telaah pemikiran epistemologi ilmuwan muslim kontemporer

advertisement
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
TELAAH PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI ILMUWAN MUSLIM KONTEMPORER:
PERSPEKTIF INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA.
Dr. Mulyadi Hermanto Nst
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan
Jl. St. Mohd. Arief No. 32 Padangsidimpuan 22716
[email protected]
Abstract
Reconstruction Epistemology Islamic Contemporer. Secularization of science, dichotomy of
knowledge, and degradation of islamic knowledge in the modern era had stimuled some intelectual
discources in indonesia Moslem intellectual community. They have payed affention to reconstruct
integrally the paradigma of islamic knowlegde in medern era. At least, in this context, there are three
types of integration of islamic knoelgde in discources of muslim intellectual in Indonesia, such as:
revitalism-integrative, interconnective-integrative, and transformative-integralistic. Nevertheless,
these intellectual efforts had been on going process and formation in order to find the ideal model
of islamization of knowledge that are compatible to islamic, modernism, and indonesian velues.
PENDAHULUAN
Ada sejumlah istilah yang sering digunakan oleh para sarjana Muslim terkait dengan gagasan islamisasi
ilmu pengetahuan, yaitu “islamisasi ilmu”, “islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer”, “islamisasi ilmu
pengetahuan modern”, “islamisasi disiplin”, dan “naturaliasi ilmu”. Berbagai istilah itu pada umumnya
mengarah kepada upaya menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai paradigma atau pandangan dunia (world
view) berbagai bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern yang sekuler.
Artinya, ilmu-ilmu kealaman (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu humaniora
(humanities) harus diberi landasan legitimasi wahyu. Jadi, rekontruksi sains dan teknologi berangkat dari
konteks ke teks (wahyu), sebagaimana diusung oleh S.M. Naquib al-Attas, S.H. Nasr, C.A. Qadir, Ismail Razi
al-Faruqi, Mulyadhi Kartanegara, dan lain-lain.
Namun, bagi sebagian pihak, islamisasi ilmu pengetahuan tidak lebih dari sekedar ideologisasi keislaman
di bidang ilmu pengetahuan zaman modern yang diklaim bersifat sekuler. Tanggapan seperti ini dikemukakan
oleh berbagai intelektual muslim, seperti: Fazlur Rahman, Muhsin Mahdi, Abdussalam, Abdul Karim Soroush,
dan Bassam Tibbi.
Dalam pandangan Fazlur Rahman, misalnya, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada
yang salah di dalamnya. Persoalan yang sering muncul hanyalah dalam penggunaannya, ilmu pengetahuan
layaknya “senjata bermata ganda” yang harus digunakan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Ringkasanya, ilmu tidak memiliki urusan dengan pandangan hidup yang melatarbelakanginya, sebab
kebenaran ilmu tidak memerlukan finalitas atau keyakinan. Abdus Salam mengemukakan, bahwa hanya ada
satu sains yang berlaku secara universal, problem-problem dan modalitas-modalitasnya juga bersifat universal,
sehingga tidak dikenal sains berkategori agama tertentu. Jadi, menurutnya, tidak ada sains Islam, Hindu,
Yahudi, dan Kristen.
Islamisasi ilmu pengetahuan dalam konteks keindonesiaan zaman modern, ditandai dengan bergulirnya
“Proyek Pembangunan Intelektualisme Islam dengan berbagai formulasi dan variasinya. Namun, pada
umumnya, kelompok intelektual muslim Indonesia tidak terlalu menaruh perhatian yang serius atau bahkan
menafikan perlunya islamisasi ilmu pengetahuan. Sebab, kebanyakan dari mereka memandang ilmu
pengetahuan bersifat objektif dan berlaku universal sehingga tidak ditemukan perbedaan antara ilmu
pengetahuan di dunia Barat dan di dunia Islam. Bagi mereka islamisasi ilmu pengetahuan sama artinya dengan
ideologisasi agama terhadap ilmu pengetahuan, padahal menurut mereka ilmu pengetahuan sifatnya harus
netral dan bebas nilai.
Berbeda dengan pandangan mereka terhadap sedikit intelektual Muslim Indonesia yang memberikan
perhatian cukup serius terhadap gagasan islamisasi ilmu pengetahuan. Di antaranya, Kuntowijowo, misalnya,
mengedepankan gagasan “Paradigma Islam/Ilmu Sosial Profetik”, Kadir menggagas “Paradigma AmaliIlmu
Islam Terapan”, Abdullah mengemukakan “Paradigma Historisitas-Normalivitas Intergalistik-Interkonektif”
dan Kartanegara menggagas “Revitalisasi Keilmuan Klasik atau Renaisans Ketiga”, dan lain-lain. Mereka
141
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
memberikan respons secara filosofis tentang pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan dengan corak pemikiran
variatif.
Para intelektual Muslim Indonesia menggunakan pendekatan, model analisis, dan gagasan-gagasan atau
langkah-langkah strategis yang relatif berbeda dalam upaya melakukan islamisasi ilmu pengetahuan.
Kartanegara, misalnya, berdasarkan studi kritisnya terhadap sejarah perkembangan keilmuan di dunia Barat
Modern, dia berkesimpulan bahwa secara filosofis-etis dunia Barat tidak saja telah melakukan sekularisasi dan
dikotomi ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih daripada itu secara teologis telah melakukan kekafiran terhadap
Tuhan.
