40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Uji Pra Estimasi 4.1.1. Uji

advertisement
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Uji Pra Estimasi
4.1.1. Uji Akar Unit (Unit Root Test)
Pada penerapan analisis regresi linier, asumsi-asumsi dasar yang telah
ditentukan harus dipenuhi. Salah satu asumsi dasar regresi linier klasik yang
sering diabaikan adalah asumsi stasioneritas yang merupakan dasar berpijaknya
ekonometrika
(Insukindro,1991).
Pengabaian
terhadap
adanya
asumsi
stasioneritas menyebabkan regresi lancung (spurious regression).
Data variabel ekonomi banyak menggunakan data time series, oleh karena
itu data ini sering menimbulkan permasalahan terkait dengan kestasioneritasan
data. Dalam statistik dan ekonometrik, uji akar unit digunakan untuk menguji
adanya anggapan bahwa sebuah data time series tidak stasioner. Uji yang biasa
digunakan adalah Uji Augmented Dickey–Fuller. Uji lain yang serupa yaitu Uji
Phillips–Perron. Keduanya mengindikasikan keberadaan akar unit sebagai
hipotesis null. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah data
yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman yang
konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Data stasioner adalah data yang
menyebar pada rataan dan simpangan baku tertentu. Hampir 95 persen data-data
ekonomi tidak stasioner. Olehkarena itu harus dilakukan pengujian terlebih dahulu
terhadap kestasioneran data tersebut. Dalam penelitian ini uji yang digunakan
adalah Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) melalui uji akar unit. Model yang
mengandung akar unit akan menimbulkan ketidakvalidan serta menghasilkan
spurious regression atau regresi palsu (Firdaus, 2011).
Regresi palsu/lancung (spurious regression) merupakan data yang
memiliki R2 tinggi, t-statistik dan f-statistik yang signifikan tetapi memiliki dw
yang relative kecil yaitu kurang dari 0,5 (< 0,5). Regresi tersebut terlihat bagus
namun pada kenyataannya tidak, dan hasilnya tidak dapat diinterpretasikan secara
ekonomi. Regresi lancung terjadi ketika hasil regresi menunjukkan hubungan
yang signifikan antarvariabel padahal hal tersebut tidak lain adalah hubungan
contemporaneous dan tidak memiliki makna kausal (Harris, 1995: 14).
Dalam Uji Augmented Dickey-Fuller (ADF), jika nilai ADF lebih kecil
dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
41
stasioner, sementara jika nilai ADF lebih besar dari Mc kinnon Critical Value
berarti data tersebut tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa dalam penelitian ini
nilai kritis Mc Kinnon yang digunakan adalah pada taraf nyata 5 persen. Jika data
berdasarkan uji ADF tidak stasioner maka solusinya adalah dengan proses
diferensiasi.
Berikut hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat level dalam penelitian
ini.
Tabel 4.1 Uji Akar Unit Pada Tingkat Level
Variabel Nilai ADF
G
GW
INV
-5.692273
-3.484692
-2.463660
Nilai Kritis Mc Kinnon
1%
5%
10%
-4.33933
-3.587527 -3.229230
-3.699871 -2.976263 -2.627420
-3.699871 -2.976263 -2.627420
ER
-1.390764
-3.699871
-2.976263
-2.627420
INF
TR
-5.446965
-1.655848
-3.699871
-3.699871
-2.976263
-2.976263
-2.627420
-2.627420
NE
-0.823032
-3.699871
-2.976263
-2.627420
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Tidak
Stasioner
Tidak
Stasioner
Stasioner
Tidak
stasioner
Tidak
Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil pengujian akar unit pada tingkat level dapat diketahui
bahwa dengan menggunakan taraf nyata lima persen terdapa empat variable yang
tidak stasioner, antara lain investasi (INV),nilai tukar (ER), penerimaan pajak
(TR), ekspor bersih (NE) sementara variable lainnya (belanja pemerintah (G),
pertumbuhan ekonomi/PDB (GW), inflasi (INF)) stasioner pada tingkat level.
Data yang tidak stasioner dapat mengakibatkan regresi lancung (spurious
regression) apabila diregresi.
