PENDAHULUAN Ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata (burm.f.) Wallich ex Nees) telah lama diteliti dan digunakan secara tradisional sebagai obat untuk mengobati infeksi, menurunkan kadar gula darah, menurunkan demam dan menambah nafsu makan. Khasiat sambiloto sebagai imunostimulan telah diuji secara praklinis dan menunjukkan terjadinya peningkatan secara bermakna pada indeks dan persentase fagositosis pada mencit (Daniel, 2000) Hingga saat ini belum banyak dikembangkan sediaan ekstrak sambiloto. Untuk digunakan sebagai bahan oral, sambiloto mempunyai rasa yang sangat pahit dan aroma yang tidak menyenangkan. Oleh karena itu dalam pengembangan sediaannya perlu dilakukan teknik penutupan rasa (taste masking). Ada beberapa cara untuk menutupi rasa tidak enak, seperti penambahan pemanis dan flavouring agents, dimasukkan ke dalam kapsul, adsorpsi dalam resin penukar ion, mikroenkapsulasi, dispersi padat, pembentukan kompleks, modifikasi kimia, dan penyalutan dengan polimer. Pelet memiliki bentuk yang ideal untuk penyalutan. Pelet merupakan kelompok partikel berbentuk sferis atau agak sferis yang mempunyai sifat mudah mengalir. Bentuk sediaan pelet mempunyai keunggulan terutama dari segi ketersediaan obat yang diberikan secara oral karena secara umum pelet terdispersi merata dalam saluran cerna sehingga dapat memaksimalkan absorpsi obat, meminimalkan iritasi mukosa, serta mengurangi variasi antara satu pasien dengan pasien lain. (Swabrick, 1995). Penyalutan adalah menutupi lapisan tipis zat tertentu terhadap partikel dengan suatu bahan penyalut khusus sehingga dihasilkan partikel bahan dengan karakteristik fisika dan kimia yang dikehendaki ( Lachman, 1990). Pada penelitian ini dilakukan upaya untuk menutupi rasa pahit dengan pengembangan formulasi pelet ekstrak air sambiloto yang disalut dengan Eudragit E-100 menggunakan alat fluidized bed dryer BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tinjauan Botani Sambiloto 1.1.1 Klasifikasi Sambiloto Dalam sistematika botani, tumbuhan sambiloto termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Solanales, suku Acanthaceae, marga Andrographis, dan jenis Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. Sinonim dari tumbuhan ini antara lain Justicia paniculata Burm., Justicia stricta Lamk., dan Justicia latebrosa Russ (Winarto, 2003). 1.1.2 Morfologi Sambiloto Habitus : Herba, semusim, tinggi ± 50 cm. Batang : Berkayu, pangkal bulat, masih muda bentuk segi empat, setelah tua bulat, percabangan monopodial, hijau. Daun : Tunggal, bulat telur, bersilang berhadapan, pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang ± 5 cm, lebar pertulangan menyirip, panjang tangkai ± 1 1 2 cm, ± 30 mm, hijau keputih-putihan, hijau. Bunga : Majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun dan di ujung batang, kelopak lanset, berbagi lima, pangkal berlekatan, hijau, benang sari dua, bulat panjang, kepala sari bulat, ungu, putik pendek, kepala putik ungu kecoklatan, mahkota lonjong, pangkal berlekatan, ujung pecah menjadi empat, bagian dalam putih bernoda ungu, bagian luar berambut, merah. Buah : Kotak, bulat panjang, ujung runcing, tengah beralur, masih muda hijau setelah tua coklat. Biji : Kecil, bulat, masih muda putih kotor setelah tua coklat. Akar : Tunggang, putih kecoklatan. (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) 1.1.3 Ekologi dan Penyebaran Sambiloto Andrographis paniculata Ness tumbuh pada tempat terbuka, di kebun, di tepi sungai, pada