Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

advertisement
354
Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis
Oleh : Richard G. Mayopu1
Fakultas Teknologi Informasi
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771, Indonesia
Email: 1)[email protected]
Abstrak.
Indonesia adalah Negara dengan populasi masyarakat yang sangat
majemuk, multikultural, yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari komunitas-komunitas
yang berbeda-beda kebudayaan.. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya etnis
dan suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau
kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan
adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi
secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Dengan melihat
fenomena ini maka penulis sangat tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai
fenomena kemajemukan ini dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Fenomena ini
dijadikan penulis sebagai “pintu masuk” untuk mencari tahu lebih dalam mengenai
kajian ilmu komunikasi yang secara konseptual selalu bertujuan untuk menjalin
hubungan yang harmonis antar pihak yang terklibat dalam proses komunikasi. Penulis
pun mengambil konflik antar komunitas etnis di Salatiga sebagai unit analisis dan
amatan dengan melihat pola komunikasi konflik yang terjadi dalam kurun waktu tahun
2008-2010.
Penlitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pola komunikasi konflik antarbudaya
yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga. Pada penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan dan
jenis penelitian ini dianggap relevan oleh penulis untuk menjawab permasalahan dalam
penelitian ini. Unit amatan dari penelitian ini adalah peristiwa kesalahpahaman dan
1
Staf Pengajar Program Studi Public Relation Fakultas Teknologi Informasi Universitas
Kristen Satya Wacana
355
konflik yang terjadi antara dua komunitas etnis yaitu komunitas etnis Timor (IKMASTI)
dan komunitas etnis Ambon (HIPPMA) dan unit analisisnya adalah pola komunikasi
antarbudaya dan memfokuskan pada Noise (Gangguan) dan Destination (Tujuan).
Dari Hasil Penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa tujuan dari proses komunikasi
antarbudaya di Salatiga yang melibatkan dua komunitas etnis ini, adalah menciptakan
konflik. Sehingga penulis mengambil kesimpulan secara keseluruhan dari penilitian ini
adalah Konflik merupakan Tujuan akhir dari proses komunikasi yang dibangun atas
dasar suasana maupun situasi yang harmonis.
Kata Kunci : Komunikasi, Budaya, Konflik
356
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman budaya adalah ciri khas bangsa Indonesia dan Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai macam budaya dari
Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah dikenal
sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku
bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Oleh sebab itu maka
cara setiap orang di indonesia dalam berkomunikasi akan berbeda satu
dengan yang lain tergantung dimana dia berada. Dalam berkomunikasi dengan
konteks keberagaman kebudayaan sering terjadi masalah atau hambatanhambatan (distorsi) yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam
penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat
dan lain sebagainya.
Salah satu syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling
pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya.
Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan walaupun masih terlalu dini bahwa
komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.
Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi
mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada
gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan
atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa
komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi (Culture is
communication and communication is culture) [1]
Pada
satu
sisi,
komunikasi
merupakan
suatu
mekanisme
untuk
mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal”
dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari
suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan
norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai dan selalu diusahakan dan
diupayakan agar tetap terjaga bagi kelompok tertentu. Dan untuk memahami
357
kajian antara komunikasi dan budaya, maka bisa ditinjau dari sudut pandang
komunikasi lintas budaya.
Komunikasi lintas budaya merupakan serangkaian proses yang sangat rumit
dan cukup panjang oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang mendalam
mengenai kajian dari ilmu ini. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistemsistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang
berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi manusia yang sangat
dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing
budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi antara
individu/kelompok dengan individu/kelompok lain selalu mengandung potensi
komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada
pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya
perbedaan itu.
Dalam berkomunikasi pun terdapat pola-pola yang bisa dikatakan teratur
maupun yang tidak teratur, bisa terjadi karena disengaja ataupun tidak
disengaja. Jika berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka yang akan
menjadi salah satu fokus adalah bagaimana budaya memaknai komunikasi
tersebut. Oleh sebab itu, perbedaan-perbedaan makna
budaya dapat
menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi
yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman.
Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam
berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud
konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.
Berangkat dari pemahaman ini maka muncul pentanyaan-pertanyaan untuk
menelaah
lebih
dalam
lagi
mengenai
pemahaman
“What
kind
of
communication is needed by a pluralistic society to be both culturally diverse
and unified in common goals?” [2] atau yang lebih tepat adalah pola komunikasi
seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang plural untuk mencapai
tujuan bersama.
358
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang terdapat
dalam penelitian ini adalah “bagaimana Pola komunikasi konflik antar budaya
yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga?” khususnya antar etnis
Timor dan etnis Ambon!
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teoritis
Komunikasi antarbudaya yang merupakan suatu kajian ilmu komunikasi yang
dilakukan antar komunitas atau antar individu memang terkesan “kuno” bagi
masyarakat Indonesia khususnya bagi para ahli komunikasi. Masyarakat dan
beberapa ahli komunikasi cenderung memiliki pandangan bahwa ilmu
komunikasi hanyalah berfokus pada komunikasi media massa sehingga kajian
mengenai komunikasi antarbudaya belum mendapatkan tempat dalam
perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Sehingga pemahaman
komunikasi antarbudaya pun menjadi sedikit dicampur adukan dengan
komunikasi lintas budaya. Sebelum membahas mengenai tinjauan pustaka
dalam bab ini, perlu diketahui mengenai perbedaan mendasar dari kedua
konsep ini.
Perbandingan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunukasi Antarbudaya
Kesamaan :
➢ Keduanya menjadikan kebudayaan sebagai varian besar
kajiannya
➢ Keduanya
memusatkan
antarpersonal
Perbedaan :
perhatian
pada
komunikasi
359
➢ Komunikasi Lintas Budaya menekankan perbandingan
➢ Komunikasi
Lintas
Budaya
mempelajari
efek
media
(perbandingan efek media dengan efek media yang lain)
➢ Komunikasi Antarbudaya menekankan interaksi antarpribadi
yang berbeda latar belakang kebudayaan
➢ Komunikasi Antarbudaya Juga mempelajari komunikasi dan
hubungan internasional
Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya yang
diamati dan dianalisis. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai
beberapa konsep komunikasi secara umum, oleh karena itu maka pada bab ini
akan menjelasakan lebih spesifik mengenai konsep-konsep dalam ilmu
komunikasi yang akan dipakai sebagai “pisau analisis” dalam penelitian ini.
B.
KOMUNIKASI
Ilmu Komunikasi selalu mengalami perkembangan sejak awal mula ilmu ini
mulai dikembangkan sehingga berpengaruh pada definisi ilmu komunikasi itu
sendiri. Komunikasi merupakan salah satu bagian hidup terpenting dari
aktivitas manusia sehari-hari. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak
pernah melakukan komunikasi atau berkomunikasi. Komunikasi atau
communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin communis yang
berarti sama, communico, communicatio, atau communicare yang berarti
membuat sama (to make common). Definisi ini diungkapkan oleh William I.
Gorden, Colin Cherry, Onong Uchjana, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson
[3]
Pada tahun 1948, Harrord Lasswell menemukan sebuah konsep teori
komunikasi.
Lasswell
adalah
salah
seorang
ahli
komunikasi
yang
mengemukakan teori komunikasi yang cukup terkenal yaitu “who says what to
whom in what channel with what effect” atau “siapa berkata apa kepada siapa
dengan
menggunakan
saluran
serta
menimbulkan
pengaruh
apa”[4]
Komunikasi merupakan proses dimana seseorang menyampaikan pesan
360
kepada orang lain dan ingin mendapatkan efek yang bisa berupa persamaan
terhadap pemaknaan pesan tersebut.
Pola merupakan bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan)
yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian
dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai
suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang
mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Oleh sebab itu maka pola
komunikasi antar budaya adalah model komunikasi yang di gunakan oleh dua
atau lebih budaya yang saling berinteraksi. Pola adalah pemikiran sesuatu yg
diterima seseorang dan dipakai sebagai pedoman, sebagaimana diterimanya
dari masyarakat sekelilingnya. Pola juga mampu menjelaskan kepada orang
lain atau masyarakat yang berada disekelilingnya mengenai perilaku
kehidupannya dalam bermasyarakat.
