perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Rumah Sakit Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah sakit juga merupakan salah satu sarana kesehatan, dan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien. Dimana upaya kesehatan dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep inilah yang menjadi pedoman dan pegangan setiap fasilitas kesehatan khususnya rumah sakit ( Depkes RIa, 2009). Rumah sakit adalah suatu instansi yang menyediakan tempat dan memberikan jasa pelayanan kesehatan meliputi tindakan observasi, diagnostik, terapetik, dan rehabilitatif untuk orang-orang yang menderita sakit. Rumah sakit di dalam Sistem Kesehatan Nasional, menjadi salah satu unsur yang harus memenuhi tujuan pembangunan kesehatan, yaitu untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional (Depkes RIb, 2009). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kategori rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan adalah sebagai berikut ( Depkes RIa, 2009): a. rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. b. rumah sakit khusus, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Kategori rumah sakit berdasarkan pengelolaannya adalah sebagai berikut ( Depkes RIa, 2009): a. rumah sakit publik Dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. b. rumah sakit privat Dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri atas ( Depkes RIa, 2009): a. rumah sakit umum kelas A, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan subspesialistik luas. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b. rumah sakit umum kelas B, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas spesialistik dan subspesialistik terbatas. c. rumah sakit umum kelas C, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. d. rumah sakit umum kelas D, adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar. 2. Layanan Rumah Sakit Menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/Menkes/SK/XI/1992 disebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik, dan subspesialistik. Rumah sakit umum mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan (Depkes RI, 1992). Untuk menyelenggarakan upaya tersebut, rumah sakit umum antara lain berfungsi menyelenggarakan: 1) Pelayanan rawat jalan, 2) Pelayanan rawat inap, 3) Pelayanan Penunjang Medik, antara lain: Farmasi, Laboratorium, Radiologi, Gizi, 4) Pelayanan Penunjang Umum, meliputi fungsi administrasi rumah sakit (Depkes RI, 1992). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3. Panitia Farmasi dan Terapi Menurut Depkes RI (2004), Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari farmasi rumah sakit, serta tenaga kesehatan lainnya. Tujuan dari dibentuknya PFT adalah: a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan obat serta evaluasinya. b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan. Susunan kepanitiaan PFT harus sekurang-kurangnya terdiri dari tiga dokter, apoteker, dan perawat. Untuk rumah sakit yang besar tenaga dokter bisa lebih dari tiga orang yang mewakili semua staf medis fungsional yang ada. Ketua PFT dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah farmakolog. Sekretarisnya adalah dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk (Depkes RI, 2004). Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur sedikitnya dua bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali. Rapat PFT dapat mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan PFT. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT diatur oleh sekretaris, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id termasuk dari hasil-hasil rapat. Panitia Farmasi dan Terapi harus membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat (Depkes RI, 2004). Menurut Depkes RI (2004), kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi adalah: a. Memberikan rekomendasi pada pimpinan rumah sakit untuk mencapai budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional. b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain. c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat terhadap pihak-pihak yang terkait. d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut. Menurut Depkes RI (2004), fungsi dan ruang lingkup Panitia Farmasi dan Terapi adalah: a. Mengembangkan formularium di rumah sakit dan merevisinya. b. Pemilihan obat untuk dimasukkan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi secara objektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat yang sama. c. