Penulis Harus Berani Mati Oleh: Hanif Nashrullah Sebuah tulisan (baca: Buku) memiliki peran tersendiri yang tidak dimiliki oleh media lain, yaitu membawa angin perubahan terhadap pola pikir dan pandangan hidup masyarakat. Sebuah buku mampu mempengaruhi mindset/paradigma berpikir seseorang. Banyak kata-kata yang terangkai dalam berbagai tulisan terbukti telah merubah dunia. Tulisannya itu sendiri kemudian dikenang sepanjang masa. Sebuah tulisan tetap memiliki pengaruh meski penulisnya telah hilang ditelan masa. Tak dapat dipungkiri, buku berperan besar bagi kelestarian sebuah pandangan hidup. Agama Yahudi, Kristen dan Islam adalah contoh konkret, kalau boleh disebut sebagai komunitas, yang pandangan-pandangannya dibesarkan berkat para penulis-penulisnya. Namun demikian, selain andil melestarikan pandangan hidup tertentu, buku atau kitab juga memegang peranan penting dalam membawa perubahan bagi masyarakat, termasuk dalam hal penyimpangan massal, selain perubahan positif. Dalam hal ini, pengaruh kekuatan ‘pena’ terlihat lebih dahsyat dibandingkan pengaruh pedang atau kekuatan politik. “Kedahsyatan sebuah tulisan lebih berbahaya dari senjata apapun.” kata Abu Nada, penulis Arab ribuan tahun silam. Reaksi ulama-ulama Islam terbilang cukup keras dalam hal membendung pengaruh buruk dari sebuah isi buku bagi umatnya. Konon Ibnu Abbas sampai pernah melarang umat Islam untuk menulis. "Yang membuat umat sebelum kalian menjadi sesat adalah kitab-kitab," begitu alasannya. Lantas, Raja Babilonia, Nebukadnezar, dipersalahkan karena telah membakar/melenyapkan seluruh kitab-kitab keagamaan Yahudi. Buku-buku yang ditulis setelah masa itu diyakini (oleh pemikir Islam khususnya) berpengaruh terhadap berubahnya ajaran-ajaran asli yang disampaikan Nabi Musa karena penulis Yahudi disinyalir telah memasukkan kebohongan-kebohongan dalam tulisannya demi mengeruk keuntungan materi. Terlepas dari tuduhan itu, seorang penulis sebenarnya punya seribu satu motivasi ketika ia mulai menulis. Bisa saja ia mengorbankan kebenaran yang diyakininya karena hendak mengejar popularitas atau kepentingan duniawi atau bisa jadi penulisnya memang meyakini sesuatu yang menyimpang. Karena besarnya pengaruh buku terhadap keyakinan, pemikiran, dan gaya hidup seseorang, maka sangatlah maklum bila hingga jaman modern sekarang ini masih banyak ulama, pada umumnya, yang masih saja melarang para santrinya membaca buku-buku yang isinya tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam Ahlusunah wal Jamaah, seperti karya-karya Muktazilah, Syiah, dan para filosof metafisika. Ulama Islam memang terbilang keras dalam bereaksi terhadap karya-karya buku yang dianggap bisa berpengaruh buruk terhadap pandangan hidup umatnya. Contoh lain, pada penghujung tahun 1980-an, Pemimpin Kharismatik Iran, Ayatollah Khomeini, malah mengeluarkan Fatwa bagi umat Islam sedunia yang menghalalkan untuk membunuh novelis, Salman Rushdie, gara-gara karyanya, ‘Satanic Verses’, dianggap melecehkan Agama Islam. Meski Khomeini telah meninggal pada tahun 1989 akibat kanker prostat, namun Fatwa itu dianggap berlaku sepanjang masa. Salman Rushdie sendiri hingga kini masih selamat dari kejaran Fatwa tersebut di bawah perlindungan hukum negara Inggris. Namun sejumlah penulis yang menerjemahkan buku ‘Satanic Verses’ ke sejumlah bahasa di berbagai belahan bumi lainnya, dilaporkan tewas akibat Fatwa ini. Memang, ada beban berat yang harus dipikul oleh seorang penulis, terlebih ketika masyarakat menolak ideide yang ditawarkan dalam karyanya. Dalam kaitannya dengan hal ini, bisa jadi, resiko terburuk bagi seorang penulis adalah mati! Barangkali itu yang terjadi pada penyair, Widjie Tukul, dan wartawan Bernas, Udin, yang hingga hari ini belum juga diketemukan rimbanya. Buku serial Harry Potter yang ditulis oleh JK Rowling pun tak luput dari amuk massa. Dalam satu kesempatan, sekelompok masyarakat Amerika memotong-motong buku tersebut dan lantas membakarnya karena dinilai mengajarkan hal yang tidak baik bagi anak-anak. Untung saja nasib Rowling tidak setragis Widji Tukul, Udin ataupun para penerjemah buku ‘Satanic Verses’ karya Salman Roshdie. Justru, buku Harry Potter kini digemari semua kalangan dan menyulap Rowling menjadi salah seorang penulis terkaya di dunia. Keberuntungan juga menghinggapi novelis Turki, Orhan Pamuk. Pada tahun 2005 dia mengeluarkan statement yang cukup keras tentang genocide/pembantaian warga Armenia dan Suku Kurdi di masa rezim kekaisaran Ottoman yang mengakibatkan buku-buku karyanya dibakar dan lantas diusir dari Turki. Namun pada tahun 2006 dia memenangi penghargaan Nobel Sastra. Memang, tantangan seorang penulis adalah, dalam menekuni pekerjaan menulis, paling sering tidak ada duitnya. Dalam hal ini, seorang penulis harus siap miskin. Perkara seorang penulis oleh karena karyanya yang sangat kontroversial kemudian ia dihujat dan mendapat tindak kekerasan atau bahkan sampai dibunuh, itu adalah resiko seorang penulis.(*)