Sesuatu bisa dikatakan pola jika
peristiwa yang sama terjadi secara terus menerus baik disengaja maupun tidak
disengaja. Dengan melihat konsep diatas maka penulis mendefinisikan pola
komunikasi adalah “suatu proses komunikasi yang terjadi secara terus-
menerus di dalam suatu komunitas baik secara disengaja ataupun tidak
disengaja sehingga menciptakan suatu tradisi atau ciri khas yang turut
mempengaruhi proses komunikasi di dalam komunitas tersebut maupun
proses komunikasi yang terjadi dengan komunitas yang lain” . Dalam konteks
konflik antar etnis yang terjadi di Salatiga, pola komunikasi ini memberi peranan
penting dan bagi terciptanya hubungan, baik yang harmonis maupun yang
tidak harmonis. Bahkan setiap konflik yang terjadi diantara kedua etnis tersebut
semakin menjelaskan mengenai perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang
prinsipil seperti gaya hidup, bahasa, perilaku, hingga pola pikir dari kedua
komunitas tersebut. Proses pembentukan pola komunikasi bisa dimulai dari
terjadinya interaksi yang terjadi didalam komunitas dan akan berlanjut pada
proses interaksi dengan komunitas-komunitas lainnya. Didalam komunitas
Timor maupun komunitas Ambon proses interaksi tersebut sudah terjadi dan
361
hal ini yang menjadi perhatian penulis untuk melakukan riset secara mendalam
agar mengetahui pola komunikasi yang terjadi secara lebih komprehensif.
C. KOMUNITAS
Sebelum membahas lebih jauh mengenai penelitian ini, maka perlu diketahui
mengenai definisi teori maupun konsep-konsep yang akan dipakai. Kata lain
yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga
menekankan kesamaan atau kebersamaan . Komunitas merujuk pada
sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan
tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak
mungkin ada komunitas. Komunitas bergantung pada pengalaman dan emosi
bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh
karena itu maka komunitas juga berbagai bentuk-bentuk komunikasi yang
berkaitan dengan seni, agama, dan bahasa. Dan masing-masing bentuk
bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif,
pandangan yang mengalir kuat dalam sejarah komunitas tersebut.
D. ETNIS
Indonesia merupakan bangsa yang besar dan majemuk sehingga membuat
bangsa indonesia menjadi sangat kaya akan kebudayaan. Kemajemukan
bangsa ini bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati
melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di
Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat
yang pluralistik yang berasal dari kata “pluralisme ” [5] Sebenarnya istilah ini
pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik
tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan
demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian
kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongangolongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi
yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan
dan diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam
362
suku bangsa. Dan aneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai
Kelompok/ komunitas etnis (ethnic-group) yang masing masing mempunyai
kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan
kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan
sistem sosial dan kebudayaan(yang selalu didukung oleh bahasa dan pola
komunikasi tertentu dalam komunitas –komunitas etnis dan suku bangsa
tersebut).
J. Jones (1972 dalam Liliweri 2007)[6] mendefinisikan etnis atau sering disebut
Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok
manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah
kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul
bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu.
E. KONFLIK
Mahaguru dari perspektif konflik ini adalah Karl Marx (1818-1883). Dasar
pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi
ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatankekuatan sejarah2. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak
definisi dan pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai
pertentangan, peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi
definisi mengenai konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk
pada definisi Park dan Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik
merupakan perjuangan untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan
disini adalah status sosial yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu.
Status ini tentu saja berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang
dalam masyarakat. Namun Mack dan Snyder mengambahkan bahwa Ia tidak
hanya memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang
langka dan mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian
maka
2
konflik digambarkan disini sebagai situasi di mana para aktor
Karya karl Marx yang terkenal ketika ia membuat analisa mengenai pertentangan
kelas borjuis dan proletar
363
menggunakan perilaku konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang
bertentangan dan atau untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini
tidak dibatasi pada individual saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam
penelitian ini adalah komunitas [7]. Ketika berbicara mengenai konflik, maka
perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal
tulisan ini, sudah dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering
menjadi
faktor
pemicu
terjadinya
konflik.
Widiarto,
(2003:
30-
31)[8]mengemukakan bahwa konflik adalah pertentangan dan terdapat empat
faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :
1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan
mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang.
2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang
tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang
pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang
secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan
terpengaruh oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya.
Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya
pertentangan antar kelompok manusia,
3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang
maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau
pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan
dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.
4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat,
untuk sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan
menyebabkan
terjadinya
berbagai
golongan
yang
berbeda
pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem nilai.
Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian
ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian
yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya.
364
F. KEBUDAYAAN
Menurut antropologi, “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan,
serta
karya
yang
dihasilkan
manusia
dalam
kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian,
hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan
yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan
dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang
dilakukan akibat suatu proses yang panjang).
Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal” [9] Kebudayaan
itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau
akal”.Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya
dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah
atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan
mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi
culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah
dan mengubah alam”. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871),
memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini
menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan
dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau
pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto menambahkan
bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan tertentu, akan
sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-rumah,
sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu sendiri
[10] Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan yang merupakan
kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang
dipunyai manusia sebagai warga negara dari
suatu masyarakat , selalu
365
mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat [11]. Pola hidup yang
ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan
berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih masyarakat yang
berbeda kebudayaannya.
Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter [12]
culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs,
values, attitudes, meanings, social hierarchies, religion,
notions of time, roles, spatial relationships, concepts of the
universe, and material objects and possessions acquired by a
group of people in the course of generations through individual
and group striving. (Kebudayaan dapat berarti simpanan
akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,
sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi
ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material
atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh
sekelompok orang atau suatu generasi).
G. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Sebelum melihat lebih jauh mengenai proses komunikasi antar budaya, maka
kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutip oleh Ilya Sunarwinadi
(1993:7-8) berdasarkan pendapat para ahli antara lain3 :
a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara
khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication is the
3
Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana.pdf
21/07/2010/ 00:16
pada
Tgl
366
art of understanding and being understood by the audience of mother
culture).
b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antar budaya terjadi manakalah
bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta
latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan
nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan,
dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a
communications act to bring with them different experiential backgrounds
that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and
values).
c. Rich (1974) : Komunikasi antar budaya terjadi ketika orang-orang
berbeda kebudayaan (communication is intercultural when occuring
between peoples of different cultures) (Liliweri, 2007 : 12).
d. Stewart (1974) : Komunikasi antara budaya yang mana terjadi dibawah
suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat
istiadat dan kebiasaan (interculture communications which accurs under
conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits).
e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya adalah interaksi
antara
para
warga
kebudayaan
yang
berbeda
(intercultural
communications is interaction between members of differing cultures).
f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar budaya adalah pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang
menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communication is
the sending and receiving of message within a context of cultural
differences producing differential effects).
g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa
yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik
367
secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang
budaya yang berbeda (intercultural communication refers to the
communications phenomenon in which participant different in cultural
background, come into direct or indirect contact which one another).
Seluruh definisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada
perbedaan
kebudayaan
sebagai
faktor
yang
menentukan
dalam
berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya
memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan
perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi,
tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individuindividu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba
untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai
hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari
perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang
dikatakan Edward T.Halll, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya
adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme
untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara
horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara
vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya
menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok
tertentu.
III. PEMBAHASAN
A. KOMUNITAS ETNIS TIMOR DI SALATIGA (IKATAN KELUARGA,
MAHASISWA, DAN SISWA TIMOR DI SALATIGA)
Ikatan Keluarga Mahasiswa dan Siswa Asal Timor di Salatiga atau yang lebih
dikenal dengan nama Ikmasti, merupakan suatu perkumpulan etnis yang
368
berada di Kota Salatiga. Ikmasti pada awal berdirinya,
sengaja dibentuk
dengan salah satu tujuan utama yaitu ingin mengumpulkan atau merangkul
seluruh Mahasiswa ataupun siswa perantauan yang berasal dari daerah Timor
( pulau Timor ) yang berusaha untuk menuntut ilmu di kota Salatiga yaitu di
Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW ). Hal ini dikarenakan kesamaan
latar belakang budaya dan kebutuhan untuk saling berinteraksi dan
berkomunikasi dengan sesama mahasiswa perantauan sehingga membuat
para pendahulu Ikmasti merealisasikan ide mereka ( mendirikan Ikmasti ).