Untuk menjadikan data yang tidak stasioner
menjadi data stasioner maka melakukan diferensiasi data. Pada tingkat
diferensiasi pertama (first diffrerence) umumnya data sudah stasioner. Berikut
hasil uji akar unit setiap variabel pada tingkat diferensiasi pertama.
42
Tabel 4.2 Uji Akar Unit Pada Tingkat Diferensiasi Pertama
Variabel
G
GW
INV
ER
INF
TR
NE
Nilai ADF
-6.616552
-6.494443
-4.703183
-5.314595
-6.284779
-6.284779
-5.922290
Nilai Kritis Mc Kinnon
1%
5%
10%
-4.374307
-3.603202
-3.238054
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.724070
-2.986225
-2.632604
-3.711457
-2.981038
-2.629906
-3.724070
-2.986225
-2.632604
Keterangan
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Stasioner
Sumber: data diolah
Berdasarkan hasil uji akar-akar unit pada tabel 4.2, diketahui bahwa
seluruh data telah stasioner. Dengan kata lain bahwa seluruh variabel stasioner
pada tingkat diferensiasi pertama (first diffrence). Hal itu dapat diketahui karena
nilai ADF lebih kecil dari nilai Mc Kinnon.
4.1.2. Uji Lag Optimal
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR
adalah penentuan jumlah lag optimal yang digunakan dalam model. Penentuan
lag optimal merupakan tahap penting karena variabel independen yang digunakan
adalah lag dari variabel dependen dan juga variabel independennya. Selain hal
tersebut penentuan lag optimal penting karena berkaitan dengan keakuratan
informasi yang dihasilkan oleh estimasi model VAR. Pengujian panjang lag yang
optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan
Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hanan-Quinn
Criterion (HQ).
Tabel 4.3 Hasil Uji Lag Optimal
Lag
0
1
2
LR
NA
246.3622*
61.93655
FPE
0.074544
4.24e-06
1.77e-06*
AIC
17.26850
7.350941
5.489577*
SC
17.60722
10.06069*
10.57035
HQ
17.36604
8.131250
6.952656*
Sumber: data diolah
Tabel 4.3 memperlihatkan hasil tingkat lag optimal berdasarkan berbagai
kriteria. Dalam tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai SC pada lag 1 merupakan
yang terkecil atau minimum, sehingga lag optimal untuk variabel-variabel yang
ingin diestimasi adalah satu.
43
4.1.3. Uji Stabilitas VAR
Sebelum analisis berupa proses innovation accounting dilaksanakan,
dilakukan terlebih dahulu pengujian stabilitas terhadap data. Sistem VAR pada
lag optimal harus stabil. Hal ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh
model dinamik seperti VAR. Sistem VAR yang tidak stabil akan membuat hasil
Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition
(FEVD) tidak valid. Uji stabilitas berdasarkan modulus atau unit lingkaran akan
diterapkan untuk menentukan apakah sistem VAR tersebut stabil pada lag
optimal. Stabilitas sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh akar unitnya memiliki
modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak didalam unit lingkaran.
Tabel 4.4 Hasil Uji Stabilitas VAR
Root
0.949791
0.674162 – 0.294734i
0.674162 + 0.294734i
0.679999
-0.251726 – 0.260855i
-0.251726 + 0.260855i
0.143282
Modulus
0.949791
0.735774
0.735774
0.679999
0.362507
0.362507
0.143282
Sumber: data diolah
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa model VAR yang digunakan dalam
penelitian ini stabil pada lag optimalnya, yaitu pada lag satu karena nilai modulus
dari seluruh roots memiliki nilai kurang dari satu. Dengan demikian peramalan
menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Forever Error Variance
Decomposition (FEVD) yang akan dihasilkan dianggap valid.
4.1.4.