Fenomena ini, menurutnya, berdampak terhadap pemisahan antara ilmu dari agama. Sekalipun tidak
seluruh intelektual Barat sependapat dengan mereka, namun pengaruh para ilmuan sekuler ini masih sangat
besar dan menentukan, sehingga dipandang sebagai tantangan dan ancaman terhadap sistem epistemologi
Islam. Terutama dalam kaitannya dengan sumber ilmu pengetahuan, dan bahkan sistem teologis Islam.
Penolakan ilmuan sekuler terhadap entitas metafisik berdampak pada pengukuhan pengalaman empirikinderawi sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan dan sebaliknya penafian akal, intuisi, dan wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan. Artinya, validitas sumber-sumber ilmu yang bergantung pada dimensi
metafisik mereka tolak oleh karena tidak punya pijakan logika saintifik-positivistik. Jadi epistemologi sekuler
seperti itu dikaitkan dengan Islam; tentu wahyu ditolak sebagai sumber ilmu yang sah, sehingga seluruh sistem
kepercayaan, teologis, dan mistis-filosofis Islam akan diruntuhkan. Sementara, dalam sistem epistemologi
Islam, pengalaman inderawi, akal, intuisi, dan wahyu merupakan sumber-sumber ilmu pengetahuan.
Tantangan filosofis kontemporer ini, menurut Mulyadhi, jauh lebih radikal dan serius daripada tantangan
yang dihadapi oleh kaum intelektual Muslim zaman al-Ghazali (w.1111), sehingga islamisasi ilmu
pengetahuan harus dilakukan guna memberikan respons filosofis yang sebanding, bahkan lebih baik dan
meyakinkan daripada argumen-argumen mereka. Berkaitan dengan hal ini, beliau mengedepankan sejumlah
gagasan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Revitalisasi Ilmu-ilmu Rasional Zaman Klasik Islam
Sebagaimana halnya al-Attas, Mulyadhi memandang perlu revitalisasi ilmu-ilmu rasional zaman
klasik Islam, guna memberikan jawaban-jawaban filosofis yang seimbang untuk membendung dan
mengkritisi sekularisme ilmu pengetahuan. Menurutnya, upaya itu hanya dapat dilakukan melalui
argumentasi filosofis bukan dogma keagamaan. Konsekuensinya, intelektual Muslim, dalam hemat
Mulyadhi, harus memperkuat kajian filsafat Islam klasik sebagaimana yang ditradisikan oleh dunia Islam
Syiah hingga saat ini. Mulyadhi menginformasikan bahwa di tangan para filsuf Syiah inilah tradisi filsafat
dan ilmu-ilmu rasional dipelihara, diolah, dan dikembangkan secara sistematik. Melalui konservasi dan
pengemgbangan tradisi filosifis dan ilmiah itu, para filsuf Syiah tidak saja mampu membangun sistem
pemikiran filsafat yang besar, kokoh, independen, dan canggih serta mampu menyusun metodologi
filosofis dan sesuai dengan tantangan perkembangan zaman akan tetapi juga mampu merespons,
berdialog, dan bahkan memberikan koreksi konstruktif terhadap pemikiran filsafat Barat modern.
Misalnya, Thabathaba’i dan muridnya Muriadha Myhahari berhasil dengan baik dan jitu dalam berdialog
atau mengkritisi faham Marxisme yang pernah dikembangkan di Iran oleh Partai Tudeh dan sangat
berpengaruh terhadap kaum intelektual muda Iran. Demikian juga Mahdi Ha’ri, seorang profesor filsafat
di Universitas Teheran, ia telah menegaskan bahwa pengalaman mistik merupakan pengalaman objektif
dan bisa dijelaskan secara logis dan bukan sebagai halusinasi sebagaimana yang sering dianggap oleh
para ilmuan sekuler.
Revitalisasi ilmu-ilmu rasional Islam klasik, dalam hemat Mulyadhi memiliki dua kategori tujuan,
secara teoritis dan praktis. Secara teoritis revitalisasi itu bertujuan sebagai berikut. Pertama, untuk
mengenal lebih dekat para filsuf muslim. Kedua, untuk mengetahui berbagai jenis metode ilmiah dan
logis yang mereka gunakan (misalnya, retorik, puitis, dialektik, dan demonstratif) serta tingkat
validitasnya. Ketiga, untuk mengenal lebih jauh ragam kegiatan ilmiah yang mereka lakukan, di bidang
ilmu-ilmu kealaman maupun bidang spekulasi filosofis, dan pengalaman mistik. Keempat, untuk
menggali secara lebih baik ajaran-ajaran metafisik, epistemologis, dan aksiologis termasuk asumsiasumsi dasar tersebut, serta proses evolusi kreatif bangunan filsafat mereka dari yang sederhana sampai
yang paling canggih.
Disamping itu, secara praktis, revitalisasi ilmu-ilmu rasional memiliki tujuan sebagai berikut.
Pertama, melindungi kepercayaan agama dengan dan dalam sebuah benteng filosofis yang dibangun di
atas dasar-dasar logika yang handal. Jadi, revitaslisasi ilmu-ilmu rasional berbeda dengan tujuan proyek
intelektual al-Ghazali (w.1111) bertajuk “al-ihya’ ulum ad-din” (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Jadi
proyek intekeltual al-Ghazali bertujuan untuk menghamtam ilmu-ilmu rasional pada zamannya, maka
142
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
2.
ISBN:978-602-361-048-8
revitalisasi ilmu-ilmu rasional model Mulyadhi bertujuan untuk menguatkan dan melindungi kepercayaan
agama bukan untuk menggugat apalagi menyerang kepercayaan agama dari serangan-serangan filsofis
dan ilmu yang dilancarkan para pendukung filsafat positivisme sekuler.
