BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam melimpah. Kekayaan alamnya membentang dari ujung pulau sumatera hingga pulau papua yang meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan juga yang tidak dapat diperbaharui. Para pendiri bangsa (founding fathers) ketika merumuskan konstitusi negara (UUD 1945) menyadari betul potensi kekayaan alam Indonesia. Oleh karena itu, dalam konstitusi secara khusus pasal 33 UUD 1945 ayat 3 dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara ini harus benarbenar dikelola negara dengan sebaik-baiknya agar dapat dinikmati oleh segenap masyarakat dan bukan hanya oleh segelintir orang. Salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah adalah minyak bumi. Sejak dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu penghasil minyak terbesar di dunia. 1 Sejarah juga mencatat Indonesia sebagai negara yang kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun 1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia. Wilayah Indonesia adalah sumber awal surplus ekonomi yang membuat perusahaan tersebut 1 Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. Hal 167 berkembang secara pesat di penghujung abad ke 19. Pada tahun 1974-1982, Indonesia sendiri pernah mengenal istilah periode ”oil boom” yaitu periode melimpahnya uang negara sebagai akibat naiknya harga minyak dan gas di pasar internasional. Sangat disayangkan karena kondisi saat ini sangat bertolakbelakang dengan yang terjadi pada masa dulu. Sekarang, ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia justru dianggap membawa musibah bagi negeri ini. Pemerintah menjadi kebingungan ketika harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan. 2Akhirnya, salah satu langkah yang terpaksa ditempuh oleh pemerintah adalah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi kepada masyarakat. Secara khusus, pada masa pemerintahan SBY-JK sudah dilakukan tiga kali kebijakan menaikkan harga BBM sejak awal periode pemerintahannya tahun 2004-2009. Pada tanggal 24 Mei 2008 dini hari, pemerintah secara resmi kembali mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga penjualan BBM bersubsidi kepada masyarakat sebesar 28,7%. 3Kebijakan ini merupakan yang ketiga kalinya pada pemerintahan SBY-JK setelah pada tanggal 28 Februari 2005 sebesar 29% dan juga tanggal 1 Oktober 2005 sebesar 128%. Adapun yang menjadi alasan pemerintah mengambil kebijakan tersebut adalah karena harga minyak mentah dunia yang semakin melonjak tinggi dan bahkan sudah melebihi 100 Dollar per barrel. Harga minyak dunia yang demikian tinggi kemudian membuat pemerintah 2 Istilah subisidi sendiri masih banyak yang meragukan. Setidaknya, mereka keberatan dengan opini publik yang dikembangkan, pemerintah seolah-olah mengeluarkan sejumlah dana untuk itu. Kejadian yang sebenarnya, perhitungan subsidi adalah ”di atas kertas” atau disebut dengan subsidi ekonomi. Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. hal 187 3 Artikel Harga BBM mencari Hari Baik Mengumumkan, Kompas 23 Mei 2008 merasa kuatir dan tidak sanggup untuk menanggung beban subsidi terutama BBM yang jauh dari asumsi yang dicantumkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). 4Adapun besarnya alokasi dana yang diberikan pemerintah untuk subsidi BBM dalam realisasi APBN dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut : 5 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 (P) 2006 2007 2008 (P) Subidi BBM (Rp triliun) 53,8 68,4 31,2 30,0 69,0 95,7 85,1 83,8 126,8 Alasan lain yang diberikan oleh pemerintah adalah bahwa saat ini subsidi BBM justru mayoritas dinikmati oleh golongan orang kaya sehingga dianggap sudah salah sasaran. Resistensi masyarakat kemudian bermunculan sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah. Gelombang unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa, kaum buruh, dan masyarakat akhirnya terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air. 6 Dalam hal antisipasi reaksi yang berlebihan dari masyarakat dalam menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil, pemerintah dinilai cukup cerdik dalam memilih waktu yang tepat untuk mengumumkan secara resmi kebijakan tersebut. Kenaikan yang pertama sebesar 29 % dilakukan pada hari kerja, senin malam 28 Februari 2005. Namun, kenaikan harga baru berlaku Selasa, 1 Maret 2005 pukul 00.00 WIB. Secara kebetulan, kenaikan harga BBM pada 1 4 Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company. hal 184 5 Pendapat ini pun segera mendapat sanggahan keras dari berbagai pihak. Pemerintah dianggap keliru karena lupa bahwa subsidi BBM justru ibarat oli dalam mesin pertumbuhan ekonomi terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang tentunya sangat banyak melibatkan kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Opini Ilyani S Andang, APBN untuk Siapa? Kompas 23 Mei 2008. Lebih sederhana, Kwik Kian Gie menyatakan bahwa pemerintah lupa subsidi BBM juga sangat dibutuhkan oleh orang miskin seperti supir bis, metromini, nelayan, dan juga penumpang angkot. Kwik menambahkan, jumlah pemilik mobil mewah di Indonesia hanya sekitar 10 juta atau < 5% jumlah penduduk Indonesia. 