sebuah kitab Yohanein), di mana ia muncul 17 kali. Sekilas pandang pada tempat doxa dalam pengajaran Yesus membeberkan suatu hal yang amat penting tentang pikiran Kristus yang teramati oleh sedikit orang: Yohanes 5:41, Aku tidak menerima kemuliaan dari manusia. (ILT) Yohanes 5:44, Bagaimana kamu dapat percaya jika kamu mencari kehormatan satu dari yang lain, dan tidak mencari kemuliaan dari Allah satu-satunya? (KSKK) (Perhatikan monoteisme sebagai faktor memotivasi: dari “Allah satusatunya”, monos theos) Yohanes 7:18, Orang yang berbicara atas namanya sendiri mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri. Tetapi orang yang Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 235 mencari kemuliaan bagi Dia yang mengutusnya adalah orang yang jujur, dan dalam dirinya tidak ada ketidakbenaran. (ITL) Yohanes 8:50, Aku tidak mencari kemuliaan untuk diri sendiri. Ada Satu yang mengusahakannya, yaitu Dia yang akan menghakimi. (ITL) Yohanes 8:54, Jawab Yesus: “Jikalau aku memuliakan diriku sendiri, maka kemuliaanku itu sedikitpun tidak ada artinya. Bapakulah yang memuliakan aku, tentang siapa kamu berkata: ‘Dia adalah Allah kami’”. Yohanes 12:43: Sebab mereka mencintai kemuliaan manusia lebih daripada kemuliaan Allah. (MILT) Semuanya ini dirangkum oleh tindakan Yesus di Yohanes 6:15, “Karena Yesus tahu bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa dia dengan paksa untuk menjadikan dia raja, ia menyingkir lagi ke gunung, seorang diri.” Kita mungkin telah membaca Injil Yohanes berulang-kali tetapi sudahkah kita sungguh-sungguh memahami pesannya dan, khususnya, signifikansi dari kata-kata dan tindakan-tindakan Yesus? Apakah kita mengira kita menyenangkan Yesus dengan memahkotai dia secara paksa sebagai raja kita, sama seperti yang dilakukan orang-orang di Yohanes 6 karena mereka mengenali dia sebagai “nabi yang akan datang ke dalam dunia” (Yoh.6:14), sang Mesias agung yang mereka nanti-nantikan? Mereka mungkin ingin memakotainya karena melihat ia bisa memenuhi kebutuhan jasmaniah mereka; tetapi apakah kita lebih baik daripada mereka karena kita tidak mempunyai kebutuhan material yang mendesak (‘roti’ atau makanan) seperti mereka tetapi menginginkan roti yang memberi hidup kekal itu untuk kita sendiri? Apakah hasrat-hasrat rohaniah memang tidak seegois hasrat-hasrat material? Apakah 236 The Only True God hasrat memperoleh kebahagiaan, misalnya, tidak seegois hasrat memperoleh makanan? Namun intisarinya di sini adalah Yesus menolak untuk dimahkotai sebagai raja oleh siapapun—kecuali oleh Allah sendiri. Kita menyanyikan himne-himne seperti “Mahkotai Dia, Mahkotai Dia” dengan penuh antusiasme seolah-olah ini sesuatu yang memuliakan dan menyenangkan dia. Namun apakah mungkin ia tidak akan menerimanya dari kita sama seperti ia tidak menerimanya dari mereka di Yohanes 6:15? Hal ini tak pernah terlintas dalam pikiran kita karena kita masih belum memahami pikirannya—“pikiran Kristus” (1Kor.2:16). Hasratnya yang pertama dan terutama adalah supaya Allah Bapa dimuliakan, dan ia tidak ingin dimuliakan terlepas dari sang Bapa. Ini juga suatu hal yang diungkapkan dengan jelas dalam Kitab Wahyu. Yesus menerima kemuliaan kekuasaan sebagai raja hanya dari Sang Bapa, dan mutlak tidak dari siapapun juga. Betapa sedikitnya kita memahami dia. Kesalahan trinitarian malah lebih serius daripada itu D i Yohanes 6:15 mereka ingin menjadikan Yesus sebagai raja “dengan paksa”. Apakah seorang raja Israel dapat diangkat karena kepopuleran, atau apakah ia diangkat oleh Allah sendiri? Apakah umat Allah dapat merebut wewenang untuk memilih raja mereka sendiri dalam kerajaan Allah? Bangsa Israel pernah melakukan hal ini sebelumnya dalam sejarah ketika mereka memilih Saul sebagai raja—dengan konsekuensi yang mencelakakan. Beranikah kita berbuat hal yang sama seperti mereka? Apakah kita mengira Kerajaan Allah itu pemerintahan demokrasi ketimbang teokrasi? Jika demikian, maka kita bahkan masih belum menangkap hakikat keselamatan yang tak terpisahkan dari kekuasaan Allah sebagai raja. Kita pun masih belum betul-betul menangkap fakta bahwa Yesus mengumumkan Kerajaan Allah, yaitu kekuasaan-Nya sebagai raja, Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 237 sebagai pesan sentral dalam ajarannya, sebagaimana dapat dilihat dari Injil-injil Sinoptik. Menurut rencana Allah yang kekal, Yesus diangkat oleh Allah sebagai raja di dalam kerajaan-Nya dan dengan demikian, seperti semua raja Israel, ia akan menjadi (dan sekarang adalah) wakil mutlak Allah. Patut dicatat bahwa dalam Kitab Wahyu, yang teragung di antara makhluk-makhluk rohaniah melemparkan mahkota mereka di bawah takhta. Tidak seperti kita, mereka tidak begitu congkak sampai membayangkan kalau mereka memiliki hak (oleh karena status rohaniah mereka) untuk memahkotai siapa saja. Jika Yesus adalah raja, atau bahkan raja di atas segala raja, itu adalah sematamata karena Yahweh yang meninggikan dia ke kedudukan itu, bukan karena ia merampas kedudukan itu untuk dirinya sendiri, terlebih lagi bukan karena kita yang memberikan martabat itu kepadanya. Namun Kekristenan trinitaris telah melangkah lebih jauh daripada orang Yahudi di Yohanes 6. Kita telah menuhankan Yesus sampai ke tingkat kesetaraan dengan Allah sang Bapa, Yahweh Sendiri—dan penegasan Yesus sendiri tentang Bapa sebagai “satusatunya Allah yang benar” begitu saja diabaikan. Sebagai akibatnya, kita telah membuat Yesus menjadi sasaran penyembahan dan doa kita. Alhasil, sang Bapa telah diasingkan ke tempat yang relatif marginal baik dalam penyembahan maupun doa. Sebenarnya, untuk kebanyakan orang Kristen bahkan kata “Bapa” merupakan sebuah bentuk sapaan untuk Yesus (Yesaya 9:5 digunakan untuk membenarkan perbuatan tersebut). Jika tindakan Israel merebut hak untuk memilih raja mereka sendiri, sebagaimana dilakukan oleh bangsa-bangsa tetangganya, dianggap sebagai sebuah tindakan penolakan terhadap Yahweh (“tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka”, 1Sam.8:7), kira-kira kata apa lagi yang bisa digunakan 238 The Only True God untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan jemaat non-Yahudi kepada Yahweh?! Yesus sebagai “Tu[h]an” sekaligus “hamba” Adalah prinsip Yesus untuk tidak pernah mencari ataupun menerima kemuliaan dari manusia. Ia tidak pernah mengajar murid-muridnya untuk menghormati dirinya lebih dari sekadar guru mereka karena ia bertujuan mengajarkan perkataan hidup yang kekal kepada mereka dan menjadi seorang teladan hidup untuk mereka, yaitu sebuah perwujudan yang hidup dari segala yang ia ajarkan. Jadi tidak mengherankan ketika kita menyadari bahwa ia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mrk.10:45); ia mengambil “rupa seorang hamba” (Flp.2:7) dan menunjukkannya dengan membasuh kaki murid-muridnya (Yoh.13:1 dyb.). Akan terlihat sangat tidak konsisten bagi seseorang yang datang untuk menjadi hamba menuntut kehormatan bagi dirinya sendiri. Ia pun mengajarkan bahwa yang terbesar dalam kerajaan Allah harus menjadi hamba dari semua (Mrk.10:42-44; Mat.20:25 dyb.; Luk.22:25 dst.). Ini semua mengungkapkan prinsip pokok dari kehidupan dan pikirannya. Apakah prinsip-prinsip Kerajaan Allah berubah setelah Yesus ditinggikan? Apakah prinsip tidak mencari kemuliaan dari manusia ini dibuang sesudah kebangkitan Kristus? Apakah prinsip-prinsip Kerajaan telah berubah sejak saat itu atau, khususnya, setelah ia diberi Nama di atas segala nama? Jika prinsip-prinsip itu telah dibuang atau diubah, maka jelaslah bila karakter Kerajaan Allah itu sendiri pun telah berubah, dan jika demikian, berubah menjadi apa? Namun tak ada apapun juga yang menandakan kalau ada sesuatu yang telah berubah Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 239 sehubungan dengan karakter Kerajaan Allah, baik di bumi maupun di surga. Jika memang sudah betul-betul berubah, maka kitalah (gereja) yang telah mengubahnya, berkelakuan sama persis seperti orang-orang di Yohanes 6:15. Lalu, bagaimana Yesus akan berurusan dengan kita? Bukankah ia akan menolak kita dengan cara yang sama seperti ia menolak mereka di Yohanes 6:15? Jika kita sungguh-sungguh ingin memuliakan Allah di dalam Kristus maka kita harus melakukannya dengan cara Allah—atau berhadapan dengan penolakan dan pengasingan dari Kerajaan-Nya. Jika prinsip-prinsip rohaniah Kerajaan itu belum dibatalkan atau berubah, maka bukankah prinsip “yang terbesar akan melayani sebagai yang terkecil” masih tetap berlaku? Dengan demikian, bukankah itu berarti bahwa Raja dari segala raja adalah juga Hamba dari segala hamba? Hal ini berada di luar jangkauan pemahaman dunia, tetapi justru itulah maksud ajaran Yesus, bahwa karakter Kerajaan itu berbeda secara radikal dari dunia, dan orang-orang dunia tidak dapat memahaminya atau menerimanya. Jika kita ingin menghormati sang Hamba-Raja (Servant-King) dalam Kerajaan Allah, bagaimana caranya? Jawaban yang konsisten untuk pertanyaan ini di seluruh Kitab Suci adalah dengan menaati dia. “Mengapa kamu berseru kepadaku: Tu[h]an, Tu[h]an, padahal kamu tidak melakukan apa yang aku katakan?” (Luk.6:46). Kita memanggil dia Tu[h]an, tetapi kita berkelakuan, bahkan sehubungan dengan Kristus, seperti orang-orang dunia. Kita menghormati dia dengan cara yang hampir sama seperti orangorang dunia menghormati penguasa-penguasa dan raja-raja mereka, dan kita begitu duniawi sampai-sampai membayangkan bahwa dengan berbuat demikian kita sedang menyenangkan dia. Keinginannya adalah agar kita mengikuti dia dalam memberikan kemuliaan kepada Allah saja, dan menghormati dia dengan menaati ajarannya dengan setia. 240 The Only True God Kita juga dapat bertanya, sehubungan dengan pertanyaan apakah prinsip-prinsip dan sifat Kerajaan telah berubah sesudah Yesus ditinggikan, dan setelah ia diberi nama di atas segala nama, apakah ia berhenti berada dalam “keadaan sebagai manusia” sebagai akibat dari peninggian itu, dan jika tidak, apakah ia berhenti berada dalam “rupa seorang hamba”? Mengingat apa yang baru saja dinyatakan, semestinya jelas bahwa ia mempertahankan kedua “bentuk”-nya sebagai manusia dan juga sebagai hamba/kurban (bdk. Yesus sebagai “Anak Domba”, gelarnya yang terkemuka di kitab Wahyu). Dalam pengajaran Yesus, hamba dan kurban keduanya tak terpisahkan sebagaimana di Markus 10:45: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang” (juga Mat.20:28), dan dalam simbolisme rohani yang penting yaitu pembasuhan kaki murid-muridnya sesaat sebelum ia menuju ke salib. Akan tetapi, pada umumnya umat Kristen tampaknya telah berasumsi bahwa melalui peninggian Yesus ia telah berhenti menjadi seorang hamba, karena dalam pandangan kita yang duniawi kedua hal itu tampak tidak kompatibel; tetapi, tidak demikian dalam Kerajaan Allah: di dalam Kerajaan, begitu seseorang berhenti menjadi hamba, ia pun berhenti menjadi raja (atau pemimpin) di mata Allah. Kecuali jika kita memahami dan menerapkan prinsip ini dalam kehidupan kita, kita tidak dapat berfungsi dalam kerajaan Allah atau dalam jemaat-Nya sebagaimana Ia menghendaki; Yesus memperingatkan kita akan bahaya berakhir menjadi “kambing”, bukan “domba” (Mat.25:31-46). Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 241 “Raja di atas segala raja” sebagai teks-bukti untuk keilahian Kristus S alah satu dari “teks-teks bukti” kesayangan kita sebagai trinitarian adalah gelar “raja di atas segala raja, dan tuan di atas segala tuan”. Di Wahyu 17:14 gelar ini diterapkan kepada Anak Domba, dan di 19:16 kepada Firman Allah; tetapi di 1Timotius 6:15 gelar itu dipakai untuk merujuk kepada Allah. Jadi, dengan mudah dapat ditarik kesimpulan bahwa Anak Domba itu adalah Allah dalam arti ia sederajat dengan Allah, sesuatu yang tidak disokong oleh Kitab Wahyu. Ketika saya mengecek Alkitab tua saya, saya menemukan bahwa 1Tim.6:15 memang adalah rujukan silang yang saya tuliskan di samping Wahyu 17:14. Namun sesuai dengan ciri khas para trinitarian, saya lalai untuk menyertakan rujukan-rujukan lain kepada gelar “raja di atas segala raja” dalam Alkitab secara keseluruhan. Faktanya, dalam Kitab Suci, gelar ini juga dipakai untuk para penguasa manusia. Di Ezra 7:12, gelar itu dipakai untuk Artahsasta; dan di Yehezkiel 26:7, Allah Sendiri menyebut Nebukadnezar sebagai “raja di atas segala raja”; demikian juga di Daniel 2:37. Jadi argumen untuk keilahian Kristus dicapai melalui penggunaan teks-teks secara selektif, dengan mengabaikan teks-teks yang bertentangan dengan perkara kita. Bukankah ini menandakan kurangnya kejujuran spiritual dan intelektual, yaitu kurangnya keterbukaan terhadap kebenaran? Di Matius 28:18, Kristus yang telah bangkit itu mengumumkan kepada para murid bahwa “kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi”. Kalau begitu, maka seyogyanyalah ia disebut “Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan”. Namun yang perlu diperhatikan adalah hal ini tidak dapat digunakan sebagai argumen untuk kesetaraan Kristus dengan Allah Bapa karena kedaulatan itu diberikan kepadanya oleh Allah. Allah sendiri yang 242 The Only True God berhak memberikannya, karena itu adalah milik-Nya sebagai Allah. Namun entah kenapa kita tidak puas dengan fakta bahwa Yesus telah “dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat” oleh Allah (Ibr.2:9), kita tidak bersedia menerima apa saja yang kurang dari kemuliaan atau keilahian bawaan (berbeda dari diberikan), yakni, ia setara secara kekal dengan Allah Bapa kita dalam segala hal, meskipun tidak ada pembenaran Alkitabiah apapun untuk hal tersebut. Gelar “Raja di atas segala raja” dipakai oleh Paulus sekali saja di 1Tim.6:15, dan gelar itu merujuk kepada Allah Bapa kita, sebagaimana diterangkan dengan sempurna oleh ayat itu sendiri. 1Timotius 6:15 boleh jadi menggemakan Ulangan 10:17, “Sebab Yahweh, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap”. Ini juga digemakan di Mazmur 136:1-3, “Bersyukurlah kepada Yahweh, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Bersyukurlah kepada Allah segala allah! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Bersyukurlah kepada Tuhan segala tuhan! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”. Nas-nas tersebut tercermin di 1Korintus 8:5,6, “Sebab sungguh pun ada apa yang disebut “ilah”, baik si surga, maupun di bumi— dan memang benar ada banyak “ilah” dan banyak “tuhan” yang demikian — namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tu[h]an saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui dia segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena dia kita hidup.” Kedua nas (di kitab Ulangan dan Mazmur) berbicara tentang Yahweh, yang dirujuk sebagai “sang Bapa” oleh Yesus, dan sebagai “Allah Bapa kita” oleh Paulus. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 243 “Yang Awal dan Yang Akhir” M engenai teks-teks bukti yang digunakan dalam trinitarianisme, mari kita pertimbangkan sebuah contoh lain dari metodologi yang dipakai untuk “menetapkan” sebuah argumen. Kembali ke kitab Wahyu, pertimbangkan gelar “Yang Awal dan Yang Akhir” (Why.1:17; 2:8) yang diperluas menjadi “Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why.22:13) di mana ketiga gelar itu semuanya identik, yaitu mereka pada dasarnya mengandung arti yang sama. Oleh karena gelar-gelar tersebut adalah gelar-gelar Kristus, maka mereka digunakan untuk memperdebatkan keilahiannya. Tidak seperti halnya “raja di atas segala raja”, yang bukti dari PL begitu saja diabaikan, kali ini semuanya bergantung pada dua teks di PL untuk menetapkan argumen kita. Kedua teks itu adalah Yesaya 44:6 dan 48:12 di mana Allah disebut “yang terdahulu dan... yang terkemudian”. Di situ kita mendapatkan “bukti” keilahian Kristus. Dengan demikian, perkara itu tampaknya dapat ditetapkan dengan sangat gampang. Akan tetapi, kita tidak berhenti sejenak untuk mempertimbangkan satu masalah kecil: Oleh karena Allah itu “dari keabadian ke keabadian” dan dengan demikian, tanpa permulaan atau akhiran (lih. pula Why.4:9,10), lantas bagaimana Ia dapat menjadi “Yang Pertama dan Yang Terkemudian”, “Yang Awal dan Yang Akhir”? Hal ini mungkin hanya dalam satu arti sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Suci: Ia adalah yang pertama dan yang terkemudian khususnya sehubungan dengan ciptaan-Nya (yang mencakup umat manusia), dan khususnya sehubungan dengan umat-Nya. Penciptaan diawali dengan Dia dan akan mencapai penyempurnaan di dalam Dia (pada waktu yang ditetapkan-Nya ketika tujuan-Nya telah tercapai). Sehubungan dengan umat-Nya, mereka berhutang penebusan mereka kepada-Nya. Ia adalah awal kita karena Ia memanggil kita kepada diri-Nya Sendiri dan dengan demikian menerima kita sebagai umat-Nya melalui ikatan perjanjian 244 The Only True God yang Ia tetapkan dengan kita. Ia adalah akhir kita karena kegenapan akhir kita akan ditemukan hanya di dalam Dia. Apa yang benar di bawah perjanjian yang lama juga benar di bawah perjanjian yang baru, tetapi dengan realitas yang baru karena sekarang Allah menjadikan kita sebuah ciptaan baru di dalam Kristus. Kristus adalah “sang pengantara” dari perjanjian yang baru itu (Ibr.9:15; 12:24; 1Tim.2:5); dan di bawah perjanjian ini Allah telah memilih untuk melakukan segala sesuatu “melalui Kristus” (atau, teks Alkitab lebih sering menulis, “melalui dia”) dan “di dalam Kristus” karena “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Untuk alasan inilah Allah masih “Yang Awal dan Yang Akhir” di dalam dan melalui Kristus; dan karena hal ini dikerjakan “di dalam Kristus”, Kristus juga dapat digambarkan sebagai “yang awal dan yang akhir” sehubungan dengan umat Allah. Jadi, di Ibrani 12:2 Kristus digambarkan sebagai “pelopor dan penyempurna” iman kita. Kata yang diterjemahkan sebagai “penyempurna” (teleiōtēs) secara semantis berkaitan dengan kata “akhir” (telos) dalam gelar “Yang Awal dan Yang Akhir” di Wahyu 22:13. Sehubungan dengan umat manusia secara keseluruhan, Kitab Suci berbicara tentang Kristus sebagai “buah sulung” dari orangorang yang telah mati (yaitu, manusia pertama yang dibangkitkan untuk selamanya dari kematian, 1Kor.15:20); kebangkitan yang terakhir telah dimulai dengan kebangkitan Kristus—ia adalah permulaan dari kebangkitan yang terakhir dan penjaminnya. Perhatikan bahwa “buah sulung” adalah ap-archē, sedangkan “Yang Awal” di Wahyu 22:13 adalah archē. Ia juga adalah “Adam yang akhir (kata ‘Adam’ artinya ‘manusia’ dalam bahasa Ibrani)” di 1Kor.15:45, di mana kata “akhir” (eschatos) itu sama persis dengan kata “terkemudian” di Wahyu 22:13. Jadi memang benar “manusia Kristus Yesus” adalah “yang awal dan yang akhir” sehubungan dengan umat manusia dan keselamatannya. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 245 Namun ada masalah lain yang jarang dipikirkan trinitarian ketika memakai gelar “Yang Awal dan Yang Akhir” untuk membuktikan keilahian Kristus: gelar ini bukan gelar umum untuk Allah, tetapi sebuah gelar khusus untuk Yahweh: Yesaya 44:6, “Beginilah firman TUHAN (YHWH), Raja dan Penebus Israel, TUHAN (YHWH) semesta alam: "Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku.’” Apakah para trinitarian sungguh-sungguh ingin membuktikan bahwa Kristus dan Yahweh adalah satu pribadi yang sama? Kristus sebagai kurban maha-mencukupi yang disediakan bagi kita oleh Allah (Yahweh)—digunakan sebagai argumen untuk keilahian Kristus D ulu saya pernah memperjuangkan keilahian Kristus dengan alasan satu orang hanya bisa mati untuk satu orang lain saja; jika Kristus hanya manusia, bagaimana mungkin kematiannya dapat menguntungkan seluruh umat manusia? Argumen ini kedengaran sangat meyakinkan: bagaimana mungkin kematian satu individu manusia dapat menebus dosa semua orang? Akan tetapi, hikmat Allah tidak ditetapkan oleh kebijaksanaan atau nalar manusia. Kesalahan dari pemikiran ini menjadi nyata ketika saya memahami kebenaran di Yohanes 3:14,15, “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal.” Ayat di atas merujuk kepada peristiwa yang tercatat di Bilangan 21:7-9 ketika orang-orang tewas karena pagutan ular-ular berbisa. Musa diperintahkan oleh Allah untuk membuat seekor ular tembaga dan menaruhnya di atas tiang agar terlihat oleh semua orang; mereka yang percaya ketika memandangnya akan selamat dari racun ular itu. Yesus membandingkan peristiwa ini dengan hal percaya 246 The Only True God kepada dia: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:14,15). Intinya di sini seharusnya sangat jelas: penyelamatan ribuan orang yang memandang kepada ular tembaga itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan apapun yang inheren di dalam ular itu—mereka diselamatkan oleh Allah melalui iman kepada janji-Nya bahwa siapa saja yang memandang akan diselamatkan: “Maka berfirmanlah Yahweh kepada Musa: ‘Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup.’” (Bil.21:8) Ayat berikutnya menegaskan bahwa orang-orang yang mempunyai iman untuk memandang hidup. Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang memandang kepada Yesus untuk memperoleh keselamatan melalui iman (Ibr.12:1,2); kuasa penyelamatan Allah dalam Kristuslah yang menyelamatkan mereka dari dosa dan maut. Dengan demikian, bukan sesuatu yang inheren di dalam konstitusi Kristus yang menyelamatkan, melainkan Allah Bapa kitalah (Yahweh) yang menyelamatkan kita di dalam dan melalui Kristus. Karena keselamatan adalah sepenuhnya karya Allah; keselamatan diperoleh hanya oleh iman dan melalui anugerah-Nya. Roma 3:21-26 diakui sebagai jantung dari pengajaran tentang keselamatan dalam kitab Roma (bdk. juga Dunn, Christology I, hlm.219). Keenam ayat ini, yang bersama-sama merangkai satu kalimat (!) dirangkum di ay.26: Allah “membenarkan orang yang percaya kepada Yesus.” Inilah tepatnya poin yang dimaksud dalam paragraf sebelumnya. Kita gagal mempresentasikan soteriologi Alkitabiah (doktrin keselamatan) dengan tepat jika kita gagal membuat jelas bahwa Allah Bapa kita adalah pelopor yang terutama dari keselamatan kita, sementara Yesus adalah mediator, instrumen, atau agen keselamatan kita. Pokok ini tidak hanya muncul dari Roma 3:26 tetapi juga dari nas itu secara keseluruhan: Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 247 Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat pembenaran oleh ALLAH telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, 22 yaitu pembenaran oleh ALLAH melalui iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. 23 Karena semua orang telah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan ALLAH, 24 dan oleh anugerah-NYA telah dibenarkan dengan cumacuma melalui penebusan dalam Kristus Yesus. 25 Kristus Yesus telah ditentukan ALLAH menjadi jalan pendamaian melalui iman, dalam darahnya. Hal ini dibuatNya untuk menunjukkan keadilan-NYA, karena IA telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-NYA. 26 Maksud-Nya ialah untuk menunjukkan keadilan-NYA pada masa ini bahwa IA adil dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus. 21 “Allah” disebut 10 kali (termasuk kata ganti) dalam 6 ayat ini yang membahas keselamatan kita, yang membuatnya sangat jelas bahwa Ia merupakan subjek dalam arti gramatikal. “Yesus” (termasuk “Kristus Yesus” atau “Yesus Kristus”) disebut 4 kali (termasuk kata ganti di ay.25). Kebenaran Allah disebut 4 kali, dan “membenarkan” 2 kali; sedangkan “iman” muncul 3 kali. Statistik nas ini memberikan rangkuman yang bagus atas soteriologi (doktrin keselamatan) kitab Roma secara keseluruhan. 8 8 Statistik untuk kitab Roma (teks Yunani): • • “Allah”: 153 kali (tidak terhitung kata ganti) dalam 135 ayat. “Yesus Kristus” atau “Kristus Yesus”: 31 kali; “Yesus” (sendiri): 5; 248 The Only True God Kitab Roma merupakan satu-satunya karangan dalam PB yang memberikan ajaran tentang keselamatan dengan lengkap dan relatif sistematis. Di dalamnya, Allah betul-betul adalah tokoh sentral. Jumlah referensi kepada Kristus kurang lebih separuh dari jumlah referensi kepada Allah, mencerminkan statistik yang serupa di Roma 3:21-26. Allahlah (Bapa) yang membenarkan (menyelamatkan) “melalui iman di dalam Yesus Kristus” (Rm.3:22). Seluruh mukjizat Yesus dilakukan oleh Allah (Yahweh) melalui dia S egala macam usaha telah dilakukan untuk menjelaskan, atau meniadakan, mukjizat-mukjizat Yesus, bahkan oleh beberapa sarjana Kristen yang tidak bisa atau tidak mau menerima hal-hal supernatural. Sebenarnya ada banyak mukjizat yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan penyembuhan psikosomatis, kebetulan, dll. Baru-baru ini saya mendengar seorang dokter mata yang mengakui bahwa bahkan dengan pengetahuan dan peralatan (laser, dll) terkini (2007) sekalipun, ia masih tidak sanggup mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir dan telah dewasa, seperti laki-laki yang disembuhkan oleh Yesus di Yohanes 9. Yesus sudah pasti tidak melakukan mukjizat sebagai tontonan untuk • • • “Kristus” (sendiri): 34 = total: 70 kali (paling banyak dalam PB, tanpa menghitung kata ganti sekalipun); “Righteousness”: 29 times (by far the most frequent in NT; Mt is next with 7 times) “Kebenaran”: 29 kali (jauh paling sering dalam PB; berikutnya Matius dengan 7 kali) “Benar” (kata kerja): 14 kali (berikutnya adalah Gal: 6) “Iman” 35 kali (Berikutnya Ibr: 31). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa semuanya itu adalah kata-kata kunci dalam Kitab Roma. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 249 mengesankan orang; mukjizat-mukjizat itu mengandung pesan rohaniah bagi mereka yang mempunyai telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat (Mat.13:15,16). Penyembuhan laki-laki buta itu, misalnya, akan mengingatkan seorang pengamat yang perseptif kepada sebuah nas seperti Yesaya 29: Pada waktu itu orang-orang tuli akan mendengar perkataanperkataan sebuah kitab, dan lepas dari kekelaman dan kegelapan mata orang-orang buta akan melihat. 19 Orang-orang yang sengsara akan tambah bersukaria di dalam Yahweh, dan orang-orang miskin di antara manusia akan bersorak-sorak di dalam Yang Mahakudus, Allah Israel! 18 Saya juga pernah mendengar sebuah diskusi dengan seorang ahli meteorologis, yang telah mempelajari Danau Galilea selama 25 tahun, untuk mengetahui apakah ada penjelasan ilmiah yang bisa ditemukan untuk peristiwa Yesus menenangkan angin ribut di Danau itu (Mat.8:24-27); sang ahli mengaku bahwa tidak ada penjelasan yang diketahui. Namun mukjizat di “Laut Galilea” ini merupakan pemeranan dari Mazmur 107: Ada orang-orang yang mengarungi laut dengan kapal-kapal, yang melakukan perdagangan di lautan luas; 24 mereka melihat pekerjaan-pekerjaan Yahweh, dan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di tempat yang dalam. 25 Ia berfirman, maka dibangkitkan-Nya angin badai yang meninggikan gelombang-gelombangnya. 26 Mereka naik sampai ke langit dan turun ke samudera raya, jiwa mereka hancur karena celaka; 27 mereka pusing dan terhuyung-huyung seperti orang mabuk, dan kehilangan akal. 28 Maka berseru-serulah mereka kepada Yahweh dalam kesesakan mereka, dan dikeluarkan-Nya mereka dari kecemasan mereka, 23 250 The Only True God dibuat-Nyalah badai itu diam, sehingga gelombanggelombangnya tenang. 30 Mereka bersukacita, sebab semuanya reda, dan dituntunNya mereka ke pelabuhan kesukaan mereka. 31 Biarlah mereka bersyukur kepada Yahweh karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia. 29 Perbandingan kisah di Matius 8 dengan nas di Mazmur 107 ini langsung memperlihatkan kesesuaian yang mencolok antara keduanya, yang tentunya bukan kebetulan tetapi dirancang untuk menunjukkan siapa sebenarnya yang menenangkan angin ribut di Galilea. Perhatikan bahwa Yahweh disebut tiga kali dalam kutipan Mazmur ini. Mukjizat-mukjizat Yesus terus-menerus digunakan oleh trinitarian untuk membuktikan keilahian Kristus. Namun, seperti ucapanucapan “Akulah”, mukjizat-mukjizat itu berbuat hal yang sama. Mukjizat-mukjizat itu tidak “membuktikan” Yesus adalah Allah, tetapi jika mereka membuktikan sesuatu, mereka akan membuktikan apakah Yesus adalah Yahweh, atau Yahweh tinggal di dalam Yesus secara jasmaniah (Yoh.1:14) dan melakukan pekerjaanNya melalui Yesus. Yang mana satu pilihan yang tepat dijelaskan dengan sempurna oleh Yesus sendiri dan di dalam PB. Bahwa Allah Israel, Yahweh, yang melakukan pekerjaan-Nya di dalam Kristus dinyatakan secara gamblang di Kisah 2:22, “Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yesus dari Nazaret adalah orang yang telah ditentukan Allah dan dinyatakan kepadamu dengan kekuatankekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu ketahui.” Yesus sendiri menegaskan hal ini: “Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 251 tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaanpekerjaan-Nya.” (Yoh.14:10) Kata “pekerjaan” (ergon) dapat mencakup referensi khusus kepada mukjizat, yaitu pekerjaanpekerjaan supernatural. Tentang ergona, Greek English Lexicon (BDAG) memuat, “perbuatan-perbuatan Allah dan Yesus, khususnya, mukjizat-mukjizat”. “Ia (Yohanes) kerap menggunakan istilah ‘pekerjaan’, memang tidak secara eksklusif merujuk kepada mukjizat-mukjizat Kristus, tetapi sering dengan rujukan khusus kepada mereka; seolah-olah pekerjaan ajaib merupakan pekerjaan yang wajar dan seyogyanya dari seorang yang ajaib” (Unger’s Bible Dictionary, “Miracles”). Di sini, Bible Dictionary itu dengan seyogyanya mengutip Yohanes 5:36, “segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepadaku, supaya aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang aku bahwa Bapa telah mengutus aku”; Yohanes 10:25, “pekerjaan-pekerjaan yang kulakukan dalam nama Bapaku, itulah yang memberi kesaksian tentang aku [yaitu bahwa akulah sang Mesias, ay.24]”; Yohanes 10:32, “Kata Yesus kepada mereka: Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapaku yang kuperlihatkan kepadamu”. Kepada ini dapat ditambahkan Yohanes 5:19, “Lalu Yesus menjawab mereka, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri””. “Kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda” (Kis.2:22) merupakan bagian dari pekerjaan Allah dalam menyelamatkan umat manusia, karena “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19, MILT). Ini berarti menggunakan mukjizat-mukjizat sebagai bukti keilahian Kristus adalah sama sekali keliru. Sebab, entah itu memberi makan ribuan orang, berjalan di atas air, atau membangkitkan orang mati, semuanya itu terjadi karena, seperti kata Yesus, “Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang 252 The Only True God melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (Yoh.14:10). Kenapa kita tidak mau mendengarkan dia ketika ia berkata, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri” (Yoh.5:30), alih-alih mengarang-ngarang doktrin kita sendiri? Pentingnya Mazmur 8 untuk memahami pribadi dan pekerjaan sang Mesias (Kristus) Mazmur 8: 1 Ya Yahweh, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. 2 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam. 3 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: 4 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? 5 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. 6 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: 7 kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatangbinatang di padang; 8 burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. 9 Ya Yahweh, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! S eluruh Mazmur ini dikutip untuk mempermudah kita melihat struktur serta substansinya. Perhatikan, pertama, bahwa Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 253 Mazmur ini dimulai dan diakhiri dengan kata-kata pujian yang sama persis kepada Yahweh. Ayat pertama mengatakan, “Ya Yahweh, Tuhan kami… yang menempatkan keagungan-Mu di atas langit!” (ILT) Dengan kata lain, kemuliaan Yahweh lebih tinggi daripada langit; keagungan dan kemuliaan Yahweh yang supernal (dari atas) disanjung dengan sorak-sorai. Namun ayat ke-2, berkontras tajam dengan ayat pertama, tibatiba turun ke tingkatan “bayi-bayi dan anak-anak”; dan dari mulut mereka Yahweh telah “meletakkan dasar kekuatan” dihadapan musuh-musuh-Nya. Apa yang ditandai oleh kontras ini? Tidakkah ini mengingatkan kita pada kata-kata “dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna” (2Kor.12:9)? Dan ini membuka jalan untuk pasangan kontras berikutnya: ay.3 “Jika aku melihat langit-Mu…” lawan ay.4, “apakah manusia…” Akan tetapi, justru dalam kelemahan manusialah Yahweh, seperti halnya bayi-bayi dan anakanak itu, telah memilih untuk menyatakan kuasa dan kemuliaannya: “Engkau… telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (ay.5). Perhatikan bahwa dalam struktur Mazmur ini, ay.5 ada di pusat Mazmur itu, sebagai ayat pertengahannya. Perhatikan juga, bagaimana isi ayat itu bersesuaian dengan ayat pertama dan terakhir dari Mazmur itu, yakni, kemuliaan dan keagungan Yahweh, yang di ay.5, dikaruniakan ke atas manusia! Perhatikan juga, “manusia” sama artinya dengan “anak manusia” di ay.4. Jelas sang Pemazmur tidak tahu apa-apa tentang degradasi manusia sebagaimana diajarkan dalam doktrin “kebejatan total”. Rasul Paulus pun tidak mengajarkan doktrin macam itu, karena ia berbicara tentang manusia sebagai “kemuliaan Allah” (1Kor.11:7), dengan demikian mewartakan kebenaran yang sama seperti Mazmur ini. Mari kita pertimbangkan ayat 5 dan 6 dari Mazmur 8 ini dengan lebih mendalam. Beberapa hal penting dinyatakan dalam ayat-ayat ini: 254 The Only True God (1) “Namun engkau telah membuatnya sedikit lebih rendah daripada makhluk-makhluk surgawi.” Terjemahan ESV “makhluk-makhluk surgawi” merupakan sebuah kompromi dari beberapa terjemahan lain yang bervariasi mulai dari “malaikat-malaikat” hingga “Allah”. Kata dalam teks Ibraninya adalah elohim yang umumnya berarti “Allah” atau “allah” (lebih dari 2600 kali dalam PL), tetapi kadang bisa juga berarti “malaikat-malaikat” atau makhluk-makhluk surgawi pada umumnya. Oleh karena kata itu kerap diterapkan kepada Yahweh di PL, mengapa kata “Allah” tidak dipakai dalam semua terjemahan dari Mazmur 8:5? Jawabannya adalah karena pengaruh Septuaginta, di mana si penerjemah telah memilih untuk menerjemahkan kata elohim sebagai “aggelous” (jamak dari aggelos), dan dari situ muncullah kata “malaikat-malaikat”. Lalu, bagaimana seharusnya terjemahannya yang tepat? Kata “malaikat” atau “malaikat-malaikat” muncul beberapa kali dalam Kitab Mazmur, tetapi dalam setiap contoh kata yang dipakai adalah kata Ibrani yang biasa dipakai untuk “malaikat”, malach. Saya masih belum menemukan contoh dalam Kitab Mazmur di mana elohim secara pasti berarti “malaikat-malaikat”. Oleh karena itu, tampaknya tidak ada alasan yang baik mengapa Mazmur 8:5 tidak diterjemahkan sebagai “sedikit lebih rendah daripada Allah”, seperti dalam beberapa terjemahan Inggris (RSV, NRSV). Ini bukan berarti manusia semestinya lebih tinggi daripada malaikat (walaupun lihat 1Kor.6:3, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?”), ataupun lebih rendah. Namun bukankah inti dari ayat ini adalah bahwa Allah telah mengaruniakan “kemuliaan dan hormat” ke atas manusia sehingga kemuliaan dan keagunganNya yang ilahi akan dinyatakan melalui manusia di seluruh alam semesta? Dengan demikian, dalam Kitab Suci, manusia sebagai “kemuliaan Allah” hanyalah “sedikit lebih rendah daripada Allah”. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 255 (2) Ay.6a, “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu”. Ini jelas mengacu kepada Kejadian 1:26,28 dan 9:2. Pernyataan ini ditekankan kembali dan diperkuat di kalimat berikut: Ay.6b, “segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya”; penegasan penting ini berulang-kali muncul dalam PB dengan mengacu kepada Kristus, sementara ayat ini juga memiliki kaitan yang signifikan dengan perkataan Mesianik di Mazmur 110:1, “Demikianlah firman Yahweh kepada tuanku: ‘Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu.’” Tak pelak lagi, “membuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu” itu sama dengan meletakkan mereka “di bawah kakinya (yaitu, kakimu)” (Mzm.8:6). Yesus menganggap Mazmur 110:1 telah tergenapi dalam pelayanannya (Mrk.12:36; 14:62; dll). Bahwa “segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm.8:6) merupakan sebuah pernyataan yang diterapkan kepada Kristus selaku perwakilan manusia, “Adam yang akhir” (1Kor.15:45). Di 1Kor.15:27 pernyataan itu berfungsi sebagai kunci untuk memahami bagian teks dari 15:24-27. Di Ef.1:20, “mendudukkan dia di sebelah kanan-Nya”, berarti “Allah telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki Al Masih dan menetapkan dia sebagai kepala atas segala-galanya bagi jemaah” (Ef.1:22: LAI-TL). Wewenang Kristus yang diberikan Allah ini diperluas, dan diterapkan melalui jemaat, seperti dinyatakan di Roma 16:20, “Semoga Allah, sumber damai sejahtera, segera menghancurkan Iblis di bawah kakimu” (bdk. Why.3:9); ini mencerminkan janji kepada orang saleh di Mazmur 91:13, “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga” (bdk. Kej.3:15). Sebagaimana Mazmur-mazmur Mesianik pada umumnya, Mazmur 8 juga bersifat profetis, seperti dapat dilihat jelas dari Ibrani 2: 256 The Only True God “segala sesuatu telah Engkau taklukkan di bawah kakinya (Kristus).” Sebab dalam menaklukkan segala sesuatu kepadanya (Kristus), tidak ada suatupun yang Ia (Allah) kecualikan, yang tidak takluk kepadanya. Tetapi sekarang ini kita belum melihat segala sesuatu ditaklukkan kepadanya. 9 Tetapi yang kita lihat ialah bahwa Yesus untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah daripada malaikat-malaikat dan karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh anugerah Allah ia mengalami maut bagi semua manusia.” (Referensi kepada Mazmur 8 terlihat jelas.) 8 (3) Mengingat poin-poin di atas, tak pelak Mazmur 8 merupakan salah satu dari nas-nas dasariah dalam PL untuk memahami pemakaian gelar “anak manusia” (Mzm.8:4) oleh Yesus. Ini ditegaskan dalam ajarannya seperti Matius 11:27 (par. Luk.10:22) dan Matius 28:18; juga Yohanes 3:35; 13:3. (4) Dari Mazmur 8 dan ayat-ayat terkait, dapat dilihat bahwa Kitab Suci mempunyai pandangan yang luhur akan manusia dalam rencana kekal Allah. Semua ini digenapi dengan sepenuhnya dan dengan sempurna di dalam pribadi Kristus. Di dalam Kristus, manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7) mencapai puncak ekspresi gemilang: “Dialah cahaya kemuliaan Allah dan gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya” (Ibr.1:3). Namun Kristus menyatakan kemuliaan dan kuasa Allah sebagai manusia, sebab tidak ada artinya untuk mengatakan bahwa Allah menyatakan kemuliaan Allah, dan juga tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa Allah adalah “gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya”. Akan tetapi, bertentangan dengan Kitab Suci, Kekristenan mempunyai pandangan yang rendah terhadap manusia, yang dipandangnya sebagai seorang berdosa yang bejat, “bobrok sampai Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 257 ke akarnya”. Dengan pandangan semacam ini, sama sekali tak terbayangkan kalau manusia pernah bisa menjadi “cahaya kemuliaan Allah” (Ibr.1:3); jadi tidak heran bila nas-nas seperti ini digunakan untuk membuktikan keilahian Kristus, ketimbang penggenapan rencana Allah yang kekal di dalam Kristus untuk manusia. Begitu kita memahami dengan baik pengajaran Alkitabiah tentang manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah”— kemuliaan yang kini tercapai sepenuhnya di dalam pribadi Yesus sang Mesias (Kristus)—kita akan melihat bahwa banyak nas yang digunakan oleh trinitarian untuk “membuktikan” keilahian Kristus sebenarnya mewartakan sesuatu yang berbeda, yakni, bahwa kemuliaan ilahiah itu terwujud sepenuhnya di dalam dan melalui “manusia Yesus Kristus” yang “satu” itu (Rm.5:15,17; 1Tim.2:5). “Anak Manusia” dari Daniel 7 dan “manusia dari surga” (1Kor.15:47) Daniel 7:13, “Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya.” Matius 24:30, “Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala kekuasaan dan kemuliaannya.” P erkataan Yesus di Matius 24 secara jelas merujuk kepada Daniel 7, khususnya istilah “anak manusia” (tanpa kata “seperti”), dan 258 The Only True God frasa “di atas awan-awan dari langit” itu sama persis dalam teks Yunani seperti dalam PL Yunani (LXX). “Datang” adalah kata Yunani yang sama meskipun dalam kala yang berbeda. Kaitan antara Daniel 7 dengan Mazmur 8 terlihat dari rujukan kepada “anak manusia” dalam kedua pasal itu. Namun, lebih penting dari itu, “kekuasaan” diberikan kepada “anak manusia” dalam kedua nas itu; Daniel 7:14 mengatakan, “Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal.” Di sini, kaitannya dengan Mazmur 110:1 juga terlihat, dengan demikian mengaitkan ketiga nas tersebut. Nas-nas itu menyediakan latar belakang untuk memahami apa yang dikatakan Yesus di Matius 24:30. Daniel 7 adalah pasal yang berciri profetis, yaitu, ia berkenaan dengan masa depan, bukan masa lalu. Dengan kata lain, pasal ini berbicara tentang “anak manusia” di masa depan, bukan tentang pribadi pra-eksisten dengan nama itu. Demikian pula, Mazmur 110:1 juga berkenaan dengan masa depan; itu adalah janji Allah kepada mesias keturunan Daud. Dengan cara yang sama, perkataan Yesus tentang kedatangan “anak manusia” berkaitan dengan suatu kejadian di masa depan yang oleh orang Kristen disebut “Kedatangan Kristus yang Kedua”. Hal yang sama juga benar dengan perkataan Yesus di ayat berikut: Matius 26:64, “Jawab Yesus: ‘Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.’” Kaitan antara ayat tersebut dengan Daniel 7:13 sekali lagi terlihat dari frasa “anak manusia” dan “datang di atas awan-awan di langit”, Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 259 sedangkan kaitannya dengan Mazmur 110:1 tampak dari “duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa (yaitu Allah)”. Rujukan Yesus kepada Daniel 7:14 terlihat dengan jelas di Markus 13:26, “Pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaannya.” “Kekuasaan dan kemuliaan” di sini sepadan dengan “kekuasaan dan kemuliaan” di Daniel 7. Semua ini membantu kita untuk lebih memahami alasan Yesus memakai “anak manusia” sebagai gelar yang lebih disukai dalam Injil. Gelar ini bukan saja menekankan kemanusiaannya yang sejati, tetapi juga pelayanan mesianiknya dalam menggenapi janji Allah kepada umat-Nya tentang pembebasan di masa depan. Selanjutnya, tanpa mengetahui latar belakang PL ini kita tidak dapat memahami dengan tepat apa yang dimaksud Rasul Paulus dengan “manusia kedua” yang datang “dari surga”, dan akhirnya terjebak dalam spekulasi filosofis tentang semacam Urmensch (kata Jerman untuk ‘Manusia Primordial’), atau prototipe manusia praeksisten—sebuah gagasan yang pernah diusulkan sebagian teolog. Namun semua ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan apa yang ditulis Paulus di 1Korintus 15:47, “Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat alamiah, manusia kedua berasal dari surga”. Siapapun yang akrab dengan Daniel 7:13,14 akan segera mengenali “manusia dari surga” dalam perkataan Paulus. Ini pun bukan satu-satunya kaitan antara kedua nas tersebut. Misalnya, 1Korintus 15:25, “Karena ia harus memegang pemerintahan sebagai Raja sampai Allah meletakkan semua musuhnya di bawah kakinya”, tentunya berkaitan dengan Daniel 7:14, “Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orangorang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya.” Namun kaitan antara kedua nas tadi sebenarnya lebih jauh daripada ini. “Manusia dari surga” di 1Korintus 15:47 itu ada dalam 260 The Only True God konteks bahasan tentang kebangkitan yang mencakup ayat 35 sampai 57. Jika kita lihat Daniel 7:13 (dikutip di awal bagian ini) kita membaca tentang sebuah penglihatan surgawi tentang anak manusia yang datang ke Hadirat Allah. Bila kita membandingkan hal ini dengan perkataan Yesus di Matius 26:64, “Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit”, gambarannya menjadi lebih jelas: Pertama, anak manusia datang kepada Allah (Dan.7:13) dan dianugerahkan untuk duduk di sebelah kanan-Nya (Mzm.110:1); dari Injil kita tahu inilah yang terjadi sesudah kebangkitan Yesus. Lalu, yang kedua, di masa yang akan datang anak manusia itu akan “datang di atas awan-awan di langit” dengan “kekuasaan dan kemuliaan” yang besar (Mrk.13:26). Paulus membahas tahap kedua ini di 1Korintus 15:24-28, sementara ia menulis tentang “manusia dari surga” ketika membahas tentang kebangkitan (1Kor.15:35-57). Ini berarti Yesus adalah “manusia dari surga” itu, manusia “rohani” (ay.46), oleh karena kebangkitan. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan spekulasi-spekulasi metafisis yang nonAlkitabiah tentang semacam manusia abadi yang pra-eksisten. G.G.Findlay, dalam The Expositor’s Greek New Testament, memahami hal ini dengan benar, “Sejak kebangkitannya dan seterusnya, Kristus, sehubungan dengan iman manusia, telah menjadi anthrōpos epouranios [manusia dari surga]. ” Akhirnya, rencana Allah adalah supaya melalui Kristus kita pun menjadi “sama dengan dia yang berasal dari surga” (1Kor.15:48); dan melalui dia “kita akan memakai rupa dari yang surgawi” (ay.49). Ini berarti, seperti Kristus, kita semua juga akan menjadi orangorang “dari surga” sebagai hasil dari kebangkitan itu. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 261 Allah ada di dalam Kristus F akta bahwa Yesus adalah manusia, atau “anak manusia”, adalah sangat jelas dalam Alkitab. Pentingnya dia bagi kita terletak pada fakta bahwa “Allah (Yahweh) ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor.5:19). Namun sejauh trinitarianisme, ayat itu bisa saja dibaca sebagai Allah adalah Kristus (atau, Kristus adalah Allah). Apakah perubahan itu berarti? Apa yang telah mereka ubah? Yang diubah adalah, kalau di 2Korintus 5:19 ALLAH-lah yang mendamaikan, sekarang KRISTUSlah selaku Allah yang melakukan tindakan pendamaian itu. Yahweh telah dikesampingkan oleh Kristus yang diwartakan sebagai Allah. Dengan demikian, monoteisme Yahweh telah digulingkan— sungguh suatu hal yang teramat serius, sejauh firman Allah. Seharusnya sangat jelas bahwa “Allah ada di dalam Kristus” dan “Allah adalah Kristus/Kristus adalah Allah” merupakan dua proposisi yang sangat berbeda secara dasariah. “Allah ada di dalam Kristus” juga berarti bahwa, meskipun Allah dan Kristus keduanya dapat sepantasnya disebut “juruselamat kita”, peranan mereka dalam proses keselamatan kita pada dasarnya berbeda: Kristus adalah agen yang di dalam dan melaluinya Allah melaksanakan tujuan-tujuan penyelamatan-Nya bagi kita; tetapi, Allah Sendirilah yang menjadi Penggerak Utama dari proses keselamatan itu. Apa akan terjadi dengan keselamatan kita jika Allah tidak mengutus Kristus ke dunia? Dan bagaimana kita dapat diselamatkan jika Ia tidak membangkitkan Yesus dari antara orang mati? Belum lagi Bapa yang terus-menerus memberdayakan Kristus selama masa pelayanannya: pengajarannya serta tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban yang dikerjakan melalui dia memastikan kesudahan yang berkemenangan atas karya penyelamatannya. Di sisi lain, peranan Kristus tentunya tidak sekadar pasif, tetapi dilakukan dengan taat, setia dan rela kepada Bapa selama masa pelayanannya. Ialah “Adam yang akhir” yang unik, yang baru, yang 262 The Only True God dalam maksud Allah mutlak diperlukan bagi penebusan umat manusia. Namun kita harus memahami dengan baik bahwa peranan Kristus dalam penyelamatan umat manusia adalah mutlak sebagai manusia, dan ALLAH-lah yang ada di dalam MANUSIA Kristus Yesus untuk mendamaikan dunia dengan diri-Nya Sendiri. Setiap penyimpangan dari hal ini adalah penyimpangan dari firman Allah sebagaimana diwartakan dalam PB, dan telah berakibat kepada konsekuensi serius sehingga Allah Bapa, Yahweh, telah dikesampingkan dari kedudukannya sebagai Pusat mutlak dari pesan Injil. Seterusnya, mau tidak mau, hal ini pasti membawa konsekuensi-konsekuensi yang mengerikan. Gelar “Juruselamat” disandangkan kepada Yahweh Allah dan kepada Kristus dalam kitab Timotius and Titus Kata “juruselamat” (sōtēr) muncul 24 kali dalam PB (kata kerja “menyelamatkan”, sōzō, 106 kali) dan disandangkan kepada Allah dan Kristus. Namun gelar “Allah Juruselamat kita” hanya terdapat dalam Surat-surat Pastoral (Timotius dan Titus) serta Yudas (ay.25), yang muncul 6 kali. Gelar “Kristus juruselamat kita” pun hanya terdapat dalam Surat-surat Pastoral, muncul sekali dalam bentuk itu (Tit.3:6), dan 3 kali dalam berbagai bentuk (“Kristus Yesus, Juruselamat kita”, Tit.1:4; “Juruselamat kita Kristus Yesus”, 2Tim.1:10; dan Tit.2:13 “Juruselamat kita Yesus Kristus”) sehingga jumlah menjadi 4 kali. Dengan demikian, Allah lebih kerap digambarkan sebagai “juruselamat” kita daripada Yesus. Akan tetapi, terjemahan-terjemahan Inggris yang lebih baru dengan berani mencoba “menyamakan skor”. Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 263 Membuat Yesus menjadi Allah melalui terjemahan; “kaidah satu artikel (kata sandang)” T rinitarianisme dengan lancang telah memberi diri sendiri sebuah dorongan tambahan melalui terjemahan mereka yang lebih baru atas beberapa ayat dalam Surat-surat Pastoral, khususnya Titus 2:13. KJV (King James Version) menerjemahkan ayat itu sebagai, “looking for that blessed hope, and the glorious appearing of the great God and our Saviour Jesus Christ (dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh berkat dan penampakan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus)”. Namun, the New King James menggantinya menjadi, “looking for the blessed hope and glorious appearing of our great God and Savior Jesus Christ (dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh berkat dan penampakan kemuliaan Allah dan Juruselamat kita yang Mahabesar, Yesus Kristus)”. Hal yang sama dilakukan oleh semua terjemahan Inggris utama yang lebih baru. Dengan cara ini, gelar “Allah yang Mahabesar” dan “Juruselamat” keduanya disandangkan kepada Yesus. Sebelum kita meneliti perkara ini dengan lebih dekat, hendaknya diperhatikan bahwa terjemahan Suriah purba yang disebut Peshitta menerjemahkannya demikian, “looking for the blessed hope, and the manifestation of the glory of the great God, and our Life-giver, Jesus the Messiah” [terjemahan James Murdock]. (“dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh berkat, dan 264 The Only True God penampakan kemuliaan Allah yang Mahabesar, dan Pemberi Hidup kita, Yesus sang Mesias.”) Sebagaimana diharapkan dari sebuah terjemahan Semitis, “Allah yang Mahabesar” dibedakan dari “Yesus sang Mesias” dengan kata “dan”. Menariknya, “juruselamat” diterjemahkan sebagai “pemberi hidup”. Peshitta adalah Alkitab Suriah purba yang, menurut Encyclopedia Britannica, merupakan “Alkitab yang diterima oleh para jemaat Kristen Suriah sejak akhir abad ke-3 M”, yaitu abad sebelum dirumuskannya syahadat-syahadat Nikea dan Konstantinopel yang mendasari trinitarianisme. Hal penting yang harus diperhatikan adalah terjemahan itu tidak mencerminkan karakter atau susunan kata dari terjemahan-terjemahan modern trinitaris untuk Titus 2:13. Apa yang menjadi dasar bagi terjemahan “Allah dan Juruselamat kita Yesus Kristus” dalam Surat-surat Pastoral? Dasarnya adalah “penemuan” sebuah “kaidah” gramatikal (yang mulai menjadi populer pada abad ke-20) yang mengatakan bahwa, karena hanya ada satu artikel takrif saja yang membatasi kata “Allah” dan “Juruselamat” di Titus 2:13, maka keduanya merujuk kepada pribadi yang sama, yakni, Yesus Kristus. Anehnya, bapa-bapa gereja awal yang berbahasa Yunani, dan orang-orang lain yang berbahasa Yunani, tampaknya tidak menyadari adanya “kaidah” seperti itu dalam bahasa mereka! Para uskup dan sarjana berbahasa Yunani yang mendukung kaum trinitarian pada abad ke-4 tampaknya tidak pernah berpikiran untuk menggunakan “kaidah” yang jelas-jelas menguntungkan posisi mereka itu—jika kaidah seperti itu ada! “Kaidah” ini harus menunggu sampai beberapa sarjana Eropa, yang bahasa ibunya bukan bahasa Yunani, meninggikannya ke tingkat “penemuan”. Tak pelak, kita semua yang dulunya trinitarian sangat senang dengan “penemuan” ini; saya masih ingat betapa gembiranya saya ketika mendengar hal ini sewaktu masih duduk di bangku Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 265 kuliah dan menandai Titus 2:13 dalam Alkitab saya dengan hurufhuruf tebal. Kasihan King James Version abad ke-17 yang, tentu saja, terlalu dini untuk mengambil manfaat darinya! Kita hanya bisa bertanya-tanya apa kira-kiranya reaksi Bapa-bapa Yunani itu seandainya mereka diberitahu bahwa mereka tidak memahami sebuah kaidah dari bahasa mereka sendiri! Kita barangkali bisa menduga respon mereka akan kurang lebih sama dengan respon para pakar bahasa Cina seandainya mereka diberitahu oleh orang Barat bahwa mereka tidak memahami sebuah kaidah dari bahasa Cina! Memang benar bahwa setelah trinitarianisme menetapkan dirinya sebagai dogma gereja Kristen Barat, terjemahan “Allah dan Juruselamat kita Yesus Kristus” mulai muncul, dan ditemukan pada beberapa papirus; namun terlepas dari fakta asal-usulnya yang jelasjelas trinitaris dan penanggalan yang lebih kemudian (tidak ada yang lebih dini dari abad ke-7), jauh sebelum itu bahasa Yunani sudah tidak lagi menjadi bahasa universal di kekaisaran Roma (Augustinus, 354-430 M, meskipun seorang pemimpin teratas gereja, hampir tidak tahu bahasa Yunani), jadi tingkat kompetensi dalam bahasa itu tidak dapat dibandingkan dengan tingkatnya di masa-masa lebih awal, bahkan dengan asumsi bahwa bahasanya sendiri belum mengalami perubahan-perubahan signifikan (seperti, misalnya, dalam hal bahasa Yunani PB dibandingkan dengan bahasa Yunani klasik, dan bahasa Yunani Modern dibandingkan dengan bahasa Yunani PB). Berkenaan dengan terjemahan yang tepat untuk Titus 2:13, penting untuk dicatat bahwa N.J.D. White, seorang trinitarian yang menerima keilahian Kristus, menunjukkan dalam The Expositor’s Greek Testament (di mana ia membahas perkara ini dengan panjanglebar) bahwa bukti gramatikal untuk terjemahan “Allah dan Juruselamat kita Yesus Kristus” sama sekali tidak memadai dan 266 The Only True God menolaknya dengan tegas. Berkenaan dengan “kaidah” yang disebut di atas, Dr. White menulis, “Argumen gramatikal—‘identitas dari rujukan untuk dua nominal di bawah satu artikel umum’—adalah terlalu lemah untuk menanggung bobot, terutamanya bila kita memperhitungkan bukan saja pengabaian umum atas artikel itu dalam surat-surat tersebut tetapi juga ketiadaannya sebelum σωτήρ [juruselamat] di 1Tim.1:1; 4:10.” Sehubungan dengan frasa “penampakan kemuliaan Allah yang Mahabesar” (Tit.2:13), White memberi ulasan berikut, “Kedatangan Kristus yang kedua kalinya akan datang, sebagaimana dikatakannya sendiri, ‘dalam kemuliaan Bapanya’ (Mat.16:27; Mrk.8:38). ‘Kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah’ (Rm.5:2). Dengan demikian, kedatangan Kristus yang kedua kalinya boleh dianggap sebagai ‘penampakan kemuliaan Allah’.” Lebih lanjut, White menulis, “Tidak di manapun juga Santo Paulus lebih tegas dengan bahasanya yang luhur tentang Allah Bapa selain dalam Surat-surat ini [yaitu Surat-surat Pastoral]; lih. 1Tim.1:17; 6:15,16.” Ia juga menyebutkan bahwa “Inilah satu-satunya tempat dalam PB di mana kata μέγας [mahabesar] diterapkan kepada Allah sejati, meskipun kata itu selalu dipakai untuk menggambarkan dewa-dewi orang kafir, mis., Kis.19:28.” Begitu juga, J.E. Huther, dalam Critical and Exegetical Commentary of the New Testament, memberikan diskusi panjanglebar atas Titus 2:13. Dr. Huther (juga seorang trinitarian) menunjukkan bahwa makna ayat ini “tidak dapat diputuskan secara murni dari tatabahasanya”. Kemudian, ia mengurutkan tiga poin yang menentukan mengapa, berdasarkan eksegesis, frasa “Allah yang Mahabesar” tidak berlaku untuk Kristus. Namun untuk Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 267 menghindari diskusi yang berkepanjangan atas ayat ini, saya akan sisakan rinciannya untuk mereka yang ingin mempelajarinya sendiri. Akan tetapi, berkenaan dengan “kaidah” yang menjadi dasar terjemahan Titus 2:13 oleh banyak versi Alkitab Inggris, ulasan Huther berikut ini sangat relevan, “Ada cukup banyak contoh tentang dua subyek berbeda yang berada di bawah satu artikel saja, dan kami tidak melihat mengapa contoh-contoh tersebut tidak dikutip di sini” (catatan kaki 1, hlm.360). Kita dapat membiarkan A Grammar of New Testament Greek, Moulton-Howard-Turner, sebuah karya referensi standar, untuk memberi kata penutup atas topik ini: “Kita harus menilai secara kritis pandangan umum bahwa Titus 2:13 mengandung dua klausa dalam aposisi [yaitu merujuk kepada pribadi yang sama]. Hal yang sama juga berlaku untuk 2Petrus 1:1... Pengulangan artikel tidak selalunya diperlukan untuk memastikan obyek-obyeknya dipertimbangkan secara terpisah” (Jilid 3, hlm.181, re. Tit.2:13). Dengan kata lain, tidak ada dasar untuk “kaidah” yang ditengarai itu; satu artikel dapat merujuk kepada dua subyek yang berbeda, tidak semestinya kepada satu subyek saja. Intinya, terjemahan-terjemahan trinitaris sebenarnya tidak ditentukan oleh pertimbangan gramatikal ataupun eksegetis, tetapi oleh komitmen atau kepercayaan dogmatis para penerjemahnya. Lagipula, dalam usaha memakai ayat dalam Surat-surat Pastoral ini untuk mengangkat Yesus menjadi Allah, mereka dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa justru dalam surat-surat inilah monoteisme dan kemanusiaan Kristus dinyatakan dengan kejelasan mutlak: “Karena Allah itu esa dan esa pula pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5). Kita pasti dengan sengaja telah membutakan diri kalau kita tidak melihat deklarasi monoteistik Paulus yang eksplisit dan khas pada awal kalimat ini, “Sebab, hanya ada satu Allah” (BIS), yaitu Allah yang 268 The Only True God dirujuk sebagai “Allah Juruselamat kita” dua ayat sebelumnya (ay.3). Kalimat tersebut diakhiri dengan pernyataan yang sama eksplisit, “manusia Kristus Yesus”. Apakah ada cara lain untuk membuat pernyataan-pernyataan ini lebih gamblang sehingga “bahkan orang bodoh, tidak akan tersesat” (Yes.35:8, ILT)? Dalam hal ini, sayangnya, kita harus mengakui tuduhan umat Muslim bahwa umat Kristen yang telah menyimpangkan makna teks-teks Alkitabiah memang cukup berbobot. Juga, bagaimana kita dapat memberikan, dengan hati nurani yang bersih, terjemahanterjemahan yang disimpangkan seperti ini kepada orang-orang Yahudi atau Muslim yang ingin mengenal PB? 2Petrus 1:1 Sebagaimana bisa diduga, kebanyakan terjemahan bahasa Inggris utama yang lebih baru atas 2Petrus 1:1 menerapkan “kaidah satu artikel” yang sama kepada terjemahan mereka atas ayat itu, “the righteousness of our God and Savior Jesus Christ (kebenaran Allah dan Juruselamat kita Yesus Kristus)” (kata-kata dalam cetak miring menerjemahkan τοῦ θεοῦ ἡμῶν καὶ σωτῆρος Ἰησοῦ Χριστοῦ). Akan tetapi, struktur gramatikal yang sama di 2Tesalonika 1:12 (τοῦ θεοῦ ἡμῶν καὶ κυρίου Ἰησοῦ Χριστοῦ) justru diterjemahkan sebagai “the grace of our God and the Lord Jesus Christ (anugerah Allah kita dan Tu[h]an Yesus Kristus)” oleh versi-versi terjemahan yang sama itu; mengapa “kaidah satu artikel” dibuang di sini? Apakah karena katakata tersebut telah menjadi bagian dari pengucapan berkat tradisional yang dipakai dalam ibadah-ibadah gereja yang tidak ingin mereka ubah atau langgar? Tradisikah yang lagi-lagi menentukan terjemahannya di sini? Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 269 Yudas 4 Namun pertimbangkan bagaimana ESV (English Standard Version, 2001), seperti kebanyakan versi-versi modern lain, menerjemahkan frasa terakhir di Yudas 4 sebagai “our only Master and Lord, Jesus Christ” (τὸν μόνον δεσπότην καὶ κύριον ἡμῶν Ἰησοῦν Χριστὸν: secara harfiah, the only Master and our Lord Jesus Christ). Teks Yunaninya (seperti Titus 2:13) hanya mengandung satu artikel takrif, yang tidak diterjemahkan oleh ESV, tetapi diganti dengan “our” untuk keduanya “Master” maupun “Lord”. Namun apa alasannya untuk berbuat seperti itu? Sekali lagi, apakah karena “kaidah satu artikel” yang ditengarai? Namun, para penerjemah seharusnya tahu bahwa hal itu tidak dapat dibenarkan karena kata “our” yang dalam teks Yunani berada tepat di depan “Yesus Kristus”, dapat menggantikan artikel takrif—yang mereka akui dengan menggantikan “the” pada awal frasa Yunaninya dengan “our”. Sekali lagi mereka tidak segan-segan menyalahgunakan “kaidah satu artikel” untuk memperoleh terjemahan trinitaris mereka. Tak pelak, terjemahan King James Bible memberikan susunan kalimat yang benar: “the only Lord God, and our Lord Jesus Christ.” Terjemahan ini dituruti oleh New King James Bible. Demikian juga dengan Peshitta: “him who is the only Lord God and our Lord, Jesus the Messiah” (Murdoch). Tyndale, yang jelas-jelas belum pernah mendengar adanya “kaidah satu artikel” ini, menerjemahkannya sebagai “God the only Lorde and oure Lorde Iesus Christ.” (Tyndale’s New Testament, 1534) Ayat ini mungkin tidak terlihat relevan untuk diskusi kita saat ini karena ayat ini tidak menyebut Yesus sebagai Allah. Namun masalahnya tidak sesederhana itu karena frasa “satu-satunya Penguasa”. Jika Yesus Kristus adalah satu-satunya Penguasa dan Tu[h]an kita, maka ini jelas tidak menyisakan ruang untuk Allah Bapa! Kekristenan Barat selama ini telah menggusur Allah sang Bapa 270 The Only True God dari tempatnya, bahkan dengan memakai PB untuk membenarkan perbuatannya. Di sini, pertimbangkan lagi terjemahan Peshitta, “Him who is the only Lord God and our Lord, Jesus the Messiah”; perbedaan antara “satu-satunya Tuhan Allah” dengan “Tu[h]an kita Yesus” menonjol dengan jelas. Namun apakah pembacaan ini dapat dibenarkan? Mari kita pertimbangkan fakta-fakta berikut: (1) Bagian kedua dari ayat ini (Yudas 4) berbunyi, “orang-orang fasik, yang menyalahgunakan anugerah Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satusatunya Penguasa…” Apa yang diselewengkan? “Anugerah Allah kita”. Jadi, siapakah yang disangkal melalui tindakan penyelewengan ini? Bukankah Allah yang anugerah-Nya diselewengkan? Dengan demikian, bukankah ini jelas-jelas berarti Allah yang anugerahnya diselewengkan ini, dan yang dengan demikian disangkal secara terbuka, adalah yang Satu itu yang disebut sebagai “satu-satunya Penguasa”? Tentu saja, dengan menyangkal Allah, satu-satunya Penguasa, maka Kristus-Nya pun disangkal; namun, ayat itu sendiri menerangkan bahwa rujukan primernya adalah kepada Allah, sang Bapa. (2) Kata yang diterjemahkan sebagai “Penguasa” (despotēs) dipakai sebagai sebuah gelar untuk Allah baik dalam PL maupun PB. Semua contoh lain dari kata ini bila dipakai sebagai sebuah gelar ilahi dalam PB selalu merujuk kepada Yahweh Allah: Lukas 2:29; Kisah 4:24; 2Petrus 2:1 (“dibeli” bdk. Kis.20:28); Wahyu 6:10 (“Tuhan yang Berdaulat” bdk. Kis.4:24), bukan kepada Yesus, jadi tidak ada alasan untuk menganggap Yudas 4 sebagai pengecualian, dan terutamanya tidak bila kata “satu-satunya” (monos) dipakai. Dalam PL Yunani (LXX) despotēs (Penguasa) muncul banyak kali sebagai suatu bentuk Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 271 sapaan untuk Yahweh Allah, khususnya dalam Kitab Daniel di mana kata itu muncul 7 kali. Mengingat bukti-bukti di atas, sungguh mencengangkan—sekaligus menyedihkan—melihat sejauh mana sebagian trinitarian rela salah menerjemahkan dan menyalahgunakan bahkan Kitab Suci, yang mereka akui sebagai firman Allah. Tidak adakah lagi komitmen kepada kebenaran? Psikologi apa yang bekerja dalam pemikiran trinitaris? A pakah Yesus hanya berharga bagi kita jika ia adalah Allah? Apakah ia kurang berharga bagi kita sebagai manusia? Apakah kasih kita kepadanya akan berkurang jika ia “hanya” manusia? Apakah keberhargaan dirinya terletak pada “kodrat ilahi”nya, sehingga hanya jika ia adalah Allah barulah ia dihargai? Atau, apakah ia berharga karena ia “telah mengasihi aku dan menyerahkan dirinya untuk aku” (Gal.2:20) terlepas dari “kodrat hakiki”-nya? Apakah status menentukan nilai kasih? Apakah kasih seorang raja lebih berharga daripada kasih ibu saya hanya karena ia seorang raja? Seandainya kasih seorang raja mungkin lebih murni (mis. kurang egois) daripada kasih ibu saya, itu hal yang berbeda, tetapi itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan statusnya. Yesus, oleh karena kesuciannya, dapat (dan memang) mengasihi dengan kemurnian yang melampaui semua kasih manusia yang pernah kita kenal, oleh sebab itu kualitas kasihnya tak dapat ditandingi oleh seorang manusia pun, bahkan seorang ibu pun tidak. Apakah kasih dari dia yang “menyerahkan dirinya untuk aku” kurang berharga karena kasih itu adalah kasih “manusia Kristus Yesus” alih-alih “Allah Kristus Yesus”? Dan, bicara soal ketidakberdosaan, apakah Yesus tidak berdosa karena ia adalah Allah? Jika demikian, maka ia tidak berdosa secara 272 The Only True God hakiki (sebab Allah tidak dapat berbuat dosa), dan bukan karena kemenangan atas dosa dan daging. Ajaran Kitab Suci dengan demikian dinyatakan salah, sebab akan bertentangan dengan fakta yang dirangkum dalam pernyataan di Roma 5:19, “Jadi, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang [Yesus] banyak orang menjadi orang benar.” Ini adalah prinsip dasariah soteriologi PB, dasar yang pokok dari keselamatan kita: ketaatan dari “satu orang” itu. Semuanya bergantung pada ketaatan Kristus sebagai manusia. Ini bukan soal ketaatan Allah kepada Allah yang dibutuhkan untuk keselamatan manusia. Ini adalah perkara ketaatan manusia kepada Allah yang digenapi oleh Kristus dengan “taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8). Kita harus memahami dengan baik bahwa kasih dari dia “yang telah mengasihi aku dan menyerahkan dirinya untuk aku” adalah kasih dari manusia Kristus Yesus. Kembali kita menanyakan: Apakah kasih ini berkurang nilainya karena itu adalah kasih dari manusia Kristus Yesus? Bagi saya tentu saja tidak; Yesus tidak menjadi kurang berharga bagi saya jika ia “hanya” seorang manusia. Kasihnya untuk kita mutlak amat dibutuhkan demi keselamatan kita. Yesus dapat tetap tidak berdosa tentunya bukan semata-mata karena upayanya sendiri tanpa bantuan, tetapi karena kepenuhan Yahweh tinggal atau “bertabernakel (berkemah, Yoh.1:14:)” di dalam dirinya secara jasmaniah (Kol.2:9). Kita pun, dengan cara yang kurang lebih sama, dapat menang atas dosa melalui hadirat Allah yang tinggal di dalam kita sebagai bait-Nya (1Kor.3:16; 6:19). Di 1Yohanes 3:9 kita membaca, “Setiap orang yang lahir dari Allah, tidak terus menerus berbuat dosa; sebab benih ilahi tetap ada di dalam dia dan ia tidak dapat terus menerus berbuat dosa, karena ia lahir dari Allah.” Jika ayat ini beraplikasi kepada kita, betapa lagi Kristus, sang “Anak tunggal”? Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 273 Trinitarianisme telah membutakan mata kita terhadap apa yang bisa digambarkan sebagai “fenomena Kristus yang luar biasa”, yakni, seorang manusia sejati telah berhasil menjadi tanpa dosa walaupun ia “sudah dicobai dalam segala hal, sama seperti kita sendiri; hanya ia tidak berbuat dosa” (Ibr.4:15, BIS). Realitas yang mencengangkan dari kemenangan atas dosa ini terhilang dalam trinitarianisme karena, sebagai Allah, Kristus tidak mungkin bisa berbuat dosa— sebab jika ia bisa berbuat dosa, ia tidak mungkin adalah Allah. Jika ia tidak bisa berbuat dosa oleh karena keilahiannya, maka ini membuat Ibrani 4:15 menjadi tidak berarti—demikian pula dengan pencobaan di padang gurun (Mat.4; Luk.4). Ketidakberdosaan bawaan (oleh karena keilahian) akan mendiskualifikasikan Yesus sebagai Kurban tebusan dosa (yang mengharuskan ketaatan dari “satu orang”, Rm.5:19); itu juga akan membuat dia tidak dapat dicobai “sama seperti kita” sehingga ia tidak dapat bertindak sebagai Imam Besar yang turut merasakan kelemahan kita (lagi-lagi bertentangan dengan Ibr.4:15). Namun mari kita kembali ke psikologi pemikiran trinitaris yang menyiratkan bahwa kebernilaian Kristus ada pada keilahiannya, dan ia didevaluasi jika dianggap “hanya” manusia. Pertanyaan “apakah manusia?”, jika dianggap sebagai pertanyaan retorik, mengharapkan jawaban, “Tidak lebih dari debu”. Hal ini mungkin berlaku di tingkatan jasmaniah, tetapi tidak berlaku padanya di tingkatan rohaniah (lih. pembahasan terdahulu tentang Mzm.8). Jika pemikiran kita dikuasai oleh konsep manusia yang tidak Alkitabiah, maka tidak heran bila pandangan yang mengatakan bahwa Yesus itu manusia, bukan Allah, akan dilawan keras sebagai sebuah devaluasi terhadap dirinya. Namun mari kita bertanya lagi: apakah nilai Kristus untuk kita ada pada keilahiannya? Ataukah ada pada apa yang telah dikerjakannya untuk kita sebagai Juruselamat? Untuk menangkap hal ini dengan lebih jelas, kita dapat menanyakannya seperti ini: 274 The Only True God Dalam ajaran Kitab Suci, keselamatan kita sebenarnya bergantung pada apa? Apakah pada “hakikat”-nya (entah ia itu Allah atau manusia), ataukah pada “pekerjaan”-nya (fungsinya)? Yesus menunjuk kepada “pekerjaan-pekerjaan”-nya sebagai bukti autentisitasnya (Yoh.10:25,37,38). Supaya kurang abstrak, kita bisa memakai sebuah gambaran: Apa pentingnya sebuah kunci? Apakah pada bahannya (“hakikat”-nya), yaitu, apakah terbuat dari semacam logam mulia seperti emas atau platinum, ketimbang besi atau baja? Atau, apakah pada fungsinya, yakni, untuk membuka pintu rumah? Apakah penting kunci itu terbuat dari apa selama kunci itu dapat memberi kita akses masuk ke dalam rumah? Bukankah nilainya terletak pada apa yang dikerjakannya untuk kita, ketimbang pada jenis logamnya? Adalah menarik dan juga signifikan bahwa Yesus berbicara tentang “mutiara yang sangat berharga” (Mat.13:46). Entah mutiara itu sebuah gambaran Kerajaan Allah, atau Kristus sendiri sebagai orang yang diangkat Allah untuk memerintah, tidak penting untuk tujuan kita saat ini. Yang signifikan adalah mutiara dipilih Yesus sebagai lambang. Pada apa tepatnya nilai sebutir mutiara itu? Apakah pada bahan yang membentuknya (“hakikat”-nya)? Jika mutiara itu ditumbuk hingga menjadi bubuk, apakah masih bernilai? Jika bubuknya dibuat menjadi pasta kosmetik, ia mungkin masih bernilai, tetapi tidak banyak dibandingkan dengan mutiara yang berharga tadi. Jadi, apa pun alasannya mengapa sebutir mutiara itu bernilai, nilainya jelas tidak terletak pada “hakikat”-nya atau komposisi kimianya. Bukankah sungguh berbeda halnya dengan emas? Apakah satu ons bubuk emas berkurang nilainya daripada satu ons emas batangan? Tentu saja sama nilainya. Namun, akan lain halnya jika seorang seniman yang mahir menciptakan sesuatu yang sangat indah dengan emas itu, karena ciptaannya itu sekarang memiliki nilai yang berbeda sekali; karena sekarang ciptaannya itu telah Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 275 menjadi (atau, kita bisa katakan “berfungsi” sebagai) sebuah karya seni. Seorang pelukis besar bahkan dapat menggunakan bahanbahan yang tidak bernilai tinggi (cat kanvas, minyak atau air), dan dengan bahan-bahan tersebut menciptakan sebuah adikarya yang bernilai jutaan dolar. Bahan-bahan pembentuk bukanlah soal penting dalam hal ini, yang penting adalah apa yang diperbuat (atau dihasilkan, atau dicapai) dengan bahan-bahan itu. Demikian juga, Kitab Suci tidak terlalu mempedulikan “kodrat hakiki” Kristus, seolah-olah ia harus menjadi sesuatu yang lebih daripada “hanya manusia”; tema sentralnya adalah tentang apa yang telah dikerjakan oleh Allah di dalam dan melalui Kristus Yesus untuk keselamatan kita. Apakah keselamatan yang disediakan Allah bagi kita itu berkurang nilainya jika Kristus tidak dapat diperlihatkan dari Kitab Suci sama-sama setara dengan Yahweh Allah dalam setiap aspek? Apakah karya penyelamatan Kristus melalui pemberdayaan Allah berkurang nilainya jika keilahiannya tidak dapat diperlihatkan dari Kitab Suci? Tentu saja tidak. Sebab, sebagaimana telah kita lihat, hal yang penting bagi kita adalah apa yang telah diselesaikan untuk kita oleh Allah dalam Kristus; sedangkan untuk hal-hal lainnya kita akan “mengenal dengan sempurna” (1Kor.13:12) pada Hari itu. Dari semuanya ini jelas bahwa mentalitas trinitaris tidak sesuai dengan pewahyuan PB. Namun mereka dengan gigihnya bersikeras bahwa Yesus adalah Allah, malahan sampai sejauh “menerjemahkan” Kitab Suci sesuai dengan tafsiran mereka sendiri, dengan demikian mereka menyediakan sendiri ayat-ayat yang mereka gunakan untuk menyangga doktrin mereka! Semoga Allah berbelas-kasihan kepada mereka—dan kepada kita yang melakukan hal yang serupa. 