tanah gembur, dan sering kali tumbuh berkelompok. Umumnya tumbuh di daerah tropika pada ketinggian 1-700 m di atas permukaan laut (Ditjen POM, 1973). Herba sambiloto [Andrographis paniculata Nees, Acanthaceae] terdapat di Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Herba sambiloto tumbuh dengan liar di daerah terbuka yang terdapat di Indonesia. Herba sambiloto kadang-kadang ditanam di Singapura. Herba sambiloto digunakan juga untuk tujuan pengobatan di Thailand (Soesilo, 1993). Herba sambiloto sudah terdapat di Jawa sejak 150 tahun yang lalu (Backer, 1965). 1.1.4 Kandungan Kimia Sambiloto Kandungan kimia herba sambiloto adalah saponin, flavanoid, tanin (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991), serta senyawa aktifnya yaitu andrografolida dan turunannya (Yuwono, 1998). Gambar 1.1 Struktur andrografolida Rumus molekul andrografolida adalah C20H30O5 yang merupakan diterpenoid bisiklik. Diterpenoid adalah kelompok senyawa yang berasal dari 4 satuan dasar C5 isoprena. Gambar 1.2 Struktur kimia C5 isoprena Bentuk kristal andrografolida adalah prisma rombik atau kepingan. Bobot molekul andrografolida 350,46. Titik leleh andrografolida adalah 218-221°C. Rotasi jenis -96,2°, panjang gelombang maksimal 223 nm. Andrografolida sedikit larut dalam air, larut dalam aseton, metanol, kloroform, eter (Merck and Co., Inc., 1989). 1.1.5 Efek Imunostimulan Sambiloto Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan efek sambiloto sebagai imunostimulan. Percobaan dilakukan dengan menggunakan tikus, hasil percobaan menunjukkan herba sambiloto mampu menstimulasi sistem imun dengan dua cara yaitu respon spesifik dan non spesifik. Respon spesifik ditunjukkan dengan adanya reaksi antigen-antibodi. Sedangkan respon non spesifik dengan adanya sel makrofag yang menghancurkan mikroba (Puri, 1993). Ekstrak air sambiloto dengan dosis 12,5 mg/kg bb mencit menstimulasi respon imun non spesifik yang ditandai dengan peningkatan secara bermakna pada indeks dan persentase fagositosis (Daniel, 2000). 1.2 Teknik Penutupan Rasa Masalah yang sering timbul dalam formulasi suatu bentuk sediaan oral adalah rasa, bau, raba mulut dan after taste yang tidak enak dari obat. Ada beberapa teknik yang biasa digunakan untuk mengatasi masalah tersebut sebelum obat diformulasi menjadi bentuk sediaan. 1.2.1 Penambahan Zat Perasa Zat perasa dapat dihasilkan dari alam ataupun sintesis. Zat perasa dari alam antara lain ekstrak buah, minyak atsiri seperti minyak mint atau minyak lemon, dan lainnya. Sebagian dari bahan-bahan konvensional ini dapat ditingkatkan kemampuannya dalam menutupi rasa dengan penambahan zat lain. Kombinasi minyak zaitun dan kalsium karbonat dapat digunakan dalam formulasi untuk sediaan yang dikunyah atau larut dalam mulut. 1.2.2 Penyalutan Proses penyalutan dapat dilakukan dengan dua metode antara lain; a. Metode Fisika Penyalutan dengan metode fisika antar lain dengan metode elektrostatik, pengendapan dan pelapisan uap secara fisika, dan metode suspense udara. Metode suspensi udara umumnya menggunakan fluidized bed dryer. Pada teknik ini partikel obat difluidisasi atau disupensikan secara terkontrol dalam suatu wadah penyalut yang dialirkan udara hangat melalui suatu pelat pori. b. Metode Kimia Penyalutan dengan metode kimia yang sering digunakan untuk menutupi rasa adalah metode koaservasi dan pemisahan fasa. Pada dasarnya penyalutan dengan metode kimia terdiri dari tiga tahap, yaitu: pembentukan tiga fasa yang tidak tercampur (fasa larutan pembawa, fasa zat aktif—bahan inti, fasa bahan penyalut), penumpukan cairan polimer penyalut dengan cara sorpsi di sekitar bahan inti, pengerasan penyalut membentuk mikrokapsul. 