Uji Kausalitas Granger
Analisis hubungan kausalitas dari setiap variabel dapat dilihat dari uji
kausalitas granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas
dilakukan dengan
menggunakan Granger Causality Test dengan hipotesis awal (H0) tidak ada
hubungan kausalitas dan
hipotesis alternatifnya (H1) terdapat hubungan
kausalitas. Kriteria penolakan H0 adalah dengan melihat nilai probabilitas yang
lebih kecil dari nilai kritis yang ditantukan. Hasil uji kausalitas granger dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5
44
Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger
Variabel Probabilytas does Not Granger Cause
G
GW
INV
INF
G
0.8518 0.7565 0.8459
GW
0.4144 0.7826
0.0126*
INV
0.2098
0.4285
0.3270
INF
0.00001* 0.7325 0.3092
NE
0.0710
0.8714 0.8795 0.8889
ER
0.2831
1.0000 0.07738 0.8064
TR
0.0062* 0.6903 0.2183 0.8412
NE
0.0597
0.7936
0.0516
0.5594
ER
0.8034
0.7283
0.0716
0.4215
0.6334
0.0013*
0.0019* 0.1997
TR
0.0023*
0.3744
0.1625
0.7795
0.5623
0.9997
Sumber: data diolah
Hasil Uji kausalitas pada Tabel 4.5 menunjukkan bahwa terdapat hubungan
dua arah antara variabel TR dengan variabel G. Hipotesis nol yang menyatakan
bahwa TR tidak mempengaruhi G, ditolak pada tingkat signifikansi lima persen
( tolak H0, pada α = 5%), demikian juga dengan sebaliknya. Hipotesis nol yang
menyatakan bahwa G tidak mempengaruhi TR ditolak pada tingkat signifikasi
lima persen. Artinya penerimaan pajak mempengaruhi pengeluaran/belanja
pemerintah, sebaliknya pengeluaran pemerintah mempengaruhi penerimaan pajak.
Berdasarkan Tabel 4.5 juga diperoleh beberapa variabel yang memiliki
hubungan satu arah dengan variabel lainnya pada tingkat signifikansi lima persen.
Varibel yang memiliki hubungan satu arah tersebut antara lain variabel GW
dengan variabel G, variabel INF dengan variabel G, variabel ER dengan variabel
NE, dan variabel TR dengan Variabel NE.
4.1.5. Uji Kointegrasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam VAR atau VECM adalah
semua variabel endogen dan variabel eksogen bersifat stasioner. Apabila variabel
tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji kointegrasi. Jika variabel yang tidak
stasioner terkointegrasi, maka kombinasi linier antar variabel dalam sistem akan
bersifat stasioner, sehingga dapat diperoleh persamaan yang stabil (Enders, 1995).
Pengujian kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka
panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi
yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat
satu I (1). Salah satu cara untuk menguji kointegrasi yaitu dengan menggunakan
uji kointegrasi Johansen.
45
Dalam penelitian ini uji kointegrasinya menggunakan pendekatan
Johansen dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang
digunakan, yaitu lima persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value
lima persen maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji
kointegrasi berdasarkan trace test dapat dilihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.6 Hasil Uji Kointegrasi
Hyputhesized
No.of CE (s)
None*
At most 1*
At most 2*
At most 3
At most 4
At most 5
Eigenvalue
Trace statistic 0.05 Critical Value
Prob.**
0.935471
0.914792
0.717396
0.513988
0.470493
0.248177
213.9335
142.6769
78.64778
45.79138
27.03182
10.50081
0.0000
0.0000
0.0083
0.0772
0.1008
0.2442
125.6154
95.75336
69.81889
47.85613
29.79707
15.49471
Sumber: data diolah
Jika trace statistic lebih besar dari critical value
lima persen,maka
persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H0 = non kointegrasi dengan
hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Jika trace statistic lebih besar dari critical
value lima persen, maka tolak H0 atau terima H1 yang artinya terjadi kointegrasi.
Dari tabel 4.6 dapat diketahui bahwa terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi
dalam penelitian ini. Karena terdapat persamaan yang terkointegrasi maka model
yang akan digunakan adalah model Vector Error Correction Model (VECM),
46
4.2
Hasil Estimasi VECM
Dalam penelitian ini diketahui bahwa data tidak stasioner pada tingkat
level dan memiliki hubungan kointegrasi, maka metode yang digunakan adalah
VECM. Estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed
of adjustment) atas ketidakstabilan jangka panjang.