276 The Only True God Soal penting: Apakah sesungguhnya pewahyuan Alkitabiah tentang pribadi dan karya Yesus Kristus? U ntuk menjawab pertanyaan ini, kita harus terlebih dulu meluruskan argumen-argumen trinitaris tentang keilahian Kristus, klaim bahwa ia adalah “Allah-Anak”, sebuah gelar yang tidak ditemukan dalam Alkitab. Sejauh Alkitab, Yesus Kristus tegastegas ada dalam alam manusia, seorang manusia asli. Adalah mustahil, baik dalam terang Kitab Suci maupun nalar, untuk Yesus menjadi seorang manusia nyata seperti kita jika ia juga “sungguhsungguh Allah”. Tentu kita menjadi orang-orang bodoh dan berbicara nonsens ketika kita menyimpang dari Kitab Suci. Kita bisa yakin bahwa kita berada di atas dasar Kitab Suci yang teguh ketika kita menegaskan bahwa Yesus itu sungguh-sungguh seorang manusia. Apakah ini sama dengan mengatakan bahwa ia “hanya” seorang manusia sama seperti kita? Sama sekali tidak. Tidak? Namun bukankah kita baru saja berkata bahwa ia sungguhsungguh seorang manusia? Tentu saja, tetapi siapa di antara kita yang bisa dilukiskan sebagai seorang “manusia sempurna” atau “manusia tanpa dosa”? Tak seorangpun. Jadi jelaslah bahwa dalam arti paling penting ini ia tidak sama seperti kita. Oleh karena dia sajalah seorang manusia yang sempurna, bukankah itu juga berarti bahwa hanya dialah manusia secara sempurna? Bukankah itu juga berarti, dalam terang kesempurnaan Yesus yang unik, seluruh umat manusia harus mengakui bahwa mereka bukan manusia secara sempurna? Dengan demikian, manusia itu bukan sungguh-sungguh manusia sebagaimana yang dimaksudkan sampai pada akhirnya mereka juga “dijadikan sempurna” (bdk. Ibr.5:9; 7:28; 11:40; 12:23). Sang Rasul jelas tidak menganggap hal ini suatu kemungkinan dalam hidup ini ketika ia berkata, “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus” (Flp.3:12). Ini berarti Yesus Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 277 adalah satu-satunya manusia sejati yang pernah ada di atas bumi ini, karena ia adalah satu-satunya pribadi yang sempurna dan tanpa dosa yang pernah hidup. Dengan demikian, sejauh Kitab Suci, tidak ada keraguan sama sekali tentang Yesus sebagai manusia dan, sesungguhnya, sebagai satu-satunya pribadi yang sungguh-sungguh manusia. Disinilah letak keunikan mutlaknya; ia tak tertandingi. Justru karena inilah hanya dia saja yang bisa menjadi juruselamat dunia. Sebab, masalahnya dengan manusia adalah keegoisan dan dosa kerap kali membuat mereka berkelakuan kurang dari manusia, kurang dari maksud Allah untuknya. Sayangnya, inilah hal yang dialami oleh banyak orang di tingkatan personal dan sosial, demikian juga di tingkatan internasional—sesuatu yang diingatkan kepada kita setiap hari melalui berita dunia serta mendengar tentang konflik dan peperangan tak berkesudahan yang sedang berkecamuk di dunia. Namun dalam Kristus ada harapan, karena di dalam dia Yahweh Allah akan mendamaikan segala sesuatu dengan Diri-Nya (Kol.1:20 Pewahyuan Alkitabiah membawa kita kepada kesadaran bahwa hanya ada satu Allah sejati dan juga hanya ada satu manusia sejati. Lagipula, sebagaimana dapat diduga, di antara mereka terdapat suatu hubungan kesatuan yang unik, yang berulang-kali dibicarakan oleh Yesus. Kesatuan ini dilukiskannya dengan istilah “tinggal” atau keberdiaman timbal balik: “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku” (Yoh.14:11). Karena hanya Yesus saja yang tanpa dosa, hanya dia sajalah “tempat” (Yoh.2:19) di mana Allah yang kudus bisa tinggal dalam kepenuhan-Nya. Kepenuhan ilahi ini diwakili oleh Firman Allah (Yoh.1:1) yang, sebagaimana kata-kata, bisa digambarkan sebagai sesuatu yang melimpah keluar dari kedalaman yang paling dalam dari diri-Nya dan tampil kemuka untuk berdiam di dalam satu manusia sejati itu, dan di dalam Kristus untuk berdiam di antara kita (Yoh.1:14). 278 The Only True God Dalam jemaat awal ada sebuah deskripsi tentang kesatuan Allah dalam Kristus ini dalam bentuk gambaran sepotong besi yang dimasukkan ke dalam api hingga besinya berpijar di dalam api itu; dengan begitu, besinya ada di dalam api, dan apinya ada di dalam besi, akan tetapi, apinya tetap api dan besinya tetap besi, yang satu tidak berubah menjadi yang lain, dan ini melukiskan perkataan Yesus dengan indah dan efektif, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku” (Yoh.14:11). Persatuan itu sedemikian rupa sehingga Yahweh bisa berbicara dan bekerja dengan bebas melalui Kristus untuk menyelesaikan tujuan-tujuan kekal-Nya di dunia, dan Kristus bisa berbicara dan bertindak untuk Yahweh sebagai wakil mutlakNya (plenipotentiary). Itu sebabnya ada beberapa nas dalam Kitab Suci yang tidak jelas apakah mengacu kepada Yahweh atau kepada Kristus. Akan tetapi, hendaknya diingat bahwa persatuan dari besi dengan api itu bukan berarti besinya menjadi api, atau apinya menjadi besi; keduanya bersatu tetapi tetap berbeda. Begitu juga, persatuan Yahweh dengan Kristus bukan berarti Kristus adalah Yahweh atau Yahweh adalah Kristus. Jadi, pewahyuan Alkitabiah bukan saja menyatakan Yesus sebagai satu-satunya manusia sejati, yang dengan sendirinya sudah cukup mengagumkan, tetapi sama menakjubkan, bahwa Yahweh Allah telah datang ke dunia dalam Kristus untuk mendamaikan dunia dengan Dirinya, yaitu untuk menyelamatkannya. Jadi, yang datang ke dunia untuk menyelamatkan kita itu bukan suatu sosok ilahi tak dikenal yang disebut “Allah-Anak”; tetapi tak lain dan tak bukan adalah Yahweh Sendiri yang datang ke dunia demi keselamatan kita. Kebenaran yang indah dan dasariah inilah yang telah disimpangkan dan dihilangkan oleh trinitarianisme yang menggantikan Yahweh dengan “Allah-Anak” sebagai sosok yang datang ke dunia. Betapa besarnya kerugian itu! Dengan demikian, Yesus adalah “bait” Yahweh yang unik (Yoh.2:19) di dunia di mana penebusan untuk dosa dibuat melalui Bab 2 — Manusia Sempurna adalah Juruselamat 279 darahnya yang sungguh-sungguh darah manusia dan yang tanpa dosa, dan darinya kebenaran Yahweh Allah diwartakan hingga ke ujung bumi. Dan oleh karena ia adalah satu-satunya manusia sejati, ia menjadi satu-satunya pengantara yang bertindak atas nama manusia (1Tim.2:5), sama seperti Musa yang mengantarai atas nama bangsa Israel. Nama Yesus pun menjadi satu-satunya nama yang efektif untuk keselamatan umat manusia; sebab “tidak ada keselamatan di dalam siapa pun juga selain di dalam dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis.4:12). “Diberikan” oleh siapa? Oleh siapa lagi kalau bukan oleh Yahweh Sendiri? Dari kajian kita terhadap Kitab Suci terlihat bahwa, sementara di satu sisi trinitarianisme sudah keliru, akan tetapi, di sisi lain ajaran dari berbagai macam kelompok Kristen, baik yang purba maupun modern (mis. Arian, Unitarian, dll), yang mengajarkan bahwa Yesus hanyalah seorang yang luar biasa, seorang nabi besar, dan “anak” angkat Allah, sama sekali tidak memadai, sama sekali melewatkan unsur terpenting dari kemanusiaan Kristus, yaitu kesempurnaannya yang unik, dan dengan tepat ditolak oleh jemaat awal. Karena Yahweh Allah, sang Bapa, berkenan meninggikan Yesus di atas segala makhluk lain, sedemikian rupa sehingga setiap lidah harus mengakui dia sebagai “Tu[h]an”, maka begitulah caranya ia harus diperlakukan dan dihormati “bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp.2:10,11). Namun kesulitannya bagi kita sekarang adalah, sebagai trinitarian, kita adalah orang-orang yang Kristosentris, kita melakukan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan Kristus, dan karena kita berpikiran Yesus adalah Allah, kita mengira bahwa dengan memuliakan dia kita sedang memuliakan Allah. Jadi gagasan menghormati Kristus “bagi kemuliaan Allah, Bapa (Yahweh)” sebenarnya adalah konsep asing bagi kita. Dalam benak kita, Yahweh nyaris tidak diperhitungkan sama sekali, dan bahkan “Allah-Bapa” 280 The Only True God trinitaris sekalipun memiliki sedikit, jika ada, signifikansi nyata dalam cara berpikir kita yang Kristosentris. Disinilah perlunya sebuah perubahan radikal, sebuah pembaharuan budi (Rm.12:2), jika kita ingin kembali kepada monoteisme Alkitabiah. Namun masa lalu trinitarian kita tidak akan membuat hal ini mudah; adalah sulit untuk melepaskan sesuatu yang telah sekian lama berada di pusat kehidupan dan pikiran kita. Sulit untuk kita menyadari bahwa dengan menuhankan dan mengidolakan Yesus (bagaimana lagi kita harus menyebutnya?), kita telah mendurhakai Yahweh Allah dan Kristus-Nya. Kita telah gagal untuk melihat bahwa Yesus adalah jalan, bukan tempat tujuan; ia adalah perantara, imam agung yang mempersembahkan kurban kepada Yahweh atas nama kita, tetapi ia bukan Yahweh Allah yang dengan-Nya kita perlu berdamai. Untuk selamanya kita bersyukur bahwa ia adalah manusia sempurna yang “telah mengasihi kita dan menyerahkan dirinya untuk kita” untuk “membawa kita kepada Allah” (1Ptr.3:18). Dan sekarang, kita dipersatukan dengan Allah dan Kristus secara kekal di dalam “tubuh Kristus”, yaitu jemaat Allah, di mana Kristus adalah kepalanya dan kita anggota tubuhnya. Dalam hidup baru ini kita sekarang belajar untuk menjalin hubungan dengan Yahweh Allah sebagai pusat dari kehidupan kita, dan di saat yang sama selalu mengingat dan menghormati Kristus dengan rasa syukur, sang kurban sempurna (seperti dalam Perjamuan Kudus, atau Ekaristi) yang disediakan oleh Yahweh bagi kita. Kristus Yesus, satu-satunya manusia sempurna, telah membuat penyelamatan umat manusia menjadi sesuatu yang mungkin. Bab 3 Menilai Kembali Pemahaman Kristen akan Manusia Pandangan rendah akan manusia dalam trinitarianisme versus ajaran Alkitabiah tentang manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7) S ebuah rintangan serius untuk kita menerima Yesus sebagai manusia sejati dan manusia sempurna adalah rendahnya pandangan akan manusia dalam pemikiran Kristen, terutamanya semenjak masa Augustinus, sekitar empat abad setelah masa Kristus. Pendapat mengenai kebejatan total manusia, yang mulai mendominasi pengajaran Kristen sejak saat itu dan seterusnya, menurunkan manusia ke keadaan degradasi moral yang total. 282 The Only True God Semuanya ini dilakukan demi meninggikan anugerah Allah sebagai satu-satunya harapan keselamatan manusia. Belum cukup untuk para dogmatis ini menunjukkan bahwa kebenaran atau kesalehan manusia, entah setinggi apapun, tidak akan pernah cukup untuk menggapai keselamatan, karena tak seorang pun dapat dengan sendirinya mencapai standar yang dituntut Allah. Itu sebabnya keselamatan tersedia hanya karena anugerah oleh iman. Tidak, berdasarkan beberapa ayat yang dikutip di luar konteks, mereka merasa perlu berkeras bahwa semua orang itu benar-benar dan sepenuhnya bejat, busuk sampai ke dalam, kebenaran mereka itu tidak lebih daripada “kain kotor”. Apakah para dogmatis ini sungguh-sungguh ingin menegaskan, misalnya, perbuatan orang-orang yang mengorbankan nyawa mereka dengan beraninya demi menyelamatkan orang lain (yang banyak terjadi hampir setiap harinya, seperti contoh baru-baru itu dengan para anggota pemadam kebakaran yang tewas di Menara Kembar pada 9/11) bukanlah perbuatan saleh, bahkan di mata Allah sekalipun, dan adakah orang yang berani mengatakan kebenaran seperti itu ibarat “kain kotor”? Pernyataan-pernyataan Alkitabiah tentang kebenaran yang bersifat munafik atau yang “dipamerkan”, yang dicela oleh Yesus, disalahterapkan oleh para dogmatis ini pada kebenaran manusia secara umum. “Berilah hormat kepada orang yang berhak menerima hormat.” Akan tetapi, jika semua orang itu bejat, lantas untuk apa memberi hormat kepada siapa pun? Paulus berbicara tentang “orang yang baik”; akankah kita bersikeras bahwa “baik” itu hanya di mata manusia saja? Dan apakah “orang yang suka damai” (Lukas 10:6 BIS) itu seorang yang saleh atau bukan? Lagipula, jika pencabutan frasa “kain kotor” dari konteks Yesaya 64:6 untuk menajiskan seluruh kebenaran manusia ini dijadikan sebagai contoh “eksegesis” Kristiani atas Kitab Suci, maka cara Kitab Suci disalahgunakan dalam “eksegesis” trinitaris tidaklah mengherankan. Melihat sepintas nas dalam kitab Yesaya akan segera Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 283 menunjukkan bahwa para dogmatis itu sama sekali tidak peduli dengan apa sebenarnya yang dikatakan Yesaya. Ucapan “segala kesalehan kami seperti kain kotor” adalah sebuah pengakuan dosa dari hati yang remuk di hadapan Allah atas nama bangsa Israel, sebuah pengakuan akan kosongnya ibadah keagamaan mereka, karena kenyataannya adalah “tidak ada yang memanggil nama-Mu atau yang bangkit untuk berpegang kepada-Mu” (ay.7); dan oleh sebab itu, “Engkau menyembunyikan wajah-Mu terhadap kami, dan menyerahkan kami ke dalam kekuasaan dosa kami” (ay.7). Namun ayat-ayat yang mendahuluinya menerangkan dengan sangat jelas bahwa tak satu pun darinya dimaksudkan untuk menyangkali bahwa ada orang-orang di Israel yang “menanti-nantikan” Tuhan dan yang “melakukan yang benar dengan sukacita”: “Tidak ada telinga yang mendengar, dan tidak ada mata yang melihat seorang allah yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan dia; hanya Engkau yang berbuat demikian. Engkau menyongsong mereka yang melakukan yang benar dan yang mengingat jalan yang Kautunjukkan…sejak dahulu kala” (Yes.64:4,5). Cara para dogmatis Kristen itu memperlakukan Kitab Suci secara serampangan demi mencapai tujuan dogmatis mereka untuk melukiskan seluruh umat manusia dalam warna kebejatan yang seram demi membangun doktrin anugerah mereka akan mencengangkan setiap penafsir Alkitab yang bertanggung jawab. Dengan demikian, manusia yang telah dilukiskan sebagai “hampir sama seperti Allah”, dan yang telah dimahkotai dengan “kemuliaan dan hormat” (Mzm.8:6) sekarang dilukiskan nyaris tidak lebih baik daripada si Iblis! Seorang penulis Kristen mengutip penulis Austria, Karl Kraus (1874-1936), dengan nada persetujuan ketika Kraus menulis, “Si Iblis sangat optimis jika mengira ia dapat membuat manusia lebih buruk daripada mereka sendiri.” 284 The Only True God Akibat dari doktrin kebejatan total: kita enggan berbicara tentang Kristus sebagai manusia Begitu banyak ajaran Kristiani yang didasari oleh suposisi bahwa Allah dimuliakan dan keselamatan-Nya dibesarkan dengan merendahkan manusia sebagai makhluk yang bejat atau rusak. Biasanya, dalam buku teologi Kristen, penulis menyusun daftar ayat yang berbicara tentang kefasikan dan kerusakan manusia, sedangkan tujuan Allah yang mulia untuk manusia nyaris tidak disinggung. Kata-kata di Mazmur 8, “apakah manusia…?” diperlakukan dalam tulisan-tulisan dan lagu-lagu seolah-olah menyampaikan pertanyaan retoris yang mengharapkan jawaban negatif, “Ia bukan apa-apa”. Ternyata, tak seorang pun mau repot-repot melihat seluruh ayatnya: “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm.8:5; 144:3) Jauh dari menjadi pertanyaan retoris, sebenarnya ayat itu merupakan ungkapan rasa heran, pujian, dan syukur, yang digerakkan oleh keprihatinan dan kepedulian Allah kepada manusia! Ayub, sekalipun dalam keadaan tidak puas, pun mengakui hal ini: “Apakah gerangan manusia, sehingga dia Kauanggap agung, dan Kauperhatikan, dan Kaudatangi setiap pagi, dan Kauuji setiap saat?” (Ayb.7:17,18) Allah telah menetapkan hati-Nya pada manusia! Ia mencurahkan begitu banyak perhatian kepadanya! Pertanyaan Ayub “Apakah gerangan manusia?” tidak menyodorkan jawaban seperti “bukan apa-apa”, atau “hanya seorang berdosa yang bejat”, melainkan “seorang yang berharga bagi Allah”, “seorang yang kepadanya Allah telah menjatuhkan pilihan-Nya”. Alkitab tentu saja tidak menutupi dosa manusia, tetapi Alkitab tidak pernah mengemukakan bahwa umat manusia secara keseluruhan telah menjadi bejat dan tidak bernilai oleh sebab dosa. Keberhargaan manusia bagi Allah bahkan sebagai orang berdosa harus selalu diingat sekalipun keseriusan dosanya tidak diabaikan; ini adalah sudut pandang Alkitabiah. Anak yang hilang itu masih Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 285 tetap anak, setidaknya sebagai keturunan Adam (Luk.3:38), sekalipun masih belum seorang anak Allah di dalam Kristus. Dosa memang telah menurunkan umat manusia kepada kemiskinan rohaniah, dan lebih buruk lagi, kepada konsekuensikonsekuensi mengerikan dari perbudakan di bawah kuasa dosa dan maut. Namun bukti bahwa Allah sama sekali tidak pernah meninggalkan rencana kekal yang telah ditentukan-Nya untuk manusia dinyatakan dengan jelas oleh rencana penebusan manusia yang telah ditetapkan-Nya “sebelum fondasi dunia” melalui “manusia Kristus Yesus”. Namun pandangan yang rendah terhadap manusia yang begitu tersebar luas di dalam jemaat Kristen membuat orang-orang Kristen enggan berbicara tentang Kristus sebagai manusia, kecuali sebagai konsesi bahwa hanya jika Kristus itu manusia ia tidak bisa menjadi juruselamat manusia. Ia dilukiskan sebagai seorang yang merendahkan dirinya sampai pada kedudukan yang rendah ini demi keselamatan kita walaupun, dalam kenyataannya, ia adalah Allah bukan manusia, sebab dalam jati-dirinya ia adalah “Allah-Anak”. Pemikiran semacam inilah yang menguasai pikiran orang Kristen dan, sayangnya, tidak lagi bersentuhan dengan antropologi Alkitabiah dan rencana kekal Allah yang mulia untuk manusia yang diwahyukan di dalamnya. Pandangan yang luhur terhadap manusia dalam Kitab Suci R encana dan maksud mulia Allah untuk manusia dinyatakan dengan jelas dalam Kitab Suci, tidak disembunyikan, sehingga tidak ada alasan untuk tidak melihatnya. Kita sudah mencatat bahwa, di Kejadian 2:7, Yahweh menghembuskan nafas ke dalam hidung manusia sehingga ia menjadi makhluk hidup. Apakah yang diberikan Allah kepada manusia dengan menghembuskan nafas ke 286 The Only True God dalam hidungnya? Apakah udara atau oksigen? Tentu saja bukan! Banyak makhluk ciptaan lain juga menghirup udara dan oksigen, tetapi Ia tidak menghembuskan nafas-Nya ke dalam mereka. Yang dihembuskan ke dalam manusia adalah nafas-Nya, atau roh-Nya sendiri. Baik dalam bahasa Ibrani maupun Yunani, “nafas” dan “roh” adalah kata yang sama, yaitu, kata Ibrani ruach dan kata Yunani pneuma dapat diterjemahkan sebagai “nafas” atau “roh”. Pada saat seseorang mati, “roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya” (Pkh.12:7). Justru karena manusia memiliki roh yang diberikan kepadanya oleh Allah, maka dalam arti ini, ia adalah makhluk ilahi. Yesus mungkin menarik perhatian kepada fakta ini di Yohanes 10:34-36. Nas ini adalah kutipan dari Mazmur: “Aku sendiri telah berfirman: ‘Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian. Namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar kamu akan tewas’” (Mzm.82:6,7). Selain para penguasa dan pembesar yang disebut “para allah”, apakah mungkin Yesus bermaksud lebih dalam lagi dengan menunjukkan bahwa manusia itu ilahi dalam arti ia telah menerima rohnya dari Allah? Jika demikian, betapa terlebih lagi Yesus itu ilahi sebagai orang yang didiami Allah dalam kepenuhan-Nya sebagai Logos? Sebenarnya, kita tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun tanpa nafas atau roh. Begitulah dekatnya kaitan antara nafas atau roh dengan firman. Jika Mazmur 8:6 dapat berbicara tentang manusia bahkan dalam keadaannya sekarang ini sebagai yang telah dimahkotai “dengan kemuliaan dan hormat”, maka akan terlebih besar lagi hormat dan kemuliaannya setelah Yahweh menyelesaikan karya penebusan-Nya atas manusia! Dan seperti apakah kemuliaan dan hormat itu? “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segalagalanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (ay.6). Dan sejauh apakah jangkauan kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia dengan menaruh “segala-segalanya… di bawah kakinya”? Jawaban Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 287 yang mengejutkan adalah “segala-segalanya” itu mencakup segala sesuatu secara mutlak kecuali Allah sendiri! “Sebab segala sesuatu telah ditaklukkan-Nya di bawah kakinya. Tetapi kalau dikatakan, bahwa ‘segala sesuatu telah ditaklukkan’, maka teranglah, bahwa Ia sendiri yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki Kristus itu tidak termasuk di dalamnya” (1Kor.15:27). Ini berarti tujuan Allah di dalam Kristus adalah menjadikan manusia wakil penguasa-Nya atas seluruh penciptaan, kedua hanya setelah Allah di seluruh alam semesta! Semuanya ini akan dilaksanakan Allah di dalam dan melalui Kristus—sebagai manusia, sebab katakata di Mazmur 8 menyangkut manusia dan tujuan luhur Yahweh bagi dia. Hal ini diilustrasikan dengan baik oleh kisah Yusuf yang terkenal itu, yang diangkat menjadi penguasa atas segala-galanya di Mesir oleh Firaun—segala-galanya, kecuali Firaun sendiri (Kej.45:26), sehingga dirinya menjadi orang kedua setelah Firaun di seluruh negeri itu. Seperti itulah rencana mulia yang telah ditentukan Allah untuk manusia di dalam Kristus. Peninggian Kristus di Filipi 2:9-11 dapat diilustrasikan dengan peninggian Yusuf sebagai penguasa Mesir seperti berikut, “Sesudah itu Firaun menanggalkan cincin meterainya dari jarinya dan mengenakannya pada jari Yusuf; dipakaikannyalah kepada Yusuf pakaian dari pada kain halus dan digantungkannya kalung emas pada lehernya” (Kej.41:42). Semua itu bukan sekadar tindakan seremonial, karena melaluinya Firaun menganugerahkan otoritas dan kemuliaannya sendiri kepada Yusuf, terutama dengan memberikan cincin meterai yang memuat stempel pribadinya, yang digunakan untuk menyegel surat-surat perintah resmi dari raja. Itu berarti Firaun telah mempercayakan seluruh otoritas pribadinya kepada Yusuf, dengan demikian memberdayakan dia untuk bertindak atas nama Firaun. Dengan cara 288 The Only True God yang sama, di Filipi 2:9-11, Yahweh menganugerahkan kemuliaan dan otoritas ilahi-Nya kepada Yesus. Sama seperti cincin meterai itu memuat nama Firaun (nama di atas segala nama di Mesir), demikian pula, Yahweh menganugerahkan nama di atas segala nama kepada Yesus, dan dengan demikian sepenuhnya memberi wewenang kepada Yesus untuk bertindak atas nama-Nya. Namun fakta bahwa manusia Kristus Yesus akan menjadi kedua hanya setelah Yahweh Allah di seluruh ciptaan (dan kita di dalam Kristus) sepertinya tidak cukup baik untuk trinitarian. Berangkat dari semangat sesat yang “sungguh berapi-api untuk Allah, tetapi tanpa pengertian” (Rm.10:2; yang juga pernah saya lakukan) mereka bersikeras bahwa Kristus harus mutlak setara dengan Allah dalam segala hal—sesuatu yang ditolak oleh Kristus sendiri (Flp.2:6). Untuk alasan yang aneh (suka melawan?) mereka tidak mau menerima kalau Yahweh sajalah yang menjadi “semua di dalam semua” (1Kor.15:28), sekalipun hal ini ditegaskan oleh sang Anak sendiri dengan menaklukkan dirinya kepada Allah. Ada baiknya kita berhati-hati jangan-jangan kita membiarkan api semangat sesat membawa kita ke dalam penghukuman. Nilai manusia dalam kisah penciptaan kitab Kejadian Kisah penciptaan dalam kitab Kejadian memberikan pengesahan tersendiri akan nilai manusia bagi Allah. Melihat kisah penciptaan dengan seksama, kita dapat mengatakan bahwa sebuah label bisa dipasangkan kepada manusia dengan tulisan, “Buatan tangan Allah”. Ini dikarenakan secara jasmaniah manusia dilukiskan telah “dibentuk” oleh Allah sendiri (tidak melalui agen); dan secara rohaniah, manusia adalah “hembusan nafas Allah”: “Yahweh Allah… menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” (Kej.2:7). Tidak terlalu sulit untuk melihat di sini sebuah gambaran agak seperti “resusitasi mulut ke mulut”. Manusia diciptakan Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 289 menurut gambar atau citra Allah sendiri (Kej.1:26,27), yang dirancang agar kemuliaan-Nya dikenal oleh seluruh ciptaan. Atas dasar apa kita berbicara tentang Adam sebagai “buatan tangan” Allah? Dasarnya adalah kata “membentuk” di Kejadian 2:7, “Yahweh Allah membentuk manusia itu dari debu tanah”. Kata itu digunakan untuk menggambarkan seorang tukang periuk, dengan tangannya, membentuk bejana dari tanah liat di atas jentera pembuat periuk. Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (BDB) memberikan definisi berikut untuk kata “membentuk” (יָצַ ר, ysr) “1. tentang aktivitas manusia: a. tentang seorang tukang periuk yang membentuk bejana dari tanah liat Yes.29:16; 41:25; Yer.18:4 (x2); 18:6 (x2); 1Taw.4:23; Rat.4:2; Za.11:13 (x2). 2. tentang aktivitas ilahi: a. (sebagai seorang tukang periuk) membentuk Adam dengan memakai ‘[ עפרpr, ‘debu’] dari [ אדמהadmh, ‘bumi, tanah’] Kej.2:7; 2:8 (J)”. Kejadian 2:19 menyebutkan bahwa Allah juga membentuk makhluk-makhluk lain, tetapi bukan untuk menyandang gambar atau citra-Nya, seperti halnya manusia. Juga tidak disebutkan tentang Allah menghembuskan nafas ke dalam mereka seperti yang Ia lakukan kepada Adam. Ini menunjukkan bahwa Yahweh bisa menghidupkan Adam tanpa harus menghembuskan nafas ke dalam lubang hidungnya, tetapi Ia memilih untuk berbuat demikian demi alasan-Nya sendiri. Si perempuan pun secara khusus merupakan “buatan tangan” Allah sebagaimana dinyatakan di Kejadian 2:21,22: “Dan dari rusuk yang diambil Yahweh Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah [bānāh, “membuat, membangun, menyusun”] seorang perempuan” (ay.22). Oleh karena Hawa dibuat dari rusuk dan daging Adam yang hidup, Yahweh tidak perlu menghembuskan nafas ke dalam hidungnya secara terpisah, seperti yang Ia lakukan dengan debu tak bernyawa yang membentuk Adam. Dan, sama seperti Adam, ia pun seorang penjunjung citra Allah (Kej.1:27). 290 The Only True God Ada orang niscaya akan berkata bahwa kisah dalam kitab Kejadian mengenai Allah membentuk manusia itu bersifat antropomorfis, dan harus dipahami secara metaforis, bukan secara harfiah. Kita akan membahas soal antropomorfisme nanti. Untuk saat ini kita hanya akan menanyakan: Jika demikian, apakah pesan “metaforis” dari kisah penciptaan manusia ini? Apakah lukisan rinci tentang pembentukan manusia itu hanya sebuah alat kesastraan agar kisahnya dibuat lebih hidup? Inilah yang disebut oleh beberapa penulis sebagai “mitos penciptaan”. Namun mereka pun tidak dapat menyangkali bila kisah dalam kitab Kejadian itu dimaksudkan untuk memperlihatkan keterlibatan Allah yang begitu akrab dalam penciptaan manusia, dengan demikian menunjukkan seberapa besar nilai manusia bagi Dia. Gambaran Allah A yat-ayat yang berbicara tentang Yesus sebagai “gambaran Allah” seringkali dikutip seolah-olah ayat-ayat itu membuktikan keilahiannya. Namun manusia juga disebut sebagai “gambaran Allah”, tetapi tak seorang pun akan mengutipnya sebagai bukti keilahian manusia. Lagipula, berbicara soal gambaran yang dipuja atau disembah menimbulkan pertanyaan berikut: Apakah arti pemberhalaan? Bukankah artinya penyembahan kepada gambaran? Jika Yesus adalah gambaran Allah, sebagaimana dinyatakan dalam PB, bukankah penyembahan kepadanya berarti pemberhalaan? Jika diperdebatkan bahwa dalam halnya dengan Yesus ini tidak menjadi masalah karena ia adalah Allah, maka ini berarti Yesus sebagai Allah tengah disembah sebagai gambaran Allah. Dapatkah Allah disamakan dengan gambaran-Nya sendiri? Kalau tidak, apakah itu berarti pribadi ke-2 dari Trinitas adalah gambaran dari pribadi pertama, yaitu, Anak adalah gambaran dari Bapa? Namun, dalam Kitab Suci, sebuah gambaran, menurut Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 291 definisi, adalah suatu salinan atau turunan yang berasal dari yang aslinya, misalnya foto atau patung; dan jika Anak adalah turunan dari Bapa sehingga menjadi gambaran-Nya, maka ia jelas lebih inferior dibanding Bapa. Lantas, atas dasar apa trinitarian menolak subordinasi sang Anak? Begitu pula, sepatah kata diturunkan dari pembicaranya, jadi bagaimana mungkin Firman Allah dikatakan setara dengan Allah Sendiri? Penting untuk diperhatikan bahwa tulisan-tulisan Yohanein, yang menjadi sumber favorit teks-teks bukti trinitaris, menutup surat pertamanya dengan sebuah peringatan tentang penyembahan berhala dalam ayat penutupnya: “Anak-anakku, waspadalah terhadap segala berhala” (1Yoh.5:21). Kita harus dengan sukacita dan rasa syukur menghormati dan mencintai, memuji dan memuja, Tu[h]an kita Yesus Kristus, tetapi ada sebuah garis yang tidak dapat dilewati tanpa terjatuh ke dalam dosa pemberhalaan yang menjijikkan. Kita melampaui garis itu ketika kita mewartakan Kristus sebagai Allah, setara dalam setiap hal dengan sang Bapa, dan karena itu harus disembah seyogyanya Allah. Dalam kitab Wahyu, kitab di mana Allah disembah sebagai Wujud yang tertinggi, Allah (Yahweh) secara mutlak menjadi Pusat dan satu-satunya Objek penyembahan, sedangkan Yesus diberi pemujaan dan pujian di beberapa tempat, sebagai “Anak Domba”. Yesus sebagai Gambar Allah D i Kejadian 1:26,27; 9:6, kita diberitahu bahwa manusia diciptakan dalam “gambar” ( )צֶ לֶםAllah. Gambar adalah citra, rupa, atau representasi dari seseorang atau sesuatu. Di Kejadian 5:3 dikatakan bahwa Set ada dalam “rupa” ( ) ְדּמוּתdan “gambar” ayahnya, Adam, yaitu ia mempunyai kemiripan secara jasmaniah, dan barangkali juga dalam karakter, dengan sang ayah. Bukankah ini 292 The Only True God berarti Set bisa berkata, “Siapa saja yang telah melihat aku, ia telah melihat bapaku”? Ini mengingatkan kita akan ucapan Yesus di Yohanes 14:9, “Siapa saja yang telah melihat aku, ia telah melihat Bapa.” Yesus jelas tengah berbicara tentang dirinya sebagai gambar Allah. Ini bukan klaim bahwa ia adalah Allah tetapi, sebaliknya, klaim sebagai manusia sejati, “Adam yang akhir” (1Kor.15:45), dia yang betul-betul mewakili umat manusia sebagaimana manusia dimaksudkan oleh Allah, yakni, sebagai gambaran yang melaluinya Allah mewahyukan diri-Nya. Kedua kata ini, “rupa” dan “gambar”, diterapkan kepada manusia di Kejadian 1:26; dan seperti yang telah kita lihat, keduanya bisa merujuk kepada kemiripan seorang anak dengan ayahnya, sebagaimana halnya Set. Bukankah ini menerangkan mengapa Adam, karena ia diciptakan dalam gambaran Allah, disebut “anak Allah” (Luk.3:38)? Manusia itu tidak lain tidak bukan adalah representasi Allah akan diri-Nya untuk dilihat oleh seluruh penciptaan, di surga dan di bumi. Betapa luhurnya tujuan Allah bagi manusia! Di Bilangan 33:52 kata Ibrani yang sama untuk “gambar” seperti di Kej.1:26,27 dipakai untuk berhala-berhala yang terbuat dari logam yang mewakili allah yang disembah oleh penduduk setempat. Kata itu kerap dipakai untuk “patung-patung” berhala (2Raj.11:18; 2Taw.23:17; Yeh.7:20; Am.5:26), dan untuk “patung-patung manusia” atau “patung-patung lelaki” (Yeh.16:17; 23:14). Dari sini terbukti bahwa “patung-patung” itu sering dibuat dalam bentuk manusia. Yesaya 44:13 melukiskan seorang pengrajin yang sedang membuat berhala semacam itu, “Tukang kayu merentangkan tali pengukur dan membuat bagan sebuah patung dengan kapur merah; ia mengerjakannya dengan pahat dan menggarisinya dengan jangka, lalu ia memberi bentuk seorang laki-laki kepadanya, seperti seorang manusia yang tampan, dan selanjutnya ditempatkan dalam kuil”. Kata-kata “bentuk seorang laki-laki” dalam bahasa Yunani adalah Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 293 morphē dan anēr, yang berarti “patung lelaki” sama seperti di Yehezkiel 16:17. Semua ini menunjukkan bahwa “gambar” dan “bentuk” pada dasarnya bermakna sama. Namun hal yang signifikan untuk penyelidikan kita di sini adalah bahwa kata morphē (“bentuk”) adalah kata yang dipakai di Filipi 2:6, yang diterjemahkan sebagai “rupa Allah”. Ini menunjukkan bahwa “gambar Allah” dan “rupa Allah” jelas-jelas bersinonim. Ini berarti frasa “rupa Allah” harus dipahami dalam istilah gambar Allah seperti di Kejadian 1:26,27; 9:6. Manusia yang diciptakan dalam gambar dan rupa Allah dapat digambarkan sebagai berada dalam “rupa Allah”. Namun sebagai trinitarian kita tidak ragu-ragu membacakan penafsiran kita sendiri ke dalam frasa ini, terlepas dari kenyataan bahwa kita tidak dapat menyodorkan satu pun bukti Alkitabiah yang mendukung penafsiran kita atas frasa tersebut yang mengartikan Yesus sebagai Allah. Sekarang kita harus mengajukan pertanyaan ini: apakah kita melihat gambar dan kemuliaan Allah pada manusia dalam keadaannya sekarang? Barangkali hampir setiap orang akan memberikan jawaban negatif. Mengapa? Bukankah ini jelas-jelas karena ketidaksempurnaan manusia pada saat ini? Hanya manusia sempurna yang dapat benar-benar mencerminkan kemuliaan Allah. Sekarang kita mulai memahami pentingnya Yesus sebagai satusatunya manusia yang sempurna. Bahwa Yesus adalah gambar Allah yang sejati dinyatakan tanpa ambiguitas dalam PB: 2Korintus 4:4, “yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus yang adalah gambaran Allah.” Kolose 1:15, “Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan.” 294 The Only True God Sebuah gambar merupakan representasi dari yang asli. Gambar tersebut harus menyandang rupa atau bentuk dari yang asli. Dengan demikian, kecuali kalau Kristus ada dalam “rupa” Allah (Flp.2:6, μορφή, morphē, “rupa, penampilan luar, bentuk”, BDAG), ia tidak bisa menjadi gambaran Allah. Akan tetapi, Paulus juga melihat manusia pada umumnya sebagai dalam gambar Allah. Berlawanan dengan ajaran Kristiani, Alkitab tidak menganggap manusia telah kehilangan gambar Allah oleh karena dosa Adam, ataupun mengemukakan bahwa gambar itu telah dihancurkan atau dirusak oleh dosa Adam. Hal ini bukan murni masalah doktrin, tetapi hal yang mengandung konsekuensi praktis yang serius terhadap manusia. Sebab, jika manusia dalam arti apa pun tidak lagi berada dalam gambar Allah, maka prinsip yang diucapkan di Kejadian 9:6 tidak lagi berlaku, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Kesakralan nyawa manusia berakar pada keberadaannya dalam gambar Allah. Karena itu, membunuh seorang manusia membawa konsekuensi serius. Namun jika manusia tidak lagi berada dalam gambar Allah, maka membunuh manusia tidak jauh berbeda dari membunuh binatang. Pengesahan Yesus atas Kejadian 9:6 tercermin dalam perkataannya kepada Petrus, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya, sebab semua orang menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang” (Mat.26:52). Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tidak sependapat dengan doktrin Kristen saat ini yang diterima secara umum. Ini juga menunjukkan bahwa ketika Paulus berbicara mengenai manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7), ia sepenuhnya selaras dengan PL dan dengan pengajaran tuannya. Namun gambar Allah dalam manusia masih harus disempurnakan saat Kristus tampil, sebab hanya pada saat itulah kita Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 295 akan menjadi serupa dengan dia yang adalah gambaran Allah yang sempurna, sebagaimana dinyatakan di ayat berikut ini: 1Yohanes 3:2, “Saudara-saudaraku yang terkasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi, kita tahu bahwa apabila Kristus dinyatakan, kita akan menjadi sama seperti dia, sebab kita akan melihat dia dalam keadaannya yang sebenarnya. Gambar Allah di dalam Kristus tentu saja jauh lebih unggul ketimbang gambar Allah dalam manusia pada umumnya; tetapi karena Kristus dan manusia keduanya adalah penyandang gambar Allah dan memiliki “rupa”-Nya (sekalipun dalam derajat keunggulan yang berbeda), maka Filipi 2:6 tidak bisa digunakan untuk memperdebatkan keilahian Kristus. “Baiklah Kita menjadikan manusia” Beberapa orang trinitarian yang lebih terpelajar menyadari bahwa kurangnya bukti PL untuk doktrin ini menimbulkan masalah serius atas keabsahannya; mereka menyadari fakta bahwa nyaris tidak ditemukan sepotong bukti pun di situ. Jadi beberapa trinitarian berusaha menggenggam jerami apa saja yang dirasa mampu memberi sedikit dukungan. Yang menyedihkan, mereka bahkan menunjuk pada tiga kali kata kudus di Yesaya 6:3 (“Kudus, kudus, kuduslah Yahweh semesta alam”), seolah-olah mereka tidak tahu bila pemberitaan kata “kudus” rangkap-tiga itu dimaksudkan untuk mengungkapkan kekudusan pada tingkatan tertinggi, sebagaimana kita berbicara tentang tiga tingkat kebesaran, yaitu besar, lebih besar, paling besar; atau tinggi, lebih tinggi, paling tinggi; begitu juga dengan kudus, lebih kudus, paling kudus. Bahwa kitab Kejadian memakai kata ganti jamak di Kejadian 1:26 (“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa 296 The Only True God Kita”) selalu digunakan untuk mengusulkan Trinitas. Masalah dengan argumen itu adalah, pertama, kata “Kita” tidak menyatakan apa-apa tentang jumlah pribadi yang dimaksud, karena jumlahnya bisa berapa saja. Kedua, kata itu tidak membuktikan apa-apa tentang kesetaraan pribadi-pribadi yang terhitung dalam kata ganti itu. Misalnya, seorang panglima angkatan bersenjata sebuah negara bisa berkata, “Bersama-sama kita akan memenangkan peperangan ini”; kata ganti “kita” dalam pernyataan ini tidak memberikan petunjuk apa pun mengenai jumlah prajurit yang akan bertempur di bawah perintahnya, apalagi mengemukakan bila ada yang setara dengannya. Jadi, apa lagi yang dapat dicapai dengan memakai “Kita” di Kejadian 1:26 selain berusaha membangun sebuah perkara untuk politeisme, di mana jumlah maupun kedudukan para allah itu tidak penting? Namun dalam konteks monoteisme Alkitab, perkara seperti itu tidak dapat dibangun karena Alkitab hanya mengakui “Allah yang esa” (Yoh.5:44). Lagipula, di dalam konteks PL, kita melihat dari Amsal 8:20 bahwa Hikmat digambarkan secara metaforis sebagai satu pribadi, yang bekerja sama dengan Allah dalam penciptaan. Jadi cara paling gamblang untuk memahami Kejadian 1:26 adalah bahwa “Kita” merujuk kepada Allah dan Hikmat-Nya. Kata ini pun bisa merujuk kepada Firman-Nya jika “firman Yahweh” di Mazmur 33:6 ini dipersonifikasikan. Mengenai bentuk jamak dalam “baiklah Kita menjadikan (עשׂה, yāsah) manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej.1:26), hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang Kristen adalah bahwa, ketika sampai pada penciptaan manusia di ayat berikutnya, kata kerja untuk “cipta” semuanya berbentuk tunggal dalam bahasa Ibrani, yang berarti hanya Allah Sendirilah yang terlibat dalam penciptaan manusia. Demikian bunyi ay.27: “Maka Allah menciptakan [tunggal] manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya [tunggal] dia; laki-laki dan perempuan diciptakan- Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 297 Nya [tunggal] mereka”. Kata kerja “cipta” (בָּ ָרא, bārā) muncul 3 kali dalam bentuk tunggal—seolah-olah untuk penekanan! Hal yang sama juga benar dalam teks Yunaninya. Akan tetapi, orang tidak akan mengetahui hal ini dari terjemahan Inggris [dan Indonesia] karena entah “mereka menciptakan” atau “ia menciptakan” tidak ada bedanya dalam kedua bahasa itu untuk bentuk kata kerja “cipta”. Di Kejadian 9:6, “Allah membuat [tunggal] manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”, kata kerja “membuat” di sini sama dengan kata yang dipakai di Kejadian 1:26 dan berbentuk tunggal. Juga, dalam semua referensi berikutnya tentang tindakan Allah menciptakan manusia, Kitab Suci selalu menyatakannya dalam bentuk tunggal baik dalam kitab Kejadian (5:1; 9:6) maupun dalam bagian Kitab Suci selebihnya (Ayb.35:10; Mzm.100:3; 149:2; Yes.64:8; Kis.17:24; dst.). Menariknya, kata kerja yang sama yāsah (“membuat”) yang dipakai di Kejadian 1:26 dalam bentuk jamak ini dipakai di Kejadian 9:6 dalam bentuk tunggal. Jadi, barangkali kata “Kita” di Kejadian 1:26 yang memungkinkan Amsal 8:30 berbicara tentang Hikmat sebagai terlibat dalam pembuatan dan pembentukan segala sesuatu yang diciptakan, meskipun mungkin tidak secara langsung terkait dengan penciptaan mereka. Sehubungan dengan perbedaan makna antara kedua kata yang diterjemahkan sebagai “menjadikan/membuat” (yāsah) dan “cipta” (bārā), Theological Wordbook of the OT (TWOT) mengatakan demikian: ‘Akar kata bārā mempunyai makna dasar “menciptakan.” Kata ini berbeda dari yāsah “membentuk” karena yang terakhir menekankan pembentukan sebuah obyek sedangkan bārā menekankan awal mula eksistensi obyek itu.’ Jadi ini menunjukkan bahwa peranan Hikmat adalah dalam pembentukan dari apa yang telah diciptakan. Hal ini dikonfirmasi melalui deskripsi Hikmat sebagai “kepala pekerja” (Ams.8:30 ILT); yang bekerja di samping Yahweh (“Aku berada di samping-Nya”, Ams.8:30; BIS) dalam pembuatan 298 The Only True God manusia menurut gambar Allah. Dengan demikian, Hikmat tercakup oleh kata “Kita” dalam “baiklah Kita menjadikan manusia”. Terlepas dari ini, Hikmat memiliki tempat yang penting dalam PL. Di bawah “Hikmat” International Standard Bible Encyclopedia memuat penjelasan berikut: “verba Ibr: chakham, dengan adjektiva Ibr: chakham, dan nomina Ibr: chokhmah, Ibr: chokhmoth, dipakai lebih dari 300 kali dalam Perjanjian Lama.” Yesaya 9:5 “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” A da begitu sedikit teks dalam PL yang berguna bagi trinitarianisme sehingga kita terpaksa membuat loncatan besar dari kitab Kejadian ke kitab Yesaya! Yesaya 9:5 merupakan salah satu dari begitu sedikit teks PL yang dapat ditemukan oleh trinitarian untuk digunakan sebagai “bukti” bagi keilahian Kristus, tetapi seperti biasanya, dengan tidak mempedulikan konteks. Sekilas pandang kepada ayat berikutnya segera menunjukkan bahwa katakata itu berbicara tentang raja Daud yang dijanjikan, sang Mesias: “Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selamalamanya. Kecemburuan Yahweh semesta alam akan melakukan hal ini.” (Yes 9:6) Jadi, “anak” atau “putera” di 9:5 ini adalah pewaris takhta Daud sebagaimana dijelaskan oleh ay.6. Kepada pewaris inilah kata-kata di Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 299 Mazmur 2:7 ditujukan, “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” “Allah yang Perkasa”: Bahwa sang raja bisa disapa sebagai “Allah (elohim)” dapat dilihat dari Mazmur 45:7 (ILT). Tepat di ayat berikutnya, Mazmur 45:8, Yahweh dinyatakan sebagai “Allahmu”: “Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu”. Pembukaan dari Mazmur ini pun dengan gamblang menyatakan, “aku hendak menyampaikan sajakku kepada raja” (Mzm.45:2). Lihat pula Mazmur 82:6,7, “Aku sendiri telah berfirman: ‘Kamu adalah allah, dan anak-anak Yang Mahatinggi kamu sekalian. Namun seperti manusia kamu akan mati dan seperti salah seorang pembesar (sar, penguasa) kamu akan tewas.’” Yesus mengutip ayat ini di Yohanes 10:34. Intinya kata “allah” kadang dipakai dalam PL untuk merujuk kepada seseorang yang memiliki kekuasaan, seperti seorang pembesar atau raja, tanpa menyiratkan kalau orang tersebut ilahi. Namun “Allah yang Perkasa” juga dapat dimengerti dalam istilah peninggian yang dianugerahkan kepada Yesus seperti dilukiskan di Filipi 2:9. “Bapa yang Kekal”: Seorang raja yang baik dianggap sebagai bapa oleh rakyatnya; dan oleh karena kerajaannya tidak akan pernah berakhir (“dari sekarang sampai selama-lamanya”, 9:6), ia bisa sepantasnya disebut “bapa yang kekal”. Di Daniel 7 Allah memberikan kerajaan yang kekal kepada “anak manusia”: “Lalu diberikan kepadanya (“anak manusia”, ay.13) kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.” (Dan.7:14) “Penasihat Ajaib” dan “Allah yang Perkasa” memberikan alasan bagi “besar kekuasaannya”. Besar kekuasaannya dan damai sejahtera, 300 The Only True God karena “kekal” dan “tidak akan lenyap”, pada gilirannya menerangkan mengapa ia akan disebut “bapa yang kekal” dan juga “raja damai”. Penulisan huruf kapital pada keempat julukan itu dalam terjemahan Inggris berpengaruh dalam mengangkat mereka ke status ilahi; ini menunjukkan pengaruh huruf besar atas para pembaca! Tentu saja, huruf-huruf kapital itu hanya ada dalam teks Inggris, bukan dalam teks Ibrani. Mengingat wahyu PB, tak diragukan sama sekali bila nubuatannubuatan ini mencapai penggenapannya di dalam Kristus. Nubuatan-nubuatan itu juga digenapi dalam fakta bahwa pencapaiannya dilaksanakan oleh Allah Sendiri, yang ada di dalam Kristus mengerjakan semua itu. Hal ini diungkapkan di bagian terakhir dari nubuatan tersebut, “Kecemburuan Yahweh semesta alam akan melakukan hal ini.” Yahweh Sendirilah yang akan memastikan kesuksesannya. Namun masih ada kemungkinan lain yang tidak dikecualikan oleh uraian sebelumnya: Yesaya 9:5 bisa jadi merupakan sebuah nubuatan mengenai kedatangan Yahweh Sendiri di dalam pribadi Mesias Yesus dalam arti yang dinyatakan di Kolose 2:9. Ini mungkin cara yang paling sederhana dan gamblang untuk memahami nubuatan tersebut, sekalipun tanpa mengesampingkan uraian sebelumnya sebagaimana berlaku pada sang Mesias, anak Daud, sebagai manusia. Penerapan Yesaya 9:5 kepada Yahweh bisa dikonfirmasi dari gelar “Ajaib” atau “Penasihat Ajaib”, sebab di Yesaya 28:29 Yahweh dilukiskan sebagai “ajaib dalam keputusan”. Di Hakim-hakim 13:18 “malaikat TUHAN” memberitahu Manoah dan isterinya (orang-tua Samson) bahwa namanya adalah “Ajaib”, dan kemudian pasangan tersebut menyadari bahwa mereka telah “melihat Allah” (Hak.13:22). Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 301 Gelar “Allah yang Perkasa” berkesejajaran dengan Mazmur 50:1, dan “Raja Damai” diilustrasikan dengan lukisan indah di Yesaya 11:6-9. “Bapa yang Kekal” pasti tidak bisa diklaim juga sebagai gelar sang Anak! Bagaimanapun juga, jika ada yang berkeras bahwa gelargelar di Yesaya 9:5 itu adalah murni gelar-gelar ilahi, hal itu tidak akan membuktikan Yesus sebagai Allah dalam arti umum, tetapi bahwa ia adalah Yahweh, mengingat gelar-gelar tersebut adalah milik Yahweh! Kesimpulan: Sementara keempat gelar di Yesaya 9:5 dapat dan memang berlaku kepada Mesias yang dijanjikan itu, gelar-gelar itu sebenarnya lebih baik diterapkan kepada Yahweh Sendiri. Dengan mendiami Mesias selama masa pelayanannya, kualitas-kualitas ilahi itu terpancar dari kehidupan Mesias Yesus sedemikian rupa sehingga kemuliaan ilahi diwahyukan melalui dia sebagai “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol.1:15). Apakah Allah berkenan jika kita menyembah gambarNya? K ita harus kembali kepada pembahasan tentang manusia yang telah diciptakan sebagai “gambaran Allah”. Kita pun telah melihat bahwa Kristus adalah gambaran Allah par excellence karena hanya dia sajalah manusia yang sempurna itu. Namun sekarang kita harus mengajukan pertanyaan berbobot: Apakah firman Allah memperbolehkan penyembahan kepada “gambaran Allah”? Sehubungan dengan trinitarianisme, ini bukanlah pertanyaan yang murni akademis untuk menanyakan apakah kita boleh menyembah gambaran Allah alih-alih Allah Sendiri, atau bahkan berdampingan dengan Allah Sendiri. Deskripsi Kristus sebagai “gambaran Allah” (εἰκὼν τοῦ θεοῦ, eikōn tou theou), ditemukan di 2Korintus 4:4; Kolose 1:15; Ibrani 302 The Only True God 1:3; dan sementara istilahnya tidak dipakai dalam Injil Yohanes, gagasannya diungkapkan dalam banyak pernyataan penting, khususnya Yohanes 14:9, dan Yohanes 1:14,18; 12:45; 14:10; 15:24. Gambar kepala kaisar pada mata uang disebut eikōn (gambaran), yaitu sebuah rupa atau potret (Mat.22:20). Gambaran kaisar jelas bukan kaisar, jadi bukankah jelas Kristus sebagai gambaran Allah bukan Allah? Apa susahnya memahami fakta ini? Akan tetapi, sebagai trinitarian tampaknya kita tidak dapat membedakan sebuah gambaran dari apa yang diwakili oleh gambaran itu karena penalaran dogma trinitaris yang aneh. Namun pertanyaan yang ingin kita jawab adalah: Apakah Allah berkenan bila kita menyembah gambar-Nya? Jika jawabannya “Ya”, maka tidak ada alasan untuk kita tidak dapat menyembah manusia, sebab ia diciptakan menurut gambar Allah. Akan tetapi, Kitab Suci bukan saja melarang menyembah manusia, siapapun dia, tetapi juga gambaran manusia, seperti patung lelaki atau patung manusia (sebagaimana telah kita lihat sebelumnya, mis. Yeh.16:17). Oleh karena itu, Rasul Paulus mencela orang-orang yang berpaling dari Allah dan “berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran (eikōn) yang mirip dengan manusia yang fana” (Rm.1:22,23). Perhatikan bahwa kata “gambaran” adalah kata yang sama dengan kata yang dipakai oleh sang Rasul untuk Kristus dan manusia pada umumnya sebagai gambaran Allah. Setiap orang itu fana, dan Kristus pun tidak terkecuali, jika tidak maka ia tidak bisa mati untuk menebus dosa umat manusia. Ia telah dibangkitkan dari antara orang mati, dan demikian juga akan terjadi dengan semua orang beriman; apakah itu berarti bahwa orang yang sudah dibangkitkan dari kematian boleh disembah? Dan bahkan dalam hal seorang Allah-manusia, atau manusia ilahi, dapatkah orang menyembah yang satu tanpa menyembah yang lainnya? Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 303 Larangan menyembah gambaran dari apa saja telah diabadikan di Ulangan 4:15-19. Kita hanya perlu melihat dua ayat pertamanya, “Hati-hatilah sekali sebab kamu tidak melihat sesuatu rupa pada hari TUHAN (Yahweh) berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api 16 supaya jangan kamu berlaku busuk dengan membuat bagimu patung yang menyerupai berhala apapun: yang berbentuk laki-laki atau perempuan.” 15 Ada dua hal yang menonjol: (1) Yahweh tidak memiliki “rupa” yang dapat dilihat (tmunah “rupa, bentuk”), ay.15. (2) Empat kata dipakai di ayat selanjutnya untuk mencakup semua pilihan: “patung”, “berhala”, “menyerupai”, dan “berbentuk”. Tidak ada bentuk atau bayangan yang luput dari larangan membuat objek penyembahan apapun selain Allah yang hidup, Yahweh. Kita perlu menyadari bahwa di sini kita sedang membahas Perintah yang pertama dari Sepuluh Perintah; hal ini dijabarkan di Ulangan 5: “Akulah Yahweh, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. 7 Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. 8 Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. 9 Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, Yahweh Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anakanaknya dan kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, 10 tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.” 6 304 The Only True God Hendaknya diamati bahwa “kesalahan” yang dibicarakan di sini (ay.9) bukanlah dosa pada umumnya, tetapi merujuk kepada hal yang baru saja disebut, yakni, “sujud menyembah” kepada “gambaran” atau “rupa” apa pun. Yahweh sendiri adalah sasaran penyembahan sejati karena hanya Dialah sang Pencipta dan Penyelamat (ay.6). Gagasan yang mengemukakan adanya “allah” lain (ay.7) yang dapat disembah alih-alih, atau berdampingan dengan, Yahweh merupakan penghinaan terhadap Dia: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia?” (Yes.40:18). Trinitarian tampaknya tidak mampu menangkap sifat monoteisme Alkitabiah, oleh karena itu mereka berani mengusulkan adanya pribadi lain selain Yahweh sebagai sasaran penyembahan. “Dengan siapa hendak kamu samakan Aku, seakan-akan Aku seperti dia? firman Yang Mahakudus” (Yes.40:25). Untuk pertanyaan tersebut para trinitarian dengan berani menjawab, “Yesus, Allah-Anak”. Mereka sebaiknya mempertimbangkan Perintah Pertama dengan seksama, dan mengingat bahwa Yesus sendiri dengan tegas mengesahkan pewartaan di Ulangan 6:4: “Dengarlah, hai orang Israel, Yahweh Allah kita, Yahweh itu esa!” Larangan atas penyembahan kepada gambaran akan dilawan Tidak mengherankan bila ada satu individu yang dengan sengaja akan melawan larangan atas penyembahan kepada gambaran: Antikristus. Kata “eikōn” dipakai 10 kali dalam kitab Wahyu; semuanya merujuk kepada gambar binatang (Why.13:14,15 (x3); 14:9,11; 15:2; 16:2; 19:20; 20:4). eikōn yang diterjemahkan sebagai “patung” Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 305 merupakan kata kunci dalam kitab Wahyu; kata ini muncul 3 kali lebih banyak di Wahyu daripada kitab-kitab lain dalam PB. Di Wahyu 13:15 patung binatang itu diberi nafas hidup, artinya, patung itu dibuat hidup dan tampil sebagai gambaran hidup dari binatang itu; ini jelas sebuah imitasi yang disengaja dari kenyataan bahwa manusia (dan Kristus “manusia terakhir”) adalah gambaran Allah yang hidup (Kej.1:26,27; 1Kor.11:7; bdk. 2Kor.3:18 dan 1Kor.15:49). Penyembahan kepada binatang dan/atau gambarannya adalah pemberhalaan yang dipaksakan kepada umat manusia oleh si binatang sebagai sebuah ekspresi pemberontakan terbesar melawan Allah sang Pencipta dan Penebus. Wahyu 14 ayat 9 dan 11 berbicara tentang penyembahan binatang dan gambarannya. Wahyu 16:2 dan 19:20 berbicara tentang gambaran itu sendiri sebagai sasaran penyembahannya; menerima tanda dari binatang itu dan menyembah gambarannya merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Menolak menyembah gambaran binatang itu akan diganjar dengan hukuman mati, 13:15. Dan Wahyu 20:4 menunjukkan bahwa penyembahan kepada binatang itu ataupun kepada gambarannya sebenarnya adalah satu dan hal yang sama. Dari semuanya ini jelas bahwa memaksa orang ke dalam pemberhalaan merupakan tujuan utama dari “tanda dari binatang itu”, dan hal itu meringkaskan tujuan kampanye anti-Allah binatang itu. Mereka yang belum disesatkan ke dalam pemberhalaan akan dipaksakan ke dalamnya, atau dibunuh. Dalam kitab Wahyu mereka yang menyembah binatang itu ataupun gambarannya sama-sama bersalah di hadapan Allah, dan akan menghadapi murka-Nya. Menyembah gambaran binatang itu atau menyembah binatang itu sendiri pada dasarnya adalah hal yang sama. Apakah hal yang sama juga berlaku dalam prinsip (sekalipun sasaran penyembahannya berbeda) mengenai penyembahan kepada Allah ataupun penyembahan kepada gambaran-Nya? Maksudnya: Pada dasarnya apakah menyembah Allah dan menyembah 306 The Only True God gambaran-Nya itu merupakan hal yang sama, setidaknya kalau gambaran itu adalah Kristus dan bukan manusia lain? Bolehkah Yesus disembah karena ia adalah gambaran Allah? K ita sudah mencatat bahwa Kristus adalah gambaran Allah (demikian pula manusia pada umumnya). Apakah ini berarti melakukan penyembahan kepada gambaran Allah bersama dengan Allah Sendiri secara Alkitabiah bisa diterima, karena bagaimanapun juga, gambaran itu adalah gambaran Allah, bukan binatang itu? Dan karena manusia juga adalah gambaran Allah, lantas apakah kita boleh menyembah manusia sebagai gambaran Allah? Jika jawabannya tidak, lantas mengapa kita boleh menyembah “manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5)? Bukankah penyembahan kepada gambaran apa pun merupakan sebuah tindakan pemberhalaan? Bukankah Yesus sendiri yang menyatakan tanpa kompromi, “Sebab ada tertulis: ‘Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah (atau, sendiri, monos) engkau berbakti!’”; “menyembah” (proskuneō) dan “berbakti” (latreuō) adalah kata sinonim (Mat.4:10; Luk.4:8). Apakah kita menyebut diri kita muridmuridnya tetapi tidak mengindahkan ajarannya? Jika kita telah memutuskan bahwa kita boleh menyembah Yesus yang merupakan gambaran Allah, maka bukankah ini berarti kita telah jatuh ke dalam pemberhalaan bahkan sebelum dipaksa ke dalam bentuk pemberhalaan yang lain? Apakah mungkin ada bentuk pemberhalaan yang lebih bisa diterima daripada yang lain? Jika orang-orang pilihan sudah disesatkan ke dalam suatu bentuk pemberhalaan (Mat.24:24), apakah keadaan mereka akan lebih buruk jika dipaksa ke dalam bentuk pemberhalaan yang lain? Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 307 Bisakah Yesus menjadi berhala? Pertanyaannya bisa diajukan dengan cara lain: Apakah mungkin menjadikan Yesus Kristus sebuah berhala? Dan apakah hal itu suatu pengecualian terhadap larangan penyembahan berhala? Atau apakah menyembah Yesus itu bukan pemberhalaan? Tentu saja, trinitarian akan berkeras bahwa Yesus adalah Allah-Anak, tetapi dapatkah mereka menyangkal kemanusiaannya? Jika tidak, maka bukankah ini berarti menyembah Yesus artinya menyembah manusia, sekalipun kita berkeras bahwa ia adalah manusia ilahi? Jadi apakah menyembah manusia tertentu ini dapat diterima? Dapat diterima oleh siapa? Oleh trinitarian atau Allah? Mengapa sulit untuk menemukan bukti penyembahan kepada Yesus (berbeda dari memberikan penghormatan tertinggi) dalam PB? Doksologidoksologi dalam PB ditujukan kepada Allah yang Esa, tanpa menyebut Yesus. Misalnya, 1Timotius 1:17 “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak nampak dan yang esa!” Demikian pula, dalam kitab Wahyu kata “sembah” (proskuneō) tidak pernah dipakai untuk merujuk kepada Yesus, “sang Anak Domba”, tetapi hanya dan selalu kepada Yahweh Allah. Dan jika menyembah “manusia Kristus Yesus” itu diperbolehkan, mengapa salah untuk menyembah ibunya, Maria? Kenapa tidak sekalian saja menyembah semua santo lainnya, sebagaimana dilakukan umat Katolik? Jika manusia adalah “gambaran dan kemuliaan Allah”, maka sekali kita memperbolehkan menyembah satu manusia, lantas berdasarkan prinsip apa kita mengecualikan manusia lain, dan siapakah yang akan memutuskan prinsip pengecualian tersebut? Di manakah kita akan menarik garis pembatas terhadap pemberhalaan ketika pintu airnya terbuka? Demi kesejahteraan kita yang kekal, sebaiknya kita memegang kata-kata terakhir dari Surat 1Yohanes di dalam hati dan pikiran kita, “Anakanakku, waspadalah terhadap segala berhala” (5:21). 308 The Only True God Jadi kita perlu menekan pertanyaan penting ini: Menurut Kitab Suci, apakah menyembah sebuah gambaran pernah dapat dibenarkan? Gambaran Allah bukan Allah. Jika sebuah gambaran adalah Allah maka kita hanya perlu menyembah gambaran itu; mengapa kita masih perlu menyembah Allah? Gambaran Bapa bukanlah sang Bapa, melainkan sang Anak. Sekalipun saya mempunyai saudara kembar yang sama persis dengan saya sehingga orang lain yang melihat saudara saya itu mengira dia adalah saya, saudara itu tetap bukan saya. Namun bukankah justru itu yang dilakukan oleh trinitarianisme, menyembah gambaran Allah sebagai Allah ? Apakah Filipi 2:10 memperbolehkan kita menyembah Kristus? Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, 10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tu[h]an,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! 9 Y esus tidak meninggikan dirinya; Allah-lah yang sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama. Para sarjana tidak pasti apakah ini artinya nama “Yesus” telah ditinggikan sebagai nama di atas segala nama, seperti tampak ditunjukkan oleh ayat berikutnya; tetapi jauh lebih mungkin bahwa nama atau gelar yang diberikan kepadanya adalah “Tu[h]an”, karena segala lidah akan mengakuinya sebagai Tu[h]an (ay.11). “Tu[h]an” di sini bukan “TUHAN” (Yahweh), melainkan yang diberitakan oleh Rasul Petrus di Kisah 2:36, “Jadi, seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus.” “Allah telah Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 309 membuat Yesus… menjadi Tu[h]an” mencerminkan secara tepat apa yang dikatakan di Filipi 2:11. Bagaimanapun juga, nyaris tidak mungkin kalau Yahweh akan berbagi nama-Nya sendiri dengan Yesus, sebab jika demikian maka akan ada dua pribadi dengan nama yang sama, yang akan membuat mereka praktis tidak dapat dibedakan! Lagipula, perkataan Yahweh di Yesaya 48:11 membuang kemungkinan itu, “Aku akan melakukannya oleh karena Aku, ya oleh karena Aku sendiri, sebab masakan nama-Ku akan dinajiskan? Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain.” Dalam Kitab Suci, “kemuliaan” dan “nama” seringkali bersinonim. Kita harus selalu mengingat bahwa Allahlah yang meninggikan Yesus dan hal ini dilakukan bagi kemuliaan Allah Bapa (ay.11). Maksudnya, Allah adalah pemrakarsa (yang awal) dan sasaran (yang akhir) dari peninggian Yesus. Kegagalan dalam memahami hal ini berakibat pada penyalahtafsiran bagian himne ini. Filipi 2:10-11 dikenal berasal dari Yesaya 45:23, “dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa.” Untuk memahami hal ini dengan tepat kita perlu melihat konteksnya di Yesaya 45, “Bukankah Aku, Yahweh? Tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari pada-Ku! Allah yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain kecuali Aku! 22 Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. 23 Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa, 24 sambil berkata: Keadilan dan kekuatan hanya ada di dalam Yahweh.” 21 310 The Only True God Nas ini dimulai dan diakhiri dengan Yahweh, dan tidak ada pribadi lain yang disebut dalam keempat ayat ini. Perhatikan juga bahwa kalimat, “semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa” merupakan kalimat yang dikutip di surat Filipi. Namun kalimat ini adalah isi dari sumpah yang diucapkan oleh Yahweh Sendiri, sehingga tidak mungkin berlaku kepada siapa pun juga selain Yahweh. Lalu bagaimana ayatayat ini bisa bersangkutan dengan Yesus dalam Surat Filipi? Jawabannya tidak sulit ditemukan jika kita tidak membiarkan dogma mengaburkan persepsi kita. Perbandingan yang cermat antara nas dalam surat Filipi dengan nas dalam kitab Yesaya memberikan jawabannya. Ada sebuah perbedaan penting antara kedua nas itu: Di kitab Yesaya tertulis “dihadapan-Ku (yaitu Yahweh)” semua orang akan bertekuk lutut, tetapi di Filipi 2:10 tertulis “dalam nama Yesus” atau “en tō onomati Iēsou”. Sekarang maknanya menjadi jelas: Dalam, oleh, atau pada saat nama Yesus disebut segala lutut akan bertekuk kepada Yahweh, “dihadapan-Ku”. Demikian pula, “segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah ‘Tu[h]an’,” bagi kemuliaan Allah, Bapa (yaitu, Yahweh)” (Flp.2:11). Bukan kepada Yesus segala lutut akan bertekuk, melainkan kepada Yahweh segala lutut akan bertekuk “dalam nama Yesus”, atau pada saat nama Yesus disebut. Inilah caranya BDAG GreekEnglish Lexicon (onoma) menerjemahkan kalimat ini, “ketika nama Yesus disebut segala lutut harus bertekuk”. BDAG memberikan banyak contoh tentang hal ini; salah satunya adalah, “Bersyukur kepada Allah ἐν ὀν. Ἰησοῦ Χρ. sambil menyebut nama Yesus Kristus, Ef.5:20”, yang pada dasarnya berarti bersyukur kepada Allah oleh karena Yesus. BDAG juga memberi komentar menarik tentang “melalui” atau “oleh nama”: “efek yang ditimbulkan oleh nama itu disebabkan oleh pengucapannya”. Jadi efek yang ditimbulkan oleh pengucapan nama Yesus adalah segala lutut akan bertekuk di Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 311 hadapan Yahweh, sama seperti yang disumpahkan Yahweh akan terjadi. Sekarang semestinya mulai terlihat jelas dari Filipi 2:6-11 dan PB secara keseluruhan bahwa nilai superlatif dari nama Yesus tidak bersandar pada dirinya yang ditengarai sebagai “Allah-Anak”, tetapi pada dirinya sebagai manusia sempurna yang sendiri dapat berkata, “Aku senantiasa melakukan apa yang berkenan kepada-Nya” (Yoh.8:29). Yahweh sendiri pula berfirman tentang dia, “Inilah Anak-Ku yang terkasihi, kepadanyalah Aku berkenan” (Mat 3:17; 17:5). Tidak heran Yesus dapat berkata, “Sesungguhnya aku berkata kepadamu: Segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam namaku” (Yoh.16:23; 15:16). Apa pun yang dilakukan oleh Yesus, tujuannya selalu dan hanya untuk memuliakan Bapa, “Dan apa pun yang kamu minta dalam namaku, aku akan melakukannya, supaya Bapa dimuliakan di dalam Anak” (Yoh.14:13). “Rupa Allah” dan “gambaran Allah”; Filipi 2:6 Meskipun kita telah membahas istilah “gambar” dan “rupa” ketika membahas Kejadian 1:26,27, demi kesaksamaan kita akan mempertimbangkannya melalui jalur lain. BDAG: “Rupa” (morphē) “μορφή, ῆς, ἡ (Hom.+) rupa, penampilan luar, bentuk umumnya tentang bentuk tubuh 1Kl 39:3; ApkPtr 4:13 (Ayb 4:16; ApkEsd 4:14 hlm.28, 16 Tdf.; SJTaw 78, 13). Tentang bentuk atau rupa patung (Yos., Vi. 65; Iren. 1, 8, 1 [Harv. I 67, 11]) Dg 2:3. Tentang penampilan dalam penglihatan, dst., mirip dengan orang-orang.” (BDAG) Demikian pula, Thayer, Greek-English Lexicon: “μορφή [morphē], μορφῆς, ἡ dari Homer dan seterusnya, rupa seseorang atau sesuatu menurut penglihatan; penampilan 312 The Only True God eksternal: anak-anak dikatakan mencerminkan ψυχῆς τέ καί μορφῆς ὁμοιότητα (dari orang-tua mereka).” Dari beberapa baris pertama definisi yang diberikan oleh BDAG kita melihat bahwa referensi primernya adalah kepada “bentuk tubuh”, yang dalam hal ini jelas tidak berlaku. Namun definisi berikutnya, “Tentang bentuk atau rupa patung” menunjukkan bahwa kata itu bisa berarti “rupa” dalam arti sebuah “gambar”. Namun oleh karena bentuk jasmaniah Allah tidak dipertimbangkan di sini, maka maknanya harus menunjuk kepada gambaran Allah yang spiritual, dan PB (dan Paulus sendiri) memang berbicara tentang Yesus sebagai gambaran Allah (2Kor.4:4; Kol.1:15). Pemakaian kata “rupa” sehubungan dengan membuat patung dapat dilihat di Yesaya 44:13, “Tukang kayu merentangkan tali pengukur dan membuat bagan sebuah patung dengan kapur merah; ia mengerjakannya dengan pahat dan menggarisinya dengan jangka, lalu ia memberi bentuk (morphē, μορφή) seorang laki-laki kepadanya, seperti seorang manusia yang tampan, dan selanjutnya ditempatkan dalam kuil.” Konteksnya menceritakan tentang pembuatan (pembentukan) patung-patung berhala. Lihat seluruh bagian teks Yes.44:13-17; Baca ay.17, “Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi allah, menjadi patung sembahannya; ia sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya, katanya: ‘Tolonglah aku, sebab engkaulah allahku!’” Jelas, “rupa” bersangkutan dengan patung, dalam hal ini sebuah berhala. Gagasan “rupa” dalam arti “gambaran”, dapat dilihat juga melalui pemakaian kata kerja morphoō oleh Paulus di Galatia 4:19, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa (morphoō) Kristus menjadi nyata di dalam kamu.” Paulus berjuang dengan susah payah demi jemaat di Galatia melalui doa dan pengajaran sampai akhirnya mereka “dibentuk” atau dijadikan serupa dengan gambaran Kristus. Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 313 Filipi 2:7 juga berbicara tentang Kristus “mengambil rupa seorang hamba” (μορφὴν δούλου λαβών, morphēn doulou labōn). Yesus sebenarnya bukan seorang hamba atau budak (doulos), tetapi itu mencerminkan sikap hatinya, yang harus dipahami secara rohani, sama seperti “rupa Allah” harus dipahami secara rohani. Sikap Yesus selaku seorang hamba terlihat dari perkataannya sendiri di Matius 20:28, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang” (=Mrk.10:45). Yesus merupakan gambaran Allah sebagai manusia, karena “dialah gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol.1:15), yakni, sifat Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan di dalam Yesus. Kenyataan bahwa ia adalah gambaran Allah pada masa kehidupannya di bumi (“Siapa saja yang telah melihat aku, ia telah melihat Bapa”, Yoh.14:9) menunjukkan bahwa ia memiliki kedudukan di hadapan Allah yang mungkin menyebabkan dia berpikiran untuk merampas kesetaraan dengan Allah. Mungkinkah ini unsur pokok dalam kisah pencobaan di Matius 4=Lukas 4? Bukankah dalam hal ini Adam gagal, “kamu akan menjadi seperti Allah” (Kej.3:5)? Justru pada titik di mana Adam gagal melalui ketidaktaatan, Kristus harus berhasil untuk menjadi Juruselamat kita (Rm.5:19, “Jadi sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar”). Namun jika ketaatan ini (penolakan untuk merampas kesetaraan dengan Allah) terjadi di alam pra-eksisten, maka itu bukan sebagai manusia, bukan sebagai “Adam yang akhir”, dan karena itu tidak dapat membatalkan ketidaktaatan Adam, karena sebagaimana tertulis di Roma 5:19: “melalui ketaatan satu orang”. Ini berarti Filipi 2:6 tidak dapat dipertimbangkan dalam istilah pra-eksistensi tanpa meniadakan keselamatan umat manusia. Untuk alasan ini pandangan James 314 The Only True God Dunn bahwa nas Filipi 2 ini harus dipahami sehubungan dengan “Kristologi Adam” patut dihargai (lih. The Theology of Paul the Apostle, hlm.282). 9 Adam gagal justru karena ketidaktaatannya, dan ketidaktaatan pada dasarnya adalah tindakan pemberontakan, dan pemberontakan sebagai penolakan terhadap otoritas merupakan klaim implisit terhadap kesetaraan dengan otoritas itu. Dalam arti inilah Adam mengungkapkan klaim terhadap kesetaraan dengan Allah. Namun Kristus, “Adam yang akhir” (1Kor.15:45) menolak untuk merampas kesetaraan dengan Allah. Ia puas dengan peranan yang diberikan Allah kepadanya selaku “Adam yang akhir”, sehingga Allah dapat menjadikan dia ‘juruselamat dunia” (Yoh.4:42; 1Yoh.4:14). Dan berbicara tentang peranan yang diberikan Allah, kata “rupa muncul lagi di ayat berikutnya (Flp.2:7), biasanya diterjemahkan menjadi “mengambil rupa seorang hamba”, di mana “mengambil” adalah terjemahan untuk kata lambanō. Namun lambanō bisa berarti “mengambil” atau “menerima”. Jadi frasa itu bisa juga diterjemahkan menjadi “menerima rupa seorang hamba”, peranan yang diberikan kepadanya oleh Allah. “Menerima” atau “menaati” tidak perlu dipandang sebagai hal pasif semata. Misalnya, kata yang sama, lambanō, yang diterjemahkan sebagai “mengambil” di Filipi 2:7 diterjemahkan sebagai “menerima” (Yun. aor. aktif) di Yohanes 20:22, “Terimalah Roh Kudus” (juga Kis.19:2, dll). Penafsiran trinitaris atas Filipi 2:6dyb. tidak meyakinkan sama sekali. Satu alasan utama adalah karena istilah “rupa Allah” Kristologi Adam mewakili usaha mempelajari Kristus sebagai manusia, “Adam”, yang adalah kata Ibrani untuk “manusia”. Namun pandangan yang rendah terhadap manusia yang pada umumnya dianut oleh umat Kristen berarti Kristologi macam ini tidak disambut oleh kebanyakan dari mereka. Dalam percakapan saya dengan seorang profesor teologi beberapa waktu yang lalu, ia menggambarkan Kristologi Prof. Dunn sebagai “rendah”. Ini dikarenakan manusia dalam teologi Kristiani dipandang “rendah”. 