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf medis. perpustakaan.uns.ac.id d. digilib.uns.ac.id Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang termasuk dalam kategori khusus. e. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan mengenai penggunaan obat di rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional. f. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi. Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus penggunaan obat secara rasional. g. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat. h. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf medis dan perawat. Menurut Depkes RI (2004), tugas Panitia Farmasi dan Terapi adalah: a. Memberi nasehat pada staf medis dan administrasi rumah sakit untuk seluruh masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat-obatan, termasuk obat yang sedang dalam penelitian. Keputusan yang diambil PFT harus ditinjau dan disetujui oleh direktur dan staf terkait. b. Membuat formularium yang disetujui penggunaanya oleh rumah sakit dan mengadakan revisi terus menerus. Pemilihan obat-obatan untuk masuk dalam formularium berdasarkan penilaian obyektif tentang manfaat, keamanan dan biaya pengobatan. PFT harus mengurangi seminimal mungkin duplikasi, jenis obat, kualitas obat, produk obat yang sama. PFT harus mengevaluasi, menyetujui atau menolak obat-obat baru atau obat yang telah diusulkan oleh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id anggota staf medis untuk dimasukkan dalam formularium atau obat-obatan yang telah diusulkan untuk dihapus dari formularium. c. Mendefinisikan kategori obat-obatan yang digunakan rumah sakit dan menentukan kategori spesifik untuk setiap obat. d. Memberi masukan kepada instalasi farmasi di dalam mengembangkan dan meninjau kebijaksanaan, tata tertib dan pengaturan penggunaan obat-obatan di rumah sakit sesuai dengan peraturan lokal, regional, dan nasional. e. Meninjau penggunaan obat-obatan di rumah sakit dan mendorong pelaksanaan standar terapi secara rasional. f. Mengumpulkan dan meninjau laporan tentang efek samping obat. g. Mengembangkan dan menyebarkan materi dan program pendidikan yang berkaitan dengan obat-obatan kepada staf medis dan keperawatan. 4. Instalasi Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah suatu departemen atau bagian di suatu rumah sakit yang berada di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundangundangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, dan merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggungjawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Siregar dan Amalia, 2004). Kegiatan pada instalasi ini terdiri dari pelayanan farmasi minimal yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan perbekalan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mutu, pengendalian distribusi pelayanan umum dan spesialis, pelayanan langsung pada pasien serta pelayanan klinis yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan (Siregar dan Amalia, 2004). Menurut Kepmenkes RI No. 1197/Menkes/SK/X/2004 fungsi instalasi farmasi rumah sakit adalah sebagai tempat pengelolaan perbekalan farmasi serta memberikan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan. Farmasi rumah sakit menurut Syamsi (1994) mempunyai peran secara manajerial dan profesional dalam semua tahap pembuatan formularium kegiatan rumah sakit, yaitu: 1. Tahap pembuatan kebijaksanaan (policy making): secara integrative disertakan bersama unsur lain dalam berbagai kepanitiaan, khususnya PFT. 2. Tahap penyelenggaraan tugas bersama unsur lain dalam kepanitiaan pengadaan dalam hal perencanaan, dan pembelian obat-obatan, bahan kimia, alat kesehatan, dan gas medis. 