6 Artikel Kenaikan Harga BBM, Presiden Menunggu Apa dan Siapa? Kompas 30 Mei 2008 Maret itu bertepatan pada peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang waktu itu tengah diduduki Belanda. Karena itu, kenaikan harga BBM tersebut diplesetkan sebagai serangan harga kepada rakyat. Kenaikan harga BBM yang kedua diumumkan pemerintahan SBY-JK pada jumat malam, 30 September 2005. Namun efektifnya berlaku pada hari kesaktian Pancasila atau tepatnya sabtu 1 Oktober 2005. Selanjutnya pemerintah dinilai tidak peduli dengan peringatan hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada hari tersebut. Pancasila yang suci dinodai dengan kenaikan harga BBM yang rata-rata sebesar 120% lebih. Pakar Ekonomi Faisal Basri menilai, kenaikan harga BBM hingga 100% lebih sebenarnya sudah melampaui batas kemampuan masyarakat yang hanya mampu menanggung kenaikan 50%. Lebih lanjut, dia berpendapat kenaikan harga BBM ini sangat berbahaya dan akan berdampak panjang bagi masyarakat apalagi saat itu menjelang puasa dan hari lebaran. Namun, justru disinilah letak kecerdikan pemerintah dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengumumkan kebijakan tersebut. Momentum bulan puasa yang dimulai 5 Oktober 2005 diyakini akan membuat masyarakat yang sedang berpuasa dan mengendalikan diri untuk tidak marah tidak akan melakukan aksi yang berlebihan dengan turun ke jalan. Alasan kedua, penggunaan BBM akan lebih minim karena masyarakat hanya memasak menjelang sahur dan buka. Tidak seperti hari biasa yang memasak tiga kali. Reaksi penolakan terhadap kenaikan harga BBM dirasakan lebih hebat pada saat pemerintah menaikkan kebijakan yang serupa untuk ketiga kalinya. Jika kenaikan harga BBM pertama direspon masyarakat dengan melakukan aksi protes selama seminggu, dan pada saat kenaikan yang kedua yang melebihi 100% aksi protes hanya berlangsung sekitar dua minggu, kenaikan yang ketiga sebesar 28,7% menimbulkan reaksi yang lebih hebat. Masyarakat seolah sudah kehilangan kesabaran dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap sama sekali tidak pro rakyat. Akhirnya aksi demonstrasi sebagai wujud reaksi penolakan masyarakat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM tersebut bermunculan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak jarang aksi demonstrasi yang dilakukan justru berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Peristiwa yang sangat tragis adalah wafatnya Maftuh Fauzi salah seorang massa demonstran yang juga adalah mahasiswa UNAS (Universitas Nasional). Peran anggota legislatif sebagai wakil rakyat di parlemen juga mendapat sorotan yang sangat tajam. 7Mereka dianggap mengabaikan kepentingan rakyat yang seharusnya diperjuangkan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. DPR (Legislatif) sebagai wakil rakyat dianggap tidak respon terhadap masalah yang sedang dihadapi rakyat karena menyetujui rencana kenaikan harga BBM tersebut. Selain itu, lembaga legislatif juga dianggap sebagai lembaga yang sangat lamban dan korup. Hal ini didukung fakta banyaknya anggota legislatif yang harus berurusan dengan pihak berwenang karena diduga melakukan tindakan penyelewengan yaitu korupsi. Reaksi masyarakat yang melakukan penolakan kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM sebenarnya sangat beralasan dan masuk akal. Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga BBM biasanya akan diikuti dengan kenaikan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Ini terjadi karena BBM 7 Ketika pemerintah baru menaikkan harga BBM sebanyak dua kali pada tahun 2005 yaitu 29% dan 128%, tidak lama setelah itu yaitu tahun 2006, DPR mengajukan kenaikan gaji yang tidak tanggung-tanggung yakni sebesar 40-60%. Sehingga, total penambahan gaji anggota DPR pada masa itu mencapai Rp. 200 miliar. Kenaikan gaji tersebut dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat dan sangat melukai nurani keadilan terkait hampir ke semua sektor produksi, sehingga mempengaruhi struktur biaya produsen. Jika biaya produksi naik, maka harga produknya pun pasti dinaikkan. Hal ini lah yang akan sangat memberatkan masyarakat. Rendahnya tingkat pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat jika ditambah lagi dengan tingginya biaya hidup, maka akan membuat hidup mereka semakin menderita. Program BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang diajukan oleh pemerintah sebagai dana kompensasi bagi masyarakat miskin juga dirasakan sangat tidak mencukupi memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dana sebesar Rp100 ribu per bulan masih sangat terlalu kecil jika dibandingkan harga kebutuhan pokok yang sudah melambung tinggi. Hal ini ditambah lagi dengan resiko pendistribusian dana yang