Dan jika melihat berdirinya suatu perkumpulan maka pentinglah bagi kita untuk
mengetahui sejarah berdirinya suatu perkumpulan. Sejarah awal berdirinya
ikmasti dimulai pada saat terjadinya suatu pertemuan antara beberapa
mahasiswa asal Timor di kediaman Bpk Drs. El Zakharias di Jl. Imam Bonjol
No. 7A, beliau bertindak sebagai orang tua pembimbing dari para mahasiswa
asal Timor di UKSW guna membahas pembentukan perkumpulan ini.
Pembicaraan pada pertemuan tersebut mengarah pada sadarnya rasa saling
membutuhkan akan keinginan bersekutu bersama saudara seiman dan
diharapkan dengan adanya tujuan bersama tersebut dapat membantu
memberikan
motivasi
untuk
berkonsentrasi
pada
studi,
kehidupan
bermasyarakat dengan berlandaskan iman.
Mengapa kesadaran untuk bersekutu dinilai sangat penting oleh para pendiri
Ikmasti pada waktu itu? Hal ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa
sebagian besar mahasiswa perantauan yang berasal dari Timor di UKSW
mendapat bantuan beasiswa dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
Sehingga membangkitkan kesadaran mereka untuk membalas budi, bukan
hanya ditunjukan melalui studi, namun juga melalui kebersamaan mereka
lewat persekutuan ( rohani ) yang mereka bangun.
B. KOMUNITAS ETNIS AMBON DI SALATIGA (HIMPUNAN MAHASISWA
AMBON DI SALATIGA)
369
Sebelum saya menuliskan sejarah Himpunan Pelajar Mahasiswa Maluku
(HIPMMA), saya ingin mengatakan bahwa Pada dasarnya sejarah Himpunan
Pelajar dan Mahasiswa Maluku sendiri tidak pernah dituliskan, hanya
merupakan cerita yang biasanya disampaikan oleh para senior secara turunmenurun untuk adik-adik yunior HIPMMA di Salatiga4
HIPMMA sendiri terbentuk bermula dari organisisi Himpunan Mahasiswa
Maluku dan Papua Barat ( HIMPAR) yang pada saat itu ( Sekitan Tahun 1960an) merupakan persekutuan persaudaraan antara anak-anak perantuan yang
senasib dan sepenanggungan.
karena rasa itulah maka terbentuklah HIMPAR, seiring dengan tahun berjalan
dan dikarenkan semakin banyaknya mahsiswa Maluku dan Papua yang datang
ke Salatiga, maka HIMPAR kemudian terpecah dan kembali ke etnis masingmasing, setelah terpecahnya HIMMPAR, maka terbentuklah Himpunan
Mahasiwa Maluku (HIMMA), HIMMA sendiri terbentuk sekitar tahun 1970-an,
seiring waktu berjalan, karena semakin banyak anak-anak Maluku yang datang
untuk berstudi
ke Salatiga, dan bukan hanya sebagai mahasiswa saja
melainkan juga terdapat beberapa pelajar (anak-anak Maluku yang lain yang
melanjutkan studinya di bangku SMA).
Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka pada tanggal 01 Desember
1990 bertempat di wisma di daerah Bandungan Kab Semarang,
maka
Himpunan Mahasiwa Maluku (HIMMA) mengadakan rapat anggota lengkap
kemudian merubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan
merubah nama Himpunan Mahasiswa Maluku (HIMMA) menjadi HIPMMA yaitu
HIMPUNAN PELAJAR MAHASISWA MALUKU.
HIPMMA sendiri dalam perkembangannya mengalami beberapa persoalan
diantaranya , teman-teman dari Maluku Utara ingin
memisahkan diri
dikarenakan telah terbentuknya provinsi baru untuk Maluku Utara, dan mereka
4
Dibuat oleh : Jessy J. Maitimu ( Ketua HIPMMA periode 2008 – 2010) Tertangal 15 juni 2011
Di Salatiga
370
ingin berdiri sendiri dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
mereka sendiri, maka teman-teman dari Maluku Utara pun membentuk
organisasinya sendiri menjadi KEMAMORA.
Walaupun teman-teman dari Maluku Utara telah memisahkan diri, tetapi
HIPMMA terus berjalan dan persekutuan kekeluargaan ini masih berlangsung
sampai saat ini. Dan masih berkembang dengan menjalankan programprogram kerja dengan tujuan untuk lebih mempererat tali persaudaraan antar
Anak-anak Maluku di perantauan.
C. NOISE & DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan beberapa maksud, tujuan hingga
tinjauan pustaka dalam penelitian ini sehingga dalam bab ini penulis akan
menguraikan beberapa temuan berkaitan dengan noise dan destination dalam
proses komunikasi antarbudaya. Dalam bab ini penulis mengungkapkan
konsep-konsep komunikasi yang terkadang terabaikan dalam menjadikannya
sebagai gangguan dan tujuan dalam berkomunikasi. Dua konsep yang penulis
masukan adalah opinion leader (pemimpin opini), prasangka dan stereotip
yang berperan sebagai noise (gangguan) dalam proses komunikasi antar
komunitas etnis yang berkonflik serta Social Capital (modal social) yang
bertindak sebagai penunjang
dalam
proses
komunikasi antarbudaya
terkhususnya antar komunitas etnis Ambon dan Timor. Konsep terakhir ini
sebenarnya belum banyak dibicarakan atau dibahas dalam beberapa literatur
komunikasi namun karena dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa
modal social memiliki peranan yang cukup signifikan sehingga penulis merasa
perlu untuk diutarakan atau lebih tepatnya dikenalkan kepada setiap pihak
yang tertarik untuk mendalami ilmu komunikasi.
371
D. OPINION LEADER SEBAGAI NOISE DALAM PROSES KOMUNIKASI
ANTARBUDAYA
PENGERTIAN OPINION LEADER
Opinion leader diterjemahkan sebagai pemimpin pendapat atau pemuka
masyarakat, Konsep ini awal mula dikemukakan oleh Paul F. Lazarsfeld (1940)
dalam penelitiannya “Communication Effect and the Erie County Study” [13] Ia
melakukan studi tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County
Study dalam pemilihan presiden. Dalam penelitian itu dia melihat bagaimana
efek media massa dalam mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan
presiden. Namun penelitiannya tersebut menemukan bahwa media massa
tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan
pemilih sudah menentukan pilihan sebelum masa kampanye dimulai. Pada
saat itu media dinilai memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk mempengaruhi
khalayak dalam hal pemberian informasi. Namun Lazarsfeld menemukan
bahwa media ternyata sebagai komunikator, tidak sekuat yang dibayangkan
sebab khalayak memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang
disampaikan oleh komunikator.
Sebenarnya penelitian ini lebih mangacu kepada mass Media Research namun
konsep ini juga sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam
proses komunikasi antarbudaya sendiri. Bahkan dalam proses komunikasi
konflik yang terjadi, opinion leader mampu bertindak sebagai “ujung tombak”
dalam proses pemberian informasi bagi pihak didalam maupun diluar
komunitas. Opnion leader yang penulis temui pada saat melakukan penelitian
adalah :
Opinion Leader Aktif (Opinion Giving)
Disini para opinion leader tersebut sengaja mencari penerima atau followers
untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Dalam
372
komunitas etnis Timor maupun Ambon, ada sebuah kesamaan. Yang bertindak
sebagai Opinion Leader aktiv adalah para senior. Senior adalah anggota
komunitas yang sudah berada di Salatiga dan terlibat langsung dalam
keanggotaan komunitas kurang lebih satu tahun sejak kedatangannya. Senior
menjadi pemimpin opini yang sangat efektif ketika konflik tarjadi bahkan hingga
proses resolusi konflik dilakukan oleh kedua pihak. Ketika melakukan
wawancara
dengan
seorang
Informan
dari
komunitas
Ambon,
Ia
mengakatakan bahwa
karakter dari komunitas Ambon adalah “yang Tua lebih
dihargai dan secara tidak langsung memiliki wewenang
yang cukup untuk mengambil keputusan, hal ini
dikarenakan kebiasaan adat istiadat dari daerah yang
terbawa hingga di Salatiga”. Peran senior cukup
signifikan dalam pola komunikasi konflik ini sebab Ia
juga menambahkan “senior bilang apa, katorang iko
saja”, maksudnya adalah apapun yang dikatakan oleh
para senior maka yang junior akan mengikutinya baik
itu perintah maupun ajakan. Sekalipun para anggota
yang junior mempunyai asumsi atau pemikiran yang
lebih baik, namun tetap saja tidak memiliki kekuatan
“politik”, untuk menentukan kebijakan apa yang akan
diambil dan dilaksanakan oleh komunitas5.