Integrasi Ilmu Pegetahuan Agama dan Non Agama
a. Integralisasi Interkonektif
Setelah mengkaji berbagai persoalan modernisme seperti: split personality, pluralisme,
anarkhisme, disintegrasi sosial, sikap dan perilaku antarumat beragama dan tuntutan perkembangan
peradaban dunia kontemporer di satu sisi, dan juga mencermati dimensi filosofis dan ilmu-ilmu Islam
klasik dan ilmu-ilmu kontemponer di sisi lain. M. Amin Abdullah senada dengan Ismail al-Faruqi,
menawarkan gagasan integralisasi ilmu pengetahuan secara interkonektil bercorak teoantroposentrik. Artinya, perlu untuk mewujudkan atau mengartikulasikan bentuk pergumulan dan
dialog antara sistem berpikir filsafat Islam kontemporer dengan filsafat Barat kontemporer secara
konseptual.
Gagasan ini didasarkan atas realitas peradaban Islam zaman modern bahwa pertama, ilmu-ilmu
keislaman klasik dipandang kurang siap merespons tantangan pluralisme agama dan budaya; serta
dipertanyakan kcsanggupanuya dalam memberikan jawaban/solusi secara menyejukkan hati dan
lapang dada. Kedua, ‘rasionalitas”, “teori-teori” atau “paradigma” ilmu-ilmu keislaman klasik,
seperti: Ilmu Talsir, Ilmu Hadis, Falsafah, Tasawwut, Kalam, Tarbiyyah, senada dengan M. Arkoun,
perlu didekontruksi relevansinya, oleh karena situasi dan kondisi (ekonomi, politik, sosial, budaya,
iptek) sekarang jauh berbeda dari zaman ketika ilmu-ilmu keislaman klasik tersebut disusun pada
masa lebih dari seribu tahun yang lalu. Ketiga, terkait dengan sikap dan perilaku keberagamaan umat
Islam zaman kekinian. Mengapa umat Islam terkesan lebih mengutamakan sikap dan peritaku
eksklusif? Bagaimana anjuran Alquran sebenarnya, apakah ia lebih mengajak untuk membentuk
sikap eksklusif-absolut atau inklusif-relatil? Apa balas-batas inklusivitas dan eksklusivitas tersebut?
Keempat, dikotomi ilmu pengetahuan, antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan yang
bersumber dari teks. Akibatnya, PTAI yang ada sekarang sama sekali tidak mengenal para ilmuan di
bidang ilmu-ilmu kealaman terlebih-lebih perkembangan metodologinya. Padahal, perkembangan
ilmu-ilmu kealaman dewasa ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang
ada sekarang.
Untuk menjawab dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan tersebut, Abdullah menggunakan dua sudut pendekatan, yaitu: pendekatan filsafat ilmu dan pendekatan kelembagaan
Perguruan Tinggi. Berbeda dengan Kartanegara yang lebih banyak menaruh perhatiannya pada
faktor eksternal, berupa tantangan pemikiran ontologis ilmu pengetahuan zaman modern, Abdullah
lebih memilih menyoroti faktor internal, berupa ketertinggalan ilmu-ilmu keislaman klasik di zaman
modern di bidang epistemologis dan aksiologis sebagai fokus perhatiannya. Menurutnya, aspek
epistemologi dan aksiologi ini penting mendapatkan perhatian serius, mengingat kedua bentuk
falsafah tersebut pada umumnya masih sangat terasa asing bagi komunitas intelektual Muslim,
apalagi mendialogkan keduanya secara intensil.
Secara epistemologis, Abdullah mempertanyakan relevansi ilmu-ilmu keislaman klasik dalam
kaitannya dengan penerapan teori-teori dan metodologi-metodologi ilmiah zaman modern. Lalu,
beliau juga mengkritisi seluruh konstruksi ilmu-ilmu keislaman dan pemikiran Islam klasik yang
menurutnya sangat luas terkait dengan upaya integrasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu nonagama secara interkonektif, terutama di lembaga-lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam di
Indonesia. Dalam pada itu, beliau juga mengkritisi fenomena keterpisahan ilmu-ilmu kealaman
(natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu Imumaniora (humanities), dan ilmuilmu keagamaan (religious studies) antara satu dengan lainnya berjalan sendiri-sendiri dan tanpa
bertegur sapa secara dikotomis-parsial atomistik. Pengetahuan agama, misalnya, berdiri sendiri tanpa
memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umunt dan begitu pula
sebaliknya (single entity). Kalau pun antara satu bidang ilmu dengan bidang ilmu yang lain saling
mengetahui keberadaan rumpun ilmunya masing-masing, akan tetapi keduanya nyaris tidak pernah
saling bersentuhan dan tidak bertegur sapa secara metodologis (isolated entities).
Lebih khusus, dalam pengamatan Abdullah, bidang ilmu-ilmu keislaman sebagaimana yang
diajarkan di PTAIN juga masih berpola dikotomis-atomistik. Artinya, sekalipun masih berada dalam
satu rumpun ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin), akan tetapi dalam praktiknya corak pemikiran
dalam ilmu-ilmu keislaman hampir-hampir tidak pernah akur. Antara satu dengan lainnya tidak
jarang saling mendeskreditkan, tidak saling percaya-mempercayai, saling kafir-mengkafirkan,
143
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
murtad-memurtadkan, dan sekuler-mensekulerkan antarpenganut tradisi epistemologi keilmuannya
masing-masing. Di sisi lain, terdapat pula “tembok pembatas yang sangat tebal” antara keilmuan
umum dan keilmuan agama di fakultas-fakultas PTAIN, baik secara filosofis maupun administratif
pendidikan.
