analisis kebijakan kenaikan harga bbm pada masa pemerintahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya alam melimpah.
Kekayaan alamnya membentang dari ujung pulau sumatera hingga pulau papua
yang meliputi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan juga yang tidak
dapat diperbaharui. Para pendiri bangsa (founding fathers) ketika merumuskan
konstitusi negara (UUD 1945) menyadari betul potensi kekayaan alam Indonesia.
Oleh karena itu, dalam konstitusi secara khusus pasal 33 UUD 1945 ayat 3
dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Artinya, kekayaan sumber daya alam yang dimiliki negara ini harus benarbenar dikelola negara dengan sebaik-baiknya agar dapat dinikmati oleh segenap
masyarakat dan bukan hanya oleh segelintir orang.
Salah satu kekayaan alam Indonesia yang sangat melimpah adalah minyak
bumi. Sejak dulu, Indonesia sudah dikenal sebagai salah satu penghasil minyak
terbesar di dunia.
1
Sejarah juga mencatat Indonesia sebagai negara yang
kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun
1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia
juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan
yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia. Wilayah Indonesia
adalah sumber awal surplus ekonomi yang membuat perusahaan tersebut
1
Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company.
Hal 167
berkembang secara pesat di penghujung abad ke 19. Pada tahun 1974-1982,
Indonesia sendiri pernah mengenal istilah periode ”oil boom” yaitu periode
melimpahnya uang negara sebagai akibat naiknya harga minyak dan gas di pasar
internasional.
Sangat disayangkan karena kondisi saat ini sangat bertolakbelakang
dengan yang terjadi pada masa dulu. Sekarang, ketika terjadi kenaikan harga
minyak mentah dunia justru dianggap membawa musibah bagi negeri ini.
Pemerintah menjadi kebingungan ketika harga minyak mentah dunia terus
mengalami kenaikan. 2Akhirnya, salah satu langkah yang terpaksa ditempuh oleh
pemerintah adalah menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi
kepada masyarakat. Secara khusus, pada masa pemerintahan SBY-JK sudah
dilakukan tiga kali kebijakan menaikkan harga BBM sejak awal periode
pemerintahannya tahun 2004-2009.
Pada tanggal 24 Mei 2008 dini hari, pemerintah secara resmi kembali
mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan harga penjualan BBM bersubsidi
kepada masyarakat sebesar 28,7%. 3Kebijakan ini merupakan yang ketiga kalinya
pada pemerintahan SBY-JK setelah pada tanggal 28 Februari 2005 sebesar 29%
dan juga tanggal 1 Oktober 2005 sebesar 128%. Adapun yang menjadi alasan
pemerintah mengambil kebijakan tersebut adalah karena harga minyak mentah
dunia yang semakin melonjak tinggi dan bahkan sudah melebihi 100 Dollar per
barrel. Harga minyak dunia yang demikian tinggi kemudian membuat pemerintah
2
Istilah subisidi sendiri masih banyak yang meragukan. Setidaknya, mereka keberatan dengan
opini publik yang dikembangkan, pemerintah seolah-olah mengeluarkan sejumlah dana untuk itu.
Kejadian yang sebenarnya, perhitungan subsidi adalah ”di atas kertas” atau disebut dengan subsidi
ekonomi. Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing
Company. hal 187
3
Artikel Harga BBM mencari Hari Baik Mengumumkan, Kompas 23 Mei 2008
merasa kuatir dan tidak sanggup untuk menanggung beban subsidi terutama BBM
yang jauh dari asumsi yang dicantumkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara). 4Adapun besarnya alokasi dana yang diberikan pemerintah
untuk subsidi BBM dalam realisasi APBN dari tahun ke tahun adalah sebagai
berikut :
5
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005 (P)
2006
2007
2008 (P)
Subidi BBM (Rp triliun)
53,8
68,4
31,2
30,0
69,0
95,7
85,1
83,8
126,8
Alasan lain yang diberikan oleh pemerintah adalah bahwa saat ini subsidi BBM
justru mayoritas dinikmati oleh golongan orang kaya sehingga dianggap sudah
salah sasaran. Resistensi masyarakat kemudian bermunculan sebagai bentuk
penolakan terhadap kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil pemerintah.
Gelombang unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa, kaum buruh, dan
masyarakat akhirnya terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air.
6
Dalam hal antisipasi reaksi yang berlebihan dari masyarakat dalam
menyikapi kebijakan kenaikan harga BBM yang diambil, pemerintah dinilai
cukup cerdik dalam memilih waktu yang tepat untuk mengumumkan secara resmi
kebijakan tersebut. Kenaikan yang pertama sebesar 29 % dilakukan pada hari
kerja, senin malam 28 Februari 2005. Namun, kenaikan harga baru berlaku Selasa,
1 Maret 2005 pukul 00.00 WIB. Secara kebetulan, kenaikan harga BBM pada 1
4
Awalil Rizky. 2008. Neoliberalisme mencengkeram Indonesia. Jakarta. E Publishing Company.
hal 184
5
Pendapat ini pun segera mendapat sanggahan keras dari berbagai pihak. Pemerintah dianggap
keliru karena lupa bahwa subsidi BBM justru ibarat oli dalam mesin pertumbuhan ekonomi
terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang tentunya sangat banyak melibatkan
kehidupan masyarakat ekonomi lemah. Opini Ilyani S Andang, APBN untuk Siapa? Kompas 23
Mei 2008. Lebih sederhana, Kwik Kian Gie menyatakan bahwa pemerintah lupa subsidi BBM
juga sangat dibutuhkan oleh orang miskin seperti supir bis, metromini, nelayan, dan juga
penumpang angkot. Kwik menambahkan, jumlah pemilik mobil mewah di Indonesia hanya sekitar
10 juta atau < 5% jumlah penduduk Indonesia.
