policy brief regional economist bkf

advertisement
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
BKF – KEMENTERIAN KEUANGAN
TAHUN 2012
I.
PENGANTAR
Indonesia saat ini telah menjadi negara emerging economy,
dan menjadi kekuatan ekonomi ke-16 dunia. Pada saat China,
India,
dan
pertumbuhan
diperkirakan
negara-negara
ekonomi
masih
lain
tahun
tumbuh
mengalami
2012,
sekitar
perlambatan
Indonesia
6,3%
justru
melampaui
pertumbuhan ekonomi India yang diperkirakan hanya 4,9% serta
jauh melampaui pertumbuhan Eropa yang menurut ECB
(European Central Bank) hanya berkisar antara -0,6% s.d -0,2%.
Kekuatan permintaan domestik menjadi tulang punggung utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Inflasi dan suku bunga yang
relatif rendah memberikan ruang kepada ekonomi kita untuk
terus tumbuh. Kedua faktor tersebut telah memberi ruang kepada
belanja rumah tangga dan investasi tumbuh dengan amat
signifikan di tahun 2012. Kondisi demikian mengantarkan
Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah, dengan
tingkat kemiskinan dan pengangguran yang secara bertahap
berhasil diturunkan.
1
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Capaian Kinerja ekonomi tahun 2012 menyebabkan
sebagian ekonom menjadi sangat optimis terhadap perkiraan
ekonomi tahun 2013. Barangkali optimisme sebagian ekonom
itulah yang juga ikut mendorong keyakinan pemerintah dan DPR
menetapkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar
6,8%, meski perkiraan rata-rata dari institusi internasional
pertumbuhan ekonomi kita hanya sekitar 6,3%. Kita tentu
berharap, optimisme pemerintah dan DPR itulah yang akan
menjadi kenyataan di tahun depan. Akan tetapi, optimisme itu
tetap
harus
dibarengi
dengan
kewaspadaan,
mengingat
perkembangan terakhir memberi indikasi bahwa peluang kondisi
global terus memburuk di tahun 2013 masih terbuka lebar. Eropa
masih belum menemukan cara yang tepat untuk memecahkan
masalah yang mereka hadapi. Ketidakpastian global masih amat
tinggi. Dengan keadaan yang demikian, kita tidak dapat terlalu
mengaharapkan permintaan global (ekspor) untuk mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2013. Sebaliknya, kita
harus meningkatkan kemandirian ekonomi dengan memperluas
pasar domestik serta meningkatkan kualitas pengelolaan APBN.
Dengan
kata
lain,
untuk
merealisasikan
target
pertumbuhan ekonomi tahun 2013, Indonesia paling tidak harus
bisa mengatasi 3 (tiga) tantangan utama ekonomi berikut, yaitu:
2
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
1.
Peningkatan kualitas pengelolan APBN, terutama untuk
meningkatkan kualitas belanja di tengah kondisi dimana
fiscal space relatif sempit, kebiasaan penyerapan APBN
khususnya belanja modal yang masih menumpuk di triwulan
IV, dan mandatory spending yang cukup besar.
2.
Kecenderungan penurunan ekspor dan peningkatan impor
akibat struktur industri yang masih bergantung pada barang
impor
yang
mendorong
terjadinya
defisit
neraca
perdagangan.
3.
Alokasi subsidi BBM yang terlalu besar dan tidak tepat
sasaran, dimana dalam struktur APBN, porsi belanja modal
lebih rendah dibanding belanja subsidi BBM yang sebagian
besar (sekitar 80%) justru dinikmati oleh yang tidak berhak.
Oleh karena itu, pada bagian berikut akan diuraikan secara
garis besar permasalahan dan rekomendasi kebijakan untuk
mengatasi ketiga tantangan utama ekonomi tersebut.
II.
PENINGKATAN KUALITAS PENGELOLAAN APBN
2.1. Latar Belakang Masalah
Tantangan utama pengelolaan APBN adalah peningkatan
kualitas belanja, terutama terkait dengan daya serap dan
penumpukan belanja di triwulan IV, rendahnya fiscal space,
3
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
beban subsidi yang terlalu besar dimana dalam struktur APBN,
porsi belanja modal lebih rendah dibanding belanja pegawai dan
belanja subsidi BBM dan listrik, dan mandatory spending yang
cukup besar, dimana belanja wajib tahun 2013 misalnya,
mencapai lebih dari 75% APBN atau sekitar Rp 1276 Trilyun.
Keterbatasan tersebut terus menerus terjadi sehingga telah
mengganggu diskresi dalam penyusunan APBN. Akibatnya,
penyusunan APBN pada tahun t seringkali hanya didasarkan pada
APBN pada tahun t-1 ditambah 10%-15% dari nilai APBN pada
tahun t. Dalam hal ini, APBN Indonesia cenderung hanya
berorientasi satu tahun ke depan. Implikasi dari APBN seperti ini
adalah:
a.