9 Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 315 merupakan batu sandungan besar bagi mereka. Perkaranya akan tuntas seandainya saja ayat itu mengatakan, “yang walaupun adalah Allah…” Namun, sayang sekali untuk trinitarianisme, bukan itu yang dikatakan. Dengan menolak makna “rupa” sebagai sebuah representasi atau gambaran, mereka gagal memberikan penafsiran yang dengan tepat mengungkapkan apa yang dikatakan oleh teksnya, jadi mereka dengan beraninya membacakan penafsiran mereka sendiri kedalamnya. BDAG menyatakan secara dogmatis bahwa “rupa” adalah “ungkapan ilahi dalam Kristus yang pra-eksisten” tetapi tidak memberikan penjelasan apa pun bagaimana kata itu secara leksikal dapat memiliki makna ini. Dengan demikian, sebuah leksikon trinitaris terlihat terlibat dalam penyebaran trinitarianisme, bukannya setia kepada ilmu leksikografi. Oleh karena itu, kita sering kali perlu berpaling kepada leksikon Yunani-Inggris sekuler dan otoritatif seperti Liddell and Scott guna mencari pandangan yang tidak memihak. Dengan sia-sia saya memeriksa Greek-English Lexicon saya yang sangat besar dan lengkap (2042 halaman besar dengan cetakan kecil, tanpa menghitung 153 halaman Lampiran) oleh Liddell, Scott, dan Jones (Oxford, 1973), guna menemukan kaitan antara morphē dengan gagasan pra-eksistensi dalam bentuk atau rupa apa pun (mohon maaf atas permainan katanya!). Oleh karena alasan ini pula, tidak terdapat kaitan yang hakiki antara morphē dengan kata “Allah”. Ditambah dengan fakta bahwa morphē berarti “penampilan luar, rupa, bentuk tubuh” (menurut definisi BDAG sendiri), maka jelas tidak satu pun dari semua itu berlaku untuk Allah karena “Allah itu Roh” (Yoh.4:24). Itulah sebabnya kita sama sekali tidak dapat mengaitkan “rupa” dengan “Allah” kecuali melalui pengajaran Alkitabiah tentang manusia sebagai “gambaran Allah”. Dalam bahasa Alkitabiah, “rupa Allah” berarti “gambar Allah”, yang tak pelak merujuk kepada manusia sebagai gambar Allah (Kej.1:26,27, dll). 316 The Only True God Argumen Thayer (Greek-English Lexicon, μορφή) bahwa Kristus dalam pra-eksistensinya ada dalam “rupa Allah”, yaitu dalam rupa ini “ia tampak kepada para penghuni surga” adalah, maaf untuk mengatakan, murni hasil imajinasi; maka tidak mengherankan, tak sepotong pun bukti Alkitabiah yang disodorkannya untuk memperkuat hal ini. Lagipula, sementara memang benar bahwa satu cara untuk kita, sebagai manusia, mengenali orang adalah melalui rupa atau bentuk mereka (khususnya wajah), kita juga mengenali orang melalui suara mereka (mis. di telepon) bahkan tanpa melihat “rupa” mereka. Oleh karena itu, adalah tidak berdasar untuk membayangkan makhluk-makhluk surgawi saling mengenali satu sama lain melalui “rupa” mereka! 10 Sebuah analisis atas Filipi 2:6-7 “(Yesus), yang meskipun ada dalam rupa Allah, tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas.” (Flp.2:6 MILT) Meskipun Allah sebagai Roh itu tanpa morphē, tanpa “bentuk badani atau eksternal”, sehingga kita tidak dapat berbicara tentang “rupa Allah” dengan tepat kecuali menurut pengertian Alkitabiah tentang “gambar Allah”, kita tidak perlu menyangkal bahwa Allah bisa mengambil “rupa” jika Ia memilih untuk berbuat demikian. Barangkali “malaikat Tuhan” merupakan sebuah contoh dalam PL. Barangkali kitab Wahyu merupakan contoh lain, jika kita tidak merancukan yang rohaniah dengan yang jasmaniah. Dalam kitab Wahyu, Yang Mahakuasa “terlihat” duduk di atas takhta (disebut 12 kali). Dalam penglihatan Yohanes di Apokalypsis, makhluk-makhluk surgawi dibuat “kelihatan” dalam cara tertentu guna menyampaikan pesan ilahi kepada Yohanes; kemungkinan lain adalah Yohanes dianugerahi penglihatan rohaniah, karena tidak bisa melihat apa yang tak kelihatan oleh mata jasmaniah sebab, sebagaimana Paulus berkata, “Yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2Kor.4:18). 10 Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen S 317 ekali kita telah dibebaskan dari indoktrinasi trinitaris yang bersikeras bahwa “rupa Allah” berarti “Allah”, dan sekali kita memperoleh kembali kejernihan pikiran, kita seharusnya dapat melihat dengan jelas bahwa seandainya Yesus adalah Allah, maka dia sama sekali tidak ada alasan untuk “merampas” (harpagmos) kesetaraan dengan Allah, karena ia sudah memilikinya. Hanya orang yang tidak memiliki kesetaraan dengan Allah (seperti halnya Adam) yang bisa berkeinginan untuk merampasnya (bdk. Kej.3:5,6). Oleh karena itu, usaha untuk memaksa ayat ini mengatakan bahwa “meskipun adalah Allah ia (Yesus) tidak merampas kesetaraan dengan Allah” akan membuat Kitab Suci menjadi tidak berarti, sesungguhnya, membuat firman Allah menjadi nonsens. Ini tentunya sebuah pelanggaran serius terhadap Allah dan firman-Nya. Dalam terjemahan KJV untuk Filipi 2:6, “who, being in the form of God, thought it not robbery to be equal with God (yang, walaupun dalam rupa Allah, menganggap bukan perampasan untuk menjadi setara dengan Allah)”, ada sesuatu yang tidak masuk akal: Jika pernyataan itu berkaitan dengan dua pribadi yang setara, dalam keadaan apa kata “perampasan” perlu digunakan sehubungan dengan soal kesetaraan? Bahkan dengan mengizinkan kebebasan puitis sekalipun, bagaimana perampasan bisa masuk dalam pembahasan ini? Sejauh dua pribadi yang setara, bagaimana mungkin yang satu “merampas” kesetaraan dari yang lain? Bahkan dalam hal dua pribadi yang tidak setara sekalipun, apakah kesetaraan itu sesuatu atau status yang dapat diambil dari seseorang melalui “perampasan”? Karena, merampas bukan saja mengambil apa yang bukan miliknya, tetapi juga menghilangkan apa yang menjadi hak milik pribadi lain. Jadi “merampas” bukan hanya soal berusaha secara licik untuk mencapai kesetaraan dengan pribadi lain, tetapi menyingkirkan statusnya sehingga menjadi milik sendiri. Jika perampasan itu berhasil, maka pribadi yang lain itu bukan saja akan kehilangan kesetaraannya, tetapi juga akan takluk kepada 318 The Only True God pribadi yang telah mengambil kesetaraannya itu, sehingga kedudukannya menjadi lebih rendah. Semua ini betul-betul tidak masuk akal sehubungan dengan Filipi 2:6. Sebab, jika Yesus adalah Allah, maka soal mencapai kesetaraan dengan Allah akan benar-benar berlebihan, dan apa tujuannya kata “perampasan” dalam pernyataan berlebihan ini? “Rampas” dalam kalimat ini tidak saja menjadikan pernyataan itu tidak berarti tetapi konyol. Di sisi lain, jika Yesus tidak setara dengan Allah, maka dalam arti apa berbicara tentang “perampasan” menjadi bermakna dalam hal memperoleh kesetaraannya dengan Allah? Satu-satunya arti yang dapat dipikirkan adalah bahwa usaha memperoleh kesetaraan itu sebenarnya ialah sebuah tindakan perampasan terhadap Allah, sebuah tindakan pemberontakan, dan ini pasti sesuatu yang tak terpikirkan oleh Yesus. Ini memang masuk akal— kecuali fakta bahwa KJV justru telah membalikkan maknanya dengan mengatakan bahwa Yesus tidak menganggapnya sebagai perampasan! Sungguh suatu pemikiran yang aneh! Apakah mungkin Paulus memanggil orang-orang percaya untuk berusaha menandingi hal itu (ay.5)?! Lagi pula, adalah mustahil untuk membuat pernyataan keterlaluan seperti itu terhubung secara berarti dengan kalimat berikut: “melainkan telah mengosongkan dirinya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba...” (ay.7). Selanjutnya, jika Yesus memang sudah setara dengan Allah, maka pernyataan “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama” dst. (ay.9) tidak akan mempunyai signifikansi atau arti apa pun, karena hal itu tidak akan menambah apa-apa kepada kedudukan yang sudah dimilikinya. Oleh karena ayat ini sangat penting untuk trinitarian, dan oleh karena KJV merupakan satu-satunya versi Alkitab yang umum dipakai dalam dunia bahasa Inggris selama 300 tahun lamanya (awal abad ke-17 hingga awal abad ke-20), dan masih cukup berpengaruh Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 319 terhadap banyak orang Kristen saat ini, maka kita perlu memfokuskan masalah ini dengan lebih tajam lagi. Di ayat sebelumnya (Flp.2:5) Paulus menasihati orang-orang percaya agar “kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus”. Filipi 2:6 menyatakan kepada kita apa yang dipikirkan oleh Yesus, yaitu, apa yang terlintas dalam benaknya. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kita belajar berpikir sebagaimana dia berpikir. Oleh karena ayat ini menggambarkan cara Yesus berpikir dan bersikap, hal ini bisa disampaikan dengan lebih jelas jika kita mendengarnya dari mulut Yesus sendiri. Mari kita coba memahami pikirannya yang digambarkan dari dua sudut pandang yang berbeda: (1) bahwa ia adalah Allah; (2) bahwa ia bukan Allah. Hal apa yang muncul ketika Filipi 2:6 dibaca dari sudut pandang pertama? (1) Yesus adalah Allah, dan ia berpikir: Aku tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu perampasan. Apakah yang dinyatakan oleh pemikiran seperti ini tentang sikap dan karakternya? Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu perampasan karena ia beranggapan itu adalah milik yang menjadi haknya? Namun sekalipun jika itu memang milik yang menjadi haknya, lantas mengapa muncul gagasan perampasan? Bukankah itu mengemukakan suatu sikap permusuhan terhadap Allah? Setidaktidaknya, cara berpikir seperti itu mengemukakan adanya unsur kesombongan. (2) Jika Yesus bukan Allah, tetapi mengungkapkan pikirannya seperti berikut: Aku tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu perampasan, apa yang dapat kita pelajari dari “pikiran” semacam itu? Bukankah itu dengan gamblang menunjukkan bahwa merampas kesetaraan dengan Allah tidak dipandang sebagai perampasan olehnya; itu bagi dia suatu tindakan yang wajar, bukan pemberontakan! Sekarang seharusnya jelas bahwa pernyataan dalam KJV ini sebenarnya mengungkapkan semacam pemberontakan spiritual. 320 The Only True God Kalimat KJV itu justru mengungkapkan kebalikan dari maksud Paulus dalam menasihati umat beriman untuk berpendapat bahwa Yesus tidak pernah berpikiran untuk merampas kesetaraan dengan Allah; sebaliknya ia memilih status seorang hamba (budak, doulos), dan taat sampai mati. Apa sebenarnya yang diungkapkan oleh terjemahan KJV? Pikiran yang tertuang di sini pada hakikatnya adalah pikiran si Iblis, yang senantiasa bertujuan untuk merampas kesetaraan dengan Allah, sesungguhnya, untuk meninggikan dirinya di atas takhta Allah, sekiranya mungkin, dan yang ambisinya disampaikan dalam katakata “Aku hendak naik ke langit, aku hendak mendirikan takhtaku mengatasi bintang-bintang Allah… hendak menyamai Yang Mahatinggi” (Yes.14:13,14). Bagaimana bisa pemikiran Iblis diizinkan diam-diam merayap masuk ke dalam ayat ini dan dikaitkan dengan Kristus!? Tidak kurang seriusnya adalah masalah ini: Mengapa sebagai trinitarian kita sama sekali tidak mendeteksi masalah mengerikan dalam penerjemahan ayat ini? Bukan saja kita tidak melihat masalahnya, tetapi kita selalu menggunakannya untuk “membuktikan” bahwa “Yesus adalah Allah”. Sekarang saya baru sadar bahwa apa yang telah dilakukan oleh trinitarianisme justru diungkapkan dengan sempurna dalam terjemahan ini. Trinitarianisme telah merampas dari Yahweh Allah kedudukan-Nya sebagai Sasaran tertinggi dari iman kita. Trinitarianisme telah mengesampingkan Dia untuk memberikan kedudukan itu kepada Yesus yang diangkatnya ke tingkat keilahian, menyetarakan dia dengan Allah. Dan tak satu pun dari semua ini dianggap sebagai perampasan! Dengan kata lain, terjemahan Filipi 2:6 oleh KJV ini dengan sempurna mengungkapkan pemikiran dan mentalitas trinitarianisme. Justru inilah alasannya mengapa kita, sebagai trinitarian, tidak melihat adanya masalah. Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 321 Kembali ke teks Yunani Filipi 2:6, dan memeriksa kata harpagmos, yang diterjemahkan sebagai “robbery” (“perampasan”) oleh KJV, serta mempertimbangkan kata itu dalam cahaya beberapa leksikon Yunani-Inggris, kita mendapati bahwa hanya BDAG yang memberikan “perampasan” sebagai salah satu definisi harpagmos. Akan tetapi, BDAG segera memberi komentar berikut mengenai definisi itu: “perampasan, nyaris mustahil di Filipi 2:6” dan menambahkan, “keadaan setara dengan Allah tidak dapat disamakan dengan tindakan perampasan”. Jadi BDAG menegaskan bahwa persamaan ini tidak masuk akal. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan terjemahan Inggris tidak menggunakan kata seperti “perampasan” 11 dan tidak menyusun kalimatnya seperti KJV. Dengan demikian, mereka bukan saja mengamankan kalimat tersebut dari absurditas tetapi juga dari apa yang sepantaskan disebut sebagai pemberontakan rohaniah. Trinitarian menolak untuk menghadapi kenyataan bahwa ayat ini jelas-jelas menyatakan Yesus bukan Allah, dan ia tidak berusaha (tidak seperti Adam dan Hawa) merampas kesetaraan dengan Dia. Tak mengherankan, beberapa trinitarian, tidak segan-segan pergi sejauh menerjemahkan kata harpagmos menjadi kurang lebih seperti berikut: ia tidak “berpegang pada” atau “mempertahankan” 12 . Namun kata Yunani harpagmos tidak menerima pemutarbalikan seperti itu. Berikut ini adalah maknanya menurut BDAG GreekEnglish Lexicon, “1. penyitaan harta milik dengan kekerasan, perampasan 2. sesuatu yang dapat diklaim atau dituntut dengan Sebenarnya ini bukan kata yang lazim untuk perampasan dalam bahasa Yunani; Woodhouse's English-Greek Dict. memuat harpagē sebagai padanan kata dari “perampasan”, bukan harpagmos. 12 “(Yesus) yang, walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan” (Flp.2:6). 11 322 The Only True God mencengkeram atau menggenggam”; tetapi mengenai definisi kedua ini, Lexicon mengakui bahwa “Makna tersebut tidak dapat dikutip dari kesusastraan non-Kristen, tetapi secara gramatikal dapat dibenarkan”. Definisi yang kedua itu tidak diberikan dalam leksikon Yunani-Inggris otoritatif lain seperti Liddell and Scott, atau Thayer. Makna utama kata harpagmos, “perampasan”, adalah merampas apa yang bukan milik kita. Makna kedua yang diberikan BDAG bertujuan untuk meniadakan sifat kekerasan dari tindakan “perampasan”, dan membuatnya merujuk semata-mata kepada pengklaiman sesuatu dengan mencengkeram atau menggenggamnya. Namun makna yang telah diperlunak ini tidak membuang fakta bahwa yang dimaksud adalah menggenggam sesuatu yang bukan milik orang yang menggenggam. Semua ini menunjukkan bahwa makna Filipi 2:6 sangat jelas: ayat ini menyatakan kebalikan persis dari apa yang coba dibuktikan oleh trinitarianisme dari ayat ini. Apa yang dikatakan oleh ayat ini adalah bahwa Yesus, sekalipun sebagai gambaran Allah yang tertinggi, “ada dalam rupa Allah”, tidak berusaha merampas atau mengklaim kesetaraan dengan Allah. Ia sama sekali bertolak-belakang dengan Adam. Ia tidak berbuat dosa seperti halnya Adam. Sebagai manusia sempurna ia bisa menggenapi peran luhur sebagai Juruselamat dunia. Jauh dari keinginan mengklaim kesetaraan dengan Allah, ia “mengosongkan” (kenoō) dirinya. Mengingat pembahasan terdahulu, kita tidak perlu membuang waktu membahas spekulasi trinitarian tentang Yesus yang ditengarai mengosongkan dirinya dari hak-hak prerogatif ilahinya di alam pra-eksistensi. Jika mereka lebih memperhatikan apa sebenarnya yang dikatakan oleh nas ini, alih-alih berupaya sekuat tenaga membacakan penafsiran mereka sendiri ke dalam teks, mereka akan melihat bahwa makna “mengosongkan dirinya” dijelaskan dalam himne ini melalui paralelisme puitis yang ditemukan tepat di kalimat berikutnya: “ia Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 323 merendahkan dirinya” (Flp.2:7), yang merupakan padanan puitis dari “mengosongkan dirinya”. Dengan menolak merebut, atau bahkan mengklaim, kesetaraan dengan Allah (berkontras tajam dengan Adam dan Hawa), Yesus dengan demikian ditetapkan sebagai gambaran Allah par excellence. Namun ia pergi lebih jauh daripada tidak mengklaim kesetaraan itu. Karena meskipun Yesus di dalam Hikmat Allah “menjadi sama dengan manusia” (Flp.2:7; bdk. Mat.11:19; Luk.7:35; 11:49)—dan menurut Yohanes 1:14 Firman itu (Logos) berinkarnasi di dalam manusia Yesus (“dalam keadaan sebagai manusia”, Flp.2:7), sesuatu yang disadari oleh Yesus, sebagaimana terlihat di Injil Yohanes— namun “ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8). Maksud Filipi 2:6-8 yang praktis Di dalam menafsirkan “himne Kristus” ini (Flp.2:6-11), trinitarian tidak mengindahkan alasan mengapa Rasul Paulus menempatkan himne itu dalam suratnya kepada jemaat di Filipi ini. Namun tujuannya dinyatakan secara eksplisit di kalimat sebelum himne itu: “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (ay.5). Himne ini tidak ditempatkan di tengah-tengah wacana teologis. Tujuan utamanya adalah untuk menunjuk kepada Yesus sebagai teladan untuk ditiru oleh setiap orang beriman. Oleh karena itu, tujuan Paulus sangatlah praktis. Ia di sini tidak bermaksud mengajarkan apa yang oleh teologi kemudian hari disebut “Kristologi”; dan jika pendapat umum para sarjana itu benar, yaitu Paulus di sini tengah mengutip himne yang digunakan dalam gereja awal, maka ia bukan pengarang himne itu, tetapi hanya mengutipnya karena sangat cocok dengan tujuan praktis yang ada dalam benaknya. 324 The Only True God Kita telah menyimpang dari tujuan awal seluruh nas ini ketika kita hanyut ke dalam spekulasi-spekulasi teologis, sementara melupakan panggilannya untuk menjalani kehidupan seperti Kristus. Namun jika Kristus itu Allah menurut nas ini, bagaimana tepatnya ia dapat berfungsi sebagai teladan untuk manusia? Kita tidak memiliki “hak-hak prerogatif ilahi” untuk ditanggalkan, dan sesungguhnya kebanyakan orang tidak memiliki hak prerogatif yang nyata atau bahkan istimewa untuk dilepaskan. Sebagian orang yang termasuk dalam kelas terpandang mungkin bisa memilih untuk melepaskan sebagian dari hak istimewa mereka, tetapi bagaimana dengan mayoritas orang? Penerapan praktis seperti apa yang ada di benak Paulus, mengingat kebanyakan orang beriman pada masanya bisa digolongkan sebagai “orang biasa”? Di sinilah kaitan penting antara Filipi 2:17 (“dicurahkan”) dan 2:7 sering dilewatkan, walaupun kaitan semantis antara “dikosongkan” (kenoō) dan “dicurahkan” (spendomai) seharusnya cukup jelas, karena sebuah bejana yang telah dicurahkan akan menjadi kosong. Paulus selalu memastikan ia mengajar melalui teladan; apa yang dikatakannya tentang Kristus di 2:7 ia terapkan kepada dirinya sendiri dalam lingkup 10 ayat! Namun sama pentingnya juga, Filipi 2:17 menerangkan makna ay.7, karena dalam terang inilah makna “mengosongkan dirinya” menjadi jelas, terlebih lagi karena, maknanya diterangkan di ay.8, “ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati”. Ketaatan sampai mati inilah, pencurahan diri inilah yang tepatnya ditiru oleh Paulus dalam kesiapannya untuk membiarkan darahnya dicurahkan demi Allah dan jemaat-Nya. Di 2Timotius 4:6, ia “sudah mulai dicurahkan (spendomai, kata yang sama di Flp.2:17)… saat kematianku sudah dekat”. Tujuan praktis yang hendak ditekankan oleh Paulus di Filipi 2 dapat diringkas oleh perkataan berikut, “Ikutilah teladanku, sama seperti aku juga mengikuti teladan Kristus” (1Kor.11:1). Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 325 Seharusnya jelas sekarang bahwa spekulasi trinitaris tentang Yesus yang “mengosongkan” diri dari keilahiannya, atau dari hakhak prerogatifnya, adalah gagasan yang dibacakan ke dalam teks dan secara praktis mustahil untuk diteladani. “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp.2:5). Lagipula, sekalipun kata “mengosongkan” di sini tidak merujuk kepada hak-hak ilahi, melainkan kepada hak-hak manusia saja, nyaris tidak ada apa-apa yang dapat ditiru oleh jemaat Filipi, karena mereka termasuk dalam kelas sosial yang lebih rendah (seperti halnya kebanyakan orang beriman pada masa itu, 1Kor.1:26), dan pada umumnya sangat miskin (2Kor.8:2). Hak-hak apa yang mereka miliki yang bisa mereka kosongkan? Akan tetapi, mereka bisa setia dan taat sampai mati (Why.2:10); mereka bisa “dicurahkan” sama seperti Paulus (2Tim.4:6; Kis.20:24). Paulus menulis surat ini dari dalam penjara, dan ia selalu hidup dengan prospek maut di ambang pintu demi Injil. Orang-orang beriman pun, selalu hidup di bawah ancaman ataupun realitas penganiayaan. Oleh karena itu, Paulus berseru kepada orang-orang beriman untuk mengenang teladan Kristus, yang sekarang diteladankan untuk mereka dalam kehidupannya sendiri. Filipi 2:6-11 P enafsiran trinitaris atas nas ini didasari oleh penafsiran trinitaris atas Yohanes 1:1. Jadi Filipi 2:6 dianggap merujuk kepada Logos pra-eksisten yang ditafsirkan sebagai Allah-Anak. Buang asumsi tersebut maka penafsiran Filipi 2:6 dalam istilah Yesus Kristus yang pra-eksisten tidak akan dapat bertahan karena itu bergantung pada persamaan Logos = Yesus Kristus yang keliru, yang sebagaimana telah kita lihat, tidak berdasar dalam Injil Yohanes. 326 The Only True God Lagipula, surat Filipi ditulis sebelum Injil Yohanes (menurut pendapat kebanyakan sarjana, sekitar 30 tahun sebelum Yohanes), jadi apakah ada alasan untuk berpikir bahwa jemaat di Filipi memahami surat Paulus kepada mereka dalam istilah Yohanes 1:1, apa lagi penafsiran trinitaris atasnya? Mereka telah diajar oleh Rasul Paulus secara personal; di manakah dalam ajarannya ia berbicara tentang Kristus yang pra-eksisten? Dan tidak ada apa-apa dalam nas Filipi ini yang mengharuskannya dipahami dalam istilah praeksistensi. Pra-eksistensi dibacakan ke dalam teks, bukan keluar dari teks (eisegesis, bukan eksegesis). Dan ini termasuk istilah “rupa Allah” sebagaimana dipahami oleh trinitarianisme. Sekalipun kita berusaha menafsirkan Filipi 2 dengan Hikmat yang pra-eksisten, kita tetap akan terbentur dengan pertanyaan: Kapankah Hikmat pernah berusaha merampas kesetaraan dengan Allah? Tak satu pun “entitas” metaforis lain seperti Taurat atau Logos pernah berbuat hal itu. Ini berarti sekalipun Kristus dianggap sebagai Logos yang pra-eksisten di Filipi 2:6, tindakan merampas kesetaraan dengan Allah ditinggalkan tanpa titik acuan. Fakta gamblangnya adalah hanya Adam saja yang melalui ketidaktaatannya berbuat hal semacam itu, dan hanya Adam saja yang relevan dengan kristologi Paulin di mana Kristus adalah “manusia kedua” (1Kor.15:47), “Adam yang terakhir” (1Kor.15:45). Filipi 2:6-8 Sebagai trinitarian yang dibesarkan dalam doktrin dosa asali dan kebejatan total, kita benar-benar bingung bagaimana memahami pernyataan Paulus bahwa manusia “menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7). Kata “menyinarkan” dalam teks Yunani ada dalam kala masa kini, bukan kala masa lalu (yaitu sebelum “Kejatuhan Manusia”)! Tentu saja, kita tidak punya alasan Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 327 untuk mengatakan bahwa Paulus telah membuat kesalahan, ataupun adanya bukti kesalahan dalam tradisi tekstual. Seandainya Paulus hanya berkata “manusia menyinarkan gambaran Allah”, itu sudah cukup bermasalah, karena menurut doktrin dosa asali gambaran itu setidaknya telah ternoda, atau bahkan sama sekali hancur, sebagai akibat dari dosa Adam. Namun Kitab Suci mengatakan lebih jauh dengan pernyataan “berlaras dua” bahwa manusia adalah “gambaran dan kemuliaan Allah”. Hal itu seharusnya meninggalkan doktrin kita dalam keadaan berantakan, tetapi tanpa rasa takut, kita mengabaikan Kitab Suci (seperti biasanya) ketika Kitab Suci bertentangan dengan doktrin kita. Seandainya kita tidak mengabaikan Kitab Suci kita tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami istilah “rupa Allah” di Filipi 2:6-11; sebab “rupa Allah” adalah istilah yang tidak muncul di tempat lain dalam Alkitab, tetapi merupakan cara yang pantas untuk berbicara tentang “gambaran dan kemuliaan Allah” dalam bahasa puitis, seperti dalam lagu atau himne. Hal ini akan dibahas lebih lengkap di bawah ini. Allah itu Roh (Yoh.4:24), dan oleh karena itu, tidak memiliki bentuk yang terlihat oleh mata jasmani. Namun Ia membuat Dirinya “kelihatan” dengan menyatakan kemuliaan-Nya. Kitab Suci berulang-kali berbicara tentang kemuliaan-Nya yang kelihatan: Kel.16:10; Im.9:23; Bil.14:10; 16:19,42; 20:6; Mzm.102:16; Yeh.1:28; 3:23; 8:4; Kis.7:2,55. Jadi kemuliaan-Nya adalah “bentuk, penampilan luar”-Nya yang kelihatan, yang adalah arti kata morphē. Jadi Kristus sebagai manusia dan, oleh sebab itu, sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7) ada “dalam rupa Allah” untuk menyatakan Allah kepada dunia—Ia adalah “terang dunia” (Yoh.8:12; 9:5; tentang orang percaya, Mat.5:14). Mempertimbangkan lebih jauh pertanyaan tentang “keadaan tak nampak” dan “rupa” ketika berbicara tentang Allah, kita mungkin menanyakan: Mengapa Allah dikatakan “tak nampak” (1Tim.1:17)? 328 The Only True God Bukankah karena Allah sebagai Roh (Yoh.4:24) tidak memiliki “rupa”? Lantas, bagaimana orang dapat berbicara tentang “rupa Allah”? Pilihan kita hanya dua: “rupa” dimengerti sebagai “gambaran”, atau, istilah “rupa Allah” merupakan sebuah kontradiksidiri. Secara eksegetis, kita hanya ada pilihan pertama. Sebagaimana telah kita catat sebelumnya, istilah “rupa Allah” tidak muncul di mana pun dalam Kitab Suci selain dalam frasa puitis di Filipi 2:6 ini. Filipi 2: 6 (Kristus), yang meskipun ada dalam rupa Allah, tidak menganggap bahwa menjadi setara dengan Allah adalah sesuatu yang harus dirampas. (MILT) 7 melainkan telah mengosongkan dirinya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. 8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Nas penting ini sudah disinggung beberapa kali sebelumnya dalam buku ini. Di sini kita akan membuat beberapa pengamatan lebih jauh: Ada dua hal dalam penafsiran nas ini yang selalu diabaikan atau kurang dihargai, dan yang oleh sebab itu, berakibat pada kesalahtafsiran: (1) Nas ini adalah tentang “Kristus Yesus” (Flp.2:5) di mana “Kristus (Mesias)” ditempatkan pada posisi penegas di depan “Yesus” 13. Jadi seluruh nas Filipi ini merujuk kepada Yesus sebagai sang Mesias. “Kristus Yesus” muncul 95 kali dalam PB, “Yesus Kristus” 135 kali, sedangkan “Yesus” 917 kali. 13 Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 329 Masalahnya ialah gelar “Mesias” ini nyaris tidak berarti apa-apa bagi seorang non-Yahudi dan itu sebabnya ia membaca “Kristus” (bentuk Yunani dari “Mesias”) sebagai sebuah nama personal. Rasul Paulus adalah seorang Yahudi dan tentunya ia tidak berpikir tentang “Kristus” sebagai semacam nama personal. Bagi dia, sebagaimana kebanyakan orang Yahudi pada masanya, gelar “Mesias” mengandung signifikansi sebagai penyelamat/raja yang dinanti-nantikan. Namun kaum Yahudi tidak berpikir tentang Mesias sebagai pribadi ilahi. Pentingnya gelar “Kristus” untuk Paulus dapat dilihat dari perbandingan statistik: Dalam surat yang relatif pendek seperti surat Filipi ini, Christos (Mesias, Kristus) muncul 37 kali dalam 104 ayat (35,6% atau ratarata lebih daripada satu kali per 3 ayat); di Roma kata itu muncul 65 kali dalam 432 ayat (15,04% atau rata-rata satu kali per 6,6 ayat); bandingkan dengan Yohanes: 18 kali dalam 878 ayat (2,05% atau satu kali per 48,7 ayat), dan Matius 16 kali dalam 1068 ayat (1,49% atau satu kali per 66,7 ayat). Secara statistik, gelar “Mesias” atau “Kristus” jauh lebih sering muncul dalam surat Filipi dibandingkan dengan kitab lain; dari segi persentase, dua kali lebih banyak daripada surat Roma. Hal ini jelas menandakan bahwa penekanan pada Kristus sebagai sang Mesias, juruselamat dan raja yang diharapkan manusia, merupakan sebuah kunci untuk memahami Filipi 2:6-11. Kata Ibrani “Mesias” (Yunani, “Kristus”) berarti “yang diurapi”. Untuk menjelaskan pentingnya gelar ini saya akan mengutip dari ISBE [International Standard Bible Encyclopedia]: ‘Istilah tersebut digunakan dalam Perjanjian Lama untuk para raja dan imam, yang ditahbiskan untuk memegang jabatan melalui upacara pengurapan. Diterapkan kepada imam hanya sebagai kata sifat—“imam yang diurapi” (Im.4:3,5,16; 6:22 (Ibrani 15)). Pemakaian substantifnya terbatas pada raja; dia 330 The Only True God saja yang disebut “yang diurapi TUHAN,” mis. Saul (1Sam.24:6,10 (Ibrani 7,11), dst.); Daud (2Sam.19:21 (Ibrani 22); 2Sam.23:1, “yang diurapi Allah Yakub”); Zedekia (Rat.4:20). Dengan cara yang sama, raja di kitab Mazmur ditandai oleh “milikku,” “milikmu,” “yang diurapinya.”’ (Cetak miring ditambahkan) Perhatikan kata-kata yang tercetak miring dalam kutipan di atas, yang ketika dikenakan kepada “Mesias Yesus” (Flp.2:5) berarti Yesus adalah raja yang diurapi Yahweh. Lagi-lagi mengutip ISBE: “Sang Mesias adalah alat pilihan yang olehnya kerajaan Allah akan didirikan di Israel dan di dunia.” Kenyataan ini menerangkan mengapa setiap lutut harus bertelut kepada Yesus dan setiap lidah mengakuinya Tu[h]an bagi kemuliaan Allah sang Bapa (Flp.2:9-11). Jelas untuk alasan ini Yesus adalah “yang diurapi TUHAN”, “raja di atas segala raja” (Why.17:14). Adalah suatu fakta yang teruji secara historis bahwa raja-raja memiliki kecenderungan mengklaim keilahian dan/atau didewakan oleh orang lain. Nebukadnezar adalah salah satu contoh dalam PL, dan Herodes Agripa I adalah sebuah contoh yang tercatat dalam PB (Kis.12:21dyb.). Penuhanan dan/atau penuhanan-diri para kaisar Romawi pun terkenal luas. Kaisar-kaisar Cina disebut “anak-anak surga”. Justru hal inilah yang enggan dilakukan oleh Kristus/Mesias Yesus (Flp.2:6). Adam pun seorang raja karena seluruh dunia diberikan kepadanya sebagai wilayah pemerintahannya (Kej.1:28). Hikayat Yahudi memberikan gambaran berlebihan tentang kebesaran Adam baik dari segi fisik maupun kuasa adikodrati. Namun ia jatuh karena menyerah kepada keinginan sesat untuk “menjadi seperti Allah” (Kej.3:5). Tidak seperti Adam, Yesus, sang manusia baru, raja Mesianik yang diurapi Allah, enggan merampas kesetaraan dengan Allah. Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 331 Sebaliknya, ia merendahkan dirinya dalam ketundukan total kepada Bapa, Yahweh, dan “taat sampai mati” (Flp.2:8). Ia memperlihatkan suatu prinsip rohani yang mendasar tentang kerajaan Allah: yaitu kebesaran rohaniah bukanlah soal merebut kemuliaan untuk diri sendiri melainkan soal melayani orang lain, sebab “yang terbesar dalam kerajaan adalah pelayan dari semua” (Mat.23:11; Luk.22:26). Oleh sebab inilah Allah meninggikan dia di atas segalanya. (2) Seluruh nas itu adalah puisi: sebuah kidung tentang Kristus/Mesias Yesus sebagai “Manusia Kedua” (1Kor.15:47). Kebanyakan orang memiliki terlalu sedikit pemahaman akan ciriciri puisi. Ini menyebabkan puisi dibaca sebagai prosa, dan bahasa puitis dibaca sebagai pernyataan-pernyataan harfiah. Banyak terjemahan Inggris membantu pembaca membedakan puisi dari prosa dengan mencetak puisi dalam bentuk bait. Mereka yang memiliki Alkitab seperti itu dengan segera akan melihat bahwa sebagian besar dari PL, terutamanya kitab Mazmur dan sebagian dari kitab para nabi, dicetak dalam bentuk bait. Filipi 2:6-11 umumnya dianggap sebagai sebuah himne yang digabungkan ke dalam surat tersebut oleh Paulus dan, dengan demikian, adalah puisi. Akan tetapi, nas itu sering ditafsirkan sebagai pernyataan-pernyataan prosa. Bayangkan apa yang terjadi bila puisi dibaca sebagai prosa di Yehezkiel 28: Hai anak manusia, ucapkanlah suatu ratapan mengenai raja Tirus dan katakanlah kepadanya: Beginilah firman Tuhan Yahweh: Gambar dari kesempurnaan engkau, penuh hikmat dan maha indah. 13 Engkau di taman Eden, yaitu taman Allah penuh segala batu permata yang berharga: yaspis merah, krisolit dan yaspis hijau, permata pirus, krisopras dan nefrit, lazurit, batu darah dan malakit. Tempat tatahannya diperbuat dari emas dan disediakan pada hari penciptaanmu. 12 332 The Only True God Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga, di gunung kudus Allah engkau berada dan berjalan-jalan di tengah batubatu yang bercahaya-cahaya. 15 Engkau tak bercela di dalam tingkah lakumu sejak hari penciptaanmu sampai terdapat kecurangan padamu. 16 Dengan dagangmu yang besar engkau penuh dengan kekerasan dan engkau berbuat dosa. Maka Kubuangkan engkau dari gunung Allah dan kerub yang berjaga membinasakan engkau dari tengah batu-batu yang bercahaya. 17 Engkau sombong karena kecantikanmu, hikmatmu kaumusnahkan demi semarakmu. Ke bumi kau Kulempar, kepada raja-raja engkau Kuserahkan menjadi tontonan bagi matanya. 18 Dengan banyaknya kesalahanmu dan kecurangan dalam dagangmu engkau melanggar kekudusan tempat kudusmu. Maka Aku menyalakan api dari tengahmu yang akan memakan habis engkau. Dan Kubiarkan engkau menjadi abu di atas bumi di hadapan semua yang melihatmu. 19 Semua di antara bangsa-bangsa yang mengenal engkau kaget melihat keadaanmu. Akhir hidupmu mendahsyatkan dan lenyap selamanya engkau. 14 Nas ini berbicara tentang raja negeri Tirus. Seorang raja Tirus lain bernama “Hiram” disebut sebelumnya dalam PL sebagai orang yang membantu menyediakan kayu aras untuk pembangunan Bait Suci pertama (2Sam.5:11; 1Raj.5:1; dst.). Usaha untuk mengartikan nas dalam kitab Yehezkiel ini sebagai pernyataan-pernyataan harfiah berarti tidak ada manusia yang cocok dengan gambaran yang diberikan, sehingga nas ini diterapkan kepada Iblis. Ada banyak masalah dengan gagasan ini, sebab tidak di mana pun dalam Alkitab Iblis secara khusus terkait dengan Tirus, apalagi sebagai rajanya. Untuk masalah interpretatif lainnya, kita dapat merujuk kepada buku tafsiran yang lebih terpelajar atau bahkan tafsiran Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 333 populer seperti The Expositor’s Commentary, yang menolak menerapkan nas itu kepada Iblis atas alasan-alasan eksegetis. Masalah yang sama muncul ketika kita mengartikan setiap pernyataan, atau bahkan setiap kata, di Filipi 2:6-11 secara harfiah. Hal ini dilakukan bahkan oleh para sarjana yang menyadari (atau seharusnya menyadari) fakta bahwa nas ini adalah puisi. Mereka bahkan tidak mengajukan pertanyaan mendasar: “Jika ini adalah pernyataan-pernyataan harfiah, lantas mengapa ada dalam bentuk puitis?” Tentu saja, ini bukan berarti pernyataan faktual atau harfiah tidak dapat dibuat dalam puisi, tetapi hanya saja ketika pernyataanpernyataan itu dievaluasi, fakta bahwa mereka ditulis sebagai puisi tidak boleh diabaikan. Tak pelak apa yang dikatakan di Yehezkiel 28:12dyb. mengandung kenyataan, tetapi dinyatakan dalam bahasa puitis yang berbunga, dan ketika bahasa berbunga dimengerti secara harfiah, maka dianggaplah rujukannya itu kepada makhluk supranatural. Prof. James D.G. Dunn, dalam The Theology of Paul the Apostle menulis, “Debat panas masih berlanjut seputar himne ini. Namun demikian, usulan bahwa himne itu telah dikarang dengan kiasan kuat kepada Adam atau bahkan dimodelkan pada template kristologi Adam masih meyakinkan.” (Paul, hlm.282.) “Tentang sifat kiasan” Dunn menulis, “Sebab kenyataannya adalah terlalu banyak dari perdebatan eksegesis seputar nas ini memperlihatkan ketidakpekaan artistik atau sastra. Sebagaimana sempat kita amati lebih dari sekali dalam kajian ini, kiasan-kiasan pada dasarnya tidak dinyatakan secara eksplisit. Para pujangga atau kritikus sastra yang harus menerangkan setiap kiasan dan gema akan melemahkan seni mereka dan para pembacanya yang lebih perseptif akan kehilangan momen pencerahan, sensasi 334 The Only True God pengenalan. Keahlian artistik mereka akan diturunkan ke tingkat salinan catatan untuk ujian sekolah menengah. “Jadi dengan Paulus khususnya, kita sudah mengemukakan sejumlah kiasan kepada berbagai tradisi Yesus. Dan kita sudah mencatat kiasan-kiasan (yang nyaris tidak eksplisit) kepada Adam di Roma 1:18-25 dan 7:7-13; tentunya, jika analisa kita yang sebelumnya tentang kristologi Paulus dapat dibenarkan, maka Adam merupakan sosok yang ada di balik banyak pengteologian Paulus. Untuk membuat pengenalan akan sebuah kiasan bergantung pada ketepatan makna istilah tertentu akan bertentangan dengan seni kiasan. Sebaliknya, kekurangakuratan makna suatu istilah atau gambaran multifaset dari sebuah metaforalah yang seringkali memampukan interkoneksi atau loncatan imaginatif, yang merupakan bahan kiasan. Pentingnya hal tersebut harus diulangi: eksegesis atas istilah-istilah tertentu yang bersikeras hanya pada satu makna referensial untuk setiap istilah dan menyangkal semua kemungkinan lain akan menjadi eksegesis yang salah karena telah menyempitkan makna (eksegesis “either-or”) dan mengesampingkan pertalian-pertalian yang mungkin ingin ditimbulkan oleh sang pengarang justru dengan memakai serangkaian istilah-istilah yang evokatif seperti itu. Nyaris tidak perlu dikatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan hermenetis seperti itu mengandung relevansi khusus bilamana nas yang bersangkutan adalah sebuah puisi atau sebuah himne. Relevansi dari pengamatan ini dalam hal ini akan menjadi jelas seraya kita melanjutkan. “Di dalam menilai Filipi 2:6-11 tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasi empat atau lima titik kontak dengan tradisi dan kristologi Adam. “2:6a—dalam rupa Allah; Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 335 (Bdk. Kej.1:27—“menurut gambar-Nya.”) “2:6bc—dicobai untuk merampas kesetaraan dengan Allah; (Bdk. Kej.3:5—“kamu akan menjadi seperti Allah.”) “2:7—mengambil rupa seorang hamba [kepada kebinasaan dan dosa]; (Bdk. Hik.2:23; Rm.8:3,18-21; 1Kor.15:42,47-49; Gal.4:3-4; Ibr.2:7a,9a,15.) “2:8— taat sampai mati; (Bdk. Kej.2:17; 3:22-24; Hik.2:24; Rm.5:12-21; 7:7-11; 1Kor.15:21-22.) “2:9-11—ditinggikan dan dimuliakan. (Bdk. Mzm.8:5b-6; 1Kor.15:27,45; Ibr.2:7b-8,9b.)” (Paul, hlm.283-4 dan catatan kaki 78-82) Mengenai Filipi 2:6a Dunn menulis, ‘Himne tersebut memakai istilah “rupa (morphē)”, bukan istilah yang dipakai di Kejadian 1:27, “gambaran (ikōn).” Akan tetapi, dalam sebuah pembahasan yang melibatkan kiasan, argumen [keberatan] itu tidak berbobot. Istilah-istilah tersebut dipakai sebagai sinonim, dan tampaknya si penulis lebih menyukai “rupa Allah” karena istilah itu bersejajaran dan berkontras dengan “rupa seorang hamba.” Justru fungsi ganda dari sebuah istilah yang demikianlah yang bisa diharapkan dalam gaya puitis.’ (The Theology of Paul the Apostle, 284-285) Perbandingan leksikal antara “rupa” dengan “gambar” Filipi 2:6: “rupa”, μορφή, morphē, “rupa, penampilan luar, bentuk”, BDAG. Selain Filipi 2:6,7, hanya di Markus 16:12 saja kata itu berarti rupa yang berbeda tetapi kelihatan. 336 The Only True God Mari kita bandingkan definisi kata morphē (“rupa”) ini dengan definisi kata eikōn (“gambar”) yang diberikan BDAG sebagai berikut: “1. kemiripan, potret, 2. gambaran hidup, 3. rupa, penampilan”. Kesamaan maknanya jelas terlihat. Ini berarti “rupa Allah” secara semantik sama dengan “gambar Allah” karena hanya jika Kristus ada dalam “rupa Allah” barulah ia bisa menjadi “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol.1:15; 2Kor.4:4). Yesus telah membuat Allah yang tidak kelihatan menjadi kelihatan. Makna “gambaran Allah” di 2Korintus 4:4 dijelaskan dua ayat kemudian, yaitu “kemuliaan Allah yang tampak pada wajah Kristus” (2Kor.4:6). Dengan demikian, “gambaran” dan “kemuliaan” lagi-lagi dikaitkan bersama-sama. Kesalahtafsiran yang diakibatkan oleh dogma trinitaris N amun doktrin kebejatan total manusia telah membutakan kita dari melihat bahwa “rupa Allah” merupakan cara puitis yang ekspresif untuk berbicara tentang manusia sebagai “gambaran dan kemuliaan Allah” (1Kor.11:7). Akibatnya, kita sebagai trinitarian berjerih untuk “membuktikan” keilahian Kristus dari “rupa Allah”. Akhirnya kita memutuskan bahwa lebih mudah untuk tidak berjerih mengejar suatu usaha yang sia-sia; dan lebih baik begitu saja menganggap “rupa Allah” sebagai “Allah”, sekalipun kita tidak dapat membuktikan persamaan itu. Toh kebanyakan orang Kristen adalah trinitarian, jadi apa perlunya bukti? Bagaimanapun juga, kita hanya “berkhotbah kepada orang-orang yang sudah percaya”. Untuk alasan ini juga, kami tidak akan mengomentari beberapa tafsiran atas ayat ini karena sulit dipercaya bila apa yang tertulis di situ dapat dianggap sebagai karya kesarjanaan berbobot, dengan demikian penilaian apa pun atas tafsiran-tafsiran tersebut akan tampak kasar. Untuk mengilustrasikan hal ini, sebuah tafsiran terpelajar (The Expositor’s Greek Testament), meskipun tidak dapat Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 337 menentukan makna morphē (rupa) selain sesuatu yang diakuinya hanya sebuah “kemungkinan”, tetap menyimpulkan tanpa bukti dalam kalimat berikutnya bahwa “Maksud dia (Paulus), tentu saja [!], dalam arti paling tegas [!] adalah bahwa Kristus yang praeksisten itu Ilahi” (tanda seru dari saya). Frasa “tentu saja”, meskipun tidak berhubungan, begitu saja digunakan untuk mendukung pendapat mereka karena kurangnya bukti. Dengan kata lain, frasa “tentu saja” digunakan untuk menggantikan bukti yang dibutuhkan! Dalam bidang studi akademis lain, cara penyajian seperti ini akan dibuang dengan cibiran. Tiga sinonim yang penting Ada tiga kata yang bersinonim dipakai di Filipi 2:6,7: (1) morphē ay.6,7; “rupa, penampilan luar, bentuk” (BDAG); satu-satunya contoh lain dalam PB ada di Markus 16:12, “Sesudah itu ia (Yesus) menampakkan diri dalam rupa yang lain kepada dua orang dari mereka, ketika keduanya dalam perjalanan ke luar kota.” (2) schēma, ay.7, “penampilan sesuatu dalam keadaan atau bentuk yang umum dikenali, penampilan luar, rupa, bentuk” (BDAG). (3) homoiōma, ay.7, “keadaan yang serupa dalam penampilan, gambaran, rupa” (BDAG), di Roma 1:23 dengan rujukan kepada berhala; dipakai 6 kali di Ulangan 4:16-18, dan dipakai dengan ikōn (gambaran) di ay.16; di 1Sam.6:5 artinya “gambar”, lih. juga 1Makabe 3:48. Dari definisi di atas, kesinoniman antara “rupa” dan “gambar” dibuat lebih jelas lagi. Ini berarti persamaan makna antara “rupa Allah” dan “gambar Allah” dapat dibuktikan secara linguistik 338 The Only True God bahkan tanpa menyebut fakta kiasan. Sebaliknya, secara linguistik istilah “rupa Allah” sama sekali tidak membuktikan keilahian Kristus. 14 Kristus, “manusia kedua”, ada dalam rupa dan gambar Allah G agasan rupa dan gambaran begitu jelas terkait bahkan dalam definisi kata morphē itu sendiri hingga nyaris tidak perlu ditunjukkan sekali lagi bila Rasul Paulus berulang-kali berbicara tentang Yesus sebagai “gambaran Allah” (2Kor.4:4; Kol.1:15). Trinitarianisme mengalami kesulitan menerima makna ini di Filipi 2:6 karena trinitarianisme tidak mempunyai banyak pegangan dalam PB sehingga mereka terpaksa berusaha membuat “rupa Allah” berarti sesuatu yang dapat digunakan untuk menyangga dogmanya. Meringkas pembahasan sebelumnya, yang dimaksud di Filipi 2:611 adalah Kristus, “manusia kedua” itu (1Kor.15:47), sama seperti Adam pertama, ada dalam “rupa” atau “gambaran” Allah, tetapi tidak seperti yang pertama, ia tidak merampas kesetaraan dengan Allah atau ingin menjadi “seperti Allah” (Kej.3:5). Sebaliknya, “ia taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8), dan justru inilah caranya ia “dijadikan sempurna” (Ibr.5:9; 7:28), menjadikan dia manusia sempurna yang diperlukan demi keselamatan umat manusia. Penanggalan dini surat Filipi sebagai faktor penting lain P enanggalan surat Filipi yang relatif dini (th. 63/64 M) perlu pertimbangan lebih lanjut. Sebagian besar jemaat pada waktu Baca lebih lanjut di Lampiran 8: “Lebih banyak bukti dari Alkitab Ibrani”. 14 Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 339 itu masih berciri Yahudi dan, dengan demikian, bersifat monoteistik keras. Paulus memastikan dirinya menjangkau “pertama-tama orang Yahudi” (Rm.1:16), sehingga baik di Filipi ataupun di kota-kota lainnya di mana ia berkotbah, orang Yahudi selalu menjadi “sasaran” penginjilannya yang utama. Gairahnya untuk kaum sebangsanya, orang Yahudi, diungkapkan dengan jelas di surat Roma pasal 9-11. Ia lebih peduli dengan keselamatan mereka daripada keselamatannya sendiri, yang diungkapkannya pada awal nas itu (khususnya Rm.9:1-3). Dengan demikian, kita dapat membayangkan dengan semangat macam apa ia berkhotbah kepada orang Yahudi ke manapun ia pergi, dan permusuhan macam apa yang ditimbulkan oleh gairah tersebut di beberapa tempat yang ia kunjungi tercatat baik dalam kitab Kisah Para Rasul maupun dalam cerita Paulus sendiri di 2Korintus 11:23-27. Intinya Paulus bukan tengah menulis terutamanya, apalagi secara eksklusif, kepada orang-orang non-Yahudi seperti yang sering diasumsikan. Surat-suratnya tentu saja ditujukan kepada kota-kota dalam dunia berbahasa Yunani, tetapi kota-kota tersebut merupakan pusat-pusat komersial di mana sejumlah besar pedagang dan ahli tukang Yahudi tinggal bersama keluarga mereka di situ. Paulus sendiri adalah seorang Yahudi yang lahir dan dibesarkan di kota berbahasa Yunani, Tarsus (“kota yang terkenal”, Kis.21:39) dan belajar membuat tenda sebagai keahlian. Dalam menulis kepada orang Yahudi, Paulus tentunya tidak akan berusaha mengasingkan dan memusuhi mereka dengan memasukkan di tengah-tengah suratnya sesuatu yang bertentangan dengan monoteisme (mis. Flp 2:6-11). Perkumpulan-perkumpulan orang beriman yang disurati Paulus sebagian besarnya bisa dipastikan berciri Yahudi pada saat ia menyurati mereka. Dan penanggalan dini dari surat-suratnya (umumnya dianggap tulisan PB terdini), merupakan bahan pertimbangan yang mempengaruhi pemahaman kita akan nas Filipi 2 yang tengah kita bahas itu. Setidaknya, “himne pra-Paulin” itu 340 The Only True God tidak bisa begitu saja diasumsikan tertulis dalam bahasa Yunani dari semulanya, sebagaimana diperkirakan oleh sebagian sarjana. Bukannya tidak beralasan untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa lagu tentang (bukan untuk) Kristus ini ditulis dalam bahasa Aram atau Ibrani dalam jemaat Yahudi awal, dan kemudian diterjemahkan oleh seseorang ke dalam bahasa Yunani. Mungkin juga Paulus sendiri yang menerjemahkannya (setahu saya tak seorang sarjana pun yang mengemukakan bahwa Paulus sendiri yang menyusunnya). Mengingat pengamatan di atas, penting untuk mengingat latar belakang Semitisnya, terutamanya yang dari PL, karena nas tersebut penuh dengan kiasan-kiasan kepada nas-nas PL sebagaimana telah ditunjukkan oleh James Dunn (dikutip di atas). Asal-usul Semitisnya, termasuk kepengarangan Paulus—kita selalu lupa bahwa ia adalah seorang Yahudi, dan ia tidak malu mengumumkan dirinya “orang Ibrani asli”, yang ia nyatakan justru dalam surat Filipi ini (3:5!)—nyaris “menjamin” monoteisme nas ini. Jika kita masih berkeras memaksakan penafsiran trinitaris yang politeistis ke dalam Filipi 2:6dyb. dengan mengklaim bahwa nas itu berbicara tentang Yesus sebagai “pribadi ilahi kedua”, maka dalam terang semua bukti yang terkumpul, itu sudah tentu adalah “memalsukan (doloō, juga memutarbalikkan, menyelewengkan) firman Allah” (2Kor.4:2) untuk disesuaikan dengan dogma kita. Kesimpulan K ita telah memeriksa kata “rupa” sebagaimana digunakan dalam PL Yunani, yang adalah Alkitab dari bagian jemaat awal yang berbahasa Yunani. Kita juga telah melihat beberapa kata Ibrani yang mendasari terjemahan Yunani untuk memperoleh gagasan yang lebih tepat akan konsep-konsepnya yang diungkapkan oleh katakata itu. Kita telah melihat kata Ibrani tmunah yang dalam PL Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 341 Yunani diterjemahkan sebagai morphē (“rupa”). Fakta bahwa kata Ibrani ini muncul dalam karya purba seperti kitab Ayub sama sekali bukan berarti kata ini sudah usang dan maknanya mungkin telah berubah. Kata yang sama ini (tmunah) dipakai jauh lebih kemudian dalam sastra rabinik dengan arti yang hampir sama. Sebuah contoh disajikan dalam karya M. Jastrow Dictionary of the Talmud, di bawah tmunah: “rupa, bentuk. Mekh, Yithro, s, 6 (ref. Kel XX,4)… Saya mungkin pikiran (dari kata pesel [patung berhala]) bahwa orang tidak boleh membuat patung ukiran untuk dirinya, tetapi boleh membuat bongkahan: oleh karena itu, teksnya berbunyi, ‘maupun bentuk apa pun’” (Aksara Ibrani dihilangkan). Keluaran 20:4 muncul dalam kutipan BDB yang memasuki pembahasan atas Ayub 4:16 di atas. Kutipan Jastrow ini berfungsi untuk menegaskan definisi tmunah dan dengan demikian morphē juga. 15 16 Ketaatan Kristus Penafsiran trinitaris untuk Filipi 2:6 adalah bahwa pada suatu ketika dalam kekekalan Kristus yang pra-eksisten menolak “mempertahankan” kesetaraan dengan Allah, melainkan mengosongkan, atau merendahkan, dirinya sehingga menjadi manusia. Pengosongan-diri Judul lengkap karya Jastrow: Dictionary of the Targumim, the Talmud Babli and Yerushalmi, and the Midrashic Literature, oleh Marcus Jastrow. 16 Kata Ibrani mana yang akan digunakan oleh terjemahan Ibrani modern untuk menerjemahkan “rupa” di Filipi 2:6? The Salkinson-Ginsberg Hebrew 15 NT menerjemahkan “dalam rupa Allah” sebagai בִ ְדמוּת ְ ֶא�הִ יםbduth elohim. Kata bduth didefinisikan sebagai “rupa, kemiripan, dari penampilan luar” dalam BDB, di mana Kejadian 1:26 (manusia dibuat dalam “rupa” Allah; “gambaran” dan “rupa” digunakan sebagai sinonim) dikutip sebagai contoh. 342 The Only True God ini merupakan inti dari ketaatan, ketaatan yang tunduk bahkan sampai mati di atas salib kayu. Nah, jika Yesus sudah sempurna dalam ketaatan di surga, ketaatan yang berakhir dan mencapai puncaknya di atas salib kayu, lalu mengapa kitab Ibrani berbicara tentang dia yang “telah belajar taat dari apa yang telah dideritanya” (Ibr.5:8), dan bahwa ia disempurnakan “melalui penderitaan” (Ibr.2:10)? Ini jelas menunjukkan bahwa kitab Ibrani memahami hal ini dengan cara yang berbeda dari trinitarian. Kitab Ibrani menunjukkan bahwa Yesus belajar ketaatan di bumi; bukan sesuatu yang sudah dimiliki Kristus yang konon pra-eksisten di surga. Kisah Injil menegaskan hal ini ketika melukiskan ketundukan Yesus kepada Allah di taman Getsemani dengan kata-kata, “Ya Bapaku, jikalau Engkau berkenan, ambillah cawan ini dari hadapanku; tetapi jangan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi” (Luk.22:42). Lagipula, pengamatan yang seksama atas seluruh nas Filipi (2:611) menunjukkan bahwa satu-satunya unsur yang mencirikan kehidupan dan kematian Yesus adalah ketaatannya. Dan sejauh pelayanan penyelamatannya, tidak ada apa-apa lagi yang dibutuhkan: “Jadi, sama seperti melalui ketidaktaatan satu orang banyak orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula melalui ketaatan satu orang banyak orang menjadi orang benar” (Rm.5:19). “Ketaatan satu orang” inilah, bukan ketaatan suatu wujud ilahi, yang mutlak penting untuk keselamatan umat manusia; dan justru ketaatan inilah menjadi unsur kunci dari kehidupan dan kematian Yesus di bumi. Ini berarti penolakannya untuk merampas kesetaraan dengan Allah (Flp.2:6) berhubungan dengan kehidupannya di bumi, dan bukan dengan pra-eksistensinya. Seharusnya juga jelas sekarang bahwa menyatakan Yesus mengklaim kesetaraan dengan Allah dalam Injil Yohanes merupakan penyalahtafsiran serius akan Injil tersebut. Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 343 Filipi 2.9-11 9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan dia dan mengaruniakan kepadanya nama di atas segala nama, 10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tu[h]an”, bagi kemuliaan Allah, Bapa! Pertama-tama, nama itu diberikan kepada Yesus oleh Allah Bapa. Charizomai artinya “memberi secara cuma-cuma sebagai anugerah” (BDAG). Jika kemuliaan ilahi itu telah menjadi milik Yesus dalam pra-eksistensinya, kemuliaan tersebut tidak bisa diberikan kepadanya sebagai suatu tindakan berdasarkan kasih karunia atau anugerah. Sebab, untuk sekadar mengembalikan apa yang sebelumnya sudah menjadi miliknya tidak dapat dilukiskan dengan tepat sebagai memberikan sesuatu kepadanya “secara cuma-cuma sebagai anugerah”. Yang kedua, oleh karena penganugerahan nama itu, setiap lutut bertekuk dan setiap lidah mengaku “Yesus adalah Tu[h]an” (ay.10,11a; bdk. Yes.45:23). Dari sini jelas bahwa gelar “Tu[h]an” (kurios) juga “diberikan secara cuma-cuma sebagai anugerah” (BDAG) kepadanya oleh “Allah Bapa” (ay.11). Di sini lagi-lagi bukan miliknya berdasarkan hak. Ia disebut “Tu[h]an Yesus Kristus” tepatnya karena gelar itu diberikan kepadanya oleh Allah. Itu sebabnya Petrus mewartakan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus.” (Kis.2:36). Perhatikan lagi bahwa Allah yang telah menjadikan dia Tu[h]an. Kedudukan sebagai Tu[h]an dianugerahkan kepadanya oleh Allah, dan demikian juga dengan kedudukan sebagai Mesias (Kristus). Hal yang luar biasa tentang Yesus adalah segala sesuatu yang ia miliki diberikan kepadanya oleh sang Bapa, termasuk nama “Yesus” (Mat.1:21). Yesus bahkan rela berbuat lebih jauh dengan 344 The Only True God mengatakan “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri” (Yoh.5:19,30). Justru disinilah letaknya rahasia kebesaran Yesus—yang bertolak belakang dengan merampas kesetaraan dengan Allah. Dan untuk alasan inilah tepatnya Yahweh, sang Bapa, menganugerahkan hormat yang setinggi-tingginya kepadanya. Yang ketiga, peninggian ini adalah “bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp.2:11). Apa artinya ini kecuali bahwa tindakan yang mengherankan ini menyatakan kebaikan dan kemurahan Allah sehingga menyebabkan setiap orang memuji dan memuliakan Dia? Sebab “Allah Bapa kita”, dengan memberikan “nama itu” kepada Yesus, telah memberikan kepadanya kedudukan terhormat yang praktis menempatkan dia sederajat dengan diri-Nya. Dari segi eksegesis Alkitabiah, kajian kita atas nas ini masih belum lengkap sampai kita memeriksa rujukan yang gamblang kepada Yesaya 45:23 dalam nas ini. “Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain. (juga ay.21) Demi Aku sendiri Aku telah bersumpah, dari mulut-Ku telah keluar kebenaran, suatu firman yang tidak dapat ditarik kembali: dan semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa’” (Yes.45:22,23). Perhatikan bahwa nas ini mengandung pernyataan monoteisme yang tegas, “Akulah (Yahweh) Allah dan tidak ada yang lain” (ay.21,22). Mengingat monoteisme Paulus yang eksplisit (1Kor.8:6, 1Tim.1:17, 2:5, dst.), bagaimanakah seharusnya kita memahami rujukan kepada Yesaya 45:23 dalam Filipi 2:10? Konsisten dengan persamaan “rupa Allah” dengan “gambaran Allah”, dan pernyataan Paulus yang berulang-kali tentang Yesus sebagai gambaran Allah (2Kor.4:4; Kol.1:15), apa lagi arti “setiap lutut” bertekuk kepada gambaran Allah kalau bukan memuja Yahweh dalam gambaran- Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 345 Nya? Dan mengakui sebagai Tu[h]an dia yang telah dipilih Bapa sebagai Tu[h]an, berarti mengakui kedaulatan Bapa atas pilihan keputusan-Nya. Semuanya ini jelas-jelas “bagi kemuliaan Allah, Bapa”. Sebuah gambaran adalah cerminan dari apa yang diwakili oleh gambaran itu. Jadi hormat yang diberikan kepada gambaran adalah hormat yang diberikan kepada apa yang diwakili oleh gambaran tersebut. Inilah tujuan yang dimaksudkan untuk Adam, tetapi Adam gagal oleh karena ketidaktaatan. Akan tetapi, justru inilah yang dicapai Yesus melalui ketaatannya yang mutlak, sehingga dia menjadi gambaran Allah yang sempurna, memancarkan kemuliaan Allah serta menarik semua orang kepada-Nya. Dengan cara ini bagian pertama dari kutipan Yesaya telah digenapi di dalam Kristus Yesus, “Berpalinglah kepada-Ku (Yahweh) dan biarkanlah dirimu diselamatkan, hai ujung-ujung bumi!” (Yes.45:22). “Kristus juruselamat kita” (Tit.1:4; 3.6 dst.) adalah cerminan yang sama persis dari “Allah Juruselamat kita” (Tit.1:3; 2:10; 3:4 dst.). Dalam rencana keselamatan Allah sebagaimana diwahyukan dalam PB, manusia ditarik kepada “satu-satunya Allah yang benar” (Yoh.17:3) melalui Kristus Yesus Tu[h]an. Yahweh Allah dipuja dan dimuliakan melalui gambaran-Nya; sebab prinsip dasariah dalam Kitab Suci adalah segala sesuatu datang kepada kita dari Allah melalui Kristus. Allah adalah sumber utama segalanya; dan Ia telah menunjuk Kristus sebagai salurannya. Karena itu, Allah adalah sumber keselamatan, dengan demikian, Ia adalah “Allah juruselamat kita”; Kristus adalah orang yang melaluinya keselamatan Allah datang kepada kita, karena itu ia adalah “Kristus juruselamat kita”. Paulus mengatakannya seperti ini: “bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tu[h]an saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui dia segala sesuatu telah dijadikan, dan yang karena dia kita hidup.” (1Kor.8:6). 346 The Only True God Akhirnya, sebuah prinsip penting ditetapkan di sini: Yesus hanya ditinggikan dengan benar jika peninggiannya membawa kemuliaan kepada Bapa; ini merupakan tujuan seluruh pelayanannya yang juga tujuan pengajaran PB. Namun meninggikan Yesus dengan mengorbankan kemuliaan Bapa, khususnya meninggikan Yesus alih-alih meninggikan Bapa—menjadikan Yesus sebagai pusat, sebagai Allah Kekristenan—sudah tentu palsu dan karena itu “sesat” sejauh berkenaan dengan Kitab Suci secara keseluruhan. Prinsip Alkitabiah ini— bahwa segala sesuatu adalah “bagi kemuliaan Allah, Bapa”— merupakan hal yang tidak dapat diperdebatkan. Sebagai gambaran Allah, Yesus adalah perwujudan kemuliaan Allah sebagaimana dinyatakan dengan hebatnya di Ibrani 1:3: “Dialah cahaya kemuliaan Allah dan gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya.” Oleh karena itu, adalah tidak mungkin untuk memuliakan Yesus Alkitabiah tanpa memuliakan Allah Bapa yang kemuliaan-Nya diwakili oleh Yesus—kecuali Yesus lain dan Injil lain diwartakan bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam Alkitab. Jika kita ingin menghindar dari ajaran palsu maka kita perlu menuruti prinsip yang dinyatakan dengan jelas di sini: semua ajaran yang benar adalah “bagi kemuliaan Allah, Bapa”, yang tidak lain adalah Yahweh Allah, TUHAN Allah. 17 Bagaimana caranya trinitarianisme memuliakan Allah ketika mereka berkeras bahwa Yesus sebagai sang Anak setara dalam segala hal dengan sang Bapa sepanjang kekekalan, dan sekadar menyerahkan kemuliaannya untuk sementara waktu pada saat inkarnasi? Sebab, jika demikian halnya, sang Bapa cuma mengembalikan kepada sang Anak apa yang memang sudah menjadi miliknya sejak kekekalan. Bagaimana hal ini dapat memuliakan Bapa? Namun, bagaimanapun juga, trinitarian tidak terlalu peduli dengan kemuliaan Bapa karena ia sudah menggantikan Bapa dengan Anak sebagai pusat utama dari agama Kristen, yang mereka wartakan sebagai Kristosentris. 17 Bab 3 — Menilai Kembali Pemahaman Kristen 347 1Korintus 15:45-47, 49, “rupa dari yang surgawi” Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup” [Kej 2:7], tetapi Adam yang terakhir menjadi roh yang menghidupkan. 46 Tetapi yang mula-mula datang bukanlah yang rohaniah, tetapi yang alamiah; kemudian barulah datang yang rohaniah. 47 Manusia pertama berasal dari debu tanah dan bersifat alamiah, manusia kedua berasal dari surga. 45 Frasa “manusia kedua berasal dari surga” telah menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Yesus, “manusia kedua” itu, di sini disebut pra-eksisten. Namun Prof. Dunn telah menunjukkan bahwa makna tersebut diingkari oleh pernyataan di ayat sebelumnya bahwa manusia alamiah “adalah yang pertama”, yaitu ia ada sebelum manusia rohaniah (James Dunn, The Theology of Paul the Apostle, hlm.289). Bahkan terlepas dari pengamatan yang benar ini, “dari surga (ex ouranou)” tidak memberikan bukti pra-eksistensi sebagaimana terlihat dari cara istilah itu dipakai dalam PB. Misalnya, Matius 21:25, “Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga (ex ouranou) atau dari manusia?” (juga Mrk.11:30; Luk.20:4) Jelas, pertanyaannya di sini adalah apakah baptisan Yohanes berasal dari Allah atau manusia. Makna ini sesuai dengan makna “dari surga” di Yohanes 6:31, “Nenek moyang kami telah makan manna di padang gurun, seperti ada tertulis: Mereka diberi-Nya makan roti dari surga.” Di sini tidak ada pertanda bahwa manna itu sesuatu yang pra-eksisten melainkan yang diturunkan dari Allah. Demikian pula, Yesus adalah “roti yang benar dari surga” (ay.32,33, dll). “Dari surga” juga berarti “rohaniah” berbeda dari “duniawi” atau “alamiah”. Oleh karena itu, 2Korintus 5:2 (ILT), “Sebab juga, di sini kita mengeluh ketika merindukan untuk mengenakan tempat kediaman kita yang dari surga”, yaitu tubuh rohaniah kita, tubuh kebangkitan. Jadi “dari surga” di sini berarti “rohaniah”. Makna ini 348 The Only True God juga sesuai sekali dengan 1Korintus 15:47: Manusia pertama bersifat alamiah, manusia kedua bersifat rohaniah. Ini justru bergema dengan ay.46 and 48. Hal yang berkaitan dengan kajian kita disimpulkan di ay.49, “Dan sebagaimana kita telah mengenakan gambar dari yang duniawi, kita juga akan mengenakan gambar dari yang surgawi” (ILT); karena kita akan menjadi seperti dia secara sempurna, seperti dinyatakan di 1Yohanes 3:2, “kita akan menjadi sama seperti dia, sebab kita akan melihat dia dalam keadaannya yang sebenarnya.” Namun kita telah mengambil langkah pertama ke arah ini: “kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Penciptanya” (Kol.3:9,10). Jadi proses menjadi serupa dengan dia merupakan proses yang telah dimulai melalui pembaharuan budi (Rm.12:2). Jika kita berada di dalam Kristus, kita harus “mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” (Ef.4:24). Kita adalah “manusia baru” yang disebut di Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus”. Jadi saat ini kita sudah mulai “mengenakan gambar dari yang surgawi”; dan, sebagaimana dikatakan sang Rasul, “aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp.1:6). Bab 4 Penuhanan Trinitaris akan Kristus P andangan yang rendah terhadap manusia dalam pemikiran umat Kristen non-Yahudi memperkuatkan tekad untuk mengangkat Yesus ke tingkat Allah, bahkan sampai pada kesetaraan dengan Yahweh! Yesus, objek iman Kristen itu, tidak mungkin hanya seorang manusia biasa atau bahkan manusia luar biasa sekalipun, ia harus lebih daripada manusia, ia harus menjadi Allah! Jadi gereja menetapkan hal tersebut melalui sebuah dekret yang dibuat di Nikea; entah Kitab Suci memberikan pembenaran atas hal ini atau tidak, jelas-jelas adalah soal sekunder bagi mereka. Tidak ada Kitab Suci yang dikutip untuk mendukung dekret mereka di Nikea. Mereka menganggap diri mereka memiliki hak untuk menentukan keyakinan gereja, tanpa mempedulikan Kitab Suci. 350 The Only True God Namun demikian, beberapa upaya telah dibuat untuk membacakan keyakinan trinitaris ke dalam beberapa nas PB melalui penafsiran dan bahkan, di sejumlah tempat, jelas-jelas dengan mengutak-atik teks PB. Salah satu nas kunci yang digunakan oleh trinitarianisme, Filipi 2:6-11, telah kita selidiki dengan cukup rinci. Kita telah mengkajinya dalam konteks yang tepat tentang Kristus sebagai gambaran Allah. Sekarang kita akan memeriksa beberapa teks PB penting lain yang digunakan sebagai teks bukti oleh trinitarian. Gagasan Kristus sebagai gambaran Allah itu begitu pokok dalam pemahaman PB tentang Kristus sehingga lagi-lagi menjadi kunci untuk nas penting lain yang digunakan dalam trinitarianisme, yaitu, Kolose 1, di mana Kristus sebagai gambaran Allah muncul lagi di Kolose 1:15. Untuk melihat konteksnya, kami mengutip nas itu: Kolose 1 12 dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam terang. 13 Ia (Bapa, ay.12) telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih; 14 di dalam dia (Anak) kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa. 15 Dialah (Anak) gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, 16 karena di dalam dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di surga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan [melalui] dia dan untuk dia. 17 Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam dia. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 351 Dialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu. 19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam dia, 20 dan melalui dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus. 18 Masalah besar dalam memahami teks ini adalah kenyataan bahwa setelah “Bapa” disebutkan di ay.12 dan “Anak” di ay.13, kemudian disusul oleh banyak kata ganti “dia” dan “-nya” yang tidak menetapkan apakah referensi itu kepada Bapa atau Kristus. Hal tersebut harus ditentukan dari konteks, yang dalam banyak kasus menjelaskan siapa yang tengah dirujuk di situ—yaitu jika pembacanya seorang monoteis yang dibesarkan dalam Kitab Suci Ibrani. Namun berbeda situasinya dengan seorang yang dibesarkan dalam trinitarianisme. Inilah yang terjadi dengan ay.16 di mana “di dalam (atau, oleh) dia” oleh trinitarian dianggap merujuk kepada Kristus sebagai pencipta segala sesuatu. Perhatikan terjemahan trinitaris berikut: sebab oleh dia segala sesuatu telah diciptakan, yang ada di dalam surga dan yang ada di atas bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik takhta-takhta atau para pemegang kekuasaan, atau penguasa-penguasa atau otoritas-otoritas; segala sesuatu diciptakan melalui dia dan bagi dia. (ILT) 16 Namun, itu berarti mengabaikan fakta-fakta berikut: (1) Penafsiran ini berlawanan dengan PL di mana, Allah, sang Bapa, tak pelak adalah sang pencipta; 352 The Only True God (2) Ayat sebelumnya (ay.15) berbicara tentang Kristus sebagai “gambar Allah”, dan tidak di manapun dalam Kitab Suci dapat ditunjukkan bila gambaran Allah menciptakan segala sesuatu; (3) Hal yang sama juga benar dengan “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan”: tidak di manapun dinyatakan bahwa yang sulung membawa alam semesta ke dalam keberadaan; (4) Rasul Paulus memakai istilah atau ekspresi yang kurang lebih sama di Roma 11:36 dan sama sekali tidak disangsikan bila ia sedang merujuk kepada Yahweh Allah sebagaimana terlihat jelas dari ayat-ayat sebelumnya (Rm.11:34dyb.). Roma 11:36: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” (5) Demikian pula Ibrani 2:10, “Sebab memang sepantasnya Allah— yang bagi-Nya dan oleh-Nya segala sesuatu dijadikan, yaitu Allah yang membawa banyak orang kepada kemuliaan—juga menyempurnakan Perintis yang memimpin mereka kepada keselamatan (Kristus) melalui penderitaan.” (6) Bahwa Yahweh Allah, sang Bapa, adalah pencipta segala sesuatu bukan saja diajarkan dalam PL tetapi juga dalam PB: Wahyu 10:6 “dan ia bersumpah demi Dia yang hidup selama-lamanya, yang telah menciptakan langit dan segala isinya, dan bumi dan segala isinya, dan laut dan segala isinya, katanya, ‘Tidak akan ada penundaan lagi!’” Yahweh Allah adalah tokoh sentral dalam Kitab Wahyu; Yesus secara konsisten disebut sebagai “Anak Domba”. (7) Usaha menafsirkan Kolose 1:16 sebagai “oleh dia” sehubungan dengan Yohanes 1:3 didasari oleh asumsi trinitaris bahwa Firman itu adalah individu yang terpisah dari Yahweh, serta asumsi selanjutnya bahwa individu ini adalah Kristus yang pra-eksisten. Itu berarti membuat banyak asumsi yang tidak berdasar. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 353 Akan tetapi, jika kita membuang penafsiran trinitaris bahwa “oleh Kristus” segala sesuatu telah diciptakan, dan memahami teks Yunaninya sebagai “di dalam dia” segala sesuatu telah diciptakan, maka gambarannya berubah sama sekali, dan keberatan-keberatan di atas tidak berlaku untuk pemahaman itu. Ini adalah karena “di dalam dia” merupakan konsep yang sentral dalam ajaran Paulus tentang keselamatan, dan juga kepada efek kosmis (“segala sesuatu”) dari keselamatan Allah “di dalam Kristus”. Pertimbangkanlah, misalnya, ayat berikut ini: Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Apakah maknanya “yang dipersiapkan Allah sebelumnya”? Ini harus dipahami sehubungan dengan ayat-ayat pembuka di surat Efesus, khususnya 1:4: “Sebab di dalam dia (Kristus) Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (-Allah).” Arti ayat ini akan dipertimbangkan lebih penuh berikut ini. Lingkup kosmis dari keselamatan di dalam Kristus dilukiskan dengan kuat di Kolose 1:19,20 : “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam dia (Kristus), dan melalui dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya (Allah), baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian dengan darah salib Kristus.” (Lih. juga Ef 1:10). Di sini kita melihat lagi istilah “melalui dia”, sebagaimana di ay.16, di dalam konteks keselamatan. Penebusan dan pendamaian dengan Allah merupakan gagasan utama di Kolose 1:13-22: “13 Ia (sang Bapa, ay.12) telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang terkasih; 14 di dalam Dia (sang Anak) kita memiliki 354 The Only True God penebusan kita, yaitu pengampunan dosa... 20 dan melalui dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya... 22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematiannya.” Melihat sepintas kepada tafsiran-tafsiran S etelah mengecek buku-buku tafsiran yang tersedia, saya melihat bahwa para sarjana yang utama cukup terpelajar dan bijak untuk menghindar dari usaha membuktikan keilahian Kristus melalui nas ini, walaupun banyak yang berusaha membuktikan praeksistensinya. A.S. Peake, misalnya, dalam The Expositor’s Greek Testament (yang berorientasi trinitaris) membuat pengamatan penting tentang ay.16: “ἐν αὐτῷ [en autō]: ini bukan berarti ‘oleh dia’”. Akan tetapi, banyak terjemahan Inggris berkeras menaruh “oleh dia” di dalam teks sementara membuang “di dalam dia” ke catatan pinggir. Mengenai “di dalam dia”, setelah mempertimbangkan gagasangagasan seperti “sang Anak sejak kekekalan adalah prototipe alam semesta” yang ditolak oleh Peake karena secara hermenetis tidak pantas, ia menyebutkan bahwa beberapa ahli tafsir utama memahami “di dalam dia” “berarti tindakan penciptaan bergantung secara kausatif pada sang Anak. Ini mungkin merupakan penjelasan yang paling aman”. Sedangkan untuk arti pernyataan “tindakan penciptaan bergantung secara kausatif pada sang Anak”, hal itu dijelaskan dengan lebih lengkap berikut ini: “Anak adalah Agen dalam penciptaan (bdk. 1Kor.8:6); ini sudah pasti menyatakan pra-eksistensi Anak dan memangku supremasi Bapa.” Di sini Peake memberi dukungan kepada pra-eksistensi Anak sementara mengakui supremasi Bapa. Namun pra-eksistensi tidak sama dengan keilahian; malaikat juga dianggap makhluk pra-eksisten, yaitu mereka sudah ada sebelum Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 355 penciptaan di Kejadian 1. Lagipula, supremasi Bapa tidak sesuai dengan dogma trinitaris tentang kesetaraan Anak dalam setiap aspek dengan Bapa. Lebih lanjut, supremasi Bapa, tentu saja, harus berarti subordinasi Anak kepada Bapa. Mengapa Peake mengakui semua ini? Bukankah karena itu sajalah yang ia rasa dapat disimpulkan dari nas itu “dengan aman” tanpa terjatuh ke dalam perangkap kekeliruan atau penyalahtafsiran? Akan tetapi, Peake juga mengakui bahwa, Penafsiran ay.15-17 yang diberikan Oltramare tidak boleh dilewatkan. Ia [Oltramare] menghilangkan gagasan praeksistensi dari nas itu, dan mengatakan bahwa rujukan itu adalah kepada Kristus sebagai Penebus dari permulaan hingga akhir. Penciptaan dan penebusan, tidak dapat dipertimbangkan secara terpisah di Kolose 1:12-22, seperti yang sering dilakukan. Penebusan, di pihak Allah, bukanlah sesuatu yang dipikirkan kemudian seolaholah dosa manusia di Taman itu mengejutkan Dia sehingga Ia harus terburu-buru menyusun sebuah rencana penebusan. Rencana Allah untuk keselamatan manusia sudah ditetapkan “sebelum dunia dijadikan”. Hal ini dinyatakan dengan jelas sekali di Efesus 1:4, “Sebab di dalam dia (Kristus) Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan”. Ini berarti penciptaan dilakukan melalui keenam hari di Kejadian 1 dengan penebusan dalam pandangan sepanjang waktu. Ini berarti “Anak Domba yang disembelih sejak permulaan dunia ini” (Why.13:8 ILT) adalah tokoh utama dalam rencana Allah bagi penciptaan sama seperti ia adalah tokoh utama dalam rencana keselamatan Allah. Jika, dalam rencana Allah yang kekal, tidak akan ada penebusan tanpa Kristus, maka tanpa dia tidak akan ada penciptaan juga. “Di dalam dia (Kristus)” (Kol.1:16), sehubungan dengan dia, segala sesuatu telah diciptakan. Ini berarti semua 356 The Only True God pernyataan yang ada dalam nas di surat Kolose ini harus dipahami sehubungan dengan konsep penebusan. “Sejak permulaan dunia ini” Frasa “sejak permulaan dunia ini” muncul 7 kali dalam PB, dan “sebelum permulaan dunia ini” 3 kali. Yang menjadi perhatian kita di sini adalah frasa “Anak Domba yang disembelih sejak permulaan dunia ini” (Why.13:8 ILT): apakah ini harus diartikan bahwa Kristus benar-benar disalibkan di surga sebelum penciptaan? Saya rasa tak seorangpun yang cukup bodoh untuk mengira itulah caranya frasa itu harus dipahami. 