Kerangka teori “trilogi paradigma ilmu-ilmu keislaman” model M. Abid al-Jabiri, Abdullah
menguraikan realitas epistemologi ilmu-ilmu keislaman klasik seperti ilmu Kalam dan Ilmu Fiqh
yang menurutnya sangat didominasi oleh paradigma bayani. Dominasi itu tidak saja menyebabkan
sulitnya upaya dialog dengan paradigma burhani, sebagaimana yang digunakan oleh falsafat, ilmuilmu kealaman, kemasyarakatan, dan kemanusiaan; dan paradigma irfani sebagaimana dianut oleh
ilmu tasawwuf, akan tetapi juga dominasi paradigma bayani telah menjadikan paradigma burhani
dan irfani tersingkir dar panggung sejarah pemikiran Islam. Padahal, menurutnya, paradigma bayani
yang mengandalkan dimensi normativitas-tekstualitas itu tidak dapat diandalkan ketika berhadapan
dengan dimensi historisitas. Pola pikir bayani menghadapi kekakuan dan rigiditas ketika berhadaban
dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat lain yang
berbeda agama, terlebih-lebih menjawab tantangan realitas perubahan sosial. Menyikapi persoalan
keragaman ini, corak berpikir bayani pada ujungnya hanya akan menghasilkan sikap mental
dogmatik, apologetik, dan polemik. Sebab fungsi dan peran akal pikiran manusia, dalam hal ini hanya
untuk mengukuhkan dan membenarkan otontas teks. Kalau pun digunakan, hanyalah dalam
pengertian analogi (qiyas) dan bukan dalam arti silogisme-filosofis. Tugas akal bagi epistemologi
bayani tidak lebih dari sekedar alat pengatur dan pengekang hawa nafsu bukan untuk mencari sebabakibat lewat analisis keilmuan yang akurat. Corak berpikir bayani selalu mencurigai akal, oleh karena
dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Ironisnya, pelaksanaan dan implementasi ajaran teks
dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dipecahkan oleh epistemolegi bayani.
Persoalan lain yang muncul dalam hal ini adalah terdapatnya sejumlah klaim kebenaran yang
berbeda atas pemahaman terhadap teks di kalangan aliran, kelompok atau organisasi keagamaan
tertentu sebagai sesama penganut agama yang sama maupun penganut agama yang berbeda. Guna
mempertahankan pendapat dan pandangannya masing-masing. mereka sering terjebak dalam pola
pikir dialektik (jadaliyah), sebagaimana yang biasa digunakan oleh kalangan fiqaha’ dan mutakallim.
Atas dasar itu, Abdullah menegaskan bahwa jika pola pikir bayani ini terus dipertahankan dalam
pengkajian, sulit dibayangkan akan terjadi pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam menghadapi
persoalan-persoalan kontemporer.
Di samping itu, epistemologi burhani bersumber pada realitas (al-waqi’) terkait dengan alam
semesta, sosial, humanitas, maupun keberagamaan. Epistemologi burhani mengkonseptuatisasi dan
mensistematisasi proses atau hasil pengkajiannya melalui premis-premis logika (al-mantiq) yang
disusun lewat proses abstraksi akal dan pengamatan inderawi yang sahib atau dengan menggunakan
alat-alat tertentu. Di sini, peranan akal sangat menentukan karena fungsinya selalu diarahkan untuk
mencari sebab-akibat terkait dengan peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan, dan
keberagamaan. Dalam hal ini, akal tidak memerlukan teks-teks keagamaan dan bukan pula untuk
mengukuhkan teks, akan tetapi untuk menganalisis dan menguji secara terus-menerus (heruistik)
kesimpulan-kesimpulan sementara atau teori yang dirumuskan lewat premis-premis logika keilmuan.
Epistemotogi burhani biasanya menggunakan pendekatan-pendekatan eksperimentasi, sosiologi,
antropologi, politik, sejarah, dan lain-lain. Oleh karena itu, model penjelasannya pun bersifat
eksplaratif, eksploratif, dan verifikatif.
Dalam pandangan Abdullah, guna menjembatani epistemologi bayani (teks) dan epistemoloqi
burhani (akal), dapat digunakan epistemologi irfani yang menjadikan pengataman langsung secara
batin (direct experience) sebagai sumber ilmu pengetahuan. Epistemologi irfani dapat dijadikan
sebagai alat pengontrol dan alat penyeimbang pemikiran sekalipun epistemologi ini dipertanyakan
keabsahannya oleh karena dianggap terlalu liberal sebab tidak mengikuti pedoman-pedoman yang
diberikan oleh teks dan juga dianggap tidak mengikuti aturan-aturan dan analisis logika. Dalam
hemat Abdullah, epistemologi irfani dalam konteks modern dapat direkontruksi dengan cara
meminjam tradisi pemikiran eksistensionalis di Barat yang mengakui adanya pengetahuan
berdasarkan kesadaran batin (preverbal, prerellective consciousness, prelogical knowledge).
Menurut Abdullah, pengalaman hidup manusia dapat diandalkan dan merupakan pelajaran yang
tidak ternilai harganya. Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam
lubuk hatinya yang terdalam telah dapat merasakan dan mengetahui adanya kehadiran Zat Yang
Maha Suci dan Maha Kuasa. Pengalaman konkrit pahit getirnya konflik, kekerasan, dan disintcgrasi
144
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
b.