Intertemporal
decision
making
process
tidak
dipertimbangkan dalam APBN, sehingga upaya untuk
melakukan
countercyclical
menghadapi
ketidaktentuan
perekonomian dunia tidak dapat dilakukan;
b.
Sistem
pendanaan
cenderung
tidak
akan
mampu
mengidentifikasi apakah sistem terjebak dalam cycles atau
tidak, sehingga sangat dimungkinkan untuk terjebak di
dalam lubang yang sama lebih dari sekali;
Disamping bermasalah saat proses penyusunan, APBN juga
bermasalah saat pelaksanaan, yang biasanya hanya diukur
dengan kemampuan penyerapan anggaran. Bahkan seringkali Key
4
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Performance Indicator (KPI) pencapaian APBN bagi kementerian
dan lembaga (K/L) hanya diukur dari kemampuan penyerapan
dana. Hal ini diperkuat dengan pelaksanaan pemeriksaan oleh
BPK dan BPKP yang lebih mengedepankan pertanggungjawaban
keuangan dibandingkan dengan evaluasi kinerja. Padahal
penyerapan
dana
bukanlah
KPI
yang
tepat,
mengingat
penyerapan dana hanyalah output dan bukan outcome, sehingga
praktik ini pada dasarnya bertentangan dengan evidence-based
policy (EBP). Implikasi dari penggunaan penyerapan sebagai KPI
adalah sebagai berikut:
a.
Terjadi ‘silo-silo’ dalam hubungan antar K/L sehingga
koordinasi antar lembaga cenderung rendah mengingat
antar K/L berlomba-lomba untuk menyerap APBN sebanyak
mungkin;
b.
Dampak APBN terhadap kesejahteraan masyarakat tidak
dapat dibuktikan dan dihitung sehingga transparansi
penggunaan dana pembangunan menjadi bermasalah;
c.
Pemerintah tidak memiliki ‘artificial intelligent’ karena
hingga saat ini belum ada K/L dan bahkan BPK dan BPKP
yang menggunakan evidence-based policy (EBP). Implikasi
dari hal ini adalah bahwa pemerintah tidak mengetahui
kebijakan apa saja yang berhasil, kebijakan apa yang
menjanjikan dan kebijakan apa saja yang gagal. Konsekuensi
5
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
dari kekurangan ini adalah resiko terjerumusnya pemerintah
ke dalam lubang yang sama lebih dari sekali. Implikasi lain
adalah pemerintah mudah terjebak untuk menempuh
kebijakan yang popular, meski mungkin berdampak negatif
terhadap
kemakmuran
masyarakat
misalnya
mempertahankan subsidi BBM.
Persoalan lain yang muncul dalam pengelolaan APBN
adalah peran DPR yang terlalu campur tangan dalam penentuan
asumsi makro dalam setiap pembahasan APBN. Intensitas DPR
dalam pembahasan asumsi makro bertujuan bukan untuk
optimalisasi anggaran, namun justru sebagai upaya untuk
memaksimalkan anggaran. Permasalahan menjadi semakin pelik,
ketika DPR menggunakan asumsi makro sebagai KPI bagi
pemerintah. Asumsi makro APBN tidak rasional mengingat tiga
(harga ICP, kurs dan lifting minyak) dari enam asumsi makro
adalah faktor eksogen dan bukan faktor endogen.
2.2
Rekomendasi Kebijakan
Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan APBN, maka
pemerintah diharapkan melakukan:
1.
Penyusunan APBN dengan mempertimbangan intertemporal
decision making process. Hal ini bisa dilakukan dengan
memperpanjang orientasi APBN dari sistem pendanaan
6
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
tahunan
menjadi
sistem
pendanaan
tiga
tahunan.
Penyesuaian anggaran (APBN-P) dilakukan setiap 6 bulan
atau 9 bulan sekali dan hal ini sangat relevan mengingat
rejim
anggaran
yang
digunakan
berorientasi
untuk
pendanaan selama tiga tahun ke depan.
2.
Key performance indicator dari K/L diubah dari penyerapan
anggaran, menjadi Evidence-Based Policy
(EBP) yang
didasarkan pada impact evaluation. Impact evaluation adalah
salah satu cabang ilmu ekonomi yang digunakan untuk
mengevaluasi kinerja riil dari kebijakan yang ditempuh oleh
pemerintah. Impact evaluation wajib dilakukan untuk
kebijakan sekala besar dan bersifat inovatif. Diharapkan dari
EBP, akan diketahui program apa saja yang berhasil,
program yang menjanjikan dan bahkan program yang
berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Penggunaan EBP akan meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas alokasi dana pembangunan, di sisi lain EBP
akan menciptakan ‘artificial intelligent’ bagi pemerintah
dalam pengambilan kebijakan di masa datang.
3.