3. Tahap pelaksanaan tugas meliputi: a. Penyimpanan dan pendistribusian obat-obatan, bahan kimia, alat kesehatan, dan gas medis. b. Produksi sediaan farmasi tertentu sesuai rujukan. c. Pendidikan dan pelatihan. d. Penyuluhan informasi obat, dan e. Menangani sterilisasi sentral. perpustakaan.uns.ac.id 4. digilib.uns.ac.id Tahap pengawasan meliputi: a. Pengawasan kualitas dan kuantitas obat-obatan saat penerimaan dan penyimpanan. b. Pengawasan lalu lintas dan distribusi obat. c. Cara menyimpan dan penggunaan obat di rumah sakit, dan langsung dan penyalahgunaan obat. 5. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan bertanggungjawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes RI, 2009). Pelayanan kefarmasian dalam hal memberikan perlindungan terhadap pasien berfungsi (Bahfen, 2006): a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya, tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan obat. b. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan pemilihan obat yang tepat. c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifiksi pengobatan. d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien. perpustakaan.uns.ac.id e. digilib.uns.ac.id Menyediakan dan memelihara serta memfasilitasi pengujian pengobatan bagi pasien penyakit kronis. f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat. g. Pembuatan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat. h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan. i. Menyediakan pendidikan mengenai obat-obatan untuk tenaga kesehatan. Standar pelayanan minimal untuk farmasi dapat dilihat sebagai berikut (Depkes RI, 2008): a. Waktu tunggu pelayanan 1) Obat jadi Waktu tunggu pelayanan obat jadi adalah tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat jadi. Standar minimal yang ditetapkan 2) Obat racikan Waktu tunggu pelayanan obat racikan adalah tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat racikan. b. Tidak adanya kesalahan pemberian obat Kesalahan pemberian obat meliputi: kesalahan memberikan jenis obat, salah dalam memberikan dosis, salah orang, dan salah jumlah. Standar minimal yang ditetapkan adalah 100%. c. Kepuasan pelanggan perpustakaan.uns.ac.id d. digilib.uns.ac.id Peresepan sesuai formularium Standar minimal yang ditetapkan adalah 100 %. 6. Kebijakan dan Peraturan Menurut Anwar (1990) dan Balasubramanian (1990) dalam bukunya yang berbeda mengungkapkan, dari sisi penggunaan obat perlu ditekankan adanya kebijakan pengobatan yang rasional dengan 6 tanda umum yang mendasarinya, yaitu: a. Kebutuhan (need), yaitu pengobatan harus sesuai dengan kebutuhan medis yang nyata, obat harus dapat memperbaiki kualitas dan meningkatkan pelayanan kesehatan. b. Effectiveness, yatu obat harus mempunyai nilai terapetik dan manfaatnya harus seperti yang diinginkan. c. Safety, yaitu obat harus aman dan manfaatnya melebihi efek sampingnya. d. Economy, yaitu obat harus bermanfaat dan harganya terjangkau. e. Access, yaitu obat harus dapat diperoleh bagi yang membutuhkan. f. Information, yaitu obat harus diberikan dengan informasi yang jelas dan cukup. Untuk meningkatkan pemakaian obat secara rasional, sehingga dapat memenuhi lebih banyak penderita dan harganya terjangkau, pemerintah telah melakukan beberapa langkah antara lain (Wambrauw, 2006): a. Ditetapkannya kebijakan obat nasional pada tahun 1983 melalui SK Menkes No. 47/MENKES/PER/11/1983. perpustakaan.uns.ac.id b. digilib.uns.ac.id Dikeluarkannya SK Menkes No. 725a/MENKES/SK/IX/1989 untuk menarik 285 jenis obat dari peredaran obat-obat yang tidak terbukti khasiatnya, tidak efektif, tidak rasional, dan merugikan. c. Buku Standar Minimal Pelayanan Rumah Sakit (2008) menetapkan standar minimal kesesuaian resep dengan formularium rumah sakit yaitu 100%. d. Peraturan WHO (1993) dalam Selected Drug Use Indicators yang menetapkan standar minimal kesesuaian peresepan dengan formularium rumah sakit yaitu 100%. e. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor: 477/Menkes/SK/XI/1983 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 1983 dan Peraturan Menteri 085/Menkes/PER/I/1989 Kesehatan yang Republik diperbarui dengan Indonesia Peraturan Nomor Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 068/Menkes/PER/I/2010 tentang Kewajiban Menulis Resep menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah menjadi dasar penyusunan formularium rumah sakit. 7. Formularium Rumah Sakit Berdasarkan SP (Surat Pernyataan) Direktur No: 024/INS/SP/Dir/IX/97, maka mulai 23 September 1997 diberlakukan formularium. Formularium digunakan sebagai langkah pertama untuk digunakan sebagai panduan di kemudian hari. Dengan SP ini, formularium rumah sakit merupakan sarana yang kuat untuk meningkatkan kualitas dan mengawasi biaya obat yang dipergunakan untuk pengobatan di rumah sakit (Wambrauw, 2006). Persoalan pokok dari formularium rumah sakit ialah adanya pelaksanaan sistem pendataan sekumpulan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id produk obat yang secara terus menerus ditinjau ulang. Obat-obatan tersebut dipilih oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), ditunjang dengan adanya informasi pendukung yang penting tentang penggunaan obat-obatan tersebut, tentang kebijaksanaan, serta prosedur farmasi yang relevan (Feely, 1990). Formularium adalah himpunan obat yang diterima atau disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan. Menurut Depkes RI (2004), komposisi formularium adalah sebagai berikut: a. Halaman judul b. Daftar nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi c. Daftar isi d. Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat e. Produk obat yang diterima untuk digunakan f. Lampiran. Sistem yang dipakai adalah suatu sistem yang prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien. Menurut Depkes RI (2004), pedoman penggunaan formularium meliputi: a. Membuat kesepakatan antara staf medis dari berbagai disiplin ilmu dengan Panitia Farmasi dan Terapi dalam menentukan kerangka mengenai tujuan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id organisasi, fungsi dan ruang lingkup. Staf medis harus mendukung sistem formularium yang diusulkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi. b. Staf medis harus dapat menyesuaikan sistem yang berlaku dengan kebutuhan tiap-tiap institusi. c. Staf medis harus menerima kebijakan-kebijakan dan prosedur yang ditulis oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk menguasai sistem formularium yang dikembangkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi. d. Nama obat yang tercantum dalam Formularium adalah nama generik. e. Membatasi jumlah produk obat yang secara rutin harus tersedia di Instalasi Farmasi. f. Membuat prosedur yang mengatur pendistribusian obat generik yang efek terapinya sama. Menurut Siregar dan Amalia (2004), karena FRS ini merupakan sarana yang dipergunakan oleh staf medis dan perawatan, maka daftar tersebut haruslah lengkap, ringkas, dan mudah digunakan. FRS harus terdiri dari tiga bagian pokok: 1. Bagian I, memuat informasi tentang kebijaksanaan dan prosedur rumah sakit mengenai masalah obat-obatan, termasuk di bagian ini bervariasi dari tiaptiap rumah sakit. Pada umumnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Uraian singkat tentang PFT, termasuk keanggotaan, tanggung jawab, dan cara kerjanya. b. Peraturan-peraturan rumah sakit yang mengatur penulisan resep, penyediaan, dan pemberian obat untuk pasien, meliputi cara menulis pesanan obat yang penggunaannya di bawah pengawasan, kebijaksanaan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tentang pengobatan dan obat generik, pesanan obat secara lisan, pesanan obat-obatan untuk kasus darurat, dan lain-lain. c. Prosedur cara kerja IFRS seperti jam kerja, kebijaksanaan tentang pemberian obat kepada pasien rawat jalan, prosedur pemberian obat untuk paisen rawat inap, dan penanganan permohonan informasi obatobatan. d. Informasi mengenai peggunaan FRS, termasuk bagaimana penyusunan data obat, informasi yang ada dalam setiap daftar dan prosedur untuk mencari produk obat tertentu, petunjuk mengenai sumber-sumber informasi yang rinci mengenai obat-obatan dalam daftar harus dimasukkan di sini. 2. Bagian II, memuat daftar produk obat. Bagian ini merupakan inti dari formularium dan memuat suatu data atau data-data yang deskriptif untuk setiap obat ditambah lebih banyak indeks-indeks untuk memudahkan penggunaan daftar. 