1.2.3 Dispersi Padat Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matriks pada keadaan padat dengan metode pelelehan, pelarutan, atau pelehan-pelarutan. Dispersi padat menggunakan matriks tidak larut atau matriks larut dapat menutupi rasa pahit obat dan meningkatkan kestabilan obat. Pemilihan matriks atau pembawa yang akan digunakan bergantung pada tingkat kepahitan bahan aktif dan kelarutannya dalam air. 1.2.4 Resin Penukar Ion Resin penukar ion adalah polimer berbobot molekul tinggi dengan gugus fungsional kation dan anion. Resin penukar anion memiliki gugus amonium kuartener bermuatan positif dan resin penukar kation mengandung gugus karboksilat, fosfor, atau asam sulfonat yang bermuatan negatif. Obat berikatan dengan substrat resin yang bermuatan berlawanan. Adsorbsi antara obat dengan resin dapat menutupi rasa pahit obat dan meningkatkan stabilitas obat. Pembentukan kompleks resin obat adalah sebagai berikut: Resin (SO3)-A+ (Resin penukar ion) Resin[N(CH3)3]+X(Resin penukar ion) B+ + ⇔ (obat) Z- + (obat) Resin(SO3)-B+ (kompleks resin-obat) ⇔ Resin[N(CH3)3]+Z(kompleks resin-obat) + A+ ( ion yang tergantikan) + X- (ion yang tergantikan) Adsorbsi obat pada resin penukar ion dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: resin penukar ion ditambhkan pada larutan jenuh bahan aktif dengan pengadukan atau larutan jenuh bahan aktif dilewatkan melalui kolom yang mengandung resin penukar ion. 1.2.5 Formulasi Kompleks Inklusi Pembantukan kompleks inklusi adalah dengan memasukkan molekul obat (molekul tamu) ke dalam rongga suatu bahan pengkompleks (molekul inang/tuan rumah) membentuk suatu kompleks yang stabil. Kompleks yang terbentuk dapat menutupi rasa pahit obat dengan cara menurunkan jumlah partikel obat yang terpapar dan menurunkan kelarutan obat dalam mulut. Gaya yang biasanya terlibat dalam pembentukan kompleks inklusi adalah gaya Van der Waals. Bahan pengkompleks yang umumnya digunakan adalah β-siklodekstrin yang merupakan suatu ologosakarida siklik yang diperoleh dari pati dan memiliki rasa manis serta tidak toksik. 1.2.6 Kompleks Molekular Kelarutan dan absorpsi obat dapat dimodifikasi dengan pembentukan kompleks molekular sehingga intensitas rasa pahit dan bau yang tidak enak dari obat dapat dikurangi. Contoh pembentukan kompleks molekular adalah kafein dan asam gentisat dengan perbandingan molar 1:1 dan 1:2. Kompleks terbentuk dengan pendinginan yang cepat dari masingmasing larutan panas kafein dan asam gentisat. Endapan serbuk mikrokristalin yang terbentuk dicuci dengan air, dikeringkan dengan kondisi vakum pada suhu 80 °C 1.2.7 Pembentukan garam lain atau turunannya Pembentukan garam dan turunannya dilakukan dengan memodifiksi komposisi kimia senyawa obat sehingga menjadi senyawa yang kurang larut dalam saliva atau menjadi bentuk senyawa yang tidak berasa atau kurang pahit. Hal yang harus dipertimbangkan pada metode ini adalah kelarutan, stabilitas, kompatibilitas, ketersediaan hayati senyawa baru yang dihasilkan. Bila senyawa garam yang dihasilkan dapat menutupi rasa tidak enak, maka hal ini akan menjamin penutupan rasa yang baik karena cara ini tidak menggunakan penyalut yang mungkin rusak saat dikunyah. 