Evidence-Based Policy (EBP) diberlakukan luas di seluruh
K/L untuk meningkatkan transparansi alokasi APBN dan
juga meminimasi pengambilan keputusan berdasarkan mitos
(anecdotal evidence) yang seharusnya didasarkan pada
7
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
realitas (hard evidence). Penggunaan EBP akan menurunkan
potensi terjadinya korupsi di K/L dan meningkatkan
koordinasi
antar
K/L
karena
seringkali
diperlukan
kolaborasi antar K/L untuk melaksanakan suatu kebijakan.
4.
Penyusunan APBN didasarkan pada sistem pengambilan
keputusan yang rasional dan memenuhi kaidah-kaidah
dalam teori ekonomi. Implikasi dari hal ini adalah
penyerahan pembahasan asumsi makro untuk sepenuhnya
dipercayakan kepada pemerintah, sementara DPR bertugas
mengawal dan mengawasi dan menjamin agar alokasi APBN
benar-benar optimal. Jika DPR mampu menghemat dana
pembangunan, maka idealnya dana yang dihemat tersebut
dialokasikan untuk tahun mendatang dan bukan dipaksakan
untuk tahun berjalan.
5.
Diperlukan sistem APBN yang memungkinkan pemerintah
untuk
melakukan
countercyclical
khususnya
dalam
mengantisipasi perkembangan perekonomian dunia yang
saat ini tidak menentu. Hal ini bisa dilakukan dengan
menciptakan penghematan anggaran di saat perekonomian
Indonesia
sedang
boom seperti
sekarang
ini.
Dana
penghematan tersebut ditabung untuk kemudian akan
dialokasikan jika perekonomian terkena krisis atau resesi.
8
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Dengan management APBN yang countercyclical, maka
dimungkinkan dilakukan smoothing APBN.
6.
Melakukan revisi terhadap UU 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, khususnya untuk mengatur ulang tahun
anggaran APBN dan APBD apakah masih sama atau
dibedakan, dan untuk mencari format yang paling tepat
terkait sejauh mana peran DPR/DPRD dalam pembahasan
anggaran.
7.
Mengendalikan
defisit
APBN
antara
lain
dengan
mempertimbangkan untuk merancang ulang Kebijakan
subsidi. Pengurangan Subsidi BBM segera dilakukan, karena
sudah terbukti tidak tepat sasaran. Cara sosialisasi,
sebaiknya subsidi yang diberikan tidak meleekat pada harga,
tetapi pada siapa yang diberi subsidi. Oleh sebab itu, perlu
diidentifikasi
secara
tepat
siapa
saja
yang
berhak
mendapatkan subsidi. Subsidi adalah bentuk kebijakan yang
mendistorsi
efisiensi
alokasi
anggaran
sedemikian
mendorong pelaku ekonomi bertindak untuk mendapakan
subsidi
9
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
III.
KEBIJAKAN SUBSIDI BBM
3.1. Latar Belakang Permasalahan
Belanja negara terdiri dari 2 jenis yaitu belanja pemerintah
pusat dan transfer ke daerah. Kenyataan yang ada menunjukkan
bahwa Pemerintah tidak memiliki banyak keleluasaan dalam pos
transfer ke daerah. Sedangkan untuk belanja pemerintah pusat,
sebagian besar harus digunakan untuk 3 jenis alokasi, yaitu
belanja pegawai, subsidi dan anggaran pendidikan.
Subsidi BBM yang merupakan alokasi subsidi terbesar
menjadi salah satu beban pemerintah yang dapat menjadi
penyebab munculnya risiko fiskal. Meskipun BBM memiliki peran
strategis terhadap stabilitas harga, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa
kebijakan
ini
telah
menimbulkan
distorsi
bagi
perekonomian sebagai berikut:
a.
Adanya disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi
dan
non-subsidi
mendorong
sebagian
masyarakat
melakukan alih konsumsi, sehingga volume BBM bersubsidi
cenderung meningkat.
b.
Harga BBM bersubsidi yang rendah menciptakan moral
hazard sehingga dapat mendorong inefisiensi konsumsi BBM
bersubsidi.
c.
Adanya kenyataan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir telah menjadi negara net-importir minyak bumi,
10
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
sehingga fluktuasi harga minyak dunia akan sangat
mempengaruhi besarnya belanja pemerintah untuk subsidi
BBM dan berpengaruh terhadap fiscal sustainability.
d.
Adanya disparitas harga yang signifikan antara BBM
bersubsidi dengan bio-fuel menciptakan disinsentif bagi
perkembangan produksi energi terbarukan.
e.
Banyak studi membuktikan bahwa subsidi BBM tidak tepat
sasaran dan justru dinikmati oleh kelompok non-miskin.
f.
Besarnya alokasi subsidi BBM telah mempersempit ruang
gerak
fiskal
(fiscal
space)
yang
semestinya
dapat
dialokasikan untuk belanja modal maupun bantuan sosial.