6
Artikel Kenaikan Harga BBM, Presiden Menunggu Apa dan Siapa? Kompas 30 Mei 2008
Maret itu bertepatan pada peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke
Yogyakarta yang waktu itu tengah diduduki Belanda. Karena itu, kenaikan harga
BBM tersebut diplesetkan sebagai serangan harga kepada rakyat. Kenaikan harga
BBM yang kedua diumumkan pemerintahan SBY-JK pada jumat malam, 30
September 2005. Namun efektifnya berlaku pada hari kesaktian Pancasila atau
tepatnya sabtu 1 Oktober 2005. Selanjutnya pemerintah dinilai tidak peduli
dengan peringatan hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada hari tersebut.
Pancasila yang suci dinodai dengan kenaikan harga BBM yang rata-rata sebesar
120% lebih. Pakar Ekonomi Faisal Basri menilai, kenaikan harga BBM hingga
100% lebih sebenarnya sudah melampaui batas kemampuan masyarakat yang
hanya mampu menanggung kenaikan 50%. Lebih lanjut, dia berpendapat kenaikan
harga BBM ini sangat berbahaya dan akan berdampak panjang bagi masyarakat
apalagi saat itu menjelang puasa dan hari lebaran. Namun, justru disinilah letak
kecerdikan pemerintah dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengumumkan
kebijakan tersebut. Momentum bulan puasa yang dimulai 5 Oktober 2005 diyakini
akan membuat masyarakat yang sedang berpuasa dan mengendalikan diri untuk
tidak marah tidak akan melakukan aksi yang berlebihan dengan turun ke jalan.
Alasan kedua, penggunaan BBM akan lebih minim karena masyarakat hanya
memasak menjelang sahur dan buka. Tidak seperti hari biasa yang memasak tiga
kali.
Reaksi penolakan terhadap kenaikan harga BBM dirasakan lebih hebat
pada saat pemerintah menaikkan kebijakan yang serupa untuk ketiga kalinya. Jika
kenaikan harga BBM pertama direspon masyarakat dengan melakukan aksi protes
selama seminggu, dan pada saat kenaikan yang kedua yang melebihi 100% aksi
protes hanya berlangsung sekitar dua minggu, kenaikan yang ketiga sebesar
28,7% menimbulkan reaksi yang lebih hebat. Masyarakat seolah sudah kehilangan
kesabaran dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap sama sekali
tidak pro rakyat. Akhirnya aksi demonstrasi sebagai wujud reaksi penolakan
masyarakat terhadap kebijakan kenaikan harga BBM tersebut bermunculan
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak jarang aksi demonstrasi yang
dilakukan justru berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Peristiwa yang sangat
tragis adalah wafatnya Maftuh Fauzi salah seorang massa demonstran yang juga
adalah mahasiswa UNAS (Universitas Nasional).
Peran anggota legislatif sebagai wakil rakyat di parlemen juga mendapat
sorotan yang sangat tajam. 7Mereka dianggap mengabaikan kepentingan rakyat
yang seharusnya diperjuangkan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. DPR
(Legislatif) sebagai wakil rakyat dianggap tidak respon terhadap masalah yang
sedang dihadapi rakyat karena menyetujui rencana kenaikan harga BBM tersebut.
Selain itu, lembaga legislatif juga dianggap sebagai lembaga yang sangat lamban
dan korup. Hal ini didukung fakta banyaknya anggota legislatif yang harus
berurusan dengan pihak berwenang karena diduga melakukan tindakan
penyelewengan yaitu korupsi.
Reaksi masyarakat yang melakukan penolakan kebijakan pemerintah
tentang kenaikan harga BBM sebenarnya sangat beralasan dan masuk akal.
Berdasarkan pengalaman, kenaikan harga BBM biasanya akan diikuti dengan
kenaikan harga bahan pokok kebutuhan masyarakat. Ini terjadi karena BBM
7
Ketika pemerintah baru menaikkan harga BBM sebanyak dua kali pada tahun 2005 yaitu 29%
dan 128%, tidak lama setelah itu yaitu tahun 2006, DPR mengajukan kenaikan gaji yang tidak
tanggung-tanggung yakni sebesar 40-60%. Sehingga, total penambahan gaji anggota DPR pada
masa itu mencapai Rp. 200 miliar. Kenaikan gaji tersebut dianggap sebagai bentuk pengkhianatan
terhadap rakyat dan sangat melukai nurani keadilan
terkait hampir ke semua sektor produksi, sehingga mempengaruhi struktur biaya
produsen. Jika biaya produksi naik, maka harga produknya pun pasti dinaikkan.