1.2.8 Penggunaan asam amino dan protein hidrolisat Contoh penggunaan metode ini adalah pada penisilin dan ampisilin. Penisilin dikombinasi dengan asam amino, bentuk garamnya atau campuran keduanya untuk menutupi rasa pahit. Beberapa asam amino yang digunakan adalah : sarkosin, alanin, taurin, asam glutamat, dan glisin. Ampisilin diperbaiki rasanya dengan cara digranulasi dengan glisin lalu dicampur dengan glisin, pati, lubrikan, glidan, pemanis, dan perasa sebelum dicetak. 1.3 Peletisasi Pelet merupakan kelompok partikel berbentuk sferis atau agak sferis yang mempunyai sifat mudah mengalir. Keunggulan bentuk sediaan pelet terutama dari segi ketersediaan obat yang diberikan secara oral, karena secara umum pelet terdispersi merata dalam saluran cerna sehingga dapat memaksimalkan absorpsi obat, meminimalkan iritasi mukosa, serta mengurangi variasi antara satu pasien dengan pasien lain. Pelet juga memiliki bentuk yang ideal untuk penyalutan. (Swarbick, 1995) Peletisasi merupakan proses aglomerasi yang mengubah serbuk halus atau ruahan granul obat dan bahan pembantu menjadi unit kecil yang berbentuk sferis atau agak sferis yang mempunyai sifat mudah mengalir. Ukuran pelet bervariasi tergantung pada proses yang digunakan, umumnya berada dalam rentang 0,5-1,5 mm (Ghebre-Sellaseie, 1989; Swarbick, 1995). Secara umum metode peletisasi meliputi agitasi, kompaksi, penyalutan dan globulisasi. Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan ialah metode ekstrusi dan sferonisasi yang merupakan salah satu metode kompaksi. Metode ekstrusi-sferonisasi yaitu peletisasi dengan beberapa tahapan yaitu granulasi, ekstrusi, dan sferonisasi. Ekstrusi merupakan proses pembentukan massa dengan bentuk yang seragam, mampat melalui celah dengan kondisi tertentu. Sferonisasi merupakan tahapan pembentukan massa sferis karena adanya gaya sentrifuga dari pelat friksi yang berputar secara konstan (Ghebre-Sellaseie, 1989). 1.3.1 Mekanisme Pertumbuhan Partikel Pelet Mekanisme pertumbuhan partikel pelet yang telah diteliti meliputi nukleasi, koalesensi, perpindahan abrasif, dan pelapisan (Ghebre-Sellasie, 1989). Nukleasi adalah pembentukan inti tiga fasa yang terdiri dari udara, air, dan padatan. Partikel-patikel halus diikat oleh jembatan cair dari fasa air. Koalesensi adalah pembentukan partikel ukuran besar yang terjadi melalui tumbukan partikel-partikel secara acak dan membentuk inti dengan bentuk yang baik, untuk mendapatkan inti dengan bentuk yang baik dibutuhkan permukaan sedikit lembab yang mampu mempengaruhi plastisitas inti serta mempercepat terjadinya deformasi parsial serta koalesensi berikutnya. Pelapisan merupakan mekanisme pertumbuhan partikel melalui penambahan bahan secara bertahap kepada inti yang telah terbentuk. Bahan yang ditambahkan dapat dalam bentuk kering maupun lembab. Pada metode ini, kecepatan pertumbuhan partikel lambat hanya karena sejumlah kecil partikel bahan yang dapat ditambahkan dalam rentang waktu tertentu. Perpindahan abrasif melibatkan perpindahan bahan dari satu partikel ke partikel lainnya tanpa adanya pilihan arah. Hal ini menyebabkan tidak adanya perubahan jumlah total atau massa partikel tetapi tetap terjadi perubahan ukuran secara berkelanjutan selama kondisi memungkinkan terjadinya perpindahan bahan. 