Berdasarkan
data
Direktorat
Jenderal
Anggaran
Kementerian Keuangan, dalam APBN 2009 hingga RAPBN 2013,
nilai subsidi BBM cenderung meningkat pesat. Selama tahun
2011 dan 2012, alokasi subsidi BBM telah mengambil porsi lebih
dari 50 persen keseluruhan subsidi. Berdasarkan RAPBN 2013,
alokasi subsidi BBM bahkan mencapai lebih dari 61 persen
keseluruhan alokasi subsidi dan menghabiskan hampir 12 persen
belanja negara. Alokasi ini bahkan lebih besar dibanding alokasi
belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
(infrastruktur perhubungan, energi, perumahan, irigasi) yang
hanya mencapai 9,37 persen dari keseluruhan belanja negara. Ini
11
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
membuktikan bahwa besarnya subsidi BBM telah mempengaruhi
kualitas belanja pemerintah.
Ditinjau dari sudut pandang volume konsumsi, sejak tahun
2003 pertumbuhan konsumsi premium bersubsidi (kecuali tahun
2006) mengalami pertumbuhan di atas 6 persen. Bahkan di tahun
2011, pertumbuhan konsumsi premium bersubsidi mencapai
lebih dari 11 persen. Pemerintah mengalokasikan kuota premium
bersubsidi sebesar 24 juta kiloliter di tahun 2012, tetapi
diperkirakan konsumsinya akan melampaui 28 juta kilo liter.
Sedangkan untuk solar bersubsidi, di tahun 2012 pemerintah
mengalokasikan kuota sebesar hampir 14 juta kiloliter, dengan
perkiraan konsumsi yang dapat melampaui angka 15 juta
kiloliter. Di saat bersamaan,
kuota minyak tanah bersubsidi
sebesar 1,7 juta kiloliter dengan perkiraan realisasi konsumsi
yang hampir sama (LPEM FEUI, 2012).
3.2. Penyebab Meningkatnya Konsumsi BBM Bersubsidi
Pemerintah tentunya perlu mencermati adanya tren
peningkatan konsumsi BBM. Selama tidak ada kenaikan harga
BBM bersubsidi, fakta bahwa BBM bersubsidi dan non-subsidi
merupakan substitusi, serta masih adanya disparitas harga yang
besar antara BBM bersubsidi dan non-subsidi, maka lonjakan
konsumsi BBM bersubsidi sulit untuk dihindari.
12
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Tren peningkatan konsumsi BBM secara umum terjadi
karena beberapa hal sebagai berikut:
a.
Peningkatan
pendapatan
masyarakat
sebagai
akibat
pertumbuhan ekonomi akan mendorong kenaikan konsumsi
BBM. Berdasarkan studi LPEM FEUI tahun 2009, setiap
pertumbuhan PDB sebesar 1 persen, akan meningkatkan
konsumsi BBM sebesar 0,97 persen. Faktanya, semakin
tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin tinggi pula
pertumbuhan konsumsi BBM. Semakin kaya seseorang,
semakin besar kebutuhan energi untuk mobilitas dan
pengolahan makanan lebih lanjut.
b.
Indonesia sejak tahun 2000 mulai menikmati manfaat dari
Bonus Demografi, dimana diperkirakan pada tahun 2025
akan mencapai puncaknya. Bonus Demografi terjadi sebagai
akibat menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif
(di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun) yang dibarengi
dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif
(15-64 tahun). Perubahan struktur penduduk menurut umur
memiliki konsekuensi yang besar terhadap perubahan pola
konsumsi di masyarakat. Berdasarkan pengolahan data
Susenas 2010 yang dilakukan oleh Lembaga Demografi FEUI
menunjukkan bahwa konsumsi premium (bensin) dan gas
meningkat sejalan dengan peningkatan usia hingga mencapai
13
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
puncaknya pada usia antara 31 hingga 40 tahun. Padahal
usia median penduduk Indonesia dari hasil Sensus Penduduk
2010 sudah mencapai 27,2 tahun dan akan terus meningkat.
Pola yang hampir sama juga berlaku untuk konsumsi solar
dan minyak tanah, namun dengan usia puncak konsumsi
sekitar 30 tahun.
c.
Proporsi penduduk perkotaan di Indonesia terus meningkat.
Saat ini diperkirakan sekitar 51 persen penduduk tinggal di
kota, dan di tahun 2025 jumlahnya akan meningkat hingga
68
persen.
Padahal
penduduk
perkotaan
cenderung
mengkonsumsi BBM dalam jumlah yang lebih besar
dibanding penduduk perdesaan. Berdasarkan pengolahan
data Susenas 2010 yang dilakukan oleh Lembaga Demografi
FEUI menunjukkan bahwa ada perbedaan pola konsumsi
BBM penduduk perkotaan dan perdesaan. Untuk premium,
secara rata-rata konsumsi perkapita penduduk perkotaan
lebih besar 1,5 kali lipat dibanding penduduk perdesaan.