Berikut adalah hasil estimasi VECM:
Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM
Variabel
D(G(-1))
D(TR(-1))
D(INV(-1))
D(ER(-1))
D(NE(-1))
D(INF(-1))
D(GW(-1))
CointEq1
CointEq2
CointEq3
ER(-1)
NE(-1)
INF(-1)
GW(-1)
Koefisien
Jangka Pendek
-0.024003
0.615376
-0.134906
0.232028
0.499099
0.016210
0.131465
0.021919
0.106968
0.196814
Jangka Panjang
-1.763985
-0.951694
0.103044
-0.350687
T-Statistik
-0.11960
1.78643
-1.15844
0.36084
2.45276*
1.56646
3.79761*
0.30064
1.60282
3.10773*
-4.42568*
-2.05715*
5.24666*
-5.89491*
Catatan: tanda asterik (*) menunjukkan signifikan berdasarkan tabel T-statistik
pada taraf nyata 5 persen. Sumber: data diolah
Tabel diatas merupakan rangkuman hasil VECM untuk melihat pengaruh
dan signifikansi variabel dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka
pendek, penerimaan pajak, nilai tukar, ekspor bersih, inflasi dan pertumbuhan
PDB berpengaruh positif namun tidak semuanya variabel tersebut sigifikan.
Penerimaan pajak, nilai tukar, inflasi memiliki pengaruh positif, namun tidak
signifikan. Sedangkan variabel ekspor bersih dan pertumbuhan PDB memiliki
pengaruh positif dan signifikan.
Hasil estimasi VECM
jangka pendek
menunjukkan bahwa variabel
ekspor bersih berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah dan signifikan
pada taraf nyata 5 persen sebesar 0,499099. Artinya apabila terjadi kenaikan pada
ekspor bersih sebesar satu persen maka akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah sebesar 0,499099 persen. Beberapa teori ekonomi
47
menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi tingkat output
nasional. Pengeluaran pemerintah yang lebih tinggi akan meningkatkan output
agregat. Peningkatan output agregat ini mengakibatkan penurunan impor dan
mendorong peningkatan ekspor, sehingga pendapatan negara meningkat karena
penerimaan negara dari ekspor mengalami peningkatan.
Variabel pertumbuhan PDB pada lag pertama signifikan dan berpengaruh
positif terhadap pengeluaran pemerintah dalam jangka pendek sebesar 0,131465.
Artinya apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar satu persen maka akan
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,131465 persen. Hal
ini sesuai dengan teori Wagner yang menyatakan bahwa dalam suatu
perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif
pengeluaran pemerintah pun akan meningkat terutama apabila terjadi kegagalan
pasar. Kegagalan bisa saja terjadi menimpa industri-industri tertentu dari negara
tersebut. Kegagalan dari suatu industri dapat saja berpengaruh ke industri lain
yang saling terkait. Disini diperlukan peran pemerintah untuk mengatur hubungan
antara masyarakat, industri, hukum, pendidikan, dll.
Hasil dari penelitian ini juga sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman.
Dimana, inti dari teori ini adalah pertumbuhan PDB menyebabkan pemungutan
pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya
penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga meningkat. Oleh
karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan
pemerintah semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi
semakin besar.
Tabel 4.7 juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat empat
variabel yang signifikan secara statistik pada taraf nyata lima persen terhadap
variabel pengeluaran pemerintah. Variabel nilai tukar (ER), ekspor bersih (NE)
dan pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif terhadap pengeluaran
pemerintah. Sementara variabel inflasi memiliki pengaruh positif terhadap
pengeluaran pemerintah.
Variabel nilai tukar (ER) berpengaruh negatif dan signifikan dalam jangka
panjang. Variabel nilai tukar pada jangka panjang signifikan secara statistik pada
taraf nyata 5 persen sebesar 1,763985. Artinya apabila terjadi kenaikan nilai tukar
48
sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar
1,763985 persen. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa
apabila terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS akan berdampak
pada penurunan jumlah Rupiah, karena terjadi penurunan pembiayaan barang dan
jasa yang menggunakan valuta asing. Kondisi tersebut menyebabkan pengeluaran
pemerintah mengalami penurunan.
Variabel inflasi (INF) berpengaruh positif dan signifikan dalam jangka
panjang dengan koefisien 0,103044. Artinya apabila terjadi kenaikan inflasi
sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar 0,103044 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap inflasi. Kenaikan tingkat inflasi akan
meyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah. Tingkat inflasi yang
meningkat ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa serta faktor produksi.
