354 Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis Oleh : Richard G. Mayopu1 Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771, Indonesia Email: 1)[email protected] Abstrak. Indonesia adalah Negara dengan populasi masyarakat yang sangat majemuk, multikultural, yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari komunitas-komunitas yang berbeda-beda kebudayaan.. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya etnis dan suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Dengan melihat fenomena ini maka penulis sangat tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai fenomena kemajemukan ini dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Fenomena ini dijadikan penulis sebagai “pintu masuk” untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kajian ilmu komunikasi yang secara konseptual selalu bertujuan untuk menjalin hubungan yang harmonis antar pihak yang terklibat dalam proses komunikasi. Penulis pun mengambil konflik antar komunitas etnis di Salatiga sebagai unit analisis dan amatan dengan melihat pola komunikasi konflik yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2008-2010. Penlitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pola komunikasi konflik antarbudaya yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini dianggap relevan oleh penulis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Unit amatan dari penelitian ini adalah peristiwa kesalahpahaman dan 1 Staf Pengajar Program Studi Public Relation Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana 355 konflik yang terjadi antara dua komunitas etnis yaitu komunitas etnis Timor (IKMASTI) dan komunitas etnis Ambon (HIPPMA) dan unit analisisnya adalah pola komunikasi antarbudaya dan memfokuskan pada Noise (Gangguan) dan Destination (Tujuan). Dari Hasil Penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa tujuan dari proses komunikasi antarbudaya di Salatiga yang melibatkan dua komunitas etnis ini, adalah menciptakan konflik. Sehingga penulis mengambil kesimpulan secara keseluruhan dari penilitian ini adalah Konflik merupakan Tujuan akhir dari proses komunikasi yang dibangun atas dasar suasana maupun situasi yang harmonis. Kata Kunci : Komunikasi, Budaya, Konflik 356 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keragaman budaya adalah ciri khas bangsa Indonesia dan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai macam budaya dari Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Oleh sebab itu maka cara setiap orang di indonesia dalam berkomunikasi akan berbeda satu dengan yang lain tergantung dimana dia berada. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan sering terjadi masalah atau hambatanhambatan (distorsi) yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Salah satu syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan walaupun masih terlalu dini bahwa komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi (Culture is communication and communication is culture) [1] Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal” dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai dan selalu diusahakan dan diupayakan agar tetap terjaga bagi kelompok tertentu. Dan untuk memahami 357 kajian antara komunikasi dan budaya, maka bisa ditinjau dari sudut pandang komunikasi lintas budaya. Komunikasi lintas budaya merupakan serangkaian proses yang sangat rumit dan cukup panjang oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai kajian dari ilmu ini. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistemsistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi manusia yang sangat dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi antara individu/kelompok dengan individu/kelompok lain selalu mengandung potensi komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya perbedaan itu. Dalam berkomunikasi pun terdapat pola-pola yang bisa dikatakan teratur maupun yang tidak teratur, bisa terjadi karena disengaja ataupun tidak disengaja. Jika berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka yang akan menjadi salah satu fokus adalah bagaimana budaya memaknai komunikasi tersebut. Oleh sebab itu, perbedaan-perbedaan makna budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman. Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis. Berangkat dari pemahaman ini maka muncul pentanyaan-pertanyaan untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai pemahaman “What kind of communication is needed by a pluralistic society to be both culturally diverse and unified in common goals?” [2] atau yang lebih tepat adalah pola komunikasi seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang plural untuk mencapai tujuan bersama. 358 B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah “bagaimana Pola komunikasi konflik antar budaya yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga?” khususnya antar etnis Timor dan etnis Ambon! II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis Komunikasi antarbudaya yang merupakan suatu kajian ilmu komunikasi yang dilakukan antar komunitas atau antar individu memang terkesan “kuno” bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi para ahli komunikasi. Masyarakat dan beberapa ahli komunikasi cenderung memiliki pandangan bahwa ilmu komunikasi hanyalah berfokus pada komunikasi media massa sehingga kajian mengenai komunikasi antarbudaya belum mendapatkan tempat dalam perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Sehingga pemahaman komunikasi antarbudaya pun menjadi sedikit dicampur adukan dengan komunikasi lintas budaya. Sebelum membahas mengenai tinjauan pustaka dalam bab ini, perlu diketahui mengenai perbedaan mendasar dari kedua konsep ini. Perbandingan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunukasi Antarbudaya Kesamaan : ➢ Keduanya menjadikan kebudayaan sebagai varian besar kajiannya ➢ Keduanya memusatkan antarpersonal Perbedaan : perhatian pada komunikasi 359 ➢ Komunikasi Lintas Budaya menekankan perbandingan ➢ Komunikasi Lintas Budaya mempelajari efek media (perbandingan efek media dengan efek media yang lain) ➢ Komunikasi Antarbudaya menekankan interaksi antarpribadi yang berbeda latar belakang kebudayaan ➢ Komunikasi Antarbudaya Juga mempelajari komunikasi dan hubungan internasional Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya yang diamati dan dianalisis. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai beberapa konsep komunikasi secara umum, oleh karena itu maka pada bab ini akan menjelasakan lebih spesifik mengenai konsep-konsep dalam ilmu komunikasi yang akan dipakai sebagai “pisau analisis” dalam penelitian ini. B. KOMUNIKASI Ilmu Komunikasi selalu mengalami perkembangan sejak awal mula ilmu ini mulai dikembangkan sehingga berpengaruh pada definisi ilmu komunikasi itu sendiri. Komunikasi merupakan salah satu bagian hidup terpenting dari aktivitas manusia sehari-hari. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah melakukan komunikasi atau berkomunikasi. Komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin communis yang berarti sama, communico, communicatio, atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). Definisi ini diungkapkan oleh William I. Gorden, Colin Cherry, Onong Uchjana, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson [3] Pada tahun 1948, Harrord Lasswell menemukan sebuah konsep teori komunikasi. Lasswell adalah salah seorang ahli komunikasi yang mengemukakan teori komunikasi yang cukup terkenal yaitu “who says what to whom in what channel with what effect” atau “siapa berkata apa kepada siapa dengan menggunakan saluran serta menimbulkan pengaruh apa”[4] Komunikasi merupakan proses dimana seseorang menyampaikan pesan 360 kepada orang lain dan ingin mendapatkan efek yang bisa berupa persamaan terhadap pemaknaan pesan tersebut. Pola merupakan bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Oleh sebab itu maka pola komunikasi antar budaya adalah model komunikasi yang di gunakan oleh dua atau lebih budaya yang saling berinteraksi. Pola adalah pemikiran sesuatu yg diterima seseorang dan dipakai sebagai pedoman, sebagaimana diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Pola juga mampu menjelaskan kepada orang lain atau masyarakat yang berada disekelilingnya mengenai perilaku kehidupannya dalam bermasyarakat. Sesuatu bisa dikatakan pola jika peristiwa yang sama terjadi secara terus menerus baik disengaja maupun tidak disengaja. Dengan melihat konsep diatas maka penulis mendefinisikan pola komunikasi adalah “suatu proses komunikasi yang terjadi secara terus- menerus di dalam suatu komunitas baik secara disengaja ataupun tidak disengaja sehingga menciptakan suatu tradisi atau ciri khas yang turut mempengaruhi proses komunikasi di dalam komunitas tersebut maupun proses komunikasi yang terjadi dengan komunitas yang lain” . Dalam konteks konflik antar etnis yang terjadi di Salatiga, pola komunikasi ini memberi peranan penting dan bagi terciptanya hubungan, baik yang harmonis maupun yang tidak harmonis. Bahkan setiap konflik yang terjadi diantara kedua etnis tersebut semakin menjelaskan mengenai perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang prinsipil seperti gaya hidup, bahasa, perilaku, hingga pola pikir dari kedua komunitas tersebut. Proses pembentukan pola komunikasi bisa dimulai dari terjadinya interaksi yang terjadi didalam komunitas dan akan berlanjut pada proses interaksi dengan komunitas-komunitas lainnya. Didalam komunitas Timor maupun komunitas Ambon proses interaksi tersebut sudah terjadi dan 361 hal ini yang menjadi perhatian penulis untuk melakukan riset secara mendalam agar mengetahui pola komunikasi yang terjadi secara lebih komprehensif. C. KOMUNITAS Sebelum membahas lebih jauh mengenai penelitian ini, maka perlu diketahui mengenai definisi teori maupun konsep-konsep yang akan dipakai. Kata lain yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan . Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak mungkin ada komunitas. Komunitas bergantung pada pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu maka komunitas juga berbagai bentuk-bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni, agama, dan bahasa. Dan masing-masing bentuk bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang mengalir kuat dalam sejarah komunitas tersebut. D. ETNIS Indonesia merupakan bangsa yang besar dan majemuk sehingga membuat bangsa indonesia menjadi sangat kaya akan kebudayaan. Kemajemukan bangsa ini bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat yang pluralistik yang berasal dari kata “pluralisme ” [5] Sebenarnya istilah ini pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongangolongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan dan diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam 362 suku bangsa. Dan aneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai Kelompok/ komunitas etnis (ethnic-group) yang masing masing mempunyai kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan sistem sosial dan kebudayaan(yang selalu didukung oleh bahasa dan pola komunikasi tertentu dalam komunitas –komunitas etnis dan suku bangsa tersebut). J. Jones (1972 dalam Liliweri 2007)[6] mendefinisikan etnis atau sering disebut Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu. E. KONFLIK Mahaguru dari perspektif konflik ini adalah Karl Marx (1818-1883). Dasar pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatankekuatan sejarah2. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak definisi dan pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai pertentangan, peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi definisi mengenai konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk pada definisi Park dan Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik merupakan perjuangan untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan disini adalah status sosial yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu. Status ini tentu saja berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang dalam masyarakat. Namun Mack dan Snyder mengambahkan bahwa Ia tidak hanya memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang langka dan mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian maka 2 konflik digambarkan disini sebagai situasi di mana para aktor Karya karl Marx yang terkenal ketika ia membuat analisa mengenai pertentangan kelas borjuis dan proletar 363 menggunakan perilaku konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang bertentangan dan atau untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini tidak dibatasi pada individual saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam penelitian ini adalah komunitas [7]. Ketika berbicara mengenai konflik, maka perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal tulisan ini, sudah dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Widiarto, (2003: 30- 31)[8]mengemukakan bahwa konflik adalah pertentangan dan terdapat empat faktor penyebab terjadinya konflik yaitu : 1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang. 2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar kelompok manusia, 3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya. 4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat, untuk sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem nilai. Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya. 364 F. KEBUDAYAAN Menurut antropologi, “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang dilakukan akibat suatu proses yang panjang). Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal” [9] Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal”.Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam”. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871), memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto menambahkan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan tertentu, akan sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-rumah, sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu sendiri [10] Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan yang merupakan kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat , selalu 365 mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat [11]. Pola hidup yang ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter [12] culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs, values, attitudes, meanings, social hierarchies, religion, notions of time, roles, spatial relationships, concepts of the universe, and material objects and possessions acquired by a group of people in the course of generations through individual and group striving. (Kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi). G. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Sebelum melihat lebih jauh mengenai proses komunikasi antar budaya, maka kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutip oleh Ilya Sunarwinadi (1993:7-8) berdasarkan pendapat para ahli antara lain3 : a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication is the 3 Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana.pdf 21/07/2010/ 00:16 pada Tgl 366 art of understanding and being understood by the audience of mother culture). b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antar budaya terjadi manakalah bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan, dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a communications act to bring with them different experiential backgrounds that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and values). c. Rich (1974) : Komunikasi antar budaya terjadi ketika orang-orang berbeda kebudayaan (communication is intercultural when occuring between peoples of different cultures) (Liliweri, 2007 : 12). d. Stewart (1974) : Komunikasi antara budaya yang mana terjadi dibawah suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan (interculture communications which accurs under conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits). e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya adalah interaksi antara para warga kebudayaan yang berbeda (intercultural communications is interaction between members of differing cultures). f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar budaya adalah pengiriman dan penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communication is the sending and receiving of message within a context of cultural differences producing differential effects). g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik 367 secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang budaya yang berbeda (intercultural communication refers to the communications phenomenon in which participant different in cultural background, come into direct or indirect contact which one another). Seluruh definisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi, tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individuindividu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan Edward T.Halll, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. III. PEMBAHASAN A. KOMUNITAS ETNIS TIMOR DI SALATIGA (IKATAN KELUARGA, MAHASISWA, DAN SISWA TIMOR DI SALATIGA) Ikatan Keluarga Mahasiswa dan Siswa Asal Timor di Salatiga atau yang lebih dikenal dengan nama Ikmasti, merupakan suatu perkumpulan etnis yang 368 berada di Kota Salatiga. Ikmasti pada awal berdirinya, sengaja dibentuk dengan salah satu tujuan utama yaitu ingin mengumpulkan atau merangkul seluruh Mahasiswa ataupun siswa perantauan yang berasal dari daerah Timor ( pulau Timor ) yang berusaha untuk menuntut ilmu di kota Salatiga yaitu di Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW ). Hal ini dikarenakan kesamaan latar belakang budaya dan kebutuhan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama mahasiswa perantauan sehingga membuat para pendahulu Ikmasti merealisasikan ide mereka ( mendirikan Ikmasti ). Dan jika melihat berdirinya suatu perkumpulan maka pentinglah bagi kita untuk mengetahui sejarah berdirinya suatu perkumpulan. Sejarah awal berdirinya ikmasti dimulai pada saat terjadinya suatu pertemuan antara beberapa mahasiswa asal Timor di kediaman Bpk Drs. El Zakharias di Jl. Imam Bonjol No. 7A, beliau bertindak sebagai orang tua pembimbing dari para mahasiswa asal Timor di UKSW guna membahas pembentukan perkumpulan ini. Pembicaraan pada pertemuan tersebut mengarah pada sadarnya rasa saling membutuhkan akan keinginan bersekutu bersama saudara seiman dan diharapkan dengan adanya tujuan bersama tersebut dapat membantu memberikan motivasi untuk berkonsentrasi pada studi, kehidupan bermasyarakat dengan berlandaskan iman. Mengapa kesadaran untuk bersekutu dinilai sangat penting oleh para pendiri Ikmasti pada waktu itu? Hal ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa sebagian besar mahasiswa perantauan yang berasal dari Timor di UKSW mendapat bantuan beasiswa dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sehingga membangkitkan kesadaran mereka untuk membalas budi, bukan hanya ditunjukan melalui studi, namun juga melalui kebersamaan mereka lewat persekutuan ( rohani ) yang mereka bangun. B. KOMUNITAS ETNIS AMBON DI SALATIGA (HIMPUNAN MAHASISWA AMBON DI SALATIGA) 369 Sebelum saya menuliskan sejarah Himpunan Pelajar Mahasiswa Maluku (HIPMMA), saya ingin mengatakan bahwa Pada dasarnya sejarah Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Maluku sendiri tidak pernah dituliskan, hanya merupakan cerita yang biasanya disampaikan oleh para senior secara turunmenurun untuk adik-adik yunior HIPMMA di Salatiga4 HIPMMA sendiri terbentuk bermula dari organisisi Himpunan Mahasiswa Maluku dan Papua Barat ( HIMPAR) yang pada saat itu ( Sekitan Tahun 1960an) merupakan persekutuan persaudaraan antara anak-anak perantuan yang senasib dan sepenanggungan. karena rasa itulah maka terbentuklah HIMPAR, seiring dengan tahun berjalan dan dikarenkan semakin banyaknya mahsiswa Maluku dan Papua yang datang ke Salatiga, maka HIMPAR kemudian terpecah dan kembali ke etnis masingmasing, setelah terpecahnya HIMMPAR, maka terbentuklah Himpunan Mahasiwa Maluku (HIMMA), HIMMA sendiri terbentuk sekitar tahun 1970-an, seiring waktu berjalan, karena semakin banyak anak-anak Maluku yang datang untuk berstudi ke Salatiga, dan bukan hanya sebagai mahasiswa saja melainkan juga terdapat beberapa pelajar (anak-anak Maluku yang lain yang melanjutkan studinya di bangku SMA). Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka pada tanggal 01 Desember 1990 bertempat di wisma di daerah Bandungan Kab Semarang, maka Himpunan Mahasiwa Maluku (HIMMA) mengadakan rapat anggota lengkap kemudian merubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan merubah nama Himpunan Mahasiswa Maluku (HIMMA) menjadi HIPMMA yaitu HIMPUNAN PELAJAR MAHASISWA MALUKU. HIPMMA sendiri dalam perkembangannya mengalami beberapa persoalan diantaranya , teman-teman dari Maluku Utara ingin memisahkan diri dikarenakan telah terbentuknya provinsi baru untuk Maluku Utara, dan mereka 4 Dibuat oleh : Jessy J. Maitimu ( Ketua HIPMMA periode 2008 – 2010) Tertangal 15 juni 2011 Di Salatiga 370 ingin berdiri sendiri dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga mereka sendiri, maka teman-teman dari Maluku Utara pun membentuk organisasinya sendiri menjadi KEMAMORA. Walaupun teman-teman dari Maluku Utara telah memisahkan diri, tetapi HIPMMA terus berjalan dan persekutuan kekeluargaan ini masih berlangsung sampai saat ini. Dan masih berkembang dengan menjalankan programprogram kerja dengan tujuan untuk lebih mempererat tali persaudaraan antar Anak-anak Maluku di perantauan. C. NOISE & DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan beberapa maksud, tujuan hingga tinjauan pustaka dalam penelitian ini sehingga dalam bab ini penulis akan menguraikan beberapa temuan berkaitan dengan noise dan destination dalam proses komunikasi antarbudaya. Dalam bab ini penulis mengungkapkan konsep-konsep komunikasi yang terkadang terabaikan dalam menjadikannya sebagai gangguan dan tujuan dalam berkomunikasi. Dua konsep yang penulis masukan adalah opinion leader (pemimpin opini), prasangka dan stereotip yang berperan sebagai noise (gangguan) dalam proses komunikasi antar komunitas etnis yang berkonflik serta Social Capital (modal social) yang bertindak sebagai penunjang dalam proses komunikasi antarbudaya terkhususnya antar komunitas etnis Ambon dan Timor. Konsep terakhir ini sebenarnya belum banyak dibicarakan atau dibahas dalam beberapa literatur komunikasi namun karena dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa modal social memiliki peranan yang cukup signifikan sehingga penulis merasa perlu untuk diutarakan atau lebih tepatnya dikenalkan kepada setiap pihak yang tertarik untuk mendalami ilmu komunikasi. 