Bahkan untuk minyak tanah perbedaannya mencapai 2 kali
lipat.
Untuk
gas
dan
solar,
penduduk
perkotaan
mengkonsumsi lebih banyak sekitar 1,2 kali lipat penduduk
perdesaan. Pola mobilitas yang berbeda antara kota dan desa
menjadi salah satu penyebab adanya perbedaan tersebut.
14
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
d.
Hal yang juga menarik untuk diperhatikan ialah adanya
perbedaan pola konsumsi antar penduduk menurut tingkat
pendidikan. Penduduk dengan pendidikan SLTA ke atas
mengkonsumsi premium 2,6 kali lipat lebih tinggi dibanding
penduduk berpendidikan SD. Perbedaan yang cukup
menonjol lainnya ialah dalam hal konsumsi solar, dimana
penduduk berpendidikan SLTA mengkonsumsi solar lebih
banyak 1,2 kali lipat dibanding penduduk desa. Masih
dengan data Susenas yang sama, diketahui bahwa semakin
banyak anggota rumah tangga yang memiliki pendidikan
SLTA ke atas, semakin besar pula konsumsi BBM-nya, kecuali
untuk minyak tanah.
3.3. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Konsumsi BBM bersubsidi akan terus meningkat secara
tajam seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita
(pertumbuhan ekonomi), perubahan struktur penduduk menurut
umur (bonus demografi), meningkatnya proporsi penduduk
perkotaan, serta meningkatnya pendidikan penduduk Indonesia.
Kenyataan ini dapat menciptakan peningkatan beban subsidi
BBM dalam APBN secara signifikan untuk beberapa tahun ke
depan.
15
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Risiko fiskal akan terus meningkat dimana kenaikan harga
minyak mentah dunia dapat berimbas pada rasio defisit anggaran
terhadap
PDB
yang
melampaui
batas
aman
3
persen.
Bagaimanapun juga pemerintah harus berupaya untuk menjaga
fiscal sustainability dengan mencegah defisit anggaran tetap di
bawah 3 persen dari PDB. Pengendalian rasio defisit terhadap
PDB menyangkut kemampuan menghimpun dana masyarakat
untuk menutupi defisit yang ada. Hal ini mengingat sebagian
besar pembiayaan defisit anggaran menurut skema pemerintah
diharapkan berasal dari pembiayaan dalam negeri.
Selain itu dampak buruk lainnya dari beban subsidi BBM
yang besar ialah penurunan kualitas belanja APBN, tidak
optimalnya belanja modal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, serta bantuan sosial yang tidak mencukupi. Memang
dapat saja kita berargumen bahwa subsidi BBM merupakan
bentuk perlindungan sosial (social protection) secara tidak
langsung dari pemerintah kepada masyarakat. Namun, tidak
tepatnya sasaran subsidi BBM juga menyebabkan tidak
optimalnya “fungsi perlindungan sosial” tersebut. Alasan ini juga
tidak relevan lagi mengingat pemerintah mulai menata sistem
jaminan sosial dengan lebih baik yang didukung oleh pendataan
program perlindungan sosial (PPLS).
16
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disusun beberapa
rekomendasi sederhana sebagai berikut:
1.
Pemerintah perlu menghitung secara lebih akurat proyeksi
konsumsi
BBM
ke
depan,
dengan
tidak
hanya
mempertimbangkan variabel ekonomi saja, melainkan juga
variabel kependudukan. Ini akan menjadi pijakan argumen
yang rasional dalam meninjau ulang kebijakan subsidi BBM
berdasarkan kapasitas fiskal yang ada.
2.
Pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga BBM
bersubsidi untuk mengurangi beban subsidi BBM. Besarnya
penyesuaian harga dapat dihitung dengan 3 skenario tujuan:
(a) skenario untuk menjaga disparitas harga antara BBM
bersubsidi dengan non-subsidi yang dapat mengurangi
peralihan
konsumsi
sebagian
masyarakat
dari
BBM
bersubsidi ke BBM non-subsidi. Sebagai contoh, LPEM FEUI
di tahun 2012 telah menyusun model yang dapat
mengestimasi konsumsi BBM masyarakat. Jika harga
premium bersubsidi dinaikkan dari Rp. 4500 menjadi Rp.
6000 maka dapat menekan atau mengurangi konsumsi
premium hingga 1,5 juta kiloliter. Dengan kendala besaran
kuota
BBM
bersubsidi
tertentu,
pemerintah
dapat
melakukan simulasi untuk menghitung berapa besarnya
kenaikan harga BBM bersubsidi yang diperlukan. (b)
17
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
skenario untuk menjaga fiscal sustainability sebagai akibat
volatilitas harga minyak mentah dunia. Skenario ini
didasarkan bukan pada volume kuota BBM bersubsidi,
namun pada batas maksimum nilai alokasi subsidi BBM
untuk mencegah rasio defisit anggaran terhadap PDB.