Hal ini lah yang akan sangat memberatkan masyarakat. Rendahnya tingkat
pendapatan yang dimiliki oleh masyarakat jika ditambah lagi dengan tingginya
biaya hidup, maka akan membuat hidup mereka semakin menderita. Program
BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang diajukan oleh pemerintah sebagai dana
kompensasi bagi masyarakat miskin juga dirasakan sangat tidak mencukupi
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dana sebesar Rp100 ribu per bulan
masih sangat terlalu kecil jika dibandingkan harga kebutuhan pokok yang sudah
melambung tinggi. Hal ini ditambah lagi dengan resiko pendistribusian dana yang
tidak merata karena data yang dipakai pemerintah untuk menetapkan penduduk
yang berhak mendapatkan dana bantuan itu mengacu pada data BPS (Badan Pusat
Statistik) yang terkadang tidak lagi relevan dengan kondisi riil yang ada. 8Para
pengamat ekonomi juga sudah memprediksi angka masyarakat miskin akan
semakin bertambah pasca kenaikan harga BBM. Jika sebelum kenaikan BBM
yang ketiga kali nya jumlah penduduk miskin sekitar 36,6 juta jiwa (16,85),
diprediksi angka tersebut akan melonjak tajam hingga mencapai 52 juta jiwa
(25,4%) pasca kenaikan harga BBM. Jumlah pengangguran pun diprediksi akan
jauh bertambah yaitu sebesar 18,61 juta jiwa (sehingga total penganggur terbuka
mencapai 29,61juta lebih). Sementara harga barang juga akan mengalami
kenaikan sekitar 26,94 %.
9
Dampak kenaikan harga minyak mentah dunia sebenarnya bisa menjadi
keuntungan tersendiri bagi Indonesia yang notabene adalah negara yang memiliki
8
9
Opini Harga BBM, Buah Si Malakama oleh Ivan A Hadar, Kompas 24 Mei 2008
Opini Harga BBM dan Langkah ke Depan oleh Kurtubi, Kompas 26 Mei 2008
potensi sumber daya minyak yang luar biasa. Namun yang menjadi masalah
ketika harga minyak dunia meningkat, justru produksi minyak (lifting) nasional
dilaporkan merosot tajam jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Produksi
minyak nasional relatif sangat rendah (924.000 barrel) per hari dibandingkan
kebutuhan minyak mentah untuk konsumsi dalam negeri sekitar 1,4 juta barrel per
hari. Artinya, untuk menutupi defisit produksi minyak untuk konsumsi dalam
negeri, Indonesia bahkan harus melakukan impor dari negara lain. Indonesia pada
akhirnya harus dikeluarkan dari organisasi OPEC karena sudah tidak mampu lagi
untuk melakukan ekspor minyak tetapi justru sudah melakukan impor. Masalah
kedua adalah gagalnya langkah antisipatif yang dicanangkan pemerintah dalam
menghadapi kenaikan harga minyak dunia. Sebut saja program konversi minyak
tanah ke LPG, konversi premium ke bahan bakar gas untuk sektor pengangkutan,
konversi BBM ke batubara di sektor industri, pengembangan biofuel (BBN)
berbasis non pangan serta optimalisasi pemanfaatan energi panas bumi. 10Menurut
pengamat, krisis BBM yang melanda Indonesia seharusnya membuat negeri ini
untuk segera menoleh kepada sumber energi non konvensional, baik dalam
lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Hal ini dikarenakan negeri ini
sebenarnya amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak
pantai berlimpah. Masalah ketiga adalah program atau anjuran pemerintah untuk
melakukan langkah penghematan yang tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Meskipun pemerintah dengan gencar melakukan himbauan dan
ajakan untuk melakukan penghematan melalui iklan-iklan di media massa,
10
Opini Andaikan Harga BBM (Tak) Naik oleh Imam Sugema, Kompas 12 Mei 2008
langkah ini dinilai kurang produktif dan hanya dapat dijadikan program jangka
panjang dan berkelanjutan.
Selain ketiga masalah tersebut, pengelolaan sumber daya minyak nasional
pun banyak menuai pertanyaan sekaligus kritikan. Sebagaimana diketahui, saat ini
pengelolaan sumber daya minyak secara mayoritas justru banyak dikelola oleh
perusahaan asing misalnya Exxon, Shell, BP, Chevron, dan perusahaan asing
lainnya melalui kontrak bagi hasil dengan pemerintah Indonesia.
11
Namun, sistem
kontrak bagi hasil yang dilakukan dianggap tidak adil karena hanya memberi
sedikit keuntungan bagi pemerintah sementara perusahaan asing tersebut justru
memperoleh keuntungan yang sangat besar. Hal lain yang juga mendapat sorotan
adalah kinerja PT Pertamina yang dinilai tidak menjalankan tugas dengan baik.
Alih-alih menjalankan tugas dengan baik, PT Pertamina justru dianggap sebagai
”lahan subur” terjadinya tindakan korupsi yang bernilai hingga triliunan rupiah.
Dengan sedikit deskripsi di awal, penulis merasa tertarik untuk
mengangkatnya dalam sebuah penelitian yang berjudul: Analisis Kebijakan
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada masa Pemerintahan
SBY-JK periode 2004-2009.
B. Perumusan Masalah
11
Sistem kontrak bagi hasil dianggap tidak adil karena baru akan berlaku setelah dipotong cost
recovery yang besarnya justru ditetapkan oleh perusahaan asing. Artinya, jika tidak ada sisa
setelah pemotongan cost recovery maka Indonesia tidak akan mendapat apa-apa. Kompas 13
Oktober 2006 mencatat, di blok natuna setelah dipotong cost recovery, Indonesia mendapat 0 dan
Exxon memperoleh 100%. Berdasarkan temuan yang ada, cost recovery tersebut sangat rentan
dengan tindakan korupsi.
12
Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah
dengan jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah
menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.
Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan
latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah: Bagaimana proses
perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK
periode 2004-2009.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memberikan deskripsi dan proses perumusan kebijakan kenaikan
harga BBM pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009.
