I. DESKRIPSI MASALAH Perilaku menyimpang

advertisement
I.
DESKRIPSI MASALAH
Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut
pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian daripada
makhluk sosial.
Dalam kehidupan masyarakat, semua tindakan manusia dibatasi oleh aturan (norma)
untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat.
Namun demikian di tengah kehidupan masyarakat kadang-kadang masih kita jumpai tindakantindakan yang tidak sesuai dengan aturan (norma) yang berlaku pada masyarakat.
Penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai masyarakat disebut deviasi
(deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan penyimpangan disebut devian
(deviant). Kebalikan dari perilaku menyimpang adalah perilaku yang tidak menyimpang yang
sering disebut dengan konformitas. Konformitas adalah bentuk interaksi sosial yang di
dalamnya seseorang berperilaku sesuai dengan harapan kelompok.
Menurut
Wilnes
dalam
bukunya
Punishment
and
Reformation
sebab-sebab
penyimpangan sosial dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
1.
Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat
pembawaan yang dibawa sejak lahir).
2. Faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan
rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi, kenakalan remaja.
Pada kaitannya dengan penyimpangan sosial dalam kehidupan bermasyarakat,
lingkungan bisa menjadi pemicu dan pengendali adanya penyimpangan misalnya:
Dalam sebuah lingkungan di Desa Kalisari ada seorang yang melakukan penyimpangan
sosial karena proses sosialisasi yang salah, dari situ seorang yang melakukan sosialisasi akan
terpengaruh dengan kelompok sosialisasinya dengan melakukan penyimpangan pula. Karena
perilakunya itu Yudi mendapatkan label dari warga sekitar tempat tinggalnya bahwa Yudi dan
teman-temannya adalah pelaku penyimpangan sosial. Karena respon masyarakat yang demikian
terhadap perilaku Yudi dan teman-temannya, mereka berkesimpulan bahwa penyimpangan itu
mereka lakukan atau tidak tetap saja citra buruk melekat dalam diri mereka pribadi.
1
II.
KERANGKA TEORI
A. Labeling
Teori ini dikemukakan oleh Edwin M. Lemert . Menurut teori ini, seseorang menjadi
penyimpang karena proses labelling yang diberikan masyarakat kepadanya. Maksudnya adalah
pemberian julukan atau cap yang biasanya negatif kepada seseorang yang telah melakukan
penyimpangan primer (primary deviation ) misalnya pencuri, penipu, pemerkosa, pemabuk,
dan sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap cap itu, si pelaku penyimpangan kemudian
mengidentifikasikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi penyimpangannya
sehingga terjadi dengan penyimpangan sekunder ( secondary deviation) . Alasannya adalah
sudah terlanjur basah atau kepalang tanggung. Dengan demikian, interpretasi masyarakatlah
yang menentukan apakah suatu perilaku dianggap sebagai masalah atau tidak. Oleh sebab itu
pula dapat dikatakan bahwa terjadinya deviasi oleh individu disebabkan adanya perbedaan
interpretasi antara individu yang bersangkutan dengan masyarakatnya. Individu masih
menganggap perilakunya dalam kategori normal, sedang masyarakatnya sudah memberi label
sebagai deviasi. Dalam kenyataannya, memang sering dijumpai adanya perbedaan interpretasi
antara individu dan masyarakat tentang batas-batas perilaku yang diperbolehkan dan yang
dilarang. 1
Teori labeling memiliki dua proposisi, pertama, perilaku menyimpang bukan
merupakan perlawanan terhadap norma, tetapi berbagai perilaku yang berhasil didefinisikan
atau dijuluki menyimpang. Deviant atau penyimpangan tidak selalu dalam tindakan itu sendiri
tetapi merupakan respon terhadap orang lain dalam. bertindak. Proposisi kedua, labeling itu
sendiri menghasilkan atau memperkuat penyimpangan. Respon orang-orang yang menyimpang
terhadap reaksi sosial menghasilkan penyimpangan sekunder yang mana mereka mendapatkan
citra diri atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang secara
permanen terkunci dengan peran orang yang menyimpang. Penyimpangan merupakan outcome
atau akibat dari kesalahan sosial dan penggunaan kontrol sosial yang salah.