Misalkan saja defisit APBN dapat melebihi 3 persen PDB jika
belanja subsidi BBM melampaui 200 trilyun rupiah. Dengan
didasarkan pada proyeksi konsumsi BBM bersubsidi yang
tepat, maka pemerintah dapat menghitung besarnya harga
BBM bersubsidi secara lebih tepat pula. (c) skenario untuk
menghapus subsidi BBM dalam beberapa tahun mendatang.
Pertanyaan saat ini yang belum terjawab ialah sampai kapan
subsidi BBM akan tetap dipertahankan? Mengingat cadangan
minyak bumi Indonesia tersisa kurang dari 11 tahun, maka
seharusnya subsidi BBM sudah harus dicabut selama kurang
dari 10 tahun mendatang. Maka, pemerintah dapat
menghitung besarnya pengurangan subsidi BBM per tahun
(secara bertahap) untuk menjaga consumption smoothing
bagi masyarakat dan menghindari adanya ketidakpastian di
dalam perekonomian serta menghindari isu subsidi BBM
sebagai salah satu isu politik nasional.
3.
Salah satu kerawanan kebocoran terjadi pada penyaluran
solar bersubsidi untuk rumah tangga ke industri. Oleh
18
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
karenanya pemerintah seyogyanya dapat mencabut terlebih
dahulu subsidi solar. Kebutuhan solar untuk nelayan
diintervensi melalui program, bantuan sosial, sehingga lebih
tepat sasaran.
4.
Selain strategi harga dan kuota, pemerintah juga perlu
menyusun strategi lainnya seperti memperbaiki distribusi
BBM bersubsidi. Perlu disusun suatu roadmap mengenai
strategi ini. Banyak SPBU yang justru menyediakan BBM
non-subsidi dalam jumlah yang terbatas. Pemerintah juga
dapat mengatur penyaluran distribusi BBM bersubsidi
melalui jenis kendaraan bermotor. Pelaksanaannya tentu
membutuhkan kajian lebih lanjut. Selain itu pemerintah juga
dapat
menaikkan
pajak
kendaraan
bermotor
untuk
mengkompensasi kenaikan beban subsidi. Namun hal ini
tentunya harus disertai dengan perbaikan sarana dan
prasarana transportasi massal.
IV.
DEFISIT NERACA PERDAGANGAN
4.1. Latar Belakang Masalah
Sejak lima tahun terakhir laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia cukup tinggi dengan stabilitas yang tinggi pula. Meski
belum mencapai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi sebelum
19
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
krisis 1997-1998, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata
di atas 5% sejak tahun 2000. Secara bersamaan tingkat
kemiskinan dan pengangguran mengalami penurunan. Konsumsi
domestik telah berperan besar pada awal pemulihan ekonomi
Indonesia.
Namun
akhir-akhir
ini,
investasi,
khususnya
penanaman modal asing, menjadi semakin besar perannya dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kesejahteraan
yang meningkat sebagai hasil pertumbuhan ekonomi telah
mempercepat pula
pertumbuhan belanja, baik dalam bentuk
konsumsi dan investasi yang tidak selalu terpenuhi oleh
kapasitas produksi dalam negeri. Permintaan impor mengalami
peningkatan. Sementara permintaan ekspor tidak tumbuh
secepat belanja domestik akibat krisis keuangan dan resesi yang
menimpa Uni Eropa dan AS. Sebagai konsekwensinya adalah
meningkatnya defisit dalam neraca perdagangan. Perekomian
dunia pada tahun 2013 diperkirakan masih mengalami
ketidakpastian yang tinggi. Dampak gejolak perekonomian di Uni
Eropa dan AS di tahun 2010 dan terus berlanjut sampai sekarang
sehingga ketidakpastian masih menghantui perekonomian dunia.
Liberalisasi ekonomi telah mempermudah impor untuk
mengatasi kekurangan pasokan dalam negeri. Transaksi berjalan
sepanjang tahun 2012 mengindikasikan defisit, terutama
didorong oleh permintaan BBM yang dilindungi subsidi. Subsidi
20
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
BBM tidak hanya menjadi beban APBN, tetapi juga beban neraca
perdagangan karena posisi Indonesia adalah net-importir minyak
bumi. Makin besar konsumsi BBM, makin besar subsidi, dan
makin besar impor minyak bumi. Impor minyak bumi menjadi
penyebab defisit perdagangan yang makin penting dengan
semakin besarnya subsidi. Harga BBM domestik makin tidak
mencerminkan kelangkaannya dengan subsidi yang makin besar.