2. Menganalisa proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Secara
Subyektif.
Sebagai
suatu
sarana
untuk
melatih
dan
mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis
penulis dalam menyusun berbagai kajian literatur untuk menjadikan suatu
wacana baru dalam memperkaya khazanah kognitif.
12
Suharsimi Arikunto. 1996. Prosedur penelitian ; suatu pendekatan praktek edisi ke 3. Jakarta.
Rineka Cipta. Hal.19
2. Secara Akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan jurusan ilmu
administrasi negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk
mengeksplorasi kembali kajian tentang analisis kebijakan pemerintah
khususnya terkait kebijakan harga BBM.
E. Kerangka Teori
E.1. Kebijakan Publik
Banyak defenisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti
kebijakan.
13
Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to
do or not to do). Sementara itu, istilah publik dalam rangkaian kata public policy
mengandung tiga konotasi: pemerintah, masyarakat, dan umum. Ini dapat dilihat
dalam dimensi subyek, obyek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi
subyek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah. Maka itu salah satu
ciri kebijakan adalah ”what government do or not do”. Kebijakan dari pemerintah
lah yang dapat dianggap kebijakan yang resmi dan dengan demikian mempunyai
kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Dalam
dimensi lingkungan yang dikenai kebijakan, penegertian publik di sini adalah
masyarakat.
Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu dan persoalan disusun
(constructed) dan didefinisikan dan bagaimana kesemuanya itu diletakkan dalam
agenda kebijakan dan agenda politik. Atau, seperti yang diungkapkan oleh Dye,
13
Said Zainal Abidin. 2002. Kebijakan Publik edisi Revisi. Jakarta. Yayasan Pancur Siwah. Hal 20
kebijakan publik adalah studi tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa
pemerintah mengambil tindakan tersebut, dan apa akibat dari tindakan tersebut.
Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain
dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik
bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang
dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah maupun atau
aturan sosial atau setidaknya oleh tindakan bersama.
14
James Anderson mengemukakan beberapa ciri dari kebijakan, seperti
berikut :
1. Public policy is purposive, goal-oriented behavior rather than random or
chance behavior. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya. Artinya,
pembuatan suatu kebijakan tidak boleh sekedar asal buat atau karena
kebetulan ada kesempatan membuatnya. Bila tidak ada tujuan, tidak perlu
ada tujuan.
2. Public policy consists of courses of action rather than separate, discrete
decision or actions performed by government officials. Maksudnya, suatu
kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan lain, tetapi berkaitan
dengan berbagai kebijakan dalam masyarakat, dan berorientasi pada
pelaksanaan, interpretasi dan penegakan hukum.
3. Policy is what government do not what they say will do or what they
intend to do. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa
yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah.
14
Ibid, hal 41
4. Public policy may be either negative or positive. Kebijakan dapat
berbentuk negatif atau melarang dan juga dapat berupa pengarahan untuk
melaksanakan atau menganjurkan.
5. Public policy is based on law and is authoritative. Kebijakan didasarkan
pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat
untuk mematuhinya.
Sebagai sebuah sistem yang terdiri dari sub-sistem atau elemen, komposisi
dari kebijakan dapat dilihat dari dua perspektif : dari proses kebijakan dan dari
struktur kebijakan. Dari sisi proses kebijakan, ada beberapa tahapan diantaranya:
identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan, dan evaluasi
kebijakan. Sementara jika dilihat dari segi struktur, terdapat lima unsur kebijakan.
Unsur pertama, tujuan kebijakan. Seperti penjelasan sebelumnya, suatu kebijakan
dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan, tidak perlu ada
kebijakan. Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang baik. Tujuan yang baik
sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria yaitu; diinginkan untuk dicapai,
rasional atau realistis, jelas, dan berorientasi ke depan. Unsur kedua, masalah.
Masalah merupakan unsur yang sangat penting dalam kebijakan. Kesalahan dalam
menentukan masalah secara tepat dapat menimbulkan kegagalan total dalam
seluruh proses kebijakan. Dengan kata lain, jika suatu masalah telah dapat
diidentifikasikan secara tepat berarti sebagian pekerjaan dapat dianggap sudah
dikuasai. Unsur ketiga, tuntutan. Tuntutan muncul antara lain karena salah satu
dari dua sebab : Pertama, karena terabaikannya kepentingan suatu golongan dalam
proses perumusan kebijakan, sehingga kebijakan yang dibuat pemerintah
dirasakan tidak memenuhi atau merugikan kepentingan mereka. Kedua, karena
munculnya kebutuhan baru setelah suatu tujuan tercapai atau suatu masalah
terpecahkan. Unsur keempat, dampak. Dampak merupakan tujuan lanjutan yang
timbul sebagai pengaruh dari tercapainya suatu tujuan. Seberapa besar dampak
yang terjadi untuk tiap jenis kebijakan sulit diperhitungkan karena : tidak
tersedianya informasi yang cukup, dalam bidang sosial pengaruh dari satu
kebijakan sulit dipisahkan dari pengaruh kebijakan lain, proses berjalannya
pengaruh dari sesuatu kebijakan di bidang sosial sulit untuk diamati. Unsur
kelima, sarana atau alat kebijakan. Suatu kebijakan dilaksanakan dengan
menggunakan sarana yang dimaksud. Beberapa dari sarana ini antara lain :
kekuasaan, insentif, pengembangan kemampuan, simbolis, dan perubahan
kebijakan itu sendiri.