Senior menjadi opinion leader yang ideal dalam komunitas etnis karena secara
tidak langsung memiliki kriteria untuk menjadi pemimpin opini seperti :
o
Status sosial yang lebih tinggi sebab sudah lebih lama berada di Salatiga
dan terlibat langsung dalam keanggotaan komunitas
5
Wawancara dilakukan di rumah kontrakan Ain daerah Kauman salatiga Tgl 29 Juli
2011.
373
o
Lebih berpengalaman dalam menghadapi konflik
o
Lebih banyak bersentuhan dengan komunitas lain diluar komunitasnya
sendiri
o
Kemampuan empati yang besar
o
Partisipasi sosial yang lebih banyak dan dituangkan dalam berbagai
kegiatan komunitas etnis.
Opinion Leader Pasif (Opinion Seeking)
Dalam hal ini followers lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion
leader, sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi seperti halnya
contoh diatas tersebut. Anggota komunitas terutama yang junior seakan-akan
mengalami suatu kondisi diamana ia harus mencari informasi mengenai konflik
dari para seniornya. Hal ini bisa dimaklumi sebab seniorlah yang memiliki
informasi serta pengalaman yang lebih banyak dalam memanage konflik.
Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1983 : 288)[14] dua
jenis opinion leader yang sering ditemui dalam kehidupan masyarakat yaitu
Monomorphic dan Polymorphic Opinion Leader
opinion leader Monomorphic merupakan jenis opinion leader yang mampu
bertindak selaku leader untuk satu macam topik atau persoalan. Jenis ini sering
kita temui di kumpulan masyarakat modern misalnya seorang ahli komunikasi
ketika ditanya mengenai bidang diluar kemampuannya maka ia akan berkata
tidak tahu.
Merton menggunakan istilah polymorphism untuk menunjukkan tingkat ketika
seseorang bertindak selaku opinion leaders bagi berbagai topik.
Selanjutnya ia menambahkan untuk mengukur opinion leader dilakukan
menggunakan tiga cara yaitu Metode Sosiometrik, Informasi Ratting, Self
Designing Method. Namun yang dipakai penulis untuk mengukur opinion
leader adalah :
Metode Sosiometrik
374
Dalam metode ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat
atau mencari informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya.
Teknik ini dipakai penulis ketika melakukan pengamatan dan wawancara
terhadap salah seorang informan Chris Doko (anggota komunitas Timor),
penulis menanyakan siapa orang yang paling berperan dalam proses
pemberian informasi terkait konflik antar etnis yang terjadi ia pun menjawab
“ada senior yang biasa beta tanya dia untuk urus
masalah soalnya dia ni yang punya pengalaman banyak
soal konflik, jadi katong ana-ana kupang rata-rata pi
tanya di dia sa”. (saya biasanya menanyakan dan
meminta bantuan kepada seorang senior yang dinilai
punya banyak pengalaman berkaitan dengan konflik
antar etnis yang sedang terjadi)6.
Informasi Ratting
Metode ini mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang /informan yang
dianggap sebagai key informan dalam masyarakat mengenai siapa yang
dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini informan
tersebut haruslah jeli dalam memilih siapa yang benar-benar harus memimpin
dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta tindakan
yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut. Yang menjadi informan
kunci berkaitan dengan pengujian ini adalah informan yang pernah terlibat
secara langsung pada saat konflik terjadi.
E. PRASANGKA & STEREOTIP SEBAGAI NOISE DALAM PROSES
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Sebelum masuk pada inti dari temuan ini maka perlu disimak mengenai konsep
prasangka yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Secara
6
Wawancara dilakukan di Arena Futsal Salatiga di daerah Cemara Raya Tgl 23 Juli 2011
375
konseptual, prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negatif) yang ditujukan
bagi anggota-anggota beberapa kelompok/ komunitas yang didasarkan pada
keanggotaannya dalam kelompok. Dasar dari munculnya prasangka adalah
stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik anggota komunitas
tertentu bisa positif dan bisa juga negatif. Gordon W. Allport dalam buku ON
THE NATURE OF PREJUDICE yang disunting oleh John F. Dovidio, Peter
Glick & Laurie A. Rudman (2005)[15] mengatakan stereotype is a belief system
in
which
psychological
characteristics
are
ascribed
more
or
less
indiscriminately to the members of a group. Jadi stereotip merupakan sistem
kepercayaan dalam karakter psikologi seseorang untuk memberikan penilaian
kepada anggota kelompok lain tanpa memandang siapa anggota kelompok
tersebut. Prasangka sosial juga merupakan sikap-perasaan orang-orang
terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang
berlainan dangan golongan orang berprasangka itu [16]
Stereotip adalah komponen kunci dari prasangka. Setereotip adalah kerangka
kognitif yang berisikan pengetahuan dan belief tantang kelompok sosial
tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu
tersebut (Cicilia Yeti Prawasti dalam Sarwono & Meinarno 2009 : 228)[17] .
Dengan demikian, Individu yang memiliki stereotip tentang kelompok sosial
tertentu akan melihat bahwa semua anggota kelompok sosial tersebut memiliki
traits (sifat) tertentu walaupun dalam intensitas yang rendah. Stereotip ini
berpengaruh dalam proses masuknya informasi sosial.
Secara definitif stereotip adalah sekumpulan sifat-sifat tertentu yang kita
atributkan kepada sekelompok orang tanpa tanpa pertimbangan rasional dan
logis [18] Contoh stereotip yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari
misalnya anggapan bahwa orang Jawa memiliki karakter yang lembut dan
santun, orang Papua atau orang yang berasal dari kawasan indonesia timur
memiliki kebiasaan minum minuman keras (alkohol), anggapan bahwa orangorang Tionghoa sangat pelit dan pintar berdagang sehingga banyak orang
Tionghoa yang memiliki kehidupan yang relatif kondusif secara ekonomi.
376
Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar komunitas, mendefinisikan
komunitas dalam hubungan antar etnis, membentuk image komunitas lain (dan
komunitas sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi
hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan
akan datang di dalam hubungan itu.
Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap
kelompok lain. Misalnya etnis Jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang
suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu
dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai
begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis Jawa kepada kita. Sebagai
sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang
tidak. Misalnya stereotip etnis Jawa yang tidak suka berterus terang memiliki
kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis Jawa memang kurang suka
berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena
banyak juga etnis Jawa yang suka berterus terang.
Waktu beta awal datang di salatiga, yang beta kanal
ana ambon tu si michael, karna kebetulan katong dua
satu angkatan di kampus trus satu fakultas, jadi
katong bakawan baek, nah yang beta liat, orang
ambon tu suka bagaya, sok-sok’an, pemarah, watak
keras, klo baomong suka bentak-bentak orang, cara
baomong tu talalu bagaya. (ketika Saya pertama kali
datang ke Salatiga, orang Ambon yang saya kenal
adalah Michael, karena kebetulan kami berdua
berada pada fakultas dan seangkatan dan pada saat
itu kami bersahabat,
nah menurut saya karakter
orang Ambon : Sombong Sok-Sok’an, pemarah,
berwatak keras, suka membentak orang lain ketika
berkomunikasi, dan tidak santun dalam berbicara).