Pemicu besarnya defisit transaksi berjalan adalah impor
bahan baku dan barang modal. Lebih dari dua pertiga impor
Indonesia adalah bahan baku dan barang modal. Impor bahan
baku dan barang modal sejalan dengan pertumbuhan investasi di
dalam negeri, baik oleh penanam modal asing maupun
penanaman modal domestik. Pertumbuhan ekonomi yang
meningkat sejak lima tahun terakhir telah meningkatkan impor
bahan baku dan barang modal untuk mendukung kebutuhan
investasi. Bila produksi bahan baku dan barang modal di dalam
negeri tidak mengalami perbaikan kapasitas, impor akan terus
meningkat
dengan
meningkatnya
pertumbuhan
ekonomi.
kebutuhan investasi yang meningkat, terutama penanaman
modal asing, kebutuhan industri barang konsumsi di dalam
negeri,
dan
kebutuhan
untuk
produksi
ekspor
barang
manufaktur. Diperkirakan 30% impor bahan baku dan barang
modal adalah untuk mendukung produksi ekspor.
21
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Ekspor Indonesia mengalami pertumbuhan negatif 6,22%
pada periode yang sama dibanding dengan Oktober 2011 (Januari
– Oktober). Ekspor ke negara mitra dagang utama yaitu Uni
Eropa, AS, Jepang, ASEAN, dan Cina,
juga mengalami
pertumbuhan negatif. Memang pertumbuhan negatif paling besar
terjadi pada Uni Eropa dan AS yaitu masing-masing 12,74% dan
7,49%. Sementara yang lain tidak mencapai -6%. Proporsi
negara-negara tersebut mencapai 53% dari total ekspor. Oleh
karena itu, Indonesia sebagai negara yang memiliki hubungan
dagang cukup besar dengan Uni Eropa dan AS mengalami
dampak dari krisis tersebut. Berdasarkan data yang lebih detil
pada saat awal krisis di Uni Eropa, pertumbuhan Ekspor ke Uni
Eropa berdasarkan Komoditi selama Jan-Jul 2010-2011 (BPS,
2011) ada sembilan (9) komoditi atau sektor yang mengalami
pertumbuhan ekspor negatif ke Uni Eropa. Sedangkan ekspor ke
AS, ada 5 komoditi yang mengalami pertumbuhan negatif selama
kurun waktu yang sama. Komoditi atau sektor yang mengalami
pertumbuhan negatif terbesar dalam ekspor ke Uni Eropa adalah
sektor industri semen sebesar -100%. Sementara sektor yang
mengalami pertumbuhan negatif paling besar dalam ekspor ke AS
adalah sektor tambang batu bara dan besi lainnya, yakni sebesar 88%.
22
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
Terdapat indikasi bahwa defisit dalam transaksi berjalan
berkaitan erat dengan defisit dalam APBN Indonesia. Subsidi
BBM dan impor minyak bumi memegang peran penting dalam
menjelaskan fenomena kedua defisit.
Dari temuan empiris
memang terdapat bukti yang mendukung kuatnya korelasi kedua
defisit. Defisit transaksi berjalan ditemukan memicu defisit
anggaran. Peran subsidi BBM dalam APBN dan minyak bumi
dalam komposisi impor makin kritis dan sekaligus strategis bagi
Indonesia dalam mengurangi defisit, baik eksternal perdagangan
maupun internal APBN. Impor juga meningkat terutama impor
gas sebesar 109,5% pada Oktober 2012 dengan periode yang
sama dibanding tahun lalu (Januari – Oktober). Sementara impor
minyak mentah meningkat sebesar 1,6% pada periode yang
sama.
Belanja subsidi energi yang besar di dalam APBN adalah
keputusan politik yang tidak mudah diperbaiki tanpa sebuah
kesadaran politik bangsa. Bangsa Indonesia memerlukan sebuah
kesadaran kolektif yang rasional dan realistis dalam melihat
subsidi BBM. Subsidi BBM sangat distortif, konsumtif dan
inegalitarian. Persepsi bahwa subsidi adalah buat kepentingan
orang miskin adalah menyelimuti kepentingan elit dengan
kepentingan orang miskin. Kepentingan orang miskin adalah
mendapatkan daya beli yang makin besar dari pertumbuhan
23
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
ekonomi yang makin tinggi. Penurunan pengangguran dan
tingkat kemiskinan harus diikuti dengan meningkatnya daya beli
mayoritas rakyat. Dalam periode peningkatan defisit transaksi
berjalan, defisit anggaran, dan belanja subsidi BBM yang makin
besar, justru yang meningkat adalah bagian dari pendapatan 20%
orang kaya. Pada tahun 2009 kelas 20% orang kaya menerima
44,91% dari pendapatan nasional, pada tahun 2011 naik menjadi
48,42%. Sebaliknya kelas 40% orang miskin masih meneri
18,96% dari pendapatan nasional pada tahun 2009, tapi pada
tahun 2011 penerimaannya turun menjadi 16,85%.