Kebijakan sebagai Proses
Salah satu model kebijakan yang terkenal adalah model proses yang
banyak dibahas oleh Charles O Jones. Proses yang ditawarkan bukan berarti tahap
yang harus dilalui pada setiap sistem, tetapi dimungkinkan untuk saling
mendahului.
15
Adapun proses yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Persepsi dan Defenisi. Tahap ini merupakan tahap kegiatan fungsional
yang dianggap sebagai problem dalam pemerintahan, atau sejauhmana
suatu isu dianggap sebagai problem. Atau dengan kata lain, apabila terjadi
15
Charles O Jones. 1994. Pengantar Kebijakan Publik. Jakarta. Rajawali Press. Hal 52
sesuatu,
seseorang
membuat
persepsi
dari
sudut
tertentu
dan
mendefenisikannya sebagai suatu permasalahan.
2. Agregasi dan Organisasi. Agregasi didefenisikan sebagai sekumpulan
orang yang terkena sesuatu yang terjadi dalam masyarakat. Agregasi
menjadi penting apabila terorganisir dengan baik dalam masyarakat.
3. Representasi. Representasi merupakan salah satu konsep demokrasi yang
paling fundamental. Idealnya, representasi berarti perwakilan atas
kepentingan orang banyak dan diwakili oleh sang wakil yang harus
bersikap netral dari kepentingan pribadinya. Dalam kenyataan, hal ini
sangat sulit terjadi.
4. Penyusunan agenda. Agenda disusun atas dasar persepsi, agregasi,
defenisi, dan representasi mengenai isu yang tersusun dengan produk
potensial prioritas-prioritas. Sesuatu isu dapat masuk menjadi agenda
karena banyak dipengaruhi oleh akses dan kontak-kontak politis.
5. Formulasi. Tahap ini merupakan serangkaian aktivitas kebijakan yang
bukan sekedar membuat perencanaan, tetapi juga menentukan apa yang
harus dilakukan dalam mengatasi masalah umum. Formulasi masalahmasalah yang ada dalam masyarakat untuk dipecahkan, disajikan dalam
bentuk usulan atau proposal.
6. Legitimasi. Legitimasi didefinisikan sebagai memberi kekuatan hukum,
wewenang, atau penilaian terhadap sesuatu. Lolosnya sebuah formulasi
ditandai dengan pemberian legitimasi. Kegiatan legitimasi pada proses
kebijakan mencakup persetujuan tatacara (pengesahan), dan pengesahan
itu sendiri untuk menghasilkan suatu keputusan atau program. Secara
umum yang terlibat dalam proses legitimasi adalah badan legislatif, yang
dirancang mewakili kepentingan masyarakat, namun hal itu tergantung
pada konstitusi negara tersebut. Dalam konstitusi negara Indonesia yakni
dalam UUD 1945, terdapat dua lembaga tinggi negara yang diatur secara
eksplisit terlibat dalam legitimasi yaitu:
7. Penganggaran. Secara sederhana penganggaran merupakan rencana
pemasukan dan pengeluaran dalam proses kebijakan yang bukan
merupakan tahap yang berdiri sendiri.
8. Implementasi. Euguene Bardach menyebutkan bahwa implementasi
merupakan hal yang paling sulit dilaksanakan dalam bentuk dan cara yang
memuaskan semua orang termasuk mereka yang dianggap sebagai
pendukung (klien), lebih sulit dari membuat dan memformulasikan sebuah
permasalahan.
9. Evaluasi. Kegiatan ini mencakup spesifikasi, pengukuran, analisis dan
rekomendasi. Spesifikasi mengidentifikasi tujuan-tujuan serta kriteria yang
harus dievaluasi. Pengukuran merupakan pengumpulan informasi yang
relevan menyangkut kualitas dan kuantitas. Analisis adalah penyerapan
dan penggunaan informasi yang dikumpulkan guna mengambil keputusan.
Rekomendasi adalah penentuan mengenai apa yang dilakukan selanjutnya
ke depan. Evaluasi dilakukan oleh badan-badan pemerintah, badan
pengawasan dan elemen masyarakat.
E.2. Analisis Kebijakan Publik
16
Analisis Kebijakan (policy analysis) merupakan suatu aktivitas
intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai,
dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan.
Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang
tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif, dan preskriptif.
17
Analisis kebijakan dapat
diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk
akal mengenai tiga macam pertanyaan : Pertama, nilai yang pencapaiannya
merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi. Kedua,
fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilainilai. Ketiga, tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilainilai. Di dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal
mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, seorang analis dapat memakai satu
atau lebih dari tiga pendekatan analisis yaitu : empiris, valuatif, dan normatif.
Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab
dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Dalam hal ini, informasi yang
dihasilkan bersifat deskriptif. Sementara itu, pendekatan valuatif ditekankan pada
penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Adapun tipe informasi yang
dihasilkan pada pendekatan ini adalah bersifat valuatif. Pendekatan normatif
ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat
menyelesaikan masalah-masalah publik, sehingga tipe informasi yang dihasilkan
bersifat preskriptif
Tabel Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan
16
William N Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press. Hal 44
17
Ibid, hal 97
PENDEKATAN
PERTANYAAN UTAMA
TIPE INFORMASI
EMPIRIS
Adakah dan akankah ada (fakta)
Deskriptif dan prediktif
VALUATIF
Apa manfaatnya (nilai)
Valuatif
NORMATIF
Apakah yang harus diperbuat (aksi) Preskriptif
E.2.1. 18Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan
Analisis Kebijakan Prospektif
Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung
mencirii cara beroperasinya para ekonom, analis sistem, dan peneliti operasi.