377
Ketika ia (Chris) datang ke Salatiga sekitar tahun 2005 ia secara langsung
bergaul/ berteman
dengan anggota komunitas Ambon yang juga secara
kebetulan mengambil jurusan yang sama yaitu di Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana Salatiga. Pergaulan mereka sebenarnya bisa dikatakan
akur sebelum konflik terjadi. Pada saat awal berkenalan dengan anggota
komunitas Ambon anggapan prasangka dan stereotip terhadap mereka adalah
biasa-biasa saja tanpa ada yang spesifik. Namun stereotip itu berubah seiring
dangan terjadi konflik antar etnis yang terjadi, dan stereotip yang muncul
terhadap anggota komunitas Ambon
adalah sombong, dan menganggap
rendah orang lain (orang diluar komunitasnya). Ketika stereotip ini muncul,
maka secara perlahan Ia enggan untuk menjalin hubungan pertemanan
dengan anggota komunitas Ambon sebab pandangan ini menjadi pandangan
umum (generalisasi) terhadap Komunitas Ambon secara keseluruhan. Ini
merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh Chris karena tlah
terlibat secara langsung dalam proses konflik tersebut.
Tabel Daftar stereotip dari kedua
komunitas etnis Timor dan Ambon
Stereotip Anggota Komunitas
Stereotip Anggota Komunitas
Ambon Terhadap Anggota
Timor Terhadap Anggota
Komunitas Timor
Komunitas Ambon
378
Sombong,
Sok-sok’an,
Selalu ingin menang sendiri,
pemarah,
Pembual,
sombong,
Suka
minum
minuman
keras Fashionable (negatif),
(alkohol),
suka minum minuman keras (alkohol),
Solider,
orang yang mementingkan diri sendiri,
Gengsi dan tidak ingin direndahkan
bersifat licik,
Pendendam,
pembual,
Terbuka,
bersifat memberi,
Suka berpesta pora,
bersedia membantu,
Berwatak keras,
eksklusif (sulit bergaul dengan etnis
Gampang emosi,
lain),
Gemar mengucapkan kata-kata kotor, cerewet,
pembuat gaduh,
pembuat onar
Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal
tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip Misalnya saja
stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang,
meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga
dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media
massa.
Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi.
Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun.
Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan
mengabaikan ciri yang lain.
Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam
kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin
memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok
tersebut.
379
F. MODAL SOSIAL SEBAGAI PENUNJANG DAN KONFLIK SEBAGAI
DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Modal sosial dan komunikasi antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang
saling mendukung, modal sosial membutuhkan kualitas proses komunikasi
yang baik dan efektif begitupun sebaliknya komunikasi antarbudaya
membutuhkan modal sosial untuk kelancaran proses komunikasi tersebut.
Modal sosial pada saat ini sudah menjadi suatu konsep yang menjadi perhatian
khusus di kalangan ilmuan maupun para ahli. Peranan dan kedudukan modal
sosial dalam aktifitas keseharian masyarakat juga telah dikaji secara lebih
intensif oleh para ahli dari berbagai sudut pandang keilmuan antara lain dari
perspektif agro-eco system, ekonomi, sosiologi, politik, antropologi dan
psikologi [19]. Selanjutnya Georgi (dalam Subejo 2004) juga menyimpulkan
bahwa social capital termasuk didalamnya individual talents, the accumulated
knowledge of society, and society’s forms of interaction, organization and
culture.
Secara tidak disadari, manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan
mengandalkan modal sosial. Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas
etnis yang ada di Salatiga yang selalu berusaha untuk mengandalkan modal
sosial untuk bisa Survive.modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks
komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh,
maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial termasuk
elemen-elemen- didalamnya seperti kepercayaan (trust), jaringan (networking)
sering terjadi dikalangan masyarakat luas. Dua tokoh utama yang
mengembangkan konsep modal sosial adalah Putnam dan Fukuyama. Mereka
memberi definisi modal sosial yang penting. Putnam mengartikan modal sosial
sebagai
penampilan
organisasi
sosial
seperti
jaringan-jaringan
dan
kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi
380
keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan
yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas7
Tabel definisi modal sosial dari para ahli (Subejo 2004 : 79)[20]
Sumber
Pengertian dan Elemen Dasar dari Social Capital
Bourdieu
The aggregate of the actual or potential resources which
(1986)
are linked to possession of a durable network of more
or
less
institutionalized
relationships
of
mutual
acquaintance and recognition – or in other words, to
membership of a group – which provides each of its
members with the backing of the collectively-owned
capital.
Coleman
Social capital consits of some aspects of social
(1988)
structures, and they facilitate certain actions of actors.
Putnam (1993)
Features of social organization, such as trust, norms (or
reciprocity), and networks (of civil engagement), that
can improve the efficiency of society by facilitating
coordinated actions.
7
Spellberg dalam makalah modal sosial dan kebijakan publik karya Edi Suharto, PhD
381
Narayan
The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust
(1997)
embedded in social relations, social structure and
society’s institutional arrangements which enable
members to achieve their individual and community
objectives.
(Aturan, norma-norma, kewajiban, hal timbal balik dan
kepercayaan ditempelkan dalam hubungan sosial,
struktur sosial dan pengaturan kelembagaan dalam
masyarakat memungkinkan anggota untuk mencapai
sasaran hasil masyarakat dan individu mereka).
World Bank
Social capital refers to the institutions, relationships, and
(1998)
norms that shape the quality and quantity of a society’s
social interactions.
Uphoff (1999)
Social capital can be considered as an accumulation of
various types of intangible social, psychological,
cultural, institutional, and related assets that influence
cooperative behavior
Dhesi (2000)
Shared knowledge, understandings, values, norms, and
social networks to ensure the intended results
Dengan melihat definisi-definisi diatas maka penulis ingin mendefinisikan
modal sosial merupakan “Instrument” (alat) untuk mencapai tujuan bersama
yaitu tujuan yang saling menguntungkan antara dua atau lebih pihak yang
terintegrasi didalam proses interaksi sosial, serta mampu membangun norma
382
dan nilai-nilai dalam proses tersebut, dan hal ini dilakukan dengan kesadaran
yang sungguh-sungguh. Sehingga terdapat empat elemen utama dalam modal
sosial yaitu norms, reciprocity, trust, dan network. Keempat elemen tersebut
berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kerjasama untuk mencapai
hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang
melakukan kerjasama maupun kelompok secara kolektif. Dari keempat elemen
diatas, sangat merangsang alur berpikir penulis bahwa untuk menjalankan
modal sosial perlu dipertimbangkan mengenai aspek Sharing. Sebenarnya
istilah ini merupakan istilah lanjutan dari empat elemen diatas yang sudah
masuk pada tataran implementasi.
Setelah melihat dan merenungkan konsep-konsep diatas maka penulis ingin
melihat pada situasi empirik mengenai modal sosial yang juga terjadi pada
komunitas-komunitas etnis yang berada di Salatiga. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, konflik sangat dekat dengan eksistensi dari komunitas
etnis dan selalu merupakan proses pembelajaran bagi setiap anggota yang
terlibat dalam konflik tersebut. Namun yang menjadi unik dalam proses sosial
ini adalah setiap konflik yang terjadi, dapat terselesaikan dengan baik dan
relatif cepat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang mungkin relevan
untuk menjawab pertanyaan ini adalah adanya modal sosial yang telah
dibentuk dan dihayati hingga dipahami secara bersama oleh pihak-pihak yang
bertikai8.
Masih teringat ketika terjadi perkelahian massa antara Komunitas etnis Ambon
(Hipma) dan Komunitas etnis Timor (Ikmasti) pada bulan September tahun
2008 dimana menyebabkan kerusakan fasilitas umum (jalan), fasilitas pribadi
(pengrusakan mobil) dan korban luka-luka (Ambon 1 orang & Timor 1 orang).