tidak merata karena data yang dipakai pemerintah untuk menetapkan penduduk yang berhak mendapatkan dana bantuan itu mengacu pada data BPS (Badan Pusat Statistik) yang terkadang tidak lagi relevan dengan kondisi riil yang ada. 8Para pengamat ekonomi juga sudah memprediksi angka masyarakat miskin akan semakin bertambah pasca kenaikan harga BBM. Jika sebelum kenaikan BBM yang ketiga kali nya jumlah penduduk miskin sekitar 36,6 juta jiwa (16,85), diprediksi angka tersebut akan melonjak tajam hingga mencapai 52 juta jiwa (25,4%) pasca kenaikan harga BBM. Jumlah pengangguran pun diprediksi akan jauh bertambah yaitu sebesar 18,61 juta jiwa (sehingga total penganggur terbuka mencapai 29,61juta lebih). Sementara harga barang juga akan mengalami kenaikan sekitar 26,94 %. 9 Dampak kenaikan harga minyak mentah dunia sebenarnya bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia yang notabene adalah negara yang memiliki 8 9 Opini Harga BBM, Buah Si Malakama oleh Ivan A Hadar, Kompas 24 Mei 2008 Opini Harga BBM dan Langkah ke Depan oleh Kurtubi, Kompas 26 Mei 2008 potensi sumber daya minyak yang luar biasa. Namun yang menjadi masalah ketika harga minyak dunia meningkat, justru produksi minyak (lifting) nasional dilaporkan merosot tajam jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi minyak nasional relatif sangat rendah (924.000 barrel) per hari dibandingkan kebutuhan minyak mentah untuk konsumsi dalam negeri sekitar 1,4 juta barrel per hari. Artinya, untuk menutupi defisit produksi minyak untuk konsumsi dalam negeri, Indonesia bahkan harus melakukan impor dari negara lain. Indonesia pada akhirnya harus dikeluarkan dari organisasi OPEC karena sudah tidak mampu lagi untuk melakukan ekspor minyak tetapi justru sudah melakukan impor. Masalah kedua adalah gagalnya langkah antisipatif yang dicanangkan pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Sebut saja program konversi minyak tanah ke LPG, konversi premium ke bahan bakar gas untuk sektor pengangkutan, konversi BBM ke batubara di sektor industri, pengembangan biofuel (BBN) berbasis non pangan serta optimalisasi pemanfaatan energi panas bumi. 10Menurut pengamat, krisis BBM yang melanda Indonesia seharusnya membuat negeri ini untuk segera menoleh kepada sumber energi non konvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Hal ini dikarenakan negeri ini sebenarnya amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah. Masalah ketiga adalah program atau anjuran pemerintah untuk melakukan langkah penghematan yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Meskipun pemerintah dengan gencar melakukan himbauan dan ajakan untuk melakukan penghematan melalui iklan-iklan di media massa, 10 Opini Andaikan Harga BBM (Tak) Naik oleh Imam Sugema, Kompas 12 Mei 2008 langkah ini dinilai kurang produktif dan hanya dapat dijadikan program jangka panjang dan berkelanjutan. Selain ketiga masalah tersebut, pengelolaan sumber daya minyak nasional pun banyak menuai pertanyaan sekaligus kritikan. Sebagaimana diketahui, saat ini pengelolaan sumber daya minyak secara mayoritas justru banyak dikelola oleh perusahaan asing misalnya Exxon, Shell, BP, Chevron, dan perusahaan asing lainnya melalui kontrak bagi hasil dengan pemerintah Indonesia. 11 Namun, sistem kontrak bagi hasil yang dilakukan dianggap tidak adil karena hanya memberi sedikit keuntungan bagi pemerintah sementara perusahaan asing tersebut justru memperoleh keuntungan yang sangat besar. Hal lain yang juga mendapat sorotan adalah kinerja PT Pertamina yang dinilai tidak menjalankan tugas dengan baik. Alih-alih menjalankan tugas dengan baik, PT Pertamina justru dianggap sebagai ”lahan subur” terjadinya tindakan korupsi yang bernilai hingga triliunan rupiah. Dengan sedikit deskripsi di awal, penulis merasa tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul: Analisis Kebijakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada masa Pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009. B. Perumusan Masalah 11 Sistem kontrak bagi hasil dianggap tidak adil karena baru akan berlaku setelah dipotong cost recovery yang besarnya justru ditetapkan oleh perusahaan asing. Artinya, jika tidak ada sisa setelah pemotongan cost recovery maka Indonesia tidak akan mendapat apa-apa. Kompas 13 Oktober 2006 mencatat, di blok natuna setelah dipotong cost recovery, Indonesia mendapat 0 dan Exxon memperoleh 100%. Berdasarkan temuan yang ada, cost recovery tersebut sangat rentan dengan tindakan korupsi. 12 Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian. Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah: Bagaimana proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009. C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk memberikan deskripsi dan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009. 2. Menganalisa proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Subyektif. Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah kognitif. 