Analisis prospektif acapkali menimbulkan jurang pemisah yang besar antara
pemecahan masalah yang diunggulkan dan upaya-upaya pemerintah untuk
memecahkannya.
Analisis Kebijakan Retrospektif
Analisis kebijakan retrospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi
penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan
rertrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah
aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan
oleh tiga kelompok analis :
1. Analis yang berorientasi pada disiplin (discipline oriented analysts).
Kelompok ini sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik dan
sosiologi yang terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji
18
William N Dunn. 2000. Pengantar Analisa Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press hal
teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk
mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat
kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel
kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan,
dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.
2. Analis yang bersorientasi pada masalah (problem oriented analysts).
Kelompok ini juga sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik
dan sosiologi yang berusaha untuk menerangkan sebab-sebab dan
konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis yang
berorientasi
pada
masalah
ini
kurang
menaruh
perhatian
pada
pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting di dalam
disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi
variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan
untuk mengatasi masalah.
3. Analis yang berorientasi pada aplikasi (applications oriented analysts).
Kelompok analis yang ketiga ini mencakup ilmuwan politik dan sosiologi,
tetapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi profesional
pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi yang sejenis
seperti
penelitian
evaluasi.
Kelompok
ini
juga
berusaha
untuk
menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program
publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan
pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh
perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan
identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari para pembuat kebijakan dan
pelaku kebijakan.
Analisis Kebijakan Yang Terintegrasi
Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada
penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil.
Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk
mengaitkan tahap penyelidikan retrosektif dan perspektif, tetapi juga menuntut
para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi
setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus,
berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat
memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran
analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi
mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis prospektif dan
retrospektif, tetapi tidak satupun dari kelebihan mereka. Analisis yang terintegrasi
melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang
waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang
menyediakan lebih sedikit informasi.
E.2.2.Prosedur Analisis Kebijakan
Dalam menggunakan analisis kebijakan sebagai proses pengkajian
(inquiry), maka perlu dibedakan antara metodologi, metode, dan teknik.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan standar, aturan, dan prosedur.
Prosedur merupakan subordinat dari standar plausabilitas dan relevansi kebijakan,
sehingga peranan prosedur adalah untuk menghasilkan informasi mengenai
masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan
kinerja kebijakan. Prosedur sendiri tidak menghasilkan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur
umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: defenisi, prediksi,
preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan, prosedur-prosedur
tersebut memiliki nama khusus. Perumusan masalah (defenisi) menghasilkan
informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.
Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa
mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.
Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan
relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
Pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang
dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi, yang mempunyai
nama yang sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan
informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.
Kelima prosedur analisis kebijakan tersebut berguna sebagai alat untuk
menggambarkan keterkaitan antara metode-metode dan teknik-teknik analisis
kebijakan.
E.2.3.Proses Pembuatan Kebijakan
Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang
dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas
politik
tersebut
dijelaskan
sebagai
proses
pembuatan
kebijakan
dan
divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Proses pembuatan
kebijakan publik melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung
mempunyai percabangan yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang, dan
penggunaan sumber daya kritis untuk meraih kesempatan yang diterima dalam
kondisi lingkungan yang berubah.
19
Pembuatan kebijakan merupakan proses
sosial yang dinamis dengan proses intelektual yang lekat di dalamnya.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah
dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda
setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang
tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan
merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
Peramalan
Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat
dari diambilnya alternatif termasuk tidak melakukan sesuatu. Hal ini dilakukan
19
Hal ini berarti bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan suatu proses yang melibatkan
proses-proses sosial dan proses-proses intelektual. Budi Winarno. 2002.Teori dan Proses
Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo. hal 68
dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang
plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari
kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-kendala yang
mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan
politik dari berbagai pilihan.
Rekomendasi
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa
mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi
tingkat resiko dan ketidakapstian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda,
menentukan
kriteria
dalam
pembuatan
pilihan,
dan
menentukan
pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
Pemantauan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu
pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu
menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang diinginkan dari
kebijakan dan program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi,
dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahap
kebijakan
Evaluasi
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang
benar-benar dihasilkan. Jadi, ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap
penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya
menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan ;
tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali
masalah.
E.2.4. 20Tahap-tahap Perumusan Kebijakan Publik
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pembuatan kebijakan dan
perumusan kebijakan sekilas merupakan konsep yang mirip namun sebenarnya
merupakan konsep yang sama sekali berbeda walaupun antara keduanya tidak
dapat dipisahkan secara tegas. Menurut Anderson, perumusan kebijakan
menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati
untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa saja yang berpartisipasi. Ia
merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan khusus. Sedangkan pembentukan kebijakan lebih merujuk pada aspekaspek misalnya, bagaimana masalah-masalah publik menjadi perhatian para
pembuat kebijakan, bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalahmasalah khusus dan bagaimana proposal tersebut dipilih di antara berbagai
alternatif yang ada. Berikut akan dijelaskan tahap-tahap dalam perumusan
kebijakan.
1. Tahap pertama : Perumusan masalah (defining problem)
20
Ibid hal 82-84
Mengenali dan merumuskan masalah merupakan langkah yang paling
fundamental dalam perumusan kebijakan. Untuk dapat merumuskan kebijakan
dengan baik, maka masalah-masalah publik harus dikenali dan didefenisikan
dengan baik pula.