Pertikaian ini terjadi di sekitar Jl. Turen kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan
Salatiga kota Salatiga. Aparat keamanan dalam hal ini kepolisian bertindak
sebagai penegak hukum turut berusaha dalam proses penyelesaian konflik
8
Olahan penulis berdasarkan pengamatan lapangan
383
tersebut. Namun berdasarkan pengamatan penulis justru proses penyelesaian
dilakukan secara kekeluargaan dan dengan memanfaatkan elemen-elemen
dalam modal sosial yaitu:
1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk
menyelesaikan masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan
tindakan negosiasi yang dilakukan tanpa campur tangan pihak
kepolisian. Pihak kepolisian hanya bertindak sebagai fasilitator bukan
sebagai mediator sebab yang menjadi mediator adalah dua komunitas
etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya rasa “bagian dari”
suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan adalah rasa bahwa
kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia Timur.
Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang terjadi
bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut
tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang
merupakan syarat berdirinya masyarakat modern.
2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah
pihak yang bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi
yang cepat. Dan mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku
dalam jangka waktu yang sangat panjang (beberapa tahun kedepan
ketika sudah kembali ke kampung halaman masing-masing ataupun
menetap di Salatiga dan sekitarnya.
3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang
di bagi adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan
adanya rasa saling terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor
yang sangat vital dalam proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua
komunitas etnis tersebut.
Secara inheren modal sosial mengandung social sense. Hampir semua bentuk
social capital terbentuk dan tumbuh melalui gabungan atau kombinasi tindakan
dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain atau pelaku memiliki
384
konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau group. Sehingga hal
tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti dikemukakan
oleh Dhesi [21] bahwa modal sosial bukan merupakan private property dari
orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini hanya akan muncul dan tumbuh
kalau dilakukan secara bersama (shared). Sehingga modal sosial bisa
dikatakan sebagai property dari public good. Social capital akan tumbuh dan
semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan sebaliknya akan
mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan dan
kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.
Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari generasi
ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi. Pewarisan
modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu proses
adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini
akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi
yang berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun
kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati
bersama antar pelaku kerjasama. Proses yang panjang ini pun sudah dialami
oleh komunitas etnis yang telah berdiri sekitar tahun 1970an. Konflik menjadi
tujuan utama dan umpan balik dari proses komunikasi yang terjadi antar
komunitas etnis sehingga hal inilah yang membuat penulis merasa perlu
dilakukan suatu penelitian mendalam. Dan ketika melakukan beberapa
wawancara dan observasi seperti yang disajikan. Perkelahian menjadi tujuan
pokok dan umpan balik yang diharapkan bahkan di impi-impikan dan dibangun
diatas landasan strategi komunikasi yang harmonis.
Komunitas etnis yang sudah lama berdiri ini pun secara alamiah telah
mengalami berbagai macam persoalan baik internal maupun eksternal dan
mengalami proses evolusi yang cukup bervariasi dalam rentan waktu tersebut.
Proses komunikasi antar budaya yang telah terjadi selalu didasari dan
dibangun diatas kokohnya modal sosial sehingga menimbulkan situasi
transaksi sosial di kalangan tersebut.
385
Agar lebih memahami peran modal sosial dalam komunikasi antar budaya
maka berikut adalah gambar atau bahan yang coba di buat oleh penulis
berdasarkan hasil pengamatan di lapangan.
G. PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI SALATIGA
Nilai-Nilai Agama
Nilai-Nilai UKSW
Modal Sosial
Trust
Sharing
Transaksi sosial
Network
Proses Komunikasi
Antarbudaya
Komunitas etnis
Ambon
Komunitas etnis
Timor
386
Resolusi konflik
Diagram 8
Proses Komunikasi Antarbudaya di Salatiga
Sumber : Richard G. Mayopu
Nilai-nilai agama dalam komunitas etnis dan nilai-nilai Universitas Kristen
Satya Wacana menjadi dua sumber kuat terbentuknya modal sosial di
kalangan anggota komunitas etnis. Sebagian besar anggota komunitas etnis
Timor maupun Ambon beragama kristen baik Kristen Katholik maupun Kristen
Protestant. Nilai-nilai agama yang paling berperan penting dalam proses
komunikasi antar budaya hingga bermuara pada resolusi konflik adalah Kasih.
Kasih adalah suatu konsep kekristenan yang selalu dipakai oleh umat nasrani
untuk menyatakan kepedulian terhadap Tuhan yang diwujudnyatakan dalam
interaksi dan komunikasi sehari-hari terhadap sesama manusia. Penulis pun
merasa cukup terharu ketika mewawancarai salah seorang informan yang
pada konflik tahun 2008 mengalami luka parah (patah Tulang Hidung) yang
sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Salatiga. Pemuda ini memiliki
perawakan yang tegap, tinggi, berambut tipis, berasal dari Tual Maluku,
bernama Michael. Kepada penulis ia menceritakan kisah perkelahian yang
mengakibatkan luka parah tersebut secara detail. Pada waktu itu sekitar bulan
september tahun 2008, ia berencana melakukan perkelahian duel dengan
seorang anak Kupang yang bernama Ando, namun ketika sedang berkelahi,
tiba-tiba ia dilempar oleh orang yang diduga teman Ando yang merasa tidak
terima Ando dipukul jatuh pada saat itu. Lemparan itu tepat mengenai
hidungnya dan batu yang digunakan cukup besar berukuran sekitar
387
segenggam tangan orang dewasa. Seketika hidungnya berdarah dan harus
dilarikan kerumah sakit. Sekitar dua minggu ia dirawat dirumah sakit.
Inilah cerita singkat kejadian tersebut, yang mengherankan adalah proses
penyelesaian masalah ini tidak diselesaikan secara hukum pidana, padahal
Berita Acara Perkara sudah dibuat di Kepolisian Resort Kota Salatiga, justru
proses penyelesaiannya adalah Ando datang menghampiri Michael di depan
Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Mandiri di dalam Kampus UKSW dan
meminta maaf kepada Michael dan sejenak Michael pun langsung memaafkan
Ando dan teman-temannya atas perbuatan mereka. Penulis pun bertanya
kepada Michael :
“Penulis :Bu,,, Kanapa Bu Kase Maaf Ando????
Michael :bagini ardy,,,,namanya katong orang Kristen,
masa Orang su datang minta maaf baek-baek trus katong
seng kase maaf???katong orang Kristen pung Kasih seng
Boleh munafik, kalo orang datang minta maaf ya katong
kase maaf,,, apa lai ini masalah kan su abis, seng usah
ungkit-ungkit lai,,,yang pasti beta tulus,,,,,”9
(Penulis : Kakak, Mengapa kakak memaafkan Ando???
Michael : Ya Kita kan Orang Kristen, ketika ada orang yang
datang dan meminta maaf atas kesalahannya patutlah kita
memberi maaf. Kasih dalam ajaran kristen adalah tidak
munafik, sehingga jika ada orang yang datang dan meminta
maaf,maka berilah maaf buat dia. Disamping itu masalah ini
kan juga sudah selesai jangan diungkit lagi, yang pasti saya
tulus mengambil tindakan ini).
9
Wawancara dilakukan dengan Sdr Michael di Delik cafe
388
Inilah sumber modal sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimana
kasih yang menjadi nilai kristiani menjadi landasan secara spiritual untuk
diwujudkan dalam interaksi dan komunikasi dengan sesama anggota
komunitas maupun orang-orang diluar komunitas etnis tersebut. Dengan m
elihat kutipan wawancara dengan Michael diatas maka penulis ingin
menjelaskan bahwa tidak semua persoalan tindak pidana diselesaikan di
depan hukum, namun juga bisa diselesaikan oleh pelaku dan korban itu sendiri
dalam suatu forum yang informal dan fleksibel.
Dengan melihat peristiwa ini bisa ditarik suatu pemahaman dimana modal
sosial sangat memberikan kontribusi positif dalam upaya resolusi konflik.