3. Bagian III, memuat informasi khusus materi yang termasuk di bagian ini bervariasi di setiap rumah sakit. Contoh macam-macam data yang sering terdapat dalam bagian informasi khusus dari FRS ialah: a. Daftar singkatan yang diakui oleh rumah sakit b. Peraturan menghitung dosis anak-anak c. Tabel isi sodium dalam antasid d. Daftar produk obat yang bebas gula e. Daftar isi kotak darurat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id f. Petunjuk pemberian dosis untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal g. Tabel interaksi obat h. Diagram penangkal racun/ antidotum. Pada umumnya, formularium perlu direvisi setiap tahun. Penambahan dan penghapusan ke/ dari formularium, perubahan dalam produk obat, penarikan dari peredaran, dan perubahan dalam kebijakan dan prosedur rumah sakit, semuanya itu memerlukan revisi berkala pada formularium. Selain itu, perubahan selalu dapat terjadi antara waktu revisi. Oleh karena itu, perlu ada suatu sistem yang berlaku. Salah satu metodenya ialah melampirkan lembaran suplemen formularium pada bagian dalam sampul buku formularium. Daftar perubahan dapat juga didistribusikan kepada semua personil dan buletin farmasi berguna sebagai sarana untuk menyebarkan informasi itu kepada staf medik (Siregar dan Amalia, 2004). Salah satu tanggung jawab utama PFT adalah mengembangkan dan memelihara suatu sistem formularium obat. Formularium dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan farmakoterapi yang optimal karena ia mengandung obat yang dipertimbangkan oleh PFT, terbaik bagi kebutuhan kesehatan penderita, dikaitkan dengan kemanfaatan dan harga. Apoteker adalah anggota kunci dari tim evaluasi obat karena pengetahuannya dalam farmakologi, toksikologi, terapi, farmakokinetik, sumber obat, pengadaan obat, dan sebagainya (Siregar dan Amalia, 2004). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pengkajian secara teliti dan kritis dari pustaka farmasetik dan medik adalah perlu untuk mengevaluasi obat yang diusulkan untuk dimasukkan dalam formularium. Data komparatif berkaitan dengan kemanfaatan, efek merugikan dan harga serta penetapan keuntungan dan kekurangan terapi yang mungkin, memerlukan evaluasi kritis oleh apoteker. Obat dapat ditambah ke atau dihapus dari suatu formularium hanya berdasarkan pada hasil evaluasi PFT. Tindakan alternatif dapat mencakup salah satu dari hal berikut yaitu persetujuan bersyarat untuk periode waktu tertentu (dengan evaluasi kembali berikutnya) atau pembahasan sementara penggunaan suatu obat pada pelayanan medik bidang khusus tertentu (Siregar dan Amalia, 2004). Pembuatan formularium rumah sakit adalah tanggung jawab utama PFT, namun IFRS harus aktif membantu agar rumah sakit dapat segera mempunyai atau merevisi formularium. Pada dasarnya, produk obat yang tertera dalam formularium harus relevan dengan pola penyakit lazim di suatu rumah sakit. Oleh karena itu, pembuatan formularium harus didasarkan pada pengkajian populasi penderita penyakit, gejala, dan penyebab dan kemudian ditentukan golongan farmakologi obat yang diperlukan. Kemudian untuk tiap golongan farmakologi obat ditetapkan nama obat berdasarkan kriteria/ standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, dilakukan beberapa tahap pengkajian, yaitu (Siregar dan Amalia, 2004): a. Tahap pertama, pengkajian populasi penderita penyakit dalam empat tahun terakhir berturut-turut dari rekaman morbiditas rumah sakit tersebut, lalu dibuat tabel berisi kelompok penyakit, subkelompok penyakit, jumlah dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id presentase penderita tiap tahun. Pengelompokan penyakit berdasarkan International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems (ICDb. Tahap kedua, penetapan peringkat penderita dari tiap kelompok penyakit. Untuk itu, dibuat suatu tabel berisi