12 Suharsimi Arikunto. 1996. Prosedur penelitian ; suatu pendekatan praktek edisi ke 3. Jakarta. Rineka Cipta. Hal.19 2. Secara Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan jurusan ilmu administrasi negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang analisis kebijakan pemerintah khususnya terkait kebijakan harga BBM. E. Kerangka Teori E.1. Kebijakan Publik Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. 13 Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Sementara itu, istilah publik dalam rangkaian kata public policy mengandung tiga konotasi: pemerintah, masyarakat, dan umum. Ini dapat dilihat dalam dimensi subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi subyek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Maka itu salah satu ciri kebijakan adalah ”what government do or not do”. Kebijakan dari pemerintah lah yang dapat dianggap kebijakan yang resmi dan dengan demikian mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Dalam dimensi lingkungan yang dikenai kebijakan, penegertian publik di sini adalah masyarakat. Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan disusun (constructed) dan didefinisikan dan bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Atau, seperti yang diungkapkan oleh Dye, 13 Said Zainal Abidin. 2002. Kebijakan Publik edisi Revisi. Jakarta. Yayasan Pancur Siwah. Hal 20 kebijakan publik adalah studi tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah maupun atau aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan bersama. 14 James Anderson mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan, seperti berikut : 1. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or chance behavior. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya, pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu ada tujuan. 2. Public policy consists of courses of action rather than separate, discrete decision or actions performed by government officials. Maksudnya, suatu kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum. 3. Policy is what government do not what they say will do or what they intend to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah. 14 Ibid, hal 41 4. Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan. 5. Public policy is based on law and is authoritative. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sub-sistem atau elemen, komposisi dari kebijakan dapat dilihat dari dua perspektif : dari proses kebijakan dan dari struktur kebijakan. Dari sisi proses kebijakan, ada beberapa tahapan diantaranya: identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan. Sementara jika dilihat dari segi struktur, terdapat lima unsur kebijakan. Unsur pertama, tujuan kebijakan. Seperti penjelasan sebelumnya, suatu kebijakan dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan, tidak perlu ada kebijakan. Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria yaitu; diinginkan untuk dicapai, rasional atau realistis, jelas, dan berorientasi ke depan. Unsur kedua, masalah. Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Dengan kata lain, jika suatu masalah telah dapat diidentifikasikan secara tepat berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap sudah dikuasai. Unsur ketiga, tuntutan. Tuntutan muncul antara lain karena salah satu dari dua sebab : Pertama, karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam proses perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah dirasakan tidak memenuhi atau merugikan kepentingan mereka. Kedua, karena munculnya kebutuhan baru setelah suatu tujuan tercapai atau suatu masalah terpecahkan. Unsur keempat, dampak. Dampak merupakan tujuan lanjutan yang timbul sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan. Seberapa besar dampak yang terjadi untuk tiap jenis kebijakan sulit diperhitungkan karena : tidak tersedianya informasi yang cukup, dalam bidang sosial pengaruh dari satu kebijakan sulit dipisahkan dari pengaruh kebijakan lain, proses berjalannya pengaruh dari sesuatu kebijakan di bidang sosial sulit untuk diamati. Unsur kelima, sarana atau alat kebijakan. Suatu kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini antara lain : kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan kebijakan itu sendiri. Kebijakan sebagai Proses Salah satu model kebijakan yang terkenal adalah model proses yang banyak dibahas oleh Charles O Jones. Proses yang ditawarkan bukan berarti tahap yang harus dilalui pada setiap sistem, tetapi dimungkinkan untuk saling mendahului. 15 Adapun proses yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Persepsi dan Defenisi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan fungsional yang dianggap sebagai problem dalam pemerintahan, atau sejauhmana suatu isu dianggap sebagai problem. Atau dengan kata lain, apabila terjadi 15 Charles O Jones. 1994. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta. Rajawali Press. Hal 52 sesuatu, seseorang membuat persepsi dari sudut tertentu dan mendefenisikannya sebagai suatu permasalahan. 2. Agregasi dan Organisasi. Agregasi didefenisikan sebagai sekumpulan orang yang terkena sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Agregasi menjadi penting apabila terorganisir dengan baik dalam masyarakat. 3. Representasi. Representasi merupakan salah satu konsep demokrasi yang paling fundamental. Idealnya, representasi berarti perwakilan atas kepentingan orang banyak dan diwakili oleh sang wakil yang harus bersikap netral dari kepentingan pribadinya. Dalam kenyataan, hal ini sangat sulit terjadi. 4. Penyusunan agenda. Agenda disusun atas dasar persepsi, agregasi, defenisi, dan representasi mengenai isu yang tersusun dengan produk potensial prioritas-prioritas. Sesuatu isu dapat masuk menjadi agenda karena banyak dipengaruhi oleh akses dan kontak-kontak politis. 5. Formulasi. Tahap ini merupakan serangkaian aktivitas kebijakan yang bukan sekedar membuat perencanaan, tetapi juga menentukan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi masalah umum. Formulasi masalahmasalah yang ada dalam masyarakat untuk dipecahkan, disajikan dalam bentuk usulan atau proposal. 6. Legitimasi. Legitimasi didefinisikan sebagai memberi kekuatan hukum, wewenang, atau penilaian terhadap sesuatu. Lolosnya sebuah formulasi ditandai dengan pemberian legitimasi. Kegiatan legitimasi pada proses kebijakan mencakup persetujuan tatacara (pengesahan), dan pengesahan itu sendiri untuk menghasilkan suatu keputusan atau program. Secara umum yang terlibat dalam proses legitimasi adalah badan legislatif, yang dirancang mewakili kepentingan masyarakat, namun hal itu tergantung pada konstitusi negara tersebut. Dalam konstitusi negara Indonesia yakni dalam UUD 1945, terdapat dua lembaga tinggi negara yang diatur secara eksplisit terlibat dalam legitimasi yaitu: 7. Penganggaran. Secara sederhana penganggaran merupakan rencana pemasukan dan pengeluaran dalam proses kebijakan yang bukan merupakan tahap yang berdiri sendiri. 8. Implementasi. Euguene Bardach menyebutkan bahwa implementasi merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai pendukung (klien), lebih sulit dari membuat dan memformulasikan sebuah permasalahan. 9. Evaluasi. Kegiatan ini mencakup spesifikasi, pengukuran, analisis dan rekomendasi. Spesifikasi mengidentifikasi tujuan-tujuan serta kriteria yang harus dievaluasi. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi yang relevan menyangkut kualitas dan kuantitas. Analisis adalah penyerapan dan penggunaan informasi yang dikumpulkan guna mengambil keputusan. Rekomendasi adalah penentuan mengenai apa yang dilakukan selanjutnya ke depan. Evaluasi dilakukan oleh badan-badan pemerintah, badan pengawasan dan elemen masyarakat. E.2. Analisis Kebijakan Publik 16 Analisis Kebijakan (policy analysis) merupakan suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan preskriptif. 17 Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan : Pertama, nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi. Kedua, fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilainilai. Ketiga, tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. Di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, seorang analis dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis yaitu : empiris, valuatif, dan normatif. Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Dalam hal ini, informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Sementara itu, pendekatan valuatif ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Adapun tipe informasi yang dihasilkan pada pendekatan ini adalah bersifat valuatif. Pendekatan normatif ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik, sehingga tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif Tabel Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan 16 William N Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Hal 44 17 Ibid, hal 97 PENDEKATAN PERTANYAAN UTAMA TIPE INFORMASI EMPIRIS Adakah dan akankah ada (fakta) Deskriptif dan prediktif VALUATIF Apa manfaatnya (nilai) Valuatif NORMATIF Apakah yang harus diperbuat (aksi) Preskriptif E.2.1. 18Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan Analisis Kebijakan Prospektif Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung mencirii cara beroperasinya para ekonom, analis sistem, dan peneliti operasi. Analisis prospektif acapkali menimbulkan jurang pemisah yang besar antara pemecahan masalah yang diunggulkan dan upaya-upaya pemerintah untuk memecahkannya. Analisis Kebijakan Retrospektif Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan rertrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis : 1. Analis yang berorientasi pada disiplin (discipline oriented analysts). Kelompok ini sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik dan sosiologi yang terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji 18 William N Dunn. 2000. Pengantar Analisa Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press hal teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi. 2. Analis yang bersorientasi pada masalah (problem oriented analysts). Kelompok ini juga sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha untuk menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting di dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah. 3. Analis yang berorientasi pada aplikasi (applications oriented analysts). Kelompok analis yang ketiga ini mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tetapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi profesional pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi yang sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha untuk menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan. Analisis Kebijakan Yang Terintegrasi Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan retrosektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus, berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis prospektif dan retrospektif, tetapi tidak satupun dari kelebihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang menyediakan lebih sedikit informasi. E.2.2.Prosedur Analisis Kebijakan Dalam menggunakan analisis kebijakan sebagai proses pengkajian (inquiry), maka perlu dibedakan antara metodologi, metode, dan teknik. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan standar, aturan, dan prosedur. Prosedur merupakan subordinat dari standar plausabilitas dan relevansi kebijakan, sehingga peranan prosedur adalah untuk menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Prosedur sendiri tidak menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: defenisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan, prosedur-prosedur tersebut memiliki nama khusus. Perumusan masalah (defenisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai nama yang sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah. Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut berguna sebagai alat untuk menggambarkan keterkaitan antara metode-metode dan teknik-teknik analisis kebijakan. E.2.3.Proses Pembuatan Kebijakan Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Proses pembuatan kebijakan publik melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung mempunyai percabangan yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang, dan penggunaan sumber daya kritis untuk meraih kesempatan yang diterima dalam kondisi lingkungan yang berubah. 19 Pembuatan kebijakan merupakan proses sosial yang dinamis dengan proses intelektual yang lekat di dalamnya. Perumusan Masalah Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. Peramalan Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari diambilnya alternatif termasuk tidak melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan 19 Hal ini berarti bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan suatu proses yang melibatkan proses-proses sosial dan proses-proses intelektual. Budi Winarno. 2002.Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo. hal 68 dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik dari berbagai pilihan. Rekomendasi Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakapstian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan. Pemantauan Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan Evaluasi Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Jadi, ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan ; tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. E.2.4. 20Tahap-tahap Perumusan Kebijakan Publik Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pembuatan kebijakan dan perumusan kebijakan sekilas merupakan konsep yang mirip namun sebenarnya merupakan konsep yang sama sekali berbeda walaupun antara keduanya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Menurut Anderson, perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa saja yang berpartisipasi. Ia merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspekaspek misalnya, bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalahmasalah khusus dan bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai alternatif yang ada. Berikut akan dijelaskan tahap-tahap dalam perumusan kebijakan. 1. Tahap pertama : Perumusan masalah (defining problem) 20 Ibid hal 82-84 Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefenisikan dengan baik pula. 21 Perumusan masalah kebijakan akan menentukan kebijakan yang akan diambil. Misalnya dapat digambarkan dalam contoh berikut; Isu (orang tidur di jalanan) Problem (tunawisma) Kebijakan (perumahan lebih banyak) Bisa saja kita sepakat dengan isu yang ada tersebut, namun perbedaan dalam memandang permasalahan akan mempengaruhi juga kebijakan yang akan diambil. Jika kita melihat orang tidur di jalanan sebagai sebuah problem gelandangan, maka respon kebijakannya mungkin dibungkus dalam term penegakan hukum dan ketertiban. Sebuah problem harus didefinisikan, didefinisikan, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama. 2. Tahap kedua : Agenda kebijakan Agenda kebijakan tidak lain daripada sebuah daftar permasalahan atau isu yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau diproses pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Tidak semua masalah publik akan masuk dalam agenda kebijakan. 