21
Perumusan masalah kebijakan akan menentukan kebijakan
yang akan diambil. Misalnya dapat digambarkan dalam contoh berikut;
Isu
(orang tidur di jalanan)
Problem
(tunawisma)
Kebijakan
(perumahan lebih banyak)
Bisa saja kita sepakat dengan isu yang ada tersebut, namun perbedaan
dalam memandang permasalahan akan mempengaruhi juga kebijakan yang akan
diambil. Jika kita melihat orang tidur di jalanan sebagai sebuah problem
gelandangan, maka respon kebijakannya mungkin dibungkus dalam term
penegakan hukum dan ketertiban. Sebuah problem harus didefinisikan,
didefinisikan, diletakkan dalam batas-batas tertentu dan diberi nama.
2. Tahap kedua : Agenda kebijakan
Agenda kebijakan tidak lain daripada sebuah daftar permasalahan atau isu
yang mendapat perhatian serius karena berbagai sebab untuk ditindaklanjuti atau
diproses pihak yang berwenang menjadi kebijakan. Tidak semua masalah publik
akan masuk dalam agenda kebijakan.
22
Jika proses perumusan masalah dapat
dilakukan melalui langkah-langkah tertentu dan dengan menggunakan kriteria
yang jelas dan rasional, proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan tidak
sepenuhnya dapat dilakukan secara rasional. Proses ini cenderung lebih bersifat
21
22
Wayne Parsons. 2005. Public Policy. Jakarta. Prenada Media. Hal 89
Said Zainal Abidin.2002. Kebijakan Publik Edisi Revisi. Jakarta.Yayasan Pancur Siwah.Hal 127
politis daripada rasional. Suatu masalah untuk dapat masuk dalam agenda
kebijakan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti misalnya apakah
masalah tersebut mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat.
3. Tahap ketiga : Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah
Setelah masalah-masalah publik didefenisikan dengan baik dan para
perumus kebijakan sepakat untuk memasukkan masalah tersebut dalam agenda
kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Di sini
para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan
kebijakan yang dapat diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini
perumus kebijakan akan berhadapan pada pertarungan kepentingan antarberbagai
aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.
4. Tahap keempat : Tahap penetapan kebijakan
Tahap paling akhir dalam pembuatan kebijakan adalah menetapkan
kebijakan yang dipilih tersebut sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Penetapan kebijakan dapat berbentuk berupa undang-undang,
yurispurdensi, keputusan presiden, keputusan menteri, dan lain sebagainya.
E.2.5 23. Aktor-aktor Dalam Perumusan Kebijakan
Ada perbedaan penting diantara aktor-aktor pembuat kebijakan di negara
berkembang dan negara maju. Di negara berkembang, struktur pembuatan
kebijakan cenderung lebih sederhana dibandingkan dengan negara maju.
23
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta. Media Pressindo hal 8491
Kecenderungan struktur pembuatan keputusan di negara maju lebih kompleks.
Perbedaan ini disebabkan oleh aktor-aktor yang terlibat dala perumusan
kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan kebijakan lebih
dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat lebih sedikit, maka
proses perumusan kebijakan cenderung lebih sederhana. Sementara itu, di negaranegara Eropa Barat dan Amerika dimana setiap warga negara mempunyai
kepentingan terhadap kebijakan publik negaranya, kondisi ini akan mendorong
struktur yang lebih kompleks.
Menurut James Anderson, aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses
perumusan kebijakan daat dibagi ke dalam dua kelompok yakni para pemeran
serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk ke dalam pemeran
serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif),
legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok pemeran serta
tidak resmi meliputi; kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warga
negara individu. Berikut sedikit penjelasan mengenai aktor-aktor tersebut.
Pemeran serta resmi dalam perumusan kebijakan
Badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah)
Dalam perkembangan kondisi saat ini, badan-badan administrasi telah
menjadi aktor yang penting dalam proses pembuatan kebijakan dan keberadaanya
perlu mendapat perhatian oleh para ilmuwan politik yang tertarik untuk mengkaji
kebijakan-kebijakan publik. Hal ini juga terjadi pada masyarakat industri yang
mempunyai tingkat kompleksitas yang tinggi dimana badan-badan administrasi
sering membuat banyak keputusan yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi
politik dan kebijakan yang luas. Selain itu, badan administrasi juga menjadi
sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem
politik. Hal ini bisa ditunjukkan misalnya melalui cara bagaimana suatu
departemen tertentu menggalang kekuatan untuk mendukung suatu kebijakan.
Presiden (eksekutif)
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam
perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat
dilihat dalam rapat-rapat kabinet. Selain keterlibatan secara langsung yang
dilakukan oleh presiden dalam merumuskan kebijakan publik, kadangkala
presiden juga membentuk kelompok-kelompok atau komisi-komisi penasihat
yang terdiri dari warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditujukan
untuk menyelidiki kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul kebijakan.
Lembaga Yudikatif
Lembaga ini memegang peranan yang sangat besar dalam pembentukan
kebijakan di Amerika Serikat. Namun sejauh mana badan ini mempunyai
pengaruh di dalam pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya memerlukan
telaah yang lebih lanjut, walaupun bila didasarkan pada UUD badan ini
mempunyai kekuasaan cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan publik
melalui pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan. Pada dasarnya,
tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pangadilan untuk menentukan apakah
tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun legislatif
sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-keputusan tersebut melawan
atau bertentangan dengan konstitusi negara, maka badan yudikatif ini berhak
membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap peraturan atau undang-undang
yang telah ditetapkan.