Oleh karena itu peningkatan tingkat inflasi akan mengakibatkan kenaikan pada
pengeluaran total. Pengeluaran total dapat berasal dari pengeluaran konsumsi
masyarakat, konsumsi pemerintah dan pengeluaran investasi sektor swasta.
Variabel pertumbuhan PDB (GW) berpengaruh negatif dan signifikan
dalam jangka panjang dengan nilai koefisien sebesar 0,350687. Artinya dalam
jangka panjang apabila terjadi kenaikan pertumbuhan PDB sebesar 1 persen akan
menyebabkan penurunan pengeluaran pemerintah sebesar 0,350687 persen. Hasil
ini adalah sesuai dengan penelitian Ramayadi (2003) yang menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dan
mempunyai hubungan dalam jangka panjang. Hipotesis ini juga sesuai dengan
teori Keynesian yang menyatakan bahwa dalam jangka panjang pendapatan
nasional memberikan pengaruh positif terhadap investasi. Peningkatan pendapatan
nasional ataupun PDB menyebabkan kenaikan permintaan masyarakat. Untuk
memenuhi peningkatan permintaan masyarakat tersebut maka jumlah produksi
akan ditingkatkan, sehingga diperlukan investasi-investasi baru dan terjadi
perluasan kesempatan kerja.
Berdasarkan teori Musgrave dan Rostow, perkembangan pengeluaran
pemerintah sejalan dengan tahap perkembangan ekonomi dari suatu negara. Pada
tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran yang besar untuk
49
investasi pemerintah utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana
jalan, kesehatan, pendidikan, dll. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi
investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi namun diharapkan
investasi swasta sudah mulai berkembang, sehingga pengeluaran pemerintah
terhadap investasi pemerintah berkurang. Pada tahap lanjut pembangunan
ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan utamanya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan dan
jaminan sosial dsb. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam jangka panjang peran
investasi swasta akan semakin meningkat namun sebaliknya untuk
investasi
pemerintah akan semakin menurun sehingga mengakibatkan pengeluaran
pemerintah mengalami penurunan, sementara PDB mengalami kenaikan atau
dengan kata lain terjadi pertumbuhan ekonomi.
50
4.3
Analisis Impulse Response Function (IRF)
4.3.1 Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pengeluaran Pemerintah Sebelumnya
Guncangan pengeluaran pemerintah periode sebelumnya adalah sangat
berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah periode selanjutnya.
Banyak hal yang meyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah tersebut
diantaranya adalah adanya peningkatan tingkat inflasi, tingkat suku bunga, nilai
tukar rupiah yang melemah terhadap valuta asing, meningkatnya pengeluaran
pemerintah terhadap pengeluaran investasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan
hasil dari penelitian ini. Dalam grafik respon pengeluaran pemerintah terhadap
guncangan yang diberikan terhadap variabel itu sendiri dapat dilihat bahwa
guncangan yang diberikan terhadap pengeluaran pemerintah direspon positif oleh
variabel itu sendiri pada periode selanjutnya. Dimana guncangan pengeluaran
pemerintah sebesar satu standar deviasi akan menyebabkan peningkatan
pengeluaran pemerintah sebesar 0,13 persen pada periode tahun pertama.
Response of G to Cholesky
One S.D. G Innovation
.14
.12
.10
.08
.06
.04
.02
.00
1
Gambar 4.1
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pengeluaran Pemerintah
4.3.2. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pertumbuhan PDB
Guncangan pertumbuhan PDB pada tahun pertama belum direspon oleh
pengeluaran
pemerintah.
Namun
pada
periode
selanjutnya
guncangan
pertumbuhan PDB telah mendapat respon dari variabel pengeluaran pemerintah.
Guncangan pada pertumbuhan PDB direspon positif oleh pengeluaran pemerintah.
51
Berdasarkan gambar 4.2 dapat dilihat bahwa peran pengeluaran pemerintah
terhadap pertumbuhan PDB adalah sangat kecil, sehingga belum cukup
menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah dipengaruhi oleh
tingginya konsumsi dari penduduk Indonesia. Mengingat bahwa jumlah
penduduk Indonesia tergolong cukup besar.