ISBN:978-602-361-048-8
sosial dan akibat yang ditimbulkannya dapat dirasakan langsung oleh siapa pun tanpa harus
dipersyaratkan untuk menunggu turunnya atau mengetahui jenis-jenis teks keagamaan. Pengalamanpengalaman batin yang amat mendalam, otentik, dan fitri hampir-hampir tidak terkatakan oleh logika
dan tidak dapat diungkapkan dengan bahasa. Pengalaman otentik ini dapat dirasakan secara langsung
oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya. dan agama yang dipeluknya, tanpa harus
mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika.
Atas dasar itu, corak epistemologi irfani dipercaya dapat mencairkan sekat-sekat formalitas
lahiriah, seperti bahasa, agama, ras, etnik, wama kulit, golongan, kuttur, tradisi, yang diciptakan oleh
tradisi epistemologi bayani dan burhani. Sebab. jika epistemotogi bayani dan epistemologi burhani
membedakan dan memberikan jarak yang tegas antara subjek dan objek secara subjektif, maka pola
pikir irfani memperlakukan hubungan objek dengan subjek secara intersubjektif. Jika epistemologi
bayani dan burhani lebih mengedepankan dimensi eksoteris-eksternalitas, maka epistemolngi irfani
lebih menekankan aspek, batin atau esoteris-spritualistik. Konsekuensinya, epistemologi irlani
diyakini dapat menggiring sikap dan perilaku seseorang siap menerima kebersamaan dalam
perbedaan (unity in difference), toleransi (tolerant), dan kemajemukan (pluralism). Apapun yang
dirasakan oleh suatu pengamat suatu kultur, ras, agama, warna kulit, bangsa tertentu khususnya
dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial keagamaan, mungkin dengan sedikit tingkat
perbedaan, juga dapat dirasakan oleh manusia dalam kultur, ras, agama, warna kulit, dan bangsa yang
lain.
Integralisasi Amali Transformatif
Relatif berbeda dengan fokus perhatian Kartanegara dan Abdullah, Muslim A. Kadir (selanjutnya disebut Kadir), lebih menyoroti Fungsi ilmu pengetahuan secara praktis-pragmatik. Sebab,
menurutnya, pembentukan keberagamaan tidak terhenti hanya pada paradigma bayani (ahkami),
burhani (falsafi), dan irfani (wijdani), akan tetapi juga harus sampai pada paradigma amali.
Pemikiran seperti itu didasarkan atas postulat bahwa ruang lingkup keberagamaan dalam Islam
menjangkau seluruh segi kehidupan kemanusiaan, mencakup: dimensi ruhaniah (kejiwaan), perilaku
individu maupun kelompok, dan bahkan pembangunan tatanan kehidupan masyarakat. Cakupannya
bukan hanya berhubungan dengan persoalan ibadah semata, tetapi juga bidang ekonomi, politik,
sains dan teknologi, seni, budaya, dan lain-lain. Oleh karena itu, paradigma keilmuan dalam Islam
tidak hanya berhubungan dengati aspek ontologis-metafisik akan tetapi juga aspek perbuatan nyata
atau amali.
Di sisi lain, paradigma amali perlu dikembangkan dalam ihwal ilmu pengetabuan, oleh karena
keterbatasan dan kemunduran ilmu keislaman klasik dalam hal ini menjelaskan, menjawab, dan
menyelesaikan masalah-masalah kekinian dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga tidak dapat
berhasil secara maksimal mencapai tujuan risalah kenabian. Ringkasnya, senada dengan Abdullah,
Kadir berpandangan bahwa Ilmu Islam klasik dewasa ini berada pada tahap anomali, padahal ia
sangat diperlukan sebagai produk pikir untuk memahami ajaran wahyu dan cara melaksanakannya,
termasuk mencari solusi dan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini. Oleh
karena itu, sembari mengutip Thomas Kuhn, Kadir menyatakan perlunya upaya merumuskan ulang
ilmu keislaman dalam bentuk paradigma baru bagi perkembangannya, mencakup pandangan dasar,
objek pokok kajian, perspektil umum, dan metode pcmecahan masalah. Kadir menambahkan bahwa
pokok bahasan, perspektif umum, dan metode pemecahan masalah ilmu Islam tidak lagi berhenti
pada norma atau pemikiran spekulatuf, melainkan secara pasti harus menjangkau dimensi terapan
ajaran dalam kehidupan praktis (berdimensi amali). Atas dasar pemikiran seperti itu, Kadir
menegaskan bahwa paradigma Ilmu Islam Amali sebagai ilmu terapan merupakan alternatif tunggal
bagi pemecahan masalah agar Islam masa kini berhasil mencapai tujuan risalah yang kualitasnya
sama dengan masa rasulullah.
Dengan demikian, paradigma amali ini menuntut pergeseran sejumlah aspek epistemologis,
meliputi defenisi, teori, dan sifat produk keilmuan. Sumber ilmu pengetahuannya berasal dari
Alquran dan Sunah, namun materinya berpijak pada universalitas Islam yang belum tereduksi dalam
batasan wang dan waktu tertentu. Ketika berinteraksi dengan kehidupan nyata, ajaran universalitas
itu menjadi bersifat fleksibel. Artinya, jika kehidupan sosial mengalami perubahan, unsur
universalitas itu pun mengizinkan perubahan dalam sebagian aspek kehidupan. Pada tahap ajaran
moral normatil berubah menjadi kenyataan, idealitas berubah menuju faktualitas, dan universalitas
menjadi singularitas. Dalam tahap ini, materi yang semula berasal dari Alquran dan Sunnah menyatu
dengan materi yang berpangkal dari kenyataan konkrit. Jadi, sumber pengertian tentangnya, dalam
145
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
tahapan ini bukan hanya Alquran dan Sunnah melainkan juga kenyataan konkrit keberagamaan orang
beriman.