18 Lantas, apa artinya frasa itu? Tentu saja, satu-satunya kemungkinan adalah bahwa Anak Domba itu telah disembelih dalam rencana abadi Allah sebelum Ia menjadikan alam semesta. Namun jika kita bersikeras untuk memahaminya secara harfiah, maka dapat ditunjukkan dari frasa itu sendiri bahwa memang dikatakan bila Anak Domba itu disembelih sebelum dunia diciptakan! Jika satu-satunya cara yang tepat untuk memahami pernyataan penebusan yang begitu penting ini bukanlah secara harfiah tetapi dalam terang rencana kosmik penebusan Allah, bukankah hal yang sama berlaku juga di Kolose 1:15-17, yang juga berbicara tentang penebusan? TB dan beberapa terjemahan Inggris lain menerjemahkan Wahyu 13:8 seperti ini, “yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih.” Ini berarti nama-nama orang beriman telah tertulis dalam kitab kehidupan sebelum mereka ada di dunia ini. Ini berarti ayat ini mengatakan sesuatu yang mirip dengan Efesus 1:4. Akan tetapi, bagaimana versi-versi Alkitab itu menghasilkan terjemahan ini? Caranya adalah dengan menyisipkan sebuah padanan tanda koma ke dalam teks Yunani sesudah kata “disembelih”; pembacaan seperti ini tampaknya serampangan. 18 Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 357 Sebuah peristiwa historis yang menentukan—penyaliban Kristus (Kol.1:20, 22)—disebut seolah-olah sudah terjadi dalam keabadian. Apakah ini satu-satunya pernyataan semacam itu dalam PB? Tidak, seperti yang telah kita lihat, “Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan” (Ef.1:4) jauh sebelum kita ada secara jasmaniah sebagai manusia, sebelum kita mendengar pewartaan Injil, dan sebelum kita berpaling dari dosa dan membuat komitmen iman! Jemaat, yang kepalanya adalah Kristus, sudah ada dalam rencana kekal Allah jauh sebelum jemaat itu menjadi nyata, dan dengan demikian bisa disebut telah “dipilih” sekalipun masih belum ada di bumi. 19 Pengamatan lanjutan atas Kolose 1:12-20 Jika kita mengamati Kolose 1:12-20 dengan cermat maka kita akan melihat sesuatu yang signifikan: Semua kata kerja aktif digunakan sehubungan dengan sang Bapa (Yahweh) sementara peran sang Anak secara konsisten bersifat pasif, mis. “di dalam dia” yang diulangi beberapa kali. (Bahasa Yunani memperlihatkan hal ini secara lebih tajam daripada bahasa Inggris.) Peran aktif Bapa dalam karya penebusan, dan peran Anak yang relatif pasif dibandingkan Bapa, justru adalah hal yang diajarkan oleh Yesus sendiri dalam Injil Yohanes. Kenyataan penting ini menonjol dengan begitu jelas dalam nas Kolose ini sehingga tidak perlu dijabarkan secara rinci di sini. Hal yang timbul paling jelas dari kenyataan ini adalah bahwa Allah Bapa (Yahweh) merupakan Penebus/Juruselamat kita di dalam dan melalui Kristus. Dialah yang ada “di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya” (2Kor.5:19 dan Kol.1:22). Kristus Dapatkah kita membangun pra-eksistensi Anak Domba berdasarkan Wahyu 13:8? Jika ya, maka kita pun dapat menetapkan pra-eksistensi kita sendiri berdasarkan Efesus 1:4 (dan Wahyu 13:8, jika kita menerima terjemahan TB). 19 358 The Only True God juga adalah Juruselamat kita karena seluruh karya penyelamatan Allah terjadi di dalam dia dan melalui dia. Untuk berbicara tentang Kristus seolah-olah ia adalah Juruselamat kita yang terutama (kalau bukan satu-satunya) berarti kita telah gagal total dalam memahami pewahyuan PB, termasuk ajaran Yesus sendiri. Itulah sebabnya mengapa Rasul Paulus memulai nas surat Kolose ini dengan, “mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa…” (ay.12)—malah dengan tidak menyebut sang Anak sebagai sasaran dari ucapan syukur itu (yang mengejutkan kita). Ini adalah karena, sebagaimana diuraikan lebih lanjut oleh nas itu, yang menjadi penggerak utama karya keselamatan kita adalah Bapa, yang bekerja “di dalam Kristus”—salah satu istilah favorit Paulus. TUHAN (Yahweh) sebagai Penebus atau Penyelamat umat-Nya sering muncul dalam Perjanjian Lama. Yahweh sebagai Penebus (Ibr.: Goel) Israel disebut 16 kali dalam kitab Yesaya, dan merupakan konsep utama dalam kitab itu. Satu ayat paralel dengan Kolose 1, yang juga menggabungkan penebusan dengan penciptaan, ialah Yesaya 44:24, “Beginilah firman Yahweh, Penebusmu, yang membentuk engkau sejak dari kandungan; ‘Akulah Yahweh, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi siapakah yang mendampingi Aku?’”. Mari kita perhatikan juga dengan saksama kalimat terakhir yang memberitakan bahwa di dalam karya penciptaan itu Yahweh Sendiri yang membentangkan langit, dan menghamparkan bumi “seorang diri”. Pernyataan tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Yahweh tidak mempunyai “sekutu” ketika Ia menciptakan langit dan bumi. Akan tetapi, dalam eksegesis kita atas beberapa ayat Perjanjian Baru kita tidak ragu-ragu mengabaikan pernyataan ini demi mencari mendukung untuk penafsiran trinitaris. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 359 Hikmat dan Logos N amun ada yang akan bertanya: Bagaimana dengan Amsal 8 yang mengatakan bahwa hikmat bekerja sama dengan Yahweh dalam karya penciptaan? Apakah Amsal bertentangan dengan Yesaya, sehingga Kitab Suci itu bertentangan dengan dirinya sendiri? Di sini kita melihat bahayanya mengabaikan kenyataan bahwa Amsal berbicara tentang hikmat secara metaforis sebagai seseorang (jenis kelamin perempuan). Amsal, sebuah kitab yang berbicara tentang pentingnya hikmat, menekankan pentingnya hikmat dengan menunjukkan bahwa Allah Sendiri memakai hikmat ketika Ia menciptakan alam semesta. Namun trinitarian begitu bergairah ingin “membuktikan” doktrin mereka dari Kitab Suci sehingga mereka tidak ragu mengabaikan kenyataan jelas bahwa ini adalah hipostatisasi hikmat secara metaforis, dan juga fakta bahwa hikmat itu adalah kata yang berkelamin feminin, walaupun tidak tampak jelas dari kata Inggris “wisdom”, tetapi masih terlihat dari pronomina femininnya (“she”). Begitu kita memahami bahwa apa yang ada di Amsal adalah metafora, maka tidak ada lagi kontradiksi dengan Yesaya. Kita tidak bisa memilih kedua-duanya: Kita harus mengakui hikmat dalam kitab Amsal itu sebagai apa adanya, yaitu sebuah “personifikasi”, atau, memungkiri kebenaran pernyataan dalam kitab Yesaya bahwa Yahweh menciptakan langit dan bumi tanpa bantuan siapapun. Pernyataan yang saling bertentangan tidak mungkin keduanya benar. Namun jika hikmat bukan suatu pribadi, maka tidak ada masalah apa pun untuk mengatakan bahwa Yahweh memakai hikmat untuk menghasilkan karya ciptaan-Nya, tidak berbeda dengan mengatakan bila seseorang yang membangun rumah memakai pengetahuannya untuk membangun rumah itu. Jika orang itu berkata ia memakai pengetahuannya untuk memandu dia langkah demi langkah di 360 The Only True God dalam proses pembangunan itu, tak seorangpun yang berakal sehat akan beranggapan bila ia tengah berbicara secara harfiah tentang seseorang yang bernama Pengetahuan yang memandu dia di dalam pekerjaannya, sekalipun dari cara penyampaiannya memang kedengaran seolah-olah pengetahuan itu dipersonifikasikan. Metafora semacam ini sering dipakai dalam pembicaraan seharihari. Jika seseorang berkata, “Sakit di punggungku ini sedang membunuh aku”, tak seorangpun akan beranggapan kalau yang dimaksud adalah sesuatu atau seseorang yang disebut Sakit yang tinggal di punggungnya dan tengah mencoba membunuhnya! Akan tetapi, tampaknya di dalam usaha untuk mendukung sebuah dogma tertentu nyaris segala macam penafsiran dapat dibenarkan—sekalipun dengan berkeras bahwa yang metaforis harus diartikan secara harfiah, seperti halnya Hikmat dalam kitab Amsal yang ditafsirkan sebagai nama lain untuk “pribadi” Firman/Logos. Dulu saya tidak pernah mempertimbangkan bagaimana penafsiran kata Firman yang dipersonifikasikan di Yohanes 1 dapat didamaikan dengan monoteisme PL, atau dengan pernyataan di Yesaya 44:24 bahwa Yahweh menciptakan segala sesuatu “seorang diri”, dan “sendiri”—perhatikan penegasan ganda ini. Sebab tak seorangpun yang telah mempelajari PL secara serius dapat mengklaim kalau PL mengajarkan bahwa Yahweh adalah suatu “hakikat” (memakai bahasa trinitaris) multipersonal ilahi, apalagi membuktikan klaim seperti itu. Jika demikian halnya, seharusnya jelas bahwa wahyu PL tentang Yahweh tidak mungkin dapat didamaikan dengan pandangan trinitaris bahwa Firman adalah pribadi ilahi yang setara dengan Bapa (Yahweh) di dalam “hakikat” ilahi yang disebut “Allah”—seolah-olah ada sesuatu yang disebut “Allah” selain tetapi termasuk Yahweh! Tampaknya trinitarianisme telah mengajarkan kita seni memelintir mental, sampai-sampai kita mengira (sebagai ekseget) telah berhasil memelintir kontradiksi menjadi paradoks, dan kemu- Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 361 dian merasa puas bahwa “paradoks” ini mewakili kebenaran. Bahkan lebih sederhana lagi, kita mengabaikan saja kontradiksi yang ada, biasanya dengan mengabaikan konteks langsungnya dan/atau konteks umumnya. Namun harus dinyatakan dengan jelas bahwa semuanya ini tidak dilakukan dengan sengaja untuk menyesatkan, tetapi hanya karena kita sendiri telah disesatkan, dan oleh karena itu kita berusaha sekuat tenaga untuk melihat trinitarianisme di dalam teks-teks di depan kita, bahkan ketika terkadang sulit mendamaikan apa yang kita baca dalam teks-teks lain yang tampaknya mengatakan sesuatu yang berbeda. Betapa sulitnya untuk melepaskan diri dari tentakel kesalahan! Kalau bukan karena anugerah Allah hal itu pasti mustahil. Keselamatan adalah pesan utama dari Kolose 1:12-20 Di ay.13 kata kerja rhuomai (ῥύομαι) dalam frasa “Ia (sang Bapa, ay.12) telah melepaskan (ῥύομαι) kita” berarti “melepaskan dari bahaya, menyelamatkan, menolong, melepaskan, melindungi, seseorang” (BDAG). Dalam PL kata ini paling sering muncul di kitab Mazmur (62 kali dalam LXX) dan kitab Yesaya (26 kali dalam LXX) hampir selalu tentang Yahweh sebagai Penyelamat. Pemakaiannya yang paling dikenal umum adalah di Matius 6:13 di dalam permohonan kepada Bapa, “lepaskanlah kami dari yang jahat”, yang kita kenal baik dari Doa Bapa Kami. Karena itu, baik di Kolose 1, PL, maupun Doa Bapa Kami, Bapa (Yahweh) adalah sang Juruselamat/Penebus bagi yang berseru kepada-Nya. Menariknya, di Kolose 1:14 terdapat kaitan lain dengan Doa Bapa Kami, yaitu “pengampunan dosa” yang bersesuaian dengan doa, “ampunilah kami dari kesalahan kami” (Mat.6:12; Luk.11:4). “Pengampunan dosa” di Kolose dijabarkan berdasarkan makna kata “Penebusan” (apolutrōsis, ἀπολύτρωσις), yang didefinisikan sebagai 362 The Only True God “pembebasan dari keadaan sebagai tawanan, pembebasan, penebusan, pelepasan” (BDAG). Allah telah membebaskan kita dari hutang dan ikatan dosa melalui darah Kristus. Bagaimana Allah melakukan hal ini “dalam Kristus” dijabarkan di ay.20. Perhatikan bagaimana semua kata dan konsep kunci PB yang berhubungan dengan keselamatan muncul bersama-sama dalam nas ini: melepaskan, penebusan, pengampunan (ay.13,14), memperdamaikan (ay.20,22), mengadakan pendamaian melalui darahnya yang tercurah di atas salib (ay.20), dan “menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (ay.22). Sekarang mari kita perhatikan pula bahwa ada lima ayat (ay.1519), yang berhubungan dengan penciptaan, yang “tersisip” di antara ayat-ayat yang berhubungan dengan keselamatan. Dengan kata lain, bagian teks itu dimulai dengan karya keselamatan Allah, berlanjut dengan karya penciptaannya, dan diteruskan dengan karya keselamatan-Nya. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa semuanya itu terhubung secara tak terpisahkan; yaitu semuanya itu merupakan bagian dari “paket” yang satu itu. Dalam rencana dan tujuan Allah yang kekal, Kristus adalah tokoh utama kepada kedua bagian yang tak terpisahkan itu. Namun kita tidak boleh pernah mengabaikan kenyataan bahwa Allah (Yahweh) adalah Penggerak Utama dalam kedua bagian itu, yang mengerjakan tujuan dan maksud-Nya di dalam dan melalui Kristus: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam dia” (ay.19). Hal ini ditegaskan kembali di 2:9. Kegagalan dalam melihat dengan jelas kenyataan bahwa, baik di Kolose 1 maupun PB secara keseluruhan, Allah adalah Penggerak Utama akan menyebabkan kita terjatuh ke dalam pandangan palsu bahwa PB bersifat “Kristosentris”, dan selanjutnya ke dalam trinitarianisme. Sebagai seorang trinitarian saya dulu selalu menekankan Kristosentrisitas ini, karena mengira ini adalah penekanan PB. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 363 Seperti yang dapat kita lihat sekarang, penekanan ini tidak sesuai dengan PB. Oleh karena kelima ayat yang berkaitan dengan penciptaan ini “tersisip” di antara ayat-ayat tentang keselamatan, tentu saja pantas ditanyakan apakah ayat-ayat itu harus dipahami sehubungan dengan karya penebusan Allah di dalam Kristus. “Gambar Allah yang tidak kelihatan” A yat pertama dari kelima ayat itu (ay.15) berkata, “Dialah gambar Allah yang tidak kelihatan”. 2Korintus 4:4 juga menegaskan Kristus sebagai gambaran Allah. Pernyataanpernyataan tersebut identik dengan 1Korintus 11:7 yang mengatakan bahwa manusia adalah “gambaran dan kemuliaan Allah”. Allah itu tidak kelihatan untuk mata manusia, tetapi manusia adalah gambaran-Nya. Jadi Kristus, seperti setiap orang, adalah gambar Allah. Karena itu, di dalam menegaskan bahwa Kristus adalah gambar Allah, maka ditegaskan bahwa ia adalah manusia; karena kecuali ia adalah manusia, ia tidak dapat menjadi juruselamat umat manusia. Akan tetapi, bagaimana orang dapat berargumen untuk pra-eksistensinya berdasarkan dirinya sebagai gambar Allah? Jika menjadi gambar Allah melibatkan pra-eksistensi, maka manusia pun pra-eksisten! Masalahnya dengan Kristologi trinitaris sebenarnya berkaitan dengan masalah antropologinya. Pentingnya pernyataan tegas di 1Korintus 11:7 bahwa manusia adalah “kemuliaan Allah” belum pernah dimengerti. Menjadi “kemuliaan Allah” berarti bahwa melihat manusia adalah melihat Allah, karena dalam Kitab Suci melihat kemuliaan-Nya berarti melihat Dia (Yes.6; Yeh.1, dan juga dengan Manoah, dst.). Namun ternyata, ketika kita melihat manusia sekarang ini, kita mengalami kesulitan (dengan beberapa pengecualian) melihat 364 The Only True God kemuliaan Allah. Mengapa? Karena, seperti diuraikan di surat Roma, umat manusia berada di bawah perbudakan dosa, dan sehingga proses penebusan itu selesai, kemuliaan Allah tidak akan terlihat jelas di dalam dia. Namun pada hari itu ketika kita menjadi “kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Kol.1:22) maka, sesungguhnya, kita akan benar-benar menjadi “kemuliaan Allah”. Dengan demikian, ketika Paulus berbicara tentang manusia sebagai kemuliaan Allah (1Kor.11:7), tampaknya ia tengah berbicara tentang manusia dalam rencana dan tujuan Allah sebagaimana manusia itu dimaksudkan Allah, bukan sebagaimana ia ada pada saat ini. Namun hal ini sama sekali berbeda dengan Kristus, karena meskipun “sama dengan kita, ia telah dicobai” ia tidak berbuat dosa. Karena tanpa dosa ia benar-benar “kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya (Allah)”. Itu sebabnya ia adalah kemuliaan Allah, dan itu sebabnya dengan melihat dia kita melihat Allah dalam kemuliaan-Nya. Justru dalam hal inilah trinitarianisme telah merancukan kristologinya dengan anthropologi PB. Sekarang kita dapat melihat ini terjadi karena trinitarianisme telah gagal memahami kebenaran PB yang penting bahwa manusia adalah kemuliaan Allah. Pewahyuan Kitab Suci juga menunjukkan bahwa manusia tidak pernah dapat menjadi kemuliaan Allah terlepas dari Dia. Justru ketika manusia memaksakan kemerdekaannya dan berusaha menjadi “seperti Allah”, dengan demikian memperoleh semacam kemerdekaan daripada Dia, ia berhenti mengejawantahkan kemuliaan-Nya. Manusia adalah, dan menikmati, kemuliaan Allah hanya melalui kesatuan atau penyatuan dengan Dia, dan ini hanya dapat terealisasi melalui kepenuhan hadirat-Nya yang mendiami, sebagaimana didemonstrasikan secara sempurna oleh Kristus: “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan tinggal di dalam dia” Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 365 (Kol.1:19). Dan ini menjadi suatu realitas dalam Kristus hanya karena ia tunduk secara total kepada Bapa (Yahweh). Hal ini juga berdampak pada pemahaman kita akan soteriologi PB, yaitu doktrin keselamatan. Sebab jika Kristus bukan sepenuhnya dan benar-benar manusia, maka kita tidak akan selamat. Sebab, oleh karena dosa satu manusia maut masuk ke dalam dunia, dan oleh karena ketaatan satu manusia kita dibenarkan (Rm.5:15-19). Karena ada harapan keselamatan bagi kita hanya jika Kristus itu manusia, mengapa trinitarianisme selalu memperdebatkan keilahian Kristus bila hal itu tidak ada keterkaitan sama sekali dengan keselamatan umat manusia? Tidak di manapun dalam Perjanjian Baru dinyatakan bila keyakinan pada keilahian Kristus diperlukan demi keselamatan. Akan tetapi, jemaat trinitaris, dengan sikap menentang Firman Allah, berani menjuluki bidat kepada siapa saja yang menolak kristologi mereka. Anda akan ingat bahwa sebagai trinitarian saya merasionalisasikan kaitan soteriologis antara kemanusiaan dan keilahian dengan memperdebatkan bahwa jika Yesus hanya seorang manusia, kematiannya tidak bisa menguntungkan seluruh umat manusia, tetapi sebagai Allah ia tak terbatas, dan ketakterbatasan dapat mencakup jumlah apa saja, tidak peduli seberapa besar jumlahnya. Argumen ini bukannya tidak logis; setidaknya memiliki landasan matematika. Namun masalahnya adalah argumen ini tidak Alkitabiah, sebab dalam Kitab Suci, logika soteriologis bukanlah logika matematis, tetapi logika yang bekerja dengan prinsip yang sama sekali berbeda. Misalnya, ketika umat Israel berbuat dosa besar di padang gurun dan tengah dibinasakan oleh gigitan ular berbisa, Allah memberi perintah kepada Musa untuk menaruh seekor ular tembaga di atas tiang; supaya siapa saja yang memandang ular tembaga yang tergantung di atas tiang itu akan hidup (Bil.21:7-9). Hanya ada satu ular tembaga, tetapi tidak peduli berapa banyak orang yang meman- 366 The Only True God dangnya, mereka diselamatkan dari maut. Jelas sekali, matematika bukanlah faktor. Ketaatan pada panggilan untuk memandang ular itu, di satu sisi, dan anugerah pengampunan Allah, di sisi lain, merupakan satu-satunya prinsip yang beroperasi di sini. Kristus membandingkan pelayanan keselamatannya dengan peristiwa genting ini, khususnya kepada dirinya yang “ditinggikan” di atas salib: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal” (Yoh.3:14,15). Demikian juga, ketaatan Kristus telah menghapus ketidaktaatan Adam untuk semua orang yang ada di dalam Kristus. Sebenarnya, ia berbuat lebih banyak daripada itu, “jauh lebih banyak” sebagaimana dinyatakan di Roma 5:9,10,15,17. Di sini sekali lagi hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan logika matematika, tetapi sepenuhnya dengan anugerah dan hikmat Allah. Gambaran lain dari keselamatan yang diperoleh dari perjalanan orang Israel di padang gurun adalah manna, yang disediakan Yahweh untuk mereka setiap hari dari surga. Yesus merujuk kepada peristiwa surgawi yang luar biasa ini di Yohanes 6 di mana ia menyatakan dirinya sebagai roti yang benar dari surga. Yesus adalah roti surgawi yang disediakan Yahweh untuk keselamatan umat manusia yang, ketika mereka memakannya, tidak akan binasa. Jika Yahweh bisa menyediakan roti untuk orang Israel di padang gurun yang jumlahnya sekitar 2 juta orang, apakah sang Pencipta akan mengalami kesulitan menyediakan untuk 2 milyar atau 2 trilyun orang? Jumlah ini mungkin mengejutkan kita, tetapi sama sekali tidak untuk Dia yang menciptakan Adam dan Hawa (dan juga kita semua) dengan trilyunan sel dalam masing-masing tubuh! Yahweh dapat memberi hidup kepada seberapa banyak orang pun melalui Yesus, sang “roti hidup”. 20 20 Wikipedia, di bawah “Sel (biologi)”, mengatakan bahwa tubuh manusia Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 367 Di 1Korintus 10:3,4, dengan gaya midrash (“midrash” adalah teknik yang digunakan para rabi untuk menafsirkan Kitab Suci) Paulus menulis, “mereka semua (yang ada di padang gurun) makan makanan rohani yang sama dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.” Manna dilukiskan sebagai “makanan rohani” karena bukan berasal dari sumber duniawi, tetapi disediakan secara khusus oleh Yahweh. Sama halnya dengan air; air itu disebut “minuman rohani” karena bukan berasal dari mata air di padang gurun bebatuan tetapi disediakan secara khusus oleh Yahweh. Paulus, yang di sini menulis dalam gaya midrash (sebagaimana para sarjana pada umumnya sependapat), menunjukkan bahwa batu itu adalah sebuah lukisan atau “lambang” bagi Kristus, yang kemudian akan menjadi mata air hidup untuk dunia (bdk. Yoh.4:13,14). Dan sama seperti air itu mencukupi orang banyak di padang gurun, air itu mencukupi seberapa banyak orang pun karena Yahweh, yang tak terbatas itu, adalah sumbernya. Sekarang kita memahami bahwa Kristus tidak perlu menjadi tak terbatas untuk dapat menyelamatkan dunia, sebab keselamatan memuat sumbernya yang tak terbatas di dalam Yahweh Sendiri. Air melambangkan hidup, dan Yesus adalah “batu karang” atau mata air yang melaluinya air itu mengalir. Pemberi air yang utama itu, dan pemberi “setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna”, adalah Yahweh Sendiri (Yak.1:17). Yesus dilukiskan sebagai kurban penebus dosa, sebagai “Anak Domba Allah”, atau sederhananya, “Anak Domba” di kitab Wahyu. Namun harus diingat bahwa ia adalah “Anak Domba Allah” justru karena dialah Anak Domba yang disediakan Yahweh untuk menebus dosa manusia: “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, diperkirakan memiliki 100 trilyun sel. 368 The Only True God tetapi yang menyerahkannya bagi kita semua” (Rm.8:32); dan apakah persediaan Yahweh untuk dosa bisa tidak mencukupi? “Yang sulung dari segala yang diciptakan” (Kol.1:15) B aik di Kolose 1:18 maupun Wahyu 1:5 Kristus disebut sebagai “yang sulung dari antara orang mati”, sebagai yang pertama bangkit dari antara orang mati oleh kuasa sang Bapa; dan karena sang Bapa akan membangkitkan lebih banyak lagi setelah dia dan melalui dia, “Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati” (Kol.1:18). Dalam jemaat, Kristus adalah “yang sulung di antara banyak saudara” (Rm.8:29). Beginilah bunyi keseluruhan Kolose 1:18, “Dialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Dialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga dialah yang lebih utama dalam segala sesuatu.” Satu hal akan menjadi lebih jelas lagi ketika kita memahami dengan lebih baik tujuan-tujuan mulia Allah bagi manusia sebagaimana diajarkan dalam PB, dan juga di sini di Kolose 1, yaitu bahwa Kristus yang adalah kepala jemaat adalah pula kepala atas seluruh penciptaan, atau dengan memakai bahasa dari 1:15, “yang sulung dari segala yang diciptakan”. Tujuan abadi Allah bagi manusia, dengan Kristus sebagai kepala umat manusia, tidak dilukiskan secara rinci, tetapi menimbulkan rasa heran bahkan dari beberapa kilasan yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Misalnya, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk.2:27). Apakah implikasi dari pernyataan ini? Jika hari Sabat yang suci pun diperuntukkan bagi manusia, lantas apa yang tidak dibuat bagi manusia? “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkannya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan dia?” (Rm.8:32) Pertanyaan retorik ini bukan saja menandakan kerelaan Allah tetapi Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 369 juga niat-Nya untuk memberikan kepada kita segala sesuatu! Jadi Ibrani 1:2 berbicara tentang Kristus sebagai orang yang telah Allah “tetapkan sebagai ahli waris segala sesuatu”, dan inilah yang dikatakan di Roma 8:17, “Jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus”. Ini berarti kita adalah sesama ahli waris dengan dia yang adalah ahli waris segala sesuatu! Paulus memakai frasa “tuan dari segala sesuatu” di Galatia 4:1 ketika berbicara tentang kita sebagai ahli waris (baca seluruh bagian teks dari 3:29-4:7). Berkaitan dengan itu, pertimbangkan pernyataan mengejutkan yang berikut: “Karena itu janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia, sebab segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, baik dunia, hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya milikmu. Tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (1Kor.3:21-23). Pertimbangkan baik-baik apa yang termasuk ke dalam “segala sesuatu” yang adalah milikmu: Itu termasuk bahkan para Rasul (Kefas ialah Petrus); “dunia” menerjemahkan kosmos, yang menurut konteks mencakup segala sesuatu dari kehidupan sampai kematian, dari masa kini sampai masa depan, yang mempunyai arti, “jumlah total dari segala sesuatu di sini dan di saat ini, dunia, alam semesta (yang teratur)” (BDAG). Kata “segala sesuatu” yang komprehensif ini tidak menyisakan apa-apa, kecuali Kristus dan Allah, yang meskipun begitu adalah milik kita juga, sekalipun dalam arti berbeda, sebab mereka masing-masing adalah Tu[h]an kita dan Allah kita. Namun perhatikan juga bahwa “Kristus adalah milik Allah” sama seperti “kamu adalah milik Kristus” (1Kor.3:23). Soal kesetaraan Kristus dengan Allah tidak pernah diungkit dalam PB: Kristus adalah milik Allah—seperti kita adalah milik Kristus, dan segala sesuatu adalah milik kita. (bdk. urutan di 1Kor.11:3.) 370 The Only True God Dapatkah kita menangkap implikasi dari semua ini? Dapatkah kita memahami maksud dari apa yang tengah diwahyukan? Bukankah itu tersimpul dalam kalimat terakhir di Kolose 1:16? “segala sesuatu diciptakan…untuk dia”—untuk dia, bukan sebagai satu pribadi “individu”, tetapi sebagai kepala dan perwakilan umat manusia. Ini berarti Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk manusia dengan Kristus sebagai kepalanya. Itu sebabnya Paulus dapat berkata, “segala sesuatu adalah milikmu” (1Kor.3:21)! Dapatkah kita benar-benar menangkap pewahyuan yang mengejutkan dan mengagumkan ini: Yahweh tidak menciptakan segala sesuatu untuk diri-Nya sendiri, tetapi untuk kita?! Kita sebagai makhluk-makhluk egois, dapatkah kita memahami Allah yang menjadikan segala sesuatu bukan untuk diri-Nya sendiri, tetapi untuk makhluk-makhluk ciptaan-Nya, khususnya, kita! Yang diwahyukan adalah Allah yang sama sekali tanpa pamrih dalam perbuatan-Nya, dan ini memberikan makna yang baru dan mendalam kepada pernyataan “Allah adalah kasih” (1Yoh.4:8,16). Berkaitan dengan itu, pertimbangkan juga 1Timotius 6:17, “Allah yang dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati.” Apakah kita mengira bila Allah menciptakan pelbagai jenis bunga yang menghiasi bumi, semuanya cemerlang dalam berbagai macam warna, bentuk, dan aroma, untuk dinikmatiNya sendiri? Sedemikian megahnya sampai-sampai Yesus berkomentar bahwa Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah bunga-bunga itu (Mat.6:28,29). Pernahkah kita merenungkan pelbagai jenis pepohonan yang menghasilkan buahbuah lezat, bunga-bunga yang sedap dipandang, kayu untuk segala macam kegunaan dan, tak kalah pentingnya, oksigen yang esensial untuk manusia? Semestinya jelas bahwa Allah tidak menciptakan pepohonan hanya untuk kesenangan-Nya Sendiri atau hanya untuk Kristus sendiri. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 371 Dan mestikah kita melanjutkan berbicara tentang aneka ragam sayur-mayur yang menyediakan gizi esensial bagi umat manusia? Apakah kita mengira bila ini semua diciptakan untuk nutrisi-Nya sendiri? Atau tentang sungai, danau, dan lautan yang diisi dengan berbagai jenis ikan oleh Allah? Kita tidak perlu melanjutkan, intinya sudah cukup jelas: Allah “dalam kekayaan-Nya memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim.6:17). Semua ini membuktikan apa yang kita lihat dalam pewahyuan PB, yaitu Allah menciptakan segala sesuatu untuk manusia, bukan hanya untuk “manusia Kristus Yesus” saja, yang dijadikan kepala jemaat oleh Allah—tetapi apa artinya kepala tanpa tubuh? Dan dalam hal ini juga, “tidak baik, kalau manusia itu (Kristus) seorang diri saja” (Kej.2:18)! Bukankah Paulus yang menegaskan bahwa cerita dalam kitab Kejadian ini berbicara secara proleptis atau secara tipologis mengenai Kristus dan jemaat (Ef.5:32)? Meskipun secara periodik beberapa wilayah dunia menderita kelaparan terutamanya karena peperangan, salah kelola, korupsi, dst., bumi ini sekarang menyediakan makanan untuk 7 milyar orang! 21 Allah dengan kasih sayang menyediakan segala sesuatu untuk umat manusia walaupun manusia pada umumnya tak berterimakasih. Terlebih lagi, Allah adalah Allah yang realitasnya dapat dialami dalam hidup ini bila kita mencari Dia dengan hati terbuka, yaitu Allah yang telah datang kepada kita di dalam Kristus. Bertolak-belakang dengan pewahyuan yang luar biasa ini bahwa Allah di dalam kasih-Nya menciptakan segala sesuatu yang baik untuk umat manusia, gambaran Kristus macam apa yang muncul dari terjemahan trinitaris yang menerjemahan kalimat terakhir di Kolose 1:16 sebagai, “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”? Apa lagi artinya kalau bukan Kristus menciptakan segala 21 7 milyar di akhir 2011, Wikipedia, “Populasi Dunia”. 372 The Only True God sesuatu untuk dirinya sendiri? Sungguh sebuah gambaran yang sama sekali berbeda dari gambaran Allah yang tanpa pamrih yang dilukiskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya! Rencana kekal Allah untuk manusia R encana Allah untuk manusia sebenarnya jauh lebih besar daripada yang dapat kita bayangkan, “Tetapi seperti ada tertulis: ‘Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia’” (1Kor.2:9). Salah satunya disampaikan Paulus dalam bentuk pertanyaan, “Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?” (1Kor.6:3) Para malaikat adalah makhluk-makhluk rohani, “pahlawan-pahlawan perkasa yang melaksanakan firman-Nya” (Mzm.103:20). Bagaimana mungkin seseorang menghakimi malaikat kecuali jika ia diberi otoritas atas mereka? Lantas apa artinya ini kalau bukan manusia yang ditebus itu akan dianugerahi otoritas atas makhluk-makhluk tertinggi dalam penciptaan! Dan oleh karena malaikat tidak berdiam di bumi melainkan di surga, apa artinya ini kalau bukan manusia yang ditebus itu akan dianugerahi otoritas baik di surga maupun di bumi! Otoritas tersebut sudah dianugerahkan kepada Yesus dalam rangka menyempurnakan karya keselamatan Allah (Mat.28:18-20). Jika ada masalah yang muncul dalam memahami Kolose 1 dalam terang kemanusiaan Kristus, masalah ini timbul dari kegagalan untuk melihat peran luhur yang telah direncanakan Allah untuk manusia “sebelum dunia dijadikan” (Ef.1:4). Allah menjadikan seluruh penciptaan sehubungan dengan manusia, dengan Kristus sebagai kepala dan perwakilannya (“di dalam dia”). Begitu kita terlepas dari pandangan negatif atas manusia sebagai sepenuhnya rusak yang mendominasi teologi Kristen, dan begitu kita dipulihkan Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 373 dari rasa heran terhadap keagungan yang direncanakan Allah untuk manusia, kita tidak akan mengalami kesulitan untuk memahami apa yang diwahyukan di dalam nas yang menakjubkan dari Kitab Suci ini. “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu” (Kol.1:17) S ebagai “yang sulung dari segala yang diciptakan” (Kol.1:15), dan juga “yang sulung dari antara orang mati” (Kol.1:18), ia benarbenar dapat dikatakan sebagai yang “ada terlebih dahulu dari segala sesuatu” (Kol.1:17); dan adalah maksud Allah baginya “sehingga ia yang lebih utama dalam segala sesuatu” (ay.18). “Terlebih dahulu dari segala sesuatu” digunakan untuk mendukung pra-eksistensi Kristus dalam trinitarianisme, tetapi ini tidak banyak menolong dogma trinitaris sebab pra-eksistensi tidak membuktikan keilahian, membuktikan pra-eminensi pun tidak. Tidak banyak orang yang akan memungkiri bila Iblis (“si ular”, Kej.3:1dyb.; Why.12:9) sudah ada sebelum penciptaan di Kejadian 1, ketika segala sesuatu diciptakan “sungguh amat baik”. Namun ia sudah tampil di Kejadian 3 untuk mencobai Adam dan Hawa agar berbuat dosa. Demikian pula, tak seorang pun akan mengusulkan bila Iblis menikmati keutamaan karena pra-eksistensinya. Keutamaan yang diberikan kepada Kristus adalah sesuatu yang diberikan kepadanya oleh Bapa. Dalam Kitab Suci, keutamaan biasanya, tetapi tidak semestinya, merupakan sebuah konsekuensi dari senioritas. Misalnya, walaupun Yusuf adalah anak ke-11 dari 12 anak laki-laki Yakub, dengan demikian menjadi anak termuda kedua di antara saudarasaudaranya, Allah meninggikan dia ke tingkat keunggulan bukan saja atas mereka tetapi juga atas seluruh tanah Mesir (Kej 30-50). Yesus berkata bahwa “banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (Mat.19:30). 374 The Only True God Mengenai “yang sulung dari segala yang diciptakan”, “yang sulung” dijelaskan sebagai “merujuk kepada status istimewa yang dimiliki anak sulung” (BDAG), yang dijelaskan dengan lebih rinci oleh leksikon itu sebagai “Status istimewa yang dinikmati oleh anak sulung sebagai ahli waris yang nyata di Israel”. Leksikon tersebut juga mengartikan frasa “yang sulung dari segala yang diciptakan” sebagai merujuk kepada keselamatan daripada kepada ciptaan material, meskipun, seperti telah kita lihat, keduanya terjalin secara integral: “tentang Kristus, sebagai yang sulung dari sebuah kemanusiaan baru yang akan dimuliakan, sebagaimana Tuannya dimuliakan sebagai πρωτότοκον ἐν πολλοῖς ἀδελφοῖς [yang sulung di antara banyak saudara] Rm.8:29” (BDAG). Leksikon itu menambahkan: “Ungkapan ini betul-betul cocok untuk melukiskan Yesus sebagai seorang yang berasal dari Allah untuk mendirikan sebuah komunitas baru yang terdiri dari orang-orang beriman”. Dengan demikian “yang sulung dari segala yang diciptakan” berbicara tentang Kristus sebagai yang pertama, yang terutama, dalam umat Allah yang baru, yaitu ciptaan baru itu (2Kor.5:17). Di sisi lain, “yang sulung dari antara orang mati” mengingatkan kita bahwa “ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Flp.2:8); karena tanpanya ia tidak dapat menjadi “yang sulung dari antara orang mati”. Dengan kata lain, hanya dengan menjadi yang terakhir, merendahkan dirinya sampai kepada kematian yang paling rendah—kematian di kayu salib—ia dibangkitkan oleh Yahweh Allah untuk menjadi yang terdahulu, bukan saja dari orang mati tetapi juga atas seluruh alam semesta (Flp.2:9-11). Mungkin juga untuk alasan ini Yesus adalah “Yang Awal dan Yang Akhir” (Why.1:17; 2:8). Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 375 “Segala sesuatu menyatu di dalam dia” (Kol.1:17) A pa artinya pernyataan itu? Oleh karena “manusia Kristus Yesus” adalah pusat, hub (pusat kegiatan), dari tujuan Allah baik untuk penciptaan maupun penebusan, maka bukankah itu berarti bahwa ia memberikan koherensi kepada segala sesuatu, atau bahwa segala sesuatu menemukan koherensinya “di dalam dia”? Yaitu, segala sesuatu mempunyai tujuan dan makna oleh karena dia dan sehubungan dengan dia; mereka “bertaut untuk membentuk kesatuan yang harmonis dan kredibel” (sebagaimana Encarta Dictionary mendefinisikan “koherensi” dengan baik)—tetapi selalu dan hanya sehubungan dengan dia. Dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa Allah menghimpun segala sesuatu, atau mempersatukan segala sesuatu, di dalam Kristus; yang menjadi tujuan utama karya penebusan-Nya bagi seluruh ciptaan: yaitu “untuk mempersatukan segala sesuatu”— yang merupakan definisi tepat untuk kata yang diterjemahkan sebagai “hold together” (sunistēmi, συνίστημι) dalam beberapa terjemahan Inggris. Karena itu BDAG juga memberikan definisi sunistēmi sebagai, “menghimpun dengan berkumpul, mempersatukan, mengumpulkan”. Pertimbangkan nas yang luar biasa di Efesus 1 berikut ini: Sebab di dalam dia kita beroleh penebusan oleh darahnya, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan anugerah-Nya, 8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian. 9 Sebab Ia telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus 7 376 The Only True God sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi. 10 Mari kita amati bahwa (1) di sini juga, penciptaan dan penebusan dikaitkan, dan (2) semua ini terjadi “di dalam dia” atau “di dalam Kristus” (muncul 3 kali dalam 4 ayat ini). Oleh karena itu, di dalam Kristus segala sesuatu dalam penciptaan dipersatukan ke dalam sebuah kesatuan yang koheren. BDAG juga memberikan definisi berikut untuk sunistēmi (συνίστημι): “sampai pada keadaan koherensi, terus-menerus, bertahan, eksis, menyatu bersama-sama pres. med. dan akt. pf.” yang tentu saja sesuai dengan definisi terdahulu. Definisi ini dinyatakan berlaku untuk kata-kata dalam bentuk present medium dan aktif perfek dari kata kerja itu. Bentuk yang terakhir yang dipakai di Kolose 1:17. Perhatikan juga bahwa hanya definisi “menyatu bersama-sama” saja yang diberikan dalam terjemahan yang dikutip di atas (pada judul). Namun BDAG menunjukkan bahwa “keadaan koherensi” juga meluas ke gagasan kesinambungan, daya tahan, dan bahkan eksistensi. Seperti itulah kuasa, sifat, dan lingkup, dari kesatuan penebusan di “dalam Kristus”! 2Korintus 8:9 “Karena kamu telah mengenal anugerah Tu[h]an kita Yesus Kristus bahwa sekalipun ia kaya, oleh karena kamu ia menjadi miskin, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinannya.” P enafsiran trinitaris atas ayat ini tergantung pada penafsiran atas Filipi 2:6: Yesus kaya di surga tetapi memilih kemiskinan duniawi sehingga kita bisa menjadi kaya. Namun jika penafsiran nas Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 377 di surat Filipi itu salah, maka ayat itu tidak bisa digunakan di sini. Lagipula, dalam surat-surat Korintus tidak ada apa-apa yang membenarkan pemahaman semacam itu. Pertama-tama, kita perlu menanyakan kekayaan dan kemiskinan macam apa yang tengah dipertimbangkan di sini. “Supaya kamu menjadi kaya” pasti tidak merujuk kepada kekayaan material sebagaimana sudah jelas dari dua ayat pertama pasal ini: “Saudara-saudara, kami hendak memberitahukan kepada kamu tentang anugerah yang diberikan kepada jemaat-jemaat di Makedonia. Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan” (2Kor.8:1,2). Jemaat-jemaat di Makedonia adalah penerima anugerah Allah, dan bukti dari anugerah ini adalah kedermawanan mereka di tengahtengah penderitaan dan kemiskinan mereka. Anugerah Allah tidak membuat mereka kaya secara materiil tetapi telah membuat mereka bersukacita dan dermawan di tengah-tengah pencobaan dan kemiskinan mereka—di situlah letaknya kebesaran anugerah Allah. Demikian juga, kekayaan yang akan diterima jemaat di Korintus jelas adalah kekayaan rohani dari anugerah Allah yang sama seperti yang diterima oleh jemaat di Makedonia. Hal ini merupakan sesuatu yang jauh lebih bernilai (yaitu, kekal) untuk Paulus daripada kekayaan materiil. Paulus tidak mungkin berpendapat bila Kristus menjadi miskin untuk membuat kita kaya secara materiil. Ketika Paulus menggambarkan Kristus sebagai “kaya” apakah maksudnya kaya secara materiil? Bahkan kekayaan surgawi pun sudah tentu bukan kekayaan materiil. Arti “kaya” sudah didefinisikan dengan jelas di 2Korintus 8:2: “sukacita yang meluap” dan “kaya dalam kemurahan” yang tidak dipengaruhi oleh “pelbagai penderitaan” dan “kemiskinan yang parah” (ILT). Sesungguhnya 378 The Only True God inilah kekayaan sejati, terutamanya bagi kita yang secara pribadi telah menyaksikan kesengsaraan para jutawan, dan di sisi lain, sukacita orang tidak beruang yang bergaul dengan Allah yang setiap hari mengalami pemeliharaan-Nya, kasih-Nya dan perawatan-Nya. Lantas, apa artinya “oleh karena kamu menjadi miskin”? Paulus, sebagai seorang yang “mengikuti teladan” Kristus (1Kor.11:1), mengilustrasikan hal ini dalam kehidupannya sendiri: “Karena dialah aku telah melepaskan semuanya itu” (Flp.3:8). Sekarang tanpa apa-apa lagi, ia masih mempunyai satu milik terakhir untuk ditawarkan: hidupnya—“Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada kurban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian” (Flp.2:17). Ia memakai gambaran “dicurahkan sebagai persembahan” ini sekali lagi ketika saatnya tiba untuk dia menyerahkan nyawanya: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat” (2Tim.4:6). “Dicurahkan” artinya “dikosongkan” (bdk. kenoō, Flp.2:7), dan di sini kita melihatnya dalam dua tahap: pertama adalah niat, sebuah ungkapan hati dan kehendak, seperti diungkapkan di Filipi 2:17 (juga Kis.20:24), dan kemudian dalam aktualisasinya di saat ia “akan meninggalkan dunia” seperti di 2Timotius 4:6. Tampaknya inilah caranya “pengosongan-diri” Kristus di Filipi 2:7 harus dipahami karena kehidupan Paulus berpolakan kepada kehidupan Kristus; ia memiliki “pikiran” Kristus (Flp.2:5). Semuanya ini menerangkan bahwa Kristus yang menjadi “miskin” bereferensi terutamanya kepada kematiannya di kayu salib (Flp.2:8). Di atas kayu salib ia menanggung derita “oleh karena kamu” (2Kor.8:9), suatu kemiskinan yang tidak bisa ditanggung oleh siapa pun karena, seperti yang dikatakan Paulus sebelumnya, “dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam dia kita dibenarkan oleh Allah” (2Kor.5:21). Menjadi “kebenaran Allah” artinya menjadi kaya selamanya, sebab Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 379 itu berarti pendamaian dengan Allah dan memperoleh hidup yang kekal (2Kor.5:17-20). Namun untuk mendapatkan “kekayaan” seperti itu bagi kita, Kristus rupanya mengalami tingkat kemiskinan yang paling dalam bukan saja secara jasmaniah tetapi juga secara batiniah sebagaimana diungkapkan oleh Yesus sendiri di atas salib, “Eli, Eli, lama sabakhtani?” (Mzm.22:1) yang berarti: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Mat.27:46; Mrk.15:34). Ia, yang menikmati kekayaan rohaniah dari keakraban dengan Bapa, sebagaimana dilukiskan dalam Injil Yohanes, sekarang “karena kamu” menanggung rasa sakit yang tak terkatakan dari perpisahan itu sebagai penanggung-dosa, dosa yang berdampak pada pemisahan dari Allah: “tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu” (Yes.59:2). Prospek kehilangan hadirat Allah dari perpisahan inilah yang ditakuti Yesus, dan inilah yang menjelaskan keringat dan air matanya di Taman Getsemani. Namun oleh karena “kesalehannya” doanya didengarkan: “Dalam hidupnya sebagai manusia, ia mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan air mata kepada Dia, yang sanggup menyelamatkannya dari maut, dan karena kesalehannya ia telah didengarkan” (Ibr.5:7). Bagi Yesus yang telah mengenal hidup yang “kaya” dari keintiman dengan Bapa, yang bisa dilukiskan dengan menjadi “satu” dengan Dia, tidak ada kemiskinan yang bisa dibandingkan dengan kehilangan hadiratNya bahkan untuk sekejap, dan saat sekejap seperti itu pasti terasa seperti kekekalan. Sebagian orang pernah menanggung untuk sesaat lamanya kehilangan semacam itu yang dilukiskan oleh Santo Yohanes dari Salib (Saint John of the Cross) dengan “Malam Gelap” (“the dark night of the soul”), tetapi tentu saja tak seorang pun bisa mengalaminya sedalam Yesus, dan semuanya itu adalah “demi kamu”. 380 The Only True God 1Timotius 3:16 Sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.” Mengenai 1Timotius 3:16, tentu saja kita tahu ayat itu biasanya digunakan oleh trinitarian untuk merujuk kepada Kristus, sekalipun Kristus tidak disebut dalam konteks langsung sehubungan dengan ayat ini. Misalnya, The Expositor’s Greek Testament membuat asumsi tersebut hanya berdasarkan sebuah dugaan: “sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa yang menyusul adalah sebuah kutipan oleh Santo Paulus dari sebuah syahadat primitif… tentang Yesus Kristus”. Kesimpulan semacam ini yang murni dugaan harus dihindari, terutamanya ketika tidak sepotong bukti pun yang diberikan untuk membuktikan eksistensi “syahadat primitif” yang ditengarai ini. Sebenarnya ada sejumlah naskah di mana dijumpai pembacaan “Allah telah dinyatakan dalam daging”, tetapi resensi ini bisa jadi karya trinitarian yang berusaha “membuktikan” keilahian Kristus. Namun, kemungkinannya tetap ada bahwa pernyataan “Allah telah dinyatakan dalam daging” menggemakan Yohanes 1:14 yang mengatakan bahwa “Firman (‘Memra’, metonim bagi Yahweh) menjadi daging”. 1Yohanes 5:7,8 “Sebab ada tiga yang memberi kesaksian: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu”. Beberapa Alkitab akan mencetak sisipan trinitaris dalam tanda kurung seperti berikut: Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 381 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian (di dalam surga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu. 8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi): Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu. 7 Alkitab Inggris NIV menjelaskan sisipan trinitaris itu di catatan kakinya seperti berikut: “7,8 Naskah-naskah Vulgate yang kemudian di dalam surga: Bapa, Firman dan Roh Kudus, dan ketiganya adalah satu. 8Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi: (tidak dijumpai dalam naskah Yunani mana pun sebelum abad ke-16)”. Tentang nas ini komentar Prof. Küng sudah mencukupi, “Dalam surat 1Yohanes konon ada sebuah kalimat (comma johanneum) yang terkait dengan ucapan tentang Roh, air dan darah, yang selanjutnya berbicara tentang Bapa, Firman, dan Roh, yang dikatakan adalah ‘satu’. Namun riset historis-kritikal telah membuka kedok kalimat ini sebagai pemalsuan yang terjadi di Afrika Utara atau Spanyol pada abad ke-3 atau 4.” (H. Küng, Christianity, hlm.95) Dalam catatan kaki tentang nas itu, Küng menjelaskan maksud ayat itu: “Teks asli 1Yohanes 5:7dyb. itu berbicara tentang roh, air (=baptisan) dan darah (=ekaristi) yang ‘setuju’ atau ‘adalah satu’ (kedua sakramen memberi kesaksian kepada kuasa dari satu roh).” 1Yohanes 5:20 “Akan tetapi, kita tahu bahwa Anak Allah telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yesus Kristus. Dialah Allah yang benar dan hidup yang kekal.” 382 The Only True God Yesus datang untuk memberikan pengertian kepada kita. Pengertian apakah ini? Yaitu mengenal “(Allah) Yang Benar” dan berada “di dalam (Allah) Yang Benar”. Bagaimana kita bisa berada “di dalam Dia”? Dengan cara berada “di dalam Anak-Nya Yesus Kristus” (juga 1Yoh.2:24). Jadi, “Dialah Allah yang benar” di kalimat berikut sudah pasti merujuk pada kata “Yang Benar” yang disebut dua kali dan juga pada kata “-Nya” dalam kata “Anak-Nya” yang disebut dalam kalimat terdahulu. Dengan demikian “Allah yang benar” merujuk kepada Yahweh Allah dan bukan kepada Kristus. Biasanya, tanpa mengindahkan sintaksis dari ayat tersebut, banyak trinitarian yang tetap berkeras bila “Allah yang benar” merujuk kepada Yesus Kristus. Dengan berbuat demikian mereka juga tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh Yesus sendiri: “Inilah hidup yang kekal, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh.17:3). Perhatikan betapa tepatnya kata-kata itu bersesuaian dengan 1Yohanes 5:20; karena kedua ayat berbicara tentang “Allah yang benar” dan “hidup yang kekal.” Yohanes 1:18 dan masalah tekstualnya “No one has ever seen God, but God the One and Only, {Or the Only Begotten} {Some manuscripts but the only (or only begotten) Son} who is at the Father's side, has made him known” (NIV-B). [Pembahasan di bagian ini hanya relevan kepada para pembaca yang memakai Alkitab bahasa Inggris seperti ESV, NASB, NIV-B yang memilih “the only God” atau “the only begotten God” alih-alih “the only begotten Son” – ed.] Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus T 383 erjemahan NIV (British) menggagaskan adanya masalah tekstual dalam teks ini. Oleh karena masalah itu, ayat ini sebenarnya tidak berguna untuk tujuan kajian ini, tetapi kita akan membahasnya demi keutuhan, dan juga karena ayat ini mungkin dapat membuktikan adanya pemalsuan dengan teks tersebut, yang mengakibatkan cukup banyak variasi tekstual. Hal ini dapat dilihat dari berbagai terjemahan: “The only Son” (RSV, NJB), atau “the only begotten Son” (NKJ), atau “the only begotten God” (NASB), atau bahkan “God the One and Only” (NIV), “the only God” (ESV), dst.. Pelbagai terjemahan ini menyulitkan diskusi yang berarti atas teks itu, tanpa pertama-tama mencoba memilah alasan atas variasi yang membingungkan itu. Tampaknya masalahnya berasal dari fakta bahwa teks aslinya telah dipalsukan, jadi masalahnya menjadi masalah menentukan yang mana dari teks-teks purba itu yang paling mungkin sebagai teks asli. Namun karena pada saat ini hal itu tidak dapat ditentukan dengan kepastian mutlak, ini berarti pembahasan teks ini hanya menjadi masalah kemungkinan atau probabilitas, yang sangat menurunkan nilainya untuk kajian ini. Satu kata yang umum dalam semua teks Yunaninya adalah monogenēs. Apa yang terlampir, atau tidak terlampir pada kata inilah yang menjadi penyebab masalah. Beberapa teks memuat monogenēs theos (only begotten God, or the only God), yang lainnya memuat monogenēs huios (only son, atau only begotten son), yang lainnya monogenēs huios theou (only begotten son of God), sedangkan beberapa memuat ho monogenēs (the only begotten). Teks semacam ini jelas tidak dapat berfungsi sebagai dasar yang kokoh untuk sebuah doktrin. Namun demikian, kita dapat membahas dengan singkat kata monogenēs, karena kata ini jelas-jelas merupakan unsur pokok dalam semua teks. Pada dasarnya kata ini mempunyai dua definisi sebagaimana diberikan oleh BDAG Greek-English Lexicon: (1) merujuk kepada “satu-satunya anak” (laki-laki atau perempuan); di 384 The Only True God Ibrani 11:17 kata ini merujuk kepada Ishak sebagai satu-satunya anak Abraham, seperti juga di Lukas 7:12; 9:38, atau satu-satunya anak perempuan Lukas 8:42; (2) mempunyai makna “unik, berbeda dari yang lain” seperti di Yohanes 3:16,18 dan 1Yohanes 4:9 merujuk kepada Yesus sebagai “satu-satunya”, atau “anak Allah yang unik”, dalam terjemahan lebih lama biasanya “satu-satunya anak Allah yang diperanakkan”. 1) Mengenai monogenēs kita bisa menanyakan: Mengapa istilah “satu-satunya Anak yang diperanakkan” atau “Anak Tunggal Allah” harus dianggap sebagai deskripsi yang membuktikan keilahian? Injil Lukas menerangkan bahwa gelar “Anak Allah” (Luk 1:35) diberikan kepadanya oleh karena kelahirannya dari seorang perawan. Bahwa gelar ini tidak dimaksud untuk menyampaikan gagasan keilahian tampak jelas dari fakta bahwa Adam juga disebut “anak Allah” hanya dua pasal sesudahnya (Luk.3:38). Juga, sebagai konsekuensi dari kelahiran itu Yesus dapat disebut “satu-satunya yang diperanakkan” atau “tunggal” karena tak seorang pun pernah diperanakkan dengan cara itu. Ketika Kitab Suci menyediakan penjelasan yang gamblang dan mudah dimengerti, mengapa kita perlu membacakan pemikiran kita sendiri ke dalam istilah tersebut? 2) “Yang ada di pangkuan Bapa” (bdk. BDAG “Bosom”); bentuk present tense di kalimat “yang ada di pangkuan Bapa” tidak memberikan alasan untuk mendukung pra-eksistensi. Logos dikatakan telah “menjadi daging” di ay.14, dan ayat-ayat sesudahnya berbicara tentang kejadian-kejadian yang terjadi setelah peristiwa itu. Jadi tidak ada alasan untuk menduga bila ay.18 kembali ke pra-eksistensi. 3) Gambaran Yesus “yang ada di pangkuan Bapa” dengan indahnya melukiskan hubungan yang hidup antara Yahweh dengan manusia di dalam Kristus, mengilustrasikan kedekatan dan keakrabannya, “yaitu, dalam hubungan yang paling dekat dan intim dengan Bapa, Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 385 Yohanes 1:18 (Winer’s Grammar, 415 (387))” Thayer Greek-English Lexicon. Ungkapan yang sama “yang ada di pangkuan” dipakai untuk “murid yang dikasihi Yesus”, biasanya diperkirakan sebagai Yohanes, sehubungan dengan Yesus di Yohanes 13:23. “The only begotten God” Kebanyakan dari naskah Yunani paling tua memuat monogenēs theos (“only begotten God”), jadi dari sudut pandang tekstual, pembacaan “God” mendapatkan dukungan naskah yang lebih baik. B.D. Ehrman, yang mengepalai Department of Religious Studies di University of North Carolina di Chapel Hill, dan seorang pakar teks PB, menulis, “Harus diakui bahwa pembacaan pertama (yaitu “God”) merupakan pembacaan yang dijumpai dalam naskah-naskah paling tua dan umumnya dianggap yang terbaik—naskah kumpulan teks Aleksandria.” (Misquoting Jesus, Harper San Francisco, 2005, hlm.161dyb.) Namun Prof. Ehrman menduga bahwa teks aslinya adalah “Son” dan diganti oleh kaum antiadopsionis (belakangan trinitarian) menjadi “God” untuk menentang ajaran kaum adopsionis bahwa Yesus hanyalah manusia, bukan Allah, tetapi “diadopsi” oleh Allah menjadi Anak-Nya pada baptisannya ketika suara surgawi mengumumkan, “Engkaulah Anak-Ku…” (Mrk.1:11). Dari sudut pandang monoteisme, kedua pembacaan itu tidak bermasalah. Sebab, jika pembacaannya ialah “Son”, sebagaimana telah kita lihat dalam pembahasan sebelumnya, pra-eksistensi tidak tersirat di Yohanes 1:18, sekalipun trinitarian ingin membacakan pra-eksistensi ke dalamnya. Namun jika pembacaan yang benar adalah “God”, maka itu merujuk kepada Yohanes 1:14, “Firman/Memra itu menjadi daging”. Ini akan menguatkan penafsiran saya atas Yohanes 1:1dyb yang dijabarkan dalam buku ini. Namun penafsiran saya tidak bergantung pada pembacaan ini untuk mendapatkan dukungan. 386 The Only True God Dengan kata lain, trinitarian mengira pembacaan “God” mendukung doktrin mereka, tetapi itu hanya karena mereka berasumsi bahwa “God” merujuk kepada Yesus, tanpa mengindahkan fakta bahwa “God” (berbeda dari “god”) dalam Kitab Suci selalu merujuk kepada Yahweh. Ehrman juga menegaskan bahwa “only begotten God” hanya dapat merujuk kepada Bapa karena ia berpendapat bahwa monogenēs, yang umumnya diterjemahkan sebagai “only begotten”, di sini berarti “unik”, dan menulis, “Istilah unik dalam bahasa Yunani berarti ‘berbeda dari yang lain’. Hanya ada satu saja yang berbeda dari yang lain. Istilah “the unique God” harus merujuk kepada Allah sang Bapa sendiri—jika tidak, Ia tidak unik. Akan tetapi jika istilah itu merujuk kepada Bapa, bagaimana mungkin ia dapat dipakai untuk Anak?” (Misquoting Jesus, hlm.162, cetak miring darinya, cetak tebal dari saya). Berbicara tentang Yesus (atau Anak) sebagai “the unique God” sudah tentu akan menyisihkan sang Bapa; sebab jika Yesus adalah “Allah yang berbeda dari yang lain”, apa yang tersisa untuk Bapa? Atas alasan inilah Ehrman mengatakan, sejauh Alkitab, “istilah the unique God harus merujuk kepada Allah sang Bapa sendiri”. Berikut kesimpulan Ehrman atas hal ini: “Mengingat fakta bahwa frasa yang lebih umum (dan dapat dimengerti) dalam Injil Yohanes adalah ‘the unique Son’, tampaknya itulah teks asli yang ditulis di Yohanes 1:18” (Ehrman, Misquoting Jesus, hlm.162). Intinya, jika perubahan “the unique Son” menjadi “the unique God” adalah karya ahli-(ahli) kitab dari Aleksandria, maka dengan tidak membuang kata “unique”, ia membocorkan perubahan yang dibuatnya dan menggagalkan upayanya sendiri. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 387 Ucapan-ucapan tentang Yahweh dalam PL yang diterapkan kepada Yesus dalam PB K ita sudah melihat sebuah contoh dari hal ini di Filipi 2:10-11, yang mengandung referensi jelas kepada Yesaya 45:22,23. Bagaimanakah ayat-ayat itu harus dimengerti? Jawaban bagi pertanyaan ini sebenarnya relatif mudah karena pilihan logis yang tersedia sangat terbatas: (a) “Manusia Kristus Yesus” (1Tim.2:5; Rm.5:15,17; Kis.4:10) adalah Yahweh—identifikasi yang mustahil sebab Yahweh adalah “Allah, bukan manusia” (Hos.11:9; 1Sam.15:29; Ayb.9:32; dst.), atau (b) Yesus adalah pengejawantahan kemuliaan Allah (Ibr.1:3; Yoh.1:14, dst.), kepenuhan Allah (Kol.2:9; 1:19; Yoh.2:21, dst.); ia adalah orang yang di dalamnya sang Bapa tinggal dan bekerja (Yoh.14:10). Jelas, (b) merupakan satu-satunya pilihan yang tepat. Namun jika Yesus bukan (a) ataupun (b) maka menerapkan ayatayat mengenai Yahweh dalam PL kepada Yesus akan berarti ia adalah Yahweh kedua yang, menurut Alkitab, betul-betul mustahil; malah lebih buruk, dapat dianggap penghujatan. Lagipula, mengidentifikasi Yesus sebagai Yahweh tidak menolong trinitarianisme sedikitpun karena Yahweh adalah sang Bapa, bukan sang Anak, jadi ayat-ayat Yahweh itu tidak dapat membuktikan eksistensi “pribadi ilahi kedua”. Penerapan ayat-ayat Yahweh kepada Yesus memberikan konfirmasi lanjutan bahwa “kepenuhan” Allah datang ke dunia secara badaniah, bahwa “Allah ada di dalam Kristus ketika mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri” (2Kor 5:19 MILT). Pertanyaan tentang Hari Tuhan dan Melkisedek Berkaitan dengan hal ini ada dua pertanyaan yang dikirimkan kepada saya yang akan saya sampaikan di sini tanpa perubahan. Jawabannya pun disampaikan tanpa perubahan. Korespondensi ini 388 The Only True God dimasukkan di sini karena ada kemungkinan sebagian pembaca mempunyai pertanyaan yang serupa. “Saya harap Anda tidak keberatan dengan beberapa pertanyaan yang saya ajukan di sini. Pertama, tentang istilah ‘Hari Tuhan’. Istilah ini digunakan sekitar 25x dalam 23 ayat di PL/PB tergabung. Tampaknya, ‘Tu[h]an’ dalam PL umumnya merujuk kepada Yahweh. Namun 5x rujukan dalam PB (Kis.2:20; 1Kor.5:5; 2Kor.1:14; 1Tes.5:2; 2Ptr.3:10) kelihatannya merujuk kepada Yesus sebagai Tu[h]an. Kisah 2:20 merupakan kutipan dari Yoel 2:31. Jadi untuk istilah ‘Hari Tu[h]an’, ‘Tu[h]an’ di situ merujuk kepada siapa? Saya memahami bahwa ‘Hari Tu[h]an’ bisa berlainan artinya pada waktu dan tempat yang berbeda, tetapi agaknya membingungkan bila istilah itu terkadang merujuk kepada Yahweh dan, di tempat lain, khususnya dalam PB, merujuk kepada Yesus. “Pertanyaan kedua adalah tentang sosok misterius Melkisedek (Ibr.7:3), yang tidak berayah ataupun beribu, tidak bersilsilah. Yesus berasal dari garis keimaman Melkisedek. Siapakah Melkisedek? Yesus mempunyai garis keturunan jasmaniah dan rohaniah. Apakah orang akan menganggapnya manusia sekaligus ilahi?” Jawaban saya: “Hari Tu[h]an” berkaitan dengan penghakiman. Tentang hal ini Yesus sudah memberikan gambaran situasi yang sangat jelas, “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak” (Yoh.5:22). Artinya, Yesus akan mengadili sebagai hakim yang diangkat oleh Yahweh, yaitu, sebagai plenipotentiary (duta) Yahweh yang berkuasa penuh yang bertindak atas Nama-Nya. Hal yang sama ditekankan oleh Petrus dalam pesannya yang Anda kutip (Kis.2:20) dan yang ditutup dengan kata-kata berikut, “Jadi seluruh kaum Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 389 Israel harus tahu dengan pasti bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus” (ay.36). Hal yang sama dinyatakan di sini: Allah telah melantik Yesus sebagai duta-Nya yang berkuasa penuh. Ini berarti bahwa “Tu[h]an” akan bertindak atas nama “TU[H]AN (yaitu Yahweh)”. Oleh karena itu, “Hari Tu[h]an” merujuk kepada salah satu ataupun keduanya tanpa perbedaan penting. Sedangkan untuk pertanyaan kedua, tampaknya tidak terdapat kaitan logis antara keimaman Melkisedek dengan Yesus yang dipandang sebagai “manusia sekaligus ilahi”. Surat Ibrani tidak berbicara tentang Yesus sebagai keturunan Melkisedek secara jasmani, jadi entah Melkisedek itu ilahi atau tidak, tidak ada pengaruhnya atas pribadi Yesus. Sebenarnya dalam surat Ibrani tidak didalilkan adanya kaitan personal yang langsung antara Melkisedek dan Yesus. Hanya keimamannya saja yang dibahas di situ, dan ia menjawab sebuah permasalahan serius bagi umat Yahudi (Ibrani): Bagaimana mungkin Yesus seorang imam, apalagi imam besar (tema utama dalam surat Ibrani), sedangkan ia bukan keturunan suku Lewi? Jawaban penulis surat Ibrani adalah bahwa hal itu telah dinubuatkan (Mzm.110:4, sebuah Mazmur mesianik), bahwa raja Mesianik keturunan Daud itu juga adalah seorang imam—Mesias akan menggabungkan kedudukan sebagai raja dan imam dalam dirinya— tetapi sebagai seorang dari suku Yehuda ia tidak mungkin adalah imam dari suku Lewi, tetapi keimamannya akan seperti keimaman Melkisedek yang adalah raja sekaligus imam. Namun semua ini tidak ada kaitannya dengan apakah Yesus itu manusia sekaligus ilahi. Satu lagi teks bukti trinitaris—Yohanes 12:41 “Hal ini dikatakan oleh Yesaya, karena ia telah melihat kemuliaan-Nya dan telah berkata-kata tentang Dia.” 390 T The Only True God rinitarian biasanya beranggapan, tanpa menghiraukan eksegesis atas ayat ini, bahwa yang dikatakan di sini adalah Yesaya melihat kemuliaan Yesus dan berbicara tentang dia. Sebenarnya, tak secarik bukti pun dapat ditunjukkan dari nas kitab Yesaya ini bahwa Yesaya berbicara tentang Yesus, atau bahwa kemuliaan yang dilihatnya adalah kemuliaan Yesus. Semua ini harus dibacakan ke dalam nas kitab Yesaya. Dan juga, tidak ada bukti bahwa Yohanes tengah mengklaim bahwa Yesaya melihat manusia Yesus dalam penglihatannya akan Yahweh. Akan tetapi, inilah caranya trinitarianisme berkembang pesat, yaitu dengan terang-terangan mengabaikan prosedur eksegesis yang tepat. Pembahasan ayat ini dapat disederhanakan dengan memperhatikan baik-baik bahwa (1) ayat ini merujuk kepada penglihatan Yesaya di Yesaya 6, yang mengisahkan tentang penglihatan akan Yahweh; tetapi (2) tak seorang pun dapat melihat Yahweh dan hidup (Kel.33:20, dst.), jadi apa yang dilihat Yesaya dijelaskan di Yohanes 12:41 sebagai “kemuliaan-Nya”, yang disebut umat Yahudi sebagai Syekinah-Nya; oleh karena itu, (3) jika Yohanes bermaksud menerapkan kata-kata tersebut kepada Yesus maka hanya ada dua kemungkinan: a. manusia Yesus itu diidentifikasi sebagai pribadi yang satu dan sama dengan Yahweh, yang adalah mustahil, dan bagaimanapun juga tidak akan memenuhi tujuan trinitaris, atau b. mengidentifikasi Yesus sebagai ekspresi kemuliaan Yahweh, pengejawantahan Syekinah-Nya, dan ini akan bersesuaian dengan Yohanes 1:14. Tentu saja, tak satu pun dari semua ini mendukung trinitarianisme, karena pada dasarnya tidak ada trinitarianisme dalam Injil Yohanes. Jadi teks ini sebenarnya tidak berguna untuk trinitarianisme karena (1) jika kata “-Nya” itu dianggap merujuk kepada Yahweh, hal itu tidak dapat berfungsi sebagai teks bukti, dan (2) jika “-Nya” itu dianggap merujuk kepada Yesus, itu akan menyamakan Yesus Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 391 dengan Yahweh, yang akan merancukan “Pribadi Pertama”, yaitu Bapa dalam trinitarianisme dengan “Pribadi Kedua”, “Allah-Anak”. Bila kita membandingkan Yohanes 12:41 dengan 1:14 kita segera melihat bahwa “kemuliaannya” (tēn doxan autou) muncul dalam kedua ayat itu; jadi yang satu menjelaskan yang lain: “Dan Firman itu sudah menjadi daging dan berdiam di antara kita. Dan kita telah melihat kemuliaan-Nya” (1:14a,b ILT). Pokok bahasan di Yohanes 1:14 adalah Firman. Jadi jelas “kemuliaan-Nya” merujuk kepada kemuliaan Firman. Karena Firman/Memra dalam Prolog Yohanes merupakan sebuah metonim atau synecdoche untuk Yahweh (kita akan mempelajari hal ini dengan lebih mendalam dalam buku ini), maka jelaslah “kemuliaan-Nya” itu merujuk kepada kemuliaan Yahweh, yang justru disebut kemuliaan yang dilihat Yesaya di Yohanes 12:41. Selanjutnya kedua ayat di Injil Yohanes ini menyaksikan bahwa kemuliaan Yahweh itu sekarang “telah dinyatakan di dalam daging” (1Tim.3:16, ILT) karena ia “sudah menjadi daging dan berdiam di antara kita”. Di dalam “daging” itulah “kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadanya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh anugerah dan kebenaran” (Yoh.1:14). Dengan kedatangannya di dalam daging ia dikenal sebagai “Anak Tunggal Bapa” yang disebut tiga ayat kemudian sebagai “Yesus Kristus” (ay.17). 22 “Aku telah melihat sang Bapa”: bukti pra-eksistensi? Di Yohanes 12:41, “Yesaya…telah melihat kemuliaan-Nya”; “melihat” adalah kata horaō. Inilah kata yang sama yang digunakan untuk penglihatan Yesus akan Bapa: 22 Baca juga “Catatan atas eksegesis Yohanes 12:41”, Lampiran 5. 392 The Only True God Yohanes 3:32, “Ia bersaksi tentang apa yang dilihatnya dan yang didengarnya, tetapi tidak seorangpun yang menerima kesaksiannya itu.” Yohanes 6:46, “Hal itu tidak berarti bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya dia yang datang dari Allah, dialah yang telah melihat Bapa.” Yohanes 8:38, “Apa yang kulihat pada Bapa, itulah yang kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapakmu.” Namun apakah kita perlu berasumsi (asumsi lagi) bahwa referensireferensi ini merujuk kepada “penglihatan” dalam keadaan praeksistensi? Atau, apakah hal itu terjadi setelah ia lahir? Perhatikan present tense dalam perkataan Yesus di Yohanes 5:19, “Lalu Yesus menjawab mereka, ‘Sesungguhnya aku berkata kepadamu, Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau ia tidak melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak.’” Ini menunjukkan bahwa “penglihatan” Yesus merupakan sesuatu yang dialaminya di bumi, dan tentunya bukan hanya ketika Yesus mengucapkan Yohanes 5:19, tetapi selama bertahun-tahun kehidupannya di bumi. Jadi ini murni perkara membacakan dogma trinitaris kita ke dalam teks itu untuk berargumentasi bahwa kala perfect tense di “Apa yang kulihat pada Bapa” (Yoh.8:38) merupakan sesuatu yang terjadi dalam keadaan pra-eksistensi Yesus. Berdasarkan logika argumen ini kita pun terpaksa menerima pra-eksistensi Yesaya, sebab ia berkata, “mataku telah melihat Sang Raja, yakni Yahweh semesta alam” (Yes.6:1,5)! 23 Di sisi lain, ucapan-ucapan tentang “melihat” itu bisa juga dianggap contoh-contoh dari Logos (seperti Hikmat, Mat.11:19; Luk.7:35 bdk. 11:49) yang berbicara melalui Kristus. 23 Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 393 Yohanes 16:15, “Segala sesuatu yang Bapa miliki adalah milikku”—bukti keilahian? I ni sesuai dengan Yohanes 17:10, “dan segala milikku adalah milik-Mu dan milik-Mu adalah milikku.” Ini jelas merupakan bagian dari arti menjadi satu dengan Bapa, sebuah kesatuan di mana umat beriman dipanggil untuk berpartisipasi, “supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu” (17:22b). Sedangkan untuk bagian kedua dari 17:10 (“dan milik-Mu adalah milikku”), kita menjumpai gema yang mencolok dalam perkataan Paulus, “Karena itu janganlah ada orang yang memegahkan dirinya atas manusia, sebab segala sesuatu adalah milikmu: baik Paulus, Apolos, maupun Kefas, baik dunia, hidup, maupun mati, baik waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Semuanya milikmu, tetapi kamu adalah milik Kristus dan Kristus adalah milik Allah” (1Kor.3:21-23). Namun “segala sesuatu” tentu saja adalah milik Allah, sebab tidak ada sesuatu pun yang bukan milik-Nya; namun sekarang sebagai akibat dari penyatuan kita dengan diri-Nya melalui Kristus, segala sesuatu—termasuk para Rasul, dunia, kehidupan, kematian, masa kini dan masa yang akan datang (daftar yang sungguh mencengangkan!)—semuanya itu menjadi milik kita, dan hal itu diulangi lagi: “semuanya milikmu” untuk memastikan kita tidak melewatkan hal yang luar biasa itu! Hal ini ditegaskan lagi di ayat lain: Roma 8:17, “Jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersamasama dengan dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan dia.” Segala sesuatu adalah milik Allah, karena itu menjadi “ahli waris Allah” artinya menjadi ahli waris segala sesuatu dan “ahli waris bersama-sama dengan Kristus”. Sekarang kita mengerti mengapa 394 The Only True God Yesus dapat berkata, “Segala sesuatu yang Bapa miliki adalah milikku”—sebab ia adalah ahli waris Allah oleh karena menjadi AnakNya. Nah, oleh anugerah Allah, kita dapat berkata bersama dengan Kristus, “Segala sesuatu yang Bapa miliki adalah milikku” karena Ia telah menjadikan kita ahli waris bersama-sama dengan Kristus. Melalui dia kita menjadi ahli waris Allah! Semua kebenaran yang menakjubkan dan penting ini memampukan kita untuk lebih memahami signifikansi perkataan Yesus di Yohanes 16:15 (“Segala sesuatu yang Bapa miliki adalah milikku”), yang jelas menunjukkan bahwa ayat itu tidak membuktikan kesetaraan Kristus yang inheren dengan Bapa. Yang dibuktikan adalah kasih Bapa kepadanya, sama seperti 1Korintus 3:21 membuktikan kasih Bapa yang menakjubkan untuk kita. Hal yang biasanya diabaikan adalah bahwa untuk mengatakan Kristus merupakan ahli waris Allah adalah sama dengan mengatakan bahwa segala sesuatu yang dimiliki Kristus diberikan kepadanya oleh Bapa, dan bahwa ia tidak memiliki apa-apa selain dari apa yang diberikan kepadanya. Justru hal inilah yang ditegaskan oleh Yesus sendiri dalam pengajarannya kepada murid-muridnya: Yohanes 17:7 “Sekarang mereka tahu bahwa semua yang Engkau berikan kepadaku itu berasal dari Engkau.” Barrett menulis bahwa hal itu bisa diungkapkan dengan “‘Semua yang kumiliki berasal dari Engkau’… Yohanes seperti biasa menekankan ketergantungan Yesus, dalam misi duniawinya, kepada Bapa” (tentang Yoh.17:7). Demikian pula, mengatakan bahwa kita adalah ahli waris bersamasama dengan Kristus, sama juga dengan mengatakan bahwa apa pun yang kita miliki, kita terima dari Bapa oleh karena kasih-Nya yang tidak terduga untuk kita. Kita, dengan sendirinya, tidak memiliki apa-apa sama sekali. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 395 Yohanes 17:5 “Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah aku di hadirat-Mu sendiri dengan kemuliaan yang kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada.” I ni merupakan salah satu ayat yang disebut-sebut menyiratkan keilahian Yesus oleh trinitarian. Ada dua unsur dalam ayat ini yang mereka kira mendukung pandangan mereka: (1) “kemuliaan”: “kemuliaan yang kumiliki di hadirat-Mu” dan (2) pra-eksistensi: “sebelum dunia ada”. Kesalahan argumen trinitaris bersandar pada kenyataan bahwa gagasan-gagasan mereka sendiri telah dibacakan ke dalam makna kedua unsur itu, karena mereka gagal memahami makna kedua unsur itu dalam Injil Yohanes dan PB. Dengan kata lain, ini merupakan satu lagi dari sekian banyak contoh eisegesis trinitaris: membacakan ke dalam teks apa yang tidak ada di dalam teks dan yang tidak dimaksud oleh teks. Mengenai (1), “kemuliaan”, trinitarian sekadar berasumsi bahwa kemuliaan yang dimaksud di sini adalah kemuliaan ilahi, meskipun tidak ada bukti untuk hal itu dalam teksnya sendiri, jadi gagasan kemuliaan ilahi begitu saja dibacakan ke dalamnya. Paulus berbicara tentang adanya berbagai jenis kemuliaan (1Kor.15:40-43). Namun kenyataannya adalah bahwa dalam Injil Yohanes, “kemuliaan” memiliki makna yang tidak lazim dan, karena itu, tidak terduga. Adalah ciri khas Injil “spiritual” ini bahwa nilai-nilai manusia dibalikkan sehingga apa yang tidak mulia di mata manusia menjadi mulia di mata Allah. Sama seperti tertulis dalam kitab Yesaya, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Yahweh” (Yes.55:8). Demikian pula, dalam Ucapan Bahagia Yesus memberitahu muridmuridnya bahwa penganiayaan merupakan alasan untuk bersukacita ria (Mat.5:10-12), dan hal yang jarang diperhatikan adalah bahwa ia 396 The Only True God menggunakan kata “berbahagialah” dua kali dalam nas itu, yang menjadikannya “berkat ganda”. Namun anehnya, Ucapan Bahagia itu sering disebut “delapan berkat” (mis. dalam bahasa Cina) padahal ada sembilan. Namun sukacita bukanlah reaksi umum umat Kristen terhadap penganiayaan. Tidak banyak orang menganggap pengalaman penganiayaan sebagai pengalaman mulia. Akan tetapi, dalam Injil Yohanes, Yesus justru berbicara tentang penyalibannya sebagai peninggiannya, atau pemuliaannya. Ciri khusus kemuliaan dalam Yohanes—“ditinggikan”: Yohanes 3:14,15, “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal.” Yohanes 8:28, “Maka kata Yesus: ‘Apabila kamu telah meninggikan Anak Manusia, barulah kamu tahu bahwa akulah dia, dan bahwa aku tidak berbuat apa-apa dari diriku sendiri, tetapi aku berbicara tentang hal-hal, sebagaimana diajarkan Bapa kepadaku.’” Yohanes 12:32-33, “‘dan aku, apabila aku ditinggikan dari bumi, aku akan menarik semua orang datang kepadaku.’ Ini dikatakannya untuk menyatakan bagaimana caranya ia akan mati.” Yohanes 13:31, “Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: ‘Sekarang Anak Manusia dimuliakan dan Allah dimuliakan di dalam dia.’” Yohanes 7:39, “Yesus belum dimuliakan”—pada saat itu ia masih belum “ditinggikan”. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 397 Yohanes 12:23,24, “Kata Yesus kepada mereka, ‘Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan. Sesungguhnya aku berkata kepadamu: Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.’” Kaitan antara Yesus yang “dimuliakan” dengan biji gandum yang “menghasilkan banyak buah” melalui kematian dibuat jelas secara eksplisit. Kematian adalah “kemuliaan” biji gandum justru karena melalui kematiannya itu biji itu menghasilkan banyak buah, dan hanya dengan cara itu, karena tidak ada cara lain untuk sebuah biji berbuah banyak dan berlipatganda. Pepatah kuno “darah para martir merupakan benih jemaat” mewartakan kebenaran yang sama. Kematian sebagai sesuatu yang memuliakan Allah terlihat juga di Yohanes 21:19, “Dan hal ini dikatakannya (Yesus) untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah.” Akan tetapi, bagaimana bisa penderitaan dan penyaliban disebut “kemuliaan” yang dimiliki Yesus di hadirat Bapa sebelum dunia ada? Ini membawa kita kepada unsur kedua: “pra-eksistensi”. (2) “Sebelum dunia ada” (Yoh.17:5) Trinitarian berasumsi bahwa kata-kata ini berbicara tentang praeksistensi Yesus, tetapi pandangan ini bermasalah secara eksegetis karena (a) berdasarkan prinsip bahwa Kitab Suci sendiri merupakan penafsir yang terbaik, maka tidak ada kesejajaran langsung dengan kata-kata di Yohanes 17:5 ini di tempat lain dalam Kitab Suci (untuk saat ini tidak termasuk penafsiran trinitaris atas Yohanes 1 dan Filipi 2), jadi tidak ada bukti Alkitabiah yang dapat dikemukakan untuk mendukung gagasan pra-eksistensi Kristus di sini. (b) Namun sekalipun diasumsikan bahwa ayat ini berbicara tentang kemuliaan Kristus yang pra-eksisten, hal itu tidak membuktikan keilahiannya sama sekali. Pra-eksistensi bukanlah bukti keilahian. Para malaikat 398 The Only True God dan makhluk rohaniah lain pun pra-eksisten dalam arti mereka eksis sebelum dunia diciptakan, sebagaimana terlihat dari fakta bahwa mereka tidak disebut diciptakan sebagai bagian dari ciptaan materiil di Kejadian 1. (c) Frasa “di hadirat-Mu” (dalam “kemuliaan yang kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada”) bukanlah kesejajaran langsung dengan Yohanes 1:1 (“Firman itu bersama-sama dengan Allah”) di mana kata “bersama-sama dengan” dalam bahasa Yunaninya adalah pros; di Yohanes 17:5 adalah para seperti di Amsal 8:30 tentang Hikmat, “aku ada di sisi-Nya (para) sebagai kepala pekerja” (Ams.8:22-31 ILT). Ini mungkin mengusulkan bahwa di sini Logos di dalam Kristus tengah berbicara sebagai Hikmat. Namun ini berarti kita harus memahami “kemuliaan” dalam arti yang berbeda dari yang digunakan Yesus tentang dirinya. Untuk menghindar dari membacakan pemikiran kita sendiri ke dalam teks, kita perlu memeriksa dengan hati-hati konsep praeksistensi sebagaimana ia muncul dalam PB. Rasul Paulus menyatakannya dengan jelas dan ringkas seperti berikut di Roma 8 (ILT): Sebab, mereka yang telah Dia kenal sebelumnya, juga telah Dia pratetapkan serupa dengan gambar Putra-Nya, sehingga dia menjadi yang sulung di antara banyak saudara. 30Dan mereka yang telah Dia tetapkan sebelumnya, mereka juga telah Dia panggil, dan mereka yang telah Dia panggil, mereka juga telah Dia benarkan, dan mereka yang telah Dia benarkan, mereka juga telah Dia muliakan. 29 Serangkaian peristiwa dipaparkan di sini sebagai berikut: kenal sebelumnya pratetapkan (menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya) panggil benarkan muliakan. Perhatikan bahwa Yahweh Allah adalah pengarang dari kelima kejadian itu, yang dimulai dengan pra-pengetahuan-Nya sebagai Yang Mahatahu. Hal yang harus diingat adalah adanya selang waktu yang lama, atau kesenjangan waktu, antara Yahweh yang mengetahui segala Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 399 sesuatu “sebelum dunia ada” dan saat si orang beriman dipanggil dan dibenarkan. Dan masih ada selang atau kesenjangan waktu lain (yang mungkin lama) dari saat panggilan dan pembenaran si orang beriman sampai kepada saat ketika ia akan dimuliakan pada hari kebangkitan dari antara orang mati dan masuk ke dalam kepenuhan hidup kekal. Artinya, dari “kenal sebelumnya” sampai pada “dimuliakan” di Roma 8:29,30 meliputi pra-eksistensi dalam keabadian yang merentang ke masa lalu hingga kepada keabadian yang merentang ke masa depan: seperti ada tertulis “dari selamalamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Mzm.90:2). Hal yang relevan dari semuanya ini untuk pemahaman kita mengenai pra-eksistensi Alkitabiah adalah bahwa Yahweh telah mengenal si orang beriman itu sebelumnya jauh sebelum ia benarbenar ada, sesungguhnya, “sebelum dunia ada”; si orang beriman telah ada dalam pengetahuan Allah jauh sebelum kelahirannya ke dalam dunia. Hal ini, tentu saja, sama persis dengan “manusia Kristus Yesus”. Orang-orang dan peristiwa-peristiwa sudah ada dalam pengetahuan Allah terlebih dahulu, dan dengan demikian, Ia dapat bertindak berdasarkan pra-pengetahuan itu, sehingga setiap orang yang Ia panggil akan menjadi serupa dengan gambaran AnakNya menurut rencana keselamatan-Nya bagi umat manusia yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini dikonfirmasi dengan mempertimbangkan referensi Yohanein yang lain di kitab Wahyu, yang menyatakan realitas kekekalan: Wahyu 13:8, “Dan semua orang yang diam di atas bumi akan menyembah si binatang—setiap orang yang namanya tidak tertulis di dalam kitab kehidupan Anak Domba yang telah disembelih sejak dunia dijadikan. {Atau, tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan Anak Domba yang telah disembelih}” (NIV). 400 The Only True God Sintaksis atau susunan kalimat dari teks Yunaninya lebih mendukung terjemahan NIV daripada alternatif yang diberikannya dalam tanda kurung. Berdasarkan pembacaan ini, Anak Domba, Yesus, telah disembelih pada penciptaan dunia, yaitu, di dalam pikiran dan rencana penyelamatan Allah, jauh sebelum ia dilahirkan di Israel. Sekarang kita dapat melihat bagaimana kemuliaan dari “peninggian” Yesus di atas kayu salib terkait dengan “sebelum dunia ada” dalam perkataan Yesus di Yohanes 17:5—sebuah pernyataan yang mengandung kedalaman yang mencengangkan. Pra-eksistensi rencana Allah untuk keselamatan umat manusia di dalam Kristus K eselamatan merupakan sesuatu yang sudah ada dalam rencana Allah sebelum dunia ada. Di ayat-ayat berikut kita akan melihat beberapa contoh dari “sebelum dunia ada” yang diterapkan kepada semua orang beriman: Matius 25:34, “Lalu Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanannya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapaku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.” Kerajaan itu disediakan bagi “kamu” jauh sebelum “kamu” ada, sesungguhnya, sudah “sejak dunia dijadikan”! Wahyu 13:8, “Semua orang yang tinggal di atas bumi akan menyembahnya (binatang itu), yaitu setiap orang yang namanya tidak tertulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan dari Anak Domba, yang telah disembelih.” Ini merupakan kemungkinan lain dalam menerjemahkan teks Yunani ayat ini; jadi “sejak dunia dijadikan” merujuk baik kepada orang-orang beriman maupun kepada sang Anak Domba, tetapi yang mana pun mereka ada dalam rencana Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 401 Allah sebelum mereka memasuki dunia ini. Jika terjemahan ini diterima, maka itu berarti bahwa mereka yang tidak menyembah binatang itu adalah mereka yang namanya tertulis dalam kitab kehidupan dari Anak Domba sejak dunia dijadikan. 2Timotius 1:9, “Dialah (Allah) yang menyelamatkan kita dan memanggil kita dengan panggilan kudus, bukan berdasarkan perbuatan kita, melainkan berdasarkan maksud dan anugerahNya sendiri, yang telah dikaruniakan kepada kita dalam Kristus Yesus sebelum permulaan zaman [yaitu dalam kekekalan, πρὸ χρόνων αἰωνίων]”. Mengenai Kristus sendiri dikatakan bahwa ia, “yang memang telah diketahui terlebih dahulu sebelum permulaan dunia, tetapi baru dinyatakan pada masa yang terakhir bagi kamu” (1Ptr.1:20, ILT; bdk. 2Tim.1:9,10). Ia telah “diketahui terlebih dahulu” oleh Allah, tetapi tidak disebut tentang pra-eksistensi. Ayat berikutnya (1:21) berkata, “Melalui dialah kamu percaya kepada Allah yang telah membangkitkan dia dari antara orang mati dan telah memuliakannya, sehingga imanmu dan pengharapanmu tertuju kepada Allah”. Di sini, kemuliaan yang diberikan kepada Kristus oleh Allah bukanlah kemuliaan pra-eksisten tetapi diberikan kepadanya setelah Allah membangkitkan dia dari antara orang mati. Roma 4:17—Allah “memanggil hal-hal yang tidak ada seolah-olah ada” (NIV) “A llah yang… memanggil hal-hal yang tidak ada seolah-olah ada” (Roma 4:17, NIV). James Dunn (Word Biblical Commentary, Roma) sependapat bila terjemahan ini tepat, tetapi menganggapnya terlalu “lemah”, dan lebih menyukai “memanggil hal-hal yang tidak ada menjadi ada”. Tentu saja kedua terjemahan 402 The Only True God itu mungkin, dan tidak saling eksklusif. Namun terjemahan yang lebih disukai Dunn berfungsi untuk menggaris-bawahi pernyataan yang mendahuluinya (“Allah yang menghidupkan orang mati”). Meskipun demikian, terjemahan NIV mengungkapkan sebuah kebenaran yang mendalam: Bagi Allah, hal-hal yang belum ada, adalah “seolah-olah sudah ada”, yaitu sudah bereksistensi. Misalnya, bagaimana mungkin Ia telah bertindak demi keselamatan kita sebelum dunia dijadikan ketika kita masih belum ada? Jawabannya ditemukan justru di Roma 4:17: Dalam pikiran dan prapengetahuan-Nya, kita sudah ada, dan Ia bertindak sesuai dengan pra-pengetahuan itu dengan mengambil langkah-langkah konkret sehubungan dengan kita bahkan sebelum dunia diciptakan! Bukankah ini tepatnya yang dikatakan Paulus, “Mereka yang telah Dia kenal sebelumnya…Dia panggil” (Rm.8:29,30, ILT)? Ayat-ayat yang kita baca dalam paragraf terdahulu, seperti Matius 25:34; 2Timotius 1:9; dan Wahyu 13:8, semuanya mencontohkan kebenaran yang sama ini tentang Allah, yang memberikan anugerah keselamatanNya kepada kita di dalam Kristus “sebelum permulaan zaman” (2Tim.1:9). Ini berarti sebuah tujuan yang terbentuk dalam pikiran Allah adalah sebagus tujuan yang telah tergenapi atau telah ada. Dalam arti ini, kita telah ada “sebelum dunia dijadikan”, dan “mereka yang telah Dia kenal sebelumnya…Dia muliakan” (Rm 8:29,30, ILT)—Allah telah memuliakan kita sebelum dunia dijadikan! Seperti itulah kepastian dari tujuan-tujuan Yahweh, tanpa menghiraukan betapa dekat atau jauh di masa depan, sehingga kata-kata (dipanggil, dibenarkan, dimuliakan) itu semuanya ditulis dalam past tense (Yunani: aorist)! Paulus dikaruniai pemahaman yang mendalam akan Allah; dan atas dasar inilah ia dapat membuat pernyataan yang luar biasa seperti itu. Diterapkan kepada dirinya sendiri, ia memahami bahwa Allah dalam kasih dan anugerah-Nya telah memilih dia dan memuliakan dia sejak kekekalan. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 403 Jika Paulus memahami hal ini, tidakkah Yesus juga tahu tentang hal itu? Tentu saja. Ini terlihat dari Yohanes 17:5, “Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah aku di hadirat-Mu sendiri dengan kemuliaan yang kumiliki di hadirat-Mu sebelum dunia ada”. Mengingat pembahasan terdahulu, sekarang kita siap untuk menyimpulkan kajian kita atas ucapan Yesus yang signifikan ini: (1) “Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah aku di hadirat-Mu sendiri”, yang mengawali kalimat itu, jelas menunjukkan bahwa Yesus sedang bersiap-siap untuk memasuki hadirat Bapa melalui kematian dan kebangkitannya: Bdk. “Aku pergi kepada Bapa” (Yoh.16:10), “Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh.14:2,3), “Aku belum naik kepada Bapa” (Yoh.20:17), tetapi ia akan segera naik. (2) “Muliakanlah aku”; kita telah melihat makna khusus dari “kemuliaan” dan “mempermuliakan” dalam Injil Yohanes. Hal yang perlu diamati di sini adalah, “muliakanlah” berbentuk aktif, menunjukkan bahwa pemuliaan ini merupakan tindakan Bapa: Yesus yang “ditinggikan”, kematiannya di kayu salib untuk dosa adalah, pada akhirnya, hasil usaha Allah, bukan manusia; kematian Kristus demi keselamatan kita adalah rencana Allah, bukan manusia. Yesus adalah “Anak Domba Allah”. Imam di bait suci yang menyembelih anak domba itu sekadar bertindak atas nama orang yang mempersembahkan anak domba itu; anak domba itu bukan anak domba imam. “Anak Domba Allah” disebut demikian karena ia dipersembahkan oleh Allah untuk keselamatan kita: “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh.4:10). Oleh karena itu, kematian Kristus sebagai kurban pendamaian bagi kita terutamanya adalah perbuatan Allah. Jika kita gagal melihat hal ini kita akan secara keliru menyalahkan orang Romawi atau Yahudi atas kematiannya yang hanya berfungsi sebagai alat dalam rencana Allah demi keselamatan umat manusia. 404 The Only True God (3) Rencana keselamatan ini bukan hasil pemikiran yang timbul kemudian di pihak Allah, tetapi telah dipersiapkan dalam kekekalan “sebelum dunia ada” dan sekarang tengah diterapkan melalui kasih, kuasa, dan hikmat Allah. Mempertimbangkan hal-hal tersebut, sang Rasul berseru, “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” (Rm.11:33) Akhirnya, kebenaran bahwa Allah “memanggil hal-hal yang tidak ada seolah-olah sudah ada” (Rm.4:17, NIV) bukanlah sekadar sebuah soal teologi untuk memuaskan rasa ingin tahu kita. Kebenaran itu ditulis demi sebuah tujuan yang sangat praktis, yaitu, menunjukkan bahwa iman bukanlah semacam angan-angan tetapi bersandar pada batu karang karakter Allah Sendiri, dan yang rencana dan tujuan-Nya tidak mungkin gagal. Iman, bahkan dalam menghadapi rintangan yang tampaknya tak teratasi, pasti akan menang, bukan karena ada apa-apa yang inheren di dalam iman itu sendiri, tetapi karena Dia yang kepada-Nya iman bergantung. Inilah sebabnya mengapa konteks Roma 4 berkaitan terutama dengan aplikasi praktis iman dalam kehidupan kita bahkan dalam berbagai keadaan yang tidak bersahabat, dan Abraham diangkat sebagai teladan dari hal ini: Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. 20 Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, 21 serta berkeyakinan penuh bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan. 19 Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 405 Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran.” 22 Lebih luar biasa lagi adalah keyakinan Yesus yang tak tergoyahkan atas rencana keselamatan Bapa yang sedang dilaksanakan melalui dia, khususnya sekarang ketika saat pemuliaannya semakin mendekat. Dalam cahaya inilah kita mulai memahami kedalaman dan kuasa dari perkataannya di Yohanes 17:5. Dengan tabah Yesus meminta kepada Bapa untuk “memuliakan aku” sekarang, dan kemuliaan apa lagi yang bisa diberikan kepadanya di saat genting dalam “sejarah keselamatan” itu selain “peninggian”-nya melalui kematian di kayu salib, yang selanjutnya akan dibenarkan dengan “dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa” (Rm.6:4)? Kata “sekarang” (nun, “pada saat ini”) yang mengawali kalimat di Yohanes 17:5 (“Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah aku di hadirat-Mu”), bukan sekadar kata pengantar hiasan, tetapi menunjuk secara khusus kepada momen saat itu: ia meminta supaya pemuliaannya menurut rencana Yahweh, yang ditetapkan “sebelum dunia ada”, untuk dimulai sekarang. 24 Di sini kita melihat kelayakan Kristus untuk menerima hormat dari khalayak di surga yang memberitakan, “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” (Why.5:12) “Tu[h]an yang mulia”, 1Korintus 2:8; Yakobus 2:1 M engingat pembahasan mengenai “kemuliaan” (Yoh.17:5) di atas, maka ini tempat yang tepat untuk menyisipkan sebuah Faktor waktu juga terlihat dalam kalimat sebelumnya: “Aku telah memuliakan Engkau di bumi dengan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepadaku untuk kulakukan”, Yoh.17:4. 24 406 The Only True God pembahasan atas gelar “Tu[h]an yang mulia” yang muncul hanya di dua tempat dalam PB (1Kor.2:8; Yak.2:1). Pertama-tama kita pertimbangkan yang ada di surat Paulus: Tetapi yang kami beritakan ialah hikmat Allah yang tersembunyi dan rahasia, yang sebelum dunia dijadikan, telah disediakan Allah bagi kemuliaan kita. 8 Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenal hikmat ini, sebab sekiranya mereka mengenalnya, mereka tidak menyalibkan Tu[h]an yang mulia. 9 Tetapi seperti ada tertulis: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” [Yes.64:4] 7 Kita melihat bahwa gelar “Tu[h]an yang mulia” itu terselip di antara dua ayat yang berbicara tentang kemuliaan yang telah disiapkan Allah untuk orang beriman (“kemuliaan kita”, ay.7), yaitu untuk “mereka yang mengasihi Dia” (ay.9); dan Ia mempersiapkannya “sebelum dunia dijadikan” (ay.7). Ini menerangkan bahwa Yesus adalah “Tu[h]an yang mulia” justru karena melalui Kristus Yahweh Allah membuat kemuliaan ini tersedia untuk “mereka yang mengasihi Dia”, artinya, Allah memuliakan Yesus sebagai “Tu[h]an” yang mulia, dan melalui dia Allah menggenapi tujuan mulianya di dalam semua orang percaya. Namun kaitannya dengan “kemuliaan” dalam Injil Yohanes (dipahami dalam istilah “ditinggikan”) tidak boleh dilewatkan sebab, seperti di Injil Yohanes, Paulus di sini berbicara tentang “penguasa-penguasa zaman ini” yang “menyalibkan Tu[h]an yang mulia”. Karena itu, “Tu[h]an yang mulia” dan “penyaliban” terkait secara tak terpisahkan. Seperti di Filipi 2:9-11, ia adalah “Tu[h]an yang mulia” karena ia disalibkan. Menggunakan “Tu[h]an yang mulia” sebagai gelar ilahi, yang kita Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 407 lakukan sebagai trinitarian, berarti merenggut gelar itu dari konteks Paulinnya dan, dengan demikian, menyalahgunakannya. Dalam PL, Yahweh dilukiskan sebagai “Raja Kemuliaan”: “Siapakah itu Raja Kemuliaan?” “Yahweh, jaya dan perkasa! Yahweh, perkasa dalam peperangan!” (Mzm.24:8). Namun hal ini tidak ada gunanya bagi trinitarianisme karena untuk mengidentifikasikan Yesus sebagai Yahweh tidak memenuhi tujuan trinitaris: itu hanya akan membingungkan “Pribadi Pertama” dengan “Pribadi Kedua” dari Allah Trinitas. G.G. Findlay (mantan Professor of Biblical Literature, Exegesis, and Classics, Headingley College, UK) mengamati dengan tepat, “Ungkapan kurios tēs doxēs (‘Tu[h]an yang mulia’) bukanlah padanan untuk Ke-Allahan Kristus; ia menandakan segenap keagungan Tu[h]an yang berinkarnasi, yang disalibkan oleh orang bijak dan orang besar dunia” (The Expositor’s Greek Testament, tentang 1Kor.2:8). Namun walaupun benar gelar “Tu[h]an yang mulia” tidak mengandung referensi kepada keilahian Kristus, apakah mungkin ia mengandung referensi kepada kemuliaan Yahweh yang tinggal dalam Kristus melalui inkarnasi? Sarjana PL yang terkenal, W.E. Oesterley, berpendapat memang demikian, dan membahas hal ini dengan cukup panjang lebar dalam tafsirnya atas surat Yakobus, khususnya Yakobus 2:1. Ayat ini diterjemahkan secara beragam dalam terjemahan-terjemahan modern yang berbeda. Masalah utama adalah cara menerjemahkan frasa Yunani dalam ayat ini, yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah “our Lord Jesus Christ of glory” (τοῦ κυρίου ἡμῶν Ἰησοῦ Χριστοῦ τῆς δόξης). Berikut ini adalah beberapa contoh: ESV: “My brothers, show no partiality as you hold the faith in our Lord Jesus Christ, the Lord of glory” (juga RSV). Ini memberikan paralel yang jelas untuk 1Korintus 2:8, tetapi masalah dengan terjemahan ini adalah kata “Tu[h]an” muncul 408 The Only True God dua kali sedangkan dalam teks Yunaninya hanya muncul sekali. NIV: “My brothers, as believers in our glorious Lord Jesus Christ, don’t show favoritism.” Di sini “of glory” diambil sebagai genitif deskriptif, karena itu “glorious”. NJB: “My brothers, do not let class distinction enter into your faith in Jesus Christ, our glorified Lord.” Tidak peduli bagaimana Yakobus 2:1 diterjemahkan, kata-kata “the glory” (tēs doxēs) memang muncul dalam teks Yunani, dan tentang hal ini W.E. Oesterley menulis, ‘Ciri Yahudi yang sangat kental dari Surat itu cukup memastikan bahwa sang penulis di sini tengah merujuk kepada konsepsi Yahudi yang terkenal tentang Syekinah. Syekinah (dari akar kata skn “tinggal”) menandakan hadirat Allah yang kelihatan yang tinggal di antara manusia. Ada beberapa referensi kepadanya dalam PB selain nas ini, Lukas 2:9; Kisah 7:2; Roma 9:4; bdk. Ibrani 9:5; juga Targum, mis., di Targ. Onkelos kepada Bil.6:25dyb. “wajah (dalam arti penampilan atau hadirat) Tuhan” disebut sebagai Syekinah. Sebuah konsepsi yang lebih materialistis dijumpai dalam Talmud di mana Syekinah muncul dalam hubungannya dengan manusia sebagai seorang yang berurusan dengan yang lain; mis., di Sota, 3b, dikatakan bahwa sebelum Israel berbuat dosa, Syekinah berdiam dengan setiap orang secara independen, tetapi setelah mereka berbuat dosa Syekinah itu diambil; Pirqe Aboth, 3:3: “Rabi Chananiah ben Teradyon [hidup pada abad ke-2 M] berkata, Dua orang yang duduk bersama dan sibuk dengan perkataan Torah mempunyai Syekinah di antara mereka” (bdk. Mat.18:20). Dengan demikian, Syekinah digunakan oleh orang Yahudi sebagai suatu ungkapan tidak langsung sebagai pengganti Allah, Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 409 hadirat ilahi yang terlokalisir… Jika penafsiran kita akan doxa (‘kemuliaan’) itu benar maka ini berarti bahwa makna frasa… Iēsou Xristou tēs doxēs (‘Yesus Kristus yang mulia’) bebas dari ambiguitas, viz., “…Percaya kepada Tu[h]an kita Yesus Kristus, sang Syekinah” (secara harfiah “kemuliaan itu”); ini justru adalah pemikiran yang sama yang terkandung dalam kata-kata, “dia yang menjadi cahaya kemuliaan-Nya…”’ (Ibr.1:1-3). (The Expositor’s Greek Testament, tentang Yakobus 2:1) Oesterley memulai pembahasannya tentang “kemuliaan” sebagai merujuk kepada Syekinah dengan sebuah referensi kepada “ciri Yahudi yang sangat kental” dari surat Yakobus, tetapi itu tidak mungkin lebih Yahudi daripada Paulus, sebab Paulus bisa berbicara dengan bangga tentang dirinya sebagai “orang Ibrani asli” (Flp.3:5); karena itu, apa yang benar untuk Yakobus juga benar untuk Paulus. Jadi sangat menarik Oesterley menunjuk ke Roma 9:4 sebagai sebuah contoh dalam tulisan Paulus di mana “kemuliaan itu” (seperti di Yak.2:1 dan 1Kor.2:8) adalah Syekinah: “Sebab mereka adalah orang Israel, mereka telah diangkat menjadi anak, dan mereka telah menerima kemuliaan, dan perjanjian-perjanjian, dan hukum Taurat, dan ibadah, dan janji-janji” (Rm.9:4). Tidak mudah untuk menemukan penjelasan lebih baik atas “kemuliaan” dalam ayat ini, sebagaimana diperlihatkan oleh buku-buku tafsir lain. Syekinah akan dibahas dengan lebih rinci dalam buku ini. Yohanes 17:22—kesatuan Yesus dengan Bapa “Dan aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan yang Engkau berikan kepadaku, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu”. 410 The Only True God Kesatuan Yesus dengan Bapa merupakan argumen lain yang digunakan oleh trinitarianisme, yang begitu saja berasumsi bahwa kesatuan membuktikan kesetaraan. Asumsi itu sama sekali tidak benar. Hal ini semestinya jelas terlihat dalam terang 1Korintus 6:16,17, tetapi kita tidak mengindahkannya: 1Korintus 6:17, “Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tu[h]an, menjadi satu roh dengan dia.” Ikatan kesatuan antara orang beriman dengan Tu[h]an pada intinya sama dengan yang ada di Yohanes 17:22, tetapi tak seorang pun akan begitu congkak sampai mengira bila ikatan kesatuan dengan Tu[h]an ini menyiratkan kesetaraan orang beriman dengan dia. Yohanes 17:23—Yesus berkata bahwa Bapa mengasihi kita sama seperti Ia mengasihi dia M ari kita pertimbangkan pernyataan Yesus yang mencengangkan di Yohanes 17:23 bahwa Bapa mengasihi kita sama seperti Ia telah mengasihi Yesus sebagai Anak-Nya, dan bahwa hal ini harus dinyatakan kepada dunia. Setiap orang beriman sangat mengenal Yohanes 3:16, “Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal”, tetapi berapa banyak orang yang mengetahui 17:23, “Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku”? Bapa mengasihi dunia sampai-sampai mengorbankan apa yang paling dikasihi-Nya Sendiri, Anak-Nya; betapa lagi Ia mengasihi mereka yang telah berpaling dari zaman sekarang ini dan disatukan dengan Dia dalam Kristus? Jawaban yang kita temukan adalah bahwa Ia mengasihi mereka sama seperti Ia mengasihi Kristus! Memang menakjubkan, akan tetapi, setelah merenungkannya lebih lanjut jelaslah bila hal itu pun tak terelakkan. Mengapa? Apakah mungkin bahwa Bapa, setelah menyatukan murid-murid Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 411 dengan Kristus sebagaimana Tubuh dengan Kepala, lantas akan lebih mengasihi Kepala daripada Tubuh? Apalah artinya Kepala tanpa Tubuh? Karena kepala memperoleh kepenuhan dan keutuhannya di dalam tubuh. Lagipula, ini adalah Tubuh yang dijadikan oleh Yahweh melalui Kristus menurut rencana kekal-Nya, dan demikian menyatakan kuasa dan hikmat-Nya, seperti tertulis di Efesus 3:21 “bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat (Tubuh) dan di dalam Kristus Yesus (Kepala) turun-temurun sampai selamalamanya. Amin.” Bahwa Allah mengasihi mereka yang ada di dalam Kristus, sama seperti Ia mengasihi Kristus, sudah tentu menjadi penyebab untuk bersukacita—bersukacita di dalam Tuhan yang mengasihi kita itu. Kasih-Nya yang tak terkatakan inilah yang menjadi penyebab untuk kita bersukacita di dalam Dia dalam segala kondisi hidup yang harus kita alami di dunia. Inilah alasan bagi nasihat Paulus untuk “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Flp.4:4). Paulus sudah menasihati jemaat di Filipi “bersukacitalah dalam Tuhan” di Filipi 3:1. Namun frasa ini tidak muncul di tempat lain dalam PB. Akan tetapi, frasa itu muncul 9 kali (4 kali dalam kitab Mazmur) dalam PL. Harus diperhatikan pula bahwa dalam setiap contoh PL, “Tuhan” adalah “TUHAN”, yaitu Yahweh. Surat Filipi ditulis dalam kerasnya kondisi penjara Romawi, maka sangat mungkin bila Habakuk 3 ada dalam pikiran Paulus secara khusus: Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladangladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, 18 namun aku akan bersorak-sorak di dalam Yahweh, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. 17 412 The Only True God Bahkan ketika tidak ada apa-apa untuk disoraki dalam situasi kehidupan kita, Yahweh Sendiri senantiasa menjadi penyebab dari sukacita kita, karena Ia telah mengasihi kita sama seperti Ia mengasihi Anak-Nya yang terkasih, dan kita adalah yang terkasih di dalam Kristus Yesus, yang adalah “kemuliaan anugerah-Nya, yang dengannya Dia telah merahmati kita di dalam Yang Terkasih” (Ef 1:6, ILT)—kita adalah yang terkasih di dalam Yang Terkasih! Yang Terkasih merupakan kepala komunitas yang terkasih, yaitu jemaat. Akibatnya, kita menganggap pasti istilah “jemaat Kristus”. Saya sungguh terkejut ketika mendapati istilah ini tidak ada dalam PB! Sebaliknya, istilah “jemaat Allah” dijumpai 7 kali dalam PB. Konsep bahwa jemaat merupakan kepunyaan Allah sebagai milikNya yang unik telah menjadi asing untuk kebanyakan dari kita, sebab kita pun agaknya telah lupa bahwa Kristus sendiri adalah milik Allah (1Kor.3:23). Di sini kita bisa melihat contoh lain bagaimana trinitarianisme mempengaruhi pemahaman kita akan penyataan Alkitabiah, dalam contoh ini konsep kita tentang sesuatu yang begitu dasariah seperti jemaat. Kita terus berbicara tentang “jemaat Kristus” sedangkan dalam PB istilah itu tidak pernah dipakai sama sekali! Pelayanan Kristus dan jemaat mencapai puncaknya ketika Yahweh Allah ditinggikan sebagai “semua di dalam semua” S alah satu tempat di mana Paulus membuat referensi kepada “Jemaat Allah” adalah 1Korintus 15:9. Banyak kebenaran penting dinyatakan secara unik dalam pasal ini. Di sini kebenaran bahwa Allah (Yahweh) sendiri adalah yang tertinggi di atas segala sesuatu, termasuk sang Anak, dinyatakan dengan terang-benderang. Beralih dari satu hal penting ke hal penting yang lain kita tiba di ay.28: “Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 413 Kristus, maka ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan dirinya di bawah Dia (Allah, sang Bapa, ay.24), yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawahnya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua.” Ayat ini sangat problematik untuk saya selaku trinitarian, demikian juga untuk semua trinitarian, karena di situ dinyatakan dengan gamblang bahwa bahkan otoritas yang dijalankan Anak hingga saat itu akan dikembalikan kepada Bapa, Yahweh Allah, dan “ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan dirinya di bawah Dia”. Tentu saja, cara biasa yang digunakan untuk keluar dari kesulitan adalah dengan memakai gaya “bicara ganda” yang dikenal baik oleh kita semua, yaitu, dengan berargumentasi bila hal itu tidak berlaku kepada Yesus sebagai Allah, tetapi hanya sebagai manusia saja. Namun argumen ini mengabaikan setidaknya dua masalah serius: (1) meskipun istilah “Anak” tidak muncul di tempat lain dalam pasal ini, istilah itu justru muncul dalam ayat krusial ini! Hal ini terjadi seolah-olah Allah dapat meramalkan gaya bicara ganda ini! “Anak” justru merupakan gelar yang digunakan oleh trinitarian untuk merujuk kepada “Allah-Anak”; (2) ayat ini berbicara tentang masa depan, bukan masa lalu, sewaktu “Anak” (dalam arti trinitaris) menaklukkan dirinya sendiri kepada Allah sang Bapa sebagai manusia Kristus Yesus (Flp.2:6-8). Lagipula, hal yang menariknya adalah sekalipun Kristus ditinggikan oleh Allah Bapa setelah kematian dan kebangkitannya (Flp.2:9-11), akan tetapi dalam tatanan kekal “ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan dirinya di bawah Dia”; sebab esensi dari realitas kekal adalah Allah sendiri yang “semua di dalam semua” (1Kor.15:28). Yahweh Allah yang dari-Nya segala sesuatu berasal, dan yang kepada-Nya segala sesuatu akan kembali, pada akhirnya akan diakui dan dimuliakan sebagai yang mutlak segalanya bagi setiap orang dalam setiap aspek— “semua di dalam semua”. Dalam PB, sasaran tunggal dari pelayanan Kristus adalah peninggian Yahweh Allah sendiri sebagai yang tertinggi di atas sega- 414 The Only True God lanya. Ketika tujuan ini berhasil dicapai, selesai pulalah pelayanannya. Ini berarti pelayanannya yang mulia itu pelayanan “terbatas waktu” (“time-limited”); ia tidak berlanjutan tanpa mencapai sebuah kesimpulan: ada satu sasaran khusus yang hendak dicapainya dan, sekali tercapai, pekerjaan Kristus akan berakhir pada saat itu. Sebuah pekerjaan yang berlangsung tanpa batas waktu adalah pekerjaan yang tidak pernah mencapai sebuah kesimpulan; tetapi tidak demikian halnya dengan Kristus. Sekali umat manusia berhasil ditebus, maka karya penebusan dan keselamatan telah berakhir. Sekali dosa telah ditebus untuk selamanya, pekerjaan imam besar kita Yesus Kristus telah selesai, dan pelayanan pengorbanan di Bait Allah tidak lagi diperlukan. Imam besar tidak lagi mempunyai tugas lebih lanjut. Namun karena kita belum mencapai kesempurnaan (Flp.3:12) dan oleh karena itu, bisa bersalah karena melakukan dosa yang tidak disengaja, imam besar kita terus bersyafaat untuk kita (Ibr.7:25; 1Yoh.2:1), dan ia akan terus berbuat demikian hingga kita disempurnakan pada hari itu saat “kita akan menjadi sama seperti dia” (1Yoh.3:2). Demikian pula, sekali pendamaian itu tercapai maka tidak diperlukan lagi seorang pengantara (1Tim.2:5). Lagipula, keselamatan dalam PB itu melampaui pendamaian kepada anugerah yang menjadikan kita “anak-anak Allah” (Rm.8:16), “dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris” (Rm.8:17) dan, tentu saja, tidak ada anak yang membutuhkan pengantara untuk datang kepada ayahnya. Jadi seorang pengantara yang baik (seperti dokter yang baik) berhasil “membuat dirinya kehilangan pekerjaan” dengan membawa perdamaian. Inilah kemuliaan dan keindahan Kristus sebagai pengantara, yang kepadanya semua orang yang telah didamaikan akan tetap bersyukur selamanya, memuji Allah yang menyediakan bagi umat manusia seorang pengantara hebat seperti itu. Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 415 “Anak” di 1Korintus 15:28 tentunya digunakan secara biasa sebagai gelar sang Mesias, atau “Kristus”, dan dalam arti ini tidak menimbulkan masalah apa-apa. Sebaliknya, ia menekankan kejayaan penggenapan pelayanan Mesianik Kristus Yesus, seperti yang dinyatakan di ay.24, “Kemudian tiba kesudahannya, yaitu bilamana ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah Bapa, sesudah ia membinasakan segala pemerintahan, kekuasaan dan kekuatan”, yaitu, setiap kekuatan yang menolak untuk takluk kepadanya. Semuanya ini mempunyai sasaran terakhir “supaya Allah (Bapa) menjadi semua di dalam semua”. Monoteisme Perjanjian Baru yang mutlak ini nyaris tidak dapat dibuat lebih jelas lagi. Yohanes 20:28 T rinitarian selalu menunjuk kepada Tomas yang menyembah Yesus dengan ucapan, “Tu[h]anku dan Allahku” (Yoh.20:28). Barangkali mereka menyangka Tomas tidak mengetahui atau menghiraukan apa yang telah dikatakan Yesus kepada si iblis ketika ia dicobai: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya (monos) kepada Dia sajalah engkau berbakti (atau beribadah, Flp.3:3; Kis.26:7 bdk. Ibr.9:9; 10:2; latreuō “beribadah atau bersujud, menyembah”, Greek Lexicon oleh Thayer)’”, Matius 4:10; Lukas 4:8? Atau mungkin Tomas tidak tahu ajaran Yesus, atau doanya yang dipanjatkan kepada “satu-satunya Allah yang benar” (Yoh.17:3)? Mungkinkah trinitarian beranggapan Tomas bukan seorang Yahudi atau monoteis? Apakah Yesus sudah melupakan ajarannya sendiri dan, karena itu, tidak menegur Tomas? Pemikiran seperti ini keluar dari sentuhan dengan fakta-fakta Alkitabiah. Masalah dasariah dengan penafsiran trinitaris adalah mereka selalu mengabaikan konteks dari ayat yang digunakan, atau lebih tepat, disalahgunakan. Adalah fakta mendasar di dalam ilmu penafsiran bahwa “teks tanpa konteks 416 The Only True God menjadi sebuah preteks.” Perkataan Tomas hanya dapat dipahami secara tepat di dalam seluruh konteks Injil Yohanes. Di sini kita hanya bisa mempertimbangkan beberapa hal relevan secara langsung: Percakapan yang mengesankan antara Yesus dengan muridmuridnya tidak lama sebelum penyalibannya tak pelak telah terpatri dalam ingatan Tomas, yaitu tentang melihat Bapa, yang tak lain dan tak bukan adalah Yahweh: Yohanes 14: 8 Kata Filipus kepadanya: “Tu[h]an, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” 9 Kata Yesus kepadanya: “Telah sekian lama aku bersamasama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal aku? Siapa saja yang telah melihat aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. 10 Tidak percayakah engkau bahwa aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku? Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri, tetapi Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya. 11 Percayalah kepadaku bahwa aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku; atau setidak-tidaknya, percayalah karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri.” Mengingat percakapan di atas, ketika Tomas melihat Kristus yang tersalib—yang kini “telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa” (Rm.6:4)—berdiri di hadapannya, kata-kata Yesus “siapa saja yang telah melihat aku, ia telah melihat Bapa” secara harfiah kini “menjadi hidup” di hadapan matanya. Sekarang ia melihat sang Bapa di dalam Kristus dan berseru “Tu[h]anku dan Allahku!”, sebuah ucapan yang siap keluar dari mulut seorang Yahudi ketika melihat penglihatan seperti itu. Ini menggemakan kata-kata Yesaya, “Namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 417 Yahweh semesta alam! (Yes.6:5). Tentu saja Tomas berbicara mewakili semua rasul lain di dalam ruangan itu. Hendaknya juga diperhatikan bahwa alasan yang diberikan Yesus atas ucapan bahwa siapa saja yang telah melihat dia telah melihat Bapa terungkap dalam kata-kata, “Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam aku” yang dinyatakan dua kali (Yoh.14:10,11), dengan demikian menekankan pentingnya penjelasan itu. Pernyataan yang diulangi ini tidak dimaksud hanya untuk menegaskan keakraban hubungannya dengan Bapa dalam bahasa metaforis tetapi untuk menyatakan sebuah kenyataan rohaniah sejati, yaitu sang Bapa hidup di dalamnya dan “Bapa, yang tinggal di dalam aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan-Nya” (ay.10). Dengan kata lain, keberdiaman Bapa di dalamnya merupakan realitas rohaniah yang dinamis dari kehidupan dan pelayanan Yesus. Dari pihak Yesus, ia hidup sepenuhnya di dalam sang Bapa yang dalam pelaksanaannya berarti hidup sepenuhnya di bawah otoritas-Nya: “Apa yang aku katakan kepadamu, tidak aku katakan dari diriku sendiri” (ay.10). Keberdiaman Bapa di dalam Yesus merupakan sesuatu yang disebut Yesus bukan saja pada akhir pelayanannya di bumi tetapi sudah sejak permulaan. Tomas pasti teringat bahwa Yesus sudah berbicara tentang tubuhnya sebagai bait Yahweh (Yoh.2:19), terlebih lagi karena apa yang dikatakan Yesus itu dikutip di sidang pengadilan untuk mencelakakan dia (Mat.26:61; Mrk.14:58). Dan karena tubuh Yesus adalah bait suci Yahweh, jelaslah Yahweh tinggal di dalam dia secara jasmaniah (Kol.2:9). Berkenaan dengan kebangkitan, di Yohanes 2:22 dinyatakan secara khusus bahwa “Karena itu, sesudah ia bangkit dari antara orang mati, muridmuridnya teringatlah bahwa hal itu telah dikatakannya, dan mereka pun percaya kepada Kitab Suci dan kepada perkataaan yang telah diucapkan Yesus.” Bukankah Tomas salah satu murid yang teringat dengan hal itu? Dan bukankah pengalaman mengejutkan melihat 418 The Only True God Kristus berdiri di depan dia karena telah dibangkitkan oleh kuasa Yahweh—seperti yang dikatakan Yesus akan terjadi—telah menyebabkan Tomas melontarkan pujian dan pujaan kepada Yahweh dengan kata-kata yang kerap ditujukan kepada-Nya oleh umat-Nya, “Tu[h]anku dan Allahku”? Mengingat fakta-fakta ini, mana yang lebih mungkin: Tomas menyembah Yesus, ataukah Allah yang telah membangkitkan Yesus menurut firman-Nya? Sebagai seorang monoteis, Tomas hanya dapat menujukan katakata “Tu[h]anku dan Allahku” itu kepada Yahweh. Namun signifikansi dari pengakuan itu terletak pada kenyataan bahwa Tomas kini menyadari bahwa Yahweh memang telah datang ke dunia secara jasmaniah di dalam manusia Yesus sang Mesias, dan “tinggal di antara kita” (Yoh.1:14). Frasa “Yahweh (TUHAN) Allahku” dijumpai tidak kurang dari 36 kali dalam PL; jadi frasa itu merupakan suatu bentuk sapaan yang kerap digunakan untuk Yahweh, dan dengan demikian, gampang sekali keluar dari mulut seorang Yahudi. Pertimbangkan pula fakta bahwa orang-orang Yahudi berdoa menghadap bait suci (ketika masih berdiri di Yerusalem) dan “tempat maha kudus”nya. Hal ini dilakukan sesuai dengan Kitab Suci, seperti terlihat dalam doa Salomo pada saat pentahbisan bait suci itu seperti tercatat dalam 2Tawarikh 6 (BIS): “Semoga dari tempat kediaman-Mu di surga Engkau mendengar dan mengampuni aku serta umat Israel, umat-Mu itu, apabila kami menghadap rumah ini dan berdoa kepadaMu.” 20 “Apabila umat-Mu berdosa kepada-Mu dan Engkau menghukum mereka dengan tidak menurunkan hujan, lalu mereka bertobat dari dosa mereka dan menghormati Engkau sebagai TUHAN, kemudian menghadap ke Rumah-Mu ini 26 Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 419 serta berdoa kepada-Mu, 27 ya TUHAN di surga, dengarkanlah mereka. Dan ampunilah dosa hamba-hamba-Mu umat Israel.” “semoga Engkau mendengarkan doa mereka. Kalau dari antara umat-Mu Israel ada yang dengan bersedih hati berdoa kepada-Mu sambil menengadahkan tangannya ke arah Rumah-Mu ini, 30 kiranya Engkau di dalam kediaman-Mu di surga mendengar serta mengampuni mereka. Hanya Engkaulah yang mengenal isi hati manusia. Sebab itu perlakukanlah setiap orang setimpal perbuatan-perbuatan-nya”. 29 Ketika umat Yahudi memanjatkan doa-doa mereka dengan menghadap bait suci, apakah mereka sedang berdoa kepada bait suci itu atau kepada Dia yang Hadirat-Nya ada di dalam bait suci (2Taw.6:2)? Tomas akhirnya memahami kebenaran yang dikatakan Yesus di Yohanes 2:19 tentang dirinya sebagai bait Allah, dan pengajarannya tentang Bapa sebagai yang berbicara dan bertindak di dalam dirinya. Kini setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri penggenapan bait suci (Yesus) setelah dibangkitkan oleh kuasa Yahweh Allah dan sekarang berdiri di hadapannya, apakah aneh bagi dia untuk berseru “Tu[h]anku dan Allahku”? Lantas, mengapa trinitarian harus beranggapan bahwa kata-kata Tomas itu tidak dialamatkan kepada Yahweh, yang kini telah menjadi Tu[h]an dan Allahnya melalui Yesus secara eksperiensial? Hal lain yang tampaknya tidak sanggup dimengerti oleh pikiran trinitaris yang telah terindoktrinasi, sekalipun hal tersebut terlihat dengan gamblang di sepanjang PL, adalah bahwa gelar “Tuhan Allah” merupakan cara standar untuk menyebut Yahweh. Tanpa perlu merujuk kepada teks Ibrani, siapa pun bisa melihat bahwa “TUHAN Allah” atau “Tuhan ALLAH” (di mana kata yang tertulis dalam huruf kapital mewakili nama “Yahweh”) muncul dalam 383 ayat di ESV (210 kali dalam kitab Yehezkiel saja!). Akan tetapi, “Tuhan” dan “Allah” muncul dengan frekuensi jauh lebih besar 420 The Only True God ketika keduanya dipakai secara terpisah meski berdekatan, seperti halnya seruan Tomas, di mana “Tuhan” dan “Allah” dikaitkan dengan kata penghubung “dan”. Jadi ketika “Tuhan” dan “Allah” tidak tergabung sebagai satu gelar “Tuhan Allah”, tetapi tetap muncul bersama dalam ayat yang sama, hitungannya segera meningkat menjadi 2312 kali (ESV), 281 kali dalam kitab Ulangan saja, dan 110 kali dalam kitab Mazmur. (Dua angka terakhir merujuk kepada jumlah ayat. Dari segi jumlah hits, angkanya menjadi 487 di Ulangan dan 133 di Mazmur.) Semua ini berarti seruan Tomas merupakan sesuatu yang datang langsung dari Alkitab Ibrani, dan yang spontan akan keluar dari mulut siapa saja yang menekuni PL. Hal yang juga jelas adalah bahwa “Tuhan” dan “Allah” merupakan gelar yang dikenakan kepada Yahweh, terutamanya ketika dipakai dalam kombinasi. Oleh karena itu, menerapkan kombinasi ini kepada Yesus tidak membuktikan Yesus itu Allah, tetapi hanya akan membuktikan Yesus adalah Yahweh. Akan tetapi, ini bukan “bukti” yang ingin dicapai oleh trinitarian karena akan merancukan “Allah-Bapa” dengan “Allah-Anak”. Singkatnya, Yohanes 20:28 sama sekali tidak bernilai untuk trinitarianisme. Namun apa yang memang diberitakan adalah bahwa Tomas telah menyadari realitas Yahweh di dalam dan melalui Kristus. Ia melihat “kemuliaan TUHAN, semarak Allah kita” (Yes.35:2). Kata-kata yang diucapkan Tomas mengingatkan kita pada kata-kata dalam kitab Mazmur seperti, “Terjagalah dan bangunlah membela hakku, membela perkaraku, ya Allahku dan Tuhanku! Hakimilah aku sesuai dengan keadilan-Mu, ya TUHAN Allahku” (Mzm.35:23,24). Mengingat bukti Alkitabiah, apakah kita masih bersikeras bahwa ucapan Tomas di Yohanes 20:21 ini merujuk kepada Yesus? Atau, apakah kata-kata itu dialamatkan kepada Allah sebagai respon dari penampilan Yesus kepada Tomas, yang merupakan sebuah Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 421 pengalaman teramat luar biasa? Dalam dunia sekular dewasa ini, adalah hal biasa untuk orang berteriak “Allahku!” ketika terkejut. Kita merasa muak dengan teriakan macam ini yang keluar dari mulut orang tidak beriman; tetapi tidakkah ada situasi di mana seorang beriman boleh membuat seruan seperti itu kepada Allah, terutamanya ketika—dalam perkataan C.S. Lewis—“dikejutkan oleh kegembiraan”? Yohanes 21:17, “Tu[h]an, engkau tahu segala sesuatu” ‘Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus pun merasa sedih karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: “Apakah engkau mengasihi aku?” Dan ia berkata kepadanya: “Tu[h]an, engkau tahu segala sesuatu, engkau tahu bahwa aku mengasihi engkau.” Kata Yesus kepadanya: “Peliharalah domba-dombaku.”’ Kata-kata “Tu[h]an, engkau tahu segala sesuatu” telah digunakan oleh sejumlah trinitarian untuk mendukung kemahatahuan Yesus. Hal ini bisa dianggap sebuah contoh dari membuat “sekepal menjadi gunung” (dengan mengubah yang relatif menjadi yang mutlak), karena dalam konteks ini artinya tidak lebih dari “Engkau mengenal aku luar dalam; engkau tahu, bahwa aku mengasihi engkau”. Mengubah sebuah pernyataan terkait dengan Petrus menjadi sebuah pernyataan tentang pengetahuan absolut adalah ciri khas argumentasi trinitarian. Itu juga berlawanan dengan pernyataan Yesus sendiri bahwa ada hal penting yang tidak diketahuinya, yakni, saat akhir zaman dan kedatangan anak manusia; hal ini hanya diketahui oleh Bapa, Dia sajalah yang memiliki pengetahuan absolut akan segala sesuatu: 422 The Only True God Matius 24:36-37, “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorangpun yang tahu, malaikat-malaikat di surga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa sendiri. Sebab sebagaimana halnya pada zaman Nuh, demikian pula halnya kelak pada kedatangan Anak Manusia [yaitu kedatangannya tidak akan terduga, ay.38].” Elisa disebut mengetahui segala sesuatu yang dibicarakan oleh raja Siria berkenaan dengan rencananya melawan Israel. Akibatnya, Israel selalu diperingati sebelumnya oleh nabi itu dan mereka selalu siap menghadapi serangan-serangan Siria. Dibingungkan oleh kenyataan ini, raja itu berusaha mencari tahu apakah ada orang dalam yang tengah mengkhianati rencananya melawan Israel. Kemudian ia diberitahu apa yang menjadi sumber masalah sebenarnya, “Elisa, nabi yang di Israel, dialah yang memberitahukan kepada raja Israel tentang perkataan yang diucapkan oleh tuanku di kamar tidurmu.” (2Raj.6:12) Apa yang dapat Allah lakukan melalui orang yang sepenuhnya tunduk kepada Dia sangat menakjubkan, dan Alkitab memberikan banyak contoh akan apa yang telah digenapi Allah melalui orangorang setia. Tak pelak, Yesus dikaruniai pengetahuan akan segala sesuatu yang diperlukan untuk menunaikan misinya demi mendamaikan umat manusia dengan Allah; sehingga tidak diragukan bila jauh lebih banyak yang diwahyukan kepadanya daripada yang diwahyukan kepada Elisa. Yesus, sebagai satu-satunya manusia sempurna, tentu saja unik di antara manusia, dan melalui dia Allah sanggup menggenapi karya-Nya untuk “mendamaikan dunia dengan diri-Nya” (2Kor.5:19), dengan “mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kol.1:20). Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 423 Pentingnya Pengajaran tentang Kristus dalam kitab Kisah Para Rasul P esan-pesan dalam kitab Kisah Para Rasul diberikan segera setelah pencurahan Roh pada hari Pantekosta, dan karena itu disampaikan sebagai akibat langsung dari pemenuhan Roh Kudus— jadi pesan-pesan itu haruslah determinatif guna memahami pribadi Kristus. Akan tetapi, sulit menemukan satu petunjuk pun atas keilahian Kristus dalam kitab Kisah Para Rasul, sementara kemanusiaannya terlihat jelas. Oleh karena keilahian Kristus yang ditengarai itu bukan sebuah faktor dalam khotbah apostolik paling awal dalam kitab Kisah Para Rasul, dan sesungguhnya, tidak di manapun dalam kitab itu, maka tidak ada apa-apa yang relevan terhadap trinitarianisme untuk dibahas dalam kitab penting ini. Namun ada suatu pengamatan terkait yang penting yang harus dipertimbangkan baik-baik: Jemaat diperlengkapi dengan kuasa dari atas pada hari Pantekosta, dan keluar memberitakan Injil dalam kuasa itu hingga ke ujung bumi. Kuasa itu tidak lagi tampak dalam jemaat-jemaat dewasa ini, dan ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa sekarang ini jemaat memberitakan pesan yang dilandasi oleh teologi dan Kristologi yang berbeda dengan yang diwartakan dalam kitab Kisah Para Rasul. Roma 9.5 K arena tidak adanya tanda baca dalam teks Yunani, maka makna yang berasal dari teks itu bergantung pada cara si penerjemah memilih tempat untuk membubuhkan tanda bacanya. Cara-cara yang mungkin dalam penerjemahan Roma 9:5 dibuat amat jelas oleh NIV: “Theirs (i.e. of the Jews) are the patriarchs, and from them is traced the human ancestry of Christ, who is God over all, for- 424 The Only True God ever praised! {Or Christ, who is over all. God be forever praised! Or Christ. God who is over all be forever praised!} Amen.” Merekalah (yakni, orang Yahudi) yang empunya bapa-bapa leluhur, dan dari mereka ditelusuri jalur keturunan Kristus, yang adalah Allah di atas segalanya, terpujilah selamalamanya! {Atau, Kristus yang di atas segalanya. Terpujilah Allah selama-lamanya! Atau, Kristus. Allah yang di atas segalanya terpujilah selama-lamanya} Amin.” Kedua terjemahan alternatif itu, yang pada hakikatnya tidak berbeda karena keduanya mengatributkan pujian kepada Allah, bukan Kristus, dicetak dalam tanda kurung. Sebagai terjemahan trinitaris, NIV menempatkan terjemahan yang mereka sukai pada teks utama. Versi Alkitab trinitaris lainnya jelas-jelas mengikuti pilihan ini, kecuali RSV: “to them belong the patriarchs, and of their race, according to the flesh, is the Christ. God who is over all be blessed for ever. Amen (Merekalah yang empunya bapa-bapa leluhur, dan dari ras mereka, yang menurut daging, adalah Kristus. Allah yang di atas segala sesuatu terpujilah selama-lamanya. Amin).” Terjemahan RSV (dan terjemahan-terjemahan dalam tandakurung NIV) sudah pasti merupakan terjemahan yang tepat karena tiga alasan yang sangat kuat: (1) Paulus jelas-jelas telah mendeklarasikan monoteismenya di beberapa tempat, dan di 1Korintus 8:6 ia menyatakan dengan gamblang bahwa “bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari Dia berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tu[h]an saja, yaitu Yesus Kristus, yang melalui dia segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena dia kita hidup”. Karena itu, Paulus tidak akan pernah menyebut Yesus sebagai “Allah”. Yesus Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 425 secara konsisten adalah “Tu[h]an” dalam tulisan Paulus. Berikut ini adalah contoh-contoh lain dari monoteisme Paulus: 1Timotius 1:17, “Hormat dan kemuliaan sampai selamalamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak tampak dan yang esa (monos)! Amin.” 1Timotius 6: “15 yaitu saat (kedatangan Kristus yang kedua, ay.14) yang akan ditentukan oleh Penguasa yang satu-satunya (monos) dan penuh berkat, Raja di atas segala raja dan Tuan di atas segala tuan. 16 Dialah satu-satunya (monos) yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Tidak seorangpun pun pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal!” (2) Kata-kata pujian yang persis sama seperti di Roma 9:5, “yang harus dipuji sampai selama-lamanya”, merujuk kepada Yahweh Allah di teks Yunani dari 2Korintus 11:31, “Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tu[h]an kita, yang terpuji sampai selama-lamanya”. Oleh karena itu, kata-kata tersebut tidak ditujukan kepada Yesus di Roma 9:5; Yesus adalah penyebab pujian itu, bukan sasaran. Agar mudah membandingkan, kedua teks itu ditempatkan berdampingan: Roma 9.5: ho ōn (epi pantōn theos) eulogētos eis tous aiōnas 2Korintus 11.31: ho ōn eulogētos eis tous aiōnas Terlepas dari kata-kata yang ditempatkan dalam tanda-kurung guna memudahkan perbandingan, frasa “yang terpuji sampai selamalamanya” itu persis sama dalam kedua ayat tersebut. Di 2Korintus 11:31 (ESV) rujukan kepada Allah sebagai “Allah, yaitu Bapa dari Yesus” dibuat sebelum frasa ini, sedangkan di Roma 9:5 rujukan kepada Allah ditempatkan di dalam frasa itu sebagai Dia yang “di atas segala sesuatu” (epi tantōn theos). Oleh karena sang Rasul meng- 426 The Only True God gunakan frasa ini khusus untuk “Allah, yaitu Bapa dari Yesus” di 2Korintus 11:31, maka tidak ada alasan untuk mengira ia merujuk kepada Yesus sebagai “Allah di atas segala sesuatu” di Roma 9:5. Frasa semacam ini tidak akan diterapkan kepada siapa pun juga oleh orang Yahudi mana saja, termasuk Paulus, selain kepada Yahweh. (3) Memeriksa soal tersebut di dalam surat Roma itu sendiri, hal yang membuatnya tidak terbantahkan adalah (a) frasa yang sama yang diterjemahkan di sini sebagai “dipuji selama-lamanya” (eulogētos eis tous aiōnas) juga diterapkan kepada Yahweh Allah sebagai sang Pencipta “yang harus dipuji selama-lamanya. Amin” (Rm 1:25). Dan (b) kata penutup “Amin” merupakan fitur istimewa dari pujian kepada Yahweh Allah dalam surat Roma yang muncul lima kali. Terlepas dari Roma 1:25 dan 9:5, ada pula yang berikut ini: Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia (Yahweh Allah, bdk. ay.33dyb.), dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” Roma 15:33, “Allah, sumber damai sejahtera, menyertai kamu sekalian! Amin.” Roma 16:27, “bagi Dia, satu-satunya Allah yang penuh hikmat, melalui Yesus Kristus: Segala kemuliaan sampai selama-lamanya! Amin.” Dalam semua ayat di surat Roma ini, Yahweh Allah adalah sasaran pujian, dan tidak ada alasan apa pun untuk menduga bila Roma 9:5 merupakan sebuah pengecualian. Surat Ibrani U mat Israel juga dikenal sebagai “umat Ibrani” atau “umat Yahudi”, jadi surat kepada orang Ibrani ini ditulis oleh orang Yahudi untuk orang Yahudi. Apa yang tampaknya tidak mampu Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 427 dipahami oleh kaum trinitarian adalah bahwa orang Yahudi, terutamanya pada abad pertama, adalah orang-orang monoteis sejati; jadi baik penulisnya maupun para pembacanya tidak punya urusan apa-apa dengan trinitarianisme, yang tidak bisa didamaikan dengan monoteisme Alkitabiah. Oleh karena itu, sebenarnya sia-sia untuk mencoba menggali teks-teks bukti dari kitab Ibrani; hal inilah yang telah saya usahakan pada waktu dulu, dan dengan demikian mengetahuinya secara langsung. Hal ini hanya dapat dicapai melalui penyalahtafsiran yang bebal atau dengan eisegesis, yang merupakan praktik lazim trinitaris, yaitu dengan membacakan dogma mereka sendiri ke dalam teks. Pasal pertama surat Ibrani—tempat di mana trinitarian berusaha menghimpun teks-teks bukti—merupakan koleksi nas-nas Mesianik dari PL yang digunakan oleh orang-orang beriman Yahudi untuk meyakinkan sesama orang Yahudi bahwa Yesus adalah sang Mesias. Tentu saja nas-nas PL ini umumnya dikenal baik oleh orang Yahudi dan, oleh karena itu, sangat berguna sebagai sarana dalam membahas kemesiasan Yesus. Jadi surat kepada orang Ibrani ini jelas mempunyai sasaran yang sama dengan Injil Yohanes, yakni untuk meyakinkan orang Yahudi (dan orang lain) bahwa “Yesuslah Kristus, Anak Allah” (Yoh.20:31). Kata “Anak” sudah tampil di awal surat Ibrani (1:2); tetapi surat ini memiliki tema-tema penting lain yang sama dengan Injil Yohanes, khususnya tentang Kristus sebagai “anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh.1:29,36). Kristus sebagai kurban penghapus dosa yang abadi merupakan tema utama surat Ibrani; tema utama lainnya, yang berkaitan erat dengan yang sebelumnya, adalah kenyataan unik bahwa Kristus merupakan kurban sekaligus imam besar! Yohanes 17 kerapkali disebut sebagai “Jesus’ high priestly prayer” (“doa keimaman Yesus”). Titik temu lain antara surat Ibrani dengan Injil Yohanes adalah penekanan atas kepercayaan atau iman. “Percaya” adalah kata kunci dalam Injil Yohanes (pisteuō, 98 kali, jauh lebih sering daripada kitab 428 The Only True God PB mana pun), sedangkan “iman” merupakan kata kunci dalam surat Ibrani (pistis, 32 kali), khususnya berfokus pada pasal 11, di mana setiap contoh adalah tentang iman pada Yahweh. Tidak diragukan bahwa surat Ibrani dan Injil Yohanes bukan saja memiliki persamaan dalam tema-tema utamanya, tetapi juga bersatu dalam komitmennya kepada monoteisme. Istilah “Anak” dalam bahasa Ibrani merujuk kepada sang Mesias tetapi, tidak perlu dikatakan, trinitarian ingin mengartikannya sebagai “Allah-Anak”, yang tak pernah terbersit dalam benak orang Yahudi, dan tentunya bukan itu maknanya dalam surat Ibrani ataupun di tempat lain dalam Alkitab. Namun sebagai trinitarian kita mengira Ibrani 1:8 menyediakan teks bukti yang bagus sekali untuk keilahian Yesus. Kita tidak menghiraukan fakta bahwa itu adalah kutipan dari Mazmur 45:6, dan kita pun tidak terlalu peduli dengan maknanya dalam konteks mazmur tersebut: “Tetapi tentang Anak Ia berkata: ‘Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanmu adalah tongkat kebenaran. 9 Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, Allahmu telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu.’” (Ibr.1:8,9; Mzm.45:6,7) 8 Jika kita simak Ibrani 1:9 kita melihat di situ dikatakan—tentang Anak—“Allah, Allahmu telah mengurapi engkau”; kata “mengurapi” adalah makna kata “Mesias” dalam bahasa Ibrani, dan makna kata “Kristus” dalam bahasa Yunani; jadi ciri Mesianik nas ini (dan Mazmur 45 secara keseluruhan) dinyatakan secara eksplisit. Mazmur 45 merupakan sebuah kidung tentang penobatan raja Israel, yang sesudah diurapi oleh Yahweh, bertindak sebagai hamba dan wakil Yahweh. Jadi jika kata-kata di Ibrani 1:8, “Takhtamu, ya Allah”, diterapkan kepada raja Mesianik itu, maka kata “Allah” Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 429 semestinya ditulis dengan “allah” dan dipahami menurut artinya di Yohanes 10:34,35 (mengutip Mzm.82:1,6,7) di mana kata tersebut merujuk kepada para hamba dan perwakilan Allah. Para sarjana PL menyadari kenyataan bahwa dalam terang monoteisme PL, “ya Allah” di Mazmur 45:6 hanya bisa diterapkan dalam arti itu, yang tercermin dalam sebagian terjemahan: “Your divine throne endures for ever and ever. Your royal scepter is a scepter of equity (Takhta ilahimu tetap untuk selama-lamanya. Tongkat kerajaanmu adalah tongkat keadilan)” (RSV) “Your throne is from God, for ever and ever, the sceptre of your kingship a sceptre of justice (Takhtamu berasal dari Allah, untuk selama-lamanya, tongkat kerajaanmu adalah tongkat keadilan)” (NJB) Robert Alter (Professor of Hebrew and Comparative Literature pada University of California, Berkeley) menerjemahkan baris pertama menjadi “Your throne of God is forevermore (Takhtamu dari Allah ada selama-lamanya)” dan berkomentar, “Sebagian orang mengartikan bahasa Ibrani di sini sebagai “Takhtamu, ya Allah,” tetapi adalah sebuah anomali untuk menyapa Allah di tengah-tengah puisi itu karena seluruh mazmur itu ditujukan kepada raja atau mempelainya” (The Book of Psalms, A Translation with Commentary, Norton, 2007). Ibrani 1:10-12 mengutip Mazmur 102:26-28 dari Septuaginta. Mazmur 102:2: “Yahweh, dengarkanlah doaku, dan biarlah teriakku minta tolong sampai kepada-Mu!” Seluruh mazmur itu merupakan sebuah doa kepada Yahweh, yang disebut berkali-kali dalam doa ini. Ini berarti bahwa “Tuhan” di Mazmur 102:26 dan Ibrani 1:10 hanya bisa merujuk kepada Yahweh. Mengapa nas ini dimasukkan ke dalam koleksi nas-nas Mesianik PL yang ada dalam Ibrani 1? 430 The Only True God Apakah dalam rangka mempertegas kepastian janji di Ibrani 1:8 bahwa “takhtamu tetap untuk seterusnya dan selamanya”? Atau, apakah juga ada pengakuan akan hubungan unik antara Yahweh dan Yesus dalam arti Yohanein di mana Firman/Memra Yahweh menjelma dalam Yesus? Besar kemungkinan pengarang surat Ibrani memahami Yesus dari segi Memra dan Syekinah. Hal ini bisa dipastikan mengingat Ibrani 1:2,3. Ay.3 berbicara tentang Yesus sebagai “cahaya kemuliaan Allah” yang bisa seyogyanya dipahami oleh orang-orang Yahudi sebagai sebuah rujukan kepada Syekinah Allah. Frasa berikutnya berbicara tentang Yesus sebagai gambar keberadaan Allah yang sesungguhnya; Kristus sebagai gambar Allah telah dibahas dalam kajian ini. Lalu nas itu mengatakan, “menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan”. Hal yang menarik adalah “firman” di sini bukan logos tetapi rhēma. rhēma adalah kata yang digunakan dalam PL Yunani untuk “firman” Allah di Yesaya 55:11. Nas penting ini (Yes 55:10, 11) dibahas secara rinci dalam bab 7 (‘Asal-usul “Firman itu” dari Perjanjian Lama’). Sebagaimana diketahui luas, PL Yunani merupakan Alkitab yang dipakai pada saat itu oleh para pembaca surat Ibrani (dan orang-orang beriman lain yang berbahasa Yunani); jadi pemakaian kata rhēma bisa berfungsi untuk menunjukkan bahwa Ibrani 1:3 mengacu kepada Yesaya 55:11. Di sisi lain, kemanusiaan Kristus lebih ditekankan dalam surat Ibrani dibandingkan dengan surat-surat PB lain. Ibrani 1:3 juga berbicara tentang Yesus yang “mengadakan penyucian dosa”. Terdapat penekanan kuat kepada darah pengorbanan dalam surat Ibrani: “darah” dalam arti ini adalah salah satu kata kunci dalam surat itu, dan jauh lebih sering muncul di sini daripada kitab-kitab PB lainnya: 21 kali. (“Darah” muncul 19 kali dalam kitab Wahyu, tetapi sebagian besar merujuk kepada darah sebagai akibat dari penghakiman ilahi atas dunia ini.) “Darah dan daging” merupakan Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 431 cara yang lazim digunakan oleh Kitab Suci untuk merujuk kepada manusia (Ibr.2:14; Mat.16:17; 1Kor.15:50; Ef.6:12). Dari sini terlihat jelas bahwa kemanusiaan Kristus secara mutlak esensial untuk “mengadakan penyucian dosa” demi keselamatan umat manusia. Bertolak-belakang dengan ini, tidak pernah dikatakan di manapun dalam surat Ibrani, ataupun dalam PB, bahwa Yesus harus menjadi Allah dalam rangka mengadakan penyucian dosa atau “memberikan nyawanya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat.20:28; Mrk.10:45). Monoteisme kitab Wahyu K itab Wahyu Yohanein dianggap memiliki “Kristologi tinggi”, terutamanya karena apa yang tampak seperti gelar-gelar ilahi yang diberikan kepada Kristus dalam kitab itu. Sebagai tulisan PB terkini, kitab itu diperkirakan mengandung Kristologi PB yang paling maju. Kita akan melihat ciri-ciri kuncinya dengan cermat. Hal pertama yang mencolok bagi pembaca kitab Wahyu adalah fakta bahwa gelar yang diberikan kepada Yesus melebihi semua gelar lain adalah “Anak Domba” (arnion); kata ini muncul 29 kali dalam kitab Wahyu, tetapi ada kali dipakai untuk antikristus yang juga tampil sebagai anak domba (Why.13:11), atau bisa disebut “anti anakdomba”. Ini berarti terdapat 28 (= 4x7) rujukan kepada Anak Domba, dan angka ini cocok sekali dengan pola angka 7 dalam kitab Wahyu. Dengan demikian, Anak Domba merupakan deskripsi Yesus paling utama dalam kitab itu. Penjelasannya juga diberikan secara eksplisit dalam kitab itu, sebab Anak Domba dilukiskan sebagai dia yang “disembelih” dan, oleh darahnya, telah menebus orang-orang kudus (Why.1:5). Hal yang diketahui oleh setiap orang beriman Yahudi adalah bahwa kurban anak domba itu haruslah “tidak bercacat atau bercela” jika ingin dipersembahkan di dalam Bait Allah, artinya, kurban itu 432 The Only True God haruslah sempurna untuk memenuhi syarat sebagai kurban. Apa arti semuanya ini semestinya sudah jelas: Yesus adalah kurban sempurna itu untuk umat manusia. Dengan kata lain, kitab Wahyu adalah mengenai Kristus sebagai manusia sempurna. Anak Domba adalah lambang sempurna dari manusia sempurna itu! Sesuai dengan itu, keilahian Kristus bukanlah sesuatu yang muncul dalam kitab Wahyu. Hal ini terlihat sangat jelas dari fakta bahwa “Anak Domba” itu tidak pernah menjadi satu-satunya sasaran pemujaan atau pujian; ia selalu dan hanya dipuja bersamasama dengan Allah, dan hal itu pun hanya terjadi 2 atau 3 kali. Dalam satu peristiwa kelihatannya seolah-olah Anak Domba itu sendiri menjadi sasaran pemujaan meskipun kata “menyembah” tidak dipakai (5:8dyb.) tetapi di ay.13 Allah dipuja bersama dengan Anak Domba itu, dan pada akhir bagian teks itu kata “menyembah” digunakan kemungkinan besar sehubungan dengan Allah bersama dengan Anak Domba (ay.14, tetapi bdk. paragraf berikutnya). Adalah signifikan bahwa kata “menyembah” (proskuneō) dipakai 8 kali dalam kitab Wahyu dengan mengacu kepada Allah sendiri, dan tidak pernah kepada Anak Domba sendiri. Hanya dalam satu peristiwa kata tersebut bisa, dan memang mungkin, merujuk kepada Allah dan Anak Domba bersama-sama (5:14). Ketidakpastian yang diungkapkan dengan kata “bisa” dalam kalimat terdahulu didasari oleh cara kata “menyembah” dipakai dalam kitab Wahyu secara keseluruhan: Pertimbangkan saja misalnya, pemandangan penyembahan di Wahyu 7:9-12 di mana khalayak yang tidak terhitung jumlahnya itu mempersembahkan pemujaan dan pujian “bagi Allah kami yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba” (ay.10). Kemudian, tepat di ayat berikutnya (ay.11)—sebuah kejutan besar untuk saya—semua makhluk rohaniah dari tingkatan tertinggi di surga “tersungkur di hadapan takhta itu dan menyembah Allah” (tanpa merujuk kepada Anak Domba yang baru saja disebut di ayat sebelumnya), dan mempersembahkan sebuah doksologi rangkap- Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 433 tujuh kepada Dia sendiri (“Allah kita sampai selama-lamanya”, ay.12). Meskipun Anak Domba itu dikatakan mempunyai semacam posisi sentral di takhta Allah (7:17), yang harus dimengerti sebagai otoritas untuk menjalankan pemerintahan Allah atas segala sesuatu sebagai perwakilan-Nya; ia tidak pernah menjadi satu-satunya sasaran penyembahan. Bahkan tepat dalam nas di mana ayat ini (Why.7:17) muncul, kita membaca (ay.15), “mereka berdiri di hadapan takhta Allah dan melayani (latreuō) Dia siang malam di Bait Suci-Nya. Ia yang duduk di atas takhta itu akan membentangkan kemah-Nya di atas mereka”. Anak Domba disebut di bagian pertama dari ay.17, tetapi bagian teks itu diakhiri dengan merujuk kembali kepada Allah sendiri. Sesuatu yang sangat mirip dengan contoh-contoh sebelumnya dijumpai di Wahyu 22:3, “Tidak akan ada lagi yang terkutuk. Takhta Allah dan takhta Anak Domba akan ada di dalamnya dan hambahamba-Nya akan beribadah (latreuō) kepada-Nya.” Ini adalah satusatunya tempat lain dalam kitab Wahyu di mana kata latreuō (berbakti dalam arti religius dan karena itu dapat berarti ‘menyembah’, mis. Rm.12:1) muncul; yang lain ada di 7:15 yang dikutip dalam paragraf sebelumnya. Dalam kedua ayat itu kita membaca kata-kata “beribadah kepada-Nya (tunggal)” Tidak ada masalah dengan 7:15 karena hanya Allah yang disebut di situ; tetapi perhatikan bahwa di 22:3 terdapat rujukan kepada keduanya Allah dan Anak Domba, kemudian perhatikan bentuk tunggal ganda: “hamba-hamba-Nya (t.) akan beribadah kepada-Nya (t.)” Karena hal ini adalah gema dari 7:15, maka tidak diragukan bahwa rujukan itu adalah kepada Allah. Jadi meskipun Anak Domba itu dikaruniai tempat di atas takhta Allah (Why.3:21), Allah masih tetap Satusatunya yang disembah. Pola dalam kitab Wahyu ini memperlihatkan betapa Allah-sentrisnya kitab itu. 434 The Only True God Di seluruh Wahyu 4, Tuhan Allah Mahakuasa (ay.8) adalah satusatunya sasaran penyembahan. Pasal 5 adalah kelanjutan atau perluasan dari pemandangan surgawi di pasal 4. Hal ini berarti pemujaan terhadap Anak Domba terjadi di dalam konteks penyembahan kepada Dia yang duduk di atas takhta yang disebut di 4:2 dan 5:13, dan bukan kejadian terpisah. Jika seluruh bukti kuat akan teosentrisitas kitab Wahyu ini masih belum cukup mengejutkan saya—oleh karena latar belakang dan penekanan trinitaris saya yang kuat atas Kristosentrisitas—dalam proses penyelidikan saya menemukan lebih banyak kejutan lagi. Misalnya, melihat pemandangan penyembahan di Wahyu 15:1dyb., “Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa… Raja segala bangsa” sekali lagi adalah satu-satunya sasaran penyembahan, tetapi hal yang mengagetkan saya adalah nyanyian penyembahan ini adalah “nyanyian Anak Domba”, yang di ayat yang sama dibandingkan dengan “nyanyian Musa”—nyanyian yang diajarkan Musa kepada umat Israel untuk memuji dan menyembah Yahweh (Kel.15:1-18). Dengan kata lain, Anak Dombalah yang mengajar orang-orang kudus untuk menyembah (proskuneō muncul di ay.4) “Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa”! Ini juga bukan satu-satunya contoh. Pada akhir kitab Wahyu, kita membaca bahwa Yohanes merasa begitu dibanjiri dengan segala yang telah diwahyukan kepadanya melalui malaikat istimewa itu (yang telah ditugasi untuk melayani dia sebagai pemandu surgawi) hingga ia “sujud di depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya. Tetapi ia berkata kepadaku: ‘Jangan berbuat demikian... Sembahlah Allah!’” (22:8,9). Tidak ada apa-apa yang luar biasa dengan kata-kata malaikat itu sampai kita membaca “Aku, Yesus, telah mengutus malaikatku untuk bersaksi tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat” (22:16). Apakah artinya ini? Ini berarti malaikat ini bukan hanya salah satu dari sekian banyak malaikat di surga melainkan malaikat Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 435 Yesus, yang diutus secara khusus oleh dia. Malaikat Yesus inilah yang memerintahkan Yohanes untuk menyembah Allah sendiri. Instruksi ini konsisten dengan pemakaian kata “menyembah” (proskuneō) dalam kitab Wahyu secara keseluruhan, di mana Tuhan Allah Mahakuasa selalu menjadi sasaran sentral dari penyembahan (4:10; 7:11; 11:16; 14:7; 15:4; 19:4,10; 22:9). Monoteisme Kitab Wahyu yang konsisten itu sekarang seharusnya terlihat sangat jelas kepada kita; dan kita tidak perlu terkejut ketika menjumpai hal yang sama juga benar dengan seluruh tulisan Yohanein. 