kelompok penyakit dan jumlah serta persentase penderita dalam tiap kelompok penyakit. c. Tahap ketiga, penetapan peringkat penderita dari tiap sub kelompok penyakit. d. Penetapan penyakit, gejala, penyebab, dan penggolongan farmakologi obat serta bahan pendukung yang diperlukan. e. Penetapan nama obat yang diperlukan dalam tiap golongan farmakologi. Pemilihan nama obat untuk tiap golongan farmakologi didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Kemudian nama obat itulah yang dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit. Keuntungan formularium rumah sakit adalah (Wambrauw, 2006): a. Bagi Pejabat Kesehatan: 1) Mengidentifikasi terapi yang murah dan efektif untuk masalah kesehatan umum 2) Dasar untuk menilai dan membandingkan kualitas pelayanan 3) Sebagai sarana integrasi program, khususnya pemberi pelayanan kesehatan primer b. Bagi Manajemen Rumah Sakit: 1) Pemakaian dana untuk obat-obatan akan lebih efektif dan fisien perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2) Karena tidak diperlukan penyediaan obat yang bermacam-macam untuk satu jenis kelas terapi, obat yang disediakan akan terpakai karena tidak terjadi perubahan pemakaian obat untuk kelas terapi yang sama. c. Bagi Pasien 1) Mendorong kepatuhan dokter untuk tetap konsisten 2) Pasien mendapat terapi yang lebih murah 3) Terapi lebih baik Tujuan utama pembuatan formularium menurut Direktorat Pelayanan Medik adalah menyediakan bagi para staf di RS sarana: a. Informasi obat-obatan yang telah disetujui penggunaannya oleh RS dan telah diseleksi oleh para ahli yang terpilih dalam PFT. b. Informasi penggunaan dasar setiap obat yang telah disetujui. c. Informasi tentang kebijakan dan prosedur RS yang mengatur penggunaan obat-obatan dan, d. Informasi yang khusus seperti misalnya peraturan tentang dosis obat, singkatan-singkatan yang digunakan di RS. Sedangkan kerugian formularium rumah sakit sebagai berikut: a. Menghilangkan hak prerogratif dokter terhadap penulisan resep b. Formularium sering tidak sesuai dengan diagnosa penyakit tertentu Dari uraian tersebut di atas menunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya formularium. Dengan demikian sangat diperlukan kepatuhan penulisan resep dokter sesuai dengan formularium untuk menjamin pelayanan obat yang baik. Departemen Kesehatan melalui Komite Akreditasi Rumah Sakit perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memberi nilai maksimal 5 pada Rumah Sakit dengan kepatuhan penulisan resep dokter terhadap formularium rata-rata lebih dari 90% atau penyimpangan kurang dari 10% (Wambrauw, 2006). 8. Penulisan Resep Obat Dokter sebagai penulis resep obat untuk pasien merupakan tenaga kesehatan yang sangat berperan dan otonom. Menurut WHO (1994), pengobatan yang rasional diawali dengan penulisan resep obat oleh dokter secara rasional, dengan langkah-langkah: 1. Menetapkan masalah pasien 2. Menetapkan tujuan terapi 3. Meneliti kecocokan terapi pribadi 4. Dasar pemilihan terapi pribadi 5. Mulai pengobatan 6. Pantau atau hentikan pengobatan Penulisan resep yang rasional yang berarti penggunaan obat secara rasional, merupakan komponen dari tujuan penggunaan obat yang tercantum dalam Kebijakan Obat Nasional (Formularium Nasional). Penggunaan obat secara rasional adalah pasien yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dosis yang sesuai dengan kebutuhan masing-maisng individu, untuk periode waktu yang cukup dan dengan biaya yang serendah-rendahnya (WHO, 1994). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menurut WHO (1994), faktor yang mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep: a. Masalah diagnosis, proses penegakan diagnosis yang lebih ditentukan oleh kebiasaan dari dedukasi ilmiah menggiring dokter ke pengobatan yang irrasional. Bila diagnosis belum dapat diterapkan, sering terjadi bahwa berbagai kemungkinan diagnosis diferensial kemudian diobati dan disebut sebagai defensive therapy dan berarti penggunaan obat secara polifarmasi untuk menutupi berbagai kemungkinan itu. b. Pengaruh industri, pengaruh promosi sangat efektif, walaupun dilakukan dengan cara yang tidak menyolok, misalnya dengan mengadakan seminar atau memberi kepustakaan yang tentunya mendukung produknya serta tidak memperlihatkan segi-segi lainnya yang kurang mendukung. Pendidikan berkelanjutan seperti ini lebih bersifat komersil. c. Farmasi (Dispenser) Pemberian informasi mengenai obat khususnya kepada dokter mempengaruhi penulisan resep, hal ini berkaitan dengan pendidikan. Informasi dapat diberikan secara aktif melalui pelayanan informasi obat atau pasif misalnya melalui buletin atau newsletter. Peran farmasi juga terlihat mulai dari perencanaan, pengadaan, pendistribusian obat dirumah sakit. d. Pasien atau masyarakat Pengetahuan, kepercayaan pasien masyarakat terhadap mutu dari suatu obat dapat mempengaruhi pasien dalam menggunakan obat dan karena adanya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id interaksi pasien dengan dokter juga akan mempengaruhi dokter dalam menuliskan resep. Perilaku menyimpang seorang dokter dalam menuliskan resep disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (Gibson dkk., 1996): 1. Pengetahuan Pengetahuan dokter pada formularium Rumah Sakit diperoleh dari buku maupun dari orang lain. Tindakan ini akan berpengaruh terhadap keputusan seorang dokter dalam menuliskan resep. 2. Pendidikan Pendidikan seorang dokter yang diperoleh pada tingkat tertentu akan mempengaruhi tindakan yang berdasar pada kemampuan intelektual. 3. Keyakinan Keyakinan seorang dokter terhadap obat yang diperoleh dari orang yang dapat dipercaya, hal ini merupakan bagian yang sulit dirubah. 4. Sikap Sikap seorang dokter yang menggambarkan suka atau tidak suka terhadap formularium rumah sakit. Sikap ini diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman dokter lain. 9. Kepatuhan/ Ketidakpatuhan terhadap Standar Berkaitan dengan peningkatan mutu pelayanan, pengukuran mutu pelayanan kesehatan menyangkut pengukuran mutu teknis pelayanan kesehatan yaitu pengukuran yang berkaitan dengan ketidaksesuaian proses pelayanan kesehatan dengan standar yang telah ditentukan. Ketidakpatuhan adalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengukuran pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan langkah-langkah yang telah ditetapkan dalam bentuk standar. Perhitungan tingkat ketidakpatuhan sebagai kontrol bahwa pelaksana telah melaksanakan kegiatan seuai dengan standar. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketidakpatuhan petugas merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan keberhasilan program mutu pelayanan. Kepatuhan yang harus dilaksanakan oleh dokter yaitu menulis resep sesuai formularium (Wambrauw, 2006). Kepatuhan dalam penulisan resep tidak didasarkan pada formularium yang ada akan berdampak (Suryawati, 1996): 1. Mempengaruhi persediaan obat, di satu sisi akan terjadi kekurangan atau kekosongan obat, di sisi lain adanya stock obat yang berlebihan. Di samping itu perlu investasi yang lebih besar untuk melengkapi jenis obat yang lebih banyak dari standar. 2. Mempengaruhi mutu pelayanan, karena obat sering kosong, waktu pelayanan menjadi lama, adanya pergantian obat, adanya resep yang ditolak, harga obat menjadi mahal, obat tidak bisa dibeli, kesinambungan pengobatan terganggu serta pembiayaan total pengobatan menjadi tinggi. 3. Mutu pengobatan akan menjadi rendah, berupa over prescribing, multiple prescribing, under prescibing, incorrect pescribing, dan extravagant prescribing. Di samping mutu hak ini juga akan berakibat terjadinya resiko efek samping yang lebih besar. Cara pengukuran ketidakpatuhan dokter terhadap standar sebagai berikut (Wambrauw, 2006): Ketidakpatuhan= x 100 % perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10. Gambaran Umum RSUD Sukoharjo Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sukoharjo didirikan sekitar tahun 1960 dengan nama DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) yang terdiri dari balai pengobatan, juru imunisasi, BKIA dan juru malaria. DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) merupakan awal beroperasinya RSUD Kabupaten Sukoharjo pada 14 