Lembaga legislatif
Di Amerika Serikat lembaga ini lebih dikenal sebagai kongres. Sementara
di Indonesia, lembaga ini disebut sebagai DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Lembaga ini bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantunya)
memegang peranan penting di dalam perumusan kebijakan. Setiap undang-undang
menyangkut persoalan-persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari
lembaga legislatiaf. Selain itu, keterlibatan lembaga legislatif dalam perumusan
kebijakan juga dapat dilihat dari mekansisme dengar pendapat, penyelidikanpenyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat
administrasi, kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Dengan demikian,
bersama-sama dengan lembaga eksekutif, lembaga legislatif memegang peran
yang krusial dalam pembuatan keputusan kebijakan.
Pemeran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan
Di samping para pembuat keputusan kebijakan yang resmi, ada juga para
pemeran serta yang tidak resmi. Mereka biasanya berpartisipasi di dalam proses
pembuatan kebijakan. Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak resmi karena
meskipun mereka terlibat secara aktif dalam proses perumusan kebijakan, akan
tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan
yang mengikat. Berikut penjelasan singkat mengenai para pemeran serta tidak
resmi dalam perumusan kebijakan.
Kelompok-kelompok kepentingan
Kelompok ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan
peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara terutama di
negara yang menganut sistem politik demokrasi. Hal ini terjadi karena dalam
sistem politik demokrasi, kebebasan berpendapat dilindungi serta warganegara
lebih mempunyai keterlibatan politik. Kelompok kepentingan memiliki fungsi
artikulasi kepentingan yaitu menyatakan tuntutan-tuntutan dan memberikan
alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Selain itu, kelompok ini juga sering
memberikan informasi kepada para pejabat publik dimana informasi yang
diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi yang mungkin timbul
dari usul-usul kebijakan yang diajukan. Pengaruh kelompok kepentingan terhadap
keputusan kebijakan tergantung pada banyak faktor yang menyangkut ukuran
keanggotaan kelompok, keuangan dan sumbernya, kepaduannya, kecakapan dari
orang yang memimpin kelompok tersebut, ada tidaknya persaingan organisasi,
tingkah laku para pejabat pemerintah, dan tempat pembuatan keputusan dalam
sistem politik.
Partai-partai politik
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peranan penting.
Dalam sistem ini, partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.
Namun hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak berperan sama sekali dalam
kebijakan publik dan hanya berorientasi pada kekuasaan. Dalam masyarakat
modern, partai-partai politik seringkali melakukan agregasi kepentingan yaitu
berusaha untuk mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok
kepentingan menjadi alternatif-alternatif kebijakan.
Warganegara individu
Dalam pembahasan mengenai perumusan kebijakan, warganegara individu
sering diabaikan dimana peran legislatif dan kelompok kepentingan dan pemeran
serta lainnya justru lebih menonjol. Walaupun tugas pembuatan kebijakan pada
dasarnya diserahkan kepada para pejabat publik, namun dalam beberapa hal para
individu warganegara masih dapat mengambil peran secara aktif dalam
pengambilan keputusan. Di negara-negara yang mendasarkan diri pada sistem
otoriter, kepentingan dan keinginan warganegara biasanya merupakan akibat dari
kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam ssitem otoriter tetap akan
menaruh perhatian pada keinginan rakyat agar kekacauan sedapat mungkin
diminimalkan. Sementara itu di negara-negara demokratis, pemilihan umum
barangkali merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan
warganegara.
F. Defenisi Konsep
Untuk lebih memperjelas pemahaman dalam tulisan ini, dapat dijelaskan
defenisi konsep di bawah ini :
1. Kebijakan publik adalah keputusan tetap yang dikeluarkan oleh
pemerintah dan secara wajib dipatuhi oleh pihak yang dikenai kebijakan
tersebut.
G. Defenisi Operasional
Untuk memberi kejelasan terhadap batasan yang akan diteliti, maka di
bawah ini akan dijelaskan defenisi operasional sebagai berikut :
1. Kebijakan publik yang dimaksud adalah kebijakan pemerintah yang
ditetapkan berupa peraturan yaitu peraturan presiden dan peraturan
Menteri ESDM yang dalam hal ini terkait kebijakan kenaikan harga BBM.
2. Harga BBM yang dimaksud adalah harga BBM bersubsidi yaitu bensin,
solar, dan minyak tanah dimana besarnya subsidi sudah diatur dalam
APBN dengan mencantumkan asumsi dasar harga minyak mentah dunia.
3. Kenaikan harga BBM yang dimaksud adalah kenaikan pada masa
pemerintahan SBY-JK dan dibatasi pada kenaikan yang sudah terjadi yaitu
sebanyak tiga kali.
H. Metode Penelitian
24
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan
membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.
H.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
teknik pengumpulan data sekunder yaitu data-data digali dari berbagai sumber
24
Mohammad Nazir.1998. Metode Penelitian cetakan ke-3. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hal 63
seperti buku-buku, majalah, koran, artikel maupun dokumen lainnya baik dari
media cetak maupun elektronik yang dianggap relevan dengan penelitian.
H.2. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini, data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data-data yang diperoleh akan diolah,
disusun, diperinci secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang
menunjukkan hasil akhir dari penelitian ini.
Download