Dengan demikian, bagi paradigma amali, sumber ilmu hukan hanya wahyu (Islam ideal) akan
tetapi juga realitas konkrit (Islam Iaktual). Konsep dan teori dalam Islam ideal bersifat asasi,
sehingga dapat disebut grand concept (konsep besar) atau grand theosy (teori besar). Islam ideal
disebut bersifat esensial dan besar oleh karena menjadi induk semua bentuk pelaksanaan yang lebih
kecil (Islam Iaktual). Sementara itu, konsep dan teori dalam Islam faktual merupakan wujud konkrit
realisasi Islam ideal dalam kenyataan, sehingga dapat disebut sebagai konsep dan teori empirik. Jadi,
konsep dan teori dalam Alquran dan Sunnah (Islam ideal), demikian Kadir menegaskan, bukanlah
teori tentang keberagamaan orang beriman yang melaksanakan ajaran itu.
Dengan perkataan lain, konsep besar (grand concept) dan teori besar (grand theoty), biasa juga
disebutnya dengan istilah ahkam atau Islam ideal, berasal dari dan Sunnah dapat bergeser ke ranah
empirik sebagaimana dilakonkan oleh masyarakat beriman (Islam faktual). Jika dalam tahap Islam
ideal, unsur-unsur yang terkandung di dalamnya belum terkait dengan kondisi riil ruang dan waktu
tertentu, maka setelah terjadi proses faktualisasi terhadapnya, kondisi wang dan waktu turut
mempengaruhinya. Dalam fase ini berbagai sifat, keadaan, hal ihwal, pelaku, objek kegiatan, corak,
warna, tempat, waktu pelaksanaan dan semua unsur yang berkonotasi singularitas akan turut serta di
dalamnya. Inilah “proses pertajaman” yang harus dilakukan sehingga grand concept atau grand
theory sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Islam ideal itu dapat melahirkan konsep atau teori
secara empirik.
Oleh sebab itu, fase ini menuntut penjelasan sifat hubungan antara fenomena keberagaman yang
satu dengan yang lainnya. Jika Islam faktual menampilkan keberagaman dalam kehidupan beragama
orang beriman, maka teori akan menampilkan prosedur teknis untuk membentuk keberagamaan itu.
Jika konsep menggambarkan tampilan corak singularitas keberagamaan, maka teori akan
menggambarkan proses faktualisasi yang dilewati. Secara aksiologis, jika konsep dan teori empirik
ini dipenuhi, selanjutnya pelaku dapat membentuk dan mewujudkan suatu satuan perilaku
keberagamaan yang lebih besar dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Pada gilirannya, hal ini
berpotensi menentukan tingkat peluang pencapaian tujuan risalah secara ukhrawi dan duniawi serta
sekaligus membuktikan bahwa Islam ideal tidak hanya terbukti unggul atau tinggi (ya‘lu) secara
konseptual atau teoritis kewahyuan, akan tetapi juga secara realitasempirik. Proses berpikir, untuk
menajamkan konsep dan teori dalam argumentasi seperti itu, dapat mengembangkan produk
keilmuan dalam Islam, demikian Kadir menegaskan. Inilah prosedur menemukan suatu teori dalam
paradigma amali.
Paradigma amali yang dikemukakan Kadir, secara esensial senada dengan pandangan
Kuntowijoyo yang beberapa tahun sebelumnya telah mengkonstruksi secara spesifik sebuah konsep
pengembangan Ilmu Sosial berdimensi semangat profetik-keagamaan. Dalam pandangan
Kuntowijoyo, ajaran-ajaran agama harus dielaborasi ke dalam bentuk suatu teori sosial, sehingga
melahirkan Ilmu Sosial Profetik yang memiliki wang lingkup tidak hanya terbatas pada aspek-aspek
normatif yang bersifat permanen, akan tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan
temporal. Tujuannya tidak sekedar bersifat transformatif dengan semangat “mengubah demi
perubahan” semata, akan tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu secara
humanistik-emansipatif, liberatif, dan transendental yang diderivasikan dari misi historis Islam
sebagaimana terkandung dalam ajaran kewahyuan. Oleh karena itu, diperlukan upaya recrientasi
terhadap epistemolog “mode of thought” dan “mode of inquiry”, bahwa ilmu pengelahuan tidak
hanya bersumber dari rasio dan realitas empirik, akan tetapi juga dan wahyu. Pengetahuan
kewahyuan merupakan pengetahuan a-priori yang sekaligus memiliki posisi sabagai salah satu
pembentuk konstruk mengenai realitas empirik, sebab wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang
memberikan pedoman dalam pikiran dan tindakan seorang Muslim. Tegasnya, Alquran sebagai
paradigma ilmu pengetahuan.290
290
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan literasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman
kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Tujuan transendensi adalah menambah dimensi
transendental “pembersihan diri” dalam kebudayaan Kuntowijoyo, “Perlunya Ilmu Sosial Profetik”, dalam paradigma
Islam interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1993), h. 287-289 Kuntowijoyo, “Paradigma al-Quran untuk
Perumusan Teori”, dalam paradigma Islam…, h. 327,331
146
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