Agustus 1960. Maksud didirikannya DKR adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Sukoharjo dan sekitarnya dimana pada saat itu penyakit menular sedang mewabah. Pada perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang datang berobat ke DKR tersebut, maka pada tahun 1995 dengan keputusan Menkes No.III/MENKES/1995 menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo (Octadevi, 2014). Sejak tahun 1995 dengan Perda No. 18 tahun 1995 ditetapkan organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo atau disingkat RSU Dati II Sukoharjo dan diakui sebagai RS tipe C. Setelah itu mengikuti Standarisasi Rumah Sakit melalui KARS dan pada tahun 1999 terakreditasi 5 bidang pelayanan, menyusul kemudian tahun 2003 terakreditasi 12 bidang pelayanan. Hingga pada akhirnya Lulus Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap dengan 16 bidang pelayanan pada tahun 2008 (Octadevi, 2014). Tahun 2003 dengan Perda No. 09 tahun 2003 dari RSU Kabupaten Sukoharjo menjadi Badan RSUD Sukoharjo. Cakupan Badan RSUD Sukoharjo ± 4 kecamatan yaitu: Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kecamatan Mojolaban, Kecamatan Nguter. Pada tahun 2008 berubah namanya menjadi RSUD Kabupaten Sukoharjo sesuai dengan Perda No. 4 tahun 2008. Pada bulan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Juli 2009, RSUD Kabupaten Sukoharjo telah divisitasi dari Depkes RI dengan predikat layak menjadi RS kelas B Non Pendidikan dan pada akhirnya pada bulan September 2009 ditetapkan dengan Kep. Menkes.No829/Menkes/SK/IX/2009 menjadi RS B Pendidikan. Pada tanggal 27 Agustus 2011 dengan keputusan Bupati No.900/542/2011 ditetapkan menjadi RS BLUD (Octadevi, 2014). B. KERANGKA PEMIKIRAN Pemilihan obat yang aman, tepat dan rasional akan mempengaruhi proses penyembuhan. Untuk memudahkan dokter dalam memilih obat, salah satu cara yang digunakan adalah dilakukannya seleksi obat di rumah sakit yang disebut formularium rumah sakit, yang dapat digunakan sebagai pedoman peresepan dan memudahkan pengelolaan manajemen obat. Obat-obatan yang diresepkan oleh dokter namun tidak sesuai dengan formularium, maka obat tersebut tidak tersedia di instalasi farmasi. Hal ini dapat mendorong pasien rawat jalan untuk membawa resep keluar rumah sakit dan menyebabkan turunnya pendapatan RSUD Sukoharjo serta pengelolaan atau pengadaan obat menjadi kurang efektif dan efisien. Berdasarkan pada peraturan Depkes RI dalam bukunya Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit dan peraturan WHO dalam Selected Drug Use Indicators, standar minimal kesesuaian peresepan obat sesuai dengan formularium rumah sakit adalah 100 %. Belum adanya adanya penelitian penelitianterkait terkait, di mendorong RSUD Sukoharjo, peneliti mendorong untuk mengevaluasi peneliti ketepatan peresepan untuk mengevaluasi obat pada ketepatan pasien umum rawat peresepan obatjalan padadi pasien Rumah umum Sakit Umumjalan rawat Daerah di RSUD Sukoharjo Sukoharjo periode Januari Desember 2013 dengan formularium rumah sakit yang berlaku. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id C. KETERANGAN EMPIRIK Penelitan terdahulu dilakukan di RSUD Kota Semarang kesesuaian dokter dalam meresepkan obat berdasarkan formularium rumah sakit pada tahun 2005 sebesar 43,5 % (Hastuti, 2005), di RSU RA. Kartini Jepara kesesuaian dokter dalam meresepkan obat berdasarkan formularium rumah sakit pada tahun 2006 sebesar 86,2 % (Wambrauw, 2006), dan di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang menunjukkan bahwa kesesuaian dokter dalam meresepkan obat pada pasien rawat jalan berdasarkan formularium rumah sakit pada tahun 2009 sebesar 86,2 % (Regaletha, 2009). Penelitian dilakukan di RSU Kota Jakarta Timur dengan hasil peresepan yang tidak sesuai dengan formularium relatif tinggi yaitu ketidaksesuaian sebesar 66,7 % untuk TB Paru dan 96,6 % untuk antihipertensi, sehingga berdampak timbulnya biaya tambahan bagi pasien rawat jalan, sementara pasien memiliki kemampuan daya beli obat yang rendah sehingga tidak mendapatkan pengobatan yang efektif dan efisien (Supardi, 2005).