1.3.2 Metode Peletisasi Kompaksi Metode kompaksi merupakan metode peletisasi yang digunakan secara luas dalam industri farmasi meliputi cara kompresi dan cara ekstrusi-sferonisasi. a. Kompresi Kompresi merupakan metode peletisasi dengan cara penekanan campuran bahan aktif dan bahan pembantu kemudian dicetak menjadi pelet dengan bentuk dan ukuran tertentu. Secara umum pelet yang dihasilkan dengan metode ini berbentuk hampir sferis (GhebreSellasie, 1989). b. Ekstrusi-Sferonisasi Ekstrusi-sferonisasi merupakan teknik peletisasi yang dikembangkan pada awal 1960 dan sejak saat itu metode ini telah banyak diteliti dan didiskusikan. Teknik peletisasi ini cocok untuk formula obat dengan dosis tinggi, selain itu teknik ini tidak membutuhkan inti dan prosesnya relatif singkat. Metode ini menggunakan alat ekstruder dan sferoniser untuk mendapatkan pelet yang sferis. Ekstruder yang dapat digunakan untuk pembuatan pelet ada bermacam-macam jenis, desain dan prinsip penggunaannya. Ekstruder dapat dikelompokkan dalam screw-fed extruder, gravity-fed extruder, dan ram extruder. Screw-fed extruder memiiki gerigi yang berputar sepanjang garis horiontal dan memindahkan bahan secara horizontal. Terdapat dua jenis screw-fed extruder yaitu axial dan radial. Pada extruder ini terdapat tiga bagian utama yaitu area pemasukan bahan (feeding zone), area kompaksi (compression zone) dan area ekstrusi (extrusion zone). Golongan grafity-fed extruder adalah rotary cylinders dan rotary gear yang memiliki perbedaan pada bentuk silinder pemutar dalam area ekstrusi. Ram extruder merupakan jenis ekstruder tertua yang terdiri atas piston yang mendorong bahan melalui lubang pada ujung alat (Swarbick, 1992). Teknologi sferonisasi diperkenalkan oleh Nakahara pada tahun 1964 dan terus berkembang hingga sekarang. Suatu sferoniser dikenal sebagai marumerizer terdiri atas dua bagian utama yaitu silinder statis atau stator dan pelat friksi yang berputar pada bagian dasar. Stator dapat dilapisi dengan bahan khusus untuk mempertahankan temperatur. Pelat friksi merupakan piringan dengan permukaan bercelah dan dapat berputar. Komponen ini merupakan bagian terpenting dari sferoniser. Pola celah bersilangan dan berpotongan 90°, lebar celah dipilih sesuai dengan diameter pelet yang diinginkan. Pada umumnya lebar celah 1,5 hingga 2 kali diameter pelet yang diinginkan. Kecepatan putaran friksi bervariasi tergantung pada diameter pelat, umumnya kecepatan yang digunakan antara 1000-2000 putaran per menit (Ghebre-Sellaseie, 1989; Swarbick, 1995). 1.3.3 Pengaruh Formulasi pada Metode Ekstrusi-Sferonisasi Dalam proses ekstrusi-sferonisasi penambahan bahan pembantu yang memiliki fungsi spesifik seperti pengisi, pengikat, dan lubrikan memegang peranan penting untuk memproduksi pelet dengan karakteristik yang diinginkan. Massa yang digranulasi harus bersifat plastis, sifat kohesif yang cukup, dan terlubrikasi selama proses ekstrusi. Titik kritis pada pembuatan pelet adalah pembasahan pada proses granulasi untuk membentuk massa granul yang plastis. Massa granul yang terlalu kering dapat membentuk ekstrudat yang akan menghasilkan sejumlah besar serbuk pada saat sferonisasi. Sementara massa granul yang terlalu basah menghasilkan ekstrudat yang akan berikatan satu sama lain dan membentuk aglomerat, meskipun ekstrudat tersebut dapat terpisahkan pada tahap ekstrusi tapi cenderung membentuk aglomerat saat sferonisasi sehingga pelet yang diperoleh berukuran besar (Swarbick, 1995). 