BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik 2.1.1 Definisi antibiotik Antibiotik adalah zat–zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat petumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tan dan Rahardja, 2010). Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007). 2.1.2 Klasifikasi antibiotik a. Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik 1. Menghambat metabolisme sel mikroba. Contohnya adalah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. 2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba. Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin. 3. Mengganggu keutuhan membran sel mikroba. Contohnya adalah polimiksin. 4. Menghambat sintesis protein sel mikroba. Contohnya adalah golongan aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol. 5. Menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampisin dan golongan kuinolon (Setiabudy, 2007). Universitas Sumatera Utara b. Berdasarkan daya kerja 1. Zat-zat bakterisid, yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, polipeptida, rifampisin, kuinolon, aminoglikosid, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol, dan polipeptida. 2. Zat-zat bakteriostatik, yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Contohnya adalah kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin (Tan dan Rahardja, 2010). c. Berdasarkan luas aktivitas 1. Antibiotik narrow-spectrum (spektrum sempit). Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, misalnya Penisilin G dan Penisilin-V, eritromisin, klindamisin yang hanya bekerja terhadap kuman gram positif sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiskat yang aktif khusus hanya pada kuman gram-negatif. 2. Antibiotik broad-spectrum (spektrum luas) bekerja terhadap lebih banyak kuman baik gram-positif maupun gram-negatif antara lain sulfonamida, ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan rifampisin (Tan dan Rahardja, 2010). 2.1.3 Keberhasilan penggunaan antibiotik Hal yang perlu perhatian khusus pada penanganan infeksi ialah : a. Dosis antibiotik b. Rute pemberian antibiotik Universitas Sumatera Utara 1. Rute parenteral: ditempuh bila infeksi perlu segera diatasi; infeksi terdapat pada lokasi yang memerlukan konsentrasi darah yang tinggi dari antibiotik untuk menjamin penetrasi yang memadai dari jaringan yang terinfeksi (endokardium, tulang, otak). 2. Rute oral: dipilih untuk mengatasi kebanyakan jenis infeksi saluran kemih, faringitis oleh streptokokus dimana antibiotik disampaikan ke jaringan tanpa masalah dan mikroorganisme yang menimbulkan infeksi sangat peka untuk antibiotik. c. Lamanya pemberian antibiotik harus menjamin musnah total penyebab infeksi sehingga tidak mungkin penyakit infeksi kambuh lagi, kambuhnya infeksi ditentukan oleh daya tahan mikroorganisme terhadap sistem pertahanan tubuh dan mekanisme resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik (Wattimena, dkk., 1991). 2.1.4 Kegagalan terapi antibiotik Terapi antibiotik dinilai gagal bila tidak berhasil menghilangkan gejala klinik atau infeksi kambuh lagi setelah terapi dihentikan. Kesalahan yang lazim dibuat pada terapi antibiotik yang dapat menggagalkan terapi pada dasarnya berkisar pada salah pilih antibiotik, salah pemberian atau penggunaan antibiotik, dan/atau resistensi mikroorganisme. Faktor lain yang menggagalkan terapi antibiotik ialah resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik yang digunakan dan terjadinya superinfeksi (Wattimena, dkk., 1991). Universitas Sumatera Utara 2.2 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 2.2.1 Pengertian ISPA ISPA adalah infeksi saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung patogen penyebabnya dan faktor lingkungan (WHO, 2007). Batasan istilah ISPA menurut Depkes RI, mengandung tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernapasan dan akut. Pengertian masing – masing batasan adalah: 1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. 3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongakan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007). 2.2.2 Penyebab ISPA Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi Universitas Sumatera Utara lebih mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara (Depkes RI, 2005). 2.2.3 Jenis ISPA 1. Otitis Media Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah. Infeksi ini banyak menjadi problem pada bayi dan anak – anak. Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6 bulan - 3 tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan menurunnya imunokompetensi pada anak. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis media yang terus menerus selama > 3 bulan. Otitis media terbagi menjadi otitis media akut dan otitis media kronik. Otitis media akut ditandai dengan adanya peradangan lokal, cairan ditelinga, kurang istirahat, nafsu makan turun serta demam. Otitis media akut dapat menyebabkan nyeri, hilangnya pendengaran, demam. Otitis media kronik adalah dijumpainya cairan (Otorrhea) yang purulen sehingga diperlukan drainase. Patogen yang paling umum menginfeksi pada anak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis (Depkes RI, 2005). Universitas Sumatera Utara Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotik oral dan tetes bila disertai pengeluaran sekret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien risiko rendah (yaitu usia > 2 tahun serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien risiko tinggi. Amoksisilin merupakan antibiotik pilihan pertama pada terapi otitis media. Pilihan kedua dapat digunakan amoksisilin-klavulanat, kotrimoksazol, cefuroksim, ceftriaxone, cefprozil dan cefixime (Depkes RI, 2005). 