22 Jika proses perumusan masalah dapat dilakukan melalui langkah-langkah tertentu dan dengan menggunakan kriteria yang jelas dan rasional, proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional. Proses ini cenderung lebih bersifat 21 22 Wayne Parsons. 2005. Public Policy. Jakarta. Prenada Media. Hal 89 Said Zainal Abidin.2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta.Yayasan Pancur Siwah.Hal 127 politis daripada rasional. Suatu masalah untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti misalnya apakah masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat. 3. Tahap ketiga : Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah Setelah masalah-masalah publik didefenisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini perumus kebijakan akan berhadapan pada pertarungan kepentingan antarberbagai aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. 4. Tahap keempat : Tahap penetapan kebijakan Tahap paling akhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang, yurispurdensi, keputusan presiden, keputusan menteri, dan lain sebagainya. E.2.5 23. Aktor-aktor Dalam Perumusan Kebijakan Ada perbedaan penting diantara aktor-aktor pembuat kebijakan di negara berkembang dan negara maju. Di negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara maju. 23 Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo hal 8491 Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara maju lebih kompleks. Perbedaan ini disebabkan oleh aktor-aktor yang terlibat dala perumusan kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat lebih sedikit, maka proses perumusan kebijakan cenderung lebih sederhana. Sementara itu, di negaranegara Eropa Barat dan Amerika dimana setiap warga negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik negaranya, kondisi ini akan mendorong struktur yang lebih kompleks. Menurut James Anderson, aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses perumusan kebijakan daat dibagi ke dalam dua kelompok yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi; kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga negara individu. Berikut sedikit penjelasan mengenai aktor-aktor tersebut. Pemeran serta resmi dalam perumusan kebijakan Badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah) Dalam perkembangan kondisi saat ini, badan-badan administrasi telah menjadi aktor yang penting dalam proses pembuatan kebijakan dan keberadaanya perlu mendapat perhatian oleh para ilmuwan politik yang tertarik untuk mengkaji kebijakan-kebijakan publik. Hal ini juga terjadi pada masyarakat industri yang mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi dimana badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas. Selain itu, badan administrasi juga menjadi sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem politik. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya melalui cara bagaimana suatu departemen tertentu menggalang kekuatan untuk mendukung suatu kebijakan. Presiden (eksekutif) Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam rapat-rapat kabinet. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden dalam merumuskan kebijakan publik, kadangkala presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi penasihat yang terdiri dari warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditujukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul kebijakan. Lembaga Yudikatif Lembaga ini memegang peranan yang sangat besar dalam pembentukan kebijakan di Amerika Serikat. Namun sejauh mana badan ini mempunyai pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya memerlukan telaah yang lebih lanjut, walaupun bila didasarkan pada UUD badan ini mempunyai kekuasaan cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan. Pada dasarnya, tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pangadilan untuk menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislatif sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan tersebut melawan atau bertentangan dengan konstitusi negara, maka badan yudikatif ini berhak membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap peraturan atau undang-undang yang telah ditetapkan. Lembaga legislatif Di Amerika Serikat lembaga ini lebih dikenal sebagai kongres. Sementara di Indonesia, lembaga ini disebut sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantunya) memegang peranan penting di dalam perumusan kebijakan. Setiap undang-undang menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatiaf. Selain itu, keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekansisme dengar pendapat, penyelidikanpenyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat administrasi, kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Dengan demikian, bersama-sama dengan lembaga eksekutif, lembaga legislatif memegang peran yang krusial dalam pembuatan keputusan kebijakan. Pemeran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan Di samping para pembuat keputusan kebijakan yang resmi, ada juga para pemeran serta yang tidak resmi. Mereka biasanya berpartisipasi di dalam proses pembuatan kebijakan. Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak resmi karena meskipun mereka terlibat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan, akan tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan yang mengikat. Berikut penjelasan singkat mengenai para pemeran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan Kelompok ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara terutama di negara yang menganut sistem politik demokrasi. Hal ini terjadi karena dalam sistem politik demokrasi, kebebasan berpendapat dilindungi serta warganegara lebih mempunyai keterlibatan politik. Kelompok kepentingan memiliki fungsi artikulasi kepentingan yaitu menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Selain itu, kelompok ini juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dimana informasi yang diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan. Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung pada banyak faktor yang menyangkut ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumbernya, kepaduannya, kecakapan dari orang yang memimpin kelompok tersebut, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah laku para pejabat pemerintah, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem politik. Partai-partai politik Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting. Dalam sistem ini, partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Namun hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak berperan sama sekali dalam kebijakan publik dan hanya berorientasi pada kekuasaan. Dalam masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan agregasi kepentingan yaitu berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan menjadi alternatif-alternatif kebijakan. Warganegara individu Dalam pembahasan mengenai perumusan kebijakan, warganegara individu sering diabaikan dimana peran legislatif dan kelompok kepentingan dan pemeran serta lainnya justru lebih menonjol. Walaupun tugas pembuatan kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik, namun dalam beberapa hal para individu warganegara masih dapat mengambil peran secara aktif dalam pengambilan keputusan. Di negara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, kepentingan dan keinginan warganegara biasanya merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam ssitem otoriter tetap akan menaruh perhatian pada keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin diminimalkan. Sementara itu di negara-negara demokratis, pemilihan umum barangkali merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warganegara. F. Defenisi Konsep Untuk lebih memperjelas pemahaman dalam tulisan ini, dapat dijelaskan defenisi konsep di bawah ini : 1. Kebijakan publik adalah keputusan tetap yang dikeluarkan oleh pemerintah dan secara wajib dipatuhi oleh pihak yang dikenai kebijakan tersebut. G. Defenisi Operasional Untuk memberi kejelasan terhadap batasan yang akan diteliti, maka di bawah ini akan dijelaskan defenisi operasional sebagai berikut : 1. Kebijakan publik yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah yang ditetapkan berupa peraturan yaitu peraturan presiden dan peraturan Menteri ESDM yang dalam hal ini terkait kebijakan kenaikan harga BBM. 2. Harga BBM yang dimaksud adalah harga BBM bersubsidi yaitu bensin, solar, dan minyak tanah dimana besarnya subsidi sudah diatur dalam APBN dengan mencantumkan asumsi dasar harga minyak mentah dunia. 3. Kenaikan harga BBM yang dimaksud adalah kenaikan pada masa pemerintahan SBY-JK dan dibatasi pada kenaikan yang sudah terjadi yaitu sebanyak tiga kali. H. Metode Penelitian 24 Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. H.1. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder yaitu data-data digali dari berbagai sumber 24 Mohammad Nazir.1998. Metode Penelitian cetakan ke-3. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 63 seperti buku-buku, majalah, koran, artikel maupun dokumen lainnya baik dari media cetak maupun elektronik yang dianggap relevan dengan penelitian. H.2. Teknik Analisa Data Dalam penelitian ini, data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data-data yang diperoleh akan diolah, disusun, diperinci secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang menunjukkan hasil akhir dari penelitian ini.