Hal ini adalah suatu hal yang lazim di dunia ilmu pengetahuan, betapa tidak bahwa ilmu-ilmu
yang empirik pada gilirannyn tidak jarang menjadi konsep teoritis, maka dimungkinkan konsep
normatif menjadi konsep teoritis. Oleh karena itu, dcngan konsep-konsep Alquran dapat
dikembangkan ilmu-ilmu Islam yang mempertimbangkan kejiwaan, masyatakal, dan sejarah
manusia dengan konsep-konsep tersendiri. Misalnya, konsep-konsep Alquran tentang kejiwaan,
seperti: nafs al-‘ammarah, nafs al-lawwamah, al-nafs al-muthma’innah, tazkiyah, dan lain-lain
selain menjadi konsep teoritis Ilmu Tasawwuf, dapat pula diturunkan menjadi konsep teoritis Ilmu
Jiwa untuk mengukur kematangan sesorang.291
Menjadikan Alquran sebagai paradigma dalam membangun teori ilmu pengetahuan, menurut
Kuntowijoyo, memerlukan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada
dasarnya kandungan Alquran terbagi kepada dua bagian, yaitu: konsep-konsep (abstrak maupun
konkret) dan kisah-kisah sejarah/perumpamaan-perumpamaan (amtsal). Jika dalam bagian
konseptual itu diperkenalkan berbagai tipe ideal (ideal type) ajaran normatif, maka dalam bagian
kisah-kisah dan perumpumaan manusia diajak untuk mengenal tipe sempurna paling purba (arche
type) tentang kondisi-kondisi yang universal sebagaimana terdapat dalam kisah perjuangan para nabi
atau kekufuran para penentang ajaran Tuhan. Tujuannya agar manusia dapar menarik pelajaran moral
dan peristiwa empirik yang terjadi dalam sejarah yang sifatnya universal dan abadi itu. Cara
pemahaman seperti inilah yang dimaksudkan Kuntowijoyo sebagai pemahaman secara sintetik. 292
Artinya, manusia dapat merenungkan pesan-pesan moral Alquran dalam rangka mensintesiskan
penghayatan dan pengalaman subjektif mereka dengan ajaran-ajaran normatil. Melalui pendekatan
sintetik ini pula manusia dapat melakukan subjektivikasi terhadap ajaran-ajaran keagamaan dalam
rangka mengembangkan perspektif, etik dan moral individual, selanjutnya melangkah ke level
transformasi kemasyarakatan bagi terwujudkan perubahan sosial yang berdimensi risalah profetik
dalam semangat humanisasi, emansipasi, dan transendensi.
Dengan demikian guna mengoperasionalisasikan konsep-konsep normatif Alquran menjadi
objektif den empirik perlu digunakan pendekatan analitik yang setidaknya memiliki tiga langkah
kerja. Pertama, menjadikan Alquran sebagai data atau suatu dokumen bagi pedoman kehidupan yang
berasal dari Tuhan. Tahapan ini merupakan tahapan penegasan postulat teologis dan teoritis. Kedua,
pernyataan-pernyataan normatif Alquran tersebut dianalisis untuk kemudian diterjemahkan pada
level yang objektif. Ini berarti ajaran-ajaran Alquran harus dirumuskan dalam bentuk konstrukkonstruk teoritis Alquran. Ketiga, mengelaborasi konstruk-konstruk teoritis Alquran guna
membangun rumusan teori secara qur’ani (Qur’anic theory building). Dari pendekatan sintetikanalitik inilah akan muncul paradigma Alquran sebagai struktur transendental islamisasi ilmu
pengetahuan.293 Kuntowijoyo tidak hanya. Berhenti pada gagasan menjadikan Alquran sebagai dasar
bagi ilmu-ilmu sosial, tetapi lebih dari itu, ia menginginkan timbulnya ilmu-ilmu sosial yaag
mencoba menerjemahkan teks-teks Islam (Alquran, hadis, tafsir, fiqh, tasawul) dalam dunia nyata,
dalam hidup sehari-hari, dalam fenomena sosial. Jadi, dan teks ke konteks.294
Meskipun demikian, lanjut Kuntowijoyo, dalam rangka reorientasi epistemolofi Ilmu Sosial
Profetik itu, intelektual Muslim tidak perlu bersikap sinis dan eksklusif terhadap khazanah
inteleklualisme Barat Modern, khususnya dalam proses pembangunan teori (theory building).
Bahkan, peminjaman dari atau sintesis dengan temuan sains Barat tidak dapat dihindari. Artinya,
Islamiasasi ilmu pengetahuan dengan proses peminjaman atau melalui sintesis, dalam hemat
Kuntowijovo tidak perlu dikhawatirkan sebagai westernisasi Islam, sebagaimana misalnya yang
dikemukakan oleh Zianuddin Sardar. Akan sangat tidak realistis, demikian Kuntowijoyo
menegaskan bahwa jika kita memandang pengaruh-pengauh Barat maupun Timur dalam hal
Islamisasi sains dalam perspektil yang dikotomis. Bahkan, dalam proses globalisasi dan
universalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana yang berlangsung dewasa ini,
masyarakat Islam harus membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban. Sebab, semua peradaban
dan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain
sepanjang sejarah. Oleh kanena itu, hampir tidak mungkin intelektual Islam bersikap eksklusif, sikap
seperti itu adalah sikap yang a-historis dan tidak realistik. Sekalipun demikian, Kuntowijoyo
291
Kuntowijoyo, “Konsep Teoritis Ilmu dan Konsep Normatif Agama”, dalam paradigma Islam…, h. 308.
Kuntowijoyo, Paradigma al-Quran untuk Teori, dalam paradigma Islam…, h. 329
293
Kuntowijoyo, paradigma al-Qur’an,.”, h. 330
294
Kuntowijoyo, Islam tanpa Masjid…,h. 251.