25 Catatan atas Wahyu 22:8: kita sudah melihat bahwa dalam kitab Wahyu kata “menyembah” tidak pernah digunakan kecuali sehubungan dengan Allah sendiri, tetapi anehnya Yohanes berkata: “aku sujud di depan kaki malaikat, yang telah menunjukkan semuanya itu kepadaku, untuk menyembahnya” (Why.22:8). Hal ini tampaknya nyaris tidak terpahami, terutamanya mengingat fakta bahwa penyembahan kepada malaikat merupakan salah satu hal yang dikutuk di Kolose 2:18,19; dan hal itu pun sama sekali tidak cocok dengan monoteisme kitab Wahyu sendiri. Tampaknya satu-satunya cara hal itu bisa dipahami dalam konteks ini adalah dalam cahaya yang dikatakan segera sebelum ini, “Tuhan, Allah yang memberi roh kepada para nabi, telah mengutus malaikat-Nya untuk menunjukkan kepada hamba-hamba-Nya apa yang harus segera terjadi” (Why.22:6). Tampaknya Yohanes mungkin mengira bahwa apa yang ditunjukkan oleh kata-kata itu adalah bahwa malaikat yang berdiri di depan dia itu tidak lain dan tidak bukan adalah “malaikat Yahweh”, yang sering disebut dalam PL, yang merupakan pengejawantahan dari Yahweh Sendiri. Sekitar 8 ayat kemudian barulah dinyatakan kepada Yohanes bahwa malaikat itu sebenarnya adalah malaikat yang diutus oleh Yesus (Why.22:16); jadi malaikat ini tentu saja adalah salah satu dari malaikat Allah tetapi bukan “malaikat Yahweh” itu yang terkenal dalam PL. 25 436 The Only True God Wahyu 1 W ahyu 1 merupakan nas lain yang digunakan untuk mendukung pra-eksistensi dan keilahian Yesus. Namun pelukisan Yesus sebagai imam besar di surga dalam pasal ini tidak menyediakan dasar apa pun untuk mendukung pra-eksistensinya karena penglihatan itu dilihat lama sesudah kebangkitan dan peninggian Yesus. Sebenarnya gambaran itu sangat mirip dengan pelukisan “seorang seperti anak manusia” (kata-kata yang sama di Why.1:13; juga 14:14) di Daniel 7:13. Terdapat juga rujukan yang sama kepada “kedatangannya dengan awan-awan” (Why.1:7). James Dunn mengusulkan bahwa sebagian dari bahasa dalam Wahyu 1 mengingatkan kita kepada deskripsi dari penglihatan akan malaikat dalam kesusastraan kuno. Daniel, misalnya, melukiskan sebuah penglihatan seperti berikut, 10:5,6: “5 kuangkat mukaku, lalu kulihat, tampak seorang yang berpakaian kain lenan dan berikat pinggang emas dari ufas. 6 Tubuhnya seperti permata Tarsis dan wajahnya seperti cahaya kilat; matanya seperti suluh yang menyala-nyala, lengan dan kakinya seperti kilau tembaga yang digilap, dan suara ucapannya seperti gaduh orang banyak” (Dan.10:5,6) The Expositor’s Commentary menerangkan, “Ay.5-6 kemungkinan merupakan deskripsi paling rinci dalam Kitab Suci tentang rupa seorang malaikat”. Perhatikan deskripsinya, “matanya seperti suluh yang menyala-nyala”, penafsir Expositor’s mengatakan bahwa ‘Wahyu 1:14 menyatakan bahwa Kristus tampil di depan Yohanes dengan “mata... bagaikan nyala api”’. Namun ada persamaan penting lain yang tidak disebut oleh buku tafsir ini, misalnya: Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 437 • Daniel 10:5, “ikat pinggang dari emas murni” (BIS), bdk. Wahyu 1:13, “Di dadanya ia memakai tutup dada emas” (BIS) bdk. “dadanya berlilitkan ikat pinggang dari emas”. • Daniel 10:6: “kakinya seperti kilau tembaga yang digilap” bdk. Wahyu 1:15: “kakinya berpijar seperti tembaga yang dibakar” (BIS) bdk. “kakinya mengkilap bagaikan tembaga membara di dalam perapian”. • Daniel 10:6, “suaranya terdengar seperti suara orang banyak” (BIS) bdk. “suara ucapannya seperti gaduh orang banyak”, bdk. Wahyu 1:15 “suaranya bagaikan desau air bah”. Kata-kata yang diterjemahkan dengan “suara orang banyak” bisa merujuk kepada suara kerumunan orang, bunyi air (mis. hujan), atau bahkan bunyi roda kereta, sebagaimana disebutkan di The Expositor’s Commentary. Dengan demikian, Wahyu 1 tentu saja melukiskan Kristus yang bangkit itu dalam istilah kemegahan dan kemuliaan makhluk surgawi tetapi tidak menyediakan dasar untuk keilahiannya. Sebenarnya seorang malaikat lain dilukiskan dengan kata-kata yang hampir sama dengan Wahyu 10. Lagi-lagi saya mengutip The Expositor’s Commentary atas Daniel 10:4dyb.: “Perhatikan Wahyu 10:1, di mana malaikat itu dilukiskan berselubungkan awan, dengan pelangi di atas kepalanya, mukanya bersinar seperti matahari, dan kakinya bagaikan tiang api—sebuah deskripsi dengan persamaan mencolok dengan deskripsi di kitab Daniel.” Oleh karena The Expositor’s Commentary telah menyinggung Wahyu 10:1, perhatikan pula, bahwa deskripsi malaikat ini mengatakan bahwa “mukanya sama seperti matahari”, yang adalah gambaran dari muka Kristus, sebagaimana dilukiskan di Wahyu 1:16. Namun persamaan antara penglihatan di Daniel 10 dan Wahyu 1 semakin meluas. Terdapat juga persamaan dari segi dampaknya 438 The Only True God kepada Daniel dan Yohanes: “dan tidak ada lagi kekuatan padaku… jatuh pingsanlah aku tertelungkup dengan mukaku ke tanah” Daniel 10:8,9, yang tidak terlalu berbeda dari “sujudlah aku di depan kakinya sama seperti orang yang mati” (Why.1:17). Lagi-lagi, dalam kedua kejadian itu, sebuah tangan di taruh ke atas mereka sementara orang yang mereka lihat itu berbicara kepada mereka. Mengingat semua ini, tak pelak bila Kristus dilukiskan dengan menggunakan istilah-istilah malaikat di Wahyu 1. Namun termasuknya gelar “Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir” (Why.1:17), yang kemungkinan adalah sebuah gelar ilahi, bisa mengusulkan bahwa sebuah referensi kepada “malaikat Tuhan” PL dimaksudkan. Akan tetapi, “Yang Awal dan Yang Akhir” adalah sebuah gelar yang dipakai untuk Kristus pada tiga kesempatan (1:17; 2:8; 22:13), meskipun tidak pernah kepada Allah dalam kitab Wahyu. Namun kemungkinan ada sebuah hubungan dengan Yesaya 41:4, “Aku, Yahweh, yang pertama dan yang terakhir, Akulah Dia” (ILT), tetapi, pelbagai terjemahan menggarisbawahi ketidakpastian maknanya, seperti: “Aku, TUHAN, yang terdahulu, dan bagi mereka yang terkemudian Aku tetap Dia juga” (LAI) dan “Aku, TUHAN, Akulah yang pertama, dan tetap ada sampai penghabisan” (BIS). Meskipun demikian, terdapat kesejajaran yang amat dekat antara Yesaya 44:6 dan 48:12 dalam susunan kata. Namun kita perlu berhati-hati ketika mencoba membuktikan satu pokok teologis dengan menggunakan gelar-gelar serupa. Misalnya, setiap murid sejati disebut “terang dunia” oleh Yesus (Mat.5:14), dan ia juga menyebut dirinya sendiri dengan gelar yang sama persis, “terang dunia” (Yoh.8:12; 9:5). Berdasarkan hal ini dapatkah kita memperdebatkan bahwa jika Yesus itu Allah, maka kita pun adalah Allah? Jika tidak, lalu mengapa diasumsikan bahwa ketika sebuah gelar ilahi dikenakan kepada Kristus, hal itu mesti berarti ia adalah Allah? Jika dalam hal “terang dunia”, kita mengerti bahwa kita adalah “terang dunia” karena Roh Kristus yang mendiami kita Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 439 bersinar melalui kita dengan terang Kristus, maka bukankah hal yang sama berlaku untuk Kristus? Kristus adalah “Yang Awal dan Yang Akhir” berdasarkan kenyataan bahwa Bapa yang mendiami dia adalah “Yang Awal dan Yang Akhir”. Hal penting yang mendasar ini begitu saja diabaikan oleh trinitarian. Lagipula, seperti biasanya, trinitarian, entah dengan disengaja entah dengan ceroboh, mengabaikan fakta bahwa ketiga ayat di kitab Yesaya (yang disebut dalam paragraf sebelumnya) merujuk kepada Yahweh sebagai “yang awal” dan “yang akhir”, jadi untuk menyamakan identitas rujukan di kitab Wahyu dengan kitab Yesaya hanya berakibat pada pengidentifikasian Yesus sebagai Yahweh dan, seperti telah kita lihat sebelumnya, ini bukan hasil yang ingin dicapai oleh trinitarian karena akan berakibat pada pengurangan Pribadi Pertama dan Kedua dari Allah Trinitas menjadi satu pribadi yang sama, dengan demikian, meniadakan Trinitas. Lagipula, “yang awal” dan “yang akhir” dalam kitab Yesaya memuat sebuah arti khusus yang tidak mungkin berlaku kepada Kristus di kitab Wahyu. Misalnya Yesaya 43:10b,11: “Sebelum Aku tidak ada Allah dibentuk [oleh karena itu Yahweh adalah “yang awal”], dan sesudah Aku tidak akan ada lagi [oleh karena itu Yahweh adalah “yang akhir”]. Aku, Akulah Yahweh dan tidak ada juruselamat selain dari pada-Ku.” Di sini artinya terlihat jelas: Karena Ia adalah yang awal sekaligus yang akhir, Ia adalah satusatunya Allah dan Juruselamat. Dengan kata lain, “yang awal” dan “yang akhir” merupakan cara lain untuk mewartakan monoteisme mutlak. Dari pembahasan paragraf-paragraf terdahulu kita bisa menyimpulkan bahwa Kristus memang mungkin dilukiskan sebagai “malaikat Tuhan” dalam Wahyu 1, sebuah epifani Yahweh. Jika eksegesis terdahulu ada pada jalur yang benar, maka ini menunjukkan sebuah kaitan antara Kristus dalam PB dengan malaikat Tuhan dalam PL, sekalipun Wahyu 1 bisa jadi merupakan 440 The Only True God satu-satunya rantai penghubung semacam itu dengan malaikat Tuhan. Allah dan Anak Domba dalam kitab Wahyu K ita bisa melihat dalam kitab Wahyu bagaimana frasa “bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp.2:11) dinyatakan dengan kejelasan indah. Banyak rujukan telah dibuat kepada kitab Wahyu karena Kristologi trinitaris menganggapnya lahan subur untuk menggali teks-teks bukti tanpa menghiraukan konteks di mana mereka ditemukan, yaitu tema-tema utama kitab Wahyu begitu saja diabaikan, dan teks-teks disobek keluar dari konteks. Misalnya, mereka seharusnya telah mengamati bahwa Yahweh Allah sajalah yang disebut sebagai “Dia yang duduk di atas takhta” tidak kurang dari 12 kali dalam kitab Wahyu. “Takhta” merupakan kata kunci dalam kitab Wahyu, muncul 47 kali dalam 37 ayat; merupakan lambang kekuasaan, otoritas, dan kedaulatan. Kebanyakan dari rujukan kepada “takhta” merujuk kepada takhta Allah, yaitu, kepada kerajaan dan kedaulatan-Nya; tetapi beberapa merujuk kepada otoritas yang didelegasikan oleh Allah. Di 2:13 bahkan ada sebuah rujukan kepada “takhta Iblis”; ia selalu berusaha merebut kekuasaan pemerintahan Allah. Yesus, sebaliknya, selalu berupaya hidup dalam ketaatan total kepada Bapanya (bdk. Why.1:6; “Allah dan Bapanya”), sebab ia “taat sampai mati” (Flp.2:8), sebuah kebenaran yang ditangkap oleh gambaran “Anak Domba yang disembelih” dalam kitab Wahyu. Jelaslah bahwa oleh karena hal ini (bdk. Flp 2:9-11) tampillah gambar yang sungguh-sungguh indah pada bagian kesimpulan dan akhir dari kitab Wahyu itu di mana Allah terlihat berbagi takhtaNya dengan Anak Domba: “Malaikat itu juga menunjukkan kepada saya sungai yang airnya memberi kehidupan. Sungai itu gemerlapan Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 441 seperti kristal dan mengalir dari takhta Allah dan Anak Domba itu” (Why.22:1; BIS, bdk. ay.3). Pembagian takhta Allah ini menggenapi apa yang dikatakan oleh Yesus di Wahyu 3:21, “Siapa yang menang, ia akan kududukkan bersama-sama dengan aku di atas takhtaku, sebagaimana akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapaku di atas takhta-Nya.” Ini juga berarti takhta yang dikaruniakan kepada Yesus pada dasarnya adalah takhta Bapa. Frasa “takhta Allah dan Anak Domba itu” hanya muncul dalam dua ayat kitab Wahyu ini. Seperti sudah kita catat sebelumnya, “Anak Domba” sebagaimana diterapkan kepada Yesus muncul 28 kali (4x7) dalam kitab Wahyu dan, oleh karena itu, merupakan salah satu kata kunci. Anak Domba yang disembelih itu melukiskan Kristus sebagai kurban penghapus dosa melalui kematian dan kebangkitannya. Setelah menunaikan dengan setia misi yang dipercayakan kepadanya oleh Allah Bapa kita, ia dikaruniakan untuk duduk di atas takhta Allah (bdk. Flp.2:911 lagi), sama seperti mereka semua yang menang akan dikaruniai tempat di atas takhta Kristus (Why.3:21). Petrus di Kisah 2:36 memberitakan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus”, yang menyebabkan Paulus berbicara tentang Yesus sebagai “Tu[h]an Yesus Kristus”. Perhatikan lagi bahwa Allah yang telah menjadikan dia Tu[h]an. Kekuasaan sebagai Tu[h]an dianugerahkan kepadanya oleh Allah, demikian pula dengan kemesiasannya (Kristus). Kita yang dibesarkan sebagai trinitarian tidak boleh melupakan hal ini jika kita tidak ingin menyimpang lagi dari kebenaran firman Allah. Dalam Kitab Wahyu, sasaran utama dari penyembahan adalah Allah, Bapa kita. Hal ini secara khusus dinyatakan, sesungguhnya, diperintahkan di Wahyu 22:9, “Sembahlah Allah”. Ini menjadi lebih signifikan ketika kita menyadari bahwa di sini Kristuslah yang tengah berbicara melalui malaikatnya (Why.22:16). 442 The Only True God Banyaknya rujukan kepada “takhta” Allah di kitab Wahyu berbicara tentang pemerintahan-Nya yang universal; dengan demikian, kita diingatkan oleh “kerajaan Allah” yang begitu pokok dalam ajaran Yesus. “Kerajaan Allah” adalah istilah yang muncul 31 kali dalam ajaran Yesus dalam Injil Lukas; padanannya “kerajaan surga” juga muncul 31 kali dalam Injil Matius, di mana “surga” merupakan metonim untuk “Allah”. Ini berarti kekuasaan pemerintahan Allah merupakan sebuah unsur yang sentral dalam ajaran Yesus. Dari sini semestinya jelas bahwa Yahweh Allah Sendiri adalah hal pokok dalam ajaran Yesus. Pernahkah terlintas dalam pikiran kita bahwa meninggikan Yesus ke tingkat kesetaraan dengan Yahweh Allah itu berlawanan dengan ajarannya? Dan jika dengan berbuat demikian kita tidak menaati Yesus, apa yang akan terjadi kepada kita pada Hari itu? “Allah” dalam kitab Wahyu adalah Yahweh H al ini dibuat jelas pada bagian paling awal dari kitab Wahyu: “Anugerah dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang” (Why.1:4) dan juga di ay.8, “Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.” Hal ini mudah dikenali, seperti yang diamati oleh para komentator Alkitab, sebagai padanan dari Keluaran 3:14, “Firman Allah kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU’. {Atau AKU AKAN MENJADI APA YANG AKU AKAN MENJADI} Lagi firman-Nya: Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: ‘AKULAH AKU’ telah mengutus aku kepadamu”. Hal ini juga mengingatkan kita kepada deskripsi Allah seperti “dari selamalamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Mzm.90:2); “Semuanya itu akan binasa, tetapi Engkau tetap ada… dan tahuntahun-Mu tidak berkesudahan” (Mzm.102:26,27); dan “Bahwasanya Aku, Yahweh, tidak berubah” (Mal.3:6). Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 443 Deskripsi ilahi yang sama, seperti di Wahyu 1:4,8, juga muncul dengan indahnya di 4:8 seperti berikut, “dengan tidak berhentihentinya mereka berseru siang dan malam: ‘Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang!’”. Kata “kudus” yang diucapkan tiga kali ini mengingatkan kita kepada penglihatan di Yesaya 6. Gelar “Tuhan Allah” adalah gelar familier untuk Yahweh dalam PL. Dalam PB, kata “Mahakuasa” (pantokratōr) sebagai sebuah gelar untuk Yahweh hanya muncul di kitab Wahyu, sebanyak 9 kali (1:8; 4:8; 11:17; 15:3; 16:7; 16:14; 19:6; 19:15; 21:22; di luar itu gelar tersebut muncul dalam sebuah kutipan PL di 2Kor.6:18). Pantokratōr kerapkali muncul dalam PL Yunani (termasuk Apokrifa), di mana kata itu muncul 181 kali, dan digunakan untuk menerjemahkan dua gelar Yahweh: “Tuhan semesta alam” dan ElShaddai. Gelar itu dipakai 55 kali dalam kitab Zakaria yang relatif pendek, di mana gelar tersebut biasanya menerjemahkan “Yahweh Sabaoth” (NJB, atau “the LORD of hosts” dalam kebanyakan versi lain, tetapi “the Almighty” dalam NIV). “Sebab itu katakanlah kepada mereka: Beginilah firman TUHAN semesta alam: Kembalilah kepada-Ku, demikianlah firman TUHAN semesta alam, maka Akupun akan kembali kepadamu, firman TUHAN semesta alam” (Za.1:3). “Shaddai” muncul 48 kali dalam Alkitab Ibrani, 31 kali di kitab Ayub: “Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. {Ibr: Shaddai; di sini dan di seluruh kitab Ayub}” (Ayb.5:17). Kata itu pertama kali muncul di Kejadian 17:1, “Yahweh menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya: ‘Akulah Allah Yang Mahakuasa (Ibr: El-Shaddai), hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela’”, dan Kejadian 28:3, “Moga-moga Allah Yang Mahakuasa {El-Shaddai} memberkati engkau, membuat engkau beranak cucu dan membuat engkau menjadi banyak”. Ketika kita melihat contoh- 444 The Only True God contoh ini, mau tidak mau kita dikejutkan oleh keakraban “yang Mahakuasa” berhubungan dengan manusia kendati keagungan serta kuasa-Nya yang tak terbayangkan. Hal ini menjadi ciri menyolok dari Yahweh yang jelas terlihat di sepanjang Alkitab. Dalam kitab Wahyu kita melihat sang Mahakuasa dengan akrab terlibat dengan kejadian-kejadian di dunia ini, dan Ia menggunakan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan-Nya bagi umat manusia. Kita sudah mencatat bahwa “takhta” adalah salah satu kata kunci dalam kitab Wahyu. Konsep Allah yang duduk di atas takhta-Nya dan memerintah atas dunia dan alam semesta kerapkali muncul dalam PL, khususnya kitab Mazmur: “Yahweh sudah menegakkan takhta-Nya di sorga dan kerajaan-Nya berkuasa atas segala sesuatu” (Mzm.103:19); “Engkau, ya Yahweh, bertakhta selama-lamanya, takhta-Mu tetap dari masa ke masa!” (Rat.5:19) Di Matius 5:34 Yesus berbicara tentang langit sebagai “takhta Allah” dan bumi sebagai “tumpuan kaki-Nya” (Mat.5:34,35). Hal yang secara khusus relevan untuk kitab Wahyu adalah penglihatan Yesaya akan Allah yang duduk di atas takhta-Nya, “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci” (Yes.6:1); dan terlebih lagi oleh karena ay.3, “Dan mereka (yaitu para Serafim, ay.2) berseru seorang kepada seorang, katanya: ‘Kudus, kudus, kuduslah Yahweh semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!’”; kata “Kudus” yang diulang tiga kali ini digemakan di Wahyu 4:8: “dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: ‘Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang!’”. Takhta itu (Yeh.1:26), dalam penglihatan yang sering disebut sebagai “penglihatan kereta” Yehezkiel, adalah juga suatu penglihatan akan takhta Yahweh: “Seperti busur pelangi, yang terlihat pada musim hujan di awan-awan, demikianlah kelihatan Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 445 sinar yang mengelilinginya. Begitulah kelihatan gambar kemuliaan Yahweh” (Yeh.1:28). “Aku mengangkat engkau sebagai Allah” (Kel.7:1)— seorang manusia yang dilantik untuk berfungsi sebagai wakil Allah untuk melaksanakan tujuan-Nya D alam suasana surgawi kitab Wahyu terdapat sesuatu yang tampak ilahi tentang Yesus sang Anak Domba. Barangkali inilah yang memberikan kesan bahwa kita bisa menemukan materi untuk memperlihatkan doktrin keilahiannya. Kita begitu saja berasumsi bahwa gelar-gelar yang disandangkan kepadanya adalah gelar-gelar ilahi, seperti “Aku adalah Yang Awal dan Yang Akhir” (Why.1:17, yang sudah kita bahas di tempat lain dalam kajian ini), dan terkejut ketika setelah dianalisa ternyata gelar-gelar itu belum tentu ilahi. Hal ini menimbulkan pertanyaan berikut: “Apakah pengaruniaan gelar-gelar ilahi kepada Yesus, seperti ‘Tu[h]an’, berarti ia harus disembah setingkat dengan Yahweh Allah?” Kita mengira jawabannya harus “ya”, tetapi dengan mengejutkan kita mendapati bahwa jawaban yang diberikan kitab Wahyu tidak sesuai dengan dugaan kita. Ternyata, ada sesuatu mengenai pewahyuan tentang Yesus yang telah gagal kita lihat, dan oleh karena itu, memahaminya secara salah. Dalam hal keserupaan dengan Allah, ada persamaan yang menyolok dengan kasus Musa di mana Allah berkata, “Aku akan menjadikan engkau seperti Allah di hadapan raja” (Kel.7:1; BIS) atau, “Aku mengangkat engkau sebagai Allah bagi Firaun”. Status dan otoritas ilahi Allah sendiri dianugerahkan kepada Musa, sehingga interaksi antara Musa dan Firaun kini menjadi interaksi antara Allah dan Firaun, yang adalah raja dunia sejauh umat Israel yang hidup di Mesir. Kini Musa datang kepada Firaun bukan hanya sebagai seorang hamba atau nabi Allah (seperti seseorang yang 446 The Only True God memiliki kuasa dan otoritas untuk bertindak dalam Nama Allah), tetapi ia adalah Allah sejauh Firaun. Namun hal yang sama juga benar dengan hubungan antara Musa dan Harun (dan oleh karena itu dengan keimaman) Keluaran 4:16, “Ia harus berbicara bagimu kepada bangsa itu, dengan demikian ia akan menjadi penyambung lidahmu dan engkau akan menjadi seperti Allah baginya.” Dengan demikian, penganugerahan status ilahi kepada seseorang sama sekali bukanlah hal baru dalam Kitab Suci. Yesus justru menegaskan fakta ini di Yohanes 10:34,35 dengan mengutip Mazmur 82:6. Kita sudah mempertimbangkan Mazmur 45 (NIV: “nyanyian perkawinan” bagi raja Israel) di mana sang raja (ay.2) disebut sebagai “Allah” di ay.7. Namun ayat yang berikutnya membuat jelas bahwa “Allah” atau “allah” ini bukan Allah tertinggi, sebab “Allah Yang Mahatinggi” (Mzm.78:35,56; dst.) itu adalah “Allahmu” yang telah menganugerahkan kepada “allah” ini sebuah kedudukan yang “melebihi teman-teman sekutumu” (Mzm.45:8). Deskripsi atau gelar “Mahatinggi” (Elyôn, )ﬠֶלְ יוֹןditerapkan kepada Yahweh 53 kali dalam PL, 22 kali dalam kitab Mazmur. Raja Israel tidak pernah disembah, demikian juga dengan yang terbesar dari umat Israel sekalipun, Musa. Ini adalah karena pada akhirnya, Yahweh sendiri adalah Raja Israel yang sebenarnya dan, sebagai Yang Mahatinggi, Ia sendiri adalah sasaran penyembahan. Lihat saja, misalnya, deklarasi agung ini: “Beginilah firman Yahweh, Raja dan Penebus Israel, Yahweh semesta alam: ‘Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku.’” (Yes.44:6); dan lagi-lagi: “Yahweh telah menyingkirkan hukuman yang jatuh atasmu, telah menebas binasa musuhmu. Raja Israel, yakni Yahweh, ada di antaramu; engkau tidak akan takut kepada malapetaka lagi.” (Zef.3:15) Mungkin semua ini akan membantu kita untuk lebih memahami fakta bahwa dalam monoteisme Alkitabiah, tak seorangpun, tidak peduli betapa tingginya ia diagungkan oleh Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 447 Allah—dan Yesus pasti lebih ditinggikan daripada siapa pun juga— bisa pernah menjadi sasaran penyembahan alih-alih Yahweh. Semua contoh ini menunjukkan bahwa Allah yang transenden menjalankan karya penyelamatan-Nya secara imanen melalui bejana kudus yang telah dipilih-Nya. Yesus adalah orang yang dipilih-Nya (“Yang Kupilih”, Luk.9:35; bdk. Luk.23:35, dalam bahasa Yunani) dari semua orang. Dalam PB kita melihat bahwa Allah melakukan segala sesuatu di dalam dan melalui Yesus Kristus, oleh karena itu kita sering membaca istilah familier “di dalam Kristus” dan “melalui Kristus” dalam surat-surat Paulus. Akan tetapi, kita cenderung lupa bahwa Kristus adalah bejana pilihan Allah untuk menjalankan tujuan-tujuan kekal Allah (bukan Kristus). Contoh lainnya, yang menjadi subjek pembahasan dalam kesusasteraan Yahudi, adalah malaikat menakjubkan yang diangkat Allah untuk memimpin umat Israel melalui padang gurun dan menjaga mereka sepanjang perjalanan. Hal yang luar biasa dengan malaikat ini ialah bahwa ia merupakan penjunjung Nama Allah, “Nama-Ku ada di dalam dia” (Kel.23:21). Dari ay.22 jelaslah bahwa menaati dia sama artinya dengan menaati Allah, sebab Allahlah yang berbicara dan bertindak di dalam dia dan melalui dia. Sejauh umat Israel, malaikat itu adalah Allah Sendiri berdasarkan fakta bahwa ia adalah penjunjung Nama Allah. Meskipun demikian, tidak pernah terlintas kemungkinan untuk menyembah malaikat ini, karena mereka “harus beribadah kepada Yahweh, Allahmu” saja (ay.25). Persoalannya bagi kita adalah kita telah begitu terindoktrinasi oleh trinitarianisme sehingga kita merasa lebih mudah untuk menerima diteisme atau triteisme, berkenaan dengan Kristus, daripada monoteisme. Pikiran kita telah begitu terbelenggu oleh bentuk politeisme trinitaris itu sehingga, ketika dibebaskan, kita malah tidak tahu apa yang harus dipikirkan. Sama seperti narapidana yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka di dalam penjara sehingga, ketika dibebaskan, mereka tidak tahu harus 448 The Only True God ke mana dan, oleh karena itu, memilih untuk kembali ke penjara sebagai satu-satunya tempat tinggal yang mereka kenal. Untuk menghindari kesalahan yang sama, kita perlu mengasihi kebenaranNya berapa pun harganya, karena jalan yang sesak dan sempitlah yang membawa kita kepada hidup. Apa yang dapat kita perbuat dalam situasi saat ini dengan jemaat? A pakah ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk mencegah agar kita tidak tergelincir kembali ke dalam kekeliruan? Oleh anugerah Allah, ada. Sebagai murid Yesus, kita bisa belajar menjadi seperti dia dalam pengabdiannya yang tulus iklas kepada Bapa. Seluruh PB menyaksikan bahwa ia mengasihi Bapanya dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatannya (Mat.22:37; Mrk.12:30; Luk.10:27). Apa yang diajarkannya untuk kita lakukan, ia lakukan sendiri terlebih dahulu. Apabila kita mengasihi Allah, Bapa kita, dengan cara ini kita akan mendapati hati kita sepenuhnya dipersatukan dengan Kristus, karena dialah yang mengajarkan dan mempraktikkannya. Lagipula, mengasihi sang Bapa sebenarnya tidak sulit bila kita menyadari bahwa Dialah yang terlebih dahulu mengasihi kita (1Yoh.4:19) dan Ia mengasihi kita hingga “tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkannya bagi kita semua” (Rm.8:32; bdk. Yoh.3:16). “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anakanak Allah!” (1Yoh.3:1)—“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita” (1Yoh.4:16). Sedangkan untuk doa, kita bisa belajar untuk berseru kepada Allah, Bapa kita, dengan mengucapkan “Abba, Bapa” sama seperti Yesus sendiri berdoa (Mrk.14:36), dan sebagaimana Roh Allah, “Roh yang menjadikan kamu anak Allah”, memampukan kita untuk berdoa (Rm.8:14,15). Galatia 4:6 berbunyi, “Karena kamu adalah Bab 4 — Penuhanan Trinitaris akan Kristus 449 anak, maka Allah telah menyuruh Roh Anak-Nya ke dalam hati kita, yang berseru (krazō adalah kata yang kuat, mengungkap intensitas): ‘ya Abba, ya Bapa!’” Kata-kata ini menerangkan bahwa jika Roh Kristus ada di dalam kita, kita akan memanggil atau berseru dari hati kita, “ya Abba, ya Bapa”. Penting juga untuk diperhatikan bahwa ayat ini menyatakan bahwa bukan Anak yang mengutus Roh-Nya ke dalam hati kita, tetapi Allah Bapa kita Sendirilah yang melakukan hal ini. Lebih lanjut, kita bisa belajar merenungkan hal-hal surgawi dengan merenungkan, misalnya, adegan surgawi yang dilukiskan di Wahyu 4 dan 5, dengan memperhatikan bagaimana khalayak di surga menyembah “Dia yang duduk atas takhta” (Yahweh Allah, sang Bapa, dilukiskan dengan cara ini sebanyak 12 kali dalam kitab Wahyu). “Takhta” adalah salah satu kata kunci dalam kitab Wahyu, yang muncul 47 kali (dari semuanya itu, 14 kali di Wahyu 4, dan 5 kali di Wahyu 5). Sebagaimana disebutkan di atas, Anak Domba dikaruniakan untuk duduk dengan Allah Bapa kita di atas takhtaNya, sama seperti para pemenang akan dikaruniakan untuk berbagi takhta Kristus dengan dia (Why.3:21). Sesudah pembukaan meterai di Wahyu 5, Anak Domba dipuji dan dipuja bersama-sama dengan Allah. Dengan membayangkan adegan penyembahan yang indah itu, dan dengan mempelajari makna doksologi yang disebut di dalamnya, kita bisa belajar untuk menyembah dengan cara surgawi itu, sebab bukankah hal-hal ini dituliskan sebagai pelajaran bagi kita? Paulus menasihati kita untuk memikirkan perkara yang di atas (Kol.3:2). Wahyu 4 dan 5 tentu saja bisa menbantu kita melakukan hal ini secara lebih mendalam. Mungkin penglihatan surgawi tentang penyembahan seperti itulah yang mengihami Paulus untuk menulis doksologi yang demikian indah, “Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tidak tampak dan yang esa! Amin” (1Tim.1:17). Kita mungkin bertanya-tanya apa 450 The Only True God yang menyebabkan dia tiba-tiba melontarkan doksologi ini di tengah-tengah penulisan suratnya. Apakah mungkin karena rujukan kepada hidup kekal di ayat sebelumnya? Akankah hati kita juga akan melonjak memuji Allah Bapa kita begitu kita memikirkan hidup kekal? Janganlah kita juga mengabaikan penegasan monoteistisnya yang kuat tentang “satu-satunya (monos) Allah (theos)” di tengahtengah doksologi itu. Bab 5 Yahweh dalam Alkitab Ibrani “Yahweh” dalam Alkitab Ibrani (“Perjanjian Lama”) ama Yahweh (יהוה, YHWH) muncul 6828 kali dalam PL. N Jumlah ini tidak termasuk 49 kemunculan “Yah”, seperti di Keluaran 15:2, Mazmur 68:5, dan juga banyaknya ungkapan “Haleluya” atau Halelu-Ya (“puji Yahweh”) dalam kitab Mazmur. (Jika kita mencakupkan sufiks–ya (=Jah atau Yah) dalam namanama seperti Yesaya dan Yeremia, dan prefiks Ye- atau Yo- (mis. Yehu, dan Yosafat “Yahweh menghakimi”), jumlahnya akan jauh meningkat.) Oleh karena itu, seluruh rujukan kepada Yahweh dalam PL itu berjumlah kira-kira 7000. Kata “Allah”, Elohim ()אלהים, ditemukan 2600 kali. Namun, sebagian besar dari jumlah itu merujuk kepada ilah-ilah lain yang 452 The Only True God disebut dalam PL. Jadi jumlah rujukan kepada “Allah” dalam PL (jika tidak mencakup rujukan kepada ilah lain) adalah kira-kira 1/3 dari jumlah rujukan kepada “Yahweh”. Keunggulan jumlah dari nama “Yahweh” itu terlihat nyata. Kombinasi “Yahweh (‘TUHAN’) Allah (Elohim)” ( )יהוה אלהיםmuncul 891 kali dalam 817 ayat. Dari angka-angka ini jelaslah Yahweh merupakan Nama yang paling dominan dalam PL. Lagipula, tidak di manapun juga terdapat tanda adanya pribadi lain yang setara dengan Yahweh, atau ada lebih dari satu pribadi di dalam Yahweh Sendiri. Apa yang akan dilakukan oleh trinitarian dengan Yahweh? H al yang paling menakjubkan adalah fakta bahwa Nama-Nya tidak muncul dalam versi-versi utama Alkitab Inggris meskipun begitu dominan; sebenarnya nama itu justru telah dihapuskan dari semua versi itu! (New Jerusalem Bible (NJB) merupakan sebuah pengecualian.) Situasi ini sangat mendukung tujuan trinitaris karena dengan demikian ia dapat menghindari pertanyaan penting ini: Bagaimana persisnya trinitarianisme dapat diselaraskan dengan Yahweh? Kenyataannya adalah: trinitarianisme tidak memiliki jawaban atas pertanyaan ini! Ini dikarenakan Yahweh—yang secara konsisten dinyatakan sebagai satu-satunya Allah yang benar, dan selain Dia tidak ada yang lain—tidak dapat diselaraskan dengan skema teologi trinitaris. Usaha untuk mengidentifikasikan Yahweh sebagai “Bapa” dalam Allah Trinitas, yang selain Dia masih ada dua pribadi yang setara dengan-Nya— sesuatu yang keji bagi Yahweh, merupakan sebuah tipuan belaka, sebagaimana semestinya diketahui oleh setiap orang yang pernah membaca PL, tetapi karena dibutakan oleh dogma trinitaris, gagal untuk melihatnya atau mau melihatnya. Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 453 Seorang trinitarian harus menghadapi kenyataan bahwa ia diperhadapkan dengan sebuah pilihan jelas: Yahweh, atau Trinitas tetapi tidak keduanya. Allah itu esa, atau tiga. Trinitarianisme berusaha memiliki kedua-duanya, yaitu mendapatkan yang terbaik dari kedua dunia, monoteisme dan trinitarianisme, dengan mengurangkan “Allah” menjadi “kodrat ilahi” yang dibagi bersama oleh tiga pribadi. Hasil akhir dari usaha menunggangi dua kuda sekaligus tidak sulit dibayangkan; dan nasib rohaniah dari mereka yang mengira bahwa mereka dapat memperoleh yang terbaik dari dua dunia yang sama sekali bertentangan (monoteisme versus politeisme trinitaris) juga tidak sulit diramal. Dari sudut pandang Kitab Suci, adalah sangat bodoh jika kita mengira kita dapat menghindar dari pilihan itu, karena hasil akhirnya akan menjadi bencana. Elia meletakkan pilihan itu di hadapan umat Israel di gunung Karmel: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Yahweh itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia.” (1Raj.18:21) Namun jauh sebelum kejadian luar biasa di atas gunung Karmel itu, Yosua sudah memanggil umat Israel untuk berhadapan dengan pilihan yang sama, “pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos.24:15). Ia membuat pendiriannya sendiri dengan jelas di hadapan semua orang, “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Yahweh!” Semoga Tuhan memberikan kepada kita keberanian untuk membuat pendirian yang sama hari ini. Nama “Yahweh” P ada masa PB, kaum Yahudi (termasuk anggota jemaat Yahudi) kebanyakannya sudah mengenal Alkitab Ibrani karena dibaca secara teratur di sinagoga (Luk.4:16dyb.). Namun kaum Yahudi Helenistik (orang Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat dan/atau budaya Yunani) kurang fasih berbahasa Ibrani, sehingga 454 The Only True God harus bergantung pada Septuaginta (LXX) yang menerjemahkan YHWH (Yahweh) sebagai “Tu[h]an” (kurios); hal ini sesuai dengan praktik di masa Pembuangan dan pasca-Pembuangan untuk tidak mengucapkan atau melafalkan Nama Allah karena takut memperlakukan Nama-Nya “dengan sembarangan” (Kel.20:7). Alkitabalkitab Inggris (kecuali New Jerusalem Bible) mengikuti Septuaginta dalam menerjemahkan YHWH dengan “TU[H]AN”, tetapi dengan menulisnya dalam huruf kapital (yang menjadi tidak relevan bila diucapkan). The Theological Wordbook of the Old Testament (TWOT) menyatakan, “Hanya di masa pra-PB nama personal Allah [Yahweh] digantikan dengan gelar yang kurang intim ădōnāy (Yun.: kurios) ‘Tu[h]an’.” TWOT pun memuat pengamatan instruktif tentang “Yahweh” sebagai berikut: “Kitab Suci berbicara tentang Tetragrammaton (YHWH) sebagai ‘nama yang mulia dan dahsyat [menakjubkan]’ (Ul.28:58), atau hanya dengan ‘nama itu’ (Im.24:11). Namun nama itu menandakan kedekatan Allah, kepedulian-Nya kepada manusia, dan penyataan janji penebusan-Nya. Dari Kejadian 1 sampai Kejadian 2:3, istilah umum elōhîm “ketuhanan,” itu pantas untuk Allah yang transenden di dalam penciptaan; tetapi di Kejadian 2:4-25 Yahwehlah, Allah yang imanen dalam penyataan di Eden itu” (TWOT, ( יָהּyāh) Yahweh, huruf miring ditambahkan). Akibat dari rasa takut bangsa Yahudi untuk melafalkan Nama Allah adalah bahwa pelafalan Nama-Nya tidak lagi dikenal seiring dengan waktu, atau setidaknya, menjadi tidak pasti. Nama Allah sekarang umumnya tidak dikenal oleh kebanyakan orang Yahudi dan umat Kristen. Bagi mereka, Allah itu tidak bernama! Namun Kitab Suci berkata, “barangsiapa yang berseru kepada nama Yahweh akan diselamatkan” (Yl.2:32; Kis.2:21; Rm.10:13). Bukankah seharusnya Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 455 kita bertanya: Bagaimanakah mereka akan berseru kepada NamaNya bila mereka tidak tahu nama itu? Sebab, ayat itu tidak hanya berkata, “Berseru kepada Allah”, melainkan berseru kepada “NamaNya”. Frasa “Nama Yahweh” (shem YHWH) muncul 97 kali dalam Alkitab Ibrani. Jika berseru kepada nama-Nya adalah soal yang berkaitan dengan keselamatan manusia, maka menghilangkan nama-Nya dari pemakaian sehari-hari adalah suatu kegilaan. Lagipula, siapakah yang memberi perintah untuk tidak melafalkan Nama Ilahi itu? Siapakah yang berotoritas untuk melarang pemakaian Nama-Nya? Tampaknya mustahil untuk melacak asalusul larangan pemakaian Nama Yahweh. Perkembangannya terjadi seperti cara menyebarnya kabar angin, asal-usulnya tidak lagi diketahui—meskipun salah, tetap dipercaya! Namun penyebaran “kabar angin” atau, lebih tepatnya, kebohongan ini (karena bukan saja tidak mendapat pengesahan di dalam firman Allah, tetapi bertentangan dengannya), telah membawa bencana rohani, khususnya bagi jemaat. Untuk sekarang ini, satu-satunya Allah yang benar itu telah dihilangkan Nama-Nya, sesungguhnya, dirampok Nama-Nya! Paling tidak orang Yahudi masih menyapa Dia dengan gelar “Adonai” (“Tu[h]an”). Namun bagi orang Kristen, “Tu[h]an” adalah bentuk sapaan untuk Yesus Kristus sehingga Yahweh betul-betul dibiarkan tanpa gelar tertentu! Sebagian orang Kristen merujuk kepada-Nya sebagai “Bapa” tetapi, tentu saja, dalam arti trinitaris di mana “Bapa” adalah salah satu dari tiga pribadi, dan dengan demikian, membentuk sepertiga dari Trinitas. Akan tetapi, penggunaan gelar “Bapa” ini pun tidak diterapkan secara konsisten karena sebagian orang Kristen juga menggunakan istilah itu untuk Yesus, menurut penafsiran mereka atas “Bapa yang kekal” di Yesaya 9:5. Jadi Yahweh dibiarkan tanpa Nama atau gelar tertentu di dalam jemaat! Sungguh suatu situasi yang mengejutkan! Akan tetapi, tampaknya hanya beberapa orang, jika ada, di dalam jemaat yang telah mengamati parahnya kondisi 456 The Only True God rohaniah jemaat sekarang ini. Tampaknya ini mengindikasikan adanya semacam kekebasan, kebutaan, atau bahkan kelumpuhan rohaniah yang telah menguasai jemaat. Kita mungkin bertanyatanya: Di manakah orang-orang milik Yahweh, yang peduli dengan Nama-Nya dan kemuliaan-Nya? Umat Kristen menyanyikan himne, “Betapa manisnya nama Yesus terdengar di telinga orang yang percaya” tanpa merasa terganggu bila Nama Yahweh yang mulia dan indah itu telah diasingkan ke tempat terlupakan. Yang menjadi misteri adalah mengapa terjemahan-terjemahan Inggris (kecuali Jerusalem Bible) memilih untuk mengikuti Septuaginta sedangkan yang tengah mereka terjemahkan itu bukan Septuaginta melainkan Alkitab Ibrani?! Lagipula, saya tidak menyadari adanya orang Kristen yang pernah menganggap diri mereka terikat dengan fatwa orang Yahudi untuk tidak melafalkan Nama itu. Septuaginta adalah terjemahan Yunani dari Perjanjian Lama yang ditulis oleh para penerjemah Yahudi di Aleksandria (Mesir) selama abad ke-2 sM guna memenuhi kebutuhan orang Yahudi berbahasa Yunani yang tidak lagi akrab dengan bahasa Ibrani. Mereka juga ingin memperkenalkan Kitab Suci mereka kepada dunia non-Yahudi. Para penerjemah ini, terikat dengan tabu pasca-Pembuangan di antara orang Yahudi yang melarang pelafalan Nama “Yahweh”, menggantikannya dengan “Adonai” (Tu[h]an). Apa alasan atau dalih penerjemah Kristen untuk mengikuti tabu ini? Apakah karena kebetulan lebih sesuai dengan trinitarianisme? Sedangkan untuk nama Yesus yang “indah” itu, sebenarnya Yahwehlah yang membuat nama itu indah, karena “Yesus” dalam bahasa Ibrani berarti “Yahweh menyelamatkan” atau “Yahweh adalah keselamatan”, atau “keselamatan” yang disediakan Yahweh; jadi berseru kepada nama Yesus secara tidak langsung berarti berseru kepada Nama Yahweh. Namun umat Kristen tidak memikirkan Yahweh ketika berdoa kepada Yesus, jadi itu tidak akan Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 457 sama dengan berseru kepada Nama Yahweh. Akan tetapi, umat Kristen mengira bahwa ketika mereka berdoa kepada Yesus mereka tengah berdoa kepada Allah, yaitu, kepada “Allah-Anak” dalam istilah trinitaris. Dan karena bagi mereka Yesus adalah Allah, apa perlunya mereka mempunyai Yahweh? Sedangkan untuk kata “Yehovah”, BDB (Hebrew and English Lexicon of the Old Testament) menerangkan asal-usul kata itu di gereja Barat: “Pelafalan Yehovah tidak dikenal hingga 1520, ketika diperkenalkan oleh Galatinus; tetapi kata itu disanggah oleh Le Mercier, J. Drusius, dan L. Capellus, sebagai bertentangan dengan kelayakan gramatikal dan historikal.” Walaupun demikian, terjemahan Darby, yang dibuat pada akhir abad ke-19, memakai kata ini untuk menggantikan “Yahweh”, demikian juga dengan terjemahan bahasa Cina (Union). Pelafalan Nama itu Catatan: Sebagian pembaca mungkin mendapati sebagian materi dalam bagian teks pendek berikut ini bersifat terlalu teknis. Bagian teks ini dimasukkan demi keutuhan, dan demi memudahkan mereka yang menginginkan informasi semacam itu tetapi tidak memiliki akses kepada karya-karya referensi yang disinggung di sini. P elafalan nama “Yahweh” tampaknya cukup beralasan karena bagian pertama “Yah” ( )יָהּkerapkali muncul dalam penggunaan puitis (38 kali dalam kitab Mazmur, 2 kali dalam kitab Keluaran, dan 2 kali dalam kitab Yesaya = 42 kali dalam PL). Kita mengenal hal ini dengan baik dari kata “Haleluya”, di mana “ya” dalam bahasa Ibrani sama dengan “Yah”. Ini pun muncul dalam banyak nama Alkitabiah, mis. Yesaya, Yeremia, dst., dan juga dalam bentuk yang dipendekkan dalam Yosua=Yeshuah (“Yesus” dalam bahasa Yunani). 458 The Only True God BDB, Hebrew and English Lexicon, juga mencatat: “Ἰαβέ, [Iabe] dari Teodoret dan Epifanius yang tradisional”. Begitu pun, The Theological Wordbook of the OT (TWOT) mengatakan, “Teodoret pada abad ke-4 menyatakan bahwa orang-orang Samaria melafalkannya ‘iabe’. Klemens dari Aleksandria (awal abad ke-3) mengucapkannya sebagai ‘iaoue’.” Beberapa sumber lebih awal tampaknya tersedia untuk para pemimpin gereja ini (orang-orang Samaria dalam halnya dengan Teodoret). ‘Iabe’ (Ἰαβέ) dilafalkan “Yaveh”, dan merupakan padanan dari “Yahweh” karena huruf Ibrani “( וw”) dilafalkan sebagai “v” dalam bahasa Inggris (“w” dalam bahasa Jerman juga diucapkan seperti “v” dalam bahasa Inggris), sedangkan huruf Yunani Koine “b” kemungkinan dilafalkan seperti “v” dalam bahasa Inggris, yang masih tetap dilafalkan seperti itu dalam bahasa Yunani modern. Makna “Yahweh” P ada umumnya diakui bahwa makna Nama “Yahweh” diberikan di Keluaran 3:14: ‘Firman Allah kepada Musa: “AKU ADALAH AKU.” {Atau AKU AKAN MENJADI APA YANG AKU AKAN MENJADI} Lagi firman-Nya: “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: ‘AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.’ Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai “Aku ada(lah)” ada dalam kala imperfek. Itu sebabnya di sini NIV dikutip untuk memperlihatkan bahwa apa yang diterjemahkan sebagai “I am who I am (Aku adalah Aku)” dapat juga diterjemahkan sebagai “I will be what I will be (Aku akan menjadi apa yang aku akan menjadi)” (sebagaimana terlihat di bagian pinggir halaman berbagai terjemahan lain. Ini juga cara Luther (1545 Alkitab Jerman) menerjemahkannya: “Ich werde sein, der ich sein werde.”) Demikian pula, The Hebrew and Aramaic Lexicon of the Old Testament Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 459 (Koehler dan Baumgartner): “אֶ הְ יֶה ְאַשֶׁ ר אֶ הְ יֶה, I shall be who I shall prove to be, Keluaran 3:14.” Dalam bagian terdahulu, perhatian diberikan kepada pengamatan penting dalam The Theological Wordbook of the Old Testament (TWOT) bahwa Nama “Yahweh” menandakan imanensi-Nya, kedekatan-Nya dengan manusia: “Kitab Suci berbicara tentang Tetragrammaton [YHWH, Yahweh] sebagai ‘nama yang mulia dan dahsyat [menakjubkan]’ (Ul.28:58), atau hanya dengan ‘nama itu’ (Im.24:11). Namun nama itu menandakan kedekatan Allah, kepedulian-Nya kepada manusia, dan penyataan janji penebusanNya.” (TWOT, ( יָהּyāh) Yahweh) Tentang Keluaran 3:14, TWOT menyimpulkan bahwa Nama “Yahweh” mengungkapkan “hadirat setia”-Nya dengan umat-Nya: “Janji Allah kepada Musa yang dibuat segera sebelumnya adalah, ‘Bukankah Aku akan menyertai engkau?’ (Kel.3:12). Jadi, penegasan Allah dalam ay.14 tampaknya mengatakan, ‘Aku yang hadir adalah Aku’ Memang, janji dasariah dari perjanjian-Nya adalah, ‘Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu’ (Kel.6:7; dst.; kontras dengan Hos.1:9); jadi ‘Yahweh,’ ‘hadirat setia,’ adalah kodrat atau nama perjanjian Allah (Kel.6:2,4; Ul.7:9; Yes.26:4).” (TWOT, ( יָהּyāh) Yahweh; cetak miring dari saya) 26 Begitupun BDB Hebrew and English Lexicon: “[ יהוהYHWH]… diberikan (di) Kel.3:12-15 sebagai nama Allah yang menyatakan Dirinya 26 kepada Musa di Horeb, dan dijelaskan seperti berikut: � ָ אֶ הְ יֶה ﬠִ מּI shall be with thee (ay.12), yang tersirat dalam אֶ הְ יֶה ְאַשֶׁ ר אֶ הְ יֶהI shall be the one who will be it ay.14a (yaitu: dengan-Mu ay.12) dan kemudian disingkat menjadi אֶ הְ יֶה ay.14b (yaitu dengan-Mu ay.12), yang kemudian diberikan dalam bentuk nominal יהוהHe who will be it ay.15 (yaitu dengan-Mu ay.12).” 460 The Only True God Mengomentari Keluaran 3:14, Prof. Robert Alter memberikan pengamatan berguna berikut: “’Ehyeh-’Asher-’Ehyeh [“I AM WHO I AM” dalam kebanyakan terjemahan Inggris]. Respon Allah mungkin memberi Musa lebih daripada yang dimintanya—bukan saja sebuah nama yang memberi identifikasi ilahi tetapi sebuah misteri ontologis ilahi dari karakter yang paling menakutkan. Sejak itu sungai tinta telah mengalir dalam refleksi teologis dan analisa filologis atas nama ini. Kata-kata berikut terbatas pada pertimbangan yang terakhir, yang bagaimanapun juga menyediakan landasan bagi yang terdahulu. ‘I-Will-Be-Who-IWill-Be’ merupakan susunan yang paling masuk akal, meskipun kata pada bagian tengah ’asher, bisa berarti ‘what’ ketimbang ‘who’, dan terjemahan umum ‘I-Am-That-I-Am’ tidak bisa dikecualikan. (‘Will’ digunakan di sini ketimbang ‘shall’ karena bahasa Ibraninya kedengaran seperti sebuah penegasan dengan tekanan, bukan sekadar sebuah pengumuman.) Karena sistim kala bahasa Ibrani alkitabiah tidak sepenuhnya sesuai dengan sistim kala bahasa Inggris modern, maka sangat mungkin juga untuk menafsirkan nama ini sebagai ‘I Am He Who Endures.’ Konsensus kuat dari kesarjanaan alkitabiah adalah bahwa pelafalan asli dari nama YHWH yang digunakan Allah di ayat 15 adalah ‘Yahweh’.” (R. Alter, The Five Books of Moses, Norton, 2004; cetak miring ditambahkan) Pengamatan Alter bahwa apa yang dinyatakan Yahweh kepada Musa “bukan saja sebuah nama yang memberi identifikasi ilahi tetapi sebuah misteri ontologis ilahi dari karakter yang paling menakutkan” adalah pengamatan yang penting. Ini berarti Nama itu menyatakan sesuatu tentang natur dari Wujud-Nya atau Pribadi-Nya. “I-Will-BeWho-I-Will-Be”, misalnya, menunjukkan natur yang tak berwaktu Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 461 atau kodrat kekal dari Wujud-Nya, sebagaimana diungkapkan juga oleh “I Am He Who Endures.” Ini menyiratkan kendali penuh akan masa depan, yang selanjutnya menyiratkan kemahakuasaan. Namun Alter menunjukkan bahwa kata Ibrani “’asher, dapat berarti ‘what’ ketimbang ‘who’”. ‘Apa’ dengan kuat menunjuk kepada unsur ontologis dalam Nama ilahi itu. Namun Keluaran 3:14 tampaknya tidak menyatakan ‘apa’ dari karakter ilahi itu secara eksplisit. Hal inilah yang justru dilakukan dengan luar biasanya kemudian di kitab Keluaran. Ketika Yahweh pertama-tama muncul kepada Musa di Keluaran 3, Musa begitu kagum hingga nyaris tidak dapat menahan penyataan lebih penuh dari Wujud ilahi itu ketimbang apa yang sudah diberikan kepadanya. Di Keluaran 34 kita menjumpai Musa yang siap dan antusias untuk menerima penyataan lebih penuh akan Pribadi dan karakter ilahi-Nya. “Berjalanlah Yahweh lewat dari depannya dan berseru: ‘Yahweh, Yahweh, 27 Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya’” (Keluaran 34:6). Lima unsur penting tentang karakter Yahweh dinyatakan di sini, yang memberikan pandangan unik dan mendalam kepada sifat Wujud batiniah-Nya. Hati kita juga menjadi tenteram mengetahui bahwa kelima unsur karakter-Nya itu dilandasi kuat oleh komitmen tak kenal kompromi terhadap keadilan dan kebenaran yang akan menumpas kejahatan hingga tuntas (Kel.34:7). Mengetahui bahwa inilah karakter Allah yang menciptakan segalanya, dan yang tengah mengerjakan tujuan-tujuan kekal-Nya bagi ciptaan-Nya, pastilah membangkitkan semangat kita dengan harapan dan keberanian. Pemberitaan ganda dari Nama Yahweh seperti ini tidak dijumpai di manapun juga. Hal ini unik dalam PL. Fakta bahwa ia diberitakan oleh Yahweh Sendiri menandakan signifikansi luar biasa dari penyataan-diri yang tercatat dalam nas ini. 27 462 The Only True God Penyataan yang diberikan di Keluaran 34:6 memuat kepentingan dasariah untuk monoteisme Alkitabiah sebagaimana dapat dilihat dari fakta bahwa hal itu digemakan di seluruh Alkitab Ibrani tidak kurang dari 9 kali 28. Kasih setia Yahweh merupakan tema yang kerapkali muncul dalam PL, dan diungkapkan dengan indahnya oleh kata-kata dalam kitab Yeremia ini, “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer.31:3). Gema akan kasih-setia Yahweh juga terdengar di seluruh PB, di mana kasih penebusan Allah dalam Kristus adalah unsur kuncinya, yang diabadikan oleh Yohanes 3:16 yang terkenal itu. Kasih-setia Yahweh tercermin dengan kuatnya di dalam pribadi Kristus yang, sebagai gambar Allah yang kelihatan, mengejawantahkan kasih Allah di atas salib melalui dia “yang telah mengasihi aku dan menyerahkan dirinya untuk aku” (Gal.2:20). Keluaran 3:14 dalam Alkitab Yunani Kita memperoleh wawasan lebih jauh tentang bagaimana Nama “Yahweh” dipahami oleh mereka yang membaca Perjanjian Lama bahasa Yunani (LXX), yang merupakan Alkitab jemaat mula-mula berbahasa Yunani. Bagian pertama dari Keluaran 3:14 berbunyi, “Firman Allah kepada Musa: ‘AKU ADALAH AKU (ἐγώ εἰμι ὁ ὤν, egō eimi ho ōn)’.” Pentingnya kata-kata itu tidak terletak pada “Aku (egō eimi)” yang pertama, tetapi pada “Aku” yang kedua yang menerjemahkan kata-kata yang berbeda “ho ōn” (“dia yang adalah”), sebab teks Yunaninya memuat, “Aku adalah ho ōn” (ὁ ὤν, harf. ‘Dia yang adalah’ atau ‘Yang ada’). Sekarang perhatikan baik-baik bagian Kel.34:6; Bil.14:18; Neh.9:17; Mzm.86:15; 103:8; 145:8; Yl.2:13; Yun.4:2; Nah.1:3. 28 Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 463 kedua dari Keluaran 3:14, “Beginilah kaukatakan (Musa) kepada orang Israel itu: ‘Ho ōn telah mengutus aku kepadamu.” Hal yang muncul dari teks Yunaninya adalah pemahaman bahwa Yahweh adalah yang kekal, yang ada dengan sendirinya; yang tidak berhutang eksistensi-Nya kepada siapa pun, tetapi sebaliknya, adalah sumber terutama dari segala sesuatu yang ada. Kitab Wahyu merujuk kepada “Tuhan Allah”, “yang Mahakuasa”, tiga kali dengan deskripsi “Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang”, sebuah deskripsi yang memberi ungkapan yang bermakna untuk Nama “Yahweh”: Wahyu 1:4, “Dari Yohanes kepada ketujuh jemaat yang di Asia Kecil: Anugerah dan damai sejahtera menyertai kamu, dari Dia, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang”. Wahyu 1:8, “‘Aku adalah Alfa dan Omega,’ firman Tuhan Allah, ‘yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.’” Wahyu 4:8, “Keempat makhluk itu masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya penuh dengan mata, dan tanpa berhenti-hentinya mereka berseru siang dan malam: ‘Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.’” Dari pembahasan ini jelas bahwa “Yahweh” bukanlah nama biasa. Sebuah nama biasa seperti “Tini” atau “Tono”, misalnya, sama sekali tidak menyatakan apa-apa tentang orang itu kepada kita. Bertolakbelakang dengan itu, Nama “Yahweh” adalah sebuah penyataan-diri, yang menyatakan sifat serta karakter-Nya yang unik. Dengan demikian, “Yahweh” merupakan nama yang paling menonjol dan istimewa dalam Alkitab Ibrani (yang oleh umat Kristen disebut 464 The Only True God “Perjanjian Lama”) bukan saja karena jumlah frekuensinya (hampir 7000 kali) tetapi karena nama itu menyatakan karakter yang indah dari satu-satunya Allah yang benar. Nama ini adalah Firman par excellence dari PL. Jadi tidak mengherankan bila Nama ini merupakan kata yang mendasari “Firman itu” dalam Prolog Yohanes. Antropomorfisme sehubungan dengan Yahweh H al yang telah lama sekali diperhatikan oleh mereka yang membaca PL adalah deskripsi Yahweh yang sangat “antropomorfis”, yaitu melukiskan Dia dalam bahasa yang membuat Dia tampak seolah-olah seperti seorang manusia. Jika Kitab Suci memang adalah firman yang diilhami Allah, yang kita percayai sebagai kebenaran, maka kita harus berhati-hati dalam menggunakan istilah “antropomorfis”, karena penggunaan istilah ini biasanya menyiratkan bahwa pengarang manusia itu tengah melukiskan Yahweh dalam istilah-istilah manusia, yaitu bahwa ini adalah karya manusia yang berupaya melukiskan Yahweh dalam istilah manusia. Namun jika Kitab Suci diilhami oleh Allah maka ini berarti bahwa Yahwehlah (bukan pengarang manusia) yang tengah berbicara tentang Dirinya dalam istilah manusia. Apakah artinya ini? Apakah Yahweh sedang menggunakan deskripsi manusia untuk membuat diri-Nya dipahami oleh kita? Namun ketika berbuat demikian, bukankah ada bahaya kita akan salah memahami, alih-alih memahami, deskripsi tersebut dengan mengartikannya secara harfiah dan beranggapan bila apa yang kita baca adalah deskripsi Yahweh yang sebenarnya? Namun apakah mungkin Yahweh Sendiri tidak takut dengan kemungkinan “salah paham” seperti itu? Sesungguhnya, apakah mungkin memahami Yahweh seperti ini sama sekali bukan salah paham, tetapi justru itulah yang dimaksudkan oleh Yahweh? Artinya, Yahweh Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 465 melukiskan Dirinya dengan istilah manusia karena itulah caranya Dia berhubungan dengan Adam dan Hawa, dengan Abraham (mis. Kej.18:1dyb.), dan dengan yang lain. Bisa dikatakan Ia merendahkan Dirinya untuk berhubungan dengan mereka pada tingkat mereka. Sebenarnya, jika kita membuang unsur manusia dari bahasa Kitab Suci dalam cerita-cerita ini, lantas bagaimana kita harus memahami semua itu? Apa yang akan muncul dari sebuah penyampaian yang membuang unsur manusia dari kisah-kisah itu? Apakah pertemuan antara Yahweh dan manusia itu semacam pertemuan remangremang seperti bertemu dengan hantu? Mengapa begitu sulit untuk kita membayangkan Yahweh muncul dalam rupa manusia? Dan menurut Kitab Suci apakah sama sekali mustahil bila rupa manusia itu sebenarnya adalah rupa-Nya? Tidakkah Kitab Suci menandaskan bahwa manusia dibuat dalam gambaran dan kemuliaan Allah (1Kor.11:7, dst.)? Dengan membuang kemungkinan bahwa Yahweh sebenarnya memiliki rupa “manusia”, maka kita harus mencari penjelasan lain untuk apa artinya kita diciptakan dalam gambar-Nya, dan pelbagai penjelasan telah ditawarkan, tetapi tak satu pun yang memuaskan, atau paling tidak menawarkan penjelasan yang bisa diterima secara parsial. Apakah tidak benar untuk mengatakan bahwa kita ada dalam rupa “ilahi” karena kita telah diciptakan dalam gambar-Nya, daripada Yahweh muncul dalam rupa “manusia”? Jika hal ini benar menurut Kitab Suci, maka kesenjangan antara Allah dan manusia, dari sudut pandang Allah, tidaklah sebesar yang kita duga. Jadi, alihalih berbicara tentang Allah yang muncul secara antropomorfis kita dapat mengatakan bahwa manusia diciptakan secara teomorfis, hal yang dinyatakan secara eksplisit oleh Kitab Suci. Elliot R. Wolfson (Professor of Hebrew Studies dan Director of Religious Studies di New York University) dalam eseinya ‘Yudaisme 466 The Only True God dan Inkarnasi’, dalam Christianity in Jewish Terms (Westview Press, 2000), menulis, “Kita harus membedakan antara larangan menggambarkan Allah dengan menggunakan gambaran dan klaim bahwa Allah tidak dapat berejawantah dalam sebuah tubuh. Kita boleh menduga, sebagaimana bukti Alkitab memang mengusulkan demikian, bahwa Allah mampu mengambil rupa badaniah, walaupun rupa itu tidak boleh diwakili dengan gambar. “Banyak nas Kitab Suci Ibrani mengandaikan konsepsi Allah yang antropomofis. Lagipula, konsepsi ini didasarkan pada gagasan bahwa Allah bisa mengambil bentuk inkarnasional yang dapat dilihat dan didengar oleh manusia. Tidak ada alasan untuk menduga, seperti para apologis Yudaisme pada masa pertengahan dan modern, bahwa pelukisan Allah yang antropomorfis dalam Kitab Suci harus diperlakukan secara figuratif atau alegoris. Di sini saya akan mengutip sebuah contoh yang saya pandang sebagai sebuah ilustrasi mencolok dari pemikiran inkarnasional dalam agama alkitabiah. Dalam narasi tentang pergumulan Yakub dengan seorang ‘manusia’ misterius, yang secara eksplisit diidentifikasi sebagai Elohim dan yang oleh karena dia nama Yakub diganti menjadi Israel, Yakub disebut telah menamai tempat teofani itu ‘Peniel,’ sebab ia telah melihat Elohim berhadapan muka (va-yikra ya’akov shem ba-makom peni’el ki ra’iti elohim panim el panim Kej.32:30). Pengantropomorfisasian Allah dalam teks alkitabiah ini mengemukakan bahwa di Israel purba sebagian orang percaya yang ilahi bisa tampil dalam rupa yang kelihatan dan konkret. Jadi masalahnya bukan bagaimana seseorang berbicara tentang Allah, tetapi bagaimana Allah dialami di alam fenomenal. Menurut pengertian ini, cukup jelas bahwa untuk beberapa kasus, antropomorfisme dalam Kitab Suci Ibrani memang menyiratkan unsur inkarnasi.” (hlm.242) Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 467 “Terdapat banyak bukti bahwa konsepsi alkitabiah (pada berbagai tahapan yang tercermin dalam lapisan-lapisan redaksional Kitab Suci) memelihara kemungkinan Allah menampilkan dirinya dalam rupa antropomofis. Misalnya, Allah acapkali dilukiskan dengan istilah-istilah agung: dalam teofani yang dikisahkan di Keluaran 24:10-11, dalam penglihatan Yesaya akan Allah yang bertakhta di dalam bait suci (6:13), dalam penglihatan Yehezkiel akan kemuliaan yang bertakhta di atas kereta perang (pasal 1 dan 10), dan dalam penglihatan apokaliptik Daniel akan Yang Lanjut Usianya (7:9-10). Epifani-epifani dari yang ilahi dalam rupa manusia ini memiliki tekstur nyata yang biasanya dihubungkan dengan tubuh yang terbuat dari daging dan tulang. Tentu saja, Allah Israel bukanlah sebuah tubuh dalam arti ini, tetapi ini tidak mengurangi sifat somatis dari penampilan ilahi yang terbukti dalam berbagai tahap dari sejarah kanon alkitabiah.” (hlm.243) Hal yang selalu menyita perhatian setiap pembaca Taurat yang cermat —Pentateukh—adalah betapa “manusia”-nya penampilan Yahweh dalam penyataan diri-Nya. Di situlah terpapar keindahan dan kuasa penyataan diri-Nya, karena dengan demikian Ia menutup jarak antara Dia dengan kita, menyatakan imanensi-Nya yang luarbiasa yang, anehnya, lebih suka dihapus oleh para teolog karena mereka lebih memilih transendensi-Nya, seolah-olah mereka merasa adalah tugas mereka untuk melindungi Allah dari kita, yaitu dari kita yang datang terlalu dekat kepada-Nya! Antropomorfisme Alkitabiah ini juga ditangani dengan cara lain, yaitu dengan menyatakannya sebagai bahasa mitologis, ditulis dengan cara yang hampir sama dengan cerita anak-anak. Kalau tidak, ia juga bisa dibaca sebagai karya sastra fiksi, seperti mereka “yang siap membaca Alkitab dengan cara yang hampir sama seperti membaca Shakespeare” (Harold Bloom, The Book of J, Grove Press, 468 The Only True God 1990, hlm.12). Buku Bloom yang lebih baru adalah Jesus and Yahweh, The Names Divine (Riverhead Books, 2005; Bloom adalah Professor of Humanities pada Yale University). Dalam buku yang ini ia menyatakan bahwa ia bukan seorang percaya; jadi dengan cara apa lagi ia membaca Alkitab selain sebagai karya sastra? Apakah kita dapat mendemitologisasi bahasa Alkitabiah, dan jika demikian, apa artinya itu? Makna atau signifikansi apa yang dimilikinya sebagai karya sastra? Hal yang diakui oleh Prof. Bloom adalah bahwa serangan terhadap “antropomorfisme” Alkitabiah berakar dalam pemikiran Yunani: “Filsafat Yunani menuntut keilahian yang tidak memiliki ciri manusia, dan kaum Helenis Yahudi berusaha dengan sia-sia untuk menyesuaikan, dengan mengalegorisasikan Yahweh yang berjalan dan yang berargumen [?], yang makan dan yang beristirahat, yang memiliki lengan dan tangan, wajah dan kaki. “Filo dari Aleksandria, pendiri dari yang saya kira harus disebut teologi Yahudi, secara khusus merasa terganggu dengan Yahwehnya J, karena Allahnya Filo tidak mempunyai keinginan manusia ataupun rupa manusia, dan tidak memiliki perasaan, baik itu marah ataupun kasih. Namun bahkan rabirabi besar yang kurang Platonis dari abad kedua T.U. [Tarikh Kristen] di Palestina sekalipun cenderung memperdebatkan kesulitan-kesulitan yang sama ini, sebagaimana dinyatakan dalam perselisihan yang terkenal antara Akiba dan koleganya Ismail, yang juga mengikuti prosedur alegoris demi menghapus yang antropomorfik.” (The Book of J, hlm.24). Bagaimanapun juga, tampak jelas bahwa manusia mengalami kesulitan mempercayai bahwa Allah bisa atau mau berjalan dan berbicara dengan manusia seperti yang dilukiskan dalam kitab Kejadian— hal itu mustahil, menurut mereka. Mengapa? Tidakkah Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 469 mereka percaya bahwa bagi Allah segala sesuatu itu mungkin? Dia itu transenden, tetapi apakah tidak imanen? Tidak lama sebelum naskah buku ini dikirim ke penerbit, saya menjumpai karya yang menarik oleh James L. Kugel (Professor of Hebrew Literature pada Harvard University) berjudul The God of Old: Inside the Lost World of the Bible, 2003, tepat pada waktunya untuk menyisipkan sebuah referensi dari karya itu di sini. Sebagaimana ditunjukkan dari judul dan sub-judul bukunya, tesis buku ini mengatakan bahwa konsep Allah sebagaimana terlihat di bagian awal Alkitab, di mana Allah berinteraksi dengan manusia, belakangan digantikan oleh konsep Allah yang kosmis dalam arti Ia menjadi terlalu besar untuk berinteraksi dengan manusia lemah dalam cara yang dilakukan oleh “Allah purba”. Karena itu, Allah Alkitab yang bisa dan akan muncul kapan saja dalam dunia manusia telah menjadi suatu ide dari “dunia Alkitab yang telah hilang”. Begini caranya Kugel melukiskan dunia Alkitab: Saya rasa ada satu perbedaan penting antara cara kebanyakan orang dewasa ini (sesungguhnya, dimulai sejak pengarang Hikmat Salomo “yang ditulis tepat sebelum awal zaman umum”, hlm.21) telah terbiasa dalam memahami hal yang rohaniah dengan cara memahami hal yang sama itu pada zaman Israel purba, setidaknya dalam teks-teks yang telah kita periksa. Dalam Alkitab tidak terdapat dua alam, dunia ini dan dunia lain, yang spiritual dan yang materiil—atau sebaliknya, kedua alam ini tidak terpisah secara rapi tetapi saling bersilangan. Allah muncul di sudut jalan, berpakaian seperti manusia biasa… Ia muncul dalam semak menyala yang nyata di kaki sebuah gunung [ketika Ia pertama-tama berbicara kepada Musa]” (hlm.35). Kugel menunjuk kepada kenyataan bahwa dalam dunia Alkitab, Allah menampakkan diri-Nya kepada manusia. Ia menyebut tentang 470 The Only True God usulan purba bahwa nama Israel berarti “seorang manusia yang melihat Allah” dari bahasa Ibrani ’ish ra‘ah [atau ro’eh] ’El (The God of Old, hlm.101,230). Harga rohaniah dari hilangnya konsep Alkitabiah dari “dunia Alkitab” ini diungkapkan dengan berani dan cukup satiris oleh sarjana Yahudi yang besar G. Scholem: “Para filsuf dan teolog [dari abad pertengahan] merasa prihatin pertama dan terutama dengan kemurnian konsep Allah dan bertekad untuk melepaskannya dari segala unsur mitos dan antropomorfis. Namun tekad untuk… menafsir ulang pernyataan-pernyataan antropomorfis yang serampangan dari teks alkitabiah dan bentuk-bentuk populer dari ekspresi religius dari segi teologi yang dimurnikan ini cenderung mengosongkan konsep Allah… Harga dari kemurnian Allah adalah hilangnya realitas hidup-Nya. Apa yang menjadikan Dia Allah yang hidup… justru adalah apa yang memungkinkan manusia melihat dia muka dengan muka.” (G.Scholem, Kabbalah and Myth, dikutip oleh Kugel dalam The Allah of Old, hlm.201) Kekuatan dan sindiran dari pernyataan Scholem dapat dipahami dengan lebih baik jika kata “kemurnian” dan “serampangan” dibaca dalam tanda petik. “Antropomorfisme” Alkitabiah versus Kristologi Trinitaris K ita telah melihat bahwa Alkitab Ibrani dapat berbicara tentang “tangan” Allah, atau “kaki”-Nya, dan bahkan “wajah”-Nya dalam apa yang disebut “antropomorfisme”. Sebenarnya, Yahweh Semesta Alam bahkan digambarkan sebagai “pahlawan perang” (Kel.15:3). Dia tampak kepada Abraham dalam rupa manusia. Mungkin Dia juga tampak sebagai “malaikat Yahweh”, yang Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 471 umumnya dikenal sebagai teofani, yang terlihat dalam rupa manusia. Penampakan Yahweh dalam rupa manusia berkali-kali tercatat dalam Kitab Suci, terutamanya dalam Pentateukh. Dengan demikian, imanensi Yahweh secara kuat ditekankan dalam kitabkitab Perjanjian Lama yang lebih awal. Akan tetapi, transendensiNya tidak terhilang. Ketika umat manusia, dan Israel khususnya, semakin tenggelam dalam ketidaktaatan dan dosa, jarak antara manusia dengan Allah menjadi semakin lebar; dan kita melihat di Perjanjian Lama bahwa Allah tampak menjadi semakin jauh, dan hadirat-Nya menjadi lebih sulit ditemukan: “Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri, Allah Israel, Juruselamat” (Yes.45:15). Namun hal ini berubah dengan kedatangan Yesus Kristus. Allah datang untuk menyelamatkan umat-Nya seperti yang dikatakan-Nya melalui hamba-hamba-Nya para nabi. Pesan yang mengejutkan dari Injil dan PB itu adalah bahwa Allah telah melakukan apa yang telah Ia janjikan: Yahweh Sendiri datang di dalam Kristus “supaya dunia diselamatkan melalui dia” (Yoh.3:17). Namun Ia datang ke dunia incognito, yaitu tanpa menyatakan identitas-Nya, maka “dunia tidak mengenal-Nya” (Yoh.1:10). Yohanes, khususnya dalam Prolognya (1:1-18), menyatakan hal ini dengan sejelas mungkin dan sesederhana mungkin. Pesannya adalah bahwa Allah, di dalam penyataan diri-Nya yang dinamis yang disebut Firman (Memra), telah datang ke dunia dalam wujud manusia Yesus sang Mesias. “Daging” atau tubuh Yesus adalah Bait di mana Allah berdiam, itulah sebabnya Yesus bisa berbicara tentang tubuhnya sebagai bait Allah (Yahweh), Yohanes 2:19. Allah, di satu sisi, datang ke dunia ini di dalam Kristus supaya melalui Kristus Ia mendamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri (2Kor.5:19); dan manusia Kristus Yesus itu, di lain sisi, hidup dan mati untuk membawa kita kepada Allah. Supaya jelas, kita bisa mengatakannya seperti ini: Sebagai trinitarian kita percaya bahwa “Allah-Anak” menjadi seorang manusia 472 The Only True God yang disebut “Yesus Kristus” untuk menyelamatkan kita. Ajaran Alkitabiah, yang sama sekali bertolak-belakang, mengatakan bahwa Allah Bapa kita (Yahweh) datang ke dunia dengan mendiami “manusia Kristus Yesus” sebagai bait-Nya yang hidup. Hal ini Ia lakukan dalam rangka menyelamatkan kita dengan menyatukan kita dengan Kristus melalui iman supaya kita sendiri menjadi bait-bait yang hidup melalui penyatuan yang menyelamatkan itu (1Kor.3:16,17; 6:19). Pendek kata, trinitarianisme mengajarkan inkarnasi Pribadi Kedua dari Trinitas. Tujuan kajian ini adalah untuk memperlihatkan bahwa PB memberitakan kedatangan Pribadi “Pertama” dan Yang Esa, satu-satunya Allah, Yahweh, ke dalam Tubuh Kristus. Transendensi-imanensi S ekarang mari kita mempelajari beberapa contoh bagaimana Allah mendekat kepada manusia. Dalam bagian berikut ini saya mengutip sebagian petikan dari transkrip sebuah sesi pengajaran yang saya berikan sekitar setahun yang lalu kepada sekelompok pemimpin jemaat. Petikan dari pesan tersebut berikut ini telah disunting dan diringkas untuk dimasukkan ke dalam kajian ini, tetapi gaya bahasa percakapannya tetap dipertahankan. — Awal Petikan Transkrip — Sekarang mari kita berusaha memahami Yahweh Allah sebagai yang imanen dan juga transenden menurut pemahaman Alkitabiah, bukan transenden menurut pengertian orang Yunani: Allah yang “unsur-unsur manusianya telah dihapus” (a “dehumanized” God). Cobalah memahami Dia sebagai yang imanen dalam arti “sangat dekat”, atau dengan perkataan Yakub dalam pengalaman penuh Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 473 kekagumannya di kitab Kejadian 28:16, “Sesungguhnya Yahweh ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya.” Cobalah membaca kembali Alkitab sekali lagi, tanpa konsep lama Anda akan Allah transenden yang tinggi dan jauh di surga. Bacalah kembali dan lihatlah apa yang sedang Anda baca. Ketika saya membacanya kembali, saya terkejut dengan apa yang saya baca. Mari kita coba membaca sedikit dari kitab Kejadian. Mari kita kembali ke kitab Kejadian dan melihat apakah Anda sungguh-sungguh mengenal Alkitab Anda sebaik yang Anda kira. Bagaimanapun juga, Anda sudah melayani selama ini; Anda pasti mengenal Alkitab Anda, bukan? Kembalilah ke Kejadian 1 untuk melihat apakah Allah itu sedemikian terpencil, sedemikian transenden, sedemikian jauh. Nah, di ay.27 dikatakan: Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; lakilaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” “Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya”. Mengapa Anda menciptakan seseorang menurut gambar Anda? Agaknya, supaya Anda dapat berkomunikasi dengan orang itu, bukan? Dapatkah Anda memikirkan sebab-sebab lain mengapa Allah menciptakan kita menurut gambar-Nya? Untuk apa lagi kalau bukan untuk bersekutu dengan kita? Hal berikutnya yang sangat menyentuh dan tidak pernah menyambar hati saya sebelumnya adalah ini: Setelah Allah menciptakan manusia, apa yang Ia lakukan? Ia memberkati mereka. Hal ini tidak pernah menyambar saya sebelumnya; seolah-olah saya belum pernah melihat ayat ini sebelumnya. Ia memberkati mereka! Itulah hal pertama yang dilakukan Allah untuk manusia. Ia memberkati kita. Lihat ay.28: 474 The Only True God Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej.1:28) Apakah Allah sangat terpencil? Apakah Allah jauh? Menurut pemikiran Yunani tentang Allah, Ia tidak terlalu peduli dengan perkara-perkara duniawi. Sama sekali tidak! Namun setelah menciptakan mereka, hal pertama yang Ia lakukan adalah memberkati mereka. Sesudah itu, Ia terus-menerus berbicara kepada mereka. Pernahkah Anda perhatikan itu? Nah, apakah Allah yang terpencil ingin bersusah-payah berbicara dengan makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya? Di ayat berikutnya kita membaca: Berfirmanlah Allah: “Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu.” (Kej.1:29) “Berfirmanlah Allah…” dan tahukah Anda? Saya menandai setiap tempat dalam kitab Kejadian di mana dikatakan, “berfirmanlah Allah” dengan tanda merah, dan saya tercengang. Kitab itu mulai berubah warna menjadi merah. Allah banyak berbicara kepada manusia! Apakah ada yang mendengarkan Dia? Allah masih berbicara kepada kita hari ini. Jadi sejak permulaan Ia memberkati kita dan berbicara kepada kita. Di ay.7 pasal berikutnya, diberikan lebih banyak detil: Ketika itulah Yahweh Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. (Kej.2:7) Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 475 Perhatikan kata-kata “TUHAN (YHWH) Allah”—TUHAN Allah. Nama Yahweh pertama kali muncul di ay.4, “…TUHAN Allah menjadikan bumi dan langit”— Yahweh Allah. Nah, sekarang Anda bisa belajar untuk berhenti mengatakan Tuhan saja, karena dengan mengatakan “Tuhan” Anda tidak tahu siapa yang dimaksud, apakah sang Bapa atau sang Anak atau yang lainnya. Ingat bahwa setiap pemunculan kata TUHAN dalam huruf kapital adalah Yahweh. “Ketika Yahweh Allah menjadikan...”