1.4 Penyalutan Lapis Tipis Penyalutan adalah menutupi dengan lapisan tipis zat tertentu yang umumnya inert, terhadap partikel atau zat berkhasiat baik murni ataupun dalam bentuk tercampur, berbentuk padat atau cair. Penyalutan lapis tipis dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut organik maupun pelarut air. Penggunaan pelarut organik dapat mempermudah penguapan sehingga proses penyalutan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Sedangkan pelarut air memiliki suhu penguapan yang tinggi sehingga memerlukan waktu proses penyalutan yang lebih lama. Penyalutan dilakukan dengan penyemprotan dan pengeringan dispersi polimer yang terdiri dari tiga fasa yaitu fasa gas, larutan pembawa dan partikel polimer. Larutan pembawa akan menguap meninggalkan padatan polimer dan selanjutnya terjadi penggabungan polimer membentuk lapisan tipis yang kontinu. 1.4.1 Faktor Formulasi dan Proses yang Mempengaruhi Pembentukan Lapis Tipis Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembentukan lapisan tipis yaitu: a. Ukuran partikel polimer Penurunan ukuran partikel polimer menyebabkan gaya gerak pada pembentukan lapis tipis menjadi lebih kuat sehingga pembentukan lapis tipis dari serbuk polimer yang mempunyai ukuran lebih besar akan lebih sulit. Pembentukan lapisan tipis mudah digunakan dalam bentuk emulsi polimer (lateks) dan pseudolateks karena mempunyai ukuran partikel sub mikron. b. Suhu pembentukan lapis tipis Pembentukan lapis tipis dipengaruhi oleh suhu tertentu karena polimer akan mengalami perubahan bentuk lapisan tipis pada kondisi di atas suhu pelunakan film. Suhu pelunakan ini biasanya terjadi beberapa derajat di atas suhu transisi gelas polimer dan rantai polimer akan mengalami peningkatan mobilitas yang tajam. Pada umumnya suhu penyalutan dilakukan kurang lebih 10°C di atas suhu transisi gelas. c. Pemlastis (plastisizer) Pemlastis digunakan untuk menurunkan suhu pelunakan dan suhu transisi gelas polimer. Tingkat penurunan suhu transisi gelas dipengaruhi oleh jumlah pemlastis yang digunakan dan kompatibilitas pemlastis dengan polimer. d. Tingkat hidrasi polimer Hidrasi polimer menyebabkan penurunan kekuatan mekanik partikel polimer, sehingga polimer akan mengalami perubahan bentuk. e. Sifat permukaan inti Permukaan inti yang berpori menyebabkan penetrasi pelarut, sehingga suhu pembentukan lapisan tipis meningkat. Hal ini menyebabkan tekanan kapiler bekerja lebih singkat karena adanya penetrasi pelarut pada permukaan, sehingga pembentukan lapisan tipis tidak sempurna. f. Bahan tambahan yang digunakan Bahan tambahan padat tidak larut biasanya digunakan sebagai zat warna, anti adheren atau anti koagulan dalam penyalutan sistem dispersi. Jumlah bahan tambahan padat yang sedikit dapat menurunkan permeabilitas membran, tetapi jumlah yang besar akan menyebabkan struktur lapisan tipis tidak kontinu. 1.4.2 Evalusi Pelet Salut Evaluasi pelet tersalut yang dilakukan yaitu evaluasi morfologi mikroskopik, sifat mikromeritik, kandungan pelet tersalut, dan faktor perolehan kembali. a. Morfologi Mikroskopik pelet tersalut Evaluasi terhadap morfologi mikroskopik pelet tersalut bertujuan untuk mengetahui sifat pelepasan obat, karakteristik permukaan, dan adanya pori-pori pada permukaan pelet tersalut. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik atau mikroskop elektron. b. Sifat Mikromeritik Evaluasi sifat mikromeritik bertujuan untuk memperkirakan secara kuantitatif distribusi ukuran pelet tersalut. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan metode konvensional seperti menggunakan beberapa pengayak dengan rentang ukuran tertentu atau dengan alat yang lebih modern seperti pengayak otomatis. c. Kandungan pelet tersalut Evaluasi kandungan pelet tersalut dilakukan untuk mengoptimasi metode yang digunakan dan meminimalkan kehilangan bahan penyalut. Terdapat dua macam metode, tergantung dari kelarutan bahan inti dan bahan penyalut yang digunakan. Bahan inti dan bahan penyalut yang larut dalam pelarut bukan air, evaluasi dillakukan dengan melarutkan pelet tersalut dalam pelarut organik yang sesuai kemudian ditentukan dengan metode analitik yang sesuai. Sedangkan untuk pelet tersalut dengan bahan inti larut air dan bahan penyalut tidak larut air, evaluasi dilakukan dengan cara disintegrasi menggunakan pengaduk berkecepatan tinggi atau dengan teknik penggerusan pelet tersalut sehingga bahan inti dapat larut dalam pelarut yang sesuai kemudian kadar ditentukan dengan metode analisis yang sesuai. d. Faktor Perolehan Kembali Penentuan faktor perolehan kembali perlu dilakukan untuk mengetahui keberhasilan teknik yang digunakan. Persamaan yang digunakan adalah: R1 = fm Ft Rp = Wm Wd Dengan R1 = faktor perolehan kembali untuk zat aktif. Rp = faktor perolehan kembali proses, fm = fraksi senyawa penanda dalam pelet tersalut yang dihasilkan, ft = fraksi teoritik senyawa penanda dalam pelet tersalut, Wm = bobot pelet tersalut yang dihasilkan, Wd = bobot pelet awal. 1.5 Avicel Avicel atau mikrokristalin selulosa adalah serbuk kristalin berpori warna putih, yang tak berbau dan tak berasa, stabil walaupun higroskopis. Avicel (C6H10O5)n dengan bobot molekul 36.000 merupakan hasil hidrolisis α-selulosa oleh asam mineral, yang diperoleh dari bubur kayu dari tanaman. Hidroselulosa kemudian dimurnikan dengan filtrasi, setelah proses pengeringan menghasilkan partikel kering berpori dengan distribui ukuran yang luas (Wade, 2002). Avicel digunakan di industri farmasi sebagai absorben, senyawa pengsuspensi, bahan pengisi dan penghancur tablet. Terdapat beberapa tipe avicel yaitu Avicel PH101 dan PH102 untuk granulasi basah, Avicel PH302 dan PH202 untuk tablet cetak langsung, serta Avicel PH301 untuk enkapsulasi. Untuk proses sferonisasi dalam pembuatan pelet, Avicel PH101 umum dipilih karena tidak lengket, memiliki ikatan hidrogen yang kuat serta kapasitas pegang yang besar. 1.6 Povidon Povidon memiliki bobot molekul antara 2500- 3 juta. Povidon akan berwarna gelap karena pemanasan yang lama pada suhu 150°C. Stabil dalam siklus pemanasan pendek sekitar 110-130°C dan kompatibel dengan garam anorganik, resin alam maupun sintetik dan zat kimia lain. Rumus empirik povidon (C6H9NO)n . Povidon berbentuk serbuk sangat halus, berwarna putih sampai krem, tidak atau hampir tidak berbau, dan sangat higroskopis. Povidon menunjukkan sejumlah lembab teradsorpsi pada kelembaban relatif rendah(Rowe et al.,2003). Povidon sering digunakan sebagai pengikat dalam tablet pada granulasi basah dalam bentuk larutan dengan konsentrasi 0,5-5% b/b atau bisa dicampur dalam bentuk kering ke dalam campuran serbuk, lalu digranulasi in situ dengan penambahan air, alkohol atau larutan hidroalkohol. 1.7 Eudragit E-100 Eudragit merupakan kopolimer yang disintesis dari dimetilaminoetil metakrilat dan ester metakrilat netral lainnya. Bobot molekul Eudragit lebih besar atau sama dengan 100.000. Ada berbagai tipe Eudragit yang dikenal, yaitu tipe E, L, S, RL, dan RS. R1 CH2 C R1 CH2 C C=O O Alkil R1 = H atau CH3 R2 = -CO-OCH2CH2N(CH3)2 Gambar 1.3 Rumus bangun Eudragit E-100 Eudragit E adalah suatu jenis Eudragit dengan bentuk polimer kationik biasanya tersedia dalam bentuk larutan 12,5% dalam isopropanol aseton (60:40), berwarna kekuningan dengan bau yang khas. Eudragit E larut dalam pelarut organik yang polar seperti etanol, isopropanol, aseton, eter, kloroform; tidak larut dalam air, eter, minyak tanah, dan saliva. Dalam perdagangan, tersedia juga Eudragit E-100 dalam bentuk granul berwarna kuning muda dengan bau khas seperti amina. Polimer kationik Eudragit E-100 mengandung gugus amino, maka film yang terbentuk tidak larut dalam medium yang bersifat netral atau basa, tetapi film akan larut dalam medium bersifat asam (seperti cairan asam lambung) karena terjadi pembentukan senyawa garam. 