Response of G to Cholesky
One S.D. GW Innovation
.07
.06
.05
.04
.03
.02
.01
.00
1
2
3
4
5
Gambar 4.2 Respon Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Pertumbuhan PDB
4.3.3. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Investasi
Guncangan satu standar deviasi pada investasi belum direspon oleh
pengeluaran pemerintah pada periode awal. Namun pada periode selanjutnya
guncangan pada investasi telah direspon oleh pengeluaran pemerintah. Hal ini
menunjukkan guncangan yang terjadi pada investasi tidak terlalu berpengaruh
terhadap perubahan pengeluaran pemerintah. Dapat dilihat pada gambar 4.3,
dimana pada periode kedua guncangan investasi sebesar satu standar deviasi akan
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 0,025 persen.
52
Response of G to Cholesky
One S.D. INV Innovation
.04
.02
.00
-.02
-.04
-.06
1
Gambar 4.3
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Investasi
4.3.4. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Nilai
Tukar
Guncangan yang terjadi pada nilai tukar pada periode pertama direspon
positif oleh pengeluaran pemerintah. Guncangan nilai tukar sebesar satu standar
deviasi pada periode pertama menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar 0,18 persen. Pada periode kedua guncangan nilai tukar direspon negatif
oleh pengeluaran pemerintah sebesar 0,18 persen. Periode ketiga hingga periode
selanjutnya guncangan nilai tukar direspon positif oleh pengeluaran pemerintah,
artinya depresiasi nilai tukar Rupiah mengakibatkan peningkatan pengeluaran
pemerintah. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang menyatakan bahwa apabila
terjadi depresiasi rupiah akan berdampak pada peningkatan jumlah rupiah yang
dikeluarkan untuk pembiayaan ekonomi internasional. Pembiayaan ekonomi
internasional antara lain transaksi perdagangan internasional yang pembayarannya
menggunakan valuta asing. Depresiasi mata uang rupiah menyebabkan
peningkatan pembayaran valuta asing sehingga berdampak pada peningkatan
pengeluaran pemerintah. Depresiasi mata uang Rupiah juga akan menyebabkan
jumlah utang luar negeri Indonesia semakin meningkat. Hasil IRF ini
menunjukkan bahwa nilai tukar memiliki pengaruh besar terhadap perubahan
pengeluaran pemerintah.
53
Response of G to Cholesky
One S.D. ER Innovation
.20
.15
.10
.05
.00
-.05
-.10
-.15
-.20
1
2
Gambar 4.4
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Nilai Tukar
4.3.5. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan Inflasi
Guncangan pada inflasi tidak direspon cepat oleh pengeluaran pemerintah.
dibuktikan dengan guncangan inflasi pada periode pertama belum direspon oleh
pengeluaran pemerintah.
Response of G to Cholesky
One S.D. INF Innovation
.04
.02
.00
-.02
-.04
-.06
-.08
-.10
-.12
1
Gambar 4.5
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Inflasi
Guncangan inflasi sangat berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran
pemerintah, terutama pada jangka yang pendek, namun semakin lama pengaruh
54
guncangan inflasi terhadap pengeluaran pemerintah akan semakin kecil.
Guncangan inflasi secara umum direspon negatif oleh pengeluaran pemerintah.
Pada periode kedua guncangan inflasi sebesar satu standar deviasi mengakibatkan
perubahan pengeluaran pemerintah sebesar 0,12 persen.
Pada keadaan Inflasi, daya saing untuk barang ekspor berkurang.
Berkurangnya daya saing terjadi karena harga barang ekspor makin mahal. Masih
dapat menyulitkan para eksportir dan negara. Negara mengalami kerugian karena
daya saing barang ekspor berkurang, yang mengakibatkan jumlah penjualan
berkurang. Devisa yang diperoleh juga semakin kecil.
4.3.6. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Penerimaan Pajak
Guncangan penerimaan pajak pada tahun pertama belum mendapat respon
dari pengeluaran pemerintah. Variabel pengeluaran pemerintah mulai merespon
guncangan penerimaan pajak pada tahun selanjutnya. Secara umum respon
pengeluaran pemerintah terhadap guncangan penerimaan pajak adalah positif.