Selama intensitas demokrasi yang meningkat terbukti
kesenjangan ekonomi bangsa telah memburuk dengan kenaikan
rasio Gini dari 0,37 pada tahun 2009 menjadi 0,41 pada tahun
2011. Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi tinggi,
penciptaan kesempatan kerja, penurunan tingkat kemiskinan,
peningkatan kesehatan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan,
dan penurunan kesenjangan ekonomi antar kelas dan antar
daerah. Situasi ekonomi Indonesia terkini memperlihatkan makin
perlunya peran kebijakan fiskal yang berkaitan dengan produksi
substitusi impor bahan baku dan barang modal, alokasi belanja
subsidi, belanja modal, sisa lebih anggaran daerah, manajemen
dan perencaanaan belanja, redistribusi pendapatan, dan pajak
lingkungan.
24
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
4.2. Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan tersebut,
meningkatkan ekspor dan menurunkan impor, maka pemerintah
diharapkan dapat melakukan kebijakan sebagai berikut:
1.
Kebijakan mitigasi dampak krisis Uni Eropa dan AS adalah
melalui stimulus fiskal seperti yang telah dilakukan pada
tahun 2008. Stimulus fiskal dapat digunakan untuk meredam
dampak akibat menurunnya ekspor ke AS dan Uni Eropa
pada sektor kesempatan kerja dan penurunan pendapatan
yaitu dengan menaikkan batas ambang pendapatan kena
pajak sehingga mendorong konsumsi domestik.
2.
Dengan
simulasi
analisis
Input-Output,
jika
hanya
memperhitungkan krisis di AS saja, maka pertumbuhan
ekonomi akan mengalami penurunan sebesar -0.15% dari
base case. Namun, jika yang mengalami krisis Uni Eropa,
maka pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan
sebesar -0.45% dari base case. Sedangkan jika krisis terjadi
secara bersamaan maka pertumbuhan ekonomi turun
sebesar - 0.60% dari base case.
3.
Kebijakan lainnya dapat berupa pemberian stimulus dan
insentif
fiskal
untuk
sektor-sektor
yang
mengalami
penurunan permintaan ekspornya ke AS dan Uni Eropa
25
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
sehingga dapat menembus pasar baru dan pasar non
tradisional seperti Afrika dan Timur Tengah.
4.
Pemberian insentif fiskal industri hulu seperti industri kimia
dan industri lainnya guna mengurangi ketergatungan pada
impor bahan baku dan bahan penolong.
5.
Penerapan berbagai bea keluar seperti yang telah dikenakan
pada CPO dan berbagai barang tambang dan mineral (PMK
No. 11 2012) yang menetapkan bea keluar sebesar 20% akan
meningkatkan proses hilirisasi sehingga akan meningkatkan
nilai tambah di dalam negeri. Karena selama periode krisis
keuangan global seperti sekarang ini, semua negara
melakukan proteksi maksimal yang dimungkinkan.
6.
Untuk mengurangi tekanan impor minyak mentah karena
meningkatnya konsumsi BBM, pengurangan subsidi BBM
harus dilakukan dengan menerapkan subsidi yang tepat
sasaran target groupnya.
7.
Diperlukan kebijakan pengaturan pelabuhan impor untuk
mengurangi daya saing barang impor dengan pertimbangan
bahwa daerah dimana pelabuhan impor ditetapkan tidak
menghasilkan produk sejenis.
8.
Perlu perbaikan infrastruktur seperti pelabuhan serta kapalkapal berbendera Indonesia untuk menurunkan biaya
26
POLICY BRIEF REGIONAL ECONOMIST
logistik sehingga bisa meningkatkan daya saing barang
ekspor Indonesia.
9.
Perlu dilakukan pemetaan terhadap impor bahan baku dan
penolong untuk melihat besarnya kebutuhan dan peluang
untuk mengadakan produk substitusi impor.
10. Perlu peninjauan kembali untuk isu Ecolabeling misalnya
sertifikasi legal pada kayu yang digunakan oleh IKM untuk
produk ukiran, meubel dan lainnya, karena adanya double
cost pada penerapan peraturan ini, seyogyanya sertifikasi
hanya di sektor hulu saja dan tidak pada proses hilirisasi
karena menjadi tambahan biaya bagi produsen hilir dan
melemahkan daya saing di pasar dunia.
11. Perlu peninjauan kembali untuk insentif fiskal, mungkin
dapat dipertimbangkan pola insentif fiskal yang diterapkan
di Thailand dengan mengklasifikasikan produk dan membagi
zona produksi dan perdagangan.
12. Melakukan subtitusi impor untuk komoditi yang bisa
dikembangkan/dibudidayakan di Indonesia seperti Gandum
dengan Cassava dan Sorgum dan Garam sehingga kebutuhan
bahan baku industri (hilir) dalam negeri terpenuhi dan tidak
membebani neraca perdagangan.
27
Download