. Jadi Allah yang mana yang kita maksud? Allah yang tengah dirujuk di sini adalah Yahweh. Mengapa menggunakan dua kata “Yahweh, Allah” sekaligus? Karena Kitab Suci ingin menetapkan secara khusus Allah yang mana yang dimaksud: bukan allah orang-orang Babel, atau allah orang-orang Asyur, akan tetapi Allah Yahweh. Pasal 2 ay.7, “Ketika itulah Yahweh Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Perhatikan kata “membentuk”. Apa arti kata itu? Untuk memberi bentuk kepada sesuatu. Ini merupakan kata yang digunakan dalam Perjanjian Lama Ibrani untuk seorang tukang periuk yang sedang membentuk sesuatu dari tanah liat. Pikirkan ini: Allah tidak sekadar mengucapkan kata-kata, “Manusia, jadilah!”, yang membawa dia kepada keberadaan oleh sebuah kata perintah (sebagaimana dilakukan oleh-Nya dengan hal-hal lain di Kejadian 1) sehingga manusia itu segera menjadi seorang manusia yang berjalan-jalan dengan dua mata, hidung dan mulut, dan rambut yang tegak berdiri karena ia belum sempat menyisirnya. Tidak, Allah mengambil tanah liat ini, lumpur ini, dan membentuknya dengan tangan-Nya sendiri. Bagaimanakah seorang tukang periuk membentuk sesuatu dari tanah liat? Dengan tangannya sendiri! Di sini kata “membentuk” dipilih secara khusus dan dengan suatu tujuan. Ia membentuk manusia itu. Bentuk atau rupa manusia itu dibentuk oleh jari-jemari 476 The Only True God Allah. Dan jika kita masih belum menangkapnya, hal ini diulangi lagi di akhir ay.8: Selanjutnya Yahweh Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu. (Kej.2:8) “…disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu.” Kata itu muncul lagi di situ. Pasal 1 memberikan pernyataan umum bahwa Allah menjadikan manusia. Namun sekarang kita diberitahu apa yang terlibat dalam penciptaan manusia: Yahweh mengambil lumpur, dan layaknya seorang seniman, dengan hati-hati membentuk hidungnya, matanya, telinganya. Setiap bagian tubuhnya dibuat dengan jari-jemari Allah. Dan Adam pun terbentuk. Di dalam Adam, kita pun dibentuk oleh jari-jari Allah. Pikirkanlah hal ini. Tidak ada satu kata pun dalam Alkitab yang siasia. Tidak ada sepatah kata yang ditaruh di situ tanpa alasan. Dan jika kita tidak mau susah-susah mencari arti katanya; kita tidak akan menangkap maksudnya. Rambut kita tidak mendadak muncul di kepala kita. Anda ingat apa yang dikatakan Yesus? “Namun tidak sehelaipun dari pada rambut kepalamu akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu”. Ia menciptakan setiap helai rambut yang ada di kepala kita. Dan ada berapa helai rambut yang rontok setiap harinya sewaktu kita menyisirnya? Seberapa besar kepedulian Allah? Seberapa besar kepedulian Yahweh? Barangkali kita tidak terlalu mempedulikan hal-hal kecil seperti burung pipit (Mat.10:29), atau helai rambut yang rontok, tetapi Allah peduli. Apakah Allah itu transenden dalam arti Ia jauh? Tidak menurut Alkitab. Yahweh peduli dengan kita karena Dialah yang membentuk kita. Itulah keindahannya. Apakah manusia sangat berharga? Yah, Allah mengambil waktu untuk membentuk manusia. Berapa lama waktu yang dibutuhkan seorang tukang periuk untuk membuat sebuah periuk? Tidak terlalu lama sebenarnya, karena periuk itu Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 477 cukup mudah dibuat. Namun, pernahkah Anda melihat sebuah pahatan rumit di mana sang seniman membutuhkan waktu beberapa minggu atau beberapa bulan untuk memahatnya? Ketika di China saya menonton sebuah program tentang keahlian yang dibutuhkan dalam memahat gading gajah. Karya seni yang begitu indah dan elok ini hampir bisa disebut ‘fantastis’. Sebuah karya seperti itu bisa memakan waktu mingguan atau bulanan, tergantung seberapa mendetailnya dan berapa banyak bola-bola yang harus dipahat, satu bola di dalam bola selanjutnya. Semuanya itu terbentuk dari sepotong gading. Saya tidak tahu bila di dalam satu bola bisa terdapat 34 bola. Dapatkah Anda bayangkan keahlian dan pekerjaan pemahatan bola ini—34 lapisan—satu lapisan di dalam lapisan berikutnya, masing-masing dapat berputar di dalam yang berikutnya? Saya diberitahu bahwa 34 adalah jumlah maksimum yang sudah pernah tercapai. Karya yang kurang bagus mungkin hanya mempunyai 4 atau 5 bola yang lepas mengapung di dalamnya. Sehebat-hebatnya hal ini, pikirkan betapa kompleksnya tubuh manusia yang dibuat Yahweh Allah. Pembuatannya bisa jadi memakan waktu yang cukup lama. Detail-detail yang rumit! Keahlian yang ajaib! Merenungkan hal-hal ini, sang Pemazmur berseru, “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya.” (Mzm.139:14) Kita bisa membacanya sebagai sebuah ungkapan pujian dan pujaan untuk karya Yahweh, atau, pada tingkatan lebih tinggi, bisa mengungkapkan luapan rohani dari seseorang yang dibawa ke dalam persekutuan yang akrab dengan Yahweh melalui persepsi yang mendalam akan keajaiban Pribadi-Nya sebagaimana dinyatakan dalam karya-Nya. Saya berkata demikian karena saya pernah diberi pengalaman seperti itu—secara tak terduga—akan hadirat Yahweh, di mana pada suatu ketika, saya sedang merenungkan penciptaan manusia dan 478 The Only True God beberapa perbuatan-Nya yang lain yang ajaib. Saya rasa inilah yang ingin dicapai oleh Firman-Nya untuk setiap dari kita, yaitu, memimpin kita ke dalam suatu pengalaman akan Dia sebagai Allah yang hidup, yang mengasihi dan yang kreatif. Jika Allah tidak peduli dengan manusia, lantas mengapa Ia menghabiskan waktu-Nya untuk kita? Mengapa Ia tidak mengucapkan perkataan-Nya yang mahakuasa saja, dan sim salabim, jadilah seorang manusia? Akan tetapi, itu bukan artinya kata “membentuk”. Agaknya, Ia bisa saja berbuat demikian, tetapi Ia memilih untuk tidak melakukannya. Cerita dalam kitab Kejadian jelas memperlihatkan betapa pedulinya Allah dengan manusia. Untuk alasan ini pula, Allah tidak putus-putusnya berbicara kepada manusia, dan perhatikan di sini, “TUHAN Allah”—Yahweh Allah—“memberi perintah”: Lalu Yahweh Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas” (Kej.2:16). Yahweh menyediakan makanan yang dibutuhkan manusia. Ia peduli akan apa yang baik bagi manusia, maka Ia menyediakan seorang pendamping baginya: Yahweh Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kej.2:18) Lebih dari itu, Yahweh Sendiri datang mengunjungi mereka, untuk berada bersama mereka. Ketika mereka mendengar bunyi langkah Yahweh Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Yahweh Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. (Kej.3:8) Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 479 Allah berjalan-jalan dalam taman itu. Sungguh sebuah pernyataan yang menakjubkan! Untuk apa Ia berjalan-jalan dalam taman itu? Maksud saya, Dia mempunyai seluruh surga di mana Ia tinggal tetapi Ia memilih untuk berjalan-jalan dalam taman itu. Mengapa? Yah, kalau bukan untuk bersekutu dengan manusia, Ia tidak akan mempunyai apa-apa untuk dikerjakan di taman itu. Dia, Allah yang mahakuasa itu, memang transenden tetapi bukan semata transenden. Dalam Perjanjian Lama, transendensi Allah dibicarakan jauh kemudian, sebagaimana akan kita lihat nanti. Akan tetapi, hal ini dimulai dengan imanensi-Nya. Ia berjalan-jalan dalam taman itu—kita membacanya dan tidak memahaminya. Dikatakan bahwa Adam dan Hawa telah berdosa, dan tiba-tiba menyadari bahwa mereka telanjang. Mereka mencoba menyemat daun-daun pohon ara, bukan suatu karya seni saya rasa, tetapi cara yang cukup menarik untuk berpakaian. Dan kemudian, “Ketika mereka mendengar… Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu”. Perhatikan teks ini dengan cermat: “Ketika mereka mendengar bunyi langkah Yahweh Allah”. Mari kita berhenti sejenak dan memikirkannya. Pernahkah kita membaca Alkitab kita dengan seksama? Dapatkah Anda membayangkannya? Dewasa ini kita memakai sepatu yang nyaris tidak mengeluarkan bunyi. Dengan sepatu yang saya pakai sekarang ini, saya bisa mendatangi seseorang dan orang itu tidak akan mendengar kedatangan saya. Namun mereka mendengar Yahweh— “bunyi langkah Yahweh”—berjalan-jalan dalam taman itu. Bagaimana mereka bisa mendengar Dia? Sudah pasti Yahweh tidak berjalan perlahan-lahan, dengan lembut, lalu tiba-tiba muncul di depan mereka sambil berkata “Dor!” dan mereka terperanjat! Anda dapat mendengar-Nya datang. Mungkin itu bunyi dedaunan. Mungkin itu bunyi rumput yang terinjak oleh-Nya. Saya rasa di Taman Eden tidak ada jalanan beraspal, di mana Anda bisa berjalan- 480 The Only True God jalan dengan sepatu karet tanpa mengeluarkan bunyi sedikitpun. Ia berjalan-jalan, dan mereka mendengar kedatangan-Nya. Nah, Allah yang transenden dan yang “ringan seperti bulu ayam” itu pasti tidak akan mengeluarkan bunyi sedikitpun ketika berjalan di atas permukaan tanah, bukan? Dapatkah Anda membayangkan hantu yang berjalan-jalan dan mengeluarkan bunyi bum-bum? Hantu istimewa macam apa itu? Anda mungkin mengira Allah melayang-layang di udara, tetapi tidak, Ia berjalan di atas permukaan tanah sedemikian rupa sehingga ada kontak dengan tanah. Dan ini menghasilkan bunyi sesuatu yang bergerak, entah itu semak-semak, atau mungkin daun-daun pada pohon. Mereka mendengar-Nya datang lalu mereka bersembunyi. Seandainya Allah diam-diam menyelinap di belakang mereka, maka mereka tidak akan mempunyai kesempatan untuk bersembunyi. Ini sama dengan memperlakukan mereka seperti anak kecil—amat menggemaskan dan manis. Apakah Anda mengira Allah tidak tahu di mana Anda berada, sehingga Anda bisa bermain petak umpet dengan-Nya? Ia datang dan, ibarat seorang ayah, Ia berkata, “Adam! Hawa! Di manakah kalian?” Allah yang mahatahu itu tidak mengetahui keberadaan mereka? Ini pasti lelucon. Namun Ia berhubungan dengan kita pada tingkatan kita, seolah-olah memainkan permainan kita, seolah-olah berkata, “Kalian mau ngumpet? Oke, saya akan menjadi pencarinya.” Sungguh luar biasa. Dan, jangan-jangan kita melewatkan pernyataan tentang “mendengar bunyi langkah Yahweh Allah”, pernyataan itu ditekankan lagi di ay.10: Dan dia menjawab, “Aku mendengar suara-Mu di taman, aku merasa takut karena aku telanjang, maka aku bersembunyi.” (Kej.3:10, ILT) Mereka bisa mendengar suara Allah berjalan-jalan di taman itu? Pernahkah kita memikirkan hal ini? Tidak, kita diajari bahwa Allah itu transenden dan kita tidak boleh membacanya secara harfiah. Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 481 Semuanya adalah metafora dan bahasa simbolis. Namun simbol dari apa? Dapatkah Anda mengatakan kepada saya simbol dari apa ini? Jika ini sebuah simbol, maka ini pasti melambangkan sesuatu. Mengapa kita tidak bisa menerima saja apa yang tertulis di situ? Kembali ke pasal 2 ay.8, kita mungkin tidak memperhatikan hal yang lain di situ. Dikatakan di situ, “Yahweh Allah membuat taman”. Pikirkanlah itu. Ia mengerjakan tugas seorang tukang kebun atau petani! Yahweh Allah membuat sebuah taman. Taman itu tidak terjadi hanya dengan “firman yang diucapkan”-Nya. Ia menjadikan terang, Ia menjadikan alam semesta, dengan sepatah kata, tetapi sekarang Ia tengah bekerja di taman itu. Sungguh menakjubkan! Jika ini melambangkan sesuatu, tolong katakan melambangkan apa? Dan untuk siapa Ia membuat taman itu? Untuk manusia! Ia menjadikan manusia, lalu membuat taman yang indah baginya. Namun kita diberitahu bahwa semua yang kita baca tentang Allah dan perbuatan-Nya tidak boleh diartikan secara harfiah. Allah itu mahatransenden dan oleh sebab itu Ia ada di tempat lain. Transenden? Apa yang sedang kita perbuat? Apakah kita membuangkan Allah dari ciptaan-Nya? Itulah sebenarnya yang telah kita lakukan selama ini oleh karena ajaran sesat yang telah kita terima. Allah membuat sebuah taman (atau dibantu oleh para malaikat, sebagaimana dikatakan sebagian orang)—dapatkah Anda membayangkannya? Ini berarti Ia harus membuat perencanaan dan mendesain taman itu. Ia membuat sebuah taman dan menaruh manusia di situ agar manusia bisa menikmatinya: Selanjutnya Yahweh Allah membuat taman di Eden, di sebelah timur; disitulah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu. (Kej.2:8) Kemudian kita sampai pada bagian tentang Allah yang berjalanjalan dalam taman itu serta usaha mereka untuk menyembunyikan diri dari-Nya, sebagaimana terlihat di pasal 3 ayat 8: 482 The Only True God Ketika mereka mendengar bunyi langkah Yahweh Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan istrinya itu terhadap Yahweh Allah, di antara pohon-pohonan dalam taman. (Kej.3:8) Bagaimanakah Anda bersembunyi dari Allah yang mahahadir? Akan tetapi, mereka tetap berusaha menyembunyikan diri dari-Nya. Apakah mereka mengira Allah itu transenden, jauh di atas langit, dan tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan di bumi, sehingga mereka masih bisa berusaha bersembunyi dari-Nya? Mereka belum membaca Mazmur 139! Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situpun Engkau. (Mzm.139:7-8) Orang-orang berdosa, meski mereka percaya kepada Allah sekalipun, tak pelak akan lebih memilih untuk mempercayai bahwa Ia transenden, jauh dari urusan-urusan manusia, dan tidak merepotkan diri-Nya dengan dosa-doa mereka. Gagasan transendensi seperti itu merupakan cara yang baik untuk bersembunyi dari Allah, paling tidak dalam benak orang-orang berdosa. Namun bahkan setelah Adam dan Hawa berdosa, kita terus melihat kata-kata “Yahweh berfirman”. Ia terus berbicara kepada pasangan itu. Allah masih berbicara kepada manusia setelah mereka berdosa. Dalam belas-kasihan-Nya Ia tidak sepenuhnya menutup pintu komunikasi dengan manusia. Dan kemudian, apakah yang terjadi dalam pasal 4? Kain membunuh Habel oleh karena rasa cemburu sebab kurban Habel diterima sedangkan kurbannya tidak. Ketika saya memikirkan kembali seluruh nas ini, dengan melepaskan konsep-konsep teologis Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 483 yang telah diajarkan kepada saya sejak semula, saya mulai melihat hal-hal yang tidak saya lihat sebelumnya. Misalnya, kita membaca, Firman Yahweh kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” (Kej.4:6) Di sini tidak dikatakan “TUHAN Allah” tetapi “TUHAN” (Yahweh). Firman Yahweh kepada Kain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” Kemudian Ia melanjutkan dengan memperingatkan Kain bahwa jika ia berbuat baik, ia akan diterima. Akan tetapi, jika tidak, maka hasratnya akan menguasai dia. Lalu Kain memberitahu Habel apa yang telah dikatakan Allah kepadanya. Ceritanya berlanjut dengan Kain, yang berada di tengah padang di mana ia mengira tak seorang pun memperhatikan, membunuh Habel. Orang jahat! Si pembunuh pertama. Namun, tunggu dulu, ada sesuatu yang lain. Selanjutnya diceritakan bahwa bahkan setelah Kain membunuh saudaranya, Yahweh terus berbicara kepada dia. Apakah Anda memperhatikan hal ini? Jika Kain seorang yang begitu jahat, mengapa Yahweh berbicara kepadanya? Dalam nas berikut kita melihat bahwa Yahweh (lagi-lagi kata “Allah” tidak muncul) berbicara kepada Kain: Firman Yahweh kepada Kain: “Di mana Habel, adikmu itu?” Jawabnya: “Aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” Firman-Nya: “Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.” (Kej.4:9-10) Itu percakapan yang cukup luar biasa dengan Kain. Dan yang menakjubkan adalah Yahweh melindungi Kain sehingga ia tidak terbunuh. Mengapa Yahweh berbuat demikian? Tidakkah hukum Taurat berkata bahwa jika Anda membunuh seseorang, Anda harus membayarnya dengan nyawa Anda sendiri? Itulah hukum Taurat Yahweh. Namun, Yahweh melindungi Kain dari kematian, dengan 484 The Only True God menaruh tanda padanya sehingga tak seorang pun akan membunuhnya: Firman Yahweh kepadanya: “Sekali-kali tidak! Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat.” Kemudian Yahweh menaruh tanda pada Kain, supaya ia jangan dibunuh oleh barangsiapapun yang bertemu dengan dia. (Kej.4:15) Yahweh berbicara kepada Kain. Lagi-lagi perhatikan bahwa kata “Allah” tidak muncul, sehingga fokusnya adalah kepada nama “Yahweh” sendiri. Firman Yahweh kepada Cain: “Barangsiapa yang membunuh Kain akan dibalaskan kepadanya tujuh kali lipat”. Sungguh suatu perlindungan hebat yang Ia berikan kepada Kain! Namun, Kain adalah seorang pembunuh. Mengapa di Sekolah Minggu tidak ada yang menerangkan kepada kita mengapa Kain dilindungi? Namun, ini mengingatkan kita akan seorang yang, dalam Perjanjian Baru, disebut sahabat orang berdosa, agaknya termasuk para pembunuh. Yesus memang disebut sahabat orang berdosa (Mat.11:19; Luk.7:34). Sungguh menakjubkan! Yahweh bertanya kepada Cain, “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?” Allah telah menolak persembahannya dan hal itu begitu menggelisahkan dia. Ia tidak bisa menerima penolakan Yahweh. Kain menganggap penolakan persembahannya itu sebagai indikasi bahwa Yahweh telah menolak dia. Ia tidak bisa menerima penolakan Yahweh. Ia begitu putus-asa sampai membuatnya hampir gila, sehingga ia membunuh Habel. Apakah Anda mengerti maksud saya? Jika Allah menolak Anda, apakah itu mencemaskan Anda? Mungkin ya, mungkin tidak. Kebanyakan orang di luar sana nyaris tidak cemas bila ditolak oleh Allah. Namun Kain begitu gelisah dengan penolakan Yahweh hingga ia tidak bisa menerimanya. Mengapa ia harus digelisahkan dengan Yahweh yang tidak menerima dia? Adakah alasan lain kecuali bahwa ia mengasihi Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 485 Yahweh? Dapatkah Anda memikirkan alasan lain? Anda tidak akan tahan ditolak oleh orang yang Anda cintai, bukan? Jika Anda ditolak oleh orang yang membenci Anda, Anda tidak akan peduli; Anda akan berbalik menolak dia. Namun jika Anda ditolak oleh orang yang mencintai Anda atau yang Anda cintai, Anda tidak dapat menerima penolakan itu. Sebagian orang bunuh diri karena ditolak. Kain tidak membunuh diri, tetapi ia membunuh adiknya. Ia cemburu karena Habel diterima. Namun kecemburuan berasal dari cinta, bukankah begitu? Dengan kata lain, Kain membunuh oleh karena cinta, hal yang masih dilakukan orang hingga hari ini. Jika seseorang mencintai gadis yang Anda cintai, Anda mungkin ingin membunuh orang itu agar Anda dapat memiliki gadis itu untuk diri sendiri. Kain menginginkan kasih dan penerimaan Yahweh, tetapi Yahweh tidak menerima dia. Ia justru menerima Habel! Itu tidak bisa ditoleransi. Jadi, singkirkan Habel! Saya tidak dapat memikirkan penjelasan lain mengapa Allah membiarkan Kain hidup. Allah mengetahui isi hatinya. Ia tahu bahwa Kain mencintai Dia, tetapi Kain mencintai Dia dengan cara yang salah. Jika tidak, Allah barangkali sudah menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena membunuh adiknya. Sebaliknya, Allah melindungi dia sedemikian rupa hingga siapa saja yang berani menyentuh Kain akan dibalaskan tujuh kali lipat. Itu mengerikan. Untuk apa Kain dibiarkan hidup kalau bukan untuk memberinya kesempatan bertobat, dan dengan demikian, diselamatkan? Yahweh peduli bahkan dengan orang paling berdosa sekalipun. Mari kita mundur sedikit. Adam dan Hawa pun telah berbuat dosa besar. Dan apa yang dilakukan Yahweh? Mengapa Ia tidak segera menjatuhkan hukuman mati? Bagaimanapun juga, Ia telah memperingatkan mereka, “pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”. Namun demikian, Ia tidak membuat mereka mati. Bahkan sebaliknya, apa yang dilakukan-Nya? Ia melakukan sesuatu 486 The Only True God yang luar biasa. Saya tidak tahu mengapa saya tidak bisa melihat semua itu sebelumnya. Dan Yahweh Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka. (Kej.3:21) Bacalah sekali lagi: Yahweh sendiri membuat pakaian! Pertama, Ia seorang tukang kebun, sekarang Ia seorang penjahit! Namun lebih daripada seorang penjahit. Dengan cara apa Anda mendapatkan kulit binatang? Anda harus membunuh binatang itu untuk memperoleh kulitnya. Anda harus mengucurkan darahnya. Apakah Anda menangkap gambarannya? Yahweh Sendirilah imam itu! Binatang yang telah Ia ciptakan, Ia sembelih untuk diambil kulitnya. Sebagai penjahit dan imam Ia membuat pakaian dari binatang itu, dan menutupi Adam dan Hawa. Menutupi! Tahukah Anda apa arti kata pendamaian dalam Perjanjian Lama? Artinya adalah “menutupi”. Kata Ibrani untuk “menutupi” adalah kata yang kita terjemahkan dengan “pendamaian, untuk mengadakan pendamaian”. Ia menutupi dosa-dosa mereka dengan darah binatang itu, mengambil kulitnya dan menutupi mereka. Yahweh itu mencengangkan. Namun apakah hal itu terlalu sulit untuk ditelan? Terlalu merendah dan grafik? Kita diberitahu bahwa Ia itu transenden, Ia tidak akan melakukan hal-hal seperti membunuh binatang. Namun jika Anda tidak membunuh binatang, bagaimana Anda dapat memperoleh kulit untuk dijadikan pakaian? Darah binatang harus tercurah guna memperoleh kulitnya. Tentu saja tak seorang pun merasa senang membunuh binatang tak bersalah. Namun itulah yang dilakukan para imam di bait suci. Mereka menyembelih binatang-binatang itu dan mempersembahkan pendamaian (penutup) untuk dosa umat dengan darah binatangbinatang itu. Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 487 Semua ini sudah terlihat dalam cerita Alkitab yang paling awal. Hukum Taurat dan sistim kurban dalam Perjanjian Lama itu tidak muncul begitu saja, tetapi sudah ada di kitab Kejadian dalam bentuk bibit. Bahkan lebih mencengangkan lagi, sekarang kita menyadari bahwa semua ini mempertandakan rencana keselamatan Allah yang telah dicapai oleh-Nya untuk umat manusia ketika Ia “menyerahkan Anak-Nya bagi kita semua” (Rm.8:32), dan membebaskan kita oleh “darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1Ptr.1:19). Apakah air mata kita tidak mengalir memikirkan Adam dan Hawa—yang dibentuk Yahweh dengan jari-jari-Nya sendiri, dan demi mereka Ia membuat taman dan memberikan kehidupan indah di taman itu—mereka bisa berbuat dosa? Seandainya Yahweh itu seperti kebanyakan orang (jadi mungkin Ia transenden dalam arti Ia tidak seperti kebanyakan orang), Ia sudah meledak dalam kemarahan: “Baiklah, Aku sudah selesai dengan kalian berdua!” Tidak! Sebaliknya, Ia mengambil seekor binatang, menyembelihnya, dan mengambil kulitnya untuk menutupi Adam dan Hawa. Menakjubkan! Namun bukankah kita membacanya dengan terlalu harfiah? Dapatkah kita membacanya secara non-harfiah atau simbolis dan tetap mengeluarkan kekayaan makna dari nas itu? Saya belum menemukan cara lain. Apa yang dilakukan Yahweh untuk menutupi serta melindungi Kain dari maut bukanlah suatu hal baru. Ia sudah melakukan hal semacam ini untuk orangtua Kain. Ia telah menyediakan sebuah penutup, sebuah pendamaian, untuk Adam dan Hawa. Tentu saja Ia tidak bisa membiarkan mereka tetap tinggal di taman itu. Mereka harus menanggung konsekuensi serius dari dosa mereka. Mereka harus meninggalkan taman itu, tetapi mereka meninggalkan taman itu dengan mengenakan penutup yang telah diberikan Yahweh. Selama sisa hidup mereka pakaian itu akan mengingatkan mereka, “Yahweh mengasihani kami. Kami tidak mati pada hari kami 488 The Only True God berbuat dosa; sebaliknya Yahweh mengenakan pakaian kepada kami dan menutupi kami dalam belas kasih-Nya.” Apakah Anda mengira Yahweh itu sangat jauh, terpencil di suatu tempat di surga? Atau, hanya Yesus saja yang sangat dekat? Apa yang telah kita pelajari tentang Allah? Apa yang telah kita pelajari tentang Yahweh? Tidak banyak? Seberapa dekatkah Yahweh itu? Kasih-Nya untuk orang-orang berdosa bukanlah suatu hal baru. Kasih itu tidak dimulai dengan Yesus. Kasih itu datang jauh, jauh sebelumnya, sejak dari Taman Eden. Itulah keindahan Yahweh. Mengapa semuanya ini tersembunyi dari kita? Apakah karena kita mengira Yesus sajalah sahabat orang-orang berdosa yang menyelamatkan kita dari Allah yang pemurka? Jika begitu, apakah istilah “Allah Juruselamat kita” (1Tim.1:1; Tit 1:3, dst.) mengandung arti bagi kita? Kita mulai melihat betapa berbedanya konsep kita dari konsep Yahweh dalam Perjanjian Lama, Allah yang sangat dekat dan sangat peduli, yang mengawasi kita. Dan ketika kita berbuat dosa, Ia tidak selalu menghukum kita, bukan? Ia sendiri mempersiapkan sebuah jalan untuk menutup dosa-dosa kita. Ketika kita sampai ke pasal 6 kitab Kejadian, kita melihat bahwa umat manusia telah sepenuhnya dirusakkan oleh dosa-dosa mereka. Namun masih ada satu orang yang masih dapat berkomunikasi dengan Yahweh, yaitu Nuh. Dengan semakin jatuhnya umat manusia ke dalam perbudakan dosa, Yahweh masih mencoba berkomunikasi dengan manusia, tetapi Ia hanya bisa berbuat demikian dengan individu-individu tertentu yang terbuka kepadaNya, yang punya telinga untuk mendengarkan Dia, yang hatinya disebut sempurna sehubungan dengan Dia—sempurna dalam keterbukaan penuh kepada-Nya. Ay.8 pasal 6 berbunyi: “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Yahweh”. Selanjutnya dikatakan bahwa Yahweh berbicara kepada Nuh. Dan oh, Ia banyak berbicara dengan Nuh. Saya menghitung ada 30 ayat lebih Yahweh berbicara dengan Nuh. Yahweh terus-menerus Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 489 berkomunikasi dengan Nuh. Bukankah ini mengatakan kepada kita betapa dekatnya Dia dengan Nuh, dan Nuh dengan Dia? Kemudian air bah itu datang menyapu kerusakan parah yang telah mencemarkan bumi. Ya, Yahweh itu kudus. Ia akan mengampuni dosa tetapi ada suatu ukuran dosa yang, sekali diisi sampai penuh, Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tidak bisa diselamatkan lagi. Dan bila orang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, tidak ada apa-apa yang bisa diperbuat oleh Yahweh kecuali menghukumnya. Namun bahkan dalam penghukuman pun Ia memperlihatkan belas kasihan: masih ada Nuh dan keluarganya. Anda ingat Nuh yang membangun bahtera besar itu yang kelihatan seperti kotak besar, yang mengambang di atas air dengan berbagai macam binatang di dalamnya. Cerita yang menarik, bukan? Namun apakah Anda melihat apa yang dilakukan Yahweh ketika Nuh dan semua binatang itu telah memasuki bahtera dan siap berhadapan dengan air bah? Dan yang masuk itu adalah jantan dan betina dari segala yang hidup, seperti yang diperintahkan Allah kepada Nuh; lalu Yahweh menutup pintu bahtera itu di belakang Nuh. (Kej.7:16) Yahweh menutup pintu bahtera di belakang Nuh itu. Pernahkah Anda memperhatikan kata-kata ini? Menakjubkan! Ia membuat taman, Ia membuat pakaian. Seperti seorang imam Ia mengadakan pendamaian untuk dosa-dosa Adam dan Hawa. Seperti seorang ahli bangunan Ia merancang bahtera untuk dibangun oleh Nuh, dalam rangka menyelamatkan Nuh, keluarganya, dan sekumpulan besar binatang. Namun siapakah yang menutup pintu bahtera? Mengapa tidak membiarkan Nuh saja yang menutup pintu? Apakah terlalu besar dan berat bagi Nuh? Apa pun alasannya, Yahweh memberi sentuhan terakhir dalam operasi penyelamatan besar-besaran ini: Ia sendiri yang menutup pintu bahtera itu. Atau apakah kita berpikir 490 The Only True God akan lebih pantas seandainya Ia menunjuk seorang malaikat untuk melakukan hal semacam ini, daripada melakukannya Sendiri? Pemikiran macam itu menunjukkan bahwa kita belum benar-benar mengenal Yahweh yang dinyatakan dalam Alkitab. Para raja dan presiden di dunia ini tidak membuka atau menutup pintu untuk bawahan mereka, tetapi justru itulah intinya: Yahweh tidak sama dengan mereka. Karakter-Nya dicontohkan di dalam Yesus secara sempurna (“gambaran Allah itu”, 2Kor.4:4), yang tidak saja membasuh kaki murid-muridnya dan membuat sarapan untuk mereka di tepi Danau Galilea setelah kebangkitannya (Yoh.21:9,12,13), tetapi juga mempersembahkan dirinya di atas kayu salib demi keselamatan mereka. Sedangkan mengenai menutup pintu bahtera, itu ibarat seorang ayah yang berdiri di pintu mengucapkan selamat jalan kepada anak-anaknya yang berangkat ke sekolah di pagi hari. Sentuhan-sentuhan kecil ini memperlihatkan sesuatu yang indah tentang Yahweh. Tidak ada apa-apa yang dilewatkan oleh-Nya. Ia peduli. Mengapa ayat ini menyebutkan Yahweh menutup bahtera itu? Karena itulah yang Dia lakukan! Dan mengapa Ia melakukannya? Karena Ia peduli! Apakah ada alasan lain untuk perbuatan-Nya? Mungkin Ia ingin memastikan airnya tidak memasuki bahtera dan menenggelamkan mereka, jadi Ia ingin memastikan pintunya tertutup rapat. Seperti ketika Anda membawa anak-anak Anda ke dalam mobil, Anda memastikan pintunya tertutup rapat demi keamanan mereka. Jika kita boleh mengatakannya dengan sopan, semuanya ini menyatakan sesuatu yang manis sekali tentang Yahweh. Cara Dia mengerjakan berbagai hal sungguh menakjubkan. Seandainya Alkitab itu murni berasal dari manusia, sulit membayangkan ada orang yang berani melukiskan Allah dengan cara ini. Selanjutnya dalam kitab Kejadian, siapakah orang berikutnya yang diajak berbicara oleh Allah? Ada orang-orang lain yang berjalan dengan Allah. Kita tidak akan membahas dengan rinci Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 491 tentang Henokh, yang berjalan dengan Allah selama 300 tahun dan diangkat oleh-Nya. Bagi Henokh, apa artinya berjalan dengan Allah? Berjalan selama 300 tahun! Bukan hanya beberapa hari saja. Selama 300 tahun ia berjalan dengan Yahweh. Sungguh suatu pengalaman, sungguh suatu petualangan! Tidak heran bila ia diangkat! Kemudian tampil Abraham, dan ia dikenal sebagai sahabat Yahweh. Apakah Allah membutuhkan seorang sahabat? Apakah Ia membutuhkan Anda dan saya? Tidak, Ia tidak membutuhkan kita, tetapi Ia ingin kita menjadi sahabat-Nya; bukan karena Ia membutuhkan kita. Allah menemukan seorang sahabat di dalam diri Abraham. Seluruh kisah ini betul-betul indah: Abraham tengah duduk di pintu kemahnya waktu hari panas terik (Kej.18). Ia mungkin sedang menyejukkan dirinya dengan tiupan angin sepoisepoi di depan pintu kemah itu. Dan ia melihat tiga lelaki berjalan ke arahnya. Sebagai seorang yang ramah, ia keluar dari kemahnya dan sujud dengan mukanya sampai ke tanah, kurang lebih sama seperti kaum Muslim dewasa ini ketika mereka berdoa. Abraham bersujud dengan mukanya sampai ke tanah ketika ia menyambut ketiga lelaki tadi. Dan salah satu dari mereka ternyata adalah Yahweh, sebagaimana dinyatakan oleh kisah itu. Kemudian diceritakan kisah menakjubkan di mana Abraham tawar-menawar dengan Yahweh mengenai kota Sodom yang akan segera dihancurkan. “Jika ada 50 orang saleh, akankah Engkau mengampuni Sodom?” “Maaf, jangan marah denganku, Yahweh, tetapi bagaimana kalau 40?” Ia tawar-menawar dengan Yahweh seperti di pasar tradisional. Dan dengan sabar Yahweh menuruti dia. “Yahweh, kumohon, jangan marah denganku. Akankah Engkau mengampuni Sodom dengan 30?” Yahweh berkata, “Ya, 30, akan Kuampuni.” Satu kali lagi: “20?” “Oke.” “Kumohon, tolonglah, bersabarlah denganku, tapi bagaimana kalau 10?” Ia berkata, “Ya, 10.” Kasihan, Abraham tidak berani menawar lebih rendah dari sepuluh. Ketika Anda tawar-menawar di pasar pun, Anda harus 492 The Only True God cengli. Maksud saya, jika ia meminta satu juta rupiah, apakah Anda memberinya 20,000 rupiah? Ayolah, jangan konyol. Anda dapat menawar dari 50 menjadi 30 dan 20 dan akhirnya 10. Ayolah, ini adalah seluruh kota—Anda tidak bisa menawar lebih rendah dari 10, bukan? Namun Yahweh berkata, “Ya, bahkan 10”. Abraham berpikir, “Baiklah, aku puas. Pasti ada sepuluh orang baik di kota Sodom.” Namun sepuluh pun tidak ada. Dan sekalipun Abraham menawar lebih rendah, hal itu tidak akan menolong karena yang ada hanya satu orang saja: Lot. Itu tidak berkata banyak tentang istri Lot; ia berubah menjadi tiang garam. Tidak ada seorang yang baik pun tersisa di seluruh Sodom kecuali satu. Dapatkah Anda membayangkan hal itu? Kisah yang indah tentang Abraham tawarmenawar dengan Yahweh ini menunjukkan kesabaran-Nya yang luar biasa! Apa yang membuat kita mengira Ia itu hakim yang pemarah, Allah yang pemurka di surga di atas, yang siap menghancurkan semua orang berdosa? Lagipula, apakah orang berdosa justru bertobat karena ditakut-takuti oleh kotbah kita tentang murka Allah? Atau, apakah Allah tidak menarik kita dengan kasih-Nya, sebagaimana terlihat dalam Injil? Ia sama sekali tidak berusaha menakut-nakuti kita dengan kuasa-Nya. Apakah orang berdosa benar-benar merasa takut, atau lebih tertarik oleh kasih? Seraya kita melihat gambaran panorama Yahweh dalam hubungan-Nya dengan manusia sebagaimana terlihat dalam Alkitab, kita mulai mendapati bahwa, seperti halnya kota Sodom, hanya ada begitu sedikit orang benar sehingga nyaris tak ada yang bisa diajak berbicara oleh Yahweh. Tidak ada sama sekali! Kemudian tampillah Musa, dan dikatakan bahwa Allah berbicara dengannya “muka dengan muka” (Kel.33:11; Ul.34:10). Bukankah itu hal yang indah? Dan di situ Anda melihat cerita bagaimana Yahweh Allah membawa umat-Nya—umat Israel—keluar dari Mesir. Lagi-lagi yang Anda lihat bukanlah Allah yang transenden dalam arti terpencil, Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 493 melainkan Allah yang terus-menerus berhubungan dengan umat Israel. Di mana? Dalam tiang awan, dalam tiang api, Ia berjalan dengan mereka di padang gurun. Sementara mereka berjalan, Ia berjalan dengan mereka di padang gurun, seperti seorang gembala dengan domba-dombanya sebagaimana dilukiskan di Mazmur ke23, “Yahweh adalah gembalaku”. Ia membawa mereka melalui padang gurun seperti seorang gembala membimbing dombadombanya. Jika Anda pergi ke padang gurun di Timur Tengah dewasa ini, Anda masih dapat melihat para gembala menuntun kawanan domba mereka. Kemudian Ia bertemu dengan umat Israel untuk bersekutu dengan mereka. Ingatkah Anda bagaimana Yahweh turun ke atas Gunung Sinai? Seluruh gunung itu menyala dengan api! Ia menyatakan kebesaran keagungan-Nya dan kuasa-Nya kepada khalayak—sekitar dua juta orang Israel di padang gurun—sehingga para tunawisma yang mengembara di padang gurun itu tidak perlu merasa takut akan masa depan mereka di saat mereka bergerak maju di bawah pimpinan Yahweh dan di bawah pemeliharaan-Nya dan penyediaan-Nya yang terus-menerus mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari (“berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”). Bagaimanakah Anda memberi makan dua juta orang di padang gurun? Yahweh menyediakan roti, manna, setiap hari. Bagaimana lagi caranya dua juta orang bisa diberi makan di padang gurun? Dari sudut pandang manusia, logistik untuk memenuhi kebutuhan orang banyak seperti itu mengejutkan pikiran. Bagaimana dengan air? Hal yang paling dibutuhkan di padang gurun adalah air, kalau mereka tidak mati kehausan di bawah terik panas matahari. Dan Yahweh juga memenuhi kebutuhan itu. Ia melakukan hal ini dalam kurun waktu 40 tahun! Cobalah memimpin dua juta orang melewati padang gurun sekarang ini dan lihat sejauh mana Anda berhasil. Anda akan segera menyadari bahwa Yahweh melakukan mukjizat yang menakjubkan, bukan hanya selama 494 The Only True God beberapa hari tetapi selama 40 tahun. Lagipula, Ia melakukan semua ini untuk umat yang keras kepala dan durhaka yang tak hentihentinya mencobai kesabaran-Nya. Nabi Mikha mengatakannya dengan indah: “Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia?” (Mi.7:18) Hal ini jelas digemakan dalam Perjanjian Baru. Ketika Yesus memberi makan 5,000 orang—mengingatkan kita kepada apa? Ini mengingatkan kita akan apa yang dilakukan Yahweh untuk umatNya di padang gurun. Dan Yesus melakukan hal yang persis sama dengan apa yang telah dilakukan Yahweh dalam Perjanjian Lama. Atau lebih tepatnya, Yahweh melalui Yesus melakukan apa yang telah Ia lakukan dalam Perjanjian Lama. Ajaib! Hal yang sama juga benar mengenai air, tetapi pada tingkatan rohaniah. Yesus berkata kepada perempuan Samaria, “Seandainya engkau meminta minum dariku, aku akan memberikan kepadamu air untuk diminum, yang akan menjadi mata air di dalam dirimu, yang terus-menerus memancar sampai kepada kehidupan kekal” (bdk. Yoh 4:10,14). Air tersebut akan terus mengalir seperti sungai. Luar biasa! Yohanes 6 merujuk kepada kejadian di padang gurun, “Akulah roti (manna) yang turun dari surga. Jika kamu memakan roti ini, kamu tidak akan mati. Namun orang-orang di padang gurun itu mati. Jika kamu memakan roti rohani yang diberikan Yahweh kepadamu itu—Aku inilah roti itu—kamu akan hidup selama-lamanya.” (bdk. Yoh.6:51,58) Ia tetap menyediakan manna kehidupan bagi orangorang yang, pada saat ini, mengharapkan penyediaan makanan itu dari Dia. Di padang gurun, mukjizat terjadi setiap hari dan umat Israel bisa melihatnya. Jadi cerita-cerita mukjizat dalam Injil bukanlah suatu hal baru walaupun pada umumnya mukjizat-mukjizat itu terjadi dalam skala yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 495 terjadi di padang gurun (mis. memberi makan 5000 orang dibandingkan dengan dua juta orang). Ini tidak dimaksudkan untuk menandingi skala kejadian di padang gurun, tetapi untuk mengingatkan orang tentang hal yang telah dilakukan Yahweh untuk umat-Nya di masa lalu, sambil menandakan bahwa dalam cara yang signifikan Yahweh telah datang lagi kepada umat-Nya di dalam pribadi Yesus Kristus, dan lagi-lagi melakukan hal-hal yang pernah mereka dengar dilakukan oleh Dia sebelumnya. Seraya kita menelusuri kitab Kejadian hingga kitab terakhir Perjanjian Lama, kita melihat bahwa semakin lama semakin sedikit orang yang bersekutu dengan Yahweh. Itu bukan karena Yahweh cenderung semakin kurang berkomunikasi dengan orang, tetapi karena orang kelihatannya semakin tidak peka terhadap Dia. Setelah Musa terdapat selang waktu yang lama sebelum muncul seorang nabi dengan sosok rohaniah cukup besar, tetapi tak seorang pun bersekutu dengan Yahweh dalam keakraban (“muka dengan muka”) yang menjadi ciri hubungan Musa dengan Dia—yaitu, sampai Yesus datang. Mengenai Musa, saya ingin memperlihatkan sentuhan kecil lain yang cukup mencengangkan. Anda tahu bahwa Taurat, kelima kitab hukum Taurat, berakhir dengan kitab Ulangan. Cerita tentang kematian Musa ditambahkan pada bagian akhir kitab Ulangan. Usianya 120 tahun, tetapi ia masih sehat dan kuat, dan tidak sakit. Sepertinya umat Allah tidak perlu jatuh sakit untuk bisa mati. Bila saatnya tiba, mereka sekadar “tertidur”, sebagaimana dikatakan seorang pengkhotbah tentang ayahnya, seorang hamba Tuhan yang setia. Ia tidak diketahui menderita penyakit apa pun, tetapi ketika saatnya tiba, ia hanya terduduk di kursinya. Kepalanya tertunduk dan ia pergi untuk bersama dengan Tuhan. Itu hal yang indah. Demikian pula, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang” (Ul.34:7). Tugasnya sudah selesai. Waktunya telah tiba, maka Musa 496 The Only True God meninggal atau “tertidur”. Namun perhatikan ada sentuhan istimewa tentang Yahweh yang cenderung kita lewatkan. Apakah sentuhan kecil itu? Ia mengambil Musa, tetapi tentu saja tubuhnya tetap ada di bumi. Jadi apa yang terjadi dengan tubuh itu? Anda ingat bahwa Musa meninggal sendirian, di atas Gunung Pisga di mana dari sana ia melihat Tanah Perjanjian tetapi tidak diizinkan masuk oleh karena satu saja kegagalan serius dalam hidupnya. Akan tetapi, Musa tidak sendirian, sebab Yahweh menyertai hamba-Nya yang setia sampai pada akhirnya. Dikatakan di Ulangan 34:6, Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini. Pernahkah Anda memperhatikan keempat kata kecil ini: “Dan dikuburkan-Nyalah dia.” Siapakah “Nya” itu? Siapa lagi kalau bukan Yahweh? Ini luar biasa. Pikirkan lagi hal ini: Ia membentuk Adam dan Hawa ibarat seorang tukang periuk; Ia membuat taman ibarat seorang tukang kebun; Ia menyembelih binatang ibarat seorang imam; Ia membuat pakaian ibarat seorang penjahit dan menutupi Adam dan Hawa, dan seterusnya. Pada akhirnya Ia sendiri mengubur sahabat-Nya di atas gunung—sebuah tindakan kasih dan penghormatan terakhir atas pelayanan Musa di bumi. Tentu saja kita dapat membaca seluruh cerita ini secara simbolis atau metaforis, seperti yang biasa dilakukan, dengan bersikeras bahwa Yahweh itu transenden dan semua itu tidak perlu dipahami secara harfiah. Namun apa arti cerita itu secara non-harfiah? Hal apa persisnya yang tengah dicapai dengan bersikeras pada dogma teologis kita tetapi dengan menghilangkan keindahan yang menyentuh dari karakter Yahweh sebagaimana dinyatakan dalam cerita-cerita ini? Saya membaca kata-kata itu dan merasa sangat tersentuh. Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 497 Musa diberi penguburan tersendiri. Ini jelas dimaksudkan untuk mencegah dia dari dijadikan berhala oleh orang-orang yang telah dipimpinnya untuk waktu yang lama, karena jika hal itu terjadi, Musa akan berakhir sebagai batu sandungan ketimbang berkat bagi umatnya. Namun Yahweh juga telah menyatakan diri-Nya secara terbuka dan di depan umum kepada bangsa Israel seperti, misalnya, ketika Ia turun ke atas Gunung Sinai dan orang banyak melihatnya. Sebenarnya para tua-tua melihat kemuliaan Tuhan dengan mata kepala mereka sendiri. Anda lihat misalnya di Keluaran 24:10-11 yang mengatakan bahwa para tua-tua Israel “melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum.” Mereka melihat Allah dan hidup. Ay.16 berkata, “Kemuliaan Yahweh diam di atas gunung Sinai, dan awan itu menutupinya enam hari lamanya; pada hari ketujuh dipanggil-Nyalah Musa dari tengahtengah awan itu.” Dan ay.17: “tampaknya kemuliaan Yahweh sebagai api yang menghanguskan di puncak gunung itu pada pemandangan orang Israel.” Di situ, kita mendapati frasa “api yang menghanguskan” (Ibr.12:29). Di satu sisi, Ia adalah api yang menghanguskan; di sisi lain, dengan lemah-lembut Ia mengambil Musa sahabatnya dan menguburkan dia, seperti menanamkan benih. Dan Musa akan bangkit kembali! Yahweh akan memanggil dia untuk bangkit dari antara orang mati; tetapi untuk saat ini, ia harus beristirahat. Apa yang kita temukan dalam perkembangan narasi Alkitabiah adalah bahwa, meskipun Tuhan masih berbicara kepada orangorang, jarak antara Allah dan manusia berangsur-angsur menjadi semakin melebar. Namun jarak antara Allah dan manusia itu bertambah bukan karena Allah ingin menjauh, tetapi karena manusia tidak lagi mencari Dia. Akhirnya, mereka malah tidak lagi 498 The Only True God menyebut Nama-Nya. Namun Yahweh masih bersekutu dengan beberapa orang seperti sang nabi Samuel, yang hatinya terbuka kepada-Nya dan yang masih berbicara untuk Allah. Kemudian ada Yesaya yang, ketika sedang berada di dalam bait suci, dikaruniai penglihatan kemuliaan Allah. Yehezkiel, juga melihat penglihatan kemuliaan Allah. Apa yang dilihatnya adalah seseorang yang berpenampilan manusia. Penting untuk mencatat fakta ini: Yahweh menyatakan diri-Nya kepada Yehezkiel dalam rupa manusia (Yeh.1:26,28). Para teolog telah memperdebatkan bahwa Allah disampaikan dengan istilah-istilah antropomorfis dalam Perjanjian Lama, yaitu Allah disampaikan seolah-olah Ia adalah seorang manusia, atau dengan kata-kata yang digunakan untuk melukiskan manusia. Tampaknya, kemungkinan besar kita telah memutarbalikkan kenyataan. Menurut Kitab Suci, manusia itu teomorfis; hal itu demikian karena manusia diciptakan dalam gambar Allah. “Teomorfis”, secara harfiah, berarti ada dalam rupa (morphē) atau gambar Allah (theos). Ini adalah ajaran Alkitabiah. Alasannya manusia diciptakan secara teomorfis—dalam gambar Allah—adalah agar ia dapat bersekutu dengan Allah. Itulah sebabnya Allah menciptakan dia. Orang besar terakhir yang secara akrab bersekutu dengan Allah adalah Musa. Allah berbicara dengannya “berhadapan muka” (Ul.34:10). Berhadapan muka! Betapa dekatnya persekutuan mereka! Selanjutnya, sang nabi besar Yesaya masih mengucapkan firman Allah dan masih melihat kemuliaan Tuhan. Masih ada rasa kagum tetapi tidak dengan keakraban yang dinikmati Musa. Setelah Musa, semuanya ini berangsur-angsur menghilang. Semakin Anda meneruskan ke dalam PL, jarak itu semakin melebar. Setelah Yehezkiel, kita mendengar tentang penglihatan-penglihatan; kita masih mendengar tentang firman Tuhan yang diucapkan melalui beberapa orang, tetapi keakraban antara sang nabi dengan Yahweh sudah Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 499 tidak ada lagi. Setelah nabi terakhir, Maleakhi, yang ada hanya kesunyian—kesunyian selama 400 tahun. Firman Tuhan tidak lagi berbicara. Agaknya, tidak ada seorang pun yang bisa diajak berkomunikasi oleh Yahweh. Adakah seseorang dalam generasi ini yang bisa diajak berkomunikasi oleh Yahweh? Namun janji-janji itu tetap ada: Ada suara yang berseru-seru: "Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk Yahweh, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! (Yes.40:3) Mengapa Anda mau mempersiapkan jalan raya di padang gurun? Jalan raya ini dinyatakan khusus untuk “Yahweh”, bagi “Allah kita”. Mengapa? Karena Ia akan datang. “maka kemuliaan Yahweh akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersamasama; sungguh, Yahweh sendiri telah mengatakannya” (Yes.40:5). Yahweh akan datang! Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Imanuel. (Yes.7:14) Seorang anak akan lahir tetapi, yang luar biasa, anak itu akan menyandang nama-nama ilahi: Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. (Yes.9:5) Nama-nama Ilahi menunjuk pada pribadi ilahi. Tentu saja, tidak semua nama dalam ayat ini ilahi, tetapi ada beberapa yang lebih sulit diterangkan dengan istilah non-ilahi, terutamanya “Bapa yang Kekal”. Sebagai trinitarian kita menerapkan ayat ini kepada Yesus. 500 The Only True God Namun, berbuat demikian artinya merancukan Bapa dengan Anak, dan juga menentang ajaran Yesus sendiri yang mengatakan, “Janganlah kamu menyebut siapapun ‘bapak’ di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di surga.” (Mat.23:9) Kita dapat memastikan bahwa Yesus tidak pernah menyuruh siapapun memanggilnya “Bapa”. Namun jika “Bapa yang Kekal” merujuk kepada Yahweh sebagaimana semestinya, maka kita diperhadapkan dengan pemikiran yang mengejutkan bahwa Yahweh akan datang ke dunia ini di dalam pribadi Yesus, dan Ia sudah datang pada saat kelahiran Yesus. Bagaimana lagi ayat ini bisa dipahami sebagaimana adanya? Dalam kitab terakhir dari Perjanjian Lama, Allah berfirman: Lihat, Aku menyuruh utusan-Ku, supaya ia mempersiapkan jalan di hadapan-Ku! Dengan mendadak Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya! Malaikat Perjanjian yang kamu kehendaki itu, sesungguhnya, Ia datang, firman Yahweh semesta alam. (Mal.3:1) Lagi-lagi, sebuah janji: “Dengan mendadak (tiba-tiba) Tuhan yang kamu cari itu akan masuk ke bait-Nya” di Yerusalem. Siapakah “Tuhan” itu kalau bukan Yahweh, mengingat bait yang dirujuk itu adalah “bait-Nya”. Namun kapan hal ini terjadi? Sebagaimana telah saya katakan, terdapat 400 ratus tahun kesunyian. Kapankah kesunyian itu akan berakhir dan Allah berfirman lagi? Nubuatan dalam kitab Maleakhi berkata bahwa, pertama, Yahweh akan mengutus seorang utusan “di hadapan-Ku”. Yesus menunjuk kepada Yohanes Pembaptis sebagai utusan itu (mis. Mat.11:9-11; Luk.7:26-28). Kesunyian yang panjang itu tiba-tiba berakhir, dengan tak diduga-duga, dan Yahweh datang ke bait-Nya seperti yang dijanjikan. — Akhir dari Kutipan Transkripsi — Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 501 Pengamatan lanjutan atas imanensi-transendensi Allah I manensi Yahweh terlihat jelas bukan saja dalam Taurat dan PL secara keseluruhan, tetapi khususnya dalam PB, misalnya: Kisah 17:28, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada”. Matius 10:29-31, “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seharga satu receh terkecil? Namun seekor pun tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu, janganlah kamu takut, karena kamu lebih berharga daripada banyak burung pipit.” Lukas 12:7, bahkan rambut kepalamu pun terhitung semuanya [oleh Allah]. Karena itu, jangan takut, karena kamu lebih berharga [pada Allah] daripada banyak burung pipit. Namun, “enfleshment (pendagingan)”, atau inkarnasi Firman itu di dalam Mesias Yesus, sehingga Yahweh hidup di dalam dia secara jasmaniah, adalah contoh tertinggi dari pilihan-Nya untuk menjadi imanen, walaupun hal ini sama sekali tidak meniadakan transendensi-Nya. Justru, apa yang telah gagal kita pahami adalah bahwa di dalam Kitab Suci, transendensi Allah itu melibatkan, atau bahkan memerlukan, imanensi-Nya: 1Raja-raja 8:27, “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini.” Transendensi Yahweh adalah transendensi yang melanggar kategorisasi teologis, sebab transendensi-Nya itu sedemikian rupa hingga “langit yang mengatasi segala langit” sekali pun tidak dapat memuat Dia—dengan demikian, transendensi-Nya bisa dikatakan “meluap”, 502 The Only True God keluar dari langit melingkupi bumi. Dalam Kitab Suci Allah tidak pernah dapat dianggap terbatas pada langit. Menurut Kitab Suci, adalah keliru untuk mengira bahwa “langit” merujuk kepada transendensi-Nya, sementara bumi menyatakan “imanensi”-Nya menurut perkiraan umum. Pemikiran ini juga diruntuhkan oleh ayat seperti berikut: Beginilah firman Yahweh: Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku. (Yes.66:1, dikutip di Kis.7:49) Kata-kata itu menghadirkan gambar Yahweh yang duduk di atas takhta-Nya di surga dengan kaki-Nya bertumpu di bumi. Gambar tentang transendensi-imanensi Yahweh ini digabungkan ke dalam kata-kata Yesus di Khotbah di Bukit: “Tetapi aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar.” (Mat.5:34,35) Oleh karena kaki-Nya bertumpu di bumi, frasa “Bapa di surga” tidak boleh diartikan sebagai Ia jauh dari bumi; sebaliknya berfungsi untuk membedakan Dia dari bapa-bapa duniawi. “Bapa di surga” muncul 14 kali dalam Injil Matius, sekali dalam Injil Markus, dan sekali dalam Injil Lukas, menandakan pentingnya hal itu dalam pengajaran Yesus di Injil Matius. Misalnya, Doa Bapa Kami (Mat.6:9-13) dimulai dengan “Bapa kami yang di surga”, tetapi Ia cukup dekat untuk mendengar bisikan doa-doa kita dan bahkan permohonan-permohonan yang tidak terucapkan dari hati kita. Kata “bapa” dalam pemikiran Yesus berbicara tentang Dia yang mendengar dan peduli: “Adakah seorang dari antara kamu yang memberi batu kepada anaknya, jika ia meminta roti, atau memberi ular, jika ia meminta ikan?” (Mat.7:9,10) Lagipula, gagasan Allah sebagai Bapa bukanlah sesuatu yang pertama kali muncul dalam PB. Dalam PL setidaknya ada 6 lelaki Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 503 dan 2 perempuan yang bernama Abia (Ing.: Abijah). “Abi” artinya “bapaku” dan “Jah” adalah bentuk pendek dari “Yahweh”. Berikut ini adalah definisi yang diberikan dalam International Standard Bible Encyclopedia: “Abia, Ibr.: ’abhiyah atau Ibr.: ’abhiyahu (2Taw. 13:20,21), ‘bapaku adalah Yahweh,’ atau ‘Yahweh adalah bapa’”. Pandangan bahwa surga itu suatu tempat transenden jauh di atas bintang-bintang adalah pandangan lain yang keliru. Dalam Kitab Suci, yang surgawi adalah yang rohaniah, berlawanan dengan yang duniawi atau yang jasmaniah dan materiil. Yang jasmaniah mempunyai lokasi geografis, sedangkan yang rohaniah tidak. “Allah adalah Roh” seperti dikatakan Yesus, dan roh tidak dibatasi oleh lokasi duniawi ataupun kosmik. Memahami hal ini berarti memahami bahwa lokasi geografis tidak penting, yang penting adalah “Allah itu Roh dan siapa saja yang menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh.4:24). Transendensi-imanensi Allah menghapus kesan bahwa Dia itu jauh dan tak terjangkau di tempat surgawi yang jauh. Namun trinitarianisme telah meninggalkan kesan bahwa Bapa itu jauh di surga sementara “Yesus sangat dekat” (dalam lirik sebuah lagu yang populer). Tidak heran bila umat Kristen lebih suka berdoa kepada Yesus, walaupun tidak ada pembenaran Alkitabiah untuk berbuat demikian. Bagi umat Kristen, Yesus yang “dekat” menjadikan dia lebih dapat diakses. Meskipun Bapa mungkin dapat mendengar kita, tetapi bukankah Yesus yang memberi kita jaminan bahwa “aku tidak akan menolak siapa pun yang datang kepadaku” (Yoh.6:37, BIS)? Kata-kata itu ditafsirkan sedemikian rupa sehingga menyiratkan bahwa kita bisa lebih yakin dengan penerimaan oleh Yesus daripada oleh Bapa; hal ini dikarenakan Bapa (Yahweh) adalah Allah yang transenden, sedangkan Yesus adalah Allah yang imanen, yang oleh sebab itu lebih mudah didatangi. Inilah penggambaran tentang Allah yang keliru yang kita pelajari dari trinitarianisme. Semua ini sangat jauh dari kebenaran tentang Allah 504 The Only True God yang diwahyukan dalam Kitab Suci, sebagaimana telah kita lihat dalam paragraf-paragraf terdahulu. Kasih Yahweh A pa yang dinyatakan oleh kitab Kejadian (dan sisa Kitab Suci) tentang sikap Yahweh terhadap manusia? Sebuah jawaban dapat ditemukan dari perkataan Yesus di Yohanes 17:23: “aku di dalam mereka dan Engkau di dalam aku supaya mereka menjadi satu dengan sempurna, agar dunia tahu, bahwa Engkau yang telah mengutus aku dan bahwa Engkau mengasihi mereka, sama seperti Engkau mengasihi aku”. Pikirkan implikasi mengejutkan dari pernyataan terakhir di ayat ini, “Engkau (Bapa) mengasihi mereka sama seperti (καθώς, kathōs) Engkau mengasihi aku”! Apakah mungkin Bapa (Yahweh) mengasihi kita sama seperti Ia mengasihi orang yang disebut-Nya, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi”, yang adalah “Anak Tunggal Bapa”? Atau, mungkin kita harus memahami ini sebagai “dengan cara yang sama” tetapi tidak “pada tingkat yang sama”? Definisi kathōs (kaqw,j) sebagaimana diberikan oleh BDAG adalah, “perbandingan, sama seperti”. Sebuah contoh dari penggunaannya dapat dijumpai di 1Yohanes 3:2 (ILT), “kita mengetahui, bahwa apabila Dia telah dinyatakan, kita akan menjadi serupa dengan Dia, karena kita akan melihat Dia sebagaimana (καθώς) Dia ada”. Intinya di sini bukannya kita akan melihat Dia secara umum (apa pun artinya itu), tetapi “kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (1Yoh.3:2). Bukankah ini berarti apa yang dikatakan Yesus di Yohanes 17:23 adalah bahwa Bapa mengasihi murid-murid Yesus dengan cara dan tingkat yang persis sama seperti Ia mengasihi Yesus? Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 505 Ia datang untuk menyelamatkan kita oleh karena kasihNya kepada kita Kita perlu berhenti sejenak dan mempertimbangkan siapakah “Dia” di 1Yohanes 3:2 itu (“kita mengetahui, bahwa apabila Dia telah dinyatakan, kita akan menjadi serupa dengan Dia, karena kita akan melihat Dia sebagaimana Dia ada”). Di ayat sebelumnya Bapa adalah subjek, dan tidak ada rujukan kepada Anak. Dan juga, dalam tulisan Yohanein tidak ada contoh kata “dinyatakan” (phaneroō) merujuk kepada kedatangan Kristus yang kedua. Kata phaneroō memang muncul dalam beberapa ayat sebelum 1Yohanes 3:2, yakni di 2:28, dengan mengacu pada penyataan diri Tu[h]an tetapi, secara signifikan, lagi-lagi tidak ada rujukan kepada Kristus dalam konteksnya dari ay.27dyb. Namun di ayat berikutnya (ay.29) “lahir dari Dia” pasti harus merujuk kepada Allah (sang Bapa), bukan Kristus, karena tidak di manapun dalam PB orang-orang beriman dikatakan “lahir dari Kristus” atau “lahir dari Anak”, melainkan hanya “lahir dari Allah” (1Yoh.3:9; total 7 kali dalam 5 ayat di surat 1Yohanes) Mungkinkah Yohanes tengah mengacu pada “penyataan diri” Yahweh Sendiri? Ini sama sekali tidak mengejutkan bagi mereka yang akrab dengan kata-kata di Yesaya 40:3-5. Ada suara yang berseru-seru: "Persiapkanlah di padang gurun jalan untuk Yahweh, luruskanlah di padang belantara jalan raya bagi Allah kita! 4 Setiap lembah harus ditutup, dan setiap gunung dan bukit diratakan; tanah yang berbukit-bukit harus menjadi tanah yang rata, dan tanah yang berlekuk-lekuk menjadi dataran; 5 maka kemuliaan Yahweh akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersama-sama; sungguh, Yahweh sendiri telah mengatakannya." (Yes.40:3-5) 3 Ini adalah nubuatan tentang “penyataan diri”-Nya seperti di di 1Yohanes 2:28. Lagipula, nubuatan ini bisa mengacu kepada “keda- 506 The Only True God tangan pertama” mengingat rujukan-rujukan kepada ayat ini dalam keempat Injil (Mat.3:1-3; Mrk.1:2-5; Luk.3:2-6; Yoh.1:23), dan juga kepada “kedatangan kedua” di masa depan, mengingat bagian nubuatan yang mengumumkan “kemuliaan Yahweh akan dinyatakan dan seluruh umat manusia akan melihatnya bersamasama” (Yes.40:5) tampaknya masih belum digenapi (bdk. 2Tes.2:8). Secara signifikan, justru dalam konteks ini, dan segera sebelum Yohanes berbicara tentang “kita akan melihat Dia sebagaimana Dia ada” (1Yoh.3:2) ia berseru, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah.” (1Yoh.3:1). Kasih Yahweh terlihat dalam kedatangan-Nya untuk menyertai kita, sebagaimana diungkapkan dalam nama “Imanuel”: Yesaya 7:14, “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan dia Imanuel. {Imanuel artinya Allah menyertai kita.}”. BDB Leksikon Ibrani dan Inggris: “Imanuel (bersama kita adalah Allah); Yes.7:14 ﬠִ מָּ נוּ אֵ לnama anak, melambangkan hadirat [ יYahweh] untuk melepaskan umat-Nya; 8:8; 8:10 merupakan deklarasi kepercayaan dan keyakinan, bersama kita adalah Allah! (bdk. Mzm.46:8; 46:12)”. [Rujukan-rujukan dalam kitab Mazmur yang diberikan oleh BDB diambil dari teks Ibrani; teks Indonesia adalah Mzm.46:8 dan 46:12 dan keduanya berbunyi, “Yahweh semesta alam menyertai kita [Ibr. immanu (bersama kita)], kota benteng kita ialah Allah Yakub.”] Janji kedatangan dan penyertaan Yahweh sehubungan dengan pengandungan dan kelahiran Yesus terlihat di Matius 1: Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 507 ‘Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan dia Yesus, karena dialah yang akan menyelamatkan umatnya dari dosa-dosa mereka.’ 22 Hal itu terjadi supaya digenapi yang difirmankan Tuhan melalui nabi: 23 “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan dia Imanuel” (Yang berarti: Allah menyertai kita.) [Yes.7:14] 21 Mengingat rujukan eksplisit kepada Yahweh di Yesaya 40:3-5, dan mengingat “Allah menyertai kita (Imanuel)” melalui kelahiran Kristus, kita dapat menyimpulkan dari ayat-ayat tersebut bahwa Yahwehlah yang dinubuatkan datang ke dunia di dalam Kristus. Jika kesimpulan ini ditolak maka satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menghilangkan makna substantif “Imanuel” dengan membuatnya terdengar seperti dalam sapaan-sapaan yang artinya kurang lebih “semoga Allah menyertai kita”; dalam arti itu “Imanuel” tidak lebih berarti dari “Allah akan menyertai Yesus secara khusus”. Akan tetapi, kata itu tidak berarti Allah akan menyertai Yesus melainkan, di dalam Yesus, Allah akan “menyertai kita”. Dengan kata lain, Allah akan hadir di dalam Yesus sedemikian rupa sehingga Ia menjadi Allah yang hadir dengan kita. Trinitarian, tentu saja, menerima pemahaman “Imanuel” ini, tetapi mereka mengartikan “Allah” sebagai “Allah-Anak”, bukan “satu-satunya Allah yang benar”, Yahweh. Namun, pilihan itu tidak tersedia bagi mereka dengan alasan yang sekarang semestinya cukup jelas: dalam Kitab Suci tidak ada pribadi yang disebut “Allah-Anak”. Malaikat Tuhan K asih Yahweh untuk umat-Nya, kepedulian serta keprihatinanNya yang praktis untuk mereka, terlihat melalui hadirat-Nya yang menyertai mereka di setiap krisis dalam kehidupan mereka. 508 The Only True God Sang Pemazmur mengungkapkannya seperti ini, “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mzm.46:1). Kata-kata ini merupakan sebuah pernyataan berdasarkan pengalaman, bukan sekadar keyakinan religius. Salah satu cara Yahweh berinteraksi dengan umat-Nya adalah melalui sosok atau bentuk seorang “malaikat Yahweh”. Dalam bagian teks berikut kita akan sering merujuk kepada “malaikat Yahweh” hanya dengan kata “Malaikat”. “Malaikat TUHAN (Yahweh)” (מַ לְ אַ � יהוה, malach Yahweh) merupakan sebuah istilah yang muncul 52 kali dalam PL 29. Namun tidak semuanya merujuk kepada apa yang dilukiskan oleh International Standard Bible Encyclopedia sebagai “Malaikat Teofani”; beberapa darinya merupakan malaikat “biasa” yang diutus oleh Allah untuk menggenapi tugas khusus (mis. Za.1:12). Di sisi lain, terdapat sejumlah penampilan “malaikat Yahweh” yang, tak pelak, adalah teofani, yaitu Allah yang menyatakan diri dalam bentuk yang kelihatan. Malaikat biasanya muncul dalam rupa manusia (lih. di bawah), jadi “malaikat Yahweh” memberikan contoh lain yang amat signifikan dari teofani “antropomorfis”. Dengan demikian, “Malaikat” ini bisa dilukiskan sebagai “rupa” Allah yang kelihatan. Penyataan-diri Yahweh di Keluaran 3:14 itu sangat penting, yang telah kita bahas sebelumnya. Justru dalam peristiwa inilah “malaikat TUHAN” menyatakan dirinya. Di sini kita perlu mengamati bagaimana seluruh kejadian itu dilukiskan di Keluaran 3: Adapun Musa, ia biasa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian. Sekali, ketika ia 1 Istilah ini dipakai 54 kali; tetapi rujukan di Hagai 1:13 adalah kepada nabi sebagai utusan Yahweh, dan di Maleakhi 2:7 kepada imam yang adalah utusan-Nya. 29 Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 509 menggiring kambing domba itu ke seberang padang gurun, sampailah ia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. 2 Lalu Malaikat Yahweh menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. 3 Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?” 4 Ketika dilihat Yahweh, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: “Musa, Musa!” dan ia menjawab: “Ya, Allah.” 5 Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” 6 Lagi Ia berfirman: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah. Dari nas ini sama sekali tidak diragukan bila pemunculan “malaikat Yahweh” itu tidak lain dan tidak bukan adalah pemunculan Yahweh Sendiri, jadi istilah “Malaikat Teofani” betul-betul pantas diterapkan di sini. Percakapan yang panjang dan penting antara Yahweh dan Musa tentang menyelamatkan bangsa Israel dari belenggu perbudakan di Mesir terpapar dari Keluaran 3:7 sampai ke pasal berikutnya. Dalam konteks inilah pewahyuan-diri Allah sebagai “Aku adalah Aku” (Kel.3:14) diberikan. Akan terlihat pula bahwa pemunculan-Nya dalam rupa “malaikat TUHAN” secara konsisten terjadi pada saat-saat krusial dalam sejarah Israel. Lagi-lagi ini secara kuat menyatakan karakter Yahweh yang sangat peduli dengan keadaan dan kebutuhan dari umat-Nya. 510 The Only True God Sebagai tambahan kepada 52 referensi “malaikat Yahweh” itu ada 9 referensi lain yang merujuk kepada “malaikat Allah” yang, setidaknya dalam beberapa peristiwa, tidak lain dan tidak bukan adalah “malaikat Yahweh”. Hakim 6:20 berbicara tentang “malaikat Allah”, sedangkan di dua ayat berikutnya ia dirujuk sebagai “malaikat Yahweh”. Hal ini juga terlihat jelas di Hakim 13 di mana ay.6 dan 9 berbicara tentang “malaikat Allah” yang di ay.13-22 disebut “malaikat Yahweh”. Lagipula, dari ay.8-11 kita melihat bahwa Manoah dan isterinya, mengira apa yang mereka lihat adalah seorang “manusia Allah” (MILT), jadi ia jelas ada dalam rupa manusia. Hal ini tetap benar setelah rujukan itu diubah menjadi “malaikat Yahweh” (dari ay.13 dan seterusnya). “Manoah tidak mengetahui, bahwa dia (“manusia Allah”) itu Malaikat Yahweh” (ay.16), tetapi ia dan isterinya kemudian menyadari bahwa mereka telah melihat Allah dalam rupa manusia dan merasa sangat takut dengan konsekuensinya: “Berkatalah Manoah kepada isterinya: ‘Kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah’” (ay.22). “Malaikat” itu muncul pada saat-saat penting dalam “sejarah keselamatan” PL. Pemunculannya yang pertama kali dicatat adalah pada masa Abraham ketika ia menyatakan diri kepada Hagar, ibu dari orang Arab, dan menetapkan sebuah perjanjian yang amat mirip dengan janji Yahweh kepada Abraham (Kej.16:7-11; bdk. Kej.13:16). Keadilan Yahweh dinyatakan dengan jelas di sini. “Malaikat” itu muncul kepada Abraham pada saat penting ketika Abraham nyaris mengurbankan anaknya Ishak dalam ketaatannya yang mutlak kepada Yahweh (Kej.22:11dyb.). Namun Yahweh dengan penuh belas-kasihan menghentikan Abraham dari mengorbankan anaknya. Akan tetapi, Yahweh Sendiri, demi keselamatan umat manusia, “tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkannya bagi kita semua” (Rm.8:32). Pilihan kata Paulus yang luar biasa di ayat ini tampaknya menunjukkan bahwa ia tengah Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 511 memikirkan persembahan Abraham, sebuah tindakan sangat signifikan dalam Yudaisme. Bagaimana bangsa Israel menerima namanya diceritakan dengan menarik di Kejadian 32:24-30, ketika Yakub, bapak bangsa itu, bergumul dengan seorang “manusia” semalaman dan menjadi timpang karena sendi pinggul yang terkilir; “manusia” itu mengakui bahwa Yakub telah “menang” (ay.28) dan memberikan kepadanya nama baru “Israel”: “Lalu kata orang itu: ‘Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, {Israel artinya ia bergumul melawan Allah } sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.’” (ay.28). Maka Yakub menyadari bahwa ia telah “berhadapan muka” dengan Allah: “Yakub menamai tempat itu Pniel {Peniel artinya muka Allah }, sebab katanya: ‘Aku telah melihat Allah berhadapan muka, tetapi nyawaku tertolong!’” (ay.30). Dalam nas ini tidak disebut tentang “malaikat Tuhan”, tetapi “manusia” yang “bergumul” dengan Yakub itu jelas-jelas berbentuk manusia, bentuk yang dipilih Allah untuk menyatakan dirinya kepada Yakub. Hal ini menyadarkan kita bahwa terlepas dari sejumlah besar rujukan kepada “Malaikat”, mungkin terdapat kejadian-kejadian penting lain di mana “Malaikat” itu telah tampil tetapi tidak dinamai. Sebuah contoh bisa dijumpai dalam kisah luar bisa yang tercatat di Yosua 5:13-15. Pada malam sebelum penyerangan atas kota Yerikho pada awal penaklukan Tanah Perjanjian, Yosua melihat seorang “manusia” dengan pedang terhunus di tangannya (lih. berikut ini untuk kejadian di mana “Malaikat” itu menyatakan diri dengan pedang terhunus di tangannya). Ketika Yosua, yang telah diangkat oleh Musa sebagai penggantinya untuk memimpin tentara Israel, menanyakan “manusia” itu ia ada di pihak siapa, ia diberitahu bahwa “manusia” itu, bukan Yosua, adalah “Panglima balatentara Yahweh”; Yosua langsung bersujud di hadapannya. Ini pasti karena Yosua menyadari siapa “manusia” itu sesungguhnya. “Balatentara Yahweh” tidak diketahui memiliki panglima lain selain 512 The Only True God Yahweh Sendiri, karena itu gelar “Yahweh Tsebaot” (“Lord of Hosts”), “host” adalah kata Inggris kuno untuk “balatentara”. Di sini istilah “balatentara Yahweh” boleh jadi dimaksudkan untuk mencakup balatentara Israel yang akan memasuki Kanaan. Konfirmasi lain bahwa sebenarnya Yahwehlah yang menyatakan diri kepada Yosua terlihat dari fakta bahwa Yosua diperintahkan untuk “tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus” (5:15)—yang sama persis dengan perintah malaikat Tuhan kepada Musa dari semak duri, “tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus” (Kel.3:5). Malaikat Tuhan muncul dengan pedang terhunus di Bilangan 22. Ada 10 rujukan kepada “Malaikat” dalam pasal ini, dan kita mungkin bertanya-tanya mengapa harus ada begitu banyak rujukan dalam sebuah kejadian yang kelihatannya relatif sepele tentang Bileam. Namun apabila kita memahami bahwa yang menjadi soal di sini adalah pengutukan Israel oleh Bileam (ay.17), maka kita melihat bahwa hal tersebut sama sekali bukan perkara sepele di mata Allah. Seluruh kejadian itu terpapar dari ay.22-35. Di ay.23 kita menjumpai frasa yang sama persis dengan frasa yang ditemukan di kitab Yosua: Malaikat itu berdiri dengan “pedang terhunus di tangannya”, dan lagi-lagi di ay.31 (contoh lain adalah kejadian mengerikan yang tercatat di 1Taw.21:16). 2Raja-raja 19:35 menyebut tentang sebuah tindakan penghakiman yang lain, kali ini terhadap tentara Asyur yang datang untuk menghancurkan Yerusalem dan menaklukan Israel. Untuk menyelamatkan Israel, malaikat Yahweh membunuh 185.000 orang Asyur dalam satu malam, yang mengakibatkan mundurnya tentara Asyur. Walaupun kata “pedang” tidak muncul dalam nas ini, tak pelak, pedang penghakiman (dan keselamatan bagi bangsa Israel) dimaksudkan. Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 513 Malaikat” tersebut terlibat dalam kejadian-kejadian sangat penting dalam sejarah PL. Oleh karena “Malaikat” itu adalah sebuah teofani, apakah makna kegiatannya kalau bukan kepedulian dan keprihatinan Yahweh yang intens untuk umat-Nya, yaitu, “mereka yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm.8:28)? Mengingat apa telah kita pelajari, pada umumnya kita dapat mengesahkan pengamatan yang dibuat oleh International Standard Bible Encyclopedia: “Dapat dipastikan bahwa sejak semula Allah memakai malaikat dalam rupa manusia, dengan suara manusia, untuk berkomunikasi dengan manusia; dan penampakanpenampakan malaikat Tuhan, dengan hubungan redemptifnya dengan umat Allah, menunjukkan modus kerja penyataan-diri Ilahi yang berpuncak pada kedatangan sang Juruselamat, dan dengan demikian menjadi sebuah bayangan, dan sebuah persiapan, dari pewahyuan Allah yang sepenuhnya di dalam Yesus Kristus.” (ISBE “Malaikat”, di bawah bagian “Malaikat Teofani”) Prof. E.R. Wolfson, dengan merujuk kepada banyak nas dalam Alkitab Ibrani yang berbicara tentang Malaikat Tuhan, mengatakan bahwa di dalamnya “Allah menampakkan diri dengan berkedokkan malaikat”. Selanjutnya ia berkata, “Satu ayat menurut kitab suci yang sangat signifikan untuk memahami konsepsi kuno umat Israel ini adalah pernyataan Allah bahwa umat Israel harus mendengarkan malaikat yang telah Ia utus di hadapan mereka dan jangan mendurhaka kepadanya, karena nama-Nya ada di dalam dia (Kel.23:21). Pembatas yang memisahkan malaikat itu dengan Allah secara substansial menjadi kabur, sebab dengan menyandang nama itu, yang menandakan kuasa dari kodrat ilahi, malaikat itu menjadi penjelmaan kepribadian Allah. Memiliki nama itu bukan sekadar 514 The Only True God berarti dianugerahi dengan otoritas ilahi, tetapi secara ontologis malaikat tersebut adalah hadirat inkarnasional Ilahi yang termanifestasi dalam pemeliharaan Allah atas Israel.” “Kepercayaan purba adalah bahwa Allah bisa menyatakan diri sebagai hadirat malaikat kepada manusia, dan bentuk hadirat ini adalah bentuk seorang antropos [manusia]. Dengan demikian, rupa malaikat ini adalah pakaian (sebagaimana diungkapkan oleh para kabalis yang kemudian) yang dikenakan oleh yang ilahi ketika ia dimanifestasi ke dunia dalam bentuk seorang antropos.” (Wolfson, bab tentang “Yudaisme dan Inkarnasi”, Christianity in Jewish Terms, hlm.244) Sesaat sebelum naskah buku ini tiba di tangan penerbit, saya beruntung sekali menemukan buku berwawasan yang ditulis oleh Profesor James Kugel berjudul “The God of Old”. Di sini saya memasukkan sebagian dari pengamatan penutupnya setelah kajiannya atas teks-teks Alkitabiah tentang malaikat Tuhan: “Berikut ini adalah hal yang paling penting tentang malaikat itu dalam semua teks ini. Ia itu bukanlah semacam duta, atau utusan, dari Allah melainkan Allah Sendiri dalam rupa manusia”. “Dengan kata lain, malaikat itu bukan makhluk ilahi yang berkedudukan lebih rendah; malaikat itu adalah Allah Sendiri, tetapi Allah yang tidak dikenali, Allah yang memasuki realitas biasa.” “Malaikat itu kelihatan seperti manusia biasa untuk sejenak, hanya sejenak saja, lalu disusul dengan momen pengenalan, di mana ternyata, oh ya, itulah Allah dan bukan manusia biasa.” Bab 5 — Yahweh dalam Alkitab Ibrani 515 (The God of Old, 2003, hlm.34,35; James L. Kugel adalah Starr Professor of Hebrew Literature di Harvard University.) Kasih-setia Yahweh I ni berarti gagasan Yahweh datang ke dunia dalam rupa manusia bukanlah suatu hal yang aneh atau asing dalam Alkitab. Sebaliknya, gagasan tentang campur tangan Allah secara pribadi, yang sering muncul dalam rupa manusia pada saat-saat krusial dalam sejarah umat-Nya, merupakan sesuatu yang sering disebut dalam Kitab Suci. Dapat dikatakan bahwa, karena sifat dan karakterNya yang dinyatakan dalam Kitab Suci, Yahweh tidak akan, dan tidak dapat, bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli dengan manusia dan kebutuhannya, secara khusus penderitaannya, sekalipun ketika penderitaan itu ditimbulkan oleh dosa manusia itu sendiri. Salah satu kata yang paling sering dipakai dalam Alkitab Ibrani sehubungan dengan karakter Yahweh adalah hesed. Kata itu muncul 251 kali, yang sebagian besarnya mengacu pada Yahweh. Sulitnya menerjemahkan kata ini terlihat dari pelbagai cara kata itu diterjemahkan dalam berbagai terjemahan: “lovingkindness” (NASB), “mercy” (KJV), “steadfast love” (ESV), “unfailing love” (NIV), “faithful love” (NJB), “loyal love” (NET). Semua variasi ini dijumpai dalam terjemahan untuk Keluaran 15:13. Terjemahan untuk kata itu bahkan mungkin berubah-ubah dalam versi yang sama. Namun apa yang jelas dari pelbagai kata yang dipakai adalah bahwa kasih merupakan unsur umum yang mendasari mereka semua, termasuk “belas”. Berikut caranya Theological Wordbook of the Old Testament meringkas sebuah diskusi akademis yang panjang tentang hesed: 516 The Only True God “...kata itu merujuk kepada sebuah sikap maupun tindakan. Sikap ini sejajar dengan kasih, rahûm, kebaikan, tôb, dst. Ia adalah semacam kasih, termasuk belas kasihan, hannûn, bila objeknya ada dalam kondisi menyedihkan. Kata itu sering mengambil verba tindakan, ‘berbuat,’ ‘memelihara,’ dengan demikian merujuk kepada tindakan-tindakan kasih serta atributnya. Kata ‘lovingkindness’ dalam KJV adalah kata yang arkais, tetapi tidak jauh dari kepenuhan makna kata itu.” Karakter Yahweh diungkapkan secara indah dalam kata-kata yang lembut ini, “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku (hesed) kepadamu.” (Yer.31:3). Bab 6 Kekristenan telah Kehilangan Akar Yahudinya: Konsekuensi Serius Kekristenan telah kehilangan akar Yahudinya yang kita lihat dalam kitab Kisah Para Rasul adalah jemaat J emaat Yahudi pada th. 30-an dan 40-an abad pertama yang tumbuh subur dalam kuasa Allah yang dinamis di bawah kepimpinanan Yahudi. Salah seorang yang paling dinamis dan terpelajar dari para pemimpin mula-mula itu, tentu saja, adalah Rasul Paulus, “rasul untuk bangsa-bangsa bukan Yahudi” (Rm.11:13); ia adalah tokoh sentral dalam kitab Kisah Para Rasul, dan kegiatan penginjilannya menjadi subjek sebagian besar dari kitab itu. Namun umat non- 518 The Only True God Yahudi tampaknya sudah lupa bahwa ia bukan saja seorang Yahudi, tetapi betapa Yahudinya dia, dan betapa bangganya dia dengan kenyataan itu. Garry Wills (Professor of History Emeritus di Northwestern University di Amerika Serikat) dengan tepat mengingatkan para pembacanya akan hal tersebut dalam sebuah buku barunya: “Tidak ada seorang Semit yang lebih Semitis daripada Paulus. ‘Jika ada orang lain menyangka dapat mengandalkan pada halhal lahiriah, aku lebih lagi: disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat aku tidak bercacat’ (Flp.3:4-6). ‘Di dalam agama Yahudi pun aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku’ (Gal.1:14). Paulus sungguh-sungguh seorang Yahudi… Ia hanya membanggakan akar-akar keyahudiannya dan ketaatan kepada tata-cara keyahudiannya.” (What Paul Meant, Penguin, 2006, hlm.129, 130). Paulus jelas tidak meninggalkan akar-akar Yahudinya dengan menjadi seorang pengikut Mesias Yesus. Sebuah tanda penentu yang mendasar dari seorang Yahudi adalah monoteismenya, dan Paulus adalah seorang yang monoteistis, sebagaimana terlihat dengan sangat jelas dari surat-suratnya (Rm.16:27; 1Kor.8:6; 8:4; Rm.3:30; Ef.1:3; 3:14; 4:6; 1Tim.1:17; 2:5, dst.). Sebagai rasul untuk orangorang bukan Yahudi, Paulus memandang misinya sebagai misi untuk membawa orang bukan Yahudi ke dalam “persemakmuran Israel” melalui iman di dalam Kristus (Ef.2:12); supaya dengan demikian mereka menjadi anggota “Israel Allah” (Gal.6:16). Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 519 Namun dalam kurun waktu seratus tahun, jemaat telah berubah dari jemaat di bawah kepemimpinan Yahudi menjadi jemaat yang secara predominan non-Yahudi di bawah kepemimpinan nonYahudi. Sebuah pergeseran kuantum telah terjadi. Sekarang jemaat tersebut terdiri dari orang-orang yang berlatar belakang politeistis, tanpa komitmen yang bersungguh-sungguh kepada monoteisme yang begitu mencirikan orang Yahudi. Segera terlihat jelas bahwa jemaat non-Yahudi tidak terlalu bermasalah untuk menambahkan satu atau dua pribadi lagi kepada Ke-Allahan, sementara mengakui secara nominal sifat monoteistis dari iman kepercayaan dan Kitab Suci (PL dan PB) yang telah mereka warisi dari jemaat Yahudi itu. Jemaat non-Yahudi dengan berani melanjutkan proses penuhanan Kristus kendati mereka tidak dapat menemukan satu ayat pun dalam Perjanjian Baru yang menyatakan dengan gamblang bahwa Yesus adalah Allah. Fakta bahwa trinitarianisme tidak dapat menemukan apa pun dalam PB yang mendukung mereka sama sekali tidak mengherankan mengingat fakta bahwa semua kecuali satu (yaitu Lukas) penulis Perjanjian Baru adalah orang Yahudi. Tidak mengejutkan bila Syahadat Nikea, yang menjadi faktor penentu bagi jemaat Kristen non-Yahudi, yang meninggikan Yesus ke tingkat keilahian penuh agar menjadi setara dengan sang Bapa, tidak mengutip satu ayat pun yang mendukung dogma baru ini. Hingga hari ini kebanyakan orang Kristen tidak menyadari betapa lemahnya landasan Alkitabiah dari trinitarianisme ini. Situasi Kitab Suci perihal trinitarianisme, sejauh Perjanjian Baru, diterangkan secara jelas dan ringkas oleh J.H. Thayer: “Apakah Kristus disebut Allah harus ditentukan dari Yohanes 1:1; 20:28; 1Yohanes 5:20; Roma 9:5; Titus 2:13; Ibr. 1:8dyb., dst.; perkara ini masih diperselisihkan di antara para teolog.” (Thayer GreekEnglish Lexicon, dengan entri θεὸς, bagian teks 2, penekanan ditambahkan). Ya, 1700 tahun setelah penetapan Syahadat Nikea sebagai dogma resmi jemaat, para teolog Kristen masih belum dapat 520 The Only True God memastikan apakah Kristus bisa disebut Allah menurut Perjanjian Baru! Menempatkan keadaan dengan cara lain, apakah Yesus bisa disebut Allah tergantung pada penafsiran dari sejumlah kecil ayat, tetapi validitas atau ketepatan dari penafsiran-penafsiran ini masih diperselisihkan. Namun situasi ini, mau tidak mau, merupakan akibat dari jemaat yang telah kehilangan koneksi dengan akar Yahudinya. Bagaimana mungkin orang dapat mengekstrak trinitarianisme dari tulisantulisan monoteistis Perjanjian Baru? Upaya-upaya keras yang dikeluarkan dalam buku-buku dan artikel-artikel yang tak terbilang jumlahnya itu tidak bisa menyelesaikan hal ini. Yang bisa dilakukan (dan telah dilakukan) hanyalah memaksakan penafsiran-penafsiran ke dalam tulisan-tulisan yang bersifat mutlak monoteistis, yang pada dasarnya tidak kompatibel dengannya. Penafsiran-penafsiran ini, yang duduk tidak aman di atas landasan-landasan yang tidak mendukung mereka, dengan mudah dapat dijungkirbalikkan. Bukankah sudah waktunya untuk jemaat kembali kepada landasan Yahudinya yang monoteistis daripada terus berusaha membangun sesuatu di atas landasan yang tidak kompatibel dengannya itu? Jemaat menerima pewahyuan Allah tentang diri-Nya sebagaimana tercatat dalam Alkitab Ibrani, yang disebut Perjanjian Lama oleh umat Kristen. Hal yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang Kristen dewasa ini adalah jemaat awal tidak memiliki Alkitab lain kecuali “Perjanjian Lama”. Yang diedarkan di antara jemaat mula-mula adalah beberapa surat, seperti yang dikarang oleh Rasul Petrus dan Rasul Paulus, yang semula ditulis untuk jemaat-jemaat tertentu yang namanya tertera pada surat-surat itu. Sebagian jemaat mungkin memiliki satu atau lebih dari empat Injil yang kita miliki saat ini. Hanya menjelang akhir abad ke-2 barulah surat-surat dan Injil-injil itu dikumpulkan bersama menjadi sesuatu seperti PB kita sekarang. Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 521 Semua ini berarti jemaat awal didirikan di atas landasan monoteisme kokoh dari “Kitab-kitab Suci lebih terdahulu”, yaitu Alkitab Ibrani. Tulisan-tulisan PB pun didirikan dengan teguh di atas landasan PL sebagaimana diperlihatkan oleh banyak kiasan dan kutipan dari PL. Jalinan hubungan yang begitu erat antara Kitabkitab Suci terdahulu dan Kitab-kitab Suci kemudian, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terungkapkan dengan indah dalam ucapan ini, “Yang Baru tersembunyi di dalam yang Lama; yang Lama dinyatakan di dalam yang Baru”. Dari PL kita mengetahui bahwa Allah menciptakan dunia dan memilih serangkaian individu-individu setia yang melalui mereka Dia mengerjakan rencana-rencana-Nya bagi umat manusia. Allah mulai menyatakan Diri-Nya kepada pribadi-pribadi itu, dan melalui mereka kepada dunia. Ia lalu memilih bangsa Israel, bukan karena mereka itu bangsa yang besar, tetapi justru karena kekecilan mereka di antara bangsa-bangsa lain (Ul.7:7). Ini mencontohkan cara kerja Allah sebagaimana dinyatakan dengan jelas di 1Korintus 1:27, “dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat”. Yesus, yang disebut “Anak-Ku yang Kupilih” (Luk.9:35) oleh Allah, adalah seorang Yahudi, demikian pula semua rasul-rasulnya. Jemaat Kristen perdana di Yerusalem terdiri atas orang-orang Yahudi. Namun kehancuran Yerusalem dan bait suci pada th. 70 M oleh tentara Romawi mengakibatkan berakhirnya Israel sebagai sebuah bangsa selama hampir 1900 tahun. Pemberontakan singkat Bar-Kokhba melawan bangsa Romawi dipadamkan pada th. 135 M, bahkan dengan konsekuensi-konsekuensi yang lebih parah untuk rakyat Yahudi di Palestina. Namun berkat upaya rasuli oleh Paulus dan lainnya, kabar baik itu telah tersebar luas ke mana-mana dalam Kekaisaran Romawi. Akan tetapi, salah satu hasilnya adalah menjelang akhir abad ke-2 jemaat itu secara predominan telah menjadi jemaat non-Yahudi yang segera kehilangan pertalian dengan akar- 522 The Only True God akar Yahudinya. Para pemimpinnya telah dibesarkan dalam lingkungan keagamaan dan kebudayaan paganisme dan politeisme. Mereka yang cukup berpendidikan telah banyak minum dari pancuran gagasan-gagasan religius dan filosofis Yunani. Gagasangagasan itu telah membentuk pikiran mereka, dan terbukti sulit ditinggalkan bahkan setelah mereka menjadi orang Kristen. Tak pelak, hal ini membawa konsekuensi-konsekuensi serius ketika mereka dipanggil merumus doktrin. Doktrin Trinitas, yang ditetapkan sebagai dogma resmi Gereja non-Yahudi 300 tahun sesudah masa Kristus, merupakan sebuah produk alamiah dari serangkaian kejadian ini, yang dimulai dengan perpisahan jemaat dari asal-usul Yahudinya. Alkitab kini dibaca seolah-olah itu adalah kitab trinitarian alihalih yang sebenarnya: sebuah kitab yang monoteistis. Setiap upaya dibuat untuk menemukan teks-teks bukti trinitaris dalam Perjanjian Baru, meskipun secara praktis tidak ada apa-apa yang bisa ditemukan dalam Perjanjian Lama. Oleh karena itu, teks-teks PB sering diberi pengertian trinitaris tanpa referensi yang tepat kepada latar belakang PL-nya. Bahkan dewasa ini kesarjanaan PL dan PB berfungsi sebagai domain yang terpisah (berkat zaman spesialisasi ini) sehingga tampaknya terdapat sedikit interaksi antara keduanya. Bertahun-tahun yang lalu saya bertemu dengan seorang kenalan di sebuah perpustakaan di Cambridge, sewaktu ia tengah menyelesaikan gelar doktornya dalam sebuah subjek PL. Ia menanyakan apa yang sedang saya lakukan saat itu. Ketika saya mengatakan bahwa saya sedang mempelajari beberapa pertanyaan dalam PB, ia tersenyum dan berkata, “Oh, saya tidak menduga masih ada pertanyaan yang tersisa dalam PB untuk dipelajari!” Tentu saja ia mengatakannya dengan bercanda, tetapi pemikiran bahwa tidak ada lagi pertanyaan untuk dipelajari itu bisa terlintas dalam pikirannya tampaknya paling tidak menunjukkan bahwa ia tidak terlalu tahu apa pertanyaan-pertanyaan itu. Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 523 Terpisahnya jemaat dari akar-akar Yahudinya berarti jemaat tidak lagi mengetahui suasana religius dan budaya pada masa Kristus dan rasul-rasulnya, atau orang-orang yang menulis PB. Dewasa ini kebanyakan orang Kristen bahkan tidak mengetahui bahasa ibu Yesus, atau dalam bahasa apa dia mengajar, karena mereka sama sekali tidak mengetahui bahasa percakapan di Palestina pada masa Yesus. Kebanyakannya bahkan belum pernah mendengar tentang “bahasa Aram”, apalagi mengetahui bahwa itu adalah bahasa seharihari yang dipakai Yesus karena bahasa Aram adalah bahasa yang dipakai di tanah Israel pada masa itu, dan selama kira-kira 500 tahun sebelumnya. Bahkan dalam dunia kesarjanaan Perjanjian Baru pun, tidak banyak perhatian diberikan kepada bahasa Aram. Bagaimanapun juga, kebanyakan lulusan sekolah teologia nyaris tidak menguasai bahasa Ibrani dasar, apalagi bahasa Aram, bahasa Semitis yang serumpun tetapi tidak sama. Namun apresiasi terhadap pentingnya bahasa Aram mulai berubah dalam kesarjanaan PB dengan penemuan di Qumran pada permulaan 1947, ketika ditemukan bahwa bagian-bagian substantial dari tulisan-tulisan Qumran ditulis dalam bahasa Aram. Seputar waktu itu ditemukan pula sebuah Targum Aram yang lengkap; sebelumnya hanya beberapa bagian saja yang tersedia. “Targum” adalah kata Aram untuk “terjemahan”, dan Targum merupakan terjemahan Aram dari Alkitab Ibrani. Terjemahan tersebut diperlukan karena sejak masa Ezra dan Nehemia orang-orang yang kembali dari Pembuangan tidak lagi bisa berbahasa Ibrani. Setelah tinggal di Pembuangan selama beberapa dasawarsa, mereka berbicara bahasa Aram yang dipakai di tempat mereka tinggal. Ini merupakan sebuah situasi yang diulangi oleh orang-orang Yahudi masa kini yang turun-temurun tinggal di negara-negara asing, sedikit sekali yang bisa berbahasa Ibrani. Ketika saya berada di Israel sebagai mahasiswa untuk mempelajari bahasa Ibrani, kebanyakan 524 The Only True God mahasiswa di kelas bahasa saya adalah orang Yahudi yang datang untuk mempelajari bahasa leluhur mereka. Tentu saja, pentingnya bahasa Aram untuk memahami PB sudah diketahui oleh para sarjana yang relatif sedikit jumlahnya (Wellhausen, Burney, M. Black, dan lainnya) sebelum penemuan-penemuan yang disebutkan di atas. Namun hal itu tidak mendapatkan perhatian yang sepantasnya hingga munculnya dorongan yang diberikan oleh penemuan-penemuan baru itu. Para sarjana, seperti M. McNamara (Targum and Testament), telah memberikan kontribusi signifikan dalam arah ini. Beberapa contoh dari kontribusi itu diberikan oleh sekelompok sarjana dalam kajian-kajian mereka yang diterbitkan dalam The Aramaic Bible, ed. D.R.G. Beattie dan M.J. McNamara, JSOT Press, 1994. Salah satu artikel dalam The Aramaic Bible berjudul “Latar Belakang Bahasa Aram dari Perjanjian Baru” oleh Prof. Max Wilcox. Dari sekian banyak poin yang dibuat dalam kesimpulan artikelnya, salah satunya adalah bahwa “materi dari Targumim [bahasa Ibr. untuk Targum] dan Qumran itu harus digunakan sepenuhnya” (hlm.377). Justru hal inilah yang akan kita lakukan apabila kita mempelajari “Firman itu” (Logos dalam bahasa Yunani; Memra dalam bahasa Aram) di Yohanes 1:1 dan ayat-ayat lain yang berkaitan. Namun pertama-tama kita perlu memahami dengan lebih baik signifikansi dari bahasa Aram guna mempelajari Kitab Suci. Konsekuensi rohaniah yang sangat serius akibat pergeseran yang menjauhi jemaat induk Yahudi S edikit orang Kristen dewasa ini tampaknya menyadari kenyataan bahwa semua jemaat yang mengklaim sebagai “Kristen” berasal dari jemaat perdana di Yerusalem yang, karenanya, pantas disebut “jemaat induk Yahudi”. Kita mengetahui ceritanya dari beberapa pasal pertama kitab Kisah Para Rasul tentang bagaimana jemaat itu Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 525 lahir dari peristiwa Pantekosta pada atau sekitar th. 33 M. Tragedinya adalah jemaat induk tidak akan dapat mengenali “anakanak”-nya seandainya ia melihat mereka apa adanya sekarang ini. Berkenaan dengan perihal doa, misalnya, tidak diragukan sama sekali bila jemaat Yahudi hanya mengenal satu Allah yang benar, dan berdoa kepada Dia saja dan tidak yang lain. Kata-kata di Ulangan 10:17 mencirikan konsep mereka akan satu-satunya Allah: “Sebab Yahweh, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat”; ini mengungkapkan dalam istilah paling tegas bahwa Yahweh sajalah satu-satunya Allah yang benar. Hal ini diringkaskan dalam Syema (Ul.6:4), yang adalah sentral bagi iman kepercayaan mereka dan tidak pernah bisa dikompromikan. The New Jerusalem Bible dengan benar mengungkapkan semangat Syema: “Listen, Israel: Yahweh our God is the one, the only Yahweh.” Oleh karena itu, kekagetan dan kengerian macam apa yang akan dirasakan oleh jemaat induk di Yerusalem seandainya mereka bisa melihat jemaat-jemaat non-Yahudi dewasa ini? Mereka akan mendapati sejumlah umat Kristen berdoa kepada “Allah Bapa”, yang bukan satu-satunya Allah karena bagi mereka ada dua pribadi lain yang setara dengan Allah. Mereka akan mendapati kebanyakan orang Kristen berdoa dan menyembah kepada Yesus, yang merupakan salah satu dari kedua pribadi selain “Bapa”, dan yang sekarang telah menjadi “Allah-Anak”. Apa yang telah terjadi kepada jemaat? Atau, apakah ini sungguh-sungguh jemaat Allah? Kini jemaat tidak lagi memiliki substansi rohaniah yang sama dengan jemaat di Yerusalem; hampir segala sesuatu telah diubah atau disimpangkan. Jemaat Yahudi awal tentu saja mengasihi dan menghormati Yesus sebagai hambanya Allah (pais, Kis.3:13,26; 4:25,27,30), sebuah gelar yang terutamanya dijumpai dalam pasal-pasal awal kitab Kisah Para Rasul. Kelihatannya itulah cara yang lebih disukai mereka ketika 526 The Only True God merujuk kepada dia. Namun tidak akan terbayangkan oleh mereka bila Yesus disembah di samping Yahweh dan pada tingkat yang sama dengan Dia. Mereka mengenali Yesus sebagai Juruselamat dan sahabat mereka, yang bisa mereka datangi sebagai imam besar yang bersyafaat bagi mereka dengan Yahweh di atas “takhta anugerah” (Ibr.4:16). Namun umat Yahudi tidak berdoa kepada imam besar melainkan kepada Yahweh saja, yang adalah Dia “yang bertakhta di atas kerubim”, atau dalam doa raja Hezekiah, “Ya Yahweh semesta alam, Allah Israel, yang bertakhta di atas kerubim! Hanya Engkau sendirilah Allah segala kerajaan di bumi” (Yes.37:16; 2Raj.19:15; 1Taw.13:6; bdk. Ibr.9:5). Kita memiliki catatan bagaimana jemaat di Yerusalem berdoa dalam masa krisis: “berserulah mereka bersamasama kepada Allah, katanya: ‘Ya Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya…’”, dan dalam doa inilah Yesus dirujuk dua kali sebagai “Hamba-Mu yang kudus” (Kis.4:27,30). Raja Daud dirujuk dengan kata yang sama, “hamba” (pais, ay.25). Mereka menghormati Yesus sebagai keduanya “Tu[h]an dan Kristus” (Kis.2:36), tetapi doa mereka tidak ditujukan kepada dia; mereka berdoa hanya kepada Allah yang adalah satusatunya Allah. Dalam PB, doa tidak dipanjatkan kepada Yesus F akta ini harus dianggap menentukan terhadap setiap argumen yang membela keilahian Yesus. Jemaat di Yerusalem mengetahui sekaligus mengumumkan bahwa “Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tu[h]an dan Kristus” (Kis.2:36), tetapi doa-doa jemaat yang dinamis ini dipanjatkan kepada Allah, bukan kepada Yesus. Ketika Stefanus tengah dirajam mati, ia menyerahkan rohnya kepada Yesus (Kis.7:59). Tidak lama sebelumnya ia diberi penglihatan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah sebagai “anak Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 527 manusia” (Kis.7:56). Tidak peduli seberapa agung sosok “anak manusia” itu, tidak satu pun orang percaya Yahudi akan berdoa kepada seorang manusia, yang pada dasarnya adalah makna frasa “anak manusia”, baik dalam bahasa Ibrani maupun bahasa Aram. Jadi interaksi antara Stefanus dengan Yesus bukanlah sesuatu yang dapat disebut berdoa kepada Allah. Ini paling banyak pada level berkomunikasi dengan suatu sosok surgawi sama seperti Yohanes yang berbicara dengan malaikat dalam kitab Wahyu. Hal ini bukan sesuatu yang asing dalam pikiran orang Yahudi. Pertimbangkan, misalnya, kisah panjang Orang Kaya dan Lazarus yang diceritakan oleh Yesus di Lukas 16:19-31. Apa pun genre dan ciri kisah itu (yaitu, entah itu faktual atau bukan, tidak menjadi masalah untuk kita di sini), di dalamnya Yesus menggambarkan bagaimana ketika si orang kaya itu mati, rohnya turun ke dunia orang mati (Hades) dan disiksa. Di situ ia memandang ke atas dan melihat Abraham. Ia memohon kepada Abraham untuk menyuruh Lazarus memberinya sedikit “air” guna menyejukkan “lidah”nya; tetapi karena orang kaya itu tidak lagi berada dalam tubuh, jelaslah “menyejukkan lidah” merupakan sebuah ungkapan metaforis untuk kelegaan dari siksaan rohaniah. Namun kita tidak perlu membahas rincian kisah itu di sini. Satu-satunya hal yang relevan untuk kita adalah apakah “doa” kepada Abraham ini merupakan doa menurut PB, dan bagaimana persisnya hal itu berbeda dari “doa” Stefanus kepada Yesus. Sejauh Kitab Suci, doa (yang pantas disebut “doa”) hanya dipanjatkan kepada Allah, “Allah yang Esa” (Yoh.5:44). Adalah absur untuk mengusulkan bila dengan kisah itu Yesus mengajarkan bahwa orang harus berdoa kepada Abraham di saat membutuhkan. Akan tetapi, sebagian besar gereja Kristen mengesahkan untuk “berdoa” kepada orang-orang kudus; dan walaupun Abraham bukan “santo” gereja, tetapi oleh karena berdoa kepada santo berarti berdoa kepada manusia, maka untuk bagian dari gereja ini berdoa kepada Abraham semestinya bukan masalah. 528 The Only True God Namun oleh karena jemaat PB hanya berdoa kepada Allah saja, cerita Yesus tentang Lazarus ini tidak boleh digunakan dalam gereja untuk mendukung berdoa kepada orang-orang kudus. Lagipula, sebuah doktrin utama tentang doa tidak bisa dilandasi oleh satu kisah saja. Orang kaya di dunia orang mati itu memohon kepada Abraham (dan bagi mereka yang ada di dunia orang mati tanpa akses kepada Allah, kepada siapa lagi mereka bisa memohon?), tetapi tidak setiap permohonan atau permintaan adalah doa. Sehubungan dengan Stefanus, sebagai seorang pengikut Yesus ia sudah menyerahkan hidupnya untuk mengikuti Yesus dan tidak perlu memohon agar diterima lagi; ia tengah mengikuti Yesus dengan setia langsung ke surga, dan memberitahukan kedatangannya kepada Yesus dengan ucapan “Ya Tu[h]an Yesus, terimalah rohku” (Kis.7:59). Komunikasi yang lebih lengkap adalah komunikasi antara Yesus dengan Saulus di jalan ke Damsyik (Kis.9:3-7). Dalam sebuah contoh lain, Yesus menyampaikan sebuah pesan kepada Paulus di Korintus dalam sebuah penglihatan pada malam hari (Kis.18:9,10), tetapi ini sepertinya sebuah komunikasi searah. Intinya adalah tidak ada apa pun dalam kitab Kisah Para Rasul yang bisa dikutip sebagai bukti berdoa kepada Yesus. Hal yang sama juga benar untuk seluruh PB. Jika jemaat rasuli menganggap Yesus sebagai Allah, maka fakta ini sama sekali tak dapat dipahami. “Maranata” atau “Datanglah, Tu[h]an Yesus” (1Kor.16:22; Why.22:20) merupakan doa hanya jika setiap undangan untuk “datang” dianggap sebagai doa. Adakah yang berdoa kepada Yahweh di sini? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang saya ajukan kepada seruangan penuh pendeta dan pengkhotbah. Tak seorang pun mengangkat tangannya. Yahweh secara efektif telah disingkirkan dari Kekristenan. Apakah hal ini memprihatinkan? Hal ini tidak Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 529 memprihatinkan jika keselamatan tidak penting bagi kita. Namun apa yang dikatakan oleh Kitab Suci? Roma 10:13, “Sebab, ‘siapa saja yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan.’” Kisah 2:20, “Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Tuhan, hari yang besar dan mulia itu. 21 Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan.” Ini adalah kutipan dari Yoel 2:31,32: “Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Yahweh yang hebat dan dahsyat itu. Dan barangsiapa yang berseru kepada nama Yahweh akan diselamatkan.” Namun apakah kita menyadari bahwa pernyataan di Roma 10:13 (dan Kis.2:20), yang menyangkut keselamatan kekal, merujuk kepada hal berseru kepada Yahweh? Dan apakah Yahweh mempunyai tempat dalam doa, pikiran, dan kehidupan orang Kristen dewasa ini? Bukankah secara praktis Yahweh telah disingkirkan dari Kekristenan? Bukankah Nama “Yahweh” telah menjadi asing bagi kita? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kekristenan dewasa ini telah menjadikan dirinya sebuah paket atau sistem mandiri yang tidak membutuhkan Yahweh; Ia telah disingkirkan secara diam-diam dan dengan sopan oleh sistem itu. Di dalam sistim ini, Kristus adalah segala-galanya, ia adalah pusat dan lingkarnya. Ia adalah sasaran doa dan penyembahan; sebab dialah yang datang ke dunia karena dia mengasihi kita, dan membuktikannya dengan menyerahkan nyawanya bagi kita; ia bangkit dari antara orang mati dan menempati kedudukan terhormat di samping Bapa. Oleh penderitaan dan darahnya di atas kayu salib ia menyelamatkan semua orang yang percaya kepadanya dan yang berseru kepada 530 The Only True God namanya. Ia akan datang lagi untuk bertakhta di atas bumi bersamasama dengan mereka yang setia kepadanya, orang-orang kudusnya. Inilah “paket” doktrinal trinitaris. Sebenarnya, apa yang dilakukan Bapa demi keselamatan kita, selain mengutus Yesus ke dunia untuk mati? Atau apakah Dia perlu mengutus Yesus? Bukankah Yesus lebih dari rela untuk datang, apakah diutus atau tidak? Namun setidaknya Bapa yang membangkitkan dia dari antara orang mati, atau apakah itu pun perlu? Sebab, bukankah Kitab Suci mengatakan bahwa maut tidak bisa menahan “Orang Kudus” Allah (Mzm.16:10; Kis.2:27 dyb.); jika demikian halnya, bukankah maut terpaksa melepaskan dia karena tidak berkuasa atas orang yang tidak berdosa? Lagipula, bukankah Kitab Suci juga mengatakan bahwa Yesus adalah “Bapa yang kekal” (Yes.9:5)? Jadi sang Anak adalah juga sang Bapa! Jadi di dalam sistem Kristosentris ini, sistem Kristus-yang-mahamencukupi ini, apa perlunya ada Bapa, selain mengakui eksistensiNya? Bagaimanapun juga, tanpa Bapa tidak ada Trinitas; memang, tanpa Anak pun tidak bisa ada Trinitas. Sedangkan untuk Roh Kudus dalam sistem Kristosentris ini, ia adalah sambungan dari Kristus, sebab bukankah ia disebut “Roh Kristus” (Rm.8:9) atau “Roh Yesus Kristus” (Flp.1:19)? Kristus itu sama-sama kekal dan sama-sama setara dengan Bapa dalam setiap aspek, tetapi jika demikian halnya, tidak mudah menjelaskan mengapa ia disebut “Allah-Anak”, sebab seorang anak berasal dari bapanya. Atau apakah mungkin karena ia disebut “anak Allah” di bumi, jadi gelar “Anak” dikenakan kepadanya secara retroaktif ke dalam kekekalan karena tidak ada gelar lain yang tersedia? Bagaimanapun juga, bukankah Yesus sendiri yang berbicara tentang “Bapa, Anak, dan Roh Kudus” (Mat.28:19)? Oleh karena Yesus sama-sama kekal dan sama-sama setara dengan Bapa, secara logis ini berarti ketika kita memakai kata “Allah”, kata itu tidak selalu merujuk kepada Bapa. Jadi ketika kita Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 531 berbicara tentang “Allah”, atau membaca tentang Allah dalam PL, kata itu bisa saja merujuk kepada Yesus. Sejak saat gereja mendeklarasikan Yesus sebagai Allah, mereka dengan demikian telah menjadikan Bapa mubazir. Jika Yesus itu Allah sekaligus manusia maka dia jelas lebih berarti kepada kita daripada Dia yang “hanya” Allah, bukan manusia. Kita dapat berhubungan dengan Allah yang juga manusia jauh lebih baik dibandingkan dengan Allah yang hanya Allah saja, sebab kita merasa dapat beridentifikasi dengan dia oleh karena kemanusiaannya. Jadi Allah-manusia ini berhubungan dengan kita sebagai manusia, dan dia juga maha-mencukupi sebagai Allah, jadi apa gunanya Bapa yang tidak memiliki keuntungan sebagai manusia seperti Allahmanusia Yesus itu bagi orang Kristen trinitarian? Jadi untuk semua tujuan praktis kita bisa melupakan sang Bapa—seandainya trinitarianisme benar. Bagaimanapun juga, umat Kristen tidak tahu siapa sebenarnya Bapa itu, ataupun mempedulikannya karena Kristus adalah gambaran-Nya, dan gambaran itu lebih dari memadai untuk mereka. Lagipula, bukankah kemahacukupan Kristus untuk segala sesuatu dalam kehidupan Kristen dan untuk keselamatan tersimpul dalam kata-kata “Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu” di Kolose 3:11? Namun, secara eksegetis, jawaban kepada pertanyaan di atas tegas-tegas adalah: “Tidak, ayat ini tidak mendukung sistem doktrin Kristus-yang-maha-mencukupi ini.” Lihatlah Kolose 3:11 secara keseluruhan, “dalam hal ini (di dalam manusia baru itu, ay.10) tidak ada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.” Ayat ini berbicara secara khusus mengenai hubungan, terutamanya hubungan antara orang Yahudi dan bukan Yahudi, di dalam jemaat. Dalam “manusia baru” itu, yang adalah jemaat dengan Kristus 532 The Only True God sebagai kepalanya, tidak ada perbedaan etnis, budaya, atau sosial apa pun, karena di sini Kristus adalah segala sesuatu yang penting untuk setiap orang. Di dalam konteks manusia baru itu Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. Efesus 2:15 membicarakan isu yang sama (juga Kis.15:5dyb.) dengan menggunakan kata-kata, “untuk menciptakan keduanya (Yahudi dan bukan Yahudi) menjadi satu manusia baru di dalam dirinya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera”. Kristuslah yang paling penting dalam konteks semua relasi di dalam jemaat. Hal yang sama ini ditegaskan lagi di Galatia 3:28, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Semua ini menerangkan dengan jelas bahwa “Kristus adalah semua” merupakan sebuah pernyataan yang dibuat di dalam konteks hubungan (relasi) di dalam jemaat, terutamanya antara orang Yahudi dan bukan Yahudi, dan karena itu akan diterapkan secara salah jika dijadikan prinsip universal atau kosmis. Pada akhirnya, Yahweh Allah saja yang akan menjadi “semua di dalam semua” (1Kor.15:28). Alasan lain atas kegagalan dalam memahami ayat-ayat seperti Kolose 3:11 secara tepat adalah bahwa umat bukan Yahudi, yang umumnya tidak mempunyai dasar kuat dalam PL, biasanya tidak terlalu menghargai signifikansi dari Mesias dalam Kitab Suci. Dan walaupun “Kristus”, seperti “Mesias”, berarti “yang diurapi”, signifikansinya pun telah menguap. Tak ada orang Yahudi yang akan menganggap Mesias sebagai Allah, tetapi orang bukan Yahudi tanpa ragu-ragu siap memberitakan “Yesus Kristus adalah Allah”. Berikut ini adalah Kolose 3:11 menurut Peshita Syriak kuno (Murdock), “tiada orang Yunani atau orang Yahudi, tiada orang bersunat atau orang tak bersunat, tiada orang Yunani atau orang barbar, tiada budak atau orang merdeka; tetapi Mesias adalah semua, dan di dalam semua.” Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 533 Hilangnya akar-akar Yahudi berarti hilangnya monoteisme murni, mengakibatkan kerusakan trinitaris terhadap konsep Allah A pa artinya kata “Allah” dalam trinitarianisme? Kata itu bisa merujuk kepada Bapa, atau Anak, atau Roh, atau kombinasi dari mereka (mis. Bapa dan Anak), atau ketiga pribadi sekaligus. Namun Allah trinitarianisme bukanlah suatu pribadi; ia malah bukan “pribadi” dalam arti umum karena “ia” adalah “zat” yang mengandung ketiga pribadi itu. Untuk berbicara tentang sebuah zat dengan pronomina Inggris “he” sebenarnya bertentangan dengan bahasa dan logika, sebab zat adalah sebuah “it”. Jadi trinitarianisme telah mengurangi “Allah” menjadi sebuah “it”. Lagipula, oleh karena Allah terdiri dari tiga pribadi, “he” (atau “it”) seharusnya disebut sebagai “they” (“mereka”), cara berbicara yang benar untuk merujuk kepada lebih dari satu pribadi dalam bahasa apa pun. Trinitarianisme telah begitu merusak makna kata “Allah” sampai-sampai ketika seorang trinitarian berbicara tentang Allah kita tidak tahu siapa sebenarnya yang sedang dibicarakan olehnya (yaitu, yang mana satu dari ketiga pribadi itu); tetapi dalam kebanyakan contoh kemungkinan besar ia sedang berbicara tentang Kristus. Tidak jarang juga orang Kristen berdoa kepada Yesus dan kemudian mengakhiri doa mereka “dalam nama Yesus”! Konsep “Allah” yang kabur ini, yang ditengarai berasal dari PB, sama sekali bertolak-belakang dengan Allah yang dinyatakan dalam Alkitab, yang menyatakan Nama-Nya sebagai “Yahweh”. Dalam PL sama sekali tidak ada yang bisa dengan pantas disebut “bukti” bahwa ada “tiga pribadi dalam ke-Allahan”. Jika umat Kristen ingin diselamatkan dari kabut doktrinal mereka, mereka harus melihat bahwa Allah mereka bukanlah Yahweh. Dan jika mereka ingin menyamakan Yahweh dengan “Bapa” dari trinitarianisme, maka mereka harus menyadari bahwa Yahweh tidak mempunyai “Anak” 534 The Only True God yang setara, dan bahwa Roh-Nya bukanlah pribadi yang berbeda dan terpisah dari-Nya. Tentu saja kita dapat memanggil Dia “Bapa”, tetapi bukan dalam arti trinitaris dari kata itu. Sayangnya, trinitarianisme bahkan telah merusak kata “Bapa” sehingga kita harus mendefinisikan dalam arti apa kata tersebut dikenakan kepada Allah. Dan hal yang sama juga benar berkenaan dengan “Anak”, sebuah istilah dalam Kitab Suci yang diterapkan kepada Mesias (artinya “yang diurapi” Allah) di Mazmur 2:2, yang disebut Yahweh sebagai (ay.7): “Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.” “Hari ini” menandakan sebuah kejadian dalam sejarah, bukan kekekalan (“lahir secara kekal”), dan kejadian ini disinggung di ayat sebelumnya, “Akulah yang telah melantik raja-Ku di Sion, gunungKu yang kudus!” Yahweh melantik raja mesianik-Nya untuk berkuasa atas semua bangsa di dunia ini, bahkan sampai ke “ujung bumi” (ay.8dyb.). Inilah dasar pernyataan Yesus di Matius 28:19. Jadi istilah “Anak” itu menggambarkan sang Mesias, dan bukan “Anak yang kekal”. Jemaat perlu kembali kepada Yahweh dan mengakhiri semua penyimpangan terhadap konsep Allah. Hanya dengan demikian kita dapat diselamatkan dari kejahatan pemalsuan dan kembali kepada kebenaran yang hanya bisa ditemukan dalam Yahweh. “Aku, Yahweh, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus” (Yes.45:19). “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya Yahweh, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu” (Mzm.86:11). Karena kata “Allah” dan “Bapa” telah dirusak oleh trinitarianisme, kedua istilah itu perlu didefinisikan ulang bila maksudnya adalah untuk merujuk kepada “satu-satunya Allah yang benar” (Yoh.17:3). Trinitarianisme bahkan telah merampas dari kita kosakata yang digunakan untuk merujuk kepada satu-satunya Allah! Monoteisme Alkitabiah tidak dapat diungkapkan dengan Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 535 terminologi trinitaris. Lantas, bagaimana caranya kita merujuk kepada-Nya sekarang? Apakah ada cara lain yang lebih baik selain kembali memanggil Nama-Nya sebagai “Yahweh”? Ini mungkin akan menyinggung perasaan sebagian orang Yahudi yang telah membuat pelafalan Nama Kudus-Nya sebuah tabu menurut tradisi mereka—terlepas dari kenyataan bahwa Kitab Suci mereka memerintahkan mereka untuk berseru kepada Nama-Nya, dan juga untuk “bersumpah demi Nama-Nya” (Ul.6:13). Oleh karena itu, ketika berhubungan dengan orang Yahudi kita bisa memakai metonim “Adonai” yang lebih disukai mereka saat merujuk kepada Yahweh; bagaimanapun juga, bagi orang Yahudi religius pada umumnya, kata “Allah” merujuk kepada Yahweh saat berbicara tentang Alkitab. Orang seharusnya diberikan kebebasan untuk mengucapkan “Yahweh” atau “Adonai”. Sebenarnya tidak ada alasan mengapa kita perlu menaati larangan buatan manusia untuk mengucapkan Nama “Yahweh”. Larangan itu perlu ditolak karena tidak Alkitabiah sebagaimana jelas terlihat dari fakta gamblang bahwa Alkitab sendiri menyukai Nama itu— semuanya sekitar 7000 rujukan! Sungguh tidak masuk di akal untuk memperdebatkan bila Nama itu tidak boleh digunakan karena takut disalahgunakan, padahal Kitab Suci begitu sering memakainya sampai-sampai “Yahweh” muncul beberapa kali di hampir setiap halaman. Seandainya ada orang yang mengemukakan argumen bahwa kita tidak boleh memakai uang, atau mobil, atau apa saja karena takut disalahgunakan, kita pasti akan menganggap argumen seperti itu cukup konyol. Demikian pula, saya ragu jika ada orang di Inggris akan menganggap usulan mengucapkan nama “Elizabeth” harus dilarang karena takut menghina Ratu yang mulia itu suatu hal yang masuk akal. Sebaliknya, bukankah kita senang mengucapkan nama orang yang kita cintai—seperti seorang ayah yang merasa bangga senang berbicara tentang putra atau putrinya? Bagi saya, ini tampak- 536 The Only True God nya salah satu alasan mengapa Nama Yahweh begitu sering muncul dalam Kitab Suci—umat-Nya senang mengucapkan Nama-Nya. Mencapai akar persoalan: “Pohon zaitun mereka”—dan pohon zaitun kita N amun perkara ini sebenarnya jauh lebih mendalam. Yesus meringkaskannya secara singkat dengan kata-kata berikut, “keselamatan datang dari bangsa Yahudi” (Yoh.4:22). Ini bukan sebuah pernyataan termotivasi etnis, tetapi sebuah pernyataan tentang realitas rohaniah, seperti dikatakan Yesus, “Perkataanperkataan yang kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup” (Yoh.6:63). Memahami perkataannya di tingkat daging berarti menyalahpahaminya. Dalam Injil Yohanes, Yesus bersikap sangat keras terhadap orang Yahudi oleh karena ketidakpercayaan mereka (sikap keras yang juga diungkapkan oleh nabi-nabi besar PL); karena itu sebagian sarjana menduga adanya sikap anti-Semitisme dalam Injil Yohanes. Namun pernyataan singkat tapi jelas bahwa “keselamatan datang dari bangsa Yahudi” (Yoh.4:22) secara efektif menghancurkan tuduhan tanpa bukti seperti itu. Tujuan dari pernyataan tersebut adalah untuk menarik perhatian kita pada “sejarah keselamatan” yang dilukiskan dalam Perjanjian Lama. Lagipula, umat Yahudi bukanlah saluran keselamatan yang dispensabel dalam arti sekali kita telah menerima keselamatan melalui umat Yahudi, maka kita tidak memerlukan mereka lagi. “Keselamatan” dan “orang Yahudi” itu saling terkait sedemikian rupa sehingga untuk terputus dari “pohon” Yahudi itu sama artinya dengan terputus dari keselamatan. Mari kita pertimbangkan perkara ini dengan seksama dari Kitab Suci. Di Roma 11 Paulus melukiskan umat Allah sebagai pohon zaitun yang akarnya meregang dalam antikuitas Alkitabiah sampai ke Abraham dan sebelumnya; orang-orang saleh ini bersama-sama Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 537 membentuk suatu akar kudus (Rm.11:16), yang berakar di dalam sebuah hubungan yang erat dengan Yahweh. Orang Yahudi adalah cabang-cabang dari pohon zaitun ini, tetapi oleh karena ketidakpercayaan mereka, sebagian dari mereka dipatahkan oleh Allah (Rm.11:17); tetapi orang-orang percaya Yahudi, termasuk Paulus, dan para anggota Jemaat Yahudi awal, tetap menjadi bagian dari pohon itu. Pematahan “cabang-cabang” yang tidak percaya, sekalipun banyak, bukan berarti Allah telah menolak Israel sebagai umat-Nya. Berdasarkan kenyataan inilah Paulus mengawali bagian ini dari suratnya: “Karena itu, aku bertanya: Mungkinkah Allah telah membuang umat-Nya? Sekali-kali tidak! Karena aku sendiri pun orang Israel, dari keturunan Abraham, dari suku Benyamin. Allah tidak membuang umat yang telah Ia pilih sejak dulu.” (Rm.11:1,2). Dalam hikmat dan belas kasihan Allah, pematahan cabang-cabang yang tidak percaya membuka peluang sehingga bangsa-bangsa lain yang percaya bisa dicangkokkan pada pohon zaitun itu; pohon zaitun ini mewakili umat yang telah dipilih Allah, juga disebut “orang-orang yang terpilih” (Rm.11:5,7). Dengan cara ini “karena pelanggaran mereka, keselamatan telah sampai kepada bangsabangsa lain” (Rm.11:11). Namun keselamatan bagi bangsa-bangsa lain ini disertai dengan sebuah peringatan keras: Karena itu, apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan sebagai gantinya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah, 18 janganlah bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah bahwa bukan engkau yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang engkau (Rm 11). 17 538 The Only True God Keselamatan dilukiskan sebagai dicangkokkan pada “pohon zaitun” itu dan menghisap kehidupan serta nutrisi rohaniah dari akarnya. Sebuah cabang dapat bertahan hidup hanya jika cabang itu tercangkok dengan kokoh pada pohon tersebut; tidak ada cabang yang dapat bertahan bila terpotong dari pohonnya. Tetap berada dalam pohon berarti hidup; terpotong dari pohon berarti mati. Yesus, “sang penyelamat” atau “sang penebus”, merupakan bagian penting dari pohon itu (bdk. Rm.11:26; Yes.59:20, dst.); oleh karenanya, disatukan dengan Kristus melalui iman adalah cara lain untuk menjelaskan bagaimana seseorang dicangkokkan pada pohon tersebut. Itulah sebabnya di Yohanes 15:1dyb. Yesus juga berbicara perihal pokok anggur dan cabang-cabangnya. Pencangkokan adalah sebuah prosedur biasa dalam perawatan pohon anggur; Yahwehlah yang mencangkokkan atau mematahkan, karena Ia adalah “pengusahanya”: Sebagaimana dikatakan Yesus, “Akulah pokok anggur yang benar dan Bapakulah pengusahanya” (Yoh.15:1). Ia juga memperingatkan bahwa cabang-cabang yang tidak berbuah bisa dipotong dan dibuang, “siapa saja yang tidak tinggal di dalam aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yoh.15:6); tetapi “siapa saja yang tinggal di dalam aku dan aku di dalam dia, ia berbuah banyak” (ay.5). Semua ini berarti dipotong dari “pohon zaitun” Israel (atau “pokok anggur”, bdk. Yes.5:1-7) berarti dipotong dari keselamatan, entah ia itu seorang Yahudi atau bukan Yahudi, yang Paulus peringatkan dapat terjadi, dan telah terjadi kepada orang-orang Yahudi yang tidak percaya (Rm 11:22). Berikut ini adalah seluruh nas tersebut: Mungkin kamu akan berkata: Ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan sebagai tunas. 20 Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, 19 Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 539 dan kamu tegak dalam iman. Janganlah sombong, tetapi takutlah! 21 Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabangcabang yang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan engkau. 22 Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga tindakanNya yang keras, yaitu tindakan yang keras atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi kemurahan-Nya atas kamu asalkan engkau tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamu pun akan dipotong juga. Kendati pernyataan-pernyataan gamblang ini, tidak sedikit orang Kristen, terutama di kalangan Protestan tertentu, yang bersikeras bahwa mereka tidak dapat dipotong dari keselamatan dalam keadaan apapun! Bagaimana orang bisa menjadi begitu buta dalam terang bahasa Kitab Suci yang demikian jelas? Di sisi lain, orang Yahudi yang rela kembali kepada Allah mereka akan dicangkokkan kembali pada pohon zaitun itu: Tetapi mereka pun akan dicangkokkan, jika mereka tidak tetap dalam ketidakpercayaan mereka, sebab Allah berkuasa untuk mencangkokkan mereka kembali. 24 Sebab jika engkau sebagai cabang pohon zaitun liar, telah dipotong, dan bertentangan dengan keadaanmu itu kamu telah dicangkokkan pada pohon zaitun sejati, terlebih lagi mereka ini, sebagai cabang-cabang yang asli, mereka akan dicangkokkan pada pohon zaitun mereka sendiri. 23 Perhatikan kata-kata terakhir ini, “pohon zaitun mereka”, sebab pohon itu pertama-tama adalah milik mereka oleh anugerah Allah, meskipun ia juga menjadi milik bangsa-bangsa lain oleh anugerah Allah, setelah dicangkokkan padanya melalui iman; karena melalui imanlah kita menjadi anggota “Israel milik Allah” (Gal.6:16). Setelah kita dicangkokkan pada pohon zaitun itu melalui iman, maka “pohon zaitun mereka” juga menjadi pohon zaitun kita. 540 The Only True God Galatia 3 7 Jadi, kamu lihat bahwa mereka yang hidup berdasarkan iman, mereka itulah anak-anak Abraham. Lagipula, jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan ahli waris menurut janji Allah. 29 Roma 2 28 Sebab orang Yahudi sejati bukanlah orang yang lahiriah Yahudi dan sunat sejati bukanlah sunat yang dilakukan secara lahiriah. 29 Tetapi orang Yahudi sejati ialah orang yang tidak tampak keyahudiannya dan sunat sejati ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah. Pujian bagi orang seperti itu datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah. Roma 4 12 Dan (Abraham) juga menjadi bapak orang-orang bersunat, yaitu mereka yang bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapak leluhur kita, pada masa ia belum disunat. Roma 9 6 Akan tetapi, firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, 7 dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: ‘Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu.’ 8 Artinya: bukan anakanak secara jasmani yang adalah anak-anak Allah, tetapi anakanak perjanjian yang disebut keturunan yang benar. Filipi 3 3 Sebab kitalah orang-orang bersunat yang beribadah oleh Roh Allah dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak mengandalkan hal-hal lahiriah. Dapatkah kita menangkap apa yang dikatakan sang Rasul dalam semua nas ini? Bukankah ia sedang mengumumkan bahwa melalui imanlah seseorang menjadi keturunan Abraham, dan menjadi “ahli Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 541 waris menurut janji Allah” (Gal.3:29)? Melalui imanlah, bukan melalui keturunan lahiriah, orang menjadi anak Allah. Menjadi seorang Yahudi bukan perkara ras atau agama tetapi perkara “di dalam hati” (Rm.2:29), maka menjadi seorang Israel bukan perkara keturunan lahiriah dari Israel; menjadi Israel adalah perkara menjadi “anak-anak perjanjian” (Rm.9:8) melalui iman. Jadi ia berkata kepada orang-orang Filipi, yang sebagian dari mereka adalah orangorang bukan Yahudi, “kitalah orang-orang bersunat”. “Sunat” adalah kata lain yang digunakan untuk melukiskan orang Yahudi (Ef.2:11; Kol.4:11; Rm.3:30; 4:9, dst.), jadi Paulus berkata kepada jemaat Filipi, “kamu dan aku, kitalah orang Yahudi yang sebenarnya”. Intinya, orang percaya sejati (bukan sembarang orang Kristen) adalah seorang Yahudi sejati di hadapan Allah, seorang Yahudi rohaniah yang pujiannya datang dari Allah, bukan dari manusia (Rm.2:29). Menjadi seorang percaya artinya menjadi seorang Israel sejati, seorang Yahudi yang sebenarnya! Tidak heran bila Paulus mengumumkan bahwa di dalam Kristus “tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani” (Gal.3:28; Kol.3:11)—yang ada hanya umat Israel yang sebenarnya, keturunan Abraham yang sejati (Gal.3:29), ahli-ahli waris janji-janji Allah, umat Allah yang terpilih, umat Yahudi rohaniah! Dalam jemaat Allah hanya ada umat Israel yang rohaniah, semuanya disunat dalam hati (Rm.2:28,29; Flp.3:3) meskipun tidak semua disunat dalam daging. James Dunn, dalam karya tafsirnya yang besar atas teks Yunani dari surat Roma, menyampaikan hal ini dalam bahasa teologis ketika ia menulis, “Umat Kristen non-Yahudi bersukacita dalam karunia Roh eskatologis—seorang Yahudi eskatologis adalah seorang non-Yahudi sekaligus Yahudi!” (Roma, Word Biblical Commentary, Word Publishing, 1991, hlm.125, re. Rm.2:28,29). Rasul Petrus menulis untuk menguatkan umat beriman yang dianiaya dengan mengingatkan mereka bahwa “kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah 542 The Only True God sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1Ptr.2:9). Dalam ayat ini istilahistilah yang diterapkan kepada bangsa Israel dalam PL kini diterapkan kepada jemaat (yang sebagian besarnya masih terdiri dari orang Yahudi ketika surat 1Petrus ditulis); hal yang ditulis Petrus menggemakan nas seperti Ulangan 7:6, “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi Yahweh, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh Yahweh, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya” (bdk. Mal.3:17, dst.). Seharusnya jelas sekarang saat berbicara tentang “akar-akar Yahudi” kita bukan berbicara tentang Yudaisme dalam beragam bentuk tetapi khususnya tentang Kitab Suci yang oleh orang Yahudi dijaga dengan tekun, dilestarikan, dan diwariskan dengan hati-hati selama berabad-abad. Komitmen mereka yang teguh kepada firman Allah dan monoteisme merupakan sesuatu yang seharusnya mempermalukan jemaat Kristen. Akar Yahudi tersebut adalah warisan rohaniah yang kaya yang tersedia untuk kita, melalui Kitabkitab Suci Yahudi. Hendaknya diingat bahwa Islam pun tumbuh dari akar Yahudi yang sama ini, yang terlihat di mana-mana dalam Al-Qur’an. AlQur’an dengan bebas mengakui Kitab-kitab Suci Yahudi dan juga Injil sebagai firman Allah. Umat Muslim pun mengakui diri mereka sebagai keturunan Abraham. Dalam hikmat dan kemurahan Yahweh Ia telah memilih untuk menyediakan hidup melalui akar Yahudi. Kita harus mengingat bahwa tidak ada cabang yang dapat bertahan hidup jika terputus dari pohon itu. Dan jika sekarang kita menyadari, bahkan jika kita tidak pernah menyadarinya sebelumnya, bahwa kitalah orang Israel sejati, orang Yahudi yang sebenarnya, lalu mengapa kita ingin terputus dari pohon zaitun yang padanya kita telah dicangkokkan oleh Allah? Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 543 Orang non-Yahudi menjadi orang Yahudi melalui perpindahan agama merupakan sesuatu yang dikenal baik oleh orang Yahudi; seseorang menjadi orang Yahudi ketika dia masuk Yudaisme. Hal ini tercapai melalui upaya misionaris Yudaisme yang kuat. Yesus menyebut semangat misionaris kaum Farisi yang “mengarungi lautan dan menjelajah daratan, untuk membuat satu orang saja menjadi penganut agamamu” (Mat.23:15). Siapa saja yang berkunjung ke tanah Israel bahkan hari ini pun akan melihat orang Yahudi berkulit hitam (mis. dari Yemen) dan juga orang Yahudi berkulit putih, di tengah-tengah warga sipil dan juga tentara. Bagi umat Yahudi, menjadi orang Yahudi bukan secara eksklusif atau bahkan terutamanya soal ras, tetapi soal agama. Konsep Perjanjian Baru berbeda dari konsep mereka bukan dalam hal apakah orang bukan Yahudi bisa menjadi orang Yahudi, tetapi dalam hal bagaimana perpindahan itu terjadi. Paulus memberitakan bahwa hal ini terjadi melalui iman di dalam Kristus. Hal ini dinyatakan dengan jelas di Efesus 2: Karena itu ingatlah bahwa dahulu kamu adalah orang-orang bukan Yahudi secara jasmani, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya “sunat”, yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia. 12 Pada waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan (atau, kesemakmuran, keanggotaan) Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia. 13 Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu “jauh”, sudah menjadi “dekat” oleh darah Kristus. 11 Di dalam Kristus kita bukan lagi orang yang “tidak termasuk kewargaan Israel” (BDAG, politeias, re. Ef.2:12), tetapi kini kita adalah anggota umat Allah yang terpilih. “‘Israel milik Allah’ masih tetap umat perjanjian Allah… ke dalamnya bangsa-bangsa lain yang 544 The Only True God percaya tergabung” (Dunn, Roma, hlm.540, re. Rm.9:6). Konsekuensi dari penggabungan ke dalam Israel ini adalah bahwa bangsa-bangsa lain, yang kini menjadi anggota dari “sunat yang sejati” (Flp.3:3; BIS), tidak lagi menjadi “orang asing di dalam perjanjian yang dijanjikan itu” (Ef.2:12; ITL), tetapi menjadi “orang bukan Yahudi yang memasuki berkat-berkat yang dijanjikan kepada Israel” (Dunn, Roma, hlm.534, re. Rm.9:4). Segala sesuatu yang dijanjikan Allah kepada Israel menjadi milik kita di dalam Kristus (2Kor.1:20). Jadi Paulus bisa mengatakan bahwa di dalam Kristus “semuanya milikmu” (1Kor.3:21), demikianlah kekayaan warisan kita yang tak terbayangkan: “Tetapi seperti ada tertulis: ‘Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia’ {Yes.64:4}” (1Kor.2:9); jadi ada banyak alasan untuk “mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam terang” (Kol.1:12). Namun dewasa ini sedikit sekali orang Kristen yang menyadari bahwa orang percaya yang sejati itu adalah “sunat yang sejati”, yaitu orang Israel sejati. Ini menunjukkan betapa terputusnya jemaat Kristen dari akar-akar Yahudinya dan dari ajaran Perjanjian Baru dalam perkara vital ini. Kita harus ingat: tidak ada cabang yang sanggup bertahan hidup sekali terputus dari pohon dan akarakarnya—tentu saja, di sini kita berbicara tentang kehidupan rohaniah. Tidak mengherankan bila jemaat bukan Yahudi, setelah terpisah dari akar-akar Yahudinya, tersesat ke dalam kekeliruan doktrinal yang serius. Kekeliruan membawa kematian; sudah waktunya untuk kita menyadari hal ini dan mencamkan firman Allah, “Berbaliklah kepada Yahweh, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya” (Yl.2:13). Yahweh, Allah Israel, Bab 6 — Akar Yahudi Kekristenan 545 bukan saja adalah Allah umat Yahudi tetapi juga adalah Allah semua orang yang termasuk ke dalam “Israel milik Allah” (Gal.6:16), yaitu Israel yang rohaniah. Sayangnya, kebanyakan orang Kristen hampir tidak mengenal Nama-Nya, tetapi seorang Israel sejati akan bertekad untuk mengasihi Dia dengan segenap hati (Mrk.12:30, dst.) dan belajar untuk menghormati nama-Nya, sebab nama itu nama yang “ajaib” (bdk. Hak.13:18; Yes.28:29, dst.). Indeks Ayat Kej 1 355, 373, 398, 454, 473, 475 Kej 1:5 78 Kej 1:26 295, 296, 297 Kej 1:26,27 289, 292, 305, 311, 315 Kej 1:26,27; 9:6 291, 293 Kej 1:26,28 255 Kej 1:27 289, 335, 473 Kej 1:28 330, 474 Kej 1:29 474 Kej 2:3-25 454 Kej 2:7 285, 288, 289, 347, 474 Kej 2:8 55, 289, 476, 481 Kej 2:16 478 Kej 2:18 371, 478 Kej 2:19,21,22 289 Kej 2:24 78, 218 Kej 3:1 373 Kej 3:5 313, 330, 335, 338 Kej 3:5,6 317 Kej 3:7,21 55 Kej 3:8 55, 478, 482 Kej 3:10 480 Kej 3:15 Kej 3:21 Kej 4:6,9-10 Kej 4:15 Kej 5:3 Kej 7:16 Kej 9:6 Kej 13:16 Kej 16:7-11 Kej 17:1 Kej 18 Kej 18:1 Kej 22:8 Kej 22:11 Kej 27:38; 40:5 Kej 28:3 Kej 28:16 Kej 30:50 Kej 32:24-30 Kej 32:30 Kej 41:42 Kej 45:26 Kel 3 255 486 483 484 291 489 294, 297 510 510 443 491 465 225 510 79 443 473 373 511 466 287 287 461, 508 Indeks Ayat Kel 3:5 Kel 3:7 Kel 3:12 Kel 3:14 Kel 3:16 Kel 4:2,23 Kel 4:16 Kel 4:22 Kel 4:22,23 Kel 4:31 Kel 6:2,4,7 Kel 7:1 Kel 8:10 Kel 9:14 Kel 10:19 Kel 12:49 Kel 14:28 Kel 15:1-18 Kel 15:2 Kel 15:3 Kel 15:13 Kel 16:10 Kel 20:1 Kel 20:3 Kel 20:4 Kel 20:7 Kel 22:20 Kel 23:21 Kel 24:10-11 Kel 25:36 Kel 32:10 Kel 32:26 Kel 33:11 Kel 33:20 Kel 34:6 Kel 34:7 Kel 34:14 Kel 36:18 Im 9:23 Im 24:11 512 509 459 38, 65, 128, 139, 145, 442, 458, 459, 460, 461, 462, 463, 508, 509 137 112 446 120 109 138 459 445 84 84 79 73 79 434 451 470 515 327 88 88, 171 341 454 190 447, 513 467, 497 79 197 172 492 390 461, 462 461 189 78 327 454, 459 Bil 6:14 Bil 6:25 Bil 15:16 Bil 21:7-9 Bil 21:8 Bil 22 Bil 33:52 Ul 4:15-19 Ul 4:16-18 Ul 4:24; 9:3 Ul 4:35 Ul 4:39 Ul 5 Ul 5:7 Ul 5:9 Ul 6:4 Ul 6:4,5 Ul 6:5 Ul 6:13 Ul 7:6 Ul 7:7 Ul 7:9 Ul 10:14 Ul 10:17 Ul 13:6 Ul 14:1 Ul 14:1,2 Ul 19:15 Ul 26:18 Ul 28:58 Ul 30:20 Ul 32:12 Ul 33:12 Ul 33:27 Ul 34:6 Ul 34:7 Ul 34:10 Yos 5:13-15 Yos 23:10 Yos 24:15 547 201 408 73 245, 365 246 512 292 303 337 160 61, 83, 189 189 303 171 73, 76 20, 59, 60, 61, 72, 73, 75, 76, 77, 80, 81, 87, 229, 304, 525 21, 83 20, 73, 81, 82 106, 192, 194, 535 542 521 73, 459 73 151, 242, 525 73 109 227 79 227 454, 459 73 73 164 150 496 495 492, 498 511 79 453 548 Hak 13:2 Hak 13:18 Hak 13:22 Hak 20:8 Rut 1:16 1Sam 2:2 1Sam 6:5 1Sam 8:7 1Sam 15:29 1Sam 24:6,10 1Sam 26:20 2Sam 5:11 2Sam 7:14 2Sam 19:21 2Sam 23:1 1Raj 4:22 1Raj 5:1 1Raj 8:27 1Raj 8:60 1Raj 17:17 1Raj 18:21 2Raj 6:12 2Raj 11:18 2Raj 19:15 2Raj 19:19 2Raj 19:35 1Taw 4:23 1Taw 13:6 1Taw 21:16 1Taw 29:1 2Taw 6 2Taw 6:2 2Taw 13:20,21 2Taw 23:17 Ezr 7:12 Neh 9:6 Neh 9:27 Ayb 2:1 Ayb 4:16 Ayb 5:17 Ayb 7:17,18 Ayb 9:32 The Only True God 79 300, 545 300 80 155 84 337 237 387 330 79 332 120, 124 330 330 79 332 501 189 136 453 422 292 191, 526 191 512 289 526 512 79 418 419 503 292 241 191 230 120 311, 341 443 284 387 Ayb 35:10 Mzm 2 Mzm 2:2 Mzm 2:7 297 15, 25 534 116, 117, 119, 120, 124, 136, 223 Mzm 2:9; 110:1 116 Mzm 4:9 191 Mzm 8 252, 253, 255, 258, 273, 287 Mzm 8:4 256 Mzm 8:5 254, 335 Mzm 8:5; 144:3 284 Mzm 8:6 255, 283, 286 Mzm 16:10 530 Mzm 19:14 225 Mzm 22:1 153, 379 Mzm 24:8 407 Mzm 33:6 29, 296 Mzm 35:23,24 420 Mzm 36:9 214 Mzm 37:4 204 Mzm 40:8 204 Mzm 45:2 299 Mzm 45:6 429 Mzm 45:6,7 428 Mzm 45:7 299 Mzm 45:8 299, 446 Mzm 46:1 508 Mzm 46:8; 46:12 506 Mzm 50:1 301 Mzm 68:5 451 Mzm 72:18 191 Mzm 78:35,56 446 Mzm 82:1,6,7 429 Mzm 82:6 110, 446 Mzm 82:6,7 286, 299 Mzm 83:19 191 Mzm 86:11 534 Mzm 90:2 150, 399, 442 Mzm 91:13 255 Mzm 100:3; 149:2 297 Mzm 102:2 429 549 Indeks Ayat Mzm 102:16 Mzm 102:25-27 Mzm 102:26,27 Mzm 102:26-28 Mzm 103:19 Mzm 103:20 Mzm 107 Mzm 107:19,20 Mzm 110:1 Mzm 110:4 Mzm 119:115 Mzm 136:1-3 Mzm 136:2 Mzm 139:7-8 Mzm 139:14 Mzm 148:13 Ams 8 Ams 8:20 Ams 8:22-31 Ams 8:30 Ams 20:27 Pkh 3:21 Pkh 12:7 Kid 6:8 Yes 1:2 Yes 2:17 Yes 5:1-7 Yes 6 Yes 6:1 Yes 6:1,5 Yes 6:3 Yes 6:5 Yes 7:14 Yes 9:5 Yes 9:6 Yes 11:6-9 Yes 14:13,14 Yes 26:4 Yes 28:29 Yes 29 327 150 442 429 444 372 249, 250 15 183, 184, 255, 258, 259, 260 389 185 242 151 482 477 191 359 296 398 29, 297, 398 62, 161 62, 161 286 73, 76 109, 112 192 538 363, 390, 443 444 392 295 417 499, 506, 507 33, 169, 237, 298, 300, 301, 455, 499, 530 298 301 320 459 300, 545 249 Yes 29:16; 41:25 Yes 33:14 Yes 34:16 Yes 35:2 Yes 35:8 Yes 37:16 Yes 37:20 Yes 40 Yes 40:1-5 Yes 40:3 Yes 40:3-5 Yes 40:5 Yes 40:6 Yes 40:11 Yes 40:18 Yes 40:25 Yes 41:4 Yes 43 Yes 43:1 Yes 43:10 Yes 43:10,11 Yes 44:6 Yes 44:13 Yes 44:13-17 Yes 44:24 Yes 45 Yes 45:3,9 Yes 45:14 Yes 45:15 Yes 45:18 Yes 45:19 Yes 45:21 Yes 45:21,22 Yes 45:22 Yes 45:22,23 Yes 45:23 Yes 46:5,9 Yes 48:11 Yes 49:26 Yes 55:8 Yes 55:10,11 Yes 58:14 289 160 79 420 268 191, 526 191 65 32 499 505, 507 499, 506 161 140 304 84, 304 438 225 227 439 139 243, 245, 438, 446 292, 312 312 192, 358, 360 101 102 84, 102 102, 471 84, 190 534 84, 231 61, 190 345 344, 387 102, 309, 343 84 309 225 395 430 204 550 The Only True God Yes 59:2 379 Yes 59:20 538 Yes 64:4 406, 544 Yes 64:4,5 283 Yes 64:6 282 Yes 64:8 109, 297 Yes 65:16 53 Yes 66:1 502 Yer 18:4 289 Yer 31:3 462, 516 Yer 31:9 109, 112 Rat 3:40 63 Rat 4:2 289 Rat 4:20 330 Rat 5:19 444 Yeh 1 363 Yeh 1:26 444 Yeh 1:26,28 498 Yeh 1:28 445 Yeh 1:28; 3:23; 8:4 327 Yeh 7:20 292 Yeh 16:17 293, 302 Yeh 26:7 241 Yeh 28 331 Yeh 28:12 333 Yeh 37:15-22 78 Dan 2:37 241 Dan 2:47; 11:36 151 Dan 7:13 114, 257, 258, 260, 436 Dan 7:13,14 259 Dan 7:14 258, 259, 299 Dan 10:4,6 437 Dan 10:5,6 436 Dan 10:8,9 438 Hos 1:9 459 Hos 11:1 112 Hos 11:9 387 Yl 2:13 544 Yl 2:31 388 Yl 2:31,32 529 Yl 2:32 454 Am 5:26 292 Ob 1:21 Mi 7:18 Hab 3 Zef 3:15 Za 1:3 Za 1:12 Za 11:13 Za 12:1 Za 14:9 Mal 1:6 Mal 3:1 Mal 3:6 Mal 3:17 Mat 1 Mat 1:21 Mat 2:15 Mat 3:1-3 Mat 3:11 Mat 3:17; 17:5 Mat 4 Mat 4:3,6 Mat 4:10 Mat 5 Mat 5:9 Mat 5:10-12 Mat 5:14 Mat 5:22 Mat 5:34,35 Mat 5:34-37 Mat 5:35 Mat 5:37 Mat 5:48 Mat 6:9 Mat 6:9-13 Mat 6:12,13 Mat 6:28,29 Mat 7 Mat 7:9,10 Mat 7:21,22 Mat 7:21-23 Mat 7:22,23 Mat 7:23 230 494 411 446 443 508 289 62, 161 73 109 500 442 542 506 25, 33, 343 112 506 95 227, 311 216, 273, 313 98 106, 192, 306, 415 129, 233 98 395 216, 327, 438 221 444, 502 221 219 217, 221 203 95, 127 155, 502 361 370 234 502 20 179 83 62, 185 Indeks Ayat Mat 8 Mat 8:24-27 Mat 8:29 Mat 10:29 Mat 10:29-31 Mat 10:38 Mat 11:9-11 Mat 11:19 Mat 11:27 Mat 11:28 Mat 12:48,49 Mat 13:15,16 Mat 13:46 Mat 14:33 Mat 16 Mat 16:16 Mat 16:17 Mat 16:27 Mat 18:20 Mat 19:5 Mat 19:21 Mat 19:30 Mat 20:25 Mat 20:28 Mat 21:9; 23:39 Mat 21:25 Mat 21:42 Mat 22:20 Mat 22:29 Mat 22:37 Mat 22:40 Mat 23 Mat 23:9 Mat 23:11 Mat 23:15 Mat 23:34,35 Mat 24:3 Mat 24:14 Mat 24:24 Mat 24:30 Mat 25:31-46 Mat 25:34 250 249 98 476 501 155 500 323, 484 256 155 154 249 274 99 329 121, 122, 123, 124 431 266 408 218 155 373 238 226, 240, 313, 431 95 347 30 302 228 82, 448 82 194 170, 500 331 543 173 42 43, 44, 45 42, 169, 306 257, 258 171, 240 400, 402 Mat 25:36,43 Mat 26:52 Mat 26:59,60 Mat 26:61 Mat 26:63 Mat 26:64 Mat 26:65,66 Mat 27 Mat 27:46 Mat 27:54 Mat 28:18 Mat 28:18-20 Mat 28:19 Mat 28:19-20 Mrk 1:1 Mrk 1:2-5 Mrk 1:11 Mrk 2:27 Mrk 3:34,35 Mrk 5:41 Mrk 8:29 Mrk 8:34 Mrk 8:38 Mrk 10:18 Mrk 10:42-44 Mrk 10:45 Mrk 11:30 Mrk 12:10 Mrk 12:28 Mrk 12:28-30 Mrk 12:29 Mrk 12:29,30 Mrk 12:29-31 Mrk 12:30 Mrk 12:32 Mrk 13:26 Mrk 14:36 Mrk 14:58 Mrk 14:64 Mrk 15:34 551 137 294 113 417 124 258, 260 112 118 153, 185, 379 99 146, 241, 256 43, 372 88, 89, 90, 91, 92, 95, 96, 97, 98, 99, 530, 534 89 119 506 385 368 154 28 121 155 266 172 238 238, 240, 313, 431 347 30 85 61 20, 59, 69, 72, 83, 85, 138, 229 171 21, 195 82, 448, 545 83 259, 260 156, 448 417 112 153, 379 552 Mrk 16:12 Luk 1:31 Luk 1:35 Luk 2:9 Luk 2:29 Luk 3:2-6 Luk 3:38 Luk 4 Luk 4:8 Luk 4:16 Luk 4:41 Luk 6:46 Luk 7:11-17 Luk 7:12; 9:38 Luk 7:15 Luk 7:26-28 Luk 7:34 Luk 7:35; 11:49 Luk 8:21 Luk 8:42 Luk 9:20 Luk 9:35 Luk 10:6 Luk 10:22 Luk 10:27 Luk 11:4 Luk 12:7 Luk 12:48 Luk 16:19-31 Luk 18:19 Luk 18:22 Luk 20:4 Luk 20:17 Luk 22:25 Luk 22:26 Luk 22:42 Luk 23:35 Luk 23:47 Yoh 1 Yoh 1:1 The Only True God 335, 337 33 384 408 270 506 120, 285, 292, 384 216, 273, 313 192, 193, 306, 415 453 119 20, 62, 82, 179, 239 136 384 136, 137 500 484 323 154 384 99, 121 447, 521 282 256 82, 448 361 501 170 527 172 155 347 170 238 331 342 447 99 167, 360, 397 14, 23, 24, 29, 48, 56, 65, 104, 218, 277, 325, 326, 385, 398, 524 Yoh 1:1,14 Yoh 1:1-18 Yoh 1:1; 20:28 Yoh 1:3 Yoh 1:10 Yoh 1:12 Yoh 1:14 4, 11 23 69, 519 352 471 120 24, 32, 37, 115, 133, 134, 161, 203, 250, 272, 277, 323, 380, 385, 387, 390, 391, 418 Yoh 1:14; 3:16,18 34, 204 Yoh 1:17 223 Yoh 1:18 163, 382, 385, 386 Yoh 1:18; 3:16 116 Yoh 1:23 506 Yoh 1:29 147 Yoh 1:29,36 225, 427 Yoh 1:34,49 117, 124 Yoh 2:19 277, 278, 417, 419, 471 Yoh 2:21 141, 387 Yoh 2:22 30, 141, 417 Yoh 3:14,15 245, 246, 366, 396 Yoh 3:16 410, 448, 462 Yoh 3:16,18 384 Yoh 3:17 471 Yoh 3:19 214 Yoh 3:34 205 Yoh 3:35; 13:3 256 Yoh 4 144 Yoh 4:10,14 494 Yoh 4:13,14 367 Yoh 4:14 26 Yoh 4:22 536 Yoh 4:24 63, 315, 327, 328, 503 Yoh 4:34 204, 211, 213 Yoh 4:42 26, 116, 146, 201, 314 Yoh 5 107 Yoh 5:19 138, 230, 251, 392 Yoh 5:19,30 344 Yoh 5:21 209 Yoh 5:22 388 Yoh 5:25 145 Indeks Ayat Yoh 5:26 Yoh 5:27 Yoh 5:30 145, 209 146 139, 146, 147, 211, 213, 252 Yoh 5:36 251 Yoh 5:41 234 Yoh 5:42 194 Yoh 5:43 92 Yoh 5:43; 10:25 97 Yoh 5:44 21, 138, 171, 193, 194, 218, 234, 296, 527 Yoh 5:44; 17:3 85 Yoh 6 103, 237, 366, 494 Yoh 6:14 235 Yoh 6:15 62, 235, 236, 239 Yoh 6:27 145, 147 Yoh 6:31 347 Yoh 6:37 503 Yoh 6:38 213 Yoh 6:39 211 Yoh 6:46 392 Yoh 6:51,58 494 Yoh 6:57 208, 209 Yoh 6:63 536 Yoh 7:16 205 Yoh 7:17 213 Yoh 7:18 234 Yoh 7:39 396 Yoh 8:12; 9:5 327, 438 Yoh 8:24 130, 135 Yoh 8:28 132, 139, 396 Yoh 8:29 95, 204, 311 Yoh 8:38 392 Yoh 8:42 210, 211 Yoh 8:50,54 235 Yoh 8:58 139, 140 Yoh 9 248 Yoh 9:9 129, 135 Yoh 10 109, 111 Yoh 10:7,9 135 Yoh 10:11,14 140 Yoh 10:15; 14:9 127 Yoh 10:18 212 Yoh 10:24 129 Yoh 10:25 92, 251 Yoh 10:25,37,38 274 Yoh 10:27 155 Yoh 10:30 204 Yoh 10:32 251 Yoh 10:34 299 Yoh 10:34,35 429, 446 Yoh 10:34-36 286 Yoh 11:25 135, 138 Yoh 11:25-27 136 Yoh 11:27 124 Yoh 11:27; 20:31 119 Yoh 12:13,28 93 Yoh 12:32-33 396 Yoh 12:41 15, 389, 390, 391 Yoh 12:43 235 Yoh 12:49 140, 212 Yoh 13:1 238 Yoh 13:16 207, 208 Yoh 13:23 163, 385 Yoh 13:31 396 Yoh 14 142 Yoh 14:2,3 403 Yoh 14:6 100, 133, 134, 135 Yoh 14:8 416 Yoh 14:9 147, 292, 302, 313 Yoh 14:10 34, 138, 140, 211, 219, 230, 251, 252, 387 Yoh 14:10,11 417 Yoh 14:11 277, 278 Yoh 14:13 311 Yoh 14:24 140 Yoh 14:26 95 Yoh 14:28 103, 111, 142 Yoh 14:31 212 Yoh 15:1 111, 538 Yoh 15:6 538 Yoh 15:10 212 Yoh 15:16; 16:23-26 95 Yoh 15:26 97 553 554 The Only True God Yoh 16:10 403 Yoh 16:15 394 Yoh 16:23; 15:16 311 Yoh 17 88, 427 Yoh 17:3 7, 18, 19, 32, 33, 129, 138, 147, 156, 193, 218, 345, 382, 415, 534 Yoh 17:5 397, 398, 400, 403, 405 Yoh 17:6 93 Yoh 17:7 394 Yoh 17:10 393 Yoh 17:11 93 Yoh 17:11,22 105 Yoh 17:12 94 Yoh 17:17 133 Yoh 17:22 409, 410 Yoh 17:22,23 115 Yoh 17:23 181, 410, 504 Yoh 17:26 94 Yoh 19:6,7 112 Yoh 19:28 222 Yoh 20:17 151, 153, 154, 185, 403 Yoh 20:21 208, 420 Yoh 20:22 103, 155, 314 Yoh 20:28 103, 415, 420 Yoh 20:31 25, 83, 125, 129, 130, 132, 427 Yoh 21:9,12,13 490 Yoh 21:17 421 Yoh 21:19 397 Kis 2 183 Kis 2:20 388, 529 Kis 2:21 454 Kis 2:22 251 Kis 2:27 530 Kis 2:31-32 184 Kis 2:36 102, 148, 187, 343, 526 Kis 4:10 387 Kis 4:12 95, 101, 279 Kis 4:24 270 Kis 4:27,30 526 Kis 7:2,55 327 Kis 7:49 Kis 7:56 Kis 7:59 Kis 9:3-7 Kis 12:21 Kis 15:5 Kis 17:23 Kis 17:24 Kis 18:9,10 Kis 19:2 Kis 19:28 Kis 20:24 Kis 20:26 Kis 20:28 Kis 21:39 Kis 26:7 Rm 1:2 Rm 1:4 Rm 1:16 Rm 1:18-25 Rm 1:21 Rm 1:22,23 Rm 1:23 Rm 1:25 Rm 2:28,29 Rm 2:29 Rm 3:10 Rm 3:10-18 Rm 3:21-26 Rm 3:22 Rm 3:23 Rm 3:26 Rm 3:28; 5:1 Rm 3:30 Rm 3:30; 4:9 Rm 4 Rm 4:3 Rm 4:11 Rm 4:17 Rm 5:2 Rm 5:5 Rm 5:6 502 527 526, 528 528 330 532 197 297 528 314 266 325, 378 126 270 339 415 30 119 339 334 33, 156 302 337 426 87, 541 541 202 233 246, 248 248 223 246 67 75, 101, 518 541 404 30 225 401, 402, 404 266 94 226 Indeks Ayat Rm 5:7 Rm 5:8 Rm 5:9,10,15,17 Rm 5:15,17 Rm 5:15-19 Rm 5:19 202 224 366 257, 387 365 34, 162, 199, 211, 272, 273, 313, 342 Rm 6:3 95 Rm 6:4 405, 416 Rm 8 398 Rm 8:3,18-21 335 Rm 8:9 530 Rm 8:14,15 448 Rm 8:15 156 Rm 8:16 414 Rm 8:17 369, 393, 414 Rm 8:28 513 Rm 8:29 368, 374 Rm 8:29,30 399, 402 Rm 8:32 224, 226, 229, 368, 448, 487, 510 Rm 9:1-3 339 Rm 9:4 408, 409, 544 Rm 9:5 69, 111, 151, 186, 423, 425, 426, 519 Rm 9:6 544 Rm 9:8 541 Rm 9:20 102 Rm 10:2 288 Rm 10:9 141, 183 Rm 10:13 454, 529 Rm 11 536 Rm 11:1,2,5,7,11 537 Rm 11:13 517 Rm 11:16,17 537 Rm 11:22,26 538 Rm 11:25 63 Rm 11:33 102, 404 Rm 11:34 352 Rm 11:36 186, 352, 426 Rm 12:1 433 Rm 12:1,2 70 555 Rm 12:2 280, 348 Rm 14:11 102 Rm 15:6 36, 148, 151 Rm 15:33 426 Rm 16:20 255 Rm 16:27 21, 101, 426, 518 1Kor 1:9 119, 123 1Kor 1:17-2:13 176 1Kor 1:26 325 1Kor 1:27 521 1Kor 2:8 405, 406, 407, 409 1Kor 2:9 372, 544 1Kor 2:11 62 1Kor 2:16 236 1Kor 3:16,17; 6:19 472 1Kor 3:16; 6:19 272 1Kor 3:21 370, 394, 544 1Kor 3:21-23 369, 393 1Kor 3:23 228, 369, 412 1Kor 5:5 388 1Kor 6:3 254, 372 1Kor 6:14 141 1Kor 6:16,17 78, 410 1Kor 6:17 163, 164, 166, 167, 410 1Kor 6:19,20 226 1Kor 8:5 58, 176 1Kor 8:5,6 39, 73, 74, 242 1Kor 8:6 75, 100, 344, 345, 354, 424 1Kor 8:6; 8:4 101, 518 1Kor 10:3,4 367 1Kor 11:1 324, 378 1Kor 11:3 369 1Kor 11:7 233, 253, 256, 281, 294, 305, 326, 327, 336, 363, 364, 465 1Kor 11:28 214 1Kor 12:13 95 1Kor 13:12 275 1Kor 14:25 102 1Kor 15 188 1Kor 15:3 102 1Kor 15:9 412 556 The Only True God 1Kor 15:20 244 1Kor 15:21-22,27,45 335 1Kor 15:23 231 1Kor 15:24-28 260 1Kor 15:25 259 1Kor 15:25-28 116 1Kor 15:27 255, 287 1Kor 15:27,28 189 1Kor 15:28 54, 288, 413, 415, 532 1Kor 15:35-57 260 1Kor 15:40-43 395 1Kor 15:42,47-49 335 1Kor 15:45 231, 244, 255, 292, 314, 326 1Kor 15:47 204, 257, 259, 326, 331, 338, 348 1Kor 15:48 260 1Kor 15:49 305 1Kor 15:50 431 1Kor 16:22 528 2Kor 1:3 36, 151 2Kor 1:3; 11:31 148 2Kor 1:14 388 2Kor 1:17,19 217 2Kor 1:19 119, 123 2Kor 1:20 544 2Kor 2:15-16 170 2Kor 3:17 15 2Kor 3:18 305 2Kor 4:2 340 2Kor 4:4 293, 301, 312, 336, 338, 344, 363, 490 2Kor 4:6 7, 336 2Kor 5:2 347 2Kor 5:17 161, 374 2Kor 5:17-20 379 2Kor 5:19 34, 37, 134, 218, 219, 228, 244, 251, 261, 357, 387, 422, 471 2Kor 5:21 378 2Kor 6:18 443 2Kor 7:15 180 2Kor 8:1,2 2Kor 8:2 2Kor 8:9 2Kor 9:15 2Kor 11:23-27 2Kor 11:31 2Kor 12:9 2Kor 13:13 Gal 1:1 Gal 1:4 Gal 1:14 Gal 2:16; 3:24 Gal 2:20 Gal 3:1 Gal 3:19-22 Gal 3:20 Gal 3:27 Gal 3:28 Gal 3:29 Gal 4:1 Gal 4:3-4 Gal 4:6 Gal 4:9 Gal 4:19 Gal 5:2-4 Gal 5:6 Gal 5:22 Gal 6:16 Ef 1 Ef 1:3 Ef 1:3; 3:14; 4:6 Ef 1:4 Ef 1:6 Ef 1:10 Ef 1:13 Ef 1:19-23 Ef 1:20,22 Ef 2 Ef 2:10 Ef 2:11 Ef 2:12 Ef 2:15 377 325 376, 378 170, 210 339 151, 425, 426 253 100, 102 141 152 518 67 119, 226, 271, 462 96, 173 223 75, 229 95 532, 541 87, 541 369 335 156, 448 156 312 26 171 161 87, 518, 539, 545 375 148, 151 101, 518 355, 357, 372 412 353 133 188 255 543 348, 353 541 518, 543, 544 532 Indeks Ayat Ef 3:4 Ef 3:5 Ef 3:14 Ef 3:21 Ef 4:6 Ef 4:13 Ef 4:18 Ef 4:24 Ef 5:20 Ef 5:32 Ef 6:12 Ef 6:17 Flp 1:6 Flp 1:19 Flp 2 Flp 2:5 Flp 2:6 Flp 2:6,7 Flp 2:6-11 Flp 2:6-7 Flp 2:6-8 Flp 2:7 Flp 2:8 Flp 2:9 Flp 2:9-11 Flp 2:10 Flp 2:10-11 Flp 2:11 Flp 2:12 Flp 2:17 Flp 3:1 Flp 3:3 Flp 3:4-6 169 132 149 411 152, 186, 187 119, 123, 231 63 348 96, 310 371 431 173 348 530 23, 53, 65, 324, 339, 397 319, 325, 328, 330, 378 22, 36, 52, 62, 211, 288, 293, 294, 295, 311, 313, 314, 316, 317, 318, 319, 320, 321, 322, 325, 326, 328, 330, 335, 338, 340, 341, 342, 376 15, 335, 337 52, 188, 311, 323, 325, 327, 329, 331, 333, 334, 338, 339, 350 316 323, 326, 413 238, 314, 323, 378 34, 272, 323, 331, 338, 374, 378, 440 52, 299 34, 287, 288, 330, 374, 406, 413, 440, 441 308, 310, 344 102, 279, 309, 387 36, 52, 309, 310, 344, 440 180 324, 378 411 415, 541, 544 518 Flp 3:5 Flp 3:8 Flp 3:12 Flp 4:4 Flp 4:20 Kol 1 Kol 1:12 Kol 1:12-20 Kol 1:12-22 Kol 1:13-22 Kol 1:14 Kol 1:15 Kol 1:15-17 Kol 1:16 Kol 1:17 Kol 1:18 Kol 1:19 Kol 1:19,20 Kol 1:19; 2:9 Kol 1:20 Kol 1:20,22 Kol 1:22 Kol 2:3 Kol 2:9 Kol 2:9; 1:19 Kol 2:12 Kol 2:15 Kol 3:2 Kol 3:9,10 Kol 3:11 Kol 3:17 Kol 4:3 Kol 4:11 1Tes 1:3 1Tes 3:11,13 1Tes 5:2 1Tes 5:3 2Tes 1:12 2Tes 2:3,4 2Tes 2:4,9 557 409 378 163, 276, 414 411 152 23, 65, 350, 358, 362, 368, 372 544 357, 361 355 353 361 293, 301, 312, 313, 336, 338, 344, 350, 368, 373 356 352, 355, 370, 371 373, 375, 376 368, 373 203, 365 353 55 277, 422 357 357, 364 102 204, 272, 300, 417 387 141 232 449 348 531, 532, 541 96 169 541 152 152 388 106 268 105 106 558 The Only True God 2Tes 2:8 506 1Tim 1:1 488 1Tim 1:1; 2:3 225 1Tim 1:1; 4:10 266 1Tim 1:17 9, 21, 307, 327, 425, 449 1Tim 1:17; 2:5 101, 344, 518 1Tim 1:17; 6:15,16 266 1Tim 2:5 37, 75, 100, 223, 244, 257, 267, 279, 306, 387, 414 1Tim 2:5,6 203 1Tim 3:16 37, 380, 391 1Tim 6 425 1Tim 6:15 241, 242 1Tim 6:16 150 1Tim 6:17 370, 371 2Tim 1:9 33, 36, 401, 402 2Tim 1:9,10 401 2Tim 1:10 262 2Tim 4:6 324, 325, 378 Tit 1:3 488 Tit 1:3; 2:10; 3:4 345 Tit 1:4 262 Tit 1:4; 3.6 345 Tit 2:13 69, 262, 263, 264, 265, 266, 267, 269, 519 Tit 3:6 262 Ibr 1 23, 65 Ibr 1:1-3 409 Ibr 1:2 369 Ibr 1:2,3 430 Ibr 1:3 256, 257, 346, 387, 430 Ibr 1:8 69, 428, 430, 519 Ibr 1:8,9 428 Ibr 1:10-12 429 Ibr 2 255 Ibr 2:7 335 Ibr 2:9 242 Ibr 2:10 186, 199, 200, 201, 342, 352 Ibr 2:14 431 Ibr 4:12 173 Ibr 4:15 273 Ibr 4:16 Ibr 5:1 Ibr 5:5 Ibr 5:7 Ibr 5:8 Ibr 5:8-9 Ibr 5:9 Ibr 5:9; 7:28 Ibr 7:1 Ibr 7:3 Ibr 7:11 Ibr 7:24,25 Ibr 7:25 Ibr 7:28 Ibr 9:5 Ibr 9:9; 10:2 Ibr 9:14 Ibr 9:15; 12:24 Ibr 9:24 Ibr 12:1,2 Ibr 12:2 Ibr 12:29 Yak 1:13 Yak 1:17 Yak 1:18 Yak 2:1 Yak 2:19 Yak 3:2 Yak 5:12 1Ptr 1:3 1Ptr 1:18,19 1Ptr 1:19 1Ptr 1:20 1Ptr 1:21 1Ptr 2:6 1Ptr 2:9 1Ptr 2:9,10 1Ptr 3:18 1Ptr 4:17 2Ptr 1:1 2Ptr 1:4 2Ptr 1:17 526 223 117, 224 379 204, 342 199 134 338 117 388 330 186 185, 414 199 408, 526 415 201 244 224 246 232, 244 160, 497 162, 216 367 134 405, 406, 407, 408, 409 73, 74, 75 205 217 148, 151 202, 227 198, 487 401 141 30 542 227 133, 155, 280 169 267, 268 160, 166 227 Indeks Ayat 2Ptr 2:1 2Ptr 3:10 1Yoh 1:1 1Yoh 1:3 1Yoh 2:1 1Yoh 2:24 1Yoh 2:28 1Yoh 3:1 1Yoh 3:2 1Yoh 3:9 1Yoh 4:8,16 1Yoh 4:9 1Yoh 4:10 1Yoh 4:14 1Yoh 4:16,19 1Yoh 5:7 1Yoh 5:7,8 1Yoh 5:16,17 1Yoh 5:20 1Yoh 5:21 2Yoh 1:3,9 Yud 1:25 Why 1 Why 1:4 Why 1:4,8 Why 1:5 Why 1:6 Why 1:7,14 Why 1:8 Why 1:13 Why 1:15,16 Why 1:17 Why 1:17; 2:8 Why 2:10 Why 3:2,12 Why 3:9 Why 3:12 Why 3:21 Why 4 Why 4:8 Why 4:9,10 270 388 134 182 414 382 505 448, 506 295, 348, 414, 504, 505, 506 272, 505 370 204, 384 403 116, 201, 230, 314 448 381 380 173 69, 119, 381, 382, 519 173, 291 119 22 439 442, 463 443 368, 431 440 436 463 436, 437 437 438, 445 231, 243, 374 325 186 255 153 433, 441, 449 434, 449 444, 463 243 Why 5 Why 5:5 Why 5:12 Why 6:10 Why 6:16 Why 7:9-12 Why 7:17 Why 10:1 Why 10:6 Why 11:15 Why 12:9 Why 13:8 Why 13:11 Why 13:14,15 Why 13:15 Why 14 Why 14:1 Why 15:1 Why 16:2 Why 17:14 Why 19:13 Why 20:4 Why 22:1,9,16 Why 22:3 Why 22:13 Why 22:20 559 449 232 405 270 197 432 433 437 352 182 373 355, 356, 399, 400, 402 431 304 305 305 90 434 305 241, 330 15 305 441 433 243, 244 528