371 D. OPINION LEADER SEBAGAI NOISE DALAM PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA PENGERTIAN OPINION LEADER Opinion leader diterjemahkan sebagai pemimpin pendapat atau pemuka masyarakat, Konsep ini awal mula dikemukakan oleh Paul F. Lazarsfeld (1940) dalam penelitiannya “Communication Effect and the Erie County Study” [13] Ia melakukan studi tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County Study dalam pemilihan presiden. Dalam penelitian itu dia melihat bagaimana efek media massa dalam mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan presiden. Namun penelitiannya tersebut menemukan bahwa media massa tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan pemilih sudah menentukan pilihan sebelum masa kampanye dimulai. Pada saat itu media dinilai memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk mempengaruhi khalayak dalam hal pemberian informasi. Namun Lazarsfeld menemukan bahwa media ternyata sebagai komunikator, tidak sekuat yang dibayangkan sebab khalayak memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang disampaikan oleh komunikator. Sebenarnya penelitian ini lebih mangacu kepada mass Media Research namun konsep ini juga sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam proses komunikasi antarbudaya sendiri. Bahkan dalam proses komunikasi konflik yang terjadi, opinion leader mampu bertindak sebagai “ujung tombak” dalam proses pemberian informasi bagi pihak didalam maupun diluar komunitas. Opnion leader yang penulis temui pada saat melakukan penelitian adalah : Opinion Leader Aktif (Opinion Giving) Disini para opinion leader tersebut sengaja mencari penerima atau followers untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Dalam 372 komunitas etnis Timor maupun Ambon, ada sebuah kesamaan. Yang bertindak sebagai Opinion Leader aktiv adalah para senior. Senior adalah anggota komunitas yang sudah berada di Salatiga dan terlibat langsung dalam keanggotaan komunitas kurang lebih satu tahun sejak kedatangannya. Senior menjadi pemimpin opini yang sangat efektif ketika konflik tarjadi bahkan hingga proses resolusi konflik dilakukan oleh kedua pihak. Ketika melakukan wawancara dengan seorang Informan dari komunitas Ambon, Ia mengakatakan bahwa karakter dari komunitas Ambon adalah “yang Tua lebih dihargai dan secara tidak langsung memiliki wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan, hal ini dikarenakan kebiasaan adat istiadat dari daerah yang terbawa hingga di Salatiga”. Peran senior cukup signifikan dalam pola komunikasi konflik ini sebab Ia juga menambahkan “senior bilang apa, katorang iko saja”, maksudnya adalah apapun yang dikatakan oleh para senior maka yang junior akan mengikutinya baik itu perintah maupun ajakan. Sekalipun para anggota yang junior mempunyai asumsi atau pemikiran yang lebih baik, namun tetap saja tidak memiliki kekuatan “politik”, untuk menentukan kebijakan apa yang akan diambil dan dilaksanakan oleh komunitas5. Senior menjadi opinion leader yang ideal dalam komunitas etnis karena secara tidak langsung memiliki kriteria untuk menjadi pemimpin opini seperti : o Status sosial yang lebih tinggi sebab sudah lebih lama berada di Salatiga dan terlibat langsung dalam keanggotaan komunitas 5 Wawancara dilakukan di rumah kontrakan Ain daerah Kauman salatiga Tgl 29 Juli 2011. 373 o Lebih berpengalaman dalam menghadapi konflik o Lebih banyak bersentuhan dengan komunitas lain diluar komunitasnya sendiri o Kemampuan empati yang besar o Partisipasi sosial yang lebih banyak dan dituangkan dalam berbagai kegiatan komunitas etnis. Opinion Leader Pasif (Opinion Seeking) Dalam hal ini followers lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion leader, sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi seperti halnya contoh diatas tersebut. Anggota komunitas terutama yang junior seakan-akan mengalami suatu kondisi diamana ia harus mencari informasi mengenai konflik dari para seniornya. Hal ini bisa dimaklumi sebab seniorlah yang memiliki informasi serta pengalaman yang lebih banyak dalam memanage konflik. Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1983 : 288)[14] dua jenis opinion leader yang sering ditemui dalam kehidupan masyarakat yaitu Monomorphic dan Polymorphic Opinion Leader opinion leader Monomorphic merupakan jenis opinion leader yang mampu bertindak selaku leader untuk satu macam topik atau persoalan. Jenis ini sering kita temui di kumpulan masyarakat modern misalnya seorang ahli komunikasi ketika ditanya mengenai bidang diluar kemampuannya maka ia akan berkata tidak tahu. Merton menggunakan istilah polymorphism untuk menunjukkan tingkat ketika seseorang bertindak selaku opinion leaders bagi berbagai topik. Selanjutnya ia menambahkan untuk mengukur opinion leader dilakukan menggunakan tiga cara yaitu Metode Sosiometrik, Informasi Ratting, Self Designing Method. Namun yang dipakai penulis untuk mengukur opinion leader adalah : Metode Sosiometrik 374 Dalam metode ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat atau mencari informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya. Teknik ini dipakai penulis ketika melakukan pengamatan dan wawancara terhadap salah seorang informan Chris Doko (anggota komunitas Timor), penulis menanyakan siapa orang yang paling berperan dalam proses pemberian informasi terkait konflik antar etnis yang terjadi ia pun menjawab “ada senior yang biasa beta tanya dia untuk urus masalah soalnya dia ni yang punya pengalaman banyak soal konflik, jadi katong ana-ana kupang rata-rata pi tanya di dia sa”. (saya biasanya menanyakan dan meminta bantuan kepada seorang senior yang dinilai punya banyak pengalaman berkaitan dengan konflik antar etnis yang sedang terjadi)6. Informasi Ratting Metode ini mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang /informan yang dianggap sebagai key informan dalam masyarakat mengenai siapa yang dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini informan tersebut haruslah jeli dalam memilih siapa yang benar-benar harus memimpin dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta tindakan yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut. Yang menjadi informan kunci berkaitan dengan pengujian ini adalah informan yang pernah terlibat secara langsung pada saat konflik terjadi. E. PRASANGKA & STEREOTIP SEBAGAI NOISE DALAM PROSES KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Sebelum masuk pada inti dari temuan ini maka perlu disimak mengenai konsep prasangka yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Secara 6 Wawancara dilakukan di Arena Futsal Salatiga di daerah Cemara Raya Tgl 23 Juli 2011 375 konseptual, prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negatif) yang ditujukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok/ komunitas yang didasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok. Dasar dari munculnya prasangka adalah stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik anggota komunitas tertentu bisa positif dan bisa juga negatif. Gordon W. Allport dalam buku ON THE NATURE OF PREJUDICE yang disunting oleh John F. Dovidio, Peter Glick & Laurie A. Rudman (2005)[15] mengatakan stereotype is a belief system in which psychological characteristics are ascribed more or less indiscriminately to the members of a group. Jadi stereotip merupakan sistem kepercayaan dalam karakter psikologi seseorang untuk memberikan penilaian kepada anggota kelompok lain tanpa memandang siapa anggota kelompok tersebut. Prasangka sosial juga merupakan sikap-perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dangan golongan orang berprasangka itu [16] Stereotip adalah komponen kunci dari prasangka. Setereotip adalah kerangka kognitif yang berisikan pengetahuan dan belief tantang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut (Cicilia Yeti Prawasti dalam Sarwono & Meinarno 2009 : 228)[17] . Dengan demikian, Individu yang memiliki stereotip tentang kelompok sosial tertentu akan melihat bahwa semua anggota kelompok sosial tersebut memiliki traits (sifat) tertentu walaupun dalam intensitas yang rendah. Stereotip ini berpengaruh dalam proses masuknya informasi sosial. Secara definitif stereotip adalah sekumpulan sifat-sifat tertentu yang kita atributkan kepada sekelompok orang tanpa tanpa pertimbangan rasional dan logis [18] Contoh stereotip yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya anggapan bahwa orang Jawa memiliki karakter yang lembut dan santun, orang Papua atau orang yang berasal dari kawasan indonesia timur memiliki kebiasaan minum minuman keras (alkohol), anggapan bahwa orangorang Tionghoa sangat pelit dan pintar berdagang sehingga banyak orang Tionghoa yang memiliki kehidupan yang relatif kondusif secara ekonomi. 