Response of G to Cholesky
One S.D. TR Innovation
.05
.04
.03
.02
.01
.00
1
2
3
4
5
Gambar 4.6 Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Penerimaan Pajak
Dari gambar 4.6 pada periode ketiga (periode dengan respon tertinggi)
dapat dilihat guncangan penerimaan pajak sebesar satu standar deviasi
menyebabkan peningkatan pengeluaran pemerintah hanya sebesar 0,04 persen.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa guncangan yang terjadi pada penerimaan
pajak tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan pengeluaran pemerintah.
55
4.3.7. Analisis Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Ekspor Bersih
Guncangan ekspor bersih pada tahun pertama belum mendapat respon dari
pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah baru merespon guncangan
ekspor bersih pada tahun selanjutnya. Dari hasil IRF variabel ekspor bersih
terhadap variabel pengeluaran pemerintah dapat dilihat bahwa variabel ekspor
bersih sangat memengaruhi variabel pengeluaran pemerintah terutama dalam
jangka pendek. Guncangan ekspor bersih pada lima periode awal direspon positif
oleh pengeluaran pemerintah.
Response of G to Cholesky
One S.D. NE Innovation
.035
.030
.025
.020
.015
.010
.005
.000
1
Gambar 4.7
4.4
2
3
4
5
Respon Pengeluaran Pemerintah terhadap Guncangan
Ekspor Bersih
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD bermanfaat untuk menjelaskan kontribusi dari masing masing
variabel terhadap guncangan yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen
utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain
dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian. Dalam
kaitannya dengan FEVD maka penelitian ini akan membahas bagaimana
kontribusi berbagai macam variabel yang terdapat dalam ruang lingkup penelitian
terhadap pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan hasil dekomposisi varian (gambar 4.8), dapat disimpulkan
bahwa variabel pengeluaran pemerintah dominan dijelaskan oleh guncangan pada
variabel itu sendiri dari awal periode hingga akhir periode. Pada periode pertama
56
variabel pengeluaran pemerintah
memiliki kontribusi yang besar
terhadap
variabel itu sendiri yaitu sekitar 33 persen. Pada periode pertama yang paling
banyak memberi kontribusi terhadap pengeluaran pemerintah adalah variabel nilai
tukar yaitu sebesar 77 persen. Pada periode kedua tampak variabel-variabel lain
mulai mempengaruhi
variabilitas
dari variabel pengeluaran pemerintah.
Gambar 4.8 Variance Decomposition of G
110
100
90
80
70
60
50
40
5
10
15
20
ER
INF
TR
25
G
INV
30
35
40
45
50
GW
NE
Hasil FEVD diatas juga menunjukkan bahwa variabel yang memberikan
kontribusi besar terhadap guncangan pada pengeluaran pemerintah adalah nilai
tukar, inflasi dan pertumbuhan PDB negara Indonesia. Selain dari variabel
tersebut
hanya memberikan kontribusi yang sedikit terhadap guncangan
pengeluaran pemerintah.
57
4.5
Implikasi Kebijakan
Pengeluaran pemerintah Indonesia setiap tahunnya mengalami perubahan.
Masing-masing negara memiliki target pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai
setiap periode, demikian juga dengan negara Indonesia. Hal inilah yang menjadi
tujuan dari peningkatan pengeluaran pemerintah setiap tahunnya, yakni mencapai
target pertumbuhan ekonomi yang telah ditentukan pada awalnya. Untuk
mencapai target pertumbuhan ekonomi tersebut
pemerintah dapat melakukan
kebijakan manajemen pengelolaan pengeluaran pemerintah, sehingga pengeluaran
pemerintah tersebut terstruktur dan jelas. Seperti halnya dalam Penyusunan
RAPBN haruslah optimal, dan pelaksanaan APBN harus sesuai dengan RAPBN
tersebut. Pengelolaan pengeluaran pemerintah yang baik juga akan berdampak
pada kondisi lingkungan ekonomi yang kodusif. Lingkungan yang kondusif ini
secara langsung akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
ekonomi Indonesia.