1.8 Sensasi rasa Ada 4 sensasi rasa yang utama yaitu asam, asin, manis dan pahit. Tidak semua bagian lidah mempunyai kepekaan yang sama terhadap rasa-rasa tersebut. Kepekaan yang paling tinggi untuk rasa manis dan asin terletak di ujung lidah, rasa asam pada bagian lateral lidah dan rasa pahit pada pangkal lidah. Rasa asam disebabkan oleh senyawa asam dan intensitas sensasi rasanya sebanding dengan logaritma konsentrasi ion hidrogen. Oleh karena itu semakin asam rasa senyawa asam, semakin kuat sensasinya. Rasa asin diperoleh dari garam-garam terionisasi. Kualitas rasa asam bervariasi dari satu garam ke garam lainnya karena garam-garam juga menimbulkan sensasi rasa yang lain selain rasa asin. Kation dari senyawa garam yang terutama bertanggung jawab terhadap rasa asin, tetapi anion juga memberikan sedikit pengaruh. Rasa manis dapat disebabkan oleh beberapa jenis senyawa kimia antara lain glikol, alkohol, aldehida, keton, amida, ester, asam amino, asam sulfonat, asam halogenat, dan garam-garam anorganik dari timah. Secara spesifik, kebanyakan senyawa yang dapat menimbulkan rasa manis adalah senyawa kimia organik. Rasa pahit disebabkan oleh sebagian besar senyawa yang secara khusus menyebabkan sensasi rasa pahit adalah senyawa organik berantai panjang dan senyawa alkaloid. Ada beberapa senyawa yang pada awalnya manis namun memiliki rasa pahit sesudahnya, seperti sakarin. 1.8.1 Reseptor Rasa Reseptor rasa adalah organ yang berbentuk seperti telur pada lapisan permukaan epitel berbentuk sisik pada lidah. Panjangnya 50-70 µm dan jumlahnya sekitar 900 buah pada permukaan lidah manusia. Reseptor rasa terletak pada bagian papilla yang terdapat pada lidah. Ada empat jenis papilla yang diberi nama sesuai dengan bentuknya yaitu filiform, fungiform, foliate, dan circum vallate. Masing-masing reseptor rasa tersusun dari kurang lebih 60 sel berbentuk seperti poros yang ujungnya berkumpul pada sebuah pori-pori kecil yang terletak pada sebagian besar lapisan bagian atas dari epitel berbentuk sisik. Bagian ujung sel tersebut membentuk mikrovili yang halus dan panjangnya sekitar 2 µm. Sel-sel pengecap memilki waktu hidup sekitar 10 hari. 1.8.2 Transmisi Sinyal Rasa Impuls rasa dari dua pertiga bagian anterior lidah akan melalui saraf cranial ke-5, kemudian melalui corda tympani ke saraf cranial ke-7 yang dilanjutkan ke tractus solitaries pada batang otak. Sensasi rasa dari papilla circumvallate pada bagian belakang lidah dan dari daerah posterior mulut ditransmisikan melalui saraf cranial ke-9 dan juga melalui tractus solitaries. Sebagian kecil impuls rasa ditransmisikan melalui tractus solitaries dari dasar lidah dan bagian lain dari bagian pharyngeal melewati saraf vagus. Keseluruhan saraf tersebut akan bersinapsis pada nucleus sensorik saraf, yaitu nucleus tractus solitaries. Serabut sekunder (susunan neuron ke-2) akan menyilang di batang otak melalui thalamus, dimana akan terjadi sinapsis dengan susunana neuron ke-3 menuju pusat rasa yang berada di gyrus post-centralis di lobus parietal.