Modal sosial yang dimaksud adalah Trust. Adanya suatu kepercayaan dalam
diri pelaku konflik memberikan “angin segar” disaat yang tepat dan disaat yang
dibutuhkan sehingga proses penyelesaian konflik pun datang tanpa diduga
yaitu di lokasi yang tidak ditentukan, waktu yang tidak ditentukan dan tanpa
peran khusus dari perantara atau mediator. Dan harus diingat juga bahwa
dalam situasi ini, kerelaan untuk saling memaafkan merupakan dasar dari rasa
saling percaya tersebut. Rela unuk mengakui kesalahan dan rela untuk
memaafkan dengan segala kerugian baik materil maupun non materil yang
sudah di terima oleh kedua belah pihak. Selanjutnya modal sosial yang
terdapat dalam penelitian ini adalah Networking. Jaringan juga memiliki
peranan penting dalam dalam upaya resolusi konflik. Dalam kasus Sandro dan
Michael yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebenarnya kedua orang ini
sudah menjalin suatu hubungan pertemanan yang cukup lama sejak Tahun
2005 dimana saat itu adalah saat awal mereka bertemu dalam ruang kuliah
dan jaringan hubungan pertemanan sudah dimulai. Sehingga rasa saling
mengerti, saling percaya dan saling memaafkan pun dengan mudah bisa
dilakukan (perdamaian).
Dalam konteks komunikasi antar budaya yang terjadi pada komunitas etnis di
Salatiga jaringan ini sebenarnya mampu dibangun dengan baik khususnya
bagi komunitas etnis yang beranggotakan anggota yang berasal dari luar Jawa.
389
Disadari atau tidak namun hal ini menjadi suatu perekat hubungan antar etnis
di Salatiga. Sebagian besar anggota komunitas yang berasal dari luar Jawa
secara tidak langsung secara dominan akan mencari teman ataupun sahabat
yang berasal dari daerah asal yang sama. Misalnya orang Timor akan mencari
teman atau sahabat yang berasal dari Timor baru setelah itu ia mencari
sahabat dari daerah lain seperti Papua, Sumba, Sulawesi, Kalimantan,
Sumatra. Orang Jawa akan menjadi “pilihan terakhir” bagi orang Timor untuk
di jadikan Sahabat atau teman. Oleh karena itu dalam kaitan dengan resolusi
konflik antar etnis, jaringan sudah dibangun dan dibentuk sedemikian rupa
sehingga menjadi “senjata” untuk meredam konflik.
Peran nilai-nilai dalam komunikasi antar budaya di Salatiga ini menjadi penting
dan harus diketahui pula dalam kondisi apa nilai-nilai tersebut bisa digunakan
secara efektif untuk membuahkan situasi yang damai dan dalam kondisi apa
nilai-nilai tersebut menjadi tidak berfungsi. Jawaban yang tepat menurut
penulis berdasarkan hasil temuan lapangan dan proses analisis, nilai-nilai
tersebut akan berfungsi ketika mampu dikomunikasikan dengan baik.
Komunikasi menjadi suatu tool yang digunakan untuk resolusi konflik. Dilain
sisi jika nilai-nilai tersebut tidak ditransfer melalui proses komunikasi dengan
baik maka nilai-nilai tersebut tidak akan berguna dan berfungsi. Proses
komunikasi didalam komunitas etnis bisa dilakukan dengan cara-cara yang
sederhana seperti memanfaatkan Moment. Moment yang ada misalnya Natal
Bersama Komunitas etnis, Malam keakraban atau yang sering di sebut Makrab
etnis, Paskah etnis, Ekspo Budaya UKSW, adalah kesempatan untuk
melakukan proses komunikasi antar etnis tersebut dengan cara mengundang
komunitas etnis yang lain untuk turut berpartisipasi secara aktif (bukan
formalitas) sehingga seluruh rangkaian kegiatan yang mempunyai maknamakna kebersamaan dapat tersampaikan secara efektif kepada komunitas
lainnya. Proses komunikasi yang baik dan efektif diharapkan mampu
membuahkan hasil yang positif.
390
Selanjutnya sumber modal sosial adalah penanaman nilai-nilai “Satya
Wacana” terhadap para pelaku konflik yang notabenenya adalah para
mahasiswa yang sedang menjalani studi di Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam mengenai nilainilai “Satya Wacana”, perlu diketahui dan dipahami bahwa kehadiran UKSW
adalah untuk mengakomodir dan mencetak tenaga pengajar kristen dalam
rangka mengisi kekosongan tenaga pengajar seperti guru ke seluruh indonesia
dengan berlandaskan Iman Kristiani. Dari pidato O. Notohamidodjo pada
pembukaan peresmian Universitas Kristen Satya Wacana pada Tahun 1959
nampak bahwa beliau sejak berdirinya PTPG pada Tahun 1956 sudah melihat
perlunya suatu universitas kristen yang menyiapkan tenaga-tenaga kader
untuk gereja dan masyarakat. Dari ucapan-ucapan serta pahamnya nampak
pengaruh dari gagasan-gagasan tinggi Dr. Abraham Kuyper pendiri Vrije
Universiteit di Netherland sebagai suatu perguruan yang beralaskan iman
kristen. Dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,Satya
Wacana nampak menonjol terutaman dalam corak keunikan “Indonesia Kecil”.
Sebanyak 19 Sinode gereja-gereja ditanah air dari Nias sampai Irian jaya
mendukungnya sehingga para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah
dan berbagai suku hadir dalam kampus Satya Wacana10.
Berangkat dari hal tersebut maka sudah bisa dipastikan bahwa penanaman
nilai-nilai kristiani sangatlah kental dan ditanamkan pada setiap civitas
akademika termasuk mahasiswa. Proses penanaman nilai-nilai kristiani ini
secara tidak diduga kemudian merasuk hingga kedalam tubuh komunitas etnis
seperti Ambon dan Timor sehingga untuk mewujudkan dan menampakkan
nilai-nilai kristiani tersebut maka kedua komunitas etnis ini menggelar kegiatan
kebaktian persekutuan (Ibadah) yang dilaksanakan setiap minggu atau setiap
bulan. Kebaktian persekutuan ini memang hanyalah suatu ritus yang sudah
menjadi tradisi dalam komunitas etnis namun dengan adanya kegiatan ini
10
Kreatifitas Yang Bertanggung Jawab Kumpulan Pidato dan Karangan Dr. Notohamidjodjo
S.H. Bagian pertama Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas-ikip kristen Satya
Wacana 1973 hal : Xii
391
membuat suasana kekeluargaan dan keakraban menjadi hangat sebab
dibangun berlandaskan iman kristiani sehingga forum tersebut juga digunakan
sebagai suatu ajang pertemuan antar anggota komunitas. Dengan melihat hal
diatas maka nilai-nilai kristiani yang muncul adalah nilai kekeluargaan dan nilai
saling mengasihi atau kasih.
Nilai-nilai Satya Wacana yang kemudian dimaksudkan adalah suatu toleransi
antar suku bangsa yang sangat beragam di dalam wadah kampus tersebut.
Indonesia mini adalah slogan yang selalu dielu-elukan oleh pengurus ataupun
pejabat-pejabat kampus ini sebab keberagaman manusia di dalam kampus ini
diklaim berasal dari Sabang sampai Merauke. Bhineka Tunggal Ika yang
artinya adalah walaupun berbeda-beda tapi tetap satu memiliki makna yang
sangat luas, salah satu maknanya adalah walaupun berbeda suku bangsa,
etnis, ataupun ras sekalipun namun bangsa ini tetap satu dengan tidak
menghilangkan perbedaan tersebut. Secara fisik jika dilihat dan diamati
perbedaan sangat mencolok berkaitan dengan warna kulit, “semakin ke barat
semakin putih sebaliknya semakin ketimur semakin hitam”, namun ungkapan
ini
sejatinya hanya merupakan ungkapan spekulatif sebab jika melihat
kenyataan di lapangan di wilayah Indonesia Timur pun banyak etnis yang
memiliki warna kulit yang putih seperti etnis Minahasa (Manado) di pulau
Sulawesi dan kenyataan inilah yang menjadi suatu nilai keberagaman yang
hakiki dari bangsa ini.
Sedikit beralih dari ciri fisik ke sifat dan karakter, maka akan ditemui juga
keberagaman karakter yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa
setiap derah kesukuan dan etnis terdapat karakter yang berfariasi seperti orang
dari kawasan Indonesia Timur berkarakter tegas dan pemberani, hal ini juga
ditemukan pada orang-orang dari kawasan Indonesia bagian barat seperti
orang Batak yang juga pemberani dan berkarakter tegas tidak pandang bulu.
Jika ditarik benang merahnya kedalam kehidupan ke-Satya Wacanaan, semua
karakter yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya sering ditemui
di dalam kampus tersebut.