Menurut sumber terjadinya inflasi, inflasi dipengaruhi dari sisi permintaan
dan sisi penawaran. Dimana inflasi dari sisi permintaan dapat dipengaruhi oleh
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal contohnya kebijakan defisit atau surplus
anggaran. Sedangkan, inflasi dari sisi penawaran terjadi diluar otoritas moneter
seperti Tarif Dasar Listrik, harga BBM, dan harga pangan. Implikasi kebijakan
untuk meminimalisir dampak dari guncangan
inflasi ini yaitu perlu adanya
koordinasi yang baik antara kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan
harga dalam mengendalikan inflasi. Hal ini, dikarenakan bank indonesia hanya
dapat mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar dari sektor moneter
saja. Oleh karena itu perlu ada kerja sama yang baik dengan pemerintah dalam
pengendalian inflasi dari sektor lainnya. Kebijakan
menyangkut pengaturan
tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan yang secara langsung dapat
mempengaruhi permintaan total dan dengan demikian akan mempengaruhi harga.
Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total. Kebijakan yang berupa
pengurangan pengeluaran pemerintah serta kenaikan pajak akan dapat mengurangi
permintaan total. Sehingga, inflasi dapat ditekan.
Ketika terjadi depresiasi nilai tukar maka harga barang impor meningkat.
Peningkatan harga barang impor ini dapat menyebabkan peningkatan struktur
58
biaya ataupun peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga mendorong
terjadinya kenaikan harga barang domestik. Implikasi kebijakan yang dapat
dilakukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yaitu melalui kebijakan suku
bunga dalam operasi pasar terbuka. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka
masyarakat akan cenderung menukarkan uangnya dengan surat berharga atau
obligasi, karena suku bunga adalah harga uang dimasa depan. Sehingga jumlah
uang beredar di masyarakat berkurang. Apabila uang rupiah relatif berkurang
dibandingkan mata uang asing, maka nilai rupiah akan cenderung menguat
terhadap mata uang asing.
Ekpor bersih yang semakin meningkat akan membawa pengaruh positif
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia melalui pertumbuhan produk domestik
bruto. Untuk itu pemerintah harus menggalakkan kebijakan ekspor berjumlah
lebih besar daripada impor, dan kebijakan mencintai produk Indonesia. Tujuan
dari kebijakan tersebut adalah perolehan surplus perdagangan luar negeri yang
berpengaruh terhadap cadangan devisa Indonesia yang melimpah. Devisa yang
dihasilkan dari ekspor merupakan penebus dari impor. Peningkatan cadangan
devisa akan meningkatkan pendapatan pemerintah dan memperkecil perluang
terjadinya defisit anggaran. Peningkatan cadangan devisa ini juga dapat
membantu Indonesia mengatasi masalah utang luar negeri. Akan lebih baik lagi
apabila Industri nasional memiliki orientasi ekspor sehingga terjadi perluasan
kesempatan kerja atau tingkat penyerapan angkatan kerja mengalami peningkatan.
Kondisi tersebut akan menyebabkan neraca pembayaran yang favorable/sehat.
Artinya total ekspor lebih besar dibandingkan dengan total impor dan peningkatan
cadangan devisa yang diperoleh dari surplus ekspor bukan dari bertambahnya
utang luar negeri.
Pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan pendapatan nasional.
Pertumbuhan ekonomi merupakan bagian pembangunan ekonomi yang bersifat
konkret dan nyata. Dalam pandangan permintaan agregat Keynesian, pendapatan
nasional dihasilkan lewat konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ditambah
keseimbangan ekspor impor (ekspor bersih). Jadi produk domestik bruto
meningkat, jika pelaku ekonomi dalam arus kegiatan ekonomi melakukan
aktivitas belanja yang meningkat. Dengan kata lain, terjadi peningkatan belanja
59
konsumsi oleh konsumen, produsen memperbesar investasinya, belanja negara
meningkat dan terjadi peningkatan ekspor bersih. Oleh karena itu, kebijakan
ekonomi pemerintah yang diberlakukan adalah kebijakan berfokus pada
pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh perluasan kesempatan kerja,
perkembangan harga dan nilai tukar yang stabil, serta utang luar negeri yang
terkendali sehingga tidak terjadi “gali lubang, tutup lubang” dalam APBN.
Download