376 Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar komunitas, mendefinisikan komunitas dalam hubungan antar etnis, membentuk image komunitas lain (dan komunitas sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu. Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis Jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis Jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis Jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis Jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis Jawa yang suka berterus terang. Waktu beta awal datang di salatiga, yang beta kanal ana ambon tu si michael, karna kebetulan katong dua satu angkatan di kampus trus satu fakultas, jadi katong bakawan baek, nah yang beta liat, orang ambon tu suka bagaya, sok-sok’an, pemarah, watak keras, klo baomong suka bentak-bentak orang, cara baomong tu talalu bagaya. (ketika Saya pertama kali datang ke Salatiga, orang Ambon yang saya kenal adalah Michael, karena kebetulan kami berdua berada pada fakultas dan seangkatan dan pada saat itu kami bersahabat, nah menurut saya karakter orang Ambon : Sombong Sok-Sok’an, pemarah, berwatak keras, suka membentak orang lain ketika berkomunikasi, dan tidak santun dalam berbicara). 377 Ketika ia (Chris) datang ke Salatiga sekitar tahun 2005 ia secara langsung bergaul/ berteman dengan anggota komunitas Ambon yang juga secara kebetulan mengambil jurusan yang sama yaitu di Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pergaulan mereka sebenarnya bisa dikatakan akur sebelum konflik terjadi. Pada saat awal berkenalan dengan anggota komunitas Ambon anggapan prasangka dan stereotip terhadap mereka adalah biasa-biasa saja tanpa ada yang spesifik. Namun stereotip itu berubah seiring dangan terjadi konflik antar etnis yang terjadi, dan stereotip yang muncul terhadap anggota komunitas Ambon adalah sombong, dan menganggap rendah orang lain (orang diluar komunitasnya). Ketika stereotip ini muncul, maka secara perlahan Ia enggan untuk menjalin hubungan pertemanan dengan anggota komunitas Ambon sebab pandangan ini menjadi pandangan umum (generalisasi) terhadap Komunitas Ambon secara keseluruhan. Ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh Chris karena tlah terlibat secara langsung dalam proses konflik tersebut. Tabel Daftar stereotip dari kedua komunitas etnis Timor dan Ambon Stereotip Anggota Komunitas Stereotip Anggota Komunitas Ambon Terhadap Anggota Timor Terhadap Anggota Komunitas Timor Komunitas Ambon 378 Sombong, Sok-sok’an, Selalu ingin menang sendiri, pemarah, Pembual, sombong, Suka minum minuman keras Fashionable (negatif), (alkohol), suka minum minuman keras (alkohol), Solider, orang yang mementingkan diri sendiri, Gengsi dan tidak ingin direndahkan bersifat licik, Pendendam, pembual, Terbuka, bersifat memberi, Suka berpesta pora, bersedia membantu, Berwatak keras, eksklusif (sulit bergaul dengan etnis Gampang emosi, lain), Gemar mengucapkan kata-kata kotor, cerewet, pembuat gaduh, pembuat onar Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut. 379 F. MODAL SOSIAL SEBAGAI PENUNJANG DAN KONFLIK SEBAGAI DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Modal sosial dan komunikasi antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang saling mendukung, modal sosial membutuhkan kualitas proses komunikasi yang baik dan efektif begitupun sebaliknya komunikasi antarbudaya membutuhkan modal sosial untuk kelancaran proses komunikasi tersebut. Modal sosial pada saat ini sudah menjadi suatu konsep yang menjadi perhatian khusus di kalangan ilmuan maupun para ahli. Peranan dan kedudukan modal sosial dalam aktifitas keseharian masyarakat juga telah dikaji secara lebih intensif oleh para ahli dari berbagai sudut pandang keilmuan antara lain dari perspektif agro-eco system, ekonomi, sosiologi, politik, antropologi dan psikologi [19]. Selanjutnya Georgi (dalam Subejo 2004) juga menyimpulkan bahwa social capital termasuk didalamnya individual talents, the accumulated knowledge of society, and society’s forms of interaction, organization and culture. Secara tidak disadari, manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan mengandalkan modal sosial. Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas etnis yang ada di Salatiga yang selalu berusaha untuk mengandalkan modal sosial untuk bisa Survive.modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial termasuk elemen-elemen- didalamnya seperti kepercayaan (trust), jaringan (networking) sering terjadi dikalangan masyarakat luas. Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial adalah Putnam dan Fukuyama. Mereka memberi definisi modal sosial yang penting. Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi 380 keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas7 Tabel definisi modal sosial dari para ahli (Subejo 2004 : 79)[20] Sumber Pengertian dan Elemen Dasar dari Social Capital Bourdieu The aggregate of the actual or potential resources which (1986) are linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and recognition – or in other words, to membership of a group – which provides each of its members with the backing of the collectively-owned capital. Coleman Social capital consits of some aspects of social (1988) structures, and they facilitate certain actions of actors. Putnam (1993) Features of social organization, such as trust, norms (or reciprocity), and networks (of civil engagement), that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions. 7 Spellberg dalam makalah modal sosial dan kebijakan publik karya Edi Suharto, PhD 381 Narayan The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust (1997) embedded in social relations, social structure and society’s institutional arrangements which enable members to achieve their individual and community objectives. (Aturan, norma-norma, kewajiban, hal timbal balik dan kepercayaan ditempelkan dalam hubungan sosial, struktur sosial dan pengaturan kelembagaan dalam masyarakat memungkinkan anggota untuk mencapai sasaran hasil masyarakat dan individu mereka). World Bank Social capital refers to the institutions, relationships, and (1998) norms that shape the quality and quantity of a society’s social interactions. Uphoff (1999) Social capital can be considered as an accumulation of various types of intangible social, psychological, cultural, institutional, and related assets that influence cooperative behavior Dhesi (2000) Shared knowledge, understandings, values, norms, and social networks to ensure the intended results Dengan melihat definisi-definisi diatas maka penulis ingin mendefinisikan modal sosial merupakan “Instrument” (alat) untuk mencapai tujuan bersama yaitu tujuan yang saling menguntungkan antara dua atau lebih pihak yang terintegrasi didalam proses interaksi sosial, serta mampu membangun norma 382 dan nilai-nilai dalam proses tersebut, dan hal ini dilakukan dengan kesadaran yang sungguh-sungguh. Sehingga terdapat empat elemen utama dalam modal sosial yaitu norms, reciprocity, trust, dan network. Keempat elemen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kerjasama untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang melakukan kerjasama maupun kelompok secara kolektif. Dari keempat elemen diatas, sangat merangsang alur berpikir penulis bahwa untuk menjalankan modal sosial perlu dipertimbangkan mengenai aspek Sharing. Sebenarnya istilah ini merupakan istilah lanjutan dari empat elemen diatas yang sudah masuk pada tataran implementasi. Setelah melihat dan merenungkan konsep-konsep diatas maka penulis ingin melihat pada situasi empirik mengenai modal sosial yang juga terjadi pada komunitas-komunitas etnis yang berada di Salatiga. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konflik sangat dekat dengan eksistensi dari komunitas etnis dan selalu merupakan proses pembelajaran bagi setiap anggota yang terlibat dalam konflik tersebut. Namun yang menjadi unik dalam proses sosial ini adalah setiap konflik yang terjadi, dapat terselesaikan dengan baik dan relatif cepat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang mungkin relevan untuk menjawab pertanyaan ini adalah adanya modal sosial yang telah dibentuk dan dihayati hingga dipahami secara bersama oleh pihak-pihak yang bertikai8. Masih teringat ketika terjadi perkelahian massa antara Komunitas etnis Ambon (Hipma) dan Komunitas etnis Timor (Ikmasti) pada bulan September tahun 2008 dimana menyebabkan kerusakan fasilitas umum (jalan), fasilitas pribadi (pengrusakan mobil) dan korban luka-luka (Ambon 1 orang & Timor 1 orang). Pertikaian ini terjadi di sekitar Jl. Turen kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan Salatiga kota Salatiga. Aparat keamanan dalam hal ini kepolisian bertindak sebagai penegak hukum turut berusaha dalam proses penyelesaian konflik 8 Olahan penulis berdasarkan pengamatan lapangan 383 tersebut. Namun berdasarkan pengamatan penulis justru proses penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan dan dengan memanfaatkan elemen-elemen dalam modal sosial yaitu: 1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk menyelesaikan masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan tindakan negosiasi yang dilakukan tanpa campur tangan pihak kepolisian. Pihak kepolisian hanya bertindak sebagai fasilitator bukan sebagai mediator sebab yang menjadi mediator adalah dua komunitas etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya rasa “bagian dari” suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan adalah rasa bahwa kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia Timur. Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang terjadi bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang merupakan syarat berdirinya masyarakat modern. 2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah pihak yang bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi yang cepat. Dan mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku dalam jangka waktu yang sangat panjang (beberapa tahun kedepan ketika sudah kembali ke kampung halaman masing-masing ataupun menetap di Salatiga dan sekitarnya. 3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang di bagi adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan adanya rasa saling terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor yang sangat vital dalam proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua komunitas etnis tersebut. Secara inheren modal sosial mengandung social sense. Hampir semua bentuk social capital terbentuk dan tumbuh melalui gabungan atau kombinasi tindakan dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain atau pelaku memiliki 384 konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau group. Sehingga hal tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti dikemukakan oleh Dhesi [21] bahwa modal sosial bukan merupakan private property dari orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini hanya akan muncul dan tumbuh kalau dilakukan secara bersama (shared). Sehingga modal sosial bisa dikatakan sebagai property dari public good. Social capital akan tumbuh dan semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan dan kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama. Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari generasi ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi. Pewarisan modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu proses adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi yang berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati bersama antar pelaku kerjasama. Proses yang panjang ini pun sudah dialami oleh komunitas etnis yang telah berdiri sekitar tahun 1970an. Konflik menjadi tujuan utama dan umpan balik dari proses komunikasi yang terjadi antar komunitas etnis sehingga hal inilah yang membuat penulis merasa perlu dilakukan suatu penelitian mendalam. Dan ketika melakukan beberapa wawancara dan observasi seperti yang disajikan. Perkelahian menjadi tujuan pokok dan umpan balik yang diharapkan bahkan di impi-impikan dan dibangun diatas landasan strategi komunikasi yang harmonis. Komunitas etnis yang sudah lama berdiri ini pun secara alamiah telah mengalami berbagai macam persoalan baik internal maupun eksternal dan mengalami proses evolusi yang cukup bervariasi dalam rentan waktu tersebut. Proses komunikasi antar budaya yang telah terjadi selalu didasari dan dibangun diatas kokohnya modal sosial sehingga menimbulkan situasi transaksi sosial di kalangan tersebut. 385 Agar lebih memahami peran modal sosial dalam komunikasi antar budaya maka berikut adalah gambar atau bahan yang coba di buat oleh penulis berdasarkan hasil pengamatan di lapangan. G. PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI SALATIGA Nilai-Nilai Agama Nilai-Nilai UKSW Modal Sosial Trust Sharing Transaksi sosial Network Proses Komunikasi Antarbudaya Komunitas etnis Ambon Komunitas etnis Timor 386 Resolusi konflik Diagram 8 Proses Komunikasi Antarbudaya di Salatiga Sumber : Richard G. Mayopu Nilai-nilai agama dalam komunitas etnis dan nilai-nilai Universitas Kristen Satya Wacana menjadi dua sumber kuat terbentuknya modal sosial di kalangan anggota komunitas etnis. Sebagian besar anggota komunitas etnis Timor maupun Ambon beragama kristen baik Kristen Katholik maupun Kristen Protestant. Nilai-nilai agama yang paling berperan penting dalam proses komunikasi antar budaya hingga bermuara pada resolusi konflik adalah Kasih. Kasih adalah suatu konsep kekristenan yang selalu dipakai oleh umat nasrani untuk menyatakan kepedulian terhadap Tuhan yang diwujudnyatakan dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari terhadap sesama manusia. Penulis pun merasa cukup terharu ketika mewawancarai salah seorang informan yang pada konflik tahun 2008 mengalami luka parah (patah Tulang Hidung) yang sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Salatiga. Pemuda ini memiliki perawakan yang tegap, tinggi, berambut tipis, berasal dari Tual Maluku, bernama Michael. Kepada penulis ia menceritakan kisah perkelahian yang mengakibatkan luka parah tersebut secara detail. Pada waktu itu sekitar bulan september tahun 2008, ia berencana melakukan perkelahian duel dengan seorang anak Kupang yang bernama Ando, namun ketika sedang berkelahi, tiba-tiba ia dilempar oleh orang yang diduga teman Ando yang merasa tidak terima Ando dipukul jatuh pada saat itu. Lemparan itu tepat mengenai hidungnya dan batu yang digunakan cukup besar berukuran sekitar 387 segenggam tangan orang dewasa. Seketika hidungnya berdarah dan harus dilarikan kerumah sakit. Sekitar dua minggu ia dirawat dirumah sakit. Inilah cerita singkat kejadian tersebut, yang mengherankan adalah proses penyelesaian masalah ini tidak diselesaikan secara hukum pidana, padahal Berita Acara Perkara sudah dibuat di Kepolisian Resort Kota Salatiga, justru proses penyelesaiannya adalah Ando datang menghampiri Michael di depan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Mandiri di dalam Kampus UKSW dan meminta maaf kepada Michael dan sejenak Michael pun langsung memaafkan Ando dan teman-temannya atas perbuatan mereka. Penulis pun bertanya kepada Michael : “Penulis :Bu,,, Kanapa Bu Kase Maaf Ando???? Michael :bagini ardy,,,,namanya katong orang Kristen, masa Orang su datang minta maaf baek-baek trus katong seng kase maaf???katong orang Kristen pung Kasih seng Boleh munafik, kalo orang datang minta maaf ya katong kase maaf,,, apa lai ini masalah kan su abis, seng usah ungkit-ungkit lai,,,yang pasti beta tulus,,,,,”9 (Penulis : Kakak, Mengapa kakak memaafkan Ando??? Michael : Ya Kita kan Orang Kristen, ketika ada orang yang datang dan meminta maaf atas kesalahannya patutlah kita memberi maaf. Kasih dalam ajaran kristen adalah tidak munafik, sehingga jika ada orang yang datang dan meminta maaf,maka berilah maaf buat dia. Disamping itu masalah ini kan juga sudah selesai jangan diungkit lagi, yang pasti saya tulus mengambil tindakan ini). 