B. Remaja
1
Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2013 Hal 181
2
Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak
dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak-anak. Masa remaja adalah
masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa.Remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 11 tahun sampai 21
tahun.Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga
masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada
usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat,
pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan
perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang
dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas
sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak
menghabiskan waktu di luar keluarga.2
Dilihat dari bahasa inggris "teenager", remaja artinya yakni manusia berusia belasan
tahun.Dimana usia tersebut merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa. Oleh sebab itu
orang tua dan pendidik sebagai bagian masyarakat yang lebih berpengalaman memiliki peranan
penting dalam membantu perkembangan remaja menuju kedewasaan.[butuh rujukan] Remaja
juga berasal dari kata latin "adolensence" yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan
orang tua karena sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam
golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994)
bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja
belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini &
Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa
yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki masa dewasa.Masa
remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun
sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja
adalah: Masa peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak
mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan
2
http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465 diakses 14-04-2016 pukul 10.21
3
psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak,
tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock
(2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara
masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosialemosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga
21 tahun.
Menurut Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian,
yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja
pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006:192) Definisi
yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut
menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa
dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses
pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.
III. SOLUSI ANALISIS
Dalam masalah sosial kenakalan remaja tindakan pengendalian sosial yang perlu dilakukan
adalah pengendalian dari dua arah yaitu pengendalian represif dan preventif. Pengendalian
bersifat preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah (pencegahan) terhadap
kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma sosial. Jadi tindakan
ini dilakukan sebelum terjadinya penyimpangan. Orang yang melakukan pengendalian sosial
ini adalah orang mengetahui tentang nilai dan norma, selanjutnya ia sosialisasikan atau bentuk
penyuluhan kepada orang yang belum medapatkan informasi tentang nilai dan norma lama
maupun yang baru. Pengendalian sosial yang bersifat refresif adalah pengendalian yang
bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah terganggu karena terjadinya suatu
pelanggaran dengan cara memberikan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Pengendalian ini dilakukan setelah terjadinya penyimpangan agar pelaku tidak lagi mengulangi
perbuatannya dan mentaati nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Karena remaja memiliki sifat dan pembawaan yang berbeda maka proses pengendalian
juga dilakukan dengan proses yang berbeda pula. Meskipun mereka memiliki kasus
4
penyimpangan yang sama dan berada dalam satu kelompok atau komunitas yang sama, akan
tetapi karena penanaman karakter yang berbeda, maka perlu digunakan cara yang berbeda
untuk menangani kasus seperti ini. Pengendalian sosial secara persuasif dilakukan dengan cara
lemah-lembut, membimbing atau mengajak individu untuk mematuhi atau berperilaku sesuai
dengan kaidah-kaidah dalam masyarakat bukan dengan cara kekerasan. Dengan kata lain,
ketika seseorang telah melakukan penyimpangan maka sanksi yang diberikan adalah dengan
rehabilitasi, dinasehati, atau diajak untuk melakukan yang bermanfaat. Akan tetapi tidak semua
penyimpangan mampu diselesaikan dengan cara ini, karena setiap penyimpangan memiliki
cara tersendiri untuk membuat pelaku akan kembali ke nilai dan norma yang berlaku. Untuk
remaja tipe yang lebih takut ancaman daripada aturan menggunakan proses pengendalian sosial
dengan cara koersif, artinya pengendalian sosial secara koersif dilakukan dengan kekerasan
atau paksaan. Karena penyimpangan yang telah berulang-ulang kali atau yang telah merugikan
orang banyak hendaknya dilakukan dengan paksaan. Pengendalian sosial dengan kekerasan
dibedakan menjadi dua:
1)
Kompulsi (paksaan), artinya keadaan yang sengaja diciptakan sehingga seseorang
terpaksa menuruti atau mengubah sifatnya dan menghasilkan suatu kepatuhan yang
sifatnya tidak langsung
2)
Pervasi (pengisian), secara pengertian pervasi merupakan cara penanaman atau
pengenalan norma secara berulang-ulang sehingga orang akan mengubah sikapnya sesuai
dengan yang diinginkan.
5
Download