392
Salah satu bentuk pananaman nilai keberagaman yang sangat baik yang
sudah dilakukan oleh kampus tersebut jika ditinjau dari perspektif komunikasi
antar budaya adalah diadakannya kegiatan ekspo budaya atau pentas seni dan
budaya mahasiswa 11 yang diikuti oleh seluruh komunitas etnis yang ada di
Salatiga dengan cara menampilkan keragaman budaya dari daerah masing
masing seperti tari-tarian, musik dan lagu daerah, cerita rakyat derah, kuliner
daerah, bahkan tidak menutup kemungkinan dari para peserta untuk
berkolaborasi dengan komunitas etnis yang lain. Tarian kolaborasi menjadi
salah satu icon untuk melunturkan stereotip dan etnosentrisme dari masingmasing etnis terhadap yang lainnya sebab di dalam proses ini kedua anggota
etnis dikondisikan untuk lebih saling mengenal dan mengtahui tradisi dan
budaya dari masing-masing daerah. Nilai-nilai inilah yang menjadi landasan
modal sosial diantara komunitas etnis sehingga proses resolusi konflik menjadi
terbantukan dan mampu dilaksanakan dengan sangat baik.
Selanjutnya nilai-nilai Ke-Satya Wacanaan yang bisa ditemui dan diamati
adalah nilai kekeluargaan. Nilai kekeluargaan ini merupakan suatu harapan
yang sangat besar dari pendiri sekaligus Rektor pertama Universitas Kristen
Satya
Wacana
Bpk.
Dr.
O.
Notohamidjodjo.
Dalam
menjalankan
kepemimpinannya beliau cenderung menerapkan sistem kewibawaan yang
bersifat karismatik ditambah rasionalisme Barat. Diperkaya dengan ajaran
kasih Kristus dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman 12 [22]Oleh
karena itu dalam meresolusi konflik internal maupun eksternal lebih senang
menggunakan pendekatan kekeluargaan. Dan Nilai-nilai kekeluargaan ini pun
11
Expo Budaya/pentas seni dan budaya Universitas Kristen Satya Wacana sudah ada sejak
Universitas ini didirikan. Tujuan dari program kegiatan ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai
nasionalisme dan pluralisme dan memberikan pesan kepada bangsa ini mengenai pentingnya arti
kebinekaan, hal ini disampaikan langsung oleh Pdt. Prof John A. Titaley Th.D selaku Rektor
Universitas Kristen Satya Wacana periode 2010-2014 pada acara Sarasehan pada Tgl 18 Mei
2011.
12
Kutipan Wawancara yang dilakukan oleh Trifosa W & Izak Lattu terhadap Bpk Usadi
Wiryatnaya seorang kerabat dari Bpk O. Notohamidjodjo yang menyaksikan secara langsung
mengenai pikiran-pikiran Beliau. Kutipan wawancara ini dibuat dalam rangka untuk menerbitkan
buku peringatan 50 tahun (30 November 2006) berdirinya UKSW dengan mengambil Tema
MEMPERTEGAS IDENTITAS CREATIFE MINORITY.
393
masih sering ditemui didalam komunitas-komunitas etnis yang sebagian besar
anggotanya adalah mahasiswa Universitas Kirsten Satya Wacana.
Selanjutnya Bpk Richard Mauli Souboan Gultom menambahkan mengenai
Nilai-Nilai UKSW yang dituangkan dalam Visi dan Misi UKSW adalah Kekristenan dan Ke-Indonesiaan. Ke-kristenan sudah dimanifestasikan sejak
awal berdirinya UKSW dalam berbagai bentuk diantaranya : Kebaktian Senin
pagi, rata-rata ada pembacaan Alkitab dan berdoa sebelum kuliah (tidak ada
aturan tertentu tentang hal ini). Selanjutnya Ke-indonesiaan juga sudah
nampak di Kampus ini seperti berbagai orang dari berbagai suku dan agama
sudah berkuliah di kampus ini sejak awal berdirinya hingga saat ini. Dua hal
ini juga merupakan nilai-nilai yang luhur yang dimiliki oleh Universitas Kristen
satya wacana yang kemudian termanifestasi secara tidak disadari kedalam
komunitas etnis di Salatiga.
VI. KESIMPULAN
Setelah melakukan proses penelitian ini maka sampailah pada kesimpulan
yang menurut penulis sangatlah mengherankan. Setiap
komunikasi yang
selalu dilakukan dangan cara yang baik-baik dalam proses komunikasi itu
sendiri ternyata bertujuan untuk membangun suatu suasana konflik bahkan
hingga pada titik dimana konflik tersebut relatif sulit untuk di selesaikan. Namun
satu hal yang menarik dari penelitian ini adalah dimana modal sosial sangat
berperan penting dalam menyelesaikan konflik komunikasi yang terjadi.
Temuan yang pertama berkaitan dengan noise, feedback atau destination
adalah bahwa rasa etnosentrisme, stereotip dan prasangka menjadi gangguan
yang sangat tinggi dalam proses komunikasi antar budaya itu sendiri,
sementara feedback atau destination dari proses komunikasi antarbudaya
tersebut adalah konflik. Walaupun proses komunikasi dibangun diatas
landasan suasana yang harmonis namun dalam kenyataannya, konflik menjadi
tujuan akhir yang sangat di impi-impikan oleh komunitas etnis Timor maupun
komunitas etnis Ambon.
394
Dengan demikian maka penelitian ini memberikan sedikit pemahaman yang
tidak seperti pemahaman pada umumnya dimana komunikasi selalu bertujuan
untuk menghasilkan suatu hubungan yang harmoni, namun sebaliknya juga
memiliki tujuan untuk menciptakan
konflik,
meskipun
berkomunikasi menciptakan sebuah interaksi yang harmoni.
dalam
proses
395
DAFTAR PUSTAKA
[1] Rogers Everett M, William B. Hart Yoshitaka Mike, Edward T. Hall and The
History of Intercultural Communication: The United States and Japan, Keio
Communication Review No. 24, 2002
[2] Bennett, Milton, J. Intercultural communication: A current perspective. In
Milton J. Bennett (Ed.), Basic concepts of intercultural communication:
Selected readings. Yarmouth, ME: Intercultural Press. 1998
[3] Mulyana Deddy, Rakhmat Jalaludin, Komunikasi Antar Budaya , Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung PT. Remaja
Rosdakarya 2003
[4] Mufid Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta Kencana 2009
[5], [11] Soekanto Soerjono, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta 1984
[6] Liliweri Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta
PT. LkiS Pelangi Aksara , 2007
[7] Bartos J. Otomar, Paul Wehr, Using Conflict Theory , Cambridge
University Press 2002.
[8] Widiarto Tri, Pengantar Sosiologi, Salatiga Widya Sari Press, 2003
[9] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta PT Rineka Cipta
2003
[10] Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar , Yayasan Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta 1974
396
[12] Samovar Larry A. (San Diego Stare University) & Porter Richard E.
(California Suire University, Long Beach, Emeritus) Intercultural
Communication A Reader 10th Edition, USA 2003:
[13], [14] Rogers Everet M., Difusion Inovation, Rev. ed. of: Communication of
innovations. 2nd ed.. The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co.,
Inc. New York 1983
[15] John F. Dovidio, Peter Glick, and Laurie A. Rudman, On the Nature of
Prejudice Fifty Years after Allport , by Blackwell Publishing Ltd 2005
[16] Gerungan W. , Psychology Sosial, P.T. Eresco Jakarta-Bandung 1978
[17] Sarwono W. Sarlito & Meinarno A. Eko, Psikologi Sosial, Jakarta Penerbit
Salemba Humanika 2009
[19] Boeree, George, Dasar-dasar Psikologi, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta
2006
[19], [20], [21] Subejo, The Role Of Social Capital In Economic Development:
An Introduction to Study on Social Capital in Rural Indonesia ©Artikel dalam
Jurnal Agro Ekonomi Vol.11. ( Hal 77-86) No.1 Juni 2004
[22] Rupidara Neil, UKSW 1956-2006 Mempertegas Identitas Creative
Minority, Satya Wacana University Press, Salatiga 2006
397
Download