9 Wawancara dilakukan dengan Sdr Michael di Delik cafe 388 Inilah sumber modal sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimana kasih yang menjadi nilai kristiani menjadi landasan secara spiritual untuk diwujudkan dalam interaksi dan komunikasi dengan sesama anggota komunitas maupun orang-orang diluar komunitas etnis tersebut. Dengan m elihat kutipan wawancara dengan Michael diatas maka penulis ingin menjelaskan bahwa tidak semua persoalan tindak pidana diselesaikan di depan hukum, namun juga bisa diselesaikan oleh pelaku dan korban itu sendiri dalam suatu forum yang informal dan fleksibel. Dengan melihat peristiwa ini bisa ditarik suatu pemahaman dimana modal sosial sangat memberikan kontribusi positif dalam upaya resolusi konflik. Modal sosial yang dimaksud adalah Trust. Adanya suatu kepercayaan dalam diri pelaku konflik memberikan “angin segar” disaat yang tepat dan disaat yang dibutuhkan sehingga proses penyelesaian konflik pun datang tanpa diduga yaitu di lokasi yang tidak ditentukan, waktu yang tidak ditentukan dan tanpa peran khusus dari perantara atau mediator. Dan harus diingat juga bahwa dalam situasi ini, kerelaan untuk saling memaafkan merupakan dasar dari rasa saling percaya tersebut. Rela unuk mengakui kesalahan dan rela untuk memaafkan dengan segala kerugian baik materil maupun non materil yang sudah di terima oleh kedua belah pihak. Selanjutnya modal sosial yang terdapat dalam penelitian ini adalah Networking. Jaringan juga memiliki peranan penting dalam dalam upaya resolusi konflik. Dalam kasus Sandro dan Michael yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebenarnya kedua orang ini sudah menjalin suatu hubungan pertemanan yang cukup lama sejak Tahun 2005 dimana saat itu adalah saat awal mereka bertemu dalam ruang kuliah dan jaringan hubungan pertemanan sudah dimulai. Sehingga rasa saling mengerti, saling percaya dan saling memaafkan pun dengan mudah bisa dilakukan (perdamaian). Dalam konteks komunikasi antar budaya yang terjadi pada komunitas etnis di Salatiga jaringan ini sebenarnya mampu dibangun dengan baik khususnya bagi komunitas etnis yang beranggotakan anggota yang berasal dari luar Jawa. 389 Disadari atau tidak namun hal ini menjadi suatu perekat hubungan antar etnis di Salatiga. Sebagian besar anggota komunitas yang berasal dari luar Jawa secara tidak langsung secara dominan akan mencari teman ataupun sahabat yang berasal dari daerah asal yang sama. Misalnya orang Timor akan mencari teman atau sahabat yang berasal dari Timor baru setelah itu ia mencari sahabat dari daerah lain seperti Papua, Sumba, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra. Orang Jawa akan menjadi “pilihan terakhir” bagi orang Timor untuk di jadikan Sahabat atau teman. Oleh karena itu dalam kaitan dengan resolusi konflik antar etnis, jaringan sudah dibangun dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi “senjata” untuk meredam konflik. Peran nilai-nilai dalam komunikasi antar budaya di Salatiga ini menjadi penting dan harus diketahui pula dalam kondisi apa nilai-nilai tersebut bisa digunakan secara efektif untuk membuahkan situasi yang damai dan dalam kondisi apa nilai-nilai tersebut menjadi tidak berfungsi. Jawaban yang tepat menurut penulis berdasarkan hasil temuan lapangan dan proses analisis, nilai-nilai tersebut akan berfungsi ketika mampu dikomunikasikan dengan baik. Komunikasi menjadi suatu tool yang digunakan untuk resolusi konflik. Dilain sisi jika nilai-nilai tersebut tidak ditransfer melalui proses komunikasi dengan baik maka nilai-nilai tersebut tidak akan berguna dan berfungsi. Proses komunikasi didalam komunitas etnis bisa dilakukan dengan cara-cara yang sederhana seperti memanfaatkan Moment. Moment yang ada misalnya Natal Bersama Komunitas etnis, Malam keakraban atau yang sering di sebut Makrab etnis, Paskah etnis, Ekspo Budaya UKSW, adalah kesempatan untuk melakukan proses komunikasi antar etnis tersebut dengan cara mengundang komunitas etnis yang lain untuk turut berpartisipasi secara aktif (bukan formalitas) sehingga seluruh rangkaian kegiatan yang mempunyai maknamakna kebersamaan dapat tersampaikan secara efektif kepada komunitas lainnya. Proses komunikasi yang baik dan efektif diharapkan mampu membuahkan hasil yang positif. 390 Selanjutnya sumber modal sosial adalah penanaman nilai-nilai “Satya Wacana” terhadap para pelaku konflik yang notabenenya adalah para mahasiswa yang sedang menjalani studi di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam mengenai nilainilai “Satya Wacana”, perlu diketahui dan dipahami bahwa kehadiran UKSW adalah untuk mengakomodir dan mencetak tenaga pengajar kristen dalam rangka mengisi kekosongan tenaga pengajar seperti guru ke seluruh indonesia dengan berlandaskan Iman Kristiani. Dari pidato O. Notohamidodjo pada pembukaan peresmian Universitas Kristen Satya Wacana pada Tahun 1959 nampak bahwa beliau sejak berdirinya PTPG pada Tahun 1956 sudah melihat perlunya suatu universitas kristen yang menyiapkan tenaga-tenaga kader untuk gereja dan masyarakat. Dari ucapan-ucapan serta pahamnya nampak pengaruh dari gagasan-gagasan tinggi Dr. Abraham Kuyper pendiri Vrije Universiteit di Netherland sebagai suatu perguruan yang beralaskan iman kristen. Dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,Satya Wacana nampak menonjol terutaman dalam corak keunikan “Indonesia Kecil”. Sebanyak 19 Sinode gereja-gereja ditanah air dari Nias sampai Irian jaya mendukungnya sehingga para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai suku hadir dalam kampus Satya Wacana10. Berangkat dari hal tersebut maka sudah bisa dipastikan bahwa penanaman nilai-nilai kristiani sangatlah kental dan ditanamkan pada setiap civitas akademika termasuk mahasiswa. Proses penanaman nilai-nilai kristiani ini secara tidak diduga kemudian merasuk hingga kedalam tubuh komunitas etnis seperti Ambon dan Timor sehingga untuk mewujudkan dan menampakkan nilai-nilai kristiani tersebut maka kedua komunitas etnis ini menggelar kegiatan kebaktian persekutuan (Ibadah) yang dilaksanakan setiap minggu atau setiap bulan. Kebaktian persekutuan ini memang hanyalah suatu ritus yang sudah menjadi tradisi dalam komunitas etnis namun dengan adanya kegiatan ini 10 Kreatifitas Yang Bertanggung Jawab Kumpulan Pidato dan Karangan Dr. Notohamidjodjo S.H. Bagian pertama Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas-ikip kristen Satya Wacana 1973 hal : Xii 391 membuat suasana kekeluargaan dan keakraban menjadi hangat sebab dibangun berlandaskan iman kristiani sehingga forum tersebut juga digunakan sebagai suatu ajang pertemuan antar anggota komunitas. Dengan melihat hal diatas maka nilai-nilai kristiani yang muncul adalah nilai kekeluargaan dan nilai saling mengasihi atau kasih. Nilai-nilai Satya Wacana yang kemudian dimaksudkan adalah suatu toleransi antar suku bangsa yang sangat beragam di dalam wadah kampus tersebut. Indonesia mini adalah slogan yang selalu dielu-elukan oleh pengurus ataupun pejabat-pejabat kampus ini sebab keberagaman manusia di dalam kampus ini diklaim berasal dari Sabang sampai Merauke. Bhineka Tunggal Ika yang artinya adalah walaupun berbeda-beda tapi tetap satu memiliki makna yang sangat luas, salah satu maknanya adalah walaupun berbeda suku bangsa, etnis, ataupun ras sekalipun namun bangsa ini tetap satu dengan tidak menghilangkan perbedaan tersebut. Secara fisik jika dilihat dan diamati perbedaan sangat mencolok berkaitan dengan warna kulit, “semakin ke barat semakin putih sebaliknya semakin ketimur semakin hitam”, namun ungkapan ini sejatinya hanya merupakan ungkapan spekulatif sebab jika melihat kenyataan di lapangan di wilayah Indonesia Timur pun banyak etnis yang memiliki warna kulit yang putih seperti etnis Minahasa (Manado) di pulau Sulawesi dan kenyataan inilah yang menjadi suatu nilai keberagaman yang hakiki dari bangsa ini. Sedikit beralih dari ciri fisik ke sifat dan karakter, maka akan ditemui juga keberagaman karakter yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa setiap derah kesukuan dan etnis terdapat karakter yang berfariasi seperti orang dari kawasan Indonesia Timur berkarakter tegas dan pemberani, hal ini juga ditemukan pada orang-orang dari kawasan Indonesia bagian barat seperti orang Batak yang juga pemberani dan berkarakter tegas tidak pandang bulu. Jika ditarik benang merahnya kedalam kehidupan ke-Satya Wacanaan, semua karakter yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya sering ditemui di dalam kampus tersebut. 