292
147
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
menekankan bahwa tujuan final dan reorientasi epistemologi itu tetap diusahakan untuk mendekati
cita-cita Islam yang otentik dan menjadikannya sebagai alternatif. Artinya, dalam proses
peminjaman, sintesis, dan pengembangan itu tentu terdapat dialektika internal. Misalnya, untuk
bidang-bidang kajian tertentu Islam menolak logika Yunani yang sangat rasional untuk digantikan
dengan cara berpikir intuitif yang lebih mendekatkan diri pada rasa sebagaimana yang biasa
digunakan dalam tasawwuf. Selain proses ini adalah wajar, juga menunjukkan bahwa islamisasi Ilmu
tidak sekedar mewarisi tetapi juga melakukan pengayaan (enrichment) materi dan bentuknya.
Melalui proses ini pada gilirannya tercipta warisan-warisan keilmuan Islam yang otentik.
Ringkasnya, islamisasi ilmu pengetahuan dalam hemat Kuntowijoyo, dalam dilakukan melalui
mekanisme konversi dan integrasi semua pemikiran dan warisan inlelektual dari mana pun ke dalam
paradigma teoritis yang sesuai dengan struktur transendental Alquran. 295 Dalam pada itu,
Kuntowijoyo menambahkan bahwa upaya islamisasi ilmu pengetahuan itu merupakan upaya yang
inheren harus dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi Islam, negeri maupun swasta.296
PENUTUP
lslamisasi ilmu pengetahuan di Indonesia dilakukan dengan cara merekonstruksi struktur paradigmatik
ilmu-ilmu keislaman zaman modern bercorak integralistik dalam tiga variasi, yaitu: integratif-revitalistik,
integratif-interkonektif, dan integnatif-transformatif terapan (amali). Rekonstruksi ilmu pengetahuan
keislaman zaman kekinian dalam konteks keindonesiaan dilakukan dengan cara dekonstruksi atau
membongkar adagium-adagium keilmuan modern dan ilmu keislaman klasik untuk kemudian dicari dan
disusun kembali dengan menekankan aspek relevansinya dan manfaatnya dalam kaitannya dengan upaya
memahami realitas masyarakat, realitas kcberagamaan, dan menjelaskan realitas alam. Berkaitan dengan upaya
itu, ada empat pola dasar yang digunakan oleh kalangan intelektual Muslim Indonesia dalam upaya melakukan
rekonstruksi ilmu pengetahuan zaman modern. Pertama, mengubah tata pikir normatif menjadi teoritis. Kedua,
mengubah tradisi ideologis menjadi rasional-empirik. Ketiga, mengubah tradisi penyakralan pemikiran
menjadi kritik terhadapnya. Keempat, mengubah cara berpikir yang menekankan penguasaan materi menjadi
penekanan epistemologi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Falsafat Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
Abdullah, M. Arnie, Islamic Studies di Perguruan Tnggi. Yogyakarta: Pustakan Pelajar, 2006.
Ahmad, Kainaruzzaman Bustaman. “Diaspora Pemikiran Islam di Indonesia (Perspektif Sejarah)”, dalam
Islam Historis: Dinamika Studi Islam di Indonesia, Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Alias, S.M. Naquib al- Islam dan Filsafat Sains, Penerjemah Saiful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.
Attas, V. S.M. Naquib al-, Secularism and the Philosophy of the Future, London: Manscll, 1985.
Faruqi, Ismail Raji al-, Islanization of Knowledge: General Principles and Workplans. Washington DC:
IIIT, 1981.
Ali, A. Mukti. Beberapa Persoa Ian Agama Dewasa ini, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Arkoun, M. Rethingking Islam Today, Washington: Center for Contemporary Arab Studies, 1987.
Band, Nona Barlow (ed.). The Authobiography of Charles Darwin. London: Collins, 1958.
Kadir, Muslim A. Ilmu islam Terapan Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam. Jakarta: Pustaka
Pelajar dan STAIN Kudus, 2003.
Kartanegana, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holislik, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
----------------------------, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2002.
----------------------------, Mengislaman Nalar Sebuah Respons terhadap Modemitas, Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007.
----------------------------, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Telaah Kritis terhadap Epistemology Banal”, dalam
Refleksi, Vol. 1 No. 3, Juni-Aqustus 1999, h. 59-70.
Kurtowidjoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 1998.
Kuntowidjoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1993.
Nasr, S.H, Islamic Science: An Illustrated Study. London: World of Islam Festival Publishing, 1976.
Nasr, S.H, Man and Nature, The Spfritual Crisis of Modem Man, London: A Mandala Book, 1976.
Nasr, S.H, Ensikiopedi Tematis Spritualitas Islam: Manifes1asi, Bandung: Mizan, 2003.
295
296
Kuntowijyo, Islam tanpa Mesjid.., h. 335.
Kuntowijoyo, Kebijakan Pengembangan Pendidikan Tinggi Islam”, dalam paradigma…, h. 35-41
148
Proceeding of International Conference On Islamic Epistemology,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, May 24th, 2016
ISBN:978-602-361-048-8
Qadir, C.A. Philosophy and Science in the Islamic World, London: Routledge, 1988.
Rahardjo, M. Dawam, Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam. Mizan: Bandung, 1987.
Rahman, Fazlur, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Suatu Tanggapan”, dalam Jurnal al-Hikmah, Jumada al-UlaJumada al-Tsaniyah 1413/Nopember-Desember, 1992.
Russell, Bertrand. Religion and Science. London: Oxford University Press, 1984.
Safi, M. Louay. The Foundation of Knowledge:A Comparative Studyin Islamic and Western, Methods of
Inquiry, Malaysia: International Islamic University Malaysia Press, 1996.
149
Download