2. Sinusitis Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus pranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut, sinusitis subakut, sinusitis kronik. Sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus pranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala menetap yang dimaksud adalah gejala seperti adanya cairan dari hidung, batuk siang hari yang akan bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, sedangkan yang dimaksud dengan gejala yang berat adalah disamping adanya sekret hidung yang purulen juga disertai demam (bisa sampai 39°C) selama 3-4 hari. Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob dan Staphilococcus aureus (Depkes RI, 2005). Universitas Sumatera Utara Terapi pokok sinusitis meliputi pemberian antibiotik dengan lama terapi 10-14 hari. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotik dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Tujuan dari terapi sinusitis adalah mengurangi tanda dan gejala, mengurangi viskositas sekret dan mengeradikasi kuman (Depkes RI, 2005). 3) Rhinitis Rhinitis didefinisikan sebagai penyakit inflamasi membran mukosa dari nasal dan nasopharing. Sama halnya dengan sinusitis, rhinitis bisa berupa penyakit akut dan kronis yang kebanyakan disebabkan oleh virus dan alergi. Keluhan utama yang dirasakan pasien meliputi hidung berair. Rhinitis paling sering akan menyertai infeksi virus akut pada saluran pernapasan atas, yang sering dikenal dengan influenza (common cold). Virus disebarkan melalui droplet yang berasal dari bersin (Lumbanraja, 2008). Patofisiologi rhinitis adalah terjadinya inflamasi dan pembengkakan mukosa hidung, sehingga menyebabkan edeme dan mengeluarkan sekret hidung. Rhinitis persisten (menetap) mengakibatkan sikatrik fibrosa pada jaringan pengikat dan atropi kelenjar yang mengeluarkan lendir dan ingus. Manifestasi klinis penyakit rhinitis ini meliputi bersin, batuk, hidung berair, demam ringan, sakit tenggorokan dan tidak enak badan (Lumbanraja, 2008). 4) Faringitis Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas. Faringitis yang paling umum disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara bakteri Streptococcus pyogenes yang merupakan Streptococci Grup A hemolitik. Streptococci hemolitik Grup A hanya dijumpai pada 15-30% dari kasus faringitis pada anak-anak dan 5-10% pada faringitis dewasa (Depkes RI, 2005). Sejumlah antibiotik terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococci grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, sefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak-anak dan menunjukkan efektifitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotik oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus (Depkes RI, 2005). 5) Bronkhitis Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut atau kronik. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza dan respiratory synctial virus (Depkes RI, 2005). Terapi antibiotik pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. influenzae. Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Universitas Sumatera Utara Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotik disarankan. Lama terapi dengan antibiotik selama 5-14 hari sedangkan untuk bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari (Depkes RI, 2005). 6) Pneumonia Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkial dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Stapillococcus aureus, Streptococcus grup B, serta kuman atipik klamidia, dan mikoplasma (Depkes RI, 2005). Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotik yang dimulai secara empiris dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri patogen diketahui, antibiotik diubah menjadi antibiotik berspektrum sempit sesuai jenis patogennya (Depkes RI, 2005). 2.2.4 Penggunaan antibiotik pada ISPA 1. Penisilin Penisiin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisida dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Universitas Sumatera Utara Pseudomonas sp. Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V (Depkes RI, 2005). Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak dimiliki (Depkes RI, 2005). Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicilin yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus βlaktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini amoksisilinklavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin (Depkes RI, 2005). 2. Sefalosporin Sefalosporin merupakan derivat β-laktam dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun gram negatif. Sefalosporin dibagi menjadi empat generasi berdasarkan aktivitas antimikrobanya. Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan aktivitas antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman gram positif. Keunggulannya dari penisilin ialah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S. aureus dan Streptococcus. Bakteri gram positif yang juga sensitif ialah Clostridium Universitas Sumatera Utara perfringens, Listeria moncytogenes dan Corynebacterium diphteriae. Sefalosporin generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif, misalnya H. influenza, P. mirabilis, E. Coli dan Klabsiella. Sefalosporin generasi ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaciae, termasuk strain penghasil penisilinase. Sefalosporin generasi keempat mempunyai aktivitas lebih luas dari generasi ketiga dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh betalaktamase. Antibiotik tersebut dapat berguna untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga (Istiantoro dan Rianto, 2007). 3. Makrolida Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom sub unit 50S, dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka (Setiabudy, 2007). Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus spp, Enterococci, H. influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella spp. Batang gram positif yang peka terhadap eritromisin ialah C. Perfringens, C. Diptheriae dan L. monocytogenes. Eritromisin tidak aktif terhadap kebanyakan kuman gram negatif, namun ada beberapa spesies yang sangat peka terhadap eritromisin Universitas Sumatera Utara yaitu N. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. Pneumoniae, Legionella Pneumophilla, dan C. trachomatis. (Depkes RI, 2005). 4. Tetrasiklin Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan ricketsia (Depkes RI, 2005). Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin sekalipun tetap efektif (Depkes RI, 2005). 5. Quinolon Golongan quinolon merupakan antimikroba oral memberikan pengaruh yang baik dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam norfloksacin. Generasi awal pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari Universitas Sumatera Utara pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain (Depkes RI, 2005). Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, staphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon seperti levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis, dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin (Depkes RI, 2005). 6. Sulfonamida Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan Universitas Sumatera Utara pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran kencing (Depkes RI, 2005). Aktivitas antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram-negatif seperti E. coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza, Salmonella serta gram-positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocystis carinii., serta parasit seperti Nocardia sp (Depkes RI, 2005). 2.3 Penggunaan Antibiotik Pada Anak–Anak Penggunaan antibiotik yang tidak tepat baik dalam hal indikasi, maupun cara pemberian akan merugikan penderita serta akan memudahkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik dan dapat menimbulkan efek samping. Hal – hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak – anak, cara pemberian, indikasi, kepatuhan, jangka waktu yang tepat dan dengan memperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi (Prest, 2003). 2.3.1 Pasien anak Masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada anak- anak tidaklah sama dengan orang dewasa, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat yang telah diberi ijin untuk digunakan pada anak- anak, yang memiliki bentuk sediaan yang sesuai (Prest, 2003). Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa penggolongan untuk membagi masa anak – anak. The British Paediatric Association (BPA) Universitas Sumatera Utara mengusulkan rentang waktu berikut yang didasarkan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis (Prest, 2003): - Neonatus : Awal kelahiran sampai usia 1 bulan - Bayi : 1 bulan sampai 2 tahun - Anak : 2 sampai 12 tahun - Remaja : 12 sampai 18 tahun. 2.4 Jenis Obat Menurut Permenkes No. 02.02/Menkes/068/I/2010, obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya dan obat paten adalah obat yang masih memiliki hak paten (PerMenKes RI, 2010). 2.5 Bentuk Sediaan Obat Bentuk sediaan obat adalah bentuk sediaan farmasi yang mengandung zat/bahan berkhasiat, bahan tambahan, dengan dosis serta volume dan bentuk sediaan tertentu, langsung dapat digunakan untuk terapi (Joenoes, 2001). 2.5.1 Obat bentuk sediaan cair Obat bentuk sediaan cair dapat diberikan untuk obat luar, obat suntik, obat minum dan obat tetes seperti larutan, suspensi, emulsi, sirup dan injeksi (Joenoes, 2001). Universitas Sumatera Utara 2.5.2 Obat bentuk sediaan setengah padat Obat bentuk sediaan setengah padat pada umumnya hanya digunakan sebagai obat luar, dioleskan pada kulit untuk keperluan terapi atau berfungsi sebagai pelindung kulit seperti salep, krim dan pasta (Joenoes, 2001). 2.5.3 Obat bentuk sediaan padat Obat bentuk sediaan padat merupakan sediaan dengan system unit/dose mengandung dosis tertentu dari satu atau beberapa komponen obat seperti tablet, kapsul, pulvis pulveres atau puyer dan pil (Joenoes, 2001). Universitas Sumatera Utara