392 Salah satu bentuk pananaman nilai keberagaman yang sangat baik yang sudah dilakukan oleh kampus tersebut jika ditinjau dari perspektif komunikasi antar budaya adalah diadakannya kegiatan ekspo budaya atau pentas seni dan budaya mahasiswa 11 yang diikuti oleh seluruh komunitas etnis yang ada di Salatiga dengan cara menampilkan keragaman budaya dari daerah masing masing seperti tari-tarian, musik dan lagu daerah, cerita rakyat derah, kuliner daerah, bahkan tidak menutup kemungkinan dari para peserta untuk berkolaborasi dengan komunitas etnis yang lain. Tarian kolaborasi menjadi salah satu icon untuk melunturkan stereotip dan etnosentrisme dari masingmasing etnis terhadap yang lainnya sebab di dalam proses ini kedua anggota etnis dikondisikan untuk lebih saling mengenal dan mengtahui tradisi dan budaya dari masing-masing daerah. Nilai-nilai inilah yang menjadi landasan modal sosial diantara komunitas etnis sehingga proses resolusi konflik menjadi terbantukan dan mampu dilaksanakan dengan sangat baik. Selanjutnya nilai-nilai Ke-Satya Wacanaan yang bisa ditemui dan diamati adalah nilai kekeluargaan. Nilai kekeluargaan ini merupakan suatu harapan yang sangat besar dari pendiri sekaligus Rektor pertama Universitas Kristen Satya Wacana Bpk. Dr. O. Notohamidjodjo. Dalam menjalankan kepemimpinannya beliau cenderung menerapkan sistem kewibawaan yang bersifat karismatik ditambah rasionalisme Barat. Diperkaya dengan ajaran kasih Kristus dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman 12 [22]Oleh karena itu dalam meresolusi konflik internal maupun eksternal lebih senang menggunakan pendekatan kekeluargaan. Dan Nilai-nilai kekeluargaan ini pun 11 Expo Budaya/pentas seni dan budaya Universitas Kristen Satya Wacana sudah ada sejak Universitas ini didirikan. Tujuan dari program kegiatan ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan pluralisme dan memberikan pesan kepada bangsa ini mengenai pentingnya arti kebinekaan, hal ini disampaikan langsung oleh Pdt. Prof John A. Titaley Th.D selaku Rektor Universitas Kristen Satya Wacana periode 2010-2014 pada acara Sarasehan pada Tgl 18 Mei 2011. 12 Kutipan Wawancara yang dilakukan oleh Trifosa W & Izak Lattu terhadap Bpk Usadi Wiryatnaya seorang kerabat dari Bpk O. Notohamidjodjo yang menyaksikan secara langsung mengenai pikiran-pikiran Beliau. Kutipan wawancara ini dibuat dalam rangka untuk menerbitkan buku peringatan 50 tahun (30 November 2006) berdirinya UKSW dengan mengambil Tema MEMPERTEGAS IDENTITAS CREATIFE MINORITY. 393 masih sering ditemui didalam komunitas-komunitas etnis yang sebagian besar anggotanya adalah mahasiswa Universitas Kirsten Satya Wacana. Selanjutnya Bpk Richard Mauli Souboan Gultom menambahkan mengenai Nilai-Nilai UKSW yang dituangkan dalam Visi dan Misi UKSW adalah Kekristenan dan Ke-Indonesiaan. Ke-kristenan sudah dimanifestasikan sejak awal berdirinya UKSW dalam berbagai bentuk diantaranya : Kebaktian Senin pagi, rata-rata ada pembacaan Alkitab dan berdoa sebelum kuliah (tidak ada aturan tertentu tentang hal ini). Selanjutnya Ke-indonesiaan juga sudah nampak di Kampus ini seperti berbagai orang dari berbagai suku dan agama sudah berkuliah di kampus ini sejak awal berdirinya hingga saat ini. Dua hal ini juga merupakan nilai-nilai yang luhur yang dimiliki oleh Universitas Kristen satya wacana yang kemudian termanifestasi secara tidak disadari kedalam komunitas etnis di Salatiga. VI. KESIMPULAN Setelah melakukan proses penelitian ini maka sampailah pada kesimpulan yang menurut penulis sangatlah mengherankan. Setiap komunikasi yang selalu dilakukan dangan cara yang baik-baik dalam proses komunikasi itu sendiri ternyata bertujuan untuk membangun suatu suasana konflik bahkan hingga pada titik dimana konflik tersebut relatif sulit untuk di selesaikan. Namun satu hal yang menarik dari penelitian ini adalah dimana modal sosial sangat berperan penting dalam menyelesaikan konflik komunikasi yang terjadi. Temuan yang pertama berkaitan dengan noise, feedback atau destination adalah bahwa rasa etnosentrisme, stereotip dan prasangka menjadi gangguan yang sangat tinggi dalam proses komunikasi antar budaya itu sendiri, sementara feedback atau destination dari proses komunikasi antarbudaya tersebut adalah konflik. Walaupun proses komunikasi dibangun diatas landasan suasana yang harmonis namun dalam kenyataannya, konflik menjadi tujuan akhir yang sangat di impi-impikan oleh komunitas etnis Timor maupun komunitas etnis Ambon. 394 Dengan demikian maka penelitian ini memberikan sedikit pemahaman yang tidak seperti pemahaman pada umumnya dimana komunikasi selalu bertujuan untuk menghasilkan suatu hubungan yang harmoni, namun sebaliknya juga memiliki tujuan untuk menciptakan konflik, meskipun berkomunikasi menciptakan sebuah interaksi yang harmoni. dalam proses 395 DAFTAR PUSTAKA [1] Rogers Everett M, William B. Hart Yoshitaka Mike, Edward T. Hall and The History of Intercultural Communication: The United States and Japan, Keio Communication Review No. 24, 2002 [2] Bennett, Milton, J. Intercultural communication: A current perspective. In Milton J. Bennett (Ed.), Basic concepts of intercultural communication: Selected readings. Yarmouth, ME: Intercultural Press. 1998 [3] Mulyana Deddy, Rakhmat Jalaludin, Komunikasi Antar Budaya , Panduan Berkomunikasi Dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung PT. Remaja Rosdakarya 2003 [4] Mufid Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta Kencana 2009 [5], [11] Soekanto Soerjono, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta 1984 [6] Liliweri Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta PT. LkiS Pelangi Aksara , 2007 [7] Bartos J. Otomar, Paul Wehr, Using Conflict Theory , Cambridge University Press 2002. [8] Widiarto Tri, Pengantar Sosiologi, Salatiga Widya Sari Press, 2003 [9] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta PT Rineka Cipta 2003 [10] Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar , Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 1974 396 [12] Samovar Larry A. (San Diego Stare University) & Porter Richard E. (California Suire University, Long Beach, Emeritus) Intercultural Communication A Reader 10th Edition, USA 2003: [13], [14] Rogers Everet M., Difusion Inovation, Rev. ed. of: Communication of innovations. 2nd ed.. The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. New York 1983 [15] John F. Dovidio, Peter Glick, and Laurie A. Rudman, On the Nature of Prejudice Fifty Years after Allport , by Blackwell Publishing Ltd 2005 [16] Gerungan W. , Psychology Sosial, P.T. Eresco Jakarta-Bandung 1978 [17] Sarwono W. Sarlito & Meinarno A. Eko, Psikologi Sosial, Jakarta Penerbit Salemba Humanika 2009 [19] Boeree, George, Dasar-dasar Psikologi, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta 2006 [19], [20], [21] Subejo, The Role Of Social Capital In Economic Development: An Introduction to Study on Social Capital in Rural Indonesia ©Artikel dalam Jurnal Agro Ekonomi Vol.11. ( Hal 77-86) No.1 Juni 2004 [22] Rupidara Neil, UKSW 1956-2006 Mempertegas Identitas Creative Minority, Satya Wacana University Press, Salatiga 2006 397